Anda di halaman 1dari 40

THE

BUILDING
BLOCKS OF
AUDITING

ASERSI MANAJEMEN, TANGGUNG JAWAB AUDITOR,

TUJUAN AUDIT, BUKTI AUDIT, RESIKO, MATERIALITAS

DAN PROGRAM AUDIT

Oleh: Redaktur Wau


BAB I
PENDAHULUAN

Istilah auditing berasal dari kata “audire” (Bahasa Latin)


yang berarti mendengar. Seorang yang melakukan fungsi
auditing dikenal sebagai auditor, yang pada mulanya adalah
pendengar kritis terhadap suatu pertanggungjawaban yang
dibacakan oleh penanggungjawab suatu badan usaha.
Saat ini, auditor merupakan profesi yang telah berkembang
sesuai kebutuhan. Auditor telah terbagi dalam beberapa jenis
seperti eksternal auditor dan internal auditor. Tujuan
pemeriksaan auditor adalah untuk memeriksa dan memperoleh
keyakinan, apakah kegiatan organisasi usaha dalam hal-hal yang
material sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Untuk mencapai tujuan audit (audit objective), seorang
auditor harus membuat rencana audit yang terdiri dari prosedur-
prosedur yang akan dijalankan. Rencana audit tersebut
dituangkan dalam Audit Program. Dalam perencanaan audit,
harus dipahami terlebih dahulu “the building blocks of auditing”
yang dibagi dalam poin-poin berikut ini:
1. Asersi manajemen dan Tujuan audit.
2. Tanggung jawab auditor.
3. Bukti audit.
4. Risiko, materialitas, bukti audit.
5. Program audit.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Teori Auditing


Untuk dapat memahami dan lebih memperjelas pengertian
auditing secara baik, berikut ini pendapat beberapa ahli
akuntansi:
Menurut Mulyadi (2002:9) secara umum auditing adalah
sebagai berikut: Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan
mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-
pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan
tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-
pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah di tetapkan,
serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang
berkepentingan.
Agoes (2004:1) memberikan definisi dari auditing sebagai
berikut: Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan
sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan
keuangan yang disusun oleh manajemen, beserta catatan-
catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan
tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran
laporan keuangan tersebut.
Arens (2003:1) mengatakan auditing sebagai berikut:
Auditing adalah proses pengumpulan dan pengawasan bahan
bukti tentang informasi yang dapat di ukur mengenai suatu
entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan
independent untuk dapat menentukan dan melaporkan
kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria
yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh
seorang yang independent dan kompeten.
Dari definisi di atas dapat diambil beberapa kata kunci dari
auditing yaitu: proses pemeriksaan, kritis dan sistematis,
pengumpulan dan evaluasi bukti yang objektif, auditor kompeten
dan independen, kegiatan dan kejadian ekonomi, kriteria yang
ditetapkan, dan kewajaran laporan keuangan.

2.2. Asersi Manajemen dan Tujuan Audit


Asersi merupakan pernyataan manajemen yang
terkandung di dalam komponen laporan keuangan.
Klasifikasi asersi (SA 315 par A111):
1. Asersi tentang golongan transaksi dan peristiwa untuk
periode yang diaudit:
a. Keterjadian (occurence): transaksi dan peristiwa yang
telah terbukukan telah terjadi dan berkaitan dengan
entitas.
b. Kelengkapan (completeness): seluruh transaksi dan
peristiwa yang seharusnya terbukukan telah dicatat.
c. Keakurasian (accuracy): jumlah-jumlah dan data lainnya
yang berkaitan dengan transaksi dan peristiwa yang telah
dibukukan telah dicatat dengan tepat.
d. Pisah batas (cut-off): transaksi dan peristiwa telah
dibukukan dalam periode akuntansi yang tepat.
e. Klasifikasi (classification): transaksi dan peristiwa telah
dibukukan dalam akun yang tepat.
2. Asersi tentang saldo akun pada akhir periode:
a. Eksistensi (existence): aset, liabilitas, dan ekuitas ada.
b. Hak dan kewajiban (rights and obligations): entitas
memiliki atau mengendalikan hak atas aset dan memiliki
kewajiban atas liabilitas.
c. Kelengkapan (completeness): seluruh aset, liabilitas, dan
ekuitas yang seharusnya terbukukan telah dicatat.
d. Penilaian dan pengalokasian (valuation and allocation):
aset, liabilitas, dan ekuitas tercantum dalam laporan
keuangan pada jumlah yang tepat dan penyesuaian
penilaian atau pengalokasian yang terjadi dibukukan
dengan tepat.
3. Asersi tentang Asersi tentang penyajian dan pengungkapan:
a. Keterjadian serta hak dan kewajiban (occurrence and
rights and obligations): peristiwa, transaksi, dan hal-hal
lainnya yang diungkapkan, telah terjadi dan berkaitan
dengan entitas.
b. Kelengkapan (completeness): seluruh pengungkapan yang
seharusnya tercantum dalam laporan keuangan telah
disajikan.
c. Klasifikasi dan keterpahaman (classification and
understandability): informasi keuangan disajikan dan
dijelaskan secara tepat, serta pengungkapan disajikan
dengan jelas.
d. Keakurasian dan penilaian (accuracy and valuation):
informasi keuangan dan informasi lainnya diungkapkan
secara wajar dan pada jumlah yang tepat.
Tujuan audit umum dan tujuan audit khusus yang terkait
dengan asersi manajemen akan memberikan kerangka kerja
untuk mengumpulkan bahan bukti audit yang kompeten dan
cukup.
Tabel
Hubungan Asersi Manajemen dan Tujuan Umum Audit
Asersi Manajemen Tujuan Umum Audit
Keberadaan atau Aset dan liabilitas entitas ada pada tanggal
keterjadian tertentu, dan transaksi pendapatan dan biaya
terjadi dalam periode tertentu
Kelengkapan Semua transaksi dan semua rekening yang
seharusnya telah disajikan dalam laporan
keuangan
Hak dan kewajiban Aset adalah hak entitas dan utang adalah
kewajiban entitas pada tanggal tertentu
Penilaian atau Komponen aset, utang, pendapatan dan biaya
alokasi telah disajikan dalam laporan keuangan pada
jumlah yang semestinya
Penyajian dan Komponen tertentu dalam laporan keuangan
pengungkapan telah digolongkan, digambarkan, dan
diungkapkan secara semestinya

Tabel
Hubungan Asersi Manajemen dan Tujuan Khusus Audit
Asersi Manajemen Tujuan audit spesifik berkait transaksi
yang diterapkan pada penjualan
Keberadaan atau Penjualan yang dicatat adalah untuk
keterjadian pengiriman kepada konsumen yang benar-
benar ada.
Kelengkapan Transaksi penjualan yang ada seluruhnya telah
dicatat.
Penilaian atau Penjualan yang dicatat adalah sejumlah
alokasi barang yang dikirim dan ditagih serta dicatat
dengan benar.
Hak dan Kewajiban Transaksi Penjualan di klasifikasikan dengan
tepat.
Penjualan dicatat pada tanggal yang benar.
Penyajian dan Transaksi penjualan dicatat dalam buku
Pengungkapan tambahan dengan benar dan diikhtisarkan
dengan benar.

2.3. Tanggung Jawab Auditor


Berdasarkan PSA No.02 seksi 110, auditor mempunyai
tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit
untuk memperoleh keyakinan memadai (reasonable assurance)
tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material,
baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh
karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor
dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak,
bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung
jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna
memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang
disebabkan oleh kekeliruan atau kecuranga, yang tidak material
terhadap laporan keuangan.
Laporan keuangan merupakan tanggung jawab
manajemen. Tanggung jawab auditor adalah untuk menyatakan
pendapat atas laporan keuangan. Manajemen bertanggung
jawab untuk menerapkan kebijakan akuntansi yang sehat dan
untuk membangun dan memelihara pengendalian intern yang
ada, diantaranya mencatat, mengolah, meringkas, dan
melaporkan transaksi (termasuk peristiwa dan kondisi) yang
konsisten dengan asersi manajemen yang tercantum dalam
laporan keuangan. Transaksi entitas dan aset, liabilitas dan
ekuitas yang terkait adalah berada dalam pengetahuan dan
pengendalian langsung manajemen. Pengetahuan auditor
tentang masalah dan pengendalian intern tersebut terbatas pada
yang diperoleh melalui audit. Oleh karena itu, penyajian secara
wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia merupakan bagian yang tersirat dan terpadu dalam
tanggung jawab manajemen.
Auditor Independen dapat memberikan saran tentang
bentuk dan isi laporan keuangan atau membuat draft laporan
keuangan, seluruhnya atau sebagian, berdasarkan informasi dari
manajemen dalam pelaksanaan audit. Namun, tanggung jawab
auditor atas laporan keuangan terbatas pada pernyataan
pendapatnya atas laporan keuangan tersebut.
Berikut beberapa istilah yang disebutkan dalam tanggung
jawab auditor:
1. Salah saji material dan tidak material
Dianggap material bila gabungan berbagai kekeliruan yang
belum terkoreksi dan kecurangan dalam laporan keuangan
dapat mengubah atau mempengaruhi berbagai keputusan
pengguna laporan keuangan.
2. Keyakinan yang memadai
Auditor bertanggungjawab untuk merencanakan dan
melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan memadai
bahwa laporan keuangan terbebas dari salah saji material.
Laporan auditor yang berisi tentang pendapat auditor atas
laporan keuangan didasarkan pada konsep perolehan
keyakinan memadai. Suatu audit tidak memberikan jaminan
atas akurasi laporan keuangan.
Auditor bertanggung jawab atas tingkat keyakinan yang
memadai tetapi tidak mutlak karena:
a. Mayoritas bukti audit berasal dari pengujian sampel atas
populasi.
b. Berbagai penyajian akuntansi terdiri dari sejumlah taksiran
yang kompleks, yang mengandung sejumlah
ketidakpastian serta dapat mempengaruhi berbagai
peristiwa yang akan datang.
c. Laporan keuangan yang disusun dengan penuh kecurangan
seringkali sangat sulit dibuktikan, khususnya saat terdapat
suatu kolusi dalam manajemen perusahaan.
3. Kekeliruan dan Kecurangan
Kekeliruan merupakan kesalahan penyajian atas laporan
keuangan yang tidak disengaja (unintentionally), meliputi
kekeliruan dalam pengumpulan atau pengolahan data
akuntansi yang menjadi sumber penyusunan laporan
keuangan; estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang
timbul dari kecerobohan atau salah tafsir fakta; dan/atau
Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berkaitan
dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau
pengungkapan.
Kecurangan merupakan kesalahan penyajian yang disengaja
(intentionally), yaitu:
a. Penggelapan aset (misappropriation of assets).
b. Kecurangan pelaporan keuangan (fraudulent financial
reporting).
4. Skeptism Profesional
Merupakan sikap dimana auditor tidak boleh mengasumsikan
bahwa manajemen bersikap tidak jujur, tetapi kemungkinan
bahwa mereka telah bersikap tidak jujur harus tetap
dipertimbangkan.
Tanggung jawab auditor dalam mendeteksi pelanggaran
hukum:
a. Menentukan apakah suatu tindakan klien itu dipandang
sebagai pelanggaran hukum, biasanya hal tersebut berada
diluar kompetensi profesional auditor.
b. Auditor harus mendeteksi dan melaporkan salah saji akibat
tindakan melanggar hukum yang berdampak langsung dan
material terhadap jumlah dan kecukupan pengungkapan
dalam laporan keuangan.

2.4. Bukti Audit


Menurut Arrens dan Loebbecke (2003), “bukti audit adalah
setiap informasi yang digunakan oleh auditor dalam menentukan
kesesuian informasi yang sedang diaudit dengan kriteria yang
ditetapkan.”
Bukti audit merupakan semua media informasi yang
digunakan oleh auditor untuk mendukung argumentasi,
pendapat atau simpulan dan rekomendasinya dalam meyakinkan
tingkat kesesuaian antara kondisi dengan kriterianya. Tidak
semua informasi bermanfaat bagi audit, karena itu informasi
harus dipilih. Pedoman pemilihan informasi yang akan digunakan
sebagai bukti audit adalah bahwa informasi tersebut harus andal
sehingga mampu meyakinkan pihak lain.
Bukti audit didasarkan pada Standar pekerjaan lapangan
ketiga yang berbunyi: "Auditor harus memperoleh cukup bukti
yang tepat dengan melakukan prosedur audit agar memiliki
dasar yang layak untuk memberikan pendapat menyangkut
laporan keuangan yang diaudit".
Keputusan penting yang dihadapi para auditor adalah
menentukan jenis dan jumalah bukti audit yang tepat, yang
diperlukan untuk memenuhi keyakinan bahwa komponen
laporan keuangan klien dan keseluruhan laporan telah disajikan
secara wajar, dan bahwa klien menyelenggarakan pengendalian
internal yang efektif atas laporan keuangan.
Ada empat keputusan mengenai bukti apa yang harus
dikumpulkan dan berapa banyak, yaitu:
1. Prosedur audit yang akan digunakan;
2. Berapa ukuran sampel yang akan dipilih untuk prosedur
tersebut;
3. Item-item mana yang akan dipilih dari populasi;
4. Kapan melaksanakan prosedur tersebut.
Dua penentu persuasivitas bukti audit adalah ketepatan
dan kecukupan bukti, yang langsung diambil dari standar
pekerjaan lapangan.
1. Ketepatan Bukti
Ketepataan bukti adalah ukuran mutu bukti yang berarti
relevansi dan reliabilitasnya memenuhi tujuan audit untuk
kelas transaksi, saldo akun, dan pengungkapan yang
berkaitan. Jika suatu bukti dianggap sangat tepat, hal itu akan
sangat membantu dalam meyankinkan auditor bahwa laporan
keuangan telah disajikan secara wajar.
a. Relevansi Bukti
Bukti audit harus berkaitan dengan tujuan audit yang akan
diuji oleh auditor sebelum bukti tersebut dianggap tepat.
Sebagai contoh, anggaplah auditor prihatin bahwa klien
belum menagih pelanggan atas barang yang dikirim (tujuan
transaksi kelengkapan). Jika auditor memilih suatu sampel
dari salinan faktur penjualan dan menelusuri setiap salinan
tersebut ke dokumen pengiriman terkait, bukti tersebut
tidak relevan dengan tujuan kelengkapan dan dengan
demikian bukan merupakan bukti yang tepat untuk tujuan
tersebut. Prosedur yang relevan adalah menelusuri sampel
dokumen pengiriman ke salinan faktur penjualan terkait
untuk menentukan apakah setiap pengiriman barang
tersebut telah ditagihkan.
b. Reliabilitas Bukti
Reliabilitas bukti mengacu pada tingkat dimana bukti
tersebut dianggap dapat dipercaya atau layak dipercaya.
Reliabilitas tergantung pada enam karakteristik bukti yang
dapat diandalkan berikut:
1) Independensi penyedia bukti
Bukti yang diperoleh dari sumber luar entitas lebih dapat
diandalkan daripada yang diperoleh dari dalam entitas.
Komunikasi dari bank, pengacara, atau para pelanggan
umumnya lebih dapat diandalkan daripada jawaban yang
diperoleh dari wawancara dengan klien.
2) Efektivitas pengendalian internal klien
Jika pengendalian internal klien efektif, bukti audit yang
diperoleh lebih dapat diandalkan daripada jika
pengendalian internalnya lemah.
3) Pengetahuan langsung auditor
Bukti audit yang diperoleh langsung oleh auditor melalui
pmeriksaan fisik, observasi, penghitungan ulang dan
inspeksi akan lebih dapat diandalkan daripada informasi
yang diperoleh secara tidak langsung.
4) Kualifikasi individu yang menyediakan informasi
Meskipun sumber informasi bersifat independen, bukti
audit tidak akan dapat diandalkan kecuali individu yang
menyediakan informasi tersebut memenuhi kualifikasi
untuk itu. Karena itu, komunikasi dengan pengacara dan
konfirmasi bank umumnya lebih bernilai daripada
konfirmasi piutang usaha dari orang-orang yang kurang
memahami dunia bisnis.
5) Tingkat objektivitas
Bukti yang objektif lebih dapat diandalkan daripada bukti
yang memerlukan pertimbangan tertentu untuk
menentukan apakah bukti tersebut benar. Contoh-
contoh bukti yang objektif meliputi konfirmasi piutang
usaha dan saldo bank, perhitungan fisik sekuritas dan
kas, serta perhitungan saldo utang usaha untuk
menentukan apakah data tersebut sesuai dengan saldo
yang ada pada buku besar.
6) Ketepatan waktu
Ketepatan waktu audit dapat merujuk pada kapan bukti
itu dikumpulkan maupun pada periode yang tercakup
oleh audit itu. Bukti ini biasanya lebih dapat diandalkan
untuk akun-akun neraca apabila diperoleh sedekat
mungkin dengan tanggal nerca. Untuk akun-akun laporan
laba rugi, bukti yang diperoleh akan lebih dapat
diandalkan jika sampel dari keseluruhan periode yang
diaudit, seperti sampel acak transaksi penjualan dari
setahun penuh, bukan hanya dari sebagian periode,
seperti sampel yang terbatas pada 6 bulan pertama saja.
2. Kecukupan Bukti Audit
Hal ini berkaitan dengan kuantitas bukti yang harus
dikumpulkan oleh auditor. Faktor yang mempengaruhi
pertimbangan auditor dalam menentukan cukup atau tidaknya
bukti audit adalah:
a. Materialitas dan Resiko Akun yang saldonya besar dalam
laporan keuangan diperlukan jumlah bukti audit yang lebih
banyak bila dibandingkan dengan akun yang bersaldo tidak
material. Untuk akun yang mempunyai kemungkinan tinggi
untuk disajikan salah dalam laporan keuangan, jumlah bukti
audit yang dikumpulkan oleh auditor umumnya lebih banyak
bila dibandingkan dengan akun yang memilliki kemungkinan
kecil salah saji.
b. Faktor Ekonomi. Faktor ekonomi melihat dari segi waktu
dan biaya. Jika dalam memeriksa jumlah bukti yang lebih
sedikit dapat diperoleh keyakinan yang sama tingginya
dengan pemeriksaan terhadap keseluruhan bukti, aditor
memilih untuk memeriksa jumlah bukti yang lebih sedikit.
c. Ukuran dan karakteristik populasi. Ukuran populasi
ditentukan banyaknya item dalam populasi. Semakin besar
populasi semakin banyak bukti yang diperlukan.
Karakteristik populasi ditentukan oleh homogenitas anggota
populasi. Jika homogen, jumlah bukti audit yang dipilih lebih
kecil dibandingkan dengan populasi yang heterogen.
Dalam memutuskan prosedur-prosedur audit manakah
yang akan digunakan, auditor dapat memilihnya dari ketujuh
kategori umum bukti audit. Menurut Arens dan Loebbecke
(2003) kategori-kategori ini, dikenal sebagai jenis-jenis bukti
yaitu sebagai berikut:
1. Pengujian Fisik (Physical Examination)
Pengujian fisik adalah inspeksi atau perhitungan yang
dilakukan oleh auditor atas aktiva yang berwujud (tangible
asset). Jenis bukti ini sering berkaitan dengan persediaan dan
kas, tetapi dapat pula diterapkan untuk berbagai verifikasi
atas surat berharga, surat piutang, serta aktiva tetap yang
berwujud. Perbedaan antara pengujian fisik atas aktiva,
seperti surat berharga yang diperdagangkan dan kas, serta
pengujian atas berbagai dokumen, seperti cek-cek yang
dibatalkan dan berbagai dokumen penjualan, sangatlah
penting bagi berbagai tujuan audit. Jika obyek yang diuji,
seperti selembar faktur penjualan umpamanya, tidak memiliki
nilai inheren, maka bukti audit itu disebut sebagai
dokumentasi.
2. Konfirmasi (Confirmation)
Konfirmasi menggambarkan penerimaan tanggapan baik
secara tertulis maupun lisan dari pihak ketiga yang
independen yang memverifikasikan keakuratan informasi
sebagaimana yang diminta oleh auditor. Permintaan ini
ditujukan bagi klien, dan klien meminta pihak ketiga yang
independen untuk memberikan tanggapannya secara langsung
kepada auditor. Karena konfirmasi-konfirmasi ini datang dari
berbagai sumber yang independen terhadap klien, maka jenis
bukti audit ini sangatlah dihargai dan merupakan jenis bukti
yang paling sering digunakan. SAS 67 (AU 330)
mengidentifikasikan dua jenis permintaan konfirmasi-
konfirmasi positif dan negatif. Konfirmasi positif meminta
penerima untuk merespon dalam semua keadaan. Sebaliknya,
dengan konfirmasi negatif penerima diminta untuk merespon
hanya saat tidak benar. Karena konfirmasi dianggap bukti
penting hanya saat dikembalikan, konfirmasi negatif adalah
kurang kompeten daripada konfirmasi positif. Selain
konfirmasi positif dan negative terdapat juga konfirmasi
kosong (blank confirmation) yang meminta penerima untuk
mengisi informasi yang dibutuhkan auditor dan
mengirimkannya kembali. Konfirmasi ini sering digunakan
untuk memperoleh informasi-informasi lain yang tidak
terbatas pada informasi yang diingini auditor, seperti informasi
mengenai rekening yang diblok bank.
3. Dokumentasi (Documentation)
Dokumentasi adalah pengujian auditor atas berbagai dokumen
dan catatan klien untuk mendukung informasi yang tersaji
atau seharusnya tersaji dalam laporan keuangan. Berbagai
dokumen yang diuji oleh auditor adalah catatan-catatan yang
dipergunakan oleh klien untuk menyediakan informasi bagi
pelaksanaan bisnis yang terorganisasi. Karena pada umumnya
setiap transaksi dalam organisasi klien ini minimal didukung
oleh selembar dokumen, maka jenis bukti audit ini tersedia
dalam jumlah besar. Dokumen-dokumen secara sederhana
dapat diklasifikasikan sebagi dokumen internal dan eksternal.
Dokumen internal adalah dokumen yang dipersiapkan dan
dipergunakan dalam organisasi klien sendiri serta tidak
pernah disampaikan kepada pihak-pihak di luar organisasi
seperti pelanggan atau pemasok klien. Contohnya: salinan
faktur penjualan. laporan waktu kerja karyawan, serta laporan
penerimaan persediaan. Dokumentasi eksternal adalah
dokumen yang pernah berada dalam genggaman seseorang di
luar organisasi yang mewakili pihak yang menjadi klien dalam
melakukan transaksi, tetapi dokumen tersebut saat ini berada
di tangan klien atau dengan segera dapat diakses oleh klien.
Dalam beberapa kasus, dokumen-dokumen eksternal berasal
dari luar organisasi klien dan berakhir di tangan klien.
Contohnya: faktur-faktur dari pemasok, surat utang yang
dibatalkan, serta polis-polis asuransi. Dokumen lainnya seperti
cek-cek yang ditangguhkan, diterbitkan oleh klien, dikirimkan
ke pihak luar, dan akhirnya kembali lagi ke tangan klien.
4. Prosedur Analitis (Analytical Procedures)
Prosedur analitis menggunakan berbagai perbandingan dan
hubungan-hubungan untuk menilai apakah saldo-saldo akun
atau data lainnya nampak wajar. Contoh atas hal ini adalah
perbandingan persentase antara laba kotor yang diperoleh
selama tahun berjalan terhadap laba kotor yang diperoleh
pada tahun sebelumnya. Prosedur analitis digunakan secara
luas dalam praktek dan penggunaan prosedur tersebut telah
meningkat dengan tersedianya komputer untuk melakukan
perhitungan. Dewan Standar Audit telah menyimpulkan bahwa
prosedur analitis adalah begitu penting sehingga mereka
dibutuhkan selama fase perencanaan dan penyelesaian atas
semua audit.
5. Wawancara kepada Klien (Inquiris of The Client)
Wawancara adalah upaya untuk memperoleh informasi baik
secara lisan maupun tertulis dari klien sebagai tanggapannya
atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh auditor.
Walaupun banyak bukti yang diperoleh dari klien berasal dari
hasil wawancara ini, bukti tersebut tidak dapat dinyatakan
sebagai bukti yang meyakinkan karena tidak diperoleh dari
sumber yang independen dan barangkali cenderung
mendukung pihak klien. Oleh karena itu, saat auditor
memperoleh bukti dari hasil wawancara ini, maka pada
umumya merupakan suatu keharusan bagi auditor untuk
memperoleh bukti audit lainnya yang lebih meyakinkan
melalui berbagai prosedur lainnya.
6. Hitung Uji (Reperformance)
Hitung uji melibatkan pengujian kembali berbagai perhitungan
dan transfer informasi yang dibuat oleh klien pada suatu
periode yang berada dalam periode audit pada sejumlah
sampel yang diambil auditor. Pengujian kembali atas berbagai
ini terdiri dari pengujian atas keakuratan aritmatis klien. Hal
ini mencakup sejumlah prosedur seperti pengujian perkalian
dalam faktur-faktur penjualan dan persediaan, penjumlahan
dalam jurnal-jurnal dan catatan-catatan pendukung, serta
menguji perhitungan atas beban depresiasi dan beban dibayar
di muka. Pengujian kembali atas berbaga transfer informasi
mencakup penelusuran nilai-nilai untuk memperoleh
keyakinan bahwa pada saat informasi tersebut dicantumkan
pada lebih dari satu tempat, maka informasi tersebut
dicantumkan pada lebih dari satu tempat, maka informasi
tersebut selalu dicantumkan pada lebih dari satu tempat,
maka informasi tersebut selalu dicatat dalam nilai yang sama
pada setiap saat.
7. Observasi (Observation)
Observasi adalah penggunaan indera perasa untuk menilai
aktivitas-aktivitas tertentu. Sepanjang proses audit, terdapat
banyak kesempatan bagi auditor untuk mempergunakan
indera penglihatan, pendengaran, perasa, dan penciumannya
dalam mengevaluasi berbagai item yang sangat beraneka
ragam. Sebagai contoh, auditor dapat melakukan tur ke
ruang pabrik untuk memperoleh suatu pandangan umum akan
berbagai fasilitas yang dimiliki klien, mengamati apakah
peralatan yang ada sudah banyak berkarat sehingga ia dapat
mengevaluasi apakah peralatan tersebut sudah usang atau
belum, serta mengamati para individu yang melaksanakan
tugas-tugas akuntansi untuk memperoleh keyakinan apakah
individu yang diserahi tanggung jawablah yang melaksanakan
tugas tersebut.
Standar Auditing menyatakan bahwa dokumentasi audit
adalah catatan utama tentang prosedur auditing yang
diterapkan, bukti yang diperoleh dan kesimpulan yang dicapai
auditor dalam melaksanakan penugasan. Dokumentasi audit
harus mencakup semua informasi yang perlu diperimbangkan
oleh auditor untuk melaksanakan auditor untuk melakukan audit
secara memadai dan untuk mendukung laporan audit.
Dokumentasi audit juga dapat dianggap sebagai kertas kerja,
meskipun semakin banyak dokumentasi audit yang
diselenggarakan dalam file terkomputerisasi.
Tujuan dokumentasi audit secara keseluruhan adalah
untuk membantu auditor dalam memberikan kepastian yang
layak bahwa audit yang memadai telah dilakukan sesuai dengan
standar audit. Secara lebih khusus, dokumentasi audit, yang
berkaitan dengan audit tahun berjalan, memberikan:
1. Dasar bagi perencanaan audit.
2. Catatan bukti yang dikumpulakan dan hasil pengujian.
3. Data untuk menentukan jenis Laporan Audit yang tepat.
4. Dasar bagi reviu oleh supervisor dan partner.
a. Persayaratan Untuk Menyimpan Dokumentasi Audit
Seperti yang dipersyaratkan oleh Sarbanes-Oxley Act, SEC
telah mengeluarkan aturan final tentang penyimpanan
catatan audit dan review yang mewajibakan auditor
perusahaan public untuk menyelenggarakan dokumentasi
sebagai berikut:
1) Kertas kerja atau dokumen lain yang membentuk dasar
bagi audit atas laporan keuangan tahunan perusahaan atau
review atas laporan keuangan kuartalan perusahaan.
2) Memo, korespondensi, komunikasi, dokumen biru, dan
catatan termasuk catatan elektronik, yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a) Fakta-fakta yang dibuat, dikirimkan, dan diterima dalam
kaitannya dengan audit atau review.
b) Fakta-fakta yang berisi kesimupalan, pendapat, analisis,
atau data keuangan yang berkaitan dengan atau review
b. Isi Dokumentasi Audit
1) File Permanen (permanent file), berisi data yang bersifat
historis atau berlanjut yang bersangkutan dengan audit
saat ini. File ini menjadi sumber informasi tentang audit
yang terus penting adanya dari tahun ke tahun. File
permanen umumnya meliputi hal-hal berikut:
a) Kutipan atau salinan dari dokumen perusahaan yang
terus penting artinya seperti akte pendirian, anggaran
rumah tangga, perjanjian obligasi dan kontrak.
b) Analisis atas tahun-tahun sebelumnya yang terus
penting artinya bagi auditor. Mencakup akun seperti
utang jangka panjang, akun ekuitas pemegang saham,
goodwill dan aktiva tetap.
c) Informasi yang berhubungan dengan pemahaman atas
pengendalian internal dan penilaian risiko pengendalian.
Informasi ini mencakup bagan organisasi, bagan arus,
kuesioner dan informasi tentang pengendalian internal
lainnya.
d) Hasil prosedur analitis dari audit tahun nsebelumnya.
Diantara data ini terdapat rasio dan persentase yang
dihitung oleh auditor dan total saldo atau saldo per
bulan untuk akun tertentu.
2) File Tahun Berjalan (current file), mencakup semua
dokumentasi audit yang dapat diterapkan pada tahun yang
diaudit. Berikut ini adalah jenis informasi yang sering
tercakup dalam arsip tahun berjalan:
a) Program Audit.
b) Informasi Umum.
c) Neraca Saldo Berjalan.
d) Ayat Jurnal Penyesuaian dan Reklasifikasi.
e) Skedul pendukung, yang terdiri dari analisis, neraca
saldo atau daftar, rekonsiliasi jumlah, pengujian
kelayakan, ikhtisar prosedur, pemeriksaan dokumen
pendukung, informasional dan dokumentasi dari luar.
c. Penyusunan Dokumentasi Audit
Walaupun rancangannya bergantung pada tujuan yang ingin
dicapai, dokumentasi audit harus memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1) Setiap file audit harus diidentifikasi secara wajar dengan
informasi, seperti nama klien, periode yang dicakup,
gambaran tentang isi, tanda tangan orang yang
menyiapakan, tanggal persiapan dan kode indeks.
2) Dokumentasi audit harus memiliki indeks dan referensi
silang untuk membantu pengaturan dan pengarsipannya.
3) Dokumentasi audit yang lengkap harus dengan jelas
menunjukkan pekerjaan audit yang dilakukan, yang dpat
dicapai dengan tiga cara: dengan pernyataan tertulis
dalam bentuk memorandum, dengan menandatangani
prosedur audit dalam program audit, dan dengan notasi
langsung pada skedul.
4) Dokumentansi audit harus meliputi informasi yang cukup
untuk memenuhi tujuan yang telah dirancang.
5) Kesimpulan yang dicapai tentang segmen audit yang
dipertimbangkan harus dinyatakan dengan jelas.

2.5. Materialitas
Materialitas mendasari penerapan standar auditing,
terutama yang berkaitan dengan penerapan standar pekerjaan
lapangan dan standar pelaporan, serta tercermin dalam laporan
auditor bentuk baku. Materialitas dan risiko sangat fundamental
bagi perencanaan audit dan perancangan pendekatan audit.
Risiko audit dan materialitas , bersama dengan hal-hal lain, perlu
dipertimbangkan dalam menentukan sifat, saat, dan lingkup
prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil prosedur.
Financial Accounting Standard Board (FASB)
mendefinisikan materialitas sebagai : “Besarnya suatu
penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan
memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang
dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi
tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau
salah saji tersebut.”
Definisi diatas mengharuskan auditor untuk
mempertimbangkan keadaan-keadaan yang berhubung dengan
satuan usaha (perusahaan klien), dan informasi yang diperlukan
oleh mereka yang akan mengandalkan pada laporan keuangan
yang telah diaudit. Karena tanggung jawab menentukan apakah
laporan keuangan salah saji secara material, auditor harus,
berdasarkan temuan salah saji yang material, menyampaikan hal
itu kepada klien sehingga bisa dilakukan tindakan koreksi.
Konsep materialitas mengakui bahwa beberapa hal, baik
secara individual atau keseluruhan, adalah penting bagi
kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip
prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Sedangkan
beberapa hal lainnya adalah tidak penting.
1. Menetapkan Pertimbangan Awal Materialitas
SAS 107 (AU 312) mengharuskan auditor memutuskan
jumlah salah saji gabungan dalam laporan keuangan, yang
akan mereka anggap material pada awal audit ketika sedang
mengembangkan strategi audit secara keseluruhan.
Keputusan tersebut disebut sebagai pertimbangan
pendahuluan tentang materialitas. Karena, meskipun
merupakan pendapat professional , hal itu mungkin saja
berubah selama penugasan. Pertimbangan ini harus
didokumentasikan dalam file audit.
Pertimbangan pendahuluan tentang materialitas adalah
jumlah maksimum yang membuat auditor yakin bahwa
laporan keuangan akan salah saji tetapi tidak mempengaruhi
keputusan para pemakai yang bijaksana. Auditor
menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas
untuk membantu merencanakan pengumpulan bukti yang
tepat. Semakin rendah nilai uang pertimbangan pendahuluan
ini, semakin banyak bukti audit yang dibutuhkan. Selama
pelaksanaan audit, auditor sering kali mengubah
pertimbangan pendahuluan tentang materialitas.
Beberapa faktor akan mempengaruhi pertimbangan
pendahuluan auditor tentang materialitas untuk seperangkat
laporan keuangan tertentu:
a. Materialitas adalah konsep yang bersifat relatif ketimbang
absolute.
Salah saji material bagi suatu perusahaan belum tentu
material juga bagi perusahaan lain.
b. Dasar yang diperlukan untuk mengevaluasi materialitas
Karena materialitas bersifat relative, diperlukan dasar
untuk menentukan apakah salah saji itu material. Laba
bersih sebelum pajak sering kali menjadi dasar utama
untuk menentukan berapa jumlah material bagi
perusahaan yang berorientasi laba, karena jumlah ini
dianggap sebagai item informasi yang penting bagi para
pemakai.
c. Faktor-faktor kualitatif yang juga mempengaruhi
materialitas, contoh:
1) Jumlah karena ketidakberesan lebih penting daripada
kekeliruan yang tidak disengaja karena ketidakberesan
mencerminkan kejujuran dan keandalan dari pihak
manajemen atau pihak yang terlibat.
2) Kekeliruan yang kecil dianggap material jika
berhubungan dengan kewajiban kontrak.
3) Kekeliruan yang tidak material dapat menjadi material
kalau mempengaruhi kecenderungan laba.
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan
materialitas pada dua tingkat berikut ini:
a. Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas
kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai
keseluruhan.
b. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo
akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh atas
kewajaran laporan keuangan.
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan
pertimbangan awal tentang materialitas pada setiap tingkat
dijelaskan berikut ini:
a. Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan
Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan
materialitas. Pertama auditor menggunakan materialitas
dalam perencanaan audit, kedua pada saat mengevaluasi
bukti-bukti audit dalam pelaksanaan audit. Pada saat
merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi
materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik
antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang
material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang
diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan
keuangan. Jadi auditor harus mempertimbangkan dengan
baik penaksiran materialitas pada tahap perencanaan
audit. Jika auditor menentukan jumlah materialitas terlalu
rendah, auditor akan mengkonsumsi waktu dan usaha
yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya jika auditor
menentukan jumlah rupiah materialitas terlalu tinggi
auditor akan mengabaikan salah saji yang signifikan
sehingga ia memberikan pendapat wajar tanpa
pengecualian untuk laporan keuangan yang sebenarnya
berisi salah saji material.
Laporan mengandung salah saji material jika laporan
tersebut berisi kekeliruan atau kecurangan yang
dampaknya, secara indifidual atau secara gabungan.
Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa
terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan
dengan laporan keuangan tersebut. Kenyataannya setiap
laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu
materialitas.
b. Materialitas pada Tingkat Saldo Akun
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji
minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang
dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas
pada tingkat saldo akun tidakboleh dicampur adukan
dengan saldo akun material. Karena saldo akun material
adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan
konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji
yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi
keungangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya
mencerminkan batas atas lebih saji dalam akun tersebut.
Dalam mempertimbangakan materialitas pada tingkat
saldo akun, auditor harus mempertimbangkan hubungan
antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan
keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk
merencanakan audit guna mendeteksi salah saji yang
kemungkinan tidak material secara individual namun, jika
digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang
lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara
keseluruhan.
c. Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun
Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas
laporan keuangan di klasifikasikan, penaksiran awal
tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh
dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke
akun secara individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan
baik untuk akun neraca maupun akun laba-rugi. Namun,
karena hampir semua salah saji laporan laba rugi
mempengeruhi neraca dan karena akun neraca lebih
sedikit banyak auditor melakuan alokasi atas dasar akun
neraca.
Dalam melakukan alokasi, auditor harus
mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji
dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan
untuk memverifikasi akun tersebut.
Alokasi Pertimbangan Pendahuluan Tentang Materialitas Ke
Segmen-Segmen Alokasi pertimbangan pendahuluan
tentang materialitas ke segmen-segmen perlu dilakukan
karena auditor mengumpulkan bukti per segmen dan
bukan untuk laporan keuangan secara keseluruhan.
Berguna untuk membantu auditor dalam memutuskan
jumlah bahan bukti yang cukup untuk dikumpulkan dalam
segmen tersebut, sehingga akan meminimalisasi biaya
audit. Sebagian besar alokasi materialitas pada pos-pos
neraca karena neraca memiliki lebih sedikit komponen.
Kesulitan materialitas pada akun neraca :
1) Anggapan bahwa akun tertentu lebih banyak kekeliruan
daripada yang lain.
2) Perlunya mempertimbangkan apakah kekeliruan tsb.
lebih saji atau kurang saji.
3) Biaya audit relatif dari prosedur audit yang
mempengaruhi alokasi untuk tiap akun sulit diramalkan.
Ketika melaksanakan prosedur audit untuk setiap segmen
audit, auditor membuat kertas kerja untuk mencatat
semua salah saji yang ditemukan. Salah saji yang
ditemukan dalam suatu akun dapat dibedakan menjadi 2
jenis:
1) Salah Saji yang Diketahui adalah salah saji dalam akun
yang jumlahnya dapat ditentukan oleh auditor.
2) Salah Saji yang Mungkin.
Perhitungan proyeksi langsung estimasi salah saji:

2. Langkah-Langkah Menerapkan Materialitas


Auditor mengikuti lima langkah yang saling terkait erat dalam
menerapkan materialitas.
Langkah-Langkah Dalam Menerapkan Materialistas:
a. Merencanakan luas pengujian
1) Langkah 1, Menetapkan pertimbangan pendahuluan
tentang materialitas.
2) Langkah 2, Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan
tentang materialitas segmen-segmen.
b. Mengevaluasi hasil-hasil
1) Langkah 3, Mengestimasi total salah saji dalam segmen.
2) Langkah 4, Memperkirakan salah saji gabungan.
3) Langkah 5, Membandingkan salah saji gabungan
dengan pertimbangan pendahuluan
Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila
laporan keuangan tersebut mengandung salah saji yang
dampaknya, secara individual atau keseluruhan, cukup
signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan
tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material,
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia.Salah saji dapat terjadi sebagai akibat dari
kekeliruan atau kecurangan.
Istilah kekeliruan berarti salah saji atau penghilangan yang
tidak disengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan
keuangan. Kekeliruan mencakup:
a. Kesalahan dalam pengumpulan atau pengolahan data yang
menjadi sumber penyusunan laporan keuangan.
b. Estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang timbul dari
kecerobohan atau salah tafsir fakta.
c. Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi yang
berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau
pengungkapan.
Dalam laporan audit atas laporan keuangan, auditor tidak
dapat memberikan jaminan (guarantee) bagi klien atau
pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan
keuangan auditan adalah akurat.
3. Pentingnya Konsep Materialitas Dalam Audit Atas Laporan
Keuangan
Dalam audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat
memberikan jaminan bagi klien atau pemakai laporan
keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan adalah
akurat karena auditor yang bersangkutan tidak memeriksa
setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit dan
tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang
terjadi telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi
secara semestinya ke dalam laporan keuangan. Oleh karena
itu, dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan
keyakinan (assurance) sebagai berikut:
a. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-
jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta
pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan,
dan dikompilasi.
b. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah
mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai
dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan
keuangan auditan.
c. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk
pendapat (atau memberikan informasi, dalam hal terdapat
perkecualian), bahwa laporan keuangan sebagai
keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat
salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan.
Dengan demikian ada dua konsep yang mendasari keyakinan
yang diberikan oleh auditor yaitu: konsep materialitas yang
menunjukkan seberapa besar salah sajinya dan konsep risiko
audit yang menunjukkan tingkat risiko kegagalan auditor
untuk mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang
sebenarnya berisi salah saji material.
2.6. Risiko Audit
Dalam perencanaan audit, auditor harus
mempertimbangkan risiko audit. Menurut SA Seksi 312 Risiko
Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit, risiko audit
adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak
memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu
laporan keuangan yang mengandung salah saji material.
Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin
rendah risiko audit yang auditor bersedia untuk
menanggungnya.
Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan
keuangan sebagai keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh
dari verivikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara
individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk
membatasi risiko audit pada tingkat saldo akun sedemikian rupa
sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam menyatakan
pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan
berada pada tingkat yang rendah.
Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan
tentang ketepatan informasi yang disajikan oleh klien dalam
laporan keuangan mengharuskan auditor mempertimbangkan
baik materialitas maupun risiko audit, tanpa disadari, tidak
memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atau suatu
laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Risiko
audit, seperti materialitas, dibagi menjadi dua bagian :
1. Risiko Audit Keseluruhan (Overall Audit Risk)
Pada tahap perencanaan auditnya, auditor pertama kali harus
menentukan risiko audit keseluruhan yang direncanakan,
yang merupakan besarnya risiko yang dapat ditanggung oleh
auditor dalam menyatakan bahwa laporan keuangan
disajikan secara wajar, padahal kenyataannya, laporan
keuangan tersebut berisi salah saji material.
2. Risiko Audit Individual
Karena audit mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun
secara individual, risiko audit keseluruhan harus dialokasikan
kepaada akun-akun yang berkaitan. Risiko audit individual
perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu
seringkali sangat penting karena besar saldonya atau
frekuensi transaksi perubahan.
Model Resiko Audit

PDR = Risiko penemuan yang direncanakan (Planned


Detection Risk)
AAR = Risiko audit yang dapat diterima (Acceptable Audit
Risk)
IR = Risiko bawaan (Inherent Risk)
CR = Risiko pengendalian (Control Risk)
a. Risiko penemuan yang direncanakan (Planned Detection
Risk)Yaitu bahwa bahan bukti yang dikumpulkan dalam
segmen gagal menemukan salah saji yang melewati
jumlah yang dapat ditoleransi, kalau salah saji semacam
itu timbul.
b. Risiko Bawaan (Inherent Risk), Penetapan auditor akan
kemungkinan adanya salah saji dalam segmen audit yang
melewati batas toleransi, sebelum memperhitungkan faktor
efektifitas pengendalian intern.
c. Risiko pengendalian (Control Risk), Yaitu ukuran penetapan
auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji)
dalam segmen audit yang melewati batas toleransi, yang
tak terdeteksi atau tercegah oleh SPI klien.
d. Risiko audit yang dapat diterima (Acceptable Audit Risk),
yaitu ukuran ketersediaan auditor untuk menerima bahwa
L/K salah saji secara material walaupun audit telah selesai
dan pendapat WTP telah diberikan. Bersifat subyektif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko usaha sehingga
akan mempengaruhi risiko audit yang dapat diterima :
1. Tingkat ketergantungan pemakai pada L/K
Jika pemakai memiliki ketergantungan yang besar pada L/K,
maka risiko audit perlu diperkecil. Faktor yang menunjukkan
tingkat ketergantungan:
a. Ukuran perusahaan klien.
b. Distribusi kepemilikan.
c. Jumlah dan sifat kewajiban perusahaan.
2. Kemungkinan akan adanya kesulitan keuangan klien yang
timbul setelah laporan audit diterbitkan.
Dalam hal ini, auditor akan diminta untuk mempertahankan
kualitas audit yang dilaksanakannya, bahkan kemungkinan
akan dituntut di pengadilan. Jika auditor merasa ada
kemungkinan kegagalan finansial atau kerugian besar dan
peningkatan risiko usaha, sebaiknya auditor menurunkan
AAR.
3. Evaluasi auditor atas integritas manajemen.
Jika integritas dipertanyakan maka AAR akan rendah. Jika
integritas rendah, sering timbul konflik dengan pedagang
saham, konsumen, dan aparat negara sehingga akan
mempengaruhi anggapan pemakai atas kualitas audit dan
dapat menyebabkan tuntutan.
Menetapkan risiko audit yang dapat diterima:
a. Menyelidiki kondisi klien, menilai faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi tingkat ketergantungan pemakai
ekstern terhadap laporan, kemungkinan kegagalan
keuangan setelah audit selesai, dan integritas
manajemen.
b. Auditor menetapkan tingkat risiko sementara yang
bersifat subyektif bahwa L/K berisi salah saji material
setelah audit selesai.
c. Kemungkinan memperoleh informasi tambahan
mengenai klien dan memodifikasi AAR.
d. Risiko Bawaan
e. Model risiko audit mengandung risiko bawaan berarti
auditor harus memprediksi dimanakah salah saji yang
paling mungkin terjadi dan dimana yang
kemungkinannya paling kecil. Informasi ini jumlah
bahan bukti yang akan dikumpulkan dan bagaimana
auditor mengalokasikannya pada segmen-segmen
audit.
f. Risiko bawaan dapat relatif rendah pada kasus tertentu
dan cukup tinggi pada kasus lain.
Faktor-faktor yang harus ditelaah dalam menetapkan
risiko bawaan:
a. Sifat bidang usaha klien.
b. Hubungan istimewa.
c. Integritas manajemen.
d. Transaksi tidak rutin.
e. Motivasi klien.
f. Pertimbangan yang diperlukan untuk mencatat.
g. Hasil audit sebelumnya saldo akun dan transaksi secara
benar.
h. Penugasan pertama atau penugasan ulang.
i. Kerentanan terhadap kecurangan.
j. Unsur-unsur populasi.
Pertimbangan Materialitas Dan Risiko Lainnya:
a. Risiko Audit Untuk Segmen
1) Risiko pengendalian (CR) dan risiko bawaan (IR)
diterapkan secara spesifik untuik tiap siklus, akun,
dan tujuan audit sehingga cenderung berbeda. Risiko
pengendalian berbeda untuk tiap akun tergantung
efektifitas pengendaliannya.
2) AAR diterapkan auditor untuk keseluruhan audit,
konstan untuk tiap siklus dan akun utama.
3) CR dan IR bervariasi sehingga risiko penemuan dan
bahan bukti audit yang diperlukan juga bervariasi,
tergantung situasi secara spesifik.
4) Menghubungkan Salah Saji Yang Dapat Ditoleransi
dan Risiko Dengan Tujuan Audit yang Berhubungan
Dengan Saldo. IR dan CR ditetapkan untuk setiap
tujuan audit, tetapi tidak lazim untuk
mengalokasikan materialitas pada tujuan audit
karena lebih sulit.
b. Keterbatasan Pengukuran
1) Sulit mengukur komponen-komponen dalam model,
sehingga auditor biasanya menggunakan ukuran
kasar yang subyektif (rendah,sedang,tinggi).
2) Sulit mengukur jumlah bahan bukti yang diinginkan
suatu risiko penemuan yang telah ditetapkan.
PDR dapat diturunkan dengan mengkombinasikan
beberapa prosedur audit, dengan jenis bahan bukti
yang berbeda untuk tujuan audit yang berbeda.
Tidak ada metode pengukuran yang akurat untuk
menentukan pengukuran kuantitatif yang tepat
mengenai kombinasi bahan bukti, tetapi secara
subyektif untuk mengevaluasi kecukupan bahan
bukti untuk memenuhi PDR butuh pertimbangan
profesional.
Kertas kerja Perencanaan Bahan Bukti Pengujian
Terinci Atas Saldo:
a. Menghubungkan pertimbangan yang mempengaruhi
bahan bukti audit dengan bahan bukti yang tepat untuk
dikumpulkan.
b. Kertas kerja perencanaan bahan bukti menunjukkan
bahwa faktor-faktor lain harus dipertimbangkan
sebelum membuat keputusan bahan bukti aktiva.

2.7. Hubungan Antara Materialitas, Risiko Audit dan Bukti


Audit
Berdasarkan pertimbangan biaya-manfaat, auditor tidak
mungkin melakukan pemeriksaan atas semua transaksi yang
dicerminkan dalam laporan keuangan. Auditor harus
menggunakan konsep materialitas dan konsep risiko audit dalam
menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
Karena adanya hubungan antara tingkat materialitas, risiko
audit, dan bukti audit, auditor dapat memilih strategi audit awal
dalam perencanaan audit atas asersi individual atau sekelompok
asersi. Strategi audit awal dibagi menjadi dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan substantif (primarily substantive
approach) dan pendekatan tingkat risiko pengendalian taksiran
rendah (lower assessed level of control risk approach).
Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti
audit, dan risiko audit digambarkan sebagai berikut:
1. Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan
tingkat meterialitas dikurangi, auditor harus menambah
jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
2. Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan
dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko
audit menjadi meningkat.
3. Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit,
auditor dapat menempuh salah satu dari tiga cara berikut ini:
a. Menambah tingkat materialiras, sementara itu
mempertahankan jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
b. Menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan,
sementara itu tingkat materialitas tetap dipertahankan.
c. Menambah sedikit jumlah bukti audit yang dikumpulkan
dan tingkat materialitas secara bersama-sama.

2.8. Program Audit


Salah satu tahap audit ialah perencanaan (audit planning).
Tujuan audit planning ialah untuk menentukan pada area mana,
bagaimana, kapan serta oleh siapa (anggota tim yang mana)
audit akan dilakukan. Langkah penting dalam audit planning
mengidentifikasikan faktor risiko.Auditor harus menilai faktor
risiko inheren, misalnya sistem online, network, database, dan
teknologi canggih lainnya memiliki risiko lebih besar daripada
batch processing system (apalagi dibandingkan sistem manual).
Auditor harus meneliti resiko potensial dengan melakukan
review awal general controls, menilai kelemahan pengendalian
dan mengevaluasi apakah pengendalian tersebut dijalankan.
Tujuan analisis resiko ini untuk membantu auditor agar lebih
fokus audit pada area yang faktor risikonya besar. Untuk itu
auditor menyiapkan rencana kerja audit (audit program)
mengenai batas, jadwal, dan prosedur untuk mencapai sasaran
audit. Setelah audit program disusun dan team auditor telah
dibentuk, selanjutnya para anggota team harus melakukan
pengenalan terhadap sistem yang akan diaudit. Audit Program
merupakan kumpulan dari prosedur audit yang akan dijalankan
dan dibuat secara tertulis
Tujuan Audit Program: membantu Auditor dalam
memberikan perintah kepada asisten mengenai pekerjaan yg
harus dilaksanakan.
Audit Program yang baik harus mencantumkan:
a. Tujuan pemeriksaan.
b. Audit prosedur yg akan dijalankan.
c. Kesimpulan pemeriksaan.
Manfaat Program Audit:
a. Sebagai petunjuk kerja yang harus dilakukan dan
instruksi bagaimana harus menyelesaikan suatu
pemeriksaan.
b. Sebagai dasar untuk koordinasi, pengawasan, dan
pengendalian pemeriksaan.
c. Sebagai dasar penilaian kerja yang dilakukan klien.
Tahap penilaian yang dilakukan oleh auditor dalam
audit ialah:
a. Penelaahan awal.
b. Penelaahan atau pengujian ketaatan/pengendalian (test
of controls) terhadap general controls, serta
penelaahan/pengujian ketaatan pengendalian aplikasi
(application controls) pada unit pengembang sistem
(developer)
c. Penelaahan/pengujian ketaatan pengendalian aplikasi
pada pemakai (user).
d. Tahap evaluasi hasil penelaahan dan pengujian ketaatan
pengendalian.
e. Tahap perancangan pengujian subtantif (subtantive
test).
f. Tahap pelaporan hasil audit.
DAFTAR PUSTAKA

Elder, R. J., Beasley, M. A, & Arens, A. A. (2010). Auditing and


Assurance Services: An Integrated Approach (13th Ed.). New
Jersey: Preston Prentice Hall.
Ikatan Akuntansi Indonesia. Standar Profesional Akuntan Publik.
(2001). Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai