Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

COMBUSTIO GRADE II PADA TN. W

DI RUANG IGD RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

Disusun Oleh :
NABILA NURIL FADIA
P27220019036

POLTEKKES KENMENKES SURAKARTA


PRODI DII KEPERAWATAN
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Luka Bakar

1. Definisi
Luka bakar atau Combustio merupakan bentuk kerusakan dan kehilangan jaringan
disebabkan kontak dengan sumber suhu yang sangat tinggi seperti kobaran api di
tubuh (flame), jilatan api ke tubuh (flash), terkenan air panas panas (scald), tersentuh
benda panas (kontak panas), akibat serangan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta
sengatan matahari (suburn) dan yang sangat rendah (Kurniawan & Susanti, 2017).
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit dengan luka
bakar akan mengalmai kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan
tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya.
Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan/gangguan integritas kulit dan
kematian sel-sel.
Perawatan luka bakar yang diperlukan bergantung pada tingkat keparahan luka
bakarnya. . Luka bakar superfisial mungkin dapat ditangani dengan pereda nyeri
sederhana, sementara luka bakar besar mungkin memerlukan pengobatan yang lebih
lama di pusat perawatan luka bakar khusus.

2. Etiologi
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma yang memiliki morbiditas dan mortalitas
yang tinggi sehingga memerlukan perawatan yang khusus mulai fase awal hingga
fase lanjut. Ada 5 etiologi terjadinya luka bakar, yaitu kobaran api, cairan, bahan
kimia, listrik, maupun kontak lainnya. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, luka
bakar dibagi menjadi fase akut, fase subakut dan fase lanjut.
Pada fase akut terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat
cedera termis bersifat sistemik yang dapat mengakibatkan terjadinya syok
hipovolemik. Fase sub akut berlangsung setelah syok berakhir yang ditandai dengan
keadaan hipermetabolisme, infeksi hingga sepsis serta inflamasi dalam bentuk SIRS
(Systemic Inflamatory Respon Syndrome). Luka terbuka akibat kerusakan jaringan
(kulit dan jaringan di bawahnya) menimbulkan inflamasi, sepsis dan penguapan
cairan tubuh disertai panas/energi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan proses inflamasi dan infeksi, problem penutupan luka pada luka
telanjang atau tidak berepitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ
fungsional, dan keadaan hipermetabolisme. Fase lanjut berlangsung setelah fase
subakut hingga pasien sembuh. Penyulit pada fase ini adalah parut yang hipertrofik,
keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan timbulnya kontraktur.

3. Klasifikasi
a. Berdasarkan penyebab :
1) Luka bakar karena api
2) Luka bakar karena air panas
3) Luka bakar karena bahan kimia
4) Luka bakar karena listrik
5) Luka bakar karena radiasi
6) Luka bakar karena suhu rendah (frost bite)
b. Berdasarkan kedalaman luka bakar:
1) Luka bakar derajat I
Luka bakar derajat pertama adalah setiap luka bakar yang di dalam proses
penyembuhannya tidak meninggalkan jaringan parut. Luka bakar derajat
pertama tampak sebagai suatu daerah yang berwarna kemerahan, terdapat
gelembung gelembung yang ditutupi oleh daerah putih, epidermis yang tidak
mengandung pembuluh darah dan dibatasi oleh kulit yang berwarna merah
serta hiperemis. Luka bakar derajat pertama ini hanya mengenai epidermis
dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari, misalnya tersengat matahari. Luka
tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitifitas
setempat. Luka derajat pertama akan sembuh tanpa bekas.
2) Luka bakar derajat II Kerusakan yang terjadi pada epidermis dan sebagian
dermis, berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi, melepuh, dasar
luka berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit
normal, nyeri karena ujungujung saraf teriritasi. Luka bakar derajat II ada dua:
a) Derajat II dangkal (superficial) Kerusakan yang mengenai bagian
superficial dari dermis, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Luka sembuh dalam waktu 10-14
hari.
b) Derajat II dalam (deep) Kerusakan hampir seluruh bagian dermis.
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
sebagian masih utuh. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung
apendises kulit yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu
lebih dari satu bulan.
c) Luka bakar derajat II
Kerusakan meliput seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam,
apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
rusak, tidak ada pelepuhan, kulit berwarna abu-abu atau coklat, kering,
letaknay lebih rendah dibandingkan kulit sekitar kerena koagulasi protein
pada lapisan epidermis dan dermis, tidak timbul rasa nyeri. Penyembuhaan
lama karena tidak ada proses epitalisasi spontan.
3) Berdasarkan tingkat keseriusan luka
a) Luka bakar ringan/ minor
- Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
- Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
- Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum.
b) Luka bakar sedang (moderate burn)
- Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar
derajat III kurang dari 10 %
- Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau
dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
- Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.
c) Luka bakar berat (major burn)
- Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di
atas usia 50 tahun
- Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama
- Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineu
- Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar
- Luka bakar tegangan tinggi
- Disertai trauma lainnya
- Pasien-pasien dengan resiko tinggi.
c. Berdasarkan permukaan tubuh yang terbakar
Smeltzer (2012) mengestimasi luas permukaan tubuh yang terbakar
disederhanakan dengan menggunakan Rumus Sembilan (Rule of Nine). Rumus
Sembilan merupakan cara yang cepat untuk menghitung luas daerah yang
terbakar. Sistem tersebut menggunakan persentase dalam kelipatan Sembilan
terhadap permukaan tubuh yang luas.
1) Berat ringannya luka bakar

American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi tiga kategori,

yaitu:

a) Luka bakar mayor

1. Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa dan lebih

dari 20% pada anak-anak. Luka bakar fullthickness lebih dari 20%.

2. Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki dan

perineum.

3. Terdapat trauma inhalasi dan multiple injuri tanpa memperhitungkan

derajat dan luasnya luka

4. Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.


b) Luka bakar moderat

1. Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan 10- 20% pada

anak-anak.

2. Luka bakar fullthickness kurang dari 10%.

3. Tidak terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki dan

perineum.

c) Luka bakar minor

Luka bakar minor saperti yang didefinisikan oleh Trofino (2011) dan

Griglak (2012) adalah :

1. Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang dewasa dan

kurang dari 10% pada anak-anak.

2. Luka bakar fullthickness kurang dari 2%.

3. Tidak terdapat luka bakar pada wajah, tangan dan kaki.

4. Luka tidak sirkumfer.

5. Tidak terdapat trauma inhalasi


c. Berdasarkan luas luka bakar
Luas luka bakar dan lokasi luka pada tubuh diukur dengan prosentase.

Pengukuran ini disebut rule of nines dan pada bayi dan anak anak dilakukan

beberapa modifikasi. Rule of nines membagi tubuh manusia dewasa dalam

beberapa bagian dan setiap bagian dihitung 9%.

a. Kepala = 9%

b. Dada bagian depan = 9%

c. Perut bagian depan = 9%

d. Punggung = 18%
e. Setiap tangan = 9%

f. Setiap telapak tangan = 1%

g. Selangkangan = 1%

h. Setiap kaki = 18%

Hanya luka bakar derajat dua dan tigalah yang dihitung menggunakan rule of
nine, sementara luka bakar derajat satu tidak dimasukan sebab permukaan kulit
relatif bagus sehingga fungsi kulit sebagai regulasi cairan dan suhu masih baik.
Jika luas luka bakar lebih dari 15 – 20% maka tubuh telah mengalami
kehilangan cairan yang cukup signifikan. Jika cairan yang hilang tidak segera
diganti maka pasien dapat jatuh ke kondisi syok atau renjatan.

