Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I
PENDAHULUAN

Mioma uteri merupakan tumor jinak dari otot rahim. Jumlah penderita
mioma uteri ini sulit diketahui secara akurat karena banyak yang tidak
menimbulkan keluhan sehingga penderita tidak memeriksakan dirinya ke dokter.
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial.

Mioma dapat bervariasi dalam ukuran dan jumlahnya, mulai dari beberapa
gram sampai mencapai lebih 45 kg serta jumlahnya bisa tunggal atau lebih dari
satu. Mioma merupakan penyebab gangguan kesuburan sebesar 27% dan sebagai
salah satu penyebab diangkatnya rahim seorang wanita. Di USA, perdarahan
rahim berlebih akibat mioma merupakan salah satu indikasi dilakukannya
tindakan pengangkatan rahim dan diperkirakan 600.000 kasus pengangkatan
rahim dilakukan setiap tahun.
Jumlah penderitanya belum diketahui secara pasti karena banyak yang
tidak merasakan keluhan sehingga tidak periksa ke dokter, namun diperkirakan
insiden mioma uteri sekitar 20%-30% dari seluruh wanita. Di Indonesia, kasus
mioma uteri di temukan sebesar 2,39%-11,7% pada semua pasien kebidanan yang
dirawat. Mioma 3-9 kali lipat lebih sering pada wanita kulit hitam dibandingkan
wanita kulit putih.
Mioma paling sering ditemukan pada usia 35-45 tahun, jarang ditemukan
pada usia 20 tahun juga setelah menopause. Kejadian mioma uteri sebesar 20-40%
di temukan pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun. Mioma cenderung
membesar ketika hamil dan mengecil ketika menopause. Apabila pertumbuhan
mioma semakin membesar setelah menopause maka kecugiaan ke arah keganasan
harus dipikirkan.
Penyakit mioma uteri berasal dari otot polos rahim. Beberapa teori
menyebutkan pertumbuhan tumor ini disebabkan rangsangan hormon estrogen.
Pada jaringan mioma jumlah reseptor estrogen lebih tinggi dibandingkan jaringan
2

otot kandungan (miometrium) sekitarnya sehingga mioma uteri ini sering kali
tumbuh lebih cepat pada kehamilan (membesar pada usia reproduksi) dan
biasanya berkurang ukurannya sesudah menopause (mengecil pada
pascamenopause). Sering kali mioma uteri membesar ke arah rongga rahim dan
tumbuh keluar dari mulut rahim. Ini yang sering disebut sebagai Myoma Geburt
(Geburt berasal dari bahasa Jerman yang berarti lahir). Tumor yang ada dalam
rahim dapat tumbuh lebih dari satu, pada perabaan memiliki konsistensi kenyal,
berbentuk bulat dan permukaan berbenjol-benjol seperti layaknya tumor perut.
Mioma uteri dapat ditemukan melalui pemeriksaan ginekologi rutin.
Diagnosis mioma uteri dicurigai bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu
atau lebih massa yang lebih licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa
massa seperti ini adalah bagian dari uterus. Sedangkan pemeriksaan untuk
mengetahui adanya mioma dapat dilakukan ultrasonografi, histeroskopi dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) yang akurat dalam menggambarkan jumlah,
ukuran, dan lokasi mioma tetapi jarang diperlukan karena keterbatasan ekonomi
dan sumber daya. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-kasus
yang tidak dapat disimpulkan.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mioma uteri atau yang disebut juga leiomioma, fibromioma dan fibroid
adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat, sehingga
bila banyak mengandung sel otot maka konsistensinya lunak, sedangkan bila
mengandung banyak jaringan ikat (fibroid) maka konsistensinya kenyal, dengan
ukuran bervariasi dari sangat kecil sampai sangat besar yang mengisi pelvis dan
abdomen dapat tunggal atau multipel.

2.2 Epidemiologi
Mioma terjadi pada kira-kira 5 persen wanita selama masa reproduksi.
Tumor ini tumbuh dengan lambat dan mungkin baru dideteksi secara klinis pada
kehidupan dekade keempat. Pada dekade keempat ini insidennya mencapai kira-
kira 20%. Mioma lebih sering pada wanita nulipara atau wanita yang mempunya 1
anak.
Mioma pada kehamilan menurut perkiraan frekuensi dalam kehamilan dan
persalinan berkisar sekitar 1 persen dan banyak mioma kecil tidak dikenal. Dalam
banyak kasus kombinasi mioma dengan kehamilan tidak mempunyai arti apa-apa.
Di pihak lain, kombinasi itu dapat menyebabkan komplikasi obstetrik yang besar
artinya. Hal itu tergantung besarnya dan lokalisasinya. Secara umum, angka
kejadian mioma uteri diprediksi mencapai 20%-30% terjadi pada wanita berusia
di atas 35 tahun.

2.3 Etiologi
Penyebab pasti dari mioma pada rahim masih belum diketahui secara jelas.
Namun beberapa penelitian mengatakan bahwa mioma muncul dari satu sel ganas
yang berada di antara otot polos dalam rahim. Selain itu adanya faktor keturunan
juga diduga sebagai penyebab mioma.
4

Pertumbuhan dari mioma uteri diduga berkaitan dengan hormon estrogen.


Mioma menunjukkan pertumbuhan maksimal selama masa reproduksi, ketika
pengeluaran estrogen maksimal dan dapat bertambah besar dengan cepat selama
kehamilan dimana saat itu kadar estrogennya sangat tinggi. Tidak didapatkan
bukti bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma namun diketahui
bahwa estrogen berpengaruh terhadap pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari
reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari
miometrium sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah dibanding
endometrium. Hormon progesteron meningkatkan aktivitas mitotik dari mioma
pada wanita muda namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang terlibat tidak
diketahui secara pasti. Progesteron memungkinkan pembesaran tumor down-
regulation apoptosis dari tumor. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor
dengan meningkatkan produksi matriks ekstraseluler.
Teori Mayer dan De Snoo mengajukan teori cell nest atau teori genitoblas.
Percobaan Lipschurz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan
ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada
tempat lain di dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan
pemberian preparat progesteron atau testosteron. Pukka dan kawan-kawan
menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak didapati dari pada
miometrium normal. Menurut Meyer asal mioma adalah sel immatur, bukan dari
selaput otot yang matur.
Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, menurut teori
onkogenik, maka patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor, yaitu inisiator
dan promotor. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih
belum diketahui secara pasti. Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphate
dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang uniseluler.
Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi
somatik dari miometrium normal dan interaksi kompleks dari hormon steroid seks
dan growth faktor. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal dalam proses
pertumbuhan tumor.
5

2.4 Faktor Predisposisi


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya mioma uteri.
Berikut adalah beberapa faktor tersebut :

 Genetik
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita
mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma
dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.
Penderita mioma yang mempunyai riwayat keluarga penderita mioma
mempunyai 2 (dua) kali lipat kekuatan ekspresi dari VEGF-α (alfa
myoma-related growth factor) dibandingkan dengan penderita mioma
yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri.
 Ras
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa wanita keturunan Afro-Amerika
memiliki resiko 2,9 kali lebih besar untuk menderita mioma uteri
dibandingkan dengan wanita Kaukasia.
 Usia
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun (20%),
ditemukan sekitar 40%-50% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Mioma uteri jarang ditemukan sebelum menarche (sebelum mendapatkan
haid). Sedangkan pada wanita menopause mioma uteri ditemukan sebesar
10%. Mioma menunjukkan pertumbuhan maksimal selama masa
reproduksi dimana saat itu kadar estrogen sangat tinggi. Tumor ini paling
sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun dan mengalami
pengecilan pada saat menopause.
 Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan
mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarche, berkembang
setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause.
6

 Hormon endogen (Endogenous Hormonal)


Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada spesimen yang diambil dari
hasil histerektomi wanita yang telah menopause, diterangkan bahwa
hormon estrogen endogen pada wanita-wanita menopause pada level yang
rendah/sedikit. Ditemukan bahwa konsentrasi estrogen pada jaringan
mioma uteri lebih tinggi dibandingkan jaringan miometrium normal
terutama pada fase proliferasi dari siklus menstruasi.
 Paritas
Lebih sering terjadi pada nulipara, multipara atau pada wanita yang relatif
infertil, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas
menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang
menyebabkan infertilitas, atau apakah kedua keadaan ini saling
mempengaruhi.
 Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar
estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus
kemungkinan dapat mempercepat terjadinya pembesaran mioma uteri.
 Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh
enzim aromatease di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah
estrogen tubuh yang mampu meningkatkan prevalensi mioma uteri.
 Makanan
Beberapa penelitian menerangkan hubungan antara makanan dengan
prevalensi atau pertumbuhan mioma uteri. Dilaporkan bahwa daging sapi,
daging setengah matang (red meat), dan daging babi meningkatkan insiden
mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden mioma
uteri. Tidak diketahui dengan pasti apakah vitamin, serat atau fitoestrogen
berhubungan dengan mioma uteri.
7

 Kebiasaan merokok
Merokok dapat mengurangi insiden mioma uteri. Diterangkan dengan
penurunan bioaviabilitas estrogen dan penurunan konversi androgen
menjadi estrogen dengan penghambatan enzim aromatase oleh nikotin.
Selain itu, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari
mioma uteri, diantaranya adalah :
 Faktor hormonal
1. Hormon estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan
pengangkatan ovarium. Adanya hubungan dengan kelainan lainnya
yang tergantung estrogen seperti endometriosis (50%), perubahan
fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis (16,5%) dan
hiperplasia endometrium (9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas.
17B hidroxydehidrogenase : enzim ini mengubah estradiol (sebuah
estrogen kuat) menjadi estron (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini
berkurang pada jaringan miomatous yang juga mempunyai jumlah
reseptor estrogen yang lebih banyak daripada miometrium normal.
2. Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu :
mengaktifkan 17B hidroxydehidrogenase dan menurunkan jumlah
reseptor estrogen pada tumor.
3. Growth hormon
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon
yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL,
terlihat pada periode ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang
cepat dari leiomioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil
kerja sinergis antara HPL dengan estrogen.
8

 Faktor genetik
Mioma memiliki sekitar 40% kromosom yang abnormal, yaitu adanya translokasi
antara kromosom 12 dan 14, delesi kromosom 7 dan trisomi dari kromosom 12
 Faktor pertumbuhan
Faktor pertumbuhan berupa protein atau polipeptida yang diproduksi oleh
sel otot polos dan fibroblas, mengontrol proliferasi sel dan merangsang
pertumbuhan dari mioma.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi mioma uteri didasarkan atas lokasi dan lapisan uterus yang
terkena.
Berdasarkan lokasi, mioma uteri dibedakan menjadi :
1) Korpus (91%) → merupakan lokasi paling lazim dan seringkali tanpa
gejala
2) Servikal (2,6%) → umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi
3) Isthmus (7,2%) → lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus
urinarius
Berdasarkan lapisan uterus yang terkena dan arah pertumbuhan, dibedakan
menjadi :
1) Mioma Submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.
Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma uteri jenis lain
meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi
mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan
perdarahan.
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase,
dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai “Currete bump” dan
dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor.
Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma
submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis
9

mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari
rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama “mioma geburt” atau
mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan
infark. Kemungkinan terjadinya degenerasi sarkoma juga lebih besar pada
jenis ini.
Adanya bentuk pedikel menyebabkan dismenore sebagai usaha dari uterus
untuk mengeluarkannya. Ulserasi dan nekrosa mengakibatkan adanya
discharge yang bau dan warna yang tidak tetap, sehingga sering salah
dianggap sebagai kanker serviks.
2) Mioma Intramural
Disebut juga sebagai mioma intraepitelial dan terdapat di dinding uterus di
antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot
sekitarnya akan terdesak dan terbentuklah semacam simpai yang
mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma,
maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan
konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus,
dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke
atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
Biasanya multipel apabila masih kecil tidak merubah bentuk uterus, tetapi
bila besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus bertambah
besar dan berubah bentuknya. Mioma sering tidak memberikan gejala
klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di
daerah perut sebelah bawah.
Kadang kala tumor tumbuh sebagai mioma subserosa dan kadang-kadang
sebagai mioma submukosa. Di dalam otot rahim dapat besar, padat
(jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan). Prevalensi
sebesar 54% dari seluruh kasus mioma.
3) Mioma Subserosa
Tumbuh keluar dari dinding uterus dan letaknya di bawah tunika serosa.
Dapat bertangkai atau melayang dalam kavum abdomen. Mioma subserosa
yang bertangkai dapat mengalami torsi dan terasa sangat nyeri. Oleh
10

karena itu vena-vena yang ada di permukaan pecah dan menyebabkan


perdarahan intraabdominal. Kadang-kadang mioma subserosa timbul di
antara dua ligamentum latum, merupakan mioma interligamenter yang
dapat menyebabkan penekanan pada ureter dan A. Iliaca. Ada kalanya
tumor ini mendapat vaskularisasi yang lebih banyak dari omentum
sehingga lambat laun terlepas dari uterus, disebut sebagai parasitik mioma.
Prevalensi mencapai 38,2% dari total kejadian mioma.

2.6 Gambaran Mikroskopik


Pada pembelahan, jaringan mioma tampak lebih putih dari jaringan
sekitarnya. Pada pemeriksaan secara mikroskopik dijumpai sel-sel otot polos
panjang, yang membentuk bangunan yang khas sebagai kumparan (whorle like
pattern). Inti sel juga panjang dan bercampur dengan jaringan ikat. Pada
pemotongan transversal, sel berbentuk polihedral dengan sitoplasma yang banyak
mengelilinginya. Pada pemotongan longitudinal inti sel memanjang dan
ditemukan adanya “mast cells” di antara serabut miometrium dan sering
diinterprestasi sebagai sel tumor atau sel raksasa (giant cells).
11

2.7 Perubahan Sekunder


Perubahan sekunder pada myoma uteri sebagian besar bersifat degeneratif
karena berkurangnya aliran darah ke myoma uteri. Perubahan sekunder tersebut
meliputi :
 Atrofi
Sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan berakhir mioma uteri
menjadi kecil.
 Degenerasi hialin
Perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita usia lanjut. Tumor
kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian
besar atau hanya sebagian kecil dari padanya seolah-olah memisahkan satu
kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
 Degenerasi kistik
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, sebagian dari mioma menjadi
cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi seperti
agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan
limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistansi yang lunak
tumor ini sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
 Degenerasi membatu (calcireous degeneration)
Terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan
dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang
mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto
rontgen.
 Degenerasi merah (carneous degeneration)
Perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis
diperkirakan karena suatu nekrosis subakut akibat gangguan vaskularisasi.
Pada pembelahan dapat terlihat sarang mioma seperti daging mentah
berwarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan hemofusin.
Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda yang
disertai emesis dan haus, sedikit demam, kesakitan, tumor dan uterus
12

membesar serta nyeri pada perabaan. Penampilan klinik seperti ini


menyerupai tumor ovarium terpuntir atau mioma bertangkai.
 Degenerasi lemak
Keadaan ini jarang dijumpai, tetapi dapat terjadi pada degenerasi hialin
yang lanjut, dikenal dengan sebutan fibrolipoma.

2.8 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Diagnosis mioma uteri didasarkan atas gejala klinis yang didapatkan saat
anamnesa dan dari hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Gejala
klinis tergantung dari lokasi dan besarnya tumor.
Anamnesa :
1. Perdarahan uterus yang abnormal
Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang paling
sering terjadi dan paling penting. Gejala ini terjadi pada 30% pasien
dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan
mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur.
Menorrhagia dan metrorrhagia sering terjadi pada pasien mioma uteri.
Perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
Patofisiologi perdarahan belum diketahui pasti tapi diduga disregulasi dari
beberapa faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptor yang mempunyai efek
langsung pada fungsi vaskuler dan angiogenesis. Perubahan-perubahan ini
menyebabkan kelainan vaskularisasi akibat disregulasi struktur vaskuler di
dalam uterus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain berupa peningkatan ukuran
endometrium, peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus,
gangguan kontraktilitas uterus, ulserasi endometrium pada mioma
submukosum dan kompresi pada pleksus venosus di dalam miometrium.
Yang sering menyebabkan gejala perdarahan ialah jenis submukosa
sebagai akibat pecahnya pembuluh-pembuluh darah. Mioma intramural
juga dapat menyebabkan perdarahan, oleh karena ada gangguan kontraksi
uterus. Jenis subserosa tidak menyebabkan perdarahan yang abnormal.
13

Kalau ada perdarahan yang abnormal harus diingat akan kemungkinan


yang lain yang timbul bersamaan dengan mioma yaitu :
- Adeno karsinoma
- Polip
- Faktor fungsionil
2. Nyeri panggul
Gejala ini tidak khas untuk mioma, walaupun sering terjadi. Keluhan yang
sering diutarakan ialah rasa berat dan dismenore. Timbulnya rasa sakit dan
nyeri pada mioma disebabkan karena adanya degenerasi akibat adanya
oklusi vaskuler, infeksi, torsio dari mioma yang bertangkai (sifatnya akut
dan disertai rasa eneg dan muntah-muntah) maupun akibat kontraksi
miometrium yang disebabkan mioma subserosum. Tumor yang besar
dapat mengisi rongga pelvis dan menekan bagian tulang pelvis yang dapat
menekan saraf sehingga dapat menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke
bagian punggung dan ekstremitas posterior.
a. Penekanan dan pendesakan
Tanda-tanda penekanan dan pendesakan tergantung dari lokasi dan besar
tumor. Bila menekan kandung kencing, akan menimbulkan kerentanan
kandung kencing (bladder irritability), polakisuria dan disuri. Bila uretra
tertekan dapat menimbulkan retensio urine, dan bila hal ini berlangsung
lama dapat menyebabkan hidronefrosis. Tekanan pada rektum tidak terlalu
besar, kadang-kadang menyebabkan konstipasi dan kadang-kadang sakit
pada waktu defekasi. Tumor dalam kavum Douglas dapat menyebabkan
retensio urin. Kalau besar sekali mungkin ada gangguan pencernaan.
Kalau terjadi tekanan pada vena kava inferior akan terjadi edema dari
tungkai bawah.
3. Disfungsi reproduksi
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih belum
jelas. Dilaporkan sebesar 27%-40% wanita dengan mioma uteri
mengalami fertilitas. Mioma yang terletak di daerah kornu dapat
14

menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio


akibat oklusi tuba bilateral.
Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang
sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma di dalam uterus.
Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan
disfungsi reproduksi.
Gangguan implantasi embrio dapat terjadi pada keberadaaan mioma akibat
perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi
massa tumor.
4. Benjolan
Mengeluh benjolan di perut bagian bawah.
Pemeriksaan Fisik :
Dapat dilakukan dengan dua cara :
a. Pemeriksaan luar/abdomen
Pada pemeriksaan abdomen, uterus yang membesar dapat dipalpasi
pada abdomen terutama jika ukurannya besar. Tumor teraba sebagai
nodul ireguler, gerakan bebas serta tidak sakit. Area perlunakan
memberi kesan adanya perubahan-perubahan degeneratif. Biasanya
letak tumor di tengah-tengah. Perlunakan abdomen yang disertai nyeri
dapat disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal dari ruptur vena pada
permukaan tumor.
b. Pemeriksaan bimanual rutin
Pemeriksaan bimanual dilakukan bila pemeriksaan luar belum jelas,
terutama pada wanita gemuk. Diagnosis mioma uteri dicurigai bila
dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang lebih
licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini
adalah bagian dari uterus. Pada keadaan tertentu, mioma submukosa
yang bertangkai dapat mengawali dilatasi serviks dan terlihat pada
ostium servikalis. Uterus cenderung membesar, tidak beraturan dan
berbentuk nodul.
15

Pemeriksaan Penunjang :
a. Darah lengkap
Hb turun, albumin turun, leukosit turun/meningkat, eritrosit turun.
b. USG (Ultrasonography)
Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan
keadaan adneksa dalam rongga pelvis.
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama
lebih bermanfaat untuk mendeteksi kelainan pada rahim, termasuk
mioma uteri. Uterus yang besar lebih baik diobservasi melalui
ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri dapat menampilkan
gambaran secara khas yang mendemonstrasikan irregularitas kontur
maupun pembesaran uterus. Sehingga sangatlah tepat untuk digunakan
dalam monitoring.
Adanya kalsifikasi ditandai dengan fokus-fokus hiperekoik dengan
bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai dengan adanya gambaran
hipoekoik.
c. Histeroskopi
Menggunakan alat berupa teleskop yang tipis dan dimasukkan ke
uterus melalui serviks.
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa,
jika tumornya kecil serta bertangkai. Pemeriksaan ini dapat berfungsi
sebagai alat untuk penegakan diagnosis dan sekaligus untuk
pengobatan karena dapat diangkat.
16

d. Laparaskopi
Untuk mengevaluasi massa di daerah pelvis.
e. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran dan lokasi mioma tetapi
jarang diperlukan karena keterbatasan ekonomi dan sumber daya. Pada
MRI, mioma tampak sebagai massa gelap terbatas tegas dan dapat
dibedakan dari miometrium yang normal. MRI dapat mendeteksi lesi
sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma
submukosa. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-
kasus yang tidak dapat disimpulkan
f. Foto Bulk Nier Oversidth (BNO), Intra Vena Pielografi (IVP)
Menilai massa di rongga pelvis serta menilai fungsi ginjal dan
perjalanan ureter.
g. Papaniculou Test
Merupakan pemeriksaan sitologis yang memungkinkan untuk
mendeteksi adanya sel yang abnormal dan mendeteksi keganasan
tumor pada tahap awal.

2.9 Diagnosa Banding


Seorang pemeriksa harus mampu membedakan diagnosa mioma uteri
dengan penyakit lain karena setiap penyakit mempunyai metode penanganan yang
berbeda. Berikut adalah diagnosa banding dari mioma uteri :
17

1. Kehamilan
Uterus membesar merata. Tes kehamilan positif.
2. Pseudosiesis
Terdapat amenorrhea, perut membesar tetapi uterus sebesar biasa, tanda
tanda kehamilan dan reaksi kehamilan negatif.
3. Kistoma Ovarii
Mungkin ada amenorrhea, perut penderita membesar tetapi ukuran uterus
biasa.
4. Vesika urinaria dengan retensio urine
Uterus biasanya membesar.
5. Menopause
Terdapat amenorrhea. Umur wanita kira kira di atas 43 tahun. Uterus
sebesar biasa, tanda-tanda kehamilan dan reaksi kehamilan negatif.

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dengan timbulnya mioma uteri antara lain
adalah :
a. Degenerasi ganas
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus
yang telah diangkat. Kecurigaan keganasan uterus apabila mioma uteri
cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam
menopause.
b. Torsi (putaran tungkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis.
c. Nekrosis dan infeksi
Setelah torsi dapat diikuti infeksi dan nekrosis.
d. Pengaruh timbal balik mioma uteri dan kehamilan
1. Pengaruh mioma terhadap kehamilan dan persalinan
 Mengurangi kemungkinan wanita menjadi hamil (infertilitas),
terutama pada mioma uteri submukosa
18

 Kemungkinan abortus bertambah


 Kelainan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yang besar
dan letak subserosa
 Menghalang-halangi lahirnya bayi, terutama pada mioma yang
letaknya di serviks
 Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya
di dalam dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma
 Mempersulit lepasnya plasenta, terutama pada mioma yang
submukus dan intramural
2. Pengaruh kehamilan terhadap mioma
 Tumor bertumbuh lebih cepat dalam kehamilan akibat hipertrofi
dan edema, terutama dalam bulan-bulan pertama, karena pengaruh
hormon estrogen. Setelah kehamilan 4 bulan tumor tidak
bertambah besar lagi.
 Tumor menjadi lebih lunak dalam kehamilan, dapat berubah
bentuk, dan mudah terjadi gangguan sirkulasi di dalamnya,
sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis, terutama ditengah-tengah
tumor. Tumor tampak merah (degenerasi merah) atau tampak
seperti daging (degenerasio karnosa). Perubahan ini menyebabkan
rasa nyeri di perut yang disertai gejala-gejala rangsangan
peritonium dan gejala-gejala peradangan, walaupun dalam hal ini
peradangan bersifat suci hama (steril). Lebih sering lagi komplikasi
ini terjadi dalam masa nifas karena sirkulasi dalam tumor
mengurang akibat perubahan-perubahan sirkulasi yang dialami
oleh wanita setelah bayi lahir.
 Mioma uteri subserosum yang bertangkai dapat mengalami putaran
tangkai akibat desakan uterus yang makin lama makin membesar.
Torsi menyebabkan gangguan sirkulasi yang nekrosis yang
menimbulkan gambaran klinik perut mendadak (akut abdomen).
19

2.11 Penatalaksanaan
Penanganan mioma uteri tergantung pada umur, paritas, lokasi dan ukuran
tumor. Terbagi atas :
a. Konservatif
Tidak ada ukuran standar kapan mioma harus diterapi. Mioma besar tanpa
gejala dan tidak mengarah ke keganasan tidak perlu diterapi. Pemeriksaan
fisik dan USG harus diulangi setiap 6-8 minggu untuk mengawasi
pertumbuhan baik ukuran maupun jumlah. Apabila pertumbuhan stabil
maka pasien diobservasi setiap 3-4 bulan
Bila mioma uteri berukuran kecil, tidak cenderung membesar dan tidak
memicu keluhan yang berarti, cukup dilakukan pemeriksaan rutin setiap 3-
6 bulan sekali termasuk pemeriksaan USG. 55% dari semua mioma uteri
tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apapun. Menopause
dapat menghentikan pertumbuhan mioma uteri
Bila seorang wanita dengan mioma mencapai menopause, biasanya tidak
mengalami keluhan, bahkan dapat mengecil. Oleh karena itu sebaiknya
mioma pada wanita premenopause tanpa gejala diobservasi saja. Bila
mioma besarnya sebesar kehamilan 12-14 minggu apalagi disertai
pertumbuhan yang cepat sebaiknya dioperasi, walaupun tidak ada gejala
atau keluhan. Mioma yang besar kadang-kadang memberikan kesukaran
pada operasi.
Pada masa postmenopause, mioma biasanya tidak memberikan keluhan.
Tetapi bila ada pembesaran mioma pada masa post menopause harus
dicurigai kemungkinan keganasan (sarkoma).
b. Hormonal
Menggunakan agonis GnRH. Bekerja dengan menurunkan regulasi
gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisis anterior. Akibatnya, fungsi ov
arium menghilang dan diciptakan keadaan menopause yang reversibel.
Sebanyak 70% mioma mengalami reduksi dari ukuran sebelumnya
telah dilaporkan terjadi dengan cara ini, menyatakan kemungkinan
manfaatnya pada pasien perimenopausal dengan menahan atau
20

mengembalikan pertumbuhan mioma sampai menopause yang


sesungguhnya mengambil alih. Tidak terdapat resiko penggunaan
agonis GnRH jangka panjang dan kemungkinan rekurensi mioma setelah
terapi dihentikan.
Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3
menstruasi setiap minggu sebanyak tiga kali. Efek maksimum dalam
mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan,
karena memberikan beberapa keuntungan: mengurangi hilangnya darah
selama pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan akan transfusi
darah.
Adapun preparat lain yang digunakan untuk terapi hormonal adalah
progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, anti prostaglandin,
agen-agen lain (gossipol, amantadin).
Baru-baru ini ada penemuan obat oral terbaru berupa Ulipristal asetat.
Ulipristal asetat (Esmya) adalah modulasi selektif terhadap reseptor
progesteron yang telah disetujui untuk terapi pre-operasi mioma uteri pada
wanita dewasa yang reproduktif. Lama pemberian terbatas sampai dengan
3 bulan. Ulipristal asetat mempunyai bagian yang spesifik memberi efek
antagonis terhadap progesteron, bekerja pada reseptor progesteron di
endometrium dan myometrium sehingga mencegah rangsangan lebih
lanjut terhadap pertumbuhan mioma. Ulipristal asetat juga memberi efek
langsung terhadap mioma, mengurangi ukuran mioma dengan cara
menghambat peroliferasi sel dan menginduksi apoptosis. Disarankan dosis
pemberian per hari 5 mg. Dengan dosis tersebut dapat menekan kadar
produksi FSH. Penggunaan terapi secara farmakologis adalah jika ukuran
mioma uteri berukuran kurang dari 3 cm. Bagaimanapun juga, jika mioma
uteri berukuran lebih dari 3 cm dan disertai oleh keadaan klinis yang
menunjang, pilihan terapi terbatas pada analog GnRh dan terapi
pembedahan..
21

Adapun preparat lain yang digunakan untuk terapi hormonal adalah


progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, anti prostaglandin,
agen-agen lain (gossipol, amantadin).
c. Radioterapi
Syarat dilakukan radioterapi :
 Hanya dilakukan pada wanita yang tidak dapat dioperasi (bad risk
patient)
 Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 3 bulan
 Bukan merupakan jenis submukosa
 Tidak disertai radang pelvis, atau penekanan pada rektum
 Tidak dilakukan pada wanita muda, karena dapat menyebabkan
menopause.
Jenis radioterapi :
 Radium dalam kavum uteri
 X-ray pada ovaria
Tujuan dari radioterapi adalah untuk menghentikan perdarahan
d. Pembedahan
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang
menimbulkan gejala. Menurut American College of Obstetrics and
Gynecologists (ACOG) dan American Society for Reproductive Medicine
(ASRM), indikasi pembedahan pasien mioma uteri adalah :
1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif
2. Sangkaan adanya keganasan
3. Pertumbuhan mioma pada masa menopause
4. Infertilitas karena gangguan kavum uteri maupun karena oklusi tuba
5. Nyeri dan penekanan yang sangat mengganggu
6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
7. Anemia akibat perdarahan
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi dan
histerektomi
22

Miomektomi :
Miomektomi dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi
reproduksinya. Ada beberapa pilihan tindakan untuk melakukan
miomektomi, berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma. Tindakan
miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun
dengan laparoskopi.
1. Laparotomi
Dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat mioma dari
uterus. Sebelum melakukan, dokter harus memperhatikan keadaan
pasien, seperti hipermenorea dan semua bentuk dari perdarahan
abnormal membutuhkan evaluasi karena perdarahan juga merupakan
komplikasi dari operasi. Perdarahan yang terjadi berhubungan dengan
ukuran dari uterus, total berat mioma yang diangkat, dan lamanya
operasi.
Keunggulan : lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga
penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada
pembedahan pada miomektomi dapat ditangani dengan segera.
Kerugian : Resiko perlengketan lebih besar, sehingga akan
mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien. Disamping itu, masa
penyembuhan pasca operasi juga lebih lama, sekitar 4-6 minggu.
2. Histeroskopi
Untuk mioma submukosa yang terletak pada kavum uteri. Ahli bedah
memasukkan alat histeroskop melalui serviks dan mengisi kavum uteri
dengan cairan untuk memperluas dinding uterus.
Indikasi :
Multipel mioma, riwayat multipel miomektomi, perdarahan abnormal,
riwayat abortus, infertilitas, dan nyeri.
Kontraindikasi :
Karsinoma endometrium, infeksi alat reproduksi, ketidakmampuan
uterus untuk membesar dan tumor yang meluas ke miometrium.
Kelebihan :
23

Masa penyembuhan pasca operasi singkat (2 hari).


Kerugian :
Timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit
dan perdarahan.
3. Laparoskopi
Merupakan prosedur standar bagi pasien yang ingin mempertahankan
fungsi reproduksi. Caranya adalah dengan memasukkan alat
laparoskop ke dalam abdomen melalui insisi kecil pada dinding
abdomen.
Indikasi :
Mioma bertangkai di luar kavum uteri dan mioma subserosa yang
terletak pada permukaan uterus.
Kelebihan :
Masa penyembuhan pasca operasi yang cepat antara 2-7 hari.
Kerugian :
Perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium,
rektum serta perdarahan.

Histerektomi :
Indikasi :
Menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan
ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu.
Terdapat 3 cara, yaitu :

1. Pendekatan abdominal (laparatomi)


Terdiri dari 2 metode berupa total abdominal histerektomi (TAH) dan
subtotal abdominal histerektomi (STAH).
a. TAH
24

Dapat terjadi banyak perdarahan, trauma operasi pada ureter,


kandung kemih dan rektum. Jaringan granulasi yang timbul pada
tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina.
b. STAH
Terhindar dari banyak perdarahan, trauma pada ureter, kandung
kemih dan rektum.
2. Pendekatan vaginam
Merupakan prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang
dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada
usus dapat diminimalisasi. Oleh karena pendekatan operasi tidak
melalui dinding abdomen, maka pada histerektomi vaginal tidak
terlihat parut bekas operasi sehingga memuaskan pasien dari segi
kosmetik. Selain itu, kemungkinan terjadinya perlengketan pada
operasi juga lebih minimal. Masa penyembuhan lebih cepat daripada
yang menjalani histerektomi abdominal.
3. Laparoskopi
Berupa miolisis. Miolisis adalah prosedur operasi invasif yang
minimal dengan jalan menghantarkan sumber energi yang berasal dari
laser Neodynium:yttrium alumunium garmet (Nd:YAG) ke jaringan
mioma, dimana akan menyebabkan denaturasi protein sehingga
menimbulkan proses koagulasi dan nekrosis di dalam jaringan yang
diterapi. Efektif untuk mengurangi gejala yang terjadi. Miolisis
merupakan alternatif terapi prosedur miomektomi.
Bisa juga dilakukan dengan laparoskopi yang tujuannya untuk
mengalihkan histerektomi abdominal ke histerektomi laparoskopi
secara keseluruhan. Ada beberapa teknik :
a. Laparoscopically Assisted Vaginal Hysterectomy (LAVH)
Memisahkan adneksa dari dinding pelvis dan memotong
mesosalfing ke arah ligamentum kardinale di bagian bawah.
Pemisahan pembuluh darah uterine dilakukan dari vagina.
25

b. Classic Intrafascial Serrated Edged Macromorcellated


Hysterectomy (CISH) tanpa colpotomy.
Modifikasi dari STAH, dimana lapisan dalam dari serviks dan
uterus direseksi menggunakan morselator. Diharapkan dapat
mempertahankan integritas lantai pelvis dan aliran darah pada
pelvis untuk mencegah prolaps.
Keunggulan :
Mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung kemih,
perdarahan yang lebih minimal, waktu operasi yang lebih cepat,
resiko infeksi yang lebih minimal dan masa penyembuhan yang
cepat.

2.12 Pencegahan
Terjadinya mioma uteri dapat dicegah dengan kiat-kiat sebagai berikut :
1. Paritas
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada perbandingan terbalik antara
jumlah paritas dengan timbulnya mioma. Karena pada waktu kehamilan
paparan estrogen berkurang, sehingga total waktu terpaparnya estrogen
pada wanita yang pernah hamil sampai melahirkan lebih sedikit daripada
wanita yang tidak pernah hamil.
2. Hindari obesitas
Berdasarkan penelitian, obesitas meningkatkan faktor resiko terjadinya
mioma sekitar 21% setiap kenaikan berat badan 10 kg di atas berat badan
ideal.
3. Rajin olahraga
Berdasarkan penelitian, wanita yang jarang berolahraga mempunyai resiko
timbulnya tumor jinak uterus 1,4x lebih besar daripada wanita yang rajin
berolahraga.
4. Hindari penggunaan kontrasepsi oral pada usia remaja (13 -16 tahun)
26

Berdasarkan penelitian, penggunaan kontrasepsi oral pertama pada usia


remaja (13 – 16 tahun) meningkatkan resiko timbulnya mioma dikemudian
hari.
5. Hindari penggunaan Hormonal Replacement Therapy (HRT) pada post
menopause
Berdasarkan penelitian, penggunaan HRT pada wanita post menopause
meningkatkan jumlah mioma yang diderita.

2.13 Regional Anestesi – Subarachnoid Block (RA – SAB)


2.13.1 Defenisi
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai
dari vertebra thorakal 4.
2.13.2 Indikasi
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah
papila mamae kebawah). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal
2-3 jam.
2.13.3 Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu
kontra indikasi absolut dan relatif.
a. Kontra Indikasi Absolut
 Infeksi pada tempat suntikan: Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare. : Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat
kedalam rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi
tekanan intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
27

 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi


spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan
lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi
lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada
medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.
b. Kontra Indikasi Relatif
 Infeksi sistemi : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar
tempat suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih
kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan
deficit neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih
90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi
bisa bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi
komplikasi kea rah jantung akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan
28

apabila dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak


nyaman
2.13.4 Anatomi Vertebra
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.

Gambar 5. Struktur Anatomi Vertebra


Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu:
a. menyangga berat kepala dan dan batang tubuh,
b. melindungi medula spinalis,
c. memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis,
d. tempat untuk perlekatan otot-otot,
e. memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial kecaudal akan membesar sampai
mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari
tulang koksigeus. Struktur demikian di karenakan beban yang harus ditanggung
29

semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai kemudian beban tersebut di
transmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu
persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati
hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas
kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di
dalamnya.Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan
masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla spinalis
berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga
L1.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang
lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya
adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5
30

Gambar 6. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis


Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
a. Kutis
b. Subkutis
Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang intervertebralis pada
pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
c. Ligamentum Supraspinosum
Ligamen yang menghubungkan ujung procesus spinosus.
d. Ligamentum interspinosum
e. Ligamentum flavum
Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm. Sebagian besar terdiri dari
jaringan elastis.Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum
berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering
kali bisa kita rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
f. Epidural
Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak.Jika darah yang keluardari
jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.Jarum spinal
harus maju sedikit lebih jauh.
31

g. Duramater
Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater seperti
saat menembus epidural.
h. Subarachnoid
merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal. Padaruangan ini
akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan.

Gambar 7. Susunan Anatomi Ligamen Vertebra


Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri dan
vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga arteri radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan
posterior.
32

Gambar 8. Sistem Vaskular Medula Spinalis


2.13.5 Persiapan Anestesi
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
 Informed consent :Pasien sebelumnya diberi informasi tentang
tindakan ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi,
kemungkinan yang akan terjadi selama operasi tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
 Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah
kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya
kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan
anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu gemuk
sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin
(PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga
terdapat gangguan pembekuan darah.
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
33

7. Spuit 3 ml dan 5 ml.


8. Infus set.

Gambar 9. Jenis Jarum Spinal


2.13.6 Obat-obat Anestesi Spinal
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi
lokal. Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi
lokal bersifat reversible.
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan
saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin
dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid dan
golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja
obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 370 C adalah 1.003-1.008. Anastetik local
dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik.Anastetik lokal dengan berat
jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.Anastetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.
34

Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
 Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dosis 20-50 mg (1-2ml).
 Bupivakaine 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis
5-20 mg.
 Bupivakaine 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg(1-3 ml).
 Obat Anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh
manusia.Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh
yang nantinya harus diperhatikan saat melakukan anestesi spinal.
1. Sistem Saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem
saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut
dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi: Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular: Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis
tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat
menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup
banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka
sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan
obat anestesi lokal agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun: Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi lokal dapat terjadi reaksi pelepasan histamin
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
35

5. Sistem Muskular: obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila


disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi lokal.
Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi lokal khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh
mekanisme kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi
lokal dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan
memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa
kerja obat menjadi lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesik opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal
ini sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesik opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena
klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai
terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
4. Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan
anestesi spinal terdapat pada tabel dibawah ini.
36

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

2.13.7 Tehnik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Berikut adalah prosedur pelaksanaan teknik anestesi spinal:
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500
- 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml
37

9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum
(introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc.
Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater,
subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal
akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam
ruang arachnoid tersebut.

Gambar 10. Posisi Lateral pada Spinal Anestesi


38

Gambar 11. Posisi Duduk pada Spinal Anestesi


Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 12. Tusukan Medial dan Paramedial


Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring.Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit.Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motorik pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang.Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.Tekanandarah
bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang
belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor
dan keadaan umumpasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,
pusing,mual, berkeringat.
39

Gambar 13. Lokasi Dermatom Sensoris


2.3.8 Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Spinal
Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah :
 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat
cenderung menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
40

 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan


analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah
dengan posisi pasien.
2.3.9 Komplikasi Tindakan
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada sistem tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah:
a. Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan
tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi.
Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi
yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan
penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah
dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti
jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,
hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi
ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek
Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse
cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam
10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infus
cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai
tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah
balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine
1/8-1/4mg IV.
b. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan
dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal
ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika
41

tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat
dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah
komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan
terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang
cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan
faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total.
Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi
akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya
dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya
penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan
berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan
aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat
sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk
pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif.Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti
sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh
komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
c. Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan.
42

d. Komplikasi Gastro intestinal


Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi
tegak. Mulai terasa pada 24 – 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan
yang bervariasi.Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.Untuk
menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu Ondansetron atau
diberikan Ranitidine.
e. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.Nyeri
kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi
epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran
jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk
terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi
pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya
muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan
sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling
signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien
dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24
–48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan
oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan
pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik
dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal
dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif,
terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk menghentikan
kebocoran.
43

f. Nyeri Punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan
jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur
ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat
dari trauma suntikan jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan
menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.
f. Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional.
Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir
pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.
44

BAB III
KESIMPULAN

Mioma uteri atau yang disebut juga leiomioma, fibromioma dan fibroid
adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat, sehingga
bila banyak mengandung sel otot maka konsistensinya lunak, sedangkan bila
mengandung banyak jaringan ikat (fibroid) maka konsistensinya kenyal, dengan
ukuran bervariasi dari sangat kecil sampai sangat besar yang mengisi pelvis dan
abdomen dapat tunggal atau multipel. Penyebab pasti dari mioma pada rahim
masih belum diketahui secara jelas. Namun beberapa penelitian mengatakan
bahwa mioma muncul dari satu sel ganas yang berada di antara otot polos dalam
rahim. Selain itu adanya faktor keturunan juga diduga sebagai penyebab mioma.
Penanganan mioma uteri tergantung pada umur, paritas, lokasi dan ukuran tumor.
Terbagi atas :
Konservatif
Tidak ada ukuran standar kapan mioma harus diterapi. Mioma besar tanpa gejala
dan tidak mengarah ke keganasan tidak perlu diterapi. Pemeriksaan fisik dan USG
harus diulangi setiap 6-8 minggu untuk mengawasi pertumbuhan baik ukuran
maupun jumlah. Apabila pertumbuhan stabil maka pasien diobservasi setiap 3-4
bulan
Bila mioma uteri berukuran kecil, tidak cenderung membesar dan tidak memicu
keluhan yang berarti, cukup dilakukan pemeriksaan rutin setiap 3-6 bulan sekali
termasuk pemeriksaan USG. 55% dari semua mioma uteri tidak membutuhkan
suatu pengobatan dalam bentuk apapun. Menopause dapat menghentikan
pertumbuhan mioma
Pembedahan
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang
menimbulkan gejala.
45

DAFTAR PUSTAKA

1. Varghese BV, et al. (2013) Loss of the repressor REST in uterine fibroids
promotes aberrant G protein-coupled receptor 10 expression and activates
mammalian target of rapamycin pathway. Proc Natl Acad Sci USA 110 :
2187–2192
2. Ciarmela P, et al. (2011) Growth factors and myometrium: Biological
effects in uterine fibroid and possible clinical implications. Hum Reprod
Update 17(6):772–790
3. Sabry M, Al-Hendy A (2012) Medical treatment of uterine leiomyoma.
Reprod Sci 19(4):339–353
4. Tendal VR . Jeffcoates’s Principle of Gynaecology ; fifth edition ;
Butterworth London ; 1993 ; 419-32
5. Wallach EE, VlahouaNF. Uterine myoma : Anoverview of development,
clinical features and management. Obstet Gynaecol 2004 ; 104 : 393-
406
6. EA Stewart uterine fibroid. Lancet 2001; 357: 293-298
7. Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital. Dalam : Sarwono
Prawiroharjo,edisi kedua. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta
: 1994 ;338-345
8. Derek Llewellyn-Jones. Fundamentals of Obstetry and Gynaecology.
Edisi 6. Syney ; 1994
9. Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi:
Anestesiologi. EGC. Jakarta. pp:229-231
10. Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
46

LAPORAN KASUS ORANG SAKIT

A. IDENTITAS

Nama : Erlina Surya

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 45 tahun

Agama : Islam

Alamat : Jl. Bumtu Gg. Karja Prima Dsn VIII

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status Perkawinan : Sudah Menikah

No RM : 30. 88. 87

B. ANAMNESA

1. Keluhan Utama : Keluar darah dari kemaluan

2. Telaah : Keluar darah dari kemaluan yang telah dialami os

sejak ± 2 bulan ini diluar dari siklus haid, berwarna merah segar, os

mengganti duk 2-3 kali sehari, darah yang keluar disertai gumpalan-

gumpalan (+), riwayat campur suami istri berdarah (-). Riwayat nyeri perut

(+) sejak 2 bulan ini bersamaan dengan keluarnya darah dari kemaluan,

riwayat nyeri bersifat hilang timbul (+), nyeri seperti ditusuk-tusuk (+).

Riwayat perut teraba benjolan (+) sejak 2 bulan ini, awalnya kecil semakin

lama semakin membesar, riwayat keputihan (+). Riwayat dikusuk (-),

riwayat minum jamu-jamuan (-), riwayat penurunan berat badan (-), BAK

dan BAB (+) normal. RPT (-), RPO (-).


47

3. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak Ada

4. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak Ada

5. Riwayat Alergi : Tidak Ada

6. Riwayat Pengobatan : Tidak Ada

7. Riwayat Psikososial : Tidak Ada

C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Vital Sign

 Sens : Compos Mentis

 TD : 120/70 mmHg

 Nadi : 89 x/menit

 RR : 22 x/menit

 Suhu : 36,50C

 TB : 155 cm

 BB : 65 kg
Pemeriksaan Umum

Kepala

 Bentuk : Normocepali

 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), skleraikterik (-/-), Reflex cahaya

(+/+), Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, Gerak bola mata

terkonjugasi ke segala arah.

 Telinga : Bentuk normal, tidak ada deformitas, nyeri tekan (-).

 Hidung : Hidung simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung.

 Mulut : Tidak ada sianosis

Leher

 Pembesaran KGB : (-)

 Tyroid : (+) normal

 Bentuk : normal, simetris

Thorax

Paru

 Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan thorakalabdominal,

retraksi costae (-/-)

 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan

 Perkusi : sonor seluruh lapang paru

 Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru

Abdomen

 Inspeksi : simetris

 Palpasi : Soepel

 Perkusi : Timpani

48
 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

Ekstremitas : oedem -/-

Genitalia : Tidak diperiksa

Status Lokalisata

Abdomen

 Membesar : (-)

 Simetris / Asimetris : simetris

 Soepel : (+)

 Defense Musculare : (-)

 Hepar : Tidak Teraba

 Lien : Tidak Teraba

 Shifting Dullness : (-)

 Meteorismus : (-)

 Ascites : (-)

 Tumor : teraba massa (+) berbatas tegas pada perut bawah

 Besarnya : sebesar telur ayam

 Batas-batasnya : pole atas 1 jari dibawah pusat, pole bawah selentang

symphysis pubis

 Konsistensi : solid

 Permukaan : rata

 Nyeri tekan : (+)

 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

49
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Laboratorium

Hasil Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Haemoglobin 10,3 g/dL 11-12.5

Hitung Eritrosit 4.3 10^6/μL 3.9-5.6

Hitung Leukosit 8500 /μL 5.000-15.000

Hematokrit 33,7 % 32-42

Hitung Trombosit 239.000 /μL 150.000-450.000

Index Eritrosit

MCV 79,1 fL 80-96

MCH 25,0 pg 27-31

MCHC 31,7 % 30-34

Hitung Jenis Leukosit

Eosinofil 2 % 1-3

Basofil 0 % 0-1

N. Stab 0 % 2-6

N. Seg 59 % 53-75

Limfosit 28 % 20-45

Monosit 12 % 4-8

50
Hasil Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Glukosa Darah

Glukosa Darah Sewaktu 89 mg/dL < 140

Fungsi Ginjal

Ureum 30 mg/dL 20-40

Kreatinin 1 mg/dL 0.6-1.1

DIAGNOSIS : Mioma Uteri

E. RENCANA TINDAKAN

 Tindakan : TAH ( Total Abdominal Histerektomi)

 Anesthesi : RA-SAB

 PS-ASA :1

 Posisi : Supine

 Pernapasan : Nasal Kanul

F. KEADAAN PRA BEDAH

Pre operatif

B1 (Breath)

 Airway : Clear

 RR : 22x/menit

 SP : Vesikuler ka=ki

 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)

B2 (Blood)

51
 Akral : Hangat

 TD : 120/70 mmHg

 HR : 89 x/menit

B3 (Brain)

 Sensorium : Compos Mentis

 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm

 RC : (+)/(+)

B4 (Bladder)

 Urine Output : (-)

 Kateter : Terpasang

B5 (Bowel)

 Abdomen : Soepel

 Peristaltik : (+) normal

 Mual/Muntah : (-)/(-)

B6 (Bone)

 Oedem : (-)

PERSIAPAN OBAT RA-SAB

Intratekal

 Bupivacaine : 25 mg

Jumlah Cairan

 PO : RL 100 cc

 DO : RL 500 cc

 Produksi Urin :-

52
Perdarahan

 Kasa Basah : 12 x 10 = 120 cc

 Kasa 1/2 basah : 10 x 5 = 50 cc

 Suction : 250 cc

 EBV : 65 x 65 = 4225 cc

 EBL 10 % = 422 cc

20 % = 845 cc

30 % = 1.267 cc

Durasi Operatif

 Lama Anestesi= 08.30– 10.20 WIB

 Lama Operasi = 80.42 – 10.15 WIB

Teknik Anestesi : RA-SAB

Posisi duduk (SITTING) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan betadine + alkohol

→ Insersi spinocan 25G + CSF (+), darah (-), injeksi bupivacain →posisi supine

→ atur blok setinggi T4

POST OPERASI

 Operasi berakhir pukul : 10.15 WIB

 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan darah,

nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.

 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9

 Pergerakan :2

 Pernapasan :2

 Warna kulit :2

 Tekanan darah :2

53
 Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI

 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan

pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, vital sign stabil, pasien

dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, tidur telentang

dengan 1 bantal untuk mencegah spinal headache, karena obat anestesi masih

ada.

TERAPI POST OPERASI

 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

 IVFD RL 30gtt/menit

 Minum sedikit-sedikit bila peristaltik (+) normal

 Inj. Ketorolac 30mg/ 8jam IV

 Inj. Ranitidin 50mg/ 8 jam IV

 Inj. Ondansetron 4mg/ 12 jam IV bila mual/muntah

54

Anda mungkin juga menyukai