Anda di halaman 1dari 3

Nama: Ade Fitri

NIM:B011211194

Mata Kuliah: Hukum Tata Negara

Dosen: Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H., M.A.P.

DUALISME KEWARGANEGARAAN

Konsep warga dan kewargaan dapat dikatakan merupakan konsep hukum tentang
suatu pengertian mengenai subjek hukum dalam rangka kegiatan organisasi untuk
mencapai tujuan bersama. Konsep warga dan kewargaan sebagai subjek hukum
merupakan konsep ciptaan hukum mengenai subjek yang diberi status sebagai
penyandang hak dan kewajiban tertentu dalam kegiatan berorganisasi, yang harus
dibedakan dan terpisah dari statusnya sebagai warga negara.

Masalah kewarganegaraan merupakan masalah yang nyata bagi seseorang dalam


suatu negara, karena status kewarganegaraan merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM) yang sangat penting bagi manusia untuk mendapatan
perlindungan dari negara. Status kewarganegaraan seseorang juga menentukan
penundukan dirinya terhadap jurisdiksi hukum pada suatu negara. Indonesia
sendiri menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, merujuk pada politik hukum
kearganegaraan Indonesia saat ini. Prinsip kewarganegaraan tunggal adalah asas
yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Prinsip ini dianut
bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang lahir pada fase awal kemerdekaan
Indonesia.

Prinsip kewarganegaraan tunggal yang terkandung dalam peraturan perundang-


undangan tentang kewarganegaraan di Indonesia dapat dilihat sebagai suatu
proses yang menekankan adanya hubungan lahiriyah antar setiap warga negara
dan negara asalnya. Namun, banyak ditemukan kasus-kasus kewarganegaraan di
Indonesia, salah satunya adalah kewarganegaraan ganda. Kewarganegaraan ganda
secara konseptual dapat dimaknai secara sempit dan dan secara luas. Secara
sempit, kewarganegaraan ganda mengacu pada konsep dwi kewarganegaraan,
dimana keadaan seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan dari dua negara
berbeda. Sedangkan secara luas, kewarganegaraan ganda diartikan tidak hanya
memiliki dua kewarganegaraan dari dua negara yang berbeda, tetapi memiliki
lebih dari banyak kewarganegaraan (plural). “Bipatride (dwi-kewarganegaraan)
timbul ketika menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai
negara, seseorang sama-sama dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara
yang bersangkutan.”(Jimly Asshiddiqie, 2015: 388).

Mengenai asas-asas kewarganegaraan yang diterapkan, ada asas-asas


kewarganegaraan umum yang dianut dalam hukum kewarganegaraan diberbagai
negara. Menurt Bagir Manan, asas-asas kewarganegaraan tersebut terdiri atas:

a. Asas ius sanguinis, dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah.
Menurut prinsip yang terkandung dalam asas kedua ini, kewarganegaraan
seseorang ditentukan oleh garis keturunan orang yang bersangkutan.
Seseorang adalah warga negara A, karena orang tuanya warga negara A.
b. Asas ius soli, ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut
tempat kelahirannya. Asas ius soli dapat juga disebut asas daerah
kelahiran. Seseorang dianggap berstatus warga negara dari negara A
karena ia dilahirkan di negara A tersebut.
c. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, ialah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang kewarganegaraan.

Menurut Jimly Asshidiqie dalam bukunya, dwi-kewarganegaraan membawa


ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara
tertentu atau bagi negara yang bersangkutan, misalnya yang bersangkutan wajib
membayar pajak di kedua negara. Bagi negara yang makmur, tidak dirasakan
adanya kerugian bagi negara untuk mengakui status dwi kewarganegaraan, namun
sebaliknya status dwi kewarganegaraan akan merugikan negara-negara
berkembang.

Namun, penting untuk menimbang penerapan kewarganegaraan ganda di


Indonesia karena penerapan kewarganegaraan tunggal sejatinya dapat membatasi
pergaulan seorang warga negara dalam era modernisasi saat ini. Penerapan
kewarganegaraan ganda di Indonesia juga untuk menumbuhkembangkan jaringan
Indonesia diberbagai belahan dunia, yang mana jaringan ini tidak hanya akan
melahirkan keuntungan-kuntungan budaya, melainkan juga akan memperkuat
posisi ekonomi sejumlah negara. Untuk mewujudkan hal tersebut tentu bukanlah
hal yang mudah. Pemerintah Indonesia secara tegas tidak mengakui
kewarganegaraan ganda yang tertuang dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan. Untuk mengusulkan kewarganegaraan ganda, bukan
hanya karena mempertimbangkan agar Indonesia aktif dalam percaturan global,
secara ekonomi maupun budaya, tetapi juga harus mempertimbangkan dari aspek
pertahanan dan keamanan negara. Oleh karena itu, perlu dibahas secara
menyeluruh untuk mempertimbangkan kewarganegaraan ganda di Indonesia.

Berkenaan dengan hal tersebut, merujuk Undang-Undang kewarganegaraan


yang saat ini ada di Indonesia, dikenal penerapan asas kewarganegaraan ganda
terbatas. Namun, penerapan asas kewarganegaraan terbatas hanya merupakan
upaya memberi perlindungan kepada anak-anak dari hasil perkawinan campuran.
Pada akhirnya status kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak tersebut harus
berakhir ketika anak yang bersangkutan telah menginjak umur 18 tahun untu
memilih salah satu kewarganegaraan. Dengan demikian, penerapan prinsip
kewarganegaraan tunggal tetaplah dominan dibanding prinsip kewarganegaraan
ganda terbatas.

Jika diketahui seorang warga negara Indonesia mempeunyai kewarganegaraan


ganda , maka yang bersangkutan harus melepaskan salah satu kewargangeraan
yang ia miliki. Apabila yang bersangkitan tidak mau melepaskan salah satu
kewarganegaraannya, maka yang ia dapatkan adalah kehilangan kewarganegaraan
Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 Undang-Undang
Kewarganegaraan.

Anda mungkin juga menyukai