Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat yang menopangnya. Mioma uteri juga dikenal dengan istilah
fibromioma, leiomoma, ataupun fibroid. Di Indonesia mioma uteri ditemukan
2,39 % -11,7 % pada semua penderita ginekologi yang dirawat.9
Mioma uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi
efektif belum didapatkan, karena sedikitnya informasi mengenai etiologi mioma
uteri itu sendiri. Berdasarkan penelitian WHO tahun 2010 penyebab angka
kematian ibu karena mioma uteri sebanyak 22 (1,95%) kasus dan 2011 sebanyak
21 (2,04%) kasus. Mioma uteri walaupun jarang menyebabkan mortalitas, namun
morbiditas yang ditimbulkan oleh mioma uteri ini cukup tinggi karena dapat
menyebabkan nyeri perut, perdarahan abnormal, dan dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi keganasan serta diperkirakan dapat menyebabkan
kesuburan rendah atau infertilitas.1
Tingginya angka kesakitan pada wanita tidak terlepas dari berbagai factor
diantaranya dalam mengenali tanda dan gejala yang masih kurang dipahami oleh
masyarakat terutama kaum wanita, pencegahan jarang disosialisasikan dan
penanganannya yang terlambat. Masyarakat sebagai penderita biasanya tidak
merasakan keluhan apapun oleh karena itu mereka tidak segera memeriksakan dan
membiarkan penyakit ini berkembang sampai suatu gejala yang lebih lanjut.1
Mioma uteri belum pernah ditemukan sebelum terjadinya menarche,
namun sering terjadi pada wanita usia reproduktif sedangkan setelah menopause
hanya terjadi kira-kira 10% miomayang masih tumbuh. Tumor ini paling sering
ditemukan pada wanita 35 tahun kemungkinannya untuk perkembangan mioma
dibandingkan wanita yang tak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistic
menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil
atau hanya satu kali hamil. Pengobatan mioma uteri dengan gejala klinik
umumnya adalah tindakan operasi yaitu histerektomi (pengangkatan rahim) atau

1
pada wanita yang ingin mempertahankan kesuburannya miomektomi
(pengangkatan mioma) dapat menjadi pilihan.1
Tiroid merupakan kelenjar endokrin murni dalam tubuh manusia yang
terletak di leher bagian depan, terdiri atas dua bagian (lobus kanan dan lobus kiri).
Panjang kedua lobus masing-masing 5 cm dan menyatu di garis tengah, berbentuk
seperti kupu-kupu. Penyakit atau gangguan tiroid adalah suatu kondisi kelainan
pada seseorang akibat adanya gangguan kelenjar tiroid, baik berupa perubahan
bentuk kelenjar maupun perubahan fungsi (berlebihan, berkurang atau normal).5
Hipertiroid adalah keadaan klinis akibat terlalu aktifnya kelenjar tiroid
sehingga hormon tiroid yang beredar terlalu banyak. Sindrom klinis ini ditandai
dengan adanya takikardia, penurunan berat badan akibat peningkatan dari
metabolisme basal tubuh pembesaran dari kelenjar tiroid, dan eksoftalmus pada
mata. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien dengan hipertiroid
menunjukkan adanya peningkatan FT4 dan penurunan TSH.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Mioma Uteri
A. Definisi
Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid,
atau leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos
uterus dan jaringan ikat yang menumpanginya. Mioma uteri berbatas
tegas, tidak berkapsul, dan berasal dari otot polos jaringan fibrous
sehingga mioma uteri dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya
dominan, dan berkonsistensi lunak jika otot rahimnya yang dominan.3

B. Etiologi
Penyebab pasti mioma uteri tidak diketahui secara pasti. Mioma
jarang sekali ditemukan sebelum usia pubertas, sangat dipengaruhi oleh
hormone reproduksi, dan hanya bermanifestasi selama usia reproduktif.
Umumnya mioma terjadi di beberapa tempat. Pertumbuhan mikroskopik
menjadi masalah utama dalam penanganan mioma karena hanya tumor
soliter dan tampak secara makroskopik yang memungkinkan untuk
ditangani dengan cara enukleasi. Ukuran rerata tumor ini adalah 15 cm,
tetapi cukup banyak yang melaporkan kasus mioma uteri dengan berat
mencapai 45 kg.10
Para ilmuwan telah mengidentifikasi kromosom yang membawa
145 gen yang diperkirakan berpengaruh pada pertumbuhan fibroid.
Beberapa ahli mengatakan bahwa mioma uteri diwariskan dari gen sisi
paternal. Mioma biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil
pada saat menopause, sehingga diperkirakan dipengaruhi juga oleh
hormon-hormon reproduksi seperti estrogen dan progesteron. Selain itu
juga jarang ditemukan sebelum menarke, dapat tumbuh dengan cepat
selama kehamilan dan kadang mengecil setelah menopause.3

3
Pengaruh-pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan
perkembangan mioma:
1) Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan
pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan
dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Selama fase
sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen
di miometrium normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen
dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor
tersebut tertekan selama kehamilan.
2) Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma
sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan
antagonis natural dari estrogen. Progesteron menghambat
pertumbuhan mioma dengan dua cara yaitu: Mengaktifkan 17-Beta
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada
mioma.
3) Hormon Pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi
hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa,
terlihat pada periode ini memberi kesan bahwa pertumbuhan yang
cepat dari mioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari
aksi sinergistik antara hormon pertumbuhan dan estrogen.3

C. Patofisiologi
Penyebab mioma uteri menurut teori onkogenik dibagi
menjadi 2 faktor, yaitu inisiator dan promotor. Faktor-faktor yang
menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih belum diketahui dengan
pasti. Dari penelitian yang menggunakan glucose-6-phosphatase

4
dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang
uniseluler. Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma
melibatkan mutasi somatik dari miometrium normal dan interaksi
kompleks dari hormon steroid seks dan growth factor lokal. Mutasi
somatik ini merupakan peristiwa awal dalam proses pertumbuhan tumor.
Tidak didapatkan bukti bahwa hormon estrogen berperan sebagai
penyebab mioma, namun diketahui estrogen berpengaruh dalam
pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari reseptor estrogen dengan
konsistensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan myometrium
sekitarnya, namun konsentrasinya lebih rendah jika dibandingkan dengan
endometrium. Hormon progesteron meningkatkan aktivitas mitotik
dari mioma pada wanita muda, namun mekanisme dan faktor
pertumbuhan yang terlibat tidak diketahui secara pasti. Progesteron
memungkinkan pembesaran tumor dengan cara down-regulation
apoptosis dari tumor. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor dengan
meningkatkan produksi matriks ekstraseluler.
Namun, tidak ada bukti yang kuat untuk mengatakan bahwa
estrogen menjadi penyebab mioma. Telah diketahui bahwa hormon
memang menjadi precursor pertumbuhan miomatosa. Mioma tumbuh
cepat saat penderita hamil atau terpapar estrogen dan mengecil atau
menghilang setelah menopause.
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori
genitoblast. Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada
kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada
permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa
ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau
testosteron. Puuka dan kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor
estrogen pada mioma lebih banyak didapatkan daripada miometrium
normal. Menurut Meyer asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput
otot yang matur.4

5
D. Gejala klinis
Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung
dari lokasi, arah pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya
dijumpai pada 20-50% saja mioma uteri menimbulkan keluhan,
sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun. Hipermenore,
menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari mioma uteri. Dari
penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita ditemukan 44%
gejala perdarahan, yang paling sering adalah jenis mioma submukosa,
sekitar 65% wanita dengan mioma mengeluh dismenore, nyeri perut
bagian bawah, serta nyeri pinggang. Tergantung dari lokasi dan arah
pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter, dan usus dapat
terganggu, dimana peneliti melaporkan keluhan disuri (14%), keluhan
obstipasi (13%). Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya
dijumpai pada 2-10% kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi
mekanis tuba falopii. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma uteri
menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus
yang abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam
panggul.3

E. Diagnosis
1) Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma
lainnya, faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi.
Biasanya teraba massa menonjol keluar dari jalan lahir yang
dirasakan bertambah panjang serta adanya riwayat pervaginam
terutama pada wanita usia 40-an. Kadang juga dikeluhkan
perdarahan kontak.
2) Pemeriksaan Fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin
uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan

6
kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit
untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus
3) Pemeriksaan penunjang
a. Temuan Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini
disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya
cadangan zat besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan
eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan
polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan
penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter
yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan
kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal.
b. Imaging
 Pemeriksaan dengan USG (Ultrasonografi) transabdominal
dan transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma
uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada
uterus yang kecil. Uterus atau massa yang paling besar baik
diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri
secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang
mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesran
uterus.
 Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri
submukosa, jika mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut
sekaligus dapat diangkat.
 MRI (Magnetic Resonance Imaging) sangat akurat dalam
menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi mioma tetapi jarang
diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap
berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal.
MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi
dengan jelas, termasuk mioma.3

7
F. Penatalaksanaan
1) Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan
pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika
mioma lebih besar dari kehamilan 10-12 munggu, tumor yang
berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan
operasi.

2) Medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan
pertumbuhan mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat
ini. Terapi medikamentosa masih merupakan terapi tambahan atau
terapi pengganti sementara dari operatif. Preparat yang selalu
digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog GnRHa
(Gonadotropin Releasing Hormon Agonis), progesteron, danazol,
gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain
seperti gossypol dan amantadine (Verala, 2003).

3) Operatif
Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan
embolisasi arteri uterus.
a. Miomektomi, adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya
pada mioma mioma submukosa pada mioma geburt dengan cara
ekstirpasi lewat vagina.
b. Histerektomi, adalah pengangkatan uterus, yang umumnya
tindakan terpilih. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan
alasan mencegah akan timbulnya karsinoma servisis uteri.
c. Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE),
adalah injeksi arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol
melalui kateter yang nantinya akan menghambat aliran darah ke

8
mioma dan menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE lebih
ringan daripada setelah pembedahan mioma dan pada UAE
tidak dilakukan insisi serta waktu penyembuhannya yang cepat.

4) Radiasi dengan radioterapi


Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi
pada beberapa kasus.3

Bagan 1. Penatalaksanaan Mioma Uteri.4

G. Komplikasi
1) Degenerasi ganas
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan ditemukan
hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari
semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada
pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan
keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila
terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.
2) Torsi (putaran tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian

9
terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan,
gangguan akut tidak terjadi.
3) Nekrosis dan Infeksi
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang
diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya
terjadi pada mioma yang dilahirkan hingga perdarahan berupa
mtroragia atau menoragia disertai leukorea dan gangguan-
gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri.4

2. Hipertiroid
A. Definisi
Tiroid merupakan kelenjar endokrin murni dalam tubuh manusia
yang terletak di leher bagian depan, terdiri atas dua bagian (lobus kanan
dan lobus kiri). Panjang kedua lobus masing-masing 5 cm dan menyatu
di garis tengah, berbentuk seperti kupu-kupu. Penyakit atau gangguan
tiroid adalah suatu kondisi kelainan pada seseorang akibat adanya
gangguan kelenjar tiroid, baik berupa perubahan bentuk kelenjar
maupun perubahan fungsi (berlebihan, berkurang atau normal).5
Hipertiroid adalah keadaan klinis akibat terlalu aktifnya kelenjar
tiroid sehingga hormon tiroid yang beredar terlalu banyak. Sindrom
klinis ini ditandai dengan adanya takikardia, penurunan berat badan
akibat peningkatan dari metabolisme basal tubuh pembesaran dari
kelenjar tiroid, dan eksoftalmus pada mata. Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan pada pasien dengan hipertiroid menunjukkan adanya
peningkatan FT4 dan penurunan TSH.2

B. Etiologi
Penyebab paling sering dari hipertiroid (pada lebih dari 70%
orang) adalah produksi yang berlebih dari hormon tiroid oleh seluruh
kelenjar tiroid. Kondisi ini juga dikenal sebagai penyakit Graves.
Penyakit Graves ini disebabkan oleh antibodi dalam darah yang

10
menstimulasi tiroid, menyebabkannya tumbuh dan mengeluarkan
hormon tiroid terlalu banyak. Jenis hipertiroidisme ini cenderung
berhubungan dengan genetik dan terjadi lebih sering pada wanita muda.
Jenis hipertiroidisme yang lain yaitu dicirikan dengan satu atau lebih
nodul atau benjolan di tiroid yang secara bertahap dapat tumbuh dan
meningkatkan aktivitas tiroid sehingga total pengeluaran hormon tiroid
ke dalam darah lebih besar daripada normal. Kondisi ini dikenal sebagai
adenoma toksik atau gondok multinodular toksik. Dan juga seseorang
mungkin memiliki gejala dari hipertiroidisme jika mereka memiliki
kondisi yang disebut tiroiditis. Kondisi ini disebabkan oleh masalah
dengan sistem kekebalan tubuh atau infeksi virus yang menyebabkan
bocornya kelenjar tempat menyimpan hormon tiroid. Gejala yang sama
juga bisa disebabkan oleh terlalu banyak konsumsi hormon tiroid dalam
bentuk tablet. Kedua bentuk kelebihan hormon tiroid yang terakhir ini
hanya disebut tirotoksikosis, karena kelenjar tiroid tidak terlalu aktif.6

C. Patofisiologi
Hipertiroid atau tirotoksikosis merupakan gangguan sekresi
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, dimana terjadi peningkatan
produksi atau pengeluaran simpanan hormon tiroid yang mengikuti
injuri kelenjar tiroid. Hipertiroid ini paling banyak disebabkan oleh
penyakit Graves, meskipun hipertiroid dapat disebabkan beberapa
penyebab selain penyakit Graves. Akibat sekresi produksi atau
pengeluaran simpanan hormon tiroid yaitu Triiodotironin (T3) dan
Tetraiodotironin (T4) oleh sel-sel kelenjar tiroid maka sel-sel ini akan
mengalami penambahan jumlah sel atau hyperplasia, sehingga
penderita hipertiroid ini sebagian besar kelenjar tiroidnya menjadi
goiter atau pembesaran kelenjar tiroid.

11
D. Gejala klinis
Kelebihan hormone tiroid menyebabkan proses metabolic dalam
tubuh berlangsung lebih cepat. Gejala dan tanda hipertiroid adalah
sebagai berikut :

Tabel 1. Gejala Klinis Hipertiroid.5

E. Diagnosis
Penyakit hipertiroid dapat memberikan manifestasi klinis
bermacam-macam yang tergantung dari etiologi hipertiroid, yang
mempengaruhi dari fungsi kerja jantung, tekanan darah, metabolisme
tubuh, ekskresi melalui ginjal, system gastrointestinal serta otot dan
lemak, sistem hematopoetik :

1. Jantung dan vaskular


Manifestasi klinis yang terjadi akibat penyakit hipertiroid ini
lebih banyak mempengaruhi fungsi kerja jantung, dimana
jantung dipacu untuk bekerja lebih cepat sehingga mengakibatkan
otot jantung berkontraksi lebih cepat karena efek ionotropik yang
langsung dari hormon tiroid yang keluar secara berlebihan
sehingga meningkatkan rasio ekspesi rantai panjang α : β,
dengan otot jantung berkontraksi lebih cepat juga mengakibatkan

12
cardiac output yang dihasilkan menurun dan meningkatkan
tekanan darah, iktus kordis terlihat jelas, kardiomegali, bising
sitolik serta denyut nadi. Pada hipertiroid dapat menyebabkan
kelainan jantung seperti prolaps katup mitral yang sering terjadi
pada penyakit Graves atau Hashimoto, dibandingkan populasi
normal. Aritmia jantung hampir tanpa terkecuali supraventricular,
khusunya pada penderita muda. Antara 2 % dan 20% penderita
dengan hipertiroid dengan atrial fibrilasi, dan 15 % penderita
dengan atrial fibrilasi tidak terjelaskan. Atrial fibrilasi
menurunkan effisiensi respon jantung untuk meningkatkan
kebutuhan sirkulasi dan dapat menyebabkan gagal jantung.

