WORLD BANK
Disusun oleh:
ALMUTMAINAH
BAB ll
Sejak Oktober 2008, Bank Dunia dikritik telah menyebabkan krisis iklim, krisis financial dan
krisis pangan. kritikan ini berasal dari Sejumlah LSM antara lain Koalisi Anti Utang (KAU),
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Solidaritas
Perempuan (SP). Kritikan ini sangat beralasan, karena telah diketahui bahwa Bank Dunia telah
membiayai proyek bernilai miliaran rupiah untuk membiayai industri ekstraktif seperti batu bara,
minyak, dan gas. Setiap tahun, utang milyaran dolar digunakan untuk membiayai proyek yang
menghancurkan lingkungan dan iklim. Proyek itu menghancurkan lingkungan dan merupakan
faktor utama penyebab krisis iklim. proyek di industri ekstraktif tersebut antara lain pembangunan
dam besar dan pengembangan agrofuel. Disamping itu, utang tersebut dibayar lewat anggaran
publik, perusahaan transnasional mengeruk keuntungan dari proyek tersebut.
Bank Dunia adalah pemberi utang terbesar untuk industri ekstraktif di dunia, yang nilainya
mencapai US$28 miliar dari 133 paket program sejak 1992. Skema utang baru Bank Dunia untuk
perubahan iklim (climate investment fund) yang mencapai 5 miliar dollar AS dituding sebagai
tidak lebih dari upaya untuk memanfaatkan krisis iklim demi keuntungan Bank Dunia. Selama 3
dekade World Bank menjadikan utang sebagai alat untuk mengintervensi kebijakan negara
selatan termasuk Indonesia yang mendorong liberalisasi keuangan, ekstraksi kekayaan alam
dan konsentarasi kekayaan pada segelintir orang serta penghisapan ekonomi negara selatan
oleh negara utara dan perusahaan transnasional. Mendorong pola pembangunan neoliberal
yang menyebabkan terjadinya krisis iklim, finansial dan pangan.
Sikap Dunia terhadap Skandal World Bank sebagai Penyebab Krisis Global. Sebuah sikap
telah dilakukan Pemerintah India melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanannya. Bank
Dunia tidak dapat membantu India untuk mengatasi perubahan iklim. Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan India menyatakan menolak institusi yang menyediakan Dana Investasi Iklim bagi
negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam penolakannya, menteri lingkungan
itu mengatakan bahwa kementerian keuangan tidak tertarik untuk mendapatkan dana dari Bank
Dunia dalam menghadapi perubahan iklim.
Bagi India, penolakan itu merupakan sikap kemandirian sebagaimana di setiap perundingan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di Ghana, India yang memimpin Kelompok G77 dan China
menuntut negara-negara kaya, yang bertanggungjawab atas pelepasan terbesar gas rumah
kaca di atmosfir, seharusnya langsung mentransferkan dana kepada negara-negara
berkembang atau miskin yang terpengaruh. negara-negara kaya berkewajiban dalam transfer
dana dan teknologi untuk membantu negara berkembang dan ini bukanlah dalam bentuk
pinjaman.
B. Solusi
Extractive Industries Review (EIR), yang merupakan komisi evaluasi independen dari
aktivitas-aktivitas Bank Dunia di sektor ekstraktif, merekomendasikan bahwa Bank Dunia harus
segera menghentikan utang untuk program-program batubara dan keluar dari proyek-proyek
utang untuk minyak pada tahun 2008. Akan tetapi, justru utang Bank Dunia untuk proyek-proyek
minyak meningkat hingga 93% dari US $ 450 Juta ke US $ 869 Juta dari tahun keuangan 2005
ke 2006.
Sedangkan pada tahun 2008 utang Bank Dunia untuk minyak dan gas naik sebesar 97% dari
tahun 2007, dengan total sebesar $3 Milyar. Untuk pembiayaan batu bara saja jumlah utang
tersebut naik 256% dari tahun 2007. Di Indonesia, utang Bank Dunia lewat IFC untuk PT. Adaro
Energy Tbk sebesar $ 25 Juta mendorong penggunaan batu bara sebagai sumber energi yang
menyebabkan kerusakan lingkungan.
Dalam rangkaian Pekan Aksi Global Melawan Utang dan Lembaga Keuangan International
(Global Week of Action Against Debt and IFIs) pada 13-18 Oktober 2008 yang dilaksanakan
serentak di seluruh dunia, kalangan LSM menuntut beberapa hal, diantaranya:
1. Mendesak dilakukannya penghapusan utang yang tidak sah (illegitimate debt) Bank Dunia yang
memicu terjadinya krisis iklim.
2. Penolakan skema utang baru Bank Dunia untuk perubahan iklim juga
3. Penolakan skema utang untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta
4. Mendesak pengakuan dan pembayaran utang ekologis (ecological debt) negara utara
ke negara selatan
Sebenarnya pada tahun 2004, terdapat desakan dari public global kepada World
Bank agar menghentikan proyek minyak dan batu baranya. Namun, pada tanggal 22
Juli 2004, Dewan Direktur Bank Dunia memutuskan untuk melanjutkan kebijakan
dibidang minyak, gas dan pertambangan yang berarti tetap meletakkan profit bagi
korporasi di atas rakyat dan planet.
Desakan dari publik global semakin kuat terhadap Wolfensohn (Presiden Bank
Dunia) untuk segera melakukan reformasi kebijakannya dibidang minyak, gas dan
pertambangan. Data Bank Dunia sendiri menunjukkan bahwa negara-negara yang
bergantung kepada minyak sebagai ekspor utamanya lebih cenderung terlibat perang
saudara dibandingkan dengan negara lain.
Padahal seharusnya pada saat itu Pihak Bank Dunia seharusnya sadar akan hal
tersbut dan sudah saatnya angkat kaki dari sektor yang destruktif terhadap rakyat dan
lingkungan ini. Keterlibatan Bank Dunia dalam sektor ini secara nyata tidak sesuai
dengan misi yang diemban oleh Bank Dunia.
Jika Bank Dunia ingin memenuhi mandatnya untuk mencapai pengentasan
kemiskinan, maka seharusnya hanya mendukung industri extractif jika sejumlah kondisi
'good governance' dan kondisi yang positif lainnya sudah ada.
Sudah cukup kemerosotan lingkungan yang diakibatkan oleh industri ekstraktif, dan
seharusnya pihak Bank Dunia tanpa alasan harus mengadopsi hasil rekomendasi ini
dan lebih mendorong investasinya kepada energi terbarukan dan ramah lingkungan.