Anda di halaman 1dari 5

TUGAS TEORI ORGANISASI DAN APLIKASI

OLEH :
NAMA : DIAH ELING AYU WIMANIKA
NPM : 2322123018
PRODI/ SEMESTER : MAP/ 1

UNIVERSITAS WARMADEWA
2023
REVIEW JURNAL
Jurnal I

Judul : Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari Sejumlah Daerah
di Indonesia.
Penulis : Eko Prasojo & Teguh Kurniawan
Tahun : 2008
Tujuan :
Untuk dapat memberikan gambaran dan perspektif mengenai reformasi birokrasi dan good
governance serta keberhasilan penerapan reformasi birokrasi dalam rangka mencapai good
governance yang ada di sejumlah daerah di Indonesia.
Hasil dan Pembahasan :
Reformasi Birokrasi, reformasi administrasi negara merupakan langkah awal dan prioritas
dalam pembangunan yang umumnya dilakukan dengan dua strategi yaitu : 1. merevitalisasi
kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi
administrasi, dam 2. menata kembali sistem administrasi negara baik dalam hal struktur,
proses, sumber daya manusia (Pegawai Negeri) serta relasi antara negara dan masyarakat.
Reformasi birokrasi bukanlah sekadar perubahan struktur dan reposisi birokrasi. Lebih dari
itu reformasi birokrasi harus meliputi perubahan sistem politik dan hukum secara
menyeluruh, perubahan sikap mental dan budaya birokrat dan masyarakat, serta perubahan
mindset dan komitmen pemerintah serta partai politik. Harus terdapat kejelasan batas antara
pejabat karir dan pejabat politik baik birokrasi pusat maupun daerah. Hal terpenting dalam
reformasi birokrasi adalah komitmen dan national leadership. Tanpa komitmen baik dari
eksekutif, legislatif dan yudikatif, reformasi birokrasi hanyalah blueprint yang berada
dalam ruang vakuum.
Good Governance, konsep governance menurut Stoker (1998) merujuk kepada
pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara dan diantara sektor publik
dan sektor privat menjadi kabur (Ewalt, 2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan
kebutuhan dari negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan
akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat
sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik
(Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring
antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi keberlanjutan
sebuah legitimasi kebijakan (Stoker, 2004). Istilah governance juga meliputi proses dinamis
manajemen pemerintahan, hubungan antar institusi dan organisasi di dalam pemerintah,
serta hubungan antara pemerintah dengan sektor publik, masyarakat sipil dan inisiatif
swasta. good governance meliputi pemerintah (atau negara) yang berdasarkan kepada
hukum (rules), transparansi, akuntabilitas, reliabilitas informasi, serta efisiensi dalam
manajemen pemerintahan.
Selain itu menjelaskan mengenai Hubungan material reformasi birokrasi dan good
governance dimana upaya pencipataan good Governance sangatlah dipengaruhi oleh
adanya komitmen dan national leadership. Komitmen dan national leadership ini
merupakan faktor kunci keberhasilan good governance. Sebagai contoh di Jerman pada
tahun 1867 (Prasojo, 2003a). Adalah Otto von Bismarck yang memiliki peran sangat besar
dalam proses pembaharuan birokrasi Jerman yang masih dirasakan sampai saat ini.
Komitmen dan national leadership Bismarck ini bahkan melahirkan pemikir-pemikir
Birokrasi dunia. Sebut saja misalnya Max Weber, Otto von Meyer, dan Freiherr-vom-Stein.
Penciptaan good governance dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, responsivitas
dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara (Prasojo, 2003a). Dan
inti dari upaya penciptaan good governance terletak pada reformasi birokrasi.
Otonomi Daerah sebagai pendorong good governance dimana Desentralisasi yang
merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan bergulir dalam proses
demokratisasi. Administrasi publik berperan penting untuk ikut menentukan konstruksi
hubungan pusat dan daerah di Indonesia, juga ikut membangun kapasitas pemerintahan
daerah. Desentralisasi politik sebagai instrumen efisiensi dan efektivitas dalam
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, secara prinsipial desentralisasi politik
dipahami sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Sejalan dengan
perkembangan pemahaman demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
konsepsi awal good governance yang notebene berkiblat kepada sistem anglosaxon (rule of
law) tidak lagi memenuhi tuntutan tersebut. Atas dasar itulah, negara-negara Eropa
Kontinental mengembangkan perspektif baru good governance yang lebih menekankan
pada aspek demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Prasojo, 2003a).
Sebagai contoh kasus di Kabupaten Jembara dan di Kabupaten Sragen. Di Kabupaten
Jembarana terdapat sejumlah inovasi yang layak dan patut dicontoh oleh Daerah lainnya
yakni bidang pendidikan; perekonomian, tenaga kerja dan kependudukan; pertanian; serta
perizinan dan struktur pemerintahan. Contohnya adalah penerapan pola block grant dan
regrouping dalam pembangunan/ perbaikan gedung sekolah dan juga dalam bidang
perizinan dan struktur pemerintahan terdapat enam program salah satunya absensi pegawai
Pemerintah Kabupaten dengan menggunakan handkey dan pembentukan tim owner
estimate (OE) oleh Bupati dalam pengadaan barang dan jasa, dengan adanya tim OE ini
dapat dilakukan efisiensi penggunaan dana dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang
dan jasa tanpa mengurangi spesifikasi dan volume dari proyek pengadaan barang dan jasa
tersebut. Seperti halnya di Kabupaten Jembrana, di Kabupaten Sragen terdapat sejumlah
program inovasi yang layak dan patut dicontoh oleh Daerah lainnya di Indonesia. Sejumlah
program tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar program yakni program reformasi
birokrasi sebagai wujud pembenahan aspek-aspek internal kelembagaan pemerintahan
daerah, program re-engineering pelayanan publik dengan penataan pelayanan prima dalam
fasilitasi dan pemberian dukungan terhadap upaya masyarakat membangun diri sendiri,
serta program pemberdayaan masyarakat & PNS dengan paket-paket program yang
mendorong masyarakat dan PNS menjadi maju dengan kapasitas yang mereka miliki.
Dalam bidang reformasi birokrasi, program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten
Sragen terbagi dalam berbagai aspek yakni aspek struktur pemerintahan, aspek budaya
SDM pemerintahan, aspek e-government serta aspek pengelolaan anggaran daerah.

