Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH KEWENANGAN PERAWAT DALAM

MENGELOLA OBAT & MEDICATION EROR

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi

Dosen Pengampu Endang S, S.Kep, Ns,M.Kep

Disusun Oleh :

Tingkah Enggaring Tyas (2005076)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawat sebagai salah satu tenaga paramedis yang bertugas
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Tugas utama
perawat adalah memberikan pelayanan kesehatan atau memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan keterampilan dan keahlian yang dimilikinya.
Perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan terdapat beberapa peran.
Perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan terdapat beberapa
peran. Pertama, perawat memiliki peran dalam mengatasi masalah yang
dihadapi pasien. Kedua, perawat memiliki tanggung jawab dalam
memberikan penyuluhan kepada pasien/klien. Ketiga, perawat memiliki
peran dalam menjamin dan memantau kualitas asuhan keperawatan.
Keempat, perawat memiliki tugas sebagai peneliti dalam upaya untuk
mengembangkan body of knowledge keperawatan.
Praktik keperawatan mandiri merupakan praktik perawat
perseorangan atau berkelompok di tempat praktik mandiri di luar Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Praktik Keperawatan Mandiri diberikan dalam
bentuk asuhan keperawatan yang bertujuan untuk memandirikan klien
yang membutuhkan bantuan karena ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan
ketidakmauan memenuhi kebutuhan dasar dan merawat dirinya. Hadirnya
praktik keperawatan mandiri ini, diharapkan mampu mengatasi berbagai
masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
Meskipun UU No.38/2014 tentang Keperawatan melegalkan
perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan perorangan namun
perawat harus tetap berhati-hati dalam melakukan pelayanan kesehatan
karena pidana dalam praktik keperawatan bisa terjadi di mana saja dan
kapan saja apabila perawat telah lalai, tidak mengantongi izin/ lisensi yang
jelas. Dari penjelasan tersebut maka sangat dibutuhkan standar
kewenangan perawat dalam mengelola obat obatan.
Medication Error merupakan kejadian yang merugikan pasien
akibat penanganan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (human error)
yang sebetulnya dapat dicegah.
Medication Error dapat diklasifikasikan menjadi dispensing errors,
prescribing error, dan administration errors (Simamora et al., 2011).
Secara umum mempengaruhi medication error adalah factor individu,
berupa persoalan pribadi, pengetahuan tentang obat yang kurang memadai,
dan kesalahan perhitungan dosis obat (Mansouri et al., 2014).
Dari penjelasan di atas maka diperlukan analisis contoh kasus
medical eror yang terjadi di rumah sakit.

B. Rumusan Masalah
1. Apa tugas perawat ?
2. Apa saja uu mengenai kewenangan perawat dalam mengelola obat ?
3. Apa itu medical error ?
4. Apa saja kejadian medical error yang di alami pasien di rumah sakit ?
5. Apa saja factor penyebab medical eror ?
6. Apa saja langkah langkah untuk mencegah medical error ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tugas perawat
2. Untuk mengetahui apa saja UU yang mengatur tentang kewenangan
perawat dalam mengelola obat
3. Untuk mengetahui apa itu medical error
4. Untuk mengetahui contoh kasus medical error
5. Untuk mengetahui penyebab medical error
6. Untuk mengetahui langkah langkah untuk mencegah medical error
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peraturan UU tentang Kewenangan Keperawatan


Perawat sebagai salah satu tenaga paramedic yang bertugas
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Tugas utama
perawat adalah memberikan pelayanan kesehatan mauatau memberikan
asuhan keperawatan sesuai dengan keterampilan dan keahlian yang
dimilikinya.
Perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan terdapat
beberapa peran. Pertama, perawat memiliki peran dalam mengatasi
masalah yang dihadapi pasien. Kedua, perawat memiliki tanggung jawab
dalam memberikan penyuluhan kepada pasien/klien. Ketiga, perawat
memiliki peran dalam menjamin dan memantau kualitas asuhan
keperawatan. Keempat, perawat memiliki tugas sebagai peneliti dalam
upaya untuk mengembangkan body of knowledge keperawatan.
Data dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia mengenai
malpraktik keperawatan di Indonesia pada tahun 2010-2015 ada sekitar
485 kasus. Dari 485 kasus malpraktik tersebut, 357 kasus malpraktik
administratif, 82 kasus perawat yang tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang disepakati dan termasuk dalam malpraktik sispil, dan
46 kasus terjadi akibat tindakan medik tanpa persetujuan dari dokter yang
dilakukan dengan tidak hati-hati dan menyebabkan luka serta kecacatan
kepada pasien atau tergolong dalam malpraktik kriminal dengan unsur
kelalaian. Berikut adalah UU tentang kewenangan perawat untuk
memberikan obat :
1. Pasal 98 ayat (2) yang berbunyi:
“ Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah,
mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang
berkhasiat obat.”
2. Pasal 11 UU No. 36 tahun 2014
“ tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan,
tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan
masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga
keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga teknik
biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan, tenaga kesehatan
lain”.
3. Pasal 98 ayat (3) yang berbunyi:
“Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah”.
4. UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 196 berbunyi
bahwa :
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
5. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian:
1) Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa:
“Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional”.
2) Pasal 2 Ayat (2) berbunyi bahwa:
“Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu”.
6. UU No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan Pasal 30 Ayat (1)
berbunyi bahwa:
“Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan
Keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, Perawat
berwenang:
1) melakukan pengkajian Keperawatan secara holistic.
2) menetapkan diagnosis Keperawatan.
3) merencanakan tindakan Keperawatan.
4) melaksanakan tindakan Keperawatan.
5) mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan.
6) melakukan rujukan.
7) memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai
dengan kompetensi;
Pasal 30 ayat (1) UU No. 38/2014 huruf j mejelaskan bahwa
perawat berwenang melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada
klien, namun fakta di lapangan perawat justru ditangkap oleh aparat
penegak hukum karena memberikan sediaan farmasi bagi klien. Berkaca
dari maraknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perawat dalam
praktik mandiri, sebagai salah satu contoh yang dilakukan oleh Perawat
Harsono Eko Saputro di Banyuwangi di penghujung akhir tahun 2017
yang tertangkap basah apparat penegak hukum karena tidak mengantongi
SIPP dan mengedarkan obatobatan label merah tanpa izin.
Dalam putusannya, majelis hakim Purnomo Amin Tjahjo,
menyatakan terdakwa Harsono Eko Saputro telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa izin, mengedarkan
sediaan farmasi, dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dalam Pasal 196-198 jo UU No.36/2009. Harsono divonis
penjara selama tiga bulan dan denda sejumlah satu juta rupiah dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti kurungan selama
dua bulan.

B. Medical Error
Medication Error merupakan kejadian yang merugikan pasien
akibat penanganan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (human error)
yang sebetulnya dapat dicegah.
Medication Error dapat diklasifikasikan menjadi dispensing errors,
prescribing error, dan administration errors (Simamora et al., 2011).
Secara umum mempengaruhi medication error adalah factor individu,
berupa persoalan pribadi, pengetahuan tentang obat yang kurang memadai,
dan kesalahan perhitungan dosis obat (Mansouri et al., 2014).
Di Indonesia angka kejadian medication error sangat sering kita
jumpai di berbagai institusi pelayanan kesehatan Indonesia. Angka
kejadian akibat kesalahan dalam permintaan obat resep juga
bervariasi,yaitu antara 0,03-16,9%. Dalam salah satu penelitian
menyebutkan terdapat 11% medication error di rumah sakit.
Medical error merupakan kejadian yang menyebabkan atau
berakibat pada pelayanan kesehatan yang tidak tepat atau membahayakan
pasien yang sebenarnya dapat dihindari. Konsep medication safety mulai
menjadi perhatian dunia sejak November 1999 setelah institute of
medication (IOM) melaporkan adanya kejadian yang tidak diharapkan
(KTD) pada pasien rawat inap di Amerika sebanyak 44.000 bahkan 98.000
orang meninggal karena medical error 9 kesalahan pelayanan medis ) dan
7.000 kasus karena medication error (ME). Terjadi atau tidaknya suatu
kesalahan dalam keselamatan pasien. Medication eror merupakan jenis
medical error yang sering dan banyak terjadi.
Pasien bernama Dewi (10 tahun) menjalani operasi tulang siku.
Setelah mencari rekomendasi rumah sakit, orang tua Dewi memutuskan
satu rumah sakit dan memastikan rumah sakit tersebut adalah rumah sakit
terbaik yang dapat memberikan pengobatan terbaik bagi anak merekan.
Setelah 3 jam menjalani operasi tulang, Dewi di beri obat
penghilang rasa sakit berupa morfin. Pompa morfin terhubung dengan
alat-alat lain yang menunjukan perkembangan ke adaan Dewi. Seperti
motitor fungsi pernafasan, dan monitor oksigen dalam darah. Karena
perkembangan yang baik, maka dokter memutuskan untuk menghentikan
pemberian morfin pada Dewi dan melepas monitor-monitor yang
memantau fungsi organ penting.
Malam itu, ibunya Dewi menginap di rumah sakit menjaga
anaknya. Tengah malam ia terbangun untuk mengecek anaknya. Fungsi
pernafasanya normal, namun tidak memberikan respon ketika di panggil.
Ibunya dewi pun segera meminta bantuan , setelah dilakukan pengecekan,
pompa morfin belum dimatikan, namun mesin di program untuk
menaikkan dosis morfin untuk dewi. Konsentrasi obat narkotik ini
meningkat tajam pada darah dewi, ia telah mengalami overdosis morfin.
Ibu dewi sangat menyayangkan kejadian ini dan meminta rumah
sakit untuk bertanggung jawab. Paramedis segera mengecek keadaan Dewi
dan memastikan ia baik-baik saja, serta berjanji kesalahan seperti ini tidak
akan terjadi lagi.
Factor factor penyebab medical error dari kasus di atas adalah :
1. kompleksitas pelayanan kesehatan
misalnya : teknologi yang sulit dipahami, obat dengan potensi
besar, perawatan intensif, rawat inap yang berkesinambungan
2. system & proses
misalnya : kurangnya komunikasi, system laporan rumah sakit
yang tidak terhubung
3. kompetensi, pendidikan dan pelatihan
misalnya : variasi tenaga kesehatan membutuhkan pelatihan
dan pengalaman yang berbeda, mengakui kegagalan dalam
pencegahan dan kesalahan serius medikasi.
4. Factor manusia & ergonomic
Misalnya : tenaga kesehatan yang mengalami kelelahan, system
yang mengekang seperti tekanan oleh waktu, pasien yang
berbeda

Medical error bias dicegah dengan beberapa cara, Langkah –


langkah untuk mencegah medical error yaitu :

1. Intervensi farmasis
Merupakan tantangan bagi pelayanan kesehatan, terutama saat operasi.
Operasi bukan tindakan yang diresepkan sehingga solusinya adalah tenaga teknis
kefarmasian mencatat secara lengkap rekam medis dalam form yang sesuai.
Sehingga farmasis dapat melakukan evaluasi dan dokter dapat menentukan terapi
yang paling sesuai yang harus dilakukan selanjutnya.
2. System resep elektronik (CPOE)
Dengan menggunakan CPOE dapat langsung diketahui interaksi obat
yang mungkin terjadi, selain itu resep elektronik dirancang dengan kelengkapan
resep yang harus diisi dengan lengkap sehingga resep anak-anak tidak dapat
ditulis bila umur dan berat badan pasien anak tidak diisi.
3. System bar code
Ketika seorang pasien dirawat di bangsal, maka pasien akan menerima
sebuah gelang dengan barcode satu dimensi dari bagian administrasi rumah sakit.
Gambar 1 mengilustrasikan barcode sampel dari gelang pasien. Meskipun one
dimensional, barcode dapat menyimpan hingga 20 bytes, dimana rumah sakit
hanya menggunakan 10 byte. Byte pertama menunjukkan mulai dan 8 byte
berikutnya digunakan untuk mengidentifikasi jumlah pasien, dan byte terakhir
menunjukkan akhir dari barcode.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dari penjelasan kewenangan Keperawatan dalan pengelolaan obat
diatas dapat disimpulkan bahwa sangat dibutuhkan standar
kewenangan perawat dalam pemberian obat-obatan, terutama terhadap
praktik keperawatan mandiri sehingga diharapkan dapat memberikan
kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan yang di lakukan perawat.
2. Dari kasus-kasus medical eror di atas dapat di simpulkan bahwa
medical error (ME) sering terjadi di rumah sakit dan banyak
menimbulkan dampak bagi pasien mulai dari resiko ringan bahkan
resiko yang paling parah yaitu menyebabkan kematian.
B. Saran
Perawat harus lebih berhati – hati dalam mengelola obat dan pada
saat melaksanakan tugasnya karena dapat menimbulkan medical eror yang
dapat merugikan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/yurisprudentia
https://jurnal.ugm.ac.id/jmpf/article/view/29450/17594
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/JK/article/download/17
17/1673
https://id.scribd.com/doc/92388077/Medication-Error-Pada-Pasien-
Rawat-Inap
https://www.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-malpraktik-dalam-
dunia-kedokteran.html

Anda mungkin juga menyukai