Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada tanggal 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato di depan
sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang kemudian menjadi garis kebijakan
dalam reformasi birokrasi selama periode kedua jabatannya. Dalam pidato tersebut, Presiden
menekankan pentingnya penyederhanaan birokrasi melalui pemangkasan struktur dan
pengalihan lebih banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) ke jabatan fungsional yang didasarkan
pada kompetensi. Meskipun prioritas kebijakan reformasi birokrasi sudah dapat diperkirakan
sebelumnya, namun metode pemangkasan struktur birokrasi dan pengalihan jabatan, terutama
dalam waktu implementasi yang cepat, menjadi tantangan besar mengingat kompleksitas
problematika birokrasi itu sendiri.
Kebijakan Presiden Joko Widodo tersebut sejalan dengan agenda reformasi yang salah
satunya menekankan reformasi birokrasi, sehingga patut mendapat apresiasi. Kebijakan ini
secara umum menjawab kekhawatiran masyarakat terkait kinerja birokrasi yang dianggap
stagnan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Kondisi ini
terjadi meskipun reformasi sudah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun.1
Dalam catatan terbaru, penilaian publik yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2019 belum
menunjukkan hasil yang memuaskan. Indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik
dari 51 kementerian dan lembaga secara umum hanya mencapai nilai 3,85, yang termasuk
dalam kategori baik. Kategori yang lebih tinggi, yaitu nilai A, merupakan representasi dari
pelayanan prima, sedangkan nilai A- menunjukkan penilaian sangat baik. Secara keseluruhan,
terdapat dua kementerian/lembaga yang mendapat nilai A, 21 lembaga yang mendapat nilai
A-, dan 28 lembaga lainnya mendapat nilai di bawah itu.
Dari indeks ini, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pemerintah terhadap kinerja
pelayanan birokrasi masih perlu ditingkatkan. Terdapat enam aspek yang dinilai dalam
pengukuran ini, yaitu kebijakan pelayanan, profesionalisme sumber daya manusia, sarana
prasarana, sistem informasi pelayanan publik, konsultasi dan pengaduan, serta inovasi.2
Birokrasi dianggap lambat dalam melakukan perubahan baik secara internal maupun
eksternal. Untuk itu, Presiden Joko Widodo sedang berusaha melakukan perubahan pada
1
Ali Abdul Wakhid, “Eksistensi Konsep Birokrasi Max Weber Dalam Reformasi Birokrasi Di Indonesia,” Jurnal
TAPIs 7, no. 2 (2011): 125–46.
2
Humas Menpan RB, “Kementerian Pan RB Sampaikan Hasil Evaluasi Pelayanan Publik 51
Kementerian/Lembaga,” n.d
struktur dan budaya organisasi birokrasi. Dalam pandangan Thomas Dye, 3 langkah ini
merupakan salah satu cara untuk memenuhi keinginan publik dan mengurangi
ketidaknyamanan yang dirasakan oleh masyarakat. Perubahan ini juga perlu dilakukan
mengingat kecepatan perubahan dalam masyarakat yang didorong oleh kemajuan teknologi
informasi.
Harapannya, birokrasi di Indonesia dapat tumbuh secara efektif, dinamis, lincah,
efisien, dan profesional di masa depan. Namun, hal ini hanya dapat tercapai jika birokrasi
memiliki sistem yang singkat, tidak berbelit-belit, dan tidak panjang. Dengan dorongan
politik dari pejabat pembina kepegawaian tertinggi, dalam hal ini Presiden, kebijakan
pemangkasan birokrasi ini merupakan tugas besar dalam reformasi birokrasi. Oleh karena itu,
kebijakan ini memerlukan perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang rinci. Setiap upaya
transisional yang tidak didukung oleh analisis yang detail dapat menjadi kontraproduktif
terhadap tujuan yang ingin dicapai. Adanya ghirah politik dari Presiden dalam mencapai cita-
citanya ini juga bisa menghadapi kendala atau bahkan mengalami kegagalan di lapangan.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis secara rinci formulasi kebijakan ini beserta
implementasinya.
Dalam implementasinya, beberapa faktor perlu dipertimbangkan secara detail.
Pertama, perubahan struktural dalam birokrasi harus didukung oleh pengkajian yang
komprehensif terhadap struktur yang ada, mengidentifikasi kelemahan dan kebutuhan yang
perlu diperbaiki. Selain itu, perubahan perangkat lunak organisasi, seperti budaya kerja dan
nilai-nilai yang ada, juga perlu diperhatikan dengan serius. Transisi ini tidak hanya
melibatkan perubahan pada perangkat keras dan perangkat lunak organisasi, tetapi juga
melibatkan perubahan pada aspek manusia, yaitu pegawai atau anggota birokrasi itu sendiri.
Kesiapan pegawai dalam menghadapi perubahan, dukungan dari pihak manajemen dalam
memberikan pelatihan dan pengembangan kompetensi, serta komunikasi yang efektif antara
pimpinan dan bawahan menjadi faktor kunci dalam keberhasilan implementasi perubahan
birokrasi. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan aspek teknis, seperti sistem informasi dan
infrastruktur yang mendukung pelayanan publik yang lebih efisien.
Selama proses implementasi, evaluasi yang terus menerus harus dilakukan untuk
memastikan keberhasilan perubahan dan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Dalam hal
ini, pemantauan dan pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk meminimalkan potensi
penyimpangan dan memastikan transparansi serta akuntabilitas dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
3
Eko Handoyo, Kebijakan Publik (Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNNES dan Widyakarya, 2012).