Perhitungan penggantian cairan per infus adalah sebagai berikut. 4cc/KgBB/%


luka bakar = kebutuhan cairan permulaan dalam 24 jam yang setengahnya
diberikan pada 8 jam pertama. Semakin luas atau besar prosentase luka bakar
maka resiko kematian juga semakin besar. Pasien dengan luka bakar dibawah
20% biasanya akan sembuh dengan baik, sebaliknya mereka yang mengalami
luka bakar lebih dari 50% akan menghadapi resiko kematian yang tinggi.

4. Patofisiologi
Kulit dapat bertahan terhadap panas sampai suhu tertentu karena adanya kandungan
air yang cukup. Pada daerah dengan vaskularisasi yang banyak, memungkinkan
terjadinya penghantaran panas dari tempat luka bakar ke tempat lain sehingga

mengurangi kedalaman luka bakar. Luasnya luka bakar ditentukan oleh derajat panas,
lamanya jaringan terpapar dan ketebalan kulit yang terkena oleh sumber panas.
Kerusakan jaringan pada luka bakar jarang sekali homogen dan biasanya terbagi atas
3 zona yaitu zona koagulasi, stasis dan hiperemia Zona ini dikenal sebagai teori
Jackson (Jackson’s thermal wound theory), yang biasanya terlihat sebagai bull’s-eye
pattern. Zona koagulasi merupakan jaringan mati yang membentuk parut, terletak di
pusat luka terdekat dengan sumber panas. Jaringan pada zona ini tidak dapat
diselamatkan karena telah terjadi koagulasi nekrosis. Jaringan yang masih layak
berdekatan dengan daerah nekrotik disebut zona stasis. Penurunan perfusi didaerah
tersebut dapat menyebabkan nekrosis. Edema yang berlangsung lama, infeksi,
intervensi bedah yang tidak perlu, dan hipotensi dapat mengkonversi zona ini ke zona
koagulasi. Pada zona hiperemia terjadi peningkatan perfusi dan merupakan daerah
dengan kerusakan minimal.
Kulit merupakan organ yang yang terbesar pada tubuh manusia, dengan ketebalan
bervariasi sesuai usia dan lokasi (1-2 mm). Ketebalan kulit mempengaruhi kerentanan
terhadap luka bakar, misalnya kulit di telapak tangan dan kaki lebih tebal dan lebih
tahan dibandingkan lengan atau kelopak mata.
5. Pathway

Panas, kimia radiasi, listrik

Luka bakar

Kerusakan jaringan

(epidermis, dermis)

Gangguan Merangsang Kerusakan Kapiler Takut Bergerak Port de entry


integritas kulit syaraf perifer Mikroorganisme

Permeabilitas Pergerakan
Alarm Nyeri Meningkat Terbatas Resiko Infeksi

Cairan merembes Cairan merembes Gangguan


Nyeri akut
Ke Interstisial jaringan sub kutan Mobilitas Fisik

Oedema Vesikulasi

Penurunan Volume Vesikel pecah


Darah yang Bersirkulasi dalam keadaan luas

Penurunan Luka Terbuka, Kebutuhan O2


Curah Jantung Kulit Terkelupas meningkat

Prefusi Perifer Penguapan yang Peningkatan


Tidak efektif berlebihan metabolisme dan
Katabolisme

Dehidrasi
Defisit Nutrisi

Hipovolemia
6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis luka bakar dapat dikelompokkan menjadi trauma primer dan
sekunder, dengan adanya kerusakan laangsung yang disebaabkan oleh luka bakar dan
morbiditas yang akan muncul mengikuti trauma awal. Pada daerah sekitar luka, akan
ditemukan warna kemerahan, bulla, edema, nyeri atau perubahan sensasi. Efek
sistemik yang ditemukan pada luka bakar berat seperti syok hipovoleik, hipotermi,
perubahan uji metaboolik dan darah (Rudall & Green, 2010 dalam Anita, N., 2019).
Manifestasi klinis secarsa umum :
a. Riwayat terpaparnya
b. Lihat derajat luka bakar
c. Status pernapasan; tachycardia, nafas dengan menggunakan otot asesoris, cuping
hidung dan stridor
d. Bila syok; tachycardia, tachypnea, tekanan nadi lemah, hipotensi, menurunnya
pengeluaran urine atau anuri
e. Perubahan suhu tubuh dari demam ke hipotermi.

