Anda di halaman 1dari 4

KEMACETAN LALULINTAS DI KOTA MEDAN - SERIUS

(Telah dimuat di Harian WASPADA, kolom OPINI halaman 4, Sabtu 13 November 2004
dan di Harian ANALISA, kolom OPINI halaman 18, Jumat 19 November 2004)
Oleh:
Dr. Ir. Richard Napitupulu, MT.
Ir. Filiyanti T.A. Bangun, Grad. Dipl. P.M., M.Eng.

Kemacetan lalulintas perkotaan sering menjadi topik seminar, dibicarakan, dikaji/diteliti


oleh berbagai pakar, bahkan sering menjadi obrolan masyarakat berbagai golongan di
segala tempat. Memang, kemacetan lalulintas di perkotaan tidak dapat dihindarkan,
namun seharusnya diminimalkan dan bukan dimaksimalkan (sengaja atau tidak),
seperti yang terlihat sekarang, yaitu terjadinya “ pemandangan yang indah ” atau
kontes “ pameran barisan berbagai jenis kendaraan yang sedang antri ” di setiap
ruas jalan di kota Medan. Bagaimana sebenarnya arahan kebijakan dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) Medan yang ada? Dan bagaimana hubungannya
dengan sistem transportasi perkotaan ?
Kemacetan lalulintas ( congestion ) di jalan terjadi karena ruas jalan tersebut sudah
mulai tidak mampu menerima/melewatkan luapan arus kendaraan yang datang secara
lancar. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh hambatan/gangguan samping ( side
friction ) yang tinggi, sehingga mengakibatkan penyempitan ruas jalan ( bottleneck ),
seperti: parkir di badan jalan ( on road parking ), berjualan/pasar di trotoar dan badan
jalan, pangkalan beca dan angkot, kegiatan sosial yang menggunakan badan jalan
(pesta atau kematian) dan pedestrian (berjalan di badan jalan dan menyeberang jalan).
Selain itu, kemacetan juga sering terjadi akibat manajemen persimpangan (dengan atau
tanpa lampu) yang kurang tepat, ditambah lagi tingginya aksesibilitas ke guna lahan (
land use ) di sekitar sisi jalan tersebut.
Kemacetan/tundaan lalulintas dan kecelakaan lalulintas yang cukup berbahaya juga
sering terjadi akibat perilaku angkutan umum kota (angkot) yang sering nyelonong dan
tiba-tiba berhenti di badan jalan untuk menaikkan/menurunkan penumpang dengan
alasan “kejar setoran”. Jadi dengan demikian, kemacetan lalulintas perkotaan terjadi
bukan saja karena rasio perkembangan prasarana jalan dengan pertambahan sarana
(kendaraan) yang tidak seimbang serta tingkat disiplin pengendara yang sangat rendah,
seperti yang selalu menjadi alasan/ kambing hitam berbagai pihak/oknum pemerintah
terkait.
Yang paling penting (mendesak) untuk program jangka pendek adalah pencapaian
efisiensi dan efektifitas sistem transportasi yakni berupa pengaturan lalulintas ( traffic
management ) yang tepat dan sesuai ( integrated ), seperti: pengaturan lokasi parkir,
fasilitas penyeberangan jalan, rambu, marka, setting lampu persimpangan, penentuan
arah ( one or two ways ) lalulintas , penentuan/pengaturan rute/jalur angkutan
umum ( bus lane, bus way, bus priority ) dan stopan bus ( bus bay, halte ).
Dampak dan kerugian materi akibat kemacetan lalulintas di Kota Medan
Maksud dan tujuan kebijakan manajemen lalulintas adalah mengatur pergerakan untuk
mendapatkan efisiensi dan efektifitas sistem, sesuai kebutuhan pergerakan. Pengaturan
didasarkan pada hirarkhi, fungsi dan klasifikasi masing-masing jalan, sedangkan
kebutuhan pergerakan sangat ditentukan oleh guna lahan ( land use ) dalam ruang kota
dan sekitar jalan yang dapat digambarkan dalam data Matriks Asal-Tujuan ( Origin-
Destination ) pergerakan.
Dampak dan kerugian materi yang langsung dirasakan akibat kemacetan lalulintas,
adalah: 1. bagi pelaku pergerakan ( users ), seperti: pemborosan bahan bakar minyak (
BBM ), penambahan waktu perjalanan ( travel time ) dan stress (sebagai pemicu
penyakit darah tinggi, jantung dsb), 2. bagi lingkungan sekitar jalan ( non-users ),
seperti: polusi (udara dan suara), kedatangan pengunjung ke fungsi lahan di sekitar
jalan semakin berkurang (parkir, pertokoan, restoran atau plaza), sehingga
memperkecil pendapatan fungsi lahan tersebut.
Sebagai gambaran tentang besar kerugian per hari yang harus ditanggung oleh
masyarakat pelaku pergerakan berdasarkan observasi, perhitungan dan analisis
penulis untuk Kota Medan, adalah sebagai berikut:
Lokasi kemacetan di Kota Medan lebih kurang sebanyak 60 ruas jalan (30 titik
persimpangan, dengan asumsi: 2 ruas jalan yang macet per simpang). Masing-masing
ruas jalan mempunyai volume lalulintas rata-rata 2500 smp/jam pada waktu sibuk (
peak hours ). Dalam 1 hari terjadi 4 jam waktu sibuk, sehingga pemborosan BBM
kendaraan rata-rata 0,5 ltr/smp/ruas jalan. Sementara harga BBM Rp. 1850/ltr, dan
tundaan rata-rata 15 menit/smp/perjalanan, dan nilai waktu ( value of time ) rata-rata
traveller Rp. 40.000,-/jam produktif (asumsi: 1 kenderaan berisi 1 orang). Jumlah
pengguna angkutan umum rata-rata selama 4 jam sibuk tersebut sebesar 120.000
penumpang dengan nilai waktu Rp.20.000,- per jam produktif kerja dan waktu tunggu
penumpang tertunda rata-rata 10 menit, maka kerugian angkutan akibat jumlah
penumpang berkurang (rit berkurang) dengan total armada 15.000 kendaraan (angkot
dan taksi) adalah Rp. 12.000,-/kend.
Pemborosan BBM yang terjadi = 2500 x 0,5 x 4 x 60 x Rp.1.850,- = Rp. 555.000.000,-.
Kerugian akibat waktu produktif = 2500 x 60 x 15/60 x Rp.40.000,- = Rp.
150.000.000,-. Kerugian akibat waktu tunggu tertunda = 120.000 x 10/60 x
Rp.20.000,- = Rp. 400.000.000,-. Kerugian operator angkutan umum = 15.000 x
Rp.12.000,- = Rp. 180.000.000,-. Total kerugian materi masyarakat pelaku pergerakan
( user ) adalah Rp. 1.285.000.000,- per hari (atau ± Rp. 36,00 milyar per bulan ),
ditambah lagi dengan beban stress yang harus diterima. Belum lagi besar kerugian
yang harus ditanggung oleh masyarakat non users (perlu dilakukan kajian yang lebih
kompleks dengan data yang lebih akurat). Jadi, semakin bertambah jumlah lokasi dan
tingkat kemacetannya, maka semakin besar kerugian yang harus diterima masyarakat
pelaku pergerakan ( users ) dan non users.
Dengan demikian, kemacetan lalulintas perkotaan tidak pantas hanya merupakan bahan
“ obrolan ” masyarakat saja, melainkan sudah harus menjadi perhatian yang serius
bagi semua lapisan masyarakat pengguna jalan, khususnya bagi pembuat kebijakan (
Pemko dan DPRD ), pengawas hukum ( Polisi , DLLAJ ), peneliti/perencana
transportasi dan pengembangan wilayah kota.
Pasca penerapan paket kebijakan penentuan arah pergerakan lalulintas dari dua arah (
two ways ) menjadi satu arah ( one way ) di beberapa ruas jalan di Kota Medan semakin
banyak diperbincangkan, melalui seminar-seminar dan media koran, khususnya
kebijakan satu arah pada ruas jalan Gatot Subroto (dari bundaran Petisah sampai
Iskandar Muda/Medan Plaza).
Jika dilihat dari hirarkhi, fungsi dan klassifikasi jalan yang ada, maka Jl.Gatot Subroto
merupakan Jalan Arteri Primer sebagai Jalan Negara ( antar provinsi ) , sama
halnya dengan Jl.Sisingamangaraja. Sebagai jalan Arteri Primer, seharusnyalah Pemko
Medan terlebih dahulu mempertimbangkan kebijakan tersebut secara matang, melalui
kajian/penelitian yang mendalam dan menyeluruh ( integrated ) sesuai dengan sistem
jaringan jalan dan pola pergerakan lalulintas.
Ketentuan berdasarkan hirarkhi, fungsi dan klasifikasi jalan menyatakan bahwa jalan
Arteri Primer khususnya di kota besar harus dijaga keberadaan pelayanan jalan
tersebut, yaitu dengan mengatur sedemikian rupa untuk mempertahankan kecepatan
operasi kendaraan rata-rata, sehingga diharapkan kondisi arus pada ruas jalan tersebut
tetap lancar dan menerus di sepanjang jalan, baik di dalam dan di luar perkotaan (
Suburban ). Untuk mencapai maksud dan harapan tersebut, sepanjang ruas jalan Arteri
Primer hendaknya dilakukan usaha untuk membatasi akses ke jalan-jalan lokal,
membatasi akses langsung terhadap guna lahan di sekitar jalan (seperti: pasar, plaza,
perumahan/ real estate atau sekolah), serta membatasi pengaruh gangguan samping (
side friction ).
Pada masa pra-kebijakan satu arah di Jl.Gatot Subroto, besaran distribusi arus lalulintas
menurut kedua arah pada ruas jalan umumnya hampir sama, hanya sedikit perbedaan
hanya pada waktu jam sibuk ( peak hours ) pagi dan sore saja. Namun, yang terjadi
saat sekarang adalah pemberlakuan satu arah hanya pada ruas Bundaran Petisah
sampai Iskandar Muda (arah lalulintas dari Timur ke Barat), sehingga mengakibatkan:
1. Terjadinya bottleneck di persimpangan Gatot Subroto-Iskandar Muda akibat peralihan
arus satu arah (dari arah Medan ke Binjai) menjadi dua arah (dimulai dari mulut
persimpangan Gatot Subroto-Iskandar Muda ke arah Binjai), mengakibatkan tingkat
kemacetan semakin tinggi pada ruas Jl. Gatot Subroto yang satu arah, khususnya pada
jam sibuk sore.
2. Menambah titik rawan dan menambah tingkat kemacetan di ruas-ruas jalan
persimpangan lain akibat dari pengalihan distribusi arus lalulintas, antara lain: a)
persimpangan Ayahanda-Darussalam, Jl.Pabrik Tenun, Jl.Skip, Jl.Gereja sampai ke
simpang Glugur. b) Persimpangan Asrama, c) simpang Barat, mempengaruhi Jl.K.H
Wahid Hasyim, simpang Gajah Mada, Jl. S.Parman, Jl Kejaksaan, simpang Imam Bonjol-
Diponegoro, simpang Kpt. Maulana Lubis dan terus ke Jl.Raden Saleh, d) persimpangan
Abdulah Lubis-Iskandar Muda, arus dari Wahid Hasyim ke Abd. Lubis menyatu dengan
arus dari Iskandar Muda d) simpang Gajah Mada/Iskandar Muda, Jl. Hayam Wuruk, Jl.
Dr. T. D. Pardede, Jl.S.Parman sampai simpang Sudirman.
3. Mengurangi aksesibilitas ke pasar Petisah dan pertokoan/perkantoran di sekitar jalan
akibat arus satu arah tersebut, mengakibatkan kerugian bagi pengguna lahan di sekitar
ruas jalan, seperti: demand ke pasar/pertokoan dan parkir.
4. Pengalihan rute angkutan kota ke beberapa ruas jalan lain, yang sebelumnya
melewati ruas jalan Gatot Subroto tersebut (khusus dari arah Barat ke Timur).
Mengingat banyaknya trayek dan jumlah armada angkutan umum yang melewati ruas
jalan tersebut serta penambahan jarak rute angkutan yang semakin panjang
(pengalihan yang semrawut, tanpa perencanaan yang matang /sesuka angkot),
mengakibatkan kesemrawutan/kemacetan lalulintas. Ditambah lagi kerugian bagi
angkutan karena berkurangnya penumpang, jumlah rit berkurang dan jarak perjalanan
bertambah.
5. Penambahan tugas berat dan biaya yang besar serta jumlah petugas keamanan
(DLLAJ, Polisi) yang banyak, khususnyapada masa pelaksanaan kebijakan.
Yang menjadi pertanyaan penting adalah: Apakah Pemko Medan sebelumnya sudah
memperhitungkan secara akurat besarnya kerugian dan dampak lain yang
terjadi akibat kebijakan satu arah tersebut? . Dan bagaimana arah
Pengembangan Kota Medan selanjutnya , jika tidak berpegang dari RTRW Kota
Medan, sinergi dengan RTRW Provinsi Sumut dan sudah diperdakan.
Penulis memberikan alternatif solusi ( win-win solutions ), tentang bentuk kebijakan
yang lebih efektif dan efisien untuk diterapkan (dengan adanya Medan Fair Plaza),
dengan catatan bahwa ruas-ruas jalan yang telah dibuat satu arah dikembalikan
menjadi dua arah. Win win solutions tersebut antara lain:
1. Pengembangan Jl.Warga yang harus diikuti dengan pembangunan jalan layang ( fly-
over ) di persimpangan Gatot Subroto–Iskandar Muda yang akan mengurangi titik
conflict persimpangan (arus menerus akan berpisah dengan arus belok). Selayaknya
pengusaha ritel Medan Fair Plaza memberikan kompensasi dana bagi pengembangan
jalan ini.
2. Pintu masuk dan keluar Medan Fair Plaza tidak diizinkan dari Jl.Gatot Subroto,
sehingga perlu ditentukan pintu keluar/masuk dari jalan lain yang sesuai dengan fungsi
dan hirarkhi jalan ( perlu kajian lanjut ), sehingga tidak ada lagi akses langsung dari
Jl.Gatot Subroto ke Medan Fair Plaza.
Kedua solusi ini pasti akan mengurangi kemacetan lalulintas di sepanjang Jl.Gatot
Subroto sekalipun arus lalulintasnya tetap menjadi 2 (dua) arah seperti sebelumnya.
Sedangkan untuk kebijaksanaan pengaturan arah arus lalulintas pada jalan-jalan lain di
Kota Medan perlu kajian yang lebih terintegrasi menurut sistem secara menyeluruh.
Setelah diberlakukannya kebijakan satu arah pada beberapa ruas jalan di Kota Medan
dan masyarakat lebih banyak merasakan dampak kerugiannya, maka keluarlah
pernyataan Pemko yang berencana mengembangkan Jl.Warga. Seberapa lama janji
pengembangan tersebut akan terwujud , sehingga dapat dihitung seberapa besar
kerugian yang terjadi akibat kemacetan lalulintas yang dirasakan masyarakat?.
Sekiranya sudah terwujud nantinya, penanganan permasalahan lalulintas kemungkinan
akan berbeda (lain) lagi, karena persepsi dan kebiasaan pelaku pergerakan (menurut
waktu) sudah terbentuk di jaringan jalan. Jadi, adalah lebih baik bila jaringan jalan
(prasarana) dibangun terlebih duhulu, setelah itu baru manajemen lalulintas
(untuk mengatur pergerakan lalulintas) diterapkan, sehingga pengaturan
lalulintas Kota Medan tidak setempat-setempat, melainkan secara sistem jaringan yang
integratif, kooperatif dan berkelanjutan ( sustainable) .
Pengembangan Kota Medan terus berjalan dengan pesat terutama untuk usaha ritel
yang cenderung mengumpul di Pusat Kota, sementara pengembangan prasarana jalan
terlihat belum ada apa-apanya. Nantinya setelah permasalahan kemacetan perkotaan di
Kota Medan sudah sangat berat dan solusi yang memungkinkan hanyalah pelebaran
jalan, pembangunan jalan baru dan fly over , maka yang akan terjadi adalah biaya
materi dan sosial yang sangat besar dan banyaknya masyarakat kota yang akan stress
sebagai korban-korban gusuran.
Jadi, sangat diharapkan bahwa program Pengembangan Kota Medan tidak terpusat
hanya di pusat kota ( Centre Bussines of District ) atau dengan kata lain “menimbun
gula di tengah kota”, sehingga “semut-semut akan mengumpul dan berputar-
putar di tengah kota” yang mengakibatkan berbagai masalah di perkotaan semakin
besar (selain sektor transportasi juga sektor-sektor lain), sehingga penanganannya
akan semakin berat dan kompleks. Konsep pengembangan/pembangunan kota,
diharapkan janganlah bersifat sementara atau lagi mumpung, apalagi efeknya akan
sangat berat dan kompleks bagi masyarakat.
Untuk itulah perlunya arahan pengembangan kota ditentukan berdasarkan/berpedoman
pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) Medan dan harus bersinergi baik
dalam sektor maupun antar sektor pengembangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Metropolitan Medan-Binjai-Deli Serdang (MEBIDANG) dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sumut.
Penulis :
Dr. Ir. Richard Napitupulu, M.T . adalah Pakar Transport, Consultant, Staf
Dosen/Peneliti
Fakultas Teknik Sipil UDA Medan dan Direktur Lembaga Sertifikasi PATI (Perhimpunan
Ahli Teknik) Provinsi Sumut
Ir. Filiyanti T.A. Bangun Grad. Dipl. P.M., M.Eng . adalah Staf Dosen/Peneliti
Fakultas Teknik Sipil dan Pascasarjana USU Medan serta Consultant di bidang Transport
Systems

Anda mungkin juga menyukai