Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

MIOMA UTERI

DISUSUN OLEH :
FIRMANSYAH
11222083

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
TAHUN 2023
Laporan Pendahuluan Mioma Uteri

A. Pengertian
Mioma uteri adalah suatu tumor jinak berbatas tegas tidak berkapsul yang berasal
dari otot polos dan jaringan ikat fibrous. Biasa juga disebut fibromioma uteri,
leiomioma uteri atau uterine fibroid. Tumor jinak ini merupakan neoplasma jinak
yang sering ditemukan pada traktus genitalia wanita, terutama wanita sesudah
produktif (menopouse). Mioma uteri jarang ditemukan pada wanita usia produktif
tetapi kerusakan reproduksi dapat berdampak karena mioma uteri pada usia
produktif berupa infertilitas, abortus spontan, persalinan prematur dan
malpresentasi (Aspiani, 2017).

B. Klasifikasi
Berdasarkan letaknya mioma uteri diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu:
1. Mioma uteri subserosum : lokasi tumor di sub-serosa korpus uteri. Dapat hanya
sebagai tonjolan saja, dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan
uterus melalui tangkai. Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam
ligamentum latum, dan disebut sebagai mioma intraligamen. Mioma yang
cukup besar akan mengisi rongga peritoneum sebagai suatu massa. Perlekatan
dengan omentum di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil
alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan terputus,
sehingga mioma terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam
rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai mioma jenis parasitik.

2. Mioma uteri intramural : disebut juga sebagai mioma intra epitalial, biasanya
multiple. Apabila masih kecil, tidak merubah bentuk uterus, tapi bila besar
akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus bertambah besar dan
berubah bentuknya. Mioma ini sering tidak memberikan gejala klinis yang
berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut
sebelah bawah.
3. Mioma uteri submukosum : mioma yang berada di bawah lapisan
mukosa uterus/endometrium dan tumbuh kearah kavum uteri. Hal ini
menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan besar kavum uteri. Bila
tumor ini tumbuh dan bertangkai, maka tumor dapat keluar dan masuk
ke dalam vagina yang disebut mioma geburt. Mioma submukosum
walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui
vagina. Perdarahan sulit dihentikan, sehingga sebagai terapinya
dilakukan histerektomi.

Gambar 2.2 letak mioma uteri subserosum, intramural, submukosum

C. Etiologi
Menurut Aspiani ada beberapa faktor yang diduga kuat merupakan faktor
predisposisi terjadinya mioma uteri.
1. Umur Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita usia produktif
dan sekitar 40%-50% pada wanita usia di atas 40 tahun. Mioma uteri
jarang ditemukan sebelum menarche (sebelum mendapatkan haid).
2. Hormon Endogen (endogenous hormonal) Konsentrasi estrogen pada
jaringan mioma uteri lebih tinggi dari pada jaringan miometrium
normal.
3. Riwayat keluarga
Wanita dengan garis keturunan dengan tingkat pertama dengan penderita
mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita
mioma dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita
mioma uteri.
4. Makanan
Makanan di laporkan bahwah daging sapi, daging setengah matang (red
meat), dan daging babi meningkatkan insiden mioma uteri, namun
sayuran hijau menurunkan insiden menurunkan mioma uteri.
5. Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar
estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus.
Hal ini mempercepat pembesaran mioma uteri. Efek estrogen pada
pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon dan faktor
pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor
progesteron, dan faktor pertumbuhan epidermal.

6. Paritas
Mioma uteri lebih sering terjadi pada wanita multipara dibandingkan
dengan wanita yang mempunyai riwayat melahirkan 1 (satu) kali atau
2 (2) kali

Faktor terbentuknya tomor:

1. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang terjadinya reflikasi pada saat sel - sel
yang mati diganti oleh sel yang baru merupakan kesalahan genetika
yang diturunkan dari orang tua. Kesalahan ini biasanya mengakibatkan
kanker pada usia dini. Jika seorang ibu mengidap kanker payudara,
tidak serta merta semua anak gandisnya akan mengalami hal yang
sama, karena sel yang mengalami kesalahan genetik harus mengalami
kerusakan terlebih dahulu sebelum berubah menjadi sel kanker. Secara
internal, tidak dapat dicegah namun faktor eksternal dapat dicegah.
Menurut WHO, 10% – 15% kanker, disebabkan oleh faktor internal
dan 85%, disebabkan oleh faktor eksternal (Apiani, 2017).
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang dapat merusak sel adalah virus, polusi udara,
makanan, radiasi dan berasala dari bahan kimia, baik bahan kimia yang
ditambahkan pada makanan, ataupun bahan makanan yang bersal dari
polusi. Bahan kimia yang ditambahkan dalam makanan seperti
pengawet dan pewarna makanan cara memasak juga dapat mengubah
makanan menjadi senyawa kimia yang berbahaya.
Kuman yang hidup dalam makanan juga dapat menyebarkan racun,
misalnya aflatoksin pada kacang-kacangan, sangat erat hubungannya
dengan kanker hati. Makin sering tubuh terserang virus makin besar
kemungkinan sel normal menjadi sel kanker. Proses detoksifikasi yang
dilakukan oleh tubuh, dalam prosesnya sering menghasilkan senyawa
yang lebih berbahaya bagi tubuh,yaitu senyawa yang bersifat radikal
atau korsinogenik. Zat korsinogenik dapat menyebabkan kerusakan
pada sel.
Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor pada
mioma, disamping faktor predisposisi genetik.
a. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Sering kali, pertumbuhan
tumor yang cepat selama kehamilan terjadi dan dilakukan terapi
estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat
menopouse dan oleh pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak
ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita
dengan sterilitas. Enzim hidrxydesidrogenase mengungbah
estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi estrogen (estrogen lemah).
Aktivitas enzim ini berkurang pada jaringan miomatous, yang juga
mempunyai jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak dari pada
miometrium normal.
b. Progesteron
Progesteron merupakan antogonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara, yaitu
mengaktifkan hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah
reseptor estrogen pada tumor.
c. Hormon pertumbuhan (growth hormone)
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon
yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, yaitu HPL,
terlihat pada periode ini dan memberi kesan bahwa pertumbuhan
yang cepat dari leimioma selama kehamilan mungkin merupakan
hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan estrogen.
D. Gejala Mioma Uteri
Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi,
arah pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada
20-50% saja mioma uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak
mengeluh apapun. Hipermenore, menometroragia adalah merupakan
gejala klasik dari mioma uteri. Dar ipenelitian multisenter yang dilakukan
pada 114 penderita ditemukan 44% gejala perdarahan, yang paling sering
adalah jenis mioma submukosa, sekitar 65% wanita dengan mioma
mengeluh dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang.
Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung
kemih, ureter, dan usus dapat terganggu, dimana peneliti melaporkan
keluhan disuri (14%), keluhan obstipasi (13%). Mioma uteri sebagai
penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2-10% kasus. Infertilitas terjadi
sebagai akibat obstruksi mekanis tuba falopii. Abortus spontan dapat
terjadi bila mioma uteri menghalangi pembesaran uterus, dimana
menyebabkan kontraksi uterus yang abnormal, dan mencegah terlepas atau
tertahannya uterus di dalam panggul (Goodwin, 2009).
1. Massa di Perut Bawah
Penderita mengeluhkan merasakan adanya massa atau benjolan di perut
bagian bawah.
2. Perdarahan Abnormal
Diperkirakan 30% wanita dengan mioma uteri mengalami kelainan
menstruasi, menoragia atau menstruasi yang lebih sering. Tidak
ditemukan bukti yang menyatakan perdarahan ini berhubungan dengan
peningkatan luas permukaan endometrium atau kerana meningkatnya
insidens disfungsi ovulasi. Teori yang menjelaskan perdarahan yang
disebabkan mioma uteri menyatakan terjadi perubahan struktur vena
pada endometrium dan miometrium yang menyebabkan terjadinya
venule ectasia. Miometrium merupakan wadah bagi faktor endokrin
dan parakrin dalam mengatur fungsi endometrium. Aposisi kedua
jaringan ini dan aliran darah langsung dari miometrium ke
endometrium memfasilitasi interaksi ini. Growth factor yang
merangsang stimulasi angiogenesis atau relaksasi tonus vaskuler dan
yang memiliki reseptor pada mioma uteri dapat menyebabkan
perdarahan uterus abnormal dan menjadi target terapi potensial.
Sebagai pilihan, berkurangnya angiogenik inhibitory factor atau
vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat juga
menyebabkan perdarahan uterus yang abnormal.
3. Nyeri Perut
Gejala nyeri tidak khas untuk mioma, walaupun sering terjadi. Hal ini
timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma yang
disertai dengan nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran
mioma submukosa yang akan dilahirkan, pada pertumbuhannya yang
menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan dismenorrhoe.
Dapat juga rasa nyeri disebabkan karena torsi mioma uteri yang
bertangkai. Dalam hal ini sifatnya akut, disertai dengan rasa nek dan
muntah-muntah. Pada mioma yang sangat besar, rasa nyeri dapat
disebabkan karena tekanan pada urat syaraf yaitu pleksus
uterovaginalis, menjalar ke pinggang dan tungkai bawah (Pradhan,
2006).
4. Pressure Effects ( Efek Tekenan )
Pembesaran mioma dapat menyebabkan adanya efek tekanan pada organ-
organ di sekitar uterus. Gejala ini merupakan gejala yang tak biasa dan
sulit untuk dihubungkan langsung dengan mioma. Penekanan pada
kandung kencing, pollakisuria dan dysuria. Bila uretra tertekan bisa
menimbulkan retensio urinae. Bila berlarut-larut dapat menyebabkan
hydroureteronephrosis. Tekanan pada rectum tidak begitu besar,
kadang-kadang menyebabkan konstipasi atau nyeri saat defekasi.
5. Penurunan Kesuburan dan Abortus
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab penurunan kesuburan
masih belum jelas. Dilaporkan sebesar 27-40%wanita dengan mioma
uteri mengalami infertilitas. Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila
sarang mioma menutup atau menekan pars interstisialis tuba,
sedangkan mioma submukosa dapat memudahkan terjadinya abortus
karena distorsi rongga uterus. Perubahan bentuk kavum uteri karena
adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan
implasntasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma akibat
perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena
kompresi massa tumor (Stoval, 2001). Apabila penyebab lain
infertilitas sudah disingkirkan dan mioma merupakan penyebab
infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk dilakukan
miomektomi (Strewart, 2001).

E. Patofisiologi
Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit yang kecil didalam miometrium
dan lambat laun membesar karena pertumbuhan itu miometrium mendesak
menyusun semacam pseudokapsula atau sampai semua mengelilingi tumor
didalam uterus mungkin terdapat satu mioma akan tetapi mioma biasanya
banyak. Bila ada satu mioma yang tumbuh intramural dalam korpus uteri
maka korpus ini tampak bundar dan konstipasi padat. Bila terletak pada
dinding depan uterus mioma dapat menonjol kedepan sehingga menekan
dan mendorong kandung kemih keatas sehingga sering menimbulkan
keluhan miksi (Aspiani, 2017).
Secara makroskopis, tumor ini biasanya berupa massa abu-abu putih,
padat, berbatas tegas dengan permukaan potongan memperlihatkan
gambarankumparan yang khas. Tumor mungkin hanya satu, tetapi
umumnya jamak dan tersebar di dalam uterus, dengan ukuran berkisar dari
benih kecil hingga neoplasma masif yang jauh lebih besar dari pada
ukuran uterusnya. Sebagian terbenam didalam miometrium, sementara
yang lain terletak tepat di bawah endometrium (submukosa) atau tepat
dibawah serosa (subserosa). Terakhir membentuk tangkai, bahkan
kemudian melekat ke organ disekitarnya, dari mana tumor tersebut
mendapat pasokan darah dan kemudian membebaskan diri dari uterus
untuk menjadi leimioma “parasitik”. Neoplasma yang berukuran besar
memperlihatkan fokus nekrosis iskemik disertai daerah perdarahan dan
perlunakan kistik, dan setelah menopause tumor menjadi padat
kolagenosa, bahkan mengalami kalsifikasi (Robbins, 2007).

F. Komplikasi
1. Perdarahan sampai terjadi anemia.
2. Torsi tangkai mioma dari :
a. Mioma uteri subserosa.
b. Mioma uteri submukosa.
3. Nekrosis dan infeksi, setelah torsi dapat terjadi nekrosis dan infeksi.
4. Pengaruh timbal balik mioma dan kehamilan.
Pengaruh mioma terhadap kehamilan
a. Infertilitas.
b. Abortus.
c. Persalinan prematuritas dan kelainan letak.
d. Inersia uteri.
e. Gangguan jalan persalinan.
f. Perdarahan post partum.
g. Retensi plasenta.
Pengaruh kehamilan terhadap mioma uteri
a. Mioma cepat membesar karena rangsangan estrogen.
b. Kemungkinan torsi mioma uteri bertangkai.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. USG untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan
endometriium dan keadaan adnexa dalam rongga pelvis. Mioma juga
dapat dideteksi dengan CT scan ataupun MRI, tetapi kedua pemeriksaan
itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG.
Untungnya, leiomiosarkoma sangat jarang karena USG tidak dapat
membedakannya dengan mioma dan konfirmasinya membutuhkan
diagnosa jaringan.
2. Dalam sebagian besar kasus, mioma mudah dikenali karena pola
gemanya pada beberapa bidang tidak hanya menyerupai tetapi juga
bergabung dengan uterus; lebih lanjut uterus membesar dan berbentuk
tak teratur.
3. Foto BNO/IVP pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga
pelvis serta menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter.
4. Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa
disertai dengan infertilitas.
5. Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.
6. Laboratorium : darah lengkap, urine lengkap, gula darah, tes fungsi
hati, ureum, kreatinin darah.
7. Tes kehamilan.

H. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas Klien: meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan, alamat.
2) Identitas Penanggung jawab: Nama, umur, jenis kelamin,
hubungan dengan keluarga, pekerjaan, alamat.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan yang paling utama dirasakan oleh pasien mioma uteri,
misalnya timbul benjolan diperut bagian bawah yang relatif lama.
Kadang-kadang disertai gangguan haid
b. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang di rasakan oleh ibu penderita mioma saat dilakukan
pengkajian, seperti rasa nyeri karena terjadi tarikan, manipulasi
jaringan organ. Rasa nyeri setelah bedah dan adapun yang yang
perlu dikaji pada rasa nyeri adalah lokasih nyeri, intensitas nyeri,
waktu dan durasi serta kualitas nyeri.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah diderita dan jenis
pengobatan yang dilakukan oleh pasien mioma uteri, tanyakan
penggunaan obat-obatan, tanyakan tentang riwayat alergi, tanyakan
riwayat kehamilan dan riwayat persalinan dahulu, penggunaan alat
kontrasepsi, pernah dirawat/dioperasi sebelumnya.
d. Riwaya Penyakit Keluarga
Tanyakan kepada keluarga apakah ada anggota keluarga mempunyai
penyakit keturunan seperti diabetes melitus, hipertensi, jantung,
penyakit kelainan darah dan riwayat kelahiran kembar dan riwayat
penyakit mental.
e. Riwayat Obstetri
Untuk mengetahui riwayat obstetri pada pasien mioma uteri yang perlu
diketahui adalah
1) Keadaan haid
Tanyakan tentang riwayat menarhe dan haid terakhir, sebab mioma
uteri tidak pernah ditemukan sebelum menarhe dan mengalami
atrofi pada masa menopause.
2) Riwayat kehamilan dan persalinan
Kehamilan mempengaruhi pertumbuhan mioma uteri, dimana
mioma uteri tumbuh cepat pada masa hamil ini dihubungkan
dengan hormon estrogen, pada masa ini dihasilkan dalam
jumlah yang besar.

f. Faktor Psikososial
1) Tanyakan tentang persepsi pasien mengenai penyakitnya,
faktor- faktor budaya yang mempengaruhi, tingkat pengetahuan
yang dimiliki pasien mioma uteri, dan tanyakan mengenai
seksualitas dan perawatan yang pernah dilakukan oleh pasien
mioma uteri.
2) Tanyakan tentang konsep diri : Body image, ideal diri, harga
diri, peran diri, personal identity, keadaan emosi, perhatian dan
hubungan terhadap orang lain atau tetangga, kegemaran atau
jenis kegiatan yang di sukai pasien mioma uteri, mekanisme
pertahanan diri, dan interaksi sosial pasien mioma uteri dengan
orang lain.

g. Pola Kebiasaan sehari-hari


Pola nutrisi sebelum dan sesudah mengalami mioma uteri yang harus
dikaji adalah frekuensi, jumlah, tanyakan perubahan nafsu makan
yang terjadi.
h. Pola eliminasi
Tanyakan tentang frekuensi, waktu, konsitensi, warna, BAB terakhir.
Sedangkan pada BAK yang harus di kaji adalah frekuensi, warna,
dan bau.
i. Pola Aktivitas, Latihan, dan bermain
Tanyakan jenis kegiatan dalam pekerjaannya, jenis olahraga dan
frekwensinya, tanyakan kegiatan perawatan seperti mandi,
berpakaian, eliminasi, makan minum, mobilisasi
j. Pola Istirahat dan Tidur
Tanyakan waktu dan lamanya tidur pasien mioma uteri saat siang dan
malam hari, masalah yang ada waktu tidur.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kaji tingkat kesadaran pasien mioma uteri
b. Tanda-tanda vital : Tekanan darah, nadi,suhu, pernapasan.
c. Pemeriksaan Fisik Head to toe
1) Kepala dan rambut : lihat kebersihan kepala dan keadaan
rambut.
2) Mata : lihat konjungtiva anemis, pergerakan bola mata simetris
3) Hidung : lihat kesimetrisan dan kebersihan, lihat adanya
pembengkakan konka nasal/tidak
4) Telinga : lihat kebersihan telinga.
5) Mulut : lihat mukosa mulut kering atau lembab, lihat kebersihan
rongga mulut, lidah dan gigi, lihat adanya penbesaran tonsil.
6) Leher dan tenggorokan : raba leher dan rasakan adanya
pembengkakan kelenjar getah bening/tidak.
7) Dada atau thorax : paru-paru/respirasi, jantung/kardiovaskuler
dan sirkulasi, ketiak dan abdomen.
8) Abdomen
Infeksi: bentuk dan ukuran, adanya lesi, terlihat menonjol,
Palpasi: terdapat nyeri tekan pada abdomen
Perkusi: timpani, pekak
Auskultasi: bagaimana bising usus
9) Ekstremitas/ muskoluskletal terjadi pembengkakan pada
ekstremitas atas dan bawah pasien mioma uteri
10) Genetalia dan anus perhatikan kebersihan,adanya lesi,
perdarahan diluar siklus menstruasi.
I. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan nekrosis atau trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder akibat tumor.
2. Resiko syok berhubungan dengan perdarahan.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun tubuh sekunder
akibat gangguan hematologis (perdarahan)
4. Retensi urine berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan
neoplasma pada organ sekitarnya, gangguan sensorik motorik.
5. Resiko Konstipasi berhubungan dengan penekanan pada rectum
(prolaps rectum)
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status peran, ancaman
pada status kesehatan, konsep diri (kurangnya sumber informasi terkait
penyakit)

J. Intervensi

Intervensi
NO. Diagnosa Keperawatan
NOC NIC
1. N NOC: Setelah Manajemen Nyeri
dilakukan tindakan 1) Lakukan
keperawatan selama pengkajian nyeri
D 1 x 24 jam, pasien komprehensip yang
mioma uteri mampu meliputi lokasi,
P mengontrol nyeri karakteristik,
dibuktikan dengan onset/durasi, frekuensi,
kriteria hasil: kualitas, intensitas atau
Batasan beratnya nyeri dan
karakteristik: Mengontrol Nyeri faktor pencetus
a)Bukti nyeri 1) Mengenali 2) Observasi adanya
dengan kapan nyeri pentunjuk nonverbal
menggunakan terjadi mengenai ketidak
standar daftar 2) Menggambarka nyamanan terutama
periksa nyeri n faktor pada mereka yang
untuk pasien penyebab nyeri tidak dapat
yang tidak dapat 3) Menggunakan berkomunikasi secara
mengungkapann tindakan efektif
ya pencegahan 3) Pastikan perawatan
b)Ekspresi wajah nyeri analgesik bagi pasien
nyeri (misal: dilakukan dengan
4) Menggunakan
mata kurang pemantauan yang ketat
tindakan
bercahaya, 4) Gunakan strategi
pengurangan
tampak kacau, komunikasi terapeutik
nyeri (nyeri)
gerakan mata untuk mengetahui
tanpa analgesik
berpencar atau pengalaman nyeri
tetap pada satu dan sampaikan
5) Menggunakan penerimaan pasien
fokus, meringis)
analgesik terhadap nyeri
c)Fokus
yang 5) Gali pengetahuan
menyempit
direkomendasik dan kepercayaan
misal:
an pasien mengenai nyeri
Persepsi waktu,
proses berpikir, 6) Pertimbangkan
6) Melaporkan pengaruh budaya
interaksi
perubahan terhadap respon nyeri
dengan orang
terhadap 7) Tentukan akibat dari
dan lingkungan)
gejala nyeri pengalaman nyeri
d)Fokus pada diri
pada terhadap kualitas hidup
sendiri
profesional pasien (misalnya,
e)Keluhan tentang
kesehatan tidur, nafsu makan,
intensitas
menggunakan pengertian, perasaan,
7) Melaporkan performa kerja dan
standars kala
gejalah yang tanggung jawab peran)
nyeri
tidak 8) Gali bersama pasien
f) Keluhan
terkontrol pada faktor-faktor yang
tentang
profesional dapat menurunkan atau
karakteristik
kesehatan memperberat nyeri
nyeri dengan
menggunakan 9) Evaluasi pengalaman
8) Menggunakan nyeri dimasa lalu yang
standar
sumber daya meliputi riwayat nyeri
instrumen nyeri
yang tersedia kronik individu atau
g)Laporan
untuk keluarga atau nyeri
tentang perilaku
menangani yang menyebabkan
nyeri/ perubahan
nyeri disability/ ketidak
aktivitas
h)Perubahan mampuan/kecatatan,
9) Mengenali apa dengan tepat
posisi untuk
yang terkait 10) Evaluasi bersama
menghindari
dengan gejala pasien dan tim
nyeri
nyeri kesehatan lainnya,
i) Putus asa
j) Sikap mengenai efektifitas,
10) Melaporkan pengontrolan nyeri
melindungi area
nyeri yang yang pernah digunakan
nyeri
terkontrol sebelumnya
Faktor yang 11) Bantu keluarga
berhubungan: dalam mencari dan
menyediakan
a) Agens cidera dukungan
biologis 12) Gunakan metode
b) Agens cidera penelitian yang sesuai
fisik dengan tahapan
Agens cidera perkembangan yang
kimiawi memungkinkan untuk
memonitor perubahan
nyeri dan akan dapat
membantu
mengidentifikasi faktor
pencetus aktual dan
potensial (misalnya,
catatan perkembangan,
catatan harian)
13) Tentukan kebutuhan
frekuensi untuk
melakukan pengkajian
ketidak nyamanan
pasien dan
mengimplementasikan
rencana monitor
14) Berikan informasi
mengenai nyeri,
seperti penyebab nyeri,
berapa nyeri yang
dirasakan, dan
antisipasi dari ketidak
nyamanan akibat
prosedur
15) Kendalikan faktor
lingkungan yang
dapat mempengaruhi
respon pasien dari
ketidaknyamanan
(misalnya, suhu
ruangan, pencahayaan,
suara bising)
16) Ajarkan prinsip
manajemen nyeri
17) Pertimbangkan tipe
dan sumber nyeri
ketika memilih
strategi penurunan
nyeri
18) Kolaborasi dengan
pasien, orang
terdekat dan tim
kesehatan lainnya
untuk memilih
dan
mengimplementasikan
tindakan penurunan
nyeri nonfarmakologi,
sesuai kebutuhan
19) Gunakan tindakan
pengontrolan nyeri
sebelum nyeri
bertambah berat
20) Pastikan pemberian
analgesik dan atau
strategi
nonfarmakologi
sebelum prosedur yang
menimbulkan nyeri
21) Periksa tingkat
ketidaknyamananbersa
ma pasien, catat
perubahan dalam
cacatan medis pasien,
informasikan petugas
kesehatan lain yang
merawat pasien
22) Mulai dan
modifikasi tindakan
pengontrolan nyeri
berdasarkan respon
pasien
23) Dukung istirahat/tidur
yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri
24) Dorong pasien untuk
mendiskusikan
pengalaman nyerinya,
sesuai kebutuhan
25) Beritahu dokter jika
tindakan tidak
berhasil atau keluhan
pasien saat ini
berubah signifikan
dari pengalaman
nyeri sebelumnya
26) Gunakan pendekatan
multi disiplin untuk
menajemen nyeri, jika
sesuai

Pemberian analgesik

1) Tentukan lokasi,
karakteris, kualitas
dan keparahan nyeri
sebelum mengobati
pasien
2) Cek perintah
pengobatan meliputi
obat, dosis, dan
frekuesi obat analgesik
yang diresepkan
3) Cek adanya riwayat
alergi obat
4) Pilih analgesik
atau kombinasi
analgesik sesuai lebih
dari satu kali
pemberian
5) Monitor tanda vital
sebelum dan setelah
memberikan analgesik
pada pemberian dosis
pertama kali atau jika
ditemukan tanda-
tanda yang tidak
biasanya
6) Berikan kebutuhan
kenyamanan dan
aktivitas lain yang
dapat membantu
relaksasi untuk
memfasilitasi penuruna
nyeri
7) Berikan analgesik
sesuai waktu
paruhnya, terutama
pada nyeri yang berat
8) Dokumentasikan
respon terhadap
analgesik dan adanya
efek samping
9) Lakukan tindakan-
tindakan yang
menurunkan efek
samping analgesik
(misalnya, konstipasi
dan iritasi lambung)
10) Kolaborasikan dengan
dokter apakah obat,
dosis, rute, pemberian,
atau perubahan
interval dibutuhkan,
buat rekomendasi
khusus bedasarkan
prinsip analgesik
2. Resiko syok N Pencegahan Syok
1)Monitor adanya respon
berhubungan 1)Tanda vital dalam konpensasi terhadap syok
dengan batas normal. (misalnya, tekanan darah
2)Tugor kulit baik. normal, tekanan nadi
perdarahan 3)Tidak ada melemah, perlambatan
Definisi: beresiko sianosis. pengisian kapiler, pucat/
4)Suhu kulit hangat. dingin pada kulit atau
terhadap 5)Tidak ada kulit kemerahan, takipnea
ketidakcukupan diaporesis. ringan, mual dan munta,
6)Membran mukosa peningkatan rasa haus,
aliran darah kemerahan. dan kelemahan)
kejaringan tubuh, 2)Monitor adanya tanda-
tanda respon sindroma
yang dapat inflamasi sistemik
mengakibatkan (misalnya, peningkatan
suhu, takikardi, takipnea,
disfungsi seluler hipokarbia, leukositosis,
yang mengancam leukopenia)
3)Monitor terhadap adanya
jiwa. tanda awal reaksi alergi
Faktor resiko (misalnya, rinitis, mengi,
stridor, dipnea, gatal-
1) Hipotensi. gatal disertai kemerahan,
2) Hipovolemi gangguan saluran
3) Hipoksemia pencernaan, nyeri
abdomen, cemas dan
4) Hipoksia
gelisa)
5) Infeksi 4)Monitor terhadap adanya
tanda ketidak adekuatan
6) Sepsis
perfusi oksigen
7) Sindrom kejaringan (misalnya,
peningkatan stimulus,
respon peningkatan kecemasan,
inflamasi perubahan status mental,
egitasi, oliguria dan
sestemik akral teraba dingin dan
warna kulit tidak merata)
5)Monitor suhu dan status
respirasi
6)Periksa urin terhadap
adanya darah dan protein
sesuai kebutuhan
7)Monitor terhadap
tanda/gejalah asites dan
nyeri abdomen atau
punggung.
8)Lakukan skin-test untuk
mengetahui agen yang
menyebabkan
anaphiylaxis atau reaksi
alergi sesuai kebutuhan
9)Berikan saran kepada
pasien yang beresiko
untuk memakai atau
membawa tanda
informasi kondisi
medis.
10) Anjurkan pasien
dan keluarga
mengenai tanda dan
gejala syok yang
mengancam jiwa
11) Anjurkan pasien
dan keluarga
mengenai langkah-
langkah timbulnya gejala
syok
3. Resiko N Manajemen Alat
Infek terapi per vaginam
si 1) Kemerahan tidak 1) Kaji ulang
berh ditemukan pada riwayat
ubun tubuh kontraindikasih
gan 2) Vesikel yang pemasangan alat
deng tidak mengeras pervaginam pada
an permukaannya pasien (misalnya,
penu 3) Cairan tidak infeksi pelvis,
runa berbauk busuk laserasi, atau
n adanya massa
imun 4) Piuria/nanah sekitar vagina)
tubu tidak ada 2) Diskusikan
h dalam urin mengenai
sekun 5) Demam aktivitas- aktivitas
der berkurang seksual yang
akiba 6) Nyeri sesuai sebelum
t berkurang memilih alat yang
gang dimasukan
guan 7) Nafsu makan 3) Lakukan
hema meningkat pemeriksaan
tologi pelvis
s 4) Intruksikan
(perd pasien untuk
araha melaporkan
n) ketidaknyamanan,
disuria, perubahan
Definisi: warna,
Mengala konsistensi, dan
mi frekuensi cairan
penin vagina
gkata 5) Berikan obat-
n obat berdasarkan
resiko resep dokter untuk
terser mengurangi iritasi
ang 6) Kaji kemampuan
organ pasien untuk
isme melakukan
patog perawatan secara
enik mandiri
7) Observasi ada
Faktor tidaknya cairan
yang vagina yang tidak
berh normal dan
ubun berbau
gan: 8) Infeksi adanya
a. Penyakit kronis lubang, laserasi,
1) Diabetes melitus b. ulserasi pada
Obesitas vagina
b. Pengetahuan yang Kontrol Infeksi
tidak cukup untuk 1) Bersihkan
menghindari lingkungan
pemanjanan patogen dengan baik
c. Pertahanan tubuh setelah digunakan
primer yang tidak untuk setiap
adekuat pasien
1) Gangguan 2) Isolasi orang
peritalsis yang terkena
2) Kerusakan penyakit menular
integritas kulit 3) Batasi jumlah
(pemasangankatete pengunjung
r intravena, 4) Anjurkan pasien
prosedur invasif) untuk mencuci
3) Perubahan sekresi tangan yang benar
PH 5) Anjurkan
4) Penurunan kerja pengunjung untuk
siliaris mencuci tangan
5) Pecah ketuban dini pada saat
6) Pecah ketuban memasuki dan
lama meninggalkan
7) Merokok ruangan pasien
8) Stasis cairan tubuh 6) Gunakan sabun
9) Trauma antimikroba untuk
jaringan (misalnya, cuci tangan yang
trauma destruksi sesuai
jaringan) 7) Cuci tangan
d. Ketidak adekuatan sebelum dan
jaringan sekunder sesudah kegiatan
1) Penurunan perawatan pasien
hemoglobin 8) Pakai sarung
2) Supresi respon tangan
inflamasi sebagaimana
e. Vaksinasi tidak dianjurkan oleh
adekuat kebijakan
f. pemajanan terhadap pencegahan
patogen lingkungan universal
meningkat 9) Pakai sarung
g. prosedur invasif tangan steril
h. malnutrisi dengan tepat
10) Cukur dan
siapkan untuk
daerah persiapan
prosedur invasif
atau opersai sesuai
indikasi
11) Pastikan teknik
perawatan luka
yang tepat
12) Tingkatkan inteke
nutrisi yang tepat
13) Dorong intake
cairan yang sesuai
14) Dorong untuk
beristirahat
15) Berikan terapi anti
biotik yang sesuai
16) Ajarkan pasien
dan keluarga
mengenai tanda
dan gejalah infeksi
dan kapan harus
melaporkannya
kepada penyedia
perawatan
kesehatan
17) Ajarkan pasien
dan keluarga
mengenai
bagaimana
menghindari
infeksi
4. Retensi NOC: setelah Manajemen
urine dilakukan tindakan eliminasi urin:
berh keperawatan 1x 24 1)Monitor eliminasi
ubun jam diharapkan urin termasuk
gan eliminasi urin frekuensi,
deng kembali normal konsistensi, bau,
an dengan kriteria hasil: volume dan warna
pene 1)Pola eliminasi urin sesuai
kana kembali normal kebutuhan.
n 2)Bau urin tidak ada 2)Monitor tanda dan
oleh 3)Jumlah urin dalam gejala retensio urin.
mass batas normal 3)Ajarkan pasien
a 4)Warna urin normal tanda dan gejala
jarin 5)Intake cairan infeksi saluran
gan dalam batas kemih.
neopl normal 4)Anjurkan pasien
asma 6)Nyeri saat kencing atau keluarga untuk
tidak ditemukan
pada melaporkan urin
organ uotput sesuai
sekita kebutuhan.
rnya, 5)Anjurkan pasien
gang untuk banyak
guan minum saat makan
senso dan waktu pagi hari.
rik 6)Bantu pasien dalam
moto mengembangkan
rik. rutinitas toileting
sesuai kebutuhan.
Definisi: 7)Anjurkan pasien
pengo untuk memonitor
songa tanda dan gejalah
n infeksi saluran
kantu kemih.
ng
kemih Kateterisasi Urin
tidak 1)Jelaskan prosedur
komp dan alasan
lit dilakukan
Batasan kateterisasi urin.
kara 2)Pasang kateter
kteris sesuai kebutuhan.
tik: 3)Pertahankan teknik
1)Tidak ada keluaran urin aseptik yang ketat.
2)Distensi kandung kemih 4)Posisikan pasien
3)Menetes dengan tepat
4)Disuria (misalnya,
5)Sering berkemih perempuan
6)Inkontinensia aliran terlentang dengan
berlebih kedua kaki
7)Residu urin diregangkan atau
8)Sensasi kandung fleksi pada bagian
kemih penuh panggul dan lutut).
9)Berkemih sedikit 5)Pastikan bahwa
kateter yang
Faktor yang dimasukan cukup
berhubungan jauh kedalam
1) Sumbatan 6)Anjurkan pasien
2) Tekanan ureter tinggi untuk banyak
3) Inhibishi arkus reflex minum saat makan
dan waktu pagi hari.
7)Bantu pasien dalam
mengembangkan
rutinitas toileting
sesuai kebutuhan.
8)Anjurkan pasien
untuk memonitor
tanda dan gejalah
infeksi saluran
kemih.
Kateterisasi Urin
1)Jelaskan prosedur
dan alasan
dilakukan
kateterisasi urin.
2)Pasang kateter
sesuai kebutuhan.
3)Pertahankan teknik
aseptik yang ketat.
4)Posisikan pasien
dengan tepat
(misalnya,
perempuan
terlentang dengan
kedua kaki
diregangkan atau
fleksi pada bagian
panggul dan lutut).
5)Pastikan bahwa
kateter yang
dimasukan cukup
jauh kedalam
kandung kemih
untuk mencegah
trauma pada
jaringan uretra
dengan inflasi balon
6)Isi balon kateter
untuk menetapkan
kateter, berdasarkan
usia dan ukuran
tubuh sesuai
rekomendasi
pabrik (misalnya,
dewasa 10 cc, anak
5 cc)
7)Amankan kateter
pada kulit dengan
plester yang sesuai.
8)Monitor intake dan
output.
9)Dokumentasikan
perawatan termasuk
ukuran kateter,
jenis, dan
pengisian bola
kateter
5. Konstipa NOC: setelah Manajemen saluran
dilakukan cerna
si
perawatan selama 1 1) Monitor bising
berh x 24 usus
2) Lapor
ubun jam pasien
peningkatan
gan diharapkan frekuensi dan
bising usus
deng konstipasi tidak
bernada tinggi
an ada dengan kriteria 3) Lapor
berkurangnya
pene hasil:
bising usus
kana 1) Tidak ada irita 4) Monitor adanya
bilitas tanda dan
n
gejalah diare,
2) Mual tidak ada
pada konstipasi dan
3) Tekanan darah impaksi
rectu dalam batas normal 5) Catat masalah
m 4) Berkeringat BAB yang sudah
ada sebelumnya,
(prol
BAB rutin, dan
aps Keparahan Gejalah penggunaan
laksatif
rectu 1) Intensitas gejalah
6) Masukan
m) 2) Frekuensi gejalah supositorial
rektal, sesuai
Definisi: 3) Terkait ketidak
nyamanan dengan kebutuhan
penur 7) Intruksikan
4) Gangguan pasien mengenai
unan mobilitas fisik makanan tinggi
pada 5) Tidur yang kurang serat, dengan cara
cukup yang tepat
freku
8) Evaluasi profil
ensi 6) Kehilangan nafsu medikasi terkait
makan dengan efek
norm
samping
al gastrointestinal
defek
Manajemen
asi konstipasi/inpaksi
yang 1) Monitor tanda
dan gejala
disert
konstipasi
ai 2) Monitor tanda
dan gejala
oleh
impaksi
kesuli 3) Monitor bising
usus
tan
4) Jelaskan
atau penyebab dari
masalah dan
penge
rasionalisasi
luaran tindakan pada
pasien
tidak
5) Dukung
lengk peningkatan
asupan cairan,
ap
jika tidak ada
feses kontraindikasi
6) Evaluasi
atau
pengobatan
penge yang memiliki
efek samping
luaran
pada
feses gastrointestinal
7) Intruksikan
yang
pada pasien dan
kerin atau keluarga
untuk mencatat
g,
warna, volume,
keras, frekuensi dan
konsistensi dari
dan
feses
banya 8) Intruksikan
pasien atau
k.
keluarga
Batasan mengenai
hubungan antara
kara
diet latihan dan
kteris asupan cairan
terhadap
tik
kejadian
1)Nyeri abdomen konstipasi atau
impaksi
2)Nyeri tekan abdomen
9) Evaluasi catatan
dengan teraba resistensi asupan untuk apa
saja nutrisi yang
otot
telah dikonsumsi
3)Nyeri tekan abdomen 10) Berikan
petunjuk kepada
tanpa teraba resistensi
pasien untuk
otot dapat
berkonsultasi
4)Anoraksia
dengan dokter
5)Penampilan tidak khas jika konstipasi
atau impaksi
pada lansia
masih tetap
6)Darah merah pada feses terjadi
11) Informasukan
7)Perubahan pola defekasi
kepada pasien
8)Penurunan frekuensi mengenai
prosedur untuk
9)Penurunan volume feses
mengeluarkan
10) Distensia abdomen feses secara
manual jika di
11) Rasa rektal penuh
perlukan
12) Rasa tekanan rektal 12) ajarkan pasien
atau keluarga
13) Keletihan umum
mengenai proses
14) Feses keras dan pencernaan
normal
berbentuk
15) Sakit kepala
16) Bising usus
hiperaktif
17) Bising usus
hipoaktif
18) Peningkatan
tekanan abdomen
19) Tidak dapat
makan, mual
20) Rembesan feses
cair
21) Nyeri pada saat
defekasi
22) Massa abdomen
yang dapat diraba

Faktor yang berhubungan


1) Funfsional
a) Kelemahan otot
abdomen
b) Ketidak
adekuatan toileting
c) Kurang aktifitas
fisik
d) Kebiasaan defekasi
tidak teratur
2) Psikologis
a) Defresi, stres,
emosi
b) Konfusi mental
3) Farmakologi
4) Mekanis
5) fiologis

DAFTAR PUSTAKA
Apriyani, Yosi. 2003. Analisa Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Mioma Uteri di RSUD dr. Adhyatma Semarang. Jurnal Kebidanan. Vol. 2
No. 5

Aspiani, Y, R. (2007). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: TIM

Aimee, et al. (2007). Association of Intrauterine and Early-Life Exposures with


Diagnosis of Uterine Leimyomata by 35 Years of Age in the Sister Study.
Environmental Health Perpectives. Volume 118. No 3 pages 375-

Bararah, T., Mohammad Jauhar. 2013. Asuhan Keperawatan; panduan Lengkap


menjadi Perawat Profesional. Jilid 2. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Copaescu, C. (2007). Laparoscopic Hysterectomy. Chirurgia (Bucur). Volume


102. No. 2. Romanian

Manuaba. (2007). Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC

Manuaba. (2009). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Edisi 2. Jakarta:


EGC

NANDA. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 edisi


(Budi Anna Keliat dkk, penerjemah). Jakarta: EGC

Nugroho, T. (2012). Obstetri dan Ginekologi. Yokyakarta: Nuha Medika

Robbins. (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC

RSUP. Dr. M. Djamil.(2016). Laporan Catatan Rekam Medik (RM): Mioma Uteri

Setiati, Eni. (2009). Waspadai 4 Kanker Ganas Pembunuh Wanita. Yokyakarta:


Andi

Prawirohardjo, Sarwono. (2010).Ilmu Kebidanan.Jakarta: PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Wise, L, et al. (2009). A Prospective Study of Dairy Intake and Risk of Uterine
Leimoyomata. American Journal of Epidemiologi. Vol.171. No. 2. Page 221
.

Anda mungkin juga menyukai