7. Penatalaksanaan
a. Resusitasi A, B, C.
1) Pernafasan
Udara panas mukosa rusak oedem obstruksi.Efek toksik dari asap: HCN,
NO2, HCL, Bensin iritasi Bronkhokontriksi obstruksi gagal nafas.
2) Sirkulasi Gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke
ekstra vaskuler hipovolemi relatif syok ATN gagal ginjal.
b. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
c. Resusitasi cairan Baxter.
1) Dewasa: Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
2) Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:
3) RL: Dextran = 17: 3 2 cc x BB x % LB.
4) Kebutuhan faal:
< 1 tahun: BB x 100 cc
1 – 3 tahun: BB x 75 cc
3 – 5 tahun: BB x 50 cc
½ à diberikan 8 jam pertama
½ à diberikan 16 jam berikutnya.
5) Hari kedua:
6) Dewasa: Dextran 500 – 2000 + D5%/albumin.
( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.
7) Anak: Diberi sesuai kebutuhan faal.
d. Monitor urin dan CVP.
e. Topikal dan tutup luka
1) Cuci luka dengan savlon: NaCl 0,9% ( 1: 30 ) + buang jaringan nekrotik.
2) Tulle.
3) Silver sulfadiazin tebal.
4) Tutup kassa tebal.
5) Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.
f. Obat – obatan
1) Antibiotika: tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
2) Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil
kultur.
3) Analgetik: kuat (morfin, petidine)
4) Antasida: kalau perlu

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya pengeluaran
darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan
adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang meningkat menunjukkan adanya
kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan
yang diakibatkan oleh panas terhadap pembuluh darah. 2) Leukosit : Leukositosis
dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau inflamasi.
b. Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera
jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal mungkin menurun
karena kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan
hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.
c. Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan cairan ,
kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan.
d. Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan cairan
interstisial atau gangguan pompa, natrium.
e. Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.
f. Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema
cairan.
g. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi
ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
h. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau
luasnya cedera.
i. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau distritmia.
j. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Luas dan kedalaman luka bakar juga rentang waktu dan keadaan sekeliling cedera
luka bakar adalah data yang harus didapatkan dalam pengkajian luka bakar. Untuk
mengkaji tingkat keparahan luka bakar, beberapa hal yang harus dikaji adalah
prosentase luas permukaan tubuh yang terbakar, kedalaman, letak anatomis, adanya
cedera inhalasi, usia, cedera lain yang bersamaan. Penentuan luas permukaan tubuh
yang terbakar pada umumnya menggunakan “Rule of Nine”, aturan tersebut membagi
tubuh ke dalam kelipatan 9. Bagian kepala dihitung sebagai 9%, masing-masing
lengan 9%, masing-masing kaki 18%, bagian depan tubuh (trunkus anterior) 18%,
bagian belakang tubuh (trunkus posterior) 18% dan perineum 1%, dengan total 100%.
Data adanya cedera inhalasi yang menyertai luka bakar perlu dikaji untuk mengetahui
kemungkinan perburukan kondisi pasien secara progresif karena sumbatan jalan nafas
akibat oedema mukosa (mukosa melepuh). Data tersebut dapat berupa bulu hidung
hangus terbakar, luka bakar pada wajah, perioral atau leher, perubahan suara, batuk
serak dan pendek, krakles, stridor, pernapasan cepat dan sulit.
Pengkajian menurut Majid (2013), meliputi :
a. Primary Survey Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma,
sehingga harus dicek airway, breathing, circulation, disability, dan exposure
terlebih dahulu.
1) Airway
Pada luka bakar ditemukan adanya sumbatan akibat edema mukosa jalan nafas
ditambah sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami
pengentalan. Apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka
segera pasang Endotracheal Tube (ET). Tandatanda adanya trauma inhalasi
adalah : terkurung dalam api, luka bakar pada wajah, bulu hidung yang
terbakar, sputum yang hitam.
2) Breathing
Eschar yang melingkari dada dapat menghambat pergerakan dada untuk
bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada trauma-trauma
lain yang dapat menghambat pernapasan, misalnya pneumothorax,
hematothorax, dan fraktur costae. Kaji pergerakan dinding thorax simetris
atau tidak, ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea,
takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada suara nafas
tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing. Selain itu kaji juga
kedalaman nafas pasien.
3) Circulation
Kaji ada tidaknya penurunan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya
takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilar refil
memanjang. Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien. Luka bakar
menimbulkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan edema, pada luka
bakar yang luas dapat terjadi syok hipovolumik karena kebocoran plasma
yang luas.
4) Disability
Pada pasien enurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS
5) Exposure
Pada pasien dengan luka bakar terdapat hipertermi akibat inflamasi.
b. Secondary Survey Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap
yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
1) Monitor tanda-tanda vital
2) Pemeriksaan fisik
3) Lakukan pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007).
1) Keluhan Utama : Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi
pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea,
dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
2) Riwayat Penyakit Sekarang : Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini
penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan
terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas.
Kapan kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).
3) Riwayat Penyakit Dahulu : Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien
mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi
perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal
jantung kongestif, dan sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal,
pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti diabetes, gagal
ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera
inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung
kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak
dan Gallo, 1996).
4) Riwayat Penyakit Keluarga : kaji riwayat penyakit keluarga yang
kemungkinan bisa ditularkan atau diturunkan secara genetik kepada pasien
seperti penyakit DM, hipertensi, asma, TBC dll.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ditegakkan berdasarkan data dari pasien. Kemungkinan
diagnosa keperawatan dari orang dengan Combostio adalah sebagai berikut :

