2023.04.07 Tujuan 1 Dan 2
2023.04.07 Tujuan 1 Dan 2
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Tabel 5. 39 Perbandingan Luas Penutupan Lahan tahun 2022 dan 2030 179
Tabel 5. 40 Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahun 2010 – 2021 194
Tabel 5. 41 Syarat dan kecocokan jenis distribusi 197
Tabel 5. 42 Rerata Aritmatik 197
Tabel 5. 43 Hasil analisis distribusi frekuensi 198
Tabel 5. 44 Uji Kesesuaian Distribusi 199
Tabel 5. 45 Frekuensi curah hujan rancangan Hulu DAS Bekasi 200
Tabel 5. 46 Distribusi hujan jam-jaman 201
Tabel 5. 47 Curah hujan efektif 202
Tabel 5. 48 Luas subDAS dan panjang sungai utama 202
Tabel 5. 49 Parameter loss model 205
Tabel 5. 50 Parameter Transform Model 206
Tabel 5. 51 Area terdampak genangan Banjir Q05 Penutupan Lahan 2022 223
Tabel 5. 52 Tabel 16 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan
Lahan 2030 224
Tabel 5. 53 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2022
225
Tabel 5. 54 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2030
226
Tabel 5. 55 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
228
Tabel 5. 56 Tabel 21 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan
Lahan 2022 229
Tabel 5. 57 Tabel 22 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan
Lahan 2030 230
Tabel 5. 58 Tabel 23 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan
Lahan 2022 231
Tabel 5. 59 Tabel 24 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan
Lahan 2030 232
Tabel 5. 60 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
233
Tabel 5. 61 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
234
7
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR 1
DAFTAR TABEL 2
DAFTAR ISI 3
I PENDAHULUAN 6
II TINJAUAN PUSTAKA 18
2.1 Konsep Ekologi Lanskap 18
2.2 Perubahan Ekologi Lanskap 19
2.2 Tinjauan Umum Banjir 20
2.2.1 Terminologi Banjir 20
2.2.2 Bahaya, Kerentanan dan Risiko Banjir 20
2.3 Konsep Resilient City 22
2.4 Konsep Mitigasi Banjir 24
2.5 Bench Marking Pengelolaan Banjir Berbagai Negara 25
2.5.1 Pengelolaan Banjir di Tiongkok 25
2.5.2 Pengelolaan Banjir di Belanda 27
2.5.3 Pengelolaan Banjir di Australia 28
2.6 Konsep Hard System Methodology vs Soft System Metodhology 29
2.7 Tinjauan Umum Metode Penunjang Penelitian 30
2.7.1 Causal Loop Diagram 30
2.7.2 Analisis spasial 31
2.7.3 Hydrological Analysis: HEC 32
2.7.4 Multi criteria analysis - DEA 33
2.7.5 Interpretive Structural Modelling (ISM) 34
2.7.6 Strategic Asumption Surfacing and Testing (SAST) 35
2.7.7 Cooperative Game Theory 36
2.7.8 Decision Support System- AHP- ANP 37
LAMPIRAN 241
LAMPIRAN 251
9
I PENDAHULUAN
Kota Bekasi adalah salah satu kota terbesar di Jawa Barat dengan jumlah
penduduk mencapai 3.08 juta jiwa pada tahun 2020 (BPS Kota Bekasi 2020) dan
akan terus bertambah dengan laju pertumbuhan 2.7% per tahun. Kota Bekasi
masuk dalam kategori kota metropolitan (Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) karena memiliki jumlah
penduduk di atas 1 juta jiwa. Fakta ini disebabkan oleh letak geografisnya yang
berbatasan dengan Jakarta, menjadi lintasan menuju ibukota negara dan ibukota
provinsi; kemudahan akses karena fasilitas public transport yang memadai; faktor
sarana kesehatan yang memadai; banyaknya pusat kegiatan ekonomi baru yang
dibangun dan lapangan kerja yang terus bertumbuh. Pertumbuhan ekonomi Kota
Bekasi mencapai 5.86% di tahun 2018 (BPS Kota Bekasi 2020). Di sisi lain, lahan
yang terbatas, memicu alih fungsi lahan, dan mendesak ruang terbuka hijau
(RTH) untuk dijadikan permukiman, sehingga luas RTH tinggal 16% luas
wilayah.
Adanya alih fungsi lahan dapat mengakibatkan Ketidakseimbangan
ekosistem menimbulkan fenomena banjir, tanah longsor, wabah penyakit,
kerawanan sosial dan munculnya serangan hewan-hewan liar di permukiman. Hal
ini dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang
yang kurang memperhatikan fungsi ekologis dan kemampuan daya dukungnya.
Kodoatie (2008) dan Raiter et al. (2018) menyatakan bahwa perubahan tata guna
lahan kota, proliferasi infrastruktur linier merupakan penyebab utama banjir
dibandingkan dengan faktor lainnya.
Sebagai upaya pengendalian, Kota Bekasi mengandalkan pendekatan
teknis struktural (fisik) dengan membuat bangunan pengendali banjir berupa
polder atau tandon di beberapa lokasi permukiman dan normalisasi saluran. Saat
ini Kota Bekasi telah memiliki 37 polder air yang tersebar di beberapa
kecamatan. Selain itu Kota Bekasi juga sudah melakukan pendekatan kebijakan
tata ruang melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2031.
Namun hasil yang diharapkan belum optimal. Terbukti semakin lama, banjir
semakin meluas. Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan
banjir, akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus
mengeluarkan anggaran ekstra untuk kegiatan tanggap darurat dan kegiatan
rehabilitasi (Bappeda Kota Bekasi, 2020).
Deskripsi di atas mengindikasikan bahwa Kota Bekasi adalah kota yang
rentan terjadinya bencana banji dan bila tidak dikendalikan dengan kaidah
konservasi lingkungan yang tepat, dapat menjadi kota yang tidak berkelanjutan.
Karena itu diperlukan analisis sistem pengendalian banjir saat ini dan prediksi
risiko banjir yang akan datang untuk mengetahui tingkat resiliensi dan risiko yang
harus dimitigasi. Selain itu, perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota
Bekasi perlu diidentifikasi dan diprediksi karena akan menentukan tindakan
10
mitigasi yang paling tepat. Penelitian ini perlu dilakukan untuk menyediakan
alternatif model mitigasi banjir agar tercipta Kota Bekasi yang resilient (lenting-
tangguh).
karena sedimentasi dan okupasi permukiman. Luas permukiman saat ini sudah
mencapai 53.78% dari luas wilayah Kota Bekasi yang mayoritas merupakan
dataran banjir. Luas ruang terbuka hijau tinggal 16% luas wilayah Kota Bekasi.
Secara geografis, Kota Bekasi terletak di hilir Sungai Cikeas, DAS Cakung,
DAS Sunter, DAS Bekasi, pada elevasi 11-81 mdpl dengan topografi landai.
Kondisi ini menyebabkan Kota Bekasi menjadi rawan bahaya banjir. Terutama
bila kondisi cuaca ekstrem. Beberapa situs alam mengindikasikan Kota Bekasi
dari dulu merupakan daerah rawan banjir. Sebagai contoh adanya sungai-sungai
kecil yang berdiri sendiri (sejajar dengan sungai-sungai besar), Kali Mati (sungai
mati) dan Rawa Panjang. Kali Mati terbentuk pada aliran sungai yang melingkar
sehingga nyaris mempertemukan hulu dan hilir sungai. Ketika hujan besar di hulu
dan debit air tinggi, terjadilah proses abrasi yang menyebabkan aliran sungai
berubah. Akibatnya aliran sungai tidak berfungsi atau penduduk lokal
menyebutnya Kali Mati. Bukti lainnya adalah adanya rawa panjang dan rawa yang
sangat panjang (sungai buntu). Suatu rawa yang cukup panjang dan melengkung
dan berbeda dengan rawa yang umumnya lebar dan tidak beraturan. Rawa panjang
merupakan suatu bekas arah aliran air yang mengindikasikan pernah terjadi banjir
besar.
Perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap ini perlu ditemukenali,
diidentifikasi dan diprediksi karena setiap tahun banjir semakin luas. Banjir di
tahun 2012 seluas 2.12 ha lalu menjadi 15.37 ha di tahun 2020. Bahkan genangan
banjir pada tahun 2007, mencapai luasan 450 hektar (RPJMD Kota Bekasi 2013-
2018).
Secara regional dan nasional, pada umumnya banjir ditanggulangi melalui
kebijakan-kebijakan yang masih sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa
melibatkan masyarakat. Hal ini tentunya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi
stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana. Akibatnya kebijakan
yang ditetapkan tidak efektif dan tidak efisien.1 Kota Bekasi mengalaminya ketika
kegiatan Pemerintah Pusat dalam penanganan banjir relatif diarahkan untuk solusi
dengan hard material seperti normalisasi sungai, pembangunan polder,
pembangunan tanggul atau meninggikan tanggul, perkuatan tebing, membangun
bendungan/waduk, banjir kanal (floodway). Padahal banjir di beberapa titik di
Kota Bekasi bukan disebabkan oleh meluapnya sungai, tetapi lebih disebabkan
oleh buruknya sistem drainase perkotaan (Hendriyana 2018). Kebijakan
penanggulangan banjir yang bersifat fisik, harusnya juga diimbangi dengan
langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan stakeholder lainnya
diberi tempat yang sesuai. Agar penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif,
diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat
perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya 2.
Sistem pengelolaan saat ini perlu menyadari pentingnya mempertimbangkan
partisipasi masyarakat dan langkah-langkah non-struktural untuk menciptakan
masyarakat yang tahan banjir dan mengurangi risiko yang bertambah parah
1
Kertas Kebijakan. Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia. 2008.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi.
https://www.bappenas.go.id/files/5913/4986/1931/2kebijakan-penanggulangan-
banjir-di-indonesia__20081123002641__1.pdf
2
_____________
12
(Mohanty et al. 2020). Dalam kaitan ini, peran tata kelola dalam manajemen
risiko banjir menjadi sangat penting. Aspek ini merupakan mata rantai yang
hilang dalam strategi pengelolaan risiko lingkungan perkotaan di Indonesia
(Handayani et al. 2020).
Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan banjir,
akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus merevisi APBD
untuk alokasi ekstra kegiatan tanggap darurat dan kegiatan rehabilitasi (Bappeda
Kota Bekasi, 2020). Mitigasi risiko banjir sangat penting untuk mengurangi
paparan masyarakat rentan terhadap peristiwa banjir dan menyediakan mekanisme
bagi masyarakat untuk membuat rencana, mengurangi kerugian di masa depan dan
pemulihan secara cepat (Nofal dan Van de Lindt 2020).
Banjir adalah risiko yang harus dihadapi Kota Bekasi, tidak mungkin hilang
atau dihindari tetapi risikonya masih bisa diminimalisasi agar tidak menjadi
bencana. Dampak sosial, ekonomi dan lingkungan akibat banjir tidak sedikit. Bila
terus berlanjut tanpa pengendalian, dikhawatirkan keberlanjutan Kota Bekasi
terancam. Untuk itu diperlukan alternatif model mitigasi banjir agar banjir tidak
menjadi bencana, paparan banjir tidak meluas, masyarakat lebih tanggap bencana.
Sehingga diharapkan terwujud Kota Bekasi yang resilient dan berkelanjutan.
1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah yang sudah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian
ini memiliki empat tujuan, meliputi:
1. Menganalisis sistem pengendalian banjir eksisting dengan output peta
proses bisnis;
2. Menganalisis risiko banjir dengan output peta risiko banjir Kota
Bekasi;
3. Melakukan penilaian atas resiliensi Kota Bekasi dengan output laporan
hasil penilaian resiliensi;
4. Merumuskan model mitigasi banjir agar kota menjadi resilient dengan
output rekomendasi model mitigasi bencana banjir yang implementatif.
Tujuan pertama sampai dengan tujuan ketiga merupakan tujuan antara,
sedangkan tujuan keempat merupakan tujuan utama.
15
1.4 Manfaat
Manajemen risiko banjir yang lebih integratif dengan menggabungkan
kebijakan dan praktik masih memiliki peluang untuk diteliti (Morrison et al.
2018). Karena itu penelitian ini diharapkan dapat mengisi peluang tersebut dan
berkontribusi bagi pemerintah, pengusaha atau swasta, akademisi dan masyarakat
untuk:
1. Mengubah paradigma pemangku kepentingan terhadap pengelolaan
bencana khususnya banjir, dari reaktif menjadi proaktif;
2. Bahan reformasi manajemen kebencanaan yang dituangkan dalam
dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) yang
disahkan oleh Wali Kota Bekasi;
3. Bahan studi dan evaluasi pengelolaan lanskap kota berbasis mitigasi banjir
yang berkelanjutan bagi Pemerintah Kota Bekasi dan akademisi;
4. Bahan referensi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis
risiko yang efektif bagi Pemerintah Kota Bekasi;
5. Mewujudkan masyarakat Kota Bekasi yang resilient terhadap bencana
banjir dengan indeks minimum di atas 50% (tingkat resiliensi menengah).
16
1.7 Kebaharuan
Beberapa penelitian tentang banjir dengan lokus Kota Bekasi sudah pernah
dilakukan diantaranya oleh Kadri et al. (2011), Prihartanto dan Ganesha (2019),
Rojali dan Elsari (2020). Penelitian banjir lainnya dengan lokus yang berbeda-
beda telah dilakukan oleh Renald et al. (2016) di Provinsi DKI Jakarta, Rijke
(2014) di Belanda, Lee (2015) di Singapura, Disse et al. (2020) di Eropa dan
Morrison et al. (2018) mengambil lokus di beberapa negara.
Kadri et al. (2011) meneliti upaya yang diperlukan untuk menyusun
rencana penanggulangan banjir dan penurunan risiko banjir Kota Bekasi dengan
pendekatan pengelolaan DAS Bekasi Hulu. Dalam penelitian Kadri et al. (2011)
ditemukan: 1) Komposisi perubahan penggunaan lahan DAS Bekasi Hulu dengan
luasan total sebesar 39.045,0 ha mengalami perubahan yang cepat, dalam kurun
waktu sepuluh tahun (1998-2008) terjadi peningkatan luasan permukiman sebesar
19,3%, tetapi sebaliknya penurunan hutan 5,5%. 2) Banjir yang terjadi pada tahun
18
2005 (545,5 m3 /dt) menunjukkan bahwa kapasitas alir sungai (462 m3 /dt) tidak
lagi mampu mengalirkan aliran sungai. Keterbatasan kapasitas alir disebabkan
karena di sepanjang sisi sungai telah dipenuhi oleh permukiman penduduk
sehingga sungai tidak lagi dapat mengikuti keseimbangan alam untuk menampung
aliran dari hulu dan berubah fungsi menjadi saluran drainase lingkungan. (3)
Simulasi hidrologi menggunakan data biofisik DAS tahun 2008 dengan hujan
yang sama tahun 2005 akan mengalirkan debit sebesar 592,8 m3 /dt. Hasil ini
memberikan indikasi kuat bahwa kecenderungan terjadi banjir semakin tinggi.
Penelitian Kadri et al. (2011) menghasilkan output strategi pengelolaan DAS
terpadu: (a) penataan penggunaan lahan, (b) pengolahan lahan sesuai kaidah
konservasi, dan (c) upaya menampung air di bagian hulu dan sekaligus
meresapkan ke dalam tanah dengan membangun struktur penahan air.
Prihartanto dan Ganesha (2019) menghasilkan temuan tentang perkiraan
waktu kedatangan banjir berdasarkan analisis empirik rekaman data sistem
peringatan dini banjir Kota Bekasi (flood early warning system- FEWS). Tujuan
yang diharapkan dari penelitian Prihartanto dan Ganesha (2019) untuk
menurunkan risiko akibat bencana banjir dengan meningkatkan kesiapsiagaan
masyarakat.
Rojali and Elsari (2020) melakukan studi pemodelan banjir dengan skala
kecil di Perumahan Pondok Gede Permai menggunakan metode numerik analisis
hidrologi Nakayasu dan Gamma 1. Hasil analisis hidrologi dalam penelitian
Rojali dan Elsari (2020) diketahui faktor penyebab terjadinya banjir di DAS
Bekasi Hulu khususnya Kecamatan Jatiasih adalah debit air dari Sungai Cikeas
dan Sungai Cileungsi yang tidak tertampung Sungai Bekasi. Hal tersebut
disebabkan banyaknya tumpukan sampah di sisi dan dasar sungai sehingga
kapasitas sungai berkurang.
Dari ketiga penelitian tentang banjir Kota Bekasi di atas, tidak ada yang
menginformasikan seberapa bahaya, seberapa rentan, bagaimana risiko banjir
beberapa tahun yang akan datang dan seberapa resilient Kota Bekasi menghadapi
banjir. Dalam literatur akademis, konsep resiliensi banjir (flood resilience)
merupakan pendekatan yang relative baru dalam manajemen bahaya lingkungan,
melengkapi manajemen risiko banjir yang impelementasinya sudah lebih dulu
(Disse et al. 2020). Bahkan menurut Morrison et al. (2018), masih ada
kesenjangan penelitian resiliensi yang berkaitan dengan tata kelola untuk
meningkatkan resiliensi terhadap banjir. Karena itu panduan untuk meningkatkan
tata kelola manajemen risiko banjir guna meningkatkan resiliensi terhadap banjir
harus tersedia dari literatur ilmiah.
Penelitian Renald et al. (2016), lebih mengarah pada hubungan kausalitas
antara variabel adaptasi resiliensi kota terhadap banjir dalam rangka keberlanjutan
kota. Model yang dibuat merupakan fungsi dari penataan ruang, mitigasi bencana,
inovasi teknologi, dan adaptasi. Model ini bertujuan mengurangi kerentanan
wilayah/kota dan sebaliknya untuk meningkatkan resiliensi kota dalam rangka
mencapai keberlanjutan Jakarta. Namun tata kelolanya seperti apa, belum ketahui
dan belum diteliti.
Memperhatikan model pengendalian banjir dari negara lain, Rijke (2014)
menemukan tantangan adaptasi terhadap banjir dan kekeringan adalah tata kelola.
Campuran dari pendekatan tata kelola terpusat dan yang terdesentralisasi
diperlukan untuk tata kelola infrastruktur air yang efektif yang beroperasi di
19
II TINJAUAN PUSTAKA
merupakan kelas bahaya rendah, kedalaman air 0,76 – 1,5 m merupakan kelas
bahaya sedang, dan kedalaman air > 1,5 m merupakan kelas bahaya tinggi.
Kerentanan adalah keadaan atau sifat perilaku manusia yang menyebabkan
ketidakmampuan menghadapi ancaman atau bahaya (Suprayogi et al. 2019).
Jadi bencana banjir terjadi karena ada bahaya banjir dan kerentanan ekosistem
(Ozcan dan Musaoglu 2010). Menurut Seniarwan, et al. (2013) kerentanan
dapat dianalisis berdasarkan tingkat keterpaparan (exposure) dan sensitivitas
masyarakat atau infrastruktur.
Selain itu penentuan tingkat kerentanan banjir juga dapat dilakukan
melalui survei terestrial maupun teknik penginderaan jauh. Untuk daerah yang
luas dan memiliki medan yang sulit pemanfaatan survei akan memerlukan
waktu yang lama dan biaya yang mahal (Somantri 2016) karena itu umumnya
faktor kerawanan banjir diindentifikasi melalui peta DEM. Morfologi
permukaan lahan seperti faktor kemiringan lahan, lereng, tutupan lahan, jarak
dengan aliran sungai atau drainase dan topografi terbukti dapat menunjukkan
tingkat kerawanan banjir. Namun menurut Degiorgis et al. (2013), faktor
perbedaan ketinggian lokasi area yang diteliti dan ketinggian titik akhir jalur
yang secara hidrologis menghubungkannya ke aliran terdekat, memiliki kinerja
terbaik untuk pengklasifikasian kerawanan banjir berdasarkan metode
threshold binary classifiers. Kerentanan merupakan salah satu indikator
terbaik untuk menunjukkan keseriusan daerah rawan banjir dan merupakan
elemen sentral dalam penilaian risiko banjir dan evaluasi kerusakan (Huang et
al. 2012).
Wilayah rentan atau rawan banjir adalah wilayah yang potensial terkena
banjir dan menimbulkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau
kehilangan harta benda, diindikasikan dengan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap banjir yaitu topografi, tingkat permeabilitas tanah, kondisi wilayah
aliran sungai, wilayah meander, curah hujan, air laut (Darwanto 2007 dalam
Suprayogi et al. 2019), drainase dan pola penggunaan lahan (Ouma dan
Tateishi 2014). Namun daerah yang memiliki potensi terdampak banjir paling
besar belum tentu daerah tersebut menjadi paling rentan, karena faktor adaptif
penduduk atau ekosistem ternyata bisa menurunkan kerentanan (Chang dan
Huang 2015). Dari perspektif sistem, hubungan sebab-akibat antara
keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif untuk menilai kerentanan
dihubungkan melalui aliran energi dan material antara sistem alam dan sosial
(Huang et al. 2011).
Risiko banjir merupakan akumulasi bahaya banjir, kerentanan banjir dan
paparan banjir (Ozcan dan Musaoglu 2010; Wisner et al. 2012; Arrighi et al.
2013). Elemen yang berisiko adalah populasi, bangunan dan struktur teknik
sipil, kegiatan ekonomi, layanan publik, dan infrastruktur (Barocca et al.
2006). Area dengan intensitas urbanisasi yang tinggi dan memiliki tingkat
kepadatan permukiman yang tinggi akan memiliki risiko terdampak banjir
paling besar (Ozcan dan Musaoglu 2010).
Risiko banjir adalah fenomena spasial (Saefulhakim 2011) yang harus
dimitigasi. Karena pola pengamanan air dan banjir (flood dan stormwater
security pattern) berhubungan dengan proses-proses hidrologis, seperti aliran
permukaan (run off), daerah resapan air (infiltration), dan daerah tangkapan air
hujan (catchment area) maka untuk rencana mitigasi banjir diperlukan data
26
aliran air permukaan, seperti sungai, waduk, situ, dan daerah genangan air pada
waktu hujan. Tujuannya adalah untuk menyusun pola lanskap pengendalian
banjir, yaitu dengan menentukan daerah-daerah yang tidak boleh dibangun
untuk fungsi konservasi dan preservasi agar proses-proses hidrologis tetap
dapat berlangsung (Joga 2010).3
Bencana adalah suatu kondisi yang tidak normal yang terjadi pada
masyarakat hingga menyebabkan kecenderungan kehilangan kehidupan, harta
benda serta sumberdaya, dan masyarakat tidak mampu untuk keluar dari
dampak yang ditimbulkannya. Bencana adalah akumulasi dari adanya bahaya
dan kerentanan yang menyebabkan risiko, ditambahkan adanya pemicu
bencana, maka timbullah bencana (Bakornas PB 2007).
ekonomi mereka, jenis kelamin, ras, etnis atau agama, difungsikan dan
diberdayakan untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam peluang sosial, ekonomi,
dan politik yang ditawarkan kota-kota (UN-Habitat 2001). Prinsip untuk
menjadikan kota-kota inklusif adalah keragaman, partisipasi, dan pemerataan
(Angelidou dan Psaltoglou 2017).
Paradigma resiliensi sangat penting mengingat posisi kebanyakan kota-
kota di Indonesia yang tidak terlepas dari berbagai jenis ancaman bencana alam
dan bencana akibat perilaku manusia. Demikian pula dengan Kota Bekasi yang
secara alamiah adalah daerah berbahaya banjir. Letaknya di hilir DAS Cikeas,
DAS Cileungsi, dan DAS Sunter yang berpenduduk padat, membuat Kota Bekasi
menjadi rentan bencana. Jadi, banjir Kota Bekasi tidak bisa dihindari tapi harus
dihadapi dengan kemampuan adaptif masyarakat dan lingkungannya.
Sungai Kuning yang dibuat pemerintah Cina mungkin tidak dapat berjalan
sesuai harapan untuk jangka panjang. Mereka merekomendasikan agar
pemerintah mengambil pendekatan baru untuk menghadapi bencana besar
berdasarkan pemahaman atas karakteristik Sungai Kuning yang agresif itu.
Beberapa pilihan yang bisa diambil adalah mengubah tanggul di beberapa titik
dan mengevakuasi penduduk di daerah yang punya risiko tinggi terdampak
(Firman 2018).
Pada 1980-an, konsep tindakan struktural dan non-struktural dipraktikkan
di Cina. Langkah-langkah nonstruktural termasuk sistem peringatan banjir,
sistem pendukung keputusan, dan manajemen darurat. Namun, sampai saat ini
belum banyak kemajuan yang dicapai dalam asuransi banjir dan perencanaan
penggunaan lahan. Pada tahun 1990-an, terutama setelah banjir tahun 1998,
Tiongkok telah melakukan penyesuaian strategis dalam pengendalian banjir
dan mitigasi bencana. Tujuan utamanya adalah untuk menerapkan manajemen
banjir secara ilmiah, mengikuti konsep koeksistensi yang harmonis antara
manusia dan alam. Fokus pencegahan bencana banjir telah bergeser dari
pengendalian banjir yang berhasil dan menyeluruh menjadi pengurangan
kerusakan secara efektif.4
Sistem informasi nasional untuk pengendalian banjir dan kekeringan yang
dibangun Tiongkok bertujuan untuk mendukung keputusan yang akurat dan
efektif untuk pengendalian banjir dan bantuan kekeringan. Sistem informasi
nasional terdiri dari lima subsistem: pengumpulan informasi, telekomunikasi,
jaringan komputer, dukungan pengambilan keputusan, dan subsistem radar
cuaca. Saat ini, terdapat 7584 stasiun pengukur yang menyediakan informasi
banjir di seluruh negeri. Diantaranya, terdapat 2611 stasiun hidrologi (termasuk
stasiun reservoir), 3991 stasiun pengukur curah hujan, dan 982 stasiun
ketinggian air. Secara total, ada 3171 stasiun pengukur untuk
menginformasikan kepada pemerintah pusat tentang ketinggian air, di mana
1764 stasiun hidrologi, 745 stasiun curah hujan, dan 662 stasiun ketinggian air.
Komunikasi terhubung melalui telepon, pemancar-penerima, telegraf dan
stasiun transmisi satelit. Sebagian besar dari 3000 stasiun yang melaporkan
informasi banjir ke pemerintah pusat memiliki sistem transmisi ganda,
sehingga menjamin keandalan informasi banjir.
Pada bulan Januari 2006, Dewan Negara Tiongkok mengeluarkan Rencana
Penanggulangan Banjir dan Penanggulangan Kekeringan Nasional. Rencana
tersebut menetapkan empat tanggapan tahap dan menentukan tindakan terkait
untuk setiap tahap. Selama musim banjir 2006–2007, Markas Besar
Pengendalian Banjir dan Bantuan Kekeringan Negara memulai tanggap darurat
untuk topan, banjir lembah Sungai Huai, dan lain-lain. Pengaturan dan
pengendalian banjir, dan evakuasi penduduk telah direncanakan di dalam
daerah banjir dengan cara yang lebih terorganisir dan terstruktur.
Secara umum, prioritas dalam penanganan bencana di Tiongkok
merupakan penggabungan antara pencegahan (preventive action) dan
penanggulangan (curative action) dari suatu peristiwa, artinya bahwa
Pemerintah dan masyarakat disiapkan untuk mencegah bencana dan menolong
korban yang terkena bencana. Dalam mekanisme penanganan bencana,
4
Sucheng, W. 2006. The 4th World Water Forum. (2006 Mar 21); Mexico City, Mexico. [diakses
2021 Jun 20]. http://www.iisd.ca/ymb/worldwater4/
31
isolasi dengan air laut, saluran air, kolam retensi (tampungan) dan pompa
(Rosdianti 2009 dalam Wahyudi 2010).
Selain itu, Belanda membangun Delta Works sebagai sistem pengendalian
banjir raksasa yang terdiri dari sembilan bendungan dan empat penghalang
badai yang menutup muara sehingga mengurangi garis pantai 700 km. Namun
mulai tahun 2006 Belanda mulai menerapkan gagasan untuk menyingkirkan
tanggul dan penghalang banjir, sebagai gantinya saluran banjir dan dataran
banjir volumenya ditambah (memperluas dan memperdalam).
Khusus untuk kota Rotterdam (kota terbesar kedua di Belanda setelah
Amsterdam) yang memiliki elevasi jauh ada di bawah muka air laut (Sungai
Rhine). Muka air Sungai Rhine dikendalikan +2,2 SWL (Sea Water Level).
Sedangkan elevasi darat terendah mencapai -7 m SWL, sehingga selisih muka
air laut dan darat 9,2 m. Air yang ada dalam polder area tidak dapat mengalir
secara gravitasi, bahkan pada saat kondisi air laut surut. Untuk itu metode
pembuangan air digunakan pompa (Wahyudi, 2010). Pada masa lalu metode
untuk membuang air dari darat ke sungai/laut menggunakan kincir angin
(Helmer et al. 2009 dalam Wahyudi 2010).
Sesuai dengan kajian Wahyudi (2010), kelembagaan pengelolaan air di
Belanda memiliki kedudukan yang tinggi. Badan pengelola air (water board)
memiliki kedudukan yang setara dengan municipality (walikota). Badan
Pengelola Air sudah ada sejak abad 13 dan dikenal organisasi demokratis tertua
di Belanda. Pada tahun 1850 jumlah distrik badan pengelola ada 3500, tahun
1950 berkurang menjadi 2500 dan sekarang disederhanakan menjadi 27 distrik
badan pengelola. Organisasi ini tujuan utamanya adalah together fighting
against the water (berjuang bersama melawan air). Struktur tugas dari badan
pengelola air di Rotterdam adalah: operation and maintenance (operasional
dan pemeliharaan), legislation (permits) and enforcement (peraturan
perundangan & penegakan hukum), inspection (pengawasan), testing and
monitoring (menguji dan memonitor), preparation on climate change
(persiapan menghadapi perubahan iklim), harmonization of spatial planning
(memadukan perencanaan tata ruang, taxation (pembayaran/ pajak air).
6
Banjir Australia Terparah dalam 60 Tahun Terakhir, Ribuan Warga Bakal Dievakuasi (msn.com)
33
selama periode 1967-2005 rata-rata $377 juta per tahun (dihitung dalam dolar
Australia 2008).
Di negara bagian Queensland, Pemerintah setempat menyiapkan sistem
informasi berupa modul edukasi perspektif ilmiah dan teknis seputar banjir
bagi masyarakat awam dalam bahasa yang umum, jelas dan sederhana. Dalam
informasi tersebut disebutkan bahwa untuk mengurangi risiko banjir bagi
masyarakat, ekonomi dan lingkungan di masa depan, penting untuk mengambil
pelajaran dari banjir di masa lalu. Selain itu perlu mengomunikasikan dan
menerapkan kemajuan dalam pengetahuan dan teknologi secara efektif.
Pelibatan komunitas sains dan teknik adalah membantu mengurangi risiko ini,
dengan meminimalkan kemungkinan masyarakat dan infrastruktur akan
kebanjiran, dan mengurangi dampak negatif saat banjir terjadi.
Pemerintah Australia menyadari bahwa masih terdapat ketidakpastian
tentang banyak faktor yang saling berinteraksi yang mempengaruhi peristiwa
banjir meskipun menerapkan metode yang sangat canggih untuk meramalkan
dan mengelola banjir. Karena alam tidak dapat diprediksi, jadi sedetail dan
cerdiknya perhitungan dan strategi pengelolaan banjir, risiko banjir akan selalu
ada. Karena itu, ilmu sosial dan kebijakan pemerintah memainkan peran
penting dalam mengurangi dampak negatif banjir, meningkatkan tanggap
darurat, dan mengoptimalkan pemulihan masyarakat setelah banjir. Perbaikan
dalam hal ini tidak hanya bergantung pada penelitian ilmu sosial, tetapi juga
pada kepemimpinan pemerintah dan kesadaran serta keterlibatan masyarakat
(Queensland Government, 2011).
Di Australia, sistem peringatan banjir untuk sungai melibatkan Bureau of
Meteorology (BoM), yang memberikan prakiraan ketinggian air sungai di
lokasi tertentu kepada otoritas terkait, dan kepada publik melalui media
penyiaran dan situs web BoM. Pemerintah daerah atau layanan darurat negara
kemudian menginterpretasikan prakiraan BoM untuk memberikan informasi
lokal tentang area yang mungkin terkena dampak, potensi dampak, dan saran
tindakan kepada mereka yang berisiko. Pesan juga disebarluaskan ke seluruh
komunitas, terutama melalui jaringan pribadi atau informal. Media sosial
(misalnya, Facebook, Twitter) hampir pasti akan memainkan peran yang
semakin penting di masa depan. Hal ini juga akan menimbulkan tantangan
karena potensi risiko mis-informasi. Sistem peringatan banjir mengubah
prakiraan menjadi pesan yang dirancang untuk mengurangi kerugian. Sebuah
sistem peringatan terdiri dari sejumlah langkah kunci: memantau curah hujan
dan laju aliran sungai; membuat prakiraan ketinggian air sungai dan luas
banjir; menafsirkan prakiraan untuk maknanya dalam hal dampak pada mereka
yang berisiko; menyusun dan menyebarluaskan pesan peringatan; tanggapan
oleh mereka yang berisiko dan layanan darurat; dan review dan perbaikan.
Banjir bandang merupakan penyebab paling banyak kematian akibat banjir di
Australia dan saat ini merupakan tantangan terbesar karena waktu peringatan
yang terbatas.
dan bekerja untuk tujuan bersama dalam lingkungan yang kompleks (Marimin
2013). Kompleksitas dari sistem meliputi kerjasama antar elemen yang
interdependen satu sama lain (Marimin, 2018). Suatu sistem dapat terbentuk dari
sejumlah orang dan/atau sejumlah komponen fisik (Tasrif 2014). Sistem adalah
sesuatu yang terdapat di dunia nyata (real world). Sedangkan pemodelan adalah
kegiatan membawa sebuah dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan
sifat-sifat utamanya. Analisis sistem berguna untuk mendekati permasalahan yang
kompleks. Dalam mempermudah memahami sebuah sistem yang kompleks dan
dinamik maka digunakan suatu permodelan. Model merupakan suatu abstraksi
atau penyederhanaan dari realita atau objek yang dikaji sehingga dapat
menggambarkan struktur dan keterkaitan antara komponen-komponennya serta
dapat memberikan gambaran perilaku keseluruhan model sesuai dengan masukan
dan tujuan yang diinginkan (Purnomo 2012).
Kerangka pendekatan pemecahan masalah dalam penelitian ini
menggunakan soft system methodology (SSM). Ide soft system awalnya
dikembangkan dari biologi dan teknik, untuk menangani hard problem yang
tujuannya sudah terdefinisi jelas. Tapi analisis hard system tradisional telah gagal
dalam upayanya untuk menangani masalah yang soft (Freeman & Reed, 1983
dalam Wang et al. 2015). Manajemen pemangku kepentingan dan identifikasi
pemangku kepentingan melibatkan banyak "faktor lunak", seperti aktivitas
manusia, konflik, emosi dan sebagainya. SSM didasarkan pada "asumsi dunia
terbuka": tidak hanya menerima situasi yang ada, tetapi memasuki dan memahami
kompleks dan mengekspresikannya secara terstruktur (rich picture, definisi akar
dan model konseptual). SSM menggambar perbedaan yang kuat antara situasi
bermasalah di dunia nyata dan dunia konseptual pemikiran sistem. Berbagai
konstruksi tertentu digunakan dalam dunia konseptual dan kemudian
dibandingkan dengan dunia nyata yang kompleks dan tidak teratur untuk
kemudian digunakan sebagai dasar mengembangkan model perubahan (Wang et
al. 2015). Menurut (Checkland dan Poulter 2006) SSM dilaksanakan melalui
tujuh tahapan yaitu: 1) pemahaman tentang masalah yang tidak terstruktur 2)
identifikasi masalah secara holistik 3) mengembangkan definisi dari masalah 4)
membuat model konseptual 5) membandingkan model konseptual dengan dunia
nyata 6) menentukan perubahan yang diinginkan 7) melakukan aksi perbaikan
atas model. Pendekatan SSM digunakan dalam penelitian karena sifat banjir
perkotaan sangat dinamis, terkait peningkatan jumlah penduduk, perubahan iklim,
perubahan tata guna lahan serta aktivitas manusia.
struktur dan fungsi lanskap dilakukan melalui analisis spasial. Data yang
dibutuhkan adalah peta DEM (data SRTM 90 m dari Citra Landsat 8), peta
RBI, data tabular lokasi banjir 2014-2020, peta banjir eksisting dan peta
administrasi.
Mula-mula data tabular lokasi banjir diinput ke dalam peta DEM,
kemudian dioverlay dengan peta RBI, peta banjir eksisting dan peta
administrasi. Hasilnya berupa peta potensi banjir. Selanjutnya peta potensi
banjir dianalisa menggunakan tools analisa spasial metrik FRAGSTAT untuk
menghitung jumlah patch, kepadatan patch dan landscape shape index (LSI).
Dengan asumsi perubahan ekologi lanskap menimbulkan perubahan potensi
banjir maka hasil analisis spasial metrik dapat dibandingkan dengan luas
wilayah potensi banjir untuk mendapatkan indeks potensi banjir. Berikutnya
dilakukan prediksi perubahan ekologi lanskap dengan basis data 2014 dan 2020
menggunakan cellular automata untuk mendapatkan proyeksi di 2030.
Hasilnya dihitung kembali menggunakan analisis spasial metrik. Nilai yang
diperoleh kemudian dikalikan dengan indeks potensi banjir untuk mendapatkan
proyeksi luas potensi banjir.
Berikutnya risiko sebaran banjir dipertajam dengan visualisasi analisis
hidrologi, menggunakan program yang dapat melakukan pemetaan genangan
seperti HEC RAS (Hydrologic Engineering Center River Analysis System) atau
FESWMS (Finite Element Surface Water Modeling System).
4.1 Pendahuluan
Masalah utama di Kota Bekasi yang akan dicermati dalam penelitian ini
adalah bencana banjir. Mengapa bencana banjir menjadi perhatian, karena
dampaknya terhadap ekosistem dan sosial ekonomi luar biasa. Banjir di Kota
Bekasi semakin lama semakin luas meskipun sudah dilakukan normalisasi saluran
dan pembangunan polder. Tercatat di tahun 2012 luas banjir masih 2.12 ha, tapi di
tahun 2020 luas banjir sudah mencapai 15.37 ha. Bahaya banjir Kota Bekasi lebih
disebabkan oleh aktivitas DAS dan saluran yang tidak berfungsi normal akibat
kondisi biofisik dan cuaca ekstrim, bukan berasal dari aktivitas air pasang laut.
Risiko banjir tinggi dikarenakan perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap
serta pengendalian banjir yang tidak efektif.
Pemerintah daerah dalam hal ini belum menganggap isu mitigasi banjir
sebagai hal yang prioritas. Proses ini menyebabkan resiliensi kota rendah.
Resiliensi yang rendah juga dapat diakibatkan oleh pelibatan masyarakat yang
minim dan koordinasi antar stakeholder yang lemah. Tata kelola yang belum
mapan menjadikan hal tersebut bisa terjadi. Sampai saat ini, seberapa resilient
Kota Bekasi belum diketahui karena belum pernah dilakukan penilaian. Karena itu
perlu dianalisis lebih lanjut seperti apa sistem pengendalian banjir eksisting.
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah analisis sistem pengendalian
banjir eksisting, dengan output peta proses bisnis. Karena itu, pada bagian ini
akan dipaparkan banjir dari mula kejadian hingga pengendaliannya berdasarkan
data sekunder dan informasi stakeholder terkait.
e. Renstra dinas
terkait
pengendalian
banjir/bencana
(4) SNI 03-2453-2002, Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan
untuk Lahan Pekarangan;
(5) Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan Drainase Perkotaan,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal
Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003;
(6) Buku Sistem Drainase Perkotaan, Jilid I-IV, Direktorat Pengembangan
Penyehatan Lingkungan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum,
2012.
g) Membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
kabupaten/ kota dan/ atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/
kota;
h) Memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi
masyarakat di wilayahnya; dan
i) Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/ kota.
Sub-sub
Pemerintahan
Bidang Pemerintahan Provinsi
Daerah Kab/Kota
Pemerintah
Sub-sub
Pemerintahan
Bidang Pemerintahan Provinsi
Daerah Kab/Kota
Pemerintah
permasalahan permasalahan operasionalisasi
operasionalisas operasionalisas sistem drainase
i sistem i sistem dan
drainase dan drainase dan penanggulangan
penanggulanga penanggulanga banjir di wilayah
n banjir lintas n banjir lintas kabupaten/ kota
provinsi. kabupaten/ serta koordinasi
kota. dengan daerah
2. Fasilitasi
sekitarnya
penyelenggara 2. Fasilitasi
an penyelenggara 2. Penyelenggaraan
pembangunan an pembangunan dan
dan pembangunan pemeliharaan PS
pemeliharaan dan drainase di
PS drainase pemeliharaan wilayah
dan PS drainase di kabupaten/ kota.
pengendalian wilayah
3. Penyusunan
banjir di provinsi.
rencana induk PS
kawasan
3. Penyusunan drainase skala
khusus dan
rencana induk kabupaten/ kota
strategis
PS drainase
nasional
skala regional/
3. Fasilitasi lintas daerah.
penyusunan
rencana induk
penyelenggara
an prasarana
sarana drainase
dan
pengendalian
banjir skala
nasional.
Sub-sub
Pemerintahan
Bidang Pemerintahan Provinsi
Daerah Kab/Kota
Pemerintah
nasional banjir di 2. Pengawasan dan
wilayah pengendalian
2. Pengawasan
provinsi penyelenggaraan
dan
drainase dan
pengendalian 2. Pengawasan
pengendalian
penyelenggara dan
banjir di
an drainase pengendalian
kabupaten/ kota.
dan penyelenggara
pengendalian an drainase 3. Pengawasan dan
banjir secara dan pengendalian atas
lintas provinsi. pengendaliaan pelaksanaan
banjir lintas NSPK.
3. Pengawasan
kabupaten/
dan
kota
pengendalian
pelaksanaan 3. Pengawasan
NSPK. dan
pengendalian
atas
pelaksanaan
NSPK
Kondisi air permukaan Sungai Bekasi saat ini tercemar oleh limbah
industri yang terdapat di bagian Selatan wilayah Kota Bekasi (industri di
wilayah Kabupaten Bogor).
● Air Tanah
Potensi air tanah di Kota Bekasi cukup potensial digunakan sebagai
sumber air bersih, terutama di wilayah Selatan Kota Bekasi. Namun, bagi
wilayah yang berada di sekitar TPA Bantargebang, sebagian besar air
tanahnya sudah dalam kondisi tercemar.
Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengaman untuk dapat
mendirikan bangunan-bangunan di kiri dan kanan sungai/saluran. Maksud
ditetapkannya daerah Garis Sempadan Sungai adalah sebagai upaya
perlindungan, pengembangan pemanfaatan dan pengendalian saluran serta
penataan bangunan dipinggir saluran, perlindungan masyarakat dari daya
rusak air dan penataan lingkungan. Tujuan ditetapkannya pengaturan garis
sempadan sungai untuk menjaga supaya saluran tidak terganggu oleh
aktivitas kegiatan mendirikan bangunan–bangunan yang berkembang
disekitarnya. Manfaat penetapan ketentuan garis sempadan saluran, yaitu:
1. Daya rusak air pada sungai/ saluran dan lingkungannya dapat dibatasi
dan dikendalikan;
2. Kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sungai/
saluran dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga
kelestarian fisik dan kelangsungan fungsi saluran;
3. Pembangunan dan/ atau bangunan di pinggir sungai/ saluran wajib
memperhatikan kaidah-kaidah ketertiban, keamanan, keserasian,
kebersihan dan keindahan daerah sempadan saluran;
4. Para penghuni dan/ atau pemanfaat bangunan serta lahan di pinggir
sungai/ saluran wajib berperan aktif dalam memelihara kelestarian
sungai/saluran.
Penculikan
KDRT
Penganiayaan ringan
Penghinaan
Keterangan Palsu
Perbuatan tidak senang
Curi biasa
Pengeroyokan
Pengrusakan
Penggelapan
Perjudian
Pemerasan
Pencurian motor
Pencurian dengan pemberatan
Pembunuhan
0 100 200 300 400 500 600 700 800
2015 2014
Gambar 4. 6 Statistik kejahatan di Kota Bekasi
4.4.3.3 Ketenagakerjaan
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur
15 tahun dan lebih. Mereka terdiri dari “Angkatan Kerja” dan “Bukan
Angkatan Kerja”. Proporsi penduduk yang tergolong “Angkatan Kerja”
adalah mereka yang aktif dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk
dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam
pasar kerja yakni yang bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah
angkatan kerja untuk setiap 100 penduduk usia kerja. Penduduk Kota
Bekasi berusia 15 tahun atau lebih pada tahun 2020 mencapai 2,33 juta
orang. Jumlah angkatan kerja sebanyak 1,51 juta orang, dimana 1,35 juta
68
4.4.3.4 Kesejahteraan
Menurut definisi UNDP, pembangunan manusia adalah proses
memperluas pilihan-pilihan penduduk. Ada tiga pilihan yang dianggap
paling penting, yaitu panjang umur dan sehat, berpendidikan dan akses ke
sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup yang layak. Salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan manusia di
Kota Bekasi adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Angka IPM
Kota Bandung sebagai ibukota provinsi merupakan yang tertinggi di Jawa
Barat. Kota Bekasi menempati urutan kedua dengan angka IPM sebesar
81,50. Sementara IPM terendah ada di Kabupaten Cianjur sebesar 65,36.
Hal ini menandakan bahwa pembangunan manusia di Kota Bekasi cukup
baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang ada di Jawa Barat.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
B
Su og
ka or
bu
Ci mi
an
B a ju
nd r
u
Ta G ng
sik ar
m ut
al
a
Ci ya
Ku am
ni is
ng
C a
M ire n
aj bo
al n
Laki-laki 2018
Su eng
m ka
Perempuan 2020
In eda
dr n
am g
ay
S
Pu ub u
rw n a
a g
Ka kar
ra ta
w
Ba a
nd Be ng
Laki-laki 2019
un ka
Pa g si
Perempuan 2018
ng Ba
Ko B e n
ta ka
Perempuan 2019
Ko Ko De si
ta ta po
Ta Ci k
s ik m a
Ko ma hi
ta lay
Gambar 4. 7 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat
Ba a
nj
ar
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
- 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00
ukuran yang bervariasi (Tabel 4.4). Detail saluran drainase Kota Bekasi
disajikan pada Gambar 4.8
Tabel 4. 4 Daerah Aliran Sungai Kota Bekasi sisi Timur dan Barat Sungai Bekasi
Timur Barat
1. Sungai Jambe/Siluman 1. Sungai Galaxi/Rawa Tembaga
2. Sungai Sasak Jarang 2. Sungai Jatiluhur/Baru/Kapuk
3. Sungai Rawalumbu 3. Sungai Cakung
4. Sungai Bojong Rangkong
5. Sungai Jatikramat
6. Sungai Buaran
7. Sungai Sunter
Sumber: Dinas Bina Marga dan SDA Kota Bekasi
Timur Barat
1. Sungai Cupu 1. Sungai Rawa Bugel/Bulak
Macan/Blencong
2. Sungai Mangseng
Sumber: Dinas Bina Marga dan SDA Kota Bekasi
V = 20 (Hs/L)06 L = 665.33 m
V = 20 (11.17/665.33)06 = 1.722 m/det
Kali Cikeas
Kali Sunter
Kali Rawa Rotan/Kali Rorotan
Kali Abang Tengah
Kali Boulevard/Kali Galaxy/Kali BSK
Kali Cakung
Kali Jati Keramat/Taman Sari
N KECAMATAN PANJANG
O NAMA SALURAN YANG DILALUI SALURAN
1 Saluran JL. Buntu 1 Bantargebang 2.63
2 Saluran JL. Buntu 1 Bantargebang 5.16
Saluran JL. Masjid Al-
3 Barkah Bantargebang 3.87
4 Saluran JL. Dirgahayu Bantargebang 3.34
82
N KECAMATAN PANJANG
O NAMA SALURAN YANG DILALUI SALURAN
5 Saluran JL. Gempol Bantargebang 3.93
6 Saluran JL. Pangkal VI Bantargebang 8.82
7 Saluran JL. Raya Narogong Bantargebang 16.15
8 Saluran JL. Kelinci Putih Bantargebang 8.18
9 Saluran JL. Tari Kolot Bantargebang 8.56
10 Saluran JL. TPA Bantargebang 8.8
11 Saluran JL. Lingkar Bambu Bantargebang 3.22
12 Saluran JL. Mandor besar Bantargebang 4.33
13 Saluran JL. Melati 1 Bantargebang 8.24
14 Saluran JL. Mushola Bantargebang 3.87
15 Saluran JL. Rawa Bongo Bantargebang 15.66
16 Saluran JL. Rawa Bugis Bantargebang 3.31
17 Saluran JL. Sakura Bantargebang 3.57
18 Saluran JL. Teratai Bantargebang 2.59
19 Saluran JL. TPA Bantargebang 5.16
20 saluran jalan service Bantargebang 4.25
Bantargebang,
21 Saluran JL. Siliwangi Rawlumbu 31.87
22 Saluran JL. Pemuda Bekasi Barat 2.51
Saluran JL. I Gusti
23 Ngurahrai Bekasi Barat 6.1
24 Saluran JL. Patriot Bekasi Barat 1447.05
25 saluran Jl. Raya Plaza Bekasi Barat 27.62
26 saluran Jl. Raya Bintara Bekasi Barat 12.75
27 Saluran JL. Sultan Agung Bekasi Barat 7.67
Bekasi Barat, Bekasi
28 Saluran JL. KH. Noer Ali Selatan 11.56
29 Saluran JL. Jendral Bekasi Barat, Bekasi 5.1
83
N KECAMATAN PANJANG
O NAMA SALURAN YANG DILALUI SALURAN
sudirman Selatan
30 Saluran JL. Pekayon Jaya Bekasi Selatan 8.22
31 Saluran JL. Veteran Bekasi Selatan 3.21
32 Saluran JL. Ahmad Yani Bekasi Selatan 6.59
Saluran JL. Mayor M. Bekasi Selatan ,
33 Hasibuan Bekasi Timur 3.55
34 Saluran JL. Underpass Bekasi Timur 4.82
35 Saluran JL. Ir. H. Juanda Bekasi Timur 10.26
Saluran JL. Raya Chairil
36 Anwar Bekasi Timur 5.67
37 Saluran JL. Mayor Oking Bekasi Timur 1.42
Saluran JL. HM Joyo Bekasi Timur,
38 Martono Rawalumbu 3.51
Bekasi Timur,
39 Saluran JL. RA Kartini Rawalumbu 4.55
Saluran JL. Raya Kaliabang
40 tengah Bekasi Utara 1432.18
41 Saluran JL. Kaliabang Raya Bekasi Utara 8.35
42 Saluran JL. Lingkar Utara Bekasi Utara 1321.68
Saluran JL. Sisi Barat
43 Perjuangan Bekasi Utara 14.11
44 Saluran JL. Baru Cipendawa Jatiasih, Rawalumbu 5.12
45 Saluran JL. Transyogi Jatisampurna 6.54
Saluran JL. Sisi Selatan
46 Pangeran Jayaraya Medan Satria 45.9
Saluran JL. Pondok Gede
47 Raya Pondok Gede 1.42
48 Saluran JL. Cut Mutia Rawalumbu 43.28
TOTAL 4606.250
Sumber : Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi
84
a. Jaringan Drainase
Drainase adalah istilah yang digunakan untuk sistem penanganan
kelebihan air. Khusus istilah drainase perkotaan, kelebihan air yang
dimaksud adalah air yang berasal dari air hujan. Kelebihan air hujan pada
suatu daerah dapat menimbulkan masalah yaitu banjir atau genangan air.
Oleh karena itu, diperlukan adanya saluran drainase yang berfungsi
sebagai penampung air hujan dan kemudian mengalirkan air hujan tersebut
menuju kolam penampungan. Dari kolam penampungan, untuk
mengendalikan elevasi muka air, kelebihan air tersebut harus dibuang
melalui pemompaan.
b. Tanggul
Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air
atau daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi daripada
elevasi di sekitar kawasan tersebut. Pembuatan tanggul bertujuan untuk
melindungi kawasan tersebut dari limpasan air yang berasal dari luar
kawasan. Dalam bidang perairan, laut dan badan air merupakan daerah
yang memerlukan tanggul sebagai pelindung di sekitarnya. Adapun jenis-
jenis tanggul antara lain : tanggul alamiah, tanggul timbunan, tanggul
beton, dan tanggul infrastruktur.
85
c. Kolam Retensi
yang masuk ke dalam inlet harus dapat menampung air sesuai dengan
kapasitas yang telah direncanakan sehingga dapat mengurangi debit banjir
puncak (peak flow) pada saat over flow sehingga kolam berfungsi sebagai
tempat mengurangi debit banjir dikarenakan adanya penambahan waktu
kosentrasi air untuk mengalir di permukaan.
d. Stasiun Pompa
Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang digunakan untuk
mengeluarkan air yang sudah terkumpul dalam kolam retensi
atau junction jaringan drainase ke luar cakupan area. Prinsip dasar kerja
pompa adalah menghisap air dengan menggunakan sumber tenaga, baik itu
listrik maupun diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut atau
sungai/banjir kanal yang bagian hilirnya akan bermuara di laut. Biasanya
pompa digunakan pada suatu daerah dengan dataran rendah atau keadaan
topografi (kontur) yang cukup datar sehingga saluran-saluran yang ada
tidak mampu mengalir secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas pompa yang
disediakan di dalam stasiun pompa harus disesuaikan dengan volume
layanan air yang harus dikeluarkan. Pompa yang menggunakan tenaga
listrik disebut dengan pompa jenis sentrifugal, sedangkan pompa yang
menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar solar adalah
pompa submersible.
memanfaatkan air PDAM dan air tanah, jumlah titik pengambilan air tanah
di Kota Bekasi berupa sumur sebanyak 879 titik dengan debit air sebesar
54.105,23 m3/hari.
Air Bersih Kota Bekasi di pasok oleh 2 PDAM yaitu, PDAM Tirta
Patriot dan Tirta Bhagasasi. PDAM Tirta Patriot mempunya kapasitas
pengelolaan air bersih total sebesar 700 liter/detik dengan menggunakan 3
IPA (Instalasi Pengolahan Air). Sumber air baku yang diolah PDAM Tirta
Patriot berasal dari saluran irigasi/saluran sekunder yang ada di Bendung
Bekasi, saluran irigasi ini menampung air dari Kali Malang dan Sungai
Bekasi. Debit maksimal yang diambil dari Kali Malang adalah sebesar 1
m3 /detik, sedangkan pengambilan debit dari Sungai Bekasi berkisar dari
4-5.8 m3 /detik. Pasokan air yang digunakan PDAM Bhagasasi untuk
pelayanan 12 kota hanya berasal dari Kali Malang yang mempunyai
kapasitas maksimal pengolahan air 1390 liter/detik dengan 5 unit IPA.
Sumber air baku yang digunakan PDAM Tirta Bhagasasi untuk
pemenuhan kebutuhan Kota Bekasi keseluruhan berasal dari Kali Malang,
sedangkan PDAM Tirta Patriot menggunakan dua sumber air baku yaitu
Kali Malang dan Sungai Bekasi.
Aliran Sungai Bekasi merupakan gabungan antara Sungai Cikeas
dan Sungai Cileungsi, sehingga terkadang pencemaran yang dilakukaan
pada kawasan Sungai Cileungsi akan mempengaruhi air baku yang diolah
oleh PDAM Tirta Patriot. Keadaan secara umum kedua aliran ini pada
umumnya mengalami pendangkalan dan penyempitan aliran akibat
lumpur. Upaya yang selama ini dilakukan oleh pihak PJT II dan
pemerintah Kota Bekasi adalah menormalisasi saluran Kali Malang dan
saluran sekunder agar dapat mengalirkan debit optimal ke daerah yang
membutuhkan air baku.
Pondok Gede
100 300 500 700 900 1100
Pon- Jati- Bekasi Musti Pusat
dok sam- Utara ka Kota
Gede purna Jaya
JUMLAH PEN- 498.5 NaN NaN 255.0 NaN NaN 499.1 NaN NaN 320.7 NaN NaN 970.2
DUDUK 6 4 3 4 2
INDEKS 0.020 NaN NaN 0.105 NaN NaN 0.074 NaN NaN 0.028 NaN NaN 0.112
05776 86574 12898 06011 34565
63671 65495 44329 09933 35631
374 61 133 279 09
Bekasi Barat, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Rawalumbu, Medan Satria, Pondok Gede, Mustika Jaya
0 10002000300040005000600070008000
2019 2018
Tinggi
Sedang
Rendah
Sebaran vegteasi
Sangat rendah
Tidak bervegetasi
banjir 24 jam setiap harinya apabila sudah datang musim penghujan mulai dari
Oktober sampai Maret. Seluruh informasi yang diperoleh dari stasiun
pemantauan Sungai Cikeas dan Cileungsi dikumpulkan ke dalam pusat data
dan laporan melalui perangkat lunak sms-gateway, informasi tersebut
didistribusikan ke masyarakat melalui website dan juga komunitas-komunitas,
seperti Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C) (Prihartanto dan Ganesha
2019). Selain melalui website dan komunitas, penyebarluasan peringatan dini
juga melalui grup Whatsapp, membunyikan sirine peringatan, pengumuman
langsung oleh aparatur setempat.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 06 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, pasal 32, dalam rangka mitigasi
bencana untuk kawasan rawan banjir, Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya, menetapkan :
a) Penetapan batas dataran banjir;
b)Pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pengendalian
pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah;
c) Ketentuan pelarangan kegiatan untuk fasilitas umum; dan
d)Pengendalian kegiatan permukiman
(8) Koordinasi dengan dinas lainnya pada hal assesment saat terjadi bencana,
serta evakuasi korban bencana bekerja sama dengan dari relawan peduli
bencana.
Non Struktur
BBWS Ciliwung Cisadane
● Manajemen DAS
Sumber : Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi
rencana tata ruang wilayah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bekasi untuk
2011-2031 belum menggunakan acuan yang bisa divalidasi. Peta bencana banjir
yang dikeluarkan BNPB baru keluar tahun 2016 dan peta risiko banjir yang
dikeluarkan Pemerintah Kota Bekasi, kajiannya baru dibuat tahun 2021.
Berdasarkan kajian BNPB, diketahui Kota Bekasi memiliki tingkat bahaya
sedang hingga tinggi. Luas bahaya banjir mencapai 1086,4 ha. Pada tahun 2019
banjir yang terjadi di Kota Bekasi hanya merendam Kecamatan Jatiasih, Bekasi
Barat dan Rawalumbu. Sejumlah kelurahan di Jatiasih terendam banjir hingga
mencapai 1 meter. Banjir yang merendam Jatiasih disebabkan kiriman air dari
hulu Sungai Cikeas akibat hujan dengan intensitas lebat mengguyur dalam waktu
yang cukup lama sehingga Sungai Cikeas tidak dapat menampung debit air dan
terjadilah limpasan. Kemudian di Kecamatan Bekasi Barat, banjir merendam
dengan ketinggian 80 cm-1 meter akibat dari hujan lokal dengan intensitas lebat
berdurasi kurang lebih satu jam sehingga volume air tidak tertampung oleh
drainase. Selanjutnya Kecamatan Rawalumbu terendam banjir kurang lebih satu
meter. Banjir ini disebabkan hujan lokal dengan intensitas lebat dengan durasi
cukup lama dan drainase yang kurang baik. Pada Bulan Januari 2020 bencana
banjir telah terjadi, dimana seluruh kecamatan di Kota Bekasi terendam banjir dan
korban yang terdampak banjir mencapai 49.480 jiwa.
Di Kota Bekasi, perkembangan pembangunan perumahan mengikuti
perkembangan kota dan investasi pengembang perumahan. Hal yang menjadi
masalah, saluran drainase yang dibangun pada awalnya hanya untuk satu kawasan
perumahan dimanfaatkan juga untuk perumahan berikutnya yang berada di
belakangnya. Kondisi ini menyebabkan beban saluran drainase tidak mencukupi
dan terjadi limpasan/luapan banjir. Saluran drainase yang ada di kawasan
perumahan umumnya adalah saluran drainase jalan, mengingat pembangunan
saluran drainase biasanya dibuat di kiri dan kanan jalan sesuai dengan pola site
plan perumahan. Jadi tidak heran apabila terjadinya banjir bukan hanya
disebabkan alirannya tidak lancar tetapi bisa juga akibat luapan dari limpasan dari
sungai yang mengalami debit ekstrim dan menjadi efek balik ke areal perumahan.
Kepadatan penduduk yang yang tinggi menjadikan pemukiman yang ada
di Kota Bekasi semakin bertambah dan memiliki potensi terjadinya dampak banjir
yang besar, maka dari itu pemerintah Kota Bekasi juga menerapakan kebijakan
peningkatan kualitas lingkungan pemukiman berdasarkan buku panduan Rencana
Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan 2018
(RP2KPKP) meliputi :
1) pengaturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB),
2) pengaturan tingkat kepadatan, dan
3) kesesuaian fungsi lahan dengan RDTRK.
Di satu sisi, Dinas BMSDA telah melakukan upaya pembangunan drainase
baru, tetapi karena kajiannya belum terpetakan dengan baik, maka hasilnya tidak
optimal. Untuk menyediakan kajian yang akurat, data time series tentang debit
pasang surut harus tersedia. Namun karena alat Automatic Water Level Recorder
(AWLR) rusak, maka data tidak tersedia. Akibatnya kapasitas drainase yang
dibangun, tidak berdasarkan data potensi limpasan yang akurat. Selain itu,
pemeliharaan drainase eksisting juga tidak optimal karena keterbatasan jumlah
SDM dan anggaran. Ada baiknya masyarakat turut dilibatkan dalam
pemeliharaan, sehingga beban pemerintah daerah dapat dibagi. Selama ini, urusan
104
Aksi-aksi tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1
Tahun 2012 dan diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi No 11 Tahun
2018, dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sebagai pengampunya. Di level
ini, DLH bersama dengan Dinas Taru akan melakukan pertahanan fungsi RTH
dan pemulihan DAS. Aksi tersebut selain berkaitan dengan pengendalian daya
rusak air, juga berkaitan dengan upaya mitigasi banjir. Pada prinsipnya, pada
tingkat ini fokusnya adalah upaya pengendalian pemanfaatan sumber daya air
terutama sungai. Dalam pendekatan soft, bentuknya berupa izin atas penyediaan,
peruntukan, penggunaan dan pengusahaan sungai pada wilayah sungai. Dalam
pendekatan hard atau fisik, Dinas BMSDA membuat drainase dan bangunan
pengendali banjir serta kegiatan pemeliharaan sungai seperti peninggian tanggul
dan pengerukan lumpur atau sampah (pematusan).
Dalam tahap pasca bencana, kegiatan yang dilakukan meliputi rehabilitasi
infrastruktur, rehabilitasi sosial, pembangunan kembali konstruksi yang rusak dan
penggantian kerugian harta benda. Prosedur yang dilakukan BPBD Kota Bekasi
pada tahap ini sudah sesuai, hanya saja belum maksimal. Hal ini juga dinyatakan
Kusumasari (2014) dan Ferdiansyah et al. (2020). Menurut data yang bersumber
dari Rencana Strategis BPBD Kota Bekasi tahun 2018-2023 dan LKIP BPBD
2021, jumlah sumber daya manusia yang berstatus Pegawai Harian Lepas (PHL)
berjumlah 38 orang, dengan rincian laki-laki 35 orang dan perempuan 3 orang.
Pegawai Harian Lepas ini, 33 orang diantaranya adalah Satgas BPBD Kota Bekasi
yang terbagi kedalam 3 cluster, yaitu cluster rescue, cluster logistik, dan cluster
pusat data dan laporan. Sedangkan ASN berjumlah 12 orang dan Tenaga Kerja
Kontrak berjumlah 42 orang. Tentunya dengan jumlah satgas yang tersedia, dapat
dikatakan bahwa sumber daya manusia khususnya Satgas BPBD Kota Bekasi
masih belum cukup untuk menangani banjir di Kota Bekasi. Penyebab lainnya,
BPBD masih harus berkoordinasi dengan Dinas BMSDA untuk rehabilitasi fisik
dan Dinas Sosial untuk rehabilitasi sosial. Kendalanya, belum tentu tiap dinas
mengalokasikan anggaran untuk tanggap bencana.
Kegiatan yang patut diapresiasi adalah rehabilitasi psikis di posko-posko
bencana banjir dengan menggandeng pihak-pihak akademisi dan komunitas-
komunitas khususnya psikolog karena menurut Liu (2006) post traumatic stress
109
disorder (PTSD) pada korban banjir terjadi disekitar 8% sampai 9% dari korban
banjir dan risiko PTSD meningkat pada korban wanita serta orang lanjut usia.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat korban banjir
Kota Bekasi diketahui bahwa kegiatan rekonstruksi pembangunan kembali rumah
yang rusak, sejauh ini masyarakat menggunakan uang pribadi masing-masing dan
tidak mendapat dana bantuan apapun dari pemerintah. Dalam hal penggantian
kerugian, BPBD Kota Bekasi memang tidak membiayai semua kerusakan yang
terjadi hanya saja BPBD dapat memberikan dana stimulan untuk membangun
kembali rumah yang rusak akibat banjir. Hal ini tidak menyalahi aturan, karena
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 60 memang mengamanatkan agar
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam
penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat. Gagasan ini sejalan dengan
tujuan SDG 11 untuk membuat kota dan pemukiman manusia menjadi inklusif,
aman, tangguh, dan berkelanjutan. Prinsip untuk menjadikan kota-kota inklusif
adalah keragaman, partisipasi, dan pemerataan (Angelidou dan Psaltoglou 2017).
Artinya penguatan sosial dalam bentuk peningkatan pemahaman tentang banjir
dan adaptasi terhadap bencana menjadi perlu. Aspek ini layak menjadi target
peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bekasi ke depannya.
Pengendalian banjir Kota Bekasi dibandingkan dengan Kota Jakarta relatif
serupa. Koordinasi terjadi di setiap tingkat departemen/lembaga pemerintahan,
dipimpin di tingkat nasional oleh BNPB, dan oleh badan penanggulangan bencana
di tingkat provinsi dan kabupaten (Sunarharum et al. 2021). Mitigasi banjir
dilakukan dengan arahan penataan bangunan secara vertikal. Tujuannya untuk
mempertahankan luas ruang terbuka yang berfungsi sebagai serapan (Iskandar dan
Sugandi 2015). Sedangkan pendekatan fisik melalui penambahan kolam retensi,
serupa dengan Surat City-India (Waghwala dan Agnihotri 2019). Pendekatan fisik
juga dilakukan di beberapa kota besar di Jepang seperti Tokyo, Osaka dan
Nagoya (Alphen et al. 2011) serta kota besar di Belanda seperti Rotterdam,
Amsterdam dan The Hague (Ward et al. 2013).
Meskipun Jepang terkenal dengan negara maju, tetapi pengendalian
banjirnya pun belum optimal. Beberapa rencana pembangunan sarana
pengendalian banjir belum selesai dan masih jauh dari target seperti perbaikan
sungai untuk menahan hujan lebat kala ulang 100-200 tahun (Alphen et al. 2011).
Namun Jepang secara cerdik mengimbanginya dengan melakukan upaya intensif
non fisik seperti penyusunan dan pendistribusian peta rawan banjir serta
penyediaan informasi sungai pada saat banjir (Alphen et al. 2011).
Berbeda dengan Jepang, Belanda memiliki sistem tata kelola yang lebih
efektif. Banjir terjadi di Jepang setiap tahun, sedangkan di Belanda jarang terjadi.
Banjir besar terakhir terjadi di tahun 1953. Hal ini disebabkan pengendalian banjir
dilaksanakan oleh suatu badan pengelola air (waterboard) yang levelnya setara
walikota sangat efektif. Keuntungan dengan tata kelola seperti Belanda, dasar
hukum untuk standar perlindungan banjir relatif tinggi. Penilaian tiap 6 (enam)
tahun terhadap status pertahanan banjir memberikan masukan terhadap perbaikan
dan pemeliharaan yang diperlukan. Hal ini penting untuk pengambilan keputusan
politik tentang pendanaan dan prioritas. Namun sisi buruknya, standar yang tinggi
dan kurangnya pengalaman banjir menyebabkan kesadaran risiko banjir yang
rendah dari publik, politisi dan pemerintah. Dampaknya, anggaran yang
110
4.7 Kesimpulan
Genangan banjir Kota Bekasi setiap tahun semakin meluas, padahal
regulasi yang mengarah mitigasi bencana dan tata kelola pengendalian banjir telah
dikeluarkan. Hal ini disebabkan ketidaksinkronan penerbitan regulasi dengan
tersedianya kajian atau data spasial yang update. Selain itu, jeda penerbitan UU
dengan penerbitan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknisnya terlalu lama.
BPBD selaku dinas penanggung jawab pengendalian bencana tidak memiliki
kewenangan mengatur atau memerintah dinas lainnya, sehingga segala keputusan
tentang penggunaan anggaran untuk bencana akan bergantung kepada kebijakan
kepala dinas masing-masing.
Hasil penelitian menunjukkan pada tahap pra bencana tindakan mitigasi
dilakukan dengan memasang peilschall. Sistem pencegahan bencana masih
dilakukan secara manual, mengandalkan sensitivitas dan tanggung jawab manusia.
BPBD Kota Bekasi seharusnya mempertimbangkan penggunaan teknologi
Disaster Warning System (DWS) untuk menggantikan peilschall dalam hal
penggunaan alat early warning system. Dinas BMSDA juga telah berupaya
membangun drainase baru, tetapi karena rencana induknya belum terpetakan
dengan baik, maka hasilnya tidak optimal. Selain itu, pemeliharaan drainase
eksisting juga tidak optimal karena keterbatasan jumlah SDM dan anggaran. Ada
baiknya masyarakat turut dilibatkan dalam pemeliharaan, sehingga beban
pemerintah daerah dapat dibagi. Selama ini, urusan pengendalian bencana 100%
menjadi beban pemerintah. Pemerintah pun masih mengedepankan pendekatan
struktur atau fisik sebagai metode default. Pendekatan sosial dalam sistem
pengendalian banjir hanya nampak pada proses pra bencana, ketika melibatkan
masyarakat dalam konsultasi publik penyusunan peraturan. Sosialisasi tanggap
bencana sudah dilakukan tapi belum menyeluruh.
113
Matriks Kesimpulan
114
5.1 Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi dalam lima tahun terakhir sangat pesat (5.86%). Demikia
Perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap ini perlu ditemukenali, diidentifikasi dan dip
Identifikasi atau analisis spasial pertumbuhan perkotaan dan perubahan penggunaan lahan men
115
Outcome penelitian ini dapat menjadi salah satu model metodologi perencanaan ruang kota da
Bahan penelitian berupa peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), peta administrasi (Bappeda Kota
Peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software
ruang RTRW, peta jaringan jalan, permukiman. Peta-peta tersebut bersumber dari
Bappeda dan peta digital Rupa bumi Indonesia, Skala 1:25.000 Tahun 2019.
Tahapan metode penelitian disajikan pada Tabel 1. Tahap pertama adalah
menganalisis perubahan penutupan lahan dengan cara membandingkan penutupan
lahan tahun 2014, 2018 dan 2022. Tahap kedua adalah Menganalisis perubahan
struktur, fungsi dan dinamika lanskap. Tahap ketiga adalah menganalisis faktor
pendorong perubahan penutupan lahan dengan cara euclidian distance dan regresi
logistik biner dari data: elevasi, kemiringan lereng, kepadatan penduduk, serta
jarak dari jalan, sungai, kota kecamatan, permukiman.
● Jarak dari
sungai
● Jarak dari
fasilitas
telekomunika
si
117
● Jarak dari
fasilitas
listrik
● Jarak dari
fasilitas
pengolahan
limbah
Membangun - Cellular Peta prediksi
● Peta
model Automata - penutupan lahan
penutupan Artificial pada tahun 2030
prediksi lahan Neural Network
penutupan lahan existing (ANN)
tahun 2022
pada tahun 2030 - CA Markov
● Matriks area
transisi
● Kesesuaian
lokasi
transisi
Menganalisis DEMNAS - HEC-RAS Visualisasi
● Digital
sebaran genangan banjir
Elevation Dinas BMSDA
genangan banjir
Model BMKG
● Geometry
DAS
● Data curah
hujan
tahunan
● Debit pasang
surut
a. Asosiasi adalah keterkaitan obyek yang satu dengan yang lain, adanya
keterkaitan ini maka suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi
obyek lain.
1 : 250 000 25 - < 100 m - Peta rupa bumi 1,25 x 1,25 km2 Survei lapangan
- Citra Radar terbatas
- Data DEM
- Referensi
lapangan (tidak
harus berupa
kerja lapangan,
tapi bisa data
sekunder)
1 : 50 000 5 - < 10 m - Peta rupa bumi 125 x 125 m2 Memerlukan
- Citra Radar survei lapangan
- Data DEM secara sistematis
- Kerja lapangan (stratified
sampling)
No No Penutupan Deskripsi
RBI lahan
r r
Kappa Accuracy =N Σ i=1 X ii −Σ i=1 ¿ ¿ ¿
Keterangan:
x +i : Jumlah titik hasil interpretasi pada jenis penutupan lahan ke-i
x i+¿ ¿ : Jumlah titik hasil validasi pada jenis penutupan lahan ke-i
Referensi accuracy
A B C D ……
……
User
X11 / X+1 X22 / X+2 X33 / X+3 X44 / X+4
accuracy
Overall
((X11+X22+X33+X44) / (X1++X2++X3++X4+))*100%
accuracy
ha % ha % ha % ha % ha % ha %
Danau/Telaga - - - - - - - - - - - -
Sungai - - - - - - - - - - - -
Lahan Terbuka
- - - - - - - - - - - -
diusahakan
Permukaan diperkeras
- - - - - - - - - - - -
bukan gedung
Bangunan
- - - - - - - - - - - -
permukiman/campuran
Bangunan Bukan
- - - - - - - - - - - -
Permukiman
Tanaman berasosiasi
- - - - - - - - - - - -
dengan bangunan
Jumlah - - - - - - - - - - - -
Keterangan:
telah mulai berkembang dalam ilmu spasial, dan saat ini banyak diterapkan di
bidang penelitian perubahan tata guna lahan (land use change) (Baja 2012).
Metode Markov Chain ini dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan
yang terjadi di masa depan memiliki pola dan peluang serupa dengan pola
perubahan yang terjadi pada periode data sebelumnya, terbatas pada bahasan
perubahan penggunaan lahan Business as usual (BAU), dalam artian tidak dikaji
faktor-faktor penghambat dan pendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Simulasi model dijalankan dengan modul Cellular Automata Markov
Chain (CA-Markov) yang merupakan perpaduan antara Markov Chain dan Multi-
Objective Land Allocation (MOLA). Simulasi model dilakukan dalam 2 tahapan.
Tahap pertama yaitu menghasilkan proyeksi penggunaan lahan tahun 2022 dengan
mensimulasikan perubahan penutupan lahan tahun 2014 dan tahun 2018 yang
digunakan untuk validasi keakuratan model. Selanjutnya tahap kedua yang
menghasilkan penggunaan lahan tahun 2030 diperoleh dengan membandingkan
perubahan yang terekam tahun 2014 dan 2022 dengan tab change analysis.
Metode proyeksi perubahan penggunaan lahan ini diasumsikan sama atau
serupa pada perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang dengan
perubahan penggunaan lahan masa yang lalu (Deng et al, 2009). Perubahan
penggunaan lahan juga didasarkan pada kelas penggunaan lahan periode
sebelumnya dan penggunaan lahan tetangganya (neighborhood). Modul Markov
Chain menghasilkan transitional/probability area matrix yakni matriks transisi
perubahan dari tahun sebelumnya ke tahun yang diprediksikan. Persamaan
Markov dibangun menggunakan distribusi penggunaan lahan pada awal dan akhir
pengamatan yang tergambarkan dalam suatu vektor (matriks satu kolom), serta
sebuah matriks transisi (transition matrix) (Trisasongko et al, 2009).
5.3.4.1.1 Uji Validasi Model CA Markov
Validasi model dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keakuratan
proyeksi yang kita lakukan. Uji validasi dilakukan dengan membandingkan
simulasi prediksi penggunaan lahan tahun 2022 dengan penggunaan lahan
tahun 2022 aktual. Menurut Jensen (1996), uji validasi diukur dengan Kappa
Index of Agrement (nilai kappa) sebagai berikut.
r r
Kappa Accuracy =N Σ i=1 xii −Σ i=1 ¿ ¿ ¿
Keterangan:
x +i : luas tipe penggunaan lahan ke-i hasil observasi
x i+¿ ¿ : luas tipe penggunaan lahan ke-i hasil simulasi
Keterangan
I = Input Layer
H = Hidden
Layer
O = Output Layer
Jarak dari fasilitas listrik Jarak dari fasilitas Jarak dari fasilitas
olahraga pariwisata dan pendidikan
hiburan
Jarak dari jalan Jarak dari jalan utama Jarak dari semua jalan
lingkungan
131
Jarak dari semua sungai Jarak dari sungai besar Kemiringan Lahan
-1 Kuat - 0 Kuat + +1
Validasi pemodelan ini bertujuan untuk mengetahui keakuratan dari peta prediksi pen
(P ( A ) −P ( E ))
1. Kappa= (1)
(1−P(E))
(P ( A )−P ( E ) )
2. Kappa Loc= (2)
(Pmax −P(E))
(P −P ( E ))
3. Kappa Histo= max (3)
(1−P (E))
dimana
c
4. p0=∑ p (a=i∧ s=i) (4)
i=1
c
5. pe =∑ p ( a=i ) . p(s=i) (5)
i=1
c
6. pmax =∑ (p ( a=i ) , p ( s=i )) (6)
i=1
Indeks
Kategori Landscape Formula Definisi
Metric
Indeks
Kategori Landscape Formula Definisi
Metric
Indeks
Kategori Landscape Formula Definisi
Metric
Indeks
Kategori Landscape Formula Definisi
Metric
Jenis pengujian data curah hujan meliputi uji konsistensi data hujan,
uji tersebut memastikan data hujan layak digunakan pada simulasi peluang.
Data hujan stasiun tertentu dimungkinkan sifatnya tidak konsisten
inconsistent). Data semacam ini tidak dapat langsung dianalisis sehingga
dilakukan pengujian terhadap konsistensi data dengan menggunakan metode
sebagai berikut:
Metode statistik Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS) memiliki
persamaan sebagai berikut:
Dimana:
Sk∗¿ = Nilai Kumulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata
Ri = Nilai data R - Ke i
R̅ = Nilai R rata-rata
Sk* = Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS)
*
Dy = Deviasi standar seri data Y
Sumber: Harto,1993
Dimana:
R = Hujan rerata kawasan
R1 R 2 R3 … Rn = Hujan di stasiun 1, 2, 3 … n
n = Jumlah stasiun
Dimana:
141
Dimana:
RTr = Nilai hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun (mm)
Rt = Nilai curah hujan rata-rata (mm)
KTr = Faktor frekuensi untuk periode ulang tertentu
SR = Standar deviasi
YTr = Nilai Reduce Variate
Yn = Nilai Reduce Mean
Sn = Nilai Reduced Standard Deviation
Tr = Rencana periode ulang tahun tertentu
Dimana:
RTr = Nilai hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun (mm)
log RTr = Nilai logaritma hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun
(mm)
log Rt = Nilai logaritma curah hujan rata-rata (mm)
KTr = Faktor frekuensi untuk periode ulang tertentu
S Log R = Standar deviasi
142
Dimana:
RTr = Nilai hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun (mm)
log RTr = Nilai logaritma hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun
(mm)
log Rt = Nilai logaritma curah hujan rata-rata (mm)
KTr = Faktor frekuensi untuk periode ulang tertentu
S Log R = Standar deviasi
Faktor frekuensi distribusi Log-Pearson tipe III akan mengikuti nilai faktor
distribusi normal jika nilai kemencengan (𝐶𝑆) sama dengan nol, sedangkan untuk
nilai kemencengan (𝐶𝑆) tidak sama dengan nol, maka nilai perkiraan faktor
frekuensi distribusi Log-Pearson tipe III dapat ditaksir melalui persamaan:
Dimana:
Cs = Koefisien kemiringan (Skewness)
log Rt = Nilai logaritma curah hujan rata-rata (mm)
S Log = Standar deviasi
R
R = Nilai rata-rata
Dimana:
x² = Parameter chi-kuadrat terhitung
Oi = Data hasil pengukuran
Ei = Data hasil perhitungan dari lengkung kekerapan teoritik
(grafik)
Jika nilai x²
= 0 maka tingkat kecocokannya baik. Semakin besar nilai x², semakin kecil tingkat
Dimana:
D = Derajat kebebasan
k
p = Banyaknya parameter, untuk uji chi-kuadrat adalah 2 (Kamiana, 2011)
K = Jumlah kelas distribusi = 1 + (3,322 * Log n)
Dimana:
D maks = Nilai selisih data probabilitas pengamatan dan teoritis
P = Nilai peluang pengamatan
P' = Nilai peluang teoritis
Nilai D kritis merupakan batas dimana sebaran data masih dianggap cocok, nilai D kritis di d
Dimana
P = Probabilitas (%)
m = Nomor urut data dari seri yang telah diurutkan
n = Banyaknya data
adalah metode yang diperuntukkan untuk jenis data curah hujan yang diukur
dalam satuan hari (Kamiana, 2011). Persamaan untuk metode Mononobe adalah:
Dimana:
I = Intensitas Hujan Rencana Rata-rata dalam T jam (mm/jam)
R24 = Tinggi Hujan harian maksimum atau hujan rencana (mm)
Dimana:
Rt = Sebaran Hujan jam-jaman (mm)
t = Jam ke - … (jam)
I = Intensitas Hujan Rencana Rata-rata dalam T Jam (mm/jam)
Dimana:
ℜ = Curah hujan efektif (mm)
Rt = Curah hujan rencana
146
C = Koefisien pengaliran
Koefisien pengaliran
Koefisien pengaliran adalah nilai yang menunjukkan karakteristik suatu
daerah tangkapan. Nilai dari koefisien pengaliran sangat beragam dari 0,05 untuk
daerah landai berpasir dan 0,95 untuk daerah yang kedap air seperti daerah
perkotaan. Nilai koefisien pengaliran juga sangat beragam terhadap curah hujan
yang terjadi pada daerah tangkapan dengan karakteristik sama (Shaw 1994). Nilai
koefisien pengaliran untuk beberapa jenis kondisi permukaan tanah disajikan pada
Tabel 5.3.
Tabel 5. 3 Niali koefisien pengaliran
Elemen
No Deskripsi
Hidrologi
1 Sub DAS Elemen yang digunakan untuk mewakili kondisi fisik suatu
DAS. Elemen ini hanya memiliki satu outflow yang dihitung
berdasarkan curah hujan yang diterima dikurangi dengan
besarnya precipitation losses, surface runoff dan baseflow.
2 Reach Elemen yang digunakan untuk menyampaikan streamflow di
dalam subbasin. Inflow yang mengalir pada reach dapat
berasal dari beberapa aliran hulu (upstream).
3 Junction Elemen yang digunakan untuk menggabungkan streamflow
148
penguapan dan infiltrasi. Nilai initial abstraction (Ia) dipengaruhi oleh besarnya
dan potential retention (S). Hubungan antara Ia dan S dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
I a=0.2 S max
25400−254 CN
Smax =
CN
I a adalah initial abstraction (mm), S adalah potential retention dan CN
adalah bilangan kurva aliran permukaan. Nilai dari CN bervariasi dari 100 (untuk
permukaan yang digenangi air) hingga sekitar 30 (untuk permukaan tak kedap air
dengan nilai infiltrasi tinggi). Volume limpasan dipengaruhi pula oleh luas daerah
kedap air (impervious) yang diperoleh dari luas lahan terbangun di daerah
penelitian.
Komponen transform menggambarkan metode hidrograf satuan yang
digunakan dalam melakukan simulasi debit aliran. parameter utama yang
digunakan dalam komponen ini adalah waktu tenggang (time lag). Metode yang
digunakan untuk menghitung komponen transform adalah metode Snyder Unit
Hydrograph. Lag time dihitung dengan persamaan (Technical Reference Manual
HEC HMS, page 54-55) sebagai berikut:
0.3
t l=C 1 C t ( L Lc )
Dimana:
L = Panjang sungai utama (km)
Lc = Panjang sungai dari titik berat basin ke outlet (km)
tl = Waktu dari titik berat curah hujan efektif ke puncak banjir (jam)
Peaking Coeficient (Cp) adalah koefisient puncak dari hidrograft. Nilai ini
berada di antara 0.4-0.8 (Technical Reference Manual HEC HMS, page 54-55.
Model Meteorologi
Model meteorologi adalah model yang terkait dengan metode presipitasi
yang digunakan pada simulasi model. Data curah hujan yang digunakan adalah
150
data curah per jam. Metode yang digunakan yaitu Specified Hyetograph dengan
menggunakan data curah hujan rencana hasil perhitungan sebelumnya.
Control specification
Control specification bertujuan untuk mengeksekusi masing-masing
parameter sesuai dengan waktu kejadian hujan yang akan disimulasi. pada tahap
ini dilakukan pengaturan jangka waktu simulasi (time period) dan pengaturan
terhadap interval waktu yang digunakan pada saat simulasi model.
Menjalankan Model HEC-HMS
Simulasi model diawali dengan memastikan data parameter yang
dimasukkan ke dalam model telah sesuai dengan kondisi lapang. Pengaturan
jangka waktu pelaksanaan running model (tanggal dan interval waktu) yang
dilakukan pada control specification sesuai dengan kejadian hujan yang dipilih.
Data hujan hasil perhitungan periode ulang diinput pada time-series data. Running
model dijalankan pada HEC-HMS versi 4.10 dengan menggunakan data input
model berupa: model basin, model meteorologi, control specification dan data
time-series. Simulasi model dilakukan untuk memperoleh debit maksimum
sebagai debit banjir masing-masing sub-DAS di Kota Bekasi pada masing-masing
periode ulang. Output dari model berupa hidrograf aliran permukaan, debit aliran
puncak, volume aliran dan nilai time to peak.
Data geometri sungai yang digunakan yakni 2D Flow Area untuk mengetahui
area yang terdampak genangan banjir berupa mesh dengan ukuran (20 x 20),
kemudian Break Lines dengan mesh yang lebih kecil (5 x 5) pada sungai.
4. Data hidrograf aliran (Unsteady Flow Data)
Data hidrograf aliran yang berupa debit banjir rencana digunakan sebagai
data masukan di dalam Boundary Condition area hulu ditambah kemiringan
sungai di area hulu.
5. Kondisi batas hilir (Normal Depth)
Kondisi batas hilir digunakan untuk mengetahui kondisi muka air di bagian
hulu, yakni menggunakan kemiringan sungai di hilir (Normal Depth).
Hilir terdiri dari subdas Bekasi, subdas Galaxy dan subdas Rawalumbu yang
dipengaruhi DAS Bekasi Hulu meliputi subdas Cikeas dan subdas Cileungsi, serta
bagian timur kota Bekasi yakni Cikarang Bekasi Laut CBL terdiri dari subdas
Siluman dan Sasak Jarang.
Probabilita Periode
Gumbe Log Log
s Ulang Normal
l Normal Pearson III
(P) (Tahun)
0.5 2 119.74 116.08 117.19 115.75
0.2 5 142.15 147.26 140.51 139.86
0.1 10 153.87 167.90 154.49 155.52
0.05 20 163.53 187.71 167.07 168.32
0.04 25 165.62 193.99 169.93 175.11
0.02 50 173.54 213.34 181.17 189.68
156
Uji Chi-Kuadrat
Normal Gumbel Log Normal Log Pearson III
X2 Hitung 0.3636 3.0909 0.3636 4.0000
X2 Kritis 5.9900 5.9900 5.9900 5.9900
Kesimpulan Mewakili Mewakili Mewakili Mewakili
Uji Smirnov-Kolmogorof
Normal Gumbel Log Normal Log Pearson III
D Hitung 0.1306 0.1306 0.1255 0.1255
D Kritis 0.3960 0.3960 0.3960 0.3960
Kesimpulan Mewakili Mewakili Mewakili Mewakili
maksimum distribusi Log Normal untuk kala ulang dua tahun sebesar 117.19
mm/hari, lima tahun sebesar 140.51 mm/hari, sepuluh tahun sebesar 154.49
mm/hari, dua puluh tahun sebesar 167.07 mm/hari, dua puluh lima tahun sebesar
169.93 mm/hari, lima puluh tahun sebesar 181.17 mm/hari, seratus tahun sebesar
193.48 mm/hari, dua ratus tahun sebesar 204.19 mm/hari, dan seribu tahun
sebesar 261.24 mm/hari. Nilai dari distribusi Log Normal selanjutnya digunakan
dalam perhitungan intensitas curah hujan.
Frekuensi hujan DAS Bekasi bagian hulu yang meliputi sub DAS Cikeas
dan sub DAS Cileungsi menggunakan data dari penelitian sebelumnya. Curah
hujan rancangan di Sub DAS Cikeas (Dharma dkk, 2021) untuk periode ulang 2
tahun sebesar 123.102 mm, 5 tahun sebesar 148.067 mm, 10 tahun sebesar
161.663, 50 tahun sebesar 189.186 mm, dan 100 tahun sebesar 200.258,
sedangkan curah hujan rancangan di Sub DAS Cileungsi (Marko & Zulkarnain,
2018) untuk periode ulang 5 tahun sebesar 143 mm, 10 tahun sebesar 167 mm, 25
tahun sebesar 197 mm, dan 50 tahun sebesar 220 mm. Frekuensi curah hujan
rancangan hulu DAS Bekasi disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Frekuensi curah hujan rancangan Hulu DAS Bekasi
400
350
300
250
200
150
100
50
0
5 10 20 40 60 90 120 150 180 210 240 270 300 360 390 420 450 480 510 540 570 600 630 660 690 720
Menit
kehilangan air (losses) disajikan pada Tabel 10. Curah hujan efektif ini lah yang
akan digunakan sebagai input data time series pada pemodelan di HEC-HMS.
Tabel 10 Curah hujan efektif
Periode Ulang (Tahun) (m3/s)
Jam ke-
2 5 10 20 25 50 100 200 1000
Panjang Sungai
Sub Catchment Luas (Km2)
(Km2)
Sub-DAS Bekasi 38.63 21.67
Sub-DAS Blencong 14.42 8.82
160
.
Gambar 4 Basin Model Bekasi Hilir
161
Sub-DAS Bojong
67.1 124.5 24.9 32.26
Rangkong
Hidroraf Aliran
Hidrograf aliran diperoleh dengan melakukan simulasi run pada
HECHMS. Data yang digunakan untuk memperoleh hidrograf aliran adalah data
curah hujan jam-jaman untuk periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun,
25 tahun, 50 tahun, 100 tahun, 200 tahun dan 1000 tahun. Hasil simulasi masing-
masing subDAS disekitar kota Bekasi diperlihatkan pada Lampiran 11 sampai
Lampiran 25. Berikut hidrograf aliran masing-masing subDAS untuk setiap
periode ulang yang diperlihatkan pada Gambar 7 sampai Gambar 21.
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
100.0
80.0
Debit Banjir (m3/detik)
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
50.0
40.0
Debit Banjir (m3/detik)
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25
20
15
10
5
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
40
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
100
80
60
40
20
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
Gambar 5. 10 Input data boundary condition lines hulu dengan flow hydrograph
Gambar 5. 11 Input data boundary condition lines hilir dengan normal depth
3. Unsteady flow analysis
Langkah terakhir dalam pemodelan genangan banjir yaitu membuat
unsteady flow analysis (Gambar 5.12), pada tahap ini menentukan tanggal
kejadian hujan dan berapa lama waktu komputasi yang akan dilakukan.
178
0-1m 1.5 6.0 3.7 7.2 516.8 22.6 4.6 41.2 14.5 71.0 120.3 809.2
1-2m 0.8 5.7 1.9 3.5 213.3 12.0 2.1 22.9 9.4 36.5 47.8 355.8
2-3m 0.9 6.5 1.8 1.8 110.9 8.5 1.6 15.8 8.4 29.6 30.1 216.0
3-4m 1.1 5.0 1.4 1.3 51.9 5.9 1.4 11.8 7.5 21.2 20.2 128.7
>4m 1.7 39.5 1.7 2.9 45.5 11.1 2.7 14.9 8.4 38.5 39.9 206.7
Total 5.9 62.6 10.4 16.7 938.4 60.1 12.4 106.5 48.3 196.7 258.3 1716.4
180
Gambar 5. 14 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada Penutupan Lahan 2022
Tabel 5. 13 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2030
Q5 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2022 (Ha)
0-1m 0.5 4.1 1.6 7.1 543.7 29.4 3.3 31.4 5.4 62.3 120.3 809.2
1-2m 0.4 2.6 0.7 3.5 225.1 16.7 1.5 18.0 4.3 35.3 47.8 355.8
2-3m 0.5 2.8 0.5 2.3 120.1 12.2 0.9 12.6 3.9 30.0 30.1 216.0
3-4m 0.6 2.6 0.4 2.1 58.1 8.8 0.9 9.1 3.4 22.4 20.2 128.7
>4m 0.7 30.3 1.2 4.1 52.3 15.2 2.2 10.9 3.3 46.7 39.9 206.7
Total 2.7 42.4 4.5 19.1 999.2 82.3 8.7 82.1 20.4 196.7 258.3 1716.4
181
0-1m 1.5 4.1 4.8 8.2 565.9 26.3 4.9 43.1 21.0 77.0 146.2 903.1
1-2m 0.8 5.0 2.2 4.4 242.6 13.9 2.2 25.0 12.7 40.0 61.8 410.5
2-3m 0.9 7.2 1.9 2.6 131.3 9.4 1.6 17.6 9.8 32.6 37.9 252.8
182
3-4m 1.1 6.3 1.5 1.6 63.3 6.4 1.5 12.4 7.9 24.6 23.7 150.2
>4m 1.8 44.5 2.0 3.5 55.4 12.3 2.9 18.0 9.5 45.9 49.6 245.4
Total 6.1 67.0 12.4 20.4 1058.5 68.2 13.1 116.2 60.9 220.1 319.1 1962.0
0-1m 0.5 2.6 2.3 7.6 596.0 34.1 4.0 33.4 9.6 66.8 146.2 903.1
1-2m 0.4 2.8 0.8 4.2 256.6 19.3 1.7 19.3 6.6 37.1 61.8 410.5
2-3m 0.5 3.4 0.5 2.8 142.2 13.5 1.0 13.8 4.8 32.5 37.9 252.8
3-4m 0.6 3.0 0.4 2.2 70.3 9.7 0.8 9.6 3.7 26.2 23.7 150.2
>4m 0.7 33.0 1.3 5.0 63.7 17.0 2.3 13.0 3.6 56.3 49.6 245.4
Total 2.8 44.7 5.4 21.8 1128.8 93.5 9.8 88.9 28.3 218.9 319.1 1962.0
183
Tabel 5. 16 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
Q50 2022 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2022 (Ha)
0-1m 1.7 1.6 6.0 11.2 692.2 31.6 5.9 49.5 19.3 90.1 254.5 1163.6
1-2m 1.1 1.9 3.0 6.1 308.3 16.7 2.9 28.4 14.9 49.3 103.8 536.4
2-3m 1.3 3.0 2.6 3.7 168.5 11.3 1.6 21.3 12.1 39.1 60.7 325.2
3-4m 1.2 3.8 2.0 2.4 82.7 7.5 1.6 14.7 9.7 29.0 39.1 193.6
>4m 1.9 61.1 2.8 4.9 84.4 14.2 3.2 22.8 11.5 68.0 80.6 355.5
Total 7.1 71.5 16.4 28.3 1336.1 81.4 15.2 136.8 67.4 275.5 538.6 2574.3
184
Tabel 5. 17 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
Q50 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2022 (Ha)
0-1m 0.8 1.2 2.8 10.0 728.1 40.8 4.3 37.7 7.3 76.2 254.5 1163.6
1-2m 0.4 1.4 1.5 5.6 325.4 22.6 2.5 21.4 7.5 44.3 103.8 536.4
2-3m 0.5 2.3 1.0 3.8 180.3 16.1 1.3 16.4 6.6 36.2 60.7 325.2
3-4m 0.6 2.7 0.7 3.0 90.7 11.3 1.0 11.6 4.7 28.4 39.1 193.6
>4m 0.8 40.6 1.8 6.3 96.7 19.9 2.5 16.9 4.3 84.9 80.6 355.5
Total 3.1 48.2 7.7 28.7 1421.2 110.7 11.7 104.0 30.4 269.9 538.6 2574.3
185
Tabel 5. 18 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2022
Q5 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2030 (Ha)
0-1m 1.5 5.9 3.5 7.1 515.4 22.7 4.6 40.8 14.8 70.5 119.9 806.7
1-2m 0.8 6.1 2.0 3.5 213.7 12.2 2.1 22.8 9.6 36.5 47.0 356.2
186
2-3m 0.9 6.0 1.7 1.9 110.6 8.4 1.6 15.5 8.4 29.4 29.8 214.2
3-4m 1.0 4.7 1.4 1.3 51.8 5.7 1.3 11.5 7.5 21.0 19.8 127.1
>4m 1.7 39.4 1.6 2.9 45.9 11.4 2.8 15.1 8.4 38.4 40.2 207.9
Total 6.0 62.2 10.2 16.7 937.3 60.5 12.4 105.7 48.7 195.7 256.6 1712.1
Tabel 5. 19 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2030
Q5 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2030 (Ha)
0-1m 0.5 4.0 1.6 7.2 542.0 29.6 3.4 31.3 5.4 61.8 119.9 806.7
1-2m 0.4 2.8 0.7 3.5 225.4 16.9 1.6 18.1 4.3 35.5 47.0 356.2
2-3m 0.5 2.6 0.5 2.4 119.2 12.1 0.9 12.4 3.9 29.9 29.8 214.2
3-4m 0.6 2.5 0.4 2.1 57.7 8.7 0.9 9.0 3.5 22.0 19.8 127.1
>4m 0.7 30.3 1.2 4.1 52.6 15.5 2.2 11.1 3.3 46.6 40.2 207.9
Total 2.7 42.3 4.4 19.2 996.9 82.8 9.0 82.0 20.4 195.8 256.6 1712.1
187
Tabel 5. 20 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2022
Q10 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2030 (Ha)
0-1m 1.5 5.1 4.2 8.4 568.9 26.1 4.9 43.0 17.2 77.2 145.6 902.2
1-2m 0.9 4.9 2.1 4.5 242.6 13.7 2.4 24.7 11.1 40.1 61.6 408.6
2-3m 0.9 6.7 1.9 2.4 130.7 9.4 1.6 17.8 9.1 32.6 37.8 251.0
188
3-4m 1.1 5.8 1.5 1.6 63.0 6.3 1.4 12.5 7.8 24.7 23.8 149.4
>4m 1.8 44.1 1.9 3.5 55.7 12.8 3.0 18.0 9.4 45.9 49.5 245.8
Total 6.2 66.6 11.6 20.4 1061.0 68.4 13.3 115.9 54.8 220.5 318.2 1956.9
0-1m 0.5 3.6 1.6 7.8 598.9 34.0 3.5 32.9 7.1 66.8 145.6 902.2
1-2m 0.4 2.6 0.8 4.2 256.2 19.1 1.8 19.1 5.3 37.4 61.6 408.6
2-3m 0.5 2.9 0.6 2.6 141.3 13.5 1.1 13.8 4.4 32.5 37.8 251.0
3-4m 0.6 2.6 0.4 2.3 69.9 9.6 0.9 9.6 3.6 26.2 23.8 149.4
>4m 0.7 32.7 1.3 5.0 63.8 17.6 2.4 13.0 3.6 56.4 49.5 245.8
Total 2.8 44.3 4.7 21.9 1130.1 93.7 9.6 88.4 23.9 219.4 318.2 1956.9
189
Tabel 5. 22 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
Q50 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2030 (Ha)
0-1m 1.7 2.0 6.1 10.6 681.7 31.5 6.0 50.1 19.6 90.0 237.7 1137.0
1-2m 1.3 2.2 3.0 5.9 303.5 16.5 3.0 28.0 15.2 48.5 96.5 523.5
190
2-3m 1.2 3.3 2.7 3.4 167.6 11.4 1.6 21.3 12.0 38.8 57.3 320.7
3-4m 1.2 3.5 1.9 2.2 82.3 7.4 1.6 15.1 9.8 29.1 37.1 191.1
>4m 1.9 60.2 2.3 4.9 83.8 14.9 3.4 23.0 11.6 68.0 78.2 352.1
Total 7.2 71.2 16.0 27.0 1318.8 81.7 15.7 137.4 68.2 274.3 506.8 2524.3
Tabel 5. 23 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
Q50 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2030 (Ha)
0-1m 0.8 1.3 2.9 9.6 717.8 40.8 4.5 38.2 7.3 75.9 237.7 1137.0
1-2m 0.4 1.5 1.4 5.4 320.3 22.4 2.7 21.4 7.6 43.9 96.5 523.5
2-3m 0.5 2.2 1.0 3.5 179.8 16.2 1.4 16.5 6.5 35.9 57.3 320.7
3-4m 0.6 2.6 0.6 2.7 90.5 11.3 1.1 11.8 4.6 28.2 37.1 191.1
>4m 0.8 40.4 1.4 6.3 95.7 20.6 2.7 17.0 4.3 84.8 78.2 352.1
Total 3.1 48.0 7.3 27.5 1404.0 111.3 12.3 104.9 30.3 268.8 506.8 2524.3
191
201 885769 068202 767329 988387 4734 2565 309364 6044 641146 968812
8 3956 2133 0062 8555 5679 3073 223
201 1.4840 - - 12.167 185.40 36.993 19.954 79.874 - -
8- 619912 0.2039 167.31 283181 749100 762629 996109 394883 166.59 1.7637
202 6265 488206 706053 5523 5048 3552 5779 6466 727450 059411
2 26735 0111 8603 0222
(Pk) Permukaan diperkeras bukan gedung, (Pc) Bangunan permukiman/campuran, (Bp) Bangunan
bukan-permukiman, (Sb) Semak dan belukar, (Tk) Tanaman semusim lahan kering, (Tb) Tanaman
semusim lahan basah (sawah), (Ta) Tanaman berasosiasi dengan bangunan
14.208,7
5 Pc Bangunan permukiman/campuran 56,22% 11.981,63 66,67% 67,54% 14.394,15
4
8 Tk Tanaman semusim lahan kering 6,23% 1.328,15 6,42% 1.367,84 6,79% 1.447,72
21.312,3
Total 100,00% 21.312,32 100,00% 100,0% 21.312,32
2
195
Permukaan diperkeras
4 Pk -0,14% -28,91 0,06% 12,17 -0,08% -16,75
bukan gedung
Bangunan
5 Pc 10,45% 2.227,11 0,87% 185,41 11,32% 2.412,52
permukiman/campuran
Bangunan bukan-
6 Bp 2,09% 445,13 0,17% 36,99 2,26% 482,12
permukiman
Tanaman berasosiasi
10 Ta -4,08% -869,55 -0,01% -1,76 -4,09% -871,31
dengan bangunan
196
197
198
199
Gambar 5. SEQ Gambar_5. \* ARABIC 32 Peta Penutupan Lahan Kota Bekasi tahun 2014
200
G
G
201
3) Elevasi
7) Kemiringan lahan
c. Area Changes
Pada tahap ini, perubahan penutupan lahan hasil pengolahan dapat dilihat
pada Lampiran 5. Pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa penutupan lahan
Bangunan Permukiman Campuran mengalami penambahan terbesar
sebesar 2.227,16 ha dan Bangunan Bukan Permukiman mengalami
202
Neighbourhood 3px
Learning rate 0.100
Maximum iterations 100
Hidden Layers 10
Momentum 0.050
Overall Accuracy -0.51236
Min Validation Overall Error 0.71274
Current Validation Kappa 0.27861
g. Hasil
Tabel 5. 28 Tabel 14 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030
CA ANN 2030 Penutupan Lahan 2022 Selisih
No Kode Kelas Penutupan Lahan
% Ha % Ha % Ha
-
1 Dn Danau/telaga alami 0,25% 53,30 0,27% 57,02 -3,72
0,02%
-
2 Sg Sungai 0,37% 79,28 0,40% 85,57 -6,28
0,03%
3 Lt Lahan terbuka diusahakan 1,74% 371,45 1,18% 250,67 0,57% 120,78
-
4 Pk Permukaan diperkeras bukan gedung 1,39% 296,54 1,51% 321,01 -24,47
0,11%
-
5 Pc Bangunan permukiman/campuran 67,42% 14.368,99 67,54% 14.394,15 -25,16
0,12%
-
6 Bp Bangunan bukan-permukiman 4,96% 1.057,79 5,38% 1.146,26 -88,47
0,42%
-
7 Sb Semak dan belukar 0,62% 131,50 0,79% 168,19 -36,68
0,17%
-
8 Tk Tanaman semusim lahan kering 6,72% 1.431,81 6,79% 1.447,72 -15,91
0,07%
9 Tb Tanaman semusim lahan basah (sawah) 1,90% 405,81 1,24% 264,06 0,67% 141,75
-
10 Ta Tanaman berasosiasi dengan bangunan 14,62% 3.115,84 14,91% 3.177,68 -61,84
0,29%
Total 100% 21.312,32 100,00% 21.312,32 0,00% 0,00
*CA ANN, 7 spatial variable, iterasi 3
15,000
13,000
11,000
9,000
7,000
5,000
3,000
Luas (Ha)
1,000
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Penu- 57.015 85.5675 250.6725 321.0075 14394.15 1146.262 168.1875 1447.717 264.06 3177.675
tupan 5 5
La-
han
2022
CA 53.29936 79.28477 371.4517 296.5354 14368.98 1057.790 131.5032 1431.809 405.8137 3115.839
ANN 4591587 5127579 6100668 1711306 6283558 8538464 9075406 6311452 5102221 8718342
2030 6 2 7 9 5 9 7
175
125
75
Luas (Ha)
25
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
-25
Seli - - 120.77 - - - - - 141.75 -
sih 3.7156 6.2827 926100 24.472 25.163 88.471 36.684 15.907 375102 61.835
-75 354084 248724 6687 082886 716441 646153 209245 868854 2219 128165
1244 2077 9397 1095 6032 9351 7988 7274
Selisih
Gambar 5. 36 Gambar 8 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030
6 -- 0,042
7 --
Keterangan:
3) Elevasi
7) Kemiringan lahan
c. Area Changes
Pada tahap ini, perubahan penutupan lahan hasil pengolahan dapat dilihat
pada Lampiran 7. Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa penutupan lahan
Bangunan Permukiman Campuran mengalami penambahan terbesar
sebesar 2.227,16 ha dan Bangunan Bukan Permukiman mengalami
penambahan sebesar 445,12 ha. Penutupan lahan yang mengalami
penurunan paling signifikan yaitu penutupan lahan Tanaman berasosiasi
dengan bangunan sebesar 869,29 ha.
Matriks transisi menghasilkan penutupan lahan Bangunan Permukiman
Campuran memiliki peluang paling besar untuk tetap atau tidak
mengalami perubahan penutupan lahan, yaitu sebesar 0,897. Sedangkan
penutupan lahan Semak dan Belukar (0,033) berpeluang besar berubah
menjadi penutupan lahan yang lain seperti Bangunan Permukiman
Campuran (0,318), Tanaman Lahan Kering (0,3030), dan Tanaman
berasosiasi dengan bangunan (0,228).
Neighbourhood 3px
Learning rate 0.100
Maximum iterations 100
Hidden Layers 10
Momentum 0.050
Overall Accuracy -0.05095
206
f. Validations
Hasil validasi dengan metode kappa disajikan pada Gambar X. Nilai
Kappa dihitung berdasarkan persamaan 1 – 6. Nilai Kappa adalah
kesesuaian antara jumlah kolom dan baris maksimal adalah bernilai 1,00.
15,000
13,000
11,000
9,000
7,000
5,000
3,000
Luas (Ha)
1,000
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Penu- 57.015 85.5675 250.6725 321.0075 14394.15 1146.262 168.1875 1447.717 264.06 3177.675
tupan 5 5
La-
han
2022
CA 78.35997 81.48987 487.3630 302.6541 13884.05 1091.072 131.8158 1282.874 449.5340 3523.091
ANN 6925246 2555307 2889943 5225639 9394303 6097450 9221850 4153339 7452173 5832407
2030 7 8 6 7 4 3 1 8
Seli 21.344
-150 - 236.69 - - - - - 185.47 345.41
sih 976925 4.0776 052889 18.353 510.09 55.189 36.371 164.84 407452 658324
-250 2467 274446 9437 347743 060569 890254 607781 308466 1731 078
9301 6098 6438 9333 4956 6067
-350
-450
-550
Selisih
Gambar 5. 39 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030
b. Evaluating Correlation
Semua driving factor dilakukan uji korelasi pearson¸hasil pengujian
ditampilkan pada Lampiran 4, kemudian dipilih 10 faktor pendorong yang
memiliki nilai korelasi dibawah 0,8.
Keterangan:
3) Elevasi
5) Jumlah Penduduk
8) Permukiman
9) Kemiringan lahan
c. Area Changes
Pada tahap ini, perubahan penutupan lahan hasil pengolahan dapat dilihat
pada Lampiran 9. Pada Lampiran 9 dapat dilihat bahwa penutupan lahan
Bangunan Permukiman Campuran mengalami penambahan terbesar
sebesar 2.227,16 ha dan Bangunan Bukan Permukiman mengalami
penambahan sebesar 445,12 ha. Penutupan lahan yang mengalami
209
Neighbourhood 3px
Learning rate 0.100
Maximum iterations 100
Hidden Layers 10
Momentum 0.050
Overall Accuracy -0.40559
Min Validation Overall Error 0.16413
Current Validation Kappa 0.08084
f. Validations
Hasil validasi dengan metode kappa disajikan pada Gambar X. Nilai
Kappa dihitung berdasarkan persamaan 1 – 6. Nilai Kappa adalah
kesesuaian antara jumlah kolom dan baris maksimal adalah bernilai 1,00.
210
g. Hasil
15,000
13,000
11,000
9,000
7,000
5,000
3,000
Luas (Ha)
1,000
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Penu- 57.015 85.5675 250.6725 321.0075 14394.15 1146.262 168.1875 1447.717 264.06 3177.675
tupan 5 5
La-
han
2022
CA 53.29936 79.28477 371.4517 296.5354 14368.98 1057.790 131.5032 1431.809 405.8137 3115.839
ANN 4591587 5127579 6100668 1711306 6283558 8538464 9075406 6311452 5102221 8718342
2030 6 2 7 9 5 9 7
175
125
75
Luas (Ha)
25
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
-25
Seli - - 120.77 - - - - - 141.75 -
sih 3.7156 6.2827 926100 24.472 25.163 88.471 36.684 15.907 375102 61.835
-75 354084 248724 6687 082886 716441 646153 209245 868854 2219 128165
1244 2077 9397 1095 6032 9351 7988 7274
Selisih
Gambar 5. 42 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030
b. Evaluating Correlation
Semua driving factor dilakukan uji korelasi pearson¸hasil pengujian
ditampilkan pada Lampiran 4, kemudian dipilih 7 faktor pendorong yang
memiliki nilai korelasi dibawah 0,8.
Keterangan:
2) Jumlah penduduk
6) Kepadatan penduduk
7) Kemiringan lahan
c. Area Changes
Pada tahap ini, perubahan penutupan lahan hasil pengolahan dapat dilihat
pada Lampiran 11. Pada Lampiran 11 dapat dilihat bahwa penutupan lahan
Bangunan Permukiman Campuran mengalami penambahan terbesar
sebesar 2.227,16 ha dan Bangunan Bukan Permukiman mengalami
penambahan sebesar 445,12 ha. Penutupan lahan yang mengalami
penurunan paling signifikan yaitu penutupan lahan Tanaman berasosiasi
dengan bangunan sebesar 869,29 ha.
Matriks transisi menghasilkan penutupan lahan Bangunan Permukiman
Campuran memiliki peluang paling besar untuk tetap atau tidak
mengalami perubahan penutupan lahan, yaitu sebesar 0,897. Sedangkan
penutupan lahan Semak dan Belukar (0,033) berpeluang besar berubah
menjadi penutupan lahan yang lain seperti Bangunan Permukiman
213
Neighbourhood 3px
Learning rate 0.100
Maximum iterations 100
Hidden Layers 10
Momentum 0.050
Overall Accuracy -0.12238
Min Validation Overall Error 0.11651
Current Validation Kappa 0.14294
f. Validations
Hasil validasi dengan metode kappa disajikan pada Gambar X. Nilai
Kappa dihitung berdasarkan persamaan 1 – 6. Nilai Kappa adalah
kesesuaian antara jumlah kolom dan baris maksimal adalah bernilai 1,00.
0,01%
3 Lt Lahan terbuka diusahakan 2,00% 426,01 1,18% 250,67 0,82% 175,34
-
4 Pk Permukaan diperkeras bukan gedung 1,31% 280,08 1,51% 321,01 -40,93
0,19%
5 Pc Bangunan permukiman/campuran 68,38% 14.574,20 67,54% 14.394,15 0,84% 180,04
-
6 Bp Bangunan bukan-permukiman 4,43% 944,84 5,38% 1.146,26 -201,42
0,95%
-
7 Sb Semak dan belukar 0,71% 151,20 0,79% 168,19 -16,99
0,08%
-
8 Tk Tanaman semusim lahan kering 6,10% 1.299,24 6,79% 1.447,72 -148,48
0,70%
9 Tb Tanaman semusim lahan basah (sawah) 1,88% 400,48 1,24% 264,06 0,64% 136,42
-
10 Ta Tanaman berasosiasi dengan bangunan 14,56% 3.103,74 14,91% 3.177,68 -73,94
0,35%
100,00
Total 21.312,32 100,00% 21.312,32 0,00% 0,00
%
*CA ANN, 7 spatial variable (beda variable) iterasi 3
15,000
13,000
11,000
9,000
7,000
5,000
3,000
Luas (Ha)
1,000
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Penu- 57.015 85.5675 250.6725 321.0075 14394.15 1146.262 168.1875 1447.717 264.06 3177.675
tupan 5 5
La-
han
2022
CA 48.21749 84.30749 426.015 280.0799 14574.19 944.8425 151.2 1299.24 400.4774 3103.739
ANN 9999999 9999999 9999999 5 9999999 9999999
2030 9 8 8 8 8
225
175
125
75
25
Luas (Ha)
-25 Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Seli
-75 - - 175.34 - 180.04 -201.42 - - 136.41 -
sih 8.7975 1.2600 249999 40.927 499999 16.987 148.47 749999 73.935
-125 000000 000000 9999 500000 9996 500000 75 9998 000000
0006 0016 0015 0001 02
-175
-225
Selisih
Gambar 5. 45 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030
Kstandard : 0.9071
Kno : 0.9351
Klocation : 0.9532
KlocationStrat : 0.9532
216
Hasil validasi antara penutupan lahan hasil prediksi tahun 2022 terhadap
pentupan lahan hasil interpretasi tahun 2022 menunjukkan nilai kappa
(Kstandard) 0,9. Hal ini berarti antara hasil skenario dengan penutupan lahan
sebenarnya memiliki kesesuaian yang sangat baik dalam hal penyebaran luasan
maupun spasialnya hingga 90%. Dengan demikian, penggunaan lahan pada tahun
2014 dan tahun 2022 dapat digunakan untuk memproyeksikan penggunaan lahan
tahun 2030.
Proyeksi dari tahun 2016 ke tahun 2036 didasarkan pada keadaan
penutupan/penggunaan lahan tahun 2016 dalam trasition probabilities yang
dihasilkan dari proses markov antara tahun 1996 dan tahun 2016. Nilai transition
probabilities dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 5. 38 Matriks transitional/probability area tahun 2030
Penutupan Penutupan Lahan 2022
Lahan
2014 Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
lahan tahun 2030 dengan input data peta penutupan lahan tahun 2014 dan tahun
2022 dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.
Hasil dari prediksi penggunaan lahan pada tahun 2030 kemudian di
tumpang susunkan (overlay) dengan penggunaan lahan pada tahun 2022 untuk
melihat seberapa besar tingkat perubahan yang terjadi sebagaimana diperlihatkan
pada Tabel berikut.
Tabel 5. 39 Perbandingan Luas Penutupan Lahan tahun 2022 dan 2030
Penutupan Lahan
CA Markov 2030 Selisih
2022
No Kode Kelas Penutupan Lahan
% Ha % Ha % Ha
Permukaan diperkeras
4 Pk 1,35% 287,27 1,51% 321,01 -0,16% -33,74
bukan gedung
Bangunan
5 Pc 73,08% 15.574,06 67,54% 14.394,15 5,54% 1.179,91
permukiman/campuran
Bangunan bukan-
6 Bp 6,84% 1.458,52 5,38% 1.146,26 1,47% 312,26
permukiman
Tanaman berasosiasi
10 Ta 12,33% 2.626,85 14,91% 3.177,68 -2,58% -550,83
dengan bangunan
Pada Tabel 6 dapat dilihat hasil prediksi penggunaan lahan pada tahun
2030 menunjukkan perubahan yang cukup pesat dibandingkan dengan
penggunaan lahan 2022. Prediksi penutupan lahan yang mengalami penurunan
luasan yang cukup signifikan ialah tanaman berasosiasi dengan bangunan,
sedangkan penggunaan lahan yang mengalami peningkatan yang ialah Bangunan
permukiman/campuran dan Bangunan bukan-permukiman. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa dari proyeksi ke depan akan tanaman berasosiasi dengan
bangunan yang dialihfungsikan menjadi tanaman berasosiasi dengan bangunan.
Perlu dilakukan manajemen lahan dengan baik untuk mengatur jenis penggunaan
lahan tertentu agar dapat menekan terjadinya penurunan kualitas lahan.
218
1,250
750
Luas (Ha)
250
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
-250
Seli - - - - 1179.9 312.25 - - - -
sih 23.224 24.172 111.93 33.740 052325 638335 83.350 502.49 162.41 550.82
138177 518699 199077 180021 7471 1103 389526 575601 744759 919511
-750 8261 925 407 7453 353 955 4819 1524
Selisih
Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi
hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 0.3677 0.5603 4.7872 1.5848 56.2193 3.1162 3.6382 6.2319 4.4961 18.9984
2018 0.2606 0.4025 1.9613 1.4491 66.6692 5.2048 0.6955 6.4181 2.0207 14.9183
2022 0.2675 0.4015 1.1762 1.5062 67.5391 5.3784 0.7892 6.7929 1.239 14.91
Statistik kepadatan patch (PD) dan jumlah patch (NP) menunjukan kelas
dalam lanskap menjadi lebih terfragmentasi, terutama pada kelas tanaman
berasosiasi dengan bangunan dengan nilai kepadatan 22.98, 29.66, 29.76 dan
jumlah patch 4898, 6322, 6342 untuk tahun 2014,2018 dan 2022. Kelas
terfragmentasi kedua adalah bangunan bukan permukiman campuran dengan nilai
221
kepadatan 9.35, 11.00 dan 11.20. nilai NP dan PD cenderung bertambah ketika
terjadi fragmentasi namun, ada beberapa kelas tertentu memilik nilai NP yang
bertambah akan tetapi kepadatannya (PD) menurun tidak dikategorikan sebagai
kelas terfragmentasi dikarenakan NP adalah jumlah patch dari jenis patch yang
sesuai untuk suatu bentukan sedangkan PD adalah jumlah patch terhadap patch
yang sesuai dibagi dengan luas lanskap total.
NP ( Number of Patch)
6500
5500
4500
3500
2500
1500
Total Patch Area
500
Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi
hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 146 460 3684 555 2316 1993 2064 2369 1331 4898
2018 66 109 656 379 1302 2344 322 2314 85 6322
2022 64 105 628 398 1311 2386 206 2246 74 6342
3
Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi
hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 0.6851 2.1584 17.2861 2.6042 10.8671 9.3516 9.6847 11.1158 6.2453 22.9824
2018 0.3097 0.5115 3.0781 1.7783 6.1092 10.9985 1.5109 10.8578 0.3988 29.6641
2022 0.3003 0.4927 2.9467 1.8675 6.1514 11.1954 0.9666 10.5385 0.3472 29.7574
Largest patch index (LPI) presentase dengan nilai tertinggi diamati pada
kelas bangunan permukiman campuran dan nilai terendah terdapat pada kelas
222
Danau atau telaga alami. Untuk bangunan permukiman / campuran memiliki nilai
presentase index 17.57%, 22.31%, 22.57% untuk tahun 2014,2018 dan 2022.
Artinya nilai indeks terbesar terdapat pada tahun 2022 yang mana LPI mendekati
0 ketika patch utama dari tipe patch suatu kelas menjadi semakin kecil. LPI
mendekati 100 ketika seluruh lanskap terdiri dari satu patch dari tipe path suatu
kelas.
18
13
8
Nilai LPI (%)
3
Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi
hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 0.0311 0.1727 0.525 0.8048 17.5662 0.0799 0.0701 0.2143 0.3946 1.3053
2018 0.0332 0.0984 0.3263 0.8945 22.3102 0.1426 0.0797 0.2286 0.2853 0.9834
2022 0.0331 0.0984 0.218 0.8953 22.5658 0.1426 0.113 0.2522 0.2088 0.7957
2018 10.7 24.5645 26.9853 33.0511 73.1855 55.0876 21.3558 61.2935 13.9097 124.3085
2022 10.6634 24.4597 26.1934 33.8703 73.4775 55.7832 18.8497 61.1358 12.1336 124.9388
Berdasarkan nilai LSI patch yang paling tidak beraturan terdapat pada
kelas lanskap tanaman berasosiasi dengan bangunan dengan nilai 109.54, 124.31,
124.94. Kelas lanskap kedua adalah bangunan permukiman / campuran dengan
223
nilai 79.05, 73.19, 73.48 untuk tahun 2014,2018 dan 2022. Sedangkan untuk
bentuk paling beraturan terdapat pada kelas danau dengan nilai 14.46, 10.70,
10.66 untuk tiap titik tahunnya. Dapat disimpulakan rasio garis keliling tertinggi
suatu patch terhadap lanskap cenderung sama pada tiap titik tahunnya. Ketika LSI
mendekati 1 maka bentukan lanskap pada suatu kelas akan cenderung berbentuk
reguler lingkaran ataupun persegi. Sedangkan LSI naik tanpa batas karena bentuk
lanskap menjadi lebih tidak rata dan cenderung lebih berfragmen dan berbentuk
kompleks.
Berkaitan dengan indeks bangunan permukiman / campuran tren NP, PD ,
LSI dan LPI menunjukan perkembangan yang semakin regular. Artinya, pola
spasial kelas bangunan permukiman / campuran mengalami kecenderungan
membentuk pola yang compact dan berbentuk lebih reguler di setiap titik
tahunnya. Itu disebabkan pengembangan pola kelas terbangun mengikuti
perkembangan kawasan area terbangun disektiranya.
yang semakin compact dan sederhana akan tetapi pada periode 2018-2022
berbeda karena nilai indeks meningkat yang menggambarkan bahwa pola
bentukan patch cenderung semakin tidak beraturan dan berbelit belit.
Pada Nearest neighbor metrics menjelaskan nilai MNN pada 2014-2030 terus
meningkat, di mana kedekatan patch dalam jenis yang sama lebih lemah dan
cenderung semakain menjauh. Dan distribusinya lebih tersebar. Kecenderungan
variasi indikator jarak antara MPI dan MNN membuat perbedaan yang lebih
besar. MPI pada 2014-2030 terus menurun, menunjukkan bahwa kedekatan antar
patch pada tipe yang sama bertambah dan konektivitas yang lebih baik secara
spasial. hasil MPI lebih dapat diandalkan, jarak antar patch memberikan dampak
yang signifikan pada interferensi. Lebih mudah untuk menghasilkan interferensi
timbal balik dalam jarak dekat, begitu pula sebaliknya
Penurunan tren pada Patch density and size metrics dan Shape Metric
diperkuat oleh Diversity metrics yang menunjukan nilai SHDI mengalami
penurunan menjadi 1.2074 dari 1.4546 menunjukan bahwa penurunan tiap tipe
patch semakin homogennya atau tidak beragamnya suatu pola penggunaan lahan.
Pemerataan bentang alam menunjukkan kontribusi jenis tambalan yang langka
terhadap penguatan informasi yang tidak pasti. ini diperkuat bersamaan dengan
nilai IJI yang mengalami penurunan menjadi 49.8201 dari 65.4053, menunjukan
bahwa distribusi keslurahan pola lansakap cenderung semakin compat.
Contagion and interspersion metrics menjelaskan tingkat pengelompokan
berbagai jenis tambalan atau CONTAG memliki tren dalam lanskap yang
mengalami penurunan selama periode 2014 - 2030, menunjukan bahwa kompetitif
setiap kelas tutupan lahan dalam suatu lanskap menurun, ini juga menunjukkan
bahwa lanskap merupakan pola padat dari beberapa elemen dan tingkat
fragmentasi lanskap menurun. Ada begitu banyak tambalan kecil di lanskap dan
nilai CONTAG lebih rendah dari 100, mencerminkan kemungkinan konektivitas
yang lebih tinggi dan kompetitif yang lebih rendah.Demikian pula, nilai
COHESION mengungkapkan tren meningkat yang serupa, menunjukkan bahwa
patch dalam sistem lanskap menguatkan agregasi dan klaster dalam distribusi
spasial. Kontinuitas nyata lanskap mengalami peningkatan
AWMSI AWMPFD PD
NP MPS LPI
14.00 1.25 60.00
12.40 5 1.23 30.00
25000 4.6174
1.21 1.21 49.24
12.00 4.5 50.00 25.78 25.78 25.78 25.77
19818 1.20 25.00
2000010.00 4
8.97 9.21
3.5 1.08 40.00
20.00 34.54 34.20
1.15 2.8952 2.9244
8.00 13901 13762
15000 3
30.00
6.00 1.39 2.5 15.00
1.10 2.0308 21.66
10000 8716 2 20.00
4.00 10.00
1.5
1.05
50002.00 1 10.00
5.00
0.5
0.00 1.00 0.00
0 2014 2018 2022 2030 0 2014 2018 2022 2030 0.00 2014 2018 2022 2030
2014 2018 2022 2030 2014 2018 2022 2030 2014 2018 2022 2030
AWMSI AWMPFD PD
NP MPS LPI
225
ED IJI
SHDI
140.00 70.00 65.41
127.37 1.60
1.45
120.00 110.65 110.73 60.00
1.40 1.31 1.29 51.01 49.78 49.82
1.21
100.00 1.20 50.00
0.60
40.00 20.00
0.40
20.00 10.00
0.20
0.00 0.00
2014 2018 2022 2030 0.00 2014 2018 2022 2030
2014 2018 2022 2030
ED IJI
SHDI
MPI
1800.00
1600.00 1527.02
1400.00
1200.00
600.00
400.00
200.00
0.00
2014 2018 2022 2030
Series1
Rawa Bendung
Kranji Cikeas
Dukuh Bekasi
Kurtosis 52
(Ck)
Koefisien 0.222313 0.000782
Varian 05
(Cv)
3Cv 0.6669391 0.002345
6
Probabilita Periode
Gumbe Log Log
s Ulang Normal
l Normal Pearson III
(P) (Tahun)
0.5 2 119.74 116.08 117.19 115.75
0.2 5 142.15 147.26 140.51 139.86
0.1 10 153.87 167.90 154.49 155.52
0.05 20 163.53 187.71 167.07 168.32
0.04 25 165.62 193.99 169.93 175.11
0.02 50 173.54 213.34 181.17 189.68
0.01 100 181.66 232.55 193.48 204.22
231
Uji Chi-Kuadrat
Normal Gumbel Log Normal Log Pearson III
X2 Hitung 0.3636 3.0909 0.3636 4.0000
X2 Kritis 5.9900 5.9900 5.9900 5.9900
Kesimpulan Mewakili Mewakili Mewakili Mewakili
Uji Smirnov-Kolmogorof
Normal Gumbel Log Normal Log Pearson III
D Hitung 0.1306 0.1306 0.1255 0.1255
D Kritis 0.3960 0.3960 0.3960 0.3960
Kesimpulan Mewakili Mewakili Mewakili Mewakili
hujan harian maksimum lokasi penelitian. Nilai frekuensi curah hujan harian
maksimum distribusi Log Normal untuk kala ulang dua tahun sebesar 117.19
mm/hari, lima tahun sebesar 140.51 mm/hari, sepuluh tahun sebesar 154.49
mm/hari, dua puluh tahun sebesar 167.07 mm/hari, dua puluh lima tahun sebesar
169.93 mm/hari, lima puluh tahun sebesar 181.17 mm/hari, seratus tahun sebesar
193.48 mm/hari, dua ratus tahun sebesar 204.19 mm/hari, dan seribu tahun
sebesar 261.24 mm/hari. Nilai dari distribusi Log Normal selanjutnya digunakan
dalam perhitungan intensitas curah hujan.
Frekuensi hujan DAS Bekasi bagian hulu yang meliputi sub DAS Cikeas
dan sub DAS Cileungsi menggunakan data dari penelitian sebelumnya. Curah
hujan rancangan di Sub DAS Cikeas (Dharma dkk, 2021) untuk periode ulang 2
tahun sebesar 123.102 mm, 5 tahun sebesar 148.067 mm, 10 tahun sebesar
161.663, 50 tahun sebesar 189.186 mm, dan 100 tahun sebesar 200.258,
sedangkan curah hujan rancangan di Sub DAS Cileungsi (Marko & Zulkarnain,
2018) untuk periode ulang 5 tahun sebesar 143 mm, 10 tahun sebesar 167 mm, 25
tahun sebesar 197 mm, dan 50 tahun sebesar 220 mm. Frekuensi curah hujan
rancangan hulu DAS Bekasi disajikan pada Tabel 5.45.
Tabel 5. 45 Frekuensi curah hujan rancangan Hulu DAS Bekasi
400
350
300
250
200
150
100
50
0
5 10 20 40 60 90 120 150 180 210 240 270 300 360 390 420 450 480 510 540 570 600 630 660 690 720
Menit
(Km2)
Sub-DAS Bekasi 38.63 21.67
Sub-DAS Blencong 14.42 8.82
Sub-DAS Bojong 5.80
26.93
Rangkong
Sub-DAS Buaran 7.83 3.53
Sub-DAS Cakung 44.19 28.52
Sub-DAS Galaxy 9.69 6.17
Sub-DAS Jatikramat 14.68 10.56
Sub-DAS Jatiluhur Baru 16.81 18.69
Sub-DAS Rawalumbu 10.15 7.00
Sub-DAS Sasak Jarang 15.36 10.07
Sub-DAS Siluman 73.72 14.61
Sub-DAS Sunter 69.60 27.21
Sub-DAS Cikeas 104.70 58.85
Sub-DAS Cileungsi 101.44 49.18
236
.
Gambar 5. 50 Basin Model Bekasi Hilir
Pada basin model ini terdapat beberapa parameter model yang di inputkan
sesuai metode yang di pakai pada masing-masing parameternya.
237
Sub-DAS Bojong
67.1 124.5 24.9 32.26
Rangkong
Hidroraf Aliran
Hidrograf aliran diperoleh dengan melakukan simulasi run pada
HECHMS. Data yang digunakan untuk memperoleh hidrograf aliran adalah data
curah hujan jam-jaman untuk periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun,
25 tahun, 50 tahun, 100 tahun, 200 tahun dan 1000 tahun. Hasil simulasi masing-
masing subDAS disekitar kota Bekasi diperlihatkan pada Lampiran 11 sampai
Lampiran 25. Berikut hidrograf aliran masing-masing subDAS untuk setiap
periode ulang yang diperlihatkan pada Gambar 5.53 sampai Gambar 21.
240
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
100.0
80.0
Debit Banjir (m3/detik)
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
50.0
40.0
Debit Banjir (m3/detik)
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
35
30
25
20
15
10
5
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
40
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
120
100
80
60
40
20
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)
e. Boundary condition
Pada pemodelan banjir, bagian hulu dan hilir harus dipastikan
memiliki Boundary condition lines (BC Lines) dimana pada bagian
hulu boundary condition dapat diartikan sebagai kondisi awal mulai
mengalirnya air dan pada bagian hilir diartikan sebagai area
bermuaranya aliran. Pada model ini penempatan BC Lines bagian hulu
berada di dalam (internal) perimeter, pada beberapa sub DAS yang
memiliki banyak hulu anak sungai diletakkan juga BS Lines yang
disesuaikan dengan kejadian genangan banjir tahun sebelumnya.
Sedangkan pada bagian hilir diletakkan tepat di luar (external)
perimeter.
252
Gambar 5. 75 Input data boundary condition lines hulu dengan flow hydrograph
Gambar 5. 76 Input data boundary condition lines hilir dengan normal depth
254
0-1m 1.5 6.0 3.7 7.2 516.8 22.6 4.6 41.2 14.5 71.0 120.3 809.2
1-2m 0.8 5.7 1.9 3.5 213.3 12.0 2.1 22.9 9.4 36.5 47.8 355.8
2-3m 0.9 6.5 1.8 1.8 110.9 8.5 1.6 15.8 8.4 29.6 30.1 216.0
3-4m 1.1 5.0 1.4 1.3 51.9 5.9 1.4 11.8 7.5 21.2 20.2 128.7
>4m 1.7 39.5 1.7 2.9 45.5 11.1 2.7 14.9 8.4 38.5 39.9 206.7
Total 5.9 62.6 10.4 16.7 938.4 60.1 12.4 106.5 48.3 196.7 258.3 1716.4
256
0-1m 0.5 4.1 1.6 7.1 543.7 29.4 3.3 31.4 5.4 62.3 120.3 809.2
1-2m 0.4 2.6 0.7 3.5 225.1 16.7 1.5 18.0 4.3 35.3 47.8 355.8
2-3m 0.5 2.8 0.5 2.3 120.1 12.2 0.9 12.6 3.9 30.0 30.1 216.0
3-4m 0.6 2.6 0.4 2.1 58.1 8.8 0.9 9.1 3.4 22.4 20.2 128.7
>4m 0.7 30.3 1.2 4.1 52.3 15.2 2.2 10.9 3.3 46.7 39.9 206.7
Total 2.7 42.4 4.5 19.1 999.2 82.3 8.7 82.1 20.4 196.7 258.3 1716.4
257
0-1m 1.5 4.1 4.8 8.2 565.9 26.3 4.9 43.1 21.0 77.0 146.2 903.1
1-2m 0.8 5.0 2.2 4.4 242.6 13.9 2.2 25.0 12.7 40.0 61.8 410.5
2-3m 0.9 7.2 1.9 2.6 131.3 9.4 1.6 17.6 9.8 32.6 37.9 252.8
3-4m 1.1 6.3 1.5 1.6 63.3 6.4 1.5 12.4 7.9 24.6 23.7 150.2
>4m 1.8 44.5 2.0 3.5 55.4 12.3 2.9 18.0 9.5 45.9 49.6 245.4
Total 6.1 67.0 12.4 20.4 1058.5 68.2 13.1 116.2 60.9 220.1 319.1 1962.0
258
Tabel 5. 54 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2030
Q10 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2022 (Ha)
0-1m 0.5 2.6 2.3 7.6 596.0 34.1 4.0 33.4 9.6 66.8 146.2 903.1
1-2m 0.4 2.8 0.8 4.2 256.6 19.3 1.7 19.3 6.6 37.1 61.8 410.5
2-3m 0.5 3.4 0.5 2.8 142.2 13.5 1.0 13.8 4.8 32.5 37.9 252.8
3-4m 0.6 3.0 0.4 2.2 70.3 9.7 0.8 9.6 3.7 26.2 23.7 150.2
>4m 0.7 33.0 1.3 5.0 63.7 17.0 2.3 13.0 3.6 56.3 49.6 245.4
Total 2.8 44.7 5.4 21.8 1128.8 93.5 9.8 88.9 28.3 218.9 319.1 1962.0
259
Tabel 19 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
Q50 2022 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2022 (Ha)
0-1m 1.7 1.6 6.0 11.2 692.2 31.6 5.9 49.5 19.3 90.1 254.5 1163.6
1-2m 1.1 1.9 3.0 6.1 308.3 16.7 2.9 28.4 14.9 49.3 103.8 536.4
2-3m 1.3 3.0 2.6 3.7 168.5 11.3 1.6 21.3 12.1 39.1 60.7 325.2
260
3-4m 1.2 3.8 2.0 2.4 82.7 7.5 1.6 14.7 9.7 29.0 39.1 193.6
>4m 1.9 61.1 2.8 4.9 84.4 14.2 3.2 22.8 11.5 68.0 80.6 355.5
Total 7.1 71.5 16.4 28.3 1336.1 81.4 15.2 136.8 67.4 275.5 538.6 2574.3
0-1m 0.8 1.2 2.8 10.0 728.1 40.8 4.3 37.7 7.3 76.2 254.5 1163.6
1-2m 0.4 1.4 1.5 5.6 325.4 22.6 2.5 21.4 7.5 44.3 103.8 536.4
2-3m 0.5 2.3 1.0 3.8 180.3 16.1 1.3 16.4 6.6 36.2 60.7 325.2
3-4m 0.6 2.7 0.7 3.0 90.7 11.3 1.0 11.6 4.7 28.4 39.1 193.6
>4m 0.8 40.6 1.8 6.3 96.7 19.9 2.5 16.9 4.3 84.9 80.6 355.5
Total 3.1 48.2 7.7 28.7 1421.2 110.7 11.7 104.0 30.4 269.9 538.6 2574.3
261
0-1m 1.5 5.9 3.5 7.1 515.4 22.7 4.6 40.8 14.8 70.5 119.9 806.7
1-2m 0.8 6.1 2.0 3.5 213.7 12.2 2.1 22.8 9.6 36.5 47.0 356.2
2-3m 0.9 6.0 1.7 1.9 110.6 8.4 1.6 15.5 8.4 29.4 29.8 214.2
262
3-4m 1.0 4.7 1.4 1.3 51.8 5.7 1.3 11.5 7.5 21.0 19.8 127.1
>4m 1.7 39.4 1.6 2.9 45.9 11.4 2.8 15.1 8.4 38.4 40.2 207.9
Total 6.0 62.2 10.2 16.7 937.3 60.5 12.4 105.7 48.7 195.7 256.6 1712.1
0-1m 0.5 4.0 1.6 7.2 542.0 29.6 3.4 31.3 5.4 61.8 119.9 806.7
1-2m 0.4 2.8 0.7 3.5 225.4 16.9 1.6 18.1 4.3 35.5 47.0 356.2
2-3m 0.5 2.6 0.5 2.4 119.2 12.1 0.9 12.4 3.9 29.9 29.8 214.2
3-4m 0.6 2.5 0.4 2.1 57.7 8.7 0.9 9.0 3.5 22.0 19.8 127.1
>4m 0.7 30.3 1.2 4.1 52.6 15.5 2.2 11.1 3.3 46.6 40.2 207.9
Total 2.7 42.3 4.4 19.2 996.9 82.8 9.0 82.0 20.4 195.8 256.6 1712.1
263
0-1m 1.5 5.1 4.2 8.4 568.9 26.1 4.9 43.0 17.2 77.2 145.6 902.2
1-2m 0.9 4.9 2.1 4.5 242.6 13.7 2.4 24.7 11.1 40.1 61.6 408.6
264
2-3m 0.9 6.7 1.9 2.4 130.7 9.4 1.6 17.8 9.1 32.6 37.8 251.0
3-4m 1.1 5.8 1.5 1.6 63.0 6.3 1.4 12.5 7.8 24.7 23.8 149.4
>4m 1.8 44.1 1.9 3.5 55.7 12.8 3.0 18.0 9.4 45.9 49.5 245.8
Total 6.2 66.6 11.6 20.4 1061.0 68.4 13.3 115.9 54.8 220.5 318.2 1956.9
0-1m 0.5 3.6 1.6 7.8 598.9 34.0 3.5 32.9 7.1 66.8 145.6 902.2
1-2m 0.4 2.6 0.8 4.2 256.2 19.1 1.8 19.1 5.3 37.4 61.6 408.6
2-3m 0.5 2.9 0.6 2.6 141.3 13.5 1.1 13.8 4.4 32.5 37.8 251.0
3-4m 0.6 2.6 0.4 2.3 69.9 9.6 0.9 9.6 3.6 26.2 23.8 149.4
>4m 0.7 32.7 1.3 5.0 63.8 17.6 2.4 13.0 3.6 56.4 49.5 245.8
Total 2.8 44.3 4.7 21.9 1130.1 93.7 9.6 88.4 23.9 219.4 318.2 1956.9
265
Tabel 5. 60 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
Q50 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2030 (Ha)
0-1m 1.7 2.0 6.1 10.6 681.7 31.5 6.0 50.1 19.6 90.0 237.7 1137.0
1-2m 1.3 2.2 3.0 5.9 303.5 16.5 3.0 28.0 15.2 48.5 96.5 523.5
2-3m 1.2 3.3 2.7 3.4 167.6 11.4 1.6 21.3 12.0 38.8 57.3 320.7
266
3-4m 1.2 3.5 1.9 2.2 82.3 7.4 1.6 15.1 9.8 29.1 37.1 191.1
>4m 1.9 60.2 2.3 4.9 83.8 14.9 3.4 23.0 11.6 68.0 78.2 352.1
Total 7.2 71.2 16.0 27.0 1318.8 81.7 15.7 137.4 68.2 274.3 506.8 2524.3
Tabel 5. 61 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
Q50 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2030 (Ha)
0-1m 0.8 1.3 2.9 9.6 717.8 40.8 4.5 38.2 7.3 75.9 237.7 1137.0
1-2m 0.4 1.5 1.4 5.4 320.3 22.4 2.7 21.4 7.6 43.9 96.5 523.5
2-3m 0.5 2.2 1.0 3.5 179.8 16.2 1.4 16.5 6.5 35.9 57.3 320.7
3-4m 0.6 2.6 0.6 2.7 90.5 11.3 1.1 11.8 4.6 28.2 37.1 191.1
>4m 0.8 40.4 1.4 6.3 95.7 20.6 2.7 17.0 4.3 84.8 78.2 352.1
Total 3.1 48.0 7.3 27.5 1404.0 111.3 12.3 104.9 30.3 268.8 506.8 2524.3
267
keadaan ekonomi yang sulit (kemiskinan) pada daerah kota. Kerentanan tertinggi
terhadap sebuah bencana dialami pada permukiman padat dengan penduduk yang
sebagian besarnya merupakan penduduk golongan miskin, misalnya saja
permukiman padat di pinggiran sungai atau daerah pesisir (UN-Habitat, 2003).
kerusakan pada jaringan jalan Kota Bekasi. Jaringan jalan sangat dibtuhkan
untuk mengoptimalkan peran rute evakuasi dalam melayani pengungsi jika
terjadinya bencana alam.
5.5 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Lillesand, T.M., dan kiefer, R.W., 1997, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
SNI 7645-1:2014 tentang Klasifikasi penutupan lahan – Bagian 1: Skala kecil dan
menengah
Tasha, K. (2012). Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Dengan Pendekatan
Artificial Neural Network (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau).
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Parasdyo, M.M., Susilo, B., 2016. Komparasi Akurasi Model Cellular Automata
Untuk Simulasi Perkembangan Lahan Terbangun Dari Berbagai Variasi
Matriks Probabilitas Transisi Kasus: Bagian Timur Kota Yogyakarta.
Al-sharif, A.A.A., & Pradhan, B., 2013. Monitoring and predicting land use
change in Tripoli Metropolitan City using an integrated Markov chain and
cellular automata models in GIS. Arabian Journal of Geosciences. DOI:
10.1007/s12517-0131119-7
Nouri, J., Gharagozlou, A., Arjmandi, Reza. Faryadi, Shahrzad. Adl, Mahsa.
2014. Predicting Urban Land Use Changes Using a CA–Markov Model. Arab J
Sci Eng. DOI 10.1007/s13369-014-1119-2
274
Susilo, B., 2011. Pemodelan Spasial Probabilistik Integrasi Markov Chain Dan
Cellular Automata Untuk Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Skala Regional
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Mohammadi et al (2013).
Xu, T., Gao, J., Coco, G., 2019. Simulation of urban expansion via integrating
artificial neural network with Markov chain – cellular automata. International
Journal of Geographical Information Science. DOI:
10.1080/13658816.2019.1600701
Mustafa, A., Vam Rompaey, A., Cools, M., Saadi, I., & Teller, J. 2018.
Addressing the determinants of built-up expansion and densification processes
at the regional scale. Urban studies, 55(15), 3279-3298.
DOI:10.1177/0042098017749176.
Tajbakhsh, S.M. Memarian, H. Moradim K. Afshar, A.H. Aghakhani. 2018.
Performance comparison of land change modeling technique for land use
projection of arid watersheds. Global J. Environ. Sci. Manage.,4(3): 263-280,
Summer 2018. DOI: 10.22034/gjesm.2018.03.002
Ridwan, F. Ardiansyah, M., Gandasasmita, K., 2017. Pemodelan Perubahan
Penutup/Penggunaan Lahan Dengan Pendekatan Artificial Neural Network dan
Losgitic Regression (Studi Kasus: DAS Citarum, Jawa Barat).
Baja, S., 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah:
Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Andi Yogyakarta, Yogyakarta.
Deng, J.S., K. Wang, Y. Hong, and J.G. Qi., 2009. Spatio temporal dynamics and
evolution of land use change and landscape pattern in response to rapid
urbanization. Landscape and Urban Planning. 92, 187-198.
Trisasongko et al, 2009 Trisasongko, B.H., D.R. Panuju, L.S. Iman, Harimurti,
A.F. Ramly, V. Anjani, dan H. Subroto., 2009. Analisis Dinamika Konversi
Lahan di Sekitar Jalur Tol Cikampek. Publikasi Teknis DATIN. Kementrian
Negara Lingkungan Hidup, Jakarta
Jensen, J. R., 1996. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing
Prespective. 2nd Edition. New Jersey (US): Prenctice Hall.
Suhartono, D. (2012). Konsep Neural Network. Jakarta: Universitas Bina
Nusantara.
Kubangun, S.H., Oteng, H., dan Komarsa, G., 2016. Model Perubahan
Penutupan/Penggunaan Lahan Untuk Identifikasi Lahan Kritis di Kabupaten
Bogor, Kabupaten Cianjur, Dan Kabupaten Sukabumi. Majalah Ilmiah Globë,
18 (1), 21-32.
Dendoncker, N., Rounsevell, M., & Bogaert, P. (2007). Spatial Analysis and
Modelling of Land Use Distributions in Belgium. Computers, Environment
and Urban Systems, 31(2), 188-205. DOI:
10.1016/j.compenvurbsys.2006.06.004
275
LAMPIRAN
Lampiran 4 Uji korelasi faktor pendorong perubahan penutupan lahan dengan Pearson’s
Correlation
280
LAMPIRAN
Rmax Ri
No Tahun Ri - Rt (Ri - Rt)2
(mm) (mm)
1 2011 85,00 175,25 55,51 3081,45
2 2012 108,63 144,85 25,11 630,35
3 2013 117,91 138,00 18,26 333,61
4 2014 138,00 136,25 16,51 272,61
5 2015 136,25 117,91 -1,83 3,36
6 2016 94,13 113,13 -6,61 43,75
7 2017 144,85 109,25 -10,49 110,02
8 2018 113,13 108,63 -11,11 123,53
9 2019 94,75 94,75 -24,99 624,46
10 2020 175,25 94,13 -25,61 656,09
11 2021 109,25 85,00 -34,74 1206,81
Jumlah ∑ 1317,13 0,00 7086,02
Banyak Data n 11
Rata-rata Rt 119,74
Standar Deviasi SR 26,61958
Periode Curah
Probabilita
Ulang KTr Hujan
s
(Tahun) (mm/hari)
0,00
50 2 119,74
0
0,84
20 5 142,15
2
1,28
10 10 153,87
2
1,64
6 20 163,53
5
1,72
4 25 165,62
4
2,02
2 50 173,54
1
2,32
1 100 181,66
6
2,57
0,5 200 188,31
6
3,71
0,1 1000 218,74
9
288
Rmax Ri
No Tahun Ri - Rt (Ri - Rt)2
(mm) (mm)
1 2011 85,00 175,25 55,51 3081,45
108,6
2 2012 144,85 25,11 630,35
3
117,9
3 2013 138,00 18,26 333,61
1
138,0
4 2014 136,25 16,51 272,61
0
136,2
5 2015 117,91 -1,83 3,36
5
6 2016 94,13 113,13 -6,61 43,75
144,8
7 2017 109,25 -10,49 110,02
5
113,1
8 2018 108,63 -11,11 123,53
3
9 2019 94,75 94,75 -24,99 624,46
175,2
10 2020 94,13 -25,61 656,09
5
109,2
11 2021 85,00 -34,74 1206,81
5
Jumlah ∑ 1317,13 0,00 7086,02
Banyak Data n 11
Rata-rata Rt 119,74
Standar Deviasi SR 26,61958
Periode Curah
Probabilita
Ulang YTr KTr Hujan
s
(Tahun) (mm/hari)
0,36 -
50 2 116,08
7 0,138
1,50
20 5 1,034 147,26
0
2,25
10 10 1,809 167,90
0
2,97
6 20 2,553 187,71
0
3,19
4 25 2,789 193,99
9
3,90
2 50 3,516 213,34
2
4,60
1 100 4,238 232,55
0
0,5 200 5,29 4,957 251,69
289
6
6,90
0,1 1000 6,622 296,02
7
290
Periode Curah
Probabilita Log
Ulang KTr Hujan
s RTr
(Tahun) (mm/hari)
0,00
50 2 2,069 117,19
0
0,84
20 5 2,148 140,51
2
1,28
10 10 2,189 154,49
2
1,64
6 20 2,223 167,07
5
1,72
4 25 2,230 169,93
4
2,02
2 50 2,258 181,17
1
2,32
1 100 2,287 193,48
6
2,57
0,5 200 2,310 204,19
6
3,71
0,1 1000 2,417 261,24
9
291
Lampiran 4 Perhitungan Data Curah Hujan dengan Distribusi Log-Pearson tipe III
Rmax Ri Log Log Log
No Tahun Log Ri
(mm) (mm) (Ri - Rt) (Ri - Rt)2 (Ri - Rt)3
1 2011 85,00 175,25 2,24 0,1748 0,0305 0,0053
2 2012 108,63 144,85 2,16 0,0920 0,0085 0,0008
3 2013 117,91 138,00 2,14 0,0710 0,0050 0,0004
4 2014 138,00 136,25 2,13 0,0654 0,0043 0,0003
5 2015 136,25 117,91 2,07 0,0026 0,0000 0,0000
6 2016 94,13 113,13 2,05 -0,0153 0,0002 0,0000
7 2017 144,85 109,25 2,04 -0,0305 0,0009 0,0000
8 2018 113,13 108,63 2,04 -0,0330 0,0011 0,0000
9 2019 94,75 94,75 1,98 -0,0923 0,0085 -0,0008
10 2020 175,25 94,13 1,97 -0,0952 0,0091 -0,0009
11 2021 109,25 85,00 1,93 -0,1395 0,0195 -0,0027
Jumlah ∑ 1317,13 22,76 0,0000 0,0876 0,0023
Banyak Data n 11
Rata-rata Rt 119,74 2,07
Standar 0,0936086
SR 0,093609 S Log R
Deviasi 3
Koef. Asimetri Cs 0,34601
Periode
Curah Hujan
Probabilitas Ulang KTr Log RTr
(mm/hari)
(Tahun)
50 2 -0,057 2,064 115,75
20 5 0,820 2,146 139,86
10 10 1,313 2,192 155,52
6 20 1,680 2,226 168,32
4 25 1,863 2,243 175,11
2 50 2,234 2,278 189,68
292
Jumlah 11 11 0,36
Mewakili
159,66
1 0,2 5,00 1,49994 1,033836 > 159,667 2,2 1 0,65
7
0,67172 137,62
2 0,4 2,50 0,177891 137,620 - 159,667 2,2 2 0,02
7 0
0,08742 122,06
3 0,6 1,67 -0,42598 122,066 - 137,620 2,2 1 0,65
2 6
107,07
4 0,8 1,25 -0,47588 -1,00815 107,071 - 122,066 2,2 4 1,47
1
Jumlah 11 11 3,09
Mewakili
294
Jumlah 11 11 0,36
Mewakili
140,15
1 0,2 5,00 0,830 > 140,150 2,2 2 0,02
0
119,46
2 0,4 2,50 0,089 119,460 - 140,150 2,2 2 0,02
0
107,10
3 0,6 1,67 -0,417 107,109 - 119,460 2,2 4 1,47
9
Jumlah 11 11 4,00
Mewakili
295
1
138,0
4 2014 136,25 2,13 0,3333 0,6990 0,2269 0,1064
0
136,2
5 2015 117,91 2,07 0,4167 0,0281 0,4689 0,0523
5
6 2016 94,13 113,13 2,05 0,5000 -0,1639 0,5846 0,0846
144,8
7 2017 109,25 2,04 0,5833 -0,3256 0,7088 0,1255
5
113,1
8 2018 108,63 2,04 0,6667 -0,3523 0,6566 0,0101
3
9 2019 94,75 94,75 1,98 0,7500 -0,9863 0,8498 0,0998
175,2
10 2020 94,13 1,97 0,8333 -1,0170 0,8568 0,0235
5
109,2
11 2021 85,00 1,93 0,9167 -1,4901 0,9381 0,0215
5
Jumlah 1317,131
Rata-rata 119,7392 2,07 D hitung 0,13
S Log
Standar Deviasi 26,61958 0,093609 D kritis 0,396
R
Jumlah Data 11 Mewakili
297
1
2