Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

MODEL BELAJAR INTERAKSI SOSIAL

Dosen Pengampu :
Dr. Herpratiwi, M.Pd.
Rini Rita T. Marpaung, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:
Sarwinda Tita Kusuma Wardani (2013024033)
Kelas A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. karena atas berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Model Belajar Interaksi Sosial”
tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan
Pembelajaran, sebagai bahan referensi bagi pembaca, dan juga sebagai bahan
referensi tambahan bagi penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima saran dan
kritikan dari pembaca yang sifatnya membangun.Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan dapat dipergunakan dengan semestinya.

Bandar Lampung, 5 Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI iii
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang....................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah...............................................................................1
I.3 Tujuan ..............................................................................................1
II. PEMBAHASAN
II.1Definisi Model Belajar Interaksi Sosial..............................................3
II.2Macam-Macam Model Belajar Interaksi Sosial.................................3
II.3Faktor Yang Memengaruhi Model Belajar Interaksi Sosial.............10
II.4Kelebihan dan Kekurangan Model Interaksi Sosial.........................11
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................14

iii
I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Menurut Isjoni (dalam Hanna, 2015), model pembelajaran merupakan
strategi yang digunakan guru untuk meningkatkan motivasi belajar, sikap
belajar dikalangan siswa, mampu berpikir kritis, memiliki keterampian sosial,
dan pencapaian hasil pembelajaran yang lebih. Model pembelajaran berisi
strategi-strategi pilihan guru untuk tujuan-tujuan tertentu di kelas.
Model pembelajaran merupakan salah satu hal yang penting dalam
proses belajar dan mengajar untuk menentukan keberhasilan belajar. Peserta
didik akan terbantu dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode
belajar yang tepat. Pemilihan model belajar interaksi sosial dalam proses
pembelajaran akan membuat peserta didik mengerti dan memahami makna
hubungan interaksi sosial, memahami kebersamaan dan mengerti kehidupan
bersama di masyarakat atau learning to life together. Karena setiap peserta
didik tidak bisa memisahkan dirinya dari interaksi dengan orang lain. Dengan
model belajar ini peserta didik akan diajarkan bagaimana bersikap atau
perilaku yang harus dilakukan ketika berinteraksi dengan orang lain.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut.
a. Apa definisi model belajar interaksi sosial?
b. Apa saja macam-macam model belajar interaksi sosial?
c. Faktor apa saja yang memengaruhi model belajar interaksi sosial?
d. Apa kelebihan dan kekurangan model belajar interaksi sosial?

I.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penuisan makalah ini
adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui definisi model belajar interaksi sosial.
b. Untuk mengetahui macam-macam model belajar interaksi sosial.

1
c. Untuk mengetahui faktor yang memengaruhi model belajar interaksi
sosial.
d. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan model belajar interaksi
sosial

2
II. PEMBAHASAN

II.1 Definisi Model Belajar Interaksi Sosial


Menurut Bali (2017), “Model interaksi sosial adalah suatu model
pembelajaran yang menekankan pada terbentuknya hubungan antara peserta
diklat yang satu dengan yang lainnya”. Model ini beranjak dari paradigma
bahwa individu tidak mungkin bisa membebaskan dirinya dari interaksi
dengan orang lain. Dalam konteks yang lebih luas, hubungan itu mengarah
pada hubungan individu dengan masyarakat. Oleh karena itu, proses
pembelajaran harus dapat menjadi wahana untuk mempersiapkan peserta
didik agar dapat berinteraksi secara ekstensif dengan masyarakat,
mengembangkan sikap dan perilaku demokratis, serta menumbuhkan
produktivitas kegiatan belajar peserta didik. Menurut Joyce, Weil, dan
Calhoun (2019 : 295), “Model sosial sebagaimana namanya, menitikberatkan
pada tabiat sosial kita, bagaimana kita mempelajari tingkah laku sosial, dan
bagaimana interaksi sosial tersebut dapat mempertinggi hasil capaian
pembelajaran akademik”.
Dari pengertian model interaksi sosial diatas, dapat Saya simpulkan bahwa
model pembelajaran interaksi sosial merupakan model pembelajaran yang
menekankan pada terbentuknya interaksi sosial antar peserta didik. Model
pembelajaran ini akan memeberikan prioritas pada peningkatan kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga terjadi proses-
proses sosial secara demokratis, dan agar masing-masing individu mampu
bekerja secara produktif. Model ini memfokuskan pada peningkatan
kemampuan individu melakukan proses-proses sosial untuk meningkatkan
capaian pembelajaran..
Model ini didasari oleh teori Gestalt (field-theory). Model interaksi sosial
menitikberatkan pada hubungan yang harmonis antara individu dengan
masyarakat (learning to life together).

II.2 Macam-Macam Model Belajar Interaksi Sosial


1. Investigation Group (Kerja Kelompok)

3
Joyce, Weil dan Calhoun (dalam Bali, 2017) mengungkapkan bahwa
model investigasi kelompok dapat digunakan untuk membentangkan
permasalahan amoral dan sosial yang terjadi di lingkungan siswa,
selanjutnya siswa dapat diorganisasikan dengan teknik melakukan
penelitian bersama atau cooperative inquiry terhadap masalah-masalah
sosial dan moral, maupun masalah akademis.
Pembelajaran investigasi kelompok yang di dalamnya sangat
menekankan vitalnya komunikasi yang bebas dan saling bertukar
(sharing) pengalaman yang dimiliki akan memberikan lebih banyak
manfaat dibandingkan jika mereka melakukan tugas secara sendirisendiri.
Pembelajaran investigasi kelompok dapat mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk berinteraksi social secara lebih baik melalui kerja
kelompok (collaborative learning) (Aunurrahman, dalam Winata 2021).

a. Struktur Pembelajaran
Menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2019 : 319), berikut merupakan
langkah-langlah yang dapat dilakukan dalam investigasi kelompok.
Fase Pertama : Siswa dihadapkan pada keadaan yang penuh dengan
teka-teki dan membingungkan.
Fase Kedua : Siswa mengeksplorasi reaksi terhadap situasi.
Fase Ketiga : Siswa merumuskan tugas dan mengaturnya dalam
pembelajaran (definisi masalah, peran, tugas, dll).
Fase Keempat : Studi yang mandiri dan berkelompok
Fase Kelima : Menganalisis perkembangan dan proses.
Fase Keenam : Mendaur ulang aktivitas.

b. Peran Guru
Guru berperan sebagai seorang fasilitator yang langsung terlibat dalam
proses kelompok (membantu pembelajar dalam merumuskan rencana,
bertindak, dan mengatur kelompok) serta beberapa kebutuhan dalam
sebuah penelitian (pengetahuan tentang metode yang digunakan). Dia

4
berfungsi sebagai seorang konselor akademik. (Joyce, Weil, dan Calhoun,
2019 : 323).
Berikut ini adapun peran guru dalam model pembelajaran Investigasi
Kelompok sebagai berikut.
a) Guru berperan sebagai fasilitator yang langsung dan implikasi dalam
kegiatan kelompok (membimbing siswa dalam merumuskan rancangan,
action, dan mengelola kelompok).
b) Memberikan informasi (pengetahuan tentang metode yang digunakan).
c) Konselor akademik (membantu siswa saat menghadapi suatu
keadaannyang membingungkan kemudian guru akan menguji dan
memperhatikan kebiasaan alami mereka yang tercermin dalam reaksi
yang berbeda-beda).
d) Membantu siswa membingkai proposisi yang reliable.
e) Memberikan bantuan kepada siswa tanpa harus menekan siswa.

2. Role Playing (Bermain peran)


Role playing merupakan sebuah model pengajaran yang berasal dari
dimensi pendidikan individu maupun sosial. Model ini membantu
masing-masing siswa untuk menemukan makna pribadi dalam dunia
sosial mereka dan membantu memecahkan masalah dengan bantuan
kelompok sosial. Dalam role playing, siswa mengeksplorasi masalah-
masalah tentang hubungan antar manusia dengan cara memainkan peran
dalam situasi permasalah kemudian mendiskusikannya. Secara bersama-
sama siswa bisa mengungkapkan perasaan, tingkah laku, nilai dan strategi
pemecahan masalah (Joyce, Weil, dan Calhoun, 2019).
Proses Role Playing berperan untuk (1) mengeksplorasi perasaan
siswa, (2) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku,
niali, dan persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah
dan tingkah laku, (4) mengekplorasi materi pelajaran dalam cara yang
berbeda.
Mulyasa (dalam Basri 2017) mengemukakan terdapat tiga asumsi
yang mendasari pembelajaran role playing untuk mengembangkan

5
perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-
model mengajar lainnya. Ketiga asumsi tersebut sebagai berikut:
1) Secara implicit role playing mendukung suatu situasi belajar
berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada
percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk
menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Terhadap
analogy yang diwujudkan dalam role playing, para peserta didik dapat
menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
2) Kedua, role playing memungkinkan para peserta didik untuk
mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin
pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban
emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis role playing
yang lebih menekankan pada penyembuhan).
3) Model role playing berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat
ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok.
Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja
muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang
diperankan.

a. Struktur Pengajaran
Shaftels (dalam Joyce, Weil, dan Calhoun, 2019:332) berpendapat
bahwa role playing terdiri dari Sembilan langkah:
1. Tahap pertama : Memanaskan suasana kelompok
- Mengidentifikasi dan memaparkan masalah
- Menjelaskan masalah
- Menafsirkan masalah
- Menjelaskan role playing
2. Tahap kedua : Memilih partisipan
- Menganalisis peran
- Memilih pemain yang akan melakukan peran
3. Tahap ketiga : Mengatur setting tempat kejadian
- Mengatur sesi-sesi tindakan

6
- Kembali menegaskan peran
- Lebih mendekat pada situasi yang bermasalah
4. Tahap keempat : Menyiapkan peneliti
- Memutuskan apa yang akan dicari
- Memberikan tugas pengamatan
5. Tahap kelima : Pemeranan
- Memuali role playing
- Mengukuhkan role playing
- Menyudahi role playing
6. Tahap keenam : Dikusi dan evaluasi
- Mereview pemeranan (kejadian, posisi, kenyataan)
- Mendiskusikan fokus-fokus utama
- Mengembangkan pemeranan selanjutnya
7. Tahap ketuju : Memerankan kembali
- Memainkan peran yang diubah
- Member masukan atau alternative perilaku dalam langkah
selanjutnya
8. Tahap kedelapan : Berdiskusi dan evaluasi
- Sebagaimana dalam tahap 6
9. Tahap kesembilan : Saling berbagi dan mengembangakan
pengalaman.
- Menghubungkan situasi yang bermasalah dengan kehidupan
didunia nyata serta masalah-masalah yang baru muncul.
Menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku.

b. Peran guru
Berikut ini peran guru menurut Bali (2017), dalam pembelajaran Role
Playing (bermain peran) yang antara lain:
a) Guru seharusnya menerima semua respon dan saran siswa terlebih
gagasan dan perasaan mereka, dengan teknik yang tidak terkesan
menjustifikasi mereka.

7
b) Guru harus responsif sebagai upaya mendorong siswa untuk
menelusuri bidang-bidang yang berbeda dalam situasi permasalahan
tertentu, serta mempertimbangkan alternatif yang berbeda.
c) Meningkatkan pemahaman siswa berkenaan perasaan dan pikiran
mereka sendiri.
d) Menitikberatkan beberapa cara yang berbeda untuk memainkan
peran yang sama dan konsekuensi yang berbeda yang akan mereka
temukan.
e) Membantu siswa untuk merefleksikan dan memerhatikan
konsekuensi-konsekuensi untuk mengevaluasi resolusi dan
menganalogikannya dengan alternatif yang lain

3. Jurisprudential Inquiry (Model Yurisprudensi)


Model pembelajaran interaksi sosial yang melalui metode
yurisprudensi merupakan metode studi kasus yang terjadi di dalam proses
peradilan yang kemudian diterapkan dalam suasana kegiatan belajar.
Didisain untuk melatih kemampuan mengolah informasi dan
menyelesaikan isu kemasyarakatan dengan kerangka acuan atau cara
berpikir yurisprudensial. Model ini juga didasarkan atas konsep tentang
keberagaman masyarakat dalam menafsir perbedaan-perbedaan
paradigma dan prioritas bahkan konfrontasi nilai antara seseorang dengan
yang lain.
Untuk mengatasai masalah yang komplek terutama tentang isu-isu
yang kontrofersial maka menuntut warga negara untuk dapat berbicara
satu sama lain, dapat bernegosiasi mengenai perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat tersebut. Model ini potensial untuk digunakan dalam kajian
bidang studi yang membahas tentang isu-isu kebijaksanaan umum atau
berkaitan dengan kebijaksanaan umum, termasuk yang berkenaan dengan
isu-isu atau konflik moral dalam kehidupan sehari-hari.
a. Struktur pengajaran
Model dasar penelitian hokum ini meliputi enam tahap (1) orientasi
pada kasus, (2) mengidentifikasi isu, (3) mengambil posisi (sikap), (4)

8
mengeksplorasi sikap yang mendasari pengambilan posisi, (5)
memantapkan serta mengkualifikasi posisi, dan (6) menguji asumsi
tentang fakta , definisi, dan konsekuensi.
Tahap pertama : Mengarahkan Siswa pada Kasus
- Guru memperkenalkan materi kasus
- Guru mereview fakta
Tahap kedua : Mengidentifikasi Isu
- Siswa membuat sitesis antara fakta-fakta dengan isu-isu kebijakan
publik
- Siswa memilih satu isu kebijakan publik untuk didiskusikan
- Siswa mengidentifikasi nilai dan konflik
- Siswa mengenali fakta dasar dan permasalahan seputar definisi
Tahap Ketiga : Memilih posisi
- Siswa mengartikulasikan posisinya
- Siswa mengungkapkan posisi dasar dari nilai sosial atau konsekuensi
sebuah keputusan
Tahap Keempat : Mengekploitasi Sikap dan Pendirian serta Bentuk
Argumentasi
- Menetapkan poin-poin nilai yang dilanggar
- Membuktikan pengaruh posisi yang strategis atau tidak secara
faktual
- Membuat, menegaskan prioritas serta memaparkan kurangnya
pelanggaran dalam nilai kedua
Tahap Kelima : Menegaskan dan Mengaktualisasi Posisi
- Siswa menegaskan posisinya serta alaan memilih posisi tersebut,
menguji beberapa situasi yang sama
- Siswa mengkualifikasik posisi
Tahap Keenam : Menguji Asumsi Faktual di Balik Posisi yang sudah
Qualified
- Mengidentifikasi asumsi factual dan menentukan apakah asumsi
tersebut relevan atau tidak

9
- Menentukan konsekuensi yang diperkirakan serta menguji validitas
faktualnya (apakah benar-benar akan terjadi).
b. Peran guru
Dalam model ini guru memiliki peranan sebagai berikut.
1) Memeriksa substansi yaitu merespon anotasi siswa dengan
menanyakan kembali terkait relevansi, koherensi, partikularitas, dan
kejelasan definitif.
2) Guru mendorong siswa untuk berpikir, sehingga satu pikiran atau
urutan alasan dapat dikejar dan diperpanjang untuk ekmudian
mengantarkan pada konklusi yang logis sebelum memulai membahas
argumen yang lain.
3) Mengantisipasi tuntutan siswa terhadap nilai-nilai yang harus
dipersiapkan untuk menantang dan melakukan penjejakan serta
pemeriksaan.
4) Guru memeriksa pendapat salah seorang siswa secara mendetail
sebelum menantang siswa yang lain

II.3 Faktor Yang Mempengaruhi Model Belajar Interaksi Sosial


Menurut Mushfi (2017) proses interaksi yang muncul pada model
pembelajaran interaksi sosial akan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor,
yaitu:
1. Faktor Imitasi, merupakan aktifitas meniru individu terhadap gaya hidup
orang lain yang diamatinya ketika menghadapi situasi dan keadaan
tertentu
2. Faktor Sugesti, merupakan penilaian berdasarkan sudut pandang atau
sikap individu yang berasal dari individu itu sendiri namun diterima oleh
orang lain. Factor ini serupa dengan proses yang terjadi pada factor
imitasi, namun letak perbedaannya pada titik tolaknya yaitu si penerima
(orang lain) mengalami kondisi emosi yang serupa, akibatnya kemampuan
rasionalnya menjadi terhambat
3. Faktor Identifikasi, merupakan kecenderungan individu secara sadar
maupun tidak sadar untuk menjadi serupa dengan orang lain

10
4. Faktor Simpati, merupakan suatu proses individu yang tertarik pada pihak
lain. Meskipun faktor simpati berupa keinginan individu untuk
memahami dan bertindak kooperatif dengan orang lain, tapi sebenarnya
peran vital dalam faktor ini adalah lebih condong pada perasaan individu
tersebut

II.4 Kelebihan dan Kekurangan Model Belajar Interaksi Sosial


Menurut Mushfi (2017), Secara keseluruhan berdasarkan berbagai
macam model Interaksi Sosial tersebut, berikut ini adapun kekurangan dari
model Interaksi Sosial antara lain:
A. Kekurangan
1) Keterhubungan menjadi tidak jelas; transfer pembelajaran lebih
sedikit.
2) Disiplin-disiplin ilmu tidak berkaitan; content tetap terfokus pada satu
disiplin ilmu.
3) Siswa bingung berkenaan dengan konsep utama dari suatu kegiatan
atau materi pelajaran yang telah dipelajari.
4) Membutuhkan kolaborasi yang kontinu dan fleksibilitas yang tinggi,
karena para pendidik memiliki lebih sedikit otonomi untuk merancang
kurikulum.
5) Membutuhkan waktu yang panjang danfleksibilitas, komitmen dan
kompromi dari semua kalangan terutama untuk kegiatan pembelajaran
kolaboratif.
6) Guru harus selektif dalam menetukan tema yang relevan sesuai
dengan konten materi ajar, sehingga pembelajaran bermakna dapat
terwujud.
7) Disiplin-disiplin ilmu yang saling terkait tetap dikaji terpisah-pisah
satu sama lain.
8) Dapat memecah perhatian siswa, sehingga segala upaya yang
direncanakan menjadi tidak efektif.
B. Kelebihan
1) Adanya kejelasan dan pandangan yang terkotak-kotak dalam suatu
mata pelajaran.

11
2) Konsep-konsep utama saling terkoneksi, mengarah pada repetisi
(review), rekonseptualisasi, dan asimilasi gagasan-gagasan dalam
suatu disiplin ilmu.
3) Memberikan minat pada berbagai bidang studi yang berbeda dalam
waktu yang bersamaan, serta mampu memperkaya dan memperluas
topic pembelajaran.
4) Memudahkan transfer pengetahuan dan pembelajaran yang
berintegrasi dengan beberapa mata pelajaran lain.
5) Diperoleh berbagai macam pengalaman instruksional bersama, apabila
pembelajaran dilaksanakan berkolaboratif dengan guru lain.
6) Mampu memotivasi siswa sehingga memudahkan siswa untuk
mengintegrasikan antar gagasan.
7) Bersifat proaktif; siswa terstimulan oleh informasi, kecakapan (skill),
atau konsepsi baru.

12
III.PENUTUP

III.1Kesimpulan
Model belajar interaksi sosial adalah suatu model pembelajaran yang
menekankan pada terbentuknya hubungan antara individu dengan masyarakat
dan dengan individu yang lainnya. Macam-macam model belajar interaksi
sosial yaitu, kerja kelompok (investigation group) yang memiliki tujuan
untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan untuk berperan dalam
kelompok yang menekankan keterampilan komunikasi interpersonal dan
keterampilan inkuari ilmiah, bermain peran (role playing) yang didisain untuk
mengajak peserta didik dalam menyelidiki niai-nilai pribadi dan sosial
melalui tingkah laku dan moral serta penerapannya dalam prilaku, dan model
yurispudensial (Jurisprudential Inquiry) yang bertujuan untuk membantu
peserta didik memahami berbagai kenyataan sosial yang menuntut adanya
sebuah kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Faktor yang
mempengaruhi model belajar interaksi sosial adalah faktor imitasi, faktor
sugesti, faktor identifikasi, dan faktor simpati.

13
DAFTAR PUSTAKA

Joyce, B., Weil, and Calhoun. 2019. Models of Teaching Model-Model


Pengajaran (edisi kedelapan). Yogyakarta : Penerbit Pustaka Belajar

Winata,KokoAdya & Hasanah,Aan. 2021. Implementasi Model Pembelajaran


Interaksi Sosial Untuk Meningkatkan Karakter Peserta Didik. Jurnal
Pendidikan. Vol. 9. No.21. Halaman 22-32.

Zusfindhana,InnaHamida. 2017. Penggunaan Metode Belajar Role Playing


Terhadap Aktifitas Belajar Anak Sub Pokok Bahasan Pengenalan Hewan
Darat. Jurnal Bioilmi. Vol.3. No.2. Halaman 100-103.

Basri,Hasan. 2017. Penerapan Model Pembelajaran Role Playing Untuk


Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Siswa Kelas V Sdn 032
Kualu Kecamatan Tambang. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Program
Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Riau. Vol. 1. No. 1.
Halaman 38-53

Bali, Muhammad Mushfi El Iq. 2017. Model Interaksi Sosial Dalam


Mengelaborasi Keterampilan Sosial. Jurnal Pedagogik, Vol. 04 No. 02,
Halaman 211-227.

14

Anda mungkin juga menyukai