a. Gangguan integritas kulit


b. Resiko Infeksi
c. Nyeri akut
d. Gangguan mobilitas fisik
e. Gangguan perfusi perifer tidak efektif
f. Hipovolemia
g. Defisist nutrisi

3. Intervensi
No. Diagnosa Tujuan dan Intervensi
Keperwatan Kriteria Hasil

1. Gangguan Setelah dilakukan Perawatan integritas kulit


Integritas tindakan Obsevasi
Kulit/Jaringa keperawatan selama 1. Identifikasi penyebab gangguan
n 1x5 jam diharapkan integritas kulit (mis. Perubahan
integritas kulit dapat sirkulasi, perubahan status nutrisi)
terjaga dengan Terapeutik
kriteria hasil: 2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
1. Integritas kulit baring
yang baik bisa 3. Lakukan pemijataan pada area tulang,
dipertahankan jika perlu
2. Perfusi jaringan 4. Hindari produk berbahan dasar
baik alkohol pada kulit kering
3. Mampu 5. Bersihkan perineal dengan air hangat
melindungi kulit Edukasi
dan 6. Anjurkan menggunakan pelembab
mempertahankan (mis. Lotion atau serum)
kelembaban kulit 7. Anjurkan mandi dan menggunakan
sabun secukupnya
8. Anjurkan minum air yang cukup
9. Anjurkan menghindari terpapar suhu
ekstrem
2. Resiko Infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
tindakan Observasi
keperawatan selama
1. Monitor tanda dan gejala infeksi
1x5 jam diharapkan
lokal dan sitemik
resiko infeksi dapat
terjaga dengan
Terapeutik
kriteria hasil:
1. Demam 2. Batasi jumlah pengunjung
menurun 3. Berikan perawtan kulit pada area
2. Kemerahan edema
menurun 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah
3. Nyeri menurun kontak dengan pasien dan
4. Bengkak lingkungan pasien
menurun 5. Pertahankan teknik aseptik pada
pasien beresiko tinggi

Edukasi

6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi


7. Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar
8. Ajarkan etika batuk
9. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
10. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
11. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan

Kolaborasi

12. Kolaborasikan pemberian imunisasi,


jika perlu

3. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


tindakan Observasi
keperawatan selama 1. Identifikasi lokasi, karakteristik
1x5 jam diharapkan nyeri, durasi, frekuensi, intensitas
tingkat nyeri nyeri
menurun dengan 2. Identifikasi skala nyeri
kriteria hasil : 3. Identifikasi faktor yang
1. Pasien memperberat dan memperingan
mengatakan nyeri
nyeri berkurang Terapeutik
dari skala 3 4. Berikan terapi non farmakologis
menjadi 1 untuk mengurangi rasa nyeri
2. Pasien 5. Kontrol lingkungan yang
menunjukkan memperberat rasa nyeri (mis: suhu
ekspresi wajah ruangan, pencahayaan,kebisingan)
tenang Edukasi
3. Pasien dapat 6. Anjurkan memonitor nyeri secara
beristirahat mandiri
dengan nyaman 7. Ajarkan teknik non farmakologis
untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
4. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi
Mobilitas tindakan Observasi :
Fisik keperawatan selama 1. Identifikasi adanya nyeri ataukeluhan
1x5 jam diharapkan fisik lainnya
gangguan mobilitas 2. Identifikasi toleransi fisik
fisik dapat terjaga melakukan pergerakan
dengan kriteria 3. Monitor frekuensi jantung dan
hasil: tekanan darah sebelum memulai
5. Pergerakan mobilisasi
ekstremitas 4. Monitor kondisi umum selama
meningkat melakukan mobilsiasi
6. Kekuatan otot Terapeutik
meningkat 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi
7. Rentang dengan alat bantu mis. pagar tempat
gerak(ROM) tidur
meningkat 2. Fasilitasi melakukan pergerakan
8. Kaku sendi 3. Libatkan keluarga untuk
menurun membantu pasien dalam
9. Gerakan tidak meningkatkan pergerakan
berkoordinasim Edukasi :
enurun 1. Jelasan tujuan dan prosedur
10. Kelemahan fisik mobilisasi
menurun 2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan mis.
Duduk ditempat tidur, di sisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur
5. Gangguan Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi
Perfusi perifer tindakan Observasi
tidak efektif keperawatan selama 1) Periksa sirkulasi perifer(mis:nadi
1x5 jam diharapkan perifer,edema,pengisian kapiler,
perfusi perifer warna,suhu)
meningkat dengan 2) Identifikasi faktor resiko gangguan
kriteria hasil : sirkulasi
1. Nadi perifer 3) Lakukan hidrasi
teraba kuat Terapeutik
2. Akral teraba 4) Anjurkan menggunakan obat
hangat Warna penurun tekanan darah,
kulit tidak pucat antikoagulan, dan penurun kolestrol,
pasi jika perlu
5) Anjurkan minum obat pengontrol
tekanan darah secara teratur
Edukasi
6) Informasikan tanda dan gejala
darurat yang harus dilaporkan.
6. Hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia
tindakan Observasi
keperawatan selama 1. Periksa tanda dan gejala
1x5 jam diharapkan hipovolemia (mis. frekuensi nadi
status nutrisi meningkat, nadi teraba lemah,
membaik dengan tekanan darah menurun, tekanan
kriteria hasil : nadi menyempit, turgor kulit
1. Perfusi jaringan menurun, membran mukosa kering,
menigkat volume urine menurun, hematokrit
3. Kerusakan meningkat, haus, lemah).
jaringan 2. Monitor intake dan output cairan
menurun Terapeutik
3. Kerusakan kulit 3. Hitung kebutuhan cairan
menurun 4. Berikan posisi modified
4. Nyeri menurun Trendelenburg
5. Berikan assupan cairan oral
Edukasi
6. Anjurkan memperbanyak asupan
cairan oral
7. Anjurkan menghindari perubahan
posisi mendaddak
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian cairan IV
isotonis (mis. NaCl, RL)
10. Kolaborasikan pemberian cairan IV
hipotonis (mis. glukosa 2,5%, NaCl
0,4%)
11. Kolaborasikan pemberian cairan
koloid (mis. albumin, Plasmanate)
12. Kolaborasikan pemberian produk
darah
7. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen cairan
tindakan Observasi
keperawatan selama 1. Monitor status hidrasi(mis. frekuensi
1x5 jam diharapkan nadi, kekuatan ansi, akral,
status nutrisi pengisisan kapiler, kelembaban
membaik dengan mukosa, turgor kulit, tekanan darah
kriteria hasil : 2. Monitor berat baddan harian
1. Keseimbangan 3. Monitor berat badan sebelum dan
cairan meningkat sesudah dialisis
4. Monitor hasil pemeriksaan
laboraturium (mis. MAP, CVP,
PAP, PCWWP jika tersedia)
Terapeutik
5. Catat intake-output dan hitung
balance cairan 24 jam
6. Berikan asupan cairan, sesuai
kebutuhan
7. Berikan cairan intravena, jika perlu
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian diuretik, jika
perlu
1.
2.