Formulasi kebijakan pemangkasan struktur birokrasi merupakan langkah strategis
yang diambil oleh Presiden Joko Widodo untuk merespons kebutuhan reformasi birokrasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk
menyederhanakan birokrasi dengan memotong struktur yang rumit dan mengalihkan lebih
banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) ke jabatan fungsional yang lebih mengedepankan
kompetensi. Pemangkasan struktur birokrasi ini diharapkan dapat mengatasi kelemahan
dalam pelayanan publik, meningkatkan efisiensi, dan mendorong tumbuhnya birokrasi yang
dinamis, efektif, dan profesional. Dalam mengimplementasikan kebijakan ini, perlu
dilakukan perencanaan yang rinci dan analisis yang mendalam terhadap struktur birokrasi
yang ada, termasuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki.
Dampak yang mungkin terjadi akibat kebijakan pemangkasan struktur birokrasi ini
meliputi perubahan dalam tata kelola birokrasi, pergeseran peran dan tanggung jawab
pegawai, serta peningkatan efisiensi dan responsivitas pelayanan publik. Namun,
implementasi kebijakan ini juga menghadapi tantangan dan kompleksitas, seperti perubahan
budaya organisasi, penyesuaian SDM, dan optimalisasi sarana dan prasarana. Dalam
mewujudkan tujuan reformasi birokrasi, penting untuk melibatkan berbagai aspek yang
mencakup aspek kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, budaya, lingkungan, dan
kepemimpinan. Semua aspek ini saling terkait dan berkontribusi dalam mencapai
demokratisasi dan good governance yang diharapkan.
Ada beberapa artikel juga yang membahas mengenai reformasi birokrasi di Indonesia
dan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya mencapai good governance.
Artikel pertama yang ditulis oleh Mohammad Thahir Haning 4 berjudul "Reformasi
birokrasi di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Administrasi Publik" membahas bahwa
reformasi birokrasi yang dilakukan di berbagai negara umumnya terkait dengan
keorganisasian dan sumber daya manusia aparatur. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
melakukan reformasi birokrasi, penting untuk memperhatikan struktur organisasi birokrasi
dan meningkatkan kualitas SDM yang bekerja di dalamnya. Reformasi birokrasi bertujuan
untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas kinerja birokrasi sehingga dapat
memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat.
Artikel kedua yang ditulis oleh Lili Romli5 dengan judul "Masalah Reformasi
Birokrasi" mengemukakan bahwa untuk mencapai good governance, diperlukan reformasi

4
M. Thahir Haning, “Reformasi Birokrasi Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Administrasi Publik,” Jurnal
Analisis Kebijakan Dan Pelayanan Publik 4, no. 1 (2018): 25–37.
5
Lili Romli, “Masalah Reformasi Birokrasi,” Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS 2, no. 2 (2008): 1–8
kelembagaan (institusional reform) dan reformasi manajemen publik (public management
reform). Reformasi kelembagaan melibatkan perubahan dalam struktur dan tata kelola
institusi pemerintahan, sedangkan reformasi manajemen publik berkaitan dengan peningkatan
kualitas manajemen dan pengelolaan sumber daya publik. Kedua aspek ini saling terkait dan
harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kinerja birokrasi dan mewujudkan good
governance.
Artikel ketiga yang ditulis oleh Retno Sunu Astuti6 berjudul "Reformasi Birokrasi
Indonesia Harapan dan Kenyataan" menyatakan bahwa upaya perubahan dan perbaikan
aspek-aspek birokrasi yang perlu direformasi meliputi aspek kelembagaan, SDM aparatur,
ketatalaksanaan, budaya, lingkungan, dan kepemimpinan. Artikel ini menggarisbawahi
pentingnya melakukan reformasi holistik yang melibatkan berbagai aspek birokrasi, bukan
hanya fokus pada satu atau dua aspek saja. Reformasi birokrasi harus melibatkan perubahan
kelembagaan yang mencakup perubahan struktural dan tata kelola, peningkatan kualitas SDM
aparatur, perbaikan ketatalaksanaan, perubahan budaya organisasi, pengelolaan lingkungan
yang baik, dan kepemimpinan yang berkualitas. Semua aspek ini saling terkait dan saling
mempengaruhi untuk mencapai tujuan reformasi birokrasi yang lebih baik.
Dengan demikian, dari artikel-artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa reformasi
birokrasi memerlukan perhatian terhadap berbagai aspek, seperti keorganisasian, sumber daya
manusia, kelembagaan, manajemen publik, ketatalaksanaan, budaya, lingkungan, dan
kepemimpinan. Melalui reformasi holistik yang melibatkan berbagai aspek tersebut,
diharapkan dapat terwujud good governance yang meliputi efektivitas,
Good and Clean Governance adalah isu yang penting untuk didiskusikan di tengah
munculnya berbagai masalah ekonomi, sosial, dan politik yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Banyak kasus pelanggaran hukum, norma, dan etika sosial yang muncul, namun
sejauh ini jarang mendapatkan solusi hukum yang memuaskan masyarakat. Kasus-kasus
seperti kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon, serta divestasi aset negara seperti
BCA dan Indosat, merupakan masalah kebijakan ekonomi namun memiliki dampak ekonomi,
sosial, dan politik yang besar. Kebijakan-kebijakan ini sangat tidak populer, terutama di
tengah kenaikan biaya hidup bagi masyarakat kelas bawah. Kebijakan pemerintah yang tidak
populer terkait masalah ekonomi dan bisnis telah menjadi isu politik dan sosial yang
menimpa pemerintah. Berbagai protes dan demonstrasi telah dilakukan untuk menentang
kebijakan yang tidak populer tersebut, yang menyebabkan penurunan popularitas dan citra

6
Reno Sunu Astuti, “Reformasi Bisrokrasi Indonesia Harapan Dan Kenyataan,” Sinar Harapan, 2004
pemerintah. Harapan reformasi yang diusung oleh tokoh-tokoh reformasi tampaknya semakin
memperburuk tata kelola pemerintahan, ekonomi, politik, dan sosial.
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang menjadi tujuan Gerakan
Reformasi dengan pola pemerintahan yang bersih, belum terlaksana secara efektif sesuai
harapan masyarakat. Oleh karena itu, kondisi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1998
belum mengalami perbaikan, sementara negara-negara tetangga yang juga terkena krisis
ekonomi, seperti Thailand dan Malaysia, berhasil mengatasinya dengan cepat.
Kunci dari berbagai masalah di atas terletak pada kurangnya penerapan konsep Good
and Clean Governance dalam tata kelola pemerintahan. Konsep ini layak untuk
dipertimbangkan karena salah satu penyebab krisis moneter dan ekonomi di beberapa negara
Asia pada tahun 1997/1998 adalah kualitas pemerintahan yang buruk. Hal ini berdampak
pada memburuknya kondisi perekonomian di negara-negara tersebut, terutama Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini dengan efektif, Good and Clean Governance perlu
diterapkan secara menyeluruh dalam semua aspek pemerintahan. Konsep ini mencakup
prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, integritas, dan supremasi hukum.
Transparansi memastikan bahwa tindakan, keputusan, dan kebijakan pemerintah terbuka dan
dapat diakses oleh publik, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan. Akuntabilitas memastikan bahwa pejabat pemerintah bertanggung jawab atas
tindakan dan keputusan mereka, sehingga mereka dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik. Integritas membutuhkan pejabat pemerintah untuk menjunjung tinggi standar etika
dan menghindari konflik kepentingan. Supremasi hukum memastikan bahwa pemerintah
beroperasi dalam kerangka hukum dan peraturan, memperlakukan semua warga negara
dengan adil dan sama.

Rumusan Masalah
Bagaimana Pelaksanaan Good Governance Dan Clean Goverment Di Indonesia?
PEMBAHASAN

Pengertian Good and Clean Government


Istilah Good and Clean Governance merupakan sebuah konsep yang muncul dalam
wacana ilmu politik pada awal tahun 1990-an. Istilah ini mengacu pada segala hal yang
terkait dengan tindakan atau perilaku yang mengarahkan, mengendalikan, atau
mempengaruhi urusan publik dengan sifat baik (good) dan bersih (clean). Dalam konteks ini,
Good Governance tidak hanya terbatas pada pengelolaan lembaga pemerintahan, tetapi juga
mencakup semua lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah (LSM).7
Istilah governance sendiri sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik
sejak masa Woodrow Wilson sekitar 125 tahun yang lalu. Namun, definisi baru tentang
governance muncul sekitar 15 tahun yang lalu, seiring dengan perkembangan gerakan
pembiayaan internasional untuk negara-negara berkembang yang menekankan pentingnya
"good governance" atau pemerintahan yang baik. Istilah ini mengacu pada tata kelola
pemerintahan yang amanah, tata pemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang
baik, dan bertanggung jawab.8 Good Governance memiliki beberapa elemen kunci yang harus
diperhatikan. Pertama, transparansi, yaitu pemerintah harus terbuka dalam semua kegiatan
dan keputusan yang mereka ambil. Hal ini memungkinkan publik untuk memahami dan
mengawasi tindakan pemerintah. Kedua, partisipasi publik, di mana pemerintah harus
melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka.
Partisipasi ini dapat dilakukan melalui mekanisme seperti konsultasi publik, diskusi, atau
melalui LSM dan kelompok masyarakat lainnya. Selanjutnya, akuntabilitas merupakan
prinsip penting dalam Good Governance. Pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan
dan keputusan mereka. Mereka harus mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan
setiap penggunaan sumber daya publik. Selain itu, pemerintah harus menjaga integritas, yaitu
menghindari konflik kepentingan, korupsi, dan tindakan yang tidak etis.
Dalam konteks kepengurusan, istilah "good" memiliki arti yang merujuk pada nilai-
nilai yang menghormati keinginan dan kehendak rakyat serta nilai-nilai yang meningkatkan
kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional, kemandirian, pembangunan
berkelanjutan, dan keadilan sosial. Ini mencakup aspek nilai-nilai yang dijunjung tinggi
dalam kepemerintahan yang baik. Di sisi lain, "government" merujuk pada proses

7
Komaruddin Hidayat, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, Cet III, (Jakarta: ICCE, 2007), hal.216.
8
A. Ubaedillah, Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Kencana, 2015), hal: 209
pengambilan keputusan dan implementasi keputusan tersebut. Good Governance dapat
diartikan sebagai tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Istilah
"governance" dapat digunakan dalam berbagai konteks, termasuk Corporate Governance,
Government Governance, international governance, national governance, dan local
governance.9
Good governance menciptakan kondisi di mana terdapat kesejajaran, kesamaan, dan
keseimbangan peran serta saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen-komponen
seperti pemerintahan (government), rakyat (citizen), dan usahawan (business). Ketiga
komponen ini memiliki hubungan yang setara dan saling berimbang. Jika keseimbangan ini
tidak terjadi, maka konsep Good Governance akan mengalami distorsi.10 Dalam praktiknya,
Good Governance mencakup beberapa prinsip kunci.
Pertama, partisipasi publik yang melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan dan
proses pembuatan kebijakan. Hal ini mencakup pemberian akses informasi yang memadai
kepada masyarakat, serta pemberian kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam
diskusi, konsultasi, dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Kedua, Good Governance mencakup aspek transparansi, yaitu pemerintah harus
terbuka dan jujur dalam segala kegiatan dan keputusan yang mereka ambil. Ini berarti
informasi publik harus tersedia secara luas dan mudah diakses oleh masyarakat.
Selanjutnya, akuntabilitas merupakan prinsip penting dalam Good Governance.
Pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka. Mereka harus
mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan penggunaan sumber daya publik, serta
menerima umpan balik dari masyarakat terkait kinerja mereka.
Prinsip keadilan juga penting dalam Good Governance. Pemerintah harus mengambil
langkah-langkah untuk memastikan kesetaraan dalam perlakuan dan perlindungan hak asasi
manusia bagi semua warga negara. Ini melibatkan pencegahan diskriminasi dan penegakan
hukum yang adil. Good Governance juga mencakup efisiensi dan efektivitas dalam
pengelolaan sumber daya publik.11 Pemerintah harus menjalankan tugas-tugasnya dengan
cara yang efisien, menghindari pemborosan, dan mencapai hasil yang diinginkan.

9
Dwi Martini, Good Governance Dalam Pelayanan Publik, dalam buku yang berjudul Konsep, Strategi dan
Implementasi Good Governance Dalam Pemerintahan, (Jakarta: Irjen Depag RI, 2007), h.4-5.
10
Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayan Publik,
(Bandung: Nuansa , 2009) hal:82
11
Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayan Publik,
(Bandung: Nuansa , 2009) hal:82
Secara umum, good governance adalah interaksi yang seimbang antara lembaga
pemerintahan, masyarakat, dan sektor swasta. Dalam good governance, lembaga
pemerintahan menerapkan kebijakan yang seimbang untuk memajukan masyarakat dan
sektor swasta. Selain itu, good governance juga mencakup administrasi yang sehat, politik
yang demokratis, serta nilai-nilai non-ekonomis seperti kesetaraan, keseimbangan gender,
penghormatan terhadap hukum, toleransi sosial, kultural, dan individual.
Menurut United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
(UN-ESCAP), good governance merupakan proses pengambilan keputusan dan implementasi
keputusan tersebut. Dalam hal ini, good governance mencakup aktivitas organisasi negara
yang berdampak pada perumusan kebijakan yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat.12
Dalam konteks good governance, penyelenggaraan pemerintahan berkaitan erat
dengan prinsip-prinsip seperti transparansi dan akuntabilitas publik. Good governance dapat
dipahami sebagai suatu proses yang memungkinkan partisipasi rakyat dalam mengatur
ekonomi mereka. Institusi, sumber daya sosial, dan politik tidak hanya digunakan untuk
pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integrasi dan kesejahteraan bagi rakyat.
Secara konseptual, good governance juga mencerminkan penyelenggaraan
manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip demokrasi dan
pasar yang efisien diintegrasikan dalam good governance. Selain itu, good governance
mengharuskan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).13
Pengertian good governance dapat bervariasi antara para pakar. Beberapa
mengartikannya sebagai kinerja lembaga tertentu, seperti kinerja pemerintah, perusahaan,
atau organisasi masyarakat yang memenuhi persyaratan tertentu. Sementara itu, yang lain
mengartikannya sebagai konkritisasi demokrasi dengan penekanan pada keberadaan civic
culture sebagai landasan yang mendukung keberlanjutan demokrasi itu sendiri.14
Dalam konteks good governance, transparansi menjadi prinsip kunci. Transparansi
melibatkan keterbukaan dan aksesibilitas informasi kepada publik. Pemerintah harus secara
aktif menyediakan informasi yang relevan dan penting bagi masyarakat, sehingga mereka
dapat memahami dan mengawasi kebijakan serta tindakan pemerintah. Selain itu,
akuntabilitas publik juga merupakan elemen penting dalam good governance. Pemerintah

12
A. Ubaedillah, Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, hal. 209-210
13
Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayan Publik, hal. 81-
82
14
Dwi Martini, Good Governance Dalam Pelayanan Publik, dalam buku yang berjudul Konsep, Strategi dan
Implementasi Good Governance Dalam Pemerintahan, hal. 6.
harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil dalam melaksanakan
tugas-tugasnya. Ini termasuk pertanggungjawaban terhadap penggunaan sumber daya publik
dan kinerja pemerintah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Prinsip-prinsip good governance juga mencakup partisipasi publik. Masyarakat harus
terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam
good governance, partisipasi publik dihargai dan diberikan ruang untuk menyuarakan
pendapat, memberikan masukan, dan mengawasi tindakan pemerintah. Prinsip-prinsip
tersebut didasarkan pada tujuan menciptakan pemerintahan yang efektif, efisien, dan
bertanggung jawab. Good governance berupaya menghasilkan kebijakan yang
menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, mendorong pembangunan yang
berkelanjutan, dan melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi
kehidupan mereka.
Dalam praktiknya, implementasi good governance membutuhkan komitmen dan
kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Ini melibatkan pembangunan
kapasitas institusi, pengembangan hukum dan regulasi yang baik, peningkatan transparansi
dan akuntabilitas, serta pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam
proses pengambilan keputusan. Penting untuk diingat bahwa good governance bukanlah
tujuan akhir, tetapi merupakan suatu upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas
pemerintahan dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan
dan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Prinsip Prinsip Good and Clean Governance


Orientasi pembangunan sektor publik bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang baik.
Untuk mencapai hal ini, diperlukan reformasi di berbagai tingkatan, termasuk aparatur negara
dan administrasi negara yang mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan serta
pembangunan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
Menurut United Nations Development Programme (UNDP), terdapat beberapa karakteristik
dari good governance15 :
1. Partisipasi (Participation)
Setiap warga negara memiliki suara dalam pembuatan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi ini
didasarkan pada prinsip demokrasi, di mana kebebasan untuk berkumpul dan
menyampaikan pendapat secara konstruktif dihargai. Untuk mendorong partisipasi
15
A. Ubaedillah, Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, hal. 210-214.
masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan, regulasi birokrasi harus
diminimalisir.
2. Rule of Law (Berbasis Hukum)
Kerangka hukum harus adil dan ditegakkan tanpa pandang bulu, terutama dalam hal
hak asasi manusia. Untuk mewujudkan good governance yang bersih dan adil,
pemerintah harus berkomitmen untuk menegakkan hukum yang mencakup aspek-
aspek berikut: a. Supremasi hukum (supremacy of law): Penegakan hukum terhadap
setiap tindakan kekuasaan negara. Partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas, serta penegakan hukum
yang benar dan independen. b. Kepastian hukum (legal certainty): Setiap aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak ada
duplikasi atau kontradiksi antara peraturan. c. Hukum yang responsif: Aturan hukum
disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas dan dapat mengakomodasi kebutuhan
publik secara adil. d. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif:
Penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Diperlukan
penegakan hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap
kebenaran hukum. e. Independensi peradilan: Peradilan yang independen, bebas dari
pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.
3. Transparansi (Terbuka)
Transparansi dibangun berdasarkan kebebasan aliran informasi. Hal ini penting untuk
menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan. Dalam
pengelolaan negara, terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan,
seperti penetapan posisi dan jabatan, kekayaan pejabat publik, pemberian
penghargaan, penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan,
moralitas pejabat dan aparatur pelayanan publik, keamanan dan ketertiban, serta
kebijakan strategis untuk pencerahan masyarakat.
4. Responsivitas (Responsif)
Setiap lembaga dan proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pemangku
kepentingan. Pemerintahan harus memiliki etika individual dan sosial. Etika
individual mengharuskan pelaksanaan birokrasi pemerintahan memiliki kapabilitas
dan loyalitas profesional, sementara etika sosial menuntut mereka memiliki
sensitivitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
5. Orientasi Konsensus (Orientasi Konsensus)
Good governance berperan sebagai perantara kepentingan yang berbeda untuk
mencapai pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas. Kebijakan penting dan
bersifat publik harus diputuskan bersama oleh semua unsur terkait. Kebijakan
individual hanya dapat dilakukan dalam batas kewenangannya yang menyangkut
aspek teknis pelaksanaan kebijakan. Semakin banyak partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan, semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang
terwakili. Pengawasan dan kontrol terhadap kebijakan umum juga ditingkatkan,
sehingga meningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan.
6. Kesetaraan (Equity)
Setiap warga negara memiliki kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga
kesejahteraan mereka. Asas kesetaraan menuntut perlakuan dan pelayanan publik
yang sama bagi semua individu, tanpa memandang perbedaan keyakinan, suku, jenis
kelamin, atau kelas sosial.
7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Proses dan lembaga-lembaga pemerintahan menghasilkan produk sesuai dengan yang
telah ditetapkan, dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sebaik mungkin.
Asas efisiensi diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Semakin kecil biaya yang dikeluarkan
untuk kepentingan yang lebih besar, semakin efisien pemerintahan tersebut.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat
bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Penting untuk
menerapkan Standar Prosedur Operasional (SOP) dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan atau pelaksanaan kebijakan. Pengawasan merupakan kunci utama untuk
evaluasi dan kontrol dari pelaksanaan SOP yang telah ditetapkan.
Formulasi Kebijakan Pemangkasan Sruktur Birokrasi
Kebijakan pemangkasan struktur birokrasi yang dijelaskan dalam teks tersebut
bertujuan untuk mengurangi jumlah eselon dalam hierarki jabatan struktural. Sebelumnya,
jabatan struktural terdiri dari lima tingkat, yaitu eselon I sampai dengan eselon V. Data dari
Badan Kepegawaian Negara (BKN) per 30 Juni 2019 menunjukkan bahwa terdapat sekitar
460.000 pegawai yang menempati jabatan eselon, atau sekitar 10% dari total Pegawai Negeri
Sipil di Indonesia.
Presiden Joko Widodo menginginkan pemangkasan pada eselon III sampai dengan V.
Hal ini berarti struktur birokrasi akan menyusut dan hanya akan meninggalkan dua eselon
teratas, yaitu eselon I dan eselon II, di berbagai kementerian dan lembaga. Langkah ini
diharapkan dapat mengurangi beban struktural pemerintah hingga lebih dari 90%. Selama
kepemimpinan Presiden Joko Widodo, telah dilakukan pembubaran terhadap 37 lembaga
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020. Bahkan, dalam perkembangan
terkini, terdapat 10 lembaga16 lain yang dibubarkan.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB)
menindaklanjuti arahan Presiden dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 384, 390,
dan 391 Tahun 2019. Surat edaran ini memberikan langkah-langkah strategis dan konkret
untuk menyederhanakan birokrasi bagi Menteri Kabinet Indonesia Maju, Gubernur, Wali
Kota, Bupati, serta seluruh instansi pusat dan daerah.
Dalam surat edaran tersebut, terdapat dua hal pokok yang menjadi fokus dalam
penyederhanaan birokrasi, yaitu organisasi dan pegawai. Untuk penyederhanaan organisasi,
langkah-langkah yang diambil antara lain17:
1. Mengidentifikasi unit kerja yang dapat disederhanakan
Dilakukan analisis terhadap unit-unit kerja dalam suatu instansi untuk menentukan
unit mana yang dapat disederhanakan.
2. Melakukan pemetaan jabatan struktural untuk dialihkan dalam jabatan fungsional
Jabatan-jabatan struktural yang ada akan dipetakan untuk ditentukan jabatan
fungsional yang sesuai untuk menampung tugas dan tanggung jawab yang
sebelumnya ada pada jabatan struktural.
3. Memetakan jabatan fungsional untuk menampung jabatan struktural
Jabatan fungsional akan ditentukan dan diatur agar dapat menampung tugas dan
tanggung jawab yang sebelumnya ada pada jabatan struktural.
4. Melakukan penyelarasan kebutuhan anggaran
Dilakukan penyesuaian anggaran untuk mengakomodasi perubahan struktur birokrasi
ini.
Selain itu, langkah-langkah lain yang perlu dilakukan adalah sosialisasi kebijakan
kepada seluruh pihak terkait, pengiriman hasil identifikasi dan pemetaan kepada Menpan-RB
paling lambat akhir Desember 2019. Memproses transformasi jabatan struktural menjadi
fungsional sesuai dengan pemetaan yang telah dilakukan. Dalam pelaksanaannya, kebijakan
16
Republik Indonesia, “Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2020 Tentang Pembubaran
Dewan Riset Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Badan Pengembangan Wilayah SurabayaMadura, Badan
Standarisasi Dan Akreditasi Nasional Keolahragaan, Komisi Pengawas Haji Indonesia,” no. 033005 (2020).
17
Disarikan dari MenpanRB, “SE Menpan RB No. 384 Tahun 2019,” 2019; MenpanRB, “SE Menpan RB No. 390
Tahun 2019 Tentang Langkah Strategis Dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi” (2019); Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, “SE Menpan RB No. 391 Tahun 2019” (n.d.).
ini bertujuan untuk mencapai penyederhanaan struktur birokrasi, mengurangi birokrasi yang
berlebihan, dan meningkatkan efisiensi pemerintahan.

Dampak Kebijakan Pemangkasan Struktur Birokrasi


Kebijakan pemangkasan birokrasi yang diperkenalkan memiliki tujuan untuk
meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan bersih (clean
governance) melalui peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan serta pelayanan publik.18
Pemerintahan yang baik dapat tercapai ketika tujuan bersama dijalankan dengan baik,
proses pembuatan keputusan diperhatikan, fungsi peraturan dijalankan dengan benar, dan
kekuasaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, jika terdapat
kekurangan dalam mencapai tujuan, kurangnya perhatian terhadap proses pembuatan
keputusan, kelalaian dalam menjalankan peraturan, serta penyalahgunaan kekuasaan, maka
pemerintahan dapat dianggap buruk.
Unsur-unsur mendasar untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan bersih termasuk profesionalisme dari pelaku dan penyelenggara pemerintahan dan
pelayanan publik. Ketika unsur profesionalisme diabaikan dalam melaksanakan tugas dan
fungsi pemerintahan, kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dapat
menurun.
Dalam konteks pengaturan birokrasi, penting untuk memastikan bahwa kebijakan
yang diterapkan tidak bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai. Kebijakan publik
umumnya memiliki tujuan seperti mendistribusikan sumber daya nasional, mengatur,
membebaskan, dan menderegulasi, serta memperkuat negara dan pasar. Oleh karena itu,
kebijakan pemangkasan birokrasi harus memperhatikan keberlanjutan tujuan tersebut.
Dalam implementasi kebijakan, pemangkasan birokrasi cenderung bersifat politik dan
dilaksanakan secara top-down. Birokrasi memiliki peran untuk mengimplementasikan
kebijakan yang diputuskan oleh institusi politik dan para aktor terkait. Dalam hal ini,
perubahan struktur birokrasi dan penyetaraan jabatan pegawai merupakan dua aspek yang
saling terkait dan memiliki dampak utama.
Dalam konteks keorganisasian, pemangkasan birokrasi melibatkan perubahan dalam
struktur organisasi kementerian dan lembaga pemerintah. Hal ini termasuk penyusunan
kembali Surat Keputusan Organisasi Tata Kerja (SOTK) yang memerlukan waktu dan proses
18
Arief Gunawan Wibisono, “Revitalisasi Prinsis-Prinsip Good Governance Dalam Rangka Penyelenggaraan
Pemerintahan Yangbaik, Bersih, Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Serta Nepotisme” (2014).
yang tidak mudah. Setiap satuan kerja memiliki kepentingan yang ingin diakomodasi, dan
proses pembahasan SOTK membutuhkan waktu karena melibatkan berbagai pihak yang
memiliki kepentingan yang beragam.
Dalam konteks kepegawaian, pemangkasan birokrasi berdampak pada penyetaraan
jabatan pegawai. Jabatan struktural yang dikurangi akan dialihkan menjadi jabatan fungsional
yang sesuai. Proses ini juga memerlukan waktu dan perencanaan yang matang. Untuk
mencapai keberhasilan kebijakan pemangkasan birokrasi, penting untuk melibatkan para
pemangku kepentingan terkait, melakukan komunikasi yang efektif, dan memastikan adanya
koordinasi yang baik antara berbagai instansi terkait.
Dalam upaya penyederhanaan struktur birokrasi atau eselon di Indonesia, terdapat
pengecualian untuk unit kerja atau jabatan struktural yang tidak dapat dihapus atau dialihkan.
Hal ini diakomodasi dalam sebuah formula yang memungkinkan eselon III sampai dengan
eselon V tetap ada dalam struktur birokrasi. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk
menentukan pengecualian tersebut, yaitu:
1. Memiliki tugas dan fungsi sebagai Kepala Satuan Kerja dengan kewenangan dan
tanggung jawab dalam penggunaan anggaran atau penggunaan barang/jasa. Artinya,
jabatan yang terkait dengan pengelolaan keuangan dan pengadaan barang/jasa secara
langsung tidak dihapus atau dialihkan. Hal ini penting untuk memastikan adanya
akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan sumber daya negara.
2. Memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan dengan kewenangan/otoritas, legalisasi,
pengesahan dokumen, atau kewenangan kewilayahan. Jabatan-jabatan yang memiliki
peran penting dalam proses pengesahan atau legalisasi dokumen, serta yang berkaitan
dengan kewenangan kewilayahan, juga termasuk dalam pengecualian. Ini dilakukan
untuk memastikan keberlanjutan proses administrasi dan pemerintahan yang efektif di
tingkat daerah.
3. Terdapat kriteria dan syarat lain yang bersifat khusus berdasarkan usulan masing-
masing Kementerian/ Lembaga kepada Menpan. Selain kriteria di atas, ada
kemungkinan terdapat kriteria dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh masing-
masing Kementerian atau Lembaga berdasarkan kebutuhan dan spesifikasinya. Hal ini
memungkinkan pengecualian yang lebih spesifik dan disesuaikan dengan karakteristik
sektor atau bidang tugas yang dikelola oleh Kementerian atau Lembaga tersebut.
Dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria di atas, pengecualian untuk unit kerja
atau jabatan struktural tertentu dalam penyederhanaan struktur birokrasi dapat dilakukan. Hal
ini bertujuan untuk menjaga kelancaran dan efektivitas operasional pemerintahan, terutama
dalam hal pengelolaan keuangan, legalisasi dokumen, dan kewenangan kewilayahan.
Dalam tulisan Kwik Kian Gie 19, yang merupakan mantan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS), terdapat kritik terhadap birokrasi dengan penekanan yang lebih pada
pengembangan struktur tetapi minim pada fungsi. Menurutnya, birokrasi seringkali
mengabaikan jumlah dan kualifikasi personel, sistem pengambilan keputusan, sistem
komunikasi, dan rentang kendali organisasi yang efektif. Kelemahan-kelemahan ini
menyebabkan birokrasi di Indonesia belum mampu menerapkan clean and good governance
karena terbebani oleh masalah kelembagaan dan manajemen.
Terkait argumentasi lain yang lebih tajam dari Kwik, ia menyoroti tentang mentalitas
birokrasi yang menguatkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurut penulis,
faktor ini menjadi dasar dari kelambanan birokrasi. Meskipun disadari bahwa proses
pemulihan mentalitas tidak bisa dilakukan secara instan, namun hal ini perlu menjadi
perhatian serius yang berkelanjutan. Dalam konteks memperbaiki birokrasi, pemangkasan
struktur menjadi pilihan yang lebih memungkinkan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan atau kekuasaan yang baik.
Birokrasi dianggap sebagai organisasi besar yang dikelola secara modern. Sejak
zaman dahulu, gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik telah muncul dalam
pemikiran manusia. Di Yunani kuno, konsep ini dibagi menjadi dua pendekatan, yaitu
pendekatan personal dan sistem. Pendekatan personal menganggap bahwa kekuasaan perlu
dipimpin oleh seseorang yang bijaksana, arif, dan berpengetahuan tinggi. Seorang pemimpin
atau penguasa seperti seorang ayah yang bijaksana bagi yang dipimpin, seperti anak-anaknya.
Sedangkan pendekatan sistem lebih menekankan pentingnya kekuasaan diatur oleh hukum.
Suatu peraturan atau norma hukum tidak dapat dengan mudah diterapkan di masyarakat 20,
sehingga penguasa perlu tunduk pada hukum. Hukum administrasi negara menjadi instrumen
hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan atau kekuasaan yang baik dalam konteks
modern. Hukum administrasi negara tidak hanya diperlukan untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik dan bersih, tetapi juga bertujuan untuk mencapai masyarakat yang
adil, makmur, dan sejahtera.21
19
Kwik Kian Gie, “Reformasi Birokrasi Dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai Pemerintahan,” vol. 14, 2003
20
Hariyanto Hariyanto, “Pembangunan Hukum Nasional Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila,” Volksgeist: Jurnal
Ilmu Hukum Dan Konstitusi 1, no. 1 SE-Articles (June 7, 2018), https://doi.org/https://doi.org/10.24090/
volksgeist.v1i1.1731.
21
Arfan Faiz Muhlizi, “Reformulasi Diskresi Dalam Penataan Hukum Administrasi (Reformulation Of Discretion
In The Arrangement Administrative Law),” Jurnal Rechtsvinding 1, no. 1 (2012): 93–111.
Pemerintah memilih fokus pada perubahan sistem dalam birokrasi dengan harapan
bahwa pengalihan jabatan akan membuat Aparatur Sipil Negara (ASN) lebih kompetitif dan
berkualitas berdasarkan kompetensi. Dalam hal ini, pengalihan jabatan diharapkan dapat
mengurangi beban biaya operasional untuk unit kerja eselon tanpa mengurangi kesejahteraan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah mengadopsi kebijakan yang berpusat pada
penyetaraan jabatan, bukan pengalihan jabatan.
Penyetaraan jabatan dimaksudkan untuk mengubah tugas dan fungsi ASN tanpa
merubah kedudukannya. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) Nomor 28 Tahun 2019 tentang
Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional. Sesuai dengan peraturan ini,
penyetaraan dijadwalkan dilakukan hingga tanggal 30 Juni 2020, namun proses ini masih
berlanjut hingga Desember 2020 dan belum sepenuhnya selesai. Keterlambatan ini terutama
disebabkan oleh pelaksanaan pemangkasan struktur birokrasi yang dilakukan secara
bersamaan dengan perumusan Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) yang baru atau
dilakukan secara paralel. Hal ini juga menunjukkan bahwa koordinasi antar lembaga atau
kementerian belum optimal. Selain itu, terdapat kesan bahwa pemangkasan birokrasi
dilakukan secara tergesa-gesa dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang cepat, namun hal
ini dapat membahayakan proses transisi tersebut. Proses pemangkasan yang terburu-buru
dapat mengakibatkan kurangnya persiapan yang memadai, kurangnya koordinasi, dan
kurangnya pemahaman yang mendalam tentang perubahan yang terjadi. Oleh karena itu,
diperlukan upaya yang lebih baik dalam mengelola proses pemangkasan birokrasi agar dapat
berjalan dengan lancar dan efektif.
Secara keseluruhan, fokus pemerintah pada perubahan sistem dalam birokrasi dan
penyetaraan jabatan merupakan upaya untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas ASN
serta mengurangi beban biaya operasional. Namun, keterlambatan dalam proses penyetaraan
jabatan ini terutama disebabkan oleh pelaksanaan pemangkasan struktur yang dilakukan
secara bersamaan dengan perumusan SOTK yang baru, serta kurangnya koordinasi dan
persiapan yang memadai. Penting bagi pemerintah untuk mengelola proses ini dengan hati-
hati dan memastikan koordinasi yang optimal antar lembaga atau kementerian agar tujuan
perubahan birokrasi dapat tercapai dengan baik.
PENUTUP
Kesimpulan
Demikianlah, pada akhirnya dapat kita simpulkan, bahwa menciptakan pemerintahan
yang baik dan bersih hakekatnya adalah tugas kolektif bangsa, yaitu tugas kita semua.
Awalnya harus ada political will dari pemerintah untuk mewujudkan moralitas stuktural;
yaitu membenahi kinerja pemerintahan yang selama ini dianggap mengalami degradasi
dengan patokan ketentuan hukum, prosedur, dan tata organisasi yang merupakan hasil dari
proses politik berupa perdebatan dan konsensus yang demokratis.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah
yang pertama, pemangkasan struktur birokrasi merupakan salah satu agenda reformasi
birokrasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan ini mengambil formula dengan
melakukan penghapusan eselon III sampai dengan eselon V. Yang dimana tujuan utama dari
pemangkasan ini adalah mengefektifkan pelayanan pemerintah melalui pegawai
pemerintahan atau ASN.
Pembahasan ini pada dasarnya hanya upaya mencarikan solusi terhadap permasalahan
di atas. Setidaknya telah ada beberapa kajian dan analisis yang membahas tentang good and
clean government serta rusaknya dampak tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme di
Indonesia, tetapi penyakit itu tidak sembuh juga. Permasalahannya menurut penulis bukan
terletak pada ketidaklengkapan teori dan analisa serta ajaran dari hasil kajian dan
penelitiantadi, akan tetapi semua bergantung padataraf kesadaran kita untuk
mengimplementasikan teori, analisa dan ajaranajaran tersebut. Di samping itu pula,
nampaknya kesadaran seseorang untuk meraih predikat aparatur pemerintah yang baik dan
bersih masih belum seluruhnya diresapi sebagai kewajiban manusia beragama, namun sebatas
kepatuhan bernegara. Oleh karenanya, kita pun semestinya bertanggung jawab dalam
menopang penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih ini
DAFTAR PUSTAKA

A. Ubaedillah, Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Kencana, 2015)


Anwar,Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Cakrawala, 2006)
Arief Gunawan Wibisono. “Revitalisasi Prinsis-Prinsip Good Governance Dalam Rangka
Penyelenggaraan Pemerintahan Yangbaik, Bersih, Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Serta
Nepotisme,” 2014.
Bank, World, Governance and Development, (Washington DC: World Bank, 1992)
Bakti, Andi Faisal, “Good Governance dalam Islam: Gagasan dan Pengalaman” dalam
Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta:
Paramadina, 2005.
Hariyanto, Hariyanto. “Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah
Daerah Berdasarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Volksgeist: Jurnal Ilmu
Hukum Dan Konstitusi 3, no. 2 (December 29, 2020): 99–115. http://
ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/ volksgeist/article/view/4184.
Marquette, Heather, Corruption, Politics and Development: The Role of The World Bank,
(Palgrave Macmillan, 2003), cet.I
Nurhestitunggal, Mochamad, and M Muhlisin. “Penyederhanaan Struktur Birokrasi: Sebuah
Tinjauan Perspektif Teoretis Dan Empiris Pada Kebijakan Penghapusan Eselon III
Dan IV.” Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah 4, no. 1 (2020): 1–20.
https://doi.org/10.37950/jkpd. v4i1.100.
Rohman, M. N., & Rismana, D. (2021). Kebijakan Pemangkasan Struktur Birokrasi di
Indonesia. Volksgeist: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 4(2), 123-136. DOI:
10.24090/volksgeist.v4i2.5232.

Anda mungkin juga menyukai