Anda di halaman 1dari 51

Narasi Patah Hati

Extra Part 3

Sejak kecil, apa yang ia dengar soal


kehidupan berumah tangga adalah tentang
sosok istri yang senantiasa harus mengabdi
dan melayani suami, sedang suami
tugasnya hanya bekerja, pulang untuk
istirahat dan makan saja. Ibuk pun masih
menganut hal itu sampai sekarang. Bagi
Ibuk, segala sesuatu yang berbau 'dapur'
amat haram di sentuh Bapak. Semua ada
dalam kendali Ibuk, Bapak terima beres
saja di rumah. Dan, budaya pernikahan
macam itu rupanya secara tak sadar sudah
Ibuk turunkan pada Mahika.

1
Masalahnya, Djati tidak sepaham
dengannya soal itu. Ada beberapa
perbedaan besar yang kemudian Mahi
sadari muncul setelah mereka menikah.
Tidak banyak, tapi sayangnya perbedaan
itu muncul di titik-titik krusial. Yang paling
mencolok tentu saja soal pembagian tugas
suami dan istri tadi.

Beda dengan keluarganya yang masih


berpegang teguh pada prinsip bahwa lelaki
dilarang menyentuh urusan rumah tangga,
Djati dibesarkan dengan budaya
sebaliknya. Tak ada yang bisa menampik
kebijaksaan Mira Gustipradja dalam
membesarkan anak-anaknya. Didikan
keluarga Gustipradja membuat Djati tak
segan turun tangan soal bebersih. Lelaki itu
sangat santai membantunya di dapur.

2
Seminim-minimnya mencuci alat makan
yang baru mereka pakai bersama.
Ngomong-ngomong, mereka lebih sering
makan sepiring berdua sejak hari pertama
menikah. Jadi biasanya, urut-urutannya
akan begini ; Mahika memasak, sedang
Djati bertugas membawa nasi dan lauk ke
meja makan. Lebih sering Mahi yang
menyuapi, karena kebetulan Djati
tingkahnya macam bayi. Setelah selesai,
Djati membawa piring, mangkuk, sendok,
garpu dan gelas kotor ke wastafel untuk di
cuci sementara Mahika bertugas
mengeringkannya.

Mahika harus pandai bersyukur bahwa


lelaki yang ia nikahi adalah Sedjati
Gustipradja. Begitu-begitu, suaminya
paham betul soal agama. Lelaki yang

3
paham agama adalah lelaki yang tak
sungkan membantu istrinya, sebab mereka
tahu kebahagiaan istri adalah salah satu
bentuk kewajiban yang harus mereka
sediakan dalam pernikahan. Tapi tentu, hal
itu juga harus seirama dengan sang istri
yang paham betul tentang apa
kewajibannya. Tak boleh semena-mena.
Mentang-mentang suaminya pengertian,
lalu istri jadi manja dan lupa daratan. Itu
dosa besar.

Mahika jadi paham beginian karena Djati


sering berkhotbah di depannya siang dan
malam. Sudah dibilang, kalau tidak jadi
pelukis, suaminya ini berpeluang besar jadi
Ustadz. Djati berkemampuan menuntun
orang-orang dengan ilmu agama yang

4
dangkal macam Mahika agar terang
menuju akhirat.

"Diajeng, pernikahan yang bahagia adalah


pernikahan yang di bangun oleh dua orang,
dimana baik suami maupun istri sama-
sama sadar akan tempatnya, tidak saling
mengungguli apalagi menjatuhkan." Djati
menerangkan itu padanya sambil menarik
seprai mereka yang kotor untuk lanjut di
cuci. Tentu, pertarungan mereka
semalamlah sebabnya. Meski sama-sama
pemula, tapi Djati mahir membimbingnya.
Mahika juga heran suaminya ini belajar
darimana.

"Biar aja disitu, Mas. Nanti nunggu aku


enakan, biar aku aja yang cuci."

5
Mereka tidak mungkin minta tolong pada
Simbok untuk membersihkan seprai itu,
sebab ada noda darah disana. Mahika
belum bisa mencucinya sendiri karena
tubuhnya meriang usai semalaman
bercinta. Jangan salahkan imunitas
tubuhnya. Ini semua karena Djati tak
membiarkannnya istirahat barang sebentar
saja. Ia di gempur terus-terusan. Djati
benar-benar bar-bar soal begituan.

"Biarin aja, Maaas. Jangaaan." Larangnya.


Menarik-narik lengan Djati agar
melepaskan seprai kotor itu. Pipinya
merona ketika Djati mengusap noda merah
yang terang di kain putih tersebut dengan
telunjuk.

6
Djati menoleh hanya untuk tersenyum
tipis, menimpali dengan hangat. "Mas juga
punya tangan. Nggak harus semua-muanya
kamu," ujarnya. "Hari ini kamu diem aja.
Biar Mas yang beresin semuanya. Kamu
jangan capek-capek, nanti malam aja
capeknya." Matanya mengerling penuh
godaan. Sungguh om-om genit. "Simpan
tenaga kamu buat kegiatan melelahkan
lainnya yang pahalanya jauh lebih besar."

“Apasih!” Mahika berdekhem malu-malu,


menutup wajahnya dengan kedua tangan
saat Djati iseng mencium kening sambil
berlalu membawa seprai kotor mereka ke
tempat cucian.

Ya. Pada akhirnya, Djati-lah yang dengan


senang hati mengerjakannya. Lelaki itu
7
mencuci dan menjemur seprai sedang
Mahika menontonnya sambil ngeteh di
kursi depan. Tak hanya itu, Djati juga
menyapu dan mengepel lantai sekalian.
Rumah mereka kinclong, Mahika pun
gembira. Ia mengulurkan tangan, naik ke
gendongan Djati lagi untuk masuk ke
rumah.

"Jangan bilang Ibuk ya, Mas?" pintanya,


mengecupi rahang Djati dengan cengiran
tipis.

"Soal?"

"Soal Mas nyuci, nyapu sama ngepel. Nanti


aku digebukin Ibuk kalau dia tahu."

8
Djati tergelak. "Tergantung performa kamu
nanti malam lah yaa," godanya, membuat
pipi Mahika lagi-lagi merona. Padahal
mereka sudah melakukan banyak hal
berdua, tapi tetap saja ia belum terbiasa
bercanda soal urusan ranjang dengan
suaminya.

"Jangan ngomongin itu terus," rengeknya,


menepuk bibir Djati pelan, malu
bercampur sebal.

"Kepala Mas isinya itu doang sekarang,"


balas Djati sekenanya. Mendudukkan diri di
sofa depan televisi, dengan Mahika yang
nemplok di pangkuan tentu saja. Lelaki itu
mendongak, menatapnya dengan kerjap
lembut lantas berbisik. "Kamu tahu nggak,
Sayang?"
9
Mahika menggeleng. Ogah menebak-
nebak.

Djati meraih tangannya, mengecupi


jemarinya satu persatu sebelum mengisi
ruas-ruas jemari mereka hingga saling
bertautan, diletakkan genggaman itu diatas
dadanya seraya meneruskan bisikan.
"Kamu cantik banget semalam," pujinya.
“Habis subuh tadi juga. Secantik itu,”
terusnya. “Semuanya yang ada di kamu
cantik.”

Kedua pipi Mahika memanas lagi. Rasa


panas itu kini menjalar sampai dadanya
ketika melihat tatapan Djati yang mirip
seperti semalam. Lembut namun
menggelap. Demi Tuhan Mahika tahu apa
artinya!
10
"Aaah," rengeknya malu. Menjatuhkan
tubuhnya dalam pelukan Djati,
menyembunyikan semburat merah di
wajahnya ke balik pundak sang suami.
Mempertemukan degup-degup jantung
mereka yang sama gilanya dalam paduan
seirama. Menakjubkan sekali. Mahika rasa
ia bisa gila jika terus-terusan di goda oleh
makhluk semanis Djati.

"Jangan 'aaah' gitu, dong. Nanti Mas seret


kamu ke kasur lagi lho," ancam Djati
dengan kekeh pelan. Mengusap-usap
punggungnya lembut. "Ini Mas nahan
banget, soalnya kasihan sama kamu. Jalan
aja belum bisa." Mengecupi bahunya
sesekali.

11
"Gara-gara Mas," cicitnya, menepuk bahu
Djati manja.

"Ya memang harus gara-gara Mas lah,"


balas lelaki itu santai. "Masak iya kamu
nggak bisa jalan gara-gara orang lain? Nanti
Mas gebukin orangnya."

"Aku penasaran," gumam Mahi,


memberanikan diri mengangkat kepala dan
menatap mata Djati lagi secara langsung.
Melirik tangan sang suami yang tengah
menyusup masuk dalam kaosnya, merayap
lembut, mengelus pinggangnya.

"Soal?"

12
"Katanya Mas baru pertama kali ngelakuin
itu," gumamnya, berkedip penasaran.
Memainkan telunjuk di dada bidang Djati,
menekan-nekan otot dada suaminya
sesekali. "Tapi kok kayak fasih banget sih,
semalam?"

Djati mengendik. "Insting nggak sih?"


tanyanya balik.

"Insting juga yang menuntun Mas buat


membolak-balikkan aku sekreatif itu?"
tanyanya.

Djati ketawa tanpa beban, manggut-


manggut seenaknya.

13
"Yakin yang semalam itu beneran pertama
kali?" Mahika menyipit curiga. Pertanyaan
yang mengendap di kepalanya sejak
semalam akhirnya ia keluarkan juga.
"Beneran nggak pernah sebelumnya?"
Selidiknya, membuat tawa Djati lantas
terhenti.

Lelaki itu menggeleng ribut, panik


menanggapi. "Demi Allah, Sayang. Nggak
pernah!" tekannya. "Si ‘dia’ baru kepake
betulan semalam! Seumur hidup, cuma
sama kamu."

Mahika menunduk, menepuk bagian tubuh


paling privasi suaminya pelan. Geregetan.

"Sayang!" decak Djati kaget. “Jangan gitu,


nanti 'dia' bangun!" omelnya, menutup
14
bagian tubuhnya itu dengan telapak
tangan. "Dia baperan kalau sama kamu."

"Masak iya?"

"Iya. Jangan di ganggu, kecuali kamu siap


masuk kamar lagi."

Mahika bergidik ngeri, bangkit dari


pangkuan Djati dengan panik lalu berjalan
tertatih-tatih masuk kamar, mengunci
pintu dari dalam saking takutnya sang
suami masuk betulan.

**

"Kamu kenapa manyun begitu?"

15
Luisa berkacak pinggang, mengamati wajah
Djiwa yang sudah sedemikian muram sejak
beberapa hari terakhir ini. Meletakkan
beberapa contoh undangan ke meja.

"Djati," gumam Djiwa lirih. Masih


menunduk, membereskan alat-alat yang
baru ia pakai untuk membenahi mobil klien
ke dalam koper besarnya.

"Kenapa Djati?" tanya Luisa, menarik kursi


untuk di duduki. Gadis itu menyilangkan
kaki, kini memangku kedua tangan di dada.
"Di apain kamu sama dia?"

"Dia sekarang berubah," desah Djiwa


tampak sedih. Menutup koper besar itu
dan menekannya dengan kedua tangan
sampai bunyi 'klik' terdengar. Menyeretnya
16
ke pojokan lantas kembali ke sisi Luisa.
Menarik kursi lain untuk di sejajarkan
dengan sang calon istri. "Telponku jarang
diangkat. Sekalinya diangkat, dia selalu
buru-buru kalau diajak ngobrol, katanya
sibuk," keluhnya lagi.

Luisa hanya berkedip tenang, fokus


mendengarkan. Kebetulan Pawon sudah
bisa di tinggal-tinggal sekarang, jadi ia bisa
meluangkan sedikit waktu untuk
menyambangi Djiwa ketika jam makan
siang. Sambil mencicil menyiapkan serba-
serbi pernikahan mereka yang akan di gelar
beberapa bulan ke depan.

"Djati jadi kayak orang asing setelah nikah.


Kami udah jarang cerita," gumam Djiwa.
"Sekarang dikit-dikit Mahika. Nanya Mahi
17
dulu lah, tunggu ijin Mahi dulu, tergantung
dibolehin sama Mahi apa enggak. Gitu-gitu
terus. Padahal dulu kan kami kalau mau
ngapa-ngapain ya berdua aja. Aku lho,
meskipun udah sama kamu lama, tetep aja
ada waktu khusus yang isinya cuma sama
Djati, nggak yang harus melibatkan orang
lain begini."

“Lah ..." Kening Luisa berkerut tipis. Inikah


alasan pacarnya mutung berhari-hari
lamanya? Tak nafsu makan, tak nyenyak
tidur, tak konsen bekerja? Gara-gara
Sedjiwa cemburu pada istri kembarannya?
"Demi apa, Djiw? Kamu tuh cemburu sama
Mahika, ya?"

Djiwa menipiskan bibir lantas melengos.


"Enggak," sangkalnya.
18
“Apanya yang enggak. Tuh, di jidatmu ada
tulisannya, 'aku jealous sama Mahika gara-
gara Djati lebih cinta sama dia' gitu.” Luisa
menunjuk-nunjuk jidat Djiwa dengan bibir
memicing.

"Enggak. Mana ada." Djiwa sibuk


mengusap-usap jidatnya.

“Dih,” Luisa mencibir. Terkekeh-kekeh geli.

"Aku cuma merasa kehilangan aja," lanjut


Djiwa, bersikukuh menyangkal. "Dulu kan
kami apa-apa cuma berdua. Masak
sekarang, tiba-tiba Djati jadi nggak
bisaan?"

19
"Ya wajar, dia kan udah nikah," jawab Luisa
santai. "Dia udah punya istri. Kembaranmu
tuh sekarang udah jadi suami orang, jangan
kamu anggap dia sama kayak dulu. Jelas
beda, Djiw."

"Tapi masak iya begitu," gumam Djiwa


protes.

"Ya iya, begitu," balas Luisa mengendik.


"Kamu ngajak dia pergi, ya emang
sepatutnya dia harus ijin sama istrinya
dulu. Kamu juga nggak bisa ngobrol sama
dia sampai tengah malam kayak waktu dia
masih bujang. Apalagi sekarang ini Djati
masih pengantin baru, jelas lah kamu
dianggap ganggu."

20
"Aku nggak ganggu. Aku cuma nanya dia
nyaman disana apa enggak."

Luisa geleng-geleng pelan. Menghela


napas panjang. "Dia pasti nyaman, Sedjiwa.
Saking nyamannya sampai telponmu aja
jarang diangkat, kan?" tanyanya. "Lagi
panas-panasnya mereka tuh. Lagian kamu
aneh, pengantin baru kamu telponin. Kalau
mereka lagi indehoy apa nggak sebel?
Moodnya jadi keganggu, lah."

Djiwa terdiam, sedang Luisa ketawa-tawa,


mengulurkan tangan dan mengusap
kepalanya lembut, meneruskan. "Kamu
udah bareng sama Djati tiga puluh empat
tahun. Dari jaman dalam kandungan
sampai kalian tua bangka begini, masak
masih kurang?" tanya gadis itu geli. "Biarin
21
lah Djati happy sama istrinya. Jangan kamu
telponin melulu. Kayak nggak punya
kehidupan sendiri aja kamu tuh."

"Aku cuma kadangkala pengen ngobrol.


Biasanya kami suka ngomongin banyak hal
sampai ketiduran."

"Kamu kan punya aku? Kalau mau ngobrol,


telpon aja aku," ujar Luisa memberi ide.

"Kan ada beberapa hal yang nggak mungkin


aku omongin sama kamu," gumam Djiwa
pelan. "Masalah-masalah yang cuma bisa
di bahas sama aku dan Djati. Mas Raffan aja
nggak akan paham kalau aku ngomongin ini
sama dia," imbuhnya.

22
“Masalah apa siiiih,"

“Ya ada pokoknya.”

"Ya kalau gitu kamu wajib lihat-lihat waktu.


Jangan tengah malam juga kamu telpon
kembaranmu, Djiw." Luisa mengusap
rambut Djiwa lagi. "Barangkali Djati lagi
kejar setoran buat bikin anak. Jangan di
ganggu."

Djiwa menggersah. Manggut-manggut


pelan meski tetap saja tak bisa
mengendalikan wajah kecewanya. Ia
betulan merasa kesepian sekarang. Meski
Luisa di sisinya, jika Djati tak ada, tetap ada
bagian yang kosong di hatinya. Ini sulit di
jelaskan. Pokoknya semenjak Djati
menikah, Djiwa kesepian. Rasa-rasanya
23
Djiwa mau ikut pindah ke rumah mertua
Djati saja sekalian kalau di perbolehkan.
Huh.

**

Ternyata, menikah dengan orang yang


tepat itu seenak ini, ya?

Jujur, dulu Djati sering sinis ketika


mendapati teman-temannya yang sudah
menikah jadi jarang nongkrong bersama.
Sekalinya keluar kandang, beberapa jam
kemudian buru-buru pulang dengan
alasan, 'bini nungguin di rumah'. Kayak …
heuh, lebay sekali. Berasa cuma dia saja
yang punya istri sedunia, hah? Apa dia atau
istrinya akan mati kalau pisah sehari?

24
Tapi sekarang ...

"Eh, udah bangun suamiku."

Djati mendongak, menatap istrinya yang


baru keluar kamar mandi dengan semerbak
shampoo menguar dari rambut panjangnya
yang basah. Mahika melewatinya yang
tengah terlentang di kasur, masih santai
mondar-mandir dengan handuk
membebat tubuh. Oh sial, lihat tubuh itu.
Indah sekali. Padahal Djati sudah tiap
malam menyusurinya, tapi tetap saja,
Mahika dengan balutan handuk dan
rambut basah adalah godaan maha
dahsyat yang sulit di elak.

25
"Sayaang," gumamnya. Berguling-guling
sampai di tepi kasur. Dengan posisi
tengkurap ia mendongak.

"Mas hari ini mau ke galeri, kan?" tanya


perempuan cantik itu. Menunduk sejenak
di depan Djati, mengecup bibirnya sekilas.
"Katanya udah janjian sama Kanjeng Gusti
Mahendra buat tanda tangan kontrak
sewa?"

Djati mengangguk.

"Ya udah, sana mandi. Nanti aku siapin


baju," suruhnya, menyugar rambut Djati
dengan jemari. "Tapi aku belum masak.
Nanti ku ambilin nasi sama lauk dari rumah
Ibuk, ya?" Ia menegakkan tubuh dan
melenggang lagi, meninggalkan Djati yang
26
menggerakkan batang leher, mengikuti
Mahika dengan seksama demi
menyaksikan lenggak-lenggok pinggulnya.

Djati menopang dagu dengan sebelah


tangan, mengamati langkah sang istri yang
sudah normal dengan bangga, tak seperti
lima hari lalu, dimana langkahnya saja
masih kacau. Boro-boro bisa berlenggak-
lenggok begitu, turun dari kasur saja
keluhannya panjang bukan main.

"Kayaknya besok lagi aja, deh."

Mahi menoleh. "Apanya yang besok lagi?"

"Ke galeri."

27
"Loh, kenapa?"

"Mas lagi males pergi. Mau di rumah aja


hari ini."

Buat apa pergi kalau di rumah ada banyak


kegiatan menyenangkan yang bisa ia
lakukan? Djati enggan meninggalkan
istrinya. Lagipula, bukankah ia berhak cuti
minimal sebulan usai menikah? Ia sudah
bekerja keras sepanjang hidup, masak
nganggur sebentar saja tak boleh?

"Dari kemarin besok-besok melulu,"


gumam sang istri pelan. Menundukkan
tubuh, membuka nakas di samping kasur
guna mengambil hair dryer. Membawa
benda itu ke meja rias untuk di colokkan,
sedang ia duduk di kursi. Menatap Djati
28
dari cermin besar yang ada di depannya
dengan desah pendek. "Lama-lama nggak
jadi," sindirnya. "Itu lukisannya Mas
kasihan di simpan di gudang melulu. Nanti
berdebu," terusnya, lembut namun sarat
omelan macam istri-istri pada umumnya.
"Kanjeng Gusti itu sibuk. Orang yang
sesibuk itu udah bersedia menyempatkan
waktu buat ngajak Mas ketemu langsung,
harusnya Mas semangat dong."

"Tapi Mas agak nggak enak badan," gersah


Djati cari-cari alasan.

"Masak iiiyaaa?" balas Mahi dengan nada


di panjang-panjangkan. Mulai
menggunakan mesin di tangannya untuk
mengeringkan rambut. Bunyi bising
memenuhi kamar sekian lama.
29
"Iya. Kayak mau meriang," keluhnya sok
lemah. "Belum ijin Bapak juga mau ketemu
Gusti Mahendra. Kalau nggak boleh
gimana?"

"Aku udah ijin sama Bapak. Lagipula Mas


ketemu beliau kan tujuannya buat
kelangsungan pekerjaan sebagai seniman?
Jadi Bapak nggak ada masalah tuh,"
jawabnya. “Ayo, mau ngeles apa lagi?”

"Kepalanya Mas pusing, Sayang."

Bibir perempuan itu mencebik. Sembari


mengeringkan surai panjangnya, Mahika
kembali berkata. "Yaah, padahal
rencananya aku mau ikut, sekalian
pulangnya mampir belanja baju dinas biar
Mas bisa milih sendiri mana yang bagus,"
30
pancingnya, sok mengendikkan bahu. "Tapi
nggak apa, deh. Karena suamiku yang
ganteng lagi meriang, aku perginya sama
Pakde Mul aja."

"Jangan!" seru Djati segera. Terduduk


diatas kasur dengan sigap. "Kita pergi
bareng!" ia bergerak turun dari kasur guna
menghampiri sang istri. Menarik kursi kecil
di samping jendela kamar demi bisa duduk
di belakang Mahika. "Sayang, kita pergi
bareng, ya?"

"Tadi katanya meriang," cibir Mahika pelan.

"Nggak jadi meriang," ia lingkarkan sebelah


tangan memeluk perut langsing sang istri,
menyandarkan dagu di bahu dengan
manja. “Udah sembuh.”
31
"Awas minggir, nanti kita kesetrum!" decak
Mahi, segera mematikan hair dryer sebab
Djati mulai mengecupi kulit bahunya.
Perempuan itu memanjangkan leher,
menggeliat kegelian ketika tangan Djati
mulai meraba-raba handuk yang ia
kenakan, menangkup kedua dadanya.
"Ihhh!" Mahika berjingkat sejenak,
menepis tangan Djati dengan panik. "Aku
lho baru keramaaaas!" sergahnya.

"Kamu mandinya nggak ngajak-ngajak,"


gumam Djati, kembali menjatuhkan
bibirnya di tengkuk sang istri. Lanjut
berbisik manis sekali. "Sebentar, yuk? Biar
pusingnya Mas ilang, ya?"

"Rambutku kering aja belum, Maaas!"

32
"Sebentar doang."

"Tadi habis subuhan kan udaaah,"

"Kangen lagi," balas Djati. "Kamu


ngangenin."

Mahika berdecak, lekas berdiri sebelum


handuknya di lucuti dari tubuh. Perempuan
itu kabur menuju lemari, menyahut kaos
Djati untuk segera di kenakan. "Tunggu-
tunggu, tungguuuu!" Ia menjerit panik
ketika Djati menyeringai sambil berlari
menyusul. "Nggak mauuu! Nggaaakk!"
teriaknya, berusaha kabur dari pelukan
Djati yang membelit di belakang tubuh.
Perempuan itu cekikikan, geli sekaligus
sebal, merengek-rengek minta di lepaskan.
"Aaah, aku udah mandiii!"
33
"Nanti mandi lagi sama Mas," bisik Djati
nakal, memasukkan tangannya dalam kaos,
menggapai bukit kembar favoritnya untuk
di remas lembut. "Ya Sayang ya?"

"Aduh ya Allah, Mas Djati! Astagfirullah hal


adziimmm, jangan di nyubit-nyubit,
sakiitt!" Di tampiknya tangan Djati sedang
Djati ketawa-tawa.

"Ayok afafaffa," rayunya, membalikkan


tubuh Mahika agar bersitatap dengannya,
menalikan kedua lengan di pinggang sang
istri dengan erat. Ia menunduk,
memiringkan kepala dan mengerucutkan
bibir di depan Mahika yang putar mata.

"Nggak."

34
"Sayang," gumam Djati sok serius. "Apabila
seorang istri menolak suami--"

"Haasyaaah!" decak Mahika, menepuk


bibirnya pelan, menghentikan perkataan
Djati yang belum tuntas. Meski ujung-
ujungnya tetap saja ia mengalungkan
kedua tangan di pundak Djati, balas
memeluknya sambil berjinjit, lalu
mengecup bibirnya sesuai apa yang Djati
minta.

Mereka berbagi kecup-kecup kecil dan


saling menggoda, sesekali cekikikan sambil
berjalan menuju ranjang tanpa memutus
tautan.

"Habis ini udah, ya?" bisik Mahi, malu-malu


melepas kaos di tubuhnya lalu merangkak
35
naik ke kasur. Mengambil bantal untuk di
tutupkan ke badan.

"Iya," jawab Djati senang hati. Menyusul


naik ke atas tubuh sang istri dengan
seringai menangnya. Melepas satu-satunya
celana tidur yang ia kenakan kemudian
menarik bantal dari dada Mahika untuk di
singkirkan.

AC di kamar langsung tak ada gunanya


begitu aktivitas panas itu kembali mereka
mulai. Seperti yang sudah-sudah, dengan
Djati yang lebih dominan dan Mahika yang
sesekali membalas sebisanya. Napas
mereka terengah-engah ketika Djati
menarik lembut sebelah kaki Mahika
seirama dengan penyatuan mereka. Lelaki
itu baru akan bergerak ketika ponsel di atas
36
nakas bergetar pelan, membuat Mahika
menoleh dengan kerjap penasaran.

"Telpon," bisiknya, mendorong dada Djati


lembut, menginterupsi sang suami yang
sedang semangat-semangatnya. "Mas, tel--
ah!" Mahika tersentak, menggigit bibirnya
saat hentakan itu menguat. "...telpon,"
cicitnya, menatap mata Djati yang telah
menggelap dengan ringis ngilu. "Telpon!"
Di tepuknya pipi Djati. Meringis lagi saat
perkataannya di abaikan.

"Biarin," gumam Djati tak peduli. Alih-alih


mengangkat panggilan, lelaki itu justru
mengambil ponsel untuk di matikan
sebelum memacu istrinya lagi. “Paling juga
si Djiwa.” Menarik kedua tangan Mahika
agar setia mengalung di leher sementara ia
37
bekerja keras menuntaskan kegiatan
mereka.

Tidak sekali dua kali Djati melakukannya.


Biasanya Djati jarang berdusta. Tapi kalau
sudah menyangkut urusan beginian,
kalimat 'sebentar saja' atau 'sekali saja'
sudah pasti berakhir dengan wacana.
Mustahil Djati menepatinya.

**

Tempat yang ingin ia sewa adalah ruko tiga


lantai, bekas toko batik dan barang-barang
antik yang telah kosong setahun
belakangan karena turunnya daya beli
offline pada masyarakat. Itu yang Djati tahu
dari adik iparnya, beberapa hari lalu
sebelum anak itu berangkat lagi ke Jakarta.
38
Sejam lalu, sejak pertama kali
menginjakkan kaki di gedung ini, sang istri
langsung berceloteh panjang lebar, ribut
menyusun rencana ini-itu menggunakan
insting bisnisnya. Berdasarkan apa yang
Djati dengar, sang istri akan mengatur
lantai satu sebagai tempat menyambut
klien-klien Djati jika memang ada yang
mengejarnya sampai sini. Lantai dua akan
di khususkan untuk memajang lukisan-
lukisannya, sedang lantai tiga harus sedikit
di renovasi agar bisa Djati pakai sebagai
tempat melukis, ruang sholat, sekaligus
tempat istirahat. Sang istri masih sibuk
mondar-mandir di lantai satu ketika dua
puluh menit lalu ia bersama pemilik sah
gedung, Kanjeng Gusti Mahendra naik ke
lantai dua untuk berbincang lebih dalam.
Membicarakan ini-itu mengenai kontrak
sewa gedung, dan beberapa hal lainnya
39
tentu saja. Serba-serbi mengenai kisruh
panggung pemilu pun tak luput mereka
singgung.

"Saya dapat bocoran, katanya Partai Rakyat


Makmur akan mengusung Pak Fahrezi
Sukmoyo dari Partai Merdeka Bersama
sebagai cawapres mendampingi Pak
Sulaiman Abdurrahim."

Djati menunduk, meletakkan botol


mineralnya perlahan diatas meja,
mengulum senyum tipis usai mendengar
perkataan Kanjeng Gusti Mahendra
barusan. "Kalau soal itu, jujur saja saya juga
belum yakin dengan kebenarannya,"
ucapnya terus terang. "Ayah saya adalah
orang yang sulit di tebak isi kepalanya.
Sejauh ini, beliau selalu punya caranya
40
sendiri dan seringkali orang-orang salah
dalam menebak langkahnya."

"Bahkan oleh Mas Sedjati?" Gurat ragu


tampak nyata di mimik muka raja muda
tersebut.

"Ya." Djati mengiyakan tanpa pikir panjang.


"Saya tidak pernah berhasil menebak alur
cerita yang ayah saya buat. Beliau sering
belok di detik-detik terakhir sebelum
gong." Bibirnya tertarik miring, telunjuknya
mengusap permukaan meja yang terbuat
dari kayu solid tersebut seraya
meneruskan. "Justru semakin nyaring
nama seseorang di gaungkan, saya
khawatir dia cuma di pasang sebagai
jebakan agar pemain aslinya aman sampai
hari H. Ayah saya sering melakukannya,"
41
terangnya. "Ngomong-ngomong, saya baru
tahu kalau Mas Mahendra juga tertarik soal
beginian," gumamnya.

"Karena beberapa waktu lalu, orang-orang


dari Partai Merdeka Bersama sowan.
Mereka kelihatan percaya diri sekali saat
meminta dukungan dari kami."

Sebelah alis Djati menukik. "Oh ya?"

Takabur sekali. Belum tahu saja mereka,


kalau ayahnya dan Om Sumarji adalah
kombinasi paling epik sekaligus licik yang
harus di waspadai. Keduanya suka
memberi harapan manis pada banyak
orang sekaligus, tapi pilihannya belum
tentu satu diantara mereka.

42
"Ya." Mahendra manggut-manggut. "Tapi
setelah mendengar pendapat Mas Djati
barusan, saya jadi sedikit tenang," akunya,
tak sungkan memamerkan senyum lega.
Pemimpin muda Mangkunegaran itu tak
begitu mahir menyembunyikan rasa tak
suka, sepertinya. Buktinya, Djati bisa
melihat dengan jelas sorot tak ikhlas ketika
beliau menyebut satu nama diantara
perkataannya. "Saya sedikit terganggu
ketika mendengar nama Pak Fahrezi
Sukmoyo," katanya. "Ada sedikit
pengalaman tidak mengenakkan tentang
beliau di ingatan saya. Terjadi saat jaman
Romo saya dulu."

"Korupsi?" tanya Djati tanpa basa-basi.


Buat apa juga memperhalus bahasa, toh
saat ini mereka hanya berdua disana.

43
"Lebih dari itu. Beliau juga yang
mempermudah akses penjualan barang-
barang antik dari keraton beberapa tahun
silam ke mancanegara. Masih satu kubu
dengan keluarga Notoseno. Atau bisa di
bilang mereka ini ..." Ia bergumam sejenak
untuk mencari kosa kata yang menurutnya
paling tepat. "Komplotan?"

"Oh," balas Djati pelan. Meski yang ini


termasuk informasi baru buatnya, tapi ia
tak sekaget itu juga. Ada lebih banyak hal
mengagetkan ketika kita benar-benar
menyelami para pelaku politik di negeri ini,
percayalah. Korupsi, nepotisme, catatan
hitam yang ditiadakan hanya sedikit dari
hal-hal 'kecil' yang pernah Djati temukan
dari mereka semua.

44
"Sedikit poin minus untuk modal
pertimbangan, kalau benar Pak Saleh
berniat mengusung beliau." Mahendra
mengendik santai. "Saya tahu tidak ada
orang yang benar-benar bersih dalam
politik. Tapi setidaknya, kita bisa memilih
yang sedikit lebih baik, bukan?"

Djati menunduk dengan senyum tipis.


Manggut-manggut setuju. "Tapi," katanya
terjeda. Menatap Mahendra sejenak,
meneruskan. "Suara saya tidak akan
memengaruhi keputusan ayah saya,"
ujarnya berat hati. "Sangat di sayangkan,
tapi saya memang tidak punya kekuatan
apa-apa." Ia berterus terang. “Saat ini, saya
hanya seorang suami sekaligus menantu
yang numpang tinggal di rumah mertua.”

45
"Kalau begitu, anggap saja saya sedang
curhat," kekeh Mahendra santai.
Mengambil botol mineral miliknya untuk di
teguk. "Nanti saya beri diskon untuk sewa
gedungnya, bentuk terimakasih karena
Mas Sedjati sudah mendengarkan cerita
saya tadi."

"Maaf," seringai Djati tipis sekali. "Saya


tidak terima gratifikasi."

"Ini bukan gratifikasi, ini potongan harga


dari saudara."

Djati menggeleng dengan kekehan tenang.


"Saya juga tidak bisa terima itu dari
siapapun. Bukannya saya menolak
dianggap saudara, tapi demi kebaikan
bersama, sebaiknya kita berbisnis dengan
46
transparan dan sebagaimana mestinya
saja."

Bibir Mahendra menipis. Lelaki itu baru


akan menjawab ketika pintu kaca di sisi kiri
terbuka, sosok perempuan bergaun cokelat
dengan rambut panjang di jepit anggun itu
membuat keduanya menoleh kompak.
Mahendra tersenyum lebih lebar, sedang
Djati mengulurkan tangannya, menyambut
sang istri yang datang.

"Ngapunten Kanjeng Gusti," gumam


Mahika sungkan, melirik Mahendra
sejenak sebelum kembali menundukkan
kepala. "Saya mau ajak suami saya pulang
kalau sudah selesai urusan disini," katanya.
Menoleh pada Djati untuk berbisik. "Mas
Imron kesini, nyariin Mas." Tangannya
47
menepuk pelan lengan Djati. "Papa nelpon
nggak Mas angkat dari tadi. Gimana sih!"
decaknya galak.

Djati mengerjap, meraba-raba saku celana


dan jaketnya bergantian lalu menepuk
jidat. "Ya Allah! Hape Mas ketinggalan di
mobil, Sayang. Lupa bawa," jawabnya.
"Papa telpon kamu?"

"Iya," jawab Mahika. "Mas Raffan juga,"


terusnya, memegangi lengan Djati sambil
mendongak. "Ayok pulang," ajaknya
berbisik-bisik. "Udah selesai ngobrolnya,
kan?"

"Buru-buru, Mahika?"

48
Mahi menoleh lagi pada Mahendra,
mengerjap kaget kemudian mengangguk
rikuh. "Nggih, Kanjeng Gusti. Mohon maaf,
tapi Mas Djati-nya sudah di tungguin di
rumah sama orang," tuturnya sopan. Ia
mundur selangkah hingga punggungnya
membentur dada Djati. Meneruskan.
"Mmm ..." gumamnya ragu-ragu. "Kanjeng
Gusti ... bagaimana kabarnya?"

"Baik," jawab Mahendra lembut. "Oh ya,


kami seluruh keluarga Mangkunegaran
turut bahagia dengan pernikahanmu dan
Mas Djati," terusnya, menatap Mahika dan
Djati bergantian dengan senyum hangat.
"Titip salam untuk Bapak dan Ibukmu,"
imbuhnya. "Di pernikahan Mahima nanti,
tolong usahakan undang kami, ya?

49
Bagaimanapun juga kita ini masih saudara,
bukan?"

Mahika mengerjap tak enak. Serba salah,


iapun hanya bisa manggut-manggut saja.
Mereka bercakap seadanya untuk
beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya
Mahendra pamit pergi terlebih dulu usai
memasrahkan kunci gedung yang perhari
itu resmi Djati sewa. Begitu langkah kaki
Mahendra benar-benar menghilang,
Mahika balik badan. Menatap Djati seraya
berkata. “Lain kali aku nggak mau ikut Mas
lagi kalau ada Gusti Mahendra. Aku
sungkan sama beliau gara-gara nggak
ngundang keluarganya di nikahan kita."

50
Djati ketawa sambil mengiyakan sebisanya.
Merangkul pinggang sang istri untuk
berjalan bersama menuruni tangga.

**

Salam, Cal

51

Anda mungkin juga menyukai