Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326225970

Persoalan Kemiskinan Dan Bencana Alam

Article · July 2018

CITATIONS READS
0 2,854

1 author:

Rusdi Anto
Pusat Studi Perencanaan dan Pembangunan Masyarakat
41 PUBLICATIONS 3 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rusdi Anto on 06 July 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Persoalan Kemiskinan Dan Bencana Alam

Kemiskinan telah menjadi masalah yang dibicarakan secara global, hal ini dapat dilihat dari
berbagai tulisan seperti; Levinsohn (1999), Suharyadi (2000), dan banyak peneliti lainnya yang
menyoroti masalah kemiskinan. Berbagai isu yang menyangkut masalah kemiskinan
disampaikan, mulai dari sebab-sebab kemiskinan, perangkap kemiskinan, kondisi sosial,
pendidikan, kesehatan masyarakat miskin, sampai kepada strategi penanggulangan kemiskinan.
Pembangunan berkelanjutan mensyarakatkan tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat
dunia sebagaimana isi dari Millinium Development Goals (MDGs).

Keberhasilan suatu program, termasuk program penangggulangan kemiskinan, paling tidak bergantung pada
tiga elemen pokok, yaitu : (1) Pemahaman tentang seluk beluk kelompok sasaran dan wilayah sasaran yang hendak
dituju oleh program. (2) Kesesuaian antara tujuan program dengan hakekat permasalahan yang dihadapi oleh
kelompok miskin (kelompok sasaran). (3) Pemilihan instrumen atau paket program yang paling sesuai serta
ketersediaan prasarana dan sarana penunjang.

Meskipun demikian, ketiga elemen ini belum menjamin berhasilnya suatu program, melainkan baru
merupakan syarat perlu (necessary condition). Untuk benar-benar menjamin keberhasilan program, masih
diperlukan berbagai persyaratan lain, yaitu; (1) kapabilitas sistem organisasi pelaksana. (2) sistim informasi, dan
latar belakang sosial, budaya serta politik yang melingkupinya.

Konsepsi Teoritis: Pendapatan dan Konsumsi

Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan yang sedang giat-giatnya dilaksanakan oleh Negara-negara yang
sedang berkembang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan riel per kapita, pendapatan ini pada umumnya masih
rendah. Gejala umum yang sering terjadi dalam proses pembangunan di Negara-negara berkembang adalah hasrat
konsumsi dari masyarakat yang tinggi sebagai akibat dari kenaikan pendapatan. Sedangkan konsumsi adalah
kegiatan manusia menggunakan atau memakai barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. Mutu dan jumlah
barang atau jasa dapat mencerminkan kemakmuran konsumen tersebut. Semakin tinggi mutu dan semakin banyak
jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin tinggi pula tingkat kemakmuran konsumen yang
bersangkutan, sebaliknya semakin rendah mutu kualitas dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti
semakin rendah pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan (Nurhadi: 2000)

Menurut Dornbusch dan Fisher (1994) terdapat hubungan yang erat dalam praktek antara pengeluaran
konsumsi dan pendapatan disposibel. Lebih lanjut Dornbusch melihat bahwa individu merencanakan konsumsi dan
tabungan mereka untuk jangka panjang dengan tujuan mengalokasikan konsumsi mereka dengan cara terbaik yang
mungkin selama hidup mereka. Lebih lanjut Dumairy (1996) menyebutkan konsumsi berbanding lurus dengan
pendapatan. Dalam teori makro ekonomi dikenal berbagai variasi model fungsi konsumsi.

John Maynard Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat tergantung pada (berbanding
lurus) dengan tingkat pendapatannya. James S. Duesenberry mengusulkan model lain. Berkaitan dengan
hipotesisnya tentang pendapatan relatif, ia berpendapat bahwa tingkat pendapatan yang mempengaruhi pengeluaran
konsumsi masyarakat bukan tingkat pendapatan efektif, maksudnya pendapatan rutin yang efektif diterima, tapi oleh
tingkat pendapatan relatif (Dumairy, 1996).
Jika ditelusuri, ada dua paradigma dan pendekatan utama yang digunakan selama ini dalam
memandang kemiskinan, yaitu paradigma modernisasi (modernization paradigm) yang dimotori
oleh Bank Dunia dan paradigma pembangunan populis (popular development paradigm) yang
dikembangkan oleh UNDP. Paradigma yang disebut pertama bersandar pada teori-teori
pertumbuhan neoklasik (orthodox neoclassical economics) dan teori yang berpusat pada
produksi (production-centred theory), sedangkan paradigma yang disebut terakhir memadukan
konsep pemenuhan kebutuhan dasar (basic need approach) dari Paul Streeten dan teori
kapabilitas yang dikembangkan oleh Amartya.
Pendekatan UNDP lebih menekankan pada pendekatan pembangunan manusia (human
development approach) yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index).
Dibandingkan dengan pendekatan yang digunakan Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih
komprehensif karena mencakup bukan saja dimensi ekonomi (pendapatan), melainkan pula
pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka harapan hidup).

