Anda di halaman 1dari 8

BAB II

2.1. Sejarah Pendidikan Kedokteran dan Spesialis di Indonesia


2.1.1. Sejarah Pendidikan Kedokteran di Indonesia
Sejarah pendidikan kedokteran di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda berasal
dari Eropa, dibawa ke Indonesia oleh para dokter dan bertugas merawat korban militer serta
pasien sipil Indonesia. Saat itu, wabah cacar yang berbahaya mendorong Belanda untuk
merekrut tenaga medis yang mampu mengatasi wabah tersebut dengan memberikan vaksinasi
cacar, yang selanjutnya disebut penerjemah cacar atau “vaksinator”. Menjadi juru penyakit
cacar adalah pelajaran pertama yang didapat selama belajar kedokteran di sebuah sekolah
kedokteran di Jawa. Sang “vaksinator” diberikan pendidikan sederhana tentang cara
mengobati orang sakit, sehingga ia juga bisa berperan sebagai “dokter Jawa”. Saat itu
dibawah pimpinan Direktur Departemen Kesehatan (Militer dan Sipil) Dr. W Bosch,
kemudian pada tanggal 1 Januari 1851 didirikan di Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat)
yang dipimpin oleh Dr. P. Bleeker, sebuah sekolah yang bertujuan untuk melatih pemuda
Jawa untuk menjadi "dokter Jawa", selama masa studi dua tahun, yang kemudian akan
bertanggung jawab untuk membantu mengalahkan epidemi cacar melalui pengobatan dan
vaksinasi. Selain itu, ia juga berperan sebagai asisten dokter (hulp Genesheer).
Pada tahun 1856, sekolah-sekolah di Jawa mulai menerima pemuda pribumi lainnya
sebagai siswanya. Pada tahun 1864, masa studi diperpanjang menjadi 3 tahun. Kemudian
pada tahun 1875 masa pelatihan diperpanjang menjadi 7 (tujuh) tahun, meliputi 2 tahun
persiapan dan 5 tahun kedokteran berikutnya. Bahasa yang digunakan dalam pendidikan
adalah bahasa Belanda, sebelumnya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Pada tahun 1881, masa persiapan pengobatan diperpanjang menjadi 3 tahun. Pada tahun
1902, masa pelatihan kedokteran yang sebelumnya 5 tahun diperpanjang menjadi 6 tahun,
sehingga total masa pelatihan kedokteran adalah 9 (sembilan) tahun; Nama fakultas
kedokteran tersebut akhirnya diubah menjadi “School tot Opleiding van Inlandsch Artsen”
(STOVIA), dan lulusannya diberi gelar “Inlandsch Arts” atau diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia sebagai Dokter Bumiputera.
Pada tahun 1913, tiga sekolah kedokteran kedua dibuka. di Surabaya dan diberi nama
“Nederlandsch Indicshe Art School”, disingkat NIAS. Masa pelatihan kedokteran di kedua
universitas ini ditambah satu tahun studi, sehingga total 10 tahun setelah bersekolah di
sekolah dasar Belanda. Pada tahun yang sama, tidak hanya sebagian penduduk asli yang
diperbolehkan mendaftar sebagai mahasiswa fakultas kedokteran, namun masyarakat dari
seluruh nusantara dan dari seluruh negara diperbolehkan mendaftar dan menjadi mahasiswa.
Dokter yang lulus dari universitas ini akan mendapat gelar “Seni India” yang dapat
diterjemahkan menjadi “Dokter India”. Sejak tahun 1924, STOVIA dan NIAS tidak lagi
menerima lulusan sekolah dasar tetapi menerima siswa sekolah menengah pertama yang
disebut MULO (singkatan dari "Meer Uitgebreid Lager Onderwijs") dengan lama studi 8
(delapan) tahun. Bahkan setelah tahun 1928, masa pelatihan ditingkatkan lagi menjadi 9
tahun, tidak lagi menggunakan istilah tahap pra medis. Pada tahun 1927, STOVIA tidak lagi
dibuka untuk mahasiswa baru dan digantikan oleh Geneeskundige Hoogeschool (Medical
College).
Namun, STOVIA terus melengkapi pelatihan siswa yang sudah ada; dan lulusan
terakhir adalah Dr. Sanjoto yang lulus pada tahun 1934. Dengan demikian STOVIA resmi
ditutup. Pada tahun 1908, timbul masalah dalam organisasi pelayanan kesehatan sipil.
Terdapat rencana untuk mengurangi kualifikasi akademik di STOVIA untuk menghilangkan
kemungkinan setiap lulusan dapat melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi di
universitas Belanda untuk memperoleh gelar seni. Padahal, fasilitas tersebut merupakan hasil
gulat yang pertama kali digunakan oleh Dr. Asmaoen, disusul oleh Dr. Abdul Rivai sebagai
yang kedua, kemudian dokter M.J. Boenjami, J.E. Tehupeiory, W.K. Tehupeiory, R.
Tumbelaka, R. Radjiman, P.Laoh, H.F. Lumentut, H.J.P. Apituley, J.A. Kawilarang, M.Salih,
dll. Akhirnya, pelatihan medis di STOVIA berhasil dipertahankan. Ini adalah hasil dari Dr.W.
K. Tehupeory dan Dr. H. F, Roll yang saat itu menjabat sebagai direktur STOVIA, dan
dibantu oleh Dr. H. Noordhoek Hegt untuk menggantikannya.
Berdirinya beberapa fakultas kedokteran pada tahun 1927 juga merupakan hasil
perjuangan para dokter Indonesia dan tokoh-tokoh lain yang terlibat, terutama mantan
direkturnya, Dr. Abdoul Rivaï. Dalam sidang “Volksraad” (parlemen kolonial Hindia
Belanda) tahun 1918, diusulkan untuk mendirikan pendidikan tinggi di Indonesia. Di pihak
"Indische Artsen Bond" (Ikatan Dokter Indonesia) yang ikut serta dalam "Panitia Pembina
Pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran" pada waktu itu adalah dokter J. Kajadoe, Abdoel
Rasjid dan R. Soetomo.
Meskipun laporan hasil kerja panitia merekomendasikan pendirian perguruan tinggi
kedokteran di Salemba dan diterbitkan pada tahun 1922, hal ini baru menjadi kenyataan pada
tahun 1927.1 Ketika kolonialisme Jepang dimulai pada tahun 1942, GH dan NIAS ditutup.
Pada tahun 1943, GH dibuka kembali dan berganti nama menjadi Jakarta Ika Daigaku
(Jakarta Medical College). Pada tanggal 19 Agustus 1945, Ika Daigaku Jakarta diubah
namanya menjadi Fakultas Kedokteran oleh sekelompok dokter dan mahasiswa nasionalis
yang berjuang untuk merebut gedung tersebut dari kendali Jepang. Pada tahun 1946,
Administrasi Sipil Belanda-India (NICA) mengambil alih Djakarta College dan
mengubahnya menjadi Nood Universiteit, menyebabkan Djakarta Medical College pindah ke
Klaten dengan kepala sekolahnya Profesor John C. Tien Dr. Sardjito, pendahulu Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.
Pada tahun 1947, Nood Universiteit berganti nama menjadi Universiteit van
Indonesia. Kemudian pada tahun 1950, Fakultas Kedokteran dan Universitas Indonesia
digabung dan disatukan dengan nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada tahun
1952, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mulai bekerjasama dengan Universitas
California, San Francisco untuk merevisi program pelatihan kedokteran dari program
pelatihan kedokteran Belanda menjadi program pelatihan kedokteran Amerika.
Pada tahun 1954 dimulailah kerjasama dengan Universitas California, San Francisco
dan sekolah kedokteran di Surabaya, yang kemudian diresmikan menjadi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.2
2.1.2. Sejarah Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia
Setiap lembaga pendidikan kedokteran dan asosiasi dokter spesialis di Indonesia
mempunyai sejarahnya masing-masing. Sebagian besar program pelatihan kedokteran khusus
di Indonesia dimulai dengan magang dengan durasi pelatihan yang bervariasi. Misalnya di
Universitas Brawijaya, sejarah pelatihan dokter spesialis di RSSA Malang dimulai oleh Dr.
Gilbert Djohar, SpB mendapat kepercayaan dari universitas untuk melatih calon dokter bedah
dengan menerapkan konsep magang bagi dokter umum di bagian bedah RSSA Malang.
