Lapkas THT
Lapkas THT
Tumor Laring
Pembimbing:
dr. Orlena Dharmantary Kartika, Sp.THT-KL
Disusun Oleh:
Chintya Lubna Cahyadi
2019730018
Assalamualaikum wr.wb
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus.
Dalam penulisan laporan kasus ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang
diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terima kasih kepada dr. Orlena Dharmantary Kartika, Sp.THT-KL sebagai dokter
pembimbing yang bersedia membimbing dan meluangkan waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membaca ini, agar penulis dapat mengoreksi dan
dapat membuat laporan referat ini yang lebih baik kedepannya.
Demikianlah laporan referat ini dibuat sebagai tugas dari kegiatan klinis di stase
ilmu THT-KL serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
Penulis
i DAFTAR ISI...........................................................................................................
ii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................
7 1.7. Prognosis........................................................................................................
36 DAFTAR
PUSTAKA ........................................................................................... 37
Cavum Nasi
Mukosa Tenang
Terpasang NGT
- Sekret -
- Deviasi Septum -
+ Pasase Udara +
Orofaring
T1 Ukuran Tonsil T1
- Pelebaran Kripta -
- Detritus -
Gigi geligi
Mata
Krepitas (-) Edema (-) Dorsum Nasi Krepitas (-) Edema (-)
Leher
- Pembesaran KGB -
- Oedema -
+ Massa +
(uk. 2 cm x 2 cm (uk. 3 cm x 3 cm
batas tegas, batas tegas,
konsistensi keras, konsistensi keras,
mobile, NT (-)) mobile, NT (-))
- Pembesaran Tiroid -
Lain-lain
Maxilofacial
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hematokrit 43 % 40 – 54
MCH 30,6 pg 26 – 34
KIMIA KLINIK
Ureum 44 U/l 19 – 43
1.2.2.Radiologi
Rontgen Thorax (03/10/2023)
Kesan: tidak tampak cardiomegaly dan tidak tampak TB paru aktif maupun tanda
pneumonia
1.3. Resume
Pasien datang dengan keluhan sulit menelan sejak 3 bulan SMRS yang
memberat sejak 1 minggu SMRS. Pasien merasa ada yang mengganjal di
area leher depan sehingga tidak bisa makan dan hanya minum susu. Keluhan
disertai dengan batuk berdahak yang disertai dengan darah berwarna merah
gelap. Pasien juga mengeluhkan suara serak sejak 2 tahun lalu dan sekarang
suara semakin menghilang. Pasien mengalami penurunan BB kurang lebih
15 kg dalam 2 bulan terakhir.
Pada pemeriksaan fisik cavum nasi dextra terpasang NGT. Pada colli
anterior dextra terdapat massa berbatas tegas, konsistensi keras dengan uk.
2x2cm, mobile, nyeri tekan (-). Pada colli anterior sinistra terdapat massa
berbatas tegas, konsistensi keras dengan uk. 3x3cm, mobile, nyeri tekan (-).
1.7. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : ad malam
11
Hidung terdiri dari bagian tulang padat dan kartilago. Pada tulang padat
Universitas Muhammadiyah Jakarta
terdapat os. Nasalis, processus frontalis maksilaris, os frontonasal, pars
osea septum nasi (yang membagi hidung atau kavum nasi menjadi kanan
dan kiri). Pada septum nasi terdiri dari tulang keras (pars osea septum
nasi) dan kartilago (kartilago septi nasi). Bagian depan hidung tersusun
dari kartilago yaitu kartilago nasi lateralis (dikanan dan kiri), kartilago
alaris mayor, kartilago septum nasi, dan kartilago alaris minor.
2. Hidung bagian dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris
dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan
nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus
externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita : sinus
maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.
a. Dasar Hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis
superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale lamina
cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial
rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago
septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer.
Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit,
jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.
12
b. Dinding lateral
13
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum
maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus
14
posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya
ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sphenopalatina yang keluar
dari foramen sphenopalatina bersama nervus sphenopalatina dan
15
persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris
dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
mayor dan serabut- serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
Universitas Muhammadiyah Jakarta
konka media.
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
5. Sinus Paranasal
16
d. Sinus Sphenoidalis : sinus sphenoidalis terletak dalam os sfenoid
dibelakang sinus ethmoidalis posterior. Sinus sphenoidalis dibagi
menjadi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid
Drainase sinus paranasal menuju kavum nasi. Sinus frontal,
maksilaris, dan etmoidalis anterior bermuara ke meatus media. Sinus
17
merupakan ion yg paling banyak ada di mucus), dan banyaknya ion
positif yang masuk ke dalam membrane menyababkan potensial aksi, hal
ini yang selanjutnya mengantarkan potensial aksi ke nucleus sel, dengan
20 nervus olfaktori bergabung dan melewati cribiform plate lalu menuju
bulbus olfaktorius dan berlanjut ke traktus olfaktorius lalu ke anterior
Universitas Muhammadiyah Jakarta
perforates substance dan uncus dan melewati thalamus lalu mengaktivasi
cortex, brainstem dan nucleus hipotalamus.
2. Air Conditioning
a. Filtrasi dan pemurnian.
Vibrissae hidung di pintu masuk hidung bertindak sebagai filter
untuk menyaring partikel yang lebih besar seperti bulu kapas. Partikel
yang lebih halus seperti debu, serbuk sari dan bakteri menempel pada
lendir yang menyebar seperti lembaran di seluruh permukaan selaput
lendir. Bagian depan hidung dapat menyaring partikel hingga 3 fLm,
sedangkan lendir hidung menjebak partikel 0,5-3,0 fLm. Partikel yang
lebih kecil dari 0,5 fLm tampaknya melewati hidung ke saluran udara
bagian bawah tanpa kesulitan.
Kontrol suhu udara inspirasi diatur oleh: permukaan besar
mukosa hidung yang secara structural disesuaikan untuk menjalankan
fungsi ini. lendir ini membran, terutama di daerah tengah dan turbinat
inferior dan bagian septum yang berdekatan sangat vaskular dengan
ruang vena kavernosa atau sinusoid yang mengontrol aliran darah, dan
ini menambah atau mengurangi ukuran turbinate. Ini membuat
mekanisme "radiator" yang efisien untuk pemanasan udara yang
dingin. Udara inspirasi yang mungkin bersuhu 20°C atau O°C atau
bahkan pada suhu di bawah nol dipanaskan hingga mendekati suhu
tubuh (37°C) dalam seperempat detik yang dibutuhkan udara untuk
mengalir dari lubang hidung ke nasofaring. Demikian pula, udara
panas didinginkan ke suhu tubuh.
b. Humidifikasi.
Fungsi ini berjalan secara bersamaan dengan perbandingan suhu
udara inspirasi. Relatif kelembaban udara atmosfer bervariasi
18
tergantung pada kondisi iklim. Udara kering di musim dingin dan
jenuh dengan kelembaban di musim panas momhs. Lendir hidung
membran menyesuaikan kelembaban relatif dari udara inspirasi hingga
75% atau lebih. Air, untuk menjenuhkan udara inspirasi, disediakan
oleh selaput lendir hidung yang kaya akan lendir dan sekresi serosa
kelenjar. Sekitar 1000 ml air diuapkan dari permukaan mukosa hidung
19
2.3. Polip Nasal
Polip hidung adalah massa non-neoplastik dari edema hidung atau
mukosa sinus (Dhingra et al. 2014). Sebagian besar polip ditutupi dengan
epitel berlapis semu dengan sel bersilia dan sel goblet dan terdiri dari
jaringan ikat longgar, edema, inflamasi sel, beberapa kelenjar dan kapiler.
Sel inflamasi yang paling umum terdapat pada polip hidung adalah
Universitas Muhammadiyah Jakarta
eosinophil, dan sitokin utama yaitu interlukin 5 (Munir and Clarke 2013).
Polip dapat terbentuk sebelum infeksi dari infiltrasi eosinofilik pada mukosa
hidung sebagai respons terhadap inflamasi alergi atau non alergi (JR and
Wackym 2009). Polip nasal seperti kantong 'grape-like' dari jaringan edema
pucat, paling sering timbul dari sinus ethmoid anterior melalui meatus media
ke dalam kavitas nasal. Seiring waktu, terjadi metaplasia skuamosa dan
menjadi tumbuh seperti daging dan memerah. Polip nasal paling sering
bersifat bilateral dan setiap unilateralitas dari kondisi ini akan meningkatkan
kecurigaan neoplasia. Pasien dengan disfungsi mukosiliar sering
menghasilkan polip nasal. Polip nasal pada anak dengan fungsi mukosiliar
normal sangat jarang. Polip nasal cenderung kambuh dan dalam beberapa
kasus mungkin menjadi masalah seumur hidup yang berulang, misalnya,
mereka yang dikenal dengan trias samter yaitu polip nasal berulang, asma,
dan hipersensitivitas terhadap NSAID (Munir and Clarke 2013).
2.3.1.Epidemiologi
Polip nasal diperkirakan terjadi pada 1-4% dari populasi umum AS.
Sementara polip nasal diamati dalam berbagai kondisi klinis termasuk cystic
fibrosis dan keganasan, lebih sering dikaitkan dengan subtipe rinosinusitis
kronis yang disebut rinosinusitis kronis dengan polip hidung (CRSwNP).
Pada kondisi ini, polip nasal bersifat jinak dan biasanya berkembang secara
bilateral di rongga sinonasal. Di antara semua pasien dengan rinosinusitis
kronis (CRS), hanya ~25-30% yang memiliki CRSwNP. Namun, CRSwNP
dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan dan penurunan kualitas hidup
membuat penyakit ini secara klinis penting untuk diidentifikasi, dievaluasi,
dan diobati . CRSwNP sering terlihat pada orang dewasa di atas usia 50
tahun,
20
dan hingga 50% pasien memiliki riwayat keluarga yang kuat (Whitney W.
Stevens et al. 2017).
Rinosinusitis kronik dengan polip nasal menyerang pasien berusia
antara 40 hingga 60 tahun di Amerika Serikat. Rinosinusitis kronik dengan
polip nasal lebih cenderung terjadi pada laki - laki, dengan satu penelitian
menunjukkan prevalensi 38% pada wanita dan 62% prevalensi pada pria.
21
Sebagian besar kasus polip nasal terjadi pada meatus medius,
terutama celah sempit di ethmoid anterior yang membuat aliran udara
berturbulensi. Jika terjadi proses inflamasi pada sel epitel, sel endotel
vaskular, dan fibroblast, maka integritas bioelektrik saluran natrium pada
permukaan luminal sel epitel mukosa nasal akan terganggu dan
meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air, dan
pembentukan polip (Hulse et al. 2015).
22
Sitokin tipe 2 secara tradisional dipandang berasal dari sel Th2 dalam
respon imun adaptif. Sel Th2 diaktifkan oleh antigen-presenting cell (APC),
termasuk DC, sel B dan lain-lain. Sitokin tipe 2 yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13;
mengakibatkan perekrutan dan/atau aktivasi sel mast, eosinofil, basofil, sel
goblet, makrofag M2, sel B, dll., serta banyak respons jaringan yang
dihasilkan dari faktor-faktor yang dihasilkan sel-sel inflamasi ini. Sel mast
selanjutnya diaktifkan oleh antigen spesifik setelah sintesis lokal atau
sistemik dari antigen spesifik IgE. Temuan terbaru menunjukkan bahwa
sitokin tipe 2 juga dapat diproduksi oleh sel limfoid bawaan grup 2, yang
dikenal sebagai ILC2, yang tidak memerlukan aktivasi langsung oleh APC
dan antigen. ILC2 tetap menghasilkan spektrum sitokin yang sama dan
memunculkan respons efektor yang sama seperti sel Th2. ILC2 dapat
diaktifkan oleh protease, patogen dan rangsangan lainnya. Beberapa jalur
dimana ILC2 diaktifkan oleh rangsangan tersebut telah dijelaskan, terutama
dalam sistem murine, dan mekanisme yang tepat dimana ILC2 diaktifkan di
CRS berada di bawah pengawasan intensif (Hulse et al. 2015).
23
24
25
di populasi umum, dengan prevalensi yang lebih tinggi pada populasi
pediatri. Polip ini berbentuk seperti lonceng berasal dari sinus maksilaris
dan meluas melalui rongga hidung (Bluestone et al. 2014). Polip ini
26
Tatalaksana pilihan untuk polip antrokoanal adalah operasi sinus
endoskopi. Pilihan tersebut dapat menggantikan operasi polipektomi
sederhana dan operasi Caldwell-Luc yang dilakukan untuk kasus rekuren.
Polip antrokoanal mudah dihilangkan dengan avulsi baik melalui
27
c. Intoleransi aspirin. 36% pasien dengan intoleransi aspirin mungkin
menunjukkan polip. Trias Samter terdiri dari polip nasal, asma dan
intoleransi aspirin.
d. Fibrosis kistik. 20% pasien dengan fibrosis kistik membentuk polip.
Hal ini dikarenakan mukus yang abnormal. Fibrosis kistik adalah
Universitas Muhammadiyah Jakarta
penyebab utama polip pada anak-anak dan mungkin merupakan
masalah pertama yang muncul.
e. Sinusitis alergi jamur (allergic fungal sinusitis). Hampir semua kasus
sinusitis jamur membentuk polip nasal. Hingga 80% pasien dengan
polip nasal menunjukkan pertumbuhan jamur pada kultur swab nasal
f. Sindrom Kartagener. Ini terdiri dari sinusitis bronkiektasis, situs
inversus dan diskinesis siliar.
g. Sindrom Young. Ini terdiri dari penyakit sinopulmoner dan
azoospermia.
h. Sindrom Churg-Strauss. Terdiri dari asma, demam, eosinofilia,
vaskulitis dan granuloma.
i. Nasal Mastositosis. Ini adalah bentuk rinitis kronis di mana mukosa
nasal diinfiltrasi oleh sel mast tetapi terdapat hanya sedikit eosinofil.
Tes kulit untuk alergi dan kadar IgE normal.
28
Gejala yang dapat timbul pada beberapa polip dapat terjadi pada
semua usia tetapi sebagian besar terlihat pada orang dewasa yaitu hidung
tersumbat menyebabkan obstruksi nasal total, hilangnya sebagian atau
seluruh indra penciuman, sakit kepala karena sinusitis terkait, bersin dan
hidung berair karena alergi terkait, massa menonjol dari nostril.
Pada rinoskopi anterior, atau pemeriksaan endoskopi polip tampak
sebagai massa halus, berkilau, grape-like yang berwarna pucat. Mereka
mungkin sessile atau bertangkai, tidak sensitif terhadap probing dan tidak
berdarah saat disentuh. Seringkali multipel dan bilateral. Kasus yang
berlangsung lama terdapat pelebaran hidung dan peningkatan jarak
interkantal. Polip mungkin menonjol dari nostril dan tampak merah muda
dan neoplasma simulasi vaskular. Kavitas nasal dapat menunjukkan sekret
purulen karena sinusitis terkait. Probing polip ethmoidal soliter mungkin
diperlukan untuk membedakannya dari hipertrofi konka atau kistik konka
tengah.
Diagnosis dapat dengan mudah dibuat pada pemeriksaan klinis. CT
scan sinus paranasal sangat penting untuk menyingkirkan erosi tulang dan
ekspansi yang mengarah ke neoplasia. Polip nasal simpel kadang-kadang
dapat dikaitkan dengan malignansi di bawahnya, terutama pada manusia
di atas 40 tahun dan ini harus disingkirkan dengan pemeriksaan histologi
dari jaringan yang dicurigai. CT scan juga membantu untuk
merencanakan operasi.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan secara konservatif
diantaranya:
29
a. Perubahan polipoid awal dengan edema mukosa dapat kembali normal
dengan antihistamin dan kontrol alergi.
b. Pemberian steroid jangka pendek mungkin berguna pada kasus orang
yang tidak dapat mentoleransi antihistamin dan/atau pada mereka yang
menderita asma dan mukosa nasal polipoid. Steroid juga dapat
digunakan untuk mencegah kekambuhan setelah operasi. Kontra
indikasi penggunaan steroid, mis. hipertensi, tukak lambung, diabetes,
30
b. Etmoidektomi intranasal. Ketika polipi multipel dan sesille, mereka
memerlukan pelepasan sel udara ethmoidal melalui rute intranasal,
prosedur yang disebut ethmoidectomy intranasal.
c. Etmoidektomi ekstranasal. Hal ini diindikasikan ketika polip kambuh
setelah prosedur intranasal dan penanda bedah tidak jelas karena
operasi sebelumnya. Pendekatan adalah melalui dinding medial orbit
dengan sayatan eksternal, medial ke canthus medial.
d. Etmoidektomi transantral. Hal ini diindikasikan ketika infeksi dan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
perubahan polipoidal juga terlihat di antrum maksilaris. Dalam hal ini,
antrum dibuka dengan pendekatan Caldwell-Luc dan sel udara ethmoid
didekati melalui dinding medial antrum. Prosedur ini juga digantikan
oleh operasi sinus endoskopi.
31
2.3.5.Penatalaksanaan
Kortikosteroid intranasal seperti budesonide, fluticasone propionate,
dan mometasone furoate telah terbukti mengurangi ukuran polip.
Kortikosteroid intranasal harus digunakan dua kali sehari selama beberapa
minggu sebelum efek optimal dapat dicapai. Sebaliknya, untuk penyakit
yang lebih berat, dapat diberikan kortikosteroid oral. Tidak terdapat
konsensus yang jelas di antara otolaryngologists mengenai dosis harian
maksimum steroid sistemik, atau rejimen tapering.
Sementara antibiotik dapat digunakan untuk infeksi akut, peran
antibiotik dalam CRSwNP masih kontroversial. Ada beberapa laporan
keberhasilan pada pasien dengan CRSwNP dengan IgE rendah dan penyakit
neutrofilik yang menerima makrolida. Uji coba saat ini sedang dilakukan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
untuk mempelajari efikasi lebih lanjut dari kelas antibiotik ini. Namun,
makrolida harus digunakan dengan bijaksana karena ada risiko
kardiovaskular yang terkait dengannya. Doxycycline telah menunjukkan
keberhasilan dalam literatur, dengan satu uji coba kontrol acak (RCT)
mengungkapkan sedikit penurunan ukuran polip, post-nasal drip, dan
penanda inflamasi.
2.3.6.Diagnosis Banding
Diagnosis banding polip nasal dapat sangat luas. Oleh karena itu,
konfirmasi histologis merupakan hal yang wajib dalam banyak kasus.
Diagnosis mungkin termasuk:
1. Inverted papillomas
2. Schneiderian papillomas
3. Karsinoma sel skuamosa (KSS)
4. Limfoma Non Hodgkin
5. Melanoma
6. Esthesioneuroblastoma
7. Hemangioperisitoma
8. Kista duktus nasal
9. Nasal gliomas
10. Ensefalokel
32
11. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
12. Rhabdomyosarcomas
13. Hemangioma
14. Chordoma
33
Faktor prognostik potensial lainnya yang terkait dengan hasil terburuk
adalah usia yang lebih muda saat presentasi, skor Lund-Mackay yang lebih
tinggi, osteitis global yang tinggi, dan peningkatan eosinofilia/neutrofilia
jaringan.
2.3.1.Komplikasi
Polip nasal biasanya merupakan manifestasi dari proses penyakit yang
mendasarinya; oleh karena itu, komplikasi biasanya ditentukan oleh masalah
yang mendasarinya. Pasien dengan polip nasal memiliki gejala obstruktif
nasal dengan gangguan tidur dan, pada tingkat lebih rendah, kelelahan
kronis. Polip nasal dapat menyumbat jalur drainase sinus paranasal yang
memfasilitasi pembentukan mukokel.
34
seseorang. Dalam banyak situasi, orang yang hidup setiap hari dengan polip
nasal tanpa mengetahuinya dan tidak mencari perawatan medis untuk gejala
yang mengganggu. Setelah diidentifikasi, pasien dengan polip nasal harus
menjalani evaluasi medis lengkap. Selain perbaikan pernapasan hidung
mereka, pasien harus memahami bahwa etiologi polip nasal harus
dipersempit dan evaluasi klinis tambahan oleh ahli paru dan ahli alergi akan
membantu dalam pengelolaan penyakit dan dalam mengidentifikasi dan
mengobati penyakit penyerta tambahan yang tidak terdiagnosis seperti asma.
Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan hal yang penting. Telah
terbukti bahwa penggunaan yang konsisten dari irigasi saline hidung
bertekanan rendah volume tinggi, selain kortikosteroid intranasal dua kali
sehari, meningkatkan kualitas hidup mereka yang terkena. Banyak pasien
Universitas Muhammadiyah Jakarta
dengan polip nasal akan mengalami kekambuhan karena kurangnya
kepatuhan terhadap semprotan hidung setiap hari. Penting untuk
menindaklanjuti dengan pasien secara dekat dan mengulangi pentingnya
kepatuhan terhadap pengobatan untuk melihat hasil yang optimal.
Pasien dengan polip nasal perlu dievaluasi oleh otolaryngologist untuk
menyelidiki etiologi yang mendasari dan mengobati keadaan penyakit
mereka. Setelah etiologi yang mendasari telah ditetapkan dan endotipe telah
terlibat, beberapa konsultasi harus dipertimbangkan. Untuk pasien dengan
AERD, CRSwNP, dan rinosinusitis jamur alergi, konsultasikan dengan ahli
alergi; baik imunoterapi, desensitisasi aspirin, atau keduanya mungkin
diindikasikan.
Untuk pasien dengan CF yang mendasari, EGPA, atau penyakit
sistemik lainnya, peran ahli paru sangat penting. Dalam kasus ini, mengobati
kondisi yang mendasarinya kemungkinan besar akan menghasilkan
perbaikan gejala hidung yang signifikan. Pendekatan tim interprofessional
pada pasien dengan polip hidung harus selalu dipertimbangkan karena
kompleksitas proses penyakit ini dan komorbiditas yang terkait.
35
Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada
proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya
riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata dan
adanya sekret hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan masaa yang
lunak, bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil
pada pemberian vasokonstriktor lokal. Penatalaksanaan untuk polip nasi bisa
secara konservatif maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran
polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri. Pada pasien dengan riwayat
rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren.
Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam
hidupnya.
37