Chapter III V
Chapter III V
1. Pengertian Apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah
kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Apoteker pengelola Apotek (APA) adalah apoteker
yang telah diberi surat izin apotek (SIA). Izin apotek berlaku seterusnya selama apoteker
pengelola apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan sebagai seorang apoteker.
dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan
sumber daya manusia secara efektif, selalu sabar sepanjang karier, dan membantu member
Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak
ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu
perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu perjanjian,
memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari perjanjian 35.
Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam
a) Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;
konsumen;
c) Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d) Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan
jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan/ atau
diperdagangkan;
f) Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15
a) Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya
b) Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep dengan
obat paten.
c) Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib
iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu,
menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang
timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung
jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.
Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi Apoteker. Dalam kode
itu diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap masyarakat, teman sejawat dan
tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok kode etik itu adalah, sebagai berikut 36:
1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di
4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi
2. Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari setiap tindakan yang dapat
tugasnya.
36
Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia,
2009
c. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lainnya:
yaitu dengan memberikan suatu informasi yang jelas kepada pasien (masyarakat).
Contoh : Penggunaan obat aturan pakai, akibat yang ditimbulkan oleh obat dan
tersebut, sehingga pemberian informasi yang jelas dan tepat sangat dibutuhkan
Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada saat
Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang harus dilayani,
sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya kepada pasien sangat
mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan untuk menjelaskan secara
langsung tentang obat yang akan dipakainya 37. Sebagaimana penulis kemukakan di atas bahwa
obat mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tugas dan fungsi Apotek, di dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125 Tentang Wajib Daftar Obat. Disebutkan dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan obat adalah:
37
Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001
Suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka
atau hewan, memperolok badan atau badan manusia.
Dari ketentuan tersebut di atas dapatlah kita gambarkan bahwa obat merupakan sesuatu
penggunaan atau pemakaian obat perlu mendapatkan perhatian serius, demi kesehatan dan
keamanan bagi setiap orang yang menggunakan. Kesalahan dalam pemakaian obat akan dapat
mengancam jiwa paling tidak dalam kadar yang rendah akan menyebabkan cacatnya fisik dan
mental.
apoteker, apoteker diserahi tanggung jawab secara penuh dalam mengelola Apotek, ketentuan ini
dapat kita lihat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 1981 tentang
Pengelolaan dan Perizinan Apotek. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980
berbunyi:
1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana dimaksud ayat
1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2
dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang Dokter berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat
dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek, Apoteker
harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut terdapat dalam
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1) dan (2).
Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di atas
Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal dengan
mencantumkan:
Dalam pengelolaan Apotek dengan sendirinya diperlukan modal yang cukup besar untuk
menyiapkan bangunan gedung, penyediaan alatalat perlengkapan proyek Apotek dan lain
sebagainya. Untuk itu dalam mengelola Apotek terdapat beberapa jenis antara lain 38:
3. Dalam mengelola Apotek, modal sebagaian milik Apoteker dan pihak lain.
Tugas dan fungsi Apotek terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan
penyerahan obat atau bahan obat;
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh DR. Midian Sirait Direktur Jenderal
Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam sambutannya
pada upacara pembukaan Rapat Kerja Nasional Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia di
38
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia, 2000
Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek perlu terus
melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi dan mendukung
penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek pelayanan obat termasuk
informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan dirasakan realitas manfaatnya oleh
masyarakat.
Apoteker sebagai pengelola Apotek bukan sebagai Pemilik Sarana Apotek, pengelolaan
keuangan harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kerja sama yang baik dengan
pemilik modal. Untuk mencapai hal dimaksud Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun
Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa pengelolaan Apotek
menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker. Apabila Apoteker tidak mempunyai sarana Apotek,
maka dapat mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak lain yang mempunyai sarana
Apotek dan dalam perjanjian kerja sama ini harus dilampirkan akte perjanjian kerja sama antara
1. Pelayanan resep
resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan
dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
39
Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV.Ramadya Karya, 2005
40
Adelina Ginting. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Kota Medan Tahun 2008.
www.repository.usu.ac.id.
a) Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter, nomor
izin praktetk, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter serta
c) Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis,
durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya). Membuatkan kartu pengobatan
pada resep
semula
f) Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang layak minum
g) Menyiapkan etiket
h) Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan pada
resep
e) Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker
informasi dan konsultasi secara akurat, tidak bias, factual, terkini, mudah dimengerti, etis
dan bijaksana.
a) Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu pengobatan
pasien (medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan maupun tertulis
memberikan informasi
c) Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan
d) Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan untuk informasi pasien
pengetahuan tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama pasien
3. Memilihkan obat yang sesuai dengan kerasionalan dan kemampuan ekonomi pasien
dengan menggunakan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek
4. Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi: nama
obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang
mungkin terjadi, serta hal-hal yang harus dilakukan oleh pasien dalam menunjang
7. Konseling
Sherzer dan Stone (1974) mendefinisikan konseling adalah suatu proses yang
terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena
41
Jusuf Hanifah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran ECG, 2001
masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja
professional, yaitu orang yang terlatih dan berpengalaman membantu orang lain
konseling adalah pemberian nasehat atau penasehatan kepada orang lain secara individual
yang dilakukan secara berhadapanh dari seorang yang mempunyai kemahiran (konselor)
Adapun tujuan dari konseling pasien adalah mengoptimalkan hasil terapi obat dan
tujuan medis dari obat dapat tercapai, membina hubungan dengan pasien dan
pasien dalam mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan penyakitnya, mencegah dan
3. pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan
pemantauan
5. pasien lansia
42
Erlizar SH. Hak dan Kewajiban Pasien. http://m.serambinews.com/news/hak-dankewajiban-
pasien/>[23 Desember 2012
2. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien
3. Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang dikatakan dokter kepada
supostoria,dll)
khususnya untuk kelompok lanjut usia dan pasien penyakit kronis, serta pasien dengan
pengobatan paliatif
2. konseling pasien
3. memantau kondisi pasien pada saat menggunakan obat dan kondisinya setelah
2. melalui telepon
record)
6. Melakukan tindak lanjut dengan memanfaatkan sarana komunikasi yang ada atau
Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang
berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di rumah. Dalam
pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien/penderita, bagaimana obat yang
diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya serta tidak ada tidaknya efek
43
Kode Etik apoteker Di Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
2009
Apoteker mampu menjelaskan tentang obat kepada pasien, sebab apoteker mengetahui”
2. Tanggung jawab apoteker untuk member informasi pada masyarakat dalam memakai
medication atau mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker
menentukan apakah self medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu
pergi konsultasi ke dokter atau tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan makin
bertambah.
Terhadap pelayanan resep, sebaiknya ada motto “setiap resep yang masuk,
keluarnya harus obat” artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter ke apotek,
diusahakan agar pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan sampai hanya
menanyakan harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa sampai demikian,
harus lah dicatat alas an-alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang mampu, kurang
uangnya atau karena tidak mengerti/tidak dapat membaca resepnya, apakah pelayanan
murah dengan jangka waktu kredit yang lebih lama, dan sebagainya.
Kecendrungan masyarakat konsumen hanya bersandar kepada sejumlah lembaga
advokasi konsumen, sesuai dengan pasal 44 UUPK, yaitu dengan adanya pengakuan
kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha perlu pula untuk diketahui dimana telah
tertuang dalam Bab IV Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari
pasal 8 sampai dengan pasal 17. Dalam pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau jasa
tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan
2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat,
atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari peredaran.
Etikad baik pelaku usaha atau produsen dalam hal ini sangat wajibkan, tidak semata-
mata mencari keuntungan. Pelaku usaha tidak boleh memasarkan barang tanpa memberikan
informasi yang jelas. Perlindungan konsumen diwujudkan dengan diaturnya perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap
kesehatan, kenyamanan,keamanan baik bagi diri konsumen maupun harta bendanya agar sesuai
harga yang dibayarnya terhadap suatu produk dengan mutu produk itu sendiri. Pengawasan dan
Teknis dalam Perdagangan yang mengikat negara yang menandatanganinya, untuk menjamin
bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau standar teknis
untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen, dan pengujian
serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap
perdagangana internasional. 44
44
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hal. 66.
BAB IV
A. Pengaturan Tugas Apoteker Dan Dasar Hukum Serta Bentuk-Bentuk Kelalaian Yang
Sering Dilakukan Apoteker Yang Merugikan Konsumen Dalam Menjalankan Tugas.
Pembatasan pengkajian hukum yang diantaranya menyangkut tenaga farmasi dalam hal
ini adalah apoteker, beranjak dari tenaga kesehatan yang sangat mudah ditemui di seluruh
pelosok tanah air dan wilayah hukum Indonesia, menyangkut farmasi. Bahkan produk-produk
farmasi, baik berupa obat-obatan dan peralatan kesehatan lainnya, semakin mudah diperoleh di
berbagai tempat.
Sejarah pendidikan tenaga farmasi, sebagai bagian tidak terpisahkan dari tenaga
kesehatan, tidak ada perubahan yang signifikan. Persyaratan untuk menjadi apoteker harus
melalui saringan yang ketat, dan nilai-nilai matematika harus tinggi. Demikian pula halnya
dalam Stara S1 dan S2 pendidikan farmasi tetap melakukan seleksi yang sangat ketat baik
terhadap nilai akademis dari para calon, serta persyaratan kesehatan lainnya. Risiko yang sangat
tinggi bagi profesi tenaga farmasi menyangkut keselamatan dan kesehatan pasien serta warga
masyarakat luas, menyebabkan informasi tentang tenaga farmasi beserta organisasi profesi kode
etik, menjadi sangat terbatas. Walaupun demikian, aspek pembinaan dan pembinaan berjalan
Selama proses pendidikan, biasanya selalu diseleksi secara alami sehingga bagi yang nilai
akademisnya rendah, otomatis mereka akan berhwenti di tengah jalan. Pada jenjang keserjanaan,
45
Rini Sasanti. Persepsi Konsumen Di Apotek Terhadap Pelayanan Apotek Di Tiga Kota Indonesia.
Jakarta: www.sasanti@litbang.depkes.go.id
tenaga farmasi, adalah mereka yang masuk dalam fakultas farmasi. Dan sampai saat ini, masih
sangat terbatas jumlah fakultas farmasi di pendidikan tinggi negeri. Keterbatasan Fakultas
farmasi di universitas negeri, tentu saja juga terbatas pula fakultas farmasi di universitas swasta
lainnya di Indonesia.
disamping proses seleksi yangs angat ketat, juga untuk menjaga kualitas lulusan sarjana farmasi,
yang terus menerus dipertahankan sepanjang masa. Disamping itu, instansi pendukung seperti
laboratorium dan peralatannya untuk menghasilkan tenaga farmasi yang professional, juga
Dalam perkembangan sekarang, tenaga farmasi di berbagai apotek dan toko obat, mulai
melakukan penjualan obat yang seharusnya melalui resep, secara bebas. Warga masyarakat
sangat diuntungkan dengan keadaan ini. Namun warga masyarakat sesungguhnya dirugikan
dengan adanya penjualan obat yang secara bebas, karena menyangkut dosis, resistensi obat dan
Sesuai kode etik, standard profesi dan peraturan perundang-undangan yang ada, apoteker
bekerja sesuai kompetensinya. Saat ini semakin banyak ditemui apoteker langsung memberikan
obat, walaupun tanpa resep dokter, meskipun ada buku panduan terhadap penyakit tertentu dari
Dirjenbinfar.
a. Aspek Hukum
46
Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo.
http:/www.ums.ac.id
47
Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia,
2009
Tenaga kesehatan yang tercakup dalam pengkajian ini, berkenaan bahwa Indonesia
adalah Negara hukum, sudah barang tentu, semua sikap dan tindak dalam menjalankan
Disamping itu, dalam rangka memberikan perlindungan hukum pada saat menjalankan
profesinya, hukum, juga selalu dan harus melihat standard profesi, kode etik, dan dalam keadaan
1. Pidana
KUHP, yaitu pasal 263, 267, 294 ayat (2), 249, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351,
dan kesehatanh lainnya, apakah sesuai dan selaras standard profesi. Apakah
memenuhi unsur kelalaian dan kesalahan atau tidak. Ataukah memang keadaan
2. Perdata
tenaga kesehatan, diatur dalam pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata. Tenaga
tersebut”.
jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga
jawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dan tindakannya sendiri,
tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di
bawah pengawasannya.
3. Administratif
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aspek hukum pidana, dan
sangat komprehensif.
b. Aspek Fasilitasi
Profesi tenaga farmasi selalu taat asas, teliti dan hati-hati setiap bersikap tindaki.
Tenaga farmasi selalu berdasarkan rumusan-rmusan, serta dalil-dalil yang baku, setelah
melalui penelitian yang cermat, terbuka, dan telah melalui proses penggunaan obat secara
universal.
Dari aspek kebebasan profesi, tenaga farmasi, tidak diberikan kebebasan menurut
perkiraan mereka sendiri. Semuanya serba terukur, sesuai standar yang bersifat universal
dan juga ada ketentuan tentang masa berlakunya. Perubahan dan pencampuran
komposisi obat yang telah lama diberlakukan, bisa dihentikan atau dilarang kalau
berdasarkan hasil penelitian utamanya di berbagai Negara yang sudah maju dan modern
dengan budaya penelitian obat yang sudah diakui oleh organisasi kesehatan sedunia
mengganti obat dari dokter yang memberikan resep. Kecuali obat tersebut sama dan dari
pabrik/produsen yang berbeda. Dalam hal tenaga farmasi tersebut ragu terhadap
penulisan resep dokter, baik menyangkut kemungkinan pemberian resep dokter ternyata
pada jenis obat yang sama, dan hanya produsennya berbeda, tenaga farmasi harus
Khusus untuk pemberian obat jenis narkotika dengan golongan yang tinggi, dan
mengingatkan dokter tentang resep tersebut. Karena hal ini dapat terjangkau dengan
tengah masyarakat sesuai era perdagangan bebas, tenaga farmasi harus mencermati
peredaran produk farmasi tersebut, apakah berbahaya bagi ummat manusia, khususnya di
Indonesia. Dan sesuai dengan profesinya, serta sebagai tanggung jawab pada masyarakat
Indonesia, diharapkan merespon dan melaporkan pada pihak Badan Pengawasan Obat
48
Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo.
http:/www.ums.ac.id
Kebebasan dan tanggung jawab profesi tenaga farmasi justru dibatasi oleh tenaga
farmasi sendiri. Namun berkenaan bahwa Negara Indonesia adalah sangat luas serta
masih sangat banyak daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan secara minimal,
tenaga farmasi menengah (lulusan asisten apoteker), terkadang sangat berperan di daerah
tersebut. Sehingga, dari situasi dan kondisi yang bersifat kedaruratan, tanggung jawab
tenaga farmasi dapat disimpangi. Namun harus dilihat apakah standar pelayanan minimal
dan etika profesi, dapat mendukung tenaga farmasi pada waktu itu 49.
Tenaga kesehatan, yang dalam konteks ini dibatasi pada profesi tenaga medis
(dokter, dan dokter gigi, perawat dan bidan, serta tenaga farmasi) merupakan unsur
pemulihan kesehatan.
(welfare state), tenaga kesehatan telah dilindungi melalui berbagai peraturan perundang-
tersebut, baik itu Udnang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, serta beberapa undang-undang lain, belum ada
mengganggu profesi tenaga kesehatan, juga membatasi serta tidak adanya jaminan kepastian
hukum.
49
Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo.
http:/www.ums.ac.id
memberikan suatu informasi yang jelas kepada pasien (masyarakat). Contoh : Penggunaan obat
aturan pakai, akibat yang ditimbulkan oleh obat dan sebagainya. Karena mengingat sebagaian
besar masyarakat tidak mengetahui hal tersebut, sehingga pemberian informasi yang jelas dan
Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada saat
Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang harus dilayani,
sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya kepada pasien sangat
mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan untuk menjelaskan secara
tanggung jawab secara penuh dalam mengelola Apotek, ketentuan ini dapat kita lihat dalam
Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan
1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana dimaksud ayat
1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2
dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang Dokter berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat
dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek. Apoteker
harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA) ketentuan tersebut terdapat dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1) dan (2). Ayat 1 berbunyi:
50
Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di atas
Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal dengan
mencantumkan:
a. Nama dan alamat Apotek pemohon;
b. Nama Perguruan Tinggi tempat Apoteker dan Tanda Lulus sebagai Apoteker;
c. Nomor dan tanggal Surat Izin Kerja;
d. Keterangan tempat kerja bagi mereka yang telah bekerja.
e. Surat Keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mengelola Apotek, yang
diberikan oleh Perguruan Tinggi atau Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Pengelolaan
Apotek yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal;
f. Pas foto ukuran 4 x 6.
tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle). Hal tersebut
dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (1) Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Perlindungan Konsumen.
bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat
Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara produsen, tetapi semua
yang dinyatakan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai pelaku usaha, termasuk
di dalamnya adalah apoteker yang dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan pelayanan
gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan
beban dan tanggungjawab pelaku usaha. ( Pasal 19 ayat (1) Pasal 28 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen)
Pelaku usaha akan membayar ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerugian jika
ia tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan suatu kesalahan. Namun, konsumen yang
dirugikan tidak akan mendapat ganti rugi sedikitpun jika pelaku usaha dapat membuktikan
kesehatan sebagai objek hukum perlindungan konsumen, dan menempatkan penerima layanan
kesehatan sebagai konsumen serta tenagan kesehatan sebagai pelaku usaha dalam hubungan
hukumnya. Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa UUPK pada dasarnya bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab
sampai pada terbentuknya UUPK telah ada beberapa UU yang materinya melindungi konsumen,
seperti UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung
hukum (umbrella act) bagi peraturan perundangan-undangan lainnya yang berhubungan dengan
konsumen.
Tenaga kesehatan yang dimaksudkan disini adalah setiap orang yang mengabdikan
dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan. Sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Kesehatan, setiap tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien. Baik standar profesi pada umumnya maupun standar profesi mediknya.
51
Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007
Demikian pula dengan penghormatan hak, baik hak-hak pasien pada khususnya, maupun hak-
Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan tunduk
pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap hukum dan etika tersebut
berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya. Untuk lebih jelasnya maka
Apoteker dapat dimintakan tanggung jawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau
kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan.
Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal
apoteker berbuat kesalahan atau kelalaian. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih
perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian
terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi 52.
Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen atau penerima jasa pelayanan
kesehatan terhadap apoteker terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perlindungan hukum bagi
pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan ini mengatur mengenai perbuatan melawan
hukum.. Begitu pula untuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum berupa kesengajaan
atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan, maka ganti rugi diberikan
dengan syarat yang sama dengan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang berupa
kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan orang mati sebagaimana di atas. Hanya saja ganti
rugi yang dapat dituntut dalam hal menyangkut perbuatan melawan hukum yang berupa
kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan adalah
52
Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007
penggantian biaya penyembuhan dan ganti rugi yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut
(Pasal 1371 KUH Perdata). Penilaian terhadap ganti rugi inilah yang biasanya akan dipakai oleh
hakim dalam memberikan keputusan menyangkut ganti rugi yang dimintakan oleh pasien selaku
Konsumen sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pemberian ganti rugi menurut Pasal
19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut konsumen hanya
mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau
hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya
kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan.
Pemberian ganti kerugian juga dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak terjadinya transaksi
Dalam dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan
pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yaitu dalam Pasal 22 dan
28, kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku
usaha sepenuhnya. Dalam hal yangdemikian, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi
hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut.
Dari uraian di atas, dapat dilihat adanya perbedaan beban pembuktian yang diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan pembuktian yang diatur dalam Hukum Acara
yang berlaku menurut KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 163 HIR dan Pasal
1865 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang mendalilkan adanya sesuatu hak
(dalam hal ini konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen harus dapat
membuktikan bahwa 53 :
b. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi sebagai akibat
dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang
tidak layak;
dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu;
d. Konsumen tidak ”berkontribusi”, baik secara langsung atas kerugian yang dideritanya
tersebut.
Berdasar pada Pasal 19 ayat (3), ganti kerugian akan diberikan kepada konsumen dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi, sehingga apabila konsumen yang
mengkonsumsi barang di hari kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan penggantian
kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita
kerugian. Ketentuan ini juga menjadi salah satu kendala dalam memberikan ganti kerugian
kepada konsumen mengingat dalam dunia kedokteran menyangkut kasus malpraktek, kerugian
yang diderita oleh konsumen kesehatan biasanya lebih dari tenggang waktu 7 (tujuh) hari
sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang- Undang Perlindungan
Konsumen. Oleh karena itu, hal tersebut juga yang menyebabkan hakim lebih condong untuk
sebagaimana dalam KUH Perdata dan bukan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Padahal dapat dilihat bahwa dalam Undang-Undang
53
Johan Nasution, Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2005
Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk
mendapatkan ganti kerugian yaitu menyangkut asas pembuktian yang dianut dalam undang-
undang tersebut menggunakan asas pembuktian terbalik, sehingga pihak pelaku usaha yang harus
dapat membuktikan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan melawan
hukum yang menyebabkan kerugian yang diderita oleh konsumen. Hal ini berbeda
denganketentuan pembuktian dalam Hukum Acara Perdata yang mana tetap berlaku asas haknya
itu, sehingga di sini konsumen yang harus membuktikan kesalahan pada pelaku usaha.
C. Akibat Hukum dan Penyelesaian Dalam Hal Adanya Kelalaian Kesalahan Informasi
Kepada Konsumen
Membicarakan perlindungan hukum terhadap pasien kita tidak dapat memisahkan diri
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen, karena pada
dasarnya UU inilah yang dijadikan bagi perlindungan konsumen termasuk halnya pasien apotek.
Perlindungan hukum bagi pasien apotek selaku konsumen mempunyai hak untuk
Apabila hak dan kewajiban apoteker sudah sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen maka akan dapat menjalankan aktifitas di dalam apotek tersebut. Diantaranya adalah
hak mendapatkan informasi yang jelas dan akurat dan hak untuk diperlakukan secara benar dan
jujur. Dan kewajibannya adalah mengikuti petunjuk informasi dan prosedur yang dijalankan oleh
apoteker 54.
54
Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung:
Universitas Lampung. 2007
Apoteker harus merespon setiap keluhan dan pengaduan konsumen. Untuk menghindari
berlarut-larutnya penanganan dan pengaduan pasien diperlukan standar waktu yang jelas dan
berlaku secara umum di setiap apotek dalam menyelesaikan setiap pengaduan pasien.
Apabila tidak dapat diselesaikan juga maka perlu disediakan media yang dapat
menampung penyelesaian sengketa antara pasien dengan apoteker. Penyelesaian sengketa pasien
harus dapat memenuhi unsure sederhana, murah dan cepat. Pertanggungjawaban Apoteker di
apotek Umi Farma apabila pasien mengalami kerugian yaitu dengan cara melakukan perdamaian
berupa pengaduan langsung kepada apoteker yang bersangkutan apabila terjadi kekeliruan untuk
Banyaknya kasus kesalahan apoteker yang terjadi terkait erat dengan hak bagi anggota
masyarakat khususnya pasien yang berperan sebagai konsumen kesehatan. Salah satu hak yang
dimiliki oleh anggota masyarakat ialah memperoleh perlindungan dalam kedudukannya sebagai
konsumen. Hal ini sangat wajar mengingat kedudukan tersebut terjadi akibat dari adanya
interaksi pihak lain, yang antara lain di antara para pihak secara prinsip mempunyai kepentingan
berbeda. Dalam hal ini, pihak konsumen berkepentingan untuk memperoleh manfaat yang sebaik
mungkin atas barang dan jasa yang dikonsumsinya, terkait dalam hal ini adalah jasa di bidang
medis, sedangkan produsen barang maupun pemberi jasa atau pelaku usaha berkepentingan
untuk memperoleh keuntungan dari produk atau jasa yang dijualnya. Berdasarkan perbedaan
dasar kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha maka kemungkinan timbulnya persoalan
Dalam kesalahan dan kelalaian yang dilakukan apoteker terhadap konsumen, selain aspek
hukum perdata, juga melekat di dalamnya aspek hukum pidana. Meskipun dalam hal
55
Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung:
Universitas Lampung. 2007
perlindungan konsumen cenderung berkaitan dengan segi perdata. Untuk dapat dikatakan telah
terjadi malapraktek medik menurut hukum perdata adalah telah terjadi penyimpangan dari
standar profesi kedokteran. Namun sayangnya, hingga saat ini Peraturan Pemerintah (PP) tentang
Standar Profesi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
belum ada.
Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen kesehatan dalam hal
terjadi malpraktek perlu dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut :
Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (1) Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8
Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat digugat untuk
mengganti kerugian. Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara
sebagai pelaku usaha, termasuk di dalamnya adalah apoteker yang dianggap sebagai
pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa kepada pasien selaku konsumen
kesehatan.
Selanjutnya, Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan
Konsumen) Pelaku usaha akan membayar ganti rugi kepada konsumen yang mengalami
kerugian jika ia tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan suatu kesalahan.
Namun, konsumen yang dirugikan tidak akan mendapat ganti rugi sedikitpun jika pelaku
kesalahannya.
penerima layanan kesehatan sebagai konsumen serta tenaga kesehatan sebagai pelaku
usaha dalam hubungan hukumnya. Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa
UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya UUPK telah ada
tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung hukum (umbrella act) bagi
Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan
tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap hukum
dan etika tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya.
konsumen.
atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa
pelayanan kesehatan. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak
sengaja, sebab kesalahan atau kelalaian apoteker yang menimbulkan kerugian terhadap
Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen atau penerima jasa
pelayanan kesehatan terhadap apoteker terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan ini
mengatur mengenai perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu apoteker berkewajiban
untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar
perawatan kesehatan. Begitu pula untuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum
berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan,
maka ganti rugi diberikan dengan syarat yang sama dengan ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum yang berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan orang mati
sebagaimana di atas. Hanya saja ganti rugi yang dapat dituntut dalam hal menyangkut
perbuatan melawan hukum yang berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan
luka atau cacatnya anggota badan adalah penggantian biaya penyembuhan dan ganti rugi
yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut (Pasal 1371 KUH Perdata). Penilaian
terhadap ganti rugi inilah yang biasanya akan dipakai oleh hakim dalam memberikan
keputusan menyangkut ganti rugi yang dimintakan oleh pasien selaku konsumen
Konsumen sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pemberian ganti rugi
tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu
ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal
konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga
kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan. Pemberian ganti kerugian juga
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak terjadinya transaksi (Pasal 19 ayat (3) Undang-
menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
Kedokteran berbunyi: dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur
operasional. Adapun pasal 359-360 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
menyebutkan kelalaian medis yang dianggap tindak pidana hanyalah yang culpa lata atau
kelalaian besar. Kelalaian di sini berarti harus ada kewajiban yang dilanggar dan harus
ada cedera atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran tersebut. Syarat lainnya,
56
Soekantao. Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV. Ramadya Karya. 2005
cedera atau kerugian tersebut sudah diketahui dan akibat ketidak hati-hatian yang nyata di
Di lain sisi pasien sendiri mengalami kesulitan untuk menuntut apoteker secara
hukum, sebab tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktek,
kecelakaan dan kelalaian. Ganti rugi hanya diberikan bila terbukti ada kerugian yang
ditanggung pasien. Sedangkan beban pembuktian itu sendiri ada pada pasien. ”Hukum
pidana dan/ atau perdata dapat dilakukan pada apoteker hanya bila terjadi kecacatan atau
kematian atau reaksi tubuh yang tidak diharapkan akibat dari pelayanan yang tidak sesuai
dengan kaidah medis”. Malpraktek yang dapat digugat pasien hanya kelalaian medik
Dalam dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas
dalam Pasal 22 dan 28, kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan
tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal yang demikian, selama pelaku
usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan
yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan
Konsumen
57
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2010, hal. 6.
58
Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001
Kesalahan yang umumnya terjadi yang dilakukan apoteker di Apotek Umi Farma
terhadap konsumen adalah kesalahan akibat pemberian obat dengan nama obat yang
sama namun kualitas berbeda, kesalahan dalam membaca resep. Biasanya hal ini
Keluhan ini menurut apoteker terbagi menjadi dua yaitu keluhan biasa dan keluhan yang
berbahaya. Keluhan biasa yaitu mengenai kulaitas obat dan pelayanan terhadap
konsumen. Akibat yang timbul dari keluhan biasa adalah konsumen akan pindah ke
apotek lain. Sedangkan keluhan berbahaya adalah keluhan konsumen setelah membeli
dan menggunakan obat dari apotek, seperti kualitas obat dan efek samping obat. Akibat
yang timbul dari keluhan berbahaya adalah apoter dapat dituntut oleh konsumen sampai
ke pengadilan.
cukup rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, secara umum apotek
yang mereka kelola adalah apotek milik PSA (pemilik sarana apotek) dimana pemilik
apotek cenderung mengutamakan untung atau sisi bisnis mereka. Secara tidak langsung
atau mendorong apoteker mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, kebanyakan resep yang masuk setiap hari adalah kurang dari 20 lembar dan
biasanya resep yang masuk pada jam tertentu sehingga pelayanan di apotek lebih
apoteker pendamping sehingga apotek tidak akan ditinggalkan oleh apoteker dan
pelayanan dapat tercapai, tetapi dari data yang diperoleh penulis menunjukkan apoteker
pendamping secara umum di apotek belum ada. Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun
1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang
apotek pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pengelolaan apotek menjadi tugas dan
apoteker hanya berperan sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan bekerja hanya
sebagai pekerjaan sambilan bukan sebagai pekerjaan pokok dimana kehadiran mereka
mengembalikan uang pembeliannya. Hal ini harus diselesaikan dalam jangka waktu tujuh
hari setelah terjadinya transaksi tersebut, yang berarti juga konsumen harus dengan
segera mengajukan tuntutannya. Cara yang dimaksud oleh Pasal 19 ayat (1) UUPK tidak
jelas. Akan tetapi dengan menyimak Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, pastilah yang dimaksud bukan melalui suatu badan dengan acara
pemeriksaan tertentu. Dengan penetapan jangka waktu tujuh hari setelah transaksi
sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (3) UUPK konsumen, maka dapat diduga
Dengan ini berarti bahwa sengketa konsumen diselesaikan terlebih dahulu dengan
pertemuan langsung antara apoteker dengan konsumen atau melalui bantuan pihak ketiga.
Dengan negosiasi, terjadi proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan terhadap
ayat (1) UUPK terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran dan kerugian lain
3. Perawatan kesehatan
sungguh diderita oleh konsumen dan disesuaikan dengan hubungan hukum yang ada
diantara mereka. Dalam hal ini misalnya konsumen dapat menuntut supaya uangnya
dikembalikan atau obat yang telah dibeli diganti dengan obat yang sejenisnya.
Namun demikian, tuntutan penggantian kerugian ini bukan atas kerugian yang
timbul karena kesalahan apoteker sendiri. Dalam hal ini Undang-Undang memberi
kesempatan kepada apoteker untuk membuktikan bahwa konsumen telah bersalah dalam
hal timbulnya kerugian itu. Kalau apoteker berhasil membuktikannya, ia bebas dari
kewajiban membayar ganti kerugian. Misalnya, konsumen sakit karena salah memakai
obat, yaitu tidak menaati aturan pakai yang tertera di dalam pembungkus obat tersebut.
Jika apoteker tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut atau diantara
BPSK ini dapat ditempuh yaitu jika penyelesaian secara damai di luar proses pengadilan
tidak berhasil, baik karena apoteker menolak atau tidak member tanggapan maupun tidak
tercapai kesepakatan.
Penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan melaui tiga tahapan, yaitu 59:
Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK.
sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK bertindak aktif sebagai
Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK.
sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK bertindak pasif sebagai
konsiliator.
sengketa yang terjadi. Para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal
dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Selanjutnya arbiter
yang dipilih para pihak kemudian memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK dari
unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Maka sengketa konsumen masih dapat
59
Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007
mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang
dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan
Herziene Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura atau
Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg) yang berlaku bagi daerah luar Jawa dan
administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak dua (2) Ratus Juta Rupiah dan
sanksi pidana berupa ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak dua (2) Milyar Rupiah apabila terjadi pelanggaran yang
PENUTUP
A. Kesimpulan
kesehatan masyarakat, yaitu dengan memberikan suatu informasi yang jelas kepada
pasien (masyarakat). Contoh : Penggunaan obat aturan pakai, akibat yang ditimbulkan
oleh obat dan sebagainya. Namun, pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker
belum dilaksanakan dengan maksimal dimana banyak terjadi kelalaian yang dilakukan
oleh apoteker diantaranya adalah kehadiran seorang apoteker berada di apotek cukup
rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, secara umum apotek yang
mereka kelola adalah apotek milik PSA (pemilik sarana apotek) dimana pemilik apotek
cenderung mengutamakan untung atau sisi bisnis mereka, secara tidak langsung atau
Kedua, kebanyakan resep yang masuk setiap hari adalah kurang dari 20 lembar dan
biasanya resep yang masuk pada jam tertentu sehingga pelayanan di apotek lebih
2. Tanggung jawab hukum apoteker terhadap konsumen apabila pasien mengalami kerugian
dengan menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan pasien, untuk
standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Perlindungan hukum bagi
pasien apotek selaku konsumen mempunyai hak untuk melakukan pengaduan serta
menggunakan forum mediasi untuk mendapatkan penyelesaian sengketa secara
3. Akibat hukum dalam hal terjadi adanya kesalahan informasi kepada konsumen yang
dilakukan oleh apoteker adalah apoteker dapat dimintakan tanggung jawab hukum,
apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien
hukum kedokteran (medical liability), dalam hal apoteker berbuat kesalahan atau
kelalaian. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja,
menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi. Kesalahan yang umumnya
terjadi yang dilakukan apoteker terhadap konsumen adalah kesalahan akibat pemberian
obat dengan nama obat yang sama namun kualitas berbeda dan kesalahan dalam
membaca resep. Biasanya hal ini dikarenakan konsumen yang tidak menjelaskan
mengenai keluhan yang ia derita. Keluhan ini menurut apoteker terbagi menjadi dua yaitu
keluhan biasa dan keluhan yang berbahaya. Keluhan biasa yaitu mengenai kulaitas obat
dan pelayanan terhadap konsumen. Akibat yang timbul dari keluhan biasa adalah
konsumen akan pindah ke apotek lain. Sedangkan keluhan berbahaya adalah keluhan
konsumen setelah membeli dan menggunakan obat dari apotek, seperti kualitas obat dan
efek samping obat. Akibat yang timbul dari keluhan berbahaya adalah apoter dapat
1. Pihak apoteker hendaknya dapat melaksanakan kewajiban dan tugasnya dengan baik
2. Apoteker harus memenuhi tanggungjawabnya dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab. Jika apoteker bersalah apoteker harus bertanggungjawab secara hukum atas
kesalahan dan kelalaiannya. Apoteker harus merespon setiap keluhan dan pengaduan
diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap apotek dalam
3. Apabila terjadi permasalahan antara konsumen dengan apoteker akibat kelalaian yang
dilakukan oleh apoteker maka perlu disediakan media yang dapat menampung
penyelesaian sengketa antara pasien dengan apoteker. Penyelesaian sengketa pasien harus
apotek Umi Farma apabila pasien mengalami kerugian yaitu dengan cara melakukan
terjadi kekeliruan untuk selanjutnya diproses untuk dibuktikan guna pemberian ganti
rugi.