NPH Ep3 (PR)
NPH Ep3 (PR)
Extra Part 3
1
Masalahnya, Djati tidak sepaham
dengannya soal itu. Ada beberapa
perbedaan besar yang kemudian Mahi
sadari muncul setelah mereka menikah.
Tidak banyak, tapi sayangnya perbedaan
itu muncul di titik-titik krusial. Yang paling
mencolok tentu saja soal pembagian tugas
suami dan istri tadi.
2
Seminim-minimnya mencuci alat makan
yang baru mereka pakai bersama.
Ngomong-ngomong, mereka lebih sering
makan sepiring berdua sejak hari pertama
menikah. Jadi biasanya, urut-urutannya
akan begini ; Mahika memasak, sedang
Djati bertugas membawa nasi dan lauk ke
meja makan. Lebih sering Mahi yang
menyuapi, karena kebetulan Djati
tingkahnya macam bayi. Setelah selesai,
Djati membawa piring, mangkuk, sendok,
garpu dan gelas kotor ke wastafel untuk di
cuci sementara Mahika bertugas
mengeringkannya.
3
paham agama adalah lelaki yang tak
sungkan membantu istrinya, sebab mereka
tahu kebahagiaan istri adalah salah satu
bentuk kewajiban yang harus mereka
sediakan dalam pernikahan. Tapi tentu, hal
itu juga harus seirama dengan sang istri
yang paham betul tentang apa
kewajibannya. Tak boleh semena-mena.
Mentang-mentang suaminya pengertian,
lalu istri jadi manja dan lupa daratan. Itu
dosa besar.
4
dangkal macam Mahika agar terang
menuju akhirat.
5
Mereka tidak mungkin minta tolong pada
Simbok untuk membersihkan seprai itu,
sebab ada noda darah disana. Mahika
belum bisa mencucinya sendiri karena
tubuhnya meriang usai semalaman
bercinta. Jangan salahkan imunitas
tubuhnya. Ini semua karena Djati tak
membiarkannnya istirahat barang sebentar
saja. Ia di gempur terus-terusan. Djati
benar-benar bar-bar soal begituan.
6
Djati menoleh hanya untuk tersenyum
tipis, menimpali dengan hangat. "Mas juga
punya tangan. Nggak harus semua-muanya
kamu," ujarnya. "Hari ini kamu diem aja.
Biar Mas yang beresin semuanya. Kamu
jangan capek-capek, nanti malam aja
capeknya." Matanya mengerling penuh
godaan. Sungguh om-om genit. "Simpan
tenaga kamu buat kegiatan melelahkan
lainnya yang pahalanya jauh lebih besar."
"Soal?"
8
Djati tergelak. "Tergantung performa kamu
nanti malam lah yaa," godanya, membuat
pipi Mahika lagi-lagi merona. Padahal
mereka sudah melakukan banyak hal
berdua, tapi tetap saja ia belum terbiasa
bercanda soal urusan ranjang dengan
suaminya.
11
"Gara-gara Mas," cicitnya, menepuk bahu
Djati manja.
"Soal?"
12
"Katanya Mas baru pertama kali ngelakuin
itu," gumamnya, berkedip penasaran.
Memainkan telunjuk di dada bidang Djati,
menekan-nekan otot dada suaminya
sesekali. "Tapi kok kayak fasih banget sih,
semalam?"
13
"Yakin yang semalam itu beneran pertama
kali?" Mahika menyipit curiga. Pertanyaan
yang mengendap di kepalanya sejak
semalam akhirnya ia keluarkan juga.
"Beneran nggak pernah sebelumnya?"
Selidiknya, membuat tawa Djati lantas
terhenti.
"Masak iya?"
**
15
Luisa berkacak pinggang, mengamati wajah
Djiwa yang sudah sedemikian muram sejak
beberapa hari terakhir ini. Meletakkan
beberapa contoh undangan ke meja.
19
"Ya wajar, dia kan udah nikah," jawab Luisa
santai. "Dia udah punya istri. Kembaranmu
tuh sekarang udah jadi suami orang, jangan
kamu anggap dia sama kayak dulu. Jelas
beda, Djiw."
20
"Aku nggak ganggu. Aku cuma nanya dia
nyaman disana apa enggak."
22
“Masalah apa siiiih,"
**
24
Tapi sekarang ...
25
"Sayaang," gumamnya. Berguling-guling
sampai di tepi kasur. Dengan posisi
tengkurap ia mendongak.
Djati mengangguk.
"Ke galeri."
27
"Loh, kenapa?"
32
"Sebentar doang."
"Nggak."
34
"Sayang," gumam Djati sok serius. "Apabila
seorang istri menolak suami--"
**
42
"Ya." Mahendra manggut-manggut. "Tapi
setelah mendengar pendapat Mas Djati
barusan, saya jadi sedikit tenang," akunya,
tak sungkan memamerkan senyum lega.
Pemimpin muda Mangkunegaran itu tak
begitu mahir menyembunyikan rasa tak
suka, sepertinya. Buktinya, Djati bisa
melihat dengan jelas sorot tak ikhlas ketika
beliau menyebut satu nama diantara
perkataannya. "Saya sedikit terganggu
ketika mendengar nama Pak Fahrezi
Sukmoyo," katanya. "Ada sedikit
pengalaman tidak mengenakkan tentang
beliau di ingatan saya. Terjadi saat jaman
Romo saya dulu."
43
"Lebih dari itu. Beliau juga yang
mempermudah akses penjualan barang-
barang antik dari keraton beberapa tahun
silam ke mancanegara. Masih satu kubu
dengan keluarga Notoseno. Atau bisa di
bilang mereka ini ..." Ia bergumam sejenak
untuk mencari kosa kata yang menurutnya
paling tepat. "Komplotan?"
44
"Sedikit poin minus untuk modal
pertimbangan, kalau benar Pak Saleh
berniat mengusung beliau." Mahendra
mengendik santai. "Saya tahu tidak ada
orang yang benar-benar bersih dalam
politik. Tapi setidaknya, kita bisa memilih
yang sedikit lebih baik, bukan?"
45
"Kalau begitu, anggap saja saya sedang
curhat," kekeh Mahendra santai.
Mengambil botol mineral miliknya untuk di
teguk. "Nanti saya beri diskon untuk sewa
gedungnya, bentuk terimakasih karena
Mas Sedjati sudah mendengarkan cerita
saya tadi."
"Buru-buru, Mahika?"
48
Mahi menoleh lagi pada Mahendra,
mengerjap kaget kemudian mengangguk
rikuh. "Nggih, Kanjeng Gusti. Mohon maaf,
tapi Mas Djati-nya sudah di tungguin di
rumah sama orang," tuturnya sopan. Ia
mundur selangkah hingga punggungnya
membentur dada Djati. Meneruskan.
"Mmm ..." gumamnya ragu-ragu. "Kanjeng
Gusti ... bagaimana kabarnya?"
49
Bagaimanapun juga kita ini masih saudara,
bukan?"
50
Djati ketawa sambil mengiyakan sebisanya.
Merangkul pinggang sang istri untuk
berjalan bersama menuruni tangga.
**
Salam, Cal
51