Dokter umum yang menyelesaikan magang ini kemudian diakui oleh Universitas
sebagai dokter bedah dan 5 orang kemudian dikirim untuk melanjutkan studi di universitas
yang lebih besar seperti Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro dan Universitas
Airlangga.3 Misalnya bidang keahlian lain adalah spesialis anak. . Pelatihan kedokteran
khusus bidang pediatri dimulai pada tahun 1933 oleh Dr. Mas Dayat Hidayat, lulusan
Inlandsch Arts dari STOVIA (1916) di NIAS (Nerdelands-Indische Artsen School) Surabaya
dan pada tahun 1934 oleh J.H. de Haas di Fakultas Kedokteran (Geneeskundige School) di
Jakarta. Pendidikan pertama yang ditawarkan saat ini adalah magang selama dua tahun. ⁴
2.2. Ilmu kedokteran konvensional di Indonesia
Pengobatan konvensional, juga dikenal sebagai biomedis5, merupakan kerangka teori umum
bagi sebagian besar ilmu dan teknologi kesehatan yang dilakukan di dunia akademis dan
pemerintahan. Di antara berbagai perspektif mengenai biomedis, ada tiga ciri dasar yang
menonjol dalam pendekatan mereka terhadap penyelidikan penyakit. Pertama, bidang
penyakit dan penyebabnya terbatas pada fenomena biologis, kimia, dan fisik. Kedua,
fokusnya pada riset dan teknologi.6 Ketiga, ia menganut “reduksionisme”, khususnya prinsip
filosofis dan metodologis bahwa fenomena adalah hubungan antara fenomena fundamental
lainnya. Pelayanan kesehatan tradisional adalah sistem kesehatan, seperti mengobati gejala
dengan obat-obatan, pembedahan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya. 7 Zaman
pengobatan modern dimulai dengan ditemukannya penyakit yang disebabkan oleh bakteri
yang ditemukan oleh Heinrich Hermann Robert Koch pada tahun 1880, yang mengarah pada
penemuan antibiotik pada abad ke-20. Antibiotik golongan pertama yang ditemukan adalah
golongan sulfa, yang merupakan turunan dari anilin. Keberhasilan penggunaan antibiotik
untuk mengobati penyakit menular di masyarakat Barat dimulai dari industri farmasi.
Pengobatan berbasis bukti adalah pengobatan yang menggunakan metode bedah yang
efektif dan menggunakan metode ilmiah serta pengetahuan ilmiah modern dan global.8
Genetika kini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ilmu kedokteran. Bermula dari
penemuan gen penyebab berbagai penyakit akibat kelainan genetik, yang dilanjutkan
dengan pengembangan teknik biologi molekuler. Pengobatan konvensional di Indonesia
mengacu pada praktik medis berdasarkan metode ilmiah dan penggunaan metode medis
konvensional untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit. Hal ini termasuk mendiagnosis
dan mengobati penyakit dengan obat-obatan, pembedahan, terapi fisik, dan terapi lain yang
didukung oleh bukti ilmiah. 8 Di Indonesia, praktik medis rutin diatur oleh Kementerian
Kesehatan Masyarakat, dan Indonesia diawasi dan dikelola melalui Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
Badan Pengawasan Obat (BPOM) dan Badan Pengawasan Kesehatan Masyarakat
(BPKM). Dokter yang ingin berpraktik harus memiliki izin dan sertifikat yang dikeluarkan
oleh fasilitas ini. Sistem kesehatan Indonesia juga memiliki rumah sakit dan fasilitas
kesehatan lainnya yang menyediakan layanan medis rutin. Selain itu, terdapat sejumlah
universitas dan lembaga pendidikan yang menawarkan program pelatihan kedokteran yang
bertujuan untuk melatih tenaga medis yang berkualitas dan terlatih. Namun, meskipun
pengobatan konvensional memiliki banyak manfaat dan dapat menyembuhkan banyak
penyakit, sebagian orang mungkin mencari pengobatan alternatif dan terapi lain yang
berbeda dengan metode konvensional. Oleh karena itu, ada pula metode pengobatan alternatif
atau komplementer yang ditawarkan di Indonesia, seperti pengobatan herbal tradisional,
akupunktur, dan terapi lainnya.
Masyarakat saat ini memandang profesi medis dengan cara yang kontradiktif. Di satu
sisi mereka memuji kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, yang mampu
menyehatkan jiwa banyak orang, atau setidaknya mengurangi rasa sakit, namun di sisi lain,
mereka tidak menyukai tindakan dokter bahkan menggugat mereka. . karena kegagalan,
kurangnya empati, kesombongan dan materialisme. Masyarakat menilai dokter sudah tidak
lagi bermoral dan beretika. Hal ini merupakan tantangan yang dihadapi para dokter di dunia
saat ini, dimana masyarakat memiliki akses informasi yang luas dan masyarakat mudah
mempercayai informasi yang belum tentu benar.8
2.3 . Ilmu Kedokteran Tradisional di Indonesia
Dalam bidang pelayanan kesehatan, kita mengenal adanya pelayanan pengobatan
tradisional selain pelayanan pengobatan konvensional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
telah mengakui layanan kesehatan tradisional untuk mendukung Strategi Kesehatannya 2014-
20237, yang bertujuan untuk meningkatkan integrasi layanan kesehatan tradisional ke dalam
kebijakan nasional, kesehatan dan keselamatan, keamanan, efisiensi dan kualitas layanan
kesehatan tradisional, serta ketersediaan dan biaya pelayanan serta peningkatan metode
pengobatan tradisional yang terjangkau, peningkatan mutu kesehatan secara umum. 9
Pelayanan pengobatan tradisional diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Republik
Indonesia No.36 Tahun 2009, khususnya Pasal 1 , 48, 59, 60. dan 61.
10 Ayat 16 Pasal 1 sebagai berikut: “Pelayanan kesehatan tradisional adalah
pengobatan dan/atau perawatan dengan menggunakan cara dan obat-obatan berdasarkan
pengalaman dan keterampilan yang diwariskan, yang dapat diperhitungkan dan diterapkan
menurut standar yang berlaku di masyarakat. » Pasal 48 juga dengan jelas menyebutkan
bahwa pelayanan kesehatan tradisional adalah usaha untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
Pasal 59 mengatur, pelayanan pengobatan tradisional dibagi menjadi dua jenis, yaitu
pelayanan pengobatan tradisional dan pelayanan pengobatan herbal tradisional. Kebijakan
Kementerian Kesehatan RI, pengawasan dan pengendalian pelayanan pengobatan tradisional
dilakukan melalui 3 (tiga) pilar, yaitu: Peraturan dan ketentuan penunjang hukum pelayanan
pengobatan tradisional di Republik Indonesia Undang-undang No. 36 Tahun 2009. Pilar
kedua mendorong kemitraan dengan berbagai organisasi profesi (federasi) dan praktisi
tradisional terkait dan pilar ketiga adalah pemanfaatan Pusat Pengembangan dan Penerapan
Penggunaan Obat Tradisional (P3T) untuk meneliti metode pelayanan kesehatan tradisional
di masyarakat. masyarakat. dan memberikan bukti, melalui penelitian, studi dan uji klinis,
tentang metode tersebut serta kegunaan dan keamanannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran11, ilmu kedokteran di Indonesia terbagi menjadi empat pilar, yaitu biomedis,
klinis, kesehatan masyarakat, dan bioetika medik humaniora. Keempat pilar ini akan tercakup
dalam layanan kesehatan konvensional dan tradisional, namun bioetika dan humaniora medis
merupakan kesamaan yang paling mencolok. Faktanya, layanan medis konvensional lebih
fokus pada metode intervensi dalam menangani patologi pasien, sedangkan layanan medis
tradisional lebih fokus pada interaksi pasien dan penyedia layanan kesehatan untuk
meningkatkan kepercayaan diri dalam menangani kondisi medis pasien.
Pelayanan kesehatan tidak terlepas dari konsep kedokteran berbasis bukti yang
mengutamakan standar produk/pengobatan pasien yang diakui berdasarkan hasil penelitian
pada tingkat tertentu. Sementara itu, pada layanan kesehatan tradisional, produk dirancang
berdasarkan kebutuhan umum petugas kesehatan tradisional dan pelanggan serta disesuaikan
dengan kebutuhan pelanggan.12
Di Atas Faktanya, dokter harus memberikan umpan balik yang terintegrasi terhadap
layanan kesehatan tradisional. Hal ini dikarenakan adanya keselarasan antara pelayanan
pengobatan tradisional dengan tujuan pencegahan dan promosi dokter di masyarakat. Selain
itu, para dokter juga harus memahami bahwa pelayanan pengobatan tradisional merupakan
salah satu ciri budaya lokal dan intelektual masyarakat yang perlu dilestarikan, apalagi
masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari permasalahan budaya dalam berbagai aspek
kehidupan. Apabila terdapat kombinasi pelayanan medis konvensional dan tradisional, maka
dokter harus mempertimbangkan beberapa pertimbangan yang menjadi pedoman dalam
menentukan apakah pelayanan medis konvensional tersebut etis atau tidak.
Dokter harus menolak dengan tegas jika pada kenyataannya pelayanan kesehatan
tradisional beroperasi sebagai berikut:
1) Apabila pelayanan kesehatan tradisional menganggap pengobatannya adalah yang
terbaik bagi pasiennya padahal penyakitnya mempunyai rujukan dan terbukti
obatnya secara nasional dan internasional, sesuai pedoman Pelayanan Kesehatan
Jaminan Kesehatan Nasional (PNPK) atau pedoman praktek klinik (PPK), dan
disponsori oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
2) Jika layanan kesehatan umum menganggap pengobatannya adalah yang terbaik
bagi pasien dalam keadaan darurat, maka pasien tersebut perlu ditangani dengan
baik oleh dokter sesuai dengan masa emasnya, misalnya dalam kasus SKA.
3) Jika layanan kesehatan tradisional memerlukan intervensi di luar lingkup
praktiknya. misalnya, staf medis tradisional memberi perintah dan menafsirkan
sendiri hasil radiologi.
4) Apabila pelayanan kesehatan tradisional memberikan pengobatan konvensional
yang diluar kemampuannya. Misalnya dalam penggunaan obat keras,
psikotropika, dan narkotika di luar resep dokter.
5) Apakah pelayanan kesehatan tradisional menyediakan tanaman obat yang
dipadukan dengan bahan kimia obat (BKO). 9
6) Jika suatu pelayanan kesehatan tradisional bertujuan untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi pasien secara ekonomi
tanpa bukti yang jelas mengenai efektivitas pengobatan.
7) Apabila kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional
tidak sesuai dengan kewenangan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103
Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Nasional.13,14
Sebenarnya pelayanan kesehatan tradisional yaitu pelayanan kesehatan tradisional
penyedia tidak melakukan pelanggaran seperti yang dijelaskan di atas. , dokter harus bisa
menerima dan memahami. Praktisi dan layanan kesehatan tradisional harus bekerja sama
dalam pengawasan, pendidikan, konsultasi dan penelitian. Proses pengawasan merupakan
kegiatan tradisional pelayanan kesehatan yang harus tetap berada dalam batas
kewenangannya dan tidak mengajukan permintaan yang di luar kompetensi. Proses
pendidikan merupakan pelatihan agar pada saat dilaksanakan pelayanan kesehatan tradisional
berjalan sesuai standar dan tidak merugikan pasien. Proses konsultasi merupakan proses
konsultasi yang mudah dilakukan oleh dokter tradisional dengan dokter jika ditemukan kasus
yang ambigu. Terakhir, ada proses ilmiahisasi metode pelayanan medis tradisional untuk
menunjukkan pengobatan berbasis bukti.15

DAFTAR PUSTAKA

1. Lubis, P., Sejarah Kedokteran di Indonesia. [internet], 2008


2. Kebudayaan Kemdikbud.go.id. [Internet], 2021
3. Program Pendidikan Dokter Spesialis dan Subspesialis Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya [Internet]. Sejarah [cited 2023 Feb 19]. Available from:
http://ppds.fk.ub.ac.id/profil/sejarah
4. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia [Internet]. Sejarah Pendidikan Dokter Spesialis
Anak di Indonesia [cited 2023 Feb 19]. Available from: https://kikai.id/sejarah-pendidikan-
dokter-spesialis-anak-di-indonesia/
5. National Cancer Institute. Conventional Medicine.
https://www.cancer.gov/publications/dictionaries/cancer-terms/def/conventionalmedicine.
Diakses pada 18 Februari 2023
6. Valles, Sean. "Philosophy of Biomedicine", The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Summer 2020 Edition). Edward N. Zalta (ed.)
https://plato.stanford.edu/archives/sum2020/entries/biomedicine/. Diakses pada 18 Februari
2023
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2017 tentang
Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi .
8. Wardhana, M. 2016. Filsafat Kedokteran. Vainkuntha International Publication.
9. World Health Organization. WHO traditional medicine strategy: 2014-2023. Hong Kong:
WHO Press; 2013.
10. Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
11. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
12. Siswanto. Pengembangan kesehatan tradisional Indonesia: konsep, strategi, dan
tantangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan. 2017; 1(1): 17- 31.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Tradisional Komplementer
15. Purwadianto A, Soetedjo, Sjamsuhidajat R. Sikap Etik Dokter Terhadap Pelayanan
Kesehatan Tradisional. JEKI. 2019;3(1):17–22. 28

Anda mungkin juga menyukai