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan reformasi birokrasi antara lain :
1. Political will dan komitmen dari Kepala Daerah sebagai pimpinan tertinggi birokrasi di
daerah untuk melaksanakan program. Dimulai dengan membangun kesamaan visi, misi
dan tujuan dengan aparat birokrasi, kepercayaan dan keterlibatan birokrasi dalam
pelaksanaan program sangat menentukan.
2. Kemampuan Kepala Daerah beserta aparat untuk melibatkan organisasi lokal seperti
lembaga dan tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pihak-pihak
terkait lainnya dalam penyusunan prioritas juga dalam pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi program.
3. Adanya program efisiensi pembangunan di semua sektor serta upaya mengubah
paradigma dan budaya birokrasi. Pelaksanaan program pada awalnya akan merupakan
cost center karena membutuhkan anggaran yang relatif besar. Untuk itu, diperlukan
efisiensi terhadap semua sektor guna memenuhi kebutuhan pembiayaan ini. Disamping
komitmen terhadap efisiensi, perlu dibuat grand strategy seperti mekanisme kontrol
harga dalam pembelanjaan barang dan pembelanjaan yang seminimal mungkin (prinsip
kewirausahaan dalam pemerintahan).
4. Pemilihan prioritas program. Keberhasilan dari program juga ditentukan oleh
keberpihakan program-program tersebut terhadap kebutuhan masyarakat. Karenanya,
dalam pengembangan suatu program perlu diperhatikan sejauhmana program tersebut
sangat dekat dan dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan
keterkaitan dan sinergitas antara satu program dengan program lainnya.

Kesimpulan :
Dari penjelasan diatas, faktor kepemimpinan sangat mempengaruhi, Karenanya yang perlu
dilakukan untuk dapat mendorong reformasi birokrasi dan good governance di daerah
lainnya adalah bagaimana kita dapat turut memastikan terpilihnya figur-figur yang memiliki
komitmen dan kepemimpinan terhadap reformasi birokrasi untuk dapat menjadi Kepala
Daerah. Selain itu, partisipasi secara aktif dari masyarakat serta keberadaan aturan
perundang-undangan yang memadai terkait reformasi birokrasi dan good governance yang
akan menjadi payung dalam proses pelaksanaan reformasi birokrasi dan good governance
tersebut.
Jurnal II

Judul : New Normal Dalam Prespektif Birokrasi Pelayanan Publik


Penulis : Dr. I Ngurah Suryawan
Tujuan :
Untuk melakukan pencegahan, mempersiapkan kebijakan menghadapi New Normal dan
memanfaatkan momentum transformasi.
Pembahasan :
Dalam hal ini Dr. I Ngurah Suryawan menjelaskan mengenai New Normal dalam
Perspektif Birokrasi Pelayanan Publik, dimana pelayanan publik dalam birokrasi publik
adalah bagian dari dimensi transformasi Administrasi Publik. Bentuk pelayanan publik
dalam era normal baru yaitu home schooling, homespital (homecare), online services,
automatic services, web/ android – based service complaint and complaint handing, On
data system dan data interoperability. Adapun persiapan menghadapi normal baru di
lingkungan birokrasi yaitu 1. norma baru dimana diperlukan koordinasi, komunikasi
dengan cepat dan kebijakan baru yang tegas. 2. ruang kerja baru yang fleksibel dan
berjenjang, penyiapan infrastruktur dan pembelajaran superaplikasi (Superapp) yang
memungkinkan kantor virtual dan digital, meningkatkan kapabilitas ASN dengan
berbagai kemajuan IT dan mampu berkomunikasi termasuk big data dan AI, penataan
bisnis proses dan alur kerja birokrasi, membutuhkan ASN yang berkualitas dan
berkompetensi mengelola ruang kerja baru. 3. Indikator kinerja yang jelas yaitu meliputi
transparan pelayanan yang bersifat terbuka, akuntabilitas pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan, kondisi pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan,
partisipatif pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat, kesamaan hak
pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dan keseimbangan hak dan kewajiban
pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan. 4. Kontrol. Beliau juga menjelaskan
pemerintahan era digital dimana pradigma yang sebelumnya NPM bertransformasi
menjadi pradigma DEG (Digital Era Governance)/ pradigma PED (Pemerintah Era
Digital).
Jurnal III

Judul : Reformasi Birokrasi di Indonesia : Tinjauan Dari Perspektif Administrasi Publik


Penulis : Mohammad Thahir Haning
Tahun halaman : Volume 4 No. 1, Juni 2018
Tujuan :
Untuk melihat sejauh mana reformasi birokrasi di Indonesia dapat meningkatkan pelayanan
publik menurut perspektif administrasi publik.
Metode Penelitian :
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode penelitian pustaka
(literature review) dari berbagai sumber yang terkait dengan reformasi birokrasi. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Hasil dan Pembahasan :
Di Indonesia, sebelum adanya proses reformasi terdapat beberapa masalah yang berkaitan
dengan kinerja birokrasi, seperti terdapat kelambanan dalam pelayanan publik, adanya masalah
suap dalam pelayanan izin, proses administrasi yang berbelit-belit, struktur organisasi yang
gemuk yang cenderung tidak efisien, bahkan boros dalam pengelolaan anggaran. Semua
permasalahan itu disebut sebagai patologi (penyakit) birokrasi. Istilah patologi birokrasi
pertama diperkenalkan oleh Caiden dengan istilah bureaupathologies. Patologi birokrasi di
Indonesia, nampaknya sudah termasuk dalam kategori sangat parah, karena telah menjankiti
semua level dalam organisasi pemerintahan (eksekutif, legislative dan yudikatif), baik di
tingkat pusat, mapun di tingkat daerah, implikasinya adalah kinerja birokrasi dalam pelayanan
publik belum memberikan kepuasan (satisfaction) masyarakat. Hasil survey Lembaga
Transfaransi Internasional tahun 2017 menempatkan Indonesia pada urutan ke 129 dari 188
negara yang disurvei. pendekatan reformasi birokrasi yang perlu dilakukan untuk memperbaiki
perilaku dan kinerja pelayanan birokrat di Indonesia adalah pendekatan yang bersifat holistik
(holistic approach), yaitu reformasi yang mencakup semua unsur birokrasi yaitu, unsur
pengetahuan, keterampilan, mindset SDM aparatur, struktur birokrasi, budaya birokrasi, sarana
dan prasarana birokrasi. Hal ini sejalan dengan roadmap reformasi birokrasi yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi Nomor 11
tahun 2015. Dalam Permenpan dan RB tersebut ditetapkan 3 sasaran reformasi, yaitu: (1)
birokrasi yang bersih dan akuntabel, (2) birokrasi yang efektif dan efisien, dan (3) birokrasi
yang memiliki pelayanan publik berkualitas. Untuk mencapai 3 (tiga) sasaran Road Map
Reformasi Birokrasi Indonesia itu, dapat terwujud dengan perbaikan 8 (delapan) area reformasi
birokrasi yaitu, Mental Aparatur, Pengawasan, Akuntabilitas, Kelembagaan, Tatalaksana, SDM
Aparatur, Perundang – Undangan dan Pelayanan Publik.
Implementasi dari Permenpan dan RB No. 11 tahun 2015 sebagai penjabaran dari Road Map
Reformasi Birokrasi di Indonesia yang berkaitan dengan pelayanan publik yang umumnya
belum memberikan dampak positif signifikan terhadap perbaikan prilaku birokrat dan kualitas
pelayanan publik. Dari segi perilaku birokrat terdapat kecenderungan makin meningkat
perilaku yang menyimpang antara lain terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power),
seperti kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam pelayanan perizinan. Dalam pelayanan
publik meskipun sudah menerapkan teknologi (IT) tetapi masih terdapat keluhan seperti
pelayanan yang lambat, berbelit – belit, mahal dan tidak ada kepastian waktu penyelesaian,
tidak ramah.
Reformasi birokrasi di Indonesia ada 2 (dua) aspek yang sangat mendesak dan perlu dilakukan
reform yaitu:
1. Redesain (menata-ulang) struktur birokrasi yang terlalu besar (pusat dan daerah) yang
menyebabkan anggaran birokrasi yang terlalu besar dan kinerja yang lambat.
2. Perubahan mindset para birokrat yang lebih mengedepankan kepentingan publik dari pada
kepentingan pribadi (pragmatis) dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kesimpulan :
Reformasi birokrasi yang dilakukan diberbagai Negara pada umumnya dilakukan karena
berbagai permasalahan yang bersifat kompleks dalam birokrasi, yang menyebabkan disfungsi
birokrasi dalam penyelenggaraan tugas. Gagasan munculnya reformasi birokrasi secara garis
besar bersumber dari 2 kelompok. Kelompok pertama dari dalam birokrasi itu sendiri yang
ingin menciptakan suatu perubahan kearah yang lebih baik. Kelompok kedua, dari unsur
masyarakat di luar birokrasi yang mengharapkan terciptanya suatu birokrasi yang bersih,
transfaran dan akuntabel dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Di Indonesia reformasi dilakukan sejak tahun 1998 denagn berbagai peraturan perundang –
undangan untuk memperbaiki birokrasi dalam pelayanan publik. Operasionalisasi perundang –
undangan tersebut dengan Permenpan & RB No. 11 tahun 2015 yang dikenal dengan istilah
road map reformasi birokrasi tahun 2015-2019. Namun impelemntasi berbagai peraturan
tersebut hingga saat ini belum berhasil memperbaiki kinerja dan kualitas pelayanan public,
masih banyak praktek KKN dalam pemberian pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai