Anda di halaman 1dari 42

CASE REPORT

Rhinosinositis Kronik dengan Nasal Polip Grade III Cavum Nasi Dextra

Pembimbing:
dr. Orlena Dharmantary Kartika, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
Fauziyah Aulia Rachmat
2018730037

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-


KL RSUD R. SYAMSUDIN, S.H. SUKABUMI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PERIODE 13 JUNI – 17 JULI 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan Rahmat, Anugerah dan Hidayah
Nya. Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Alhamdulillahirabbil‘alamin, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus. Tujuan
dari penyusunan laporan ini guna memenuhi salah satu syarat untuk
meenyelesaikan pembelajaran Program Studi Profesi Dokter Universitas
Muhammadiyah Jakarta di stase THT-KL.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam
menyusun laporan ini. Oleh karena itu, kritik dan saran diharapkan guna
penyempurnaan dan perbaikan pada laporan ini.
Wassalamualaikum wr.wb
Sukabumi, 07 Juli 2022

Fauziyah Aulia Rachmat

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................


i DAFTAR ISI...........................................................................................................

ii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................

iii BAB I KASUS.......................................................................................................

1 1.1. Hasil Anamnesis, Riwayat Penyakit, Pemeriksaan Fisik ..............................

1 1.2. Hasil Pemeriksaan Penunjang........................................................................

3 1.3. Resume ..........................................................................................................

6 1.4. Diagnosa Kerja ..............................................................................................

7 1.5. Differential Diagnosis....................................................................................

7 1.6. Rencana Penatalaksanaan ..............................................................................

7 1.7. Prognosis........................................................................................................

7 1.8. Follow up .......................................................................................................

7 BAB II DASAR TEORI .....................................................................................

11 2.1. Anatomi Hidung ..........................................................................................

11 2.2. Fisiologi Hidung ..........................................................................................

17 2.3. Polip Nasal...................................................................................................

20 BAB III PENUTUP .............................................................................................

36 DAFTAR

PUSTAKA ........................................................................................... 37

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Peran Dominan Inflamasi Tipe 2 dalam Mediasi CRSwNP ............


23 Gambar 2. 2 Jenis Sel yang Terlibat dalam Patogenesis Rinosinusitis Kronis
dengan Polip Nasal .......................................................................... 24 Gambar 2. 3
Peran Teoritis Aktivasi Lokal Deposisi Fibrin oleh Respons Inflamasi Tipe
2 ............................................................................... 25 Gambar 2. 4 Polip
Antrokoanal ............................................................................ 26 Gambar 2. 5
Polip Etmoidalis Bilateral ................................................................ 29 Gambar 2.
6 Perbedaan Polip Etmoidalis dengan Polip Antrokoanal .................. 31 Gambar
2. 7 Grading Polip Nasal ......................................................................... 31
Gambar 2. 8 Mulokel pada Frontal Sinus .............................................................
34

iii
BAB I
KASUS
1.1. Hasil Anamnesis, Riwayat Penyakit, Pemeriksaan Fisik
1.1.1.Identitas Pasien
Nama : Tn. N
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun (18 Juni 2000)
Alamat : Jl. Tipar Gg. Amarta IV
Dokter yang Menangani : dr. Orlena Dharmantary Kartika, Sp.THT KL
Tgl. Pemeriksaan : 23 Mei 2022
1.1.2.Anamnesa (Autoanamnesa)
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat seperti ada benjolan.
Keluhan dirasakan sejak 1 tahun SMRS. Keluhan batuk, pilek, demam, sesak
nafas dan mimisan disangkal. Keluhan pada telinga dan tenggorokan tidak
ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi.
1.1.3.Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda Vital
TD : 120/80 mmHg (Normal)
Nadi : 76x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup

1
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 36,5oC
Antropometri
BB : 73 kg
TB : 169 cm
Pemeriksaan Fisik THT
Dextra Telinga Sinistra

Tenang Auricula Tenang

Hiperemis (+) Canalis Acusticus Hiperemis (+)


Serumen (+) Externa Serumen (+)

Sulit dinilai Membran Timpani Sulit dinilai

Tenang Pre Auricula Tenang

Tenang Retro Auricula Tenang

Cavum Nasi

Hiperemis (+) Mukosa Tenang


benjolan (+)

Eutrofi Concha Hipertrofi

+ Sekret -

Deviasi ke kiri Septum Nasi Deviasi

+ Deviasi Septum +

- Pasase Udara +

Orofaring

Tenang Mukosa Tenang

T1 Ukuran Tonsil T1

- Pelebaran Kripta -

- Detritus -

Tengah Uvula Tengah

Tenang Palatum Tenang

Eutofi Lidah Eutofi

Gigi geligi

Maxilofacial

2
Simetris Simetris/Asimetris

Mata

Krepitas (-) Edema (-) Dorsum Nasi

- Nyeri Tekan Wajah -

Leher

- Pembesaran KGB -

- Oedema -

- Massa -

- Pembesaran Tiroid -

Lain-lain

1.2. Hasil Pemeriksaan Penunjang


1.2.1.Laboratorium
Pemeriksaan tanggal 23/05/22
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hemoglobin 15,2 g/dL 13 – 17

Leukosit 10.000 /��L 4000 – 10.000

Hematokrit 45 % 40 – 54

Eritrosit 5,3 juta/ ��L 4,4 – 6,0

Index Eritrosit

MCV 85,1 fL 80 – 100

MCH 28,5 pg 26 – 34

MCHC 33,4 g/dL 32 – 36

Trombosit 256.000 /��L 150.000 –


450.000

HEMOSTASIS
BT CT

Masa Pendarahan/ BT 1,30 menit 1–3

Masa Pembekuan/ CT 7,00 menit 5 – 15

3
KIMIA KLINIK

Glukosa Darah 96 mg/dL <140


Sewaktu

Pemeriksaan tanggal 08/06/22


Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hemoglobin 14,5 g/dL 13 – 17

Leukosit 5.500 /��L 4000 – 10.000

Hematokrit 44 % 40 – 54

Eritrosit 5,2 juta/ ��L 4,4 – 6,0

Index Eritrosit

MCV 84,6 fL 80 – 100

MCH 27,8 pg 26 – 34

MCHC 32,8 g/dL 32 – 36

Trombosit 343.000 /��L 150.000 –


450.000

HEMOSTASIS

BT CT

Masa Pendarahan/ BT 2,30 menit 1–3

Masa Pembekuan/ CT 7,30 menit 5 – 15

KIMIA KLINIK

Glukosa Darah 85 mg/dL <140


Sewaktu

AST (SGOT) 19 mg/dL <37

ALT (SGPT) 19 U/l <42

Ureum 17 U/l 19 – 43

Kreatinin 1,02 mg/dL 0,66 – 1,25

Natrium (Na) 140 mg/dL 137 – 150

Elektrolit

4
Kalsium (K) 4,2 mmol/L 3,5 – 5,5

Calsium 9,4 mg/dL 8 – 10,4

Clorida (Cl) 101 mmol/L 94 – 108

1.2.2.Radiologi
Rontgen Thorax 23/05/2022

Kesan: Cor dan pulmo normal

CT Scan Sinus Paranasal 09/06/2022


Kesan: Suspek SOL/ massa pada sinus maksilaris dextra yang menginfiltrasi ke
cavum nasi dextra menyebabkan deviasi septum nasi ke kiri Scanning

5
dengan kontras media: Tidak tampak lesi memberikan enhancement/
penyengatan.

1.2.3.Endoscopy dan Biopsi


31/05/22
Cavum nasi Dextra Sinistra

Mukosa Tenang Tenang

Konka inferior Tampak massa Eutrofi


gelatinous putih
keabuan setinggi konka
inferior, memenuhi
cavum nasi

Septum nasi Deviasi ke kiri pada 1/3 tengah atas

Meatus media Sulit dinilai Terbuka sempit

Konka media Eutrofi Eutofi

Dinding posterior

Massa (-)

Penebalan mukosa (-)

Post nasal drip (+)


Dinding lateral

Torus tubarius Sulit dinilai Tenang, massa (-)

Fossa rosenmuller Sulit dinilai Tenang, massa (-)

Ostium tuba Sulit dinilai Terbuka

Kesimpulan: Tumor cavum nasi dextra, DD/ polip nasi

1.3. Resume
Pasien datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat seperti ada
benjolan. Keluhan dirasakan sejak 1 tahun SMRS. Keluhan batuk, pilek,
demam, sesak nafas dan mimisan disangkal. Keluhan pada telinga dan
tenggorokan tidak ada. Pasien menyangkal adanya riwayat alergi.
Pada pemeriksaan fisik cavum nasi tampak mukosa hiperemis dengan
benjolan (+). Pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal menunjukan sol/
massa pada sinus maksilaris dextra yang menginfiltrasi ke cavum nasi dextra

6
menyebabkan deviasi septum nasi ke kir. Tidak tampak lesi memberikan
enhancement/ penyengatan.
1.4. Diagnosa Kerja
Rhinosinusitis dengan Nasal Polip Grade III Cavum Nasi Dextra
1.5. Differential Diagnosis
1. Konka Hipertrofi Cavum Nasi Dextra
2. Tumor Cavum Nasi Dextra
1.6. Rencana Penatalaksanaan
1.5.1.Medikamentosa
1) Marimer isotonic 3 x 2 puff
2) Dosisiklin tab 1 x 200 gr (hari 1), 1 x 100 gr (hari 2 – seterusnya) 3)
Asam Mefenamat 3 x 500 mg
1.5.2.Non-Medikamentosa
1) FESS + Polipektomi
1.7. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
1.8. Follow up
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning

22-06- Tidak ada KU: Tampak Rhinosinusit Alprazola


22 keluhan, os sakit ringan is kronis m 0,5 mg
HR 1 siap operasi Kesadaran: dengan (jam
Composmentis nasal polip 22.00 dan
(E4M6V5) grade III jam 07.00)
BB: 70kg dextra Puasa 6
TB:165cm jam
TD: 110/70 preop
mmHg HR:
93x/menit
RR: 20x/menit
T:36,7°C

7
SpO2: 96%
ADS: tenang
CN Dextra:
massa
gelatinous (+)
Pasase udara (-)
CN Sinistra:
Konka hipertrofi
Orofaring:
tenang
Maksilofasial:
dbn Leher: dbn
23-06- Tidak ada KU: Tampak Rinosinusitis puasa
22 keluhan, os sakit sedang kronis sampai
HR 2 siap operasi Kesadaran: dengan nasal bising
Composmentis polip grade usus (+),
(E4M6V5) III dextra observasi
BB: 70kg tanda
TB:165cm perdarahan
TD: 110/70 advis
mmHg HR: nafas
80x/menit dengan
RR: 20x/menit mulut,
T:36,6°C rencana
SpO2: 96% aff
CRT < 3 detik tampon

Cavum nasi hidung


terpasang kanan dan
tampon, kiri POD I
rembesa (-)

24-06- Nyeri pada KU: Tampak Rinosinusitis asam


22 hidung post sakit sedang kronis traneksam
HR 3 FESS + Kesadaran: dengan nasal at 2 x 1 gr
POD 1 Polipektomi Composmentis polip grade injeksi/
(E4M6V5) III dextra amp (+)
BB: 70kg post FESS + terapi / (+)

8
TB:165cm Polipektomi asam
TD: 110/70 POD 1 traneksam
mmHg HR: at
85x/menit 3x500mg
RR: 20x/menit
T:36,6°C
SpO2: 96%
Cavum nasi
terpasang
tampon,
rembesan (+)

25-06- Hidung KU: Tampak Rinosinusiti ceftriaxo


22 kanan sakit ringan s kronis ne 2x1
HR 4 masih Kesadaran: dengan cefadroxil
POD 2 rembes Composmentis nasal polip 2x30
(E4M6V5) grade III diet biasa
BB: 70kg dextra post per oral
TB:165cm FESS + setelah
TD: 110/70 Polipektomi sadar penuh
mmHg HR: POD 2
84x/menit
RR: 21x/menit
T:36,5°C
SpO2: 96%
Cavum nasi:
Aff
tampon(+),
rembesa(+)

Kontrol Poli

29-06- Sejak post op KU: Tampak Rinosinusitis Aff krusta


22 masih sakit ringan kronis hidung
POD 6 mengeluarka Kesadaran: dengan nasal Marimer
n ingus dan Composmentis polip grade hipertonik
darang kering (E4M6V5) III dextra nasal
yang hilang BB: 61kg post FESS +
timbul TB:165cm Polipektomi
POD 7

9
TD: 110/80 Cefixime
mmHg HR: tab 2 x
98x/menit 200 mg
RR: 20x/menit
T:36,6°C
ADS: tenang
CN Dextra:
massa
gelatinous (+)
Pasase udara (-)
CN Sinistra:
Konka hipertrofi
Orofaring:
tenang
Maksilofasial:
dbn Leher: dbn

POST FESS + POLIPEKTOMI

10

BAB II
DASAR TEORI
2.1. Anatomi Hidung
1. Hidung luar
Gambar 2. 1 Hidung bagian luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas


kebawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior).
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian
depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-
konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Gambar 2. 2 Struktur Rangka Hidung

11
Hidung terdiri dari bagian tulang padat dan kartilago. Pada tulang padat
terdapat os. Nasalis, processus frontalis maksilaris, os frontonasal, pars
osea septum nasi (yang membagi hidung atau kavum nasi menjadi kanan
dan kiri). Pada septum nasi terdiri dari tulang keras (pars osea septum
nasi) dan kartilago (kartilago septi nasi). Bagian depan hidung tersusun
dari kartilago yaitu kartilago nasi lateralis (dikanan dan kiri), kartilago
alaris mayor, kartilago septum nasi, dan kartilago alaris minor.
2. Hidung bagian dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris
dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan
nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus
externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus
maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.
a. Dasar Hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis
superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale lamina
cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial
rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago
septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer.
Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit,
jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.

12
b. Dinding lateral
Gambar 2. 3 Bagian Koronal dari Rongga Hidung
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior
terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal,
os maksila serta konka, dan di posterior terdapat lamina
perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian
terpenting pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang
paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan
mengalami rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Resesus sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan
di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat
bermuaranya sinus sphenoid.
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya
terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus
etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan
sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum

13
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum
maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus
frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian
anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal.
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara
3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
c. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid,
bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista
maksila, krista palatina dan krista sphenoid.
3. Vaskularisasi Hidung

Gambar 2. 4 Vaskularisasi Hidung


Perdarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri
etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri
oftalmika), dan arteri sphenopalatina. Arteri etmoidalis anterior
memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung.
Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior
posterior. Arteri sphenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis

14
posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya
ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sphenopalatina yang keluar
dari foramen sphenopalatina bersama nervus sphenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor
yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach
yang letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber dari epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Vena- vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.
4. Innervasi Hidung

Gambar 2. 5 Inervasi Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris


dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris,
yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sphenopalatinum. Ganglion sphenopalatinum selain memberikan

15
persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris
dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
mayor dan serabut- serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media.
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
5. Sinus Paranasal

Gambar 2. 6 Sinus Paranasal

a. Sinus Maksilaris : merupakan sinus paranasal yang terbesar. Dari segi


klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah dasar
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas sehingga
infeksi gigi akan mudah naik ke atas dan menyebabkan infeksi sinus.
Sinus maksilaris bermuara pada meatus nasi media. Seringkali
peradangan pada sinus maksilaris terjadi akibat infeksi ondontogen
(berasal dari gigi)
b. Sinus Frontalis : sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris,
satu lebih besar dari pada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak ditengah.
c. Sinus Ethmoidalis : sinus ethmoidalis memiliki bentuk yang
beronggarongga, berdasarkan letaknya sinus ethmoidalis dibedakan
menjadi sinus ethmoidalis anterior dan posterior.

16
d. Sinus Sphenoidalis : sinus sphenoidalis terletak dalam os sfenoid
dibelakang sinus ethmoidalis posterior. Sinus sphenoidalis dibagi
menjadi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid
Drainase sinus paranasal menuju kavum nasi. Sinus frontal,
maksilaris, dan etmoidalis anterior bermuara ke meatus media. Sinus
ethmoidalis bagian median drainase ke struktur yang disebut bulla
ethmoidalis. Sinus sphenoidalis menuju bagian posterior.
2.2. Fisiologi Hidung
1. Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan
kuat. Fungsi

hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa


manis yang berasal dari berbagai macam bahan.
Gambar 2. 7 Sel epitel olfaktorius

Pada daerah silia, terjadi proses binding antara odoran dengan


reseptor odoran (G-Pcr/G-protein couple receptor) hal ini mengaktivasi
reseptor GoIF(G-olfaktori reseptor/ pada gambar protein G) yang
berikatan dengan GTP, hal ini mengaktivasi adenyl cyclase untuk
kemudian mengubah ATP menjadi CAMP, ketika CAMP meningkat,
maka akan terjadi ikatan CAMP dengan reseptor pada kanal ion, setelah
berikatan, kanal ion terbuka dan terjadi pertukaran antara ion natrium dan
kalsium masuk ke dalam membrane dan ion klorida keluar (ion klorida

17
merupakan ion yg paling banyak ada di mucus), dan banyaknya ion
positif yang masuk ke dalam membrane menyababkan potensial aksi, hal
ini yang selanjutnya mengantarkan potensial aksi ke nucleus sel, dengan
20 nervus olfaktori bergabung dan melewati cribiform plate lalu menuju
bulbus olfaktorius dan berlanjut ke traktus olfaktorius lalu ke anterior
perforates substance dan uncus dan melewati thalamus lalu mengaktivasi
cortex, brainstem dan nucleus hipotalamus.
2. Air Conditioning
a. Filtrasi dan pemurnian.
Vibrissae hidung di pintu masuk hidung bertindak sebagai filter
untuk menyaring partikel yang lebih besar seperti bulu kapas. Partikel
yang lebih halus seperti debu, serbuk sari dan bakteri menempel pada
lendir yang menyebar seperti lembaran di seluruh permukaan selaput
lendir. Bagian depan hidung dapat menyaring partikel hingga 3 fLm,
sedangkan lendir hidung menjebak partikel 0,5-3,0 fLm. Partikel yang
lebih kecil dari 0,5 fLm tampaknya melewati hidung ke saluran udara
bagian bawah tanpa kesulitan.
Kontrol suhu udara inspirasi diatur oleh: permukaan besar
mukosa hidung yang secara structural disesuaikan untuk menjalankan
fungsi ini. lendir ini membran, terutama di daerah tengah dan turbinat
inferior dan bagian septum yang berdekatan sangat vaskular dengan
ruang vena kavernosa atau sinusoid yang mengontrol aliran darah, dan
ini menambah atau mengurangi ukuran turbinate. Ini membuat
mekanisme "radiator" yang efisien untuk pemanasan udara yang
dingin. Udara inspirasi yang mungkin bersuhu 20°C atau O°C atau
bahkan pada suhu di bawah nol dipanaskan hingga mendekati suhu
tubuh (37°C) dalam seperempat detik yang dibutuhkan udara untuk
mengalir dari lubang hidung ke nasofaring. Demikian pula, udara
panas didinginkan ke suhu tubuh.
b. Humidifikasi.
Fungsi ini berjalan secara bersamaan dengan perbandingan suhu
udara inspirasi. Relatif kelembaban udara atmosfer bervariasi

18
tergantung pada kondisi iklim. Udara kering di musim dingin dan
jenuh dengan kelembaban di musim panas momhs. Lendir hidung
membran menyesuaikan kelembaban relatif dari udara inspirasi hingga
75% atau lebih. Air, untuk menjenuhkan udara inspirasi, disediakan
oleh selaput lendir hidung yang kaya akan lendir dan sekresi serosa
kelenjar. Sekitar 1000 ml air diuapkan dari permukaan mukosa hidung
dalam 24 jam.
c. Perlindungan saluran udara bawah
Mukosiliar mekanisme. Mukosa biasa kaya akan sel goblet,
kelenjar sekretori baik mukus maupun serosa. Sekresi mereka
membentuk kontinuitas yang disebut selimut mukosa tersebar di
mukosa normal. Selimut mucous terdiri dari lapisan mukus superfisial
dan lapisan serosa yang lebih dalam, mengamban di atas silia yang
terus-menerus berdenyut untuk membawanya seperti "sabuk
pengangkut" menuju nasofaring bergerak dengan kecepatan 510' mm
per menit dan sekret lengkap lendir dibersihkan ke dalam faring setiap
10 sampai 20 menit. Bakteri yang terinspirasi virus dan partikel debu
terperangkap pada selimut lendir yang saling berhadapan dan
kemudian dibawa ke nasofaring untuk ditelan. Kehadiran tes turbine
hampir menggandakan luas permukaan untuk melakukan fungsi ini.
Pertarungan 600-700 ml sekresi nasa l diproduksi dalam 24 jam.
3. Fonetik Resonansi Suara
Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang.
4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Contoh, iritasi mukosa
hidung menyebabkan reflex bersin dan batuk terhenti, kemudian
rangsangan dari bau tertentu menyebabkan sekresi dari kelenjar liur,
lambung dan pancreas.

19
2.3. Polip Nasal
Polip hidung adalah massa non-neoplastik dari edema hidung atau
mukosa sinus (Dhingra et al. 2014). Sebagian besar polip ditutupi dengan
epitel berlapis semu dengan sel bersilia dan sel goblet dan terdiri dari
jaringan ikat longgar, edema, inflamasi sel, beberapa kelenjar dan kapiler.
Sel inflamasi yang paling umum terdapat pada polip hidung adalah
eosinophil, dan sitokin utama yaitu interlukin 5 (Munir and Clarke 2013).
Polip dapat terbentuk sebelum infeksi dari infiltrasi eosinofilik pada mukosa
hidung sebagai respons terhadap inflamasi alergi atau non alergi (JR and
Wackym 2009). Polip nasal seperti kantong 'grape-like' dari jaringan edema
pucat, paling sering timbul dari sinus ethmoid anterior melalui meatus media
ke dalam kavitas nasal. Seiring waktu, terjadi metaplasia skuamosa dan
menjadi tumbuh seperti daging dan memerah. Polip nasal paling sering
bersifat bilateral dan setiap unilateralitas dari kondisi ini akan meningkatkan
kecurigaan neoplasia. Pasien dengan disfungsi mukosiliar sering
menghasilkan polip nasal. Polip nasal pada anak dengan fungsi mukosiliar
normal sangat jarang. Polip nasal cenderung kambuh dan dalam beberapa
kasus mungkin menjadi masalah seumur hidup yang berulang, misalnya,
mereka yang dikenal dengan trias samter yaitu polip nasal berulang, asma,
dan hipersensitivitas terhadap NSAID (Munir and Clarke 2013).
2.3.1.Epidemiologi
Polip nasal diperkirakan terjadi pada 1-4% dari populasi umum AS.
Sementara polip nasal diamati dalam berbagai kondisi klinis termasuk cystic
fibrosis dan keganasan, lebih sering dikaitkan dengan subtipe rinosinusitis
kronis yang disebut rinosinusitis kronis dengan polip hidung (CRSwNP).
Pada kondisi ini, polip nasal bersifat jinak dan biasanya berkembang secara
bilateral di rongga sinonasal. Di antara semua pasien dengan rinosinusitis
kronis (CRS), hanya ~25-30% yang memiliki CRSwNP. Namun, CRSwNP
dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan dan penurunan kualitas hidup
membuat penyakit ini secara klinis penting untuk diidentifikasi, dievaluasi,
dan diobati . CRSwNP sering terlihat pada orang dewasa di atas usia 50
tahun,

20
dan hingga 50% pasien memiliki riwayat keluarga yang kuat (Whitney W.
Stevens et al. 2017).
Rinosinusitis kronik dengan polip nasal menyerang pasien berusia
antara 40 hingga 60 tahun di Amerika Serikat. Rinosinusitis kronik dengan
polip nasal lebih cenderung terjadi pada laki - laki, dengan satu penelitian
menunjukkan prevalensi 38% pada wanita dan 62% prevalensi pada pria.
Namun pada wanita lebih cenderung memiliki tingkat keparahan yang tinggi
(Whitney W. Stevens et al. 2017).
Prevalensi polip nasal adalah 4% pada populasi umum dan sering pada
laki-laki. Akan meningkat seiring bertambahnya usia hingga insiden puncak
pada usia 50 tahun atau lebih. Lebih dari 50% pasien polip nasal memiliki
riwayat keluarga (Whitney W. Stevens et al. 2017). Tidak ada penyakit
predisposisi tunggal yang terlibat dalam pembentukan polip, meskipun polip
nasal ditunjukkan pada beberapa penyakit. Prevalensi polip nasal meningkat
menjadi antara 7 dan 15% pada pasien dengan asma. Polip nasal terlihat pada
20% pasien asma dan hampir semua pasien dengan sinusitis jamur alergi.
Pada pasien dengan sensitivitas terhadap agen antiinflamasi nonsteroid dan
yang juga memiliki asma, kejadian polip hidung dapat meningkat hingga
60%. Hal tersebut dikenal sebagai triad Samter (Sataloff RT 2016).
2.3.2.Patogenesis
Patofisiologi polip nasal belum diketahui secara pasti. Beberapa
penelitian menunjukkan peningkatan kadar histamin dan IgE di sekitar polip,
serta sel mast dan eosinofilia di dalam polip (Newton JR 2009). Kondisi ini
mengindikasikan bahwa inflamasi kronik merupakan faktor utama
pembentukkan polip nasal (Rajguru R 2014).
Ada beberapa teori terkait patofisiologi polip nasal, antara lain teori
Bernstein, ketidakseimbangan saraf vasomotor, serta ruptur epitel. 1. Teori
Bernstein
Menurut teori Bernstein, adanya interaksi antara virus dan bakteri,
serta aliran udara yang turbulensi, menyebabkan perubahan pada mukosa
nasal, terutama di daerah sempit pada kompleks ostiomeatal (Hulse et al.
2015).

21
Sebagian besar kasus polip nasal terjadi pada meatus medius,
terutama celah sempit di ethmoid anterior yang membuat aliran udara
berturbulensi. Jika terjadi proses inflamasi pada sel epitel, sel endotel
vaskular, dan fibroblast, maka integritas bioelektrik saluran natrium pada
permukaan luminal sel epitel mukosa nasal akan terganggu dan
meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air, dan
pembentukan polip (Hulse et al. 2015).
2. Teori Ketidakseimbangan Vasomotor
Pada teori ketidakseimbangan vasomotor dinyatakan bahwa terjadi
peningkatan permeabilitas vaskular dan gangguan regulasi vaskular,
sehingga sitokin-sitokin lepas dari sel mast. Efek tersebut secara
berkepanjangan menyebabkan edema pada stroma polip, terutama di
pedikel polip.
3. Teori Ruptur Epitel
Pada teori ruptur epitel dinyatakan terjadi peningkatan turgor
jaringan pada mukosa nasal, sebagai akibat berbagai penyakit infeksi dan
alergi. Hal ini menyebabkan prolaps mukosa lamina propria, sehingga
membentuk polip yang dapat diperparah oleh obstruksi drainase vena
(Banhawy et al. 2016).
4. Histopatologi Polip Nasal
Karakteristik histomorfologi jaringan polip nasal antara lain
kerusakan epitel, membran basal menebal, edema pada jaringan ikat
stroma, berkurangnya jumlah pembuluh dan kelenjar, serta hampir tidak
ada struktur saraf. Jaringan pada polip nasal juga menunjukkan
peningkatan jumlah sel mast, eosinofil, limfosit T, sitokin, kemokin,
interleukin, TNF alfa, dan adhesion molecules (Newton JR 2009).

22
Gambar 2. 1 Peran Dominan Inflamasi Tipe 2 dalam Mediasi CRSwNP

Sitokin tipe 2 secara tradisional dipandang berasal dari sel Th2 dalam
respon imun adaptif. Sel Th2 diaktifkan oleh antigen-presenting cell (APC),
termasuk DC, sel B dan lain-lain. Sitokin tipe 2 yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13;
mengakibatkan perekrutan dan/atau aktivasi sel mast, eosinofil, basofil, sel
goblet, makrofag M2, sel B, dll., serta banyak respons jaringan yang
dihasilkan dari faktor-faktor yang dihasilkan sel-sel inflamasi ini. Sel mast
selanjutnya diaktifkan oleh antigen spesifik setelah sintesis lokal atau
sistemik dari antigen spesifik IgE. Temuan terbaru menunjukkan bahwa
sitokin tipe 2 juga dapat diproduksi oleh sel limfoid bawaan grup 2, yang
dikenal sebagai ILC2, yang tidak memerlukan aktivasi langsung oleh APC
dan antigen. ILC2 tetap menghasilkan spektrum sitokin yang sama dan
memunculkan respons efektor yang sama seperti sel Th2. ILC2 dapat
diaktifkan oleh protease, patogen dan rangsangan lainnya. Beberapa jalur
dimana ILC2 diaktifkan oleh rangsangan tersebut telah dijelaskan, terutama
dalam sistem murine, dan mekanisme yang tepat dimana ILC2 diaktifkan di
CRS berada di bawah pengawasan intensif (Hulse et al. 2015).

23
Gambar 2. 2 Jenis Sel yang Terlibat dalam Patogenesis Rinosinusitis
Kronis dengan Polip Nasal

Sel-sel imun yang ditunjukkan pada gambar meningkat pada jaringan


polip dari sebagian besar pasien Eropa dan Amerika dan sebagian dari pasien
Asia. Studi terbaru yang dibahas dalam teks memberikan dasar untuk model
di mana ekspansi lokal sel T, sel B dan sel plasma terjadi dengan bantuan sel
dendritik lokal, menghasilkan produksi sitokin dan imunoglobulin pada
tingkat tinggi di jaringan. Rekrutmen dan/atau aktivasi sel efektor,
ditunjukkan di kanan atas, kemungkinan merupakan konsekuensi dari
aktivasi sel imun adaptif, sel jaringan (misalnya epitel dan endotelium) dan
sel limfoid bawaan. Aktivasi sel struktural dapat berkontribusi pada
rekrutmen seluler, kebocoran dan aktivasi protein plasma, deposisi fibrin dan
modifikasi matriks ekstraseluler. Tindakan sel imun dan sel struktural
menyebabkan remodeling jaringan, seperti yang dirangkum sebagian di
kanan bawah (Hulse et al. 2015).

24
Gambar 2. 3 Peran Teoritis Aktivasi Lokal Deposisi Fibrin oleh
Respons Inflamasi Tipe 2

Studi terbaru oleh Takabayashi et al. telah menunjukkan bahwa sitokin


tipe 2 dapat meningkatkan deposisi fibrin melalui dua mekanisme penting.
Yang pertama adalah peningkatan fibrin cross-linking dengan induksi faktor
XIII-A pada makrofag M2. Faktor ini mengikat fibrin yang telah dibebaskan
dari fibrinogen oleh aksi trombin atau aktivator fibrinogen lainnya.
Mekanisme kedua adalah dengan menurunkan kadar tissue plasminogen
activator (tPA), yang merupakan enzim utama dalam pelarutan bekuan fibrin
atau cross-linked fibrin. Dalam saluran udara, tPA diekspresikan oleh sel
epitel, dan IL-13 dan IL-4 mengurangi ekspresi enzim fibrinolitik yang
penting ini. Penulis berhipotesis bahwa mekanisme ini mungkin awalnya
berevolusi sebagai bagian dari respons antiparasit normal, tetapi diaktifkan
secara tidak tepat di CRSwNP dan dapat berkontribusi pada pembentukan
polip (Hulse et al. 2015).
2.3.3.Klasifikasi
Polip nasal ini terbagi menjadi dua yaitu polip antrokoanal dan polip
etmoidalis bilateral (Dhingra et al. 2014).
1. Polip Antrokoanal
Polip antrokoanal adalah tumor hidung dan sinus jinak yang paling
umum pada anak-anak dan menyumbang sekitar 4% -6% dari semua polip

25
di populasi umum, dengan prevalensi yang lebih tinggi pada populasi
pediatri. Polip ini berbentuk seperti lonceng berasal dari sinus maksilaris
dan meluas melalui rongga hidung (Bluestone et al. 2014). Polip ini
muncul dari mukosa antrum maksilaris di dekat ostium aksesorinya,
keluar dan tumbuh di koana dan kavitas nasal. Dengan demikian ia
memiliki tiga bagian yaitu antral yang batangnya tipis, choanal yang
berbentuk bulat dan globular, serta nasal yang datar dari sisi ke sisi
(Dhingra et al. 2014).
Penyebab pasti dari polip antrokoanal tidak diketahui dengan pasti.
Namun dicurigai karena adanya nasal alergi ditambah dengan infeksi
sinus. Polip antrokoanal terlihat pada anak-anak dan dewasa muda.
Biasanya tunggal dan unilateral.

Gambar 2. 4 Polip Antrokoanal

Gejala pada polip antrokoanal yaitu obstruksi nasal unilateral .


Obstruksi dapat menjadi bilateral ketika polip tumbuh ke dalam
nasofaring dan mulai menghalangi koana yang berlawanan. Suara
mungkin menjadi parau dan menghilang karena hiponasalitas. Nasal
discharge, sebagian besar mukoid, dapat terlihat pada satu atau kedua
sisi. Karena polip antrokoanal tumbuh ke posterior, polip ini dapat dilihat
pada rinoskopi anterior. Ketika membesar dapat terlihat massa keabu-
abuan halus yang ditutupi dengan nasal discharge. Massa ini lembut dan
dapat dipindahkan ke atas dan ke bawah dengan probe (mobile). Polip
yang besar mungkin menonjol dari lubang hidung dan menunjukkan
tampilan merah muda yang padat pada bagian yang terbuka. Pada
rhinoskopi posterior dapat melihat massa globular yang mengisi koana
atau nasofaring. Sebuah polip besar dapat menggantung di belakang
palatum molle dan terlihat di orofaring.

26
Tatalaksana pilihan untuk polip antrokoanal adalah operasi sinus
endoskopi. Pilihan tersebut dapat menggantikan operasi polipektomi
sederhana dan operasi Caldwell-Luc yang dilakukan untuk kasus rekuren.
Polip antrokoanal mudah dihilangkan dengan avulsi baik melalui
rute nasal atau oral. Rekurensi jarang terjadi setelah pengangkatan
lengkap. Dalam kasus yang berulang, operasi Caldwell-Luc mungkin
diperlukan untuk menghilangkan polip sepenuhnya dari tempat asalnya
dan untuk menangani sinusitis maksilaris yang berdampingan. Saat ini,
operasi sinus endoskopi telah menggantikan cara lain untuk
menghilangkan polip dan operasi Caldwell-Luc dihindari. Operasi
Caldwell-Luc merupakan proses pembukaan antrum maksilaris melalui
fossa kaninus dengan pendekatan sublabial dan penanganan patologi di
dalam antrum. Operasi juga disebut anterior antrostomi karena akses ke
sinus maksilaris dilakukan melalui dinding anterior sinus.
2. Polip Etmoidalis Bilateral
Polip nasal multipel selalu muncul dari dinding lateral hidung,
biasanya dari meatus medial. Situs asal umumnya merupakan proses
uncinate, bulla ethmoidalis, ostium sinus, permukaan medial dan tepi
konka tengah. Polip nasal alergi hampir tidak pernah muncul dari septum
atau dasar hidung. Penyebab polip nasal etmoidalis sangat kompleks dan
belum dapat dipahami dengan baik. Polip mungkin timbul pada kondisi
inflamasi mukosa nasal (rinosinusitis), gangguan motilitas siliaris atau
komposisi mukus nasal yang abnormal (fibrosis kistik). Berbagai penyakit
yang berhubungan dengan pembentukan polip nasal adalah:
a. Rhinosinusitis kronis. Polip terlihat pada rinosinusitis kronis yang
berasal dari alergi dan non-alergi. Rinitis non alergi dengan sindrom
eosinofilia (NARES) adalah bentuk rinitis kronis yang berhubungan
dengan polip.
b. Asma. 7% dari pasien asma yang berasal dari atopik atau non-atopik
menunjukkan polip nasal.

27
c. Intoleransi aspirin. 36% pasien dengan intoleransi aspirin mungkin
menunjukkan polip. Trias Samter terdiri dari polip nasal, asma dan
intoleransi aspirin.
d. Fibrosis kistik. 20% pasien dengan fibrosis kistik membentuk polip.
Hal ini dikarenakan mukus yang abnormal. Fibrosis kistik adalah
penyebab utama polip pada anak-anak dan mungkin merupakan
masalah pertama yang muncul.
e. Sinusitis alergi jamur (allergic fungal sinusitis). Hampir semua kasus
sinusitis jamur membentuk polip nasal. Hingga 80% pasien dengan
polip nasal menunjukkan pertumbuhan jamur pada kultur swab nasal
f. Sindrom Kartagener. Ini terdiri dari sinusitis bronkiektasis, situs
inversus dan diskinesis siliar.
g. Sindrom Young. Ini terdiri dari penyakit sinopulmoner dan
azoospermia.
h. Sindrom Churg-Strauss. Terdiri dari asma, demam, eosinofilia,
vaskulitis dan granuloma.
i. Nasal Mastositosis. Ini adalah bentuk rinitis kronis di mana mukosa
nasal diinfiltrasi oleh sel mast tetapi terdapat hanya sedikit eosinofil.
Tes kulit untuk alergi dan kadar IgE normal.

Pada tahap awal, permukaan polip nasal ditutupi oleh epitel


kolumnar bersilia seperti mukosa nasal normal tetapi kemudian
mengalami perubahan metaplastik menjadi tipe transisi dan skuamosa
pada paparan iritasi atmosfer. Submukosa menunjukkan ruang interseluler
yang besar berisi cairan serosa. Terdapat juga infiltrasi dengan eosinofil
dan sel bulat. Mukosa nasal, terutama di daerah meatus medial dan konka
menjadi edema karena pengumpulan cairan ekstraseluler menyebabkan
perubahan polipoidal. Polip yang awalnya sessile menjadi bertangkai
karena gravitasi dan bersin yang berlebihan.

28
Gambar 2. 5 Polip Etmoidalis Bilateral

Gejala yang dapat timbul pada beberapa polip dapat terjadi pada
semua usia tetapi sebagian besar terlihat pada orang dewasa yaitu hidung
tersumbat menyebabkan obstruksi nasal total, hilangnya sebagian atau
seluruh indra penciuman, sakit kepala karena sinusitis terkait, bersin dan
hidung berair karena alergi terkait, massa menonjol dari nostril.
Pada rinoskopi anterior, atau pemeriksaan endoskopi polip tampak
sebagai massa halus, berkilau, grape-like yang berwarna pucat. Mereka
mungkin sessile atau bertangkai, tidak sensitif terhadap probing dan tidak
berdarah saat disentuh. Seringkali multipel dan bilateral. Kasus yang
berlangsung lama terdapat pelebaran hidung dan peningkatan jarak
interkantal. Polip mungkin menonjol dari nostril dan tampak merah muda
dan neoplasma simulasi vaskular. Kavitas nasal dapat menunjukkan sekret
purulen karena sinusitis terkait. Probing polip ethmoidal soliter mungkin
diperlukan untuk membedakannya dari hipertrofi konka atau kistik konka
tengah.
Diagnosis dapat dengan mudah dibuat pada pemeriksaan klinis. CT
scan sinus paranasal sangat penting untuk menyingkirkan erosi tulang dan
ekspansi yang mengarah ke neoplasia. Polip nasal simpel kadang-kadang
dapat dikaitkan dengan malignansi di bawahnya, terutama pada manusia
di atas 40 tahun dan ini harus disingkirkan dengan pemeriksaan histologi
dari jaringan yang dicurigai. CT scan juga membantu untuk
merencanakan operasi.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan secara konservatif
diantaranya:

29
a. Perubahan polipoid awal dengan edema mukosa dapat kembali normal
dengan antihistamin dan kontrol alergi.
b. Pemberian steroid jangka pendek mungkin berguna pada kasus orang
yang tidak dapat mentoleransi antihistamin dan/atau pada mereka yang
menderita asma dan mukosa nasal polipoid. Steroid juga dapat
digunakan untuk mencegah kekambuhan setelah operasi. Kontra
indikasi penggunaan steroid, mis. hipertensi, tukak lambung, diabetes,
kehamilan dan tuberkulosis harus disingkirkan.
Penatalaksanaan pembedahan yang dapat dilakukan adalah operasi
sinus endoskopi. Saat ini, polipi ethmoidal dihilangkan dengan operasi
sinus endoskopi yang lebih populer disebut functional endoscopic sinus
surgery (FESS). Hal ini dilakukan dengan berbagai endoskopi dari sudut
0°, 30° dan 70°. Polip dapat dihilangkan lebih akurat ketika sel-sel
ethmoid diangkat, dan drainase dan ventilasi disediakan untuk sinus lain
yang terlibat seperti maksila, sphenoidal atau frontal. Di dalam sinus,
ventilasi dan drainase sinus dilakukan dengan menjaga mukosa hidung
dan sinus serta fungsinya untuk pembersihan mukosiliar. Terdapat dua
teknik yang digunakan:
a. Anterior ke posterior (teknik Stamberger). Dalam teknik ini
pembedahan dimulai dari prosesus uncinate ke belakang menuju sinus
sphenoid. Keuntungan dari teknik ini adalah untuk menyesuaikan
luasnya pembedahan dengan luasnya penyakit.
b. Posterior ke anterior (teknik Wigand). Pembedahan dimulai pada sinus
sfenoid dan dilanjutkan ke anterior sepanjang dasar tengkorak dan
dinding medial orbita. Ini sebagian besar dilakukan pada poliposis
ekstensif atau dalam operasi sinus revisi.

Sebelum munculnya operasi sinus endoskopi, operasi berikut


biasanya dilakukan:
a. Polipektomi. Satu atau dua polip yang bertangkai dapat dihilangkan
dengan snare. Polip multipel dan sesille membutuhkan forsep khusus.

30
b. Etmoidektomi intranasal. Ketika polipi multipel dan sesille, mereka
memerlukan pelepasan sel udara ethmoidal melalui rute intranasal,
prosedur yang disebut ethmoidectomy intranasal.
c. Etmoidektomi ekstranasal. Hal ini diindikasikan ketika polip kambuh
setelah prosedur intranasal dan penanda bedah tidak jelas karena
operasi sebelumnya. Pendekatan adalah melalui dinding medial orbit
dengan sayatan eksternal, medial ke canthus medial.
d. Etmoidektomi transantral. Hal ini diindikasikan ketika infeksi dan
perubahan polipoidal juga terlihat di antrum maksilaris. Dalam hal ini,
antrum dibuka dengan pendekatan Caldwell-Luc dan sel udara ethmoid
didekati melalui dinding medial antrum. Prosedur ini juga digantikan
oleh operasi sinus endoskopi.

Gambar 2. 6 Perbedaan Polip Etmoidalis dengan Polip Antrokoanal

2.3.4.Grading Polip Nasal

Gambar 2. 7 Grading Polip Nasal

31
2.3.5.Penatalaksanaan
Kortikosteroid intranasal seperti budesonide, fluticasone propionate,
dan mometasone furoate telah terbukti mengurangi ukuran polip.
Kortikosteroid intranasal harus digunakan dua kali sehari selama beberapa
minggu sebelum efek optimal dapat dicapai. Sebaliknya, untuk penyakit
yang lebih berat, dapat diberikan kortikosteroid oral. Tidak terdapat
konsensus yang jelas di antara otolaryngologists mengenai dosis harian
maksimum steroid sistemik, atau rejimen tapering.
Sementara antibiotik dapat digunakan untuk infeksi akut, peran
antibiotik dalam CRSwNP masih kontroversial. Ada beberapa laporan
keberhasilan pada pasien dengan CRSwNP dengan IgE rendah dan penyakit
neutrofilik yang menerima makrolida. Uji coba saat ini sedang dilakukan
untuk mempelajari efikasi lebih lanjut dari kelas antibiotik ini. Namun,
makrolida harus digunakan dengan bijaksana karena ada risiko
kardiovaskular yang terkait dengannya. Doxycycline telah menunjukkan
keberhasilan dalam literatur, dengan satu uji coba kontrol acak (RCT)
mengungkapkan sedikit penurunan ukuran polip, post-nasal drip, dan
penanda inflamasi.
2.3.6.Diagnosis Banding
Diagnosis banding polip nasal dapat sangat luas. Oleh karena itu,
konfirmasi histologis merupakan hal yang wajib dalam banyak kasus.
Diagnosis mungkin termasuk:
1. Inverted papillomas
2. Schneiderian papillomas
3. Karsinoma sel skuamosa (KSS)
4. Limfoma Non Hodgkin
5. Melanoma
6. Esthesioneuroblastoma
7. Hemangioperisitoma
8. Kista duktus nasal
9. Nasal gliomas
10. Ensefalokel

32
11. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
12. Rhabdomyosarcomas
13. Hemangioma
14. Chordoma

Semua perbedaan yang disebutkan di atas dapat disingkirkan dengan


biopsi di ruang operasi (OR), terutama jika unilateral, yang menimbulkan
kekhawatiran akan neoplasia. Untuk alasan yang sama, polip yang diangkat
selama operasi sinus endoskopik untuk sinusitis kronis memerlukan
konfirmasi histopatologis. Pemeriksaan yang cermat dari studi pencitraan pra
operasi sangat penting. Misalnya, ensefalokel mungkin mirip inflamasi polip
selama endoskopi nasal, sementara sifat aslinya diidentifikasi dalam gambar
CT. Biopsi ensefalokel akan menghasilkan fistula cairan serebrospinal
(CSF).
Pada pasien di mana dicurigai mengarah ke keganasan dalam
pengaturan pra operasi, evaluasi menyeluruh dengan pencitraan sangat
penting. CT scan dengan kontras intravena (IV) membantu mengevaluasi
kontur tulang, vaskularisasi lesi, serta invasi jaringan lunak. Magnetic
resonance imaging (MRI) membantu mengidentifikasi penyebaran
neoplasma perineural, orbital, dan intrakranial. Hal ini juga berguna dalam
kasus sinusitis yang rumit. Patologi cavitas nasal yang berbeda memiliki
penampilan yang berbeda pada pencitraan. Misalnya, pasien dengan polip
nasal memiliki massa jaringan lunak yang halus, convex, dan menonjol pada
CT. Sebaliknya, pasien dengan karsinoma sel skuamosa mungkin memiliki
erosi tulang pada CT dan gambaran hipointens pada MRI dengan T2-
weighted dengan peningkatan homogen pada MRI yang dikontraskan.
2.3.7.Prognosis
Prognosis polip nasal dipengaruhi oleh endotipe proses penyakit.
Menurut sebuah artikel yang ditulis oleh Guo M, et al., rekurensi tampaknya
lebih tinggi pada pasien dengan rinosinusitis jamur alergi (AFRS)
dibandingkan pasien dengan CRSwNP karena asma atau sensitivitas aspirin.
Namun, jika dibandingkan dengan pasien CRSwNP, pasien dengan
sensitivitas aspirin cenderung memiliki penyakit yang lebih luas dan tingkat
kekambuhan yang lebih tinggi.

33
Faktor prognostik potensial lainnya yang terkait dengan hasil terburuk
adalah usia yang lebih muda saat presentasi, skor Lund-Mackay yang lebih
tinggi, osteitis global yang tinggi, dan peningkatan eosinofilia/neutrofilia
jaringan.
2.3.1.Komplikasi
Polip nasal biasanya merupakan manifestasi dari proses penyakit yang
mendasarinya; oleh karena itu, komplikasi biasanya ditentukan oleh masalah
yang mendasarinya. Pasien dengan polip nasal memiliki gejala obstruktif
nasal dengan gangguan tidur dan, pada tingkat lebih rendah, kelelahan
kronis. Polip nasal dapat menyumbat jalur drainase sinus paranasal yang
memfasilitasi pembentukan mukokel.
Gambar 2. 8 Mulokel pada Frontal Sinus

Mukokel dapat menyebabkan kompresi struktur orbital, menyebabkan


eksoftalmos, diplopia. Beberapa pasien mungkin memiliki penyakit yang
begitu luas sehingga kualitas hidup mereka sangat terganggu. Dalam
skenario seperti itu, polip nasal dapat menyebabkan anosmia ireversibel.
Juga, telah dijelaskan bahwa polip nasal berkontribusi terhadap obstructive
sleep apnea (OSA).
2.3.1.Pencegahan dan Edukasi Pasien
Karena setiap pasien berbeda, tidak ada cara untuk memprediksi
seberapa merugikan polip nasal bagi kesehatan dan keadaan pribadi

34
seseorang. Dalam banyak situasi, orang yang hidup setiap hari dengan polip
nasal tanpa mengetahuinya dan tidak mencari perawatan medis untuk gejala
yang mengganggu. Setelah diidentifikasi, pasien dengan polip nasal harus
menjalani evaluasi medis lengkap. Selain perbaikan pernapasan hidung
mereka, pasien harus memahami bahwa etiologi polip nasal harus
dipersempit dan evaluasi klinis tambahan oleh ahli paru dan ahli alergi akan
membantu dalam pengelolaan penyakit dan dalam mengidentifikasi dan
mengobati penyakit penyerta tambahan yang tidak terdiagnosis seperti asma.
Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan hal yang penting. Telah
terbukti bahwa penggunaan yang konsisten dari irigasi saline hidung
bertekanan rendah volume tinggi, selain kortikosteroid intranasal dua kali
sehari, meningkatkan kualitas hidup mereka yang terkena. Banyak pasien
dengan polip nasal akan mengalami kekambuhan karena kurangnya
kepatuhan terhadap semprotan hidung setiap hari. Penting untuk
menindaklanjuti dengan pasien secara dekat dan mengulangi pentingnya
kepatuhan terhadap pengobatan untuk melihat hasil yang optimal.
Pasien dengan polip nasal perlu dievaluasi oleh otolaryngologist untuk
menyelidiki etiologi yang mendasari dan mengobati keadaan penyakit
mereka. Setelah etiologi yang mendasari telah ditetapkan dan endotipe telah
terlibat, beberapa konsultasi harus dipertimbangkan. Untuk pasien dengan
AERD, CRSwNP, dan rinosinusitis jamur alergi, konsultasikan dengan ahli
alergi; baik imunoterapi, desensitisasi aspirin, atau keduanya mungkin
diindikasikan.
Untuk pasien dengan CF yang mendasari, EGPA, atau penyakit
sistemik lainnya, peran ahli paru sangat penting. Dalam kasus ini, mengobati
kondisi yang mendasarinya kemungkinan besar akan menghasilkan
perbaikan gejala hidung yang signifikan. Pendekatan tim interprofessional
pada pasien dengan polip hidung harus selalu dipertimbangkan karena
kompleksitas proses penyakit ini dan komorbiditas yang terkait.

35
BAB III
PENUTUP

Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada
proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya
riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata dan
adanya sekret hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan masaa yang
lunak, bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil
pada pemberian vasokonstriktor lokal. Penatalaksanaan untuk polip nasi bisa
secara konservatif maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran
polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri. Pada pasien dengan riwayat
rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren.
Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam
hidupnya.

36
DAFTAR PUSTAKA

Banhawy, E. et al. 2016. Update of Pathogenesis and Management of Nasal


Polyposis. Menoufia Med J. 29, pp. 469–77.
Bluestone, C.D. et al. 2014. Bluestone and Stool’s: Pediatric
Otolaryngology. 5th ed. Wonsiewicz, C. and Mehta, L. eds.
Dhingra, P. et al. 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head And Neck
Surgery. 6th ed. Elsevier. doi: 10.5005/jp/books/11788.
Hulse, K.E. et al. 2015. Pathogenesis of nasal polyposis. Clinical and
Experimental Allergy 45(2), pp. 328–346. doi: 10.1111/cea.12472. JR, J.B.S. and
Wackym, P.A. 2009. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery.
BC Decker Inc. doi: 10.1177/00034894800890s514. Munir, N. and Clarke, R.
2013. Ear, nose, and throat at a glance. Wiley Blackwell.
Newton JR 2009. A review of nasal polyposis. Ther Clin Risk Manag 4((2)),
pp. 507–512.
Rajguru R 2014. Nasal Polyposis: Current Trends. Indian J Otolaryngol
Head Neck Surg 66(Suppl 1), pp. 16–21.
Sataloff RT 2016. Otolaryngology Head & Neck Surgery. Jaypee Brothers
Medical Publishers.
Whitney W. Stevens et al. 2017. Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. J
Allergy Clin Immunol Pract 176(5), pp. 139–148. doi:
10.1016/j.jaip.2016.04.012.Chronic.

37

Anda mungkin juga menyukai