Anda di halaman 1dari 43

Laboratorium Ilmu Bedah LAPORAN KASUS

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

Disusun oleh :
Rheza Giovanni (1510029012)

Dosen Pembimbing:
dr. Gregorius Tekwan, Sp. OT, M. Si

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
2016
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang............................................................................................ 3
1.2. Tujuan......................................................................................................... 3
BAB 2 LAPORAN KASUS.................................................................................... 4
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 18
3.1. Batasan Trauma Tumpul Abdomen............................................................ 18
3.2. Anatomi....................................................................................................... 18
3.2.1 Anatomi Eksternal Abdomen............................................................ 19
3.2.2 Anatomi Internal Abdomen............................................................... 20
3.3. Mekanisme Cedera Trauma Tumpul........................................................... 22
3.4. Diagnosis..................................................................................................... 23
3.4.1 Penilaian............................................................................................ 23
3.4.2 Anamnesis......................................................................................... 23
3.4.3 Pemeriksaan Fisik.............................................................................. 24
3.4.4 Pemeriksaan Penunjang..................................................................... 26
3.5. Evaluasi Trauma Tumpul............................................................................ 32
3.6. Diagnosa Spesifik........................................................................................ 32
3.6.1 Cedera Diafragma.............................................................................. 33
3.6.2 Cedera Duodenum............................................................................. 33
3.6.3 Cedera Pankreas................................................................................ 33
3.6.4 Cedera Genitourinaria....................................................................... 34
3.6.5 Cedera Usus Halus............................................................................ 35
3.6.6 Cedera Organ Solid........................................................................... 35
3.7. Penatalaksanaan........................................................................................... 36
3.8 Klasifikasi Syok dan Penatalaksanaan Awal Cairan................................... 37
3.9. Penatalaksanaan rupture Splein................................................................... 38
BAB 4 PEMBAHASAN......................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 42

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera pada abdomen yang tidak terdeteksi merupakan penyebab kematian yang
dapat dicegah pada setiap trauma pada tubuh. Ruptur organ berongga dan perdarahan dari
organ yang solid tidak mudah dideteksi, dan assessment pasien sering terganggu oleh
intoksikasi alkohol, penggunaan narkoba, cedera otak, dan batang otak, dan cedera organ
sekitar seperti iga atau pelvis. Rongga abdomen dapat terisi darah dalam jumlah banyak
tanpa perubahan dramatis dalam penampilan ataupun ukuran, dan tanpa tanda iritasi
peritoneal yang jelas. Setiap pasien yang mengalami trauma tumpul pada tubuh oleh suatu
hantaman langsung, deselerasi, atau trauma tajam pada tubuh harus dianggap cedera organ
atau cedera vaskuler sampai dibuktikan bukan. Kegagalan dalam mengenal adanya cedera
intra-abdomen atau cedera pelvis akan meningkatkan kematian dini karena perdarahan,
atau kematian tertunda karena cedera viseral (Burlew & Moore, 2015; ATLS, 2008).

Evaluasi abdomen merupakan komponen yang sulit pada initial assessment pasien
trauma. Pada setiap pasien yang mengalami trauma tumpul, penilaian sirkulasi selama
primary survey harus menyertakan evaluasi awal tentang kemungkinan perdarahan
tersembunyi pada abdomen dan pelvis. Mekanisme cedera, dengan kekuatan mekanik,
lokasi cedera, dan status hemodinamik pasien menentukan metode terbaik apa yang harus
dilakukan pada penilaian abdomen (ATLS, 2008).

1.2.1 Tujuan
Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk mengetahui cara identifikasi pasien
yang memepunyai risiko cedera abdomen serta mampu menerapkan prosedur diagnostik
yang sesuai untuk mendeteksi perdarahan yang berlanjut dan cedera yang mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas.

3
BAB 2

LAPORAN KASUS

Pasien masuk IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada tanggal
12/03/2016 pukul 19.00 malam dengan rujukan dari sanggata..

Resume IGD
Pasien masuk ke IGD dengan keluhan nyeri perut setelah terbentur tiang listrik akibat
menabrak trotoar saat mengendarai motor. Pasien telah mendapatkan perawatan di
puskesmas setempat dan lalu di rujuk ke RS AWS Samarinda.

Identitas pasien :
 Nama : Tn. H
 Usia : 31 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Alamat : Sangatta Utara RT 13
 Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
 MRS : 12 Maret 2016
 No. RM : 89.75.07

Pemeriksaan fisik saat di IGD:


Primary Survey:
Airway : Clear, pasien berbicara spontan
Breathing : Gerakan dinding dada simetris, nafas teratur, cepat dan dangkal, tipe
pernafasan thorakal, RR 36x/menit, SaO2 99% (terpasang Nasal kanul 4
lpm)
Circulation : a. radialis teraba kuat angkat, HR 80 kali/menit, TD 100/70 mmHg,
perdarahan luar tidak tampak (pasien dipuasakan, dipasang IVFD RL 20
tpm, dan kateter urin terpasang)
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor, RC +/+

4
Exposure : jejas (-)
Secondary Survey:
 Keadaan umum :
sakit berat
 Kesadaran :
CM, GCS: E4V5M6
 Tanda Vital :
TD: 100/70 N: 80x R: 36x
 Kepala / leher :
Jejas (-) Anemis (-/-) Ikterus (-/-) Pupil isokor (3mm/3mm) Refleks cahaya +/+
Nafas cuping hidung (-) epistaksis (-) battle sign (-) otore (-) Brill hematom (-)
 Thoraks :
Inspeksi: Jejas (-) gerak simetris, retraksi (-) gerak abdonrmal dinding dada (-)
Vesikuler (+/+) rhonki (-/-) wheezing (-/-) S1S2 reguler tunggal
 Abdomen :
Jejas (-) Distensi (+) defans muscular (-) BU(+) menurun
 Eksrimitas :
Jejas (-) deformitas (-) Akral hangat (+) edem (-) Kesan lateralisasi (+)

Diagnosis Kerja : Trauma tumpul abdomen + Hemodinamik stabil

Pemeriksaan Penunjang :
Hasil pemeriksaan Darah
Leukosit 28000
Hemoglobin 9,7
Hematokrit 27,9
Trombosit 225000
GDS 164
Ureum 24,5
Creatinin 1,1

5
BT 3’
CT 10’
HBSag / Ab HIV NR /NR
Natrium 139
Kalium 4,1
Chloride 111

Foto Rontgen:

6
Penatalaksanaan:

- IVFD RL 20 tpm

- O2 Nasal Canul 4 lpm

- DC terpasang

- Ceftriaxone 2x1 gr

- Ranitidine 2x50 mg

- Observsasi tanda-tanda akut abdomen

- Cek DL tiap 6 jam

7
- Pasien dipindahkan ke ruang cempaka

RESUME RUANGAN

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri pada seluruh lapangan perut

Riwayat Penyakit Sekarang:


Nyeri perut ini dirasakan sejak pasien mengalami kecelakaan lalu lintas.
Kecelakaan terjadi 8 sebelum masuk RS. Pasien terlempar dari motor dan menghantam
tiang listrik pada saat menghindari batu di jalan. Pasien pada saat itu berkendara dengan
kecepatan 80 km/jam. Pada saat jalan lurus pasien melihat batu dijalan, pasien berusaha
menghindar dan menggurangi kecepatan dan akhirnya membentur trotoar. Pada saat
kecelakaan pasien menggunakan helm. Riwayat pingsan setelah kecelakan disangkal.
Pasien dapat menceritakan keadaan sebelum dan sesudah kecelakaan. Riwayat muntah
proyektil disangkal. Penurunan kesadaran selama perjalanan dari sangatta disangkal.
Setelah kecelakaan pasien langsung dibawa ke puskesmas terdekat. Pasien mendapat
resusitasi cairan di Puskesmas tersebut dan kemudian dirujuk ke RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda untuk penanganan lebih lanjut.

Riwayat Penyakit dahulu:


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat operasi (-)
Riwayat dirawat di RS sebelumnya (-) Alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat ataupun keluhan serupa.

Riwayat Pengobatan:
Pasien tidak mengkonsumsi obat rutin tertentu.

Riwayat Kebiasaan:

8
Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol ataupun obat-obatan
terlarang.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum
Kesan sakit : Sakit sedang
Kesadaran : CM, GCS E4V5M6

Tanda Vital
Tekanan Darah : 90 / 65 mmHG
Frekuensi nadi : 98 x/menit, reguler, lemah
Frekuensi napas : 28 x/menit, reguler
Suhu aksiler : 36,7⁰C

Kepala dan leher


Kepala : Anemis (+/+), ikterik (-/-), sianosis (-), jejas (-), krepitasi (-),
perdarahan aktif (-), pupil isokor diameter 3mm/3mm, bentuk bulat,
refleks cahaya (+/+) nafas cuping hidung (-)
Leher : Trakea teraba ditengah, jejas (-), pembengkakan KGB (-)

Thorakal
Inspeksi : Gerakan napas simetris , retraksi (-) jejas (-) gerak dinding dada abnormal
(-) bentuk dada normal (-)
Palpasi : krepitasi costa (-) clavicula (-) nyeri tekan (-) fremitus (+)
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru, kesan ukuran jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, suara nafas vesikuler, suara nafas tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi : Distensi (+) , jejas (-)
Auskultasi : Bising usus kesan menurun
Perkusi : timpani di seluruh kuadran perut, batas atas hepar setinggi ICS 6, batas

9
bawah hepar setinggi arcus costae, shifting dullness (+)
Palpasi : Nyeri tekan perut kiri atas, defans muscular (+), hepar dan lien tidak
Teraba (sulit dievaluasi)
Ekstremitas
Look : Jejas (-)
Feel : CRT >2 detik, akral dingin
Move : ROM dalam batas normal, MMT 5/5/5/5

2.4 Pemeriksaan Penunjang

- Foto thoraks : tidak terdapat kontusio pulmonum maupun fraktur


- Hasil pemeriksaan laboratorium serial

13/03/2016 15/03/2016 16/03/2016 17/03/2016


Leukosit 28000 27000 29700 27000
Hemoglobin 9,7 8,2 7,3 8,2
Hematokrit 27,9% 24,0% 20,3% 24,2%
Trombosit 225000 102000 175000 273000

13/03/2016 15/03/2016
Natrium 139 136
Kalium 4,1 4,2
Chloride 111 108
GDS 164 -
Albumin 2,5 2,4
Ureum 24,5 33,8
Creatinin 1,1 0,7
HBsAg/BT NR/ 3’
AbHiv/CT NR/ 10’

2.5 Diagnosis

10
– Trauma tumpul abdomen + internal bleeding ec ruptur splein + unstable
hemodynamic

2.6 Laporan Operasi

Diagnosa Pre Operatif :

Trauma tumpul abdomen + suspek internal bleeding ec suspek ruptur solid organ +

unstable hemodinamic

Diagnosa Post Operatif :

Trauma tumpul abdomen + internal bleeding ec ruptur splein + unstable hemodinamic

Macam operasi :

- Laparotomi resusitasi dan splenektomi

Instruksi Post Operasi

- Awasi A-B-C
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
- Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
- Cek Hb post operasi transfuse WB sampai Hb ≥ 10 , bila Hb ≥ 10 stop transfuse.

Follow Up Pasien

Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning


13/03/16 Nyeri perut TD : 110/80 Trauma tumpul abd - IVFD RL 20 tpm
21.30 (+) N : 85x/menit + anemia - Inj. Ceftriaxone 500 mg/12
RR : 21x/menit jam IV (H-1)
T : 36,5 - Inj. Ranitidin 50 mg/12 jm
Anemis (+/+) Ikt (-/-) IV
ves (+/+) rh (-/-) wh - Cek DL/6 jam
(-/-)
Abd distended, Bu

11
kesan menurun,
timpani, nyeri tekan
seluruh lapang
abdomen
L: 18.200
Hb : 8,4
Ht: 25%
Tr: 226.000
14/03/16 Nyeri perut TD : 90/70 Trauma tumpul abd - IVFD RL 20 tpm
(+) N : 115x/menit + anemia - Inj. Ceftriaxone 500 mg/12
RR : 28x/menit jam IV (H-2)
T : 36,2 - Inj. Ranitidin 50 mg/12 jm
Anemis (+/+) Ikt (-/-) IV
ves (+/+) rh (-/-) wh - Transfusi PRC 2 unit
(-/-) - Obs TTV/ jam
Abd distended, Bu - Cek DL/6 jam
kesan menurun, - Pasang NGT (pasien
timpani, nyeri tekan menolak)
seluruh lapang
abdomen

15/03/16 Nyeri abd TD : 110/70 Trauma tumpul abd - Pro laparotomy eksplorasi
00.00 (+) N : 140x/menit + ruptur solid di OK IGD pkl 00.00
RR : 28x/menit organ + anemia - SIO
T : 36,7 - Konsul Anestesi (ACC op)
Anemis (+/+) Ikt (-/-) - Daftar OK IGD
ves (+/+) rh (-/-) wh - Baju OK
(-/-) - Cukur pubis
Abd distended, Bu
kesan menurun,
timpani, nyeri tekan

12
seluruh lapang
abdomen

L:26.500
Hb: 7,6
Ht: 22%
Tr: 181.000

15/03/16 Nyeri post GCS 15 Post laparotomy - IVFD KAEN 3B 80cc/ jam
Post op op , TD : 130/70 resusitasi - Inj. Ceftriaxone 500 mg/12
pasien di kembung N : 93x/menit splenektomy H-0 jam IV (H-3)
HCU (+) (+), Mual RR : 23x/menit, SpO2 a/i trauma tumpul - Inj. ketorolac 100 mg/8
(+), Muntah 99% (NRM 6 lpm) abdomen + internal jam IV (H-1)
I: 350cc (-) T : 36,7 hemoragik e.c - Inj. Kalnex 3x500 mg (H-
O:400 cc ruptur splein 1)
BC: -50 Anemis (+/+) Ikt (-/-) - Inj. Metoclopramide 3x1
ves (+/+) rh (-/-) wh amp IV
(-/-) - GV/hari
Soefl, Abd distended, - Bed Rest
Bu kesan menurun, - Diet
timpani, nyeri tekan
post op
Luka Op. Merembes
(-)
Produksi NGT < 10cc
Produksi Drain 200 cc/
8 jam

L: 27.000
Hb: 8,2
Ht: 24 %

13
Tr: 102.000
Alb: 2,4
16/03/16 Nyeri post GCS 15 Post laparotomy - IVFD KAEN 3B 80cc/ jam
HCU op, Mual- TD : 124/67 resusitasi - Inj. Ceftriaxone 500 mg/12
I: 2446 muntah (-) N : 89x/menit splenektomy H-1 jam IV (H-4)
cc kembung RR : 24x/menit, SpO2 a/i trauma tumpul - Inj. ketorolac 100 mg/8
O: 2325 (-) flattus 100% (NRM 8 lpm) abdomen + internal jam IV (H-2)
cc (-) BAB (-) T : 36,0 hemoragik e.c - Inj. Kalnex 3x500 mg (H-
BC: 123 ruptur splein 2)
cc Anemis (+/+) Ikt (-/-) - Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
ves (+/+) rh (-/-) wh - Inj. Metoclopramide 3x1
(-/-) amp IV
Soefl, Abd distended, - GV/hari
Bu kesan menurun, - Bed Rest
timpani, - Diet susu OGT/Oral
Luka Op. Merembes 6x500cc
(-) - NGT Buka tutup
Produksi NGT < 400
cc/ 24 jam warna hijau
Produksi Drain 300 cc/
24 jam
Edem ekstrimitas (-)
Akral hangat (+)

L: 29.700
Hb: 7,3
Ht: 20 %
Tr: 175.000
17/03/16 Nyeri post GCS 15 Post laparotomy - IVFD KAEN 3B 80cc/ jam
HCU op, Mual- TD : 125/72 resusitasi - Inj. Ceftriaxone 500 mg/12
muntah (-) N : 106 x/menit splenektomy H-2 jam IV (H-5)

14
kembung RR : 20 x/menit, SpO2 a/i trauma tumpul - Inj. ketorolac stop
(-) flattus 96 % abdomen + internal - Inj. Kalnex 3x500 mg (H-
(+) BAB (-) T : 36,6 hemoragik e.c 3)
ruptur splein - Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
Anemis (-/-) Ikt (-/-) - Inj. Metoclopramide 3x1
ves (+/+) rh (-/-) wh amp IV
(-/-) - GV/hari
Soefl, Abd distended, - Bed Rest
Bu (+) n, timpani, - Diet bubur saring via NGT
Luka Op. Merembes TKTP
(-) - NGT klem
Produksi NGT < 50 - Mobilisasi duduk
cc/ 24 jam warna hijau - Rencana aff drain besok
Produksi Drain 50 cc/
24 jam
Urine Output 0,7
cc/kgBB/jam

Edem ekstrimitas (-)


Akral hangat (+)

L: 27.000
Hb: 8,2
Ht: 24 %
Tr: 273.000
18/03/16 Nyeri post GCS 15 Post laparotomy - IVFD RL : D5 2:1 -> 1500
op TD : 127/62 resusitasi cc/24 jam
berkurang, N : 111 x/menit splenektomy H-3 - Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
Mual- RR : 22 x/menit, SpO2 a/i trauma tumpul IV (H-6)
muntah (-) 98 % T : 36 abdomen + internal - Inj. Santagesic 1 gr/ 12 jam
kembung hemoragik e.c (KP)

15
(-) flattus Anemis (-/-) Ikt (-/-) ruptur splein - Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
(+) BAB ves (+/+) rh (-/-) wh - GV/ 2 hari
(+) (-/-) - Mobilisasi
Soefl, Abd distended, - Rencana aff drain dan DC
Bu (+) n, timpani, besok
Luka Op. Merembes - Bladder training
(-) - Terapi lain lanjut

Produksi Drain 20 cc/


12 jam
Edem ekstrimitas (-)
Akral hangat (+)
19/03/16 Nyeri post GCS 15 Post laparotomy - IVFD RL : D5 2:1 -> 1000
Anggrek op TD : 120/80 resusitasi cc/24 jam
berkurang, N : 78 x/menit splenektomy H-4 - Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
Mual- RR : 23 x/menit, T : a/i trauma tumpul IV (H-6)
muntah (-) 36,8 abdomen + internal - Inj. Santagesic 1 gr/ 8 jam
kembung hemoragik e.c (KP)
(-) flattus Anemis (-/-) Ikt (-/-) ruptur splein - Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
(+) BAB ves (+/+) rh (-/-) wh - GV/ 2 hari
(+) (-/-) - Mobilisasi
Soefl, Abd distended, - Aff drain dan DC
Bu (+) n, timpani,
Luka Op. Merembes
(-)
Produksi Drain (+)
Edem ekstrimitas (-)
Akral hangat (+)
20/03/16 Nyeri post GCS 15 Post laparotomy - IVFD RL : D5 2:1 -> 1000
Anggrek op TD : 110/70 resusitasi cc/24 jam
berkurang N : 72 x/menit splenektomy H-5 - Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam

16
RR : 20 x/menit, T : a/i trauma tumpul IV (H-7)
36,9 abdomen + internal - Inj. Santagesic 3x1 (KP)
hemoragik e.c - Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
Anemis (-/-) Ikt (-/-) ruptur splein - GV/ hari
ves (+/+) rh (-/-) wh - Mobilisasi
(-/-)
Soefl, Abd distended,
Bu (+) n, timpani,
Luka Op. Merembes
(-)
Edem ekstrimitas (-)
Akral hangat (+)
21/03/16 Nyeri post GCS 15 Post laparotomy - IVFD RL : D5 1:1 -> 1000
Anggrek op TD : 120/70 resusitasi cc/24 jam
berkurang N : 70 x/menit splenektomy H-6 - Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
RR : 20 x/menit, T : a/i trauma tumpul IV (H-8)
36,7 abdomen + internal - Inj. Tramadol 3x1 (KP)
hemoragik e.c - Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
Anemis (-/-) Ikt (-/-) ruptur splein - GV/ hari
ves (+/+) rh (-/-) wh
(-/-)
Soefl, Abd distended,
Bu (+) n, timpani,
Luka Op. Merembes
(-)
Edem ekstrimitas (-)
Akral hangat (+)
22/03/16 Nyeri post GCS 15 Post laparotomy - Mobilisasi
Anggrek op TD : 120/80 resusitasi - Aff Infus
berkurang N : 80 x/menit splenektomy H-7 - Resep pulang:
RR : 22 x/menit, T : a/i trauma tumpul - Cefixime 2x100 mg

17
36,6 abdomen + internal - As. Mefenamat 3x500 mg
Anemis (-/-) Ikt (-/-) hemoragik e.c - Ranitidine 2x1
ves (+/+) rh (-/-) wh ruptur splein - Rawat Jalan
(-/-)
Soefl, Abd distended,
Bu (+) n, timpani,
Luka Op. Merembes
(-)
Edem ekstrimitas (-)
Akral hangat (+)

18
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Batasan Trauma Tumpul Abdomen

Trauma tumpul abdomen yaitu trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi, atau
sabuk pengaman. Trauma tumpul abdomen sering kali ditemui pada unit gawat darurat.
Sebanyak 75% kasus trauma tumpul abdomen adalah sebagai akibat dari kecelakaan lalu
lintas, baik itu kendaraan dengan kendaraan maupun kendaraan dengan pejalan kaki.
Sedangkan trauma abdomen akibat pukulan sebanyak 15% dan jatuh sebanyak 9%.
Selebihnya adalah sebagai akibat dari child abuse dan domestic violence.

3.2 Anatomi

Gambar 1. Pembagian daerah abdomen

19
3.2.1 Anatomi Eksternal Abdomen

Sebagian abdomen tertutup oleh rongga bawah toraks, abdomen anterior dibatasi
oleh area antara transnipple line di superior, ligamentum inguinal, dan simfisis pubis di
inferior, linea aksilaris anterior di lateral. Flank adalah area di antara linea aksilaris anterior
dan posterior dari sela iga ke enam sampai krista iliaka. Dinding abdomen di daerah ini
cukup tebal lengan lapisan otot, sedangkan di abdomen anterior terdapat aponeurosis yang
lebih tipis, yang berperan sebagai barrier terhadap terhadap luka penetrans, terutama luka
tusuk (ATLS, 2008).

Area abdomen belakang dibatasi oleh linea aksilaris posterior dari tip scapula
sampai krista iliaka. Mirip dengan otot dinding abdomen di flank, otot-otot paraspinal dan
pinggang belakang berperan sebagai barrier terhadap luka penetrans. Cedera pada daerah
abdomen yang tersembunyi, seperti retroperitoneal harus selalu diwaspadai (ATLS, 2008).

20
Gambar 2. Anatomi eksternal abdomen

3.2.2 Anatomi Internal Abdomen

Terdapat tiga region abdomen di rongga abdomen, yaitu rongga peritoneum, rongga
retroperitoneal dan rongga pelvis. Rongga pelvis sebenarnya terdiri dari rongga peritoneal
dan retroperitoneal juga (ATLS, 2008).

Rongga Peritoneal

Rongga peritoneal secara praktis dapat dibagi menjadi dua bagian, atas dan bawah.
Rongga peritoneal atas, yang ditutupi oleh tulang-tulang toraks, termasuk
diafragma, liver, limfa, gaster, dan kolon transversum. Area ini dinamakan juga
sebagai “komponen thorakoabdominal” dari abdomen. Ketika diafragma bergerak
ke sela interkosta ke-empat sewaktu ekspirasi maksimal, fraktur dari iga bawah atau
luka tusuk di bawah nipple line dapat mencederai organ abdomen. Rongga

21
peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian kolon ascenden dan decenden, kolon
sigmoid, dan pada wanita, organ reproduksi interna (ATLS, 2008).

Rongga Retroperitoneal

Rongga ini terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta abdominalis, vena
cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan ureter; permukaan
posterior kolon asenden dan desenden, dan komponen retroperitoneal dan rongga
pelvis. Cedera terhadap struktur organ retroperitoneal sulit dideteksi karena area ini
jauh dari pemeriksaan fisik, dan cederanya tidak segera menimbulkan gejala atau
tanda peritonitis. Lebih jauh lagi, area ini tidak terjangkau oleh diagnostic
peritoneal lavage (DPL) (ATLS, 2008).

Rongga Pelvis

Rongga pelvis, dikelilingi oleh tulang pelvis, pada dasarnya hanya merupakan
bagian bawah dari rongga intraperitoneal dan retroperitoneal. Berisi rectum,
kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan pada wanita, organ reproduksi
interna. Seperti pada area torakoabdominal, pemeriksaan struktur pelvis dipersulit
oleh tulang disekelilingnya (ATLS, 2008).

22
Gambar 3. Anatomi abdomen tampak pada potongan sagital

Gambar 4. Anatomi organ intra-abdomen hepar, kandung empedu, dan gaster

23
Gambar 5. Anatomi organ intra-abdomen hepar dan kandung empedu tampak anterior dan
posterior (Beauchamp, Evers & Matox, 2007)

Gambar 6. Segmen Hepar (Beauchamp, Evers & Matox, 2007)

3.3 Mekanisme Cedera pada Trauma Tumpul

Hantaman langsung, seperti kontak dengan kemudi kendaraan atau dorongan pintu
penumpang yang masuk ke dalam akibat suatu kecelakaan, dapat menyebabkan kompresi
dan cedera crushing terhadap visera abdomen. Kekuatan hantaman dapat merusak organ
solid maupun organ berongga dan dapat menyebabkan rupture dengan perdarahan
sekunder, kontaminasi oleh isi dalam usus, dan peritonitis. Cedera shearing adalah salah
satu bentuk cedera crushing yang mungkin disebabkan oleh penggunaan seat belt yang
kurang sempurna. Pasien yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor dapat
menderitacedera deselerasi, sebagai akibat dari perbedaan differensial dari gerakan organ

24
yang terfiksasi dengan organ yang tidak terfiksasi. Sebagai contoh antara lain laserasi liver
dan lien, keduanya organ yang bebas bergerak, pada lokasi fiksasi ligamentumnya (ATLS,
2008).

Air-bag yang membuka belum tentu mencegah cedera abdomen. Pada pasien
dengan trauma tumpul, organ yang paling sering mengalami cedera antara lain limfa (40%-
50%), liver (35%-45%), dan usus halus (5%-10%). Selain itu terdapat 15% insidensi
hematoma retroperitoneal ppada pasien yang menjalani laparotomi untuk trauma tumpul.
Meskipun sabuk pengaman dapat mencegah cedera berat, sabuk pengaman dapat
menyebabkan cedera yang spesifik (ATLS, 2008).

3.4 Diagnosis

3.4.1 Penilaian

Pada pasien dengan hipotensi, tujuan seorang dokter adalah secara cepat
menentukan apakah terdapat cedera abdomen dan apakah cedera tersebut sebagai penyebab
hipotensinya. Riwayat trauma dapat memprediksi, dan pemeriksaan fisik, dibantu oleh alat
diagnostik cepat, dapat mengonfirmasi adanya cedera abdomen dan pelvis yang
memerlukan kontrol perdarahan segera. Pasien dengan hemodinamik normal tanpa tanda
peritonitis dapat menjalani pemeriksaan lebih detail untuk menentukan adanya cedera
organ spesifik yang dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Dengan berjalannya
waktu pemeriksaan harus diulang secara serial untuk menentukan apakah ada tanda
perdarahan ataupun peritonitis (ATLS, 2008).

3.4.2 Anamnesis

Pada pasien dengan cedera akibat kecelakaan mobil, anamnesis riwayat trauma
harus menyertakan kecepatan kendaraan, tipe tabrakan (tabrakan frontal, lateral, gesekan
samping, belakang, atau terguling), desakan kendaraan terhadap kompartemen penumpang,
tipe pengaman, adanya airbag, posisi pasien di kendaraan, dan keadaan penumpang lain,
polisi, atau petugas ambulans. Informasi mengenai tanda vital, cedera yang jelas terlihat,
dan respons dari terapi prahospital, harus disampaikan oleh petugas prahospital (ATLS,
2008).

25
3.4.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik abdomen harus dikerjakan secara seksama dengan urutan


inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Kemudian diikuti oleh pemeriksaan stabilitas
pelvis; uretra, perineum, dan rectum; vaginal; dan gluteal (ATLS, 2008).

Inspeksi

Pada umumnya, baju pasien harus seluruhnya dibuka. Pada abdomen anterior dan
posterior, juga pada dada bawah dan perineum. Dilihat apakah ada abrasi, kontusio dari
sabuk pengaman, laserasi, luka penetrans, benda asing yang tertancap, eviserasi omentum
atau usus halus, dan kehamilan. Pasien harus secara hati-hati dilakukan log roll untuk
mempermudah pemeriksaan lengkap. Setelah selesai pemeriksaan, pasien harus diselimuti
dengan selimut hangat untuk mencegah hipotermia (ATLS, 2008).

Auskultasi

Austkultasi abdomen dilakukan untuk mengonfirmasi ada atau tidaknya bising usus.
Adanya dara intraperitoneal atau perforasi dapat menyebabkan ileus, sehingga bising usus
menghilang; walaupun demikian, temuan ini tidaklah spesifik, karena ileus juga dapat
disebabkan oleh cedera ekstraabdominal. Temuan ini menjadi penting ketika awalnya
normal kemudian berubah dengan berjalannya waktu (ATLS, 2008).

Perkusi dan Palpasi

Perkusi menyebabkan peritoneum bergerak dan dapat merangsang iritasi peritoneal.


Ketika terdapat iritasi peritoneal, tidak perlu lagi dicari adanya nyeri lepas, karena
pemeriksaan tersebut hanyalah akan menyebabkan pasien lebih menderita karena nyeri
(ATLS, 2008).

Adanya kekakuan otot (voluntary guarding) dapat menyebabkan pemeriksaan


abdomen tidak dapat diandalkan. Sebaliknya involuntary muscle guarding merupakan
tanda yang andal untuk iritasi peritoneum. Palpasi dapat membedakan nyeri superfisial
(dinding abdomen) dan nyeri tekan dalam (ATLS, 2008).

26
Penilaian Stabilitas Pelvis

Perdarahan mayor dapat terjadi akibat dari fraktur pelvis pada pasien dengan trauma
tumpul batang tubuh. Penilaian awal akan kemungkinan perdarahan dari pelvis dapat
dilakukan pada waktu pemeriksaan fisik dengan cara menilai stabilitas pelvis (ATLS,
2008).

Pemeriksaan ini dimulai dengan cara kompresi manual krista iliaka atau spina iliaka
anteroposterior. Adanya gerakan abnormal atau nyeri tulang mengarah kepada adanya
fraktur pelvis, pemeriksaan stabilitas pelvis harus segera dihentikan. Bila pelvis tampaknya
stabil pada waktu kompresi, lakukan maneuver unyuk distraksi spina iliaka anterosuperior,
untuk mengevaluasi adanya gerakan tulang ataupun nyeri. Maneuver ini harus dilakukan
secara hati-hati karena dapat menyebabkan atau memperberat perdarahan. Bila tersedia,
lebih baik dilakukan pemeriksaan foto x-ray agar pasien terhindar dari nyeri dan
kemungkinan memperberat perdarahan (ATLS, 2008).

Pemeriksaan Uretra, Perineal, dan Rektal

Adanya perdarahan pada meatus uretra merupakan pertanda adanya robekan uretra.
Inspeksi skrotum dan perineum harus dilakukan untuk melihat tanda ekimosis atau
hematoma, sugestif cedera uretra. Pada pasien dengan trauma tumpul, pemeriksaan rektal
bertujuan untuk menilai tonus sfingter, menentukan posisi prostat (prostat letak tinggi
menandakan adanya rupture uretra), selain identifikasi adanya fraktur pelvis. Pada pasien
dengan trauma penetrans, pemeriksaan rektal dilakukan untuk menilai tonus sfingter dan
mencari adanya darah segar karena perforasi usus (ATLS, 2008).

Pemeriksaan Vagina

Laserasi vagina dapat disebabkan oleh fragmen fraktur pelvis atau karena trauma
tajam. Pemeriksaan vagina harus dilakukan ketika terdapat laserasi perineum yang
kompleks (ATLS, 2008).

27
Pemeriksaan Gluteal

Daerah glutea meliputi krista iliaka sampai lipatan glutea. Cedera penetrans pada
area ini dihubungkan dengan 50% cedera intraabdominal yang signifikan, termasuk cedera
rektal (ATLS, 2008).

3.4.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan X-ray untuk Trauma Abdomen

Pemeriksaan x-ray toraks anteroposterior (AP) dan pelvis dianjurkan pada penilaian
pasien dengan trauma tumpul multisistem. Pasien dengan abnormalitas hemodinamik
dengan trauma penetrans abdomen tidak memerlukan x-ray di unit emergensi. Bila pasien
tanpa abnormalitas hemeodinamik dan terdapat trauma penetrans di atas umbilicus atau
curiga cedera thorakoabdominal, foto x-ray thoraks tegak berguna untuk menyingkirkan
hematothoraks atau pneumothoraks atau untuk melihat adanya udara bebas di
intraperitoneal. Dengan marker atau klip yang ditempel pada semua luka masuk dan luka
keluar, x-ray abdomen supine dapat dilakukan pada pasien hemodinamik normal untuk
menentukan adanya udara retroperitoneal (ATLS, 2008).

Focused Assesment Sonography in Trauma (FAST)

Focused Assesment Sonography in Trauma (FAST) adalah salah satu dari dua
pemeriksaan paling cepat untuk mengidentifikasi perdarahan atau potensi cedera organ
berongga. Pada FAST, teknologi ultrasonografi digunakan oleh dokter yang terlatih untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan perlengkapan yang spesifik oleh dokter yang
terlatih, ultrasonografi mempunyai sensitivitas, spesifitas dan akurasi deteksi deteksi cairan
intraabdominal sebanding dengan DPL dan CT abdomen. Jadi ultrasonografi merupakan
pemeriksaan yang cepat, non invasive, akurat dan tidak mahal dalam mendiagnosis
hemoperitoneum dan dapat diulang apabila diperlukan. USG dapat dilakukan diruang
resusitasi secara bedside sambil secara simultan melakukan pemeriksaan atau terapi lain.
Indikasi prosedurnya sama dengan DPL. Faktor yang dapat mempersulit pemeriksaan USG
adalah obesitas, adanya udara subkutan dan riwayat operasi abdomen sebelumnya (ATLS,
2008).

28
Pemeriksaan USG untuk mendeteksi hemoperitoneum dapat dilakukan secara cepat.
Lebih jauh lagi, USG dapat mendeteksi penyebab hipotensi non hipovolemik, yaitu
tamponade jantung. Pemeriksaan diarahkan untuk mencari kantung pericardial, fossa
hepatorenal, splenorenal dan pelvis atau cavum douglas. Setelah pemeriksaan awal,
pemeriksaan kedua atau kontrol dapat dilakukan setelah interval 30 menit. Pemeriksaan
kontrol dapat mendeteksi hemoperitoneum yang progresif pada pasien dengan perdarahan
lambat dan interval pendek dari cedera sampai pemeriksaan pertama (ATLS, 2008).

Gambar 7. Focused Assesment Sonography in Trauma (FAST) untuk menggambarkan defek pada
trauma intra-abdomen. Perdarahan nampak antara ginjal kanan dan hepar (A), antara ginjal kiri dan
limpa (B), atau pada pelvis (C) (Burlew & Moore, 2015).

29
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) adalah pemeriksaan kedua tercepat untuk


mengidentifikasi perdarahan atau potensi cedera organ berongga. DPL adalah prosedur
yang invasive yang secara bermakna mempengaruhi tindakan selanjutnya dan dianggap
98% sensitive untuk perdarahan intraperitoneal. DPL harus dilakukan oleh tim bedah
terhadap pasien dengan abnormalitas hemodinamik dan trauma tumpul multipel, terutama
bila terdapat situasi sebagai berikut:

- Perubahan sensorium – cedera otak, intoksikasi alkohol atau penggunaan


narkoba
- Perubahan sensasi – cedera medulla spinalis
- Cedera struktur sekitar – iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
- Pemeriksaan fisik yang meragukan
- Hilang kontak dengan pasien dalam waktu lama – anastesi umum untuk cedera
ekstra abdomen, pemeriksaan x-ray yang lama (seperti angiografi pada pasien
dengan atau tanpa abnormalitas hemodinamik)
- Lap-belt sign (Kontusio dinding abdomen) dengan kecurigaan cedera usus
(ATLS, 2008).

DPL juga diindikasikan pada pasien tanpa abnormalitas hemodinamik, tetapi tidak
ada fasilitas USG dan CT. Kontraindikasi absolut DPL hanyalah bila ada indikasi untuk
laparotomy. Kontraindikasi relatif termasuk adanya riwayat operasi abdomen sebelumnya,
morbid obesity, sirosis lanjut dan koagulopati. Teknik terbuka atau tertutup di
infraumbilikal ddapat dilakukan. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau kehamilan tua,
teknik terbuka di supraumbilikal lebih disukai untuk menghindari hematoma pelvis atau
kerusakan uterus. Adanya darah, isi usus, serat sayuran atau empedu yang keluar melalui
kateter lavase pada pasien dengan abnormalitas hemodinamik merupakan indikasi untuk
laparotomi (ATLS, 2008).

Bila tidak terdapat darah gross (>10 ml) atau isi usus, lavase dilakukan dengan
cairan kristaloid isotonic yang hangat sebanyak 1000 ml (10 ml/kg pada anak). Setelah isi
peritoneal tercampur dengan baik dengan cairan lavase dengan cara mengkompresi

30
abdomen dan menggerakkan pasien dengan cara log rolling atau memiringkan ke posisi
head down dan head up, cairan dikirim ke laboratorium untuk analisisi kuantitatif bila isi
usus, serat sauran atau empedu tidak terlihat secara jelas. Tes dikatakan positif pada trauma
tumpul bila terdapat >100.000 sel darah merah per millimeter kubik, 500 sel darah putih
per millimeter kubik, atau adanya bakteri pada pewarnaan Gram (Nathwani & Windley,
2013; ATLS, 2008).

Gambar 8. Algoritma penilaian awal pada pasien yang diduga mengalami trauma tumpul abdomen
(Burlew & Moore, 2015)

Evaluasi trauma tumpul abdomen lebih sering menggunakan FAST dibandingkan


DPL. Pemeriksaan FAST tidak 100% sensitif, sehingga pada pasien dengan hemodinamik
tidak stabil tanpa sumber perdarahan yang jelas, diagnostik dengan aspirasi peritoneal lebih
menjamin. FAST digunakan untuk mengidentifikasi adanya cairan bebas intraperitoneal di
morrison’s pouch, kuadran kiri atas dan pelvis. Meskipun metode ini sensitif untuk
mendeteksi cairan >250 ml, tetapi tidak bisa untuk menentukan sumber perdarahan maupun
derajat cedera organ solid. Pasien dengan cairan yang terlihat pada pemeriksaan FAST,
atau disebut dengan “FAST positif” jika hemodinamiknya stabil, maka bukan merupakan
indikasi untuk laparotomy segera. Pada keadaan tersebut dilakukan CT Scan terlebih
dahulu untuk mengevaluasi cedera. Penemuan tambahan pada CT Scan untuk pasien
dengan cedera organ padat antara lain, ekstravasasi kontras, jumlah perdarahan intra
abdomen dan adanya pseudoaneurisma. CT Scan juga diindikasikan untuk pasien dengan
hemodinamik stabil tetapi tidak sesuai dengan pemeriksaan fisik. Meskipun CT Scan

31
memiliki akurasi yang tinggi, namun masih terbatas untuk identifikasi cedera intestinal
(Burlew & Moore, 2015).

Cedera pada usus digambarkan dengan penebalan dinding usus, “streaking” pada
mesenterium, cairan bebas yang tidak berhubungan dengan cedera organ padat atau udara
bebas intraperitoneal. Pasien dengan cairan bebas intraabdomen tanpa cedera organ padat
harus dilakukan monitor ketat tanda-tanda peritonitis. Jika pasien mengalami cedera kepala
atau tidak bisa dilakukan pemeriksaan secara berkala, DPL harus dilakukan untuk
menyingkirkan cedera usus. DPL dilakukan dengan pendekatan infraumbilikal. Setelah
menempatkan kateter, sambungkan spuit 10 cc dan lakukan aspirasi. Aspirasi yang
dipertimbangkan positif bila darah yang diaspirasi >10 cc. Jika darah yang diaspirasi <10
cc masukkan satu liter normal salin. Cairan di kirim ke laboratorium untuk perhitungan red
blood cell, white blood cell dan penentuan kadar amilase, bilirubin dan alkali fosfatase.
Nilai yang positif untuk DPL dapat dilihat di tabel berikut ini (Burlew & Moore, 2015).

Tabel 1. Nilai yang positif untuk DPL (Burlew & Moore, 2015)

Trauma Abdomen
RBC >100.000/ml
WBC >500/ml
Amilase >19 IU/L
Alkali Fosfatase >2 IU/L
Bilirubin >0.01 mg/dl

Computed Tomography (CT)

Computed Tomography (CT) adalah prosedur diagnostik yang memerlukan


transport pasien ke tempat pemeriksaan, pemberian kontras dan pemeriksaan abdomen atas,
bawah dan pelvis. Prosedur ini cukup memakan waktu dan hanya dilakukan pada pasien
tanpa abnormalitas hemodinamik dimana tidak ada indikasi yang jelas untuk laparotomi
emergensi. CT Scan memberi informasi yang spesifik mengenai organ yang terkena dan
derajat kerusakannya, juga dapat mendiagnosa cedera pelvis dan retroperitoneal yang sulit
dicapai oleh pemeriksaan fisik, FAST dan lavase peritoneal. Kontraindikasi relative CT
antara lain penundaan, pasien tidak kooperatif yang tidak dapat disedasi, alergi terhadap
bahan kontras, bila kontras non ionic tidak tersedia. Beberapa jenis cedera usus, diafragma

32
dan cedera pancreas dapat lolos dari pemeriksaan CT. Bila tidak ada cedera liver atau lien,
adanya cairan bebas di rongga abdomen kemungkinan disebabkan oleh cedera usus
dan/atau mesenteriumnya, dan banyak spesialis bedah trauma menganggap hal ini
merupakan indikasi untuk tindakan bedah segera (ATLS, 2008).

Pemeriksaan Kontras

Sejumlah pemeriksaan kontras dapat membantu diagnose cedera organ spesifik,


tetapi pemeriksaannya tidak boleh menyebabkan penundaan penanganan pasien dengan
abnormalitas hemodinamik. Pemeriksaanya antara lain:

- Uretrografi
- Sistografi
- Pielografi intravena
- Kontras saluran cerna

Uretrografi harus dilakukan sebelum memasang kateter urin bila dicurigai ada
ruptur uretra. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan kateter urine nomor 8 french
yang difiksasi di fossa meatal dengan inflasi balon sampai 1,5-2 ml. Kira-kira 15-20 ml
bahan kontras diinjeksikan secara hati-hati. Dilakukan foto radiologi dengan proyeksi
miring dengan peregangan ringan penis (ATLS, 2008).

Diagnosis ruptur kandung kencing intraperitoneal atau ekstraperitoneal dapat


dengan sistogram. Syringe dipasang ke kateter urin, diangkat 40 cm diatas pasien, dan
kontras larut air dialirkan sebanyak 300 ml ke kandung kencing. Aliran dihentikan bila: (1)
aliran tertahan, (2) pasien kencing spontan, atau (3) pasien merasa tidak nyaman. Foto AP,
oblique dan pandangan pasca drainase penting untuk menyingkirkan cedera secara
definitive. Evaluasi CT kandung kencing dan pelvis (sistografi CT) adalah pemeriksaan
alternative yang mungkin berguna untuk menambah informasi mengenai ginjal dan tulang
pelvis. Cedera sistem traktus urinarius paling baik dievaluasi dengan contrast enhanced CT
Scan. Bila CT tidak tersedia dapat dilakukan intravenous pyelography (IVP). Injeksi
kontras dosis tinggi secara cepat (screening IVP) paling baik dilakukan dengan dosis 200
mg iodine/kg body weight. Prosedur dimulai dengan injeksi bolus 100 ml (standar 1,5
ml/kg untuk pasien dengan berat 70 kg) dari iodine solution 60% yang diinjeksikan melalui

33
dua syringe 50 ml selama 30-60 detik. Bila hanya tersedia iodine 30%, dosis ideal adalah 3
ml/kg. Kaliks ginjal harus dapat divisualisasi oleh x-ray selama 2 menit setelah injeksi
kontras. Gambaran kontras hanya unilateral kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya
ginjal, trombosis, avulsi arteri renalis atau rupture parenkim masif. Gambaran non
fungsional seperti demikian memerlukan evaluasi radiologis lanjutan dengan contrast
enhanced CT-Scan atau arteriografi renal atau eksplorasi bedah, tergantung kepada
mekanisme cedera, ketersediaan alat atau pengalaman dokter (ATLS, 2008).

Cedera tunggal pada organ saluran cerna retroperitoneal (seperti duodenum, kolon
ascenden atau descenden, rectum, saluran empedu dan pancreas) mungkin tidak
menyebabkan peritonitis dan tidak dapat dideteksi pada DPL. Ketika ada kecurigaan
terhadap hal ini, CT dengan kontras, injeksi kontras saluran cerna spesifik dan pemeriksaan
imaging pancreaticobiliary mungkin bergua. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut harus
diintruksikan oleh dokter bedah yang merawat pasien tersebut (ATLS, 2008).

3.5 Evaluasi Trauma Tumpul

Bila terdapat indikasi yang jelas bahwa pasien harus ditransfer segera ke fasilitas
yang lebih lengkap, pemeriksaan yang memakan waktu lama, seperti pemeriksaan kontras,
DPL dan CT tidak perlu dilakukan. Tabel di bawah ini membandingkan penggunaan DPL,
FAST dan CT termasuk keuntungan dan kerugiannya dalam mengevaluasi trauma tumpul
(ATLS, 2008).

Tabel 2. Perbandingan DPL, FAST dan CT pada Trauma Tumpul Abdomen (ATLS, 2008)

DPL FAST CT SCAN


Advantages Early diagnosis Early diagnosis Most specific for
Performed rapidly Noninvasive injury
98% sensitive Performed rapidly Sensitive : 92%-
Detects bowel Repeatable 98% accurate
injury
Disadvantages Invasive Operator dependent Cost and time
Low specificity Bowel gas and subcutaneous Misses diaphragm,
air distortion bowel and some

34
Misses injuries to Misses diaphragm, bowel, pancreatic injuries
diaphragm and pancreatic and solid organ Transport required
retroperitoneum injuries

3.6 Diagnosis Spesifik

Liver, limpa, dan ginjal adalah organ yang paling sering terkena pada trauma
tumpul, meskipun insidensi relatif lebih rendah dari perforasi organ berongga, cedera
vertebra lumbal, dan ruptur uteri meningkat dengan penggunaan sabuk pengaman yang
salah. Kesulitan diagnosis dapat terjadi dengan cedera diafragma, duodenum, pankreas,
sistem genitourinarius, atau usus halus (ATLS, 2008).

3.6.1 Cedera diafragma

Robekan tumpul dapat terjadi pada setiap bagian diafragma, hemidiafragma kiri
lebih sering terkena. Cedera yang paling sering adalah robekan sepanjang 5-10 cm
di posterolateral kiri. Abnormalitas pada foto x-ray dada antara lain elevasi atau
blurring hemidiafragma, hemotoraks dan adanya udara abnormal yang menutupi
hemidiafragma atau selang gastrik berposisi di dada. Meskipun demikian, foto x-ray
dada dapat normal pada sebagian kecil pasien (ATLS, 2008).

3.6.2 Cedera Duodenum

Ruptur duodenum secara klasik terjadi pada pengemudi tanpa sabuk pengaman dan
mengalami tabrakan frontal dan pasien mengalami tumbukan langsung pada
abdomen, seperti pada stang kemudi sepeda (ATLS, 2008).

3.6.3 Cedera Pankreas

Cedera pankreas sering terjadi akibat dari tumbukan langsung terhadap epigaster
dan mengkompresi organ terhadap kolumna vertebralis. Kadar serum amilase yang
normal pada awal pengamatan tidak menyingkirkan kemungkinan trauma mayor
pankreas. Sebaliknya, kadar amilase dpat meningkat pada penyakit non-pankreas.
Walaupun demikian, tetap diperlukan evaluasi pankreas dan visera abdomen

35
lainnya. Double-contrast CT mungkin tidak dapat mendeteksi trauma pankreas
pada saat segera setelah trauma (sampai 8 jam); pemeriksaan harus diulang bila
dicurigai terdapat cedera pancreas. Bila hasil CT meragukan, diperlukan konfirmasi
dengan eksplorasi bedah (ATLS, 2008).

3.6.4 Cedera Genitourinarius

Benturan langsung ke punggung atau flank yang menyebabkan kontusio,


hematoma, atau ekimosis merupakan jejas yang potensial menunjukkan akan
adanya cedera ginjal dan memerlukan evaluasi (CT atau IVP) saluran kencing.
Indikasi lain untuk evaluasi traktus urinarius termasuk gross hematuria atau
mikroskopis pada pasien dengan: (1) luka penetrans abdomen, (2) episode hipotensi
(tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg) yang berhubungan dengan trauma
tumpul, dan (3) cedera intra-abdomen yang berhubungan dengan trauma tumpul.
Gross hematuria ataupun mikroskopis pada pasien dengan episode syok merupakan
indikasi adanya risiko cedera abdomen nonrenal. CT-scan abdomen dengan kontras
intravena dapat mendokumentasi adanya dan luasnya cedera ginjal, 95% dapat
dilakukan terapi secara non-operatif. Trombosis arteri renal atau ruptur pedikel
ginjal akibat terhadap deselerasi jarang terjadi dimana mungkin tidak disertai
hematuria, meskipun pasien mengeluh nyeri abdomen hebat. IVP, CT, dan
arteriografi ginjal mungkin berguna untuk mendiagnosis (ATLS, 2008).

Fraktur pelvis anterior biasanya terdapat pada pasien dengan cedera uretra. Cedera
uretra dapat dibagi menjadi cedera bagian atas (posterior) atau bawah (anterior) dari
diafragma urogenital. Cedera uretra posterior biasnaya terjadi pada pasien dengan
cedera multisistem dan fraktur pelvis. Sebaliknya, cedera uretra anterior dapat
disebabkan oleh straddle impact dan dapat berupa cedera tunggal saja (ATLS,
2008).

3.6.5 Cedera Usus Halus

Cedera tumpul usus biasanya disebabkan oleh deselerasi mendadak dengan akibat
robekan di dekat titik perlekatan, terutama pada pasien dengan pengguna sabuk
pengaman yang salah. Adanya ekimosis di dinding abdomen yang berbentuk linier

36
menyilang (seat belt sign) atau adanya fraktur distraksi lumbal (chance fracture)
pada x-ray harus membuat dokter curiga akan kemungkinan cedera usus. Meskipun
beberapa pasien memperlihatkan nyeri abdomen, diagnosis mungkin sulit, terutama
bila perdarahan dari robekan usus hanya minimal. USG atau CT-scan yang
dilakukan terlalu cepat kemungkinan belum menemukan kelainan, DPL lebih baik
pada keadaan dimana terdapat ekimosis dinding abdomen (ATLS, 2008).

3.6.6 Cedera Organ Solid

Cedera liver, limpa, dan ginjal yang menyebabkan syok, instabilitas hemodinamik,
atau adanya tanda-tanda perdarahan berkelanjutan merupakan indikasi untuk
laparotomi segera. Cedera organ solid tanpa abnormalitas hemodinamik dapat
dilakukan terapi secara non-operatif. Beberapa pasien harus dirawat untuk observasi
secara teliti, dan diperlukan evaluasi oleh spesialis bedah. Cedera organ berongga
yang menyertai terjadi kurang dari 5% pasien yang pada awalnya diduga hanya
menderita cedera tunggal organ solid (ATLS, 2008).

Gambar 9. Grading laserasi hepar menurut AAST Grading scales for solid organ
injuries (1994) (Smith & Richardson, 2013)

3.7 Penatalaksanaan

37
Nasogastric tube (NGT) dan kateter urin sering dipasang pada fase resusitasi,
setelah masalah airway, breathing, dan circulation didiagnosa dan diterapi.

Pemasangan NGT

Tujuan pemasangan NGT secara dini pada proses resusitasi adalah untuk
dekompresi lambung sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung, sehingga
menurunkan risiko aspirasi. Adanya darah dalam sekret lambung kemungkinan disebabkan
oleh cedera esofagus atau saluran cerna atas bila tidak ada kelainan di nasofaring dan/atau
orofaring. Bila dicurigai terdapat fraktur fasial yang berat atau fraktur basis kranii, selang
gastrik harus dipasang melalui mulut untuk mencegah pasase selang melalui cribriform
plate masuk ke otak (ATLS, 2008).

Pemasangan Kateter Urine

Tujuan pemasangan kateter urine secara dini pada proses resusitasi adalah untuk
membebaskan retensi urin, dekompresi kandung kemih sebelum melakukan DPL, dan
untuk monitoring urinary output. Hematuria adalah pertanda adanya trauma traktus
genitourinarius dan organ intraabdominal nonrenal. Ketidakmampuan untuk miksi, fraktur
pelvis yang tidak stabil, darah pada meatus, hematoma skrotum, atau ekimosis perineal,
dan prostat letak tinggi pada colok dubur memerlukan uretrografi retrogard untuk
mengonfirmasi apakah uretra intak sebelum memasang kateter urine. Ruptur uretra yang
terdeteksi pada primary ataupun secondary survey mungkin memerlukan insersi selang
suprapubis oleh dokter yang berpengalaman, dan akan lebih aman jika dilakukan dengan
panduan ultrasonografi (ATLS, 2008).

Indikasi Laparotomi

Penilaian bedah diperlukan untuk menentukan perlunya dan kapan akan dilakukan
laparotomi. Beberapa indikasi dibawah ini dapat dijadikan panduan untuk seorang spesialis
bedah menentukan keputusan.

- Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi dan FAST positif atau terdapat bukti
klinis perdarahan intraperitoneal
- Trauma tumpul abdomen dengan DPL positif

38
- Hipotensi dengan luka penetrans abdomen
- Luka tembak melintas rongga peritoneum atau visera/vaskuler retroperitoneum
- Evirasi
- Perdarahan dari lambung, rectum atau saluran genitourinari dari trauma
penetrans
- Peritonitis
- Udara bebas, udara retroperitoneal atau ruptur hemidiafragma setelah trauma
tumpul
- Ruptur saluran cerna, cedera kandung kemih intraperitoneal, cedera pedikel
ginjal atau cedera parenkim visera berat akibat trauma penetrans atau tumpul,
terlihat pada contrast-enhanced CT (Burlew & Moore, 2015).

3.8 Klasifikasi Syok dan Resusitasi Awal Cairan

Gejala dan tanda klasik dari syok antara lain takikardi, hipotensi, takipneu,
perubahan status mental, diaphoresis dan pucat. Pada umumnya, kuantitas hilangnya darah
berhubungan dengan kelainan fisiologi. Contohnya, pasien dengan syok derajat 2
mengalami takikardi tetapi tidak menunjukkan penurunan tekanan darah hingga jumlah
darah yang hilang mencapai > 1500 cc atau syok kelas 3. Pemeriksaan fisik harus
digunakan untuk mengevaluasi respon dari terapi yang diberikan. Tujuan dari resusitasi
cairan adalah menjaga perfusi jaringan. Resusitasi cairan dimulai dari 2 liter (dewasa) atau
20ml/kg (anak) secara intravena menggunakan cairan kristaloid isotonis yaitu ringer lactat.
Untuk hipotensi persisten (Tekanan darah sistolik <90 mmHg pada dewasa), dilakukan
massive transfusion protocol (MTP) menggunakan red blood cells (RBC) dan fresh frozen
plasma (FFP). Pasien dengan respon yang baik terhadap infus cairan (tanda vital normal)
dan bukti perfusi perifer yang baik (akral hangat dan waktu pengisian kapiler < 2 detik)
merupakan tanda adanya perfusi yang adekuat secara keseluruhan. Urin output merupakan
pemeriksaan kuantitatif dan indicator perfusi organ. Urin output yang adekuat adalah 0,5
ml/kg/jam pada dewasa, 1ml/kg/jam pada anak, dan 2ml/kg/jam pada anak <1 tahun
(Burlew & Moore, 2015).
Berdasarkan respon awal resusitasi cairan pada pasien hipovolemi, dibedakan
menjadi tiga kategori, yaitu responsders, transient reponds dan non responders. Pasien

39
dengan respon baik yang ditandai dengan normalisasi tanda vital, status mental dan urin
output menandakan bahwa tidak terdapat on going hemorrhage dan dapat dilakukan
diagnostik lebih lanjut terhadap cedera. Pasien yang dikategorikan sebagai non responder
jika mengalami hipotensi persisten meskipun telah dilakukan resusitasi yang agresif. Pada
pasien ini harus dilakukan indentifikasi sumber perdarahan secara cepat dengan intervensi
yang tepat untuk mencegah hasil yang fatal. Transient responders merupakan pasien
dengan perbaikan tanda vital setelah dilakukan loading cairan, tetapi kemudian mengalami
penurunan hemodinamik kembali (Burlew & Moore, 2015).

Tabel 3. Tingkatan Tanda dan Gejala Syok Hemoragik (Burlew & Moore, 2015).

3.9 Penatalaksanaan pada Ruptur Splein

Penatalaksanaan secara tradisional adalah splenektomi. Akan tetapi, splenektomi


sedapat mungkin dihindari, terutama pada anak-anak, untuk menghindari kerentanan
permanen terhadap infeksi. Kebanyakan laserasi kecil dan sedang pada pasien stabil,
terutama anak-anak, ditatalaksana dengan observasi dan transfusi. Kegagalan dalam
penatalaksanaan obsevatif lebih sering terjadi pada trauma grade III, IV, dan V daripada
grade I dan II. Pada banyak penelitian, embolisasi arteri lienalis telah dijelaskan
menggunakan berbagai pendekatan. Satu poin utama dalam pembahasan tentang perbedaan
antara embolisasi arteri lienalis utama, embolisasi arteri lienalis selektif atau superselektif,
dan embolisasi arteri lienalis di berbagai tempat. Embolisasi ini menghambat aliran pada
pembuluh yang mengalami perdarahan. Jika pembedahan diperlukan, lien dapat diperbaiki

40
secara bedah. Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada keadaan rupture lien meliputi
splenorafi dan splenektomi.

1. SPLENORAFI
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional
dengan teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam.
Tindak bedah ini terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah yang
terbuka, dan menjahit kapsul lien yang terluka. Jika penjahitan laserasi saja kurang
memadai, dapat ditambahkan dengan pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa
penjahitan omentum.

2. SPLENEKTOMI
Mengingat fungsi filtrasi lien, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan benar.
Selain itu, splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak boleh dianggap ringan.
Eksposisi lien sering tidak mudah karena splenomegali biasanya disertai dengan perlekatan
pada diafragma. Pengikatan a.lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat
berguna. Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi
dengan splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial bisa
terdiri dari eksisi satu segmen yang dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan
bagian yang tidak cedera masih vital. Tapi splenektomi tetap merupakan terapi bedah
utama dan memiliki tingkat kesuksesan paling tinggi.

BAB 4
PEMBAHASAN

41
Laporan kasus ini membahas mengenai pasien rujukan dari salah satu puskesmas di
Kutai Timur dengan diagnosa suspek perdarahan interna e.c trauma tumpul abdomen.
Pasien sebelumnya memiliki riwayat terlempar dari motor dan terbentur tiang listrik
dibagian perut. Setelah itu pasien mengalami nyeri perut kiri atas kemudian seluruh
lapangan perut dan dibawa ke Puskesmas terdekat. Setelah itu pasien dirujuk ke IGD
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Penanganan pada kasus jika disesesuaikan
dengan teori adalah sebagai berikut :

1. Pasien ini dirujuk ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie dengan alasan untuk
penanganan lebih lanjut.
2. Pasien ini dirujuk dengan kondisi hemodinamik stabil. Kesadaran pasien GCS
E4V5M6. Tanda vital pasien saat dirujuk antara lain, tekanan darah 100/70 mmHg,
respiratory rate 36x/menit, nadi 80x/menit. Pasien dirujuk setelah dilakukan
manajemen airway, breathing dan circulation (resusitasi dan manajemen syok yang
benar). Sebelumnya pasien telah diberikan loading cairan ringer lactat namun tidak
diketahui jumlahnya. Pada pasien ini hanya terpasang 1 jalur intravena. Pasien
kemudian dirawat inap di ruang cempaka. Selama perawatan dihari pertama pasien
mengalami syok dan dolakukan resusitasi cairan. Setelah hemodinamik yang tidak
stabil pasien akhirnya dilakukan operasi darurat untuk resusitasi. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan di IGD RSUD AWS adalah Foto thoraks, CT-scan dan
BNO 3 posisi.
3. Durante operasi ditemukan rupture pada spleen dan dilakukan surgical resusitasi
dan splenektomi. Kondisi pasien setelah operasi mengalami perbaikan dan pasien
dapat rawat jalan 6 hari setelah operasi splenektomi.

DAFTAR PUSTAKA

42
ATLS. 2008. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeons
Committe on Trauma, 129-146.

Beauchamp, Evers, & Matox. 2007. Sabiston; Text Book of Surgery. Elsevier

Burlew, C. C., & Moore, E. 2015. Trauma. In C. Brunicardi, Schwartz's Principles of


Surgery (pp. 161-226). New York: Mc Graw Hill.

Nathwani, D., & Windley, J. 2013. Early assessment and management of trauma. In N.
Wlliams, Bailey & Love's Short Practice of Surgery (pp. 206-301). New York: CRC
Press Taylor & Francis Group.

Smith J & Richardson J.D. 2013. Management of Hepatobiliary Trauma In Matthews J.B.,
McFadden D.W, Pemberton J.H., Peters J.H. Shackelford's Surgery of the
AlimentaryTract. Philadelphia : Elsevier

Zinner M.J. & Ashley S.W.2013. Maingot's Abdominal Operations. New York :
McGrawHill

43

Anda mungkin juga menyukai