Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM


BERDARAH

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau disebut juga Dengue Hemorhagic
Fever (DHF) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk ini hidup di
daerah yang memiliki iklim tropis dengan suhu lembab. Ciri-ciri nyamuk Aedes
Aegypti yaitu memiliki tubuh berwarna hitam dengan belang putih pada kakinya
(Candra, 2019). Adapun menurut WHO (2011) DBD merupakan suatu penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam 2-
7 hari disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa syok dan hasil laboratorium
menunjukan trombositopenia (trombosit < 100.000) serta peningkatan hematokrit
20% atau lebih dari nilai normal.

2. Etiologi
Penyebab penyakit ini yaitu gigitan nyamuk Aedes Aegypti yang terinfeksi
virus dengue. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN- 3, dan DEN-
4. Nyamuk betina akan menggigit manusia (dengan menghisap darah untuk
mematangkan telur dalam tubuhnya), dan pada satu waktu nyamuk senang
menggigit berulang-ulang sekaligus kepada banyak orang (hal ini menjadi alasan
di suatu tempaat dapat terjadi banyak orang yang terkena DBD) (Setiabudi,
2019a). Nyamuk ini senang tinggal dan berkembang biak di genangan air bersih.
Menurut WHO (2011) faktor risiko yang berhubungan dengan Dengue Fever/
Dengue Hemorhagic Fever yaitu pengelolaan limbah padat yang tidak
mencukupi, kurangnya infrastruktur pengendalian nyamuk, penggunaan produk
plastik yang memfasilitasi peningkatan angka kejadian penyakit dan penyebaran

1
penyakit secara pasif.

2
Penularan terjadi saat nyamuk betina yang terinfeksi virus dengue
sewaktu menghisap darah pasien dengue fase demam yang mengandung
banyak virus (viremia). Virus berkembang biak selama 8-12 hari pada saluran
pencernaan dan akhirnya bisa sampai di kelenjar ludah. Saat nyamuk
menggigit orang lain (yang sehat), nyamuk akan mengeluarkan cairan ludah
ke dalam luka gigitan sehingga orang tersebut menjadi tertular virus dengue.
Masa inkubasi penyakit ini 3-14 hari (paling sering 4-7 hari) dan setelah itu
akan mulai timbul gejala-gejala penyakit (Setiabudi, 2019a).

3. Manifestasi klinis
a. Demam Dengue
Pan American Health Organization (PAHO) mengungkapkan tanda
dan gejala demam dengue yaitu adanya demam tinggi selama 2-7 hari setelah
gigitan nyamuk yang terinfeksi dengan disertai 2 atau lebih gejala lain seperti
sakit kepala bagian frontal, mialgia (terutama pada bagian punggung bagian
bawah, lengan dan kaki, arthralgia (bagian lutut dan bahu), ruam khas,
leukopenia, adanya anoreksia dan mual (Smith, 2019).
b. Demam Berdarah Dengue (DBD)
World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa kasus
DBD lebih sering diderita oleh anak dibawah 15 tahun dibandingkan orang
dewasa. Penderita DBD akan merasakan tanda gejala yang mirip dengan
demam dengue yaitu diawali dengan fase demam kemudian disertai hasil tes
torniquet positif, peteki, mudah memar, perdarahan gastrointestinal di kasus
yang parah. Center for Disease Control and Prevention (2020)
mengungkapkan tanda dan gejala DHF ini adanya demam (3-7 hari). Setelah
itu, akan ada gejala lain seperti nyeri perut, muntah, perubahan suhu dari
demam ke hipotermia, tanda perdarahan, atau perubahan status mental.
Menurut WHO dalam CDC (2020) untuk menegakkan diagnosa DHF
jika ada tanda dan gejala seperti:
 Demam 2-7 hari
 Ada tanda perdarahan
3
 Trombositopenia (<100.000/mm3)
 Adanya tanda kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas
pembuluh darah : peningkatan hematokrit ≥20% diatas normal,
penurunan hematokrit ≥20% dari hematokrit awal, adanya efusi pleura
atau asites, hipoproteinemia atau hipoalbumin.

Klasifikasi derajat DBD menurut WHO:


Derajat I : Demam disertai uji torniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau
perdarahan lain.
Derajat III : Ditemukan tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau hipotensi
disertai akral dingin, CRT >2 detik, dan pasien gelisah.
Derajat IV : Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diukur.
c. Dengue Shock Syndrom (DSS)
Selain tanda gejala yang ditemukan sama dengan gejala DHF, pada
yang pasien mengarah ke syok, maka tanda dan gejala yang muncul
seperti gelisah, akral dingin, CRT > 2 detik, nadi cepat dan lemah,
penyempitan tekanan nadi (≤20 mmHg), hipotensi.
Warning sign pada pasien DHF yaitu:
 Tidak ada perbaikan klinis atau memburuknya kondisi pasien
 Muntah yang persisten
 Nyeri perut
 Penurunan kesadaran dan/atau gelisah, perubahan perilaku yang tiba-
tiba.
 Perdarahan: epitaksis, melena, hematoemesis, perdarahan menstruasi
berlebihan, hemoglobinuria atau hematuria.
 Pusing
 Akral dingin

4
 Lebih sedikit atau tidak ada keluaran urin selama 4-6 jam.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tanda dan gejala
penyakit DBD ini dibagi kedalam tiga fase, yaitu:
a. Fase demam ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh disertai adanya
nyeri kepala, nyeri otot seluruh badan, nyeri sendi, kemerahan pada kulit,
khususnya bagian kulit wajah (flushing). Selain itu, ditemukan juga gejala
lain seperti menurunnya nafsu makan, mual, dan muntah. Pada fase ini
berlangsung selama 2-7 hari dengan hasil laboratorium menunjukan
leukopenia, sedangkan trombosit dan hematokrit masih dalam batas
normal.
b. Fase kritis terjadi paling sering pada hari ke 4-6 (dapat terjadi lebih awal
pada hari ke-3 atau lebih lambar pada hari ke-7) sejak dari mulai sakit
demam. Pada fase ini akan terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh
darah kapiler sehingga terjadi perembesan plasma. Darah akan menjadi
kental, dan apabila tidak mendapat terapi cairan yang memadai, dapat
menyebabkan syok hingga kematian.
Tanda gejala lainnya yang akan ditemui seperti muntah, nyeri perut,
perdarahan pada kulit, hidung, gusi, sampai terjadi muntah darah dan
buang air besar berdarah. Sehingga dapat ditemukan tanda-tanda syok
seperti badan dingin, tampak lemas, bahkan dapat terjadi penurunan
kesadaran. Pemeriksaan laboratorium menunjukan penurunan jumlah
trombosit disertai peningkatan hematokrit.
c. Fase pemulihan biasanya berlangsung dalam 48-72 jam ditandai dengan
perbaikan keadaan umum, nafsu makan pulih, anak tampak lebih ceria,
dan pengeluaran kemih (diuresis) cukup atau lebih banyak dari biasanya.
Pemeriksaan laboratorium meunjukan nilai hematokrit mengalami
penurunan sampai stabil dalam rentang normal dan disertai peningkatan
jumlah trombosit secara cepat menuju nilai normal (Setiabudi, 2019).

5
4. Pemeriksaan penunjang
a. Rapid diagnostic test (RDT)
- Antigen nonstruktural-1 dengue (NS1) test, dilakukan untuk mendeteksi
dini infeksi dengue sehingga dapat dilakukan terapi suportif,
pemantauan pasien segera, mengurangi risiko komplikasi maupun
kematian. Hasil pemeriksaan akan positif selama fase demam pada
pasien yang sudah terinfeksi. Pemeriksaan pada hari pertama demam
memiliki keakuratan mencapai 90%. Setelah 5 hari, hasil tes cenderung
negatif. Hasil NS1 negatif tidak berarti bahwa pasien tidak menderita
DBD, maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya.
- Pemeriksaan serologi antigen dengue IgG dan IgM, tes ini dilakukan
setelah 5 hari fase demam. Jika hasil menunjukan hanya IgM positif,
ini menunjukan infeksi dengue primer. Jika hasil menunjukan hanya
IgG positif, ini menunjukan infeksi dengue masa lalu karena IgG dapat
bertahan selama bertahun-tahun. Sedangkan jika IgG dan IgM positif,
ini menunjukan infeksi dengue sekunder (WHO, 2011).

b. Complete Blood Count (CBC)


Pemeriksaan darah rutin seperti hemoglobin, hematokrit, leukosit dan
trombosit. Peningkatan hematokrit dijadikan sebagai indikator kebocoran
plasma, penurunan trombosit ≤ 100.000 mm3 atau disebut trombositopenia
dimana pasien dapat beresiko terjadi perdarahan, leukopenia (≤ 5000 mm3)
dijadikan sebagai indikator terjadinya syok pada anak (WHO, 2011).

6
5. Patofisiologi

Virus dengue yang masuk ke dalam tubuh akan berkembang di


dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh mekrofag. Setelah itu, terjadi
viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah 5 hari gejala
panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell).
Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan
menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada
3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi
hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang


merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot,
malaise dan gejala lainnya. Imunopatogenesis DBD dan DSS masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi
dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue


seperti juga virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik
akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia
maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik
dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen. Secara umum hipotesis secondary
heterologous infection menjelaskan bahwa jika terdapat antibodi yang spesifik
terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit,
tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi
yang tidak dapat menetralisasi virus,

7
justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang aka n menginfeksi dan kemudian
membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc
reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga
mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder
(teori secondary heterologous infection) oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam
waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma
dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok
berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung
selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan
kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak
tertanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang
dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.

8
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada
DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulapati konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak
berfungsi dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan
kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.

9
6. Penatalaksanaan Medis
Menurut WHO (2009) penatalaksanaan pasien dengan infeksi dengue
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C. Grup A
merupakan pasien yang dapat menjalani rawat jalan. Sedangkan Grup B atau
C merupakan pasien yang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Prinsip
terapi bersifat simptomatis dan suportif.
Grup A
Grup A adalah pasien tanpa disertai warning signs, mampu
mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine
minimal sekali dalam 6 jam. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan
sebelum memutuskan pasien boleh melakukan rawat jalan. Pasien dengan
hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup
A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral
yang cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus
diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan diberikan instruksi agar
secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs selama
perawatan di rumah.
Grup B
Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan kondisi
penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta
khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau
dengan indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh dari rumah sakit atau
tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu
mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi
cairan intravena dapat dimulai dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau
Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes maintenance. Monitoring meliputi
pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan keluar), produksi urine, dan
warning signs.

10
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai
berikut:
a. Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam
selama 2-4 jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai
respons klinis.
b. Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit
stabil atau hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan
kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam.
c. Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT,
tingkatkan kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam.
d. Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi
kecepatan tetes infus. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika
mendekati akhir fase kritis yang diindikasikan oleh adanya produksi urine
dan asupan cairan yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai
baseline.
e. Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien
melewati fase kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah
terapi pengganti cairan, kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi
organ lainnya (profil ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).
Grup C
Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage) berat
yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres
nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi
menjadi terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan terapi syok
hipotensif (hypotensive shock).
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:
a. Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama
1 jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan
kecepatan tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam,

11
kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama
2-4 jam dan selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi cairan
intravena dipertahankan selama 24-48 jam.
b. Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan
pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi
bolus cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam.
Jika membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes
secara gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
c. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan
dan memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).
Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:
1) Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai
bolus diberikan dalam 15 menit.
2) Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam
selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
3) Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai
hematokrit sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini
menandakan adanya perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika
hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan dengan cairan
koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1
jam, nilai ulang setelah bolus kedua.
4) Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi
kecepatan tetes seperti poin penjelasan sebelumnya.
5) Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah
bolus cairan kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan
adanya perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat
(>50%), lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga

12
selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam,
kemudian ganti dengan cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.
6) Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau
10-20 ml/kg/jam whole blood segar.

B. KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.Identitas
- Identitas pasien
Nama, No. RM, Jenis kelamin, Umur (menurut WHO DBD lebih
sering menyerang anak dibawah 15 tahun), alamat, status, agama, suku,
tanggal MRS, tanggal pengkajian, diagnosa medis.
- Identitas penanggung jawab
- Nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, agama,
hubungan dengan klien.
b.Keluhan utama
Keluhan utama pasien adalah pengkajian kondisi pasien pada saat datang ke
rumah sakit. Alasan utama pasien DHF datang ke rumah sakit lebih sering
datang ke rumah sakit karena demam tinggi dan anak lemah.
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kapan awal pasien mulai demam, apakah demam naik turun, atau terus
menerus tinggi, apakah demam disertai kejang, nyeri otot atau sendi, sakit
kepala, mual muntah, anoreksia, perdarahan pada kulit (peteki), gusi, melena
atau hematemesis.
d.Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita pasien. Apakah pernah mengalami DHF.
e. Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami tanda dan gejala
yang sama, atau penyakit DHF karena penyakit ini dapat ditularkan melalui
gigitan nyamuk aides aegypti.

13
f. Riwayat imunisasi
Apabila pasien memiliki kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan
timbulnya komplikasi dapat dihindarkan.
g. Status gizi
Pada pasien DHF akan muncul tanda gejala anoreksia, dan mual muntah.
Pada pasien anak hal ini perlu dikaji karena dapat mempengaruhi berat
badan dan status nutrisi berkurang. Ukur tinggi badan, berat badan, kaji
alergi makanan atau makanan yang tidak disukai.
h. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum :
Berdasarkan tingkatan DHF, keadaan anak dengan DHF sebagai
berikut:
a) Grade I : Kesadaran CM, keadaan umum lemah, tanda-tanda
vital dan nadi lemah.
b) Grage II: Kesadaran CM, keadaan umum lemah, ada
perdarahan spontan peteki, perdarahan gusi dan
telinga, serta nadi lemah, kecil dan tidak teratur.
c) Grade III: Kesadaran apatis, keadaan umum lemah, nadi
lemah, kecil dan tidak teratur, serta tekanan darah
menurun.
d) Grade IV: Kesadaran coma, tanda-tanda vital dengan nadi tidak
teraba, tekanan darah tidak teratur, pernafasan tidak
teratur, ekstremitas dingin, berkeringan dan kulit tampak
biru.
2) Kesadaran :
Menilai status kesadaran pasien meliputi tingkat kesadaran
(composmentis, apatis, sopor, atau delirium, somnolen, sopor,
comatus, coma).
3) Tanda-tanda vital
Tekanan darah: pemeriksaan tekanan darah menjadi penting karena
pada pasien DBD berisiko terjadi syok.
14
Denyut nadi : hitung denyut nadi dalam 1 menit, nilai kekuatan dan
irama denyutan nadi.
Frekuensi nafas: hitung frekuensi nafas dalam 1 menit, nilai irama,
pola nafas, kaji adanya retraksi dada, pernafasan cuping hidung, dan
jenis pernafasan (dada atau perut).
Suhu : kaji suhu pasien, pada pasien DBD sering terjadi peningkatan
suhu tubuh karena proses infeksi virus.
4) Pemeriksaan fisik
a) Sistem susunan saraf pusat:
Kepala : kaji adanya nyeri kepala, apakah nyeri hilang timbul atau
terus menerus, ukur skala nyeri.
Wajah : lihat keadaan umum pasien apakah tampak gelisah,
tenang, kelelahan.
Kejang : apakah pasien memiliki riwayat kejang. Jika ya, pada
suhu berapa pasien akan mengalami kejang, bagaimana keadaan
tubuh saat kejang. Motorik : kekuatan otot pasien
b) Sistem pernafasan :
Pola nafas, irama pernafasan, retraksi dada, pernafasan cuping
hidung, suara nafas, perkusi area dada dan amati suaranya.
c) Sistem kardiovaskuler
Warna kulit, keluhan nyeri dada, denyut nadi (kekuatan denyutan,
irama denyut nadi), akral, CRT.
d) Sistem pencernaan
Keluhan mual muntah, anoreksia, mukosa bibir, oral hygiene
pasien, nyeri tekan pada abdomen, keadaan abdomen (lunak atau
tegang), bising usus, perkusi area abdomen, kebiasaan BAK dan
BAB.
e) Sistem integumen
Apakah ada peteki, kemerahan pada kulit, turgor kulit
f) Sistem muskuloskeletal
Apakah ada nyeri sendi, nyeri otot, oedema.
15
2. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF (Nanda,2015).
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
b. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan mual, muntah, anoreksia.
d. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas dinding plasma.
e. Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume
cairan tubuh.
f. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kebocoran
plasma darah.
g. Resiko perdarahan berhubungan dengan efek trombositopeni.
h. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

3. Rencana keperawatan pada pasien anak dengan penyakit DHF (Nanda,


2015):
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi virus
dengue.
Intervensi dan rasional :
1) monitor suhu tubuh pasien sesering mungkin
Rasional : mengetahui peningkatan suhu tubuh, memudahkan
intervensi
2) monitor warna dan suhu kulit
Rasional : mengetahui keadaan umum pasien
3) Anjurkan anak untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah
menyerap keringat
Rasional : Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah
menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.
4) Observasi intake dan output, tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah)
tiap 3 jam sekali atau sesuai indikasi
Rasional : Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui
keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital
merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
5) Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat
antipiretik sesuai program.
Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien anak dengan
suhu tubuh yang tinggi. Obat antipiretik untuk menurunkan panas
tubuh pasien.

b. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.


Intervensi dan Rasional
1) Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
2) Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
3) Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan
perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.
4) Berikan obat-obat analgetik
Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien

c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan


berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Intervensi dan rasional :
1) Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2) Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan
pasien.
3) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan
asupan makanan .
4) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional : Mengurangi rasa mual dan supaya makanan tetap masuk
d. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas dinding plasma.
Intervensi dan rasional
1) Mengkaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda
vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan
dari keadaan normalnya.
2) Observasi tanda-tanda syock.
Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok.
3) Berikan cairan intravena sesuai program dokter
Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami
kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk
ke dalam pembuluh darah.
4) Anjurkan pasien untuk banyak minum.Rasional : asupan cairan sangat
diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
5) Catat intake dan ounput. Rasionalnya untuk mengetahui keseimbangan
cairan.

e. Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume


cairan tubuh.
Intervensi dan rasional.
1) Monitor warna dan suhu kulit. Rasional : mengetahui keadaan umum pasien.
2) Observasi tanda-tanda syock.
Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok.
3) Mengukur intake dan output. Rasionalnya Untuk mengetahui keseimbangan
cairan dan elektronik.

f. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kebocoran


plasma darah.
Intervensi dan rasional
1) Ukur tanda – tanda vital
Rasional untuk mengetahuikindisi umum pasien
2) Monitor status hidrasi. Rasionalnya untuk mengetahui adanya kebocoran
plasma
3) Kolaborasi untuk cek laborat. Rasionalnya untuk mengetahui hasilnya
supaya bisa di lakukan tindakan lebih lanjut.
4) Berikan oksigen sesuai kebutuhan. Rasionalnya untuk memenuhi oksigen
di dalam jaringan

g. Resiko perdarahan berhubungan dengan efek trombositopeni.


Intervensi dan Rasional
1) Observasi kesadaran umum pasien. Rasionalnya untuk menilai kesadaran
dan kondisi umum pasien
2) Kaji adanya tanda- tanda perdarahan. Rasionalnya untuk mengetahui ada
tidaknya perdarahan spontan pada pasien.
3) Cegah terjadinya trauma. Rasionalnya untuk tidak terjadi perdarahan
4) Beri penkes tentang tanda – tanda perdarahan. Rasionalnya agar pasien dan
keluarga mengetahui tentang tanda – tanda perdarahan.

h. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Intervensi dan rasional
1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas, Rasionalnya
mengetahui sejauh mana kemampuan aktivitas klien.
2) Bantu klien memenuhi kebutuhan ADL klien sesuai tingkat kemampuan
Rasionalnya untuk membantu memenuhi kebutuhan klien
3) Libatkan kelurga dalam aktivitas ADL klie Rasionalnya kebutuhan ADL
klien terpenuhi.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan
yang di rencanakan oleh perawat untuk di kerjakan dalam rangka membantu
klien untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak dan respon
yang di timbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan (zaidin Ali,
2014).
Implementasi adalah pengelelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah di susun pada tahap perencanaan. Ukuran intervensi
keperawatan yang di berikan kepada klien terkait dengan dukungan,
pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk keluarga-
klien, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul
dikemudian hari (Nursalam,dkk).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak (Hidayat A. Aziz Alimul,2007). Menurut
Setiadi, (2008) Evaluasi disusun menggunakan SOAP secara operasional
dengan tahapan sumatif (dilakukan selama proses asuhan keperawatan) dan
formatif yaitu dengan proses dan evaluasi akhir.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP yaitu:
S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang di keluhkan secara subjektif oleh
pasien atau keluarga setelah di berikan implementasi keperawatan.
O: Keadaan objektif yang dapat di identifikasikan oleh perawat menggunakan
pengamatan, data hasil pemeriksaan, analisa data (perbandingan data dengan
teori) dan perencanaan.
A: Analisaa perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan
keperawatan, yaitu:
a. Tujuan tercapai jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan standart
yang ditentukan
b. Tujuan tercapai sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan
jika klien menunjukan perubahan pada sebagian kriteria yang telah di
tetapkan.
c. Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukan sedikit perubahan dan
tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.
DAFTAR PUSTAKA

Angelina, C. R., & Windraswara, R. 2019. Factor Related with Dengue Hemorrhagic
Fever Incidence in 2008-2017. Unes Journal of Public Health.
Centers for Disease Control Prevention. 2020. Dengue and Dengue Hemorhagic
Fever. U.S. Departement of Health and Human Services.
Indrayani, A., & Wahyudi, T. “Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun
2017”. IndoDatin, 22 April 2018. Hal 1
Koesono, D A. (13 Maret 2020). Kasus DBD di Bandung: Sudah 4 Orang
Meninggal Dunia pada Tahun ini. tirto.id. Retrieved from
https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/kasus-dbd-di-bandung-sudah-4-
orang-meninggal-dunia-pada-tahun-ini-eEnm-
Pun. (13-03-2020). Satu lagi Penderita DBD di Jabar Meninggal Dunia. Retrieved
from https://www.jabarprov.id/index.php/news/36993/2020/03/13/Satu-lagi-
Penderita-DBD-di-Jabar-Meninggal-Dunia (diakses 5 April 2020).
Pusparisa, Y. (17 Maret 2020). DBD Kembali Mewabah di Indonesia.
Katadata.co.id. Retrieved from
https://www.goggle.com/amp/s/katadata.co.id/amp/infografik/2020/03/17/dbd
-kembali-mewabah-di-indonesia (diakses 5 April 2020).
Setiabudi, D. (28 Februari 2019a). Memahami Demam Berdarah Dengue (Bagian 1).
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Retrieved from
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/memahami-demam-
berdarah-dengue (diakses 9 April 2020).
Setiabudi, D. (28 Februari 2019b). Memahami Demam Berdarah Dengue (Bagian 2).
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Retrieved from
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/memahami-demam-
berdarah-dengue-bagian-2 (diakses 9 April 2020).
Smith, D.S. (03 Mei 2019). Dengue Clinical Presentation. Medscape. Retrieved from
https://www.emedicine.medscape.com/article/215840-clinical#b1. (diakses 6
April 2020.

Anda mungkin juga menyukai