Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi Spinal

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal
ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L5

Indikasi:

1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum perineum

4. Bedah obstetrik-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan


dengan

anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut:

1. Pasien menolak

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat, syok

4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan


5. Tekanan intrakranial meningkat

6. Fasilitas resusitasi minim

7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif:

1. Infeksi sistemik

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

7. Hipovolemia ringan

8. Nyeri punggung kronik

Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada


anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hb, ht,pt,ptt,ct,bt

Peralatan analgesia spinal

1. Peralatan monitor: tekanan darah,pulse oximetri,ekg

2. Peralatan resusitasi

3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock)


atau jarum spinal dengan ujung pinsil(pencil point whitecare)

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.

Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.


Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil.
Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi
lain adalah duduk.

Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,


misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.

Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc.
Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian
masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan
pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan
posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah


hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.

Posisi

Posisi Duduk

Pasien duduk di atas meja operasi

Dagu di dada

Tangan istirahat di lutut

Posisi Lateral

Bahu sejajar dengan meja operasi

Posisikan pinggul di pinggir meja operasi

Memeluk bantal/knee chest position

Tinggi blok analgesia spinal

Faktor yang mempengaruhi:


 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.

Anastetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-


1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric.
Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik.
Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik
local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur
anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan
tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik local yang paling sering digunakan:

1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis


20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric,
dosis 5-20mg
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg(1-3ml)

Penyebaran anastetik local tergantung:

1. Factor utama:
 berat jenis anestetik local(barisitas)
 posisi pasien
 Dosis dan volume anestetik local
2. Faktor tambahan
 Ketinggian suntikan
 Kecepatan suntikan/barbotase
 Ukuran jarum
 Keadaan fisik pasien
 Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung:

1. Jenis anestetia local

2. Besarnya dosis

3. Ada tidaknya vasokonstriktor

4. Besarnya penyebaran anestetik local


TINJAUAN PUSTAKA

Komplikasi anestesia spinal

Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi


delayed.

Komplikasi tindakan

1. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.

2. Bradikardia

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok


sampai T-2

3. Hipoventilasi
 Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
 Trauma pembuluh saraf
 Trauma saraf
 Mual-muntah
 Gangguan pendengaran
 Blok spinal tinggi atau spinal total
4. Komplikasi pasca tindakan
 Nyeri tempat suntikan
 Nyeri punggung
 Nyeri kepala karena kebocoran likuor
 Retensio urine
 Meningitis
5. Komplikasi intraoperatif

Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.
Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac
arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang
berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus
seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest
tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang
disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak
10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila
dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan
sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

Blok spinal tinggi atau total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis
motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok
simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena,
hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal
ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak
dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada
anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan
kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas
saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik
miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti
jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya
keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan
pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang,
pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak
ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi
dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

Komplikasi respirasi

1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.
6. Komplikasi postoperatif

Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis


berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi
lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.
Nyeri kepala

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada
anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti
ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko
untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah
tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan
biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala
yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital,
dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah. Tanda
yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila
pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan
akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 – 48 jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi
(secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada
abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari
plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif
tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam epidural untuk
menghentikan kebocoran.

Nyeri punggung

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur
ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat
dari trauma suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan
menghilang dalam beberapa waktu yang singkat sahaja.

Komplikasi neurologik

Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.


Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini
muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam,
rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan
simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari.

Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom
ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah
beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area
perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit
motorik pada ekstremitas bawah.

Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.


Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada
tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari
meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.

Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial
yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran
darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma
tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan
solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi tetap berlaku.

Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang


berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang
subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah
besar di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf.
Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda
utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3
anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan
adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya
akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab
terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal
anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu
oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan,
dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan
terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi
spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi
kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal
anterior atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang
kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran
darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria
secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi
spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat
kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang demikian,
penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia merupakan kontra
indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada
komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam,
leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika menggunakan
anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka pada area lumbar
atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan
pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.

Retentio urine / Disfungsi kandung kemih

Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun


regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali
paling akhir pada analgesia spinal,umumnya berlangsung selama 24 jam.
Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.

Pencegahan:

1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus


2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater
3. Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari

Pengobatan:
1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
2. Hidrasi adekuat
3. Hindari mengejan
4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni
penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.

Kesimpulan

Walaupun komplikasi-komplikasi yang timbul ini bisa mengancam jiwa,


tetapi harus di ingat bahwa insiden komplikasi ini adalah sangat rendah. Dengan
tehnik modern dan persiapan yang rapih, insiden sequel neural mayor selepas
anestesi subarakanoid telah dilaporkan kurang dari 1 dalam 10,000 pasien. Ramai
anestesiologi berpendapat bahwa jika dibandingkan dengan anestesi umum,
komplikasi yang muncul dari anestesi regional adalah minimum sehingga anestesi
regional menjadi pilihan utama jika sesuai dengan kebutuhan pada saat operasi.
BAB IV

LAPORAN KASUS

A. IdentitasPasien
Nama : Sri Rezeki
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 23 Tahun
Alamat : Dusun XV, Tembung, Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan: Menikah
No RM : 30 33 36
Tanggal Masuk : 19 September 2017

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Persiapan Operasi atas indikasi kehamilan letak lintang
2. Telaah :
Pasien datang ke RSHM dengan keluhan persiapan operasi SC dengan
indikasi kehamilan letak lintang. Riwayat mules – mules mau melahirkan
(-), riwayat keluar lendir darah (-), riwayat demam kehamilan (-), riwayat
trauma didaerah perut (-), riwayat berhubungn dengn suami pada saat
kehamilan (+), riwayat merokok (-). BAK (+) Normal, BAB (+) Normal.
HPHT : 12 – 12 – 2016
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- TB Paru (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
5. Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat disangkal oleh pasien
- Alergi udara disangkal oleh pasien
6. Riwayat Pengobatan :
Tidak Ada
7. Riwayat Psikososial
Merokok (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK

- Sensorium : Compos Mentis


- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Berat Badan : 87 kg

Tanda Vital
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Pernafasan : 24 x/menit
- Nadi : 82 x/menit
- Suhu : 36,5oC

Status lokalis

Pemeriksaan Umum

 Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)

 Kepala : Normocepali

 Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-

 Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)

 Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax
Paru

 Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan


Torakalabdominal, retraksi costae -/-
 Palpasi : Suara fremitus kanan = kiri
 Perkusi : sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru

Abdomen

 Inspeksi : Datar, Simetris


 Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
 Perkusi : Nyeri Ketok (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
 Ekstremitas : edema -/-

Genitalia : Tidak diperiksa

Pemeriksaan Penunjang :

Hasil Laboratorium

Darah Rutin

 Hb : 14,0 g/dl

 HT : 45,2 %

 Eritrosit : 5,1 x 106/µL

 Leukosit : 11.700 /µL

 Trombosit : 292.000 /µL

Metabolik

 KGDS : 97 mg/dl

 Asam Urat : - mg/dl

Fungsi Ginjal

 Ureum : - mg/dl
 Kreatinin : - mg/dl

Diagnosis : KDR (38-39) minggu + Letak Lintang + JH

3. RENCANA TINDAKAN
 Tindakan : SC
 Anesthesi : RA-SAB
 PS-ASA :I
 Posisi : Supine
 Pernapasan : Spontan dengan menggunakan nasal kanul
4. KEADAAN PRA BEDAH

Pre operatif

B1 (Breath)

 Airway : Clear

 RR : 24x/menit

 SP : Vesikuler ka=ki

 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)

B2 (Blood)

 Akral : Hangat/Merah/Kering

 TD : 120/80 mmHg

 HR : 82x/menit

B3 (Brain)

 Sensorium : Compos Mentis

 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm

 RC : (+)/(+)

B4 (Bladder)

 Urine Output : +

 Kateter : terpasang
B5 (Bowel)

 Abdomen : Soepel

 Peristaltik : (+)Normal

 Mual/Muntah : (-)/(-)

B6 (Bone)

 Oedem : (-)

5. PERSIAPAN OBAT RA-SAB

Obat Premedikasi

Obat Medikasi

 Bupivacaine : 15 mg
 Petidine : 75 mg
 Metergin : 0,2 mg
 Oksitosin : 10 IU

Obat Post Operasi

 Ketorolac : 30 mg
 Ranitidine : 50 mg
 Ondansetron : 4 mg

Jumlah Cairan

 PO : RL 500 cc
 DO : RL 1000 cc
 Produksi Urin :+
Perdarahan

 Kasa Basah : 25 x 10 = 250

 Kasa 1/2 basah : 4 x 5 = 20

 Suction : 400 cc

 EBV : 65 x 87 = 5655 cc

 EBL : 10 % = 565,5 cc

20% = 1.131 cc

30 % = 1.696,5 cc

Durasi Operatif

 Lama Anestesi : 08.20 – selesai WIB

 Lama Operasi : 08.25 – 09.30 WIB

Teknik Anastesi : RA-SAB

 Sitting position – identifikasi L3-L4 – desinfeksi dengan povidon iodine


dan bersihkan dengan alkohol 70% - insersi spinocavine 25 g, CSF (+),
darah (-) – inj. Bupivacaine 15 mg – blok setinggi T6

6. POST OPERASI

 Operasi berakhir pukul : 09.30 WIB


 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.

 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9

o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah


dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital
sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24
jam, karena obat anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI

 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

 IVFD RL 36 gtt/menit

 Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal

 Injeksi Ketorolac 30mg/8jam IV

 Injeksi Ranitidine 50mg/8 jam IV bila mual/muntah


DAFTAR PUSTAKA:

1. Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal


of Medicine. Jan-Mar 2002.
2. Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia. J
Bone Joint Surg Am. 2010; 62:1219-1222.
3. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2009; 107-112.

Anda mungkin juga menyukai