Anda di halaman 1dari 146

CINTA HABIS DI ALTHEYA

Penulis: Axl Zidane Alfaridzi

Kelas: XII Mipa3

Alamat: Tanjung Sari

Pertama Kali ditulis: 1 Oktober 2022

Waktu Penulisan: 1 Oktober-28 November 2022

Jumlah Part: 26 Part

Jumlah Halaman: 146 Hal

Jumlah Kata: 28.653 kata


Sinopsi

Menjadi selingkuhan Protagonis pria adalah bencana untuk Altheya. Awalnya ia


hanya ingin hidup dengan baik namun kedatangan beberapa laki-laki di kehidupannya
membuat segalanya makin rumit. Dengan dirinya yang di tuduh sebagai perebut cowok
orang. Altheya berhasil membuat seorang cowok luluh dengannya.
Prolog

Altheya menatap makanannya dengan pandangan tidak nafsu, ia meletakkan kembali


sendok dan garpu ke atas Meja lebih memilih kelaparan daripada memakan makanan
menjijikkan itu. Kepiting mentah makanan khas Thailand yang katanya enak dan disukai
banyak orang tapi, ia tidak bisa memakannya membayangkan dia akan makan makanan
mentah sudah cukup untuk membuat perut sakit.

Sementara itu pria di hadapannya makan dengan lahap hidangan yang ia pesan, terlihat lebih
lezat dari makanan milik gadis itu. Beef Steak dengan Saus Mentega, melihat cara pria itu
makan membuat perut Altheya keroncongan, kenapa ia begitu bodoh memesan makanan
Thailand, ini salahnya karena ia menunjuk Menu dengan asal.

"Kenapa tidak makan?" tanya pria itu.

Altheya tersenyum kecut. "Aku tidak lapar." Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, pasti
akan malu luar biasa.

Pria itu mengehentikan suapannya, ia memanggil seorang Pelayan. "Bersihkan ini dan
bawakan Menu yang sama." la kembali memesan.

"Baik Tuan."

Kepiting mentah itu disingkirkan dari atas meja. Altheya berseru dalam hati, ternyata
Protagonis utama Novel ini adalah orang yang cukup peka.

Sembari menunggu pesanannya Altheya menatap pria di hadapannya dengan seksama. Ia


memiliki mata yang tajam, bibir merah yang tipis, kulit putih mulus, alis tebal, dan yang
paling mencolok di antara semuanya 3 Tahi Lalat dekat sudut matanya, itu terlihat seperti rasi
Bintang.

"Kamu sangat tampan." Altheya tidak bisa menahan diri untuk tidak memujinya.

"Aku tahu dan Terima Kasih." Kepercayaan diri darimana itu.

Hidangan datang tanpa melanjutkan kata-katanya Altheya mulai menyantap makanannya, ia


lapar.
"Lalu kenapa kamu lebih memilih ku daripada Meyza?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari
bibirnya.

Pria itu berhenti mengunyah, matanya yang tajam meliriknya sekilas dengan angkuh,
menerima tatapan seperti itu tanpa sadar gadis itu menelan makanannya sebelum dikunyah.

Se-mengerikan itulah tatapan mata Protagonis Pria.

Altheya meminum air hingga habis segelas, lehernya sakit sekali.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya.

Gadis itu menarik nafas dalam-dalamn kemudian membuangnya.

"Aku ingin kita putus." Diam-diam Altheya melirik ekspresi pria itu dari ujung matanya.

Pisau Daging di tusuk dengan Ganas, membuat Altheya menelan Saliva-nya.

Apa ia akan menjadi seperti Daging itu?!

"Yakin?" Dia membawa potongan Daging itu pada Altheya, menyodorkan tepat di depan
mulut gadis itu. "Jika kita putus kamu tidak akan bisa makan makanan lezat ini." Dia menari-
nari kan Daging itu tepat di depan bibir Altheya.

Gadis itu hampir saja tergoda, ia menggelengkan kepalanya untuk membuang pemikiran itu.
"Tapi aku capek."

Alis pria itu terangkat sebelah, ia menghentakkan Pisau di atas Piring hingga menimbulkan
suara yang cukup untuk menarik perhatian orang lain. "Kamu hanya perlu duduk dan makan
malam dengan ku, aku bayar, apa itu melelahkan? Kamu tidak kenyang?"

Altheya menggelengkan kepalanya, merasa gemas derngan pria ini. "Tapi aku dibenci oleh
banyak orang, mereka bilang aku Pelakor."

Pria itu tertawa sinis. "Eh, begitu kah?" Dia kembali menyodorkan Altheya sepotong Daging,
kali ini gadis itu membuka mulutnya dan pria itu menyuapinya.

"Bukanya memang seperti itu."

Altheya mengangguk, benar dia memang Pelakor.


"Siapa yang memanggil mu Pelakor?" Dia menghapus sudut bibir Altheya dengan jempol
lalu menjilat bekas itu.

Pipi Altheya merona merah. "I-tu hm satu Sekolah?" Ia dibenci oleh semua orang.

"Begitu kah?" Nada suaranya khas sekali ketika mengatakan kalimat itu. "Mau Es Krim?"
tawarnya.

Altheya mengangguk eh tidak ia menggelengkan kepalanya, ia harus tegas dan putus dengan
pria ini sekarang juga.

"Cake?"

Altheya menggelengkan kepalanya.

"Cokelat?" Tetap sama.

"Crepes?"

Sama juga.

"Putus?"

Sama eh tunggu!

Altheya menatap pria itu dengan mata melotot. "Kamu menjebak ku!" serunya kesal.

Pria itu menyeringai. "Kamu yang tidak mau, aku sudah bertanya."

Dasar sialan!

Dia sangat pintar dalam memanipulasi seseorang!

Argh!
Part 1

Baru dua hari berlalu setelah ia masuk ke Dunia Novel ini tapi tingkat stress yang ia alami
bahkan lebih parah dari remaja-remaja di Korea dan Jepang. Orang lain mungkin akan sangat
bahagia dan senang jika memasuki Dunia Novel yang sedang Booming akhir-akhir ini tapi,
hal itu berlaku jika kita memasuki tubuh Protagonis Wanita bukan tubuh seorang Pelakor.

Entah sejak kapan menjambak rambut dan membenturkan kepala ke Dinding adalah kegiatan
Favorit Altheya, ia sedang berusaha untuk tetap waras dan sabar saat ini.

"Uang mu habis?"

Altheya menggelengkan kepalanya. "Tidak." la sedang berada di Apartemen pria itu setelah
Makan Malam yang berakhir dengan gagalnya mereka putus.

"Lalu kenapa bertingkah seperti Orang gila?"

Lirikan tajam langsung Altheya arahkan pada Delta yang baru saja selesai mandi?

Altheya melotot ngeri, ia langsung membalikkan tubuhnya. "Kamu kenapa tidak pakai
baju?!" Kepalanya panas, sepertinya ada Uap yang muncul dari sana. Delta mengacak-acak
rambutnya dengan tangan, pria itu hanya menggunakan Handuk Putih yang melilit
pinggangnya, ketika Altheya berbalik ia dapat dengansempurna melihat apa yang selama satu
harian ini bersemburnyi di balik Kaos yang longgar.

"Seperti tidak pernah melihat saja."

Delta mendekat dan mengambil Ponsel yang berada di atas Nakas tempat Altheya berdiri, ia
membalas pesan teman-temannya sembari mengurung Altheya diantara kedua lengannya.
Jantung Altheya berdebar kencang, ia tidak bisa menatap hal lain selain layar ponsel Delta.
Banyak sekali pesan yang masuk tapi Delta hanya membalas pesan dari Reliy teman Delta
yang mengajak untuk ikut Balapan. Altheya melihat pesan dari Meyza dan Delta
membacanya.

"Meyza Aku di depan Apartemen kamu."

"Ngapain?" gumam Altheya.

"Entahlah, aku juga tidak tahu." Komentar Delta.


Altheya menatap Delta dari bawah dan pria itu juga membalas tatapannya, Delta meniup
mata Altheya, gadis itu tidak berkedip sejak tadi.

"Delta aku pulang yah?" Izin Altheya, Delta tidak ada lagi merengkuh nya pria itu sibuk
menggunakan Pakaian.

Delta tidak menjawab, ia sudah selesai berpakaian. Menggunakan Celana Rajut berwana
Putih dan Kaos Abu-abu, sekarang ia duduk di tepi Kasur dengan Hairdryer di tangannya.
"Bantu aku."

Altheya berbalik badan, ia menghela nafas lega setelah melihat Delta dengan pakaian
lengkap. "Bantu apa?" Sebenarnya ia tahu apa maksud pria itu tapi Altheya mau pura-pura
engga tahu aja.

Delta memberikan Hairdryer pada Altheya.

"Biayanya Es Krim."

Gadis itu mendengus kesal. "Emang aku semurah itu." Meksipun mendumel ia tetap
membantu Delta untuk mengeringkan rambutnya.

"Kamu aneh hari ini." Delta menatap wajah Altheya, gadis itu sibuk mengeringkan rambut
Delta, ia fokus sekali seperti sedang mengerjakan Ujian Nasional saja. Gerakan tangan
Altheya terhenti, ia berusaha tetap tenang dan melanjutkan tugasnya. "Aku kan baru sembuh
dari

Demam maklum kalau agak aneh." Ia memasuki Tubuh Altheya ketika gadis itu sedang
demam tinggi, tidak ada yang menjaganya, Altheya hanya tinggal di Kosan kecil yang
kumuh.

"Oh," lihat Delta sama sekali tidak peduli padanya, pria itu hanya mencari perhatian dengan
nya.

"Suruh dia masuk, lo boleh Pulang." Jika Delta sudah berbicara dengan dingin seperti itu,
tandanya masa kerja Altheya sudah habis.

"Baiklah." Altheya meletakkan kembali Hairdryer di Laci bawah Nakas.


Menatap punggung lebar Delta Altheya berjalan mundur menuju pintu masuk Apartemen, ia
membuka pintu dan langsung berhadapan dengan gadis tercantik di Dunia Novel ini. Meyza,
pacar dari Protagonis Pria.

"Ngapain lo disini?" Meyza bertanya dingin, ia menatap Altheya rendah.

"Delta di dalam." Altheya ingin pergi tapi Meyza langsung mencekal lengan nya. Gue diam
bukan berarti gue engga bisa apa-apa, lo jauhi Delta, dia punya gue, dia cuma main-main
sama lo." bisik gadis itu.

Altheya mengangguk. "Iya, aku tahu kok."

Alis Meyza terangkat sebelah, tumben-tumbenan gadis ini tidak membalas balik ancamannya.

"Dasar Jalang," ketus Meyza sebelum masuk.

***

Berjalan-jalan di sepanjang Trotoar tanpa ada alasan dan tujuan mau kemana, di Dunia Novel
ini ia sendiri tanpa siapapun yang menemaninya. Langit malam bahkan juga ikut
membencinya, tidak ada Cahaya dari Bulan atau Bintang, lampu jalanan juga mati, ia benar-
benar sendirian disini.

Sejak awal Altheya memang sebatang Kara. Dia adalah gadis cantik yang menjual keimutan
untuk mendapatkan uang, Altheya adalah Playgirl ia memiliki mangsa dimana-mana dan
semua mangsanya itu orang-orang Kaya yang rela memberikan uang berapapun itu asalkan
Altheya menuruti permintaan mereka.

Anggap aja pacar sewaan, ia hanya dicari ketika mangsa-mangsanya itu dalam keadaan gabut
dan membutuhkan seseorang untuk dipermainkan. Mangsa-mangsanya sebelumnya sudah
bosan dengan Altheya dan sekarang gadis itu menjadikan Protagonis Pria sebagai mangsa
selanjutnya. Jika Delta sudah bosan, ia juga harus mencari mangsa lainnya.

Dunia Novel ini sangat ribet dan dipenuhi dengan pasangan yang miskomunikasi. Meyza dan
Delta adalah kedua tokoh utamanya, Delta marah pada Meyza karena gadis itu ketauan
selingkuh dengan sahabat Delta padahal sebenernya tidak seperti itu hanya saja sahabat Delta
juga menyukai Meyza sehingga ia berusaha untuk merebut Meyza dari Delta namun hal itu
tentunya tidak mudah, Meyza sudah tergila-gila dengan Delta, pria yang ia suka sejak kelas
10.
Disinilah peran Altheya muncul, mengetahui masalah yang terjadi antara kedua Tokoh Utama
Altheya menawarkan diri menjadi selingkuhan pura-pura Delta, ia tidak akan Baper selama
Delta membayarnya dengan harga yang pantas. Ego Delta sangat tinggi, ia ingin membalas
perbuatan Meyza yang membuatnya sakit hati dan laki-laki bodoh itu menyetujui permintaan
Altheya.

Cinta datang disaat yang tidak terduga, itulah yang Altheya rasakan setelah 1 Bulan menjadi
selingkuhan Delta. Bagaimana Altheya tidak baper, disaat semua orang mengatai dirinya
Pelakor, ia di Bully oleh teman-teman Meyza, di caci maki oleh teman-teman Delta, dia saat
semua orang menatapnya rendah hanya Delta yang mengulurkan tangan padanya,
menolongnya dan melindunginya. Tapi, Altheya harusnya tahu Delta seperti itu hanya untuk
melancarkan aksinya untuk membuat Meyza cemburu, gadis itu terlalu dibutakan oleh cinta
sehingga ia tidak melihat mata Delta yang menatapnya penuh rasa jijik.

Ponsel Altheya bergetar, gadis itu merogoh saku celana Jeans nya, wajahnya berubah datar
ketika melihat nama Delta disana.

"Mau apalagi nih orang, udah ngusir gue tanpa ngantar." Meskipun mendumel ia tetap
mengangkat nya. "Halo?"

"Kita putus."

Altheya menatap tidak percaya pada layar Ponsel HP Xiomi nya. "Anak anjing, ngajak
putusnya engga ada otak! Kasih gue kesempatan ngomong dong!" Delta mematikan
sambungan telepon tanpa menunggu jawabannya.

"Sialan, apes banget nasib gue." Air mata Altheya jatuh.

Gadis itu memeluk kedua lututnya dan menangis disana. la ingin kembali ke Dunianya
setidaknya disana ada seseorang yang mencintai dirinya tidak seperti disini.
Part 2

Akhirnya ia pulang dengan menaiki angkutan umum. Untungnya latar tempat Novel ini
masih di Indonesia jika sudah di luar Negeri Altheya tidak tahu bagaimana ia harus hidup
sekarang. Tidak punya orang tua, teman, pacar, bibi, paman, tempat bergantung, Altheya
tidak punya apa-apa selain harga dirinya yang rendah lebih rendah dari tumpukan sampah,
jika bukan karena mangsa yang sebelumnya mungkin ia tidak akan bersekolah di tempat
bergengsi, untungnya mangsa itu masih tetap mau membayar uang Sekolahnya.

Jika ia memang harus hidup di Dunia ini, Altheya harus belajar dengan baik untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

"Uangnya engga laku Bang, bayar pakai Rupiah." tegas supir angkot pada seorang laki-laki
yang baru turun.

Altheya menatap keributan itu, sepertinya karena terlalu asyik melamun dia tidak
memerhatikan keributan yang terjadi. Ia melihat uang yang diberikan laki-laki itu pada supir
Angkot, matanya melotot eh tunggu itu uang Dollar kan?!

"Ck, lo bego yah ini lebih banyak dari Rupiah tukar di Bank lo udah dapat 150 ribu lebih."
Laki-laki itu tidak kalah ketus dari Tukang Angkot nya.

"Yah mana saya saya tahu Bang, ongkosnya cuma Goceng penampilan bagus duit Goceng aja
engga punya." sindir tukang Angkot.

"Anjing loh yah!" Laki-laki itu menarik kerah baju supir angkot.

"Jangan!" Altheya mengeluarkan uang sepuluh ribuan. "Pak dia saya aja yang bayar, nih
sekalian sama ongkos saya." Dia tidak mau melihat pertumpahan Darah, Altheya tidak bisa
melihat Darah, ia akan pingsan jika melihatnya.

Gadis itu Phobia pada Darah.

"Ck." Laki-laki itu melepaskan cengkraman nya, dia menatap Altheya tajam. "Malas banget
gue dibantuin lo." Setelah berkata seperti itu, ia berlari pergi.
Sepertinya dia terlalu terburu-buru.

"Makasih Neng, udah nolongin, saya takut juga sebenernya."

Altheya tertawa kecil. "Iya Pak, Gak apa-apa."

"Anak muda jaman sekarang ngeri yah Neng, ditolong bukan ucapin Makasih. Neng, kenal
sama dia?" Altheya menggelengkan kepalanya. "Engga Pak, baru jumpa saya cuma engga
mau liat Darah, saya Fobia Darah."

"Oalah Neng, bapak juga atuh. Neng mau kemana nih? Bapak harus Pulang sebenernya tapi
karena Neng udah nolongin Bapak antar sampai tempat tujuan."

Altheya tersenyum senang, ia menunjukkan alamat Kosannya yang ternyata hanya 5 Menit
dari tempat terkahir laki-laki itu turun. Malam ini tanpa mengandalkan siapapun Altheya
sampai rumah dengan aman, ia membeli Nasi Ayam Geprek untuk dimakan di tempat Kos,
setelah semuanya akhirnya ia rebahan di atas Kasur.

"Ergh, kasurnya tipis banget punggung gue sampai nyentuh lantai." Altheya bodoh, ia
memiliki banyak barang mahal dan bermerk namun tidak mampu membeli Kasur atau bahkan
dia engga kepikiran untuk pindah ke tempat yang lebih baik.

Altheya merinding ketika bertatapan mata dengan Tikus yang sedang bermain-main di atap
Kosan, sepertinya Tikus itu mencium aroma enak dari makanan nya.

Buru-buru ia menghabiskan Ayam Geprek yang ia beli tadi sebelum direbut oleh Tikus itu.

"Kayaknya gue harus pindah," gumam Altheya sembari makan, Altheya asli sebelumnya
lebih sering menginap di Apartemen mangsa-mangsanya sehingga ia tidak pernah merasakan
tiduran di kasur tipis seperti dirinya.

"Pantas dia mati, lagi Demam tiduran di lantai"

la akan menjual semua barang-barang bermerek Altheya via Online dengan harga yang tidak
jauh dari yang aslinya, lalu ia akan mencari kos-kosan yang lebih layak dengan uang itu,
tidak masalah jika penampilan turun drastis, dari Altheya dengan banyak barang bermerek
jadi Altheya yang biasa-biasa aja.

Lagian dia cantik kok, orang cantik pakai apa aja pasti tetap cantik.
***

"Pelakor turun Kasta yah? Kelihatan pengemis nya."

"Hahahaha, aura rendahan dari tong sampah."

"Karma tuh, emang enak diputusin."

"Eh tapi kan sejak awal dia Pelakor, dianggap gak sih?"

Mereka tertawa terbahak-bahak.

Altheya tersenyum manis. "Iya nih, gue kan Bidadari dari Tong Sampah engga kayak kalian."

Mereka berhenti tertawa.

Altheya semakin berani. "Lo pada iri yah sama gue? Engga kayak lo pada yang hanya bisa
natap Delta dari jauh, gue bisa nyentuh Dada dia, cium parfum dia, makan malamn sama dia,
gue bahkan di ajak ke Apartemen dia, semua kebutuhan gue dipenuhi." Altheya tertawa
dalam hati melihat eskpresi keempat gadis yang mengejek setiba ia di Sekolah itu, puas sekali
melihat ada rasa bangga dalam hatinya. "Kalian cuma bisa menghalu." Dia menyeringai.

"Gila lo yah!"

Altheya terlonjak kaget, dengan gerakan Slow Motion gadis itu melihat belakangnya dan
bertemu pandang dengan wajah amarah seorang Meyza.

Mampus! Batin Altheya.

Bukan hanya Meyza disini ada Delta dan ke-empat temannya.

Altheya kembali melihat ke depan, mengacuhkan ke-enam orang itu.

"Hahahaha gue harus ngerjain tugas jadi bye!" Ia berlari dengan kencang, menuju tak terbatas
dan melampauinya.

Asyek keren banget gue! Altheya tertawa dalam hati.

"Lo mau kemana?"

Altheya berhenti berlari, gadis itu melihat kakinya, sepertinya ia hanya berlari di tempat tadi.
"L-epasin gue!" seru Altheya, ia melotot garang pada salah satu temarn Delta yarng menarik
Tasnya.

Ternyata oh ternyata laki-laki galak yang ia temui di Angkot kemarin adalah dia, Vergo sih
cowok gila dengan harga diri tinggi.

Vergo membalas tatapan Altheya membuat gadis itu langsung kicep.

"Hm, ada perlu apa yah?" Altheya bertanya dengan nada suara yang manis.

Vergo mengeluarkan uang Goceng dari sakunya dan memasukannya ke Kantong Seragam
Altheya.

Gadis itu melotot ngeri. "Mesum!" serunya refleks.

Vergo melepaskan Tas Altheya dan mendorong bahu gadis itu cukup keras.

"Pergi lo Bangsat."

Altheya menatap tidak percaya pada laki-laki itu, harga dirinya tersinggung eh memang ia
masih punya harga diri? Jelas punya dong, dia bukan Altheya yang asli! Tapi, ia tidak bisa
melawan begitu saja. Altheya menghela nafas, ia pergi dengan langkah gontai.

"Lapar gue," gumamnya.

Ia belum makan apa-apa karena uangnyanhabis, eh tunggu barusan ia dapat Goceng dari
Vergo kan Secepat kilat Altheya berlari ke arah Kantin yang untungnya bisa dicari dengan
mudah tanpa bertanya pada orang lain. Sesampainya di Kantin ia mencari Roti yang harganya
Goceng, astaga tidak di Dunia aslinya bahkan setelah ia masuk ke dalam Novel kenapa
kemiskinan selalu memeluk dirinya. Sayang sekali pemirsa tidak ada Roti yang harganya
Goceng. Altheya meratapi Nasib di depan Kantin. Sepertinya ia harus menunggu Jam Makan
siang dan mendapatkan makanan gratis dari Sekolah, sistem di SMA swasta ini mirip dengan
Sekolah-sekolah di Korea itu loh, makan siang siswa-siswi sudah disediakan dan mereka
bebas makan sebanyak apapun.

Altheya berbalik arah berniat untuk pergi tapi dahinya malah menubruk sesuatu yang empuk
darn sedikit keras.

Delta menatap Altheya dengan pandangan merendahkan gadis itu. Gadis itu mengerjapkan
matanya lucu.
"Apa?" Bukankah mereka sudah putus untuk apa menemuinya lagi.

Part 3

Delta memberikan sebuah Kartu ATM padanya. "Bayaran lo."

Altheya menerimanya, ia menatap tidak percaya pada pria itu. "Lo ternyata baik juga yah?"
Matanya berkaca-kaca, ia kira sebelum barang-barang bermerek miliknya terjual ia hanya
bisa makan satu kali sehari itupun dari Sekolah, untunglah masih ada hal baik yang terjadi.

"Makasih Delta." Altheya tersenyum manis.

Delta tertegun.

Tanpa memperdulikan pria itu Altheya segera memesan sesuatu untuk ia makan. "Bu pesan
Nasi Goreng satu, Teh Hangat satu." Ia benar-benar kelaparan, Ayam Geprek kemarin
porsinya terlalu sedikit ia sampai harus minum air untuk mengenyangkan diri.

"Samain Bu."

Altheya melirik Delta yang berdiri di sampingnya. "Loh belum makan?"

Delta mengangguk kecil.

Setelah pesanan mereka siap Altheya membawa nampan nya tanpa banyak bicara, ia bahkan
tidak mengajak Delta untuk duduk bersamanya karena yah ngapain kurang kerjaan namanya
mengajak mantan makan bersama, lagian ia tidak genit dan nakal seperti Altheya yang asli.

Sayangnya Delta lebih memilih duduk didepannya daripada ke Meja lain.

"Meyza mana?" tanya Altheya.

Delta mengangkat bahu tidak tahu.

"Btw Makasih udah Traktir gue."

Makanannya kali ini juga dibayari oleh Delta.

Delta mengangguk kecil, Pipinya mengembung lucu ketika makan.

Jika seperti ini dia tidak terlihat menyeramkan.

"Lo ada hubungan apa sama Vergo?" tanya Delta tiba-tiba.


Altheya berhenti mengunyah, ia menatap laki-laki itu dengan mata bulat besarnya. "Engga
ada." Sepertinya Delta tidak puas dengan jawabannya, ia masih menatapnya tajam bahkan
Altheya mengurungkan niat untuk lanjut makan.

"Kemarin gue jumpa dia di Angkot, dia engga punya uang kecil jadi gue bayarin." Cerita
Altheya.

Delta akhirnya berhenti menatapnya. Altheya menghela nafas lega dan kembali makan.

"Sini uangnya."

Sendok yang ingin masuk mulutnya berhenti bergerak, masih belum puas juga? Lagian kok
kepo sih kan udah putus.

Altheya merogoh sakunya dan memberikan uang Goceng itu pada Delta. "Goceng aja lo
palak," ketusnya.

"Gaji lo lebih dari ini." Delta memasukkan uang itu ke sakunya.

"Emang berapa?" Tantang Altheya, lebih tinggi gak dari uang kuliahnya dulu.

"50."

"Ribu?"

"Juta."

Nasi Goreng di mulut Altheya langsung tersembur keluar.

Delta menatap gadis itu jijik. "Jorok Anjing."

Untung makanannya tidak kenak hujan lokal itu.

"Li-li-ma puluh juta?!" Bukankah itu terlalu banyak, padahal kerjanya hanya merepotkan
Delta tiap saat bahkan ketika jalan semuanya dibayari oleh Delta.

"Hm." Bukankah itu sesuai dengan nominal yang gadis itu minta.

Ternyata harga diri Altheya asli semahal ini? Bahkan lebih mahal dari uang kuliahnya, pantas
ia bisa membeli semua barang-barang bermerek yang lagi ia jual saat ini. Gadis itu bermain-
main dengan laki-laki tampan yang memiliki banyak uang, benar kata orang cantik itu
segalanya dan yang lebih gila lagi anak SMA mana yang mau membuang-buang 50 Juta
untuk seorang gadis yang tidak ada hubungan apa-apa dengannya.

"Btw kita kan udah putus kenapa lo dekatin gue lagi?" tanya Altheya.

Delta mengangkat bahu tidak tahu. "Entah."

Altheya mendelik kesal, laki-laki ini benar-benar aneh dan tidak memiliki pendirian.

"Lo butuh tempat untuk tinggal kan?"

Sekarang Delta terlihat sangat mencurigakan, bagaimana bisa ia tahu.

Altheya selesai dengan makanannya, gadis itu bangkit dan menatap Delta penuh penegasan.
"Kita udah putus Delta, jangan campuri urusan gue lagi, mau gua kayang ngamen, ngemis,
bahkan gulingguling di tanah engga ada hubungan sama lo, jaga aja hubungan lo dan Meyza
lalu Terimna Kasih untuk Gajinya."

Setelahnya ia pergi, meninggalkan Delta yang masih setia menatap punggung gadis itu.

Barang-barang bermerek yang ia jual di aplikasi Online laku dalam sekejap mata, Altheya
menjadi kaya raya secara tiba-tiba. Penasaran dengan jumlah uangnya ia mendatangi ATM
dekat Sekolah dan melihat nominal hasil kerja kerasnya, seketika mulut dan matanya terbuka
lebar

"Gila anjir, sebelumnya uang paling gedek yang gue pegang cuma 4 Juta, itupun untuk bayar
uang semester." Jumlah angka nol yang sangat banyak.

Akhirnya ia bisa mencari kos-kosan yang layak untuk ditinggali darn sebelum uang-uang ini
habis Altheya harus mengolahnya, membuatnya menjadi banyak sehingga ia tidak perlu
bekerja keras, hanya duduk diam dan melihat uang mengalir. Ia akan bermain dengan Saham.

"Hehehe." Altheya menyeringai.

"Gila lo?"

"Anjir!" Altheya menjerit keras, ia melirik seorang laki-laki yang tiba-tiba masuk ke tempat
ATM.
Altheya mundur sedikit dan membiarkan laki-laki itu menyelesaikan keperluannya dengan
benda Dewa yang disebut ATM. Laki-laki itu sangat tampan dengan wajah lembut, kulit
putih dan bulu mata yang lentik daripada tampan ia lebih cocok dikatakan cantik.

"Lo putus sama Delta?" tanya laki-laki itu.

Altheya mengangguk. "Iya."

"Siapa yang mutusin?"

"Dia."

Laki-laki itu mengangguk. "Kehidupan lo gimana?"

"Baik-baik aja." Sepertinya Altheya asli dan laki-laki ini memiliki hubungan tapi apa?

Ia tidak tahu dan tidak mengenali laki-laki ini.

"Mau makan siang bareng?" ajaknya tiba-tiba.

Altheya menatap laki-laki itu penuh selidik, berdasarkan Name Tag nya ia bernama Kile.
Akhirnya ia tahu siapa laki-laki ini setelah berpikir dengan cukup cepat, dia adalah mangsa
Altheya sebelumnya yang sampai sekarang masih membiayai Sekolah gadis itu.

"Boleh." Altheya menerimanya dengan senang hati, ia juga ingin membicarakan sesuatu.

Mereka berjalan menuju Kantin Sekolah dan mengantri untuk mendapatkan makan siang.
Barisannya tidak terlalu ramai ketika mereka tiba. Jam istirahat di Sekolah ini cukup panjang
yaitu sekitar satu Jam namun kekurangannya Sekolah ini hanya mengadakan sekali Jam
Istirahat, sisanya Belajar atau Praktek ruangan.

"Bu saya minta Daging banyak-banyak." Request Altheya, ia tidak mau kelaparan lagi

"Iya." Balas Ibu-ibu Daging. "Kamu gimana?" Ila bertanya pada Kile.

"Porsi biasa." Kile tidak terlalu suka banyak makan, pantesan ia kurus. Mereka duduk di
Meja dekat Jendela Kantin sehingga Altheya bisa melihat Taman Sekolah yang cantik.
Sekilas tadi ia juga melihat Delta yang sedang makan bersama Meyza dan teman-temannya,
laki-laki itu masih setia menatapnya dari awal ia masuk Kantin hingga duduk.

"Di muka gue ada sesuatu yah?" tanya Altheya pada Kile.
Kile menggelengkan kepalanya. "Biarin aja dia rada gila." Kile sepertinya tahu maksud dari
pertanyaan gadis itu.

Altheya mengangguk mengerti, ia memakan makanannya.

"Btw Kile, lo Broker kan?"

Kile menatap gadis itu dengan dahi mengkerut, tumben-tumbenan Altheya mengajaknya
berbicara tentang Topik rumit seperti ini, gadis itu kan Bodoh, ia selalu membenci Kile ketika
ia membicarakan tentang pekerjaan sampingannya.

"Iya, kenapa? Lo mau main Saham?" Dia bertanya asal.

"Iya." tegas Altheya.

Kile menatap gadis itu dengan serius. Tidak ada raut wajah bercanda disana.

"Kenapa? Lo kekurangan uang? Engga cari mangsa baru setelah Delta? Uang Sekolah lo kan
masih gue tanggung." Pertanyaan cukup kejam namun dari sana lah sumber keuangan
Altheya berasal.

"Dimata lo gue se-bego itu yah?" Altheya merunduk sedih.

Sekarang Kile menatap Altheya seperti sedang menatap orang gila dekat rumahnya.

Apa gadis itu tidak sadar diri?


Part 4

Altheya adalah gadis yang bodoh, tidak pernah masuk 20 besar Rangking dikelas. Selalu
menyontek ketika Ujian, tugas-tugas yang ia kerjakan juga selalu salah, prinsip Altheya
terntang tugas hanya satu dia akan mengerjakan meskipun salah. Ketika ia berpacaran dengan
Kile, laki-laki itu akan membawanya ke tempat-tempat Kliennya berada, disana tugas
Altheya hanya menemani Kile dan memperkenalkan diri sebagai pacar Kile.

Kile menjadikan Altheya pacarnya karena keadaan genting dan gadis itu datang di saat yang
tepat ketika ia membutuhkan seseorang sebagai Tameng. Dulu ada seorang Stalker yang
selalu mengikutinya kemana-mana tentu saja Kile tidak nyaman dengan hal ini, puncaknya
ketika Stalker itu memotretnya yang sedang berganti pakaian, karena kesal Kile mencari
pacar sewaan dan kebetulan Altheya mau menerimanya dengan syarat.

Gadis itu juga tidak akan baper dengannya, selama ia membayar dan memenuhi kebutuhan
Altheya.

"Mau cermin?" Kile memberikan cermin kecil yang selalu ia sempat di Sakunya.

"Untuk apa?" Gadis itu bertanya bingung.

"Biar lo ngaca, kan memang bodoh." Altheya menatap Kile dengan pandangan terluka, ia
syok berat. "Lo! Meremehkan gue! Gue ini juara satu umum dalam...." Astaga itu kan dia di
kehidupan sebelumnya bukan sekarang.

"Dalam mimpi?" sambung Kile wajahnya menyebalkan sekali.

"Iya!" Altheya tertawa miris. "Dalam mimpi." Ia lupa Altheya adalah gadis yang bodoh.

Kile mendengus, terang-terangan sekali ia mengejek Altheya. "Lo salah makan atau apa?
Kok berubah banget waktu pacaran sama gue engga seimut ini." Kile menopang dagu,
menatap gadis itu penuh selidik.

Altheya tersedak makananya, kenapa pria-pria ini pada peka semua. "Hm gue kemarin sakit."
cerita Altheya.

"Terus?" Kejam sekali mereka tidak ada yang khawatir padanya.


"Demam tinggi, mungkin karena itu gue agak berubah rasanya kayak mau mati." Padahal
memang udah mati.

"Oh." Kile meminum Susu Kotaknya sembari melihat Altheya makan. "Cara makan lo juga
beda."

Bisa gak sih gak buat gue jantungan! Batin Altheya.

"Jadi lo mau gue makan pakai kaki gitu?" ketus Altheya.

Kile tertawa geli. "Coba nanti gue video, biar viral."

Altheya mendumel kesal. "Kile lo engga benci gue yah?"

"Untuk apa?"

"Karena jadi Pelakor."

"Dih, lo nya aja yang sombong engga mau ngobrol sama gue." Kile ingat sejak mereka putus
ia sering mengajak Altheya ngobrol tapi gadis itu selalu menolak katanya ia takut Delta
cemburu, padahal Delta tidak memiliki perasaan khusus pada Altheya.

"Iya yah." Altheya asli sangatlah bodoh.

"Bukan cuma gue sih, mantan-mantan mangsa lo kan banyak yang nyari dan semuanya lo
tolak."

Mudah-mudahan mereka tidak mencarinya lagi.

"Modal lo berapa?" Altheya menatap Kile serius. "10."

Kile manggut-manggut. "Mau yang cepat tapi dikit atau lama tapi banyak?"

"Kedua." Altheya tidak butuh uang cepat-cepat. "Gue serahin semuanya ke lo, bebas mau di
apain."

Kile tersenyum geli. "Percaya banget lo sama gue."

"Percaya dong, lo kan mantan terbaik gue." Dia berkata seperti itu karena hanya Kile mantan
Altheya asli yang ia kenal.

Kile terdiam. "Bukan sih Bastian yang terbaik?"


"Hah? Siapa?" Ia tidak mengenalinya. Kile tertawa. "Pura-pura lupa yah."

Dia beneran engga ingat.

"TF ke gue uangnya, kalau cair gue berhenti bayar uang Sekolah lo."

"Kok gitu?!"

Kile menyeringai. "Gue bayar karena lo engga ada uang tapi, sekarang lo ada uang dan
dengan bantuan gue uang lo engga akan habis jadi gue berhenti." Dia angkat tangan.

Altheya manggut-manggut. "Iya deh, makasih untuk semuanya."

"Ganti dong."

Altheya menendang tulang kering Kile.

"Baru dapat duit udah di palak."

Kile meringis, tendangan gadis itu sangat menyakitkan. "Lo dapat duit darimana? Biasanya
habis juga buat beli bayi-bayi lo itu." Bayi-bayi yang dimaksud Kile adalah barang-barang
bermerek milik Altheya.

"Delta bayar gue 50, terus bayi-bayi gue jual"

Air yang baru masuk ke mulut Kile langsung tersembur keluar. "Apa?!"

Altheya mengambil Tisu dan mengusap wajahnya yang tersembur hujan lokal Kile.

"Udah gue jual."

Refleks Kile memegangi dahi dan leher gadis itu, hangat. "L0 engga gila 'kan?"

"Ish! Gue udah grepe-grepe aja dari pagi." Tadi Vergo dan sekarang Kile.

"Wait, this insane you sold your baby?"

Altheya mengangguk. "How many times do i have to say?" Sekarang Kile lebih syok lagi.
"You speak English?"

"Yes, what's wrong with that?"


"Lo Altheya kan?" Kile tidak percaya, gadis bodoh dalam semua hal itu bisa berbahasa
Inggris.

Altheya menghela nafas. "Capek ah! Gue Altheya anjir!"

Kile bertepuk tangan. "Kalau lo sepintar ini gue engga akan malu jadi pacar lo, ayok
balikan."

Altheya menyeringai. "10 juta sehari, berani bayar?"

"Bayar hutang uang Sekolah lo ke gue."

"Huweeeee maaf Kile!" jerit Altheya.

***

Pulang Sekolah Altheya menghampiri Mading Sekolah untuk mencari informasi tentang
Kosan bagus di dekat sini. Kalau bisa ia tidak mau jarak Kosannya terlalu jauh dengan
Sekolah, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki jadi kalau ada apa-apa ia bisa mampir
pulang.

"Beneran turun Kasta dia."

Perkara engga pakai Make-up menor dan barang murahan dalam satu hari ini ia selalu diejek
turun Kasta. Ingin sekali gadis itu menyombongkan diri, dia tidak turun Kasta uangnya
banyak nih di ATM mungkin uangnya lebih banyak dari uang jajan semua orang yang ada di
Sekolah ini kecuali uang Jajan Delta dan Kile.

"Lo bertiga mau apa?" Mereka adalah teman-teman Meyza.

Layla, Orchid, dan Zehra.

"Lo engga ada harga dirinya yah? Udah berapa gue bilang jauhi Delta, dia sama Meyza masih
pacaran dan kesalahpahaman sudah terselesaikan!" ketus Layla, gadis itu pernah mengurung
Altheya di Toilet agar ia tidak jadi jalan bersama Delta.

"Gue udah putus dari dia, masalahnya apa lagi?" balas Altheya.

"Putus? Terus tadi pagi di Kantin kenapa kalian makan bareng?" Orchid ikut menyudutkan
Altheya, gadis ini pernah meletakkan Lem di Rok Altheya agar gadis itu tidak mengganggu
Delta.
"Hell no! Gue makan sendiri dan dia tiba-tiba duduk di Meja gue! Udah deh yah daripada lo
bertiga koar-koar engga jelas bantuin gue milih Kosan yang paling dekat dengan Sekolah! Lo
ngekos dimana Zehra?" tanya Altheya pada gadis pendiam itu, di Novel pernah dikatakan
Zehra ngekos di Belakang Sekolah.

Zehra mengangguk. "Aku ngekos, dia belakang Sekolah ada rumah bertingkat gitu,
pemiliknya buka kos khusus cewek, kalau kamu mau nanti aku bantu bilangin."

"Zehra!" Layla dan Orchid mendelik galak.

"Kenapa?" tanya Zehra polos, gadis itu memang terlalu lugu, disaat ketiga temannya
menyakiti Altheya, ia hanya diam dan bertanya-tanya untuk apa mereka melakukannya,
kasihan Altheya.

"Lo teman dia atau Meyza?" ketus Orchid.

"Meyza dong, dia kan selalu beliin aku Cake."

Terus ngapain bantu dia?" Layla menunjuk Altheya dengan kasar.

"Yah karena dia nyari Kosan." jawab Zehra.

Layla dan Orchid langsung menarik Zehra untuk pergi.

"Kamu ke Belakang Sekolah aja, lewat Gang samping dekat Kantor Satpam!" seru Zehra.

Altheya melambaikan tangan dengan anggunly. "Oke, makasih yah!"

"Zehra jangan bicara sama Pelakor!" Galaknya.


Part 5

Seperti saran Zehra, dua hari kemudian Altheya pergi ke belakang Sekolah dan mendatangi
rumah bertingkat yang terlihat paling mencolok diantara semua rumah di sekitar sini. Setelah
mengemas semua bayi-bayi milik Altheya asli dan mengirimnya kepada pembeli ia segera
mengemasi barang-barangnya yang tinggal sedikit, bahkan ia hanya membawa satu Tas
Ransel dan Satu Koper Dior yang tidak ia jual.

Setelah semua ini selesai ia harus membeli pakaian baru, karena banyak pakaian bermerek
yang sudah habis ia jual.

"Permisa eh permisi!" Altheya menekan Bel-nya, rumah itu tidak terlalu lebar hanya
menjulang tinggi ke atas.

"Iya seberntar!" Terdengar suara dari dalam, suara seorang wanita.

"Wah gadis yang inmut, ada perlu apa sayang?"

Altheya bersiul kecil, Ibu Kosan nya benda-benda terlihat sangat cantik dan seksi. Gaun
merah yang memamerkan belahan dadanya, rambut pirang panjang. Make-up tipis yang tidak
terlalu menor dan sepatu hak tinggi berwana hitam. Altheya bertanya-tanya apakah setiap
hari ia berpakaian seperti ini?

"Anu..Kak saya mau ngekos." kata Altheya.

"Aku lebih tua dari kelihatannya sayang." Dia mengerling menggoda. "Panggil Bunda Irma
seperti itulah semua penghuni kos memanggil ku." Bunda Irma membuka pintu lebar-lebar
mempersilahkan Altheya untuk masuk. "Masuklah, kita akan membicarakan semuanya di
dalam."

Dalam Rumah itu juga cukup bagus, daripada kosan ini terlihat seperti rumah minimalis yang
ditinggali keluarga kecil Ada banyak kamar disini dan Altheya meminta kamar di lantai satu,
ia tidak mau naik-turun tangga terlalu melelehkan menurutnya dan uang Kosannya juga
engga terlalu mahal, masih sanggup lah dia bayar kalau engga sanggup minta uang ke Kile
aja.

"Karena kamu meminta di lantai satu, cuma kamu yang di lantai ini, yang lainnya di lantai 2
dan 3."
"Gak apa-apa Bunda Irma, capek naik-turun tangga.

"Oh yaudah gak apa-apa, saya juga tinggal di lantai satu kok." Bunda Irma tersenyum ramah.
"Kamar kamu yang ini." Ia membuka pintu kamar dengan pintu berwana Putih.

"Woh!" Altheya berdecak kagum. "Ini lebih bagus daripada kosan saya sebelumnya."

"Syukurlah kamu suka, peraturan disini sangat sederhana. Semua bebas dilakukan selama
kamu tidak membawa lawan jenis ke kamar." Bunda Irma memberikan tatapan tajam ketika
mengatakan hal ini. "Seseorang pernah saya usir karena ketahuan membawa pria ke
kamarnya, jadi jika kamu tidak ingin saya usir tepati itu..." Dia melotot tajam.

Altheya mengangguk. "Tenang aja Bunda, saya tidak akan melakukannya." Astaga
menakutkan sekali.

"Baguslah, ini kunci kamarnya, selamat beristirahat dan beres-beres."

"Bunda ada Motor gak? Aku boleh pinjam mau ke Mall bentar." Izin Altheya, ia melihat
beberapa Motor di Garasi sebelum masuk tadi.

"Punya, ambil kuncinya di dekat pintu masuk, setiap kali digunakan ingat harus bertanggung
jawab dan jaga dengan baik."

"Baik Bunda."

Bunda Irma segera pergi dari kamar Altheya agar gadis itu bisa membereskan barang-
barangnya. Altheya meletakkan barang-barangnya dan merebahkan diri di atas kasur, gadis
itu tersenyum senang. "Akhirnya gue bisa tidur nyenyak." Selama tirnggal di Kosan lama
Altheya ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, punggungnya sakit.

"Ayo Altheya, jangan malas-malasan, ini semua baru awalnya." Akan banyak peristiwa yang
terjadi nanti dan ia harus bersiap-siap untuk menontonnya.

Iya menontonnya! Tidak mungkin ia melewatkan semua adegan favoritnya di dalam Novel
ini.

Altheya terkekeh geli. "Kayaknya gue dah gila."

Setengah jam kemudian ia membereskan barang-barangnya dan pergi ke Mall terdekat untuk
berbelanja.
***

"Anjing gila mahal-mahal banget," lirih Altheya.

Ketika ia masih menjadi mahasiswa jajan hariannya engga sampai 50 ribu sehari dan pakaian
yang ia gunakan paling harganya kisaran 100-50 ribu. Keluarganya di kehidupan sebelumnya
adalah keluarga sederhana yang sering kekurangan uang dan tidak makan karena tidak
memiliki uang untuk membeli makanan. Ia memiliki 4 saudara dan dirinya adalah anak
terakhir, Papa dan Mama sudah tiada sejak SMA karena penyakit diusia tua.

"Sebaiknya gue keluar dari sini." Sekarang ia berada di sebuah Toko baju merek ternama, ia
bahkan melihat beberapa pakaian yang baru saja ia jual kemarin di Situs belanja online.

"Terima Kasih atas kunjungannya."

Altheya merunduk malu, padahal ia tidak beli apa-apa tapi tetap diucapin Terima Kasih.

"Eh lihat mereka Aktor yah? Kok ganteng banget sih."

"Gila! Itu wajah atau pahatan karya seni! Ganteng banget!"

"Kalau gue dekatin dia mau gak yah?"

Altheya yang baru saja selesai membeli Es Krim menatap beberapa gadis yang sedang bisik-
bisik tidak jelas, alisnya terangkat sebelah dan karena penasaran ia mendekati kerumunan itu.

"Ada apa kak?" tanyanya pada seseorang.

"Itu ada Cogan."

Cogan?

Gadis itu berjinjit untuk melihat apa yang sedang kerumunan itu lihat dan ketika melihat
seseorang yang ia kenal mata Altheya langsung melotot.

Itu Delta!

Awalnya ia ingin ke arah sana untuk mengunjungi Toko baju yang lainnya tapi untuk saat ini
ia akan memilih mundur, Altheya berlari terbirit-birit, ia tidak mau bertemu dengan pria itu
dan kerena terlalu panik gadis itu memasuki Toko untuk pakaian dalam pria.

Urgh.
Bagaimana ini? Bagaimana caranya keluar?

"Permisi kak, ada yang bisa saya bantu? Mau cari pakaian dalam untuk suami, Abang, adik
atau pacarnya nih kak?" Pegawai Toko menghampiri Altheya yang terlihat seperti pencuri.

"Hah! Engga ada kak hehehe saya engga cari apa-apa." Sebaiknya ia segera keluar dari sini.

Tapi naas nya di depan pintu masuk ia bertemu dengan Delta dan seorang temannya.

Altheya tertangkap basah.

Delta yang terlihat sangat tampan dengan pakaian santainya menyeringai seperti Iblis. "Lo
mau beliin gue Pakaian dalam?" ejeknya.

"Gue cuma lewat," ketus Altheya.

"Siapa Bang?" tanya Cogan di samping Delta.

kek Bocil. Batin Altheya.

"Selingkuhan gue," kata Delta.

"Ih." Jijik banget. "Kasihan Kak Meyza."

"Udah putus kok," sambung Delta.

"Th!" Nih Cogan kok kayaknya agak gimana-gimana gitu. "Bisa gitu."

Altheya menatap keduanya bingung. "Gue pergi deh."

"Lo mau makan apa tadi?"

"All you can eat gue mau Pesta daging."

"Bisa sih tapi syaratnya harus tiga orang, kita cuma berdua."

"Harus kita telpon Kak Meyza?" Altheya langsung mengurungkan niatnya untuk pergi. "Hm,
gue ikut boleh?"

Lumayan makan siang gratis.

"Siapa lo?" Delta menatap Altheya sinis.


"Ajak Kak Meyza aja." Cogan di samping Delta juga ikut menatapnya sinis, sepertinya ia
tidak suka dengan Altheya.

"Jauh, ajak dia aja." Delta menarik lengan Altheya, la juga ikut menarik tangan adiknya.

"Ish, gue malas banget makan sama Pelakor."

Altheya menatap laki-laki itu sinis. "Lo siapa? Engga kenal udah ngatai orang."

"Gue Aldern adiknya Delta, apa lo?" Nih Bocil julid banget.

Altheya terdiam sekarang tatapan sinis berubah menjadi tatapan kasihan.

"Lo nantangin gue yah? Berani banget lo tatap gue kayak gitu."

Altheya menggelengkan kepalanya. "Engga kok, gue anak baik, gue dian."

"Bang gue maujual nih cewek ke Pasar gelap!"

"Coba aja, besoknya lo nyusul."

Alden mendumel kesal. "Aneh lo, padahal cuma selingkuhan kok di bela banget?"

Delta tidak menjawab.

Sementara Altheya ia menghela nafas dengan sedih.

Kasihan sekali adik Delta, nantinya ia akan jatuh cinta pada Meyza dan dicampakkan seperti
Tisu basah.

Ck, entah kenapa Altheya kesal.


Part 6

Kile menatap kerumunan anak orang kaya itu dengan pandangan datar, cowok dengan wajah
cantik dan aura berandalan itu sedang duduk di atas Mobil Sport berwarna Hitam miliknya
sembari menikmati sekaleng Bir. Arena Balapan adalah tempat yang menyenangkan untuk
mencari uang, kesenangan, teman, dan kehidupan bebas yang menyenangkan.

Sebagai seorang yang sudah lahir dari keluarga berada Kile selalu menganggap bosan semua
hal. Dia hebat dalam segala hal dan mampu mempelajari hal baru dengan cepat, ia didik
dengan cukup keras meksipun ia anak laki-laki terakhir di keluarga kedua orang tuanya tidak
memanjakannya seperti anak-anak orang kaya itu.

"Datarnya muka, mirip dada mantan gue."

Kile mendengus dingin. "Kayak lo pernah pegang aja."

"Pernah dong, asal lo tahu semua mantan gue itu pernah gue cobain." Laki-laki yang sedang
berbicara dengan Kile itu tersenyum mesum. "Cewek lo mana? Sendiri mulu?"

"Hilang." jawab Kile asal.

"Diambil orang?"

"Nah tuh tahu," jawab Kile asal.

Dia tertawa. "Dibandingkan Delta lo mah kalah tapi, selera Delta rendahan banget yah."

Kile mengangguk setuju. "Tuh cewek yang lo bilang rendahan." Ia menunjuk Altheya yang
baru turun dari Gojek Online dengan pakaian serba hitamnya.

"Ternyata begini tempat tongkrongan kesukaan Kile." Altheya menyeringai.

"Gimana gue engga malu-maluin kan?" Dia menaik-turunkan alisnya, mengejek Kile.

"WTF! Lo cewek cupu kemarin?"

Altheya mengerut kesal, ia menyibakkan rambutnya. "Iya, kernapa? Pangling lo?" Gadis itu
menatap laki-laki yang tidak terlalu tampan itu dengan penuh selidik.

"Lo siapanya Kile?"


Kile menyeringai. "Pacar gue."

"Heh?!" seru Altheya dan laki-laki itu.

"Bukan njir! Gue Levan, teman dia bukan pacar dia! Gue normal!" seru Levan, tidak terima
dikatai Homo.

Altheya melangkah mundur. "Jadi setelah putus sama gue, lo belok?" Dia menatap Kile tidak
percaya.

"Iya di mimpi," jawab Kile dengan senyuman manisnya.

Ingin sekali Altheya lempar wajah itu dengan sepatu Hak tingginya. "Ada taruhan gak
disini?" tanya Altheya pada Levan.

"Ada, mau join?" Levan menyeringai.

"Kalau kalah bayaran mahal." Dia mendekati Altheya, berdiri di samping gadis itu.

"Oh, apa bayarannya?" tanya Altheya.

Levan sedikit merunduk untuk berbisik di telinga Altheya. "Lo."

"Oke!" Altheya tertawa lepas. "Siapa yang tanding malam ini?" Levan kira ia takut, tentu saja
tidak.

Kile melempar Kaleng Bir nya hingga masuk sempurna ke dalam Tong Sampah. "Virgo dan
Drian."

Altheya terkekeh pelan. "Berapa taruhan tertinggi?"

"10, di pihak Virgo."

Altheya manggut-manggut. "20 untuk Drian."

Perkataan Altheya menarik perhatian semua orang yang ada disana, termasuk Delta yang
tentunya juga ada disini.

Kile tertawa geli. "Kalau bangkrut jangan minta uang ke gue yah."

"Dih pelit loh, gue pinjam uang lo dulu."

Kile melotot ngeri. "Kok duit gue?"


"Yah gue cuma bawa 500 ke sini, kan ada lo." Altheya menyenggol lengan Kile dengan genit.

Levan memberikan kertas taruhan pada Altheya. "Cuma lo satu-satunya yang dukung tuh
anak cupu."

Cupu?! Kalian tidak tahu sebenernya siapa Drian itu, untung seseorang yang sudah membaca
Novel dia tahu segalanya. "Oke Thanks."

Levan menatap Kile yang hanya diam, menatap Altheya seperti Orang gila.

"Yakin?"

Kile mengacak-acak rambutnya. "Terserah, kalau kalah lo gue jual ke Sugar Daddy."

"Kalau gue menang gimana?"

"Gue antar pulang"

Dih gitu doang.

**

Sejak perasaannya diketahui semua orang tatapan bersahabat berubah menjadi menjijikkan.
Perasaan yang ia pendam sejak lama ditertawakan semua orang dan dijadikan bahan gosipan
yang menyenangkan bagi mereka. Dulu ia selalu dipuja-puja dan sekarang kemanapun ia
pergi cemoohan serta caci maki selalu mengikuti.

Dan semua itu berasal dari dia.

Delta, cowok brengsek yang mempermainkan perasaan gadis kesukaannya.

"Lo kalah, siap-siap aja kita hajar." Bahkan Vergo, seseorang yang ia kira dekat dengannya
juga meninggalkannya.

Drian tersenyum miring. "Siapa yang berencana kalah?" Kalah tidak ada di kamus
kehidupannya.

"Asyek ada yang taruhan atas nama lo." Levan datang dengan berita yang cukup membuat
Drian terkejut.

Orang bodoh mana yang mau membelanya.


"Siapa? Delta bertanya dingin, ia membuang Puntung Rokok yang baru ia nyalakan.

"Selingkuhan lo." Levan memberikan daftar orang-orang yang mengikuti taruhan.

Diantara 50 nama yang memilih Vergo ada satu orang yang memilih Drian.

Altheya.

Drian membulatkan matanya terkejut, bukankah gadis ini terkenal sebagai benalu yang hidup
darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu tapi, melihat nama Kile dengan tulisan kecil di
samping nama gadis itu Drian langsung memasang wajah datar.

Ternyata ia taruhan menggunakan uang Mantan nya.

"Drian semangat!"

Seruan itu menarik perhatian semua orang.

Altheya melambaikan tangan dengan ceria, Kile di sampingnya hanya diam memperhatikan
seperti pengawal gadis itu.

"Aku tahu kamu bisa! Semangat! Jangan sampai kalah sama Vertigo!"

Drian terpelongoh di tempat lalu sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak.

Vergo mengepalkan kedua tangannya dengan kesal. "Nama gue Vergo bukan Vertigo!"

Altheya memasang wajah polos andalannya. "Oh iya? Gue engga peduli."

"Awas aja lo! Kalau gue menang habis lo di tangan gue!" Vergo tersenyum menyeramkan.

Altheya berkacak pinggang. "Hah? Emang gue takut sama lo? Lo harus mati sekali dulu
untuk menang lawan gue!" Seperti dirinya.

Delta menatap Altheya lekat-lekat.

Merasa diperhatikan Altheya mendekat pada Kile dan bersembunyi di balik punggungnya,
cara Delta menatapnya sedikit menyebalkan.

"Kalau gue menang lo mau ngasih apa?"

Eh?
Drian tiba-tiba datang dan berdiri di hadapan Kile dengan senyuman yang manis.

Altheya mengerjapkan matanya lucu. "Hm, 5% dari hasil taruhan gue kasih lo."

Laki-laki itu tertawa kecil, ia mengambil telapak tangan Altheya yang nangkring di bahu
Kile.

Kile mengernyit jijik.

"Baiklah." Dia mengecup punggung tangan Altheya.

Wajah gadis itu langsung meledak! Drian tersenyum miring dan pergi menuju Mobil
miliknya, dia sangat puas melihat wajah cemburu seorang Delta.

"Pelecehan..." Altheya menggembungkan pipinya.

Kile menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Cowok satu Sekolah lo godain semua."
Gadis itu benar-benar.

"Dih kapan gue godain?" Padahal ia diam saja.

"Dengan tingkah lo sekarang makin banyak cowok yang tertarik sama lo, asal lo tahu cowok
di Sekolah kita itu rada gila."

"Termasuk lo dong?"

Kile terdiam. "Iya tapi gue engga bego untuk jatuh dalam pesona murahan lo." Dia tertawa
mengejek.

Altheya langsung menginjak kaki Kile dengan sepatu Hak tingginya.

"Anjing!" seru Kile.

"Kile bego!" Altheya mengibaskan rambutnya tanpa memperdulikan Kile yang kesakitan ia
menjauhi laki-laki itu.

Namun Altheya merasakan sebuah tatapandari jauh. Gadis itu berbalik arah dan merasakan
tatapan itu dari laki-laki yang berdiri diantara Delta serta teman-temannya.

Altheya merinding di tempat dan ketika laki-laki itu membuka kupluk Hoodie nya lutut gadis
itu langsung lemas.
"Kamu?" gumamnya.

Part 7

Rumah Sakit adalah tempat yang paling ia suka dan benci dalam satu waktu.

Rumah Sakit tempat mereka bertemu untuk pertama kalinya dan Rumah Sakit tempat mereka
berpisah untuk selamanya. Penyakit yang menggerogoti laki-laki itu membuat ia kehilangan
nafas kehidupan dan membuat tekadnya untuk bertahan hancur sia-sia.

Ketika ia pergi semua perasaan yang tidak pernah ia miliki menghancurkan tubuhnya, ia
seperti cangkang kosong dan tidak memiliki apapun untuk dilanjutkan.

Kekasihnya pembawa sisi baiknya dan menyisakan sisi buruk yang busuk.

"Aku tidak tahu bagaimana harus hidup kalau kamu pergi." Dia menyatakan hal ini saat itu,
beberapa menit sebelum laki-laki itu pergi.

Laki-laki itu hanya tersenyum manis, wajahnya yang pucat sedikit berwana.

"Kalau begitu ikut dengan ku."

Gadis itu mematung sesaat. "Aku boleh ikut dengan mu?" Ia dengan senang hati akan
melakukannya.

Laki-laki itu mengangguk lemah. "Tentu saja."

"Kemanapun?"

Laki-laki itu tertawa geli, ia menghapus air mata gadis itu. "Kemanapun."

"Janji?" Gadis itu mengeluarkan jadi kelingking nya.

Laki-laki itu mengapitnya. "Aku janji, kemanapun itu aku akan mencari mu."

Gadis itu menggelengkan kepalanya, ia menempelkan telapak tangan laki-laki itu di pipinya
yang basah. "Aku yang akan mencari mu, kamu hanya perlu menikmati hidup dan aku akan
menemukan mu." Dia mengecup telapak tangannya.

Laki-laki itu tersenyum manis, merasa sangat puas dengan kehidupan yang singkat ini.
"Terima Kasih, Lana." Ia hampir melupakan nama itu.
Satu-satunya pacarnya.

Satu-satunya orang yang ia cintai.

Satu-satunya orang yang mencintai nya.

Pacarnya di kehidupan sebelumnya.

Dengan sisa-sisa kewarasannya Altheya kembali mendekati Kile, ia menarik Kemeja laki-laki
itu."Cowok yang berdiri di samping Delta siapa?" tanyanya. Kile menatap Altheya dengan
bingung, aura gadis itu tiba-tiba berubah senduh. "Lo kenapa?"

Altheya menggelengkan kepalanya. "Dia siapa?" Mata hitam itu menatap Kile dengan sorot
penuh kesedihan.

Ada apa?

Kile melihat laki-laki yang berdiri di samping Delta, ia mengenalinya. "Itu Moran, teman
Delta dari SMA Negeri 1."

Kile tertawa geli. "Jangan dia deh mangsa lo selanjutnya, dia engga sekaya Delta, Gue,
Bastian atau mantan-mantan lo yang lain." Nada suaranya sombong sekali. "Dia itu antek-
antek Delta."

Altheya mengigit bibirnya. "Gue mau sendiri dulu." Dia melepaskan Kemeja Kile dan berlari
pergi menjauhi dari kerumuman itu.

Sesampainya di tempat yang cukup jauh akhirnya air mata Altheya jatuh membasahi pipinya.

"Kamu hidup disini," gumam gadis itu.

Meksipun namanya berbeda, wujud dan wajahnya sama.

Mirip, sangat mirip. Semuanya.

Mata, rambut, dagu, pipi, kulit, dia seperti terlahir kembali di Dunia yang berbeda. Mata sayu
itu tidak ada lagi, tubuh kurus kering juga tidak ada, kulit yang terlalu putih karena jarang
terkena Sinar Matahari juga tidak ada, dia sehat, tertawa, dan bisa berdiri dengan baik tanpa
bantuan kursi roda.

Altheya tertawa bahagia dengan air mata yang masih mengalir dengan deras.
"Sekarang aku tahu untuk apa aku ada di Dunia Novel ini." Dia menatap Bulan yang bersinar
terang. "Langit mengabulkan keinginan dan doa ku." Bintang-bintang bahkan muncul tanpa
malu-malu sama seperti perasaan lama yang kembali hadir.

Semua itu sangat indah, seindah hatinya saat ini.

Namanya Moran.

la harus memanggilnya Moran, yah Moran.

Altheya tersenyum sumringah. "Moran..." lirih nya.

Dia adalah gadis yang egois dan gila.

Sekarang ia memiliki tujuan.

Pertama-tama ia harus melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.

Sepulang Sekolah Altheya berdiri dengan manis di depan Gerbang Sekolah SMA Negeri 1 di
Kota ini. Rambut nya ia gerai dengan Bandana berwana Merah menghiasinya, ia
menggunakan Make-up tipis untuk menarik perhatian seseorang yang sudah ia tunggu sejak 1
jam yang lalu.

Gadis itu benar-benar tidak putus asa meskipun seseorang yang ia cari tidak diketahui sudah
pulang atau belum.

"Lo ngapain disini?"

Senyum Altheya sangat lebar ketika menyambut suara itu tapi, senyum langsung pudar
melihat seseorang yang tidak ia kenali.

"Siapa?" ketus Altheya.

"Mantan lo sendiri bisa lupa yah?" Laki-laki itu mendekati, wajah mereka terpaut beberapa
centi. "Beneran engga ingat gue?" Suaranya berubah dingin.

Altheya jatuh terduduk, seluruh tubuhnya merinding dan tatapan mata gadis ituu dipenuhi
dengan rasa takut.

"Akhirnya ingat." Laki-laki itu tersenyum seperti Iblis, ia berjongkok di hadapan Altheya dan
mengelus-elus rambut gadis itu. "Engga mungkin lupa sama gue kan? Altheya sayang."
Dia tidak takut sungguh, ia sama sekali tidak takut namun respon tubuh ini benar-benar di
luar logikanya, Altheya tidak mengerti apa yang terjadi dan ia bertanya-tanya apa hubungan
Altheya asli dengan laki-laki berwajah polos di hadapannya ini.

"Lo-" kata-kata laki-laki itu terhenti ketika seseorang menarik Tasnya dengan kasar.

Mata Altheya berkaca-kaca dan tanpa menunggu lama gadis itu langsung menangis.

Kedua laki-laki itu langsung panik di tempat.

"Anjing Al! Gue cuma bercanda, jangan nangis dong!"

"Wayo" Pemuda yang manarik Tas laki-laki itu bertepuk tangan. "Anak orang lo buat
nangis."

"Diam lo Ran! Dasar kompor!"

Moran terkekeh geli. "Awas lo di amuk Delta entar."

"Ih jangan lo aduin anjir! Woy siapapun yang ambil video gue putusin kepala lo!"

Berkat peringatan itu beberapa sisvwa-siswi yang sempat memvideokan kejadian tersebut
langsung menghapusnya dari ponsel mereka, siapa yang tidak takut padanya.

Luca anggota anak-anak Nakal di Kota yang diketahui oleh Delta.

Altheya menghapus air mata yang terus mengalir deras, ia berusaha untuk menenangkan hati
dan pikirannya. Ia datang ke sini bukan untuk menangis atau menjadi gadis yang cengeng
seperti dulu, ia ada disini untuk menemukan kekasihnya seperti janji yang ia buat di
kehidupan sebelumnya.

Matanya merah, hidungnya merah dan tekadnya juga merah.

Bulat maksudnya.

Gue Altheya." Ia mengulurkan tangannya pada pemuda di sebelah Luca.

Moran menaikkan sebelah alisnya, denganragu-ragu ia menyambut uluran tangan gadis itu.
"Moran."

Altheya mengangguk. "Salam kenal."


"Gue engga cocok jadi mangsa lo selanjutnya, gue miskin." Moran berterus terang.

Luca mengangguk setuju. "Dia aja belum makan siang karena engga ada duit."

Altheya tersenyum lebar mendengarnya.

"Kalau gitu ayo makan siang bersama, aku traktir." Dia menggenggam tangan Moran dengan
erat.

Moran merasa sangat tidak nyaman, perlahan-lahan pemuda itu menarik tangan nya. "Engga
bisa, gue harus kerja. Bye!" Dia pamit begitu saja.

Altheya mengikutinya.

"Jangan dong!" Luca menahan gadis itu.

"Ngapain ngikutin dia? Mending ikut gue."

Altheya berdecak kesal, sekarang rasa takut yang tubuh ini rasakan tadi berubah menjadi
amarah dalam dirinya. "Sialan, muka lo terlalu menjijikkan dilihat." Dia menarik tangannya
dan berlari dengan kencang untuk menyusul Moran yang sudah menaiki angkutan umum.

Luca terdiam, ia menatap tangannya tidak percaya.

"Dia nolak gue?" Luca tercengang. Ini pertama kalinya gadis itu menolaknya. Menarik.

Luca tertawa geli. "Yah karena dia sekarang sendiri." Dia menjilat bibirnya. "Siapapun bisa
mendekati nya kan?"

Delta bodoh, ia sudah membuang Domba kecil yang diinginkan para Serigala.
Part 8

Gadis pendiam dengan kecantikan.

Altheya, ia seperti Domba kecil dengan Bulu putih dan lembut yang menginginkan perhatian.

Ketika berpacaran dengan seseorang Altheya selalu memberikan perhatian lebih pada
pasangannya. Merawatnya ketika sakit, memberikan dukungan ketika mereka lemah, dan
hanya diam membisu ketika mereka berselingkuh.

Alasan kenapa Bastian adalah mantan terbaik Altheya itu karena Bastian adalah pacar
pertama Altheya dan seseorang yang mengajarinya cara menggunakan sebuah kecantikan.

Bastian adalah pacar dan guru untuk Altheya.

Seseorang yang mengajarinya bagaimana cara mendapatkan uang dengan mengandalkan


wajah.

Pria adalah makhluk visual yang haus akan perhatian.

Selama kamu tidak membantahnya dan mengikuti kata-kata mereka maka kamu akan
mendapatkan segalanya. Gadis itu bukanlah gadis yang suci, ia menghalalkan segalanya
untuk mendapatkan uang dan perhatian dari para pria, dia adalah gadis yang kesepian,
Domba kecil yang tumbuh sendiri di Hutan dan bertemu Serigala pertamanya yaitu Bastian.

Menghabiskan waktu bersama Bastian sangatlah menyenangkan, dia memberikan semuanya


selama Altheya menuruti perkataannya.

Namun kebahagiaan itu hancur ketika Altheya mengetahui rahasia Bastian.

Itu adalah pelajaran lainnya dari Bastian.

"Ketika kamu mengetahui kelemahaan seorang pria, saat itu lah kamu akan ditinggalkan."

Bastian pergi meninggalkannya.

"Carilah Serigala baru Domba kecil ku yang malang"

Lalu ia tersesat dan bertemu dengan Luca.

Serigala liar yang penuh luka.


Bersama Luca juga menyenangkan tapi sikapnya yang terlalu posesif, penyiksa, Masokis, dan
bermain-main dengan tangan membuat Altheya trauma, Domba kecil yang sudah dibentuk
oleh Bastian rusak secara mental dan fisik. Namun akhirnya Luca bosan dengan Altheya.
Setiap kali ia menyakitinya gadis itu hanya diam dan membisu, tidak melakukan apapun,
diam seperti patung yang tidak akan merasa sakit meksipun tubuhnya dikikis sedikit demi
sedikit. Luca meninggalkanınya.

Domba kecil itu terombang-ambing dengan luka dan trauma.

Hingga ia bertemu dengan Kile.

Serigala yang mendewakan ketamakan Dunia.

Kile membutuhkan dirinya sebagai Tameng dari seorang Stalker gila. Berpacaran dengan
Kile cukup menyenangkan meksipurn ia tidak pernah dianggap ada dan selalu diperlakukan
seperti pembantu. Kile menganggap Manusia adalah makhluk menyenangkan yang bisa
dimanipulasi dengan mudah dan Altheya hanyalah seorang manusia betina yang tidak ada
harga dan membuang uangnya.

Hingga akhirnya Stalker itu pergi dan kontrak mereka berakhir.

Domba kecil dengan Bulu nya yang sudah penuh dengan sampah itu kembali tersesat di
Hutan. Hingga ia bertemu dengan seorang Serigala Alpha memiliki banyak pengikut dan
merupakan pilar Sekolahnya.

Delta.

Dia sangat bersinar dan keegoisan Altheya ingin memiliki sinar itu.

Perlahan-lahan ia mendekati Delta namun sayang. Serigala itu sudah memiliki penakluk,
seorang Domba yang lebih cantik darinya.

Tidak itu bukan Domba! Meyza adalah Angsa putih yang indah di tengah-tengah Danau dan
menarik perhatian semua pejalan kaki yang berlalu-lalang.

Altheya Domba kecil dengan Bulu penuh sampah tentunya pasti kalah.

Namun Domba kecil ini bukanlah orang baik lagi, ia sudah sering bertemu dengan orang-
orang licik. Ia mendekati teman si Serigala Alpha yang menginginkan Angsa itu dan
menghasutnya untuk mencuri Angsa tersebut.
Rencana Altheya berhasil.

Dia mendekati Delta dan sepertinya keberuntungan seumur hidupnya terpakai semua karena
rencananya berhasil tanpa halangan.

Delta menjadi miliknya, dia sangat baik.

Memberikannya segalanya dan selalu mengajaknya untuk makan malam bersama.

Delta selalu sibuk dengan Meyza di siang hari, mereka hanya bisa bertemu di Malam hari
ketika Makan Malam bersama atau ketika Delta memintanya untuk menginap dan
menemaninya tidur. Meksipun Delta kuat ia memiliki kelemahan yang hanya diketahui oleh
Altheya seorang, itupun Altheya mengetahuinya dengan tidak sengaja namun meskipun
kelemahannya terungkap Delta tidak membuangnya seperti Bastian. Dia hanya meminta
Altheya untuk merahasiakannya.

Malam ini Delta kembali membawa Altheya ke Apartemennya.

Melihat pemuda berbadan besar itu menggunakan Apron hitam dan mengolah bahan-bahan
mentah menjadi sesuatu yang beraroma lezat.

"Makan." Delta duduk di hadapannya setelah membuat semua makanan lezat ini.

Altheya menatap pemuda itu tidak mengerti. "Terimakasih untuk Makanannya." Tanpa
banyak bicara ia makan, lagian ia memang lapar.

Delta ikut melahap makanannya, cara ia makan Elegan sekali seperti Bangsawan Eropa dan
cara makan Altheya berantakan sekali seperti gelandangan di pinggir jalan.

Bercanda.

Altheya memperhatikan Delta yang sedang makan, gadis itu melamun.

"Kenapa kita harus melakukan ini bahkan setelah putus?"

Delta berhenti merngunyah, ia menelan makanannya dan minum.

Hening untuk beberapa saat.

Hanya ada detik jarum jam yang menemani mereka.

"Ayo kita balikan."


"A-pa?" Altheya menatap Delta tidak mengerti.

"Gue akan putusin Meyza."

"Untuk apa?"

"Lo."

Altheya memukul Meja dengan keras. "Lo gila yah?!"

"Iya, karna lo." Delta menatap gadis itu dengan Intens. "Sejak kita putus banyak Hama yang
gangguin lo, gue engga suka, gue engga mau, gue kesal, gue engga suka lo dekat-dekat
mereka."

"Kenapa engga suka? Sejak awal hubungan kita juga engga serius? Lo suka gue? Jangan aneh
deh."

"Bukannya lo yang suka gue?" kata Delta.

"Mana ada?!" Yah Altheya asli memang menyukainya namun ia tidak.

"Lo bohong."

"Engga." Altheya menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Terus muka lo kenapa merah?" Sialan, tubuh ini terlalu jujur.

"Gue kepanasan." Alibi Altheya.

Delta tersenyum tipis. "Alasan klise."

"Pokoknya gue engga mau balikan!"

"Kenapa?"

"Gue suka seseorang." Altheya spontan mengatakannya.

Gelas kaca di atas meja langsung pecah, Delta mencekram nya terlalu erat. "Siapa?" Entah
kernapa auranya berubah menjadi gelap.

Altheya melangkah mundur, dengan tangan yang penuh darah Delta berjalan mendekati nya.

Hingga ia terpojok di dinding.


"Siapa dia?" Delta mengurungnya diantara kedua lengannya. "Jawab." Pemuda ituu
mencengkram dagunya.

"Gue engga akan beritahu!" Delta salah, ia tidak akan pernah takut,

Pada apapun itu.

Altheya menendang selangkangan Delta dan tanpa melihat kebelakang ia segera keluar dari
Apartemen pemuda itu.

"ALTHEYA!" jeritan Delta terdengar membahana.

Altheya tertawa kecil, ia berniat pergi ketika melihat seseorang yang ia kenal dalam
perjalanan menuju Apartemen Delta.

Moran menatap Altheya dengan sorot mata curiga. "Oh kayaknya gue ganggu." la berbalik
arah, berniat pergi.

"Tunggu!" Altheya menarik Kaos Moran, nafasnya sedikit memburu.

Moran tertarik ke belakang, ia menatap Altheya kaget. "Kenapa? Gue engga akan ganggu
atau bilang siapa-siapa." Ia tidak mau mencari masalah.

Altheya menggelengkan kepalanya, rasanya sesak sekali setiap melihat wajah Moran.
Sebelumnya wajah itu selalu tersenyum ramah padanya tidak pernah sekalipun memberikan
tatapan tidak suka seperti saat ini.

"Altheya! Sini lo!"

Mampus.

Altheya langsung menarik lengan Moran dan membawanya pergi.

"Kenapa narik gue?!" Meskipun merasa aneh, Moran tetap berlari.

"Lo kemari naik apa?" tanya Altheya.

"Motor."

"Mana kuncinya?" Altheya memintanya sesampainya mereka di dalam Lift.

Moran merogoh sakunya dan memberikan Kunci Motor nya. "Buat apa?"
Lift berhenti di Basement Apartemen, sebuah Motor Matic terlihat sangat mencolok diantara
semua Mobil mewah.

Altheya naik dan mengendarai Motor itu. "Kalau engga mau dihajar Delta, cepat naik."

Moran buru-buru naik.

Altheya segera mengendarai Motor menjauh dari Apartemen orang gila itu. Moran terdiam di
belakang gadis itu, ia memegangi Ujung Motornya sembari berpikir.

Kenapa gue nurut aja?

Dia menurut seperti Anjing ketika dengan gadis ini.

Moran menatap punggung mungil milik Altheya yang entah kenapa terlihat sangat nyaman.
Gadis aneh batinnya.

Dulu Altheya membencinya setengah mati dan sekarang dia mendekatinya.

Part 9

"Pegangan ke pinggang gue!" Altheya menjerit keras, mereka sedang berada di atas Motor,
takut tidak akan terdengar jika ia bisik-bisik atau pura-pura lembut seperti ketika pertama kali
mereka bertemu.

Moran sedikit tersentak, ia menggelengkan kepalanya. "Engga, gue pegangan belakang aja."
Tidak mungkin ia memeluk gadis ini, Delta bisa marah padanya.

"Ck, nanti jatuh loh!"

"Engga."
Altheya menggeram kesal, akibatnya ia melampiaskan hal itu pada Polisi tidur di jalanan.
Refleks Moran terdorong ke depan dan kedua tangannya memegangi pinggang gadis itu.

Itu refleks anjing! Bukan sengaja!

"Lo-Hati-hati dong! Sini biar gue yang bawa Motornya!" Dia kesal sekarang

Altheya mengehentikan laju Motor, ia turun dan membiarkan Moran mengambil alih.
Sekarang Moran duduk di depan dan Altheya nangkring di belakang sembari memeluk
pinggangnya dengan erat. Telinga laki-laki itu memerah. "Jauh dikit, gue gerah!" serunya.

"Ah? Apa? Engga dengar?!" Altheya membalasnya, ketara sekali kalau gadis itu sedang
berpura-pura.

Moran tidak melanjutkan perkelahian itu.

"Lo mau kemana?"

"Dojo kakek lo, bawa gue kesana."

"Yakin mau Join? Latihannya keras dan lo cewek." Dia menyindir tentang gender.

Altheya menggosok pipinya ke punggung Moran, berharap rasa nyaman dan aroma tubuh
laki-laki itu bisa bertahan lama di indra penciuman nya. "Yakin." Gadis itu memiringkan
kepalanya, menatap kosong ke depan lalu memejamkan matanya.

Rasa rindu itu kembali hadir, air mata Altheya jatuh dan terbang di bawa angin.

Ringan sekali air matanya tidak seberat rindunya.

Moran melirik kecil dua tangan mungil yang melilit pinggangnya, perasaan saja atau bukan
kedua tangan itu semakin erat memeluk dirinya, hampir seperti tidak mau melepaskan. Untuk
sekarang ia akan membiarkannya, mungkin gadis ini memilki masalah besar dan
membutuhkan tempat untuk bersandar.

"Sudah sampai." Waktu berjalan terlalu cepat.

Altheya turun dari atas Motor, jemarinya menarik Kaos milik Moran.

"Gue parkir Motor." Itu menggemaskan kalian tahu.

Dia melepaskan Kaos laki-laki itu namun masih setia mengikutinya di belakang.
Seperti Anak Ayam.

"Kamu sudah pulang"

Altheya dan Moran menatap sumber suara, disana ada seorang pria paruh baya yang terlihat
kekar dengan janggut panjang berwarna putih miliknya. Dia menggunakan Kinagashi
berwarna putih, sepertinya kakek Moran merupakan keturunan Jepang Asli.

"Kakek." Moran memberikan salam khas

Taekwondo pada Kakeknya.

"Hm." Mata tajam kakek beralih pada Altheya."Dimana Delta? Kenapa tidak

ikut?" Delta juga merupakan anggota di Dojo ini.

Moran melirik Altheya yang mengalihkan pandangannya. "Dia tidak bisa datang,
apartemennya kosong." Terpaksa ia harus berbohong.

"Hubungi dia, jika memang dia berniat untuk ikut Lomba harusnya ia tidak melewatkan
latihan."

"Baik kakek."

"Lalu siapa kamu?" Kali ini Kakek Moran bertanya pada Altheya.

Altheya membungkuk, ia memberikan Salam yang mirip dengan yang Moran lakukan. "Saya
Altheya Kakek, mulai hari ini saya ingin berguru pada anda."

Moran sedikit terkejut, ia kira Altheya hanyalah seorang amatiran ternyata gadis itu bisa
melakukan dasar-dasar Taekwondo dengan baik, bahkan posisi kaki dan kuda-kuda bagus,
seperti seseorang yang sudah lama berlatih.

"Ho oh, gestur badan yang bagus." Kakek memberikan pujian. "Moran siapkan Teh dan kamu
ikut dengan ku."

Kakek Moran bertanya padanya alasan bergabung dan Altheya menjawab kejadian di
angkutan umum hari ini membuatnya Trauma dan ingin belajar Taekwondo untuk
melindungi diri, sebenernya alasan utamanya agar ia bisa melihat Moran, mereka tidak bisa
bersama di Sekolah.
Kakek pergi untuk mengurus hal penting Altheya diterima dengan senang hati dan latihan 3
kali dalam seminggu bebas ingin datang di hari kapan aja. Sekarang hanya ada mereka
berdua disini, duduk bersebelahan di pisahkan dua cangkir Teh.

"Delta latihan hari apa aja?" tanya Altheya.

"Senin, Rabu, Jumat."

"Oh." Ia tidak akan datang di tiga hari itu.

"Lo sama Delta kenapa?" Hm sepertinya Moran Kepo.

"Kami udah putus dan Delta ngajak balikan bahkan sampai bilang mau mutusin Meyza buat
gue." Altheya menatap Moran, pipi gadis itu merona karena ternyata Moran juga sedang
menatapnya. "Gue boleh minta nomor lo?"

"Nomor Dojo, itu nomor gue." Moran menunjuk papan iklan Dojo mereka, ada nomor
ponselnya disana.

"Oh." Buru-buru Altheya mengetik nya.

Moran merogoh sakunya, ponselnya bergetar.

Altheya nyengir. "Itu nomor gue."

"Oh, oke."

"Simpan," tegas Altheya.

"Iya." Moran mengetik sesuatu di layar ponselnya.

Altheya mengintip. "Nama gue siapa disana?"

"Altheya," jawab Moran.

"Iya," saut Altheya. "Mau lihat nama nomor lo?" Gadis itu menunjukkan layar ponselnya.
"Eh engga usah deh, malu." Ia menyembunyikan ponselnya.

"Dih." Moran terkekeh geli.

"Moran udah punya pacar?" tanya Altheya.


Teh yang sedang Moran minum langsung menyembur keluar, ia cukup terkejut dengan
pertanyaan yang berani itu. "Hm, punya." Tentu saja dia punya.

Wajah Altheya langsung berubah gelap.

"Pu-punya?" Wajah gadis itu terlihat putus asa.

Moran mengangguk. "Dia bentar lagi kesini."

"Moran!" Tepat setelah perkataan Moran suara lembut seorang gadis terdengar memanggil
namanya.

Altheya melotot ngeri, wajahnya diliputi awan gelap.

Moran ternyata punya pacar.

"Maaf aku telat, tadi macet hehehe." Gadis itu cantik, ceria, dan dia menggunakan Gaun
sederhana bermotif Bunga.

"Gak apa-apa, Kakek pergi bentar tadi." Moran tersenyum ramah. "Haus gak? Ini minum
dulu."

Moran memberikan Teh miliknya pada gadis itu.

Wajah Altheya semakin datar, ia tidak bisa berekspresi.

Benar, tidak mungkin laki-laki seperti Moran tidak memiliki pacar.

Dunia ini bukanlah dunianya yang dulu.

Tidak seperti dirinya yang mengingat semuanya.

Meksipun wajah mereka mirip Moran dan kekasihnya adalah orang yang berbeda.

"Hai Altheya!" Ternyata gadis itu juga mengenali dirinya. "Datang sama Delta?"

"Engga sama aku. Tadi dia di kejar-kejar Delta, seram banget." Cerita Moran.

Gadis itu tertawa kecil. "Benarkah? Kamu sama Delta ada masalah apa?"

"Kita udah putus." Altheya menegaskan.

"Kalau gitu gue pergi yah bye!" Dia tidak tersenyum. Wajah datar dan matanya berkaca-kaca.
"Eh mau diantar Moran gak?"

"Engga usah." Altheya melambaikan tangannya, dia memunggungi kedua orang itu. "Gue
udah gede, bisa pulang sendiri."

"Oke hati-hati!" kata Moran.

Altheya mengacuhkan jempolnya.

Dia tidak akan datang ke Dojo ini lagi.

Altheya memukul tembok di depan Dojo kakek Moran, kedua tangannya terkepal erat.

Rasanya sakit namun tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Tangannya berdenyut dan
hatinya membusuk.

Altheya memeluk kedua lututnya dan menangis dalam diam.

Bahu gadis itu bergetar. Kenapa dipertemukan kembali kalau memang tidak bisa saling
memiliki?

Delta berdiri di hadapan Altheya. Menatap gadis itu dengan sorot kemarahan namun melihat
bahu mungil itu bergetar sorot matanya berubah lembut dan amarahnya hilang begitu saja.

Dia membuka jaketnya dan menutupi bahu gadis itu

"Ayo pulang," ajak Delta.

Altheya tersentak, ia memeluk kedua lututnya semakin erat.

"Gue engga akan nyakitin lo." Nada suaranya terdengar meyakinkan. Gadis itu mendongak
dan untuk pertama kalinya Delta melihat air mata menghiasi wajahnya. Delta mengulurkan
tangannya. Ragu-ragu Altheya menyambut.

Dalam sekali sentakan pemuda itu menarik tubuhnya dan Altheya digendong seperti Bayi.

"Sekarang diam," bisik Delta.

Mungkin dia memang berbahaya karena dia adalah Tokoh Utama nya tapi, jika dipikir-pikir
bersama Delta adalah pilihan yang aman.
Part 10

Di dalam mobil keadaan hening, Delta sibuk menyetir dan Altheya melamun menatap luar
kaca mobil, entah apa yang ada di dalam pikirannya hanya gadis itu yang tahu. Sejak tadi
Altheya tidak melepaskan tangan Delta, akibatnya Delta dengan amat terpaksa menyetir
hanya dengan satu tangan, untungnya ia handal dalam hal ini.

"Kalau dipikir-pikir gue murahan banget yah?" gumam Altheya tiba-tiba. "Demi duit sampai
jual diri ke kalian." Gadis itu menatap Delta lekat-lekat. "Gue mau bebas Delta, dari lo, Kile,
Luca, dan Bastian." Altheya melepaskan genggamannya dari jemari Delta. "Berhenti disini
aja." Delta menghentikan laju Mobilnya.

Altheya segera turun, tidak lupa ia mengucapkan terima kasih. "Sampai jumpa besok di
Sekolah." Ia melambaikan tangan pada Delta yang duduk di Kursi pengemudi dan Delta
dengan tindakan yang tidak terduga mencekal lengan gadis itu.

"A-apa? tanya Altheya sedikit gagap, kenapa tiba-tiba dia seperti ini. Delta menarik kepala
Altheya, detik selanjutnya bibir mereka saling bertemu. Delta menarik kepala Altheya, detik
selanjutnya bibir mereka saling bertemnu. Altheya mengerjapkan matanya berkali-kali lalu
dengan sisa-sisa kesadarannya ia menarik kepalanya, nafas gadis itu memburu. "Lo!" Ia
menatap Delta dengan nyalang. Delta tersenyum miring, dia mengigit bibirnya. "Terima
Kasih." Pria itu memutar arah dan berlalu pergi.

"Delta bangsat!" Altheya melempar Sepatunya, gadis itu terlalu emosional.

"Argh! Sialan! Kecolongan!" Gadis itu mencak-mencak seperti orang gila.

***

Sebulan berlalu, tiba lah saatnya peperangan antara Altheya dan Kile. Kile sangat salah
karena sudah menantang Altheya, salah besar. Mungkin tubuh Altheya terkenal dengan
kebodohannya tapi jiwa yang menatap di tubuh ini bukanlah orang bodoh. Dia memang
berasal dari keluarga miskin namun kemiskinan tidak mencegahnya untuk belajar, ia belajar
lebih keras dari siapapun bahkan sampai mimisan dan Gagal Ginjal hanya untuk belajar.
Ujian akan diselenggarakan selama satu Minggu, Altheya sudah siap bertempur meksipun
tanpa belajar.
"Bagaimana? Masih ingin melanjutkan taruhan kita?" Kile bertanya padanya tepat di
pengumuman juara di setiap kelas.

Altheya tersenyum. "Aku akan menang Kile dan ingat untuk menepati janji mu."

"Baiklah." Kile mengeluarkan sesuatu dari Tasnya. "Siap-siap aja pakai ini."

Wajah gadis itu berubah dingin. "Lo aja yang pakai sana!" Kile memiliki hobi yang aneh,
untuk apa dia membawa Kalung dan Tali khusus Anjing.

"Engga mau! Pokoknya kalau kalah lo harus pakai ini kemana-mana." Dia menyeringai.

"Jadi peliharaan gue seperti sebelumnya." Sepertinya ia belum mengenal Kile dengan baik.

Sekarang Altheya menyesal karena pernah percaya pada Kile. "Ogak! Lebih baik jadiin gue
pacar lo deh!" Altheya plin-plan sekali, kemarin dia ingin Kile menjauh dan sekarang ia ingin
menjadi pacar Kile kembali. Gadis itu benar-benar tidak jelas. Kile memasang raut wajah
jijik. "Engga." Dia tidak akan pernah mau.

"Baiklah anak-anak hari ini bapak akan umumkan juara-juara umum dari setiap kelas."

Altheya dan Kile segera menghentikan perdebatan mereka. Cukup lama menunggu giliran
kelas 11 karena sebelum itu Wakil Kepala Sekolah akan mengumumkan juara dari kelas 10.
Altheya berkeringat dingin selama menunggu ia cukup percaya diri dengan kemampuannya
namun mengingat kecerobohannya yang tidak mengetahui kemampuan sebenarnya dari
seorang Kile entah kenapa ia jadi gugup.

"Baiklah kita akan umumkan juara 1 Umum untuk kelas 11." Wakil kepala Sekolah
menggantung kalimat nya. "Hm jujur saja bapak tidak akan menyangka dia yang akan
menjadi juara 1 Umum tahun ini." Kerumunan langsung heboh, beberapa orang melihat Kile
secara terang-terangan.

"Bukankah itu artinya bukan Kile juaranya?"

"Bukan Kile? Siapa yang lebih pintar dari Kile? Tidnk nda "

"Gue jadi penasaran."


"Juara 1 Umum untuk kelas 11 Tahun ini jatuh kepada...." Altheya memejamkan matanya,
memohon pada apapun itu. Kile tetap memasang wajah tenang, ia sama sekali tidak merasa
terganggu.

"Delta Alpha Leonis!"

"Apa?!" Seru Kile dan Altheya secara bersamaan. Hening sejenak sebelum akhirnya ratusan
jeritan dan tepuk tangan terdengar dari segala Penjuru.

"OH MY GOD! MY DELTA! DELTA JADI JUARA 1 UMUM?!" suara Meyza terdengar
riuh. Altheya menggigit bibirnya, ia menatap Delta yang naik ke atas podium dengan
senyuman kemenangan.

"Sialan," ketus kedua orang itu.

Kile dan Altheya saling tatap. "Sepertinya kita sama-sama kalah," kata Kile.

"Yah..." Altheya mengangguk setuju. Hanya ada juara 1 Umum di Sekolah ini tidak ada yang
kedua dan ketiga. Hanya ada satu dan itu adalah gelar yang sangat istimewva.

"Baiklah Delta, ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?" Wakil Kepala Sekolah kembali
bersuara. "Bapak tidak menyangka kamu akan berada di posisi ini, ayo ucapkan beberapa
kata."

Di kepala Delta terdapat sebuah mahkota, di Dada ada selempang berwarna hitam dengan
tulisan namanya dan di pelukannya ada sebuah Buket Bunga Mawar Merah muda.

Delta mencari seseorang diantara banyaknya kerumunan, seseorang yang membuatnya


menjadi termotivasi untuk mendapatkan sesuatu yang menurutnya sangat merepotkan.
Altheya dia sedang berbicara dengan Kile, terlihat bahagia sangking bahagianya membuat
Dada Delta panas.

"Altheya." Delta memanggilnya.

Altheya berhenti tertawa, gadis itu merasakan banyak tatapan dari sekitarnya. Gadis itu
membatin. Semua orang menunggu kata-kata Delta selanjutnya dengan gugup, rasanya
seperti mendengar kabar lulusan khusus kelas 12 kemarin.

Namun seorang Delta Alpha Leonis tidak melanjutkan kata-katanya, ia turun dari Podium.
Tanda tanya besar memenuhi kepala semua orang.
"Altheya sialan!" Meyza datang tanpa dipanggil, dia mendekati Altheya dengan ketiga
temannya.

"Apa?" tanya Altheya menantang, dia berdiri diam di tempatnya.

"Lo!? Lo?! Benar-benar! Ih!!!!!" Gadis itu mencak-mencak sendiri.

"Lah? Kenapa Mey, mau minum?" Zehra memberikan Botol minum nya pada Meyza.

"Orchid! Layla! Pegangin kawan lo sebelum gue gigit!"

Orchid dan Layla langsung menarik tangan Zehra.

"Nih, makan dan duduk disini." Orchid memberikan Permen Lolipop kepada Zehra dan
mendudukkan gadis itu di tempat terdekat.

"Wah makasih Orchid." Dengan senang hati Zehra menerimanya.

Altheya menatap Zehra dengan pandangan kasihan. "Sebaiknya kata-kata lo dijaga, engga
mau kan teman lo yang polos itu ternodai." Altheya tertawa geli.

Meyza mendekati Altheya, ia menatap rendah gadis itu. "Lo, lupa dengan peringatan terakhir
gue yah?"

Altheya membalas tatapannya berani. "Iya nih, gue agak amnesia."

"Lo ingat ini baik-baik, sebelum terjadi sesuatu yang buruk, jauhi Delta."

"Udah kok, lo belum dengar kita udah putus?"

"Kalau memang kalian sudah putus?! Kenapa dia manggil lo tadi!" Seru Meyza, sinar
matanya dipenuhi rasa sakit dan cemburu. "Butuh 2 Tahun untuk gue narik perhatian Delta,
butuh 1 Tahun untuk gue jadi pacar dia! Butuh usaha yang keras untuk mendapatkan dia! Lo
itu cuma kenal dia sebulan tapi, kenapa? Lo bisa menarik perhatiarn dia sampai sebesar ini?!"
Altheya tertegun, dia kehilangan kata-kata.

"Lo tahu? Gue diam aja waktu Drian bilang dia yang ngasut lo untuk dekatin gue, karena gue
pikir yah itu masa lalu untuk apa lagi di angkat." Meyza terlihat lemah, Tokoh Utama Wanita
yang disukai semua teman-temannya ini terlihat lemah.
Part 11

"Dengar apa?" Luca bertanya dengan pipi mengembung lucu, ia makan dengan tangan kiri,
susah sekali. Moran menggelengkan kepalanya. "Ada, kayaknya gue kurang tidur."

"Kenapa kurang tidur?" tanya Altheya khawatir.

"Kan habis UAS, gue belajar terus sampai engga liat waktu." Moran menggaruktengkuknya
canggung Altheya memperhatikan bawah mata Moran, terlihat lebih gelap dari terakhir ia
lihat. "Istirahat yang cukup, kesehatan lebih penting daripada uang."

Moran tertawa kecil. "Iya, lo benar."

"Sejak kapan yayang gue jadi sok bijak?"

Altheya memukul belakang kepala Luca dengan keras.

"Ah sakit." Bukannya kesakitan, Luca malah kesenangan.

"Kawan lo gila sumpah! Tolong rawat dia di

RSJ dengan baik." Altheya menatap Moran

tajam.

"Iya pasti." Moran mengacuhkan jempolnya.

"Heh! Gue engga gila!" Luca berseru tidak setuju.

"Nih bayarannya, gue pergi dulu."

"Tunggu, sama!" Luca memakan makanannya secepat mungkin.

"Lo ikut, gue tendang selangkangan lo sampai engga bisa jalan." ancam Altheya dengan
wajah mengerikan.

Luca langsung menurunkan kecepatan makan nya, ia menutup rapat kedua kakinya. "Yes
Ma'am." Dia paling benci rasa sakit dari daerah sensitif itu.
Moran merinding di tempat. "Lo kejam

juga yah." Dia sedikit takut pada Altheya sekarang.

Altheya tersenyum manis. "Engga kok, gue adalah cewek paling baik sedunia." Dia nyengir,
manis sekali.

Luca dan Moran terpesona sejenak.

"Bye-bye." Altheya melambaikan tangan dan pergi.

"Cantik."

Moran mengangguk, menyetujui ucapan Luca. "Nyesal gak lo buang dia?" Luca tertawa geli.
"Engga lah, gue kan ikutin dia karena menarik, mana mungkin seorang Luca nyesal." Dia
tertawa dingin, pasti nanti ia akan menjadi seseorang yang menelan Saliva-nya sendiri.

Benar kata Altheya kawan gue gila semua batin Moran.

"Lo kok dekat sama dia sekarang?" tanya Luca pada Moran.

"Engga ada, biasa aja." Moran mengangkat bahu tidak tahu.

Luca mematikan Api untuk menyalakaan Rokoknya, ia menghembuskan nafas setelah


menghirup panjang benda yang selalu membuatnya tenang itu. "Dia jadi aneh, tidak seperti
dulu." Luca menyipit tajam. "Dia natap lo engga jauh beda dari natap sampah."

"Mungkin dia berubah." Moran tidak terlalu mau berpikir terlalu dalam, dia juga tidak ada
waktu untuk itu. "Sebenarnya gue juga engga percaya, kemarin dia datang ke Dojo Kakek."

"Ngapain?" tanya Luca.

"Katanya sih mau Join namun sepertinya tidak jadi, Delta ada disana dan dia menghindari
Delta."

"Delta aneh sih." Luca memperhatikan Altheya yang sedang menunggu Angkutan umum.
"Dia mengigit lidahnya sendiri."

"Mungkin Delta suka Altheya."

Luca terkekeh geli. "Mungkin, sayangnya Altheya tidak menyukai Delta." Luca menatap
Moran dengan pandangan geli. "Lo sadar gak sih."
"Apa?" tanya Moran tidak mengerti.

"Dia itu naksir lo."

Moran terdiam untuk sejenak kemudian ia tertawa kecil. "Engga mungkin lah, lo yang paling
tahu seberapa benci tuh cewek sama gue."

Luca tersenyum manis hingga kedua matanya menghilang dan membentuk dua garis
melengkung. "Kalau dia suka lo gimana?"

"Yah gue tolak." Moran tidak mungkin bersama Altheya. "Gue juga udah punya Atika."
Atika adalah nama dari Pacar Moran.

"Lo tahu dari dulu gue engga permah setuju lo sama Atika." Luca mengetik sesuatu di layar
ponselnya.

"Kenapa?" tanya Moran.

"Karena dia engga baik buat lo." Luca tertawa. "Pura-pura polos padahal sebenarnya dia lebih
mengerikan dari apa yang lo lihat." Dia menyeringai. "Gue engga akan kasih tahu karena lo
pasti tidak percaya, silahkan tunggu aksinya sendiri."

Moran terdiam seribu bahasa.

Altheya duduk di depan sebuah Swalayan, di atas Meja terdapat benda-benda yang baru saja
ia beli untuk mengobati lukanya. Begitu sulit merawat luka di wajah dengan tangan sendiri, ia
terpaksa harus menggunakan Kamera Ponsel sebagai cermin nya, mengobati sendiri, meringis
sendiri, dan melamun sendiri.

Dia benar-benar jomblo akut.

"Hah.." Altheya menghela nafas berat, ia menatap langit malam yang indah. "Mau hidup
dimana pun kenapa tidak ada yang mau jadi teman gue."

"Dor!"

"Huwa!" Altheya menjerit keras, seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya.

"Hai Altheya!"

"Lo! Bikin kaget aja." Altheya mengelus dadanya.


Dia adalah Atika, pacarnya Moran.

"Dari jauh gue liatin lo lesu banget, ada apa?" Gadis itu duduk di hadapan Altheya, ia
membeli banyak makanan. "Oh yah gue Atika masih ingat, kan?"

Altheya mengangguk, sebenernya engga untungnya gadis itu memperkenalkan dirinya


sendiri. "Pacarnya Moran."

"Bingo!" Atika mengedipkan sebelah matanya. "Habis darimana?" Dia memberikan Altheya
sebatang Cokelat dan gadis itu menerimanya.

"Thanks." Altheya membuka Bungkus Cokelat nya. "Dari Sekolah, gue tadi kenak ceramah."

"Oh iya, gue tadi lihat lo di Cafe juga." Atika tersenyum manis. "Gue tadi ada disana."

"Oh yah, tadi gue ke Cafe makan doang bentar" Altheya memicingkan matanya, entah kenapa
ia merasakan niat buruk dari nada suara gadis itu.

"Lo bilang habis dari Sekolah."

Altheya menatap gadis itu. "Iya memang. gue lupa cerita."

Atika tertawa kecil. "Lo tahu gue dan Moran itu sahabat dari kecil, kami berpacaran setelah
saling memendam perasaan selama 10 Tahun."

"Oh yah." Altheya mengangguk mengerti.

"Moran itu baik pada semua orang."

Altheya mengangguk saja.

Atika mengepalkan kedua tangannya.

"Yaudah itu aja." Gadis itu bangkit. "Sampai bertemu lagi." Dia melangkah pergi.

"Bye!" Altheya melambaikan tangannya. Atika masuk ke dalam Mobilnya tanpa membalas
lambaian Altheya.

"Nada suaranya baik namun gestur tubuh dan aura nya tidak." Altheya tertawa kecil

"Cemburuan."

Altheya menopang dagu, ia menggigit Cokelat terkahir nya.


"Domba kecilnya Bastian, lama tidak jumpa." Bastian tiba-tiba muncul dan duduk asal di
Kursi yang sebelumnya Atika duduki

"Kenapa sih? Gue engga bisa menyendiri satu hari aja," ketus Altheya, dia ingin teman tapi,
jangan salah satu dari mereka yang gila ini.

Bastian mengetuk-ngetuk jemarinya dia atas meja, pria itu menatap Altheya lekat-lekat. "Lo
makin berisi yah."

Altheya terdiam, ia menatap perutnya yang masih rata. "Mana ada!" serunya tidak terima.

"Altheya itu pendiam, pemalu, manis, lucu, tidak kasar, tidak suka sendiri, makan juga harus
ditemani, dia suka dengan barang-barang mewah dan dia tidak pernah melawan perkataan
Bastian."

Ada apa dengan pria ini?

Altheya berdiri, ia melangkah pergi tapi, Bastian mencekal lengan nya.

"Lo siapa?"

Gawat, ini benar-benar gawat.

"Gue Altheya. Lepasin gue, jangan aneh-aneh deh."

"Jujur sama gue, apa yang terjadi? Apa yang Delta lakukan padamu" Bastian menatap lekat-
lekat mata Altheya.

"Kenapa tiba-tiba peduli?!" Seru Altheya keras, dia melangkah mundur menjauh dari pria itu.
"Waktu gue Demam sendirian di kosan yang mirip gubuk itu tidak ada yang peduli sama gue!
Lo, Delta, Luca, Kilel Atau siapapun itu tidak ada yang peduli!"

"Gue mati sendirian." Altheya mengepalkan kedua tangannya. "Lo juga engga pernah peduli
sama gue."

Apa ini?

Kenapa tiba-tiba ia menangis?

"A1P" Bastian mendekati gadis itu, namun Altheya melangkah mundur.

"Kenapa kamu membuang ku?" Ingatan ini. Ingatan siapa ini?!


"Kamu meninggalkan ku! Kamu membuang ku! Kamu mengusir ku! Kamu menyakiti ku!
Padahal aku sudah memberikan segalanya padamu! Kamu yang pertama mengajari ku
banyak hal! Setelah semua itu kamu berharap aku masih tetap menjadi Altheya mu?!"

Perutnya mual.

Altheya memegangi kepalanya yang terasa sakit.

"Ada apa? Kamu kenapa?!" Bastian memegangi kedua bahu gadis itu. Tidak! Tidak! Tidak!"
Sakit! Ini sangat sakit!

Semua ingatan dan perasan Altheya sebelum ia masuk ke dalam tubuh ini mendobrak isi
kepalanya dan menghancurkan kewarasannya.

"Altheya!" Bastian menangkap tubuh Altheya yang hampir saja jatuh ke tanah.

Gadis itu pingsan.


Part 12

Altheya memeluk dirinya derngan erat untuk berlindung dari rasa dingin. Gadis

berusia 15 Tahun itu menatap tajam sekelompok keluarga lengkap, mereka sedang makan
bersama merayakan ulang tahun salah satu anggota keluarga mereka. Enaknya duduk di
dalam restoran yang hangat dengan makanan lezat dan dikelilingi oleh orang-orang yang
mencintai kita.

Sedangkan dirinya sendiri, seorang gadis yang tumbuh di panti asuhan dan diusir setelah
berusia 15 Tahun. Sudah sebulan berlalu sejak ia diusir dan selama itu juga ia tinggal di
kosan murah bersama beberapa ekor tikus yang terkadang membuat akal sehat nya rusak dan
menginginkan mereka untuk dimakan.

"Aku lapar." Altheya bergumam kecil, ia memegangi perutnya.

Sudah 2 hari ia tidak makan. Uangnya habis, harusnya ia masih memiliki uang dari hasil
kerja paruh waktu nya tapi, karena seseorang yang iri dengan kecantikannya ia dijebak,
diusir, bahkan tidak diberikan gaji ataupun sedikit makanan. Gadis itu tidak pernah
menyangka ternyata dunia di luar panti asuhan itu kejam, hanya karena wajahnya ia
diperlakukan tidak adil.

"Hei, kita mau balapan gak nih?"

"Engga ah, malas gue."

"Kenapa? Bukanya lo biasanya suka."

"Iya, akhir-akhir ini engga ada yang bisa ngalahin gue, bosan."

"Sombong, ada anak baru loh, namanya Delta. Baru masuk aja dia udah bisa ngalahin musuh
bebuyutan lo itu."

"Anak mana?"

"SMA..."

Altheya melangkah mundur, ia menundukkan kepalanya dan membiarkan dua orang pria itu
melewati dirinya begitu saja. Dia lapar, sangat lapar, bahkan saat ini ia sedang mengepalkan
kedua tangannya hingga kubu-kubu jarinya menembus kulit, ia sedang menahan diri untuk
tidak meminta-minta pada dua anak laki-laki yang terlihat kaya itu.

"Hm, nanti gue gabung deh."

"Serius? Asyek, kalau Bastian udah turun semua pasti dibantai."

Bastian terkekeh pelan namun tawanya terhenti ketika mendengar sebuah suara. Keduanya
berhenti berjalan.

"Lo kalau lapar bilang, gue traktir makan sekarang juga," kata temannya.

Bastian menggelengkan kepalanya. "Gue engga lapar." Dia sudah makan tadi, lagian
perutnya tidak akan pernah ia biarkan kelaparan sampai bersuara seperti itu.

Pipi Altheya memerah, ia memeluk perutnya dengan erat. "Hush, jangan bersuara," lirihnya.

Bastian mendengar itu, ia mengintip dari balik bahunya untuk melihat seorang gadis cantik
dengan celana dan kaos yang kotor.

Pandangan mata mereka bertemu.

"Ah!" Altheya memutar badannya. "Maaf." Ia berujar lirih.

"Siapa? Lo kenal?" tanya teman Bastian.

"Lo pergi aja dulu, nanti gue nyusul."

"Oh oke. Jangan lupa yah." Mereka memberikan salam khas seorang pria sebelum akhirnya
berjalan melalui Jalanan yang berbeda.

Bastian mendekati gadis itu, ia berdiri di hadapannya.

"Hai." Bastian menyapa dengan senyuman termanis yang ia miliki.

Takut-takut Altheya mengintipnya. "Hai juga," suaranya kecil sekali.

"Hm, gue Bastian, nama lo?" Bastian menjulurkan tangannya.

Awalnya Altheya ragu, ia ingin segera pergi namun melihat senyuman manis laki-laki itu, ia
tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak menyambut uluran tangannya.

"Altheya." Mereka berkenalan.


"Lo ngapain sendirian disini?" tanya Bastian.

"Aku habis di pecat." Cerita Altheya, dia adalah gadis yang jujur.

"Kenapa bisa dipecat?" tanya Bastian.

"Aku dituduh mencuri bahan makanan, padahal aku tidak melakukannya." Dia merunduk
sedih.

Semakin dilihat gadis ini semakin cantik dan menarik, jenis cantik yang tidak akan pernah
bosan untuk dilihat berkali-kali.

"Restoran yang mana?" tanya Bastian.

"Depan." Restoran dimana ia melihat sekelompok keluarga yang sedang bahagia.

"Hm." Bastian menyeringai. "Mau gue bantu?"

Wajahnya berubah cerah, ia menatap Bastian dengan senyuman manis.

"Beneran? Gimana caranya?"

Bastian tertegun, rasanya ia ingin merekam eskpresi wajah gadis ini di dalam kepalanya lalu
memutarnya ratusan kali. "Mau makan sama gue?" Dia manis sekali, Bastian semakin
mendekat dan ia merunduk untuk mencium aroma rambut gadis itu.

Pipi Altheya memerah, ia tidak pernah sedekat ini dengan lawan jenis. "I-ya aku memang
kelaparan."

"Ayo makan bersama." Bastian membuka lebar telapak tangannya, meminta gadis itu untuk
membalas.

Dengan tangan yang penuh keringat dingin Altheya meletakkan telapak tangannya di atas
tangan Bastian, laki-laki itu langsung menggenggam dengan erat. "Gadis baik." Bastian
mengelus kepalanya.

Altheya tersenyum malu-malu. "Terima kasih Bastian."

Akal sehatnya hancur.

Altheya menyandarkan kepalanya dengan linglung di tepi kasur, ia sudah sadar sejak
beberapa menit yang lalu dan berakhir di kamar seseorang yang tidak ia kenali. Kamar ini
bernuansa morden klasik, banyak perabotan berwarna emas kecokelatan, sepertinya yang
mempunyai kamar ini memiliki keterkaitan tinggi pada seni Eropa Kuno.

Air mata gadis itu tidak berhenti mengalir sejak sadar, bibirnya diam membisu, ia melamun.

Di dalam kepalanya ada sebuah pertanyaan yang bersarang sejak ia sadar.

Bagaimana.

Bagaimana gadis ini bisa bertahan hidup di lingkungan yang sangat Toxic.

Altheya, dosa apa yang kamu perbuat sampai harus menjalin hidup sekeras ini.

Dia hanya anak polos dan lugu yang diusir dari panti asuhan tempat ia tumbuh karena sudah
berumur 15 Tahun.

Kenapa Dunia ini sangat kejam padanya? Dengan ingatan yang ada ini, akhirnya jiwa ini
mengerti.

Mungkin lebih baik Altheya mati daripada bertahan hidup. Semuanya.

Semua orang yang berhubungan dengan gadis ini adalah orang gila.

"Udah sadar?"

Mata tajam Altheya bergerak cepat, semuanya orang gila termasuk laki-laki yang ada di
hadapannya saat ini.

"Gue mau pulang." Altheya berdiri.

Namun Bastian mencegahnya. "Menginap disini."

Altheya menggelengkan kepalanya secepat mungkin. "Gue engga mau muntah di kasur lo."
Jika semua ingatan itu benar betapa menjijikkan tubuh ini.

"Lo kenapa lagi?" Bastian meletakkan Gelas yang berisi air hangat itu di atas Nakas.

"Sekarang tujuan lo apa dekatin gue?" tanya gadis itu.

Bastian terdiam, ia melipat tangan di dada.

"Engga ada, gue bawa lo kesini murni untuk nolong."


Altheya mengangguk mengerti. "Oke, makasih." Dia berjalan menuju pintu keluar. "Gue
harap lo engga akan gangguin gue lagi, hubungan kita sudah selesai setahun yang lalu."

"Jujur aja sejak putus dari lo, gue engga ingat sebelum bertemu lo kehidupan gue gimana?"
gumam Bastian.

Altheya tertawa mengejek. "Mana gue tahu, itu sih derita lo."

"Selama ini gue berencana dekatin loo tapi, hebatnya Domba kecil gue berhasil mendapatkan
perhatian dari pasien RSJ."

"Sekarang lo dan Delta udah putus, di Mall kemarin sebenarnya gue juga mau bilang ini."
Bastian mendekati Altheya, ia berhenti tepat di hadapan gadis itu. "Jadi Altheya gue lagi."

"Engga mau." Altheya menegaskan.

"Apa yang harus gue lakuin?" Laki-laki itu menelan Saliva-nya, jakunnya bergerak kaku.
"Agar lo jadi milik gue lagi."

Altheya mendengus dingin. "Mati."

Bastian mengangguk mengerti. "Oke." Laki-laki itu pergi ke arah dapur, awalnya

Altheya bertanya-tanya apa yang akan ia lakukan namun melihat Pisau dalam

genggamannya Altheya menyadari niat Bastian.

"Mau lo tusuk atau gue?" Bastian mengarahkan Pisau itu tepat di perutnya.

"Lo gila yah?!" Altheya menjerit keras, ia mendekat dan berusaha mengambil Pisau itu
namun Bastian mencegahnya.

"Kalau nusuk di perut engga akan mati."

Altheya menyeringai lebar. "Tusuk nya disini." Gadis itu menunjukkan dadanya, tepat
jantung berada. "Kalau disini dengan senang hati besok gue datang ke pemakaman lo."

Bastian mematung di tempat. "Lo...siapa sialan?" Jika ia mengancam untuk bunuh diri
Altheya selalu menurut padanya bukan seperti ini.

Altheya tertawa kecil. "Gue? Gue adalah Altheya Domba kecil yang berubah jadi Iblis.
Part 13

Altheya menatap pantulan wajahnya di cermin. Gadis itu baru saja selesai membersihkan diri,
entah sudah berapa kali ia melakukannya, ia tidak tahu, yang Altheya tahu hanyalah ia sangat
ingin menghilangkan kotoran dari seluruh tubuhnya. Kulitnya yang putih berubah merah
karena terlalu banyak di gosok wajahnya dipenuhi amarah pada dirinya sendiri tidak! la
sedang merasa kasian dengan Altheya yang asli.

"Jika aku lahir di tubuh yang lain, mungkin aku akan menjadi teman mu." Altheya
menangkup kedua pipinya, ia berbicara sendiri.

Altheya yang malang.

Altheya yang menyedihkan.

Altheya yang menjijikkan.

Kematian adalah jalan yang seharusnya kamu ambil daripada berharap dengan keempat laki-
laki itu.

Gadis itu keluar dari Toilet dan betapa terkejutnya ia ketika melihat seseorang

berdiri di dekat Jendela.

"Mal-!" Mulutnya dibekap dengan tangan seseorang itu.

Vergo memberikan isyarat untuk diam dengan jari telunjuknya. "Diam, dan lo gue bayar."
Kenapa dia bisa ada disini!

Altheya melotot ngeri namun sedetik kemudian ia mengangguk, duit selalu benar.

Vergo melepaskarn tangannya, ia menarik nafas lega.

"Sekarang jelaskan kenapa lo bisa masuk dari Jendela kamar gue." Altheya mendelik tajam.
"Dan berapa biaya untuk tutup mulut gue?"

"Lo mau berapa?" tanya Vergo.

"5."

"Anjing"
Altheya tertawa kecil. "Mulut gue mahal."

Vergo berdecak kesal, ia mengeluarkan ponselnya. "Mana nomor ATM lo."

"Ho oh." Buru-buru Altheya mengambil Ponselnya di atas kasur. "Gue kira bakal dibayar
besok."

"Engga lah." Untuk beberapa menit Vergo sibuk menatap layar ponselnya. "Udah."

"Oke, dah masuk." Altheya terkekeh geli.

"Jadi alasannya?"

"Kepo lo," ketus Vergo, ia duduk di kursi dekat Meja belajar. "Gue minta minum."

Altheya mendumel kesal. "Lo kira gue babu lo?"

"Bukannya gitu yah?"

Memutar bola mata kesal, Altheya mengambil sekaleng Soda dari Kulkas mini di kamarnya.
"Berapa lama?"

"Bentar doang, lo cuma harus bilang engga."

Alis Altheya terangkat sebelah. "Lo habis PDKT sama Zehra yah?" tebak gadis itu.

Soda di dalam mulut Vergo menyembur keluar, laki-laki itu batuk.

Altheya tersenyum penuh kemenangan.

"Benar yah?"

"Lo kok tahu?"

Altheya menyibak rambutnya. "Selain gue anak Sekolah kita disini yah Zehra, lo jangan
nyakitin dia kasian masih polos."

"Bukan urusan lo," ketus Vergo.

"Urusan gue lah, jangan sakiti Zehra kalau lo engga mau ubah dia jadi kayak gue." Altheya
menegaskan. "Lo benci gue kan? Jangan buat gue kedua."

Vergo terdiam.
Pintu kamar Altheya diketuk dari luar, buru-buru Vergo bersembunyi di Toilet.

Dengan wajah setenang mungkin Altheya tersenyum ramah pada Bunda Irma yang selalu
terlihat cantik dan seksi.

"Malam Altheya, maaf ganggu yah tadi Bunda lihat cowok dari lantai dua, kamu ada liat dia
pergi atau keluar tidak?"

Altheya menggelengkan kepalanya, sembari menggerakkan jemarinya pada pintu Toilet.


"Engga ada Bunda, saya sendirian dari tadi dan engga lihat siapa-siapa." Dia memberikan
bahasa isyarat.

Bunda Irma mengangguk mengerti, bibir merahnya merekah lebar. "Eh benarkah? Bunda
lihat dia di depan kamar Zehra tadi, Zehra itu keponakan Bunda, jadi Bunda cukup yakin dia
engga akan pernah ngundang lawan jenis ke kosan jika bukan lawan jenis itu yang ngancem
dia." Perlahan-lahan Bunda berjalan ke depan Pintu Toilet.

"Iya Bunda, baru beberapa kenal Zehra aja saya tahu kalau dia bukan orang seperti itu."
Bunda mengetuk pintu Toilet.

Di dalam sana Vergo berkeringat dingin.

"Kenapa Bunda?" tanya Altheya.

"Kamu pernah ketemu Tikus gak di kamar ini?"

"Engga pernah Bunda."

Bunda Irma mendobrak pintu Toilet.

Altheya pura-pura memasang wajah terkejut.

Bunda Irma tersenyum manis. "Tikusnya tertangkap."

Ingat Altheya tidak salah, Vergo hanya menyuruh untuk berkata engga bukan meminta
bantuan untuk menyembunyikan nya.

Bunda Irma pergi sembari menjewer telinga Vergo. Meyza mengetuk pintu apartemen Delta

dengan keras. Beberapa hari berlalu sejak acara kenaikan kelas dan selama itu ia tidak pernah
bertemu dengan Delta, dari kabar yang ia dapat Delta dan Alden sedang liburan bersama Ibu
mereka. Ia sudah beberapa kali mengirim pesan dan menelepon Delta tapi, semuanya
diabaikan setelah membuat bencana dengan menyebut nama Altheya, Delta menghilang
begitu saja.

"Delta! Buka! Aku tahu kamu ada! Alden bilang kalian udah pulang!" Seru Meyza.

Delta membuka pintu apartemennya, ia mengintip dari sela-sela pintu, rambut berantakan dan
wajah bantalnya terlihat seksi. "Apa?" ketusnya.

Meyza menelan Saliva-nya karena pikiran negatif yang menyerang kepala. "Aku mau
ngomong."

"Masuk." Delta mengizinkan Meyza untuk masuk.

Meyza mengikuti Delta, laki-laki itu membawanya mernuju dapur dan memberikan sekaleng
minuman soda dingin. "Mau ngomong apa?" tanya Delta, ia menguap lebar. Melihat Delta
seperti ini, kemarahan yang memenuhi dada Meyza hilang seketika.

"Kamu gak apa-apa?"

"Hm." Delta menyeduh Teh aroma Mawar untuk dirinya sendiri.

Meyza mengigit bibirnya, perasaannya atau tidak, jelas-jelas Delta tidak memperdulikan
kehadirannya lagi. "Kemarin waktu di lapangan kamu kenapa manggil Altheya?" Jantungnya
berdebar kencang.

Delta meminum tehnya, kepalanya pusing. Yah kenapa." Dia menopang dagu malas.

"Gue juga engga tahu"

Meyza mengepalkan kedua tangannya.

"Hubungan kita sebenarnya kenapa sih? Kamu masih marah sama aku?"

"Entahlah." Delta mengangkat bahu tidak tahu.

"Kamu masih marah?" Ulang Meyza. "Aku kan udah minta maaf, waktu itu Drian jebak aku
dan aku juga..." Dia merunduk, merasa bersalah. "Mabuk waktu itu."

Iya, gue tahu." Entah kenapa pembicaraan ini semakin membosankan. "Terus sekarang lo
mau putus?"
"Engga!" seru Meyza, ia menggelengkan kepalanya. "Aku engga mau itu."

"Oh." Delta melipat kedua tangannya di atas meja dan tiduran di atasnya. "Gue maujujur
sama lo."

"A-pa?" tanya Meyza gugup, Delta menatapnya terlalu intens.

"Gue bosan." Pandangan Delta jauh menerawang, tatapannya kosong. "Ayo berhenti."

Meyza membelak kaget, gadis itu mengebrak meja. "Kenapa? Apa karena Altheya? Kamu
suka dia?!"

Delta mengangkat bahu tidak tahu. "Entahlah hanya saja sekarang entah kenapa dia engga
bisa keluar dari kepala gue." Delta berkata jujur. "Aneh, gue engga suka." Isi kepalanya
dipenuhi dengan berbagai macam tipu muslihat hanya untuk mempertahankan gadis itu.
"Kayaknya gue jadi Monster." Dia bahkan memiliki keinginan untuk mengunci Altheya di
kamarnya dan tidak akan pernah mengizinkan gadis itu keluar.

"Kamu serius? Aku engga mau putus! Delta please!" Mohon Meyza, air matanya mengalir.

"Terserah sih, gue juga engga peduli." Dia sangat kejam. "Lagian selama ini bagi lo gue kan
cuma ATM berjalan."

"Kamu lihat aku kayak gitu?!" Meyza mengepalkan kedua tangannya. "Harusnya kamu
tanyak sama diri kamu sendiri selain uang apa yang pernah kamu kasih ke aku?!"

Delta termenung. "Kayaknya engga ada."

"Kamu pernah gak sih suka aku? Sedikit aja."

Delta menggelengkan kepalanya. "Engga ada yang gue sukai di Dunia ini."

Meyza melempar isi soda dingin dan tepat mengenai wajah Delta. "Gila! Kamu benar-benar
gila!"

"Bukanya lo juga?" Delta tersenyum miring.

"Lo sendiri yang nawarin diri lo ke gue, untuk jadi pacar gue." Soda dingin yangg membasahi
wajah dan rambutnya tidak mengalahkan ketampanan seorang Delta.

"Apa sih yang kamu suka dari Altheya?! Dia tuh pelacur! Hidup untuk uang!"
"Apa jangan-jangan kamu pernah tidur sama dia?" Meyza mulai tidak waras, wajahnya
berubah jelak.

Delta menyipitkan matanya. "Lo kira gue apa? Binatang?"

Selama Altheya menjadi pacar sewaan tidak pernah sekalipun Delta menyentuhnya.

"Pokoknya aku engga mau putus!" seru Meyza.

"Kenapa?" tanya Delta.

"Karena aku cinta kamu." Dia menatap Delta, matanya yang indah penuh dengan air mata.

"Gue engga."

Meyza cukup dan berhentilah.

Dia adalah laki-laki yang tidak memiliki hati.


Part 14

Dua Minggu berlalu setelah acara kenaikan kelas. Semuanya kembali seperti semula,
kedatangan siswa-siswi baru, teman baru, kelas baru, dan perubahan lingkungan yang baru.
SMA adalah masa yang paling menyenangkan dan indah bagi beberapa orang tapi, beberapa
orang itu tidak termasuk Altheya.

Berjalan dari kosan ke sekolah hanya memakan waktu 3 menit, sembari berjalan Altheya
mengigit roti isi telur ceplok dan saos tomat serta cabe, sarapannya pagi ini. Altheya itu
sangat menyukai pedas, ia lebih suka makanan pedas daripada manis, makanan manis bisa
eneg untuk dimakan sedangkan makanan pedas tidak akan pernah.

Kehidupan SMA di kehidupan sebelumnya sebenarnya biasa saja namun, berubah buruk
sejak kedua orang tuanya meninggal, sejak saat itu ia sama sekali tidak bisamengingat
kenangan indahnya ketika SMA. Bertemu dengan kekasihnya di rumah sakit adalah berkah
dan kebahagiaan untuk Altheya maka dari itu ketika dia pergi Altheya menjalani hidup
dengan suram.

"Altheya! Pagi!" Zehra tiba-tiba muncul dari arah samping Altheya, gadis itu terlihat manis
dengan Bandana Kelinci nya.

"Pagi," jawab Altheya suram.

Zehra tertawa geli. "Kamu suram banget padahal masih pagi."

"Yah gue malah berharap untuk tidak bertemu dengan pagi." Pandangan matanya seperti
orang mati.

Zehra menepuk pundak Altheya dengan cukup keras. "Jangan gitu! Kita masih muda! Banyak
hal yang bisa dilakukan!"

"Seperti merampok Bank?" saut Altheya, ia tertawa miris.

"Bukan ih!" Zehra mendumel kesal. "Btw aku mau bilang makasih sama kamu karena waktu
itu udah bantu Vergo."

Altheya mengangguk lemah. "Yah, sama-sama." Lagian ia tidak melakukannya dengan


gratis.
Zehra menggembungkan pipinya, ia terlihat imut. "Kamu ih! Inilah alasan kenapa kamu
engga purnya teman! Aura nya negatif!"

"Iya gue engga tahu cara ngubah ke positif."

"Vergo!" Zehra tiba-tiba menjerit memanggil seseorang.

Dimana ada Vergo tentunya pasti ada Delta.

Altheya mematung di tempat, ia membiarkan Zehra mendekati Vergo dengan melompat-


lompat kecil seperti Kelinci.

Delta berjalan mendekati nya.

Gadis itu berbalik arah, berniat untuk pergi.

"Mau kemana?" Gerakannya kurang cepa Delta mernarik Tas-nya.

"Lepas, gue engga mau di amuk Meyza."

"Gue sama Meyza udah putus."

Altheya melotot ngeri. "Holy Moly! WTF Lo berdua putus?" Kedua tokoh utama ini putus?
Kenapa? Ada apa? Bagaimana? Bukannya adegan ini tidak pernah ada di dalam Novel,
seingatnya seperti itu.

"Ini baru awalnya." Altheya ingat semester baru di kelas 12 adalah awal mula Novel terjadi.

"Sudah berakhir." Mulut Altheya menganga lebar. "Kok bisa? Karena gue yah?" tebak nya,
kepedean, asal ceplos aja.

"Iya." Ups, ternyata dia tidak kepedean. Altheya terdiam. "Jangan, lo pasti nyesal buang dia."
Ada sebuah cerita diantara mereka berdua yang nanti akan terungkap.

Delta ingin berbicara namun kehadiran seseorang membuatnya diam.

"Bagus lo yah, gue hubungi engga di respon." Kile mendumel kesal.

Altheya meliriknya. "Ngapain hubungi gue? Kan yang penting uangnya masuk terus."

"Gue engga mau jadi Broker lo lagi."


Altheya mengangguk mengerti. "Oke, nanti gue cari orang baru." Dia tidak perlu seseorang
yang tidak punya hati.

"Biar gue aja yang cari." Delta memberi saran.

"Oh engga usah." Altheya menggelengkan kepalanya. "Kalian berdua tidak perlu ada
hubungannya dengan apapun yang gue lakuin, gue bisa sendiri." Dia tersenyum manis. "Oke?
Bye! Gue mau ke kelas!"

Dia tidak ingin bergantung pada mereka.

***

Dia bisa melakukannya sendiri. Seorang ratu tidak membutuhkan raja, ia bisa berdiri sendiri.

Pulang Sekolah Altheya kembali mendatang Cafe tempat Moran berkerja. Sebenernya
makanan disini sangat lezat, makanya Altheya sering mampir ke sini yah meksipun niat
keduanya adalah untuk melihat kekasih lamanya, Moran.

"Lo datang lagi." Moran memberi kata sambutan.

"Iya, gue suka makanan disini. Bawa rekomendasi menu hari ini."

Moran mengangguk mengerti.

"Hai, Altheya!" Atika tiba-tiba datang dan duduk berhadapan derngannya.

Altheya meliriknya aneh. "Hai." Apa gadis ini cemburu lagi? Padahal ia tidak melakukan
apapun.

"Kamu lebih sering mampir akhir-akhir ini." Moran menatap Atika lembut.

"Iya aku takut kamu di ambil orang." Dia melirik Altheya terang-terangan. "Kamu juga
kelihatan lelah, aku khawatir"

Moran tertawa renyah, bawah matanya memang terlihat hitam. "Iya, akhir-akhir ini aku
mimpi aneh." Dia melamun sebentar.

"Nanti aku cerita."

Atika mengangguk, ia tersenyum kemenangan pada Altheya. Idih! Taik Anjing! Batin
Altheya.
"Aku mau menu yang sama kayak dia yah." Atika berujar manis.

Moran mengusap lembut atas kepala gadis itu. "Iya, tunggu yah." Laki-laki itu berlalu pergi.

"Lo bilang kemarin, kalian berdua temanan dari kecil yah?" tanya Altheya.

Atika mengangguk. "Ayah gue berguru sama Kakek Moran."

"Oh," Altheya mengedipkan matanya. "Dia sehat kan?"

"Sehat lah.

Altheya manggut-manggut, ia menatap Atika. "Engga ada penyakit apapun?"

Merasa tersinggung Atika menatap Altheya penuh amarah. "Lo mau apa sih sebenernya?!"
Dia tidak pernah suka dengan gadis ini.

Semua itu karena Altheya dulu sangat membenci Moran bahkan merendahkannya dan
sekarang ia mendekati Moran dengan senyuman manis itu, senyuman menjijikkan yang
anehnya memikat banyak orang.

"Gue engga mau apa-apa kok." Altheya tersenyum kecut. "Lagian gue engga akan bisa
menang dari lo." Untuk apa juga, hubungan mereka terjadi di kehidupan sebelumnya, bukan
kehidupan ini.

"Jangan dekatin Moran." Atika menegaskan. "Gue engga akan pernah lupa dengan semua
kata-kata kejam lo tentang dia."

Altheya mendengarkan.

"Karena kata-kata lo dia pernah berantam sama Delta, karena lo dia pernah dihajar Luca,
karena lo dia pernah kecelakaan

Motor dan karena lo dia dibenci gadis-gadis di Sekolah kami." Matanya memicing tajam,
terlihat sekali kebencian disana. "Lo itu pembawa sial, senmua orang menderita karena lo
bahkan Meyza putus sama Delta karena lo."

Altheya tertawa lepas, ia menutup mulutnya. "Ehhhhhh itu salah gue?" Nada suaranya
terdengar remeh. "Dengar baik-baik Atika, cowok berselingkuh itu bukan salah siapa-siapa,
itu salah dirinya sendiri karena dia tidak pernah puas dengan apa yang dia miliki." Altheya
tersenyum manis.
"Bayangkan seperti ini." Dia melipat kedua tangannya di atas meja. "Ibaratkan gadis-gadis itu
adalah perhiasan. Perhiasan itu ada banyak jenis, bentuk, warna, dan keindahan. Tentunya
yang paling cantik lah yang diinginkan banyak orang, namun ada sebuah kategori yang bisa
mengalahkan kecantikan."

Atika mengepalkarn kedua tangannya. "Unik." Altheya tersenyum miring.

"Kecantikan akan kalah dengan sesuatu yang langkah, unik, dan beda." Dia mengelus pipi
gadis itu. "Yah semoga lo ngerti kata-kata gue."

Atika menepis kasar tangan Altheya dari pipinya. "Jangan serntuh gue."

Altheya mengangkat tangannya. "Sorry princess." Dia bangkit. "Sepertinya kita tidak akan
cocok untuk menjadi teman, gue akan cari yang lain, bye." Dia melambaikan tangan kecil dan
pergi dari meja itu. Mencari meja lain.

"Siapa yang bisa makan dengan seseorang yang terus-menerus melotot pada mu," gumam
Altheya.

Tenang saja dia memang mantan Pelakor tapi, di dalam kepalanya tidak pernah sekalipun
Altheya kepikiran untuk merebut Moran dari Atika sejak ia tahu laki-laki itu memiliki pacar.
Seperti yang ia katakan pada Meyza.

Laki-laki itu banyak, sisanya terserah padamu ingin memilih siapa.

Masa lalu hanyalah masa lalu.

Altheya hanya akarn makan hati jika terus mengingatnya.


Part 15

Altheya berdiri diantara kerumunan banyak orang. Gadis itu menatap sekitarnya yang
dipenuhi berbagai macam jenis pasangan, ada yang lurus, belok, kayang. pokoknya banyak.
Malam ini, ia menghadiri sebuah acara Live Music bersama seseorang yang tidak pernah ia
sangka mau mengajak dirinya.

"Vergo semangat!"

Iya dia datang bersama Zehra untuk menyemangati Vergo.

Ugh.

"Bunda tahu kamu kuat dan hebat, tolong jagain Zehra yah." Bunda Irma meminta tolong hal
ini padanya.

Argh, kenapa ia harus menjaga seorang gadis seusia dirinya di tengah-tengah keramaian
seperti itu tapi, Altheya juga sedikit khawatir jika ia membiarkan Zehra datang kesini sendiri
entah apa yang dilakukan Vergo padanya nanti, entah kenapa ia memiliki sisi seorang kakak
yang melindungi adiknya ketika bersama Zehra.

"Jangan lompat-lompat Zehra." Altheya menegur, ia menarik gadis itu untuk selalu di
sampingnya. "Lo yah, gue ikat nanti." Daritadi gadis ini tidak bisa diam, melompat-lompat
tidak jelas, menjerit nama Vergo padahal ia belum tampil.

"Hehehe." Zehra memegangi kedua pipinya. "Aku senang banget Altheya, Vergo ngundang
aku secara khusus ke acara ini."

Yah datang ke acara ini memang engga bayar, Zehra mendapatkan dua tiket gratis dari
Vergo.

Ini adalah sebuah acara kecil-kecilan dengan hadiah yang cukup menggiurkan, uang tunai
tapi, untuk seseorang yang sudah kaya seperti Vergo sepertinya ia tidak mengincar
hadiahnya.

"Vergo kenapa lama banget sih tampil nya," gumam Zehra, pipinya memerah karena
kepanasan.

Altheya mengeluarkan Tisu, ia memberikannya pada Zehra. "Nih lap keringat lo."
Zehra tersenyum manis. "Makasih Theya."

"Theya?" Alis Altheya terangkat sebelah.

Zehra mengangguk. "Panggilan khusus dari aku." Dia nyengir.

Altheya mendengus sebal, sudut bibirnya terangkat. "Padahal kita engga dekat."

Zehra tertawa.

"Btw kenapa lo engga ngajak Orchid, Layla, atau Meyza?"

Mendengar nama ketiga temannya, bibir Zehra maju beberapa centi. "Mereka engga suka ke
tempat kayak gini, panas, bau, sumpek, dan apek, gitu katanya."

"Engga lah." Altheya menggelengkan kepalanya. "Malah seru."

"Benarkan?" Zehra berujar semangat.

"Aku juga suka tempat kayak gini, aku kan ketemu Vergo disini."

Altheya menyeringai. "Pantesan." Dia melirik brosur acara. "Siapa nama Band Vergo?"

"Weirdo." Zehra sedikit berjinjit untuk melihat brosur di tangan Altheya.

Altheya menurunkan tangannya, biarlah gadis itu yang mencari. Zehra memanng pendek,
tingginya hanya sampai lengan Altheya.

"Ah ada!" Zehra menunjukan brosur. "Vergo urutan terakhir, nomor 10."

"Ini band ke-10." Altheya berujar lirih.

Zehra dan Altheya tersentak kaget karena jeritan orang-orang disekitar mereka yang entah
kenapa lebih besar serta mengerikan daripada sebelumnya. Mereka juga tambah liar seperti
mendorong orang-orang di hadapannya untuk maju ke depan.

"Hei! Santai!" seru Altheya.

"Aduh!" Zehra mengadu, ia mengusap dahinya yang membentur bahu seseorang.

"Ck, sini." Altheya menarik Zehra, membiarkan gadis itu berdiri diantara kedua lengannya.
"Lo jangan kemana-mana."
Zehra mengangguk. "Theya kamu mirip seorang kakak."

"Gue bukan kakak lo." Altheya menyentil dahi Zehra.

"Selamat Malam semuanya!"

Altheya dan Zehra langsung menutup kedua telinga mereka.

"Anjir, gila semua nih orang." Altheya bergumam kecil.

Jeritannya benar-benar membahana, gendang telinga Altheya hampir pecah.

"Kami dari Band Weirdo, malam ini akan membawakan sebuah lagu."

Kerumunan semakin riuh.

"Vergo!" Zehra berseru kencang, ia melambaikan tangannya berharap Vergo bisa melihatnya.

Sepertinya mereka berjodoh karena Vergo juga melihat Zehra dan tersenyum tipis lalu Vergo
melihat seseorang yang datang bersama Zehra, Altheya dengan senyuman mengejekrnya.

"Bangsat," umpat Vergo, ngapain tuh cewek disini?

"Semangat Vergo!" Altheya ikut berseru.

Vergo semakin geram, ia harus mengendalikan emosinya karena saat ini Band nya sedang
ikut berlomba.

"Baiklah, Malam ini kami akan membawakan lagu Harry Style - Adore You."

Walk in your rainbow paradise (paradise)

Altheya berseru kecil, Vokalis Band Vergo memiliki suara yang sangat bagus, lembut dan
tegas.

Strawberry lipstick state of mind (state of mind)

I get so lost inside your eyes

Would you believe it?

You don't have to say you love me

You don't have to say nothing


You don't have to say you're mine

Honey (ah)

Id walk through fire for you

Just let me adore you

Oh, honey (ah)

Td walk through fire for you

Just let me adore you

Like it's the only thing I'll ever do

Like it's the only thing I'll ever do

Kalau sorakan nya seperti ini sudah dapat dipastikan mereka lah pemenangnya.

"Keren kan?"

Altheya mengangguk. "Yah, suara Vokalisnya bagus."

"Theya, aku ke belakang panggung yah mau kasih mereka selamat." Yah seperti yang kalian
duga Vergo dan teman-temannya menang

Altheya mengangguk. "Lo pulang sama dia aja nanti, kalau di apa-apain bilang gue."

"Kamu pulang sendiri gak apa-apa?"

Mereka naik Motor ke tempat ini, goncengan.

"Santai."

Zehra tersenyum manis. "Besok aku buatin kamu sarapan deh biar engga makan Roti mulu."

Altheya mengacuhkan jempolnya. "Woke."

Zehra berlalu pergi

Lalu sekarang apa?

Tidak ada yang bisa dilihat, semuanya selesai.


Tidak ada juga seseorang yang ia kenal disini, sendirian di keramaian itu ibaratkan
kesenangan dan kesedihan yang menyatu jadi satu.

Altheya berjalan ke luar Studio, ia membeli beberapa Bakso Bakar yang ada di samping
Studio dan memakannya sembari duduk di pinggir Motornya. Gadis cantik yang menarik
banyak perhatian para lelaki, tidak biasanya gadis dengan kecantikan seperti Altheya duduk
sendirian seperti ini.

"Hai!"

Mangsanya dapat satu.

Altheya menaikkan sebelah alisnya. "Hai." Dia bukanlah gadis yang sombong.

"Sendirian aja nih?"

"Iya, lagi nunggu malaikat maut." Dia menyeringai.

Laki-laki itu tertawa renyah. "Hahaha lo lucu yah."

"Dih orang serius juga." Altheya menatap laki-laki. "Lo tahu gue ini sebenarnya ingat tentang
kehidupan gue yang sebelumnya, ini rahasia diantara kita yah? Lo tahu ini kehidupan kedua
gue."

Cantik-cantik sinting! Batin laki-laki itu.

"Hahaha, oh yah, kalau gitu gue ke teman gue dulu." Dia berjalan mundur dengan kecepatan
tidak biasa.

Altheya tersenyum kemenangan. "Dasar Buaya."

Selera Altheya itu tinggi mana mau sama cowok Jamet.

"Altheya?"

Altheya mendongak untuk melihat seseorang yang memanggil namanya namun, lidah
Altheya langsung keluh, kedua kakinya berubah menjadi jeli.

Gila gayanya keren banget! Batin gadis itu.

Rambutnya berwarna keemasan dengan tindik hitam di sekitar telinga serta bibir lalu jangan
lupakan Gitar di punggung dan kuku jarinya yang di chat warma hitam, ia menggunakan
Kaos Hitam dan Celana Jeans Hitam, pokoknya semua serba hitam kecuali warna kulit,
rambut, dan Gitar.

"Siapa? tanya Altheya.

Laki-laki itu tersenyum, manis sekali, kedua matanya membentuk lengkungan dan ada
sebuah lesung pipi bagian kanan.

"Beneran Altheya!" Dia bertepuk tangan.

"Boleh gue duduk di samping lo?" Izinnya.

Altheya mengangguk. "Silahkan."

Mereka duduk berdampingan, laki-laki itu besar sekali keberadaan menarik perhatian semua
orang dan menutupi keberadaan Altheya.

"Udah lama banget, masih ingat gue?" Dia menunjuk dirinya sendiri.

Altheya menggelengkan kepalanya. "Sorry, ingatan gue lemah."

Dia tertawa kecil. "Santai, wajar kok, waktu sudah berlalu cukup lama, hm sekitar 5 Tahun."

"Gue Helios, kita ditemukan dan tumbuh di Panti Asuhan yang sama."

Sumpah! Altheya engga ingat.

"Gue diadopsi waktu umur 12 Tahun dan sejak saat itu kita pisah, maaf engga bisa nyari lo,
keluarga gue tinggal di luar negeri dan baru kembali bulan lalu."

"Sejak kembali gue nyari lo di Panti tapi, lo engga ada." Dia merunduk sedih namun,
beberapa detik kemudian kembali tersenyum. "Takdir itu indah banget, syukurlah gue datang
kesini dan ketemu lo."

Informasi ini tidak bisa diterima otaknya

Part 16

Helios mengajaknya untuk makan malam di sebuah Restoran mewah yang tidak pernah
Altheya kunjungi sebelumnya, bahkan ketika makan malam bersama
Delta, mereka hanya mengunjungi Restoran biasa tanpa ada lantunan Piano dan orang-orang
penting dengan Jas mahal. Awalnya ia tidak ingin pergi tapi, perutnya bersuara lebih dulu
daripada bibir.

Dengan amat terpaksa ia menerimanya.

Mereka sempat menjadi pusat perhatian karena pakaian yang tidak cocok untuk datang ke
tempat seperti ini, namun setelah melihat sesuatu yang berwana Hitam keluar dari Dompet
Helios semuanya mengalihkan pandangan, mungkin mereka merasa malu pada diri sendiri,
para pelayan yang awalnya meremehkan mengubah sikapnya menjadi ramah tamah.

"Mau makan apa?" tanya Helios.

Altheya menatap menu dengan pandangan bingung, ia tidak tahu mau makan apa.

"Sama-in aja deh." Dia tidak mau kejadian bersama Delta terulang kembali.

"Daging mau kan?"

"Mau banget." Altheya membalas secepat mungkin.

Helios tersenyum tipis, dia memanggil pelayan dan memesan beberapa menu dengan bahasa
Inggris yang sangat pasih dan lancar.

"Lo tinggal di Negara mana?" tanya Altheya.

"Singapura, Mama angkat gue Kanker Rahim, dia engga bisa hamil lalu memutuskan adopsi
anak, setelah di adopsi kami pergi ke Singapura untuk pengobatan Mama." Helios bercerita.

"Sekarang Mama lo udah sembuh dong?"

Helios tersenyum masam. "Mama udah meninggal 2 Bulan lalu."

"Oh maaf." Altheya menepuk mulutnya, nakal sekali.

Helios tertawa geli. "Gak apa-apa gue masih punya Papa, gue di Indonesia tinggal sama adik
Papa."

"Oh Sekolah dimana?"

"Gue udah tamat High School, rencananya mau istirahat setahun dulu baru lanjut Kuliah."
"Mau lanjut kemana?"

Helios mengangkat bahu tidak tahu.

"Mungkin disini."

"Kampus di Singapura lebih baik daripada disini."

"Kampusnya baik disana, gue nya baik disini."

"Kenapa?" Entah kenapa pembicaraan ini mengalir begitu saja.

"Karena ada lo."

Altheya tersedak Saliva-nya sendiri.

Helios tertawa kecil.

Pesannya mereka tiba, aroma Steak yang dinmasak hingga matang sempurna memenuhi hati,
pikiran, jiwa, dan raga Altheya.

Meat is God, Baby!

Helios mencegah Altheya untuk mengambil sepiring Daging.

Altheya menatapnya tidak mengerti. Helios memotong Daging besar itu dalam ukuran yang
cukup kecil, Altheya menunggunya dengan sabar.

"Makasih." Altheya tersenyum manis, laki-laki itu memotong Daging miliknya untuk
membantunya makan dengan mudah.

Tangan Helios terangkat dan dia mengelus puncak kepala Altheya.

Gadis itu diam mematung.

"Makanlah." Helios menarik tangannya kembali.

"Oke." Suasana berubah canggung.

Altheya makan dengan lahap, matanya selalu tertutup sejenak setiap kali potorngan daging
itu masuk ke dalam mulutnya, dia berbeda dengan gadis pada umumnya yang menggerakkan
kepala ketika memakan sesuatu yang enak.
Gadis itu makan dalam waktu yang cukup cepat, ia baru selesai makan ketika Helios
memberikannya Daging lain.

"Loh?" Altheya menatapnya tidak mengerti.

"Makan lagi, masih lapar kan?"

Altheya mengangguk. "Sorry, gue belum makan dari siang." Dia tertawa.

"Kenapa engga makan?"

"Malas, engga selera." Ia bertempur dengan tugas dan soal sejak masuk di kelas 12 ini,

benar-benar neraka.

"Ada masalah?" Helios bertanya lembut.

Altheya menggelengkan kepalanya, ia melahap Dagingnya. "Yah tahun akhir SMA, lo tahu,
menyebalkan."

Helios tertawa hingga menunjukkan barisan giginya yang rapi, ia mengusap sudut bibir
Altheya dengan jempolnya dan mengecapnya.

Altheya terpelongoh di tempat. "Jorok anjir"

"Engga kok." Helios menopang dagu dan menatap Altheya lekat-lekat. "Syukurlah kita bisa
bertemu."

Entah sudah berapa kali ia mengatakan hal ini.

"Eh Pelakor dapat mangsa baru yah?"

Altheya dan Helios sontak menatap seseorang yang tiba-tiba datang ke meja mereka.

Delta dan Meyza ada disini.

Sudut bibir Altheya terangkat, ia tertawa mengejek. "Hahaha, dasar cowok engga

jelas." Katanya sudah putus dan sekarang lihat lah ini, mereka makan malam dengan stelan
yang bagus. Meyza memeluk erat lengan Delta, sedangkan Delta wajahnya sangat buruk, ia
sepertinya sedang menahan emosi.
"Gue sama Delta datang bersama keluarga, dan lo pasti tahu apa artinya kan?" Meyza
menyeringai.

Pantesan dia jinak batin Altheya.

"Disini ada Dessert Mangga, mau gue pesanin?"

Altheya mengangguk mendengar suara Helios. "Lo juga makan dong, masa gue aja."

Helios tersenyum tipis. "Lihat lo makan lebih menyenangkan."

Altheya tertawa. "Gue bukan makanan dan lihat gue engga buat lo kenyang."

"Yah anggap aja gitu."

Meyza mengepalkan kedua tangannya kesal, kenapa mereka berdua malah mengacuhkan
dirinya seperti ini dan siapa laki-laki yang bersama Altheya itu? Kenapa gadis itu selalu
mendapatkan perhatian dari laki-laki padahal dia itu murahan?!

"Dia cowok yang lo suka?" Delta mengeluarkan suaranya. Altheya berhenti tertawa, ia
melirik Delta.

"Dih kepo." Delta melotot padanya. "Bawa pergi gih calon suami lo ini, silahkan nikmati
pertemuan keluarga kalian."

Meyza manarik tangan Delta. "Ayo pergi Delta." Dia menyesal mendatangi meja gadis itu.

"Lo siapa?" Delta bertanya tajam pada Helios.

Helios mengacuhkan, tidak daripada mengacuhkan sejak tadi Helios tidak mengangga
keberadaan mereka berdua, dia hanya fokus pada Altheya dan buku menu.

Ia bahkan tidak melirik Meyza yang merupakan Protagonis dan gadis paling cantik di Novel
ini.

Tatapan matanya fokus pada Altheya.

"Delta!" Meyza berseru kesal, ia menarik Delta dengan paksa.

Altheya makan dengan lahap, ia tidak memerhatikan sekitarnya.


Di balik buku menu Helios mernyeringai lebar, pisau daging nya ia jadikan cermin untuk
melihat kedua orang yang baru saja pergi itu.

"Helios, ayo pesan ini."

Helios menyingkirkan buku menu dan tersenyum ramah pada Altheya. "Yang mana?"

"Ini." Altheya menunjuk Spaghetti Carbonara yang terlihat sangat menggoda.

"Tapi, bagi dua yah gue engga sanggup ngabisin sendiri, nanti kan juga ada Dessert
Mangga."

"Kalau lo suapin gue mau."

Altheya mengerjapkan matanya berkali-kali lalu mengangguk. "Oke engga masalah."

Eh?

Helios tidak salah dengar kan?

"Beneran?" Dia tidak ingin salah paham.

"Iya, gue juga udah sering nyuapin orang." Dulu dia sering menyuapi kekasih lamanya,
bukan hal yang sulit banyak orang sakit yang ia rawat di kehidupan sebelumnya.

"Oh yah?"

"Tya."

"Siapa? Pacar yang mana?" tanya Helios. Altheya, gadis itu terlalu santai sampai tidak
melihat perubahan wajah Helios.

"Ada, lo kok Kepo." Dia tertawa tanpa merasa bersalah.

Helios ingin mengatakan sesuatu namun, sebelum suaranya terdengar seseorang kembali
menghadiri meja mereka.

Kenapa banyak sekali yang menganggu reuni dan Altheya malam ini?!

"Yayang, kamu ngapain disini?"

Luca datang dan eh Moran?


"Kalian kok ada disini?" tanya Altheya, tanpa sadar ia merapikan Poninya.

"Kami kerja, ada kenalan yang minta bantuan." Moran mengantarkan pesanan Altheya yang
sebelumnya.

"Aku cuma bantu Yang, sebenernya malas tapi, lihat kamu disini jadi semangat kerjanya."
Dia mencolek pipi Altheya.

"Yayang nya Luca malam ini bawa seseorang yang agak aneh yah." Luca menertawakan
penampilan Helios.

Helios hanya tersenyum ramah, dia tid"Jangan cari masalah, kita kerja disini."

Moran memukul belakang kepala Luca.

"lya-iya, kalau pun gue buat masalah siapa yang bisa marah." Ayahnya adalah pemegang
saham tertinggi di Restoran ini.

Moran menggelengkan kepalanya. "Ayo pergi." Dia menarik kerah baju Luca.

"Selamat Menikmati makanannya Altheya

dan temannya."

Altheya mengangguk kecil. "Terimakasih Moran."

Terimakasih Reon.

Lagi, suara-suara itu kembali muncul.

"Iya." Moran pergi dalam keadaan linglung. Ia kembali mengingat kata-kata Atika. Tidak
apa-apa, itu hanya khayalan kamu. Benar tidak apa-apa, itu hanya khayalan.
Part 17

Helios adalah pria yang baik.

Itulah pendapat Altheya tentang dirinya.

Dia mengantar Altheya sampai kosan, membelikannya makanan yang bisa dipanaskan untuk
sarapan besok pagi bahkan memberikannya beberapa uang saku. Altheya menerima
semuanya dengan wajah cengo, tidak tahu harus berkata apa karena ia kehilangan kata-kata.

Sekarang dirinya penasaran.

Apa Helios menyukai Altheya?

"Terima kasih sudah menemani Zehra."

Bunda Irma menyapanya setelah ia masuk.

Altheya mengangguk. "Sama-sama Bunda, dia udah pulang?"

Bunda Irma mengangguk. "Vergo mengantarnya, dia membawakan Bunda Martabak Telur,
tahu aja cara mengambil hati seorang wanita."

Altheya tertawa kecil. "Yaudah Bun, Theya masuk yah?"

Bunda Irma mengangguk. "Iya, tidurlah yang nyenyak, kalau kamu lapar sisa Martabak Telur
nya ada di kulkas tinggal dipanasi."

"Iya Bunda, makasih."

Ia sudah kenyang, Helios membelikannya banyak hal.

***

Moran bangun dari tidurnya dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya. Air mata laki-
laki itu mengalir deras, ia menjambak rambutnya sendiri, merasa frustasi dan hampir gila
secara bersamaan.

Semua ingatan tentang kehidupan sebelumnnya mengalir seperti air, mendobrak masuk, dan
menghancurkan segalanya.
"Lana..." Moran memanggil.

Memanggil nama dari kekasihnya itu.

Reon!

Kamu baik-baik saja?

Jangan tinggalin aku!

Aku mohon tetaplah hidup!

Bertahanlah!

Aku tidak masalah harus merawat kamu yang cacat seumur hidup tapi kamu harus hidup!

Kita sudah berjanji!

Kita berjanji akan bersama selamanya!

Jangan tinggalin aku!

Aku tidak ingat kehidupan ku sebelum bertemu kamu!

Aku engga mau kembali kesana!

Aku mohon!

Buka mata kamu!

Itu adalah beberapa kalimat yang diucapkan Lana ketika ia di dalam ambang kematian.

Gadis itu, gadisnya.

Bagaimana bisa dia melupakannya?

Moran menangis, ia memegarngi dadanya yang terasa sangat sakit, sakit sekali.

Kenapa tiba-tiba ia mendapatkan ingatan tentang kehidupan lalunya?

Lalu ia mengingat sesuatu yang juga cukup mengejutkan.

Nama teman-temarnnya yang sekarang.

Mereka adalah Tokoh dari Novel yang ia buat bersama Lana.


"Aku mau buat Novel"

"Tentang apa?"

"Tentang kita, hehehe."

"Mau aku bantu?"

"Wajib dong, nanti kamu sama aku jadi Tokoh Utama nya Kita buat nama yang lain, jujur aja
aku benci nama aku yang sekarang."

"Yaudah, mau nama apa?"

"Kamu yang kasih nama."

"Kalau Altheya gimana?"

"Altheya? Bagus-bagus! Aku suka! Dapat ide darimana?"

"Aku kemarin baca Mitologi Yunani, Altheya artinya penyembuh."

"Aku penyembuh?"

"Iya, selama ada kamu aku akan selalu sehat."

"Hahaha! Kalau gitu aku kasih kamu nama Moran."

"Moran? Dapat ide darimana?"

"Aku suka warna Merah Gelap, Moran aku ambil dari kata acak Maroon."

Moran tertawa kecil, air matanya tidak bisa berhenti mengalir.

"Aku beneran jadi Moran Lana." la menutup wajahnya dengan telapak tangannya. "Kalau
kamu, kamu dimana?"

Dia ada dimana?

Jika dia memang tidak ada disini, untuk apa dia mendapatkan ingatan ini.

Lalu tentang Altheya.

Benar Altheya!
Dahi Moran mengerut.

Sebelumnya Altheya adalah gadis yang sangat membencinya, namun secara tiba-tiba ia
berubah menjadi seseorang yang ramah dan baik padanya, tidak mungkin seseorang bisa
berubah secepat itu.

Lalu tatapan mata Altheya padanya seperti. Ia harus memastikan hal ini.

Moran mengambil Ponselnya, ia mencari nomor Altheya dan mengirimkan sebuah pesan.
Moran

Altheya, udah tidur?

Moran menunggu selama beberapa detik, tidak ada suara lain yang ia dengar selain jarum jam
di dinding.
Part 18

Bastian berhenti melangkah, ia berbalik tubuh untuk melihat bangunan Sekolahnya.

Laki-laki itu mengelus tengkuknya, entah kenapa sejak beberapa hari yang lalu ia merasa
seperti sedang diikuti oleh seseorang. Sejak ia kembali dari Mall waktu bertamu dengan
Altheya saat itu, Bastian tidak tahu wujud dari seseorang ini yang jelas ia memiliki niat yang
sangat buruk.

Dari jarak yang jauh Bastian bisa merasakannya.

"Bastian!" Seseorang memanggilnya.

Di adalah teman yang bersamanya ketika pertama kali bertemu Altheya.

"Apa?" Bastian melempar masuk Tas ke dalam Mobil, ia menatap teman itu setelahnya.

"Lo mau kemana? Kok buru-buru?"

"Ada janji." Dia akan menemui Altheya siang ini.

"Sama Altheya?" tebak temanya itu.

Bastian tertawa kecil. "Lo tahu aja bangsat."

Temanya tertawa. "Jelas lah gue tahu, sejak putus dari dia lo engga pernah kelihatan sesenang
ini."

"Yah." Bastian termenung sejenak. "Gue bego amat waktu itu, hanya karena rahasia gue
terbongkar."

Rahasia milik Bastian yang diketahui Altheya.

Tentang Bastian yang merupakan seorang pengedar dan pemakai Narkotika. Waktu itu
Altheya tidak sengaja menemukan barang-barang haram itu di kamar Apartemen Bastian dan
detik itu juga Bastian langsung memutuskan Altheya.

Alasannya sederhana.

Sejak awal ini semua demi kebaikan Altheya.


Ia tidak ingin Domba kecilnya terjerat.

Bastian adalah seorang pengedar dan pemakai.

Ia diawasi oleh Bos-bos besar yang ada di balik layar.

Jika Bos-bos itu tahu Altheya sudah mengetahui tentang pekerjaan Bastian.

Maka mereka akan membawa Altheya masuk ke dalam juga.

Bastian tidak menginginkan hal itu. Baginya, di kehidupan ini, dari sejak awal ia bertemu
Altheya hingga saat ini.

la akan selalu mencintai gadis itu.

Altheya-nya Bastian.

Tapi sayang.

Sepertinya Altheya tidak mengerti maksud dari tujuannya.

"Yaudah deh, semoga beruntung." Buktinya adalah temannya ini.

Awalnya ia tidak tahu apa-apa tapi, sejak ia menjadi dekat dengan Bastian ia jadi terjerat oleh
semuanya.

"Lo juga, hati-hati." Dia selalu berpesan hal ini pada orang-orang terdekatnya.

"Oke."

Setelah keberadaan temannya itu tidak terlihat, Bastian masuk ke dalam Mobilnya.

Ia duduk di kursi pengemudi dan menjalankan Mobil keluar dari lingkungan Sekolah.

"Ah, senangnya dikasih tumpangan."

Refleks Bastian mengehentikan laju mobilnya, tubuhnya di dorong ke depan dan dalam
hitungan detik sebuah Pisau menusuk bagian Dadanya.

Bastian mendorong seseorang itu dan memegangi ujung Pisau yang menancap cukup dalam
di dadanya.

"Gimana rasanya? Ketika ancaman lo menjadi kenyataan?"


Bastian muntah darah, darah terus-menerus keluar dari lukanya.

"Bangsat, Lo siapa?" Nafasnya mulai ngos-ngosan, kepalanya pusing.

Helios menyeringai, dia sama sekali tidak menggunakan apapun untuk menyembunyikan
dirinya. "Lo tahu sudah dari cukup lama gue benar-benar mau bunuh lo." Dia berpindah
tempat, menarik tubuh Bastian dan duduk di kursi

pengemudi.

Bastian tidak bisa bergerak, kepalanya pusing karena kehilangan banyak Darah.

"Lo yang udah rusak Altheya dan ingin dia balik setelah semuanya." Helios tertawa keras.

"Jangan sentuh dia bangsat." Sialan, bagaimana bisa Bastian tidak menyadari seseorang
berada di dalam Mobilnya. Kenapa ketika ia melempar Tas atau mengemudi tadi tidak
menyadari keberadaannya?!

Siapa laki-laki ini?

la lebih mengerikan daripada siapapun.

"Diam dan mati lah." Helios mengemudi dengan kecepatan penuh. "Ini balas dendam karena
udah nyakitin dia."

Alis Bastian terangkat sebelah. "Lo jangan-jangan... Helios?!"

"Bingo." Helios tersenyum manis. "Altheya ada cerita tentang gue yah? Dia bilang apa?"

Dulu aku punya teman, namanya Helios.

Tbu panti suka banget sama Mitologi Yunani jadi dia ngasih nama Altheya dan Helios ke
kami berdua.

Altheya yang artinya penyembuh.

Helios yang artinya Matahari.

Helios itu baik banget sama aku

Tapi kadang aneh juga.


Dia engga suka kalau aku dekat-dekat lawan jenis.

Dan semua cowok yang pernah nyakitin atau dekatin aku pasti dia hajar.

Sialan.

Altheya semoga dia baik-baik saja.

Siapapun itu.

Bastian berharap. Jika memang ia tidak bisa selamat dan melihat gadis itu lagi.

Tolong siapapun jaga dia.

Siapapun itu.

Selanjutnya Bastian pingsan karena kehabisan Darah.

***

Dia belum mati. Bastian Sekarat.

Altheya mendapatkan kabar ini dari teman Bastian keesokan harinya.

Dokter bilang luka tusukan di jantungnya terlalu dalam, sebuah keajaiban ia bisa hidup
sekarang, ketika ia sadar nanti mungkin itu adalah waktunya.

"Apa yang terjadi?" tanya Altheya.

"Harusnya gue nanyak lo, apa yang terjadi? Dia pergi, mau ketemu lo, kenapa jadi kayak
gini?" kata teman Bastian.

Altheya terdiam, dia menghela nafas. "Gue engga pernah setuju untuk ketemuan sama dia."

"Lo tahu Al, dia cinta mati sama lo."

Altheya melirik teman Bastian itu. "Gue tahu." Karena itu lah dia disebutkan sebagai mantan
terindah.

Bastian dan Altheya saling mencintai, namun hanya karena latar belakang Bastian semua itu
tidak bisa terwujud.

Dia tahu semuanya.


"Bastian itu baik, dia cuma salah masuk pergaulan." Teman Bastian bercerita.

"Keluarganya benci dia karena itu dan mengusirnya dari rumah."

"Sekarang semua orang sudah tahu dia pemakai begitu juga Dokter, Polisi juga mau nahan
dia kalau sadar, mungkin lebih baik dia pergi saja."

Bastian sudah jatuh terlalu dalam, sudah tidak bisa ditolong lagi.

"Bisa beri kami waktu berdua?"

Teman Bastian mengangguk mengerti.

Tolong jaga depan pintu yah, jangan izinkan siapapun masuk."

"Oke, santai aja."

Sekarang hanya ada mereka berdua di ruangan ICU ini.

Altheya merapikan rambutnya, ia duduk di satu-satunya kursi di samping tempat tidur.

"Lo udah sadar kan?"

Bastian perlahan-lahan membuka matanya, dia terlihat lemah, linglung, pancaran matanya
dipenuhi rasa takut dan air mata tidak bisa berhenti mengalir. Dia saat dunia menolak dirinya
hanya karena dia seorang pemakai dan pengedar hanya Altheya yang bertahan di
sampingnya.

Jemari Bastian bergerak, seakan mengerti Altheya menggenggam tangannya, memberikan


elusan lembut.

Dada Bastian sakit, pandangan matanya semakin gelap detik demi detik.

"Lo pasti udah tahu, tapi gue bukan Altheya."

Bastian tahu, karena Altheya nya tidak akan pernah memberikannya luka.

"Altheya udah mati, kalau lo mau tahu gue Lana, ingat aja gue dengan nama itu."

"Gue engga bisa nyuruh lo bertahan juga, karena gue bukan Altheya dan gue juga engga suka
lo, gue jijik sama lo."
Kebencian masih tersisa. "Cowok licik yang memanfaatkan seorang gadis dengan tipu
muslihat."

Sudut bibir Bastian terangkat, ia tidak pernah menyesali perbuatannya.

"Mungkin ini Karma, yang terjadi sama lo adalah balasan karena lo udah nyakitin Altheya."

Bulu mata Bastian bergetar, sepertinya ia ingin bertanya sesuatu, namun suaranya tidak bisa
keluar.

"Demam, dia Demam dan posisinya lagi sendirian, Kosannya juga kayak kandang

Tikus, pantas dia mati." Altheya mengerti, ia akan menceritakan semuanya.

Bastian mengedipkan kedua matanya, ia menatap langit-langit Rumah Sakit.

Sepertinya sudah waktunya.

Entah kenapa perlahan-lahan dia melihat bayangan Altheya dengan gaun Putih, melambaikan
tangan padanya dengan senyuman yang indah.

"Pergilah." Altheya tidak menangis.

"Mungkin di kehidupan kali ini kalian tidak bisa bersama dan sebagai seseorang yang
mengalami kehidupan setelah kematian gue percaya lo berdua akan bersama di Dunia yang
lain."

"Percuma lo hidup, akhirnya akan dipenjara."

"Engga ada siapapun yang cinta sama lo disini, cinta lo udah pergi, sekarang giliran lo,
waktunya nyusul."

Mungkin benar kata gadis yang bernama Lana itu. Bastian tahu, ia sudah sangat menyakiti
Altheya dan gadis itu bahkan hingga detik terakhirnya.

Altheya mengingat sesuatu.

Ketika Altheya berada di ambang kematian.

Nama Bastian lah yang dia panggil.

Mereka adalah korban takdir yang sangat kejam.


***

Kematian dan Pemakaman Bastian dilakukan dalam waktu yang sangat singkat.

Hanya beberapa teman sekelas, Guru, Altheya dan Sahabat baik Bastian itu yang datang
menghadirinya.

Dengan pakaian serba hitam dan Kacamatanya, Altheya menatap dingin tumpukan Tanah itu.

Lagi, tidak peduli di Dunia manapun itu kematian selalu ada.

"Sudah tahu pembunuhan nya?" tanya Altheya pada teman Bastian itu.

Teman Bastian menggelengkan kepalanya. "Belum, Organisasi kami masih menyelidiki


tentang hal itu."

Altheya mengangguk mengerti. "Btw nama lo siapa?"

Teman Bastian tertawa kecil. "Lyam."

Altheya manggut-manggut. '"Oke, gue panggil lo dengan nama itu."

"Padahal dia orang baik." Lyam merunduk sedih.

"Sangking baiknya Bumi lebih sayang dia daripada Manusia." Altheya bergumam kecil.

"Iya, lo puitis juga yah." Lyam menggaruk tengkuknya yang terasa kaku.

"Yah gitulah, lo kan engga kenal gue." Altheya menendang asal batu krikil.

"Btw kayaknya lo udah dijemput deh."

Lyam melihat seseorang yang menunggu di samping Mobilnya.

Altheya mengikuti arah pandang Lyam, gadis itu berdecak kesal. "Gue balik dulu deh, dan
kayaknya gue tahu siapa yang nyakitin Bastian, tunggu kabar dari gue setelah beberapa
penyelidikan."

"Oke, gue tunggu."

Altheya berjalan pergi namun belum beberapa detik ia kembali lagi dan mengeluarkan
Ponselnya.
"Nomor lo?"

Lyam memberikannya.

"Pantes lo cinta mati sama dia Bas." Lyam bergumam lirih setelah Altheya berjalan menjauh.

Dia lucu.

Sayang sekali Lyam, Altheya yang Bastian cintai saat ini sedang berada bersama Bastian di
alam lain.

Altheya itu bukanlah Altheya yang sekarang.

"Gue engga tahu lo kenal Bastian."

Delta melirik Altheya. "Kita belum selesai bicara."

Altheya mendengus dingin. "Apa lagi Delta? Mau bicara apa lagi? Kan semuanya udah jelas,
lo itu harus dan wajib banget sama Meyza."

Delta menggelengkan kepalanya. "Gue engga mau."

"Lah terus?" Altheya harus gimana?

"Lo ikut gue." Delta menarik tangan Altheya.

"Kemana anjir?!" Altheya berusaha melepaskan tangannya, tapi tenaga dia dan Delta berbeda
jauh.

"Jangan kepikiran untuk nendang." Delta mengancam ketika melihat gerakan kaki Altheya.

Kaki Altheya langsung diam di tempat.

"Cih."

"Cepat masuk." Delta membukakan pintu Mobil untuknya.

Sambil mendumel Altheya masuk ke dalam.

"Lo mau bawa gue kemana?" tanyanya setelah Delta masuk dan duduk di kursi pengemudi

Delta tidak menjawab.


Altheya melipat kedua tangannya, ia menatap keluar kaca mobil. "Lo itu aneh banget tahu
gak sih." Kesabaran Altheya sepertinya sudah habis. "Waktu itu lo tiba-tiba ngajak gue putus
dan sekarang lo tiba-tiba jadi suka gue gitu?"

"Waktu itu." Delta akhirnya membuka mulutnya. "Meyza ngancam gue."

Altheya meliriknya. "Ngancam gimana? Mau bundir?" tebak Altheya.

"Bukan."

"Terus?"

"Dia ancam akan nyebarin foto lo."

"Bagus dong." Salahnya dimana.

"Foto setengah bugil lo bilang bagus?"

Altheya langsung diam, dia menatap Delta dengan pandangan syok.

"Sialan, tuh cewek dapat foto itu darimana?"

"Mantan lo, Luca."

Di dalam kepala Altheya muncul wajah menyebalkan Luca, tapi seingatnya Luca dan Altheya
tidak pernah tidur bersama, Luca lebih sering menyiksa fisik dan merendahkan Altheya
secara mental daripada melakukan hal menjijikkan itu.

"Gue sama Luca engga pernah tidur bareng." Dia yakin itu bukan foto Altheya. Terus fotonya
mana?"

"Ada di gue."

"Lo mesum yah?!" Altheya menjerit keras.

"Ck, gue engga pernah buka tuh Amplop."

Rahang Delta mengeras, sepertinya harga dirinya tersinggung. "Dashboard."

Altheya membuka Dasboard dan menemukan sebuah amplop berwarna Cokelat disana, ia
membukanya dan melihat foto Altheya yang sedang pingsan dengan keadaan yang cukup
mengenaskan, tubuhnya penuh luka dan dia hanya menggunakan pakaian dalam.
Seandainya gue bisa milih, gue engga akan mau ada di tubuh Altheya

"Kayaknya sih Bangsat Luca, fotoin gue diam-diam."

"Oh." Kubu-kubu jari Delta memutih, ia menggenggam Stir mobil dengan cukup keras.

"Yah masa lalu gue buruk banget, mana ada cowok yang mau." Altheya tertawa mengejek.

"Siapa bilang engga ada yang mau?"

Altheya menetap Delta lekat-lekat.

"Lo mau sama gue?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Engga tahu."

Altheya berdecak kesal. "Cari tahu alasannya."

"Nanti."

"Terus kita mau kemana?"

"Ketemu Mama gue."

Untuk apa?!
Part 19

Delta membawanya ke tengah-tengah Hutan. Awalnya Altheya berpikir mungkin Delta ingin
melakukan hal mesum karena membawanya ke tempat yang mencurigakan namun semakin
lama mereka memasuki hutan dari jauh terlihat sebuah bangunan yang disebut rumah, bagus
banget, rasanya Altheya ingin tinggal disana untuk selamanya.

"Orang kaya kalau punya rumah tempatnya memang terpelosok gini yah?" tanya Altheya.

"Gak, Nyokap gue aja yang gabut." Delta turun dari Mobilnya.

Altheya mengikuti Delta, ia berjalan beberapa langkah di belakangnya.

"Kalau gue foto disini engga akan kena UU kan?"

Delta menatap Altheya seakan-akan dia adalah orang paling bego sedunia.

"Yah mana tahu, ini kan rumah dan tanah pribadi." Altheya mendumel kesal. "Gue engga
mau masuk Penjara karena hal sepele."

"Lo mau masuk Penjara?" Delta bertanya heran.

Altheya mengangguk kecil. "Penjara enak lo, engga perlu ngapa-ngapain di kasih makan
24/7."

"Gila." Delta menyentil dahi Altheya.

"Jangan pegang-pegang." Altheya melotot garang.

Delta tertawa kecil.

Altheya tertegun sejenak. "Lo ganteng banget kalau senyum."

Tahu gue." Dih, dapat kepercayaan diri darimana dia?

"Lo kenapa engga bawa Kak Meyza?"

Altheya dan Delta berhenti melangkah, Alden berdiri di hadapan mereka dengan tampang
yang angkuh.
"Dia sibuk Ekskul," kata Delta.

Alden menatap Altheya dari atas hingga bawah, ia memutar bola matanya kesal.

"Dia ada di dalam sama Mama." Nada suaranya menyebalkan sekali untuk di dengar. "Kalau
lo memang engga serius sama Kak Meyza, kenapa kemarin kalian tunangan?!"

Altheya tersentak kaget, Alden kalau marah seram juga.

"Gue udah nolak."

"Lo nolak dia engga tegas!" Alden berseru.

"Lo memang gitu dari dulu." Dia tertawa mengejek. "Engga punya pendirian, plin-plan,
kayak bocah." Alden kamu sendiri juga masih bocah 14 Tahun.

"Mulut di jaga." Emosi Delta mulai terpancing.

Alden tertawa geli. "Nah kan marah, kalau merasa kalah, selalu marah."

"Kalau memang lo engga serius sama Kak Meyza, lepasin dia Del! Dia itu cewek! Mama
selalu mengajari kita kan? Sebagai seorang laki-laki kita harus menghargai seorang wanita,
dan tingkah lo saat ini sama sekali tidak mencerminkan hal itu."

"Itu urusan gue.

"Ituh uyushhan gueh." Ejek Alden.

Altheya menahan tawanya, sumpah wajah adik Delta benar-benar lucu.

"Ketawa lo, ini semua salah lo." Alden mulai menyalakan Altheya. "Kalau aja lo engga
ganggu hubungan Delta dan Meyza mereka engga akan jadi seperti ini."

"Alden." Delta memperingati adiknya itu.

"Apa?!" Alden membalasnya. "ILo pikir gue takut sama lo, kita sama-sama makan nasi kok."
Dia memang berkata seperti itu tap, dari tempat Altheya berdiri ia bisa melihat Alden
melangkah mundur.

Delta melangkah maju, ingin mengajar adiknya itu.

"Mama!" Alden berlari, masuk kembali ke dalam Rumah.


Bocah SMP itu benar-benar.

"Adik lo lawak yah." Altheya berkomentar.

Delta menghela nafas. "Ayok." Dia menarik tangan Altheya.

"Gue engga akan kabur kok." Untuk apa Delta memegangi tangannya.

Delta tidak menjawab, ia menyeret Altheya seperti Domba yang akan disembelih (nih gue
ngetik apayah).

Mereka memasuki ruang tamu dengan Background musik lagu Taylor Swift yang berjudul
Champagne Problems, sepertinya selera musik Mama Delta mirip dengan Altheya. Berjalan
semakin jauh akhirnya mereka bertemu dengan seorang wanita cantik dengan Gaun

Hitam Elegan yang melekat di tubuhnya, bibirnya menyunggingkan senyum indah, lipstik
merah yang ia gunakan terlihat mempesona, di samping wanita itu ada Alden yang sedang
bermanja-manja.

"Delta jahat Mama." Alden mengadu.

Wanita itu mengelus-elus rambut Alden dengan lembut. "Apa yang Delta lakukan?"

"Dia mau hajar Alden."

"Kenapa?"

"Bohong dia Ma." Delta langsung memotong percakapan itu.

Wanita itu mengalihkan pandangannya dari Alden kepada Delta dan juga Altheya.

"Siapa?" tanya Mama Delta kepada Altheya.

Altheya tersenyum ramah. "Saya Altheya Tante, teman Delta."

"Dia cewek yang Delta bilang."

Tepat setelah perkataan Delta itu, suara gelas yang jatuh terdengar nyaring (njir, kayak
Sinetron).

"Kak Mey." Alden segera menghampiri Meyza ia menjatuhkan nampan berisi segelas Jus
tapi, Mama Delta langsung menghentikannya.
"Jangan mendekat, itu Kaca Bahaya."

Alden kembali duduk.

"Alden panggil Bi Mina di dapur, lalu kalian bertiga duduk di hadapan saya sekarang juga."
Wanita itu memberikan tatapan tajam yang sangat mirip dengan Delta, mengintimidasi.

Altheya, Meyza, dan Delta duduk di Sofa, berhadapan dengan Mama Delta.

"Sekarang jelaskan sama Mama apa yang terjadi Delta."

Altheya mengalihkan pandangannya, tidak ingin melihat wajah Meyza, wajah gadis itu
terlihat sangat mengerikan. Penuh dengan amarah, dengki, dan iri.

Semoga gue bisa hidup dengan aman setelah ini batin Altheya.

"Delta suka Altheya."

"Delta!" Meyza menatap laki-laki itu dengan pandangan tidak percaya.

"Meyza tenang dulu." Mama Delta menegur gadis itu.

"Terus Meyza gimana? Kamu dan dia sudah bertunangan, kamu tahu Papa kamu kan? Dia
yang menyiapkan pertunangan kalian dan itu semua dilakukan atas persetujuan kamu."

"Kamu dan Meyza sudah berhubungan cukup lama, setahun, Mama lihat selama ini kamu
baik-baik saja sama dia, kenapa sekarang jadi seperti ini?"

"Delta engga tahu."

Altheya melotot tidak percaya. "Benar kata Alden, lo benar-benar engga ada pendirian."

Kali ini tatapan Mama Delta mengarah pada Altheya. "Kamu suka sama anak Saya?"

"Tidak Tante." Ini suara Altheya.

"Iya Ma." Ini suara Delta.

Mereka saling mengarahkan tatapan tajam.

Tidak Tante." Altheya menegaskan. "Sebelumnya saya minta maaf, mungkin ini salah saya,
Meyza dan Delta sebelumnya baik-baik saja tapi karena kehadiran saya hubungan mereka
sedikit renggang, mungkin Delta melakukan hal ini karena saya tahu tentang rahasia dia."
Dan dia merasa nyaman karena hal itu, bersamna Altheya, Delta bebas mengekspresikan diri
karena dia tidak perlu menyembunyikan apapun lagi.

Delta terdiam.

Mama Delta juga seperti itu.

"Rahasia apa?" Meyza membuka mulut, dia tidak tahu apa-apa disini.

"Maafkan Mama sayang, tapi kamu tahuu kamu tidak bisa bersama Altheya." Mama Delta
menghela nafas. "Kita tidak bisa melawan Papa kamu, dia keras kepala, egois, dan sangat
disiplin." Delta mengepalkan kedua tangannya, merasa kalah dan tidak bisa melakukan
apapun.

"Sepertinya Altheya juga tidak menyukai kamu, dia tidak memiliki perasaan apapun padamu
berbeda dengan Meyza, dia tulus menyukai kamu."

"Pikirkan lagi yah?" Mama Delta berujar lembut. "Coba kamu koreksi diri, sebenernya apa
yang kamu inginkan."

"Datang sama Mama jika kamu sudah menemukan jawabannya, apapun itu selama kamu
bahagia Mama akan mendukung keputusan kamu."

Dia adalah Ibu yang baik. Hati Altheya tersentuh mendengar nya.

"Untuk Meyza, jangan nangis sayang, Mama tahu kamu yang paling terluka disini."

Meyza memang sedang menangis, ia duduk diantara Altheya dan Delta.

"Untuk Altheya, terima kasih sudah jujur, Tante tahu kamu gadis yang baik meksipun Meyza
sering mengatakan seberapa buruknya kamu."

Altheya tertawa dalam hati. Sialan sekali sih Meyza ini.

"Oke, masalah selesai." Mama Delta menepuk tangannya. "Mama mau masak Makan Malam
dulu, Papa kalian akan segera pulang, Altheya kalau mau ikut makan malam boleh."

"Engga Tante, saya pulang aja."

"Yasudah, mau diantar supir Tante?"

"Meyza aja Mama."


Altheya melotot ngeri. Apa gadis ini akan mengajaknya Jambak-jambakan.

Part 20

Agak canggung untuk berpelukan di depan kosan. Moran membawa Altheya ke Dojo Kakek-
nya, disana sembari melihat ikan koi emas raksasa yang Kakek-nya pelihara mereka duduk
bersampingan. Tidak ada jarak yang memisahkan duduk mereka, Altheya menyandarkan
kepalanya ke bahu Moran, ia masih menangis, tidak menyangka keajaiban seperti ini akan
datang.

Tidak pernah sedikitpun Altheya berharap dan berpikir bahwa Moran akan mengingat
kehidupan sebelumnya, ia hanya pasrah, tidak tahu harus melakukan apa setelah mengetahui
bahwa kekasih lamanya ada di Dunia yang sama dengan dirinya, namun dengan seseorang
yang berbeda.

"Kamu menepati janji mu." Altheya bergumam.

Moran memainkan jemari gadis itu, ia menyentuhnya beberapa kali. "Iya, berkat kamu."

Altheya tertawa kecil, ia sudah tidak menangis. "Aku senang banget waktu pertama kali lihat
kamu di tempat Balapan waktu itu." Dia menghapus sisa-sisa air matanya. "Rasanya seperti
keajaiban."

"Maaf waktu itu aku belum ingat." Moran menyesal.

"Tidak apa-apa." Altheya tersenyum manis.

"Sekarang kamu ingat kan?"

"Iya, semuanya."

"Kamu ingat ini Dunia Novel?" tanya Altheya.

Moran mengangguk. "Ini Dunia Novel yang kita buat kan?"

"Hah?" Altheya berujar bingung.

"Eh?" Moran lebih bingung, apa dia salah bicara?

"Ini Dunia Novel yang kita baca kan?"


"Bukan, ini Dunia Novel yang kita buat." Lah, dahi Altheya berkerut.

Apa ingatannya tidak benar?

"Ini Dunia Novel yang kita buat, La-Altheya." Dia bingung sendiri. "Aku ingat, Altheya
nama kamu, aku yang buat dan nama Moran kamu yang buat."

Terus Tokoh Utamanya bukan Delta daan Meyza?"

Moran menggelengkan kepalanya. "Bukan, Tokoh Utama nya itu kita, Altheya dan Moran."

"Tunggu aku bingung." Altheya menatap mata Moran lekat-lekat. "Kalau jalan ceritanya
seperti itu, terus Altheya asli itu harusnya jodoh kamu?"

Moran mengangguk, dia merunduk sedih, menggenggam tangan Altheya dengan erat.

"Harusnya aku yang nolong kamu bukan Bastian."

"Coba kamu ceritain, semua yang kamu ingat."

Moran menceritakannya.

Di dalam ingatannya tentang cerita yang mereka buat. Altheya adalah seorang gadis yatim-
piatu, dia tumbuh dan besar di panti asuhan sejak bayi, harusnya Altheya bisa diadopsi oleh
keluarga terterntu, tapi selama 15 Tahun kehidupannya Altheya tidak pernah diadopsi oleh
siapapun karena teman-teman panti nya menceritakan hal yang tidak baik tentang dirinya.

Altheya yang diusir dari panti karena sudah berumur 15 Tahun bekerja di sebuah Restoran
yang diperkenalkan kepala panti. Sama seperti ketika ia di panti, teman-teman kerjanya iri
dengarn kecantikan Altheya dan menjebaknya hingga dia dipecat tanpa menerima apapun.

"Harusnya aku yang nolong kamu malam itu, bukan Bastian."

"Harusnya yang aku benci itu Bastian, bukan kamu." Altheya akhirnya mengerti.

"Hm." Moran mengangguk. "Delta dan Meyza itu cuma karakter tambahan."
"Lalu jika kamu mengambil posisi Bastian, apa kamu akan melakukan hal yang sama dengan
yang dia lakukan?"

Moran mematung di tempat, ia mengigit bibirnya sebelum mengangguk kaku.

"Kamu bilang aku terlalu pasif di kehidupan sebelumnya jadi kamu buat karakter aku jadi
agresif."

"Hahaha!" Altheya tertawa ngakak. "Iya yah kita aja engga pernah ciuman."

UPS.

Sepertinya kata terakhir Altheya menciptakan suasana yang tidak mengenakan.

Altheya pura-pura batuk. "Lalu kamu akhirnya juga akan mati seperti Bastian?"

"Engga." Moran menggelengkan kepalanya.

"Aku kan Tokoh Utama engga mungkin mati."

"Iya juga." Altheya mengangguk.

"Terus antagonis nya siapa?" Altheya penasaran sekarang.

"Atika."

Altheya melotot ngeri.

Moran menatap mata gadis itu lekat-lekat.

"Dan Helios."

Ternyata dugaan Altheya benar.

"Bastian di bunuh Helios kan?"

Moran mengangguk. "Di Novel yang kita tulis Bastian memang mati, tapi pasangannya itu
bukan kamu, dia itu Atika."

"Sepertinya banyak hal yang terjadi dan membuat bingung." Kepalanya pusing.

"Iya." Moran mengangguk setuju.

"Secara garis besar takdir aku dan Atika ketukar gitu, dan takdir kamu dan Bastian juga?"
"Bisa dibilang seperti itu."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

Altheya menatap Moran. "Kamu yangsekarang suka aku atau Atika? Lalu rasa suka kamu ke
aku itu karena aku Lana atau Altheya?"

Moran terdiam.

Ia tidak bisa menjawab hal itu.

"Aku masih bingung, aku suka Atika, dia yang selalu sama aku dari kecil."

Altheya tersenyum. "Yasudah, tetap lah bersama dia."

"Kamu bagaimana?" kata Moran.

"Aku?" Altheya menunjuk dirinya sendiri.

"Yah gak gimana-gimana." Apa mau dikata, jika sekali lagi mereka tidak bisa bersama.

"Apa yang akan aku lakukan terganturng apa yang kamu pilih."

"Helios gimana? Kamu tahu dia itu karakter gila yang kamu ciptakan."

Altheya tertawa geli. "Santai saja, aku juga engga peduli, terserah dia mau bunuh siapapun
asalkan bukan kamu," tegasnya.

"Untuk sekarang aku mau lihat tingkah dia dulu, lalu membantu Lyam untuk mencari
beberapa bukti tentang kematian Bastian." Dia harus menegakkan keadilan.

"Mau aku bantu?" Moran menawarkan diri. Altheya tertawa, dia mengangguk kecil.

"Boleh, tapi kalau Atika marah kamu berhenti yah."

"Aku ingin memutuskan Atika."

Eh?" Altheya berseru keras. "Kenapa?"

Moran tersenyum. "Karena aku ingin sama kamu."

"Tapi kamu bilang suka dia, gimana sih."

Sama aja kayak Delta. "Konsisten yah aku engga mau kamu jadi Delta kedua."
Moran tertawa. "Oh yah kamu sama Delta gimana?"

"Gak gimana-gimana." Altheya memberikan ikan koi emas raksasa itu

dengan pelet ikan. "Aku engga suka dia." Ikan-ikan kelihatan lezat.

"Dia suka kamu?"

Altheya mengangkat bahu tidak tahu.

"Entahlah, aku juga bingung sebenarnya." Altheya tersenyum senduh. "Sejak kamu pergi
dulu, semua perasan aku udah mati, aku tidak memiliki apapun untuk dicintai, hati aku mati,
aku tidak menginginkan apapun."

"Kamu kenapa pergi?" tanya Moran, hatinya sakit mendengar kata-kata Altheya.

"Aku bunuh diri."

Moran menatap Altheya kaget. "A-pa?" Dia tidak salah dengar kan?

Altheya menyeringai. "Aku bunuh diri dan terlahir kembali sebagai Altheya."

"Kenapa? Kenapa bunuh diri?"

"Kenapa?" Pertanyaan Moran aneh.

"Kehilangan kedua orang tua adalah pukulan yang cukup besar untuk Lana."

Sekarang dia bukan Lana. "Setelah Lana terombang-ambing dia menemukan tempat
sandaran, namun yang di atas sangat kejam dan mengambilnya kembali." Altheya menatap
Moran, dia tertawa. "Kamu kira aku masih bisa waras setelah semua itu?"

Saudaranya tidak peduli padanya dan dia tidak memiliki teman.

Lana tidak bisa bertahan.

Mungkin karena semua rasa sakit yang ia terima itu, hatinya tidak lagi memiliki rasa.

Cinta nya kepada kedua orang tuanya, cintanya pada Reon.

Sudah lama mati bersama Lana.


"Sudahlah, itu masa lalu." Altheya berujar santai. "Sekarang kita jalani saja hidup masing-
masing, aku tidak ingin terlibat masalah yang rumit, lalu jika Helios benar-benar karakter gila
yang aku ciptakan."

Mereka saling tatap.

"Aku tidak mau dia nyakitin kamu." la hanya ingin Moran hidup dengan baik, makan yang
benar, melakukan semua yang ia inginkan.

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Moran.

Altheya masih setia menatap ikan koi itu, ia kepikiran untuk memakannya. "Mungkin sasaran
Helios selanjutnya adalah Luca."

Moran tersenyum tipis. "Tuh anak biarin aja."

"Yah, aku setuju." Altheya tertawa. "Aku harap Helios menghajarnya habis-habisan."

Mereka tertawa.

"Apa yang sedang kalian lakukan?"

Moran dan Altheya berhenti tertawa.

Atika datang disaat yang tidak tepat.


Part 21

Atika berjalan mendekat, ia memisahkan jarak antara Moran dan Altheya dengan paksa.
Wajahnya senduh, dia seperti akan menangis padahal sebenarnya Altheya tidak memiliki niat
untuk merebut Moran darinya.

"Atika..." Moran ingin menyentuh lengan Atika, namun gadis itu langsung menepisnya.

"Aku mau ngantar makanan." Dia memberikan Paper Bag yang berisi makanan kepada
Moran. "Aku buat sendiri, kamu bilang akhir-akhir ini engga selera makan." Dia tidak
menatap mata Moran ketika mengatakannya.

Altheya meringis pelan, dorongan Atika membuat tubuhnya membentur dinding kayu, Atika
itu juga belajar Taekwondo bisa kalian bayangkan tenaga dari seorang gadis yang terlatih,
Altheya mah hanya tahu gerakan salam nya aja, sisanya ia tidak tahu apa-apa.

Moran tersenyum manis. "Makasih."

Atika mengangguk, ia menatap Altheya yang masih duduk di tempatnya. "Altheya ngapain
disini?" Meski cemburu, ia menjaga nada suaranya agar tetap manis.

Dasar ular.

"Oh dia..."

"Gue cuma mau lihat Ikan." Altheya bangkit. "Sekarang sudah selesai, gue

pulang dulu."

"Biar gue antar." Moran buru-buru bangkit.

Melihat itu Atika mencekal lengan Moran.

"Kamu makan dulu, wajah kamu pucat banget, habis makan nanti aku cukur kumis dan
rambut kamu." Lihat? Atika memperlakukan Moran dengan sangat baik.

"Gue bisa naik Gojek, lo turuti aja kata dia."


Altheya melambaikan tangannya. "Bye."

Altheya melangkah pergi.

Mungkin ini yang terbaik.

Entahlah, hatinya tidak bisa merasakan apapun.

Sebenarnya apa yang dia lakukan di Dunia ini?

Kenapa dia tidak mati saja dengan baik setelah bunuh diri.

Ini semua benar-benar menyebalkan.

Apa dia bunuh diri aja lagi?

Dengan begitu semuanya akan berakhir.

Iya mungkin.

Itu lebih baik.

"Altheya?"

Altheya sedang menatap langit yang sudah berwarna hitam gelap ketika mendengar
seseorang memanggil namanya, gadis itu menolah dan bertemu pandang dengan Drian, laki-
laki yang suka pada Meyza.

"Ngapain disini?" tanya Drian, ia memakirkan Motornya.

"Habis liat Ikan." Altheya menjawab sekenanya. "Lo anggota Dojo ini juga?"

Drian mengangguk. "Iya."

"Engga takut ketemu Delta?"

"Cih, ngapain." Drian mengacak-acak rambutnya. "Gue benci dia bukan Taekwondo."

Benar juga.

Altheya memperhatikan Drian yang menggunakan Sabuk Hitamnya, laki-laki itu merapikan
poni rambutnya dari kaca Spion, bahka ia nyengir-nyengir tidak jelas.

"Apa?" Drian menegur gadis itu, melamun terus.


Altheya tertawa geli. "Ternyata cowok kayak cewek juga yah."

"Dih, Motor gue, bebas dong mau ngaca."

"Lo masih suka sama Meyza gak?" tanya Altheya tiba-tiba.

Drian menatap Altheya, ia mengangguk beberapa kali.

"Kenapa lo bisa suka dia?"

"Gue engga akan suka dia kalau Delta memperlakukan dia dengan baik." Drian duduk di atas
Motornya. "Awalnya gue kasian sama dia yah karena sifat Delta."

Drian menghela nafas. "Yah antara gue dan Delta jelas lebih baik Delta, dia anak orang kaya
sedangkan gue? Bokap gue cuma Karyawan swasta biasa, nyokap ibu rumah tangga yang tiap
hari pakai Daster."

Altheya tertawa. "Yah sama dong." Dulu kedua orangtuanya juga seperti itu.

"Hah? Bukannya lo anak yatim-piatu?"

"Iya, maksudnya kita sama, sama-sama bukan anak orang kaya." Dia pandai sekali ngeles.

"Oh, gue cabut yah, udah mau jam latihan." Drian melambaikan tangannya dan berlari pergi.

Altheya menatap laki-laki itu hingga wujudnya sudah tidak terlihat lagi.

"Dia baik juga," gumam Altheya.

Getaran dari ponselnya mengagetkan Altheya, gadis itu merogoh Tas kecilnya dan melihat
nama Helios disana.

"Halo?"

"Hai, lagi apa?"

Laki-laki gila yang sangat pandai bersandiwara.

"Lagi di jalan pulang ke kosarn."

"Habis dari mana?"

"Pemakaman." Jedah sebentar. "Bastian."


"Bastian? Siapa lo?"

Sudut bibir Altheya terangkat sedikit.

"Mantan gue, mantan terbaik gue." Dia memang mantan terbaik Altheya.

"Lo ada waktu? Mau jalan-jalan sama gue?"

"Kemana?"

"Lo mau kemana?"

"Gue.." Altheya berpikir sejenak. "Mau ikut gue ke akhirat gak?" Altheya tertawa ngeri.

Helios terdiam di sisi yang lain.

"Hahahaha!" Altheya tertawa. "Bercanda, gue cuma lelah aja, gue engga mau kemana-mana,
mau tidur, bye."

Dia memutuskan sambungannya.

***

Altheya masuk ke dalam kelasnya yang sepi, gadis itu duduk di kursinya dekat jendela,
setelah meletakkan tasnya ia berjalan mendekati seorang laki-laki yang sejak tadi sibuk
dengan ponselnya. Altheya melirik layar ponsel laki-laki itu, ia melihat trading saham yang
sedang dilakukan Kile.

Sejak kenaikan kelas 12, mereka memang sekelas, entah kenapa itu aneh, tapi harusnya tidak
apa-apa, Altheya juga suka dekat dengan Kile.

"Kile."

"Hm," saut Kile, ia sibuk menatap pekerjaannya, namun beberapa detik kemudian ia
mengalihkan fokusnya pada wajah Altheya. "Oh yah gue mau minta tolong sama lo."

Alis Altheya terangkat sebelah. "Apa?" Selama ia bisa, akan ia bantu, Kile juga banyak
membantunya dulu.

"Jadi pacar pura-pura gue lagi."

Altheya terdiam.
Kile berdecak kesal. "Lo tahu siapa sebenarnya identitas Stalker gue."

"Siapa? Altheya tidak tahu dan seingatnya Kile tidak pernah memberi tahunya.

"Sepupu gue."

Wajah Altheya berubah datar. "Pantesan dia bisa ngambil foto lo yang lagi ganti baju."

Kile mengangguk. "Iya dan dia balik lagi ke Indonesia, Abang gue bangsat, tukang cepu,
suka banget gangguin gue." Kile mengacak-acak rambutnya. "Dia bilang gue udah putus dari
lo Minggu lalu dan si sepupu bangsat gue ini langsung siap-siap balik ke Indonesia."

Kile adalah anak kelima dari lima bersaudara, ia anak paling kecik dan memiliki 4 kakak
laki-laki. Umur Abang-abang Kile tidak berbeda jauh, hanya beda 1-2 tahun. Alasan kenapa
Abang-abang Kile sering menganggunya, karena mereka menganggap Kile itu
Homo,bagaimana tidak? Kile lebih tertarik dengan uang dan pria-pria kaya daripada para
gadis.

Bukankah itu aneh?

"Memang aneh." jawab Altheya.

"Ck, gue kan tertarik sama uang bukan pria-pria tua itu!" Kile protes tidak setuju.

Sejak pacaran dengan Altheya lah baru abang-abang Kile berhenti menganggunya dan
keisengan mereka kembali lagi setelah Kile putus dengan Altheya.

"Terus peran gue apa?"

"Lo mau nolong gue?" Kile menatap Altheya curiga.

"Mau, tapi engga gratis."

"Iya, gue bayar njir." Kile menyeringai.

"Santai aja mah kalau itu, asalkan lo bantu gue aja."

"Oke, mau kemana?"

"Malam minggu ini itu ulang tahun pernikahan nyokap sama bokap gue, semua keluarga pasti
datang termasuk sepupu gue yang gila itu." Kile merinding sendiri ketika membayangkannya.
"Lo harus jadi partner gue."
"Eh yakin lo? Selain sepupu lo itu, seluruh keluarga besar lo hadir disana kan?"

"Iya, biarin aja gue engga peduli. Pokoknya lo harus balik jadi pacar pura-pura gue sampai
tuh sepupu gue balik ke Amrik." Dia kembali sibuk dengan ponselnya. "Udah gue TF uang
muka."

Altheya merogoh saku rok-nya, sekarang gadis itu tidak akan terkejut lagi melihat nominal
uang yang ia miliki. "Oke."

"Pulang sekolah ikut gue nanti."

"Kemana?" tanya Altheya.

Kile tersenyum tipis. "Beli Gaun lo."

Oh, woWw.

Sepertinya ini akan sedikit menyenangkan.


Part 22

Kile dan Altheya mendatangi sebuah Butik dekat Mall terdekat setelah pulang Sekolah
tentunya.

"Mau beli dimana? Gue engga tahu apa-apa," kata Kile sesampainya mereka di sebuah Mall,
Altheya jadi teringat kejadian ketika ia tidak sengaja masuk Toko pakaian dalam pria.

Altheya menatap kesana-kemari, dia juga tidak tahu apa-apa, seumur hidupnya ia tidak
perrnah membeli Gaun dan pakaian yang ia gunakan selama ini adalah pakaian yang Delta
belikan untuknya. "Bagaimana kalau ke Toko itu?" Altheya menunjuk Toko tempat Delta
membelikannya pakaian.

"Hah? Malas, banyak banget ceweknya." Kile berdecak kesal, ia tidak suka lingkungan
dengan terlalu banyak perempuan. Kile benci kaum Hawa.

"Yah gue engga tahu tempat lain selain disitu."

"Ck, beli Online aja kali yah?"

"Lah kenapa engga lo bilang dari awal?!" Altheya berseru kesal, untuk apa mereka kemari
kalau memang rencana awalnya beli Online.

"Loh engga mau berduaan sama pacar lo?" Kile bertanya syok.

Altheya menatapnya datar. "Njir, gue pulang ah." Altheya berbalik badan, siap-siap pulang.

"Canda njir, baperan banget." Kile menahan lengan Altheya. "Yaudah ayok kesana." Dengan
amat terpaksa Kile menyetujuinya, lagian kalau beli Online barang yang mereka pesan belum
tentu sampai tepat waktu.

Ketika mereka memasuki Toko puluhan pasang mata langsung menatap Kile yang bening dan
bersinar layaknya sinar matahari, hal ini lah yang membuat Kile benci dengan kaum hawa,
mereka tidak berhenti menatapnya dimana pun ia berada, Kile benci menjadi pusat perhatian,
salahkan wajahnya yang berada di atas rata-rata ini, ck menyebalkan.

"Hm, lo gak apa-apa?" Altheya bertanya khawatir, wajah Kile terlihat sangar, seperti akan
memakan dan memaki semua orang yang ada di Toko ini.
"Cepat lo pilih, gue mau muntah." Ia tidak bisa bertahan lebih lama disini.

"Oke." Altheya menunjuk gaun yang memang sejak awal sudah menarik perhatiannya. "Ini
aja gimana?"Kile melihat gaun itu, ia mengangguk kecil.

"Terserah lah, lo cantik, pakai apa aja sabi."

Altheya mematung mendengarnya, gadis itu tersenyum malu. "Eh, tumben-tumbenan lo muji
gue?"

"Muji?" Kile tertawa mengejek. "Itu kan kenyataan, semua orang juga bilang gitu, gue hanya
menyampaikan." Wajahnya menyebalkan sekali.

"Ck," Altheya berdecak kesal, Kile adalah pria terakhir di muka Bumi ini yang akan Altheya
ajak pacaran. Kile membayar gaun Altheya, setelahnya mereka pergi secepat mungkin.

"Gue lapar, ayo makan." Kile mengajak Altheya memasuki sebuah restoran mahal yang
pastinya sepi siang-siang begini.

"Biar gue yang pesan, nanti lo salah pesan jadi kebuang makanannya." Kile mengambil buku
menu dari tangan Altheya.

Altheya tertegun, ia menatap Kile takjub.

"GG, lo tahu aja." Dia memberikan Kile jempolnya.

Dalam ingatan Altheya, meskipun Kile adalah seseorang yang menganggapnya tidak
berharga, laki-laki ini cukup pengertian. Dia tahu kapan Altheya merasa tidak nyaman, tahu
apa yang Altheya butuhkan, dan tahu apa yang ada di dalam pikiran Altheya. Altheya asli
adalah gadis yang pendiam, agak sedikit susah untuk menebak pemikirannya, namun seperti
seorang cenayang Kile tahu semuanya tentang gadis itu.

Termasuk tentang Bastian. Delta aja tahu Bastian dari dirinya, tapi Kile, ia tahu dengan
sendirinya.

"Kile."

"Hm," saut Kile, ia kembali sibuk dengan ponselnya.

Kile dan ponsel mungkin kedua hal yang tidak terpisahkan setelah uang.
"Sepupu lo itu, kenapa lo nolak dia?"

Kile mantap Altheya, raut wajahnya lucu sekali. "L0 pikir gue mau sama cewek yang kayak
monyet gitu." Amit-amit deh.

"Eh, emang dia jelek?"

"Dia lebih cantik dari lo."

Altheya menggeram kesal, gadis itu mengeluarkan ponselnya. "IG nya mana? Gue mau
lihat!"vKile mengambil ponsel Altheya dan

mengetik sesuatu disana. "Nih." Dia memberikannya kembali setelah selesai.

"Bangsat." Altheya mengumpat, benar kata Kile, sepupunya bahkan lebih cantik dari Altheya.

Kile tersenyum mengejek. "Ketampar kenyataan Mbak?" Altheya melempar tisu ke wajah
Kile.

***

Sepertinya ada bencana berjalan di depan kosan Altheya. Siapakah bencana berjalan itu?
Siapa lagi jika bukan si Gila Helios.

"Turunin gue disini aja." Altheya meminta pada Kile.

"Oke." Kile menerimanya dengan senang hati, ia juga malas berurusan dengan cowok-cowok
disekeliling Altheya.

Altheya turun setelah mengucapkan terima kasih pada Kile, ia berjalan mendekati Helios
derngan dada berdebar kencang, bukan karena jatuh cinta, namun karena Altheya takut jika
Helios mengetahui bahwa ia sudah tahu siapa sebenarnya Helios itu.

"Helios." Altheya menyapanya. "Ngapain disini?"

Helios yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya langsung berdiri tegak, ia tersenyum manis
pada Altheya, seperti biasa rambut emasnya itu sangat mencolok.

"Ponsel lo mati yah?" tanya Helios.

Altheya mengangguk. "Habis daya."


"Habis darimana?" Kenapa Altheya masih menggunakan seragam Sekolah dan kenapa ada
sebuah Paper Bag dari Butik terkenal di tangannya?

"Oh, habis bantuin orang, terus gua di kasih hadiah." Benar kan? Dia bantu Kile dan
mendapatkan hadiah dari laki-laki itu.

"Udah makan?"

"Udah." Altheya menjawab. "Btw gue penasaran, lo engga Band lagi?"

Mendengar pertanyaan Altheya, Helios tersenyum sumringah, dia senang karena gadis itu
bertanya sesuatu tentang dirinya.

"Engga, kemarin itu gue cuma bantu teman."

"Posisi lo di Band apa?"

"Vokal dan Gitar."

Altheya manggut-manggut. "Tunggu bentar gue ambil sesuatu untuk dimakan dan diminum."

Helios mengangguk, ia duduk dengan baik.

"Oke."

Altheya segera masuk. Ia mengganti pakaian terlebih dahulu dengan Celana Jeans dan Kaos
kebesaran, mengambil empat Kaleng Soda dingin dan Brownis yang selalu dipanggang
Bunda Irma untuk tamu-tamu anak kosan nya, wanita itu memang baik dan rajin sekali,
Altheya juga membawa jajanan yang ia beli ketika jalan bersama Kile tadi.

"Nih makanan." Altheya meletakkan semuanya di atas Meja. "Gue haus banget." Melelahkan
juga jalan-jalan bersama Kile, mereka harus selalu waspada agar tidak ada cewek-cewek
yang mendekatinya, Kile benar-benar memanfaatkan Altheya sebagai Tameng.

"Lo ada keperluan apa sama gue?" tanya Altheya pada Helios.

Helios menggelengkan kepalanya. "Engga ada, cuma pengen lihat lo aja."

"Dih." Altheya tertawa kecil. "Kesepian banget kayaknya."

"Helios." Panggil Altheya.


"Hm," saut laki-laki itu.

"Lo kan yang bunuh Bastian?" Altheya kamu berani sekali.

"Iya." Helios menjawab tanpa beban.

"Kenapa?" Altheya sebaiknya kamu tidak bertanya seperti itu.

"Karena dia nyakitin lo." Helios masih duduk dengan santai, tidak ada rasa takut atau
ekspresi lain di wajahnya, dia santai sekali.

Altheya menatap Helios, kebetulan Helios juga sedang menatapnya. "Lo suka gue?"

Helios mengangguk. "Dari dulu."

"Kalau lo suka gue, kenapa Bastian harus dibunuh?" Helios tertawa geli. "Karena dia nyakitin
lo." Helios tahu semuanya, semua tentang

Altheya. "Gue engga suka, gue datang kesini untuk membalas semua cowok-cowok yang
nyakitin lo, yang buat lo nangis."

Helios tersenyum. "Gue kan malaikat pelindungnya Altheya."

"Semuanya akan gue balas, semuanya." Altheya terdiam.

"Pertama Bastian, lalu Luca, Kile dan selanjutnya Delta." Altheya menghela nafas berat.
"Apa kamu juga akan membunuh mereka?"

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Ada deh, Kepo." Dia tertawa gemas.

Altheya terdiam. "Lo engga takut."

"Takut apa?"

"Polisi?"

Helios menggelengkan kepalanya.

"Satu-satunya ketakutan gue engga bisa lihat lo lagi."


Apakah Altheya harus sedih atau senang mendengar hal itu?

Part 23

Altheya bersiap-siap sendiri untuk menemani Kile, ia meminta bantuan Bunda Irma untuk
mendandani nya. Altheya terlalu malas datang ke salon, dari pagi hingga sore ia tiduran di
kasur tanpa mandi. Satu jam sebelum Kile jemput Altheya baru mandi, makan, dan bersiap-
siap untuk berperang melawan sepupu Kile yang engga waras.

Altheya menguap, ia jadi mengantuk menunggu Bunda Irma mendadani nya

Cewek itu kalau ngantuk, tutup mulutnya." Bunda Irma memberikan nasehat.

"Iya Bunda, maaf engga sempat." Keburu ternganga mulutnya.

"Kamu pergi sama siapa? Banyak banget cowok kamu Bunda lihat, tiap hari yang antar beda-
beda."

Altheya cengengesan. "Cowok saya engga ada Bunda, mereka aja yang dekat-dekat saya."

"Oh, kalau gitu mau Bunda jodohin samna Kakak laki-lakinya Zehra gak?"

Eh?

Altheya tersenyum kaku. "Hahahaha engga usah deh Bunda, saya aja udah pening ngadapin
mereka jangan ditambah lagi."

"Sayang banget, kalau kamu jadi kakak ipar Zehra kan Bunda jadi tenang"

"Hahahaha." Altheya tertawa garing, ia tidak suka di jodoh-jodohin.

"Baiklah sudah selesai."

Altheya menatap pantulan dirinya di

cermin. Ia terlihat sangat cantik, mungkin? Apakah ia bisa mengalahkan sepupu Kile yang 10
kali lebih cantik darinya? Altheya tidak tahu, jarang-jarang juga ia berdandan Full Make up
begini.

"Nah itu suara Mobil tuh, keluar sana."


Altheya mengambil Tas kecilnya dan buru-buru keluar dari Kosan. "Makasih Bunda."

"Sama-sama." Bunda Irma tersenyum ramah.

Bunda Irma adalah seorang janda yang ditinggal anak perempuan dan suaminya dalam
sebuah kecelakaan.Di tengah-tengah kesedihannya Mama Zehra yang merupakan Kakak
perempuannya menyuruh wanita itu untuk membuka kosan khusus perempuan dan
memperlakukan penghuninya seperti anak perempuannya sendiri untuk menghilangkan rasa
sedih dan kehilangannya.Ternyata hal itu berhasil, luka di hatinya sedikit terobati.

"Kampret, lo kenapa dandan kayak gitu?" Kile menatap Altheya tajam.

"Hah? Ada yang salah?" Altheya menatap dirinya, sepertinya tidak ada yang salah dengan
penampilannya.

"Salah lah, gimana kalau Abang-abang gue jadi pangling terus rebut lo dari gue? Dimana lagi
gue cari kandidat yang benar untuk jadi tameng?!"

Altheya mendelik tajam. "Sialan, gue kira apaan."

Kile cengengesan. "Ayo pergi." Kile membuka pintu mobil untuk Altheya.

"Silahkan masuk pelakor nomor 1 di sekolah."

"Gue bukan pelakor lagi yah." Altheya masuk dan membanting pintu

Kile tersentak kaget. "Tai Kucing." Umpatnya.

"Cepat Kile, gue lapar lagi nih, mau makan."

Kile jalan memutar dan duduk di kursi pengemudi. "Pokoknya nanti lo engga usah
termotivasi...eh terperokokasi...ck lidah gue kebelit."

Terprovokasi." Altheya membenarkan.

"Nah iya itu!" Kile menyalahkan mobil dan melaju pergi. "Mulutnya itu kayak cabe,
tingkahnya kayak monyet, mungkin gue bisa suka dia kalau dia engga gila." Mungkin,
sebenernya dulu mereka dekat, tapi entah sejak kapan jadi seperti saat ini.

"Oke." Altheya mengacungkan jempolnya.


"Abang-abang gue juga jangan, mereka tuh setan penuh nafsu dan godaan, awas aja besok
gue jumpa lo di kamar salah satu Hotel sama Abang gue."

"Njir, gue engga semurah itu kali!" Altheya berseru kesal.

Kile tersenyum mengejek. "Astaga, ada yang engga sadar diri disini."

Altheya melepaskan sepatu hak tingginya, bersiap-siap melemparnya ke wajah Kile.

"Sorry." Kile menutup mulutnya.

Ia berubah kalem.

Altheya menghela nafas.

"Kan bener."

Altheya benar-benar melemparnya ke wajah Kile.

***

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah Hotel mewah di pusat kota. Turun dari mobil Kile
meminta Altheya untuk menggenggam lengannya, jaga-jaga jika sepupu glanya ada di sekitar
sini. Wajah Kile jelek sekali sejak turun dari mobil, alasannya mungkin karena disini terlalu
ramai, ingat Kile tidak suka keramaian, dia lebih memilih rebahan seharian di

kasurnya sembari natap trading saham daripada harus menghadiri acara seperti ini.

"Ramai juga." Altheya bergumam lirih, memasuki Ballroom hotel puluhan orang-orang
dengan pakaian mewah dan indah terlihat seperti berlian, mereka berkelas dan berharga.

"Ha .." Kile menghela nafas, dia sudah lelah. "Pulang yuk Al."

"Hah?" Altheya meliriknya, gila. "Baru sampai juga."

"Gue engga kuat disini."

Altheya ingin mengatakan sesuatu, namun kehadiran seseorang mengehentikan niatnya.

"Baby Kile!"

Kile tersentak kaget, ia menatap Altheya dengan sorot minta tolong. "Sekarang giliran lo."
Dia adalah Stalker gilanya Kile yang juga berstatus sebagai sepupunya.

Dengan tidak tahu dirinya gadis itu mengapit lengan Kile yang lain dan bersandar disana.
"Kamu kemana aja? Aku nungguin daritadi lo." Dia udah mirip lintah, engga mau lepas
sedikitpun dan sepertinya ia juga menyedot darah Kile karena sekarang wajah laki-laki itu
pucat sekali.

Cewek plus keramaian, Kile benar-benar sial hari ini.

Ia tidak akan datang jika ini bukan ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya.

"Kile.." Panggil Altheya, tapi Kile sibuk dengan dunianya sendiri.

Altheya menghela nafas berat, ia menarik lengan Kile dengan keras hingga membuat
pegangan sepupu gila Kile lepas begitu saja. "Sorry gue bukan cewek yang suka berbagi."
Altheya menegaskan.

"Dan gue bukan cewek yang suka apa yang gue punya diambil orang lain." Dia menatap
Altheya remeh. "Remahan roti, bukanya lo udah putus yah dari Kile?"

"Ehhhh." Altheya menyeringai. "Awalnya kami putus, namun karena kekuatan cinta akhirnya
kami balikan." Percayalahh keduanya ingin muntah ketika mendengar hal itu. "Tante Girang,
ngapain kesini? Ganggu orang lain pacaran aja."

"Nama gue Veronica! Bukan Tante girang!"

"Nama gue Altheya, bukan remahan roti." Altheya menatapnya datar. "Belajarlah
menghormati orang lain sebelum ingin dihormati, ingat itu."

Altheya menarik Kile untuk mengikutinya.

"Eh lo mau kemana?" Veronica tentunya mengejar, ia mendorong Altheya membuat gadis itu
hampir jatuh, namun Kile dengan sigap menangkap pinggangnya.

Dan terjadilah adegan romantis yang tidak terencana.

Tatap-tatapan.

"Njir, kayak sinetron SCTV." Altheya bergumam.

"Lo lawan dia dong." Bisik Kile.


"Kan udah tadi, dia ajak yang gila, tiba-tiba dorong gue."

Mereka berkomunikasi dengan posisi yang ambigu.

"Kan udah gue bilang dia memang gila." Kile berdecak kesal. "Lo harusnya lebih gila dari
dia."

"Hah?" Altheya tidak salah dengarkan.

"Kalian!" Veronica semakin emosi, posisi keduanya terlihat seperti mereka sedang
berciuman.

Padahal sebenarnya mereka lagi adu bacot.

"Nah jatuh."

"Eh!" Dorongan di bahu Kile membuat mereka berdua akhirnya jatuh dengan tidak elegan di
atas lantai.

Altheya terkejut wajahnya dan Kile terpaut beberapa centi saja, bahkan ia bisa merasakan
nafas laki-laki itu, sakit di punggungnya bahkan tidak ia rasakan dan

tatapan para tamu juga tidak ia pedulikan.

"Sialan," Kile menolah, ia menatap keempat kakak laki-lakinya itu. "Lo pada gila yah?!" Itu
tadi sangat berbahaya, bagaimana jika Altheya jadi gagar otak.

Keempat kakak laki-lakinya hanya tertawa geli. Cieee wajah Kile merah."

"Mau pesan kamar gak? Biar gue pesanin?"

"Izin dulu sama Mama dan Papa."

"Cewek lo cantik juga, sabilah."

Kile berdiri, ia juga membantu Altheya untuk berdiri. "Lo gak apa-apa kan?"

Altheya menggelengkan kepalanya. "Engga, hehehe."

Punggungnya hanya sedikit sakit.


Dan.

Kenapa jantungnya berdebar kencang seperti ini.

Deg deg deg

Part 24

"Nama kamu siapa?" tanya kakak laki-laki pertama Kile, ia memiliki penampilan yang sangat
elegan, rambutnya hitam panjang dan memiliki kulit seputih salju.

"Altheya." Benar kata Kile, jika Altheya tidak berhati-hati mungkin ia akan terjebak dengan
salah satu diantara mereka.

"Loh kalian balikan?" Kakak kedua

Kile terlihat lebih macho, kulit sawo matang, tubuhnya tinggi dan lebih berisi, rambutnya di
potong cepak.

"Aneh, tidak biasanya Kile kita suka dengan mainan lama." Kakak kedua Kile memiliki aura
yang sama dengan Luca, atau mungkin lebih mengerikan daripada Luca.

"Kalian pernah tidur bersama?" Kakak keempat Kile, mirip dengan Kile, dia cantik, mungkin
hanya bibir dan mata mereka yang berbeda.

"Jangan bertanya hal aneh!" Seru Kile, iabmenggeram kesal. "Kalian pergi sana dan cari
cewek lain!"

"Kami hanya ingin menyapa pacar mu." Perkataan kakak pertama Kile mendapatkan
anggukan dari yang lainnya.

"Jangan sapa dia! Dia galak mirip Singa!" Altheya menatap Kile aneh. "Kapan gue gigit lo?"

"Hahahaha." Keempatnya tertawa.

Kile mendelik pada Altheya. "Diam lo kalau engga mau diterkam."

Altheya menutup rapat mulutnya.


"Kile malu-malu nih, jarang-jarang lihat dia gini."

"Foto cepat, foto."

"Say cheese!" Mereka berempat mengarahkan kamera pada Kile dan Altheya.

Altheya tersenyum. "Cheese!" Dia berpose dengan lambang Peace.

"Bego!" Umpan Kile, ia menarik Altheya, menjauh dari keempat setan dan satu Medusa.
"Tunggu!" Namun sepertinya Veronica tidak membiarkan mereka pergi begitu saja.

Altheya dan Kile menatapnya aneh.

Tatapan mereka berdua mirip sekali, sama-sama meremehkan dan mengejek Veronica.

Veronica menggeram kesal, ia menunjuk mereka berdua. "Kalian pacaran kan?

Tapi kenapa engga pernah posting sesuatu di sosmed." Dia tersenyum penuh kemenangan
setelahnya.

"Oh benar juga." Kakak ketiga Kile setuju, dia ingin tahu alasannya.

"Kami couple in private." Altheya menjawab. "Engga mau memamerkan kemesraan di


sosmed."

Kile mengangguk setuju. "Nah benar tuh."

Veronica memicingkan matanya. "Kalian pacaran udah lama kan? Terus kenapa masih
canggung kalau pegang-pegangan! Terus Kile bahkan kamu cuma pegang lengan dia, bukan
jemarinya! Jari!"

Kile langsung menggenggam jemari Altheya dengan erat, membuat si empunya jari tersentak
kaget, tanpa aba-aba ia memamerkannya pada Veronica. "Nih nah,budah kan!"

Keempat kakak laki-laki Kile hanya tertawa, menyaksikan adegan seru itu.

Veronica tidak akan percaya semudah itu.

"Kalau kalian memang pacaran, ciuman disini sekarang juga, gue engga akan percaya sampai
kalian ciuman!"

Altheya dan Kile sama-sama memasang wajah syok nya.


"Lo pikir kita suka pamer di depan umum! Engga mau gue!" Kile berseru kesal, dia sangat
ingin menjambak rambut Veronica.

Veronica menyeringai, ia sepertinya memiliki rencana yang cukup licik.

"Dulu kamu pernah bilang sama aku, kalau misalnya nanti punya pacar, pasti kamu akan
pamer sama Kakak-kakak

kamu, sekarang mereka ada disini, ayo pamerkan!"

"Makin seru njir." Kakak-kakak Kile semakin menikmati adegan ini.

Kile sanga malu, pipinya memerah seperti Tomat.

Ia memang pernah mengatakan hal seperti itu, tapi ciuman? Sama Altheya?

Dalam mimpi ia juga tidak pernah membayangkan hal itu. Ciuman itu adalah hal yang
menjijikkan, apa orang-orang yang melakukannya tidak menciumn bau tidak enak dari
pasangan mereka masing-masing.

Pikiran Kile langsung terhenti ketika merasakan sesuatu yang hangat dan basahbmenyentuh
pipinya selama beberapa detik.

"Udah kan?" Altheya menarik diri setelah mencium pipi seorang Kile.

"Huwaa!" Veronica menangis dengan keras, sepertinya ia cemburu.

Dih dia yang minta dan dia juga yang merasa terluka.

Merasa malu Veronica berlari pergi, entah kemana yang jelas ia sudah tidak terlihat.

Keadaan menjadi canggung setelahnya.

Keempat kakak laki-laki Kile pergi untuk menerima tamu dan meninggalkan mereka berdua.

"Kile?" Panggil Altheya.

"Iya!" Tanpa sadar nada bicara Kile meninggi.

Altheya melirik tahan mereka berdua.

"Lepasin aja kan udah siap."


"Oh iya, oke." Kile melepaskan jemari Altheya.

Keduanya sama-sama terkejut, tidak menyangka Veronica senekat itu untuk membuktikan
kebenaran.

Dia pasti sangat menyukai Kile.

"Kasian dia." Altheya bergumam.

Kile tertawa. "Gue sama sekali engga merasa kasian sama dia, mampus." Dia sangat puas,
Veronica tidak tahu apa yang

Kile alami untuk pertama kalinya ketika ia menerima sebuah foto dirinya yang sedang
berganti pakaian.

Kile yang sebelumnya suka bertemu orang-orang menjadi lebih tertutup.

Dia takut keluar rumah.

Mama dan Papanya sampai harus membujuknya beberapa kali dan pasti akan menemukan
siapa pelakunya untuk Kile, namun hingga sekarang kedua orang tuanya tidak mengatakan
apapun, Kile tahu dengan sendirinya, identitas Stalker nya adalah sepupunya sendiri. Kedua
orang tuanya mungkin tahu ini, namun mereka tidak ingin memberi tahu Kile agar tidak
terjadi sesuatu yang tidak baik.

Dia bahkan sampai harus menggunakan Altheya sebagai Tameng, anehnya bersama Altheya
rasa takut Kile sedikit terkurangi, setidaknya ada seseorang yang menemaninya selain
keempat kakak laki-laki nya yang gila itu. Terus sekarang apa?" tanya Altheya, tujuan
mereka sudah terselesaikan.

"Lo makan sana, katanya lapar."

"Oh iya!" Altheya melupakan sesuatu yang penting, "Kawanin dong, nanti gue dikira
penyusup lagi."

"Ck, iya."

Mereka berjalan bersama menuju pinggir ruangan, tempat meja yang berisi segala macam
makanan berada.
"Lo engga makan?" Altheya mengambil piring dan bersiap-siap mengisinya dengan segala
macam.

"Lapar lah!" Dia juga ikut mengambil piring.

Sekarang keduanya sibuk dengan urusan makanan masing-masing, setelah selesai mereka
duduk di meja kosong di tempat yang paling sudut dan terpojok.

"Btw gue lupa bilang sama lo." Kile berkata di tengah-tengah acara makan mereka.

"Apa?"

"Delta ada disini."

Makanan yang ada di dalam mulut Altheya langsung menyembur keluar.

Kile mengernyit jijik. "Tai Kucing!" Umpatnya.

"Serius lo? Ngapain dia disini?"

"Bokap dia kan rekan bisnis Bokap gue, wajar aja ada." Kile menyingkirkan wortel dari
makanannya, dia tidak suka wortel.

"Mungkin dia lihat waktu lo cium pipi gue." Dia menyeringai.

Altheya mendelik tajam. "Biarin, memang gue peduli." Mereka kan sekarang tidak memiliki
hubungan apapun.

"Tuh anak memang rada-rada gila, kemarin aja bisa-bisanya dia tahu taruhan yang kita buat,
darimana dia tahu coba?"

"Waktu itu lo pergi setelah ngobrol, nahbdia tiba-tiba muncul, kayaknya dia dengar semua
obrolan kita."

"Dasar tukang nguping."

Altheya tertawa kecil, ia menikmati makanannya sembari melihat-lihat suasana acara.


"Ramai banget yah."

"Iya, nyokap gue sosialisasi nya tinggi."


Sedang melihat sekitar Altheya tidak sengaja melihat seseorang yang ia kenal sedang berada
disini.

Altheya hampir tersedak makananya ketikabHelios tersenyum manis padanya.

"Anjing." Kenapa dia berada disini?

"Kenapa lo?" Kile melihat Altheya heran.

"Lihat arah jam 12."

Kile mengikuti arah pandang Altheya, namun tidak ada siapa-siapa disana, hanya
sekelompok pelayan yang sedang beristirahat. "Moran engga ada disini lo tahu."

"Kok lo kenal Moran?!" seru Altheya.

Ups, Kile sepertinya keceplosan.

"Gue..."

Altheya memicingkan matanya, ia menatap Kile penuh selidik. "Ayo jujur, kalau engga nih
garpu melayang ke muka lo." Dia menodongkan garpu ke hadapan Kile.

Kile menelan Saliva-nya gugup, ia mengalihkan pandangannya. "Gue...minta seseorang


ngikuti lo."

"Hah?" Altheya tidak mendengar, suara Kile kecil sekali.

"Gue minta seseorang ngikutin lo!"

Akhirnya suara Kile bisa terdengar dengan jelas.

Wajah laki-laki itu sangat merah sekarang.

"Kenapa?" tanya Altheya.

Mampus. Tamat sudah riwayat Kile.


Part 25

Sejak ia berpisah dari Altheya waktu itu, Moran merasa dunia sudah tidak lagi sama.

Hubungannya dengan Atika berubah menjadi aneh dan tidak berwana seperti dulu.

Menatap Atika rasanya berat.

Ingatan-ingatan tentang Lana terus membekas di kepalanya.

Tidak bisa ia keluarkan.

Semua perasaan yang ia miliki untuk Lana.

Ia mencintai Lana.

Moran tidak bisa memungkiri kenyataan itu.

Ia hanya ingin bersama Lana.

"Atika.." Moran memanggil Atika yang sedang mengerjakan tugas.

Seperti biasa mereka menghabiskan waktu berdua dengan tugas-tugas sekolah mereka. Kelas
12 memiliki banyak sekali tugas, latihan, dan lainnya untuk persiapan mengikuti UN tahun
depan.

"Kenapa?" Atika tersenyum, dia menatap

Moran penuh perhatian. "Kamu lapar? Aku bisa masakin sesuatu."

Moran menggelengkan kepalanya. "Bukan." Moran menarik nafas dalam-dalam.

Melihat hal itu Atika tahu ada sesuatu yang penting, Moran ingin mengatakan sesuatu
padanya.
"Kita putus aja yuk?"

Pena yang Atika gernggam langsung jatuh, gadis itu menatap Moran dengan pandangan tidak
percaya.

"Apa?" Air matanya jatuh, dia sangat syok dengan kata-kata yang baru saja Moran katakan.

"Aku tidak bisa Atika." Moran mencekram

kepalanya, dia hampir gila. "Setiap malam mimpi aku selalu sama, tentang Lana, tentang diri
aku yang dulu, semua ingatan itu tumpang tindih, aku merasa sangat bersalah dengan Lana,
karena sudah meninggalkannya."

Atika memang sudah mengetahui semuanya, Moran menceritakan segalanya pada gadis yang
sudah ia anggap penting sejak kecil itu.

"Terus kamu mau buang aku gitu aja?"

Atika tersenyum sinis. "Kamu tahu kan Moran, aku sangat mencintai kamu dan kamu cuma
karena dia bagian dari masa lalu, kamu mau ninggalin aku gitu aja?!

Siapa yang bersama kamu selama ini?!

Dia atau aku?!" Hari Atika sakit, Moran nya dulu tidak seperti ini, Moran nya dulu adalah
pria yang baik dan tidak pernah melukai dirinya.

"Maaf, tapi aku engga bisa." Moran mengalihkan pandangannya, tidak ingin melihat raut
wajah Atika. "Aku tidak ingin menyakiti mu, aku masih menyukai Lana."

"Sialan!" Atika melempar buku-bukunya, nafasnya tercekat, dadanya sesak. "Itu cuma masa
lalu Moran, tidak bisakah kamu hanya menganggapnya seperti itu? Lagipula siapa yang
percaya dengan cerita omong kosong kamu itu, mana ada seseorang yang hidup lagi setelah
mati!"

"Pokoknya aku engga mau putus!"

"Atika." Panggil Moran.

Atika mernyeringai. "Kamu ingin putus? Jangan salahkan aku kalau Altheya kenapa-kenapa."
"Kamu..." Moran menggeram kesal. "Jangan sakiti dia, disini aku yang salah, cukup sakitin
aja aku, balas dendam ke aku aja!"

Moran menatap Atika dengan pandangantidak percaya, bagaimana bisa gadis yang selalu
lemah lembut ini berubah menjadi seperti ini.

Tiba-tiba saja Moran teringat kata-kata Luca.

Atika tidak sepolos yang terlihat.

"Aku pergi." Tanpa membawa barang-barangnya, Atika pergi dari kamar Moran.

Moran menghela nafas berat, ia menutupi wajahnya.

Kenapa ia harus mengingat semua ini lagi?! Pasti tujuan untuk bersama Altheya kan? Untuk
bersama Lana nya?

Jika saja mereka tidak ditakdirkan untuk bersama, untuk apa ingatin ini muncul kembali. Apa
takdir mempermainkan mereka berdua.

Moran hanya ingin Altheya bahagia, jika bukan bersama nya juga tidak apa-apa, namun
ingatan di kehidupan sebelumnya menghancurkan keinginan Moran itu.

Moran ingin egois. la ingin menjadi orang yang membuat Altheya bahagia.

***

Altheya yang sedang tiduran di kejutkan dengan telepon dari Moran yang mengatakan dia
ada di depan Kosannya. Mengganti pakaian dengan yang lebih baik,Altheya segera keluar
dari kamarnya dan melihat Moran duduk termenung di teras kosan, ia membawa dua kaleng
minuman soda untuk menemani obrolan mereka.

"Ada apa? Kenapa wajah kamu terlihat kusut?" tanya Altheya.

Moran sedikit terkejut melihat penampilan Altheya, mata gadis itu bengkak. "Apa terjadi
sesuatu?"

Altheya tersenyum lemah, dia menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, aku habis nonton film
sedih." Ini dampak pesta kemarin malam, Helios benar-benar membuatnya merasa
melankolis.
"Kamu sendiri, apa kabar? Sudah lama tidak bertemu."

Moran tertawa kecil. "Yah aku baik-baik saja, banyak tugas yang menumpuk."

"Yah kamu kan dulu berharap bisa sekolah dan sekarang kan kamu mendoakannya."

Altheya tersenyum geli. "Jadi bagaimana rasanya sekolah?"

Moran mengangkat bahu tidak tahu. "Biasa saja, lelah sih, tapi cukup menyenangkan."

Altheya tertawa, ia memeluk kedua lututnya. "Kamu tahu kemarin aku mengalami sesuatu
yang mengerikan."

"Apa?" Moran bertanya khawatir.

Tentang Helios." Altheya memejamkan kedua matanya. "Kok aku bisa-bisanya menciptakan
karakter segila dia yah?"

"Aku ingat." Moran berkata. "Kamu menciptakan Helios berdasarkan rasa cinta dan sakit
kamu karena kehilangan kedua orang tua."

"Pantesan dia gila." gumam Altheya. "Aku tidak jadi memakai diri ku yang dulu lagi."

Sekarang Altheya mengerti kenapa karakter Helios bisa menjadi seperti itu. la sangat
mencintai kedua orang tuanya, ia bahkan hampir gila ketika kehilangan mereka.

"Di Ending cerita, apa yang terjadi pada Helios?"

"Dia pergi." Moran termenung. "Dia nyesal udah nyakitin kamu dan pergi, balik ke
Singapura."

"Oh."

"Altheya." Moran memanggil tiba-tiba.

"Hm," saut Altheya.

"Aku dan Atika sudah putus."

Eh? Altheya menatap Moran terkejut. "Kenapa?"

Bukankah kemarin Moran bilang dia lebih memilih Atika daripada dirinya? Sebenarnya
Altheya marah, sangat marah. Kenapa Moran tega sekali lebih memilih Atika daripada
dirinya, padahal selama ini dirinya selalu mencintai dan menyayangi dirinya ketika masih
menjadi Reon. Lalu

Altheya berpikir keras, Moran di dunia ini sejak ia lahir dan tumbuh besar hingga sekarang
tidak seperti dirinya yang tiba-tiba masuk ke dalam tubuh Altheya dan mengambil kehidupan
Altheya. Moran memiliki keluarga, kehidupan, dan pertumbuhan yang lain. Ia tidak seperti
Altheya yang masih setia dengan kehidupan lama.

"Aku ingin bersama kamu." Moran menatap lekat-lekat mata Altheya, dia tulus
mengatakannya. "Ayo kita bersama lagi, seperti dulu."

Altheya tersenyum cerah, air matanya mengalir. "Lali Atika?"

Moran menggelengkan kepalanya. "Aku engga tahu, aku hampir gila, ingatan serta perasan
aku yang lalu dan sekarang, tidak sinkron, sebenernya aku bingung tapi untuk sekarang aku
ingin mengikuti akal sehat aku"Altheya terdiam.

Kedua tangannya mengepal kuat. Lalu bagaimana dengan Helios. Jika ia memiliki Moran,
Helios pasti akan menyakiti Moran.

"Aku takut." Altheya memilin ujung jarinya.

"Helios bilang dia cinta aku dan akan menyakiti semua orang yang mau ambil aku dari dia."

"Aku engga mau kamu terluka, Moran."

Altheya menatap Moran. "Kamu yakin? Bisa melawan Helios? Delta saja kalah darinya,
bagaimana dengan kamu?"

Moran terdiam cukup lama, lalu mengangguk mantap. "Aku bisa melawannya."

Altheya tertawa lepas, dia tersenyum sembari menangis. "Benarkah?"

Moran mengangguk. "Kalau aku berhasil, kita balik sama-sama yah?"

Altheya mengangguk.

Moran tersenyum lembut.

Tanpa bisa dicegah Altheya barngkit dan memeluk Moran dengan erat.

"Hm, kita akan sama-sama."


Lagi, seperti dulu.

Part 26

Keesokkan harinya Moran menemui Helios.

Untuk pertama kalinya Moran merasakan aura intimidasi dari orang lain selain Delta.

Dari yang Moran dengar, Delta terluka karena di dorong seseorang dari lantai atas Ballroom
ketika lampu padam, pemainan Helios sangat pengecut, dia melawan Delta di tengah-tengah
kegelapan.

"Gue engga mau basa-basi, tolong lepasin Altheya." Moran berkata tegas, tanpa basa-basi
apapun karena tujuan ada disini hanya satu yaitu untuk meminta Helios melepaskan Altheya.

"Tidak mau, siapa lo nyuruh-nyuruh

gue." Helios tertawa geli. "Seingat gue lo itu cowok yang dibenci Altheya, kenapa tiba-tiba lo
mau dia?"

"Lo engga perlu tahu, yang gue mau cuma, tolong lepasin Altheya."

"Engga mau." Moran pikir Helios akan menerima nya semudah itu. "Mana mungkin gue
ngasih Altheya sam aja harus nunggu beberapa tahun untuk dekati dia, lo engga ada hak
untuk larang lo, gue

"gue."

Moran menggeram kesal. "Dia sama gue ada hubungan yang engga akan pernah bisa
terpisahkan bahkan oleh kehidupan."

"Gue engga peduli." Helios tertawa.

"Lo itu bahaya, Altheya bisa terluka."


"Gue cinta dia, engga akan pernah gue biarin dia terluka." Helios mengepalkan kedua
tangannya. "Lo jangan sok tahu, jangan Lo hakimi perasaan gue." Helios ingin menghajar
Moran, namun deringan ponselnya menghentikan pergerakannya.

"Halo?"

"Hel! Gawat, cewek sih Moran gila! Dia nyulik Altheya!" Terdengar suara Kile disana.

Iya itu benar.

Kile dan Helios saling kenal selama ini, Helios juga lah orang yang menyuruh Kile untuk
menjaga Altheya selama dia pergi, Helios juga yang membiayai semua keperluan Altheya
selama ini dan tentunya melalui Kile.

"Bangsat!" Helios buru-buru pergi, tanpa mempedulikan Moran yang menatapnya heran.
"Dibawa kemana?"

"Gue Sharelock, lo cek aja wa gue."

"Oke." Helios menyalahkan Motornya dan segera pergi dari sana. Meninggalkan Moran
dengan sorot mata bingung.

***

Altheya meringis pelan, kepalanya terasa pusing. Tiba-tiba saja beberapa orang membekamn
mulutnya dalam perjalan pulang dari sekolah, kepalanya pusing karena pukulan yang cukup
keras di kepala.

"Kenapa lo engga langsung mati aja."

Altheya terkejut, ia menatap Atika yang duduk di hadapannya. "Lo apa-apaan.."

Atika tertawa sinis. "Lo tahu Moran itu milik gue dan dilahirkan untuk gue, meksipun lo dan
dia terhubung melalui masa lalu, ada baiknya kalian melupakan itu dan memilih untuk tidak
bersama!" Dia menjerit keras.

"Bertahun-tahun aku berusaha menarik perhatian Moran, memotretnya secara diam-diam,


mendekatinya dengan agresif, mendekati keluarganya bahkan membuat semua gadis di
sekolah membencinya agar tidak ada yang tertarik padanya!" Dia tertawa. "Tapi lo, gue kira
kenapa ternyata jiwa cewek jalang yang bernama Lana itu ada di tubuh Altheya sekarang,
pantesan Moran jadi aneh beberapa hari ini bahkan dia memilih untuk mengakhiri hubungan
kami!"

"Kenapa lo harus muncul?!"

"Kalau memang bunuh diri yah mati aja?!"

"Engga usah mengarang cerita yang menyedihkan hanya untuk menarik perhatian Moran!"

"Gue udah pernah bilang kan! Moran itu baik! Sangat baik bahkan pada orang yang tidak ia
kenal!"

"Jangan berharap lebih dari kebaikannya." Nafas Atika memburu, emosinya meledak-ledak.

"Sudah selesai?" Altheya bertanya santai.

"Luapin lagi biar lo lega.".

Atika tertawa kecil. "Engga sudah selesai kok." Dia mengambil botol air mineral yang sejak
tadi berada di ujung ruangan. "Lo tahu ini apa?" Dia menyeringai. "Ini sesuatu yang bisa
bakar lo hidup-hidup."

Atika menuangkan semua isinya secara sembarangan, suara tawanya masih jelas-jelas
terdengar, ia sepertinya sudah gila.

"Kalau Moran tidak bisa jadi milik gue, gue akan bunuh semua cewek yang dia pilih, lalu
setelah cewek-cewek itu mati, gue akan balik dekatin Moran, kalau Moran tidak mau, tinggal
gue bunuh aja! Hahaha!" Dia tertawa terbahak-bahak.

Altheya menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Gila!"

"Iya! Gue memang gila! Gue engga akan segila ini jika dari awal lo engga pernah muncul di
kisah cinta kami!" Bensin sudah selesai disebarkan.

Atika mengeluarkan Korek Api dan dengan senyuman Iblis nya ia melemparkannya ke
tumpahan bensin tadi. "Selamat mati terpanggang Altheya." Dia berlari pergi.

Altheya berusaha menghindar, dia menggeser tubuhnya dengan susah payah.

Asap semakin banyak, nafasnya tercekat, kepalanya pusing dan asap mulai memenuhi rongga
pernafasannya. Apa ia akan mati lagi? Benarkah?
Baiklah, mungkin dia tidak akan pernah bisa bahagia bahkan setelah kehidupannya yang
kedua. Mungkin ini yang terbaik.

Dia dua kehidupan yang ia alami, tidak pernah sekalipun Altheya memiliki akhir yang
bahagia.

Baik sebagai Lana ataupun Altheya.

Semuanya sama-sama penuh penderitaan.

"Altheya!"

Kedua mata Altheya menyipit tajam, ia melihat wajah seseorang di hadapannya.

"Altheya!"

"Helios..." Altheya memanggil dengan suara lemah, apakah laki-laki itu mendengar suaranya.
Sudahlah Helios.

Tidak perlu datang dan menolong. Bairkan saja ia mati. Mungkin ini yang terbaik.

Jiwanya tidak pantas mendapatkan akhir yang bahagia.

"Altheya!" Helios menerobos masuk. Ia melihat Altheya yang sudah terbaring lemah.

Dengan hidung dan mulut yang ditutupi jaket basah miliknya, Helios masuk ke dalam gudang
yang sudah hampir terbakar itu, ia menggendong Altheya dengan sigap dan membawa gadis
itu keluar dengan susah payah, punggungnya sedikit terluka karena bara api, namun Helios
tidak peduli, dia akan menyelamatkan Altheya meskipun nyawa taruhannya.

"Altheya! Altheya!" Helios memanggil nama gadis itu, mereka sudah berada di luar.

Dengan sisa-sisa kesadarannya Altheya menatap Helios dengan senduh, matanya merah.
"Kenapa?" Helios tersenyum lega, ia tidak terlambat menyelamatkannya, ia tidak terlambat
lagi.

Syukurlah." Air mata Helios jatuh. "Aku tidak terlambat."

Altheya bernafas dengan susah payah, ia batuk-batuk kecil. "Bodoh, kenapa lo nolong gue,
biarin aja gue mati disana." Altheya mengatakannya dengan susah payah.

Helios tercengang, dia merunduk sedih.


"Aku tidak mungkin menyakiti mu Altheya."

"Tidak bisakah kamu memilih ku saja?"

Altheya tertawa geli. "Bagaimana jika tidak?"

"Aku akan menyakiti Moran."

Sialan.

Altheya mengepalkan kedua tangannya.

"Aku akan memilih asalkan kamu tidak menyakiti dia."

Helios tersenyum cerah. "Hm." Dia mengangguk. "Aku janji tidak akan menyakiti dia."

Altheya menghela nafas lega.

"Ah, kecuali ceweknya, dia akan berurusan dengan ku sebentar."

Altheya mengangguk setuju. "Gue juga kalau gitu."

Helios tertawa bahagia. "Aku akan berusaha Altheya."

"Untuk apa?" Altheya bertanya.

"Untuk membuat kamu mencintaiku."

Altheya mendengus dingin. "Mudah membuat ku jatuh cinta."

"Benarkah? Contohnya?" tanya Helios.

Altheya tersenyum manis. "Turuti kata-kata gue dan jadilah dirimu sendiri."

Mudah untuk membuat seorang Altheya jatuh cinta. Kalian hanya cukup menjadi seseorang
yang Altheya harapkan. Altheya hanya butuh tempat untuk pulang

dan berlindung. Dari dunia luar yang kejam ini. Diapun memilih Helios.

Untuk melindungi Moran dan memulai kisah cintanya yang baru.

Terimakasih telah membaca novel ini sampai habis.

TAMAT
Tentang Penulis

Axl Zidane Alfaridzi merupakan siswa SMA N 4 T. utara yang sekarang duduk di kelas XII.
Ia lahir di kota siantar. Ia memiliki hobi futsal. Jika ada luang waktu ia bermain game dengan
teman-temannya. Ia memiliki cita-cita menjadi Polisi dan memiliki mimpi membahagiakan
orang tuanya.

Anda mungkin juga menyukai