Kemiskinan

Miskin adalah suatu keadaan seseorang yang mengalami kekurangan atau tidak mampu
memenuhi tingkat hidup yang paling rendah serta tidak mampu mencapai tingkat minimal dari
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan tersebut dapat berupa konsumsi, kebebasan, hak
mendapatkan sesuatu, menikmati hidup dan lain-lain (Husen, 1993). Sekurang-kurangnya ada
dua pendekatan untuk memberikan pengertian tentang kemiskinan. Pertama adalah pendekatan
absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan fisik minimum, tolok ukur yang dipakai
adalah kebutuhan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang atau keluarga agar dapat
melangsungkan hidupnya pada taraf yang layak. Pendekatan keduaadalah pendekatan relatif
dimana kemiskinan ditentukan berdasarkan taraf hidupnya relatif dalam masyarakat (Suparlan,
1984).
Pendapat lain menyebutkan bahwa kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif
dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang
lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah
mapan,dll. (www.wikipedia.kemiskinan.com)

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:


 Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-
hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami
sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
 Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini
termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan,
karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang
ekonomi.
 Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di
seluruh dunia.

Menurut BPS (2007), keluarga yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi
tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang layak bagi kemanusiaan dengan ciri-ciri atau
kriteria sebagai berikut :
a. Pembelanjaan rendah atau berada di bawah garis kemiskinan, yaitu kurang dari Rp.175.324
untuk masyarakat perkotaan, dan Rp.131.256 untuk masyarakat pedesaan per orang per bulan
di luar kebutuhan non pangan;
b. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah dan tidak ada keterampilan;
c. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK;
d. Pemilikan harta sangat terbatas jumlah atau nilainya;
e. Hubungan sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan; dan
f. Akses informasi (koran, radio, televisi, dan internet) terbatas.

Menurut Sajogyo (1977), garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum rumah tangga
adalah senilai 2.140 kg beras setiap orang per tahun di pedesaan dan 360 kg beras setiap orang
per-tahun di daerah kota. Penetapan garis kemiskinan ini yang setara dengan nilai beras
dimaksudkan ini untuk dapat membandingkan tingkat hidup antar waktu dan perbedaan harga
kebutuhan pokok antar wilayah. Pendapat Sajogyo ini pada masa berikutnya mendapat kritikan
dari Both dan Sundrum, karena dalam kenyataannya beras tidak merupakan bahan kebutuhan
pokok penduduk pedesaan yang miskin terutama di Pulau Jawa.
Selain itu, taksiran Sajogyo masih mengundang kritik karena digunakannya data konsumsi
rumah tangga dan mengalihkannya menjadi data dalam arti per kapita, yaitu dengan membaginya
dengan ukuran rumah tangga rata-rata di setiap daerah. Di sini dianggap ukuran rumah tangga
dalam setiap kelompok pengeluaran masyarakat adalah sama sedangkan pada kenyataannya tidak
demikian (Suparta, 1997).
Dalam literatur studi kemiskinan didokumentasikan bahwa ukuran garis kemiskinan
berdasarkan kemampuan pengeluaran per kapita untuk memenuhi suatu tingkat minimum
kebutuhan kalori mula-mula dikemukakan oleh Den Daker dan Rath pada tahun 1971 dalam
studi mereka di India. Ukuran garis kemiskinan ini kemudian diterapkan di Indonesia oleh BPS
(Arief, 1993).
Di Indonesia untuk pertama kali BPS (tahun 1984) menetapkan garis kemiskinan
berdasarkan nilai makanan dalam rupiah setara dengan 2.100 kalori per orang setiap hari
ditambah dengan kebutuhan non pangan yang utama seperti sandang, pangan, transportasi, dan
pendidikan. Secara garis besar ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang
berpendapat bahwa kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang
kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses,
kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber
daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya. Dengan demikian, kemiskinan dapat
dipandang pula sebagai salah satu akibat dari kegagalan kelembagaan pasar dalam
mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara adil kepada seluruh anggota masyarakat.
Paham ini mengemukakan konsep tentang kemiskinan nisbi atau sering pula dikenal sebagai
kemiskinan struktural. Di dalam konsep kemiskinan nisbi dinyatakan bahwa garis kemiskinan
berubah-ubah menurut kondisi perekonomian yang bersangkutan.
Pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat
melahirkan konsep kemiskinan mutlak. Dalam kemiskinan mutlak, suatu perekonomian
mempunyai patokan garis kemiskinan yang tetap sepanjang waktu. Misalkan garis kemiskinan
suatu perekonomian dinyatakan konsumsi kalori, yaitu 2.100 kalori per hari. Jika nilai tersebut
dianggap konstan sepanjang waktu, maka kemiskinan yang terjadi di perekonomian tersebut
adalah kemiskinan mutlak.
Tolok ukur kemiskinan dari BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)
dikategorikan ke dalam kelompok Pra KS 1 (Pra Keluarga Sejahtera Tahap Pertama) disebut
miskin, bila lima indikator di bawah ini tidak dipenuhi oleh keluarga tersebut, yakni :
a. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama;
b. Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih;
c. Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, belanja/sekolah, dan
bepergian;
d. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah; dan
e. Anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke sarana kesehatan.

Departemen Sosial menetapkan bahwa seseorang individu berada di bawah Garis Fakir
Miskin (GFM) apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok minimal, yaitu sejumlah rupiah
untuk membayar makanan setara 2.100 kkal sehari ditambah nilai sewa rumah dan nilai satu stel
pakaian. Batas miskin untuk makanan ditambah pengeluaran minimum untuk pemenuhan
kebutuhan bukan makanan itulah yang disebut Garis Kemiskinan.

Program Penanggulangan kemiskinan

Di Indonesia, sejak tiga dekade lampau berbagai program pengetasan kemiskinan telah di
lakukan, namun permasalahan kemiskinan slelalu tidak mudah di selesaikan. Aspek sosial dan
budaya sangat berpengaruh terhadap penekanan jumlah kemiskinan. Berbagai program-program
penanggulangan kemiskinan diantaranya mulai dari program Instruksi Presiden (INPRES),
Bimbingan Massal (BIMAS), Kredit Pedesaan, Koperasi Unit Desa (KUD), Kredit Usaha Kecil
(KUK), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
(P3DT), Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K), Kredit Usaha untuk
Peningkatan Kesejahteraan Keluarga (KUKESRA) dan Tabungan untuk Peningkatan
Kesejahteraan Keluarga (TAKESRA), Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah
(PMTAS), Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA), Kelompok Usaha Bersama (KUB),
Program Pembangunan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
(P2KP), termasuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) selama krisis ekonomi, hingga Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang merupakan integrasi dua program
sebelumnya, yaitu PPK dan P2KP.
Meski program-program tersebut mampu mengurangi jumlah penduduk miskin, namun
belum sepenuhnya menyentuh akar penyebab kemiskinan. Penyebabnya, pendekatan yang
digunakan bersifat parsial, terpusat, sektoral, dan charity. Akibatnya, program-program tersebut
tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat, sehingga sulit mewujudkan aspek
keberlanjutan dari program-program penanggulangan kemiskinan tersebut. Sinyalemen ini
setidaknya diungkapkan kembali oleh Mendagri pada pencanangan Gerbangmastaskin di
Banjarmasin. (Kompas, Jumat 16/03/2007).
Solusi parsial dan short-term, berupa pemberiaan subsidi langsung seperti Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan Beras untuk Orang Miskin (Raskin) juga tidak bisa sepenuhnya di
andalkan. Meski subsidi ini sanggup menolong orang miskin, namun strategi ini dianggap pula
bukan pilihan yang tepat, setidaknya dalam jangka panjang, karena sifatnya yangcharity. Belum
lagi sejumlah masalah yang menyertainya, seperti ketidak-akurasian data, tidak tepat sasaran,
terjadi kebocoran, mahalnya biaya operasional, dan sebagainya. Kelemahan pendekatan di atas
menuntut perlunya perubahan fokus pengkajian kemiskinan, khususnya menyangkut kerangka
konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan.
Paradigma baru tidak lagi melihat orang miskin sebagai orang yang serba tidak memiliki,
melainkan orang yang memiliki potensi (sekecil apa pun potensi itu), yang dapat digunakan
dalam mengatasi kemiskinannya. Paradigma baru lebih menekankan pada “apa yang dimiliki
orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin”. Potensi orang miskin tersebut
bisa berbentuk aset perseorangan dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping
strategies) yang telah dijalankannya secara lokal.
Mengenai paradigma yang baru yaitu: “apa yang dimiliki orang miskin” ketimbang “apa
yang tidak dimiliki orang miskin”, bisa menjadi salah satu alternatif paling rasional sekaligus
sangat proposional di lakukan dimanapun di seluruh wilayah Indoneisa. Karena ketika
masyakarat berada dalam ketertidak berdayaan secara ekonomi ini bukan berarti masyarakat
tersebut membutuhkan uluran donasi semata untuk mengeluarkan mereka dari lingkaran
kemiskinan. Melainkan mereka memiliki potensi-potensi juga untuk mengatasinya, terkadang
mereka tidak mengetahui bagaimananya menyatukan potensi tersebut dan kemudian
menerapkannya. Sebagaimana contoh di Aceh, kaitan kemiskinan pasca Tsunami masyarakat
Aceh yang sebelumnya tergabung dalam militer GAM, mereka pada umumnya adalah korban
kekerasan akibat salah penanganan pemerintah pusat yang harus menerima kehilangan banyak
hal, termasuk mata pencarian ekonomi. Setelah GAM berdamai dengan pemerintah, kemudian
anggota GAM mendapatkan kompensasi baik berupa cara hidup bertani baru, baik itu juga cara-
cara berwira swasta. Demikian pula penanggulangan kemiskinan kaitannya dengan pasca
bencana Tsunami.
Masyarakat Aceh ketika mereka masih memiliki apa saja yang mereka mikili, berupaya
untuk keluar dari keterpurukan bencarna alam. Potensi itu bisa berupa masyarakat Aceh yang
mayoritas memeluk Agama Islam, memiliki sumber alamnya melimpah, kondisi alam yang baik,
memiliki pendidikan, solidaritas, dan lain sebagainya. Maka kemudian di bangunlah
pembangunan yang melibatkan masyarakat yang erat kaitannya dengan kemampuan potensi yang
di miliki masyarakat setempat. Sehingga kemudianpun penanganan kemiskinan tidak lagi
menjadi ketergantungan pada yang lainnya.

Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang perlu
dipertimbangkan.
1. kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya dari karakteristik si miskin secara statis,
melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam
merespons kemiskinannya.
2. Indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator
komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga.
3. Konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap daripada 8
konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan.
4. pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key
indicators yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencarian
(livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola aset
(asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam
kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi
guncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses).

Kemiskinan Akibat Kehilangan Materi Ketika Tsunami

Tsunami yang terjadi pada tahun 2004 menyebabkan kerusakan fisik yang sangat besar di
sepanjang wilayah pantai. Hapir semua wilayah di pinggir-pinggir pantai di sapu bersih oleh air,
terutama desa-desa yang berbatassan langsung dengan pinggir pantai. Menurut BRR (Badan
Rekonstruksi & Reabilitasi) Tsunami telah mengakibatkan di Aceh, 130.000 orang dipastikan
meninggal dan 37.000 orang masih hilang. (total kerugian jiwa 167,000 orang). Sekitar 500.000
orang lainnya kehilangan tempat tinggal akibat bencana tersebut (BRR, 2006). Kerusakan dan
kerugian diperkirakan mencapai 4,8 milyar dolar AS. Sektor produktif saja menderita kerusakan
yang diperkirakan mencapai 1,2 milyar dolar AS, dengan lebih dari 100.000 usaha kecil hancur
dan lebih dari 60.000 petani paling tidak harus mengungsi untuk sementara.

Kemiskinan dan Kepentingan

Berlimpahnya sumber daya alam di Aceh tidak menyebabkan angka pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi atau tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Pada kenyataannya perputaran ekonomi
lebih tinggi di propinsi tentangganya Aceh yaitu Sumatra Utara (Medan), hal inilah yang sangat
fundamental dalam pertumbuhan ekonomi Aceh. Sistematisnya ketergantungan Aceh kepada
Medan sampai sekarang belum ada penguraiannya agar Aceh semakin mandiri. Berbagai upaya
yang di usahakan di Aceh untuk pertubuhan ekonomi, misalnya yang sangat mendasar adalah
keinginan membuka dermaga pelabuhan berstatus international selalu mendapat ganjalan oleh
elit di pusat di jakarta dan pengusaha di Medan, yang sulit menerima. Alasan utama kelompok
yang menginginkan Aceh agar selalu tergantun ekonominya pada pihak lain, yaitu: kestabilan
keamanan nasional selalu di kaitkan jika pelabuhan international di buka. Kepentingan politis elit
Jakarta dan pelaku pengusaha di Medan sangat kuat untuk menguasai ekonomi Aceh.
Para pengusaha di Medan termasuk mereka dari golongan keturunan China, sangat besar
mendapat keuntungan dari kondisi ini dimana kebutuhan Aceh sangatlah tergantung kepada
mereka. Demikian pula sumber alam Aceh yang akan di ekspor sangatlah tergantung pada
Pengusaha Medan, karena barang-barang hasil bumi ketika akan di keluarkan dari Aceh harus
melewati mereka, karena di Aceh sendiri tidak memilik pelabuhan international. Jika diamati
dari kesiapan pelabuhan yang ada di beberapa titik di Aceh tidak memiliki kendala untuk di
jadikan pelabuhan International, dengan kata lain dari segi infrastruktur sudah lama siap tidak
memiliki kendala. Selain faktor bencana alam, inilah juga salah satu penyebab kemiskinan di
Aceh selalu bertahan.