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses
pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan
kegiatan komunikasi (Dinarti & Muryanti, 2017)

5. Evaluasi
Sebagai tahap terakhir dari proses keperawatan dilakukan evaluasi yang tidak hanya
sekedar melaporkan intervensi keperawatan telah dilakukan, namun juga untuk
menilai apakah hasil yang diharapkan sudah terpenuhi (Potter & Perry, 2009 dalam
Ekawati, M., 2019)
Majid & Prayogi (2013) dalam Ekawati, M., (2019) Evaluasi adalah penilaian
keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien. Pada pasien
Combustio dapat dinilai hasil pelaksanaan perawatan dengan melihat catatan
perkembangan, hasil pemeriksaan pasien, melihat langsung keadaan dari keluhan
pasien, yang timbul sebagai masalah. Evaluasi dapat dilihat 4 kemungkinan yang
menentukan tindakan yang menentukan tindakan perawatan selanjutnya antara lain:
1) Apakah pelayanan keperawatan sudah tercapai atau belum
2) Apakah masalah yang ada telah terpecahkan/teratasi atau belum
3) Apakah maslah sebagian terpecahkan/tidak dapat di pecahkan
4) Apakah tindakan dilanjutkan atau perlu pengkajian ulang.
DAFTAR PUSTAKA

Dinarti & Mulyanti, Y. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Dokumen Keperawatan. Jakarta:
Kemenkes RI.
Ekawati, M. 2019. Luka Bakar Derajat II-III 90% karena Api pada Laki-laki 22 Tahun di
Bagian Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek Lampung. [KTI]. Program
Studi Profesi Ners : Yayasan Perawat Sulawesi Selatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Panakkukang Makassar.
Haryono & Utami. 2020. Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Harmarno, R. 2016. Keperawatan Kegawatdaruratan & Manjemen Bencana. Jakarta Selatan:


Pusdik SDM Kesehatan Badan Pengembngan dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan.

Kurniawan & Susianti. 2017. Luka Bakar Derajat II-III 90% karena Api pada Laki-laki 22
Tahun di Bagian Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek Lampung.

Mutmainah, I. 2019. Manajemen Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada Tn ”S” dengan


Diagnosa Medis Electrical Burn Injury Grade IIB Dan Grade III diruangan Instalasi
Gawat Darurat Luka Bakar Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. [KTI]. Program
Studi Profesi Ners : Yayasan Perawat Sulawesi Selatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Panakkukang Makassar.

Sitanggang, R. 2017. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Kepada Pasien Luka Bakar. 7(2). April
2017. 140

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperaawatan Indonesia:definisi dan
Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperaawatan Indonesia:definisi dan
Tindakan Keperawtaan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai