Anda di halaman 1dari 45

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEKER

A. Pengertian, Hak dan Kewajiban Apoteker

1. Pengertian Apoteker

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, Apoteker

adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan

kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Apoteker pengelola Apotek (APA) adalah apoteker

yang telah diberi surat izin apotek (SIA). Izin apotek berlaku seterusnya selama apoteker

pengelola apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan sebagai seorang apoteker.

Apoteker pengelola apotek harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan:

a) Ijazah apoteker telah terdaftar di Departemen Kesehatan

b) Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai apoteker

c) Memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri Kesehatan (SIK)

d) Sehat fisik dan mental untuk melaksanakan tugas sebagai apoteker

e) Tidak bekerja di perusahaan farmasi atau apotek lain

Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan

dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan

berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan, kemampuan mengelola

sumber daya manusia secara efektif, selalu sabar sepanjang karier, dan membantu member

pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.


2. Hak dan Kewajiban Apoteker

Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak

ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para

pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu

perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu perjanjian,

memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari perjanjian 35.

Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam

Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a) Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

b) Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen;

c) Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen

tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

d) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam

Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

d) Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan

ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;


35
Yusuf Sofie. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002
e) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang dan/ atau

jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan/ atau

diperdagangkan;

f) Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata

Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:

a) Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya

yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

b) Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep dengan

obat paten.

c) Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib

berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

d) Apoteker wajib memberikan informasi:

1. Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.

2. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan

iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu,

menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang

timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung

jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.
Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi Apoteker. Dalam kode

itu diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap masyarakat, teman sejawat dan

tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok kode etik itu adalah, sebagai berikut 36:

a) Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:

1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di

dalam lingkungan kerjanya.

2. Seorang Apoteker dalam ragak pengabdian profesinya harus bersedia untuk

menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.

3. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam pembangunan

Nasional khususnya di bidang kesehatan.

4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi

masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.

b. Kewajiban Apoteker terhadap teman sejawatnya:

1. Seorang Apoteker harus selalu menganggap sejawatnya sebagai saudara kandung

yang selalu saling mengingatkan dan saling menasehatkan untuk mematuhi

ketentuan-ketentuan kode etik.

2. Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari setiap tindakan yang dapat

merugikan teman sejawatnya, baik moril maupun materiil.

3. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan

kerja sama yang baik dalam memelihara, keluhuran martabat jabatan,

kefarmasian, mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan

tugasnya.

36
Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia,
2009
c. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lainnya:

1. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan

hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat

yang berkecimpung di bidang kesehatan.

2. Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakannya atau perbuatan

yang dapat mengakibatkan berkurang / hilangnya kepercayaan masyarakat kepada

sejawat petugas kesehatan.

3. Melihat kemampuan Apoteker yang sesuai dengan pedidikannya, menunjukkan

betapa pentingnya peranan Apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat,

yaitu dengan memberikan suatu informasi yang jelas kepada pasien (masyarakat).

Contoh : Penggunaan obat aturan pakai, akibat yang ditimbulkan oleh obat dan

sebagainya. Karena mengingat sebagaian besar masyarakat tidak mengetahui hal

tersebut, sehingga pemberian informasi yang jelas dan tepat sangat dibutuhkan

demi keamanan dan keselamatan pemakai obat.

Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada saat

Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang harus dilayani,

sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya kepada pasien sangat

mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan untuk menjelaskan secara

langsung tentang obat yang akan dipakainya 37. Sebagaimana penulis kemukakan di atas bahwa

obat mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tugas dan fungsi Apotek, di dalam Surat

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125 Tentang Wajib Daftar Obat. Disebutkan dalam Surat

Keputusan Menteri Kesehatan Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan obat adalah:

37
Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001
Suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka
atau hewan, memperolok badan atau badan manusia.

Dari ketentuan tersebut di atas dapatlah kita gambarkan bahwa obat merupakan sesuatu

yang berhubungan dengan masalah kesehatan manusia. Sehingga pemahaman masalah

penggunaan atau pemakaian obat perlu mendapatkan perhatian serius, demi kesehatan dan

keamanan bagi setiap orang yang menggunakan. Kesalahan dalam pemakaian obat akan dapat

mengancam jiwa paling tidak dalam kadar yang rendah akan menyebabkan cacatnya fisik dan

mental.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang tanggungjawab

apoteker, apoteker diserahi tanggung jawab secara penuh dalam mengelola Apotek, ketentuan ini

dapat kita lihat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 1981 tentang

Pengelolaan dan Perizinan Apotek. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980

berbunyi:

1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana dimaksud ayat
1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2
dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang Dokter berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan.

Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat

dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek, Apoteker

harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut terdapat dalam

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1) dan (2).

Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di atas
Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal dengan
mencantumkan:

a. Nama dan alamat Apotek pemohon;


b. Nama Perguruan Tinggi tempat Apoteker dan Tanda Lulus sebagai Apoteker;
c. Nomor dan tanggal Surat Izin Kerja;
d. Keterangan tempat kerja bagi mereka yang telah bekerja.
e. Surat Keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mengelola Apotek, yang
diberikan oleh Perguruan Tinggi atau Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Pengelolaan
Apotek yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal;
f. Pas foto ukuran 4 x 6.

Dalam pengelolaan Apotek dengan sendirinya diperlukan modal yang cukup besar untuk

menyiapkan bangunan gedung, penyediaan alatalat perlengkapan proyek Apotek dan lain

sebagainya. Untuk itu dalam mengelola Apotek terdapat beberapa jenis antara lain 38:

1. Dalam mengelola Apotek modal seluruhnya milik Apoteker sendiri;

2. Dalam mengelola Apotek, modal keseluruhan milik orang lain;

3. Dalam mengelola Apotek, modal sebagaian milik Apoteker dan pihak lain.

Tugas dan fungsi Apotek terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

1980, dimana dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:

a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan
penyerahan obat atau bahan obat;
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata.

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh DR. Midian Sirait Direktur Jenderal

Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam sambutannya

pada upacara pembukaan Rapat Kerja Nasional Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia di

bidang Apotek pada tanggal 22 Februari 1986, menyatakan:

38
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia, 2000
Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek perlu terus
melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi dan mendukung
penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek pelayanan obat termasuk
informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan dirasakan realitas manfaatnya oleh
masyarakat.
Apoteker sebagai pengelola Apotek bukan sebagai Pemilik Sarana Apotek, pengelolaan

keuangan harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kerja sama yang baik dengan

pemilik modal. Untuk mencapai hal dimaksud Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun

1980, Pemilik Sarana Apotek dapat menyelenggarakan Pengelolaan keuangan 39.

Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa pengelolaan Apotek

menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker. Apabila Apoteker tidak mempunyai sarana Apotek,

maka dapat mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak lain yang mempunyai sarana

Apotek dan dalam perjanjian kerja sama ini harus dilampirkan akte perjanjian kerja sama antara

pemilik modal dengan Apoteker.

B. Tugas dan Kewenangan Apoteker

1. Pelayanan resep

Menurut Kongres nasional XVII ikatan Sarjaan Farmasi Indonesia pelayanan

resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan

dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien

sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Prosedur tetap pelayanan resep 40:

39
Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV.Ramadya Karya, 2005
40
Adelina Ginting. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Kota Medan Tahun 2008.
www.repository.usu.ac.id.
a) Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter, nomor

izin praktetk, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter serta

nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.

b) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu: bentuk sediaan, dosis,

frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompabilitas, cara dan lama pemberian obat

c) Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis,

durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya). Membuatkan kartu pengobatan

pasien (medication record)

d) Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan.

2. Menyediakan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

a) Menyiapkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan permintaan

pada resep

b) Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis maksimum

c) Mengambil obat dengan menggunakan sarung tangan/alat/spatula/sendok

d) Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengembalikan ke tempat

semula

e) Meracik obat (timbang, campur, kemas)

f) Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang layak minum

g) Menyiapkan etiket

h) Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan pada

resep

3. Penyerahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

a) Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan


b) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien

c) Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien

d) Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat

e) Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker

f) Menyiapkan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan

4. Pelayanan komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Apoteker hendaknya mampu menggalang komunikasi dengan tenaga kesehatan

lainnya, termasuk kepada dokter

5. Pelayanan informasi obat

Kegiatan pelayanan obat yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan

informasi dan konsultasi secara akurat, tidak bias, factual, terkini, mudah dimengerti, etis

dan bijaksana.

Prosedur tetap pelayanan informasi obat:

a) Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu pengobatan

pasien (medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan maupun tertulis

b) Melakukan penelusuran literature bila diperlukan, secara sistematis untuk

memberikan informasi

c) Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan

bijaksana baik secara lisan maupun tertulis

d) Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan untuk informasi pasien

e) Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat


6. Edukasi

Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan

pengetahuan tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama pasien

setelah mendapat informasi, untuk tercapainya hasil pengobatan yang optimal 41

Prosedur tetap swamedikasi:

1. Mendengarkan keluhan penyakit pasien yang ingin melakukan swamedikasi

2. Menggali informasi dari pasien meliputi:

a. tempat timbulnya gejala penyakit

b. seperti apa rasanya gejala penyakit

c. kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya

d. sudah berapa lama gejala dirasakan

e. ada tidaknya gejala penyerta

f. pengobatan yang sebelumnya sudah dilakukan

3. Memilihkan obat yang sesuai dengan kerasionalan dan kemampuan ekonomi pasien

dengan menggunakan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek

4. Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi: nama

obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang

mungkin terjadi, serta hal-hal yang harus dilakukan oleh pasien dalam menunjang

pengobatan. Bila sakit berlanjut/lebih dari 3 hari hubungi dokter

5. Mendokumentasikan data pelayanan swamedikasi yang telah dilakukan

7. Konseling

Sherzer dan Stone (1974) mendefinisikan konseling adalah suatu proses yang

terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena
41
Jusuf Hanifah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran ECG, 2001
masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja

professional, yaitu orang yang terlatih dan berpengalaman membantu orang lain

mengenai pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi. Bahwa

konseling adalah pemberian nasehat atau penasehatan kepada orang lain secara individual

yang dilakukan secara berhadapanh dari seorang yang mempunyai kemahiran (konselor)

kepada seorang yang mempunyai masalah (klien).

Adapun tujuan dari konseling pasien adalah mengoptimalkan hasil terapi obat dan

tujuan medis dari obat dapat tercapai, membina hubungan dengan pasien dan

menimbulkan kepercayaan pasien, menunjukkan perhatian kita kepada pasien, membantu

pasien dalam mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan penyakitnya, mencegah dan

mengurangi efek samping, toksisitas, resistensi antibiotika, dan ketidakpatuhan pasien 42

Konseling dapat dilakukan kepada:

1. pasien dengan penyakit kronik seperti: diabetes, TB dan Asma

2. pasien dengan sejarah ketidakpatuhan dalam pengobatan

3. pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan

pemantauan

4. pasien dengan multiregimen obat

5. pasien lansia

6. pasien pediatric melalui orang tua dan pengasuhnya

7. pasien yang mengalami Drug Related Problems

prosedur tetap konseling:

1. Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien

42
Erlizar SH. Hak dan Kewajiban Pasien. http://m.serambinews.com/news/hak-dankewajiban-
pasien/>[23 Desember 2012
2. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien

3. Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang dikatakan dokter kepada

pasien dengan metode open-ended question:

a. apa yang telah dokter katakana mengenai obat itu

b. cara pemakaian, bagaimana dokter menerangkan cara pemakaian

c. apa yang diharapkan dalam pemakaian ini

4. Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obatan tertentu (inhaler,

supostoria,dll)

5. Melakukan verifikasi akhir meliputi:

a. mengecek pemahaman pasien

b. mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara

penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi

6. Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan

8. Pelayanan Residensial (home care)

Pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien yang dilakukan di rumah

khususnya untuk kelompok lanjut usia dan pasien penyakit kronis, serta pasien dengan

pengobatan paliatif

Jenis layanan home care:

1. informasi penggunaan obat

2. konseling pasien

3. memantau kondisi pasien pada saat menggunakan obat dan kondisinya setelah

menggunakan obat serta kepatuhan pasien dalam meminum obat

home care dapat dilakukan dengan 2 cara;


1. dengan kunjungan langsung ke rumah

2. melalui telepon

untuk aktifitas ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan (medication

record)

prosedur tetap pelayanan residensial (home care)

1. Menyeleksi pasien melalui kartu pengobatan

2. Menawarkan pelayanan residensial

3. Mempelajari riwayat pengobatan pasien

4. Menyepakati jadwal kunjungan

5. Melakukan kunjungan ke rumah pasien

6. Melakukan tindak lanjut dengan memanfaatkan sarana komunikasi yang ada atau

kunjungan berikutnya, secara berkesinambungan

7. Melakukan pencatatan dan evaluasi pengobatan

C. Tanggung Jawab Apoteker

Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang

berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di rumah. Dalam

pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien/penderita, bagaimana obat yang

diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya serta tidak ada tidaknya efek

samping yang merugikan.

Tanggung jawab tugas apoteker di apotek adalah 43:

1. Tanggung jawab atas obat dengan resep

43
Kode Etik apoteker Di Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
2009
Apoteker mampu menjelaskan tentang obat kepada pasien, sebab apoteker mengetahui”

a) Bagaimana obat tersebut digunakan

b) Reaksi samping obat yang mungkin ada

c) Stabilitas obat dalam bermacam-macam kondisi

d) Cara dan rute pemakaian obat

2. Tanggung jawab apoteker untuk member informasi pada masyarakat dalam memakai

obat bebas terbatas (OTC)

Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus self

medication atau mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker

menentukan apakah self medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu

pergi konsultasi ke dokter atau tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan makin

bertambah.

Terhadap pelayanan resep, sebaiknya ada motto “setiap resep yang masuk,

keluarnya harus obat” artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter ke apotek,

diusahakan agar pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan sampai hanya

menanyakan harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa sampai demikian,

harus lah dicatat alas an-alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang mampu, kurang

uangnya atau karena tidak mengerti/tidak dapat membaca resepnya, apakah pelayanan

kurang ramah, kurang luwes, dan sebagainya.

Sebagai seorang pengelola, apoteker bertugas mencari tambahan langganan baru,

membina langganan lama, meningkatkan pelayanan dengan pembinaan karyawan, turut

membantu mencairkan piutang-piutang lama, mencari sumber pembelian yang lebih

murah dengan jangka waktu kredit yang lebih lama, dan sebagainya.
Kecendrungan masyarakat konsumen hanya bersandar kepada sejumlah lembaga

advokasi konsumen, sesuai dengan pasal 44 UUPK, yaitu dengan adanya pengakuan

pemerintah terhadap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

mempunyai kegiatan yang meliputi, penyebaran informasi dalam rangka meningkatkan

kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi

barang dan jasa, memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya,

bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindunga konsumen,

membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, dan termasuk menerima keluhan

atau pengaduan konsumen.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha perlu pula untuk diketahui dimana telah

tertuang dalam Bab IV Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari

pasal 8 sampai dengan pasal 17. Dalam pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa

yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau jasa

tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,

atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan

barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan

atau promosi penjualan barang dan /atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan

“halal” yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama

barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal

pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan

lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam

bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar

tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat,

atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

benar.

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari peredaran.
Etikad baik pelaku usaha atau produsen dalam hal ini sangat wajibkan, tidak semata-

mata mencari keuntungan. Pelaku usaha tidak boleh memasarkan barang tanpa memberikan

informasi yang jelas. Perlindungan konsumen diwujudkan dengan diaturnya perbuatan yang

dilarang bagi pelaku usaha hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap

kesehatan, kenyamanan,keamanan baik bagi diri konsumen maupun harta bendanya agar sesuai

harga yang dibayarnya terhadap suatu produk dengan mutu produk itu sendiri. Pengawasan dan

Teknis dalam Perdagangan yang mengikat negara yang menandatanganinya, untuk menjamin

bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau standar teknis

untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen, dan pengujian

serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap

perdagangana internasional. 44

44
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hal. 66.
BAB IV

TANGGUNG JAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU DARI


UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN

A. Pengaturan Tugas Apoteker Dan Dasar Hukum Serta Bentuk-Bentuk Kelalaian Yang
Sering Dilakukan Apoteker Yang Merugikan Konsumen Dalam Menjalankan Tugas.

1. Pengaturan Tugas Apoteker

Pembatasan pengkajian hukum yang diantaranya menyangkut tenaga farmasi dalam hal

ini adalah apoteker, beranjak dari tenaga kesehatan yang sangat mudah ditemui di seluruh

pelosok tanah air dan wilayah hukum Indonesia, menyangkut farmasi. Bahkan produk-produk

farmasi, baik berupa obat-obatan dan peralatan kesehatan lainnya, semakin mudah diperoleh di

berbagai tempat.

Sejarah pendidikan tenaga farmasi, sebagai bagian tidak terpisahkan dari tenaga

kesehatan, tidak ada perubahan yang signifikan. Persyaratan untuk menjadi apoteker harus

melalui saringan yang ketat, dan nilai-nilai matematika harus tinggi. Demikian pula halnya

dalam Stara S1 dan S2 pendidikan farmasi tetap melakukan seleksi yang sangat ketat baik

terhadap nilai akademis dari para calon, serta persyaratan kesehatan lainnya. Risiko yang sangat

tinggi bagi profesi tenaga farmasi menyangkut keselamatan dan kesehatan pasien serta warga

masyarakat luas, menyebabkan informasi tentang tenaga farmasi beserta organisasi profesi kode

etik, menjadi sangat terbatas. Walaupun demikian, aspek pembinaan dan pembinaan berjalan

sesuai dengan sistem yang berlaku 45.

Selama proses pendidikan, biasanya selalu diseleksi secara alami sehingga bagi yang nilai

akademisnya rendah, otomatis mereka akan berhwenti di tengah jalan. Pada jenjang keserjanaan,

45
Rini Sasanti. Persepsi Konsumen Di Apotek Terhadap Pelayanan Apotek Di Tiga Kota Indonesia.
Jakarta: www.sasanti@litbang.depkes.go.id
tenaga farmasi, adalah mereka yang masuk dalam fakultas farmasi. Dan sampai saat ini, masih

sangat terbatas jumlah fakultas farmasi di pendidikan tinggi negeri. Keterbatasan Fakultas

farmasi di universitas negeri, tentu saja juga terbatas pula fakultas farmasi di universitas swasta

lainnya di Indonesia.

Dalam perspektif keilmuan, sangat terbatasnya pendidikan farmasi di tingkat universitas,

disamping proses seleksi yangs angat ketat, juga untuk menjaga kualitas lulusan sarjana farmasi,

yang terus menerus dipertahankan sepanjang masa. Disamping itu, instansi pendukung seperti

laboratorium dan peralatannya untuk menghasilkan tenaga farmasi yang professional, juga

sangat mahal dan terbatas 46.

Dalam perkembangan sekarang, tenaga farmasi di berbagai apotek dan toko obat, mulai

melakukan penjualan obat yang seharusnya melalui resep, secara bebas. Warga masyarakat

sangat diuntungkan dengan keadaan ini. Namun warga masyarakat sesungguhnya dirugikan

dengan adanya penjualan obat yang secara bebas, karena menyangkut dosis, resistensi obat dan

bahaya-bahaya yang lain.

Sesuai kode etik, standard profesi dan peraturan perundang-undangan yang ada, apoteker

bekerja sesuai kompetensinya. Saat ini semakin banyak ditemui apoteker langsung memberikan

obat, walaupun tanpa resep dokter, meskipun ada buku panduan terhadap penyakit tertentu dari

Dirjenbinfar.

Pengaturan kedudukan hukum dan pengaturan tugas apoteker dalam menjalankan

tugasnya yaitu 47:

a. Aspek Hukum

46
Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo.
http:/www.ums.ac.id
47
Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia,
2009
Tenaga kesehatan yang tercakup dalam pengkajian ini, berkenaan bahwa Indonesia

adalah Negara hukum, sudah barang tentu, semua sikap dan tindak dalam menjalankan

profesinya, harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Disamping itu, dalam rangka memberikan perlindungan hukum pada saat menjalankan

profesinya, hukum, juga selalu dan harus melihat standard profesi, kode etik, dan dalam keadaan

bagaimana tenaga kesehatan tersebut dalam bersikap tindak.

1. Pidana

Secara umum, dalam aspek hukum tentang tenaga kesehatan, sesuai

perkembangan hukum di Indonesia, diantaranya adalah beberapa pasal dalam

KUHP, yaitu pasal 263, 267, 294 ayat (2), 249, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351,

359, 360, 361, 531.

Penafsiran dan penerapan pasal-pasal tersebut, harus dilakukan secara

ekstra hati-hati, professional, dan melalui pendapat pakar di bidang kedokteran

dan kesehatanh lainnya, apakah sesuai dan selaras standard profesi. Apakah

memenuhi unsur kelalaian dan kesalahan atau tidak. Ataukah memang keadaan

umum pasien yang sudah tidak ada harapan.

2. Perdata

Menurut hukum perdata, dalam pertanggungjawaban perdata profesi

tenaga kesehatan, diatur dalam pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata. Tenaga

medis, tenaga keperawatan, dan tenaga farmasi, dapat dipertanggungjawabkan

sesuai pasal-pasal tersebut.

Pada pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Tiap perbuatan

melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan


orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian

tersebut”.

Pada pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan “Setiap orang bertanggung

jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga

untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Pada pasal 1367 KUHP “Seseorang harus memberikan pertanggung-

jawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dan tindakannya sendiri,

tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di

bawah pengawasannya.

3. Administratif

Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aspek hukum pidana, dan

hukum perdata, aspek administratif dari pembinaan dan pengawasan tenaga

kesehatan dalam menjalankan profesinya, merupakan suatu kelengkapan nyang

sangat komprehensif.

b. Aspek Fasilitasi

Profesi tenaga farmasi selalu taat asas, teliti dan hati-hati setiap bersikap tindaki.

Tenaga farmasi selalu berdasarkan rumusan-rmusan, serta dalil-dalil yang baku, setelah

melalui penelitian yang cermat, terbuka, dan telah melalui proses penggunaan obat secara

universal.

Dari aspek kebebasan profesi, tenaga farmasi, tidak diberikan kebebasan menurut

perkiraan mereka sendiri. Semuanya serba terukur, sesuai standar yang bersifat universal

dan juga ada ketentuan tentang masa berlakunya. Perubahan dan pencampuran

komposisi obat yang telah lama diberlakukan, bisa dihentikan atau dilarang kalau
berdasarkan hasil penelitian utamanya di berbagai Negara yang sudah maju dan modern

dengan budaya penelitian obat yang sudah diakui oleh organisasi kesehatan sedunia

(World Health Organization) WHO.

Dalam profesi sehari-hari yang dilakukan di apotek, tenaga farmasi dilarang

mengganti obat dari dokter yang memberikan resep. Kecuali obat tersebut sama dan dari

pabrik/produsen yang berbeda. Dalam hal tenaga farmasi tersebut ragu terhadap

penulisan resep dokter, baik menyangkut kemungkinan pemberian resep dokter ternyata

pada jenis obat yang sama, dan hanya produsennya berbeda, tenaga farmasi harus

menghubungi dokter untuk menanyakan hal itu 48.

Khusus untuk pemberian obat jenis narkotika dengan golongan yang tinggi, dan

penggunaannya harus diawasi secara ekstra ketat, tenaga farmasi dimungkinkan

menanyakan langsung pada dokter yang memberikan resep ataupun mencoba

mengingatkan dokter tentang resep tersebut. Karena hal ini dapat terjangkau dengan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahkan perlu memperhatikan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Berkenaan dengan semakin banyaknya produk-produki farmasi yang beredar di

tengah masyarakat sesuai era perdagangan bebas, tenaga farmasi harus mencermati

peredaran produk farmasi tersebut, apakah berbahaya bagi ummat manusia, khususnya di

Indonesia. Dan sesuai dengan profesinya, serta sebagai tanggung jawab pada masyarakat

Indonesia, diharapkan merespon dan melaporkan pada pihak Badan Pengawasan Obat

dan Makanan (BPOM).

48
Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo.
http:/www.ums.ac.id
Kebebasan dan tanggung jawab profesi tenaga farmasi justru dibatasi oleh tenaga

farmasi sendiri. Namun berkenaan bahwa Negara Indonesia adalah sangat luas serta

masih sangat banyak daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan secara minimal,

tenaga farmasi menengah (lulusan asisten apoteker), terkadang sangat berperan di daerah

tersebut. Sehingga, dari situasi dan kondisi yang bersifat kedaruratan, tanggung jawab

tenaga farmasi dapat disimpangi. Namun harus dilihat apakah standar pelayanan minimal

dan etika profesi, dapat mendukung tenaga farmasi pada waktu itu 49.

c. Aspek Peraturan Perundang-undangan

Tenaga kesehatan, yang dalam konteks ini dibatasi pada profesi tenaga medis

(dokter, dan dokter gigi, perawat dan bidan, serta tenaga farmasi) merupakan unsur

strategis dalam pelayanan kesehatan, termasuk upaya penyembuhan, pemeliharaan dan

pemulihan kesehatan.

Sebagai perwujudan pengamalan Negara hukum yang mensejahterakan masyarakat

(welfare state), tenaga kesehatan telah dilindungi melalui berbagai peraturan perundang-

undangan. Namun demikian peraturan perundang-undangan berupa berbagai undang-undang

tersebut, baik itu Udnang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang

Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, serta beberapa undang-undang lain, belum ada

peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah (PP). sehingga, disamping sangat

mengganggu profesi tenaga kesehatan, juga membatasi serta tidak adanya jaminan kepastian

hukum.

Melihat kemampuan Apoteker yang sesuai dengan pedidikannya, menunjukkan betapa

pentingnya peranan Apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, yaitu dengan

49
Matmunah. Medication Error Di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo.
http:/www.ums.ac.id
memberikan suatu informasi yang jelas kepada pasien (masyarakat). Contoh : Penggunaan obat

aturan pakai, akibat yang ditimbulkan oleh obat dan sebagainya. Karena mengingat sebagaian

besar masyarakat tidak mengetahui hal tersebut, sehingga pemberian informasi yang jelas dan

tepat sangat dibutuhkan demi keamanan dan keselamatan pemakai obat.

Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada saat

Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang harus dilayani,

sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya kepada pasien sangat

mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan untuk menjelaskan secara

langsung tentang obat yang akan dipakainya 50.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Apoteker diserahi

tanggung jawab secara penuh dalam mengelola Apotek, ketentuan ini dapat kita lihat dalam

Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan

Apotek. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 berbunyi:

1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana dimaksud ayat
1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2
dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang Dokter berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan.

Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat

dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek. Apoteker

harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA) ketentuan tersebut terdapat dalam Surat

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1) dan (2). Ayat 1 berbunyi:

50
Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di atas
Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal dengan
mencantumkan:
a. Nama dan alamat Apotek pemohon;
b. Nama Perguruan Tinggi tempat Apoteker dan Tanda Lulus sebagai Apoteker;
c. Nomor dan tanggal Surat Izin Kerja;
d. Keterangan tempat kerja bagi mereka yang telah bekerja.
e. Surat Keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mengelola Apotek, yang
diberikan oleh Perguruan Tinggi atau Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Pengelolaan
Apotek yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal;
f. Pas foto ukuran 4 x 6.

B. Tanggung Jawab Hukum Apoteker Terhadap Konsumen ditinjau Dari Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberlakukan, maka prinsip

tanggungjawab yang dianut di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah prinsip

tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle). Hal tersebut

dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (1) Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang

Perlindungan Konsumen.

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian

konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat

digugat untuk mengganti kerugian.

Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara produsen, tetapi semua

yang dinyatakan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai pelaku usaha, termasuk

di dalamnya adalah apoteker yang dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan pelayanan

jasa kepada pasien selaku konsumen kesehatan. Selanjutnya, Pasal 28 Undang-Undang


Perlindungan Konsumen menyatakan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam

gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan

beban dan tanggungjawab pelaku usaha. ( Pasal 19 ayat (1) Pasal 28 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen)

Pelaku usaha akan membayar ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerugian jika

ia tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan suatu kesalahan. Namun, konsumen yang

dirugikan tidak akan mendapat ganti rugi sedikitpun jika pelaku usaha dapat membuktikan

bahwa kerugian yang ditimbulkan bukan merupakan kesalahannya 51.

UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang memasukkan pelayanan

kesehatan sebagai objek hukum perlindungan konsumen, dan menempatkan penerima layanan

kesehatan sebagai konsumen serta tenagan kesehatan sebagai pelaku usaha dalam hubungan

hukumnya. Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa UUPK pada dasarnya bukan

merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab

sampai pada terbentuknya UUPK telah ada beberapa UU yang materinya melindungi konsumen,

seperti UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung

hukum (umbrella act) bagi peraturan perundangan-undangan lainnya yang berhubungan dengan

konsumen.

Tenaga kesehatan yang dimaksudkan disini adalah setiap orang yang mengabdikan

dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui

pendidikan di bidang kesehatan. Sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Kesehatan, setiap tenaga

kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan

menghormati hak pasien. Baik standar profesi pada umumnya maupun standar profesi mediknya.

51
Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007
Demikian pula dengan penghormatan hak, baik hak-hak pasien pada khususnya, maupun hak-

hak konsumen pada umumnya.

Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan tunduk

pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap hukum dan etika tersebut

berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya. Untuk lebih jelasnya maka

dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur secara tegas mengenai

tanggungjawab pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen.

Apoteker dapat dimintakan tanggung jawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau

kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan.

Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal

apoteker berbuat kesalahan atau kelalaian. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih

perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian

terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi 52.

Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen atau penerima jasa pelayanan

kesehatan terhadap apoteker terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perlindungan hukum bagi

pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan ini mengatur mengenai perbuatan melawan

hukum.. Begitu pula untuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum berupa kesengajaan

atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan, maka ganti rugi diberikan

dengan syarat yang sama dengan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang berupa

kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan orang mati sebagaimana di atas. Hanya saja ganti

rugi yang dapat dituntut dalam hal menyangkut perbuatan melawan hukum yang berupa

kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan adalah

52
Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007
penggantian biaya penyembuhan dan ganti rugi yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut

(Pasal 1371 KUH Perdata). Penilaian terhadap ganti rugi inilah yang biasanya akan dipakai oleh

hakim dalam memberikan keputusan menyangkut ganti rugi yang dimintakan oleh pasien selaku

konsumen kesehatan apabila terjadi kasus malpraktek.

Lain halnya dengan pemberian ganti rugi menurut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pemberian ganti rugi menurut Pasal

19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut konsumen hanya

mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau

hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya

kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan.

Pemberian ganti kerugian juga dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak terjadinya transaksi

(Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999).

Dalam dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan

pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yaitu dalam Pasal 22 dan

28, kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku

usaha sepenuhnya. Dalam hal yangdemikian, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan

bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi

hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut.

Dari uraian di atas, dapat dilihat adanya perbedaan beban pembuktian yang diatur dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan pembuktian yang diatur dalam Hukum Acara

yang berlaku menurut KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 163 HIR dan Pasal

1865 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang mendalilkan adanya sesuatu hak
(dalam hal ini konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen harus dapat

membuktikan bahwa 53 :

a. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;

b. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi sebagai akibat

dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang

tidak layak;

c. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan atau pemakaian dari barang

dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu;

d. Konsumen tidak ”berkontribusi”, baik secara langsung atas kerugian yang dideritanya

tersebut.

Berdasar pada Pasal 19 ayat (3), ganti kerugian akan diberikan kepada konsumen dalam

tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi, sehingga apabila konsumen yang

mengkonsumsi barang di hari kedelapan setelah transaksi tidak akan mendapatkan penggantian

kerugian dari pelaku usaha, walaupun secara nyata konsumen yang bersangkutan telah menderita

kerugian. Ketentuan ini juga menjadi salah satu kendala dalam memberikan ganti kerugian

kepada konsumen mengingat dalam dunia kedokteran menyangkut kasus malpraktek, kerugian

yang diderita oleh konsumen kesehatan biasanya lebih dari tenggang waktu 7 (tujuh) hari

sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang- Undang Perlindungan

Konsumen. Oleh karena itu, hal tersebut juga yang menyebabkan hakim lebih condong untuk

menyelesaikan kasus malpraktek yang terjadi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan

sebagaimana dalam KUH Perdata dan bukan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Padahal dapat dilihat bahwa dalam Undang-Undang

53
Johan Nasution, Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2005
Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk

mendapatkan ganti kerugian yaitu menyangkut asas pembuktian yang dianut dalam undang-

undang tersebut menggunakan asas pembuktian terbalik, sehingga pihak pelaku usaha yang harus

dapat membuktikan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan melawan

hukum yang menyebabkan kerugian yang diderita oleh konsumen. Hal ini berbeda

denganketentuan pembuktian dalam Hukum Acara Perdata yang mana tetap berlaku asas haknya

itu, sehingga di sini konsumen yang harus membuktikan kesalahan pada pelaku usaha.

C. Akibat Hukum dan Penyelesaian Dalam Hal Adanya Kelalaian Kesalahan Informasi
Kepada Konsumen

Membicarakan perlindungan hukum terhadap pasien kita tidak dapat memisahkan diri

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen, karena pada

dasarnya UU inilah yang dijadikan bagi perlindungan konsumen termasuk halnya pasien apotek.

Perlindungan hukum bagi pasien apotek selaku konsumen mempunyai hak untuk

melakukan pengaduan serta menggunakan forum mediasi untuk mendapatkan penyelesaian

sengketa secara sederhana, murah dan cepat.

Apabila hak dan kewajiban apoteker sudah sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen maka akan dapat menjalankan aktifitas di dalam apotek tersebut. Diantaranya adalah

hak mendapatkan informasi yang jelas dan akurat dan hak untuk diperlakukan secara benar dan

jujur. Dan kewajibannya adalah mengikuti petunjuk informasi dan prosedur yang dijalankan oleh

apoteker 54.

54
Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung:
Universitas Lampung. 2007
Apoteker harus merespon setiap keluhan dan pengaduan konsumen. Untuk menghindari

berlarut-larutnya penanganan dan pengaduan pasien diperlukan standar waktu yang jelas dan

berlaku secara umum di setiap apotek dalam menyelesaikan setiap pengaduan pasien.

Apabila tidak dapat diselesaikan juga maka perlu disediakan media yang dapat

menampung penyelesaian sengketa antara pasien dengan apoteker. Penyelesaian sengketa pasien

harus dapat memenuhi unsure sederhana, murah dan cepat. Pertanggungjawaban Apoteker di

apotek Umi Farma apabila pasien mengalami kerugian yaitu dengan cara melakukan perdamaian

berupa pengaduan langsung kepada apoteker yang bersangkutan apabila terjadi kekeliruan untuk

selanjutnya diproses untuk dibuktikan guna pemberian ganti rugi.

Banyaknya kasus kesalahan apoteker yang terjadi terkait erat dengan hak bagi anggota

masyarakat khususnya pasien yang berperan sebagai konsumen kesehatan. Salah satu hak yang

dimiliki oleh anggota masyarakat ialah memperoleh perlindungan dalam kedudukannya sebagai

konsumen. Hal ini sangat wajar mengingat kedudukan tersebut terjadi akibat dari adanya

interaksi pihak lain, yang antara lain di antara para pihak secara prinsip mempunyai kepentingan

berbeda. Dalam hal ini, pihak konsumen berkepentingan untuk memperoleh manfaat yang sebaik

mungkin atas barang dan jasa yang dikonsumsinya, terkait dalam hal ini adalah jasa di bidang

medis, sedangkan produsen barang maupun pemberi jasa atau pelaku usaha berkepentingan

untuk memperoleh keuntungan dari produk atau jasa yang dijualnya. Berdasarkan perbedaan

dasar kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha maka kemungkinan timbulnya persoalan

akibat adanya benturan kepentingan menjadi terbuka 55.

Dalam kesalahan dan kelalaian yang dilakukan apoteker terhadap konsumen, selain aspek

hukum perdata, juga melekat di dalamnya aspek hukum pidana. Meskipun dalam hal

55
Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung:
Universitas Lampung. 2007
perlindungan konsumen cenderung berkaitan dengan segi perdata. Untuk dapat dikatakan telah

terjadi malapraktek medik menurut hukum perdata adalah telah terjadi penyimpangan dari

standar profesi kedokteran. Namun sayangnya, hingga saat ini Peraturan Pemerintah (PP) tentang

Standar Profesi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

belum ada.

Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen kesehatan dalam hal

terjadi malpraktek perlu dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut :

1. Perlindungan Hak Atas Ganti kerugian Bagi Konsumen Kesehatan;

Setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberlakukan, maka prinsip

tanggungjawab yang dianut di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah

prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle).

Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (1) Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang

Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti

kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi

barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Undang-Undang

Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat digugat untuk

mengganti kerugian. Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara

produsen, tetapi semua yang dinyatakan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen

sebagai pelaku usaha, termasuk di dalamnya adalah apoteker yang dianggap sebagai

pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa kepada pasien selaku konsumen

kesehatan.
Selanjutnya, Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan

pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan

tanggungjawab pelaku usaha. ( Pasal 19 ayat (1) Pasal 28 undang-Undang Perlindungan

Konsumen) Pelaku usaha akan membayar ganti rugi kepada konsumen yang mengalami

kerugian jika ia tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan suatu kesalahan.

Namun, konsumen yang dirugikan tidak akan mendapat ganti rugi sedikitpun jika pelaku

usaha dapat membuktikan bahwa kerugian yang ditimbulkan bukan merupakan

kesalahannya.

UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang memasukkan

pelayanan kesehatan sebagai objek hukum perlindungan konsumen, dan menempatkan

penerima layanan kesehatan sebagai konsumen serta tenaga kesehatan sebagai pelaku

usaha dalam hubungan hukumnya. Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa

UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur

tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya UUPK telah ada

beberapa UU yang materinya melindungi konsumen, seperti UU No. 23 Tahun 1992

tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung hukum (umbrella act) bagi

peraturan perundangan-undangan lainnya yang berhubungan dengan konsumen.

Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan

tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap hukum

dan etika tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya.

Untuk lebih jelasnya maka dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen


diatur secara tegas mengenai tanggungjawab pelaku usaha atas kerugian yang dialami

konsumen.

Apoteker dapat dimintakan tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian

atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa

pelayanan kesehatan. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak

sengaja, sebab kesalahan atau kelalaian apoteker yang menimbulkan kerugian terhadap

pasien menimbulkan hak bagi konsumen untuk menggugat ganti rugi.

Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen atau penerima jasa

pelayanan kesehatan terhadap apoteker terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

Perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan ini

mengatur mengenai perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu apoteker berkewajiban

untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar

perawatan kesehatan. Begitu pula untuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum

berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan luka atau cacatnya anggota badan,

maka ganti rugi diberikan dengan syarat yang sama dengan ganti rugi karena perbuatan

melawan hukum yang berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan orang mati

sebagaimana di atas. Hanya saja ganti rugi yang dapat dituntut dalam hal menyangkut

perbuatan melawan hukum yang berupa kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan

luka atau cacatnya anggota badan adalah penggantian biaya penyembuhan dan ganti rugi

yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut (Pasal 1371 KUH Perdata). Penilaian

terhadap ganti rugi inilah yang biasanya akan dipakai oleh hakim dalam memberikan
keputusan menyangkut ganti rugi yang dimintakan oleh pasien selaku konsumen

kesehatan apabila terjadi kasus malpraktek 56.

Lain halnya dengan pemberian ganti rugi menurut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pemberian ganti rugi

menurut Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal

tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu

ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal

konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga

kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan. Pemberian ganti kerugian juga

dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak terjadinya transaksi (Pasal 19 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999).

2. Kendala Pemenuhan Hak Atas Ganti Kerugian Bagi Konsumen Kesehatan;

Kata malpraktek tidak ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Pasal 55 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, hanya

menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal 50 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran berbunyi: dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum

sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur

operasional. Adapun pasal 359-360 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

menyebutkan kelalaian medis yang dianggap tindak pidana hanyalah yang culpa lata atau

kelalaian besar. Kelalaian di sini berarti harus ada kewajiban yang dilanggar dan harus

ada cedera atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran tersebut. Syarat lainnya,
56
Soekantao. Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV. Ramadya Karya. 2005
cedera atau kerugian tersebut sudah diketahui dan akibat ketidak hati-hatian yang nyata di

mana tidak terdapat factor pemaaf atau faktor pembenar 57.

Di lain sisi pasien sendiri mengalami kesulitan untuk menuntut apoteker secara

hukum, sebab tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktek,

kecelakaan dan kelalaian. Ganti rugi hanya diberikan bila terbukti ada kerugian yang

ditanggung pasien. Sedangkan beban pembuktian itu sendiri ada pada pasien. ”Hukum

pidana dan/ atau perdata dapat dilakukan pada apoteker hanya bila terjadi kecacatan atau

kematian atau reaksi tubuh yang tidak diharapkan akibat dari pelayanan yang tidak sesuai

dengan kaidah medis”. Malpraktek yang dapat digugat pasien hanya kelalaian medik

yang dilakukan apoteker yang menimbulkan kerugian 58.

Dalam dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas

kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yaitu

dalam Pasal 22 dan 28, kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan

tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal yang demikian, selama pelaku

usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan

yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan

wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut.

3. Penyelesaian Hukum Dalam Hal Adanya Kelalaian Kesalahan Informasi Kepada

Konsumen

57
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2010, hal. 6.

58
Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001
Kesalahan yang umumnya terjadi yang dilakukan apoteker di Apotek Umi Farma

terhadap konsumen adalah kesalahan akibat pemberian obat dengan nama obat yang

sama namun kualitas berbeda, kesalahan dalam membaca resep. Biasanya hal ini

dikarenakan konsumen yang tidak menjelaskan mengenai keluhan yang ia derita.

Keluhan ini menurut apoteker terbagi menjadi dua yaitu keluhan biasa dan keluhan yang

berbahaya. Keluhan biasa yaitu mengenai kulaitas obat dan pelayanan terhadap

konsumen. Akibat yang timbul dari keluhan biasa adalah konsumen akan pindah ke

apotek lain. Sedangkan keluhan berbahaya adalah keluhan konsumen setelah membeli

dan menggunakan obat dari apotek, seperti kualitas obat dan efek samping obat. Akibat

yang timbul dari keluhan berbahaya adalah apoter dapat dituntut oleh konsumen sampai

ke pengadilan.

Selain itu, pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker belum

dilaksanakan dengan maksimal dimana kehadiran seorang apoteker berada di apotek

cukup rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, secara umum apotek

yang mereka kelola adalah apotek milik PSA (pemilik sarana apotek) dimana pemilik

apotek cenderung mengutamakan untung atau sisi bisnis mereka. Secara tidak langsung

atau mendorong apoteker mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, kebanyakan resep yang masuk setiap hari adalah kurang dari 20 lembar dan

biasanya resep yang masuk pada jam tertentu sehingga pelayanan di apotek lebih

dilakukan oleh asisten apoteker.

Salah satu penerapan standar kefarmasian di apotek adalah mewujudkan adanya

apoteker pendamping sehingga apotek tidak akan ditinggalkan oleh apoteker dan

pelayanan dapat tercapai, tetapi dari data yang diperoleh penulis menunjukkan apoteker
pendamping secara umum di apotek belum ada. Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun

1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang

apotek pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pengelolaan apotek menjadi tugas dan

tanggung jawab seorang apoteker, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa banyaknya

apoteker hanya berperan sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan bekerja hanya

sebagai pekerjaan sambilan bukan sebagai pekerjaan pokok dimana kehadiran mereka

tidak pada sepanjang jam buka apotek.

Konsumen dapat langsung menuntut apoteker untuk mengganti obat atau

mengembalikan uang pembeliannya. Hal ini harus diselesaikan dalam jangka waktu tujuh

hari setelah terjadinya transaksi tersebut, yang berarti juga konsumen harus dengan

segera mengajukan tuntutannya. Cara yang dimaksud oleh Pasal 19 ayat (1) UUPK tidak

jelas. Akan tetapi dengan menyimak Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, pastilah yang dimaksud bukan melalui suatu badan dengan acara

pemeriksaan tertentu. Dengan penetapan jangka waktu tujuh hari setelah transaksi

sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (3) UUPK konsumen, maka dapat diduga

penyelesaian sengketa yang dimaksudkan disini adalah penyelesaian sederhana dan

praktis yang ditempuh dengan jalan damai.

Dengan ini berarti bahwa sengketa konsumen diselesaikan terlebih dahulu dengan

pertemuan langsung antara apoteker dengan konsumen atau melalui bantuan pihak ketiga.

Dengan negosiasi, terjadi proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan terhadap

penyelesaian konsumen yang terjadi antara apoteker dengan konsumen.


Pada penyelesaian seperti ini, kerugian yang dapat dituntut sesuai dengan Pasal 19

ayat (1) UUPK terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran dan kerugian lain

akibat dari mengkonsumsi obat. Bentuk penggantian kerugiannya dapat berupa:

1. Pengembalian uang seharga pembelian obat

2. Penggantian obat sejenis atau setara nilainya

3. Perawatan kesehatan

4. Pemberian santunan yang sesuai

Pilihan bentuk penggantian kerugian bergantung pada kerugian yang sungguh

sungguh diderita oleh konsumen dan disesuaikan dengan hubungan hukum yang ada

diantara mereka. Dalam hal ini misalnya konsumen dapat menuntut supaya uangnya

dikembalikan atau obat yang telah dibeli diganti dengan obat yang sejenisnya.

Namun demikian, tuntutan penggantian kerugian ini bukan atas kerugian yang

timbul karena kesalahan apoteker sendiri. Dalam hal ini Undang-Undang memberi

kesempatan kepada apoteker untuk membuktikan bahwa konsumen telah bersalah dalam

hal timbulnya kerugian itu. Kalau apoteker berhasil membuktikannya, ia bebas dari

kewajiban membayar ganti kerugian. Misalnya, konsumen sakit karena salah memakai

obat, yaitu tidak menaati aturan pakai yang tertera di dalam pembungkus obat tersebut.

Jika apoteker tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut atau diantara

mereka tidak ada penyelesaian, konsumen dapat mengajukan kasusnya ke Badan

Penyelesain Sengketa Konsumen (BPSK) atau ke pengadilan. Mengikuti ketentuan Pasal

23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui

BPSK ini dapat ditempuh yaitu jika penyelesaian secara damai di luar proses pengadilan
tidak berhasil, baik karena apoteker menolak atau tidak member tanggapan maupun tidak

tercapai kesepakatan.

Penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan melaui tiga tahapan, yaitu 59:

1. Upaya penyelesaian secara mediasi

Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK.

Penyelesaian sengketa menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan

sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK bertindak aktif sebagai

mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk dan upaya lainnya. Hasil

musyawarah dikeluarkan sebagai keputusan BPSK.

2. Upaya penyelesaian melalui konsiliasi

Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK.

Penyelesaian sengketa menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan

sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK bertindak pasif sebagai

konsiliator.

3. Upaya penyelesaian melalui proses arbitrase

Para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada majelis BPSK untuk menyelesaikan

sengketa yang terjadi. Para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal

dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Selanjutnya arbiter

yang dipilih para pihak kemudian memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK dari

unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Maka sengketa konsumen masih dapat

diserahkan ke pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan

59
Ali Mansyur. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Genta Press. 2007
mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang

dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan

Herziene Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura atau

Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg) yang berlaku bagi daerah luar Jawa dan

Madura. Keduanya tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ancaman sanksi

administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak dua (2) Ratus Juta Rupiah dan

sanksi pidana berupa ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana

denda paling banyak dua (2) Milyar Rupiah apabila terjadi pelanggaran yang

dilakukan apoteker sebagai pelaku usaha atas ketentuan yang berlaku.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tugas apoteker menunjukkan betapa pentingnya peranan Apoteker dalam meningkatkan

kesehatan masyarakat, yaitu dengan memberikan suatu informasi yang jelas kepada

pasien (masyarakat). Contoh : Penggunaan obat aturan pakai, akibat yang ditimbulkan

oleh obat dan sebagainya. Namun, pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker

belum dilaksanakan dengan maksimal dimana banyak terjadi kelalaian yang dilakukan

oleh apoteker diantaranya adalah kehadiran seorang apoteker berada di apotek cukup

rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, secara umum apotek yang

mereka kelola adalah apotek milik PSA (pemilik sarana apotek) dimana pemilik apotek

cenderung mengutamakan untung atau sisi bisnis mereka, secara tidak langsung atau

mendorong apoteker mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, kebanyakan resep yang masuk setiap hari adalah kurang dari 20 lembar dan

biasanya resep yang masuk pada jam tertentu sehingga pelayanan di apotek lebih

dilakukan oleh asisten apoteker.

2. Tanggung jawab hukum apoteker terhadap konsumen apabila pasien mengalami kerugian

menurut Undang-Undang Nomor8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah

dengan menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan pasien, untuk

menghindari berlarut-larutnya masalah yang terjadi. Pengaduan pasien dilakukan dengan

standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Perlindungan hukum bagi

pasien apotek selaku konsumen mempunyai hak untuk melakukan pengaduan serta
menggunakan forum mediasi untuk mendapatkan penyelesaian sengketa secara

sederhana, murah dan cepat.

3. Akibat hukum dalam hal terjadi adanya kesalahan informasi kepada konsumen yang

dilakukan oleh apoteker adalah apoteker dapat dimintakan tanggung jawab hukum,

apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien

sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab

hukum kedokteran (medical liability), dalam hal apoteker berbuat kesalahan atau

kelalaian. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja,

sebab kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian terhadap pasien

menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi. Kesalahan yang umumnya

terjadi yang dilakukan apoteker terhadap konsumen adalah kesalahan akibat pemberian

obat dengan nama obat yang sama namun kualitas berbeda dan kesalahan dalam

membaca resep. Biasanya hal ini dikarenakan konsumen yang tidak menjelaskan

mengenai keluhan yang ia derita. Keluhan ini menurut apoteker terbagi menjadi dua yaitu

keluhan biasa dan keluhan yang berbahaya. Keluhan biasa yaitu mengenai kulaitas obat

dan pelayanan terhadap konsumen. Akibat yang timbul dari keluhan biasa adalah

konsumen akan pindah ke apotek lain. Sedangkan keluhan berbahaya adalah keluhan

konsumen setelah membeli dan menggunakan obat dari apotek, seperti kualitas obat dan

efek samping obat. Akibat yang timbul dari keluhan berbahaya adalah apoter dapat

dituntut oleh konsumen sampai ke pengadilan.


B. Saran

1. Pihak apoteker hendaknya dapat melaksanakan kewajiban dan tugasnya dengan baik

sehingga konsumen tidak dirugikan baik kesehatannya maupun keuangannya.

2. Apoteker harus memenuhi tanggungjawabnya dengan itikad baik dan penuh tanggung

jawab. Jika apoteker bersalah apoteker harus bertanggungjawab secara hukum atas

kesalahan dan kelalaiannya. Apoteker harus merespon setiap keluhan dan pengaduan

konsumen. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan dan pengaduan pasien

diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap apotek dalam

menyelesaikan setiap pengaduan pasien.

3. Apabila terjadi permasalahan antara konsumen dengan apoteker akibat kelalaian yang

dilakukan oleh apoteker maka perlu disediakan media yang dapat menampung

penyelesaian sengketa antara pasien dengan apoteker. Penyelesaian sengketa pasien harus

dapat memenuhi unsur sederhana, murah dan cepat. Pertanggungjawaban Apoteker di

apotek Umi Farma apabila pasien mengalami kerugian yaitu dengan cara melakukan

perdamaian berupa pengaduan langsung kepada apoteker yang bersangkutan apabila

terjadi kekeliruan untuk selanjutnya diproses untuk dibuktikan guna pemberian ganti

rugi.

Anda mungkin juga menyukai