Latar Belakang
Pada tanggal 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato di depan
sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang kemudian menjadi garis kebijakan
dalam reformasi birokrasi selama periode kedua jabatannya. Dalam pidato tersebut, Presiden
menekankan pentingnya penyederhanaan birokrasi melalui pemangkasan struktur dan
pengalihan lebih banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) ke jabatan fungsional yang didasarkan
pada kompetensi. Meskipun prioritas kebijakan reformasi birokrasi sudah dapat diperkirakan
sebelumnya, namun metode pemangkasan struktur birokrasi dan pengalihan jabatan, terutama
dalam waktu implementasi yang cepat, menjadi tantangan besar mengingat kompleksitas
problematika birokrasi itu sendiri.
Kebijakan Presiden Joko Widodo tersebut sejalan dengan agenda reformasi yang salah
satunya menekankan reformasi birokrasi, sehingga patut mendapat apresiasi. Kebijakan ini
secara umum menjawab kekhawatiran masyarakat terkait kinerja birokrasi yang dianggap
stagnan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Kondisi ini
terjadi meskipun reformasi sudah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun.1
Dalam catatan terbaru, penilaian publik yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2019 belum
menunjukkan hasil yang memuaskan. Indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik
dari 51 kementerian dan lembaga secara umum hanya mencapai nilai 3,85, yang termasuk
dalam kategori baik. Kategori yang lebih tinggi, yaitu nilai A, merupakan representasi dari
pelayanan prima, sedangkan nilai A- menunjukkan penilaian sangat baik. Secara keseluruhan,
terdapat dua kementerian/lembaga yang mendapat nilai A, 21 lembaga yang mendapat nilai
A-, dan 28 lembaga lainnya mendapat nilai di bawah itu.
Dari indeks ini, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pemerintah terhadap kinerja
pelayanan birokrasi masih perlu ditingkatkan. Terdapat enam aspek yang dinilai dalam
pengukuran ini, yaitu kebijakan pelayanan, profesionalisme sumber daya manusia, sarana
prasarana, sistem informasi pelayanan publik, konsultasi dan pengaduan, serta inovasi.2
Birokrasi dianggap lambat dalam melakukan perubahan baik secara internal maupun
eksternal. Untuk itu, Presiden Joko Widodo sedang berusaha melakukan perubahan pada
1
Ali Abdul Wakhid, “Eksistensi Konsep Birokrasi Max Weber Dalam Reformasi Birokrasi Di Indonesia,” Jurnal
TAPIs 7, no. 2 (2011): 125–46.
2
Humas Menpan RB, “Kementerian Pan RB Sampaikan Hasil Evaluasi Pelayanan Publik 51
Kementerian/Lembaga,” n.d
struktur dan budaya organisasi birokrasi. Dalam pandangan Thomas Dye, 3 langkah ini
merupakan salah satu cara untuk memenuhi keinginan publik dan mengurangi
ketidaknyamanan yang dirasakan oleh masyarakat. Perubahan ini juga perlu dilakukan
mengingat kecepatan perubahan dalam masyarakat yang didorong oleh kemajuan teknologi
informasi.
Harapannya, birokrasi di Indonesia dapat tumbuh secara efektif, dinamis, lincah,
efisien, dan profesional di masa depan. Namun, hal ini hanya dapat tercapai jika birokrasi
memiliki sistem yang singkat, tidak berbelit-belit, dan tidak panjang. Dengan dorongan
politik dari pejabat pembina kepegawaian tertinggi, dalam hal ini Presiden, kebijakan
pemangkasan birokrasi ini merupakan tugas besar dalam reformasi birokrasi. Oleh karena itu,
kebijakan ini memerlukan perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang rinci. Setiap upaya
transisional yang tidak didukung oleh analisis yang detail dapat menjadi kontraproduktif
terhadap tujuan yang ingin dicapai. Adanya ghirah politik dari Presiden dalam mencapai cita-
citanya ini juga bisa menghadapi kendala atau bahkan mengalami kegagalan di lapangan.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis secara rinci formulasi kebijakan ini beserta
implementasinya.
Dalam implementasinya, beberapa faktor perlu dipertimbangkan secara detail.
Pertama, perubahan struktural dalam birokrasi harus didukung oleh pengkajian yang
komprehensif terhadap struktur yang ada, mengidentifikasi kelemahan dan kebutuhan yang
perlu diperbaiki. Selain itu, perubahan perangkat lunak organisasi, seperti budaya kerja dan
nilai-nilai yang ada, juga perlu diperhatikan dengan serius. Transisi ini tidak hanya
melibatkan perubahan pada perangkat keras dan perangkat lunak organisasi, tetapi juga
melibatkan perubahan pada aspek manusia, yaitu pegawai atau anggota birokrasi itu sendiri.
Kesiapan pegawai dalam menghadapi perubahan, dukungan dari pihak manajemen dalam
memberikan pelatihan dan pengembangan kompetensi, serta komunikasi yang efektif antara
pimpinan dan bawahan menjadi faktor kunci dalam keberhasilan implementasi perubahan
birokrasi. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan aspek teknis, seperti sistem informasi dan
infrastruktur yang mendukung pelayanan publik yang lebih efisien.
Selama proses implementasi, evaluasi yang terus menerus harus dilakukan untuk
memastikan keberhasilan perubahan dan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Dalam hal
ini, pemantauan dan pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk meminimalkan potensi
penyimpangan dan memastikan transparansi serta akuntabilitas dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
3
Eko Handoyo, Kebijakan Publik (Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNNES dan Widyakarya, 2012).
Formulasi kebijakan pemangkasan struktur birokrasi merupakan langkah strategis
yang diambil oleh Presiden Joko Widodo untuk merespons kebutuhan reformasi birokrasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk
menyederhanakan birokrasi dengan memotong struktur yang rumit dan mengalihkan lebih
banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) ke jabatan fungsional yang lebih mengedepankan
kompetensi. Pemangkasan struktur birokrasi ini diharapkan dapat mengatasi kelemahan
dalam pelayanan publik, meningkatkan efisiensi, dan mendorong tumbuhnya birokrasi yang
dinamis, efektif, dan profesional. Dalam mengimplementasikan kebijakan ini, perlu
dilakukan perencanaan yang rinci dan analisis yang mendalam terhadap struktur birokrasi
yang ada, termasuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki.
Dampak yang mungkin terjadi akibat kebijakan pemangkasan struktur birokrasi ini
meliputi perubahan dalam tata kelola birokrasi, pergeseran peran dan tanggung jawab
pegawai, serta peningkatan efisiensi dan responsivitas pelayanan publik. Namun,
implementasi kebijakan ini juga menghadapi tantangan dan kompleksitas, seperti perubahan
budaya organisasi, penyesuaian SDM, dan optimalisasi sarana dan prasarana. Dalam
mewujudkan tujuan reformasi birokrasi, penting untuk melibatkan berbagai aspek yang
mencakup aspek kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, budaya, lingkungan, dan
kepemimpinan. Semua aspek ini saling terkait dan berkontribusi dalam mencapai
demokratisasi dan good governance yang diharapkan.
Ada beberapa artikel juga yang membahas mengenai reformasi birokrasi di Indonesia
dan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya mencapai good governance.
Artikel pertama yang ditulis oleh Mohammad Thahir Haning 4 berjudul "Reformasi
birokrasi di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Administrasi Publik" membahas bahwa
reformasi birokrasi yang dilakukan di berbagai negara umumnya terkait dengan
keorganisasian dan sumber daya manusia aparatur. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
melakukan reformasi birokrasi, penting untuk memperhatikan struktur organisasi birokrasi
dan meningkatkan kualitas SDM yang bekerja di dalamnya. Reformasi birokrasi bertujuan
untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas kinerja birokrasi sehingga dapat
memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat.
Artikel kedua yang ditulis oleh Lili Romli5 dengan judul "Masalah Reformasi
Birokrasi" mengemukakan bahwa untuk mencapai good governance, diperlukan reformasi
4
M. Thahir Haning, “Reformasi Birokrasi Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Administrasi Publik,” Jurnal
Analisis Kebijakan Dan Pelayanan Publik 4, no. 1 (2018): 25–37.
5
Lili Romli, “Masalah Reformasi Birokrasi,” Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS 2, no. 2 (2008): 1–8
kelembagaan (institusional reform) dan reformasi manajemen publik (public management
reform). Reformasi kelembagaan melibatkan perubahan dalam struktur dan tata kelola
institusi pemerintahan, sedangkan reformasi manajemen publik berkaitan dengan peningkatan
kualitas manajemen dan pengelolaan sumber daya publik. Kedua aspek ini saling terkait dan
harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kinerja birokrasi dan mewujudkan good
governance.
Artikel ketiga yang ditulis oleh Retno Sunu Astuti6 berjudul "Reformasi Birokrasi
Indonesia Harapan dan Kenyataan" menyatakan bahwa upaya perubahan dan perbaikan
aspek-aspek birokrasi yang perlu direformasi meliputi aspek kelembagaan, SDM aparatur,
ketatalaksanaan, budaya, lingkungan, dan kepemimpinan. Artikel ini menggarisbawahi
pentingnya melakukan reformasi holistik yang melibatkan berbagai aspek birokrasi, bukan
hanya fokus pada satu atau dua aspek saja. Reformasi birokrasi harus melibatkan perubahan
kelembagaan yang mencakup perubahan struktural dan tata kelola, peningkatan kualitas SDM
aparatur, perbaikan ketatalaksanaan, perubahan budaya organisasi, pengelolaan lingkungan
yang baik, dan kepemimpinan yang berkualitas. Semua aspek ini saling terkait dan saling
mempengaruhi untuk mencapai tujuan reformasi birokrasi yang lebih baik.
Dengan demikian, dari artikel-artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa reformasi
birokrasi memerlukan perhatian terhadap berbagai aspek, seperti keorganisasian, sumber daya
manusia, kelembagaan, manajemen publik, ketatalaksanaan, budaya, lingkungan, dan
kepemimpinan. Melalui reformasi holistik yang melibatkan berbagai aspek tersebut,
diharapkan dapat terwujud good governance yang meliputi efektivitas,
Good and Clean Governance adalah isu yang penting untuk didiskusikan di tengah
munculnya berbagai masalah ekonomi, sosial, dan politik yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Banyak kasus pelanggaran hukum, norma, dan etika sosial yang muncul, namun
sejauh ini jarang mendapatkan solusi hukum yang memuaskan masyarakat. Kasus-kasus
seperti kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon, serta divestasi aset negara seperti
BCA dan Indosat, merupakan masalah kebijakan ekonomi namun memiliki dampak ekonomi,
sosial, dan politik yang besar. Kebijakan-kebijakan ini sangat tidak populer, terutama di
tengah kenaikan biaya hidup bagi masyarakat kelas bawah. Kebijakan pemerintah yang tidak
populer terkait masalah ekonomi dan bisnis telah menjadi isu politik dan sosial yang
menimpa pemerintah. Berbagai protes dan demonstrasi telah dilakukan untuk menentang
kebijakan yang tidak populer tersebut, yang menyebabkan penurunan popularitas dan citra
6
Reno Sunu Astuti, “Reformasi Bisrokrasi Indonesia Harapan Dan Kenyataan,” Sinar Harapan, 2004
pemerintah. Harapan reformasi yang diusung oleh tokoh-tokoh reformasi tampaknya semakin
memperburuk tata kelola pemerintahan, ekonomi, politik, dan sosial.
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang menjadi tujuan Gerakan
Reformasi dengan pola pemerintahan yang bersih, belum terlaksana secara efektif sesuai
harapan masyarakat. Oleh karena itu, kondisi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1998
belum mengalami perbaikan, sementara negara-negara tetangga yang juga terkena krisis
ekonomi, seperti Thailand dan Malaysia, berhasil mengatasinya dengan cepat.
Kunci dari berbagai masalah di atas terletak pada kurangnya penerapan konsep Good
and Clean Governance dalam tata kelola pemerintahan. Konsep ini layak untuk
dipertimbangkan karena salah satu penyebab krisis moneter dan ekonomi di beberapa negara
Asia pada tahun 1997/1998 adalah kualitas pemerintahan yang buruk. Hal ini berdampak
pada memburuknya kondisi perekonomian di negara-negara tersebut, terutama Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini dengan efektif, Good and Clean Governance perlu
diterapkan secara menyeluruh dalam semua aspek pemerintahan. Konsep ini mencakup
prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, integritas, dan supremasi hukum.
Transparansi memastikan bahwa tindakan, keputusan, dan kebijakan pemerintah terbuka dan
dapat diakses oleh publik, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan. Akuntabilitas memastikan bahwa pejabat pemerintah bertanggung jawab atas
tindakan dan keputusan mereka, sehingga mereka dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik. Integritas membutuhkan pejabat pemerintah untuk menjunjung tinggi standar etika
dan menghindari konflik kepentingan. Supremasi hukum memastikan bahwa pemerintah
beroperasi dalam kerangka hukum dan peraturan, memperlakukan semua warga negara
dengan adil dan sama.
Rumusan Masalah
Bagaimana Pelaksanaan Good Governance Dan Clean Goverment Di Indonesia?
PEMBAHASAN
7
Komaruddin Hidayat, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, Cet III, (Jakarta: ICCE, 2007), hal.216.
8
A. Ubaedillah, Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Kencana, 2015), hal: 209
pengambilan keputusan dan implementasi keputusan tersebut. Good Governance dapat
diartikan sebagai tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Istilah
"governance" dapat digunakan dalam berbagai konteks, termasuk Corporate Governance,
Government Governance, international governance, national governance, dan local
governance.9
Good governance menciptakan kondisi di mana terdapat kesejajaran, kesamaan, dan
keseimbangan peran serta saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen-komponen
seperti pemerintahan (government), rakyat (citizen), dan usahawan (business). Ketiga
komponen ini memiliki hubungan yang setara dan saling berimbang. Jika keseimbangan ini
tidak terjadi, maka konsep Good Governance akan mengalami distorsi.10 Dalam praktiknya,
Good Governance mencakup beberapa prinsip kunci.
Pertama, partisipasi publik yang melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan dan
proses pembuatan kebijakan. Hal ini mencakup pemberian akses informasi yang memadai
kepada masyarakat, serta pemberian kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam
diskusi, konsultasi, dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Kedua, Good Governance mencakup aspek transparansi, yaitu pemerintah harus
terbuka dan jujur dalam segala kegiatan dan keputusan yang mereka ambil. Ini berarti
informasi publik harus tersedia secara luas dan mudah diakses oleh masyarakat.
Selanjutnya, akuntabilitas merupakan prinsip penting dalam Good Governance.
Pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka. Mereka harus
mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan penggunaan sumber daya publik, serta
menerima umpan balik dari masyarakat terkait kinerja mereka.
Prinsip keadilan juga penting dalam Good Governance. Pemerintah harus mengambil
langkah-langkah untuk memastikan kesetaraan dalam perlakuan dan perlindungan hak asasi
manusia bagi semua warga negara. Ini melibatkan pencegahan diskriminasi dan penegakan
hukum yang adil. Good Governance juga mencakup efisiensi dan efektivitas dalam
pengelolaan sumber daya publik.11 Pemerintah harus menjalankan tugas-tugasnya dengan
cara yang efisien, menghindari pemborosan, dan mencapai hasil yang diinginkan.
9
Dwi Martini, Good Governance Dalam Pelayanan Publik, dalam buku yang berjudul Konsep, Strategi dan
Implementasi Good Governance Dalam Pemerintahan, (Jakarta: Irjen Depag RI, 2007), h.4-5.
10
Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayan Publik,
(Bandung: Nuansa , 2009) hal:82
11
Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayan Publik,
(Bandung: Nuansa , 2009) hal:82
Secara umum, good governance adalah interaksi yang seimbang antara lembaga
pemerintahan, masyarakat, dan sektor swasta. Dalam good governance, lembaga
pemerintahan menerapkan kebijakan yang seimbang untuk memajukan masyarakat dan
sektor swasta. Selain itu, good governance juga mencakup administrasi yang sehat, politik
yang demokratis, serta nilai-nilai non-ekonomis seperti kesetaraan, keseimbangan gender,
penghormatan terhadap hukum, toleransi sosial, kultural, dan individual.
Menurut United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
(UN-ESCAP), good governance merupakan proses pengambilan keputusan dan implementasi
keputusan tersebut. Dalam hal ini, good governance mencakup aktivitas organisasi negara
yang berdampak pada perumusan kebijakan yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat.12
Dalam konteks good governance, penyelenggaraan pemerintahan berkaitan erat
dengan prinsip-prinsip seperti transparansi dan akuntabilitas publik. Good governance dapat
dipahami sebagai suatu proses yang memungkinkan partisipasi rakyat dalam mengatur
ekonomi mereka. Institusi, sumber daya sosial, dan politik tidak hanya digunakan untuk
pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integrasi dan kesejahteraan bagi rakyat.
Secara konseptual, good governance juga mencerminkan penyelenggaraan
manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip demokrasi dan
pasar yang efisien diintegrasikan dalam good governance. Selain itu, good governance
mengharuskan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).13
Pengertian good governance dapat bervariasi antara para pakar. Beberapa
mengartikannya sebagai kinerja lembaga tertentu, seperti kinerja pemerintah, perusahaan,
atau organisasi masyarakat yang memenuhi persyaratan tertentu. Sementara itu, yang lain
mengartikannya sebagai konkritisasi demokrasi dengan penekanan pada keberadaan civic
culture sebagai landasan yang mendukung keberlanjutan demokrasi itu sendiri.14
Dalam konteks good governance, transparansi menjadi prinsip kunci. Transparansi
melibatkan keterbukaan dan aksesibilitas informasi kepada publik. Pemerintah harus secara
aktif menyediakan informasi yang relevan dan penting bagi masyarakat, sehingga mereka
dapat memahami dan mengawasi kebijakan serta tindakan pemerintah. Selain itu,
akuntabilitas publik juga merupakan elemen penting dalam good governance. Pemerintah
12
A. Ubaedillah, Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, hal. 209-210
13
Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayan Publik, hal. 81-
82
14
Dwi Martini, Good Governance Dalam Pelayanan Publik, dalam buku yang berjudul Konsep, Strategi dan
Implementasi Good Governance Dalam Pemerintahan, hal. 6.
harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil dalam melaksanakan
tugas-tugasnya. Ini termasuk pertanggungjawaban terhadap penggunaan sumber daya publik
dan kinerja pemerintah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Prinsip-prinsip good governance juga mencakup partisipasi publik. Masyarakat harus
terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam
good governance, partisipasi publik dihargai dan diberikan ruang untuk menyuarakan
pendapat, memberikan masukan, dan mengawasi tindakan pemerintah. Prinsip-prinsip
tersebut didasarkan pada tujuan menciptakan pemerintahan yang efektif, efisien, dan
bertanggung jawab. Good governance berupaya menghasilkan kebijakan yang
menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, mendorong pembangunan yang
berkelanjutan, dan melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi
kehidupan mereka.
Dalam praktiknya, implementasi good governance membutuhkan komitmen dan
kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Ini melibatkan pembangunan
kapasitas institusi, pengembangan hukum dan regulasi yang baik, peningkatan transparansi
dan akuntabilitas, serta pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam
proses pengambilan keputusan. Penting untuk diingat bahwa good governance bukanlah
tujuan akhir, tetapi merupakan suatu upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas
pemerintahan dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan
dan kesejahteraan masyarakat secara luas.