Anda di halaman 1dari 7

Lily POV

"Selamat pagi, Putri" sapa kepala divisi bedah TKV yang kemarin memperkenalkan dirinya dengan nama
dokter Lian. Ya, suami dari saudara tiriku.

"Selamat pagi, saya sudah terima soft file semua pasien yang akan saya handle. Saya juga sudah
menerima resume dari tim saya. Almost perfect, saya akan mulai bekerja pagi ini" ucapku tanpa basa-
basi

Dokter Lian mengantarku pergi keruanganku. Ruangan dengan namaku didepan pintunya. Ruangan
minimalis berwarna violet yang menurutku dibuat mewah karena Putri Kerajaan akan menempatinya.
Padahal aku sudah berpesan pada ibu tak perlu dispesialkan. Aku ingin sama seperti mereka.

Setelah mengantarku dokter Lian tak lantas pergi, beberapa menit ia menatapku intens. Bukan tatapan
tergoda tapi lebih ke penasaran.

"Maaf, Putri, maaf kelancangan saya" ucapnya sungkan setelah menyadari aku tak suka dia menatapku
seperti itu

"Ada yang salah dengan saya, dokter?" Tanyaku judes

"Bukan seperti itu, hanya saja anda mirip seseorang yang saya kenal" jawabnya makin tak enak dan ia
pamit pergi.

Sebenarnya jika tidak menikah dengan Audi, dokter Lian bisa saja menduduki posisi penting di istana.
Kenaoa juga ayah mengizinkan lelaki cerdas dan pintar sepertinya menikah dengan Putri yang terikat
aturan tidak boleh terjun ke dunia politik. Lalu dia mengabdikan diri dirumah sakit ini.

Aku memeriksa jadwalku hari ini, ada beberapa pemeriksaan, kunjungan dan beberapa operasi. Cukup
padat tapi aku bisa pulang sebelum acara itu dimulai. Alangkah berbunga-bunga hati Gita saat ini.
Kenapa aku harus memikirkan perasaan Gita? Bukankah impian setiap orang menikah dengan Putra
Mahkota? Sudah 10 tahun mereka bertunangan.

Pintu ruanganku diketuk dan masuklah Aldi. Dia membawa sebuah kotak makan ditangannya.
Menaruhnya di meja kerjaku.

"Ratu Laras mengirimnya, Putri" ucap Aldi

Aku membukanya, nasi goreng seafood kesukaanku. Aku tersenyum dan menutupnya kembali. Aku
memang tidak bergabung dalam sarapan pagi ini karena tergopoh pergi kerumh sakit. Aldi masih diam
ditempatnya, seperti dokter Lian tadi.

"Ada yang mau kamu katakan, Al?" Tanyaku

"Maaf, Putri, anda mengingatkan saya pada seseorang" jawab Aldi

Kuputar bola mataku bingung, tadi kakaknya bilang gitu sekarang adiknya juga. Aldi pamit keluar, dalam
kerja pun Ayah mewajibkan untuk membawa pengawal seperti biasanya. Tak kubayangkan bagaimana
jika aku sedang berada didalam ruang operasi.

--

Persiapan diistana sudah dimulai. Berlian sangat senang saat mendengar Alvero setuju untuk segera
mengatur tanggal pernikahan. Masa jabatan Gita sebagai perdana menteri tinggal setahun lagi.
Setelahnya ia akan menyandang gelar putri mahkota, istri Alvero. Dan jika Alvero naik tahta
menggantikan Raja, ia akan menjadi Ratu.

Tak pernah terbayangkan bahwa posisi yang seharusnya menjadi milik adiknya malah kini harus ia jalani.
Meski terkadang masih banyak orang yang mencemoohnya karena tak sadar diri sudah menempati
posisi adiknya. Bagi Gita ini adalah sebuah keberuntungan didalam kesedihan.
Gita keluar dari ruangan Berlian, dengan wajah yang senang karena Berlian memberikannya baju untuk
dikenakan pada acara nanti malam. Setelah masa jabatannya berakhir ia akan segera menyandang gelar
putri mahkota.

Gita berjalan keluar melewati ruang belajar putra mahkota. Terlihat Alvero sedang duduk disana dengan
wajah serius. Gita tersenyum, sebentar lagi ia akan menjadi istri Alvero dan bisa sepuasnya menikmati
wajah tampan Alvero. Meski Gita tau Alvero selalu menjaga jarak dengannya selama ini.

Bukankah harusnya Gita bangga memiliki calon suami yang setia seperti Alvero. Yang tetap kekeuh
memberikan hatinya pada adiknya yang sudah meninggal. Apakah salah jika Gita cemburu pada adiknya
itu.

"Bisakah aku bertemu dengan Putra Mahkota?" Tanya Gita pada pengawal Alvero

Tak berapa lama Alvero bangkit dari tempatnya menatap Gita dengan tatapan datar. Gita bahkan
pernah melihat Alvero menatap Rere penuh cinta, tapi Gita tak pernah melihat Alvero menatapnya
seperti itu.

Kini ia sudah ada di samping Alvero berjalan bersama menuju taman istana untuk meminum segelas teh.

"Apakah kamu masih sedingin ini jika kita sudah menikah nanti?" Tanya Gita yang mencoba memulai
percakapan tentang hubungannya

"Apakah aku bisa memilih?" Alvero berbalik tanya

"Apa maksudmu, Pangeran?" Gita tak mengerti


Alvero diam tak menjawab. Sedangkan pikiran Gita mulai resah, banyak hal yang sedang dipikirkannya
sekarang. Termasuk kebahagiannya saat menikah nanti.

"Bukankah menikah adalah kebahagiaan dua orang? Tapi sepertinya hanya aku yang bahagia disini.
Sama seperti pertunangan kita dulu" ucap Gita

Alvero tak menjawabnya lagi. Ini sudah biasa untuk Gita, mereka akan pergi ke akhir yang sama. Hanya
saja Alvero memilih tak sejalan dengan Gita. Haruskah Gita marah saat ini? Marah pada apa? Adiknya
yang sudah meninggal atau pada cinta mati Alvero?

"Apakah aku terlalu berharap? Apa secara tidak sadar aku selalu memaksamu untuk tetap memilih aku?"
Tanya Gita lagi, kali ini suaranya terdengar bergetar.

"Aku sudah pernah mencobanya" jawab Alvero

"Mencoba apa?"

Selalu saja deep talk mereka tak menemukan jalan keluar. Alvero yang memilih diam dan Gita berpura-
pura bahwa semua baik-baik saja.

"Kita akan tetap menikah, Gita. Tapi aku tidak bisa menjanjikan hatiku ataupun ragaku. Aku hanya akan
menjalani proses yang ada" ucap Alvero sesaat sebelum ia pergi yang sukses membuat hati Gita semakin
remuk.

Menikah dengan Alvero adalah pilihannya. Gita sangat antusias ketika Raja menyampaikan jika dia akan
menggantikan adiknya sebagai calon putri mahkota. Meski kesedihan akan kehilangan adiknya belum
sepenuhnya pudar tapi Gita merasa sangat bahagia sejak itu.
Kini ia mempertanyakan keputusannya sendiri. Melihat sikap Alvero selama ini padanya membuatnya
tak percaya diri, tapi Gita juga tak siap kehilangan apa yang sudah dibangunnya selama 10 tahun ini.
Dirinya tak bisa mundur tapi juga takut untuk maju.

"Selamat siang, Perdana Menteri" sapa Laras ketika melihat Gita melewatinya dengan tatapan kosong.

"Selamat siang, Ratu. Maaf saya sedang melamun sehingga tak melihat anda lewat" Gita menyadari
kesalahannya. Laras tersenyum dan mengajak Gita untuk duduk berbicara dengannya.

"Apa ada yang mngganggumu? Apa kamu sedang gelisah karena nanti malam tanggal pernikahanmu
akan segera di tetapkan?' tanya Laras

Gita terdiam mendengar pertanyaan Laras. Haruskah ia bercerita tentang keluh kesahnya pada orang
yang dimusuhi calon ibu mertuanya? Apakah itu tidak akan memburuk? Tapi Laras bukan orang selicik
Berlian, pikir Gita.

"Apakah saya boleh bertanya, Ratu?" Tanya Gita

"Tentu" jawab Laras

"Bagaimana anda akhirnya menjadi kesayangan Raja, Ratu?" Tanya Gita memberanikan diri, hal ini
cukup privasi menurut Gita.

Laras tersenyum, "Tentu saja kami saling mencintai"

"Lalu dengan para Ratu yang lain? Apakah Raja tidak mencintainya?" Tanya Gita lagi

"Gita, dalam kerajaan ini hanya ada dua alasan kenapa Raja menikahi seorang perempuan. Pertama,
karena Raja mencintainya dan kedua, karena Raja harus menikahinya"
Dan Alvero harus menikahi Gita, bukan karena mencintainya tapi itu sebuah keharusan yang telah
diatur. Dia tak akan merasakan rasanya menjadi Laras, menjadi kesayangan Raja.

"Apakah Rere masih menjadi penghalang untukmu, Git?' tanya Laras

"Tidak, Ratu. Untuk apa orang yang sudah meninggal menjadi penghalang bagi hubungan percintaan
saya" jawab Gita

Laras tersenyum, sepertinya faktanya adalah kebalikan dari jawaban Gita. Mengingat Alvero masih
mengulur waktu untuk segera menikahinya membuat Gita sangat muak terhadap duka cita Alvero yang
berkepanjangan.

"Bukankah orang mati itu adalah adikmu Perdana Menteri?"

Lily tiba-tiba datang dan menjawab perkataan Gita. Masih lengkap dengan snelli dan tas kerjanya ia
memberikan senyum pada Gita yang dibalas dengan penghormatan.

"Anda sudah pulang, Putri?" Tanya Gita tanpa menjawab pertanyaan Lily

"Tentu, hari ini ada acara penting kan" jawab Lily

Gita pamit undur diri dan segera pulang. Hari ini adalah hari bahagia untuknya, ia ingin segera bersiap
menyambut tanggal pernikahannya dengan Alvero.

Kakinya melangkah cepat ke kamarnya. Tapi langkahnya terhenti saat melewati kamar mendiang
adiknya. Gita mendengar ibunya menangis keras. Tangisan yang tak pernah reda semenjak kepergian
Rere.
"Hari ini kakakmu, dia akan menentukan tanggal pernikahannya. Dia akan menjadi istri Putra Mahkota,
nak, menggantikanmu. Ibu sangat takut, ibu takut hal yang sama terjadi pada kakakmu. Ibu sudah
kehilanganmu, Re"

Gita menyandarkan tubuhnya didekat pintu kamar Rere. Apakah rasa cintanya pada Alvero telah
membuatnya menjadi buta hingga ia membenci rasa Alvero yang tertinggal pada Rere. Bukankah
seharusnya dia mengusut pembunuh adiknya.

Gita merebahkan tubuh lelahnya. Matanya memandang foto masa kecilnya dengan Rere. Lalu fotonya
saat bertunangan dengan Alvero. Dan beberapa foto candid yang diambil asisten Gita saat dirinya
bersama Alvero. Lalu wajah Lily terbayang saat dia kembali melihat foto masa kecilnya dengan Rere.

"Kenapa wajah Putri Lily seharusnya menjadi wajah Rere saat dewasa?"

Anda mungkin juga menyukai