2. Ginjal.
Hipertiroid tidak menimbulkan symptom yang dapat
dijadikan acuan terhadap traktus urinaria kecuali polyuria
sedang. Meskipun aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus, dan
reabsorbsi tubulus serta sekretori maxima meningkat. Total
pertukaran potassium menurun karena penurunan massa tubuh.

3. Metabolisme tubuh
Penyakit hipertiroid ini meningkatkan metabolisme
jaringan, yang menyebabkan peningkatan venous return akibat
meningkatnya metabolisme jaringan yang kemudian
mempengaruhi vasodilatasi perifer dan arteriovenous shunt.
Dengan terjadinya peningkatan vasodilatasi perifer dan
arteriovenous shunt maka darah yang terkumpul semakin
bertambah sehingga venous return ke jantung akan meningkat,
disamping itu vasodilatasi perifer yang terjadi juga meningkatkan
penguapan sehingga pengeluaran keringat bertambah.

4. Sistem gastrointestinal

13
Hipertiroid juga meningkatkan absorbsi karbohidrat tetapi
hal ini tidak sebanding dengan penyimpanan karbohidrat karena
metabolisme pada hipertiroid meningkat sehingga simpanan
karbohidrat berkurang dan lebih banyak dipakai dan juga
meningkatkan motilitas usus, yang kemudian mengakibatkan
pasien hipertiroid mengalami hiperfagi dan hiperdefekasi.

5. Otot dan lemak


Pada pasien hipertiroid secara fisik mengalami penurunan
berat badan dan tampak kurus karena hal ini disebabkan
peningkatan metabolisme jaringan dimana simpanan glukosa
beserta glukosa yang baru diabsorbsi digunakan untuk menghasilkan
energi yang akibatnya terjadi pengurangan massa otot. Hal ini juga
terjadi pada jaringan adiposa/lemak yang juga mengalami
lipolisis dimana simpanan lemak juga akan dimetabolisme untuk
menghasilkan energi. Dan bila simpanan glukosa dan lemak ini
berkurang maka tubuh akan memetabolisme protein yang
tersimpan di dalam otot sehingga massa otot akan semakin
berkurang. Sehingga pada otot akan terjadi kelemahan dan kelelahan
yang tidak dapat dihubungkan dengan bukti penyakit secara objektif.

6. Hemopoetik
Pada hipertiroid menyebabkan peningkatan eritropoiesis
dan eritropoetin karena kebutuhan akan oksigen meningkat. Hal
ini disebabkan karena peningkatan metabolisme tubuh pada
hipertiroid.

7. Sistem Respirasi
Dyspnea biasanya terjadi pada hipertiroid berat dan faktor
pemberat juga ikut dalam kondisi ini. Kapasitas vital biasanya
tereduksi kareana kelemahan otot respirasi. Selama aktivitas,

14
ventilasi meningkat untuk memenuhi pemenuhan oksigen yang
meningkat, tapi kapasitas difus paru normal.

Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mengetahui kadar hormon tiroid dalam tubuh
dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan mengukur kadar TSH
serum, serum T4 dan T3. Untuk pengukuran serum TSH
dilakukan karena disfungsi tiroid yang biasanya muncul dari
gangguan primer kelenjar tiroid, pengukuran TSH serum ini
lebih banyak dilakukan untuk mengetahui disfungsi tiroid yang
muncul. Sensitivitas axis hypothalamus-pituitari-tiroid memastikan
bahwa terjadinya hipotiroid primer dan tirotoksikosis karena
gangguan primer tiroid atau hormon tiroid luar dapat dideteksi.
Umumnya ada dua immunoassays yang digunakan untuk
mengukur TSH (dan T4 dan T3) dalam sampel serum yaitu
Immnunometric assays (IMA) dan Radioimmnuno assays (RIA).
Dalam IMA atau “Sandwich assays” Umumnya, TSH RIA
adalah kurang sensitive dan kurang banyak digunakan daripada
IMA.
Pengukuran serum T4 dan T3 baik total dan bebas (free) T4
dan T3 diukur dengan bermacam teknik pengujian otomatis.
Serum total konsentrasi hormon tiroid banyak tersedia dan akurat
untuk menduga pasien dengan disfungsi tiroid yang jelas.
Konsentrasi T4 bebas sendiri digunakan untuk diagnosa
disfungsi tiroid, dimana angka keadaan dari hipertiroid
sejati/primer atau hipotiroid harus dibedakan. Dalam suatu
keadaan, hipertiroidisme sejati/primer tidak termasuk dalam kadar
serum TSH normal. Dan sebaliknya, ada juga kemungkinan keadaan
dalam serum tiroksin bebas yang dapat menjadi subnormal pada
eutiroid individual. Dan nilai rujukan untuk uji indeks T4 bebas

15
(FT4I) yaitu eutiroid = 3,7- 6,5 ; hipertiroid = 7,8-20,2 ; hipotiroid =
0,1-2,6.
Konsentrasi total dan T3 bebas dapat juga dihitung dengan
IMA spesifik. Pengukuran T3 serum digunakan untuk (1).
Mengenali pasien dengan tirotoksis T3, derajat ringan
hipertiroidisme dalam serum T3 yang naik dengan serum T4
normal ; (2). Untuk sepenuhnya menetapkan beberapa
hipertiroidisme dan mengawasi respon terapi ; (3). Membantu
dalam diferensial diagnosa pasien dengan hipertiroidisme. T3
merupakan yang paling banyak dikeluarkan pada kebanyakan
pasien penyakit graves, dan beberapa dengan goiter toksik
nodular, rasio serum T3:T4 (dinyatakan dalam ng/dl:µg/dl.) yaitu
terbanyak daripada 20 pasien dengan kondisi ini. Tiroglobulin
dapat diukur dalam serum dengan salah satu tes yaitu IMA atau
RIA. Berikut tes laboratorium yang digunakan untuk diagnosis
diferensial hipertiroidisme

Bagan 2. Tes laboratorium untuk diagnosis differensial hipertiroidisme.7

16
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh
kecurigaan klinis, yang didasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
secara teliti, kemudian diteruskan dengan pemeriksaan penunjang
untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid, dan etiologi.
Gejala-gejala yang sering tampak pada penderita
hipertiroidisme seperti sering gugup, iritabilitas, peningkatan
respirasi, bedebar-debar, tremor, ansietas, susah tidur (insomnia),
berkeringat banyak, rambut rontok, dan kelemahan pada otot,
khususnya kerja dari otot lengan dan kaki, frekuesi buang air besar
terganggu, kehilangan berat badan yang cepat, retraksi kelopak mata,
eksoftalmos, pada wanita periode menstruasi lebih cepat dan aliran
darah lebih kencang. Pemeriksaan kelenjar tiroid ditemukan
pembesaran difus yang disertai bruit akibat peningkatan
vaskularisasi kelenjar tiroid. Hiperthiroid biasanya mulainya lambat,
tetapi pada beberapa pasien muda perubahan ini terjadi sangat cepat.
Awalnya gejela dirasakan yang diartikan salah, contoh perasaan
gugup yang dianggap karena stress.
Diagnosis dari hipertiroidisme dikonfirmasi dengan tes
laboratorium yang mengukur jumlah dari hormon tiroid. Dalam
keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4)
dan tri-iodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan
thyrotropin stimulating hormon (TSH). Artinya, bila T3 dan T4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika
kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pada
penyakit Graves’, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi
hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid
menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan
produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi
rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan
TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling

17
sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH
sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka
mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa
kadar T4 bebas (free T4/FT4).6

F. Penatalaksanaan
Terdapat tiga modalitas terapi penyakit hipertiroid, yaitu obat
antitiroid, tindakan bedah, dan terapi radioiodin. Modalitas utama yang
paling banyak digunakan adalah obat antitiroid (OAT). OAT terdiri dari
2 golongan, yaitu golongan Tionamid (Propiltiourasil (PTU)), dan
golongan Imidazol (Metimazol, Tiamazol, dan Karbimazol).
Tujuan pemberian OAT adalah untuk menurunkan konsentrasi
hormon tiroid di perifer. Obat golongan tionamid mempunyai efek intra
dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah
mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan
cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat
coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi
ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di
jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar
kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih
dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera
hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU,
sehingga dapat diberikan sebagai dosisi tunggal.
Propiltiourasil mempunyai kelebihan dibandingkan
methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,
sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase
akut dari penyakit Graves’. Methimazole mempunyai masa kerja yang
lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Dosis PTU
dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai

18
dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis
dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan
sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan etimazol/ tiamazol 5-10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan
kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-
faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas
fisis dan psikis.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai
efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati,
lupus like syndrome , yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana
untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika. Efek samping lain
yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti
Tiroid antara lain ikterus kholestatik, angioneurotic edema,
hepatocellular toxicity dan arthralgia akut. Untuk mengantisipasi
timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu
pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi
hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila
ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih
modalitas pengobatan yang lain seperti radioiodin atau operasi. Bila
timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba
diganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol
atau sebaliknya.

19
Radioiodin menggunakan yodium radioaktif untuk
menghancurkan sel-sel tiroid secara progresif. Radioiodin dapat
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama maupun sebagai terapi lini
kedua pada pasien yang mengalami relaps setelah pengobatan OAT.
Modalitas ini dikontraindikasikan pada ibu hamil dan menyusui.
Tindakan bedah dapat dipertimbangkan pada pasien yang sudah
menjalani pengobatan dengan OAT namun mengalami relaps.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, edema laring,
hipoparatiroidisme, dan cedera nervus laringeus rekurens.
Penatalaksanaan bertujuan mencapai remisi, yaitu keadaan dimana
pasien masih dalam keadaan eutiroid setelah obat antitiroid dihentikan
selama satu tahun.
Terapi simptomatis yang diberikan yaitu berupa β-adrenergik-
antagonis yang berfungsi mengurangi dampak hormon tiroid pada
jaringan, obat ini sebagai tambahan, kadang sebagai obat tunggal pada
tiroiditis. Obat yang dapat diberikan ialah propanolol, metoprolol, dan
atenolol. Selain itu juga dengan bahan yang mengandung iodine seperti
kalium iodida, asam lopanoat, natrium ipodat, yang berperan
menghambat keluarnya T4 dan T3 serta menghambat produksi T3
ekstratiroidal. Bahan ini digunakan untuk persiapan tiroidektomi, pada
krisis tiroid bukan untuk penggunaan rutin.7

G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada Grave’s Disease merupakan
dampak dari kejadian eksaserbasi akut akibat terjadinya krisis tirotoksis
(thyroid storm). Eksaserbasi akut tersebut biasanya muncul dalam
bentuk sindrom yaitu muncul sebagai kumpulan gejala dan tanda
tirotoksikosis. Terkadang, thyroid storm terjadi dalam bentuk yang
ringan dan sederhana. Manifestasi klinis dari thyroid storm ditandai
dengan hipermetabolisme dan respon adrenergik yang berlebihan.
Beberapa gejala yang terjadi pada thyroid storm yaitu:1

20
 Demam berkisar 38 hingga 48°C berasosisasi dengan
berkeringat dan flushing
 Takikardia (lebih sering terjadi dalam bentuk fibrilasi atrium
dan peningkatan tekanan darah) hingga terkadang berujung kepada
gagal janung.
 Gejala yang memengaruhi sistem saraf pusat seperti agitasi,
tidak bisa tidur, mengigau, dan koma.
 Gejala yang memengaruhi sistem gastrointestinal seperti mual,
muntah, diare, dan sakit kuning (jaundice).
 Komplikasi yang paling parah akibat thyroid storm yaitu gagal
jantung dan syok

Komplikasi lain
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat Graves disease meliputi:
 Risiko pada kehamilan seperti keguguran, lahir kurang bulan,
disfungsi tiroid pada janin, pertumbuhan janin yang terganggu,
gagal jantung pada ibu hamil, dan preeklamsia. Preeklamsia
merupakan kondisi ibu hamil yang memiliki tekanan darah tinggi
dengan gejala dan tanda lainnya.
 Gangguan pada jantung. Apabila Graves’ disease tidak
ditangani, maka akan dapat mengarah kepada ganguan ritme
jantung, perubahan pada struktur dan fungsi otot jantung, dan
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang cukup untuk
tubuh (gagal jantung kongestif).
 Tulang yang rapuh. Hipertiroid yang tidak ditangani juga akan
mengarah kepada tulang yang lemah dan rapuh (osteoporosis).
Kekuatan tulang bergantung salah satunya bergantung pada
kalsium dan mineral lain yang menjadi penyusun utamanya.
Terlalu banyak hormon tiroid akan mengganggu kemampuan tubuh
untuk menggabungkan kalsium ke dalam tulang.8

21
BAB III

LAPORAN KASUS STATUS PASIEN

1. Identitas
Nama : Nn. S
Umur : 42 Tahun
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Jl. Leces Permai
Pekerjaan Pasien : Ibu rumah tangga
Pendidikan Pasien : SD
Agama : Islam
Masuk Tanggal : 31 Juli 2017 Datang Pukul 19.30 WIB
Keluar Tanggal : 3 Agustus 2017 Pulang Pukul 17.00 WIB
Pemeriksaan tanggal : 31 Juli 2017 Pukul 19.30 WIB

2. Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri pada perut sejak 3 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Mohammad Saleh Probolinggo dengan
keluhan nyeri pada perut bawah sejak 3 hari yang lalu. Pasien merasakan
nyeri terus-menerus dan tidak membaik dengan istirahat. Pasien juga
mengatakan tidak pernah berobat kemana pun. Kalau sakit pasien membeli
obat di warung. Pasien mengatakan awalnya merasa sakit seperti ini kurang
lebih 1 tahun yang lalu, namun memberat 3 hari terakhir. Pasien mengatakan
sebelum ke RSUD dr. Mohammad Saleh sempat di USG di dokter dan
dikatakan menderita Myoma Uteri. Pasien mengatakan memiliki riwayat
mens tidak teratur. Kadang banyak, kadang sedikit dan siklus mens yang
tidak teratur. Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan dilehernya. Benjolan
ini dirasakan sudah sejak 1 tahun yang lalu. Pasien tidak pernah
memeriksakan benjolan ini ke dokter maupun puskesmas terdekat karena

22
tidak merasakan keluhan pada benjolan tersebut. Selain itu pasien
mengeluhkan dadanya yang sering berdebar-debar. Rasa berdebar-debar ini
juga dirasakan sudah sejak lama. Pasien mengatakan kira-kira 1 tahun yang
lalu mulai berdebar-debar. Pasien tidak pernah memeriksakan ke dokter
maupun rumah sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu : Diabetes mellitus (-), Hipertensi (-), alergi


makanan (+), Penyakit Menular Seksual (-),
Hepatitis B (-), Pusing (-), Pandangan kabur (-),
struma (+), berdebar-debar (+)
Riwayat Penyakit keluarga : Ibu kandung pasien menderita penyakit serupa.
Diabetes mellitus (-), Hipertensi (-), Asma (-),
Penyakit Menular Seksual (-), tumor (+), Gemeli
(-), Merokok (-), Alkohol (-)
Riwayat Psiko-Sosial : Merokok (-), Alkohol (-)
Riwayat Pernikahan : Belum Menikah
Riwayat Menstruasi : Pertama haid usia 14 tahun. Haid tidak teratur,
sebulan 1 kali, pernah 2 kali sebulan, lama haid
3-7 hari, keluar kadang sedikit kadang banyak
dan encer.
 Haid : teratur/tidak : tidak teratur
 Sebulan : 1-2 kali
 Siklus : 28-30 hari
 Selama : 3-7 hari
 Nyeri -/+ sebelum/selama/sesudah haid darah
yang keluar
banyak/sedikit/encer/menggumpal : nyeri (-),
sebelum dan selama haid, darah yang keluar
kadang banyak (10x ganti pembalut tiap hari)
kadang sedikit (1x ganti pembalut tiap hari)
dan encer

23
 Menarche : 14 tahun
 Flour albus : +/-: -
Riwayat Obstetrik : -
Jumlah Anak : -
Kelainan lain :
 Nafsu makan : Menurun
 Berat Badan : 50 kg, Tinggi Badan : 150 cm
 Buang Air Besar : Kadang mencret
 Buang Air Kecil : Dalam batas normal
 Sesak :-
 Berdebar-debar : +
 Pusing :-
 Mata Kabur :-
 Epigastric pain :-

Anamnesa Keluarga
 Tumor : + (ibu kandung pasien)
 Gemeli :-
 Operasi :-

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Cukup
 Kesadaran : Compos mentis
 a/i/c/d : -/-/-/-
 GCS : E4V5M6
 Gizi : Cukup
 Tensi : 120/80 mmHg
 Nadi : 84x/menit
 Suhu : 36,9oC

24
 Pernapasan : 30x/menit
Kepala
 Bentuk : Normocephal
 Tumor :-
 Rambut : Hitam lurus
 Mata :
- Konjungtiva : cukup anemis -/-
- Sklera : ikterik -/-
- Pupil : bulat, isokor +/+ reflek pupil +/+
 Telinga dan hidung : tidak ada kelainan
 Mulut : tidak ada kelainan
Leher
 Struma :+
 Bendungan vena : -
Thorax
 Jantung : S1S2 tunggal, murmur (-), ireguler
 Paru-Paru : suara dasar vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
 Payudara : Tumor -/-, colostrum -/-, hiperpigmentasi -/-
Abdomen
 Hepar : dalam batas normal
 Lien : dalam batas normal
Genitalia Eksterna
 Edema :-
Ekstremitas
 Akral hangat : +/+
 Edema : -/-
 Reflek Fisiologis : +/+
 Reflek Patologis : -/-
 Kelainan Orthopedic : -/-
4. Status Obstetrik & Ginekologi (Tanggal 31 Juli 2017)

25
 Muka
- Cholasma gravidarum : -/-
- Exopthalmus : -/-
 Leher
- Struma : -/-
 Thorax
- Mamae
o Membesar ? -
o Lembek/tegang ? lembek
o Hiperpigmentasi ? -
o Colostrum ? -/-
- Inspeksi
o Perut membesar ? +
o Striae gravidarum? -
o Striae gravidarum alba ? -
o Striae gravidarum lividae ? -
o Hiperpigmentasi line alba ? -
o Nampakkah gerakan anak ? -

 Palpasi Abdomen
- Leopold I : Tinggi Fundus Uteri 3 jari di bawah pusat, teraba
massa dengan konsistensi padat keras, mobile, nyeri tekan (-)
 Genitalia eksterna
- Flour :-
- Fluksus :-
 Perineum
- Cicatrix :-
 Anus
- Haemorrhoid externa :-
 Pemeriksaan dalam

26
- VT :-
5. Pemeriksaan Laboratorium (1 Agustus 2017)
 Hb : 11,1 g/dl
 Leukosit : 14.300/mm3
 Trombosit : 117.000/mm3
 HBsAg : - (Negatif)
6. Diagnosis
P0000 Ab000 + Myoma Uteri + Hipertiroid
7. Prognosis
Dubia ad Bonam
8. Terapi awal
Infus RL 500 cc 20 tpm
Inj. Cefotaxime 2x1 gram IV
Kaltropen supp. 3x1

FOLLOW UP
- 1 Agustus 2017
06.30
– Keadaan umum : lemah
– Pasien mengatakan nyeri di perut bawah, dada berdebar dan
sesak. Nafsu makan menurun, hanya makan roti sedikit dan
minum. Mual jika makan nasi. BAB 5x sejak subuh, encer,
berwarna agak kehitaman.wajah pasien tampak pucat.
Tampak pembengkakan pada leher dengan batas tegas,
nyeri telan (-)
– Tensi : 120/80 mmHg, Nadi : 84 x/menit, RR: 30 x/menit,
Suhu : 36,9oC
– Terapi : Infus RL 500ml 20 tpm 20mg

07.35

27
– Pasang O2 nasal 4lt/menit.
– Posisi semi Fowler.
08.00
– Inj. Cefotaxim 1x1 g/IV
– Kaltrop supp 1

08.30
– Tensi: 110/80 mmHg, Nadi 95x/menit, suhu: 36,50C, RR:
35x/menit

09.30
– Tensi: 120/70 mmHg, nadi: 92x/menit, suhu: 370C, RR:
35x/menit

10.30
– Tensi:110/70 mmHg, Nadi: 90x/menit, suhu: 36,90C, RR:
35x/menit

10.40
– Cek lab RFT, LFT, GDA

10.45
– Pasien diantarkan menuju lab radiologi untuk USG

10.55
– Pasien dikonsulkan ke dokter spesialis penyakit dalam
– Advis: PTU 3x200mg, inj. Dexametason 3x1 amp/IV, inj.
Santagesik 3x1 amp/IV

12.00

28
– Tensi: 120/80 mmHg, nadi: 88x/menit, suhu 36,70C, RR:
34x/menit

13.00
– Pasien minum obat PTU 400mg

13.05
– Pasien muntah

13.25
– Lapor dokter spesialis penyakit dalam
– Advis: inj. Ranitidine 2x1, inj. Omeprazole kalau muntah
terus.

13.55
– Hasil USG: Uterus myomatous dengan myom yang sangat
besar dengan struktur heterogen diameter ±120x85x70mm,
maligna; hidronefrosis ringan kiri
– Tensi: 120/70 mmHg, nadi: 88x/menit, suhu: 36,90C, RR:
38x/menit

15.00
– KU: lemah, tampak pucat, nyeri perut bagian bawah (+),
terpasang O2 nasal 4lt/menit, infus RL 20 tpm.
– Tensi: 110/80 mmHg, nadi: 120x/menit, suhu: 37,10C, RR:
35x/menit.

15.30
– Tensi 110/70 mmHg, nadi 118x/menit, suhu: 36,50C, RR:
36x/menit

29
– Terpasang O2 nasal 4lt/menit.

16.00
– Inj. Dexametasone 1x1/IV, inj. Santagesik 1x1/IV.
– Tensi: 110/80 mmHg, nadi: 118x/menit, suhu: 36,50C, RR:
36x/menit.

17.00
– Tensi: 100/80, nadi: 100x/menit, suhu: 360C, RR:
34x/menit
– Terpasang O2 nasal 4lt/menit
– Hasil lab: HbsAg (-) LFT: OT: 75, PT: 37, RFT: Bun: 25,1,
Cr: 1,1, UA: 5,7.

17.30
– Tensi: 90/60 mmHg, nadi: 72x/menit, suhu: 36,5 0C, RR:
36x/menit
– Terpasang O2 nasal 4lt/menit

18.00
– Tensi: 110/70 mmHg, nadi: 100x/menit, suhu: 36,10C, RR:
36x/menit
– Terpasang O2 nasal 4lt/menit

19.00
– Tensi: 120/80 mmHg, nadi: 74x/menit, suhu: 36,60C, RR:
40x/menit
– Terpasang O2 nasal 4lt/menit
– Tab. Iodia 1x1/PO
– BAB 3x

30
20.00
– Tensi: 130/70 mmHg, nadi: 90x/menit, suhu:36,70C, RR:
40x/menit
– Terpasang O2 nasal 4lt/menit
– Inj. Cefotaxim 1x1/IV

21.30
– KU: cukup, tidak panas, konjungtiva anemi (-), pasien tidak
sesak, nyeri perut bagian bawah (-) terpasang infus RL 20
tpm, terpasang O2 nasal 2lt/menit
– Tensi: 110/80 mmHg, nadi: 72x/menit, suhu: 36,50C, RR:
22x/menit,

21.45
– Aff O2 nasal

23.00
– PTU 200mg / PO

00.00
– Inj. Antrain 1x1/IV, inj. Dexamethasone 1x1/IV
– Tensi: 110/80 mmHg, nadi: 88x/menit, suhu: 36,50C, RR
32x/menit
– Pasang O2 nasal 3lt/menit

03.00
– Tab. Iodia 1x1/PO

04.00

31
– Aff O2

06.00
– Kaltrop 1x1 supp/rectum
– Tensi: 130/80 mmHg, nadi: 75x/menit, suhu: 36,50C, RR:
20x/menit
– BAB 1x lunak, agak keras

- 2 Agustus 2017
07.00
– PTU 200mg 1x1/PO
– Keadaan umum: cukup
– Pasien sudah tidak diare lagi, rasa berdebar di dada sudah
berkurang, sudah tidak sesak. Nyeri di perut bawah
berkurang, BAK lancar, mobilisasi pelan-pelan.
– Terpasang infus RL 20 tpm
– Tensi: 120/70 mmHg, nadi: 88x/menit, suhu: 36,80C, RR:
24x/menit
– Inj. Cefotaxim 1x1g/PZ 100
– Inj. Santagesik 1x1 amp/IV
– Inj. Dexametason 1x1 amp/IV

08.00
– Tensi: 110/90, nadi: 84x/menit, suhu: 36,20C, RR
28x/menit

09.30
– Tensi: 120/70, nadi 88x/menit, suhu 36,70C, RR: 24x/menit

15.00

32
– KU: cukup, konjungtiva tidak anemis, mobilisasi (+),
terpasang infus RL 20 tpm,
– Tensi: 120/90 mmHg, nadi: 100x/menit, suhu: 36,50C, RR:
20x/menit
– PTU 200mg/PO
19.00
– Inj. Dexametason 1x1 amp/IV
20.00
– Tensi: 130/90 mmHg, nadi: 80x/menit, suhu: 360C, RR:
22x/menit

21.30
– KU: cukup, konjungtiva tidak anemis,terpasng infus RL 20
tpm,
– Tensi: 130/80 mmHg, nadi: 84x/menit, suhu: 36,70C, RR:
22x/menit
– Inj. Dexametason 1x1 amp/IV

06.00
– Tensi: 140/80 mmHg, nadi: 80x/menit, suhu: 36 0C,
RR:20x/menit
– Keluhan muntah tadi subuh 1x, nyeri ulu hati (+)
– Thyrozal 1x10mg/PO

- 3 Agustus 2017
08.00
– KU: lemah, nyeri tekan epigastrium (+), terpasang infus
RL 20 tpm
– Tensi: 120/80 mmHg, nadi: 90x/menit, suhu: 360C, RR
22x/menit

33
– Propranolol 1x1 tab/PO, inj. Dexametason 1x1 amp/IV

12.00
– Visite dari dokter spesialis penyakit dalam: pasien sudah
dijinkan untuk rawat jalan dan disarankan untuk kontrol ke
poli penyakit dalam
– Terapi dari dokter spesialis penyakit dalam: Thyrozal
1x10mg/ PO, Propanolol 2x40mg/PO, Omeprazole 2x1/PO,
Ranitidine 3x1/PO, Ibuprofen 3x1mg/PO

17.00
– Pasien pulang (KRS)

34
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD dr. Mohammad Saleh Probolinggo dengan


keluhan nyeri pada perut bawah sejak 3 hari yang lalu. Pasien merasakan nyeri
terus-menerus dan tidak membaik dengan istirahat. Rasa sakit dirasakan pada
benjolan yang ada di dalam perutnya. Pasien juga mengatakan tidak pernah
berobat kemana pun. Kalau sakit pasien membeli obat di warung. Pasien
mengatakan awalnya merasa ada benjolan ini kurang lebih 3 tahun yang lalu,
namun 3 hari terakhir dirasakan sangat sakit. Pasien mengatakan sebelum ke
RSUD dr. Mohammad Saleh sempat di USG di dokter dan dikatakan menderita
Myoma Uteri. Pasien mengatakan memiliki riwayat mens tidak teratur. Kadang
banyak, kadang sedikit dan siklus mens yang tidak teratur. Pasien juga
mengeluhkan adanya benjolan dilehernya. Benjolan ini dirasakan sudah sejak 1
tahun yang lalu. Pasien tidak pernah memeriksakan benjolan ini ke dokter maupun
puskesmas terdekat karena tidak merasakan keluhan pada benjolan tersebut.
Selain itu pasien mengeluhkan dadanya yang sering berdebar-debar. Rasa
berdebar-debar ini juga dirasakan sudah sejak lama. Pasien mengatakan kira-kira
1 tahun yang lalu mulai berdebar-debar. Pasien tidak pernah memeriksakan ke
dokter maupun rumah sakit. Pasien tidak ada riwayat penyakit diabetes mellitus,
hipertensi, asma, dan alergi obat. Pasien hanya alergi makanan seperti telur, ikan,
ayam, sapi dan olahan daging lainnya. Saat ditanyakan mengenai riwayat penyakit
keluarga pasien mengatakan ibu kandung pasien juga memiliki tumor pada
rahimnya.

35
Pertama adalah mengenai mioma uteri yang dialami oleh pasien. Saat di
IGD pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut bawah sejak 3 hari yang lalu.
Untuk mengatasi nyeri pada pasien ini diberikan Kaltrofen suppositoria. Kaltrofen
adalah merek obat yang mengandung bahan aktif ketoprofen. Obat ini digunakan
pada orang dewasa untuk meredakan rasa sakit, peradangan, dan menurunkan
demam. Ketoprofen adalah obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) yang
memiliki efek analgesik, anti peradangan dan penurun panas (antipiretik).
Saat diruangan pasien mendapat terapi obat cefotaxime dan kaltrofen
suppositoria. Pemberian Cefotaxime adalah obat untuk berbagai macam infeksi
bakteri seperti infeksi pernapasan bagian bawah, infeksi saluran kemih,
meningitis, dan gonore. Cefotaxime termasuk dalam obat antibiotik
kelas cephalosporin. Cata kerjanya adalah dengan menghentikan pertumbuhan
bakteri. Cefotaxime diberikan melalui suntikan ke dalam otot atau pembuluh
darah sesuai arahan dokter.
Selama perawatan pasien mengeluhkan nyeri pada perutnya. Gejala nyeri
tidak khas untuk mioma, walaupun sering terjadi. Hal ini timbul karena gangguan
sirkulasi darah pada sarang mioma yang disertai dengan nekrosis setempat dan
peradangan. Pada pengeluaran mioma submukosa yang akan dilahirkan, pada
pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan
dismenorrhoe. Dapat juga rasa nyeri disebabkan karena torsi mioma uteri yang
bertangkai. Dalam hal ini sifatnya akut, disertai dengan rasa mual dan muntah-
muntah. Pada mioma yang sangat besar, rasa nyeri dapat disebabkan karena
tekanan pada pleksus uterovaginalis, menjalar ke pinggang dan tungkai bawah.
Selain pemeriksaan darah, pasien juga diperiksa secara radiologi. Hasil dari
pemeriksaan tersebut adalah Uterus myomatous dengan myom yang sangat besar
dengan struktur heterogen diameter ±120x85x70mm, maligna. Pemeriksaan
imaging merupakan salah satu pemeriksaan standar pada kasus mioma maligna.
Sebelum dirawat di rumah sakit, pasien mengeluhkan menstruasinya yang
tidak lancar. Diperkirakan 30% wanita dengan mioma uteri mengalami kelainan
menstruasi, menoragia atau menstruasi yang lebih sering. Tidak ditemukan bukti
yang menyatakan perdarahan ini berhubungan dengan peningkatan luas

36
permukaan endometrium atau kerana meningkatnya insidens disfungsi ovulasi.
Teori yang menjelaskan perdarahan yang disebabkan mioma uteri menyatakan
terjadi perubahan struktur vena pada endometrium dan miometrium yang
menyebabkan terjadinya venule ectasia. Miometrium merupakan wadah bagi
faktor endokrin dan parakrin dalam mengatur fungsi endometrium. Aposisi kedua
jaringan ini dan aliran darah langsung dari miometrium ke endometrium
memfasilitasi interaksi ini. Growth factor yang merangsang stimulasi
angiogenesis atau relaksasi tonus vaskuler dan yang memiliki reseptor pada
mioma uteri dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal dan menjadi target
terapi potensial. Sebagai pilihan, berkurangnya angiogenik inhibitory factor atau
vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat juga
menyebabkan perdarahan uterus yang abnormal.
Penyebab dari mioma uteri secara pasti belum diketahui, tetapi terdapat
korelasi antara pertumbuhan tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-
progesteron pada jaringan mioma uteri, serta adanya faktor predisposisi yang
bersifat herediter dan faktor hormon pertumbuhan dan Human Placental Lactogen.
Para ilmuwan telah mengidentifikasi kromosom yang membawa 145 gen
yang diperkirakan berpengaruh pada pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli
mengatakan bahwa mioma uteri diwariskan dari gen sisi paternal. Mioma
biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil pada saat menopause,
sehingga diperkirakan dipengaruhi juga oleh hormon-hormon reproduksi seperti
estrogen dan progesteron. Selain itu juga jarang ditemukan sebelum menarke,
dapat tumbuh dengan cepat selama kehamilan dan kadang mengecil setelah
menopause.
Salah satu penyebab dari mioma uteri pada pasien ini karena faktor
keturunan. Ibu kandung pasien juga menderita penyakit serupa. Wanita dengan
garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri mempunyai 2,5
kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan wanita tanpa
garis keturunan penderita mioma uteri. Selain itu, faktor usia juga mungkin
berperan dalam kasus ini. Pasien berusia 42 tahun saat menjalani rawat inap di
rumah sakit. Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun

37
yaitu mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun.
Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. Pada usia
sebelum menarche kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi,
serta akan turun pada usia menopause. Pada wanita menopause mioma uteri
ditemukan sebesar 10%.
Selain menderita mioma uteri, pasien juga menderita hipertiroid. Hal ini
dibuktikan pada pemeriksaan inspeksi didapatkan massa pada leher pasien
berukuran ±7x5cm. Gejala lain yang meyakinkan bahwa ini adalah suatu penyakit
hipertiroid adalah pasien mengalami penurunan berat badan secara signifikan,
detak jantung yang cepat atau tidak teratur (jantung berdebar). Pasien mengatakan
berat badannya mengalami penurunan ±10 kg sejak 1 tahun yang lalu. Pada
pemeriksaan auskultasi didapatkan denyut jantung yang kuat dan irama yang
ireguler. Hal ini terjadi karena pada pasien dengan hipertiroid terjadi peningkatan
hormon tiroksin dalam tubuh yang menyebabkan metabolisme tubuh meningkat.
Selama dirawat di rumah sakit pasien mendapatkan terapi obat PTU atau
propiltiourasil yang merupakan obat anti tiroid yang sering digunakan. Kerjanya
dengan menghambat sintesis hormon tiroid dengan menghambat oksidasi dari
iodin dan menghambat sintesistiroksin dan triodothyronin. Obat ini
memperlambat fungsi tiroid dengan cara mengurangi pembentukan hormon tiroid
oleh kelenjar. Untuk pengobatan hipertiroidisme : dosis awal lazim dewasa : 300-
450 mg sehari : untuk pasien hipertiroidisme parah mungkin memerlukan dosis
awal 600-1200 mg sehari : Secara umum jika suatu saat kontrol gejala telah
terpenuhi, terapi dilanjutkan sesuai dosis awal selama 2 bulan. Dosis
pemeliharaan propiltiourasil sangat bervariasi tapi secara umum berkisar dari satu
pertiga sampai dua pertiga dosis awal. Untuk pengobatan krisis tirotoksik, dosis
lazim propiltiourasil adalah 200 mg setiap 4-6 jam pada hari pertama, jika suatu
saat gejala telah terpenuhi, dosis terapi diturunkan secara bertahap sampai tingkat
dosis pemeliharaan. Selain PTU pasien juga mendapatkan terapi obat Propanolol.
Obat Beta-blocker (propranolol) dapat membantu untuk mengontrol denyut nadi
cepat, berkeringat, kecemasan, dan tekanan darah.

38
Hubungan antara mioma uteri dengan hipertiroid masih memerlukan
penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan antara kedua penyakit tersebut.
Menurut Frederick Howard Falls pada penelitiannya yang berjudul “Concerning
The Relationship Between Fibroids Of The Uterus And The Thyroid Gland,” pada
seribu wanita dengan fibroid uterus, tidak ada bukti bahwa gondok disebabkan
oleh fibroid. Komplikasi fibroid yang disebabkan oleh kelainan patologi dari
adneksa dan perubahan degeneratif tidak berkaitan dengan tingginya angka
kejadian penyakit tiroid dalam kasus-kasus yang lain. Menurut Hee Kim et al,
pada penelitiannya yang berjudul “The relationship between thyroid nodules and
uterine fibroids.” Kim menyimpulkan bahwa sesuai dengan penelitian
sebelumnya, hasil penelitiannya menunjukkan fibroid uterus pada wanita sangat
berkaitan dengan nodul tiroid karena secara klinis, nodul tiroid jinak tumbuh
perlahan setelah menopause, yang menunjukkan nodul tiroid bergantung pada
hormon seks seperti estrogen, seperti fibroid uterus yang cenderung membesar
saat hamil dan mengalami kemunduran setelah menopause. Sesuai dengan temuan
ini, hasil Kim juga menyimpulkan bahwa kedua penyakit tersebut terkait erat dan
mungkin memiliki mekanisme patofisiologis yang sama. Namun, berbeda halnya
dari kejadian nodul tiroid dengan tingkat E2 pada wanita pramenopause, karena
dalam studi sebelumnya tentang fibroid uterus, kadar E2 sistemik tidak
menunjukkan adanya perbedaan antara subyek dengan fibroid uterus dan tanpa
fibroid uterus.
Banyaknya penyakit yang diderita oleh pasien ini dikarenakan kurangnya
kesadaran pasien untuk berobat ke dokter atau puskesmas terdekat. Pasien
memilih untuk mengobati penyakitnya sendiri dengan membeli obat-obat bebas
yang dijual di toko. Meskipun telah dinasehati oleh keluarganya namun pasien
tetap memilih untuk mengobati dirinya sendiri. Hal ini sungguh sangat
disayangkan mengingat akses menuju instalasi kesehatan terdekat sangat
terjangkau dari tempat tinggal pasien. Peran serta keluarga disini juga diperlukan.
Keluarga terdekat pasien sudah mengingatkan pasien untuk berobat ke rumah
sakit namun hal ini tidak diindahkan oleh pasien. Jika dilihat dari segi ekonomi,
pasien berasal dari kalangan menengah kebawah. Pasien tidak pernah menikah

39
sama sekali. Saat ini pasien tinggal dengan adiknya dan bekerja membantu
adiknya dirumah. Namun hal ini seharusnya bukanlah suatu kendala bagi pasien
tidak bisa mendapatkan pengobatan dari instalasi kesehatan maupun dokter karena
pasien sudah terdaftar dalam asuransi kesehatan. Disini mungkin peran serta dari
pemerintah juga diperlukan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Pemerintah diharapkan dapat menunjuk kader-kader kesehatannya untuk
mensosialisasikan manfaat melakukan pengobatan yang tepat dan sedini mungkin
di instalasi kesehatan maupun dokter. Dengan demikian, penyakit-penyakit yang
dideritanya dapat ditangani sesegera mungkin.

40
BAB V

KESIMPULAN

Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid, atau


leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos uterus dan
jaringan ikat yang menumpanginya. Penyebab pasti mioma uteri tidak diketahui
secara pasti, namun para ilmuwan telah mengidentifikasi kromosom yang
membawa 145 gen yang diperkirakan berpengaruh pada pertumbuhan fibroid.
Hipermenore, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari mioma uteri.
Penatalaksanaannya mulai dari Konservatif, Medikamentosa hingga Operatif.
Hipertiroid adalah keadaan klinis akibat terlalu aktifnya kelenjar tiroid
sehingga hormon tiroid yang beredar terlalu banyak. Sindrom klinis ini ditandai
dengan adanya takikardia, penurunan berat badan akibat peningkatan dari
metabolisme basal tubuh pembesaran dari kelenjar tiroid, dan eksoftalmus pada
mata. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien dengan hipertiroid
menunjukkan adanya peningkatan FT4 dan penurunan TSH. Penyebab paling
sering dari hipertiroid adalah produksi yang berlebih dari hormon tiroid oleh
seluruh kelenjar tiroid. Kondisi ini juga dikenal sebagai penyakit Graves. Penyakit
hipertiroid dapat memberikan manifestasi klinis bermacam-macam yang
tergantung dari etiologi hipertiroid, yang mempengaruhi dari fungsi kerja jantung,
tekanan darah, metabolisme tubuh, ekskresi melalui ginjal, system gastrointestinal
serta otot dan lemak, sistem hematopoetik. Terdapat tiga modalitas terapi penyakit
hipertiroid, yaitu obat antitiroid, tindakan bedah, dan terapi radioiodin. Modalitas
utama yang paling banyak digunakan adalah obat antitiroid (OAT).

41
Menurut penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, kedua penyakit ini
tidak ada keterkaitannya. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut antara kedua penyakit
tersebut untuk mendapatkan perkembangan terbaru di masa mendatang. Kedua
penyakit ini bukanlah suatu penyakit ganas jika ditangani sejak dini. Perlunya
kesadaran penderita untuk segera berobat ke klinik terdekat maupun tenaga
kesehatan sangatlah diperlukan. Dukungan dari keluarga juga dapat membantu
meningkatkan kesadaran pasien untuk mau berobat. Tersedianya fasilitas-fasilitas
kesehatan disekitar juga diperlukan dalam menunjang pengobatan pada setiap
pasien, sehingga setiap pasien bisa mendapat penanganan yang efektif untuk
segala penyakit yang dideritanya. Disamping itu, peran serta pemerintah juga
penting dalam hal mengajak masyarakatnya untuk mau berobat ke klinik maupun
rumah sakit terdekat untuk mengobati pasiennya. Tidak hanya itu, bantuan subsidi
dari pemerintah juga sangat diperlukan bagi pasien-pasien kurang mampu
sehingga pengobatan yang efektif dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat.

42
DAFTAR PUSTAKA

Agustian dkk. 2013. Hubungan Usia dan Paritas dengan Kejadian Mioma Uteri
di RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang Periode Januari 2011–Januari
2012. Palembang: UM.

Anwar dkk. 2014. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pusaka Sarwono


Prawirohardjo.

Byna P et al. 2015. Thyroid abnormality in perimenopausal women with


abnormal uterine bleeding. India: ARC.

DEPKES. 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. Diakses di: http:// www.
depkes.go.id /folder/ view/01/ structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html
Diunduh pada: 6 Agustus 2017.

Kim et al. 2010. The relationship between thyroid nodules and uterine fibroids.
Seoul: The Catholic University of Korea.

Lubis, N. 2016. Tatalaksana Hipertiroid di Layanan Primer. Medan: USU.

Mutiarani, S. 2012. Mioma Uteri. Diakses di: https:// www.academia.edu


/7443235/ MIOMA UTERI ? auto = download Diunduh pada: 6 Agustus
2017.

Milah, M. 2015. Laporan Kasus Mioma Uteri. Mataram: UNRAM.

Pratiwi dkk. 2012. Hubungan Usia Reproduksi Dengan Kejadian Mioma Uteri di
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Manado: UNSRAT.

Pamungkas, R. 2012. Gambaran Kelainan Katup Jantung Pada Pasien


Hipertiroid Yang Dievaluasi Dengan Metode Ekokardiografi di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Semarang: UNDIP.

43
Priatno, K. 2016. Komplikasi dan Prognosis Hipertiroid atau Graves’ Disease.
Diakses di : http: //www. drmeu.com/ 2016/02/komplikasi –dan -prognosis-
hipertiroid.html. Diunduh pada: 6 Agustus 2017.

Lubis, N. 2016. Tatalaksana Hipertiroid Di Layanan Primer. Medan: USU.

Setiawan, Bobby. 2015. Primigravida dengan Riwayat Hipertiroid Terkontrol


dan Hipertensi Gestasional. Lampung: UNILAM.

Sukandar dkk. 2015. Hubungan Status Hipertiroid Dengan Siklus Menstruasi


Penderita Hipertiroid Di Klinik Litbang Gaki Magelang. Jawa Tengah:
GAKI.

Trisnasanti. 2013. Hubungan Paritas Dengan Kejadian Mioma Uteri di RSU


PKU Muhammadiyah Bantul Tahun 2013. Yogyakarta: Aisyiyah.

44

Anda mungkin juga menyukai