Anda di halaman 1dari 95

1

Udara malam terasa panas. Angin seolah-olah enggan


bertiup. Langit merah merona bagai membakar. Tanda
malam ini akan turun hujan lebat. Keadaan yang seperti
tak bersahabat ini, tidak membuat Rangga gundah
Pendekar Rajawali Sakti ini tampak duduk tenang, bersandar pada sebuah batu besar dan beralaskan rerumputan tebal bagai permadani terhampar
Matanya menerawang jauh, menatap sebuah desa
yang terlihat sepi dan tenang. Menurut seorang pencari
kayu yang ditemui tadi siang, desa itu bernama Pasir
Batang Tampak rumah rumah penduduk yang hanya
diterangi pelita dari buah Jarak, berjajar rapi sepanjang
jalan utama desa itu. Pandangan Rangga terhenti pada
sebuah rumah yang lebih besar dan lebih terang daripada
rumah rumah lainnya. Empat buah obor terpancang di
setiap sudut pekarangan depan.
Lewat pintu dan jendela yang terbuka, terlihat bagian
dalam rumah yang ramai dan terang benderang. Mungkin
rumah itu milik seorang saudagar kaya atau Kepala Desa
yang tengah mengadakan pesta. Beberapa orang teriihat
berjaga-jaga di sekelilingnya
Dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang hampir
benar Rumah besar yang kini jadi perhatiannya itu, milik
Kepala Desa Pasir Batang. Tapi di sana bukan sedang
mengadakan pesta, melainkan semacam sidang. Beberapa
pemuka dan tokoh terpandang desa Pasir Batang berkumpul atas undangan Ki Brajananta, Kepala Desa Pasir
Batang.
Di ruangan yang cukup luas itu, Ki Brajananta duduk
dengan penuh wibawa. Matanya agak sayu memandangi
tamu-tamu. Seorang laki-laki tua berpakaian serba puth
duduk di sampingnya. Dialah Ki Gandara, seorang guru

besar Padepokan Pasir Batang. Wajahnya bersih cerah


memantulkan kewibawaan. Di depan mereka masih ada
enam orang lagi.
"Tujuh hari lagi bulan purnama yang ke tujuh," kata Ki
Brajananta perlahan, agak bergumam.
Enam orang yang duduk di depan Ki Brajananta
memandang ke arahnya. Mereka telah mampu menebak
arah pembicaraan itu. Suaru pembicaraan yang selalu ada
setiap tujuh purnama.
"Tujuh hari bukan waktu yang lama, sedang kita belum
siap apa-apa," kata Ki Brajananta lagi.
"Hal ini telah berlangsung lama, Ki. Mengapa Ki
Brajananta murung dan gelisah?" tanya Sawung Bulu yang
duduk tepat di hadapan Kepala Desa Pasir Batang itu.
"Apa kau tak tahu, Sawung Bulu? Untuk purnama kali
ini, Dewi Purmitalah yang harus dipersembahkan!" Bangka
Putung menyelak
"Benar begitu, Ki?" Sawung Bulu terkejut sekali. Matanya melotot dan menyala tajam.
Ki Brajananta mengangguk lemah.
"Hhh...!" Sawung Bulu mendesah panjang.
Semua mata menatap Ki Brajananta dan Sawung Bulu
bergantian. Mereka semua tahu bahwa Dewi Purmita putri
tunggal Ki Brajananta adalah kekasih Sawung Bulu, murid
andalan Padepokan Pasir Batang.
"Ini tidak boleh terjadi! Kita harus melawan!" tiba-tiba
Sawung Bulu berkata keras.
"Sawung Bulu!" Sangkala tak kalah keras, sambil berdiri
dia menggebrak meja. Mukanya merah. Matanya tajam
menatap keponakannya. Sawung Bulu balas menatap
tajam pula.
Darah Sawung Bulu mendidih. Hatinya berontak ketika
mendengar Dewi Purmita akan dijadikan korban persembahan bagi siluman yang menamakan din, Raja Dewa
Angkara.
Sebenarnya bukan hanya desa Pasir Batang saja yang
dilanda kegelisahan macam ini. Sebelumnya, suatu desa

yang bersebelahan dengan desa Pasir Batang, pernah


mencoba menentang tradisi pengorbanan satu gadis
perawan setiap tujuh purnama. Tetapi akibatnya, desa itu
hancur rata dengan tanah. Tak seorang pun dibiarkan
hidup. Gadis-gadis perawan lenyap tanpa bekas. Kejadian
itu membuat desa-desa lain di sekitar kaki gunung
Balakambang, berpikir seribu kali jika berani menentang
kehendak Raja Dewa Angkara.
Kata kata Sawung Bulu yang dilandasi oleh hari panas
dan gejolak darah muda itu, memang membuat semua
orang yang hadir di situ terkejut Lebih lebih Sangkala,
paman Sawung Bulu. Tak terkecuali Ki Gandara, guru
sekaligus pengganti orang tua Sawung Bulu. Tetapi sikapnya sangat tenang. Matanya hanya menatap tajam pada
murid kesayangannya itu.
"Aku akan menantang si keparat Raja Dewa Angkara
itu! Kalau dia mampu mengalahkanku, maka aku baru rela
Dewi Purmita menjadi korban persembahan!" lantang dan
tegas suara Sawung Bulu.
"Edan! Apa kau sudah gila, Sawung Bulu?" Sangkala
mendehem.
"Justru aku waras, maka aku berani menantang!" sahut
Sawung Bulu tetap tegas suaranya.
"Jadi, kau anggap kami-kami ini tidak waras, heh?!"
"Aku tidak mengatakan begitu, Paman."
Sawung Bulu mengalihkan pandangan pada gurunya.
Sementara Sangkala kembali duduk setelah tangannya
ditarik lembut oleh Rangkuti yang sejak tadi duduk diam di
sebelah Sangkala.
"Kau tahu, apa akibatnya menentang Raja Dewa
Angkara?" masih terdengar lembut, tenang, dan berwibawa suara Ki Gandara.
"Aku tahu, Ki," sahut Sawung Bulu. "Aku rela melepaskan nyawa demi kebenaran."
"Aku bangga mendengarnya, Sawung Bulu. Hanya saja
kau salah menempatkan sikap satriamu."
Semua hening. Sawung Bulu perlahan kembali duduk

Rasanya semua sungkan kalau Ki Gandara sudah ikut


bicara. Tak ada suara yang terdengar.
"Tak pemah aku memberi pelajaran tentang pemikiran
yang pendek dan mementingkan din sendiri. Kau bisa
menentang Raja Dewa Angkara. Tapi, cobalah pikirkan
akibat yang lebih luas. Bukan kau saja yang akan terbunuh,
bahkan seluruh penduduk desa ini akan musnah akibat
kecerobohanmu. Ingat, Sawung Bulu. Kau dan kita semua
berdiri demi kepentingan penduduk desa Pasir Batang
yang kita cintai," ujar Ki Gandara dengan penuh wibawa.
"Tapi, Ki...!" Sawung Bulu coba membantah.
"Kau tidak rela Dewi Purmita jadi korban persembahan?" potong Ki Gandara.
Sawung Bulu hanya menatap saja. Hatinya memang
tidak rela kekasihnya Jadi korban persembahan iblis itu.
"Lihatlah Ki Brajananta, Sawung Bulu. Dewi Purmita itu
putri beliau. Sudah tentu kasih sayang dan cintanya
melebihimu. Dia pun tak rela putrinya jadi korban persembahan, seperti halnya orang-orang tua lain yang anak
gadisnya jadi korban. Kita semua tak rela, sedih, dan ingin
berontak Namun keselamatan penduduk Pasir Batang di
atas segala-galanya. Kita masih punya kekuatan dengan
mengekang hawa marah, walaupun sakit Kau mengerti
Sawung Bulu?" panjang lebar Ki Gandara memberikan
pengertian kepada muridnya yang tengah dilanda emosi
Sawung Bulu terdiam. Dirundukkan kepalanya. Katakata lembut dan penuh wibawa itu menyentuh perasaannya. Hatinya merasa kerdil berhadapan dengan Ki
Gandara. Sungguh picik mata hatinya jika tidak bisa
melihat keadaan sekitar. Tetapi hatinya tetap merintih dan
menangis. Sawung Bulu tak rela dan ingin berontak, tetapi
akibatnya seluruh penduduk Pasir Batang akan merasakan
murka Raja Dewa Angkara.
Sawung Bulu semakin tak bergairah mengikuti pembicaraan ini. Pikirannya kalut dan hanya tertuju pada Dewi
Purmita tercinta. Tujuh hari lagi gadis itu akan jadi korban
persembahan Raja Dewa Angkara. Malam pun merambat

semakin larut. Pembicaraan terus berlangsung walau


tersendat sendat.
***
Rangga menggeKatkan tubuhnya beberapa kali.
Matahari yang menyorot hangat dari ufuk Timur, membangunkannya dari tidur nyenyak malam tadi. Matanya
langsung menatap ke depan, ke arah desa Pasir Batang.
Dengan ilmu Pembilah Suara, dia telah mendengar semua
pembicaraan di rumah Ki Brajananta semalam.
Pendekar Rajawab Sakti lalu berdiri, dan kembali menggeliatkan tubuhnya. Dia menguap lebar sambil menggosokgosokkan matanya. Setelah merapikan pakaian, Pendekar
Rajawali Sakti melangkah menuju ke jalan utama desa
Pasir Batang.
"Tujuh hari lagi... hm. Bukan waktu yang lama," gumam
Rangga sambil melangkah.
Beberapa penduduk sudah mulai menuju ladang
mereka. Pagi ini kehidupan di desa Pasir Batang berjalan
normal seperti tidak akan terjadi apa-apa. Mereka seperti
sudah terbiasa menghadapi peristiwa persembahan
korban untuk Raja Dewa Angkara. Peristiwa yang sudah
bertahun-tahun berlangsung. sehingga menjadi tradisi yang
tak terelakkan lagi.
"Uh... Lapar juga. Semalam aku nggak makan! Di mana
ada kedai makan, ya?" Rangga bergumam sendiri sambil
menepuk-nepuk perutnya Matanya jelalatan mencari-cari
kalau kalau ada kedai makan yang buka di pagi buta
begini.
Agak kesal juga dia, sepanjang jalan yang dilewati tak
nampak juga kedai makan Sedangkan perutnya terus
berkeruyuk minta diisi. Rangga menggerutu sendirian.
"Maaf. Pak. Bisa bertanya?" Rangga mencegat seorang
laki-laki setengah baya yang berpapasan denganriya.
"Oh, iya. Boleh, Den," laki-laki setengan baya itu mengamati Rangga dari ujung kepala sampai ke ujung rambut

"Apa ada kedai makan di desa ini, Pak?" tanya Rangga.


"O, ada. Ada, Den. Itu di ujung tikungan jalan ini, tepat
di bawah pohon kenari."
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama."
Rangga menganggukkan kepalanya, lalu bergegas
menuju ujung tikungan jalan. Dia tak menyadari kalau lakilaki setengah baya yang ditanyainya tadi, masih terpaku
memperhatikan. Seseorang datang mendekati laki-laki
setengah baya itu. Sedang Rangga masih terus melangkah.
"Siapa anak muda itu, Pak Bolang?"
"Oh!" laki-laki setengah baya yang ternyata bernama
Pak Bolang itu terkejut "Bikin kaget saja kau. Ujang!"
"Kelihatannya dia bukan orang desa kita ya, Pak?"
Ujang setengah bergumam.
"Iya, seperti pengembara," sahut Pak Bolang.
"Cari siapa dia?"
"Kedai makan," sahut Pak Bolang. "Ah, sudahlah! Nanti
kesiangan kita ke ladang."
Kedua laki-laki itu melangkah beriringan.
"Tujuh hari lagi, purnama ya, Pak!" Ujang berkata
setelah lama terdiam
"Iya, purnama yang ke tujuh," balas Pak Bolang pelan.
"Siapa ya, yang kira-kira jadi korban persembahan
nanti?"
"Yang jelas bukan keluargaku. Aku tidak punya anak
gadis lagi. Semuanya sudah menikah," Pak Bolang merasa
bersyukur karena tak ada seorang pun dari keluarganya
yang jadi korban
"Lama-lama bisa habis gadis-gadis di desa ini."
"Ya sudah, jangan dipikirkan, Jang! Kita sih bekerja
saja..." ucap Pak Bolang berjalan pergi.
Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti duduk menghadap meja yang penuh dengan makanan dan minuman
Makannya tenang, tapi sudut matanya sejak tadi memperhatikan dua pemuda yang duduk tak jauh dari mejanya.
Mereka adalah murid-murid Padepokan Pasir Batang Yang

mengenakan pakaian serba putih dan ketat, tak Iain


adalah Sawung Bulu. Sedangkan satunya mengenakan
baju ketat pula berwama kuning gading Di pinggang
masing-masing terselip sebuah tongkat pendek, dengan
cincin emas di tengahnya. Rangga memang tak kenal
mereka. Namun pembicaraan dua pemuda itu sangat
menarik perhatiannya.
"Apa pun yang terjadi, aku harus gagalkan upacara iblis
itu!" suara Sawung Bulu agak tertekan. "Kau boleh tak
menyetujui tekadku, Badara. Tapi aku perlu teman untuk
menumpas Raja Dewa Angkara."
"Kau sudah bicara pada guru?" tanya Badara.
"Percuma, ayahmu tak akan pemah menyetujui. Apalagi
Pamanku. Jelas dia menentang keras!"
"Memang sulit menyetujui niat baikmu, Sawung. Aku
yakin semua orang tidak akan mendukungmu."
"Mereka terlalu pasrah pada nasib. Padahal, jika kita
mau bersatu, iblis itu takkan berpikir dua kali pada desa
kita. Toh, mereka juga manusia biasa seperti kita. Apa yang
harus ditakuti?"
"Raja Dewa Angkara sangat sakti. Lawan kaki tangannya saja, seluruh murid Padepokan belum tentu menang.
Kau ingat peristiwa di desa Kenanga? Desa itu memiliki
juga Padepokan yang terkenal dengan orang-orang yang
berilmu bnggi Tetapi dalam satu malam saja, desa itu
hancur karena menentang korban persembahan gila itu!
Apalagi kita yang hanya mengandalkan Ayahanda Guru
Gandara? Aku rasa sia-sia saja usahamu, Sawung..."
Sawung Bulu menarik nafas panjang. Dan memang ada
benarnya juga kata-kata Badara itu.
Akankah desa Pasir Batang harus hancur juga, hanya
karena satu orang merasa tidak rela kekasihnya dijadikan
korban persembahan Raja Dewa Angkara? Hanya satu
orang yang diselamatkan, tapi mengorbankan seluruh
penduduk desa. Tidak! Sawung Bulu menggelengkan
kepalanya.
Sawung Bulu tak ingin seluruh penduduk menjadi

korban. Tetapi dia juga tak rela Dewi Purmita kekasihnyaitu jadi korban. Sawung Bulu benar-benar seperti makan
buah simalakama. Serba salah.
"Aku mengerti perasaanmu, Sawung. Bukan kau saja
yang merasakan itu. Tapi ini sudah menjadi kehendak Raja
Dewa Angkara. Tak seorang pun yang berani menentangnya. Sadarlah itu, Sawung," kembali Badara mencoba
menyadarkan saudara seperguruannya ini.
"Aku tetap akan menentang Aku akan berjalan atas
namaku sendiri, dan tidak akan melibatkan seorang pun
baik dari Padepokan maupun penduduk desa ini!"
Walau dengan hati bimbang, Sawung Bulu tetap pada
pendiriannya. Tekadnya sudah bulat. Apa pun yang akan
terjadi, dia harus menghadapi si iblis Raja Dewa Angkara!
"Sa...."
Badara belum melanjutkan ucapannya, tiba-tiba sebuah tombak menancap tepat di tengah-tengah meja
mereka. Dengan serentak kedua murid Padepokan Pasir
Batang ini melompat kaget. Semua yang ada di kedai
makan itu terkejut pula. Mereka kenal betul dengan
tombak itu.
Bagi mereka yang bernyali kecil, langsung kabur ke
luar. Di kedai makan itu memang rata-rata hanya
penduduk biasa. Maka dengan sekejap kedai makan
menjadi sepi. Sawung Bulu menatap tajam pada tombak
hltam Itu.
"Celaka, Raja Dewa Angkara sudah tahu," gumam
Badara dengan wajah agak pucat
Rangga masih duduk di tempatnya. Dia makin tertarik
ingin mengetahui kelanjutannya. Matanya tidak lepas memandang dua pemuda yang masih menatap tombak hitam
itu. Walau terlihat tampan dan gagah, tetapi mereka
gemetar juga.
"Sawung Bulu...," suara Badara bergetar.
"Pergilah!" tegas Sawung Bulu. Namun nadanya sedlkit
bergetar.
Badara yang semula tak ingin ikut campur beranjak

pergi. Kakinya baru saja melangkah dua tindak tiba-tiba


sebatang tombak kembali meluncur dan menancap tepat
di ujung kakinya. Badara melompat kaget
"Kau sudah membuat malapetaka, Sawung Bulu!"
Badara agak kesal.
Tombak kedua yang datang menghalangi langkahnya,
sudah diraba maksudnya. Tak ada pilihan lain. Dia sudah
terlibat secara tak langsung dalam kemelut ini. Tak
mungkin Raja Dewa Angkara melepaskan satu nyawa pun.
"Terpaksa harus dihadapi bersama," lenguh Badara.
"Maaf, Badara!" ucap Sawung Bulu.
"Lupakan!" sahut Badara.
"Bagus!" tiba-tiba terdengar suara berat menggelegar.
"Murid-murid Padepokan Pasir Batang rupanya punya nyali
juga!"
Rasa terkejut kedua murid Padepokan Pasir Batang
belum lagi hilang, mendadak dari atap kedai makan berlompatan empat orang berpakaian serba hitam dengan
gambar bunga bangkai di dada, berwarna merah. Di
tengahnya terselip juga gambar seekor kalajengking
berwarna emas.
Empat orang yang dikenal sebagai anggota Raja Dewa
Angkara itu, berdiri mengelilingi Sawung Bulu dan Badara.
Wajah mereka tertutup selembar kain hitam, kecuali
bagian mata. Masing-masing menggenggam dua trisula.
Suaru penampilan yang menggetarkan.
"Raja Dewa Angkara berkenan memaafkan, jika kalian
lekas meminta maaf," kata salah seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung
kaki.
"Kenapa bukan iblis itu sendiri yang datang? Aku tak
perlu dengan cacing-cacing macam kalian!" dengus
Sawung Bulu. Baginya tak ada pilihan lain kecuali
meneruskan segala niat menentang iblis itu.
"He...he...he..., gurumu saja belum tentu mampu
mengalahkan salah seorang dari kami."
"Iblis! Kubunuh kau!" geram Badara mendengar ayah-

nya dihina. Hatinya panas seketika.


Tanpa banyak bicara lagi, Badara langsung melompat
sambil mencabut tongkat pendeknya. Dia menyerang
dengan jurus-jurus andalan kepada orang yang mengejek
ayahnya. Melihat keadaan itu, Sawung Bulu tak mau
ketinggalan. Pertarungan kini berjalan satu lawan dua
orang.
***

Melewati jurus kelima dua murid Padepokan Pasir Batang


makin terdesak Tingkat kepandaian mereka memang jauh
di bawah anak buah Raja Dewa Angkara. Rangga yang
sejak tadi memperhatikan pertarungan mereka, dapat memastikan kalau dalam dua atau tiga jurus lagi, Sawung
Bulu dan Badara dapat dikalahkan.
Dugaan Rangga memang tepat. Dua jurus berlangsung,
Badara menjerit keras. Tubuhnya limbung, darah mengucur
deras dari dadanya yang sobek. Belum sempat Badara
menguasai diri, sebuah tendangan keras menghantam
kepalanya. Tidak ampun lagi, Badara terjengkang ambruk
Kepalanya pecah
"Kejam! Iblis!" geram Sawung Bulu ketika melihat putra
tunggal Ki Gandara tewas.
Pada saat Sawung Bulu lengah, mendadak sebuah
tendangan keras mendarat di dadanya. Murid utama
Padepokan Pasir Batang itu terjengkang dua depa. Dadanya terasa sesak, matanya berkunang-kunang. Sawung
Bulu belum dapat mengatur posisi, tiba-tiba salah seorang
lawan menerjang dengan ujung tombak terhunus.
Sawung Bulu yang memang sudah tidak berdaya, hanya
pasrah menerima nasib. Serangan orang berpakaian serba
hitam itu sangat cepat. Dan ketika ujung tombak telah
berada seujung rambut lagi membelah dada Sawung Bulu,
sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat cepat menyambar
murid utama Padepokan Pasir Batang itu
Tubuh Sawung Bulu lenyap begitu saja. Tombak yang
hampir membelah dadanya menerobos tempat kosong. Hal
ini membuat empat orang berpakaian serba hitam itu
terkejut Mereka saling berpandangan satu sama lainnya
"Kadal! Siapa berani main-main dengan Raja Dewa
Angkara!" bentak salah seorang dari mereka.

Tidak ada sahutan sama sekali. Mata mereka beredar


ke sekeliling. Tidak ada seorang pun di dalam kedai makan
ini. Hanya meja kursi saja yang terfihat berantakan tidak
tentu arahnya.
"Huh! Kepala Desa Pasir Batang harus bertanggung
jawab!" dengus orang itu lagi
"Sebaiknya segera kita laporkan hal ini pada Raja Dewa
Angkara," kata lainnya mengusulkan.
"Baiklah! Ayo kita pergi!"
Empat orang anak buah Raja Dewa Angkara itu pun
dengan cepat mencelat Sekejap mata saja mereka tak
teriihat lagi bayangannya. Kini kedai makan itu kembali
sepi. Tidak ada orang lagi di sana kecuali mayat Badara
yang menggeletak mandi darah.
Dalam waktu yang tak lama, muncul Ki Gandara diikuti
pemuka pemuka Desa Pasir Batang dan beberapa penduduk di pintu kedai makan. Ki Gandara tampak terkejut
melihat putranya menggeletak dengan kepala pecah.
Sangkala, Bagaspata, Rawusangkan, dan dua orang lainnya, seperti terkunci mulutnya. Mereka sangat terkejut
melihat mayat Badara dan dua tombak berwarna hitam
pekat yang masih tertancap di tengah-tengah meja dan di
tanah dekat tubuh Badara.
"Mana Sawung Bulu?" tiba-tiba Sangkala ingat keponakannya
"Tadi... tadi ada di sini, Gusti," jawab seorang penduduk
yang tadi juga ada di kedai ini. Bicaranya tergagap.
Muka Sangkala berubah merah pada. Matanya liar
merayapi sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda Sawung
Bulu ada di sekitar sini. Sementara itu Ki Gandara
memeriksa mayat putranya. Kefihatan sekalii dua bola
matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Siapa yang berbuat ini?" tanya Sangkala pada
penduduk yang menjawab tadi.
"Orang-orang Raja Dewa Angkara, Gusti," sahut
penduduk itu lagi.
"Berapa orang mereka?" tanya Bagaspati.

"Empat Semuanya mengenakan topeng"


"Lalu, siapa di antara kalian yang melihat Sawung
Bulu?" tanya Rawusangkan. Matanya menatap satu persatu penduduk yang sudah banyak berkumpul di depan
kedai.
Semua orang tidak ada yang membuka mulut. Kepala
mereka perlahan tertunduk. Memang tidak ada seorang
pun yang melihat, ke mana Sawung Bulu pergi. Apalagi
melihat kepergian empat anak buah Raja Dewa Angkara
yang begitu cepat melesat Mereka memang hanya
penduduk biasa yang awam terhadap ilmu silat
Kl Gandara berdiri. Matanya merayapi lima orang
pemuka desa, lalu memandang satu-satu wajah penduduk
Desa Pasir Batang yang tertunduk. Sebentar guru besar
Padepokan Pasir Batang menarik nafas panjang. Tangannya memberi isyarat kepada mund-muridnya untuk mengangkat mayat Badara. Segera empat orang murid
Padepokan Pasir Batang bergerak
"Apa yang kita khawatirkan selama ini sudah jadi
kenyataan," pelan suara Ki Gandara bergumam.
"Maafkan anak ponakan saya, Ki," ucap Sangkala
menyesali perbuatan Sawung Bulu.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semuanya telah
terjadi. Entah kapan waktunya, malapetaka akan datang ke
desa ini," masih terdengar pelan suara Ki Gandara.
"Saya yang akan mewakili meminta maaf pada Raja
Dewa Angkara," kata Sangkala merasa bertanggung jawab.
"Percuma saja, Sangkala. Raja Dewa Angkara tidak
memandang satu dua orang. Kini yang harus bertanggung
jawab adalah kita semua."
Seketaka semua terdiam. Wajah-wajah pucat ter
gambar jelas. Semua mengerti maksud kata-kata Ki
Gandara. Pada saatnya nanti, desa Pasir Batang akan
lenyap seperti Desa Kenanga. Pertentangan sudah dibuka.
Korban pertama telah jatuh. Mereka tinggal menunggu
nasib
Sangkala menyesali diri karena tidak bisa meredam

darah muda keponakannya. Kini semuanya terlambat.


Mau tidak mau seluruh penduduk Desa Pasir Batang
harus menghadapi kelompok Raja Dewa Angkara. Kehancuran sudah terbayang di mata seluruh penduduk.
Rasanya saat ini nyawa telah lenyap dari badan. Satu per
satu mereka melangkah pergi dengan wajah tertunduk
lesu. Tidak ada semangat hidup. Sepertinya tinggal tunggu
waktu saja malaikat maut datang ke Desa Pasir Batang
***
Malam baru saja menjelang. Keadaan Desa Pasir
Batang benar benar seperti mati. Tak ada seorang pun
yang keluar rumah. Mereka takut maut lebih dulu menjemput. Sementara itu di salah satu kamar rumah Kepala
Desa, Dewi Purmita tengah menangis dalam pelukan
ibunya. Ki Brajananta hanya dapat berdiri dengan wajah
murung. Kejadian pagi tadi telah membuat seluruh
penduduk Desa Pasir Batang putus asa. Hal ini sangat
disesalkan Ki Brajananta.
"Sudahlah, Purmita. Semuanya sudah terjadi, tidak
perlu ditangisi lagi." lembut suara ibunya.
Dewi Purmita mengangkat kepalanya. Seluruh wajahnya basah oleh air mata. Sebentar ditatap wajah ibunya,
lalu beralih ke ayahnya.
"Apakah Kakang Sawung Bulu sudah ditemukan.
Ayah?" tanya Dewi Punnita lirih.
"Belum," sahut Ki Brajananta pelan.
"Kenapa Kakang Sawung Bulu sampai berbuat senekad
itu?"
"Dia tidak rela kau dijadikan korban persembahan,
anakku," Subragen yang menwab
Dewi Purmita memandang ibunya, lalu dipeluk ibunya
yang sudah setengah baya itu. Dia telah tahu kalau dirinya
bakal dijadikan korban persembahan. Semua itu telah
diutarakan kepada Sawung Bulu. Jelas saja Sawung Bulu
merasa tidak rela kekasihnya jadi korban. Ketidakrelaan itu

telah dibuktikan dengan peristiwa tadi pagi.


"Saya rela dijadikan korban persembahan, asal
penduduk desa ini hidup tentram... " semakin lirih suara
Dewi Purmita.
"Purmita, anakku...," Sutiragen terharu mendengarnya.
"Sebaiknya Ayah mengirim utusan untuk meminta maaf
atas kejadian tadi pagi. Saya bersedia jadi korban pada
waktunya nanti," kata Dewi Purmita seraya menghapus air
matanya.
Ki Brajananta tidak dapat berkata kata lagi. Mulutnya
terkunci. Dia hanya berdiri mematung menatap anak
gadisnya. Dalam hati kecilnya, dia tidak rela putrinya jadi
korban persembahan. Tetapi dia tidak dapat membantah
lagi. Nyawa seluruh penduduk desa taruhannya. Yang jelas
dia harus pasrah menerima nasib.
Dewi Purmita pun demikian. Pasrah. Baginya, hidup
sudah tidak ada gunanya lagi. Apalagi Sawung Bulu sampai
kini lenyap tanpa ketahuan di mana rimbanya.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Semua mata
menoleh ke arah pintu yang tertutup. Ki Brajananta
melangkah dan segera membukanya. Kiranya seorang
wanita tua yang mengetuk tadi.
"Tamu-tamu telah datang, Gusti," kata wanita tua itu
membungkuk hormat
Ki Brajananta memandang Dewi Purmita sebentar,
kemudian melangkah ke luar. Langkahnya kelihatan lesu
menuju ruangan pendopo. Di ruangan itu, Ki Gandara,
Sangkala, Bagaspati, Rawusangkan, Wratama, dan
Paralaya, telah menunggu. Mereka serentak berdiri ketika
Ki Brajananta muncul.
"Silakan duduk," kata Ki Brajananta seraya duduk
Enam orang pemuka Desa Pasir Batang itu bersamasama duduk melingkari sebuah meja marmer. Sesaat
suasana hening. Tidak ada yang membuka suara lebih
dulu. Mata mereka semua memandang Kepala Desa yang
kelihatan murung tanpa gairah.
"Sudah ada khabar tentang Sawung Bulu?" tanya Ki

Brajananta memecah keheningan.


"Belum," sahut Wratama yang ditugaskan untuk mencari Sawung Buhx
"Apa tidak mungkin Sawung Bulu dibawa ke..." Paralaya
tidak melanjutkan kalimatnya.
"Tidak!" selak Sangkala Cepat "Raja Dewa Angkara
tidak pernah membawa korban seorang laki-laki ke sarangnya."
"Menurut pemilik kedai dan Pak Bolang, pagi tadi desa
kita kedatangan seorang pengembara," kata Rawusangkan.
"Pengembara...?" Ki Gandara mengerutkan keningnya.
"Kau tanyakan ciri-cirinya?"
"Ya," Jawab Rawusangkan.
"Bagaimana ciri-cirinya? tanya Sangkala.
"Orangnya masih muda, kulitnya kuning langsat. Ada
pedang bergagang ukiran kepala burung di punggungnya,"
Rawusangkan coba menyebutkan ciri-ciri pengembara itu.
"Pakai baju rompi?" tebak Ki Gandara.
"Benar, Ki" sahut Rawusangkan cepat.
"Tidak salah lagi," gumam Ki Gandara.
Semua mata memandang Ki Gandara
"Ki Gandara kenal dia?" tanya Ki Brajananta.
"Dari ciri-cirinya mirip Pendekar Rajawali Sakti," pelan
suara Ki Gandara seperti kurang yakia
"Pendekar Rajawali Sakti...?!" hampir berbarengan
mereka semua menyebut nama itu.
Siapa yang tidak kenal nama Pendekar Rajawali Sakti?
Seorang tokoh sakti yang baru muncul, tapi sudah menggegerkan seluruh rimba persilatan. Bukan hanya tokoh
tokoh golongan putih yang merasa sungkan dan kagum.
Tokoh-tokoh golongan hitam pun merasa enggan bila
berhadapan dengannya. Sudah banyak tokoh golongan
hitam yang tewas di tangan pendekar ini. Jurus rangkaian
'Rajawali Sakti'nya sangat sulit dicari tandingannya pada
jaman ini.
"Apa dia ada di kedai pagi itu, Rawusangkan?" tanya Ki

Gandara.
"Benar, Ki." sahut Rawusangkan cepat
"Hm..., tidak mustahil dia yang menolong Sawung Bulu,"
gumam Ki Gandara.
Sesaat suasana kembali sunyi. Semua yang ada di situ
terpusat pikirannya pada Pendekar Rajawali Sakti yang
muncul di Desa Pasir Batang ini. Kemunculan yang tibatiba, di saat seluruh pemuka dan penduduk desa dicekam
kegelisahan.
Sangkala yang sejak tadi memperhatikan guru besar
Padepokan Pasir Batang itu. melihat ada sedikit cahaya di
mata Ki Gandara. Dalam hati Sangkala juga berharap
dugaan Ki Gandara benar. Biar bagaimana pun dia sangat
mencintai keponakannya itu. Sejak kecil Sawung Bulu
dirawat dan dididiknya di Padepokan Pasir Batang bersama
Ki Gandara.
Ketika mereka tengah khusuk bersama pikiran masing
masing tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar. Ki
Brajananta segera berdiri dan melangkah ke luar. Ki
Gandara dan yang lainnya mengikuti dari belakang Dan
betapa terhenyaknya mereka ketika melihat mayat-mayat
bergelimpangan di halaman depan rumah kepala desa.
Mayat-mayat itu adalah para penjaga rumah ini.
Mereka terbantai oleh orang-orang berpakaian serba
hitam. Dan kini Ki Brajananta dan yang lainnya, dikejutkan
oleh kehadiran seorang pemuda yang tengah bertarung
melawan empat orang berpakaian serba hitam. Pertarungan yang cepat disertai jurus-jurus silat tingkat tinggl,
membuat orang yang ada di situ sulit mengenali siapa
pemuda itu.
"Siapa dia, Ki?" tanya Rawusangkan yang berdiri di
samping Ki Gandara.
"Sepertinya dia..., Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki
Gandara ragu-ragu
"Kalau begitu, kita harus membantunya, Ki!" seru Ki
Brajananta.
"Jangan!" Ki Gandara langsung mencegah Wratama dan

Paralaya yang teriihat akan bergerak


Mereka segera mengurungkan niatnya.
"Dia tidak perlu dibantu dan bisa mengatasinya
sendiri," kata Ki Gandara. Matanya tidak lepas mengamati
pertarungan itu
Begitu Ki Gandara setesai berkata, mendadak terdengar jeritan panjang disusul oleh rubuhnya seorang yang
berpakaian serba hitam. Kemudian menyusul seorang lagi
yang tiba-tiba mencelat ke atas disertai jeritan memilukan,
lalu ambruk tak bangun-bangun lagi. Kepalanya hancur
ketika menimpa bumi. Dua orang lagi yang masih hidup,
mencelat ke belakang sejauh dua tombak. Kini jelaslah,
siapa laki-laki muda yang bertarung melawan empat orang
yang tampaknya anak buah Raja Dewa Angkara. Dugaan Ki
Gandara memang tidak meleset. Laki-laki muda itu adalah
Pendekar Rajawali Sakti yang telah menjatuhkan dua
lawannya dengan jurus 'Cakar Rajawali'.
"Anak muda! Campur tanganmu akan berakibat fatal!"
dengus salah seorang lawan Pendekar Rajawali Sakti.
"Lebih fatal lagi jika kalian masih mengganggu Desa
Pasir Batang ini!" tegas dan lantang suara Pendekar
Rajawali Sakti.
"Setan! Kau harus mampus!"
Kembali mereka bertarung. Dua orang yang berpakaian
serba hitam yang masih tersisa itu kini menyerang dengan
lebih cepat dan berbahaya. Kini Pendekar Rajawali Sakti
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Tubuhnya jadi ringan dengan kedua kaki tidak lagi menapak tanah. Pendekar muda itu mengontrol diri agar tidak
melayang terlalu tinggi. Hanya kedua tangannya saja yang
bergerak cepat mengibas ke arah bagian-bagian tubuh
lawan yang mematikan.
"Awas, kepala!" teriak Rangga atau Pendekar Rajawali
Sakti tiba-tiba.
Tangan kanannya menyampok kepala salah seorang
lawannya. Orang itu terkejut, cepat-cepat ditarik kepalanya
ke belakang. Tak terduga sama sekali, tangan Rangga

dengan cepat berputar arah dan langsung mengibas ke


arah perut
"Aaakh...!" orang itu menjerit kesakitan.
Kibasan tangan kanan Rangga tepat menyobek perutnya, sehingga ususnya berhamburan ke luar. Sebentar saja
orang itu mampu bertahan. Dan kebka kaki Rangga mendarat di dada orang itu, tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang dan ambruk ke tanah. Mati. Darah mengucur
deras dari perutnya yang menganga lebar.
Melihat temannya tewas, sisanya yang tinggal seorang
itu mencelat kabur. Rangga tidak berusaha mengejar orang
itu. Dia berdiri saja mengawasi mayat-mayat yang bergelimpangan mandi darah. Sepuluh mayat penjaga pun terbujur tak tentu arah di tempat itu.
Pendekar Rajawali Sakti menoleh ketika telinganya
mendengar langkah langkah kaki menghampiri. Jumlah
mereka tujuh orang. Dua orang yang berjalan di depan
kelihatannya lebih tua daripada yang lainnya.
"Sungguh tak menyangka, Tuan berkenan singgah di
desa kami," kata Ki Brajananta setelah berdiri di depan
Rangga.
"Maaf jika kedatanganku mengganggu tuan-tuan
sekalian," Rangga membungkuk hormat
"Tidak, sama sekali tidak. Justru kedatangan Tuan
Pendekar sangat kami butuhkan," kata Ki Gandara gembira
dengan adanya Pendekar Rajawali Sakti di desa ini
"Jika Tuan Pendekar tidak keberatan, singgahlah
barang sebentar di gubukku." kata Ki Brajananta.
"Terima kasih," Rangga mau menolak.
"Kami akan senang jika Tuan Pendekar bersedia
menolong penduduk Desa Pasir Batang," kata Sangkala.
Rangga terdiam. Matanya mengamati satu per satu
wajah-wajah di depannya, lalu tersenyum mengangguk
Segera saja Ki Brajananta mempersilahkan Pendekar
Rajawali Sakti untuk masuk ke dalam rumahnya. Rangga
berjalan diapit oleh Ki Brajananta dan Ki Gandara.
Sedangkan Sangkala dan yang lainnya mengurus mayat-

mayat untuk segera dikuburkan.


***
"Sebenarnya ada apa di desa ini?" tanya Rangga
setelah duduk menghadapi meja marmer.
Ki Brajananta yang duduk tepat di depan Pendekar
Rajawali Sakti itu menatap Ki Gandara. Guru Besar
Padepokan Pasir Batang ini mengerti tatapan kepala desa
itu. Sejenak ditariknya napas panjang
"Sebenarnya bukan hanya Desa Pasir Batang yang
tertimpa malapetaka seperti ini. Desa-desa lain di sekitar
lereng Gunung Babkambang juga mengalami nasib yang
sama. Kejadian ini sudah ada sejak sepuluh tahun yang
lalu. Dan tidak seorang pun yang bisa melepaskan diri dari
cengkeraman Raja Dewa Angkara," pelan tapi jelas suara
Ki Gandara.
"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga.
"Dia seorang tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya.
Setiap tujuh purnama, kami diharuskan menyerahkan
korban persembahan berupa seorang gadis remaja," sahut
Ki Brajananta.
"Selain itu, kami juga diharuskan memberi upeti yang
sangat menjerat," sambung Ki Gandara.
"Mereka sangat kejam. Satu orang saja berani
menentang, akibatnya satu desa dihancurkan. Kami tidak
ingin mengalami nasib yang sama dengan Desa Kenanga.
Tetapi, semuanya sudah terlambat. Salah seorang anak
kami sudah membuka pintu pertentangan. Kami tidak tahu
lagi harus berbuat apa. Raja Dewa Angkara pasti akan
membumi hanguskan desa ini," lirih suara Ki Brajananta.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Jiwa
ksatrianya segera timbul melihat kesengsaraan. Telinganya
tidak bisa mendengar jeritan penindasan. Darah pendekarnya segera bergolak mendidih.
"Kapan persembahan dilaksanakan?" tanya Rangga"Enam hari lagi," jawab Ki Brajananta.

"Hm, enam hari lagi. Bukan waktu yang lama," gumam


Rangga. Pendekar Rajawali Sakti ini sebenarnya sudah
tahu hal itu melalui ilmu 'Pembilah Suara'. Namun dia tidak
ingin dikatakan lancang karena telah menguping pembicaraan orang lain. Jadi pertanyaan tadi hanya untuk
basa-basi saja.
"Sekarang tidak perlu lagi ada korban persembahan
karena pertentangan telah dibuka. Desa Pasir Batang akan
hancur, dan gadis-gadis akan diboyong Raja Dewa Angkara.
Semua laki-laki, orang tua, dan anak-anak akan tewas," Ki
Brajananta seperti mengeluh putus asa.
Rangga menatap kepala desa itu tajam. Sungguh mati
dia tidak mengira akan seburuk itu keadaannya.
"Korban sudah mulai berjatuhan. Dan selama enam
hari ini korban akan berlangsung terus, sampai seluruh
penduduk desa habis terbantai," lagi-lagi Ki Brajananta
mengeluh.
"Hal itu tidak akan terjadi, Ki," tegas suara Rangga
terdengar.
Ki Brajananta mengangkat kepalanya. Ada secercah
harapan terbetik dari sinar matanya. Sedangkan Ki
Gandara tampak tersenyum. Dia percaya kalau nama besar
Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong.
"Sampai bulan purnama nanti, aku akan tinggal di Desa
Pasir Batang ini. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa
berkenan melindungi seluruh penduduk desa ini," kata
Rangga lagi.
"Ah, senang sekali kami mendengamya. Sudah lama
kami berharap bisa bebas dari cengkeraman iblis itu,"
desah Ki Brajananta.
Rangga tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri.
"Akan ke mana, Tuan Pendekar?" tanya Ki Brajananta
melihat Rangga berdiri.
"Lihat-lihat keadaan," sahut Rangga terus saja melangkah.
Ki Brajananta dan Ki Gandara mengikuti. Mereka berpapasan dengan Sangkala yang akan masuk

"Sangkala, temani Tuan Pendekar melihat-lihat


keadaan desa." kata Ki Gandara.
"Baik, Ki," Sangkala tersenyum seraya menganggukangguk.
"Terima kasih," ucap Rangga terus saja melangkah.
Sangkala berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka mellntasi halaman rumah kepala desa yang luas,
lalu menyusuri jalan utama Desa Pasir Batang. Sampai
jauh meninggalkan rumah kepala desa, belum ada yang
berbicara.
"Sebenarnya akan ke manakah, Tuan?" tanya Sangkala
membuka pembicaraan dengan hormat dan sopan.
Rangga menghentikan langkahnya. Dia berbalik menghadap pada Sangkala. Telinganya gatal jika dipanggil
dengan sebutan tuan. Rangga menepuk pundak laki-laki
yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Hanya
saja wajah Sangkala yang dipenuhi cambang dan kumis
lebat, membuat seperti kelihatan lebih tua dari usia yang
sebenarnya.
"Sebaiknya, kau panggil saja aku Rangga," kata Rangga
merendah
"Ah, mana berani saya...."
"Aku hanya pengembara miskin. Tidak pantas dipanggjl
tuan," cepat-cepat Rangga memotong
"Baiklah, jika tu..., eh! Kau menginginkan begitu."
"Nah, jika begitu kan lebih enak Oh, ya. Dengan apa
aku harus memanggilmu?"
"Cukup Sangkala saja."
"Baiklah, Sangkala. Kau tahu di mana tempat Raja
Dewa Angkara?" tanya Rangga kembali meneruskan
langkahnya.
"Tepatnya aku tidak tahu. Tetapi menurut kabar dia
tinggal di puncak Gunung Balakambang," jawab Sangkala.
"Pernah ada yang ke sana?"
"Tidak. Tidak ada yang berani sampai ke puncak. Para
penduduk yang mencari kayu bakar, hanya sampai lereng
saja. Itu pun tidak berani masuk sampai ke dalam hutan."

"Kau pernah bertemu dengan orangnya."


"Tidak ada yang pernah melihat Raja Dewa Angkara.
Tetapi orang-orangnya rata-rata memiliki kepandaian yang
cukupan. Aku rasa, sepuluh orang seperti aku saja belum
mampu menandingi satu dari mereka," Sangkala
merendah.
"Lalu, untuk apa Raja Dewa Angkara meminta korban
seorang gadis?" tanya Rangga lagi. Bibirnya tersenyum
mendengar kerendahan hati Sangkala.
"Entahlah," sahut Sangkala. "Setiap korban persembahan diambil sendiri oleh kaki tangan Raja Dewa
Angkara, lalu dibawa ke puncak Gunung Balakambang.
Tidak ada yang tahu, bagaimana nasib mereka di sana.
Selama ini gadis-gadls yang dijadikan korban tidak ada
yang kembali dalam keadaan hidup. Mayatnya saja tidak
pernah ditemukan lagi."
"Berapa orang kelompok mereka?"
"Tidak tahu pasti. Yang jelas, setiap tujuh purnama
mereka datang dengan jumlah sepuluh orang. Tidak kurang
dan tidak lebih."
"Mereka selalu mengenakan pakaian serba hitam?"
"Benar. Itu ciri mereka. Tidak ada seorang pun yang
dapat dikenali wajahnya karena selalu mengenakan topeng
hitam."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya
berkerut dalam, menandakan tengah berpikir keras.
Keterangan dari Sangkala tidak jauh berbeda dengan apa
yang dikatakan Ki Brajananta maupun Ki Gandara. Tetapi
semua masih membingungkan karena belum ada titik
terang yang pasti untuk menghadapi kelompok Raja Dewa
Angkara.
"Di mana kau tinggal?" tanya Rangga.
"Di Padepokan Pasir Batang," sahut Sangkala.
"Sudah berkeluarga?"
Sangkala mengangguk, sambil tersipu.
"Sebaiknya kau pulang saja, tentu istrimu sudah
menunggu sejak tadi," kata Rangga.

"Tapi...," Sangkala jadi bingung. Tidak mungkin Rangga


ditinggal sendirian. Perintah Ki Gandara tidak berani
dilalaikan begitu saja.
"Sudah cukup aku melihat-lihat keadaan desa ini. Lagi
pula malam sudah larut Aku yang akan mengatakannya
nanti pada gurumu," kata Rangga bisa mengerti
kebimbangan Sangkala.
"Baiklah kalau begitu," sahut Sangkala senang. Dia
memang sudah lelah dan mengantuk Dan lagi, sejak tadi
pikirannya selalu tertuju pada anak dan istrinya yang tentu
tengah menunggu cemas.
Rangga menepuk pundak Sangkala sebelum berlalu
melanjutkan langkahnya lagi. Sebentar Sangkala berdiri
diam di tempatnya, lalu bergegas kembali menuju ke
padepokan. Langkahnya cepat, ingin segera tiba di rumah.
***

Rangga berdiri tegak memandang ke puncak Gunung


Balakambang yang terselimub kabut Di belakangnya jauh
tampak Desa Pasir Batang Rangga menoleh kebka
merasakan ada langkah kaki mendekati. Bibirnya tersenyum melihat Sawung Bulu telah duduk di batu. Rangga
menghampiri.
"Ada yang dipikirkan?" tanya Rangga.
"Ya," sahut Sawung Bulu mendesah.
Rangga mengambil tempat di samping Sawung Bulu.
Mereka bersama sama memandang puncak Gunung
Balakambang Sementara di kaki lereng, jauh di bawah
sana kelihatan Desa Pasir Batang yang tampak sepi bagai
tidak berpenghuni.
"Aku tidak mengerti mengapa kau menolongku
kemarin," Sawung Bulu bergumam pelan.
"Aku menolong, karena kau perlu ditolong," sahut
Rangga seenaknya
"Seharusnya bukan aku, tapi penduduk desa itu,"
Sawung Bulu memandang ke arah Desa Pasir Batang
"Rasanya aku lebih baik mati daripada melihat kehancuran
orang-orang yang kucintai."
Rangga diam mendengarkan. Sejak dibawanya ke sini,
baru kali inilah Sawung Bulu mau berkata. Dia selalu
murung, seperti ada yang sedang dipikirkan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, hal apa yang dipikirkan Sawung Bulu. Semalam dia mendapat banyak
keterangan, juga pagi tadi dari beberapa penduduk Desa
Pasir Batang.
Sama sekali Rangga tidak menyangka Sawung Bulu
yang berbuat nekad tanpa memperhitungkan resikonya.
Siapa yang rela kalau kekasihnya dijadikan korban

persembahan iblis? Hanya saja tindakan Sawung Buhl yang


gegabah dan terlalu menurutkan darah muda. Kini semua
telah terjadi. Seluruh penduduk Desa Pasir Batang tinggal
menunggu nasib.
"Aku tidak tahu, apakah mereka iblis-iblis yang datang
dari neraka, atau manusia sakti yang mengumbar hawa
nafsu. Mereka begitu tangguh dan sulit dicari tandingannya," Sawung Bulu sedah mengeluh.
"Mereka manusia biasa yang bisa mati," kata Rangga.
"Kau tahu mereka?" Sawung Bulu agak terkejut.
"Ya, tiga orang dari lawanmu kemarin, telah mati,"
sahut Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Kau membunuh mereka?" makin terkejut Sawung
Bulu. Matanya merayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti
seperti tidak percaya pada pendengarannya.
"Bukan aku, tapi Yang Maha Kuasa yang berkenan,"
sahut Rangga merendah.
"Kapan kau membunuh mereka?" tanya Sawung Bulu
seolah menyelidik
"Semalam, di depan rumah kepala desa. Tapi aku
terlambat..."
"Teriambat, maksudmu?" potong Sawung Bulu dengan
nada cemas.
"Mereka berhasil membunuh tidak kurang dari sepuluh
orang."
"Lalu?"
"Aku sempat bicara dengan Ki Brajananta, Ki Gandara,
dan beberapa orang lainnya. Tampaknya mereka semua
memang ingin lepas dari cengkeraman Raja Dewa
Angkara."
"Ah, seandainya saja Yang Maha Kuasa berkenan memberiku kekuatan. Aku rela berkorban nyawa untuk membebaskan mereka," lirih suara Sawung Bulu.
Rangga hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri. Kakinya
terayun menuju ke Desa Pasir Batang.
"Mau ke mana?" tanya Sawung Bulu.
Rangga hanya menunjuk ke arah desa tanpa men-

jawab.
"Aku ikut!" Sawung Bulu bergegas menghampiri.
"Sebaiknya untuk sementara kau tinggal di sini dulu,"
cegah Rangga.
"Aku bukan pengecut yang hanya bisa bersembunyi!"
dengus Sawung Bulu.
"Aku tidak mengatakan kau pengecut. Tapi ini demi
keamanan dan keselamatan semua orang yang kau cintai."
Sebenarnya Sawung Bulu ingin bersikeras, tapi segera
diurungkan niatnya. Dia percaya kalau pemuda yang sebaya dengannya itu bukan orang sembarangan. Buktinya,
tiga anak buah Raja Dewa Angkara telah dibunuhnya hanya
dalam satu malam saja.
"Siapa kau sebenamya?" tanya Sawung Bulu jadi ingin
tahu.
"Aku, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga
Secepat dia menjawab, secepat itu pula dia mencelat
Tiba-tiba telah lenyap dari pandangan Sawung Bulu Tentu
saja pemuda ini mencari-cari. Dalam hari, dia sangat
mengagumi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti yang sempurna itu.
"Pendekar Rajawali Sakti...," Sawung Buhi ber-gumam
menyebut nama itu beberapa kali.
Dia kembali duduk di atas batu. Bibirnya masih menggumamkan nama Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya dia
tengah mengingat-ingat nama itu. Ya, nama itu pernah didengarnya dari Ki Gandara. Juga beberapa tokoh rimba
persilatan dari golongan putih yang kerap datang ke
Padepokan Pasir Batang. Nama Pendekar Rajawali Sakti
selalu disebut-sebut sebagai seorang pendekar muda yang
sangat tinggi ilmu kesaktiannya.
"Apakah benar dia Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung
Bulu bertanya tanya sendiri.
***

Di ruang pendopo utama Padepokan Pasir Batang, Ki


Gandara tengah berbincang-bincang dengan Sangkala.
Beberapa murid padepokan teriihat berjaga-jaga dengan
senjata terhunus. Sudah dua hari ini Ki Gandara memerintahkan murid-muridnya untuk selalu siaga di sekitar
padepokan.
"Kau tidak melihat Pendekar Rajawali Sakti hari ini,
Sangkala?" tanya Ki Gandara.
"Tadi pagi saya masih melihatnya, tapi sampai sore
begini tidak kelihatan lagi," sahut Sangkala.
"Bagaimana keadaan desa?"
"Belum ada kejadian apa-apa Tapi Ki Brajananta
kelihatannya terus gelisah."
"Ya, aku sendiri juga gelisah," Ki Gandara mengakui
terus terang.
"Ki...."
"Hm, ada apa?"
"Apa Pendekar Rajawali Sakti mampu menghadapi Raja
Dewa Angkara?" tanya Sangkala ragu-ragu nadanya.
Ki Gandara tidak segera menjawab. Matanya kosong
menatap lurus ke depan, ke arah puncak Gunung
Balakambang. Memang terlalu riskan hanya mengandalkan
nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Dia sendiri baru mendengar namanya saja. Belum melihat secara langsung
sepak terjangnya menghadapi tokoh tokoh sakti aliran
hitam.
Memang semalam Pendekar Rajawali Sakti telah membuktikan dengan merobohkan tiga orang dari Raja Dewa
Angkara. Tetapi itu hanya kaki tangannya saja. Ki Gandara
sendiri mungkin juga mampu menghadapinya. Bahkan
Sangkala juga masih bisa menandingi. Jadi hal itu belum
jadi jaminan Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkan
Raja Dewa Angkara.
"Maaf, kalau kata kataku membuat gundah," kata
Sangkala merasa tidak enak juga melihat Ki Gandara
berubah murung.
"Tidak Kata-katamu ada benarnya juga. Kita memang

tidak mungkin mengandalkan sepenuhnya pada Pendekar


Rajawali Sakti. Raja Dewa Angkara sulit diukur tingkat
kepandaiannya. Sepuluh tahun telah ditancapkan kukunya
untuk menguasai seluruh desa-desa di lereng Gunung
Balakambang, tanpa ada seorang pun yang dapat menghentikan perbuatannya."
Sangkala merayapi sekitamya. Tatapan matanya
langsung terpaku pada puncak Gunung Balakambang.
"Sudah banyak tokoh rimba persilatan dari golongan
putih mencoba untuk membasmi mereka, tapi sampai
sekarang tidak ada yang berhasil. Bahkan mereka hanya
tinggal namanya saja," Ki Gandara kembali melanjutkan.
"Kau ingat perisbwa di Desa Kenanga, Sangkala?"
"Iya, Ki," sahut Sangkala pelan.
"Tidak kurang dari sepuluh tokoh sakti rimba persilatan
membantu, tapi mereka semua tewas di tangan Raja Dewa
Angkara. Juga Pendekar Ruyung Emas, yang nyata-nyata
berada setingkat di atasku pun tewas."
Sangkala membisu. Memang sulit mengukur tingkat
kepandaian Raja Dewa Angkara. Dia bisa mengerti kenapa
Ki Gandara sampai gundah begini. Tentunya dia sudah
menyadari kalau dirinya tidak mungkin bisa menandingi
kesaktian Raja Dewa Angkara.
Pada saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar teriakanteriakan melengking dari bagian Timur padepokan. Ki
Gandara segera melompat seraya mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Dalam sekejap saja, dia sudah berada
di luar pendopo. Sangkala menyusul.
"Raja Dewa Angkara...," desis Ki Gandara ketika melihat
murid-mundnya tengah bertarung melawan sekitar sepuluh
orang berpakaian serba hitam.
Dalam waktu yang singkat, murid-murid Padepokan
Pasir Batang sudah bertumbangan mandi darah. Melihat
kenyataan ini, Sangkala segera melompat sambil
mengempos tenaga dalamnya. Gerakannya ringan, sekejap
saja dia telah terjun dalam pertarungan. Sangkala tidak
sungkan-sungkan lagi untuk mencabut pedangnya, me-

nerjang orang-orang Raja Dewa Angkara.


Begitu Sangkala masuk dalam arena, seorang dari
mereka segera menghadang. Sangkala terpaksa harus
meng-hadapinya. Pedangnya berkelebat cepat disertai
pengerahan tenaga dalam. Sangkala memang ahli dalam
ilmu pedang. Lebih-lebih saat dikeluarkan jurus-jurus
pedang andalannya.
Pedang perak yang menjadi kebanggaan seperti tak
berujud lagi Yang nampak hanya sinar keperakan
mengurung lawan
Trang! Trang!
Beberapa kali pedang Sangkala berbenturan dengan
tombak hitam lawannya, sehingga dirasakan tangannya
seperti kesemutan. Sangkala sadar kalau tenaga dalamnya
masih di bawah lawan Menyadari hal ini, dia berusaha
untuk tidak sering-sering berbenturan senjata.
Sementara itu korban dari pihak murid Padepokan
Pasir Batang sudah banyak Ki Brajananta pun kini tengah
menghadapi dua lawan. Sangkala tidak bisa lagi mengalihkan perhatiannya pada yang lain. Serangan-serangan
lawan terasa makin menghebat Bahkan sambaransambaran tombaknya terasa panas menyengat kulit.
"Uts!" Sangkala memiringkan tubuhnya ke samping
menghindari sodokan tombak lawan.
Ujung tombak itu lewat sejauh beberapa helai rambut
di depan dada. Sungguh dahsyat angin sambaran tombak
itu. Sangkala sampai bergerak mundur dua tindak terdorong angin sambaran tombak itu. Begitu keras dan
panas anginnya
Trang!
Sangkala terpaksa membabat ujung tombak yang
begitu cepat berbalik setelah serangan pertamanya gagal.
Lagi-lagi Sangkala terdorong mundur dua tindak ke
belakang. Jari-jari tangannya terasa kaku seketika. Hampir
saja pedangnya terlepas dari genggaman.
"Setan!" dengus Sangkala ketika mengetahui mata
pedangnya gompal.

Rasa terkejut Sangkala belum lagi hilang, mendadak


ujung tombak lawan sudah kembali mengarah ke dadanya.
Dia segera memiringkan tubuhnya, tapi terlambat.
Cras...!
Tak terduga sama sekali orang itu memutar tombaknya
dan berhasil melukai pundak kiri Sangkala. Darah keluar
dari pundak yang sobek cukup dalam dan lebar. Sangkala
meringis kesakitan, lalu dengan cepat melompat sejauh
dua tombak lebih. Jari-jari tangannya segera menotok
beberapa jalan darah di pundaknya Seketika itu juga darah
berhenti mengalir.
"He... he... he... Pintu neraka sudah terbuka untukmu,
sobat," orang itu terkekeh pongah.
"Jangan besar kepala dulu, iblis!" dengus Sangkala
geram. "Aku masih mampu mencabut nyawamu!"
"Tikus sudah masuk jebakan masih juga bisa berlagak!"
"Terima Jurus 'Pedang Ekor Naga'ku," bentak Sangkala
gusar.
Sehabis berkata demikian, dengan cepat Sangkala
melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya kembali
berkelebat lebih cepat Suara bersiutan terdengar dari
setiap kelebatan pedangnya. Ujung pedang Sangkala
bagaikan ekor naga yang murka terusik ketenangannya. Dikempos seluruh tenaga dalamnya untuk menandingi
tenaga dalam lawan.
Namun semua serangan Sangkala yang dahsyat dan
mematikan, tidak membawa hasil sama sekali. Bahkan
tiba-tiba saja kaki lawan berhasil mendarat di dadanya.
Sangkala terjengkang ke belakang. Dadanya mendadak
sesak, napasnya tersengal. Matanya berkunang-kunang
"Mampus kau, hiyaaa..!" orang itu berteriak keras.
Sangkala yang dalam posisi sulit, tidak mampu lagi
untuk mengelakkan ujung tombak yang datang deras
mengarah ke dadanya. Dia pasrah seandainya harus mati
di ujung tombak hitam itu. namun kebka ujung tombak
hampir menyentuh kulitnya, mendadak...
Trang!

Secercah sinar biru menyilaukan menghantam tombak


hitam itu. Sangkala membeliak kaget, ketika melihat
tombak itu tiba-tiba terpotong jadi dua. Rasa kagetnya
belum lagi hilang sekonyong-konyong orang yang menjadi
lawannya itu terjengkang ke belakang beberapa batang
tombak jauhnya.
Disusul dengan munculnya sebuah bayangan, disertai
kilatan sinar biru menyilaukan mata.
Cras!
Tanpa mengeluarkan suara lagi, orang berpakaian
serba hitam itu ambruk dengan kepala terpisah dari badan.
Bayangan itu tidak berhenti. Dia berkelebat dengan
kilatan-kilatan sinar biru terarah pada orang-orang yang
berpakaian serba hitam. Sungguh dahsyat, setiap kibasan
sinar biru itu berkelebat, segera satu orang lawan terjungkal mandi darah. Mati.
Ki Gandara cepat melompat mundur dari kancah pertarungan. dia sudah berhasil merobohkan dua lawan.
Orang tua yang masih kelihatan gagah itu segera menghampiri Sangkala.
"Mundur!" teriak Ki Gandara keras.
Seketika itu juga murid-murid Padepokan Pasir Batang
berlompatan mundur. Namun beberapa di antaranya yang
tidak sempat mundur, terjungkal tertembus tombak hitam.
Ki Gandara menahan geram melihat lebih dan separuh
muridnya tewas bergelimpangan.
Sementara itu bayangan yang selalu diikuti kelebatan
sinar biru, tidak menghiraukan tenakan Ki Gandara. Dia
terus saja berkelebat mencari nyawa. Kini orang-orang berpakaian serba hitam tinggal berjumlah lima orang saja.
Mereka mengurung rapat kelebatan bayangan itu. Tetapi
bayangan itu masih belum terlihat jelas juga. Seluruh
tubuhnya seperti terselimut sinar biru yang sesekali mencuat menyambar lawan.
"Tinggalkan tempat ini, cepat!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar. Seketika
itu juga lima orang berpakaian serba hitam itu mencelat

kabur dari Padepokan Pasir Batang. Namun salah seorang


dari mereka harus menerima nasib. Dia rupanya terlambat
kabur.
Sinar biru menyilaukan itu sangat cepat menghantamnya. Dan dengan satu teriakan menyayat, orang itu terjungkal dengan dada terbelah lebar. Sebentar dia meregang nyawa di tanah, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. "
Bersamaan dengan itu, sinar biru lenyap. Lalu disusul
dengan munculnya sosok tubuh berpakaian rompi berdiri
dekat mayat terakhir. Darah hangat masih keluar dari dada
mayat yang terbelah hampir purus itu.
"Pendekar Rajawali Sakti..." desah Ki Gandara. Bergegas guru besar Padepokan Pasir Batang itu menghampiri, diikuti Sangkala dari belakang. Tangan kanan
Sangkala menekap luka di pundak kiri. Darah kembali
keluar, karena totokan yang sifatnya hanya sementara
sudah tidak bekerja lagi.
"Bagaimana lukamu, Sangkala?" tanya Rangga seraya
memperhatikan luka di pundak kiri Sangkala. "Hanya luka
luar," sahut Sangkala. Rangga alias Pendekar Rajawali
Sakti menghampiri. Tangannya terulur dan menekap
pundak yang terluka itu. Lalu bibirnya tersenyum sambil
menarik tangannya lagi
"Hanya luka biasa," kata Rangga.
"Terima kasih," ucap Sangkala. "Kalau kau tidak cepat
menolong, mungkin aku hanya tinggal nama."
Rangga hanya tersenyum. Lalu dihampirinya salah satu
mayat yang berpakaian serba hitam. Dia jongkok, lalu
tangannya merenggut kain potong yang menutupi seluruh
wajah orang itu. Tampak seraut wajah cantik lagi putih
terpampang Wajah seorang wanita.
Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran. Dihampirinya
mayat yang kedua, dan direnggut topengnya.
Kembali terlihat wajah seorang wanita cantik dengan
rambut tergulung rapih. Ki Gandara yang juga merasa
penasaran, ikut membuka topeng-topeng hitam lainnya.
Jelas, enam orang berpakaian serba hitam ini, semuanya

adalah wanita.
"Apa artinya semua ini?" tanya Sangkala tidak bisa
menyembunyikan rasa terkejut dan herannya.
Sungguh tidak ada yang menduga kalau orang-orang
Raja Dewa Angkara adalah wanita berparas cantik
Sangkala yang tadi hanya sempat bertarung dengan satu
orang saja, kini benar benar terkesima. Sungguh tak
diduga sama sekali dirinya hampir tewas oleh seorang
wanita muda yang tersembunyi di balik topeng kain hitam
Sangkala tiba-tiba tersentak Padahal dia sempat
mendengar suara lawannya tadi. Benar-benar bodoh tidak
bisa membedakan suara laki-laki dengan suara
perempuan. Tapi..., yang didengamya tadi memang suara
laki-laki. Bukan suara halus seorang perempuan. Apakah
wanita-wanita itu punya ilmu untuk menipu suara?
"Sayang tidak ada yang hidup," gumam Ki Gandara.
"Maaf, aku terlalu muak melihat kekejaman mereka,"
kata Rangga.
"Tidak apa-apa. Memang sudah sepantasnya mereka
mati," sahut Ki Gandara.
Ki Gandara segera memerintahkan murid-muridnya
untuk menguburkan mayat-mayat itu. Meskipun dalam
keadaan letih, tidak ada yang membantah perintah itu.
Segera murid-murid Padepokan Pasir Batang yang masih
tersisa, melaksanakan perintah guru besarnya. Ki Gandara
mengajak Rangga ke pendopo, sementara Sangkala minta
ijin untuk mengobati lukanya. Langkah Rangga terhenti di
depan pendopo utama. Dibalikkan tubuhnya, langsung
menatap ke arah puncak Gunung Balakambang. Ki
Gandara juga berhenti dan berbalik. Matanya juga mengarah ke puncak gunung yang selalu diselimuti kabut tebal
itu.
"Di gunung itu Raja Dewa Angkara membangun istananya," kata Ki Gandara setengah bergumam.
"Sudah ada yang pemah ke sana?" tanya Rangga.
"Belum ada yang bisa mencapai. Memang sudah ada
beberapa pendekar mencoba ke sana, tapi mereka selalu

tewas sebelum mencapai tujuan."


"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas.
"Raja Dewa Angkara memiliki orang-orang yang
berkepandaian lumayan tinggi. Gunung itu selalu dijaga
ketat Tidak ada seorang pun bisa kembali setelah mencoba ke sana," Ki Gandara menjelaskan.
"Aku akan coba ke sana," kata Rangga.
"Sebaiknya. jangan. Terlalu berbahaya bagimu," Ki
Gandara mencoba mencegah.
"Untuk menumpas suatu kejahatan, harus sampai ke
akar-akarnya, Ki. Aku tidak bisa hanya menunggu di sini,
menanti cacing-cacing tak berguna."
"Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tapi hendaknya berpikirlah matang matang untuk pergi ke sana."
Rangga tersenyum tipis. Dirasakan ada nada lain dalam
kata kata Ki Gandara. Bagaimana pun juga orang tua ini
merasa bertanggung jawab atas keselamatan seluruh
penduduk Desa Pasir batang. Rangga dapat menangkap
maksud kata kata itu. Memang, dalam saat saat seperti ini
tidak mungkin Rangga meninggalkan Desa Pasir Batang.
Sewaktu-waktu orang-orang Raja Dewa Angkara dapat
menghancurkan seluruh desa. Kapan waktunya, memang
belum bisa diduga.
Pelan-pelan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terayun
menuju pintu gerbang padepokan. Dia terus berjalan
melewati pintu yang terbuka lebar. Pikirannya dipenuhi
oleh persoalan yang tengah dihadapi seluruh penduduk
Desa Pasir Batang ini. Persoalan yang tidak mudah dihadapi begitu saja. Di luar padepokan, Rangga melangkah
menuju jalan utama desa ini. Padepokan Pasir Batang
memang berada di tengah tengah desa. Tidak jauh dari
sini, teriihat rumah kepala desa yang selalu dijaga oleh
beberapa murid padepokan. Rangga merayapi keadaan
sekitarnya yang tampak sepi.
Mendadak matanya menangkap sekelebat bayangan
menyelusup di antara rumah-rumah penduduk dan
pepohonan. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu

melompat sambil mengerahkan ilmu peringan tubuh


mengejar bayangan itu. Matanya yang setajam mata
rajawali, masih bisa melihat bayangan itu menghilang di
balik sebuah rumah.
Sementara senja terus merayap makin jauh. Keadaan
sekeliling sudah remang-remang Malam sebentar lagi
menjelang. Tubuh Rangga melayang ringan ke atas atap
rumah tempat bayangan tadi menghilang. Begitu ringannya
sehingga tidak ada sedikit pun suara terdengar ketika
kakinya hinggap di atap rumah itu.
"Hm... dia menuju kedai makan," Rangga bergumam
dalam hati.
Matanya masih sempat menangkap bayangan itu.
Segera dia melesat dari atap rumah yang satu ke atap
rumah lainnya. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar
Rajawali Sakti dalam sekejap saja telah bertengger di atas
atap kedai makan. Sedangkan bayangan yang tersusul itu
masih berkelebat menuju ke arah Rangga yang tengah
bersembunyi.
"Wratama...," gumam Rangga lagi dalam hati.
Di dalam kegelapan yang bagaimana pun juga,
Pendekar Rajawali Sakti sangat mampu mengenali
bayangan yang sejak tadi diikutinya. Bayangan itu memang
milk Wratama. Gerakannya cukup ringan dan cepat
Sepertinya dia memiliki ilmu peringan tubuh yang lumayan
tinggi.
Rangga masih bertengger di atas atap meskipun
Wratama sudah masuk dalam kedai makan ini. Rangga
segera mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' yang diarahkan langsung ke dalam kedai makan. Kedai ini
rupanya sekahgus dijadikan rumah penginapan satusatunya yang ada di Desa Pasir Batang ini. Apa yang dapat
didengar Rangga?
***

Wratama mengedarkan pandangan ke seluruh sudut


ruangan kedai makan. Sepi. Tidak ada seorang pun yang
ada di tempat ini. Kakinya terus melangkah masuk Di
dalam juga sepi. Bagian dalam merupakan sebuah lorong
yang di kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewa untuk
menginap. Semua pintu nya tertutup rapat Wratama baru
berhenti melangkah setelah sampai pada ujung lorong.
Matanya kembali beredar mengamati keadaan. Pelan
pelan dia mulai mengetuk pintu kamar di depannya. Tidak
terdengar sahutan. Kembali diketuknya agak keras dari
pada semula. Matanya tetap mengamati sekehhngnya
"Masuk..." terdengar suara dari dalam kamar.
Wratama membuka pintu kamar. Cepat-cepat dia
melangkah masuk, lalu bergegas ditutup kembali pintunya.
Hanya ada satu pelita kecil yang menerangi, sehingga
keadaan kamar menjadi remang-remang. Mata Wratama
langsung mengarah ke pembaringan tempat sesosok tubuh
ramping tergolek di atasnya.
"Tidak ada yang melihatmu ke sini, Wratama?" tanya
sosok tubuh ramping itu. Suaranya halus lembut bagai
butuh perindu.
"Tidak," sahut Wratama sambil mendekat
Sosok tubuh ramping itu pun duduk ketika Wratama
duduk di tepi pembaringan. Tampak wajahnya yang cantik
dengan bibir merah merekah menyunggingkan senyum.
Rambutnya panjang, hitam, dan lebat dibiarkan terurai
melewati bahu. Kain sutra halus berwarna merah muda
melilit di tubuhnya
Wratama menelan rudah saat bola matanya menangkap dua bukit putih mulus, menyembul seolah-olah
hendak berontak keluar dari balik kainnya. Seperti sengaja,
wanita itu menggerakkan tubuhnya, sehingga belahan kain

yang melilit agak tersingkap. Terlihatlah dua paha yang


terbungkus kulit putih itu, Mata Wratama tidak berkedip
memandanginya
"Tunggu dulu, Wratama," wanita itu mendorong dada
Wratama yang akan memeluknya.
"Kenapa? Kenapa kau menolak?" Wratama terus saja
ingin memeluk.
"Kau belum mengatakan apa-apa padaku," kata wanita
itu.
"Keadaan di Padepokan Pasir Batang, maksudmu?"
Wanita itu hanya tertawa mengikik. Irama tawanya
dipenuhi nafsu birahi, sehingga Wratama hanya menelan
ludah untuk yang sekian kalinya. Tangannya sejak tadi
telah bermain-main di paha yang putih terbuka
"Separuh lebih murid Ki Gandara tewas, sedangkan
hanya enam dari Raja Dewa Angkara," kata Wratama.
"Kenapa bisa begitu?" suara wanita itu terdengar
terkejut mendengar enam orang dari Raja Dewa Angkara
tewas.
"Ada seorang pendekar sakti yang membantu."
"Siapa dia?"
"Pendekar Rajawali Sakti. Dia yang membunuh tiga
orang Raja Dewa Angkara di halaman rumah kepala desa."
Sesaat suasana hening.
"Bagaimana orangnya?" tanya wanita itu.
"Masih muda, tampan, dan berilmu tinggi. Senjatanya
sebuah pedang yang bisa memancarkan sinar biru."
Kembali tak terdengar suara.
"Ah, sudahlah. Kau datang ke sini bukan untuk
membicarakan hal itu, kan?" Wratama sudah tidak sabaran
lagi.
Wanita itu tidak dapat menolak lagi. Wratama sudah
memeluknya ketat. Ciuman dan kecupannya membuat
wanita itu mengerang, dan membalas dengan gejolak yang
menggelegak dalam dada. Kini di kamar itu hanya terdengar desah nafas memburu disertai erangan dan
rintihan yang membangkitkan gairah.

Sementara itu di atap, tepat di atas kamar yang


dipenuhi hawa nafsu birahi, Rangga menahan nafas. Suara
suara yang didengarnya terakhir membuat gelisah dirinya
sendiri. Bergegas dia melompat menuju pohon yang berada
tepat di depan jendela kamar itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menahan nafas
dengan mata sedikit membelalak. Jelas sekali dari
tempatnya bertengger, teriihat dua tubuh menyatu rapat di
atas ranjang. Jendela yang terbuat dari bilah-bilah papan,
memang terlalu renggang susunannya. Sehingga apa yang
terjadi di dalam kamar dapat terlihat jelas meski hanya
diterangi oleh sebuah pelita kecil.
"Siapa wanita itu? Apakah salah seorang dari Raja
Dewa Angkara?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu belum dapat mendugaduga lebih jauh. Dipalingkan mukanya, karena tidak
sanggup untuk melihat terus ke dalam kamar. Hanya
sesekali saja matanya melirik ke sana. Dan setiap kali
melihat dua manusia berlainan jenis itu tengah dimabuk
birahi, dadanya seketika berdetak lebih keras dari biasanya. Sungguh pemandangan yang membuat Rangga jadi
berkeringat
Agak lama juga Rangga tersiksa sendiri di atas pohon.
Rasa penasarannya pada wanita itu, membuatnya bertahan dalam ketersiksaannya. Padahal sejak tadi dia ingin
pergi. Saat matanya kembali melirik dalam kamar, ternyata
Wratama telah tergolek dengan dada bergerak cepat.
Sedang wanita itu duduk di sampingnya.
Wanita itu beringsut turun dari pembaringan. Terlihat
jelas kalau dia tidak mengenakan selembar kain pun pada
tubuhnya. Kembali Rangga menahan nafas melihat lekuklekuk tubuh indah dan menggairahkan. Wanita itu
mengenakan kembali pakaiannya. Wratama masih tergolek
tak berdaya.
"Dia keluar," bisik Rangga dalam hati.
Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti
sudah kembali berada di atas atap lagi. Sebentar dia

menunggu, dan terlihatlah wanita itu telah mengenakan


pakaian serba hitam. Dia melesat cepat ke luar kedai
makan yang sekaligus tempat penginapan. Gerakannya
lincah dan ringan, sulit diikuti oleh mata biasa. Namun bagi
Pendekar Rajawali Sakti, hal itu bukanlah persoalan.
Sambil mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah
Mega, Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti ke mana
wanita itu pergi. Wanita itu tidak menyadari kalau sejak
semula telah dibuntuti karena gerakan Pendekar Rajawali
Sakti sangat ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit
pun.
"Mau ke mana dia?" Rangga bertanya dalam hati.
Kening Rangga berkerut makin dalam setelah tahu
kalau wanita itu menuju ke Gunung Balakambang. Kini
tubuh wanita itu sebentar menghilang, sebentar kemudian
terlihat. Pohon-pohon dan semak yang makin rapat membuat Rangga makin berhati-hati mengikutinya. Dia yakin
kalau wanita itu salah seorang dari Raja Dewa Angkara.
"Hm, Wratama..., apa hubungannya dia dengan Raja
Dewa Angkara?" lagi-lagi Rangga bertanya dalam hati.
Namun belum lag! sempat mendapat jawaban,
mendadak...
"Uts!"
Rangga melompat sambil bersalto cepat ketika sebuah
tombak hitam meluncur deras ke arah tubuhnya. Belum
lagi dia sempat turun, kembali sebatang tombak mengarah
deras kepadanya. Berikutnya disusul tombak tombak lain
dari segala penjuru mata angin.
"Setan!" dengus Rangga sambil bersalto di udara
menghindari serangan gelap yang datang bagai hujan.
Ternyata bukan hanya tombak yang mengincar
nyawanya, tetapi juga serbuan anak-anak panah yang kini
meluncur dari segala arah. Pendekar Rajawali Sakti dibuat
sedikit kewalahan. Tidak diberi kesempatan untuk menarik
napas sedikit pun! Bahkan untuk menjejakkan kaki di
tanah saja, tidak ada peluang sama sekali. Kalau saja
Pendekar Rajawali Sakti tidak sedang mengerahkan jurus

'Sayap Rajawali Membelah Mega', mungkin sudah sejak


tadi tubuhnya tercincang.
***
Keadaan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak
memungkinkan untuk lolos. Serangan gelap itu semakin
gencar datangnya. Beberapa kali ujung tombak hampir
mengenai tubuhnya. Rangga jadi sengit. Sambil berteriak
melengking, dia melompat lebih tinggi seraya mencabut
pedangnya.
Sret, Cring!
Seketika keadaan di dalam hutam lereng Gunung
Balakambang jadi terang benderang oleh sinar pedang
yang biru kemilauan. Dengan senjata pusaka, itu. Rangga
mengamuk bagai banteng luka. Sinar biru bergulunggulung menyelimuti tubuhnya. Beberapa batang tombak
dan anak panah rontok berhamburan sebelum mencapai
sasaran.
"Ke luar kalian!" teriak Rangga. Suaranya menggelegar
karena disertai pengerahan tenaga dalam yang luar biasa.
Begitu hebatnya suara Pendekar Rajawali Sakti itu,
sehingga daun-daun berguguran. Batu-batu kerikil berlompatan terkena getaran suaranya. Dan lebih hebat lagi,
pengaruh tenakan itu membuat serangan tombak dan
anak panah berhenti mendadak
Pendekar Rajawali Sakti melenting dan berputar di
udara dua kali, sambil memasukkan kembali pedang
pusaka ke dalam sarungnya di punggung. Dia hinggap
dengan manis di atas sebuah dahan pohon yang cukup
tinggi. Bagaikan mata rajawali, matanya merayapi sekitarnya. Terlihatlah tubuh-tubuh berseragam kain hitam bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak
"Harus diberi pelajaran manusia-manusia iblis ini!"
dengus Rangga dalam hati.
Tangannya bergerak cepat merampas daun-daun
pohon di sekitamya. Sambil mengerahkan tenaga dalam,

dilemparkannya daun-daun itu ke arah orang-orang yang


berpakaian serba hitam. Daun-daun yang semula lemas
tak berguna, kini bagaikan senjata rahasia ampuh yang
meluncur deras melebihi kecepatan anak panah yang
lepas dari busurnya.
Seketika terdengar suara jerit kesakitan saling susul.
Kemudian tidak kurang dari enam orang berpakaian serba
hitam bertumbangan. Daun-daun yang dilontarkan
Pendekar Rajawali Sakti bagaikan terbuat dari logam
keras, menancap di dada mereka.
"Mampus kau, iblis-iblis keparat!" desis Rangga dengan
nada geram.
Kembali tangannya merampas daun-daun, lalu dilemparkan dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat
Dan terdengarlah jeritan menyayat disusul tumbangnya
beberapa tubuh berpakaian serba hitam.
Desisan Rangga rupanya terdengar oleh mereka. Maka
sebatang tombak pun meluncur deras ke arah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu menggerakkan tangannya
cepat menangkap tombak itu. Tanpa membuang waktu
lagi, tubuhnya meluruk cepat ke arah si pelempar tadi.
"Akh!" pelempar tombak itu terkejut
Segera digulingkan tubuhnya ke samping Kaki
Pendekar Rajawali Sakti hanya menjejak tanah kosong.
Namun belum sempat bergerak, tiba-tiba seseorang membokong dengan tombak terhunus ke arah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ih!" Pendekar Rajawali Sakti menangkis dengan
tombak yang ada di tangannya.
Trak!
Dua tombak hitam beradu keras. Tanpa membuang
waktu lagi, kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun keras,
dan..., Buk! Telapak kakinya tepat mendarat di dada
penyerangnya. Orang itu terjengkang beberapa langkah ke
belakang.
Pendekar Rajawali Sakti melemparkan tombak di
tangannya. Tombak itu meluncur deras, dan tepat meng-

hujam di dada pembokong tadi. Jerit menyayat terdengar


bersamaan dengan ambruknya orang itu Belum lagi
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menarik nafas, mendadak
datang dua serangan dari arah samping kanan dari jarinya
Hanya dengan menggeser selangkah ke belakang, dua
ujung tombak mengenai sasaran kosong Sambil menarik
badan ke belakang, Pendekar Rajawali Sakti menangkap
dua tombak itu, lalu mengangkatnya ke atas. Dua tubuh
melayang deras dan... Trak! Kepala dua orang itu beradu
keras.
Tanpa mengeluarkan suara lagi, dua orang berpakaian
serba hitam itu ambruk dengan kepala pecah. Rangga
menoleh pada orang yang kini tidak bersenjata. Orang yang
pertama menyerangnya ketika di atas pohon. Tampak
orang itu mundur dengan bola mata jelalatan ke kanan dan
ke kiri.
Rangga membuang tombak yang ada di tangan
kanannya. Kemudian dia menghunus satu tombak lainnya
dengan tangan kiri. Kakinya bergerak perlahan mendekati
satu orang itu.
"Huh! Ayo kita bertarung tanpa senjata!" dengus
Rangga. Tangan kirinya membuang tombak ke samping.
Rangga berdin tegak dengan sikap menantang. Orang
yang seluruh tubuhnya terbalut kain hitam, berhenti
mundur. Dia seperti menyadari kalau dia sendiri yang
masih hidup. Lalu dengan satu teriakan melengking, tubuhnya mencelat menerjang Pendekar Rajawali Sakti
Hanya sedikit saja Rangga memiringkan tubuhnya,
maka serangan itu lewat di depannya. Secepat kilat tangan
Rangga menjulur, dan menotok pundak orang itu. Namun
tidak diduga sama sekali, totokannya dapat dihindari
dengan manis. Orang itu menjatuhkan tubuhnya sambil
mengayunkan kakinya.
Dengan cepat Rangga menurunkan tangannya. Dan
kaki lawanpun membentur tangan Rangga yang teraliri
kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. Rangga menduga kaki itu akan patah namun kenyataannya.... Orang itu

malah memutar tubuhnya setengah miring, lalu kakinya


kembali terayun mengarah ke iga.
"Hebat," gumam Rangga memuji tenaga dalam lawan
yang mampu mengim ngj tenaga dalamnya.
Cepat-cepat Rangga mengegoskan tubuhnya, dan kaki
itu lewat beberapa helai rambut di samping iganya. Rangga
kembali mengulurkan tangan kanannya ke arah pundak
lawan. Dia sengaja mengincar bagian tubuh dengan
totokan saja. Dia ingin orang ini hidup tanpa terluka.
Gerakan Rangga yang cepat, kali ini sulit dihindari.
Dengan rasa terpaksa, orang itu menangkis tangan
Rangga. Namun cepat pula Rangga memutar tangannya.
Dan....
"Ah!" orang itu mendesah kaget
Mendadak tangan kirinya lemas lunglai. Belum lagi
hilang rasa terkejutnya. Jari tangan Rangga sudah kembali
bergerak cepat Kini bagian bahu dan dada orang itu kena
totokan yang membuat seluruh tubuhnya lemas. Tanpa
dapat dihindari lagi, tubuh yang mengenakan pakaian
serba hitam itu jatuh lunglai.
"Hup...!" Rangga cepat-cepat menyangga tubuh yang
lemas tak bertenaga itu.
Tanpa membuang uang waktu lagi, Pendekar Rajawali
Sakti langsung memanggulnya. Sebentar diedarkan
pandangan berkeliling, lalu mengempos tubuhnya. Sekejap
mata saja tubuh Rangga sudah mencelat ke angkasa.
Dengan kaki menjejak pada ujung ujung dahan pohon,
Pendekar Rajawali Sakti bagai terbang meninggalkan
tempat itu.
***
Rangga melemparkan kayu ke atas api unggun. Cahaya
api jadi bertambah terang dan menghangatkan sekitar goa.
Dua kali Rangga menambahkan kayu, kemudian dihampirinya tubuh ramping terbalut kain hitam yang menggeletak di
atas daun-daun kering Rangga merenggut topeng dari kain

hitam yang menutupi seluruh kepala orang Itu.


Tampak seraut wajah cantik dengan bola mata bulat
indah terbias oleh cahaya api. Rambutnya tergulung ke
atas cukup rapi. Bibimya bergerak-gerak seolah hendak
mengatakan sesuatu, namun tidak ada sedikit pun suara
yang ke luar. Hanya bola matanya saja yang liar membelalak lebar menatap tajam wajah Pendekar Rajawali
Sakti.
"Melati..." desis Sawung Bulu yang berada di belakang
Rangga.
"Kau kenal dia?" tanya Rangga seraya menoleh.
Sawung Bulu menggeser, matanya merayapi wajah
cantik yang tergolek lemah.
"Tidak salah, dia Melati. Aku masih ingat betul!" seru
Sawung Bulu mengenali wajah wanita itu.
Sawung Bulu menjulurkan tangannya dan membalikkan
kepala wanita itu. Disibakkan rambut yang menjuntai di
samping kepala wanita itu. Tampak pada belakang
telinganya, terdapat bulatan hitam sebesar kuku jari.
Sawung Bulu kembali membalikkan kepala itu, matanya
merayapi wajah yang putih kemerahan.
"Dia..., dia Melati!" seru Sawung Bulu pasti.
Rangga menatap Sawung Bulu dan wanita itu bergantian.
"Dia anak Kepala Desa Karang Sewu. Letaknya di
sebelah Barat Desa Pasir Batang Tiga tahun lalu Melati
dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa Angkara,"
Sawung Bulu menjelaskan.
Rangga menggerakkan jari-jarinya menotok dua kali
pada bagian leher wanita yang dikenal Sawung Bulu bernama Melati. Sebentar wanita itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Lalu bola matanya menatap tajam pada Rangga
dan Sawung Bulu bergantian.
"Bebaskan aku. Kita bertarung sampai mati!" dengus
wanita itu dingin.
Rangga meraba dada wanita itu.
"Setan! Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak wanita itu

geram. Dia berusaha menggeliatkan tubuhnya, tapi


pengaruh totokan Pendekar RajawaB Sakti sangat kuat
"Dalam tubuhnya mengalir sejenis racun yang bisa
mempengaruhi jiwanya," Rangga bergumam.
"Apakah bisa disembuhkan?" tanya Sawung Bulu.
"Entahlah. Aku harus tahu dulu racun jerus apa yang
bersarang di tubuhnya. Yang jelas dia sekarang tidak tahu
lagi siapa dirinya," sahut Rangga.
Rangga kembali menggerakkan jari-jari tangan untuk
menotok leher wanita itu. Seketika wanita itu diam lemas.
Sambil mendesah panjang, Pendekar Rajawali Sakti menghenyakkan tubuhnya bersandar ke dinding goa. Sementara
Sawung Bulu duduk di samping wanita itu.
"Apakah racun itu mematikan, Rangga?" tanya Sawung
Bulu.
"Tidak," sahut Rangga. "Racun itu hanya mempengaruhi
jiwa dan pikiran. Hmm... apakah dia punya ilmu sflat?"
Sawung Bulu menggeleng
"Setahuku, Melati tidak pernah belajar ilmu silat."
"Aneh, kepandaiannya cukup tinggi. Mustahil dalam
waktu tiga tahun saja, bisa memiliki kepandaian silat yang
cukup tinggi." gumam Rangga.
"Aku rasa karena pengaruh racun itu," Sawung Bulu
menduga-duga
"Mungkin," desah Rangga.
Sawung Bulu terdiam sejenak dicoba untuk merekareka hal yang tengah dialaminya kini. Memang sulit dipercaya kalau korban-korban persembahan untuk Raja
Dewa Angkara dijadikan semacam laskar wanita. Dalam
waktu singkat saja, wanita-wanita yang selama hidupnya
buta terhadap ilmu olah kanuragan, tiba-tiba menjadi orang
yang tangguh.
Sedangkan di benak Pendekar Rajawali Sakti tengah
berpikir tentang jenis ramuan yang digunakan oleh Raja
Dewa Angkara itu Banyak diketahuinya tentang jenis-jenis
racun dan ilmu ilmu pengobatan. Tapi untuk racun jenis ini.
rasanya belum pernah dipelajarinya. Atau mungkin ia lupa?

Rangga terus mencoba membuka ingatannya tentang


segala jenis racun dan ramuan ramuan yang didapatnya
dari buku-buku warisan Pendekar Rajawali Sakti (Baca:
Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah
Tengkorak)
Rangga menggeser duduknya mendekati wanita yang
masih tergolek lemas itu. Sawung Bulu menggeser duduknya memberi tempat Kembali jari-jari tangan Pendekar
Rajawali Sakti itu bergerak membebaskan totokan pada
leher wanita itu.
"Nyawamu ada di tanganku. Aku bisa membunuhmu
semudah aku membalikkan tangan," suara Rangga dibuat
dingin
"Huh! Kau kira aku takut mendengar ancaman mu?"
wanita yang dikenal Sawung Bulu bernama Melati ini tersenyum mengejek
'Terserah kau ingin bilang apa. Yang jelas kau sendiri
tidak kenal lagi siapa dirimu yang sebenamya," suara
Rangga terdengar tenang "Siapa namanya tadi?" lanjut
Rangga diarahkan pada Sawung Bulu
"Melati," sahut Sawung Bulu.
"Dengar, Melati. Jiwamu sedang dipengaruhi oleh
kekuatan iblis! Aku ingin membebaskanmu dari pengaruh
itu. Berbuatlah wajar dan b'dak melakukan hal hal yang
dapat merugikan dirimu sendiri. Pengaruh ibhs itu tak akan
lenyap tanpa kau sendiri yang bersedia melepaskannya."
Melati hanya mencibir penuh ejekan
"Bantu aku, Sawung," kata Rangga.
Rangga mengangkat tubuh Melati dibantu Sawung
Bulu. Mereka mendudukkannya dekat api. Tanpa banyak
bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti membuka pakaian
atas Melati.
"Kurang ajar! Kubunuh kau!" sentak Melati geram.
Seketika wajah Melati merah padam menahan malu
dan geram. Sawung Bulu sampai tak berkedip memandang
bagian dada Melati yang membulat indah dan terbuka
lebar. Sangat jelas teriihat karena dia berada tepat di

depannya. Tangannya yang memegangi pundak Melati, jadi


berkeringat gemetaran. Beberapa kali Sawung Bulu
menelan hidah membasahi teng gorokan yang mendadak
kering.
Rangga tidak mempeduhkan makian Melati. Terus
dibukanya bagian belakang tubuh wanita itu, kemudian
duduk bersila. Kedua tangannya terbuka dan diletakkan di
punggung yang putih mulus. Sedikit Rangga bergetar begitu
merasakan halusnya kulit punggung Melati. Secepatnya
Pendekar Rajawali Sakti itu menekan perasaannya yang
mendadak bergejolak
Kelopak mata Rangga terpejam. Dikerahkan hawa
murni dalam tubuhnya, dan disalurkannya ke telapak
tangan yang menempel erat di punggung Melab
"Lepaskan tanganmu, Sawung," kata Rangga sambil
membuka matanya.
Sawung Bulu melepaskan tangannya dari pundak
Melati. Dia benngsut ke samping agak menjauh. Namun
matanya tidak mau lepas menatap bukit indah yang
terbuka.
Ketika hawa mumi yang tersalur dalam telapak tangan
Rangga menyentuh kulit punggung Melati, tiba-tiba wanita
itu mengejang kaku. Semakin lama tubuh Rangga semakin
kuat bergetar. Asap putih mengepul tipis dari punggung
Melati. Dan saat Rangga mendengus keras, Melati
berdahak
"Hoek!"
Dari mututnya ke luar cairan kuning kehijauan yang
kental. Dua kali Melati berdahak, dua kali pula cairan itu
meluncur dari mulutnya. Rangga masih menyalurkan hawa
murni ke tubuh wanita itu. Kini keringat telah menganak
sungai di wajah dan di tubuh Rangga.
"Aaa...!" tiba-tiba Melati menjerit keras.
Rangga menarik tangannya bersamaan dengan terkulainya wanita itu ke pelukan Rangga. Sebentar Pendekar
Rajawali Sakti menarik napas panjang lalu ditutupinya lagi
tubuh yang polos terbuka. Tangannya agak bergetar ketika

memakaikan baju Melati kembali.


Masih sedikit gemetar, jari-jari tangan Rangga menyeka
darah yang merembes ke luar dari sudut bibir Melati. Dia
menggeser tubuhnya, dan dibiarkan wanita itu tergolek di
tangan lembab dalam goa. Melati tergolek dengan dada
bergerak teratur. Baju hitamnya sudah kembali rapih
seperti semula membungkus tubuh yang ramping indah.
"Bagaimana?" tanya Sawung Bulu sambil mendekat.
"Masih perlu waktu. Pengaruh iblis terlalu kuat tertanam pada aliran darahnya," jawab Rangga sambil memindahkan tubuh Melati kembali ke atas tumpukan daundaun kering.
Rangga menghenyakkan tubuhnya kembali dan bersandar di dinding goa. Matanya tetap memandang pada
wanita yang kini tergolek bagai tidur pulas. Kepala Rangga
menggeleng-geleng dengan kening agak ber kerut
"Berbahaya sekali...," gumam Rangga pelan. "Apanya
yang berbahaya?" tanya Sawung Bulu sambil mendekat.
Dia duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak bisa membantunya dengan menyalurkan
hawa murni," sahut Rangga pelan
"Lalu...?"
"Satu-satunya jalan hanya Raja Dewa Angkara yang
bisa memulihkan."
"Maksudmu, obat pemunahnya hanya pada Raja Dewa
Angkara?"
"Ya, hanya dia yang tahu jenisnya. Hanya dia pula yang
bisa menyembuhkannya. Aku tidak tahu, apakah berbentuk
pil atau cairan. Atau mungkin dan kekuatan bathin."
Sawung Bulu mendesah panjang. Dia sudah bisa
paham maksud kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi.
Satu-satunya cara adalah melenyapkan Raja Dewa
Angkara. Susahnya, iblis itu mempengaruhi wanita-wanita
yang diserahkan untuk korban persembahan melalui
kekuatan gaib dan kebathinan. Jika hanya ramuan saja,
masih bisa dicari jenis ramuan pemunahnya.
Sedangkan, sepertinya Pendekar Rajawali Sakti sendiri

sudah mengetahul penyebab gangguan jiwa pada wanita


ini. Hanya saja dia tidak ingin menyebutkannya. Sawung
Bulu bisa menangkap rahasia yang tersembunyi dari
cahaya mata Pendekar Rajawali Sakti.
***

5
Rangga terbangun ketika mendengar suara langkah kaki
mendekati mulut goa. Bergegas dia melompat mendekati
mulut goa. Tangannya menyingkapkan sedikit semak
belukar yang menutupi mulut goa kecil ini.
"Sawung Bulu. Huh, kukira siapa?" dengus Rangga.
Sawung Bulu menyibakkan semak lalu melangkah
masuk Dia kaget juga melihat Rangga berdiri di balik
dinding mulut goa. Dilemparkannya dua ekor kelinci ke
dekat api unggun yang masih menyala kecil.
"Pagi-pagi sudah dapat kelinci," kata Rangga agak bergumam.
"Aku rasa cukup untuk makan kita bertiga," sahut
Sawung Bulu terus melangkah.
Rangga menoleh pada Melati yang tampaknya sudah
bangun. Wanita itu masih tetap tergolek, hanya bagian
leher ke atas saja yang bisa digerakkan. Pengaruh totokan
Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat, sehingga tidak bisa
lepas kalau tidak ditolong orang lain.
Di dekat api unggun, Sawung Bulu kini sibuk menguliti
kelinci-kelinci buruannya, dan memanggangnya di atas api
Bau harum daging kelinci panggang mulai tercium,
membuat perut minta segera diisi. Rangga melangkah
mendekati Melati, lalu duduk di samping wanita itu.
"Aku yakin perutmu pasti lapar," kata Rangga.
"Huh!" Melati hanya mendengus mencibir.
Rangga hanya tersenyum, laki bangkit mendekati
Sawung Bulu. Bau harum daging kelinci panggang membuat perutnya jadi tidak sabaran. Rangga mencomot
daging yang sudah matang. Sawung Bulu membawanya
kepada Melati.
"Dari semalam perutmu belum diisi. Nih...," Sawung
Bulu menyodorkan sepotong daging yang sudah matang.
Tetapi Melati hanya mendelik saja. Mana mungkin bisa

makan dalam keadaan tertotok seperti itu? Perutnya


memang lapar sekali, tapi pengaruh iblis yang menguasai
jiwanya lebih memilih lapar daripada menerima kebaikan
Sawung Bulu.
Sawung Bulu menoleh pada Rangga yang tengah
menikmati makan paginya. Sinar matanya menyiratkan
agar Rangga mau membebaskan totokan pada tubuh
Melati.
"Sudahlah, dia tidak akan mati jika hanya dua tiga hari
tidak makan," kata Rangga seperti mengetahui arti tatapan
Sawung Bulu
Sawung Buhl mencuil sedikit daging kelinci, lalu
disuapkannya ke mulut Melati. Tetapi wanita itu malah
membuang mukanya ke samping. Sinar matanya memancarkan kebencian yang amat sangat. Sawung Bulu
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Bahunya
terangkat sedikit Kemudian dimakannya sendiri daging
panggang itu
Sebenarnya Sawung Bulu merasa kasihan melihat
Melati tersiksa seperti itu. Tapi dia tidak berani melepaskan totokan di tubuhnya. Dalam keadaan seperti
sekarang ini, Melati sangat berbahaya bila terlepas dari
pengaruh totokan.
"Kau pasti kenal betul dengan Wratama," kata Rangga
yang tiba-tiba ingat dengan kejadian semalam di kedai
makan sekaligus tempat penginapan itu.
"Wratama...? Tentu saja aku kenal. Ada apa dengannya?" tanya Sawung Bulu.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu kedudukannya di Desa Pasir Batang."
"Wratama orang kepercayaan Ki Brajananta.
Kedudukannya tidak beda dengan wakil kepala desa,"
Sawung Bulu menjelaskan
"Dia juga murid Padepokan Pasir Batang?"
"Bukan. Wratama pernah jadi punggawa kerajaan.
Entah kenapa dia keluar, lalu belajar ilmu kesaktian pada
seorang pertapa di Gunung Kidul. Dia datang ke Desa Pasir

Batang sekitar sebelas tahun lalu."


"Ada keluarganya di sana?"
"Wratama masih keponakan Ki Brajananta. Ayahnya
adik sepupu Ki Brajananta yang dulu juga menjabat Kepala
Desa Pasir Batang."
"Hm, kau tahu nama pertapa itu?" tanya Rangga.
"Kalau tidak salah namanya Eyang Parang Jati. Beliau
sudah mangkat sehari setelah Wratama meninggalkannya.
Khabarnya dia mangkat setelah menurunkan seluruh
llmunya pada Wratama yang jadi pewaris tunggal."
"Kau tahu, sampai di mana tingkat kepandaiannya?"
tanya Rangga lagi. Dia semakin tertarik untuk mengetahui
latar belakang kehidupan Wratama.
"Sayang sekali, aku belum perah melihat Wratama
menggunakan ilmunya. Dia seperti tidak memiliki satu
kepandaian pun."
Rangga tercenung sejenak. Memang kelihatannya
Wratama hanya seperti orang biasa yang awam terhadap
ilmu olah kanuragan atau ilmu-ilmu kesaktian. Sikap dan
pembawaannya tenang, dan tidak banyak bicara. Wratama
ibarat pemuda lemah yang biasa hidup bagai seorang
pangeran manja dikelilingi puluhan pengawaL Penampilannya pun rapih dan perlente.
Memang tidak ada yang bisa menduga kalau Wratama
memiliki ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Setiap orang
pasti menyangka dia seorang pemuda lemah. Rangga
sendiri semula menduga begitu Tapi semuanya pupus
setelah dilihatnya langsung Wratama tengah mengerahkan
ilmu peringan tubuh. Yang menjadi pertanyaaan sekarang,
apa hubungannya Wratama dengan Raja Dewa Angkara?
"Aku akan ke luar sebentar," kata Rangga seraya
bangkit berdiri. "Kau di sini saja, ingat jangan coba-coba
membebaskan dia dari totokanku."
Sawung Bulu hanya mengangguk Dia sudah percaya
penuh pada kemampuan Pendekar Rajawali Sakti ini
Sedikit pun tidak ada lagi keraguan di hatinya.

***
Rangga menyebnap dari balik tembok rumah ke
tembok rumah lainnya. Gerakannya cepat dan ringan tanpa
suara sedikit pun. Sebentar saja sudah terlihat berada di
balik tembok rumah Wratama.
Matanya tajam mengawasi sekelilingnya. Keadaan
sekitar tampak sepi. Sementara matahari sudah tenggelam
di belahan bumi bagian barat. Bulan yang menggantikannya hanya mengintip sedikit di balik awan hitam. Rangga
melenting ke angkasa. Dua kali salto, kemudian meluruk
menuju atap.
"Uts!"
Rangga kembali melenting ke udara ketika ujung kakinya akan menapak atap. Seberkas sinar keperakan
meluncur deras menerjang atap. Saat Rangga masih
berada di udara, kembah sinar keperakan meluncur deras
mengancam dirinya
Lima kilatan sinar keperakan meluncur deras beruntun
Rangga berjumpalitan di udara menghindari sinar-sinar
keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya berkelebat
cepat menangkap satu sinar, lalu dengan cepat meluruk ke
atas atap.
"Ruyung perak..," desis Rangga begitu mengetahui
sebuah ruyung kecil berada di genggamannya.
Ternyata ruyung perak itu adalah senjata rahasia.
Rangga bersalto di udara menghindari sinar-sinar
keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya berkelebat
cepat menangkap salah satu sinar.
"Ruyung perak!" desis Rangga begitu tahu sebuah
ruyung kecil berada di genggamannya dari perak murni.
Rangga mengedarkan penglihatan ke sekelilingnya.
Merayapi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya. Sekilas
dilihatnya sesosok tubuh berpakaian warna gelap berkelebat di antara pepohonan.
Dengan cepat Rangga melompat meluruk ke arah
sosok tubuh yang berkelebat. Begitu cepatnya Pendekar

Rajawali Sakti meluruk, tahu-tahu sudah ada di depan


orang itu.
"Wratama!" sentak Rangga.
Orang berpakaian gelap itu memang benar Wratama.
Dia tampak terkejut ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti
sudah berdiri menghadang. Tiba-tiba tangannya bergerak
cepat, dan dua buah sinar keperakan berkelebat meluncur
ke arah Rangga
Tap! Tap!
Rangga menggerakkan tangannya dengan cepat. Dua
sinar keperakan kembali meluncur berbalik ke arah si
pemiliknya. Wratama melompat menghindari senjatanya
sendiri. Dua ruyung perak itu meluruk melewati ujung
bawah kakinya, dan menancap ke pohon di belakangnya.
Lemparan Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan
tenaga dalam maha dahsyat membuat pohon yang tertancap ruyung terbelah dua Suara gemuruh terdengar dari
pohon yang terbelah bagai terbelah oleh kampak. Pohon
pun tumbang Wratama yang tidak menyangka akan sehebat itu serangan balik Pendekar Rajawab Sakti, hanya
terkesiap saja.
"Hm, rupanya nama besar Pendekar Rajawali Sakti
hanya nama kosong!" sinis suara Wratama penuh nada
ejekan.
"Kau pantas jadi orang panggung, Wratama. Hebat
sekali permainan sandiwaramu," Rangga balas mengejek
"He he he...!" Wratama tertawa terbahak-bahak
"Tertawalah sepuasmu. Malam ini kedok busukmu tak
akan berguna lagi kau pamerkan!" terasa dingin suara
Rangga.
"Hebat..! Ancamanmu sungguh hebat untuk menakutnakuti bocah ingusan. Tidak kusangka gelandangan hina
rendah berani memakai nama pendekar besar. He he he....
Kau pikir dengan memakai nama Pendekar Rajawali Sakti
aku akan gentar? Seribu Pendekar Rajawali Sakti datang
ke sini, aku tidak akan mundur satu langkah pun!"
"Sombong!" dengus Rangga muak

Sret!
Tiba-tiba Wratama mengeluarkan sebatang tombak
kecil dari ballk bajunya. Sebatang tombak berwarna hitam
pekat dengan ujung runcing berwarna merah. Dari ujung
tombak itu memancar sinar bagai api yang slap berkobarkobar membakar apa saja yang terkena.
Rangga menggeser kakinya ke belakang satu langkah.
Dalam Jarak sekitar tiga batang tombak saja sudah terasa
pamor tombak itu. Pamor itu memancarkan hawa panas
menyengat kulit hingga menembus langsung ke tulang.
"Hh, melihat pamor senjataku saja kau sudah ngeri,
pendekar edan!" dengus Wratama mengejek
Rangga hanya tersenyum saja. Segera dikerahkan jurus
pembukaan 'Cakar Rajawali'. Seketika saja jari-jari tangannya mengembang keras dan kaku. Bersamaan dengan itu,
Rangga pun mengerahkan hawa murni yang disalurkan ke
seluruh tubuhnya. Hawa panas dari pamor tombak itu
demikian hebat sehingga Rangga harus mengerahkan
hawa murni untuk mengimbanginya.
"Keluarkan senjatamu, pendekar edan!" sentak
Wratama.
"Hm...," Rangga hanya tersenyum tipis.
"Baik! Jangan katakan aku kejam kalau kau mati tanpa
senjata!"
"Tidak pantas kau bersikap ksatria. Keluarkan seluruh
akal busukmu yang bcik!" dengus Rangga.
"Setan!" geram Wratama.
Dengan cepat Wratama melompat seraya mengeluarkan teriakan keras. Ujung tombak pendeknya berkelebat
cepat sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya merah
saja. Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri ketika
ujung tombak yang berwarna merah menusuk ke arah
dadanya.
Sinar merah membara berkelebat di depan dada
Rangga. Hawa panas terasa menerpa. Rangga mengangkat
tangan kanannya dan menyentil ujung tombak itu. Namun
tanpa diduga sama sekali, Wratama menggunakan tenaga

sentilan Itu untuk memutar tombaknya. Cepat sekali


gerakan tombak itu berputar. Rangga sampai terkelap
matanya, lalu dengan cepat dilentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Ujung tombak yang memancarkan sinar
merah panas itu berkelebat di sekitar tubuh Pendekar
Rajawali Sakti yang berputaran ke belakang. Menyadari
lawannya tidak memberi kesempatan Pendekar Rajawali
Sakti jadi geram. Ujung jari tangannya menotok ujung
tombak yang datang mengarah dada.
Ketika ujung tombak sedikit goyang, secepat kilat
Rangga melentingkan tubuhnya sejauh dua batang
tombak, lalu dengan manis mendarat kembali di tanah.
Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Rupanya Wratama
mengetahui kelemahan jurus Cakar Rajawali, sehingga
tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Rangga untuk
membalas.
"He... he... he...," Wratama terkekeh melihat lawannya
seperti kebingungan.
Dalam beberapa gebrak saja, Wratama sudah dapat
melihat keunggulan dan kelemahan jurus 'Cakar Rajawali'.
Dilihatnya bagian dada Rangga selalu kosong. Maka
dengan cepat dada itu diincamya, sementara dibiarkan
ujung tombaknya dijadikan sasaran jari-jari yang kaku
mengeras bagai baja. Tidak sedikit pun Wratama memberi
kesempatan pada Rangga untuk memainkan jari-jari
tangannya yang sangat berbahaya
"Hanya jurus mainan bocah kau pamerkan padaku,"
ejek Wratama.
"Hmmm...," Rangga bergumam.
Matanya tetap tajam menatap lawannya. Kedua
tangannya direntangkan ke samping. Dia telah siap dengan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Jurus andalan yang
kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Cepat sekali
kedua tangan Rangga bergerak mengibas, bagai sepasang
sayap seekor rajawali. Dan kini kaki Rangga tidak lagi
menapak tanah.
"He... he... he..., permainan sihir yang buruk!" ejek

Wratama.
Belum lagi Wratama selesai berkata, mendadak
Rangga telah menyerangnya dengan cepat. Wratama pun
tidak kalah cepat. Digerak-gerakkan tombaknya ke kanan
dan ke kiri menangkis setiap sabetan tangan Rangga.
Beberapa kali tombak pendeknya membentur tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi sedikit pun tak berpengaruh apa-apa. Bahkan beberapa kali Wratama berhasil membalas serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Pendekar Rajawali Sakti merungkatkan serangannya.
Kali ini tubuhnya bagai terbang mencelat ke segala arah
sambil mengibaskan kedua tangannya mengincar bagianbagian tubuh lawan yang mematikan. Wratama masih
kelihatan tersenyum mengimbangi. Jurus Pendekar
Rajawali Sakti. Tampaknya dia dapat membaca dan
mengetahui ke mana arah serangan yang dilancarkan
Rangga, sehingga serangan-se-rangan itu dapat dlpatahkan
di tengah Jalan
"Edan! Benar benar hebat dia!" dengus Rangga dalam
hati.
Menyadan kalau jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega' tidak bisa diandalkan, Rangga segera mencelat
tinggi ke udara. Secepat kilat dirubahnya jurus menjadi
Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Gerakan Rangga
makin cepat, kaki kakinya lincah bergerak meluruk
mengincar kepala lawan.
Kali ini Wratama kelihatan mulai kerepotan. Beberapa
kali harus jatuh bangun menghindari terjangan kaki
Rangga yang bagaikan geledek mengincar kepala. Desiran
angin tendangan begitu kuat, sehingga Wratama terpaksa
mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi agar
tubuhnya tidak goyah.
Di sekitar tempat pertarungan itu bagai terjadi badai
topan. Beberapa pohon sudah bertumbangan terkena
sepakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan daun-daun
berguguran hanya terkena desiran angin sambaran kaki
pendekar muda itu.

Pendekar Rajawali Sakti bagai bertarung dari segala


arah. Sebentar di bawah, sebentar menyerang dari atas.
Hal ini membuat Wratama kebingungan menghadapi
serangan itu. Sampai saat ini Wratama belum mendapatkan celah kosong kelemahan jurus itu.
"Mampus kau...!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Akh!" Wratama terkejut
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke
udara, dan meluruk kembali dengan kaki mengarah ke
bawah. Kedua kakinya bergerak cepat sehingga yang
teriihat hanya bayangannya saja. Wratama sangat terkejut
Cepat-cepat diangkat senjata tombak pendek itu.
Wut! Wut! Wut!
Wratama mengebutkan tombaknya berputar melindungi kepala. Dugaannya, Rangga pasti mengincar
kepala. Tapi temyata meleset. Sulit dilihat dengan mata
biasa, tiba tiba saja Rangga sudah berdiri di depannya, dan
bagai kilat kaki kanannya menghantam.
"Aaakh...!" Wratama menjerit tinggi. Kaki kanan
Pendekar Rajawali Sakti telak men darat di dada Wratama.
Tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'
disertai pengerahan tenaga dalam yang hebat membuat
tubuh Wratama teriontar deras ke belakang. Tubuh itu
terus meluncur menghantam pohon besar hingga hancur
berkeping-keping Tidak berhenti sampai di situ, tubuh
Wratama terus meluncur menumbangkan pohon-pohon
lainnya.
Tubuh Wratama baru berhenti setelah menghantam
sebuah baru besar yang menimbulkan suara gemuruh.
Belum lagi tubuh Wratama menyentuh bumi, tiba-tiba
Rangga meluruk deras, dan....
"Aaa...!" kembali Wratama menjerit melengking. Tangan
Rangga mengibas, bagaikan sebilah pedang, membabat
buntung tangan kiri Wratama. Darah muncrat deras dari
pangkal lengan yang buntung. Rangga segera merampas
tombak dari tangan kanan Wratama, lalu ditekannya dada
Wratama dengan lututnya. Ujung tombak menempel ketat

di leher Wratama.
"Setan! Bunuh aku!" sentak Wratama berang. Dia tidak
lagi peduli dengan rasa nyeri pada pangkal lengannya yang
buntung itu.
Rangga hanya tersenyum tipis. Tetapi dalam hati
Rangga mengakui kehebatan tenaga dalam Wratama.
Seharusnya tubuh tadi akan hancur berkeping-keping
terkena tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa' yang dikeluarkan secara penuh oleh Rangga.
Rangga sendiri menduga demikian. Pada kenyataannya,
Wratama masih hidup.
Wratama mencoba menggeliatkan tubuhnya, tapi hanya
mampu meringis. Dadanya terasa remuk dan nyeri.
Terlebih lutut Rangga semakin kuat menekan dadanya.
Ujung tombak mulai menggores kulit lehernya. Darah mulai
merembes ke luar dari leher Wratama.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Wratama tertawa terbahakbahak
Rangga kaget bercampur heran melihat Wratama tertawa tergelak, padahal keadaan jiwanya terancam maut
"Setan!" dengus Rangga begitu melihat bagian leher
yang tergores membiru.
Cepat-cepat Rangga membuang tombak pendek hitam
yang ujungnya berwarna merah menyala. Dengan cepat
ditotoknya beberapa bagian di sekitar leher Wratama yang
sudah membiru. Warna biru itu seketika berhenti menjalar.
"Percuma saja. Sebentar lagi aku akan mati! Totokanmu tidak akan berpengaruh apa apa pada racun tombakku." kata Wratama seraya terkekeh
"Kau memang akan mati, bangsat! Tapi kau harus
diadili seluruh penduduk Desa Pasir Batang dulu!" dengus
Rangga.
"He he he..., aku akan mati, tapi kau akan menerima
akibatnya dari Raja Dewa Angkara!"
"Huh! Rupanya kau hanya anjing iblis itu!" rungut
Rangga.
"Sebentar lagi Desa Pasir Batang akan hancur! Tidak

ada seorang pun yang bisa menghalangi Raja Dewa


Angkara!"
Rangga kian geram. Warna biru dari racun tombak
hitam itu terus menjalar ke seluruh tubuh Wratama.
Rangga segera berdiri dan membiarkan Wratama
mengoceh di akhir hidupnya
"Dengar, pendekar bodoh! Kehadiranmu di desa ini
hanya sia sia saja. Raja Dewa Angkara tak dapat dihalangi.
Mati pun aku akan tersenyum. Sudah lama aku menginginkan kehancuran desa ini! Aku puas dapat membalas sakit
hati ayahku. Aku puas..., ha ha ha...!" Wratama terus mengoceh seperti orang gila.
"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga.
"Dia raja dari segala raja dewa-dewa di Kahyangan. Dia
yang menguasai seluruh manusia di bumi ini!" makin tidak
karuan ocehan Wratama.
Rangga akan bertanya lagi, tetapi Wratama telah
kejang-kejang Seluruh tubuhnya sudah berwarna biru.
Setelah memuntahkan darah kental kehitaman, Wratama
diam tak bergerak Mati Rangga mendesah berat
Ocehan-ocehan Wratama yang kelihatannya ngawur,
membuat Pendekar Rajawali Sakti bertanya-tanya. Sepuluh
tahun Raja Dewa Angkara merajalela mencengkeram desadesa di sekitar lereng Gunung Balakambang. Tentu ada
maksud tertentu selain menyebarkan pengaruh iblis
dengan menghancurkan desa-desa satu persatu
Maksud yang tersehibung dari segala tindakan iblis
Raja Dewa Angkara yang diwujudkan lewat teror! Rangga
bergumam beberapa kali. Dicemanya kembali semua kata
kata Wratama tadi. Kata-kata yang kedengarannya tidak
beraturan tapi mengandung arti yang dalam meski masih
diliputi tanda tanya besar. Kesimpulan Rangga, kejadian
yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun ini berlatar
belakang dendam masa lalu.
"Hm..., Sawung Bulu pemah cerita kalau Wratama itu
anak bekas kepala desa. Dan dia juga perah jadi punggawa
kerajaan. Sedangkan tadi dalam ocehannya, Wratama

sempat berkata kalau dia puas telah bisa membalas sakit


hati ayahnya. Ada apa di balik semua ini?" Rangga bertanya
tanya dalam hati.
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak, lalu
secepat kilat melompat meninggalkan tempat itu. Dalam
sekejap saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat
lagi ditelan kegelapan malam.
***

6
Brak! Keras sekali Rawusangkan menggebrak meja yang
terbuat dari kayu jati tebal itu sehingga retak bagian
tengahnya. Bagaspati dan Paralaya terdongak kaget. Berita
kematian Wratama yang dibawa Bagaspati membuat
merah padam muka Rawusangkan. Dua bola matanya
menyala nyala membelalak ke luar seperti akan copot
Dua orang gadis cantik yang sejak tadi duduk di
sampingnya, segera minggat. Rawusangkan tajam menatap Bagaspati dan Paralaya. Kedua orang itu hanya tertunduk dengan gemetar memendam rasa takut Mereka
bisa memakluml kalau Rawusangkan begitu marah mendengar Wratama tewas, sebab dia adalah adik satusatunya.
"Bagaimana kejadiannya sampai adikku tewas?" tanya
Rawusangkan.
"Rara Inten yang tahu, Kakang," kata Bagaspati.
Rawusangkan segera menatap seorang wanita cantik
yang duduk di samping Paralaya. Wanita yang dilihat
Rangga berada dalam kamar penginapan bersama
Wratama itu malah tenang tenang saja. Bibirnya tersenyum
merekah.
"Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya," kata
Rara Inten dengan suara halus lembut
"Katakan, apa yang kau ketahui?" desak Rawu
sangkan. Dia terkejut juga manakala Rara lnten menyebutkan orang yang membunuh adiknya.
"Aku hanya melihat Kakang Wratama sudah tewas,
sementara Pendekar Rajawali Sakti berdiri di dekatnya.
Hanya itu saja yang aku tahu," jawab Rara lnten.
Rawusangkan berdiri berjalan mondar-mandir. Tampak
sekali kalau sedang gelisah karena Wratama bisa tewas di
tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bukan itu saja. Rahasia
Raja Dewa Angkara bakal terbongkar! Malah tidak mustahil

akan gagal rencana yang dibangunnya selama sepuluh


tahun ini.
Rawusangkan berhenti melangkah di depan jendela
yang terbuka lebar. Angin malam langsung menerpa
tubuhnya. Matanya tajam memandang lurus ke arah lereng
Gunung Balakambang. Sepuluh tahun Rawusangkan meniupkan Raja Dewa Angkara sebagai suatu momok yang
menakutkan bagj semua penduduk desa-desa di sekitar
lereng Gunung Balakambang.
"Malam ini juga kalian harus ke Desa Pasir Batang.
Hancurkan desa itu! Bunuh siapa saja yang berani
melawan!" tegas suara Rawusangkan yang memerintah
tanpa membalikkan badannya.
"Tapi, Kakang. Bukankah bulan purnama masih dua
hari lagi? Tidak mungkin Desa Pashr Batang dihancurkan
sebelum waktunya," Bagaspati mengingatkan.
Rawusangkan berbalfk, matanya .yang merah menyala
memandang Bagaspati. Rahangnya terkatup rapat dengan
gigi bergemeletuk menahan geram.
"Ini perintahku! Perintah Raja Dewa Angkara pantang
ditentang!" keras suara Rawusangkan.
Bagaspati bungkam, tidak berani membantah lagl
Membantah perintah Rawusangkan alias Raja Dewa
Angkara berarti maut Bagj Rawusangkan, mencabut nyawa
tidak sesulit membalikkan telapak tangan. Begitu mudah,
tanpa menghiraukan nyawa siapa yang akan dicabutnya.
"Tunggu apa lagi? Laksanakan perintahku, cepat!"
bentak Rawusangkan.
Bagaspati menoleh pada Paralaya, lalu dua orang itu
beranjak pergi. Rawusangkan memandang Rara lnten yang
masih duduk di tempatnya. Dihampirinya wanita cantik
yang masih menggairahkan ini.
"Kau pun harus segera berangkat, Rara lnten," kata
Rawusangkan.
Rara lnten hanya tersenyum, lalu berdiri tapi tidak berlalu dari situ. Bibirnya bak delima merekah, terus
menyunggingkan senyum penuh menggoda. Rara lnten

memutari meja, dihampirinya Rawusangkan. Dengan


kemanjaan dan daya pikarnya, digelayutkan tangannya di
leher Rawusangkan. Bola matanya berputar-putar merayapi
wajah tampak yang berada dekat dengan wajahnya. Sangat
dekatnya, sehingga desah irama nafasnya menerpa hangat
pada kulit wajah Rawusangkan.
Rawusangkan melepaskan pelukan Rara lnten pada
lehernya lalu mundur dua tindak. Pandangan matanya
tidak lagi setajam tadi. Kecantikan dan daya pikat Rara
lnten membuat dingin hatinya. Kemarahannya berangsurangsur surut
Desahan keras terdengar ketika Rara lnten mulai melepas pakaiannya satu persatu. Mendadak Rawusangkan
merasakan dadanya sesak. Tubuh indah yang kini polos
tanpa selembar benang yang melekat membuat dadanya
bergemuruh. Rara lnten melenggang gemulai menuju ke
kamar yang pintunya terbuka sedikit Tangannya mendorong pintu dan terus melangkah masuk. Dibiarkannya
pintu terbuka lebar Dengan gerakan lembut, dibaringkan
tubuhnya yang polos di pembaringan. Kepalanya menoleh,
memandang Rawusangkan yang masih berdiri memandangnya.
"Marilah, Kakang. Kita nimati malam ini berdua.
Biarkan mereka bergelimang darah dan amarah," lembut
suara Rara lnten terdengar.
Rawusangkan melangkah menuju kamar. Tangannya
segera menutup pintu setelah kakinya melewati ambang
pintu. Sebentar saja di dalam kamar hanya terdengar
desah nafas disertai rintihan mengerang lirih dan mendirikan bulu roma.
***
Desa Paste Batang malam itu tampak tenang Lam pu
pefita kelap kelip di rumah rumah penduduk yang
lenggang. Namun ketenangan itu tidak dapat dinikmati
oleh Ki Gandara yang duduk termenung di tangga pendopo

Padepokan Pasir Batang. Pikirannya masih terpusat pada


Wratama yang tewas mengerikan di halaman belakang
rumahnya.
Sementara Sangkala yang berdiri di depannya agak ke
samping, tidak habis mengerti dengan sikap Wratama yang
bersekutu dengan Raja Dewa Angkara. Sedankan Rangga
berdiri bersandar pada tiang pendopo, memperhatikan dua
orang yang sedang digeluti pikiran masing masing.
Menurut cerita Ki Gandara, ayah Wratama mati terbunuh saat masih menjabat kepala desa. Kematiannya
membuat Wratama seperti kehilangan tongkat pegangan
dan kendali hidup. Sejak itulah dia menghilang beberapa
tahun lamanya. Kabar terakhir didapat, Wratama telah jadi
punggawa kerajaan. Tapi itu tidak lama, karena Wratama
kalah dalam adu ilmu dengan seorang pertapa tua dari
Gunung Kidul. Sejak itu Wratama berguru pada pertapa tua
itu. Semua yang diceritakan Ki Gandara sama persis
dengan cerita Sawung Bulu.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, siapa yang membunuh ayah Wratama? Sampai sekarang tidak ada yang
tahu. Hingga Wratama muncul di desa ini sebelas tahun
yang lalu, keterangan tentang pembunuh orang tuanya
masih gelap. Setahun setelah Wratama kembah ke Desa
Pasir Batang, terjadi kegemparan dengan munculnya nama
Raja Dewa Angkara.
"Aku tidak menduga sama sekali kalau kejadian Ini
buntut dari peristiwa dua puluh tahun lalu," gumam Ki
Gandara pelan.
Peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu itu
rupanya terpendam dalam benak Wratama menjadi
dendam. Pada waktu itu usianya sekitar lima belas tahun
"Apakah Wratama mengira pembunuh ayahnya ada di
desa ini, Kl?" tanya Sangkala'.
"Entahlah," desah Ki Gandara. "Sejak kematian
Ardareja, Brajananta menggantikan kedudukannya sampai
sekarang. Dua sepupu itu memang selalu berselisih. Jalan
hidup mereka berlawanan sekali. Ardareja menggunakan

kekuasaan dan kekayaan untuk memuaskan nafsunya."


Rangga kian tertarik mendengarnya. Dia mendekat dan
duduk di samping Ki Gandara. Otaknya langsung bekerja
mencerna dan merangkai setiap cerita yang pernah terjadi
di Desa Pasir Batang.
"Ardareja selalu memaksakan kehendaknya bila menginginkan seorang gadis yang menarik hatinya. Bukan saja
gadis-gadis Desa Pasir Batang yang jadi korban nafsu
setannya. Gadis-gadis desa Iain pun tidak lepas dari
perhatiannya. Meskipun sudah mempunyai tiga istri,
Ardareja masih saja mencari gadis-gadis cantik. Belum lagi
tindakannya yang selalu menyengsarakan rakyat"
"Selain Wratama, siapa lagi anaknya?" tanya Rangga.
"Sebenamya Wratama punya kakak laki-laki. Tetapi
sejak lahir anak itu diambil oleh seorang pengembara yang
adiknya jadi korban nafsu Ardareja."
"Siapa pengembara itu?" tanya Rangga lagi.
"Pengembara itu dikenal dengan nama Raja Obat,"
sahut Ki Gandara. "Dia seorang tokoh sesat Tapi sejak dia
menculik bayi pertama Ardareja, namanya tidak pernah
terdengar lagi."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini jelas
sudah kalau peristiwa yang terjadi sepuluh tahun ini,
didasari oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya. Kejadian
berantai yang tak berkesudahan. Kejadian yang dilumuri
dendam buta tanpa sasaran yang pasti.
Tiba-tiba Rangga teringat dengan Rawusangkan,
Bagaspati, dan Paralaya. Seluruh penduduk Desa Pasir
Batang menganggapnya sebagai sesepuh dan tetua desa.
Tapi kedudukannya belum jelas bagi Rangga.
"Ki Gandara dapat menjelaskan tentang Rawusangkan,
Bagaspati, dan Paralaya?" pinta Rangga.
Ki Gandara tidak segera menyahuti, tapi hanya
menatap Pendekar Rajawali Sakti itu dengan tatapan tak
mengerti.
"Terus terang, aku curiga pada mereka bertiga," kata
Rangga bisa mengerti arti pandangan Ki Gandara.

"Mereka orang-orang terpandang di desa ini, dan desadesa lainnya di sekitar lereng Gunung Balakambang," kata
Sangkala dengan nada seakan tidak senang dengan
kecurigaan Rangga itu.
"Apakah mereka berasal dari desa ini juga?"
Rangga tidak peduli dengan kebdaksukaan Sangkala
pada pertanyaannya tadi.
"Tidak!" lagi-lagi Sangkala yang menyahut
"Aneh, sungguh aneh," Rangga bergumam "Bagaimana
mungkin orang yang tidak diketahui asal usulnya bisa jadi
panutan dan sesepuh desa? Bukankah ini satu hal yang
tidak wajar?"
Ki Gandara dan Sangkala tersentak seperti baru tersadar dari sebuah mimpi buruk yang panjang. Kata-kata
Rangga yang bernada seperti pertanyaan itu membuat dua
orang terpandang di Desa Pasir Batang ini terdiam seribu
bahasa. Kata-kata itu sungguh tepat menyentuh sudut hati
mereka yang paling dalam.
Kecurigaan itu memang beralasan. Tidak seorang pun
penduduk desa ini yang tahu asal-usul tiga orang itu.
Apaiagi mereka datang bertepatan dengan munculnya
Wratama di desa ini Dan setahun kemudian terjadilah
kegemparan di seluruh desa di lereng Gunung Balakambang.
Saat mereka diam tercekam oleh pikiran masing
masing, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan
tenakan dari arah Timur Desa Pasir Batang. Ketiga orang
itu terdongak dan terkejut melihat kilauan api yang membesar seketika. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera
melompat bagai kilat melewati tembok padepokan yang
tinggi. Dalam sekejap saja Pendekar Rajawali Sakti telah
lenyap dari pandangan mata.
"Kumpulkan anak-anak, atur penjagaan!' perintah Ki
Gandara.
"Ki..!"
Suara Sangkala terputus karena Ki Gandara telah lebih
cepat melompati tembok yang mengelilingi padepokan.

Sangkala kebingungan. Bergegas dia berteriak memanggil


semua murid padepokan Pasir Batang. Segera murid-murid
padepokan diperintahkan berjaga-jaga di sekitar
padepokan, dan sebagian mengikutinya menuju luar desa.
Sementara itu di bagian Timur Desa Pasir Batang
terlihat kobaran api yang makin lama makin besar. Suara
suara gaduh dan jerit-jerit kematian makin ramai terdengar. Malam yang semula tenang, berubah seketika
menjadi hiruk-pikuk yang memilukan
***
Segerombolan orang berpakaian serba hitam mengamuk membantai siapa saja yang teriihat. Mereka tidak
memandang baik laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan
anak-anak pun mereka bunuh. Tanpa betas kasihan sama
sekali. Dalam waktu sekejap saja sudah banyak mayat
bergelimpangan memenuhi jalan Desa Pasir Batang
Beberapa rumah terbakar, bahkan beberapa di antaranya
sudah roboh rata dengan tanah.
"Setan! Biadab!" dengus Rangga yang baru tiba di
tempat kerusuhan itu.
Seketika saja darah Pendekar Rajawali Sakti bergolak
mendidih.
Sret!
Pedang pusaka yang terhunus telah tercabut oleh
Pendekar Rajawali Sakti. Cahaya biru pun membias seolah
ingin mengalahkan sinar api yang mengganas melahap
rumah-rumah penduduk.
Tanpa mempedulikan lagi kalau orang-orang yang melakukan kebiadaban itu di luar kesadarannya sendiri,
Rangga melompat sambil mengibaskan pedang pusaka
Rajawali Sakti. Sinar biru berkelebat cepat diiringi teriakan
yang tinggi. Dua orang berpakaian serba hitam langsung
roboh terkena sambarannya.
"Kepung! Bunuh dia!" tiba-tiba terdengar teriakan keras
memberi perintah.

Baru saja hilang suara perintah itu, enam orang berpakaian serba hitam segera mengepung Pendekar Rajawali
Sakti. Hal ini membuat Rangga kian geram. Sambil
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia
bergerak cepat mengibaskan pedang pusakanya.
"Minggir, kalian tidak sadar! Minggir!" teriak Rangga
keras.
Pedang terus berputar berkeliling menangkis hujaman
tombak hitam yang datang dari segala arah. Tombak
tombak itu segera patah jadi dua terkena sabetan pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat kaki-kakinya
bergerak seraya jari-jari tangan kirinya menotok jalan darah
utama lawan lawannya Dalam satu gebrakan saja, empat
orang yang mengepungnya roboh kena totokan di bagian
tubuhnya.
Sengaja Rangga tidak membunuh. Dia hanya membuat
lawan lawannya lemas tak bertenaga. Gerakan-gerakan
kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dan lincah,
sehingga seakan-akan melayang di atas tanah. Sementara
pedangnya berkelebat, tangan kirinya mengincar jalan
darah lawan.
"Jangan bunuh mereka!" teriak Rangga ketika melihat
beberapa murid Padepokan Pasir Batang berdatangan
hendak membunuh orang-orang yang sudah tak berdaya
terkena totokan.
Mendengar teriakan itu, murld-murid Padepokan Pasir
Batang segera berhenti. Mereka hanya membuat lingkaran
dipimpin oleh Sangkala, melindungi penduduk yang
berlarian mencari selamat.
"Rangga, mengapa kau tidak bunuh mereka?" tanya Ki
Gandara ketika melompat ke dekat Rangga.
"Mereka tidak berdosa, Ki. Nanti aku jelaskan!" jawab
Rangga.
Ki Gandara tidak bisa bertanya lagi karena sebatang
tombak meluncur deras ke arahnya. Dengan cepat dimiringkan tubuhnya menghindari ancaman ujung tombak
itu. Dengan satu tipuan yang manis, tangan kirinya terulur

menotok bagian pundak orang yang menyerangnya.


Seketika lemas dan jatuhlah orang itu. Ki Gandara
mengikuti anjuran Pendekar Rajawali Sakti untuk membuat
lumpuh saja lawan lawan mereka.
Dalam waktu yang tak lama, separuh dari jumlah lawan
telah roboh lemas tak bertenaga. Sisanya yang berjumlah
kira-kira dua puluh orang segera memusatkan perhatian
pada dua orang tangguh ini. Mereka seperti tidak peduh
lagi dengan penduduk yang telah terlindung aman di
belakang murid-murid Padepokan Pasir Batang.
Dalam keadaan yang kacau seperti ini, Pendekar
Rajawali Sakti masih bisa memperhatikan dua orang yang
kelihatannya lebih menonjol daripada yang lain. Meskipun
pakaian mereka sama, tapi dari gerakan-gerakannya dapat
dibedakan. Tetapi Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat
memusatkan perhatian lebih lama lagi karena terhalang
oleh yang lain. Serangan serangan mereka makin menghebat, namun satu dua orang masih bisa dilumpuhkan.
"Mundur...! " tiba-tiba terdengar teriakan keras.
Mendengar komando itu, seketika orang-orang berpakaian serba hitam berlompatan. Gerakan mereka cepat
dan ringan, sebentar saja mereka telah hilang di kegelapan
malam. Rangga memasukkan pedangnya kembali ke
sarungnya di punggung. Nyala api yang melahap rumahrumah penduduk masih membuat keadaan terang
Tiba-tiba Ki Brajananta datang tergopoh-gopoh menghampiri. Napasnya masih memburu terengah-engah meskipun sudah berdiri di depan Pendekar Raja wah Sakti.
"Dewi Purmita..., putriku...," terputus-putus Ki Brajananta berkata.
'Tenang, Ki. Apa yang terjadi dengan putrimu?" tanya
Rangga.
"Putriku..., putriku diculik!" sahut Ki Brajananta masih
tersengal.
"Setan!" Sangkala mengeram. Giginya bergemelutuk
menahan marah
"Ki Gandara, tolong jaga mereka. Jangan ada yang

dilepaskan totokannya," kata Rangga.


"Kau akan ke mana?" tanya Ki Gandara.
"Aku harus segera ke sana! Mereka terlalu berbahaya
jika dibiarkan hidup!" sahut Rangga.
"Sangkala, kau ikut temani," perintah Ki Gandara.
'Tidak usah, Ki. Sebaiknya Sangkala menjemput
Sawung Bulu di goa baru dekat sungai. Ada seorang lagi
dari mereka! Kalian semua pasti mengenalinya."
Ki Gandara akan berkata, tiba-tiba Pendekar Rajawali
Sakti telah lenyap. Ki Gandara bergumam memuji
kesempurnaan ilmu meringankan tubuh pendekar muda
itu.
"Bagaimana, Ki?" tanya Sangkala.
"Sebaiknya kau segera menemui Sawung Bulu. Bawa
empat orang untuk menemanimu. Jika telah bertemu, kau
bersama Sawung Bulu ikuti pendekar itu. Biarkan empat
orang murid kita membawa orang di katakan pendekar itu,"
kata Ki Gandara.
"Baik, Ki!" sahut Sangkala.
Bersama empat orang yang ditunjuk Sangkala, mereka
segera bergerak ke arah yang ditunjuk Rangga. Sementara
itu Ki Gandara memerintahkan murid muridnya untuk
membawa tawanan mereka yang kini tak berdaya.
Sedangkan Ki Brajananta memerintahkan penduduk yang
masih hidup untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Adik Brajananta, kita tidak bisa tinggal diam di sini,"
kata Ki Gandara.
"Maksud Kakang?" tanya Ki Brajananta.
"Kita harus ke Gunung Balakambang."
"Untuk apa? Bukankah pendekar itu ingin menyelesaikannya sendni?"
"Apa kau tidak ingin mengetahui siapa Raja Dewa
Angkara sebenarnya? Apakah kau tidak khawatir dengan
keselamatan putrimu?" Ki Gandara jadi gusar juga.
Ki Brajananta tersentak, lalu cepat-cepat melangkah. Ki
Gandara tersenyum dengan gelengan kepala beberapa

kali. Dia menggerundel dalam hati melihat kelakuan Ki


Brajananta yang tidak berubah sejak muda dulu. Selalu
harus dipecut dulu sebelum bertindak. Tidak heran kalau
selaku kepala desa dia tidak bisa bertindak tegas, mudah
dipengaruhi orang lain.
Kelemahan inilah yang membuat Raja Dewa Angkara
mudah menguasai Desa Pasir Batang.
***

7
"Sawung Bulu, di mana kau...!"
Teriakan yang keras dan menggema itu membuat
Sawung Bulu tersentak kaget. Bergegas dia bangun dari
tidurannya Teriakan itu terdengar sangat dekat dan
berulang-ulang. Dia kenal dengan suara itu.
"Paman Sangkala...," desis Sawung Bulu. "Bagaimana
mungkin dia tahu aku ada di sini?"
Sawung Bulu sedikit ragu-ragu untuk ke luar goa.
Matanya sempat melirik Melati yang masih tergolek lemas
di atas hamparan dedaunan. Rupanya Melati juga mendengar suara itu, namun karena pengaruh totokan pada
tubuhnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sawung Bulu...!"
Terdengar lagi suara panggilan yang keras. Pelan-pelan
Sawung Bulu mendekati mulut goa. Tangannya menyibakkan sedikit semak-semak rimbun yang menutupi mulut
goa. Jelas terlihat Sangkala bersama empat orang lainnya
berdiri di depan mulut goa dengan mata beredar mencaricarl
"Paman.... Paman Sangkala" panggil Sawung Bulu
sambil menguakkan semak-semak.
Sangkala langsung menoleh dan berlari ketika melihat
Sawung Bulu muncul dari rimbunan semak. Sesaat mereka
saling bertatapan, lalu berpelukan hangat.
"Aku tak mengira kau masih hidup, Sawung Bulu," kata
Sangkala penuh rasa haru.
"Pendekar Rajawali Sakti telah menyelamatkan hidupku, Paman," sahut Sawung Bulu sambil melepaskan
pelukannya.
Kembali mereka saling tatap, penuh rasa haru.
"Bagaimana Paman bisa tahu aku ada di sini?" tanya
Sawung Bulu.
"Pendekar yang menolongmu memberitahuku," sahut

Sangkala.
"Maksud Paman, Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung
Buhl belum yakin.
"Benar."
"Lalu, di mana dia sekarang?"
"Ke puncak Gunung Balakambang."
"Celaka!" Sawung Bulu terkejut Wajahnya seketika
menyiratkan kecemasan. "Ayo, Paman. Kita harus bantu
dia!"
"Tunggu dulu, Sawung. Aku juga akan ke sana, tapi aku
harus membawa dulu orang yang bersamamu di sini."
Sawung Bulu menepuk keningnya sendiri. Dia teringat
Melati yang masih tergolek lemas di dalam goa. Cepatcepat Sawung Bulu mengajak pamannya ke dalam goa
batu ini
Betapa terkejutnya Sangkala ketika melihat Melati
terbaring lemas di atas tumpukan daun-daun kering
Pakaian hitam ketat masih membungkus tubuh yang
ramping.
"Melati...," desis Sangkala setengah tidak percaya.
"Benar, Paman. Dia Melati putri Kepala Desa Karang
Sewu," Sawung Bulu membenarkan.
"Bagaimana mungkin? Bukankah sudah dijadikan
korban persembahan tiga tahun yang lalu?" Sangkala
masih belum percaya.
"Tidak salah Paman. Tiga tahun yang lalu Melati
memang dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa
Angkara."
Sawung Bulu menjelaskan semuanya yang didapat dari
Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lupa juga tentang kekuatan
yang mempengaruhi semua korban korban persembahan,
sehingga mereka tidak ingat akan diri masing masing Raja
Dewa Angkara juga menjadikan gadis-gadis itu sebagai
iaskar yang tangguh.
Sangkala mendengarkan dengan penuh perhatian.
Pantas saja Pendekar Rajawali Sakti melarang membunuh
Iaskar Raja Dewa Angkara yang telah mengganas mem-

bantai penduduk desa. Rupanya memang orang-orang itu


tidak berdosa, yang jiwanya dalam pengaruh kekuatan Raja
Dewa Angkara.
"Hm..., siapa Raja Dewa Angkara itu sebenarnya?"
Sangkala seolah bertanya pada dirinya sendiri
"Orang-orang yang selama ini kita hormati, Paman,"
sahut Sawung Bulu
"Maksudmu?" tanya Sangkala tidak mengerti.
"Rawusangkan, Wratama, Bagaspati, dan Paralaya.
Merekalah yang menamakan diri sebagai Raja Dewa
Angkara."
Bagai disambar petar rasanya Sangkala saat ini. Bola
matanya menatap tajam Sawung Bulu. Dia masih belum
percaya dengan pendengarannya sendiri. Apakah Sawung
Buki tidak main-main? Mereka adalah orang-orang yang
sangat dihormati, karena mereka orang kerajaan yang
menguasai seluruh desa di sekitar lereng Gunung
Balakambang.
Lebih-lebih Rawusangkan yang sampai saat ini
sebenarnya masih menjabat patih. Juga Bagaspati dan
Paralaya yang merupakan punggawa pilihan. Sedangkan
Wratama bekas punggawa yang sudah beralih jadi tabib
yang sangat terkenal.. Tetapi untuk Wratama sendiri,
Sangkala tak ambil peduli. Orangnya telah tewas di tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Menurut Pendekar itu pula,
Wratama adalah salah satu dari orang-orang Raja Dewa
Angkara. Hanya yang masih belum dipercaya adalah ketiga
orang itu.
"Aku sendiri hamptr tidak percaya kalau mereka berada
di belakang layar selama ini. Tetapi setelah kubuktikan
dengan mata kepalaku sendiri, baru aku bisa percaya,"
kata Sawung Bulu.
"Bagaimana kau bisa tahu semua ini?" tanya Sangkala
ingin tahu.
"Dengan itu," Sawung Bulu menunjuk seonggok baju
hitam yang tergeletak di pojok gua.
Sangkala menghampiri baju itu, dan mengambilnya.

Baju itu sama persis dengan yang dikenakan Melati, serta


orang-orang Raja Dewa Angkara lainnya.
Sangkala memandang keponakannya untuk minta
penjelasan.
'Tadi pagi ketika berburu, aku menemukan beberapa
mayat yang seluruhnya mengenakan baju hitam. Saat
itulah akalku berjalan. Kulepaskan salah satu baju mayat
itu yang masih utuh. Dengan baju itu aku menyamar
sehingga dapat menyusup ke sarang Raja Dewa Angkara,"
Sawung Bulu menjelaskan.
"Lalu, apa yang kau dapat dari sana?" tanya Sangkala.
"Raja Dewa Angkara menggunakan kekuatan bathin
untuk mempengaruhi gadis-gadis korban persembahan
untuknya sekaligus menjadikan mereka laskar yang
tangguh dan perkasa."
Sangkala mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam
hati memuji kecerdikan keponakannya ini.
"Yang jadi biang keladi semua ini adalah Rara Inten."
"Rara lnten...?!" Sangkala terkejut. "Bukankah Rara
lnten istri ketiga Ki Ardareja?"
"Benar, Paman. Selama ini kita tidak mengetahui kalau
Rara lnten mempelajari ilmu kekuatan bathin. Rara lnten
pun tahu betul semua peristiwa yang terjadi dua puluh
tahun yang lalu. Ketika dia tahu kalau Rawusangkan
sebenarnya adalah kakak Wratama, anak istri pertama Ki
Ardareja, maka dengan kekuatan bathin itulah jiwa mereka
dipengaruhi. Tak ketinggalan dua punggawa kepercayaan
Rawusangkan ikut dipengaruhi kekuatan bathin itu."
"Hm...," Sangkala mengguman dengan kepala terangguk-angguk.
"Sebenarnya pula Rara lnten yang membunuh Ki
Ardareja. Dia menunggu saat yang tepat untuk melancarkan fitnah. Dipengaruhilah Wratama dan Rawusangkan
dengan mengatakan kalau yang membunuh ayah mereka
adalah Ki Brajananta."
"Kenapa Rara lnten melakukan semua itu?" tanya
Sangkala.

"Rara lnten mencintai Ki Brajananta, namun cintanya


tak pemah kesampaian. Dia dendam dan melarikan diri
ketika bayi pertama Ki Ardareja hilang. Kemudian dia
menyepi di puncak Gunung Balakambang sambil mempelajari semua ilmu-ilmu kebathinan dari buku-buku
peninggalan kakeknya."
"Ya, aku tahu itu. Ki Gandara pernah cerita kalau kakek
Rara lnten seorang ahli kebathinan di samping jadi tabib.
Hm..., tidak mustahil kalau Wratama dan Rawusangkan
tidak mengenalnya. Yang pasti Rara lnten sekarang sudah
tua," pelan suara Sangkala terdengar.
"Paman salah duga. Rara lnten masih kelihatan muda
dan cantik," selak Sawung Bulu.
"Oh...!"
"Dengan ramuan ramuan yang dikuasainya, Rara lnten
bisa membuat dirinya jadi awet muda dan tetap kelihatan
cantik."
Sangkala menggeleng-gelengkan kepalanya, setengah
tidak percaya. Tapi dalam dunia ketabiban, hal itu mungkin
saja bisa terjadi. Tidak mustahil, sebelum meninggal kakek
Rara lnten menurunkan ilmu-ilmunya pada sebuah buku
yang kini sudah dikuasai betul oleh Rara lnten.
"Menakjubkan," gumam Sangkala. "Apa yang dicari
Rara lnten sebenarnya?"
"Menguasai seluruh rimba persilatan."
"Edan!"
***
Sementara itu di puncak Gunung Balakambang, Rara
lnten tergolek di pembaringan. Butir-butir keringat masih
mem-basahi tubuh yang hanya ditutupi selembar kain sutra
tipis biru muda. Lampu pelita yang menerangi kamar
menembus kain sutra tipis, sehingga bayangan lekuk-lekuk
tubuh indah tergambar di baliknya.
Sepasang bola mata Rara lnten yang indah menatap
Rawusangkan yang berdiri membelakanginya di depan

jendela. Dia beringsut sambil melilitkan kain sutra biru


muda ke tubuhnya, lahi duduk bersandar membiarkan
bagian pahanya tersingkap. Cahaya api pelita membias
menjilati paha yang putih mulus itu.
"Apa yang kau pandangi, Rawusangkan?" tanya Rara
lnten dengan suara halus lembut
Rawusangkan menoleh dan tersenyum.
"Kau kelihatan murung dan tidak bergairah sekali
malam ini Ada apa?" masih terdengar lembut suara Rara
lnten.
"Entahlah," desah Rawusangkan. "Rasanya hatiku tidak
enak malam ini."
"Kau sudah tidak sabar menunggu Dewi Purmita?" Rara
Inten menebak
Rawusangkan hanya tersenyum saja. Bayangan Dewi
Purmita mendadak berkelebat di matanya.
"Sabarlah. Tidak lama lagi dia akan tunduk padamu.
Kau bisa menjadikannya kelinci cantik mainanmu.
Lagi-lagi Rawusangkan hanya tersenyum hambar Dia
memang tak sabar menunggu Dewi Purmita. Tetapi ada hal
Iain yang mengganggu pikirannya. Kemunculan Pendekar
Rajawali Sakti di Desa Pasir Batang inilah yang menjadi
beban pikirannya.
Tidak sedikit gadis-gadis Iaskar Raja Dewa Angkara
tewas di tangan pendekar itu. Dan malam ini seperti ada
firasat kalau pendekar itu akan menghalangj gerakan Raja
Dewa Angkara. Tidak biasanya, anak buahnya begitu lama
menjalankan tugas membumihanguskan satu desa saja.
Rara Inten beringsut turun dari pembaringan. Langkahnya gemulai menghampiri Rawusangkan yang masih di
tempatnya. Wanita itu langsung mebngkarkan tangannya
ke leher Rawusangkan.
Tanpa maksud menyinggung perasaan Rara Inten,
Rawusangkan melepaskan pelukan di lehernya. Tentu saja
wanita itu makin heran dengan sikap Rawusangkan yang
tidak seperti biasanya. Tadi dia pun sangat kecewa karena
Rawusangkan tidak dapat memuaskan dirinya di atas

ranjang. Kini dia menolak meskipun dengan cara halus.


"Kau kelihatan lain sekali malam ini. Apa yang kau
pikirkan?" tanya Rara Inten.
"Hhh...," Rawusangkan mendesah panjang "Tidak
biasanya mereka menjalankan tugas begini lama."
"Ah, barangkali saja mereka mendapat halangan," Rara
Inten mencoba untuk menenangkan kegalauan hati lakilaki ini.
"Halangan itu yang kini jadi beban pikiranku."
Rara Inten merayapi wajah Rawusangkan. Kekuatan
bathinnya langsung bekerja menerobos ke dinding hati lakilaki ini melalui sinar matanya. Rara Inten melangkah
mundur dua tindak Seketika wajahnya berubah agak
menegang.
Pelan-pelan mata Rara Inten terpejam. Kepalanya
sedikit terdongak Lalu dibuka lagi matanya, dan segera
menatap ke luar melalui jendela yang terbuka lebar. Raut
wajahnya makin jelas kelihatan menegang.
"Setan!" dengus Rara Inten tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Rawusangkan.
"Cepat berpakaian, kumpulkan semua anak-anak!"
tegas suara Rara Inten.
Rawusangkan tidak membantah. Bergegas dirapikan
pakaiannya, lalu melangkah menghampiri pintu. Rara Inten
menoleh
Rawusangkan belum sempat sampai pintu, mendadak
terdengar suara ketukan beruntun. Kedengarannya seperti
terburu-buru. Bergegas Rawusangkan membukanya.
Tampak Bagaspati berdiri dengan peluh bercucuran di
vvajahnya.
"Celaka..., celaka Kakang," terputus-putus suara
Bagaspati.
"Apa yang terjadi?" tanya Rawusangkan.
"Aku tidak butuh laporanmu. Cepat kumpulkan anakanak, setan keparat itu sudah dekat!" potong Rara lnten.
Bagaspati menelan ludahnya ketika melihat Rara Inten
hanya terbungkus sutra tipis pada tubuhnya. Bayangan

lekuk-lekuk tubuh indah itu menggijurkannya.


Rawusangkan mendorong Bagaspati, dan segera
menutup pintu. Sementara Rara Inten memungut pakaiannya yang teronggok di lantai kamar beralaskan anyaman
bambu halus. Tenang sekali mengenakan pakaiannya.
Pakaian serba hitam yang ketat memetakan bentuk tubuhnya yang ramping indah. Dengan langkah tenang, dia ke
luar kamar.
Belum sempat Rara Inten mencapai pintu ke luar
rumahnya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut diikuti jeritanjeritan perkelahian. Denting senjata beradu terdengar
beberapa kali.
"Huh!" Rara Inten mendengus.
Sekali hentak saja, tubuhnya meluncur deras ke luar
dari rumah yang paling besar cfi antara rumah rumah lain
cfi puncak Gunung Balakambang Dijejakkan kakinya di
tanah dengan manis. Seketika rahang Rara Inten
menggeletuk saat melihat kilauan sinar biru di antara
ujung-ujung batang tombak hitam yang mengurung
"Setan!" geram Rara Inten saat mengetahui beberapa
anak buahnya rubuh terkena totokan.
Dalam beberapa gebrakan saja sekitar dua puluh orang
berpakaian serba hitam menggeletak dengan totokan pada
jalan darahnya. Pendekar Rajawali Sakti sengaja untuk
tidak melukai, apalagi membunuh mereka. Hati
kependekarannya tidak mengijinkan membantai orangorang yang tengah dipengaruhi jiwanya
Kian lama serangan-serangan mereka kian tajam dan
berbahaya dan datang dari segala arah. Bagai air bah yang
siap menghanyutkan. Pendekar Rajawali Sakti tampak
sedikit kewalahan menghadapinya. Ruang geraknya begitu
sempit. Dalam keadaan yang terdesak, Pendekar Rajawali
Sakti sempat melihat sesosok tubuh berdiri agak Jauh,
tengah menggerak-gerakkan tangannya.
"Hm..., rupanya dia yang menggerakkan gadis-gadis ini,"
gumam Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
Gelombang kekuatan bathin mulai dapat dirasakan.

Kian lama kian kuat Rangga mulai merapal ajian Bayu


Braja, satu ajian yang dapat menimbulkan angin topan
yang sangat dahsyat
"Tidak!" tiba-tiba Rangga tersentak. Segera dicabutnya
lagi ajian itu.
Ajian 'Bayu Braja' yang sangat dahsyat ini dapat
berakibat fatal bagi mereka yang tidak berdosa. Mereka
dapat terhempas ke pohon-pohon atau batu-batu cadas!
Sedangkan bagi yang memiliki tenaga dalam cukup, akan
semakin parah jika mencoba melawan kekuatan ajian ini
Bisa bisa mereka akan tewas dengan luka dalam yang
sangat parah.
"Hiya...!"
Tiba-tiba Rangga berteriak kuat Secepat kilat dirubah
jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sambil
memutar pedangnya, Rangga melompat tinggi ke udara
Namun tampaknya lawan lawan tidak membiarkannya
loJos. Seperti ada yang memberi komando serentak
dilemparkan tombak-tombak itu ke arah Pendekar Rajawali
Sakti.
Melihat beberapa tombak meluncur ke arahnya
secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya.
Tombak-tombak hitam pekat itu patah terbabat pedang
pusaka Rajawali Sakti. Tiga kali Pendekar Rajawali Sakti
berputar di udara, lalu meluruk cepat ke arah sosok tubuh
ramping berpakaian serba hitam.
Kaki-kaki Rangga bergerak cepat meluruk tepat di atas
kepala sosok yang tak Iain adalah Rara lnten. Begitu cepat
dan mendadaknya serangan itu, sehingga Rara lnten
kelabakan. Dihempaskan tubuhnya, lalu bergulingan di
tanah menghindarl terjangan Pendekar Rajawali Sakti yang
dahsyat.
"Bedebah! Setan keparat!" umpat Rara lnten seraya
melenting, dan berdiri lagi dengan kokoh.
Rangga menjejakkan kakinya di tanah dengan manis.
Dimasukkan pedang pusaka ke dalam sarung di punggungnya. Kedua kakinya terbentang lebar. Sepasang bola

matanya memandang tajam ke arah lawan.


"Angkara murkamu sudah berakhir. Raja Dewa
Angkara," dingin suara Rangga.
"Nama besarmu yang berakhir, Pendekar Rajawali
Sakti," suara Rara lnten tidak kalah dingjn.
"Lihat, orang-orangmu sudah tidak bersenjata lagi. Aku
dapat membunuh mereka semudah membalikkan tangan.
Tetapi mereka tidak berdosa. Kau harus bertanggung
jawab!" keras suara Rangga.
"Mereka bukan orang-orang yang takut mati, dan aku
belum kalah!" sahut Rara Intea
Selesai berkata demikian, mendadak Rara lnten mendorong kedua tangannya yang terbuka ke depan. Secercah
sinar merah meluncur deras dari kedua telapak tangannya
Begitu pesatnya, sehingga membuat Pendekar Rajawali
Sakti terkesiap. Tidak ada waktu lagi untuk menghindari.
"Hih!"
Rangga terpaksa segera mengerahkan aji 'Bayu Braja',
tapi terlambat Sinar merah itu cepat membentur dadanya.
Tak pelak lagi, tubuh pendekar muda itu terjengkang ke
belakang sekitar tiga batang tombak jauhnya.
"Hoek...!" Rangga memuntahkan darah kental dari
mulutnya
Akibat terhantam oleh sinar merah Rara lnten, mendadak tubuh Rangga terserang hawa panas. Cepat-cepat
digerakkan kedua tangannya ke atas, lalu turun sampai di
depan dada. Kakinya dipentang lebar ke samping dengan
lutut ditekuk. Pendekar Rajawali Sakti lalu mengerahkan
hawa mumi untuk mengusir hawa panas itu.
Sebentar saja hawa murni itu lenyap dari tubuhnya.
Rangga mengepalkan tangan kiri dan diletakkan persis di
tengah-tengah telapak tangan yang terbuka. Pelan-pelan
(digeser tangannya ke kanan, lalu didorong lagi ke kiri.
Itulah pembukaan jurus 'Pukuian Maut Paruh Rajawali'.
Rangga yang sudah muak dengan kekejaman Raja
Dewa Angkara, tidak segan segan lagi menumpasnya.
Langsung dikerahkannya jurus andalan keempat dari

rangkaian jurus maut 'Rajawali Sakti'. Begitu dibuka jurus


itu, seketika saja kedua kepalan tangannya berubah merah
menyala
"Huh! Ilmu setan apa yang dikeluarkannya?" dengus
Rara Inten.
Wanita itu sebenarnya terkejut juga melihat Pendekar
Rajawali Sakti tidak cedera terkena ajian mautnya. Biasanya, tak ada seorang pun yang sanggup berdiri lagi jika terkena ajian 'Tapak Dewi Maut.'
''Tampaknya ilmu yang dimiliki sangat berbahaya. Hm...,
aku harus menandinginya dengan aji 'Kala Seribu'," gumam
Rara lnten.
Segera saja Rara lnten merapalkan ajian maut itu.
Setelah selesai merapal seketika kuku-kuku jarinya
berubah berwarna hijau menyala. Rara lnten yang telah
merasa mendapat lawan tangguh, segera mengambil
inisiatif menyerang lebih dulu. Dan dengan cepat kedua
tangannya dihentakkan ke depan.
"Hiya...!"
"Ya...l"
Teriakan teriakan keras terdengar saling sahut. Dari
jari-jari tangan Rara lnten meluncur sinar-sinar hijau yang
membentuk menyerupai binatang kalajengking yang
sangat banyak. Ajian ini sangat di bangga banggakan Rara
lnten. Lawan yang terkena dalam sekejap pasti tewas
dengan tubuh penuh hibang, bagai habis tersengat ribuan
kalajengking.
Tapi, apakah ajian itu mampu menandingi jurus
'Pukuan Maut Paruh Rajawali', yang sekaligus dibarengi
dengan pengerahan aji 'Bayu Braja'?
Kini kedua tokoh sakti berbeda aliran sudah saling
menyerang. Mereka kerahkan sekuruh kesaktian masingmasing. Dua ilmu kesaktian yang berbeda aliran kini bertemu. Sementara semua orang yang saat itu menyaksikan,
hanya dapat menahan nafas.
Ki Gandara, Ki Brajananta, Sangkala, dan Sawung Bulu,
pun telah datang ke puncak Gunung Balakambang. Mereka

datang tepat ketika dua tokoh sakti itu saling berhadapan.


Mata mereka tidak berkedip menyaksikan pertarungan itu.
Dua kelompok yang saling bermusuhan itu terpusat penuh
perhatiannya pada Pendekar Rajawali Sakti dan Rara lnten.
***

8
Secercah sinar hijau meluruk deras ke arah Pendekar
Rajawali Sakti Pada saat yang sama, pendekar muda itu
menghentakkan tangannya. Seberkas cahaya merah
meluruk membendung serangan aji 'Kala Seribu' yang
dilepaskan Rara Inten. Cahaya merah itu mengandung
hawa panas luar biasa disertai hembusan angin deras
menderu bagai terjadi badai topan seketika
Dua sinar berbeda saling berbenturan di udara.
Kekuatan itu saling mendorong dan saling mengungguli.
Hawa panas menyebar menusuk kulit, membuat orangorang di sekitar tempat itu mengerahkan tenaga dalam
untuk menghindari hawa panas yang menyengat Ditambah
lagi dengan hembusan angin keras bagai topan.
"Kalian berdua, cari Dewi Purmita," kata Ki Gandara
pada Sawung Bulu dan Sangkala.
Ki Gandara melihat kesempatan baik untuk membebaskan Dewi Purmita. Tanpa mengucapkan satu kata
pun, dua murid tangguh Padepokan Pasir Batang itu pun
segera bergerak menyelinap cepat. Gerakan yang disertai
pengerahan ilmu meringankan tubuh itu tidak diketahui
sama sekali oleh orang-orang Raja Dewa Angkara. Mereka
terlalu terpaku pada pertarungan adu ilmu tingkat tinggi
itu.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti mulai menggeser kakinya sedikit demi sedikit maju ke depan. Rara
Inten juga melangkah maju sambil terus melepaskan aji
'Kala Seribu'. Wajah wajah mereka telah kelihatan merah
menegang. Hingga tiba waktunya, secara bersamaan
kedua tokoh itu berteriak nyaring sambil melompat cepat
ke depan.
Ledakan keras menggelegar memekakkan telinga terjadi ketika dua pasang telapak tangan beradu di udara.
Rara Inten terdorong keras ke belakang, hingga punggung-

nya membentur baru karang. Sementara itu Pendekar


Rajawali Sakti terjengkang deras membentur pepohonan
hingga tumbang
"Uhk, hoek...'"
Hampir bersamaan kedua tokoh sakti itu memuntahkan darah kental kehitaman. Hampir bersamaan pula
mereka segera bangkit kembali. Rangga menyeka darah
yang mengalir dari sudut bibirnya. Matanya merah tajam
menatap lurus Rara Inten. Rara Inten tak mau kalah.
Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan mata menyala
penuh kebencian.
"Keluarkan senjatamu, bangsat!" dengus Rara Inten,
geram.
Selesai berkata demikian, Rara Inten mencabut
senjatanya berupa tongkat pendek berwarna hitam dari
batik bajunya. Tongkat itu memiliki ujung yang bermata
merah membara. Pamomya sungguh dahsyat memancarkan sinar merah menyala.
Sret!
Rangga tidak segan-segan lagi mencabut.
Pedang pusakanya Seketika kegelapan malam yang
menyelimuti puncak Gunung Balakambang menjadi terang
benderang oleh sinar biru kemilau yang meman car dari
pedang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menyilangkan
pedangnya di depan dada. Matanya tetap tajam menatap
lurus ke depan.
Dengan satu teriakan, Rara lnten menerjang sambil
mengibaskan tongkat pendeknya. Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Pedangnya berkelebat cepat
menghalau ujung mata tongkat pendek yang mengancam
iga.
Trang! Dua senjata beradu keras menimbulkan pijaran
api dahsyat Rangga yang mengira senjata lawan akan
patah, tersentak kaget Dengan gerakan yang cepat tidak
terduga, Rara lnten memutar tongkat pendeknya.
Rangga menarik tubuhnya ke belakang, maka ujung
tongkat itu berkelebat di depan lehemya Pada saat yang

bersamaan, pedang Pendekar Rajawali Sakti terayun membabat ke arah perut lawan. Rara lnten yang tengah memusatkan pada serangannya, terkejut karena tidak
menyangka Pendekar Rajawali Sakti bisa berkelit sambil
melancarkan serangan balasaa
Dengan cepat dUentingkan tubuhnya menghindari
sabetan pedang pada perutnya. Dua kali berputar di udara,
kemudian kembali meluruk dengan ujung tombak
terhunus. Melihat begitu cepatnya serangan datang,
Rangga melompat sambil membabatkan pedang ke bawah
Trang!
Lagi-lagi dua senjata beradu keras. Rangga berputar
melewati kepala Rara lnten, dan menjejak manis di tanah.
Baru saja akan berbalik, sekonyong-konyong Rara lnten
sudah berputar seraya mengelebatkan tongkat pendeknya.
Cras!
"Akh!" Rangga berseru tertahan.
Ujung tongkat berwama merah menyala itu langsung
menggores pangkal lengan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Darah segar mengalir deras dari luka goresan yang cukup
panjang dan dalam. Rangga melompat mundur dua
langkah ke belakang.
Sesaat dilihat luka pada pangkal lengannya. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram Segera ditotok
beberapa jalan darah di sekitar lukanya. Seketika itu juga
darah berhenti mengalir. Kembali matanya menatap tajam
pada Rara lnten yang berdiri angkuh penuh ejekan.
Rara lnten mengangkat tangan kirinya, lalu dibukanya
kedok kain hitam tipis yang menutupi seluruh kepalanya.
Kini terlihat seraut wajah cantik tersenyum mengejek.
Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai lepas
"Rara lnten...," desis Ki Brajananta terkejut begitu
mengenali wajah wanita yang selama ini menjadi momok.
"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas. Sama sekali
tidak disangka kalau lawan yang dihadapinya seorang
wanita cantik.
"Rara Inten, tidak kusangka kau yang jadi biang keladi

kerusuhan ini!" dengus Ki Brajananta.


Rara Inten hanya mendengus melirik laki-laki tua yang
masih kelihatan gagah ini. Laki-laki yang dulunya dicintainya setengah mati. Kini laki-laki itu sudah tua, tidak berguna lagi bagi dirinya. Mendadak Rara Inten mengibaskan
tangannya ke arah Ki Brajananta.
Selarik sinar hijau meluncur deras. Sinar hijau yang berbentuk seekor kala berbisa itu meluruk deras ke arah Ki
Brajananta.
"Awas...!" teriak Rangga.
Terlambat!
"Aaaakh...!" Ki Brajananta menjerit panjang
Sinar hijau itu menghujam dalam di dada Ki
Brajananta. Dia terjengkang ke belakang sejauh satu
tombak. Tampak bagian dadanya berlubang, tembus
sampai ke punggung. Ki Brajananta hanya menggeliat
sebentar, kemudian tak bergerak-gerak lagi.
"Iblis, kejam!" desis Rangga menggeram murka.
Rara Inten hanya tertawa mengikik
"Kubunuh kau, iblis!" geram Ki Gandara.
Baru saja Ki Gandara hendak melompat, tiba-tiba berkelebat tiga sosok berpakaian serba hitam menghadang
Mereka segera membuka kedok hitam dari kain sutra tipls
yang melekat pada wajah. Ki Gandara tersentak kaget saat
mengenali wajah tiga orang yang kini berdiri menghadang
di depannya
"Kalian..., ternyata kalian manusia-manusia busuk!"
geram Ki Gandara
"Tidak lebih busuk daripadamu, Ki Gandara. Penghasut!
Mencari muka dengan memperalat Ki Brajananta untuk
membunuh ayahku!" sahut Rawusangkan dingin.
"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Ki Gandara diiringi rasa
geram.
"Aku putra pertama Ardareja!"
"Kau...?!" Ki Gandara seakan bdak percaya dengan
pendengarannya
Belum lagi hilang rasa terkejut dan rasa bdak percaya-

nya, tiba-tiba Ki Gandara memekik tertahan. Dia kaget


setengah mati karena secara tiba-tiba Rawusangkan sudah
melompat menyerang.
Buru-buru laki-laki tua itu menggeser tubuhnya ke
samping. Tangan kanannya mengibas mematahkan
serangan Rawusangkan. Dengan cepat Rawusangkan
menarik tangannya menghindari benturan dengan tangan
Ki Gandara.
"Tunggu!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras disertai
pengerahan tenaga dalam.
Secepat itu pula Rawusangkan melompat mundur.
Matanya mendelik melihat Sangkala dan Sawung Bulu
membawa Dewi Purmita. Rawusangkan memandang pada
Paralaya yang ditugaskan untuk menyembunyikan Dewi
Purmita. Belum juga Paralaya membuka mulut, Sangkala
telah lebih dulu berkata.
"Rawusangkan, jiwamu sudah terpengaruh oleh Rara
lnten. Dia itu istri ketiga ayahmu, yang juga membunuh
ayahmu pula! Lihat ini, senjata yang digunakannya untuk
membunuh Ki Ardareja!"
Sangkala melempar sebatang tongkat sepanjang
lengan berwarna hitam kelam dengan ujung merah.
Senjata itu sama persis dengan yang dipegang Rara lnten.
Rawusangkan memandang senjata yang tergeletak di
tanah. Kemudian ditatapnya Sangkala.
"Ayahmu dibunuh karena beliau tidak bersedia
menceraikan ibumu yang saat itu kau berada dalam
kandungannya. Rara lnten tidak mau ada bayi lahir selain
dari dirinya. Ibumu pun perah akan dibunuhnya, tapi Ki
Brajananta berhasil menyelamatkan. Dari situ timbul
dendam. Dia memperalat dirimu dengan menjadikan kau
Raja Dewa Angkara, sebagai pelampiasan keinginannya
menghancurkan desa kelahiranmu sendiri!"
"Bohong! Itu dusta!" pekik Rara lnten kalap.
"Rara lnten, semua akal busukmu sudah terbongkar.
Tidak ada gunanya lagi kau mengelak," dengus Sawung

Bulu.
Rawusangkan memandang Rara lnten, kemudian
matanya menatap orang-orang di sekelilingnya Dari sinar
matanya, terlihat kebimbangan yang membias di wajahnya.
"Ayah...," desis Dewi Purmita ketika matanya menangkap tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi.
Semua perhatian sekejap tertumpah pada gadis itu.
Namun semuanya hanya sekejap saja, karena tiba-tiba
Rara lnten mencelat ke arah Dewi Purmita dengan senjata
terhunus.
"Purmita, awas!" teriak Sawung Bulu.
Seketika
Sawung
Bulu
melompat
mencoba
menyelamatkan kekasihnya. Dia tidak peduli lagi dengan
ujung tongkat yang bergerak cepat menghujam.
"Aaakh...!" Sawung Bulu menjerit kesakitan ketika
merasakan iganya sobek mengucurkan darah.
Kejadian itu sangat cepat sekali, sehingga membuat
orang-orang di selatarnya terpana. Tubuh Sawung Bulu
jatuh meluruk.
"Iblis," desis Rangga geram.
Dengan satu teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali
Sakti melompat cepat seraya mengibaskan pedangnya
pada Rara lnten. Secepat kilat Rara lnten berputar
menangkis serangan mendadak dari Rangga.
Trang!
Kembali dua senjata sakti berbenturan keras. Namun
kali ini Rara lnten tersentak. Tubuhnya terdorong tiga
langkah ke belakang. Tangannya terasa kesemutan saat
senjatanya membentur pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Dalam keadaan marah yang meluap, Rangga mengerahkan sehjruh tenaga dalam sambil mengeluarkan
jurus andalan yang terakhir dari lima rangkaian jurus
'Rajawab Sakti.' Jurus 'Rajawali Seribu' yang jarang
digunakannya jika tidak dalam keadaan terpaksa sekali.
Pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti berkelebat
cepat ditimpafi dengan gerak kaki dan tubuh yang tidak
kalah cepat pula. Dalam sekejap saja tubuh Pendekar

Rajawali Sakti bagaikan terpecah-pecah menjadi seribu


banyaknya. Semua orang yang menyaksikan menjadi
tercengang melihat pendekar muda itu menjadi
sedemikian banyak mengurung rapat Rara Inten.
"Setan! Ilmu apa yang dikeluarkannya?" dengus Rara
Inten. Dia jadi kelabakan menangkis setiap serangan yang
datang sangat cepat dari segala penjuru.
Gerakan-gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti kian
lama kian tidak beraturan. Hal ini membuat bingung Rara
Inten. Wanita ini sudah tidak bisa lagi membaca setiap
gerakan dan arah tujuan jurus itu. Dia jadi senewen. Setiap
akan menangkis pedang Pendekar Rajawali Sakti, sekejap
saja pedang itu sudah berbelok arah.
"Akh!" tiba-tiba Rara Inten memekik tertahan
Betapa kagetnya Rara Inten ketika dengan cepat
pedang Pendekar Rajawali Sakti menyodok iganya. Cepatcepat Rara Inten mengibaskan tongkat pendeknya untuk
menangkis. Namun kali ini pun tertipu. Ternyata sodokan
pedang itu malah menyabet turun ke bawah. Dan dengan
kecepatan tinggi, pedang itu berputar arah menyamping.
"Aaakh...!" Rara Inten menjerit keras.
Tanpa bisa dicegah lagi, mata pedang Pendekar
Rajawali Sakti merobek dadanya. Darah menyembur dari
dada yang terbelah panjang dan dalam. Tubuh Rara Inten
sempoyongan. Tetapi sebelum disadari apa yang terjadi,
tiba-tiba pedang itu kembali berkelebat.
Cras!
Rara Inten tidak mampu lagi bersuara. Sebentar tubuhnya berdiri tegak, lalu rubuh dengan kepala terpisah dari
badan. Pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti membabat
bagaikan menebang batang pisang saja. Rangga memasukkan pedangnya kembali.
Sebentar pendekar muda itu berdiri tegak memandang
tubuh Rara Inten yang menggeletak tanpa kepala. Rangga
mendesah panjang lalu menoleh ke arah Dewi Purmita
yang menangis memeluk tubuh Sawung Bulu. Pendekar
Rajawali Sakti segera menghampiri mereka, lalu jongkok di

samping Sawung Bulu.


"Hm, hanya luka biasa," gumam Rangga setelah
memeriksa luka di iga Sawung Bulu
Rangga tersentak ketika mendengar suara teriakan
marah yang datang dari arah belakang Ketika ia menoleh,
terlihatlah Sangkala tengah menerjang Rawusangkan dan
dua orang lainnya dengan trisula kembar di tangan.
"Sangkala, jangan...!" teriak Rangga.
Terlambat! Serangan Sangkala yang dipenuhi amarah
meluap dalam dada tidak bisa dibendung lagi. Trisula
kembar menyambar cepat menusuk dada Rawusangkan.
Sebuah lagi dilemparkan ke arah Paralaya.
"Aaakh...!" Rawusangkan yang tidak menyadari akan
menerima serangan mendadak, tidak dapat mengelak lagi
Tiga ujung trisula, senjata kebanggan Sangkala menancap telak di dada Rawusangkan. Sedangkan trisula
lainnya tepat menembus kepala Paralaya yang juga terkejut tidak mampu lagi menghindar.
Melihat dua orang temannya rubuh, Bagaspati
langsung mengambil langkah seribu. Tak ada lagi yang
dapat dijadikan pelindung kekuatannya Semuanya kini
roboh tanpa nyawa. Tetapi baru saja Bagaspati berlari
sejauh lima tombak, orang-orang berpakaian serba hitam
sudah mengepungnya. Mereka serentak mencopot topeng
hitam yang menutupi kepala masing-masing.
Bagaspati yang sudah kehilangan nyali, jadi gemetaran
Gadis-gadis yang selama ini diperbudak dan dipengaruhi
jiwanya, semakin rapat mengepung. Mereka semua sadar
seketika setelah Rara lnten tewas. Pengaruh kekuatan
bathin Rara lnten lenyap saat itu juga.
"Aaa...!" jeritan menyayat terdengar dari mulut Bagaspati.
Gadis-gadis yang selama bertahun-tahun terjajah jiwanya, bagaikan kesetanan mencincang tubuh Bagaspati. Sebagian lagi memburu Paralaya dan Rawusangkan. Maka
tiga tubuh itu pun tiada ampun lagi tercincang bagai
dendeng.

Sangkala, Ki Gandara, dan Pendekar Rajawali Sakti


tidak dapat mencegahnya lagi. Mereka hanya menyaksikan
dengan kengerian yang amat sangat Belum puas gadisgadis itu mencincang tubuh tiga laki-laki itu, mereka menghampiri mayat Rara lnten, lalu mencincangnya. Beberapa
gadis malah telah membakar rumah-rumah di Puncak
Gunung Balakambang ini.
''Tamat sudah riwayat Raja Dewa Angkara," gumam Ki
Gandara.
Laki-Iaki tua Guru Besar Padepokan Pasir Batang itu
menoleh ke arah Rangga berdiri. Betapa tercengangnya dia
ketika Pendekar Rajawali Sakti sudah tak tertihat lagi.
Matanya beredar mencari-cari, namun sia-sia. Ki Gandara
menghampiri Sawung Bulu yang sudah berdiri dipapah
Dewi Purmita.
"Kau lihat di mana Pendekar RajawaB Sakti?" tanya Ki
Gandara.
"Tidak, Ki. Tadi..., tadi ada di sini," sahut Sawung Bulu.
"Ah, sungguh luhur jiwanya. Memberantas kejahatan
tanpa mengharapkan pamrih," gumam Ki Gandara.
"Dia sudah pergi, Ki," kata Sangkala sambil mendekat
"Kau lihat?" tanya Ki Gandara.
"Ya, dia pergi ke arah Selatan," sahut Sangkala.
Ki Gandara mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya kemudian menatap gadis-gadis yang sudah berkerumun di depannya. Jumlah mereka tidak kurang dari
lima puluh orang. Semuanya masih muda dan cantik.
Tetapi sinar mata mereka mengharapkan perlindungan dari
Ki Gandara.
Matahari mulai menampakkan diri ketika mereka
menuruni Gunung Balakambang. Ki Gandara berjalan di
depan didampingi Sangkala. Mereka terdiam dengan
pikiran masing-masing, namun tampak jelas kecerahan
membias di wajah mereka. Kecerahan dan harapan baru
semua warga Desa Pasir Batang.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai