Anda di halaman 1dari 25

Keperawatan

Kasus BII =

Kronologi Kasus: Kesalahan Suntik Obat yang Berakibat Meninggalnya Pasien di RSUD Cut
Nyak Dhien Meulaboh
1. Pada tanggal 19 Oktober 2018, seorang anak bernama Alfa Reza dibawa ke RSUD Cut
Nyak Dhien Meulaboh karena luka akibat tertusuk kayu di paha kirinya hingga bagian
bokong.
2. Satu jam setelah kedatangan, dokter yang bertugas memutuskan untuk melakukan operasi
pada Alfa Reza, dan setelah operasi, pasien dipindahkan ke ruang perawatan khusus
untuk anak.
3. Dokter memberikan perintah kepada perawat, termasuk Desri, Erwanty, dan beberapa
perawat lainnya yang bertugas, untuk memberikan obat kepada pasien setelah operasi.
4. Pada malam harinya, Desri membuka catatan rekam medis pasien untuk melihat obat
yang harus diberikan kepada Alfa Reza. Ternyata, hanya tersisa satu obat dari beberapa
obat yang seharusnya disuntikkan.
5. Desri memberitahu Erwanty tentang ketersediaan obat yang minim. Erwanty
memerintahkan Desri untuk meresepkan obat yang tidak ada dalam Kartu Obat Pasien
(KOP) agar obat dapat diambil dari depo obat.
6. Desri meminta orang tua Alfa Reza untuk mengambil obat di depo obat sesuai arahan,
dan petugas di depo juga menanyakan keberadaan pasien kepada ayahnya.
7. Karena ayahnya tidak dapat berbicara, petugas di depo obat mengira Alfa Reza masih
berada dalam ruang operasi dan memberikan obat yang berbeda dari resep.
8. Kedua perawat, Desri dan Erwanty, menyuntikkan obat tersebut kepada Alfa Reza.
Beberapa menit setelah mendapatkan suntikan obat, kondisi Alfa Reza mengalami
penurunan.
9. Sekitar pukul 00.05 WIB keesokan harinya, Desri memanggil Erwanty untuk melaporkan
bahwa Alfa Reza mengalami penurunan kondisi. Erwanty mengecek dan menemukan
bahwa nadi dan pernapasan Alfa Reza melemah.
10. Akhirnya, Alfa Reza meninggal dunia. Seorang perawat menginformasikan kepada Desri
dan Erwanty bahwa tindakan salah menyuntikkan obat ke badan Alfa Reza menyebabkan
kematian pasien tersebut.
11. Tindakan yang dilakukan oleh Desri dan Erwanty merupakan pelanggaran berat yang
menyebabkan kematian pasien. Sebagai konsekuensi dari pelanggaran berat tersebut,
mereka akan dikenai sanksi sesuai aturan yang berlaku.

. Sumber : Kasus Bocah Meninggal di RSUD Cut Nyak Dhien, Perawat yang Suntik Pasien tak
Miliki STR - Tribunnews.com

KASUS BOO :
1. Pada Kamis, 14 Juli, seorang bayi berusia satu bulan bernama Danendra Atharprazaka
Nirwan asal Kabupaten Gowa, didiagnosis dengan masalah usus turun dan masuk RSUP
Wahidin Sudirohusodo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
2. Rumah sakit merencanakan operasi untuk bayi tersebut pada Selasa, 19 Juli.
3. Sehari sebelum operasi, pada hari Senin, 18 Juli, bayi tersebut meninggal dunia.
4. Ibu korban, Mustainna Mansyur, menyatakan bahwa malam sebelum meninggal, seorang
perawat masuk ke kamar dan hendak menyuntikkan obat untuk anaknya, Danendra.
5. Mustainna mengatakan bahwa setelah perawat menyuntikkan obat, ia melihat bahwa obat
yang disuntikkan ternyata salah dan seharusnya untuk pasien lain bernama Naisiah.
6. Setelah suntikan obat tersebut, bayi tersebut kemudian meninggal dunia dalam waktu satu
jam.
7. Mustainna melaporkan insiden tersebut dan berencana untuk menempuh jalur hukum atas
dugaan malapraktik yang dilakukan oleh oknum perawat RSUP Wahidin Sudirohusodo.
8. Pihak RSUP Wahidin Sudirohusodo merespons dugaan tersebut dan menyatakan bahwa
sedang melakukan audit atas kasus tersebut.
9. Plt Direktur Medik, Keperawatan, dan Penunjang RSUP Wahidin Sudiro Husodo, dr.
Nu'man As Daud, mengungkapkan bahwa apa yang disampaikan keluarga korban belum
sepenuhnya benar dan perlu pendalaman lebih lanjut.
10. Pihak rumah sakit menegaskan bahwa jika dugaan tersebut terbukti benar, mereka siap
bertanggung jawab dan melakukan evaluasi.
11. RSUP Wahidin Sudirohusodo membantah tuduhan bahwa perawat yang menyuntikkan
korban adalah perawat magang.
Sumber : Dugaan Perawat Salah Suntik Obat Bikin Bayi di Gowa Meninggal (detik.com)
—----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENJELASAN

pasal 1 angka 1 peraturan Menteri Kesehatan republic indonesia nomor 26 tahun 2019
tentang peraturan pelaksanan undang – undang nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan,
perawat adalah seseorang yang telah lulus Pendidikan tinggi keperawatan baik di dalam
maupunn di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang – undangan. Dengan adanya undang – undang nomor 38 tahun 2014 tentang
keperawatan ini perawat menganggap bahwa mereka dapat melakukan praktik tetapi ada hal
yang perlu di sadari oleh perawat bahwa dalam melakukan praktik yang dilakukan memiliki
Batasan sesuai dengan ketentuan undang – undang yang berlaku dan kode etik keperawatan dan
jika Batasan dilanggar maka akan terjadi kesalahan atau kelalaian yang nantinya akan
mengakibatkan sengketa medis dan tidak menutup kemungkinan berujung ke ranah hukum.

Tugas seorang perawat tertuang di dalam pasal 29 ayat ( 1 ) Undang – Undang Republik
Indonesia nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan menyatakan dalam menyelenggarakan
praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai :
a. Pemberi asuhan keperawatan
b. Penyuluhan dan konselor bagi klien
c. Pengelola pelayanan keperawatan
d. Peneliti keperawatan
e. Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang
f. Pelaksanakan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

Namun yang sering dilupakan oleh seorang perawat adalah pada pasal 32 ayat ( 1 ) UU RI no 38
tahun 2014 tentang keperawatan yang berbunyi : pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat ( 1 ) huruf e hanya dapat diberikan secara
tertulis oleh tenaga medis kepada perawat untuk melakukan sesuatu Tindakan medis dan
melakukan evaluasi pelaksanannya. Pada pasal 32 ayat ( 2 ) menyatakan bahwa pelimpahan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dapat dilakukan secara delegative atau
mandate. Menurut pasal 32 ayat ( 3 ) , pelimpahan wewenang secara delegative untuk
melakukan sesuatu Tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada perawat dengan disertai
pelimpahan tanggungjawab, sedangkan pada ayat ( 4 ) menyatakan pelimpahan wewenang secara
delegative sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) hanya dapat diberikan kepada perawat profesi
atau perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang diperlukan. Pasal 32 ayat ( 5 )
tertulis pelimpahan wewenang secara mandate diberikan oleh tenaga medis kepada perawat
untuk melakukan sesuatu Tindakan medis dibawah pengawasan, maksud pengawasan ini ada
pada ayat ( 6 ) yaitu tanggungjawab atas Tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandate
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 5 ) berada pada pemberi pelimpahan wewenang.

Perawat dalam menjalankan profesinya harus menjujung tinggi asas professional dan etik
yang dimilikinya. Asas etik ini penting dikarenakan sebagai dasar dalam membangun hubungan
yang baik dengan seluruh pihak dalam memberikan pelayanan. Perawat didalam mengerjakan
praktek keperawatan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan medis
terhadap pasien melainkan hanya memiliki kompetensi untuk melakukan asuhan
keperawatan terhadap pasien. Perawat dalam melakukan tindakan medis dikarenakan itu
adalah tugasnya sebagai orang yang membantu dokter dan tenaga kesehatan yang lainnya.
Perawat diperbolehkan untuk melakukan tindakan medis apabila sang dokter memberikan
pelimpahan kewenangan baik secara lisan dan tertulis ataupun karena keadaan yang tidak
mendukung akibat kurangnya dokter dalam suatu daerah sehingga disini perawat bisa
melakukan wewenang yang dimiliki seorang dokter terkait dalam pengobatan pasien. Beberapa
kesalahan/kelalaian yang sering dilakukan perawat dalam tindakan medik menurut Priharjo
adalah “Keliru atau salah dalam memberikan obat atau salah dosis, salah membaca label, salah
menangani pasien, dan yang lebih berat lagi adalah salah memberikan transfusi darah sehingga
mengakibatkan hal yang fatal. Mayoritas kesalahan yang dilakukan perawat merupakan hasil dari
ketidaksempurnaan dari proses berpikir yang mempengaruhi pengambilan keputusan”
(Priharjo, 2005).
Di dalam Pasal 3 dan 12 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/2010
mengatur mengenai kewajiban dari perawat dimana didalam Pasal 13 menyatakan bahwa,
“setiap perawat wajib memiliki SIPP.”

Perawat sebagai penerima pendelegasian tugas dari dokter ini yang juga merupakan rekan
dari dokter, maka dalam melakukan tindakan medis harus didasarkan pada pendidikan,
pelatihan, kursus yang telah diterimanya sebelum menjadi perawat. Perawat disini dapat
memulai pekerjaannya apabila menerima permintaan secara tertulis maupun lisan dari dokter
dan apabila dokter kewalahan mengerjakan tugasnya dalam kaitannya melakukan tindakan
medis maka dapat meminta bantuan perawat untuk melakukan tinda- kan tersebut dimana
artinya dokter telah mem- berikan pelimpahan sebagian kewenangan yang dimilikinya.

Terkait penerapan sanksi pencabutan izin maka dapat dilakukan pencabutan izin-izin yang telah
diterimanya. Dalam melakukan kewenangannya maka seorang perawat memerlukan izin. Izin-
izin yang diperoleh oleh Perawat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/Menkes/148/2010 mengkategorikan beberapa izin yang dimiliki oleh perawat,antara
lain :

A. Surat Izin Kerja selanjutnya disebut SIK atau surat profesi adalah bukti secara tertulis
yang diberikan kepada seluruh perawat di Indonesia dalam hal melakukan praktik
keperawatan. diatur dalam pasal 1 angka 8 UU Keperawatan
B. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP atau surat kompetensi adalah bukti secara
tertulis dimana atas bukti tersebut memberikan wewenang kepada seluruh perawat di
seluruh Indonesia untuk menjalankan tugasnya sebagai perawa dikeluarkan oleh
perguruan tinggi. diatur dalam pasal 1 angka 7 jo pasal 16 ayat 5 UU Keperawatan
C. Surat Izin Praktik Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada perawat untuk melakukan praktik keperawatan secara perorangan
dan/atau berkelompok dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan berwenang di kabupaten/kota. Diatur dalam Pasal 1 angka
11 jo pasal 19 ayat 3 UU keperawatan
D. STR (Surat Tanda Registrasi) adalah bukti yang dikeluarkan dari konsil keperawatan
kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo pasal 18 ayat 2 UU
keperawatan

Sanksi yang dapat dikenakan :

Terkait tindakan dari perawat yang melakukan kesalahan dengan salah menyuntikkan obat ini
maka dapat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang
keperawatan, berupa : Teguran secara lisan; Peringatan tertulis; Denda administratif; dan/atau
Pencabutan izin. Namun hal ini hanya berlaku secara teknis pada pasal 18 ayat 1, pasal 21, pasal
24 ayat 1, 27 ayat 1 UU Keperawatan.

Tindakan yang dilakukan oleh dua perawat tersebut ini dapat dikategorikan juga sebagai
pelanggaran kode etik keperawatan. Pelanggaran kode etik ditentukan oleh Konsil Keperawatan.
Di dalam Buku Standar Kode Etik Keperawatan, disebutkan beberapa jenis pelanggaran etik
keperawatan, antara lain :

Pelanggaran ringan, meliputi : melalaikan tugas; Berperilaku tidak menyenangkan penderita


atau keluarga; Tidak bersikap sopan saat berada dalam ruang perawatan; Tidak berpenampilan
rapi; Menjawab telepon tanpa menyebutkan identitas; dan Berbicara kasar dan mendiskreditkan
teman sejawat dihadapan umum/forum.

Pelanggaran sedang, meliputi : Meminta imbalan berupa uang atau barang kepada pasien atau
keluarganya untuk kepent- ingan pribadi atau kelompok; Memukul pasien dengan sengaja; Bagi
perawat yang sudah menikah dilarang menjalin cinta dengan pasien dan keluarganya , suami atau
teman sejawat; Menyalahgunakan uang perawatan atau pen- gobatan pasien untuk kepentingan
pribadi atau kelompok; Merokok dan berjudi di lingkungan rumah sakit saat memakai seragam
perawat; Menceritakan aib teman seprofesi atau menjel- ekkan profesi perawat dihadapan profesi
lain; dan Melakukan pelanggaran etik ringan minimal 3 kali

Pelanggaran berat, meliputi : Melakukan tindakan keperawatan tanpa mengikuti prosedur


sehingga penderitaan pasien bertambah parah bahkan meninggal; Salah memberikan obat
sehingga berakibat fatal bagi pasien; Membiarkan pasien dalam keadaan sakit parah atau sakratul
maut tanpa memberikan pertolongan; Berjudi atau meminum minuman beralkohol sampai
mabuk diruangan perawatan; Menodai kehormatan pasien; Memukul atau berbuat kekerasan
pada pasien dengan sengaja sampai terjadi cacat fisik; Menyalahgunakan obat pasien untuk
kepentingan pribadi atau kelompok; dan Menjelekkan dan/atau membuat cerita hoax mengenai
profesi keperawatan pada profesi lain dalam forum, media cetak, maupun media online yang
mengakibatkan adanya tuntutan hukum.

Sanksi yang dapat diterapkan dalam pelanggaran kode etik keperawatan adalah :

Sanksi pelanggaran ringan, yaitu dengan : Berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi;
dan Meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan.

Sanksi pelanggaran sedang, yaitu dengan : Harus mengembalikan barang atau uang yang
diminta kepada pasien atau keluarganya; Meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan; dan
Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan mengulanginya lagi.

Sanksi pelanggaran berat, yaitu dengan : Harus meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan;
Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan mengulanginya lagi;
Dilaporkan kepada pihak kepolisian; dan Diberhentikan dari kedinasan
dengan tidak hormat.

Selain dapat dikenakan sanksi secara administrasi maka juga dapat dikenakan sanksi secara
hukum perdata dimana muncul gugatan secara keperdataan untuk kedua perawat tersebut.
Menurut hukum perdata, dasar pertanggungjawa- ban dilakukan pembagian menjadi dua macam
yaitu pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability without based on fault) dan atas dasar
resiko atau tanpa kesalahan (lilability without fault) atau dikenal dengan tanggungjawab mutlak
(strick liability) (Poernomo, 1994).

Organisasi Profesi Perawat sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 15 UU Keperawatan yakni
Ikatan Perawat Indonesia tidak berwenang menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik. Namun
terdapat Konsil Keperawatan yang merupakan lembaga independen. berdasarkan pasal 49 ayat
2 huruf e, salah satu tugas konsil keperawatan adalah menegakkan disiplin Praktik Keperawatan.
Oleh karena itu, konsil keperawatan mempunyai wewenang berdasarkan pasal 50 huruf b, c, dan
d yakni menerbilkan atau mencabut STR (huruf b), menyelidiki dan menangani masalah yang
berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi Perawat ©, menetapkan dan memberikan sanksi
disiplin profesi Perawat (d)

Terkait gugatan keperdataan Perbuatan Melawan Hukum atau Onrechtmatige Daad adalah
tindakan yang melanggar tidak hanya undang-undang tetapi lebih luas daripada itu. Perbuatan
melawan harus memenuhi 4 syarat yaitu

1. Perbuatan melawan hukum yaitu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang - undangan atau tidak dapat melaksanakan kewajiban yang telah di tentukan.
2. Unsur kesalahan dimana dibagi menjadi 2 yaitu kesengajaan dan kelalaian,
3. Unsur adanya kerugian tindakan yang merugikan ini tidak hanya selalu berkaitan dengan
uang saja tetapi juga kerugian immateriil.
4. Unsur adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan dan kerugian.

Perawat dan rumah sakit juga dapat turut digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPER karena
perawat telah melakukan sebuah malpraktik disebabkan kelalain pada klien yang menyebabkan
seorang bayi telah mati. Rumah sakit juga dapat turut digugat dikarenakan berdasarkan pasal 46
UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS yakni rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
di Rumah Sakit.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan adalah Pasal 359 Kitab UndangUndang Hukum Pidana
yang menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter,
bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iainlain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat ditambah sepertiga dan hak pekerjaan
dalam rangka kejahatan dilakukan dicabut. Sedangkan melihat dalam Pasal 84 ayat (2) UU No.
36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang intinya menyatakan bahwa kelalaian berat yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan ini mengakibatkan kematian maka Tenaga Kesehatan akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Analisa kasus BOO
Kaitannya dengan kasus adalah perawat bersangkutan dari RSUP Wahidin Sudirohusodo
yang menyuntikkan obat secara salah tanpa melihat label nama merupakan perawat yang
bertanggung jawab untuk bertugas memberikan asuhan keperawatan (pasal 29 ayat 1 ) kepada
bayi Danendra Atharprazaka Nirwan yang didiagnosis mengalami masalah usus turun. Selain itu,
dalam kasus ada pelimpahan wewenang delegasi (pasal 32 ayat 3) dari dokter kepada perawat
bersangkutan untuk pengasuhan berupa penyuntikan.. Artinya, perawat tidak melewatkan batas
wewenangnya. Terkait perbuatan perawat yang menyebabkan kematian bayi dikarenakan salah
melihat label nama bayi merupakan kealpaan dalam praktik menyebabkan kematian, tidak
professional berdasarkan kode etik profesi.

Upaya hukum dan lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi. Upaya hukum dapat
penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik yang tergolong berat karena salah memberi obat
menyebabkan kematian dijatuhkan oleh Konsil Keperawatan berdasarkan pasal 50 huruf d UU
Keperawatan. Sanksi Administratif tidak dapat dikenakan karena tidak melanggar pasal-pasal
dalam UU Keperawatan. Sanksi Perdata yakni berupa gugatan PMH dengan dasar pasal 1365
KUHPER dimana meminta ganti kerugian terhadap perawat karena melawan hukum, kelalaian,
menyebabkan kerugian pada klien serta kausalitas antara tindakan perawat berupa salah
pemberian obat pada bayi menyebabkan kerugian berupa meninggalnya bayi. Selain itu rumah
sakit juga dapat menjadi turut tergugat berdasarkan pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009. Terkait
sanksi pidana juga dapat diberikan. Konsil Keperawatan dapat mencabut STR perawat
bersangkutan berdasarkan pasal 50 huruf d. Sanksi pelanggaran berat oleh konsil keperawatan
berupa meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan; Membuat surat pernyataan diatas kertas
segel bermaterai tidak akan mengulanginya lagi, Dilaporkan kepada pihak kepolisian; dan
Diberhentikan dari kedinasan dengan tidak hormat. Oleh karena itu, sanksi pidana yang dapat
dilaporkan ialah pasal 359 KUHP dengan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun, Pasal 361 KUHP dengan sanksi pidana ditambah sepertiga dan
hak untuk melakukan pekerjaan dicabut, pasal 84 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2012 dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.

analisis kasus BII


seorang perawat tidak melakukan standar operasional prosedur dengan benar sehingga
ditemukan bahwa terjadi kesalahan dalam penyuntikan obat oleh perawat. pada tanggal 19
oktober 2018 seorang anak dibawah ke rumah sakit umum daerah karena luka tertusuk kayu
yang akhirnya dioperasi oleh dokter yang bertugas. kemudian dokter memberikan perintah untuk
menyuntikan obat kepada desri, erwanty dan perawat lainnya pada reza ( Pasien ), pelimpahan
wewenang delegasi (pasal 32 ayat 3) dari dokter kepada perawat bersangkutan untuk pengasuhan
berupa penyuntikan. setelah obat di terima oleh perawat maka mereka menyuntikan kepada reza
dan menyebabkan kematian pada reza. di sini terjadi kelalaian dari kedua perawat dikenakan
sanksi kode etik, dimana mereka melanggar kode etik karena lalai dalam melakukan tugasnya.

sanksi atas pelanggaran kode etik keperawatan sesuai dalam buku standar kode etik
keperawatan dibagi menjadi pelanggaran ringan, pelanggaran sedang dan pelanggaran berat.
dalam kasus ini dengan kejadian seperti ini maka perawat tersebut dapat dikenakan pelanggaran
berat meliputi salah memberikan obat sehingga berakibat fatal bagi klien yaitu kematian.
dijatuhkan oleh Konsil Keperawatan berdasarkan pasal 50 huruf d UU Keperawatan yaitu
mencabut STR perawat. Sanksi Administratif tidak dapat dikenakan karena tidak melanggar
pasal-pasal dalam UU Keperawatan. Sanksi Perdata yaitu gugatan PMH dengan dasar pasal 1365
KUHPER dimana meminta ganti kerugian terhadap perawat karena melawan hukum, kelalaian,
menyebabkan kerugian pada klien meninggalnya dan sanksi pidana juga dapat diterapkan yaitu
pasal 359 KUHP dengan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun. Selain itu rumah sakit turut tergugat berdasarkan pasal 46 UU No. 44 Tahun
2009. Sanksi pelanggaran berat oleh konsil keperawatan berupa meminta maaf terhadap pihak
yang dirugikan; Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan
mengulanginya lagi, Dilaporkan kepada pihak kepolisian; dan Diberhentikan dari kedinasan
dengan tidak hormat.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BIDAN
Kronologi Kasus BII
Berikut adalah kronologi kasus dalam bentuk poin-poin:

1. Pada Kamis, 3 Februari 2022, Anisa (36 tahun), seorang wanita hamil 7 bulan dari Desa
Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, mengeluh sakit perut sekitar
pukul 13.00 WIB.
2. Anisa dibawa oleh tetangga, Tri, ke bidan desa setempat menggunakan sepeda motor,
namun bidan desa menyarankan agar Anisa memeriksakan diri ke Puskesmas Pajarakan.
3. Anisa dan Tri menuju Puskesmas Pajarakan, tetapi petugas di sana hanya meminta Anisa
untuk mengambil buku Kartu Indonesia Sehat (KIA) dan tidak memberikan penanganan
medis.
4. Sanito (56 tahun), ayah bayi yang meninggal, mengantarkan Anisa kembali ke
Puskesmas Pajarakan, tetapi petugas kembali menyuruh mereka pulang dengan alasan
sakit Anisa belum terlalu parah.
5. Sanito berusaha meminta agar istrinya diberikan penanganan serius, tetapi permohonan
tersebut tidak direspons oleh petugas Puskesmas.
6. Setelah kembali ke rumah, Anisa mengalami pendarahan, dan Sanito kembali ke
Puskesmas Pajarakan untuk menanyakan kondisi istrinya.
7. Petugas Puskesmas menyarankan agar Anisa dibawa kembali ke Puskesmas, namun
sampai ambulans datang, Anisa sudah melahirkan bayinya sendiri tanpa penanganan
medis.
8. Bayi yang dilahirkan meninggal dunia akibat tidak mendapatkan penanganan medis yang
sesuai.
9. Pada Rabu, 9 Februari 2022, DPRD Kabupaten Probolinggo, Komisi IV, melakukan
pertemuan tertutup bersama Dinas Kesehatan di Kantor DPRD untuk menindaklanjuti
kasus meninggalnya bayi tersebut.
10. Dalam pertemuan tersebut, Dinas Kesehatan memberikan surat peringatan 3 (SP3)
kepada tiga bidan yang terlibat, termasuk dua bidan dari Puskesmas yang membuat
pasien harus kembali dua kali dan satu bidan asal Karangbong, Kecamatan Pajarakan.
11. Selain SP3, ketiga bidan juga mendapatkan pembinaan dari Dinas Kesehatan.
DPRD berharap agar kejadian serupa tidak terjadi lagi dan meminta Dinkes memberikan
pembinaan kepada seluruh puskesmas di Kabupaten Probolinggo.
Sumber: Kasus Bayi Meninggal Diduga Tidak Ada Penanganan Medis dari Puskesmas, Tiga
Bidan Kena SP3 (jatimnet.com)

Kasus BOO
Kronologi Kasus Meninggalnya Ibu Hamil di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara),
Sumatera Selatan:
1. Pada Selasa, 9 Mei 2023, seorang istri di Muratara, Sumatera Selatan hendak melahirkan
dan masuk ke Puskesmas Pauh, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Muratara, karena
sudah pecah ketuban.
2. Sampai Rabu, 10 Mei 2023, sekitar pukul 01.00 WIB, istri tersebut belum juga
melahirkan setelah berada di puskesmas Pauh selama beberapa jam.
3. Suami pasien, Lika Santosa, mengungkapkan di media sosial bahwa istrinya terlantar di
ruang persalinan karena diduga kesalahan penanganan dari tiga bidan yang bertugas di
puskesmas.
4. Bidan dan perawat di puskesmas Pauh diduga diabaikan kewajiban pelayanannya, bahkan
satu di antaranya mengatakan akan tidur dahulu saat kondisi istri Lika semakin lemah.
5. Suami Lika menegur petugas medis dan meminta penanganan yang cepat, namun keluhan
tersebut tidak dihiraukan dengan baik.
6. Baru pada pukul 05.00 WIB, Puskesmas Pauh memberikan rujukan ke Rumah Sakit Ar
Bunda Lubuklinggau.
7. Sayangnya, nyawa ibu hamil dan bayi yang ada dalam kandungan tidak dapat
diselamatkan setelah dibawa ke Rumah Sakit Ar Bunda Lubuklinggau.
8. Kejadian ini menjadi viral di media sosial setelah suami pasien membagikan pengalaman
tragisnya, menyoroti pelayanan di puskesmas Pauh dan dugaan kesalahan bidan yang
telah menyebabkan kehilangan nyawa istri dan anaknya.

Bidan berdasarkan pasal 1 angka 3 UU No. 4 Tahun 2019 tentang kebidanan adalah
seorang perempuan yang telah menyelesaikan program pendidikan Kebidanan baik di dalam
negeri maupun di luar negeri yang diakui secara sah oleh Pemerintah Pusat dan telah memenuhi
persyaratan untuk melakukan praktik Kebidanan. Menurut Pasal 2 ayat (3) PP No. 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan, disebutkan bahwa bidan masuk dalam kategori tenaga
keperawatan. Oleh karena itu, bidan juga memiliki hubungan dengan pasien, khususnya dalam
praktik layanan kesehatan seperti halnya dengan tenaga kesehatan lainnya. Di rumah sakit,
dokter, bidan, dan perawat memiliki peran penting dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Perawat (termasuk bidan) melakukan tindakan medis tertentu berdasarkan pengetahuannya.
Tugas Bidan berdasarkan Pasal 46 (1) UU Kebidanan adalah
a. pelayanan kesehatan ibu;
b. pelayanan kesehatan anak;
c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana;
d. pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang;
e. pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

Izin-izin yang diperoleh oleh Bidan berdasarkan Permenkes No. 1464 Tahun 2010.
mengkategorikan beberapa izin yang dimiliki oleh bidan ,antara lain :

1. Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi setelah memiliki sertifikat
kompetensi. Berdasarkan pasal 1 angka 3
2. Surat Izin Kerja Bidan, selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis yang diberikan
kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Berdasarkan pasal 1
angka 4 jo pasal 5 ayat 1
3. Surat Izin Praktik Bidan, selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan
kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik bidan
mandiri SIKB/SIPB dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Berdasarkan
pasal 1 angka 5 jo pasal 5 ayat 1

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1464/ MenKes/per/X/2010 tentang Izin dan


Penyelenggaraan Praktik Bidan Indonesia mengatur mengenai penyelenggaraan praktik bidan di
Indonesia. Pada BAB III Penyelenggaraan Praktik, Pasal 9 menegaskan bahwa bidan memiliki
wewenang untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak, dan
pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pasal 10 ayat (1) mengatur
bahwa pelayanan kesehatan ibu, seperti yang disebutkan dalam Pasal 9 huruf a, diberikan pada
berbagai tahap, termasuk masa pra hamil, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui, dan masa
antara dua kehamilan.
Selain itu, Pasal 13 ayat (1) juga mengatur mengenai wewenang bidan dalam
memberikan pelayanan kesehatan ibu, yang meliputi pelayanan konseling pada masa pra hamil,
pelayanan antenatal pada kehamilan normal, pelayanan persalinan normal, pelayanan ibu nifas
normal, pelayanan ibu menyusui, dan pelayanan konseling pada masyarakat terkait kehamilan
kedua. Pasal 13 ayat (3) menegaskan bahwa bidan juga berwenang untuk melakukan tindakan
seperti episiotomi dan penjahitan luka jalan lahir tingkat rendah.
Berdasarkan pasal 18 Permenkes No. 1464 tahun 2010 kode etik bidan ialah a.
menghormati hak pasien; b. memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan
pelayanan yang dibutuhkan; c. merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat
ditangani dengan tepat waktu; d. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan; e.
menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; f.
melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara sistematis. Lembaga
organisasi profesi Bidan adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI) yang diatur dalam pasal 1 angka 8
Permenkes No. 1464 Tahun 2010. Terkait lembaga yang menegakkan disiplin dan kode etik
adalah Konsil Kebidanan. Konsil Kebidanan karena termasuk sebagai konsil tenaga kesehatan
dan Bidan termasuk tenaga kesehatan. Maka penegakan disiplin tenaga kesehatan untuk bidan
berdasarkan pasal 49 (1) Untuk menegakkan disiplin tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan
praktik, konsil masing-masing tenaga kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan
memutuskan kasus pelanggaran disiplin tenaga kesehatan. (2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing tenaga kesehatan dapat memberikan
sanksi disiplin berupa:

a. pemberian peringatan tertulis;

b. rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau

c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan.


Terkait sanksi administratif diatur pasal 82 ayat 1 Undang - Undang 36 tahun 2014 tentang
tenaga kesehatan menyatakan bahwa Pasal 59 ayat (1) tidak memberikan pertolongan pertama
kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana
untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan dapat dikenai sanksi administratif kepada
Tenaga Kesehatan. Berdasarkan pasal 82 ayat 3 yang berwenang menjatuhkan sanksi adalah
pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah provinsi, atau pemerintahan daerah kabupaten atau
kota. Sanksi administratif berdasarkan pasal 82 ayat 4berupa:

a. teguran lisan;

b. peringatan tertulis;

c. denda adminstratif; dan/atau

d. pencabut

Terkait gugatan keperdataan Perbuatan Melawan Hukum atau Onrechtmatige Daad adalah
tindakan yang melanggar tidak hanya undang-undang tetapi lebih luas daripada itu. Perbuatan
melawan harus memenuhi 4 syarat yaitu

5. Perbuatan melawan hukum yaitu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang - undangan atau tidak dapat melaksanakan kewajiban yang telah di tentukan.
6. Unsur kesalahan dimana dibagi menjadi 2 yaitu kesengajaan dan kelalaian,
7. Unsur adanya kerugian tindakan yang merugikan ini tidak hanya selalu berkaitan dengan
uang saja tetapi juga kerugian immateriil.
8. Unsur adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan dan kerugian.
Bidan juga dapat turut digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPER karena perawat telah
melakukan sebuah malpraktik disebabkan kelalain pada klien yang menyebabkan seorang bayi
telah mati.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan adalah Pasal 359 Kitab UndangUndang Hukum Pidana
yang menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter,
bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iainlain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat ditambah sepertiga dan hak pekerjaan
dalam rangka kejahatan dilakukan dicabut. Sedangkan melihat dalam Pasal 84 ayat (2) UU No.
36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang intinya menyatakan bahwa kelalaian berat yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan ini mengakibatkan kematian maka Tenaga Kesehatan akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

ANALISA KASUS
Bidan yang melalaikan dan mengabaikan kewajiban pelayanannya terutama pelayanan kesehatan
ibu dan anak melanggar pasal 46 ayat 1 Kebidanan, bahkan satu di antaranya mengatakan akan
tidur dahulu saat kondisi istri Lika semakin lemah. Disamping itu, Bidan juga dianggap tidak
berprofesional karena tidak mematuhi kode etik yang menghargai hak-hak pasien
sesuai dengan ketentuan Pasal 18 huruf a Peraturan Menteri Kesehatan No. 1464 tahun
2010.
Upaya hukum yang dilakukan adalah melaporkan kepada Konsil Kebidanan yang
berwenang menjatuhkan sanksi disiplin berdasarkan pasal 49 (1) dan menjatuhkan berdasarkan
pasal 49 ayat 2 berupa sanksi . pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR atau
SIP; dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan.
Sanksi administratif pasal 82 ayat 1 Undang - Undang 36 tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan merujuk pada ketentuan pasal 59 ayat 1 karena tidak memberikan pertolongan pertama
pada kondisi darurat bagi klien ibu dan anak. maka tenaga kesehatan dapat dikenai sanksi

administratif berupa teguran lisan atau peringatan tertulis atau denda adminstratif;
dan/atau pencabutan. Jadi tenaga kesehatan bidan yang tidak memberikan pertolongan
pertama pada ibu dan anak dapat dikenai sanksi administratif.

Terkait perdata, bidan dapat diajukan gugatan perdata PMH berdasarkan pasal 1365
KUHPER yakni melawan hukum dimana tidak menjalankan kewajibannya sebagai bidan,
disebabkan oleh unsur kelalaian dalam pengerjaan tugas bidan, menyebabkan suatu kerugian
bagi klien yakni meninggalnya ibu dan anak, kemudian kausalitas dari perbuatan bidan yang
melalaikan melayani ibu dalam persalinan menyebabkan ibu dan anak dalam kondisi meninggal
saat merujuk pada fasilitas kesehatan lain.
Terkait pidana, bidan dapat dilaporkan kepada kepolisian pasal 359 KUHP dengan sanksi
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Selain itu rumah
sakit turut tergugat berdasarkan pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009.

----------------------------------------------------------------------------------------------------
APOTEKER
Kasus BII ( kimia farma dapat gugat sesuai dengan pasal 1367 KUHPer )
Kronologi Kasus: Penggunaan Obat Tanpa Resep Dokter yang Berakibat Nyaris Buta

1. Pada Selasa (21/2), Ibnu Utomo (65), warga Pontianak Barat, mengalami perih di
mata sebelah kiri akibat terkena sabun mandi.
2. Ibnu mencoba mengatasi perih dengan membasuh matanya menggunakan air,
tetapi rasa perih tidak kunjung hilang.
3. Ia kemudian mencoba mengobati matanya dengan meneteskan obat mata biasa
merek Insto, namun hasilnya tidak memberikan efek yang diharapkan.
4. Mengalami kesulitan dalam mengatasi perih di matanya, Ibnu inisiatif mencari
obat tetes mata di apotek Kimia Farma di Jalan H Rais A Rahman, Pontianak
Barat.
5. Pada hari yang sama, Ibnu membeli obat tetes mata bermerek Cendro Xitrol
dengan harga Rp 75 ribu dari apotek tersebut.
6. Setelah meneteskan obat mata Cendro Xitrol yang dibelinya, rasa perih di
matanya justru semakin parah dan matanya terasa panas. Penglihatan mata kiri
menjadi buram.
7. Rabu (22/2), Ibnu pergi ke Puskesmas untuk memeriksakan matanya. Ia
menunjukkan obat mata Cendro Xitrol yang dibelinya di apotek kepada dr. Yuli,
dokter mata yang memeriksanya.
8. Dr. Yuli menjelaskan bahwa obat yang dibeli Ibnu di apotek tidak boleh
diperjualbelikan tanpa resep dokter.
9. Ibnu juga memeriksakan matanya ke dr. Sihabudin di Jalan Prof Hamka. Dari
hasil diagnosa dr. Sihabudin, diketahui bahwa kornea mata kiri Ibnu mengalami
kerusakan akibat penggunaan obat yang salah.
10. Ibnu merasa dirugikan dan menyangka bahwa petugas apotek telah memberikan
obat dengan ceroboh. Ia mengharapkan agar pihak Apotik Kimia Farma
bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
11. Ibnu berharap agar pihak Apotik Kimia Farma memperhatikan kualifikasi tenaga
kerja di apotek dan tidak menempatkan orang sembarangan di posisi penting.
12. Kukuh, Apoteker Penanggungjawab Kimia Farma di Jalan H Rais Arahman,
mengklaim bahwa sebelum menjual obat, mereka telah menyarankan Ibnu untuk
memeriksakan mata ke dokter terlebih dahulu. Namun, Ibnu menolak dan
meminta obat tanpa resep dokter.
13. Kukuh menyatakan bahwa obat tetes mata bermerek Cendro Xitrol yang diberikan
kepada Ibnu memang digunakan secara lazim oleh penderita sakit mata.
14. Terkait permintaan pertanggungjawaban yang diinginkan oleh Ibnu, Kukuh
menyatakan bahwa pihak apotek akan memeriksa secara lebih mendalam,
termasuk berkonsultasi dengan dokter yang menangani Ibnu, untuk memastikan
penyebab kerusakan mata yang dialami oleh Ibnu.
15. Apotik Kimia Farma menyatakan kesiapannya untuk memberikan
pertanggungjawaban, namun tetap mengikuti mekanisme dan prosedur yang
berlaku.

Sumber : Pakai Obat Apotek, Warga Pontianak Barat Nyaris Buta — Suarapemredkalbar.com

Kasus BOO
1. Pada Rabu (21/12/2022), petugas Apotek Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Ananda
berinisial A diduga telah memberi dosis obat yang salah kepada salah seorang pasien
yang masih berumur belia.
2. RSIA Ananda, yang beralamat di Jalan Andi Djemma Kelurahan Banta-Bantaeng,
Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, terlibat dalam kasus tersebut.
3. Petugas Apotek tersebut diduga lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga
kesehatan di bagian Apotek, yang berdampak buruk terhadap pasien.
4. Sebelumnya, petugas Apotek RSIA Ananda menelfon sekitar pukul 16.30 WITA untuk
memastikan apakah anaknya sudah minum obat yang seharusnya diberikan pada pukul
09.30 WITA pagi tadi.
5. Setelah mendapatkan telepon dari pihak RSIA, orang tua pasien mengaku terkejut
karena saat anaknya minum obat, tiba-tiba menangis tanpa diketahui penyebabnya.
Pihak RSIA menyampaikan bahwa akan mengirimkan pengganti obat yang benar ke
rumah mereka.
6. Petugas Apotek RSIA Ananda berinisial A mengakui kesalahan dalam memberikan obat
dan menyatakan bahwa dosis yang diberikan seharusnya 30 mg, namun ia memberikan
300 mg.
7. Ketika petugas Apotek A membawakan obat pengganti untuk pasien, orang tua merasa
ada yang disembunyikan oleh A. Mereka kemudian mendatangi rumah sakit untuk
meminta penjelasan kepada pimpinan RSIA Ananda mengenai kesalahan memberikan
obat kepada anak mereka.
8. Dokter Kaisar, selaku Direktur Pelayanan Medik dan SPM RSIA Ananda, ketika
dikonfirmasi, mengatakan bahwa akan memberikan sanksi tegas kepada petugas yang
lalai dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
9. Ternyata, orang tua pasien tersebut adalah salah satu reporter media online
Smartcity.com bernama Pak Endra. Ia meminta agar pihak RSIA Ananda memberikan
sanksi tegas kepada petugas yang diduga lalai memberikan obat kepada anaknya dan
meminta pertanggungjawaban, mengingat RSIA Ananda adalah salah satu RSIA ternama
di Kota Makassar.
Sumber : Apoteker RSIA Ananda Diduga Salah Beri Dosis ke Pasien. - Suara Buruh

Apotek sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam
memenuhi kebutuhan obat-obatan serta alat-alat kesehatan kepada masyarakat untuk
1
menciptakan tercapainya derajat kesehatan yang maksimal. Apotek dapat didirikan oleh
apoteker pengelola apotek sendiri ataupun bekerja sama dengan pemilik modal yang disebut
dengan pemilik sarana apotek. Apotek haruslah mengantongi izin usaha apotek berupa Surat Izin
Apotek (SIA) yang diberikan oleh menteri yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 992/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek. Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri. Izin yang
dimaksud ialah Surat Izin Apotek (SIA). SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan
permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Permohonan harus
ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan kelengkapan dokumen administratif.

Untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasiannya di apotek, seorang apoteker wajib


memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) yang diberikan oleh menteri dan lalu menteri
mendelegasikan pemberian STRA kepada Komite Farmasi Nasional (KFN). Salah satu syarat
untuk mendapatkan STRA yaitu apoteker harus mempunyai sertifikat kompetensi apoteker yang
dikeluarkan oleh organisasi profesi dalam hal ini ialah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Untuk
menjadi Apoteker Pengelola Apotek (APA), terlebih dahulu apoteker harus mengurus perizinan
yaitu Surat izin Praktik Apoteker (SIPA). SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada apotek
untuk dapat melakukan praktik kefarmasiannya difasilitas pelayanan kefarmasian 2.

Tenaga kefarmasian selaku tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada


masyarakat memiliki peranan yang penting dikarnakan terkait langsung dengan pemberian
pelayanan, terutama pelayanan kefarmasian. Tenaga kefarmasian adalah Apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian yaitu tenaga kesehatan yang bertugas untuk membantu apoteker dalam
mengerjakan pekerjaan kefarmasiannya di fasilitas kefarmasian. Asisten apoteker adalah
termasuk tenaga teknis kefarmasian yang membantu pekerjaan kefarmasian apoteker seperti
melakukan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian ialah pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud

1
Legowo, Mig Irianto, “ implementasi tanggung jawab pengelola Apotik Terhadap Konsumen Obat. “ Jurnal Ilmiah
Hukum Dan Dinamika Masyarakat 16.2 ( 2019 )
2
Widya Astuti, 2020, Farmasi Komunitas, Kalteng : Lakeisha, Halaman 18
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Menyediakan obat untuk
pasien, menyerahan obat kepada pasien dan memberikan informasi tentang obat kepada pasien
merupakan tugas kefarmasian di apotek

Kesalahan termasuk tidak memenuhi standar pelayanan kefarmasian karena terdapat


peraturan tentang standar pelayanan kefarmasian yang wajib dipatuhi oleh tenaga kefarmasian.
Standar pelayanan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 73 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Permenkes No. 73 Tahun 2016). Standar pelayanan
kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian
3
dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Selain itu juga bisa karena kealpaan suatu
apoteker. Kelalaian merupakan sebuah ketidaksengajaan atau kecerobohan atau dalam hukum
pidana dikenal kealpaan yang menyebabkan suatu kerugian. Kelalaian dapat diminta
pertanggungjawaban berdasarkan pasal 1365, 1366 1367 KUHPER.

Tanggung jawab merupakan bagian dari sebuah kewajiban yang harus dipenuhi, sebab
kewajiban, tidak lain adalah bagian dari tugas yang diemban dalam suatu lingkungan kerja
tertentu.4 Sebagai seorang apoteker, tanggung jawab dapat terjadi tidak hanya pada pengemban
tugas profesi saja, melainkan juga sebagai pengemban tanggung jawab secara etik. Ridwan
Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksaan
peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum
tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku
menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.5

Salah satu pelanggaran kode etik oleh apoteker berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat
Ikatan Apoteker Indonesia Nomor : PO. 004/ PP.IAI/1418/VII/2014 Tentang Pedoman Disiplin
Apoteker Indonesia adalah tidak menghitung dengan benar dosis obat, sehingga dapat
menimbulkan kerusakan atau kerugian kepada pasien. Lembaga yang berwenang menetapkan
pelanggaran kode etik dan menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik adalah MEDAI ((Majelis
Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia).

3
Peraturan Menteri Kesehatan No 73 Tahun 2016 Tentang standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik, pasal 1
4
Risma Situmorangm 2020, Tanggungjawab hukum dalam malapraktik, bandung : Cv Cendika Press, hlm 17
5
Coki Siadari, “ pengertian tanggung jawab hukum menurut para ahli “
UU No. 36 tahun 2014 bahwa penegakan disiplin tenaga kesehatan pasal 49 (1) Untuk
menegakkan disiplin tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan praktik, konsil masing-masing
tenaga kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
tenaga kesehatan. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil
masing-masing tenaga kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin berupa:

a. pemberian peringatan tertulis;

b. rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau

c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan.

Selama konsil tenaga kesehatan belum terbentuk penegakkan disiplin dilakukan oleh majelis
kehormatan masing-masing tenaga kesehatan, untuk apoteker oleh MEDAI.

Untuk sanksi administratif berdasarkan pasal 82 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan menyatakan tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 58 ayat 1
dapat dikenai sanksi administratif. Pasal 58 ayat 1 yakni memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika
profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan Tenaga Kesehatan. Pasal 82
ayat 4 UU Tenaga Kesehatan berupa Sanksi administratif teguran lisan peringatan tertulis, denda
adminstratif.

Terkait gugatan perdata PMH Terkait gugatan keperdataan Perbuatan Melawan Hukum atau
Onrechtmatige Daad adalah tindakan yang melanggar tidak hanya undang-undang tetapi lebih
luas daripada itu. Perbuatan melawan harus memenuhi 4 syarat yaitu

- Perbuatan melawan hukum yaitu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang - undangan atau tidak dapat melaksanakan kewajiban yang telah di tentukan.
- Unsur kesalahan dimana dibagi menjadi 2 yaitu kesengajaan dan kelalaian,
- Unsur adanya kerugian tindakan yang merugikan ini tidak hanya selalu berkaitan dengan
uang saja tetapi juga kerugian immateriil.
- Unsur adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan dan kerugian.
apoteker dan rumah sakit juga dapat turut digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPER karena
perawat telah melakukan sebuah malpraktik disebabkan kelalain salah memberikan obat pada
bayi yang menyebabkan seorang bayi telah mati. Selain itu, kelalaian juga dapat diminta
pertanggungjawaban ganti rugi berdasarkan pasal 1366 KUHPER. Rumah sakit juga dapat turut
digugat dikarenakan berdasarkan pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS yakni rumah Sakit
bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan adalah Pasal 359 Kitab UndangUndang Hukum
Pidana yang menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun”. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iainlain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat ditambah sepertiga dan hak pekerjaan
dalam rangka kejahatan dilakukan dicabut. Sedangkan melihat dalam Pasal 84 ayat (2) UU No.
36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang intinya menyatakan bahwa kelalaian berat yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan ini mengakibatkan kematian maka Tenaga Kesehatan akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

analisis kasus BOO


Kaitannya dengan kasus adalah apoteker bersangkutan seharusnya memiliki kewajiban
memberikan pelayanan obat sesuai standar profesi, SOP, dan etik profesi. Oleh karena itu,
apoteker terbukti melakukan sebuah kelalaian, kealpaan dan pelanggaran kode etik berupa salah
memberikan dosis obat yang seharusnya 30 mg menjadi 300 mg kepada seorang bayi. Tindakan
ini menyebabkan bayi tersebut meninggal.
Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah pertama melaporkan tindakan apoteker
bersangkutan ke MEDAI dimana berwenang dalam menegakkan disiplin tenaga kesehatan (pasal
49 (1) UU Tenaga Kesehatan) dan menjatuhkan sanksi pelanggaran disiplin berdasarkan pasal 49
ayat 2 yakni pemberian peringatan tertulis atau rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan. Dengan
demikian apoteker dapat dicabut STRA dan SIPA, serta diwajibkan mengikuti pendidikan atau
pelatihan di institusi kesehatan. Terkait gugatan perdata PMH untuk meminta ganti rugi
berdasarkan pasal 1365 dan 1366 KUHPER kepada apoteker bersangkutan dikarenakan apoteker
melawan hukum, kelalaian, kerugian pada klien berupa meinggalnya bayi dan perbuatan
apoteker salah memberikan dosis obat seharusnya menyebabkan bayi tersebut mati (sebab-
kausalitas). Kemudian RSIA sebagai tempat kerja si apoteker dapat menjadi turut tergugat
dikarenakan berdasarkan pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009. Terkait upaya pidana dapat
dilaporkan kepada kepolisian karena apoteker melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 359
KUHP dengan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun, Pasal 361 KUHP dengan sanksi pidana ditambah sepertiga dan hak untuk melakukan
pekerjaan dicabut, pasal 84 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2012 dengan pidana penjara paling lama
lima tahun. Hal ini dikarenakan apoteker melakukan sebuah kealpaan berupa salah pemberian
dosis menyebabkan seorang bayi meninggal.

analisi kasus BII

dalam kasus ini ibnu utomo warga pontianak karena salahnya obat yang diberikan oleh
apoteker hampir membuat matanya menjadi buta. ibnu matanya membeli obat mata cendro
xintrol di apotek kimia farma namun tidak menyelesaikan permasalahan matanya yang sakit,
akhinya ibnu memutuskan untuk pergi ke puskesmas lalu dokter di puskesman mengatakan
bahwa pembelian untuk obat cendro xitrol membutuhkan resep dari dokter. oleh karena itu
apoteker dapat dikenakan displin apoteker. disiplin apoteker adalah kesanggupan apoteker untuk
mentaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang -
undangan dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman
disiplin.
bentuk dari pelanggaran disiplin atau malpraktik disiplin apoteker salah satunya
melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten dimana dalam melakukan praktek
kefarmasian tidak dengan standar praktek profesi / standar kompetensi yang benar, sehingga
berpotensi menimbulkan / mengakibatkan kerusakan, kerugian pasien atau masyarakat. Upaya
hukum yang dapat dilakukan adalah pertama melaporkan tindakan apoteker bersangkutan ke
MEDAI dimana berwenang untuk memberikan sanksi pelanggaran disiplin berdasarkan pasal 49
ayat 2 yakni pemberian peringatan tertulis atau rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan. selain itu dapat
dikenakan pasal 1367 KUHPerdata dimana seseorang harus memberikan bertanggungjawab
tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan sendiri, tetapi juga atas kerugian yang
ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya maka pihak apotik
kimia farma dapat menjadi turut tergugat. selain itu ada juga sanksi administratif berdasarkan
pasal 82 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan menyatakan tenaga kesehatan
yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 58 ayat 1 dapat dikenai sanksi administratif dan juga
dikenakan sanksi pidana yaitu pasal 359 KUHP

Anda mungkin juga menyukai