korban. Tetapi dia juga tak rela Dewi Purmita kekasihnyaitu jadi korban. Sawung Bulu benar-benar seperti makan
buah simalakama. Serba salah.
"Aku mengerti perasaanmu, Sawung. Bukan kau saja
yang merasakan itu. Tapi ini sudah menjadi kehendak Raja
Dewa Angkara. Tak seorang pun yang berani menentangnya. Sadarlah itu, Sawung," kembali Badara mencoba
menyadarkan saudara seperguruannya ini.
"Aku tetap akan menentang Aku akan berjalan atas
namaku sendiri, dan tidak akan melibatkan seorang pun
baik dari Padepokan maupun penduduk desa ini!"
Walau dengan hati bimbang, Sawung Bulu tetap pada
pendiriannya. Tekadnya sudah bulat. Apa pun yang akan
terjadi, dia harus menghadapi si iblis Raja Dewa Angkara!
"Sa...."
Badara belum melanjutkan ucapannya, tiba-tiba sebuah tombak menancap tepat di tengah-tengah meja
mereka. Dengan serentak kedua murid Padepokan Pasir
Batang ini melompat kaget. Semua yang ada di kedai
makan itu terkejut pula. Mereka kenal betul dengan
tombak itu.
Bagi mereka yang bernyali kecil, langsung kabur ke
luar. Di kedai makan itu memang rata-rata hanya
penduduk biasa. Maka dengan sekejap kedai makan
menjadi sepi. Sawung Bulu menatap tajam pada tombak
hltam Itu.
"Celaka, Raja Dewa Angkara sudah tahu," gumam
Badara dengan wajah agak pucat
Rangga masih duduk di tempatnya. Dia makin tertarik
ingin mengetahui kelanjutannya. Matanya tidak lepas memandang dua pemuda yang masih menatap tombak hitam
itu. Walau terlihat tampan dan gagah, tetapi mereka
gemetar juga.
"Sawung Bulu...," suara Badara bergetar.
"Pergilah!" tegas Sawung Bulu. Namun nadanya sedlkit
bergetar.
Badara yang semula tak ingin ikut campur beranjak
Gandara.
"Benar, Ki." sahut Rawusangkan cepat
"Hm..., tidak mustahil dia yang menolong Sawung Bulu,"
gumam Ki Gandara.
Sesaat suasana kembali sunyi. Semua yang ada di situ
terpusat pikirannya pada Pendekar Rajawali Sakti yang
muncul di Desa Pasir Batang ini. Kemunculan yang tibatiba, di saat seluruh pemuka dan penduduk desa dicekam
kegelisahan.
Sangkala yang sejak tadi memperhatikan guru besar
Padepokan Pasir Batang itu. melihat ada sedikit cahaya di
mata Ki Gandara. Dalam hati Sangkala juga berharap
dugaan Ki Gandara benar. Biar bagaimana pun dia sangat
mencintai keponakannya itu. Sejak kecil Sawung Bulu
dirawat dan dididiknya di Padepokan Pasir Batang bersama
Ki Gandara.
Ketika mereka tengah khusuk bersama pikiran masing
masing tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar. Ki
Brajananta segera berdiri dan melangkah ke luar. Ki
Gandara dan yang lainnya mengikuti dari belakang Dan
betapa terhenyaknya mereka ketika melihat mayat-mayat
bergelimpangan di halaman depan rumah kepala desa.
Mayat-mayat itu adalah para penjaga rumah ini.
Mereka terbantai oleh orang-orang berpakaian serba
hitam. Dan kini Ki Brajananta dan yang lainnya, dikejutkan
oleh kehadiran seorang pemuda yang tengah bertarung
melawan empat orang berpakaian serba hitam. Pertarungan yang cepat disertai jurus-jurus silat tingkat tinggl,
membuat orang yang ada di situ sulit mengenali siapa
pemuda itu.
"Siapa dia, Ki?" tanya Rawusangkan yang berdiri di
samping Ki Gandara.
"Sepertinya dia..., Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki
Gandara ragu-ragu
"Kalau begitu, kita harus membantunya, Ki!" seru Ki
Brajananta.
"Jangan!" Ki Gandara langsung mencegah Wratama dan
jawab.
"Aku ikut!" Sawung Bulu bergegas menghampiri.
"Sebaiknya untuk sementara kau tinggal di sini dulu,"
cegah Rangga.
"Aku bukan pengecut yang hanya bisa bersembunyi!"
dengus Sawung Bulu.
"Aku tidak mengatakan kau pengecut. Tapi ini demi
keamanan dan keselamatan semua orang yang kau cintai."
Sebenarnya Sawung Bulu ingin bersikeras, tapi segera
diurungkan niatnya. Dia percaya kalau pemuda yang sebaya dengannya itu bukan orang sembarangan. Buktinya,
tiga anak buah Raja Dewa Angkara telah dibunuhnya hanya
dalam satu malam saja.
"Siapa kau sebenamya?" tanya Sawung Bulu jadi ingin
tahu.
"Aku, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga
Secepat dia menjawab, secepat itu pula dia mencelat
Tiba-tiba telah lenyap dari pandangan Sawung Bulu Tentu
saja pemuda ini mencari-cari. Dalam hari, dia sangat
mengagumi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti yang sempurna itu.
"Pendekar Rajawali Sakti...," Sawung Buhi ber-gumam
menyebut nama itu beberapa kali.
Dia kembali duduk di atas batu. Bibirnya masih menggumamkan nama Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya dia
tengah mengingat-ingat nama itu. Ya, nama itu pernah didengarnya dari Ki Gandara. Juga beberapa tokoh rimba
persilatan dari golongan putih yang kerap datang ke
Padepokan Pasir Batang. Nama Pendekar Rajawali Sakti
selalu disebut-sebut sebagai seorang pendekar muda yang
sangat tinggi ilmu kesaktiannya.
"Apakah benar dia Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung
Bulu bertanya tanya sendiri.
***
adalah wanita.
"Apa artinya semua ini?" tanya Sangkala tidak bisa
menyembunyikan rasa terkejut dan herannya.
Sungguh tidak ada yang menduga kalau orang-orang
Raja Dewa Angkara adalah wanita berparas cantik
Sangkala yang tadi hanya sempat bertarung dengan satu
orang saja, kini benar benar terkesima. Sungguh tak
diduga sama sekali dirinya hampir tewas oleh seorang
wanita muda yang tersembunyi di balik topeng kain hitam
Sangkala tiba-tiba tersentak Padahal dia sempat
mendengar suara lawannya tadi. Benar-benar bodoh tidak
bisa membedakan suara laki-laki dengan suara
perempuan. Tapi..., yang didengamya tadi memang suara
laki-laki. Bukan suara halus seorang perempuan. Apakah
wanita-wanita itu punya ilmu untuk menipu suara?
"Sayang tidak ada yang hidup," gumam Ki Gandara.
"Maaf, aku terlalu muak melihat kekejaman mereka,"
kata Rangga.
"Tidak apa-apa. Memang sudah sepantasnya mereka
mati," sahut Ki Gandara.
Ki Gandara segera memerintahkan murid-muridnya
untuk menguburkan mayat-mayat itu. Meskipun dalam
keadaan letih, tidak ada yang membantah perintah itu.
Segera murid-murid Padepokan Pasir Batang yang masih
tersisa, melaksanakan perintah guru besarnya. Ki Gandara
mengajak Rangga ke pendopo, sementara Sangkala minta
ijin untuk mengobati lukanya. Langkah Rangga terhenti di
depan pendopo utama. Dibalikkan tubuhnya, langsung
menatap ke arah puncak Gunung Balakambang. Ki
Gandara juga berhenti dan berbalik. Matanya juga mengarah ke puncak gunung yang selalu diselimuti kabut tebal
itu.
"Di gunung itu Raja Dewa Angkara membangun istananya," kata Ki Gandara setengah bergumam.
"Sudah ada yang pemah ke sana?" tanya Rangga.
"Belum ada yang bisa mencapai. Memang sudah ada
beberapa pendekar mencoba ke sana, tapi mereka selalu
5
Rangga terbangun ketika mendengar suara langkah kaki
mendekati mulut goa. Bergegas dia melompat mendekati
mulut goa. Tangannya menyingkapkan sedikit semak
belukar yang menutupi mulut goa kecil ini.
"Sawung Bulu. Huh, kukira siapa?" dengus Rangga.
Sawung Bulu menyibakkan semak lalu melangkah
masuk Dia kaget juga melihat Rangga berdiri di balik
dinding mulut goa. Dilemparkannya dua ekor kelinci ke
dekat api unggun yang masih menyala kecil.
"Pagi-pagi sudah dapat kelinci," kata Rangga agak bergumam.
"Aku rasa cukup untuk makan kita bertiga," sahut
Sawung Bulu terus melangkah.
Rangga menoleh pada Melati yang tampaknya sudah
bangun. Wanita itu masih tetap tergolek, hanya bagian
leher ke atas saja yang bisa digerakkan. Pengaruh totokan
Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat, sehingga tidak bisa
lepas kalau tidak ditolong orang lain.
Di dekat api unggun, Sawung Bulu kini sibuk menguliti
kelinci-kelinci buruannya, dan memanggangnya di atas api
Bau harum daging kelinci panggang mulai tercium,
membuat perut minta segera diisi. Rangga melangkah
mendekati Melati, lalu duduk di samping wanita itu.
"Aku yakin perutmu pasti lapar," kata Rangga.
"Huh!" Melati hanya mendengus mencibir.
Rangga hanya tersenyum, laki bangkit mendekati
Sawung Bulu. Bau harum daging kelinci panggang membuat perutnya jadi tidak sabaran. Rangga mencomot
daging yang sudah matang. Sawung Bulu membawanya
kepada Melati.
"Dari semalam perutmu belum diisi. Nih...," Sawung
Bulu menyodorkan sepotong daging yang sudah matang.
Tetapi Melati hanya mendelik saja. Mana mungkin bisa
***
Rangga menyebnap dari balik tembok rumah ke
tembok rumah lainnya. Gerakannya cepat dan ringan tanpa
suara sedikit pun. Sebentar saja sudah terlihat berada di
balik tembok rumah Wratama.
Matanya tajam mengawasi sekelilingnya. Keadaan
sekitar tampak sepi. Sementara matahari sudah tenggelam
di belahan bumi bagian barat. Bulan yang menggantikannya hanya mengintip sedikit di balik awan hitam. Rangga
melenting ke angkasa. Dua kali salto, kemudian meluruk
menuju atap.
"Uts!"
Rangga kembali melenting ke udara ketika ujung kakinya akan menapak atap. Seberkas sinar keperakan
meluncur deras menerjang atap. Saat Rangga masih
berada di udara, kembah sinar keperakan meluncur deras
mengancam dirinya
Lima kilatan sinar keperakan meluncur deras beruntun
Rangga berjumpalitan di udara menghindari sinar-sinar
keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya berkelebat
cepat menangkap satu sinar, lalu dengan cepat meluruk ke
atas atap.
"Ruyung perak..," desis Rangga begitu mengetahui
sebuah ruyung kecil berada di genggamannya.
Ternyata ruyung perak itu adalah senjata rahasia.
Rangga bersalto di udara menghindari sinar-sinar
keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya berkelebat
cepat menangkap salah satu sinar.
"Ruyung perak!" desis Rangga begitu tahu sebuah
ruyung kecil berada di genggamannya dari perak murni.
Rangga mengedarkan penglihatan ke sekelilingnya.
Merayapi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya. Sekilas
dilihatnya sesosok tubuh berpakaian warna gelap berkelebat di antara pepohonan.
Dengan cepat Rangga melompat meluruk ke arah
sosok tubuh yang berkelebat. Begitu cepatnya Pendekar
Sret!
Tiba-tiba Wratama mengeluarkan sebatang tombak
kecil dari ballk bajunya. Sebatang tombak berwarna hitam
pekat dengan ujung runcing berwarna merah. Dari ujung
tombak itu memancar sinar bagai api yang slap berkobarkobar membakar apa saja yang terkena.
Rangga menggeser kakinya ke belakang satu langkah.
Dalam Jarak sekitar tiga batang tombak saja sudah terasa
pamor tombak itu. Pamor itu memancarkan hawa panas
menyengat kulit hingga menembus langsung ke tulang.
"Hh, melihat pamor senjataku saja kau sudah ngeri,
pendekar edan!" dengus Wratama mengejek
Rangga hanya tersenyum saja. Segera dikerahkan jurus
pembukaan 'Cakar Rajawali'. Seketika saja jari-jari tangannya mengembang keras dan kaku. Bersamaan dengan itu,
Rangga pun mengerahkan hawa murni yang disalurkan ke
seluruh tubuhnya. Hawa panas dari pamor tombak itu
demikian hebat sehingga Rangga harus mengerahkan
hawa murni untuk mengimbanginya.
"Keluarkan senjatamu, pendekar edan!" sentak
Wratama.
"Hm...," Rangga hanya tersenyum tipis.
"Baik! Jangan katakan aku kejam kalau kau mati tanpa
senjata!"
"Tidak pantas kau bersikap ksatria. Keluarkan seluruh
akal busukmu yang bcik!" dengus Rangga.
"Setan!" geram Wratama.
Dengan cepat Wratama melompat seraya mengeluarkan teriakan keras. Ujung tombak pendeknya berkelebat
cepat sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya merah
saja. Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri ketika
ujung tombak yang berwarna merah menusuk ke arah
dadanya.
Sinar merah membara berkelebat di depan dada
Rangga. Hawa panas terasa menerpa. Rangga mengangkat
tangan kanannya dan menyentil ujung tombak itu. Namun
tanpa diduga sama sekali, Wratama menggunakan tenaga
Wratama.
Belum lagi Wratama selesai berkata, mendadak
Rangga telah menyerangnya dengan cepat. Wratama pun
tidak kalah cepat. Digerak-gerakkan tombaknya ke kanan
dan ke kiri menangkis setiap sabetan tangan Rangga.
Beberapa kali tombak pendeknya membentur tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi sedikit pun tak berpengaruh apa-apa. Bahkan beberapa kali Wratama berhasil membalas serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Pendekar Rajawali Sakti merungkatkan serangannya.
Kali ini tubuhnya bagai terbang mencelat ke segala arah
sambil mengibaskan kedua tangannya mengincar bagianbagian tubuh lawan yang mematikan. Wratama masih
kelihatan tersenyum mengimbangi. Jurus Pendekar
Rajawali Sakti. Tampaknya dia dapat membaca dan
mengetahui ke mana arah serangan yang dilancarkan
Rangga, sehingga serangan-se-rangan itu dapat dlpatahkan
di tengah Jalan
"Edan! Benar benar hebat dia!" dengus Rangga dalam
hati.
Menyadan kalau jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega' tidak bisa diandalkan, Rangga segera mencelat
tinggi ke udara. Secepat kilat dirubahnya jurus menjadi
Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Gerakan Rangga
makin cepat, kaki kakinya lincah bergerak meluruk
mengincar kepala lawan.
Kali ini Wratama kelihatan mulai kerepotan. Beberapa
kali harus jatuh bangun menghindari terjangan kaki
Rangga yang bagaikan geledek mengincar kepala. Desiran
angin tendangan begitu kuat, sehingga Wratama terpaksa
mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi agar
tubuhnya tidak goyah.
Di sekitar tempat pertarungan itu bagai terjadi badai
topan. Beberapa pohon sudah bertumbangan terkena
sepakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan daun-daun
berguguran hanya terkena desiran angin sambaran kaki
pendekar muda itu.
di leher Wratama.
"Setan! Bunuh aku!" sentak Wratama berang. Dia tidak
lagi peduli dengan rasa nyeri pada pangkal lengannya yang
buntung itu.
Rangga hanya tersenyum tipis. Tetapi dalam hati
Rangga mengakui kehebatan tenaga dalam Wratama.
Seharusnya tubuh tadi akan hancur berkeping-keping
terkena tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa' yang dikeluarkan secara penuh oleh Rangga.
Rangga sendiri menduga demikian. Pada kenyataannya,
Wratama masih hidup.
Wratama mencoba menggeliatkan tubuhnya, tapi hanya
mampu meringis. Dadanya terasa remuk dan nyeri.
Terlebih lutut Rangga semakin kuat menekan dadanya.
Ujung tombak mulai menggores kulit lehernya. Darah mulai
merembes ke luar dari leher Wratama.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Wratama tertawa terbahakbahak
Rangga kaget bercampur heran melihat Wratama tertawa tergelak, padahal keadaan jiwanya terancam maut
"Setan!" dengus Rangga begitu melihat bagian leher
yang tergores membiru.
Cepat-cepat Rangga membuang tombak pendek hitam
yang ujungnya berwarna merah menyala. Dengan cepat
ditotoknya beberapa bagian di sekitar leher Wratama yang
sudah membiru. Warna biru itu seketika berhenti menjalar.
"Percuma saja. Sebentar lagi aku akan mati! Totokanmu tidak akan berpengaruh apa apa pada racun tombakku." kata Wratama seraya terkekeh
"Kau memang akan mati, bangsat! Tapi kau harus
diadili seluruh penduduk Desa Pasir Batang dulu!" dengus
Rangga.
"He he he..., aku akan mati, tapi kau akan menerima
akibatnya dari Raja Dewa Angkara!"
"Huh! Rupanya kau hanya anjing iblis itu!" rungut
Rangga.
"Sebentar lagi Desa Pasir Batang akan hancur! Tidak
6
Brak! Keras sekali Rawusangkan menggebrak meja yang
terbuat dari kayu jati tebal itu sehingga retak bagian
tengahnya. Bagaspati dan Paralaya terdongak kaget. Berita
kematian Wratama yang dibawa Bagaspati membuat
merah padam muka Rawusangkan. Dua bola matanya
menyala nyala membelalak ke luar seperti akan copot
Dua orang gadis cantik yang sejak tadi duduk di
sampingnya, segera minggat. Rawusangkan tajam menatap Bagaspati dan Paralaya. Kedua orang itu hanya tertunduk dengan gemetar memendam rasa takut Mereka
bisa memakluml kalau Rawusangkan begitu marah mendengar Wratama tewas, sebab dia adalah adik satusatunya.
"Bagaimana kejadiannya sampai adikku tewas?" tanya
Rawusangkan.
"Rara Inten yang tahu, Kakang," kata Bagaspati.
Rawusangkan segera menatap seorang wanita cantik
yang duduk di samping Paralaya. Wanita yang dilihat
Rangga berada dalam kamar penginapan bersama
Wratama itu malah tenang tenang saja. Bibirnya tersenyum
merekah.
"Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya," kata
Rara Inten dengan suara halus lembut
"Katakan, apa yang kau ketahui?" desak Rawu
sangkan. Dia terkejut juga manakala Rara lnten menyebutkan orang yang membunuh adiknya.
"Aku hanya melihat Kakang Wratama sudah tewas,
sementara Pendekar Rajawali Sakti berdiri di dekatnya.
Hanya itu saja yang aku tahu," jawab Rara lnten.
Rawusangkan berdiri berjalan mondar-mandir. Tampak
sekali kalau sedang gelisah karena Wratama bisa tewas di
tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bukan itu saja. Rahasia
Raja Dewa Angkara bakal terbongkar! Malah tidak mustahil
"Mereka orang-orang terpandang di desa ini, dan desadesa lainnya di sekitar lereng Gunung Balakambang," kata
Sangkala dengan nada seakan tidak senang dengan
kecurigaan Rangga itu.
"Apakah mereka berasal dari desa ini juga?"
Rangga tidak peduli dengan kebdaksukaan Sangkala
pada pertanyaannya tadi.
"Tidak!" lagi-lagi Sangkala yang menyahut
"Aneh, sungguh aneh," Rangga bergumam "Bagaimana
mungkin orang yang tidak diketahui asal usulnya bisa jadi
panutan dan sesepuh desa? Bukankah ini satu hal yang
tidak wajar?"
Ki Gandara dan Sangkala tersentak seperti baru tersadar dari sebuah mimpi buruk yang panjang. Kata-kata
Rangga yang bernada seperti pertanyaan itu membuat dua
orang terpandang di Desa Pasir Batang ini terdiam seribu
bahasa. Kata-kata itu sungguh tepat menyentuh sudut hati
mereka yang paling dalam.
Kecurigaan itu memang beralasan. Tidak seorang pun
penduduk desa ini yang tahu asal-usul tiga orang itu.
Apaiagi mereka datang bertepatan dengan munculnya
Wratama di desa ini Dan setahun kemudian terjadilah
kegemparan di seluruh desa di lereng Gunung Balakambang.
Saat mereka diam tercekam oleh pikiran masing
masing, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan
tenakan dari arah Timur Desa Pasir Batang. Ketiga orang
itu terdongak dan terkejut melihat kilauan api yang membesar seketika. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera
melompat bagai kilat melewati tembok padepokan yang
tinggi. Dalam sekejap saja Pendekar Rajawali Sakti telah
lenyap dari pandangan mata.
"Kumpulkan anak-anak, atur penjagaan!' perintah Ki
Gandara.
"Ki..!"
Suara Sangkala terputus karena Ki Gandara telah lebih
cepat melompati tembok yang mengelilingi padepokan.
Baru saja hilang suara perintah itu, enam orang berpakaian serba hitam segera mengepung Pendekar Rajawali
Sakti. Hal ini membuat Rangga kian geram. Sambil
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia
bergerak cepat mengibaskan pedang pusakanya.
"Minggir, kalian tidak sadar! Minggir!" teriak Rangga
keras.
Pedang terus berputar berkeliling menangkis hujaman
tombak hitam yang datang dari segala arah. Tombak
tombak itu segera patah jadi dua terkena sabetan pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat kaki-kakinya
bergerak seraya jari-jari tangan kirinya menotok jalan darah
utama lawan lawannya Dalam satu gebrakan saja, empat
orang yang mengepungnya roboh kena totokan di bagian
tubuhnya.
Sengaja Rangga tidak membunuh. Dia hanya membuat
lawan lawannya lemas tak bertenaga. Gerakan-gerakan
kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dan lincah,
sehingga seakan-akan melayang di atas tanah. Sementara
pedangnya berkelebat, tangan kirinya mengincar jalan
darah lawan.
"Jangan bunuh mereka!" teriak Rangga ketika melihat
beberapa murid Padepokan Pasir Batang berdatangan
hendak membunuh orang-orang yang sudah tak berdaya
terkena totokan.
Mendengar teriakan itu, murld-murid Padepokan Pasir
Batang segera berhenti. Mereka hanya membuat lingkaran
dipimpin oleh Sangkala, melindungi penduduk yang
berlarian mencari selamat.
"Rangga, mengapa kau tidak bunuh mereka?" tanya Ki
Gandara ketika melompat ke dekat Rangga.
"Mereka tidak berdosa, Ki. Nanti aku jelaskan!" jawab
Rangga.
Ki Gandara tidak bisa bertanya lagi karena sebatang
tombak meluncur deras ke arahnya. Dengan cepat dimiringkan tubuhnya menghindari ancaman ujung tombak
itu. Dengan satu tipuan yang manis, tangan kirinya terulur
7
"Sawung Bulu, di mana kau...!"
Teriakan yang keras dan menggema itu membuat
Sawung Bulu tersentak kaget. Bergegas dia bangun dari
tidurannya Teriakan itu terdengar sangat dekat dan
berulang-ulang. Dia kenal dengan suara itu.
"Paman Sangkala...," desis Sawung Bulu. "Bagaimana
mungkin dia tahu aku ada di sini?"
Sawung Bulu sedikit ragu-ragu untuk ke luar goa.
Matanya sempat melirik Melati yang masih tergolek lemas
di atas hamparan dedaunan. Rupanya Melati juga mendengar suara itu, namun karena pengaruh totokan pada
tubuhnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sawung Bulu...!"
Terdengar lagi suara panggilan yang keras. Pelan-pelan
Sawung Bulu mendekati mulut goa. Tangannya menyibakkan sedikit semak-semak rimbun yang menutupi mulut
goa. Jelas terlihat Sangkala bersama empat orang lainnya
berdiri di depan mulut goa dengan mata beredar mencaricarl
"Paman.... Paman Sangkala" panggil Sawung Bulu
sambil menguakkan semak-semak.
Sangkala langsung menoleh dan berlari ketika melihat
Sawung Bulu muncul dari rimbunan semak. Sesaat mereka
saling bertatapan, lalu berpelukan hangat.
"Aku tak mengira kau masih hidup, Sawung Bulu," kata
Sangkala penuh rasa haru.
"Pendekar Rajawali Sakti telah menyelamatkan hidupku, Paman," sahut Sawung Bulu sambil melepaskan
pelukannya.
Kembali mereka saling tatap, penuh rasa haru.
"Bagaimana Paman bisa tahu aku ada di sini?" tanya
Sawung Bulu.
"Pendekar yang menolongmu memberitahuku," sahut
Sangkala.
"Maksud Paman, Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung
Buhl belum yakin.
"Benar."
"Lalu, di mana dia sekarang?"
"Ke puncak Gunung Balakambang."
"Celaka!" Sawung Bulu terkejut Wajahnya seketika
menyiratkan kecemasan. "Ayo, Paman. Kita harus bantu
dia!"
"Tunggu dulu, Sawung. Aku juga akan ke sana, tapi aku
harus membawa dulu orang yang bersamamu di sini."
Sawung Bulu menepuk keningnya sendiri. Dia teringat
Melati yang masih tergolek lemas di dalam goa. Cepatcepat Sawung Bulu mengajak pamannya ke dalam goa
batu ini
Betapa terkejutnya Sangkala ketika melihat Melati
terbaring lemas di atas tumpukan daun-daun kering
Pakaian hitam ketat masih membungkus tubuh yang
ramping.
"Melati...," desis Sangkala setengah tidak percaya.
"Benar, Paman. Dia Melati putri Kepala Desa Karang
Sewu," Sawung Bulu membenarkan.
"Bagaimana mungkin? Bukankah sudah dijadikan
korban persembahan tiga tahun yang lalu?" Sangkala
masih belum percaya.
"Tidak salah Paman. Tiga tahun yang lalu Melati
memang dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa
Angkara."
Sawung Bulu menjelaskan semuanya yang didapat dari
Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lupa juga tentang kekuatan
yang mempengaruhi semua korban korban persembahan,
sehingga mereka tidak ingat akan diri masing masing Raja
Dewa Angkara juga menjadikan gadis-gadis itu sebagai
iaskar yang tangguh.
Sangkala mendengarkan dengan penuh perhatian.
Pantas saja Pendekar Rajawali Sakti melarang membunuh
Iaskar Raja Dewa Angkara yang telah mengganas mem-
8
Secercah sinar hijau meluruk deras ke arah Pendekar
Rajawali Sakti Pada saat yang sama, pendekar muda itu
menghentakkan tangannya. Seberkas cahaya merah
meluruk membendung serangan aji 'Kala Seribu' yang
dilepaskan Rara Inten. Cahaya merah itu mengandung
hawa panas luar biasa disertai hembusan angin deras
menderu bagai terjadi badai topan seketika
Dua sinar berbeda saling berbenturan di udara.
Kekuatan itu saling mendorong dan saling mengungguli.
Hawa panas menyebar menusuk kulit, membuat orangorang di sekitar tempat itu mengerahkan tenaga dalam
untuk menghindari hawa panas yang menyengat Ditambah
lagi dengan hembusan angin keras bagai topan.
"Kalian berdua, cari Dewi Purmita," kata Ki Gandara
pada Sawung Bulu dan Sangkala.
Ki Gandara melihat kesempatan baik untuk membebaskan Dewi Purmita. Tanpa mengucapkan satu kata
pun, dua murid tangguh Padepokan Pasir Batang itu pun
segera bergerak menyelinap cepat. Gerakan yang disertai
pengerahan ilmu meringankan tubuh itu tidak diketahui
sama sekali oleh orang-orang Raja Dewa Angkara. Mereka
terlalu terpaku pada pertarungan adu ilmu tingkat tinggi
itu.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti mulai menggeser kakinya sedikit demi sedikit maju ke depan. Rara
Inten juga melangkah maju sambil terus melepaskan aji
'Kala Seribu'. Wajah wajah mereka telah kelihatan merah
menegang. Hingga tiba waktunya, secara bersamaan
kedua tokoh itu berteriak nyaring sambil melompat cepat
ke depan.
Ledakan keras menggelegar memekakkan telinga terjadi ketika dua pasang telapak tangan beradu di udara.
Rara Inten terdorong keras ke belakang, hingga punggung-
bersamaan, pedang Pendekar Rajawali Sakti terayun membabat ke arah perut lawan. Rara lnten yang tengah memusatkan pada serangannya, terkejut karena tidak
menyangka Pendekar Rajawali Sakti bisa berkelit sambil
melancarkan serangan balasaa
Dengan cepat dUentingkan tubuhnya menghindari
sabetan pedang pada perutnya. Dua kali berputar di udara,
kemudian kembali meluruk dengan ujung tombak
terhunus. Melihat begitu cepatnya serangan datang,
Rangga melompat sambil membabatkan pedang ke bawah
Trang!
Lagi-lagi dua senjata beradu keras. Rangga berputar
melewati kepala Rara lnten, dan menjejak manis di tanah.
Baru saja akan berbalik, sekonyong-konyong Rara lnten
sudah berputar seraya mengelebatkan tongkat pendeknya.
Cras!
"Akh!" Rangga berseru tertahan.
Ujung tongkat berwama merah menyala itu langsung
menggores pangkal lengan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Darah segar mengalir deras dari luka goresan yang cukup
panjang dan dalam. Rangga melompat mundur dua
langkah ke belakang.
Sesaat dilihat luka pada pangkal lengannya. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram Segera ditotok
beberapa jalan darah di sekitar lukanya. Seketika itu juga
darah berhenti mengalir. Kembali matanya menatap tajam
pada Rara lnten yang berdiri angkuh penuh ejekan.
Rara lnten mengangkat tangan kirinya, lalu dibukanya
kedok kain hitam tipis yang menutupi seluruh kepalanya.
Kini terlihat seraut wajah cantik tersenyum mengejek.
Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai lepas
"Rara lnten...," desis Ki Brajananta terkejut begitu
mengenali wajah wanita yang selama ini menjadi momok.
"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas. Sama sekali
tidak disangka kalau lawan yang dihadapinya seorang
wanita cantik.
"Rara Inten, tidak kusangka kau yang jadi biang keladi
Bulu.
Rawusangkan memandang Rara lnten, kemudian
matanya menatap orang-orang di sekelilingnya Dari sinar
matanya, terlihat kebimbangan yang membias di wajahnya.
"Ayah...," desis Dewi Purmita ketika matanya menangkap tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi.
Semua perhatian sekejap tertumpah pada gadis itu.
Namun semuanya hanya sekejap saja, karena tiba-tiba
Rara lnten mencelat ke arah Dewi Purmita dengan senjata
terhunus.
"Purmita, awas!" teriak Sawung Bulu.
Seketika
Sawung
Bulu
melompat
mencoba
menyelamatkan kekasihnya. Dia tidak peduli lagi dengan
ujung tongkat yang bergerak cepat menghujam.
"Aaakh...!" Sawung Bulu menjerit kesakitan ketika
merasakan iganya sobek mengucurkan darah.
Kejadian itu sangat cepat sekali, sehingga membuat
orang-orang di selatarnya terpana. Tubuh Sawung Bulu
jatuh meluruk.
"Iblis," desis Rangga geram.
Dengan satu teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali
Sakti melompat cepat seraya mengibaskan pedangnya
pada Rara lnten. Secepat kilat Rara lnten berputar
menangkis serangan mendadak dari Rangga.
Trang!
Kembali dua senjata sakti berbenturan keras. Namun
kali ini Rara lnten tersentak. Tubuhnya terdorong tiga
langkah ke belakang. Tangannya terasa kesemutan saat
senjatanya membentur pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Dalam keadaan marah yang meluap, Rangga mengerahkan sehjruh tenaga dalam sambil mengeluarkan
jurus andalan yang terakhir dari lima rangkaian jurus
'Rajawab Sakti.' Jurus 'Rajawali Seribu' yang jarang
digunakannya jika tidak dalam keadaan terpaksa sekali.
Pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti berkelebat
cepat ditimpafi dengan gerak kaki dan tubuh yang tidak
kalah cepat pula. Dalam sekejap saja tubuh Pendekar
TAMAT