Daftar pustaka

Agussalim, Pengentasan Kemiskinan: Sebuah Proposal Baru Untuk Aceh,disampaikan pada “konferensi
internasional pembangunan Aceh ke-2” pada tanggal 29-30 desember 2007, di lhoksumawe, nanggroe
aceh darussalam.
Evans Hugh, Laporan Pembangunan Manusia Aceh 2010, Pembangunan Manusia dan Pemberdayaan
Masyarakat, (United Nations Development Programme UNDP Indonesia) 2010.
Umanailo, M. (2018). Chairul Basrun. 2018. Perubahan Sosial di Indonesia.
Umanailo, M. C. B. (2017). Adakah Ukuran Kemiskinan Buat Masyarakat Di Kabupaten Buru?.
Umanailo, M. C. B. (2017). Eksistensi Waranggana Dalam Ritual Tayub.
Umanailo, M. C. B. (2017). KAJIAN DAN ANALISIS SOSIOLOGI. Open Science Framework.
December, 11.
Umanailo, M. C. B. (2017). Keterbatasan Penggunaan Teknologi Informasi Pada Pelayanan Dan
Pembelajaran Di Universitas Iqra Buru.
Umanailo, M. C. B. (2017). Keterlekatan Petani Dan Transaksi Non Tunai Dalam Pemasaran Hasil
Pertanian.
Umanailo, M. C. B. (2017). MARGINALISASI BURUH TANI AKIBAT ALIH FUNGSI LAHAN. Open
Science Framework. December, 11.
Umanailo, M. C. B. (2017). MASYARAKAT BURU DALAM PERSPEKTIF KONTEMPORER. Open
Science Framework. December, 10.
Umanailo, M. C. B. (2017). Mereduksi Multi Partai Untuk Kestabilan Pembangunan Nasional.
Umanailo, M. C. B. (2017). Penciptaan Sumberdaya Manusia Yang Berkarakter.
Umanailo, M. C. B. (2018). Desa Sebagai Poros Pembangunan Daerah.
Umanailo, M. C. B. (2018). Kalesang Desa Dalam Konteks Membangun Dari Desa.
Umanailo, M. C. B. (2018). Konsumerisme Menuju Konstruksi Masyarakat Modern.
Umanailo, M. C. B. MENCERMATI FENOMENA KEMISKINAN PADA MASYARAKAT PULAU BURU.
Umanailo, M. C. B. MODERNISASI PEDESAAN.
Umanailo, M. C. B. PITRAH: TRADISI DAN KETERLEKATAN AGAMA PADA MASYARAKAT JAWA.
Umanailo, M. C. B. POLA INTERAKSI ANTAR MAHASISWA PENDIDIKAN JARAK JAUH.
Umanailo, M. C. B. Riwayat Singkat Bourdieu.
Umanailo, M. C. B., & Si, M. TEKNIK PRAKTIS GROUNDED THEORY DALAM PENELITIAN
KUALITATIF.
Umanailo, M. C. B., Hentihu, I., Nawawi, M., Bula, M., Hamid, I., Ningkeula, E. S., ... & Jumu, L. (2018).
Naskah Akademik Pedoman Teknis Peraturan Desa.
Umanailo, M. C. B., Hentihu, I., Nawawi, M., Bula, M., Hamid, I., Ningkeula, E. S., ... & Jumu, L. (2018).
Naskah Akademik Pedoman Teknis Peraturan Desa.
Umanailo, M. C. B., Sos, S., & Si, M. (2018). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Open Science Framework.
March, 17.
Umanailo, M. C. B., Sos, S., & Si, M. PROSES MODERNISASI DAN PERGESERAN OKUPASI.
Umanailo, M. C., Hentihu, I., Nawawi, M., Bula, M., Hamid, I., Ningkeula, E. S., & Umanailo, R. La Jumu
2018.“. NASKAH AKADEMIK PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN
BERKELANJUTAN”. LawArXiv. February, 28.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai