Seva Nur Rizqi - Bahasa Indonesia
Seva Nur Rizqi - Bahasa Indonesia
NIM : 22/503300/TP/13582
Diadaptasi dari Republika, Jumat, 22 Februari 2016, hlm 15, klm 1-2
Mati Angin
Pasti tidak semua orang dapat secara langsung (mengerti/memahami/menerjemahkan)
makna mati angin seperti yang telah (dimuat/ditulis/diterbitkan) harian ini pada 1 November
2003: “Barthez memang pahlawan Perancis. Aksi-aksi heroiknya tidak saja membuat gawang
Les Bleus selamat dari (gempuran/hantaman/serangan) Brazil, melainkan juga membuat pemain-
pemain terbaik Samba seperti Ronaldo dan Rivaldo putus asa, benar-benar mati angin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III, mati angin memiliki dua makna: “tidak
ada angin sama sekali’ (harfiah) dan ‘tidak berdaya lagi’ (kiasan). Yang (cocok/persis/pas/sesuai)
untuk konteks kalimat itu adalah makna kedua. Mati angin yang digunakan si penulis terasa
(menyuguhkan/menyajikan/menghidangkan) suasana (segar/ sejuk/tenang) karena, kalau tidak,
yang dipilihnya mungkin tidak berdaya atau ungkapan lain yang sudah (umum/biasa/lazim), mati
kutu, sehingga pembaca akan langsung memahaminya.
Ada perbedaan yang cukup subtil antara mati kutu dan mati ingin. Kalau Ronaldo dan
Rivaldo dikatakan mati kutu, keduanya sudah tidak berdaya sama sekali, sudah kehabisan akal
(mengusahakan/membuat/mengupayakan) cara yang tepat untuk menggetarkan gawang Prancis
yang dikawal Barthez. Kalau pilihan katanya mati angin, hal itu berarti kedua pemain bintang itu
belum sepenuhnya kehabisan akal. Selama masih ada peluang, mereka tetap mencoba dan
mencoba lagi dengan taktik dan strategi yang baru untuk (menggolkan/menendang/-
menjaringkan) bola. Namun, segala usahanya itu selalu digagalkan Barthez.
Diadaptasi dari artikel Hasan Alwi, Kompas, Sabtu 3 Januari 2016, Hal. 12
PERILAKU PENGENDARA JAKARTA MAKIN PRIMITIF
Masalah (akut/laten/klasik) menghinggapi lalu lintas di Ibu Kota. Kemacetan yang terjadi
setiap hari (diperbesar/diperkacau/diperparah) oleh perilaku barbar para pengendaranya.
Sejumlah pengamat (menuding/menuntut/menuduh) kekacauan lalu lintas di Jakarta adalah
(cermin/simbol/perlambang) perilaku pemimpinnya yang selalu membuahkan
(keputusan/peraturan/kebijakan) tidak tepat. “(Tabiat/perilaku/sikap) pengendara, apa pun
kendaraannya, brutal dan primitif. Semuanya egois,” kata Tulus Abadi, Pengurus Harian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Lihat saja, tambah Tulus, sepeda motor yang (menerabas/melintasi/ memotong) trotoar
sampai melawan arus serta mobil pribadi yang diisi satu dua orang saja dan memenuhi semua
(badan/ bagian/ruas) jalan. Angkutan umum, demi mengatasi (meningkatnya/tingginya/kuatnya)
persaingan, berhenti di (setiap/semua/sembarang) tempat, ngetem, tanpa peduli kemacetan yang
(terjadi/ ada/menumpuk) di belakangnya. Mobil pribadi dan angkutan umum juga tanpa merasa
salah masuk ke (jalur/area/kawasan) bus transjakarta. Berkendara sambil (asyik/sibuk/terus)
menelepon, lanjut Tulus, biarpun di atas sepeda motor, (lazim/umum/biasa) dilakukan. Ancaman
kecelakaan sepertinya tak (terpikirkan/terhindarkan/terbayangkan). Rambu lalu lintas dianggap
angin lalu.
“Perilaku barbar bukan (semata-mata/murni/melulu) salah pengendara, tetapi karena tidak
ada regulasi yang (dibuat/dirancang/didesain) agar pengendara disiplin. Pemerintah juga selama
40 tahun terakhir tidak bisa (memenuhi/mengatasi/menyelesaikan) ketersediaan angkutan massal
yang baik,” kata Ketua Program Studi Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi
Muluk.
Hamdi dan Tulus yakin (pelebaran/peningkatan/penambahan) jalan tol bukan jalan keluar
bagi kekacauan lalu lintas. Mereka menuntut agar sistem transportasi massal segera
(dilaksanakan/ direalisasikan/diaplikasikan) seiring tindakan tegas oleh pemerintah bagi
pengendara nakal.