Anda di halaman 1dari 312

1

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Rumusan Masalah 9


Gambar 1. 2 Lingkup pembahasan dan penelitian 12
Gambar 1. 3 Posisi penelitian mitigasi banjir dan resiliensi 15
Gambar 1. 4 Posisi penelitian cooperative game theory dan flood risk
management 16

Gambar 2. 1 Diagram konsep Disaster Resilience of Place 33


Gambar 2. 2 Grafik tingkat kepentingan dan kepastian 35

Gambar 3. 1 Diagram kerangka pemikiran 38


Gambar 3. 2 Ruang lingkup penelitian 39
Gambar 3. 3 Diagram rancangan penelitian 39

Gambar 4. 1 Peta elevasi Kota Bekasi 53


Gambar 4. 2 Peta genangan banjir Kota Bekasi Tahun 2021 54
Gambar 4. 3 Kepadatan bangunan Kota Bekasi 57
Gambar 4. 4 Jumlah penduduk menurut Kecamatan (ribu) Tahun 59
2
Gambar 4. 5 Kepadatan penduduk per km menurut kecamatan Tahun 2020 60
Gambar 4. 6 Statistik kejahatan di Kota Bekasi 61
Gambar 4. 7 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat 62
Gambar 4. 8 Angka IPM dan persentase penduduk miskin Kota Bekasi 63
Gambar 4. 9 Peta jaringan jalan Kota Bekasi 64
Gambar 4. 10 Kondisi fisik jalan 65
Gambar 4. 11 Gambar peta saluran drainase Kota Bekasi 67
Gambar 4. 12 Peta kewenangan pengelolaan wilayah sungai di daerah studi 68
Gambar 4. 13 Peta wilayah sungai Ciliwung-Cisadane 69
Gambar 4. 14 Sungai Cikeas dan bendungan Koja 70
Gambar 4. 15 Sungai Bekasi 70
Gambar 4. 16 Sungai Sunter yang berbatasan dengan DKI Jakarta 71
Gambar 4. 17 Inventarisasi saluran drainase Kota Bekasi 74
Gambar 4. 18 Kolam Retensi. 77
Gambar 4. 19 Diagram pengelolaan air baku Kota Bekasi 80
Gambar 4. 20 Indeks kecukupan fasilitas pembuangan sampah 82
Gambar 4. 21 Rerata sebaran Sampah di Kota Bekasi 83
Gambar 4. 22 Sebaran vegetasi pada lahan peruntukan RTH Tahun 2013-2021 84
Gambar 4. 23 Data kebencanaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota
Bekasi 2020-2022 84
Gambar 4. 24 Sampah memenuhi sungai dan saluran 86
Gambar 4. 25 Causal loop diagram banjir Kota Bekasi 87
Gambar 4. 26 Struktur organisasi komando operasi penanganan darurat bencana93
2

Gambar 4. 27 Peta bencana banjir Kota Bekasi Sumber: Inarisk.bnpb.go.id 95


Gambar 4. 28 Bagan proses bisnis pengendalian banjir eksisting 98
Gambar 4. 29 Diagram Input dan Output 101

Gambar 5. 1 Diagram Alir 112


Gambar 5. 2 Topologi jaringan ANN (Tasha, 2012) 128
Gambar 5. 3 Data Terrain (DEMNAS DAS Bekasi) 139
Gambar 5. 4 Manning value penutupan lahan 2022 140
Gambar 5. 5 Manning value penutupan lahan 2030 140
Gambar 5. 6 ukuran mesh yang digunakan 141
Gambar 5. 7 Perimeter area 141
Gambar 5. 8 Break lines aliran sungai 142
Gambar 5. 9 Boundary condition lines 143
Gambar 5. 10 Input data boundary condition lines hulu dengan flow hydrograph
144
Gambar 5. 11 Input data boundary condition lines hilir dengan normal depth 144
Gambar 5. 12 Unsteady flow analysis 145
Gambar 5. 13 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 5 tahun 146
Gambar 5. 14 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2022 146
Gambar 5. 15 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2030 147
Gambar 5. 16 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 10 tahun 148
Gambar 5. 17 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2022 148
Gambar 5. 18 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2030 149
Gambar 5. 19 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 50 tahun 149
Gambar 5. 20 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2022 150
Gambar 5. 21 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2030 151
Gambar 5. 22 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 5 tahun 151
Gambar 5. 23 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2022 152
Gambar 5. 24 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2030 153
Gambar 5. 25 Gambar 44 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 10 tahun
153
Gambar 5. 26 Gambar 45 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2030
pada Penutupan Lahan 2022 154
Gambar 5. 27 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2030 155
Gambar 5. 28 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 50 tahun 155
Gambar 5. 29 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2022 156
Gambar 5. 30 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2030 157
3

Gambar 5. 31 Gambar 2 Grafik perubahan penutupan lahan 159


Gambar 5. 32 Peta Penutupan Lahan Kota Bekasi tahun 2014 161
Gambar 5. 33 Gambar 4 Peta Penutupan Lahan Kota Bekasi tahun 2018 162
Gambar 5. 34 ambar 5 Peta Penutupan Lahan Kota Bekasi tahun 2022 163
Gambar 5. 35 Grafik prediksi luas penutupan lahan 2022 - 2030 166
Gambar 5. 36 Gambar 8 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030 166
Gambar 5. 37 Nilai Kappa 168
Gambar 5. 38 Grafik prediksi luas penutupan lahan 2022 - 2030 169
Gambar 5. 39 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030 169
Gambar 5. 40 Nilai Kappa 171
Gambar 5. 41 Gambar 13 Grafik prediksi luas penutupan lahan 2022 - 2030 172
Gambar 5. 42 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030 173
Gambar 5. 43 Nilai Kappa 175
Gambar 5. 44 Grafik prediksi luas penutupan lahan 2022 - 2030 176
Gambar 5. 45 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030 176
Gambar 5. 46 Gambar 18 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030 179
Gambar 5. 47 Gambar 19 Peta Prediksi Penutupan Lahan Kota Bekasi tahun 2030
180
Gambar 5. 48 Daerah Aliran Sungai sekitar Kota Bekasi 194
Gambar 5. 49 Kurva IDF Curah Hujan Harian Maksimum 200
Gambar 5. 50 Basin Model Bekasi Hilir 203
Gambar 5. 51 Basin Model Bekasi Hulu 203
Gambar 5. 52 Parameter Model 204
Gambar 5. 53 HSS SubDAS Sunter 207
Gambar 5. 54 Gambar 8 HSS SubDAS Buaran 208
Gambar 5. 55 HSS SubDAS Jatikramat 208
Gambar 5. 56 HSS SubDAS Bojong Rangkong 209
Gambar 5. 57 Gambar 11 HSS SubDAS Cakung 209
Gambar 5. 58 HSS SubDAS Jatiluhur Baru 210
Gambar 5. 59 Gambar 13 HSS SubDAS Blencong 210
Gambar 5. 60 HSS SubDAS Siluman 211
Gambar 5. 61 HSS SubDAS Sasak Jarang 211
Gambar 5. 62 HSS SubDAS Galaxy 212
Gambar 5. 63 HSS SubDAS Rawalumbu 212
Gambar 5. 64 HSS SubDAS Bekasi (tanpa debit dulu) 213
Gambar 5. 65 Gambar 19 HSS SubDAS Cikeas 213
Gambar 5. 66 Gambar 20 HSS SubDAS Cileungsi 214
Gambar 5. 67 HSS SubDAS Bekasi (ditambah debit hulu) 214
Gambar 5. 68 Data Terrain (DEMNAS DAS Bekasi) 215
Gambar 5. 69 Manning value penutupan lahan 2022 216
Gambar 5. 70 Manning value penutupan lahan 2030 216
Gambar 5. 71 ukuran mesh yang digunakan 217
Gambar 5. 72 Perimeter area 217
Gambar 5. 73 Break lines aliran sungai 218
Gambar 5. 74 Boundary condition lines 219
Gambar 5. 75 Input data boundary condition lines hulu dengan flow hydrograph
220
Gambar 5. 76 Input data boundary condition lines hilir dengan normal depth 220
4

Gambar 5. 77 Unsteady flow analysis 221


Gambar 5. 78 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 5 tahun 222
Gambar 5. 79 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2022 222
Gambar 5. 80 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2030 223
Gambar 5. 81 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 10 tahun 224
Gambar 5. 82 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2022 224
Gambar 5. 83 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2030 225
Gambar 5. 84 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 50 tahun 226
Gambar 5. 85 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2022 227
Gambar 5. 86 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2022 pada
Penutupan Lahan 2030 228
Gambar 5. 87 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 5 tahun 228
Gambar 5. 88 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2022 229
Gambar 5. 89 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2030 230
Gambar 5. 90 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 10 tahun 230
Gambar 5. 91 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2022 231
Gambar 5. 92 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2030 232
Gambar 5. 93 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 50 tahun 232
Gambar 5. 94 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2022 233
Gambar 5. 95 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2030 pada
Penutupan Lahan 2030 234

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1 Jenis dan sumber data 44


Tabel 4. 2 Pembagian urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum sub bidang
drainase 49
Tabel 4. 3 Data jalan Kota Bekasi tahun 2020 64
Tabel 4. 4 Daerah Aliran Sungai Kota Bekasi sisi Timur dan Barat Sungai Bekasi
65
Tabel 4. 5 Anak saluran di Kota Bekasi 66
Tabel 4. 6 Data drainase tersier yang berfungsi baik Tahun 2021 74

Tabel 5. 1 Matriks metode penelitian 112


Tabel 5. 2 Niali Kritis Q dan R 114
5

Tabel 5. 3 Niali koefisien pengaliran 121


Tabel 5. 4 Elemen hidrologi penyusun model basin 122
Tabel 5. 5 Pemanfaatan data inderaja dan ukuran satuan pemetaan 126
Tabel 5. 6 Deskripsi penutupan lahan SNI 7645-1;2014 126
Tabel 5. 7 Matrix konfusi uji validasi 126
Tabel 5. 8 Luas penutupan lahan dan perubahannya 126
Tabel 5. 9 Ilustrasi matriks transisi probabilitas 126
Tabel 5. 10 Variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap perubahan
penutupan lahan 130
Tabel 5. 11 Kategori tingkat hubungan 134
Tabel 5. 12 Area terdampak genangan Banjir Q05 Penutupan Lahan 2022 147
Tabel 5. 13 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2030
148
Tabel 5. 14 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2022
149
Tabel 5. 15 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2030
150
Tabel 5. 16 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
151
Tabel 5. 17 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
151
Tabel 5. 18 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2022
152
Tabel 5. 19 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2030
153
Tabel 5. 20 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2022
154
Tabel 5. 21 Tabel 24 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan
Lahan 2030 155
Tabel 5. 22 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
156
Tabel 5. 23 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
157
Tabel 5. 24 Tabel 10 Luas penutupan lahan 160
Tabel 5. 25 Perubahan luas penutupan lahan 161
Tabel 5. 26 Tabel 12 Faktor pendorong perubahan tutupan lahan 165
Tabel 5. 27 Tabel 13 Hasil Akurasi Pemodelan 166
Tabel 5. 28 Tabel 14 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030 166
Tabel 5. 29 Tabel 15 Faktor pendorong perubahan tutupan lahan 168
Tabel 5. 30 Hasil akurasi pemodelan 169
Tabel 5. 31 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030 169
Tabel 5. 32 Tabel 18 Faktor pendorong perubahan penutupan lahan 171
Tabel 5. 33 Tabel 19 Hasil akurasi pemodelan 172
Tabel 5. 34 Tabel 20 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030 173
Tabel 5. 35 Hasil akurasi pemodelan 175
Tabel 5. 36 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030 176
Tabel 5. 37 Hasil Tool Validate 178
Tabel 5. 38 Matriks transitional/probability area tahun 2030 178
6

Tabel 5. 39 Perbandingan Luas Penutupan Lahan tahun 2022 dan 2030 179
Tabel 5. 40 Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahun 2010 – 2021 194
Tabel 5. 41 Syarat dan kecocokan jenis distribusi 197
Tabel 5. 42 Rerata Aritmatik 197
Tabel 5. 43 Hasil analisis distribusi frekuensi 198
Tabel 5. 44 Uji Kesesuaian Distribusi 199
Tabel 5. 45 Frekuensi curah hujan rancangan Hulu DAS Bekasi 200
Tabel 5. 46 Distribusi hujan jam-jaman 201
Tabel 5. 47 Curah hujan efektif 202
Tabel 5. 48 Luas subDAS dan panjang sungai utama 202
Tabel 5. 49 Parameter loss model 205
Tabel 5. 50 Parameter Transform Model 206
Tabel 5. 51 Area terdampak genangan Banjir Q05 Penutupan Lahan 2022 223
Tabel 5. 52 Tabel 16 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan
Lahan 2030 224
Tabel 5. 53 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2022
225
Tabel 5. 54 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2030
226
Tabel 5. 55 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
228
Tabel 5. 56 Tabel 21 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan
Lahan 2022 229
Tabel 5. 57 Tabel 22 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan
Lahan 2030 230
Tabel 5. 58 Tabel 23 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan
Lahan 2022 231
Tabel 5. 59 Tabel 24 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan
Lahan 2030 232
Tabel 5. 60 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
233
Tabel 5. 61 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
234
7

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR 1

DAFTAR TABEL 2

DAFTAR ISI 3

I PENDAHULUAN 6

II TINJAUAN PUSTAKA 18
2.1 Konsep Ekologi Lanskap 18
2.2 Perubahan Ekologi Lanskap 19
2.2 Tinjauan Umum Banjir 20
2.2.1 Terminologi Banjir 20
2.2.2 Bahaya, Kerentanan dan Risiko Banjir 20
2.3 Konsep Resilient City 22
2.4 Konsep Mitigasi Banjir 24
2.5 Bench Marking Pengelolaan Banjir Berbagai Negara 25
2.5.1 Pengelolaan Banjir di Tiongkok 25
2.5.2 Pengelolaan Banjir di Belanda 27
2.5.3 Pengelolaan Banjir di Australia 28
2.6 Konsep Hard System Methodology vs Soft System Metodhology 29
2.7 Tinjauan Umum Metode Penunjang Penelitian 30
2.7.1 Causal Loop Diagram 30
2.7.2 Analisis spasial 31
2.7.3 Hydrological Analysis: HEC 32
2.7.4 Multi criteria analysis - DEA 33
2.7.5 Interpretive Structural Modelling (ISM) 34
2.7.6 Strategic Asumption Surfacing and Testing (SAST) 35
2.7.7 Cooperative Game Theory 36
2.7.8 Decision Support System- AHP- ANP 37

III METODE PENELITIAN 39


3.1 Kerangka Pemikiran 39
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 40
3.3 Ruang Lingkup Penelitian 40
3.4 Rancangan Penelitian 41
3.5 Prosedur Kerja 41
3.5.1 Analisis Sistem Pengendalian Banjir 41
3.5.2 Analisis Risiko Banjir 41
3.5.3 Assesment Resiliensi Kota Bekasi 42
3.5.4 Model Mitigasi Banjir 42

IV ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN BANJIR EKSISTING 44


4.1 Pendahuluan 44
4.2 Metode penelitian 44
4.3 Jenis dan teknik pengumpulan data 44
8

4.4 Gambaran umum kondisi eksisting wilayah studi 45


4.4.1 Kajian kebijakan pengendalian banjir 45
4.4.2 Kondisi fisik lingkungan 52
4.4.3 Kondisi sosial budaya 59
4.4.4 Kondisi infrastruktur perkotaan 64
4.5 Sistem pengendalian banjir eksisting 85
4.5.1 Kejadian banjir Kota Bekasi 85
4.5.2 Tata kelola banjir eksisting 89
4.6 Analisis dan pembahasan 95
4.7 Kesimpulan 105

BAB V ANALISIS RISIKO BANJIR 107


5.1 Pendahuluan 107
5.2 Metode Penelitian 108
5.2.1 Tempat dan waktu penelitian 108
5.2.2 Bahan dan alat 108
5.2.3 Teknik pengumpulan data dan analisis 109
5.2.3.1 Perhitungan hujan wilayah/kawasan 111
5.2.3.2 Pemodelan hidrologi menggunakan HEC-HMS 118
5.2.3.3 Pemodelan hidrolika menggunakan HEC-RAS 2D 122
5.3 Analisis Spasial 123
5.3.1 Analisis perubahan penutupan lahan 123
5.3.2 Analisis perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap 123
5.3.3 Analisis faktor pendorong perubahan penutupan lahan 123
5.3.4 Model Prediksi Penutupan Lahan 2030 123
5.3.5 Analisis pola spasial Lanskap 131
5.3.6 Sebaran genangan banjir 137
5.3.6.3 Pemodelan Hidrolika menggunakan HEC-RAS 2D 137
5.4 Analisis dan pembahasan 156
5.4.1 Perubahan Penutupan Lahan di Kota Bekasi 156
5.4.2 Model Prediksi Penutupan Lahan Pada Tahun 2030 162
5.4.2.1 Cellular Automata - Artificial Neural Network menggunakan QGIS Plugin
MOLUSCE 162
5.4.2.2 Cellular Automata - Markov menggunakan software Idrisi Selva 174
5.4.3 Analisis pola spasial Lanskap 179
5.4.3.1 Analisis Pola Spasial Patch Metric 179
5.4.3.2 Analisis Pola Spasial Landscape Metric 182
5.4.4 Perhitungan Hujan Wilayah/Kawasan 191
5.4.4.1 Analisis Data Hujan 193
5.4.4.2 Penentuan Hujan Kawasan 194
5.4.4.3 Analisis Distribusi Frekuensi 195
5.4.4.4 Uji Kesesuaian Distribusi 196
5.4.4.5 Intensitas Curah Hujan 197
5.4.4.6 Distribusi Hujan Jam-jaman 198
5.4.4.7 Curah Hujan Efektif 199
5.4.2 Pemodelan Hidrologi menggunakan HEC-HMS 199
5.4.3 Pemodelan Hidrolika menggunakan HEC-RAS 2D 213
5.5 Kesimpulan 238

DAFTAR PUSTAKA 238

LAMPIRAN 241

LAMPIRAN 251
9

I PENDAHULUAN

Kota Bekasi adalah salah satu kota terbesar di Jawa Barat dengan jumlah
penduduk mencapai 3.08 juta jiwa pada tahun 2020 (BPS Kota Bekasi 2020) dan
akan terus bertambah dengan laju pertumbuhan 2.7% per tahun. Kota Bekasi
masuk dalam kategori kota metropolitan (Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) karena memiliki jumlah
penduduk di atas 1 juta jiwa. Fakta ini disebabkan oleh letak geografisnya yang
berbatasan dengan Jakarta, menjadi lintasan menuju ibukota negara dan ibukota
provinsi; kemudahan akses karena fasilitas public transport yang memadai; faktor
sarana kesehatan yang memadai; banyaknya pusat kegiatan ekonomi baru yang
dibangun dan lapangan kerja yang terus bertumbuh. Pertumbuhan ekonomi Kota
Bekasi mencapai 5.86% di tahun 2018 (BPS Kota Bekasi 2020). Di sisi lain, lahan
yang terbatas, memicu alih fungsi lahan, dan mendesak ruang terbuka hijau
(RTH) untuk dijadikan permukiman, sehingga luas RTH tinggal 16% luas
wilayah.
Adanya alih fungsi lahan dapat mengakibatkan Ketidakseimbangan
ekosistem menimbulkan fenomena banjir, tanah longsor, wabah penyakit,
kerawanan sosial dan munculnya serangan hewan-hewan liar di permukiman. Hal
ini dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang
yang kurang memperhatikan fungsi ekologis dan kemampuan daya dukungnya.
Kodoatie (2008) dan Raiter et al. (2018) menyatakan bahwa perubahan tata guna
lahan kota, proliferasi infrastruktur linier merupakan penyebab utama banjir
dibandingkan dengan faktor lainnya.
Sebagai upaya pengendalian, Kota Bekasi mengandalkan pendekatan
teknis struktural (fisik) dengan membuat bangunan pengendali banjir berupa
polder atau tandon di beberapa lokasi permukiman dan normalisasi saluran. Saat
ini Kota Bekasi telah memiliki 37 polder air yang tersebar di beberapa
kecamatan. Selain itu Kota Bekasi juga sudah melakukan pendekatan kebijakan
tata ruang melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2031.
Namun hasil yang diharapkan belum optimal. Terbukti semakin lama, banjir
semakin meluas. Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan
banjir, akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus
mengeluarkan anggaran ekstra untuk kegiatan tanggap darurat dan kegiatan
rehabilitasi (Bappeda Kota Bekasi, 2020).
Deskripsi di atas mengindikasikan bahwa Kota Bekasi adalah kota yang
rentan terjadinya bencana banji dan bila tidak dikendalikan dengan kaidah
konservasi lingkungan yang tepat, dapat menjadi kota yang tidak berkelanjutan.
Karena itu diperlukan analisis sistem pengendalian banjir saat ini dan prediksi
risiko banjir yang akan datang untuk mengetahui tingkat resiliensi dan risiko yang
harus dimitigasi. Selain itu, perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota
Bekasi perlu diidentifikasi dan diprediksi karena akan menentukan tindakan
10

mitigasi yang paling tepat. Penelitian ini perlu dilakukan untuk menyediakan
alternatif model mitigasi banjir agar tercipta Kota Bekasi yang resilient (lenting-
tangguh).

1.1 Latar Belakang


Pada pertengahan Februari tahun 2021, menurut keterangan Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bekasi, banjir terjadi di 94 titik yang
tersebar pada 12 Kecamatan. Banjir terparah terjadi di Perumahan Bumi Nasio
Indah, dengan kedalaman hingga 2,5 meter. Sedangkan pada awal tahun 2020
lalu, titik banjir di Kota Bekasi mencapai 58 titik dengan luas sekitar 15.37 ha
atau 73% wilayah kota dengan kedalaman 1-4 meter. Melihat sejarahnya, semakin
lama banjir semakin luas dan semakin tinggi (dalam). Pada tahun 2005 luas
genangan berkisar 4-16 ha, kemudian tahun 2006 luas genangan meningkat
mencapai 4-20 ha, berikutnya pada tahun 2007 luas genangan telah mencapai 450
ha. Kerugian tidak hanya menyangkut materi, tetapi juga banyaknya korban jiwa
(BNPB 2021). Dana yang dikeluarkan untuk penanggulangan banjir tahun 2020
mencapai 74 M bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan 6.7 M dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebagai upaya pengendalian, Kota Bekasi mengandalkan pendekatan teknis
struktural (fisik) dengan membuat bangunan pengendali banjir berupa polder atau
tandon di beberapa lokasi permukiman dan normalisasi saluran. Saat ini Kota
Bekasi telah memiliki 37 polder air yang tersebar di beberapa kecamatan. Selain
itu Kota Bekasi juga sudah melakukan pendekatan kebijakan tata ruang melalui
penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2031. Hal yang patut
menjadi pertanyaan adalah, mengapa banjir masih terjadi, padahal upaya yang
telah dilakukan tidak sedikit. Karena itu, diperlukan gambar besar sistem
pengendalian banjir yang ada di Kota Bekasi saat ini. Hasilnya berupa peta proses
bisnis yang berguna sebagai alat analisis. Dengan demikian diharapkan
manajemen pengendalian banjir dapat dievaluasi, diperbaiki dan ditingkatkan
performanya.
Problem perkotaan Bekasi sangat komplek, karena pertumbuhan kota yang
sangat dinamis. Dari sisi sosial-demografi, Kota Bekasi merupakan bagian dari
megapolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) dan menjadi
kota dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di Indonesia. Saat ini Kota
Bekasi berkembang menjadi tempat tinggal kaum urban dan sentra industri.
Berdasarkan data BPS Kota Bekasi (2020), laju pertumbuhan penduduk sekarang
mencapai 2.7%/tahun, jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk nasional
yang hanya 1.47% /tahun. Sementara luas kota Bekasi hanya 210,49 km 2, maka
pada tahun 2020 kepadatan penduduk mencapai 12.081 jiwa/km2.
Dari sisi ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi cenderung
meningkat dalam lima tahun terakhir sampai menyentuh 5.86%. Sedangkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 81.5 (BPS Kota Bekasi 2020).
Tapi capaian tersebut seolah menjadi tidak berarti karena hilangnya waktu karena
kemacetan, peningkatan kebutuhan pemeliharaan sarana perkotaan dan biaya
keamanan akibat angka kriminalitas yang tinggi serta masalah kerusakan
lingkungan. Kegiatan perekonomiannya yang tinggi, tentunya membutuhkan
ruang dan lahan, padahal lahan sangat terbatas. Akibatnya ruang terbuka hijau dan
ruang terbuka biru semakin terdesak oleh permukiman. Badan sungai menyempit
11

karena sedimentasi dan okupasi permukiman. Luas permukiman saat ini sudah
mencapai 53.78% dari luas wilayah Kota Bekasi yang mayoritas merupakan
dataran banjir. Luas ruang terbuka hijau tinggal 16% luas wilayah Kota Bekasi.
Secara geografis, Kota Bekasi terletak di hilir Sungai Cikeas, DAS Cakung,
DAS Sunter, DAS Bekasi, pada elevasi 11-81 mdpl dengan topografi landai.
Kondisi ini menyebabkan Kota Bekasi menjadi rawan bahaya banjir. Terutama
bila kondisi cuaca ekstrem. Beberapa situs alam mengindikasikan Kota Bekasi
dari dulu merupakan daerah rawan banjir. Sebagai contoh adanya sungai-sungai
kecil yang berdiri sendiri (sejajar dengan sungai-sungai besar), Kali Mati (sungai
mati) dan Rawa Panjang. Kali Mati terbentuk pada aliran sungai yang melingkar
sehingga nyaris mempertemukan hulu dan hilir sungai. Ketika hujan besar di hulu
dan debit air tinggi, terjadilah proses abrasi yang menyebabkan aliran sungai
berubah. Akibatnya aliran sungai tidak berfungsi atau penduduk lokal
menyebutnya Kali Mati. Bukti lainnya adalah adanya rawa panjang dan rawa yang
sangat panjang (sungai buntu). Suatu rawa yang cukup panjang dan melengkung
dan berbeda dengan rawa yang umumnya lebar dan tidak beraturan. Rawa panjang
merupakan suatu bekas arah aliran air yang mengindikasikan pernah terjadi banjir
besar.
Perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap ini perlu ditemukenali,
diidentifikasi dan diprediksi karena setiap tahun banjir semakin luas. Banjir di
tahun 2012 seluas 2.12 ha lalu menjadi 15.37 ha di tahun 2020. Bahkan genangan
banjir pada tahun 2007, mencapai luasan 450 hektar (RPJMD Kota Bekasi 2013-
2018).
Secara regional dan nasional, pada umumnya banjir ditanggulangi melalui
kebijakan-kebijakan yang masih sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa
melibatkan masyarakat. Hal ini tentunya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi
stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana. Akibatnya kebijakan
yang ditetapkan tidak efektif dan tidak efisien.1 Kota Bekasi mengalaminya ketika
kegiatan Pemerintah Pusat dalam penanganan banjir relatif diarahkan untuk solusi
dengan hard material seperti normalisasi sungai, pembangunan polder,
pembangunan tanggul atau meninggikan tanggul, perkuatan tebing, membangun
bendungan/waduk, banjir kanal (floodway). Padahal banjir di beberapa titik di
Kota Bekasi bukan disebabkan oleh meluapnya sungai, tetapi lebih disebabkan
oleh buruknya sistem drainase perkotaan (Hendriyana 2018). Kebijakan
penanggulangan banjir yang bersifat fisik, harusnya juga diimbangi dengan
langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan stakeholder lainnya
diberi tempat yang sesuai. Agar penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif,
diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat
perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya 2.
Sistem pengelolaan saat ini perlu menyadari pentingnya mempertimbangkan
partisipasi masyarakat dan langkah-langkah non-struktural untuk menciptakan
masyarakat yang tahan banjir dan mengurangi risiko yang bertambah parah
1
Kertas Kebijakan. Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia. 2008.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi.
https://www.bappenas.go.id/files/5913/4986/1931/2kebijakan-penanggulangan-
banjir-di-indonesia__20081123002641__1.pdf
2
_____________
12

(Mohanty et al. 2020). Dalam kaitan ini, peran tata kelola dalam manajemen
risiko banjir menjadi sangat penting. Aspek ini merupakan mata rantai yang
hilang dalam strategi pengelolaan risiko lingkungan perkotaan di Indonesia
(Handayani et al. 2020).
Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan banjir,
akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus merevisi APBD
untuk alokasi ekstra kegiatan tanggap darurat dan kegiatan rehabilitasi (Bappeda
Kota Bekasi, 2020). Mitigasi risiko banjir sangat penting untuk mengurangi
paparan masyarakat rentan terhadap peristiwa banjir dan menyediakan mekanisme
bagi masyarakat untuk membuat rencana, mengurangi kerugian di masa depan dan
pemulihan secara cepat (Nofal dan Van de Lindt 2020).
Banjir adalah risiko yang harus dihadapi Kota Bekasi, tidak mungkin hilang
atau dihindari tetapi risikonya masih bisa diminimalisasi agar tidak menjadi
bencana. Dampak sosial, ekonomi dan lingkungan akibat banjir tidak sedikit. Bila
terus berlanjut tanpa pengendalian, dikhawatirkan keberlanjutan Kota Bekasi
terancam. Untuk itu diperlukan alternatif model mitigasi banjir agar banjir tidak
menjadi bencana, paparan banjir tidak meluas, masyarakat lebih tanggap bencana.
Sehingga diharapkan terwujud Kota Bekasi yang resilient dan berkelanjutan.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah utama di Kota Bekasi yang akan dicermati dalam penelitian ini
adalah bencana banjir. Mengapa bencana banjir menjadi perhatian, karena
dampaknya terhadap ekosistem dan sosial ekonomi luar biasa. Kerugian tidak
hanya menyangkut materi, tetapi juga banyaknya korban jiwa (BNPB 2021). Dana
5 yang dikeluarkan untuk penanggulangan banjir tahun 2020 mencapai 74 M
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 6.7 M dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kerusakan pada ekosistem
dan gangguan terhadap aktivitas sosial ekonomi menyebabkan biaya rehabilitasi
tinggi. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan ketidakberlanjutan kota. Bencana
banjir disebabkan faktor lokasi yang terletak di wilayah bahaya banjir dengan
risiko banjir tinggi serta faktor kondisi resiliensi yang rendah. Pemetaan rumusan
masalah (Gambar 1.1).
13

Gambar 1. 1 Rumusan Masalah


Bahaya banjir Kota Bekasi lebih disebabkan oleh aktivitas DAS dan saluran
yang tidak berfungsi normal akibat kondisi biofisik dan cuaca ekstrim. Banjir
Kota Bekasi bersumber dari aktivitas luapan sungai dari hulu atau aliran drainase
yang tidak tertampung, bukan berasal dari aktivitas air pasang laut. Risiko banjir
tinggi dikarenakan perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap serta
pengendalian banjir yang tidak efektif. Perubahan struktur, fungsi dan dinamika
lanskap terjadi akibat adanya aktivitas antroposentris yang merusak. Aktivitas
manusia telah mendesak ekosistem hingga menimbulkan masalah kemacetan,
kriminalitas, kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan. Lahan yang merupakan
dataran banjir (flood plain) malah dijadikan kawasan permukiman. Selain itu,
lemahnya pengendalian dan pemanfaatan ruang akibat belum memadainya sumber
daya manusia yang kompeten pada instansi pemerintah, menyebabkan aksi-aksi
manusia yang merusak terus terjadi. Timbul pertanyaan, seperti apa perubahan
struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota Bekasi dari tahun ke tahun dan
prediksi risiko bencana banjir ke depannya. Fenomena ini merupakan faktor
penentu bencana banjir selain kondisi biofisik dan cuaca ekstrim. Aspek
pengendalian bencana, struktur, fungsi dan perubahan lanskap merupakan faktor
yang relatif lebih bisa dikendalikan dibandingkan kondisi biofisik dan cuaca.
Sebab itu, menemukenali perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota
Bekasi perlu dilakukan. Dengan demikian, risiko banjir di masa yang akan datang,
dapat diprediksi. Hasil analisis situasi saat ini dan proyeksi risiko yang akan
14

datang, diperlukan sebagai dasar untuk merumuskan model mitigasi bencana


banjir. Upaya pemerintah kota untuk mengendalikan banjir belum terlihat efektif.
Terbukti luas wilayah yang terkena banjir semakin luas meskipun sudah dilakukan
normalisasi saluran dan pembangunan polder. Tahun 2012 luas wilayah terkena
banjir 2.12 ha (Bappeda Kota Bekasi 2013), tahun 2020 menjadi 15.37 ha (BPBD
2020). Hal ini bisa jadi disebabkan oleh fungsi struktur pengendali banjir yang
kurang optimal. Kondisi ini terjadi karena pemeliharaannya yang kurang optimal.
Latar belakangnya karena APBD yang terbatas. Pemerintah daerah dalam hal ini
belum menganggap isu mitigasi banjir sebagai hal yang prioritas. Proses ini
menyebabkan resiliensi kota rendah. Resiliensi yang rendah juga dapat
diakibatkan oleh pelibatan masyarakat yang minim dan koordinasi antar
stakeholder yang lemah. Tata kelola yang belum mapan menjadikan hal tersebut
bisa terjadi. Sampai saat ini, seberapa resilient Kota Bekasi belum diketahui
karena belum pernah dilakukan penilaian. Padahal resiliensi adalah mekanisme
mitigasi dampak bencana (Cutter 2008) pada berbagai skala. Sehingga informasi
tersebut dibutuhkan untuk merumuskan strategi mitigasi yang akurat. Karena itu
perlu dianalisis lebih lanjut seperti apa sistem pengendalian banjir eksisting.
Selanjutnya perlu dimodelkan tindakan perbaikan seperti apa yang diperlukan.
Model diharapkan dapat menjawab pertanyaan bagaimana agar banjir tidak
berkembang menjadi bencana, paparan banjir tidak meluas, serta dampak banjir
terhadap sosial, ekonomi dan lingkungan minimal.
Untuk merumuskan model tersebut, maka perlu dilakukan serangkaian
proses kajian untuk merumuskan model mitigasi bencana banjir agar terwujud
kota yang resilient. Adapun kajian yang akan dilakukan meliputi:
1. Bagaimana sistem pengendalian banjir di Kota Bekasi saat ini;
2. Bagaimana prediksi risiko banjir yang akan datang;
3. Bagaimana resiliensi kotanya;
4. Bagaimana model pengendalian dan mitigasi banjir yang efektif sesuai
kondisi Kota Bekasi.

1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah yang sudah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian
ini memiliki empat tujuan, meliputi:
1. Menganalisis sistem pengendalian banjir eksisting dengan output peta
proses bisnis;
2. Menganalisis risiko banjir dengan output peta risiko banjir Kota
Bekasi;
3. Melakukan penilaian atas resiliensi Kota Bekasi dengan output laporan
hasil penilaian resiliensi;
4. Merumuskan model mitigasi banjir agar kota menjadi resilient dengan
output rekomendasi model mitigasi bencana banjir yang implementatif.
Tujuan pertama sampai dengan tujuan ketiga merupakan tujuan antara,
sedangkan tujuan keempat merupakan tujuan utama.
15

1.4 Manfaat
Manajemen risiko banjir yang lebih integratif dengan menggabungkan
kebijakan dan praktik masih memiliki peluang untuk diteliti (Morrison et al.
2018). Karena itu penelitian ini diharapkan dapat mengisi peluang tersebut dan
berkontribusi bagi pemerintah, pengusaha atau swasta, akademisi dan masyarakat
untuk:
1. Mengubah paradigma pemangku kepentingan terhadap pengelolaan
bencana khususnya banjir, dari reaktif menjadi proaktif;
2. Bahan reformasi manajemen kebencanaan yang dituangkan dalam
dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) yang
disahkan oleh Wali Kota Bekasi;
3. Bahan studi dan evaluasi pengelolaan lanskap kota berbasis mitigasi banjir
yang berkelanjutan bagi Pemerintah Kota Bekasi dan akademisi;
4. Bahan referensi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis
risiko yang efektif bagi Pemerintah Kota Bekasi;
5. Mewujudkan masyarakat Kota Bekasi yang resilient terhadap bencana
banjir dengan indeks minimum di atas 50% (tingkat resiliensi menengah).
16

1.5 Ruang Lingkup


Lingkup penelitian ini adalah merumuskan model mitigasi banjir untuk
mewujudkan kota yang resilient. Batas wilayah penelitian, melingkupi batas
wilayah ekologi DAS Bekasi, DAS Cikeas, DAS Sunter, DAS Cileungsi dan DAS
Cakung dengan wilayah perencanaan meliputi batas administrative Kota Bekasi.
Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU No.
32 tahun 2009), penelitian ini berada di ranah perencanaan. Dari sisi penataan
ruang (UU No.26 tahun 2009), penelitian ini meliputi pengendalian pemanfaatan
ruang.
Sedangkan dalam konteks pengelolaan sumber daya air (UU No. 17 tahun 2019),
penelitian ini berada di ranah pengendalian daya rusak air. Adapun dalam konteks
penanggulangan bencana (UU No. 24 tahun 2007, penelitian ini berada di ranah
mitigasi (Gambar 1.2).
17

Gambar 1. 2 Lingkup pembahasan dan penelitian

1.7 Kebaharuan
Beberapa penelitian tentang banjir dengan lokus Kota Bekasi sudah pernah
dilakukan diantaranya oleh Kadri et al. (2011), Prihartanto dan Ganesha (2019),
Rojali dan Elsari (2020). Penelitian banjir lainnya dengan lokus yang berbeda-
beda telah dilakukan oleh Renald et al. (2016) di Provinsi DKI Jakarta, Rijke
(2014) di Belanda, Lee (2015) di Singapura, Disse et al. (2020) di Eropa dan
Morrison et al. (2018) mengambil lokus di beberapa negara.
Kadri et al. (2011) meneliti upaya yang diperlukan untuk menyusun
rencana penanggulangan banjir dan penurunan risiko banjir Kota Bekasi dengan
pendekatan pengelolaan DAS Bekasi Hulu. Dalam penelitian Kadri et al. (2011)
ditemukan: 1) Komposisi perubahan penggunaan lahan DAS Bekasi Hulu dengan
luasan total sebesar 39.045,0 ha mengalami perubahan yang cepat, dalam kurun
waktu sepuluh tahun (1998-2008) terjadi peningkatan luasan permukiman sebesar
19,3%, tetapi sebaliknya penurunan hutan 5,5%. 2) Banjir yang terjadi pada tahun
18

2005 (545,5 m3 /dt) menunjukkan bahwa kapasitas alir sungai (462 m3 /dt) tidak
lagi mampu mengalirkan aliran sungai. Keterbatasan kapasitas alir disebabkan
karena di sepanjang sisi sungai telah dipenuhi oleh permukiman penduduk
sehingga sungai tidak lagi dapat mengikuti keseimbangan alam untuk menampung
aliran dari hulu dan berubah fungsi menjadi saluran drainase lingkungan. (3)
Simulasi hidrologi menggunakan data biofisik DAS tahun 2008 dengan hujan
yang sama tahun 2005 akan mengalirkan debit sebesar 592,8 m3 /dt. Hasil ini
memberikan indikasi kuat bahwa kecenderungan terjadi banjir semakin tinggi.
Penelitian Kadri et al. (2011) menghasilkan output strategi pengelolaan DAS
terpadu: (a) penataan penggunaan lahan, (b) pengolahan lahan sesuai kaidah
konservasi, dan (c) upaya menampung air di bagian hulu dan sekaligus
meresapkan ke dalam tanah dengan membangun struktur penahan air.
Prihartanto dan Ganesha (2019) menghasilkan temuan tentang perkiraan
waktu kedatangan banjir berdasarkan analisis empirik rekaman data sistem
peringatan dini banjir Kota Bekasi (flood early warning system- FEWS). Tujuan
yang diharapkan dari penelitian Prihartanto dan Ganesha (2019) untuk
menurunkan risiko akibat bencana banjir dengan meningkatkan kesiapsiagaan
masyarakat.
Rojali and Elsari (2020) melakukan studi pemodelan banjir dengan skala
kecil di Perumahan Pondok Gede Permai menggunakan metode numerik analisis
hidrologi Nakayasu dan Gamma 1. Hasil analisis hidrologi dalam penelitian
Rojali dan Elsari (2020) diketahui faktor penyebab terjadinya banjir di DAS
Bekasi Hulu khususnya Kecamatan Jatiasih adalah debit air dari Sungai Cikeas
dan Sungai Cileungsi yang tidak tertampung Sungai Bekasi. Hal tersebut
disebabkan banyaknya tumpukan sampah di sisi dan dasar sungai sehingga
kapasitas sungai berkurang.
Dari ketiga penelitian tentang banjir Kota Bekasi di atas, tidak ada yang
menginformasikan seberapa bahaya, seberapa rentan, bagaimana risiko banjir
beberapa tahun yang akan datang dan seberapa resilient Kota Bekasi menghadapi
banjir. Dalam literatur akademis, konsep resiliensi banjir (flood resilience)
merupakan pendekatan yang relative baru dalam manajemen bahaya lingkungan,
melengkapi manajemen risiko banjir yang impelementasinya sudah lebih dulu
(Disse et al. 2020). Bahkan menurut Morrison et al. (2018), masih ada
kesenjangan penelitian resiliensi yang berkaitan dengan tata kelola untuk
meningkatkan resiliensi terhadap banjir. Karena itu panduan untuk meningkatkan
tata kelola manajemen risiko banjir guna meningkatkan resiliensi terhadap banjir
harus tersedia dari literatur ilmiah.
Penelitian Renald et al. (2016), lebih mengarah pada hubungan kausalitas
antara variabel adaptasi resiliensi kota terhadap banjir dalam rangka keberlanjutan
kota. Model yang dibuat merupakan fungsi dari penataan ruang, mitigasi bencana,
inovasi teknologi, dan adaptasi. Model ini bertujuan mengurangi kerentanan
wilayah/kota dan sebaliknya untuk meningkatkan resiliensi kota dalam rangka
mencapai keberlanjutan Jakarta. Namun tata kelolanya seperti apa, belum ketahui
dan belum diteliti.
Memperhatikan model pengendalian banjir dari negara lain, Rijke (2014)
menemukan tantangan adaptasi terhadap banjir dan kekeringan adalah tata kelola.
Campuran dari pendekatan tata kelola terpusat dan yang terdesentralisasi
diperlukan untuk tata kelola infrastruktur air yang efektif yang beroperasi di
19

berbagai skala. Sedangkan institusi formal perlu dilengkapi dengan institusi


informal. Dalam disertasi Rijke (2014) ini, Fit & purpose framework merupakan
kerangka kerja yang sesuai untuk tujuan analisis pendekatan tata kelola air
perkotaan kontemporer. Dalam rangka mencapai lingkungan yang resilient
khususnya peka terhadap air, model sosio-teknis dan dukungan kelembagaan
diperlukan (Lee 2015). Penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan metode
penilaian tata kelola yang sesuai dengan tujuan, direkomendasikan Rijke (2014).
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan cooperative game theory
untuk merumuskan tata kelola banjir yang melibatkan banyak stakeholder.
Pendekatan ini umumnya digunakan dalam management proyek dan management
rantai pasok untuk optimalisasi keuntungan. Beberapa penelitian menggunakan
pendekatan cooperative game theory dalam rantai pasok industri dilakukan oleh
Asrol (2019), Taleizadeh dan Sherafati (2019) dan Moradi et al. (2018).
Sementara Alvarez et al. (2019) dan Jeong et al. (2018) mengarah pada alokasi
tanggungjawab stakeholder dalam adaptasi perubahan iklim.
Asrol (2019) menggunakan pendekatan cooperative game theory yang
dimodelkan untuk alokasi keuntungan pada rantai pasok industri gula tebu.
Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan ciri sistem rantai pasok yang
saling bekerjasama dalam pencapaian tujuan. Taleizadeh dan Sherafati (2019)
menggunakan pendekatan cooperative game theory pada rantai pasok industri
yang melibatkan tiga eselon: produsen, agen dan pelanggan untuk
mengoptimalkan keuntungan masing-masing eselon. Berikutnya Moradi et al.
(2018) menggunakan pendekatan cooperative game theory dalam studi model
penjadwalan proyek untuk menilai risiko proyek dan dampaknya terhadap
keberlanjutan proyek ketika subkontraktor berkolaborasi di bawah ketidakpastian.
Pendekatan cooperative game theory untuk mencegah risiko luapan sungai
telah dilakukan oleh Alvarez et al. (2019), dengan fokus pada trade off antara
pemerintah atau pemilik lahan agar memanfaatkan lahannya untuk kepentingan
peningkatan kapasitas retensi air. Dalam penelitian disebutkan bahwa masih
dibutuhkan banyak pembuktian untuk efektivitasnya di lokasi yang lain. Jeong et
al. (2018), menggunakan cooperative game theory untuk pembagian alokasi biaya
adaptasi perubahan iklim di antara aktor yang berpartisipasi dalam proyek
pembangunan jalur sungai bawah tanah di Seoul. Namun aktor yang terlibat,
semua berasal dari unsur pemerintah daerah.
Dalam rangka memberikan keyakinan akan kebaharuan dalam penelitian
ini, maka dilakukan meta analisis terhadap penelitian dalam jurnal-jurnal yang
terindeks Scopus, Web of Science dan Google Scholar. Diagram meta analisis
menggunakan software VosViewer diperoleh seperti tertera dalam Gambar 1.3
dan Gambar 1.4. Hasilnya menunjukkan bahwa penelitian “mitigasi banjir” sudah
banyak dilakukan terutama terkait urbanisasi. Namun penelitian yang
menghubungkan “mitigasi banjir” dengan “resiliensi atau flood resilience” masih
relative sedikit dan baru muncul antara tahun 2018-2019. Sementara penelitian
“mitigasi banjir” terkait knowledge, methodology dan implementasi masih sangat
kurang dan baru muncul sekitar tahun 2019. Adapun paper yang menulis tentang
manajemen risiko banjir menggunakan cooperative game juga masih jarang dan
baru muncul sekitar tahun 2018-2019.
20

Gambar 1. 3 Posisi penelitian mitigasi banjir dan resiliensi

Maka, berdasarkan pandangan terhadap beberapa penelitian terdahulu,


cukup dapat simpulkan bahwa penelitian ini berbeda dan memiliki kebaharuan
yaitu:
1. Didapatkannya indeks resiliensi sebuah kota berbasis mitigasi banjir;
2. Pendekatan cooperative game theory yang biasanya digunakan dalam
studi ekonomi untuk manajemen proyek, rantai pasok dan optimalisasi
keuntungan, kali ini digunakan untuk merumuskan model mitigasi
bencana banjir (aspek metode penelitian).
21

Gambar 1. 4 Posisi penelitian cooperative game theory dan flood risk


management
22

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Ekologi Lanskap


Lanskap adalah sebuah area yang heterogen yang terbentuk dari berbagai
ekosistem yang saling berinteraksi. Sedangkan ilmu ekologi lanskap adalah ilmu
dan seni belajar yang mempelajari struktur, fungsi dan perubahan lanskap di
sebuah area yang heterogen, yang berisi ekosistem yg saling berinteraksi serta
hubungan antara pola spasial dan proses ekologis pada banyak skala dan tingkat
organisasi (Prastiyo 2017; Wu 2008).
Ekologi lanskap adalah pendekatan teoritis dan operasional untuk
memahami keterkaitan lanskap dengan banyak jenisnya dari agregat bentang alam
(Forman dan Godron 1986). Ekologi lanskap adalah disiplin ilmu yang bertujuan
memahami proses lingkungan yang mempengaruhi habitat dan spesies di luar
level tapak (Simmonds 2004), memahami hubungan antara pola lanskap dan
proses ekologis; dampak aktivitas manusia dan kekuatan lain yang mendorong
perubahan lanskap, pola hubungan dan prosesnya; prinsip-prinsip yang
dibutuhkan untuk membuat keputusan dalam pengelolaan sumber daya alam
(Lookingbill et al. 2013). Dalam arti luas, ekologi lanskap mewakili bidang studi
dan perspektif atau paradigma ilmiah yang sangat luas, interdisipliner dan
transdisipliner dengan tata ruang sebagai intinya. Namun tidak sekedar pemetaan
karena mengintegrasikan pendekatan biofisik dan analitis dengan perspektif
humanis dan holistik di seluruh ilmu alam dan sosial (Simmonds 2004; Wu 2008).
Kajian ekologi lanskap juga menitikberatkan pembahasan mengenai
struktur, fungsi, dinamika/perubahan pada lanskap (Arifin et al. 2009 dalam
Prastiyo et al. 2017). Struktur lanskap dikaitkan dengan ukuran, bentuk, jenis, dan
konfigurasi ekosistem elemen penyusun lanskap seperti matriks, patch, dan
koridor (Forman dan Godron 1986). Fungsi lanskap mengkaji mengenai aliran
energi, materi, dan spesies diantara komponen ekosistem penyusun lanskap
(Forman dan Godron 1986; Prastiyo et al. 2017). Dinamika/perubahan lanskap
membahas mengenai alterasi struktur dan fungsi lanskap, baik karena gangguan
manusia ataupun karena proses-proses alam sendiri (Forman dan Godron 1986).
Topik penelitian utama dalam ekologi lanskap diantaranya aliran ekologis dalam
mosaik lanskap, penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan, penskalaan,
analisis pola lanskap yang berkaitan dengan proses ekologis, dan konservasi dan
keberlanjutan lanskap (Wu 2008). Berdasarkan riset ekologi lanskap Kim dan
Park (2016), diketahui bahwa pola lanskap mempengaruhi beban puncak
genangan (run off). Ukuran, fragmentasi, dan konektivitas bentang alam
mempengaruhi limpasan puncak. Ukuran matriks lanskap yang lebih besar akan
meningkatkan kapasitas infiltrasi dan tampungan suatu wilayah saat banjir karena
banyaknya pohon, semak, dan rerumputan. Hal ini menjadi dasar yang menarik
untuk mengkaji bagaimana dengan struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota
Bekasi, sehingga dapat mempengaruhi bahaya, kerentanan dan risiko banjir.

2.2 Perubahan Ekologi Lanskap


Globalisasi dan perkembangan teknologi menyebabkan meningkatnya
kebutuhan manusia yang berdampak pada perubahan tata guna lahan dan tutupan
23

lahan (LUCC), khususnya di daerah aliran sungai (Arifasihati dan Kaswanto


2016). Ruang terbuka hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru (RTB) semakin
tedesak oleh permukiman. Padahal RTH dan RTB memiliki jasa lanskap antara
lain: reservoir air, habitat konservasi keanekaragaman hayati, penyerap karbon,
memperbaiki iklim mikro, sebagai media produksi pertanian dan perikanan serta
sarana pariwisata (Arifin et al. 2015). Banyak kota di Indonesia yang justru
dibangun dengan konsep water back city. Konsep kota ini membelakangi laut,
sungai maupun danau dengan lebih menghadapkan wajahnya ke daratan. Hal
tersebut menjadikan wilayah perairan tidak penting, sehingga dijadikan tempat
untuk membuang limbah, kotoran, sampah. Akibatnya endapan sedimentasi tidak
terkontrol (Arifin 2010; Ulfah et al. 2017). Masyarakat bantaran sungai umumnya
menjadikan sungai sebagai suatu tempat pembuangan. Sebagai contoh kasus
Sungai Ciliwung di Jakarta, fenomena ini menyebabkan perubahan ekologi
lanskap, yang dapat meningkatkan risiko banjir (Noviandi et al. 2017).
Asumsinya, demikian pula yang terjadi di Kota Bekasi.
Ruang terbuka hijau dan taman kota di wilayah perkotaan merupakan
salah satu jenis urban green infrastructure. Pada umumnya luasnya saat ini
dibawah luas yang ideal untuk sebuah kota. Keberadaannya semakin berkurang
karena terdesak oleh permukiman maupun penggunaan lain yang dianggap
mampu memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi (Rosyidie 2013).
Akibat dari berkurangnya RTH kota maka tingkat infiltrasi di kawasan tersebut
menurun (Selman 2000; Herlin 2004) sedangkan kecepatan dan debit aliran
permukaannya meningkat. Ketika turun hujan lebat dalam waktu yang lama, maka
sebagian besar air hujan akan mengalir diatas permukaan tanah dengan kecepatan
dan volume yang besar dan selanjutnya terakumulasi menjadi banjir (Fatimah
2012). Semakin luas RTH menerapkan subreservoir air hujan, semakin besar
genangan air (banjir) dapat direduksi di permukiman kota. Apabila seluruh RTH
(30% wilayah kota) digunakan untuk pencegahan banjir preventif, maka genangan
dapat direduksi hingga 48%. Karena itu, semakin kecil RTH kota semakin besar
kecenderungan terjadi genangan air hujan di perkotaan (Sarbidi 2012). Apalagi
secara biofisik, Kota Bekasi merupakan dataran banjir.
Banjir terjadi akibat aktivitas manusia (Few et al. 2004 dalam Umar et al.
2019) atau pembangunan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi
lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang yang kurang memperhatikan
kemampuannya dan melebihi kapasitas daya dukungnya (Tingsanchali 2012).
Pada kondisi dimana ruang terbuka hijau (RTH) diubah menjadi permukiman,
maka aliran air permukaan akan terhambat 98% dan debit puncak sungai akan
mengalami peningkatan sebesar 6 hingga 20 kali (Kodoatie 2008). Hilangnya
ruang terbuka biru dan hijau yang merupakan area penahanan banjir alami
menimbulkan dampak banjir yang semakin parah (Denipitiya dan Udalamaththa
2020). Permasalahan banjir sulit dihilangkan, hanya bisa direduksi agar dampak
yang ditimbulkan dapat diminimalisasi (Suprayogi et al. 2019).
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, aspek lanskap sekitar harus
diperhitungkan untuk mengurangi dampak eksternalitas sumber daya alam
(Guerra et al. 2019). Karena pada dasarnya pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu interaksi antar sistem sosial dan ekosistem yang seimbang
(Haaland dan van den Bosch 2015). Agar Kota Bekasi berkelanjutan maka
24

diperlukan penelitian untuk menemukenali seperti apa dinamika lanskap Kota


Bekasi terutama yang berkaitan dengan faktor penyebab banjir.

2.2 Tinjauan Umum Banjir


2.2.1 Terminologi Banjir
Banjir adalah aliran air di permukaan tanah yang melebihi kapasitas
saluran drainase atau sungai sehingga melimpah keluar serta menimbulkan
genangan atau aliran dalam jumlah di atas batas normal. Selain itu juga
menimbulkan kerugian bagi manusia (Rosyidie 2013; Ouma dan Tateishi 2014;
Suprayogi et al. 2019). Banjir dapat berupa genangan pada lahan yang
biasanya kering seperti pada lahan pertanian, permukiman dan pusat kota.
Menurut terminology kebijakan, banjir secara umum adalah debit aliran sungai,
danau atau laut yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat hujan yang
turun di daerah hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus,
sehingga air limpasan tidak dapat diserap, ditransmisikan atau ditampung
dengan kapasitas evaporasi, infiltrasi normal sehingga air melimpah keluar dan
menggenangi daerah sekitarnya (Peraturan Dirjen RLPS No. 04 tahun 2009;
United Nations International Strategy for Disaster Reduction-UNISDR, 2015).
Banjir dapat disebabkan oleh kondisi iklim (hujan yang intens dan lama),
elevasi lahan, karakter tanah, kemiringan lereng (slope), kepadatan
permukiman atau meluapnya sungai/danau/laut (Wisner et al. 2012; Handayani
et al. 2020).
Berdasarkan data Worldwatch Institute, pada tahun 2012 terjadi 905
bencana alam di seluruh dunia dan 93% di antaranya merupakan bencana yang
berhubungan dengan cuaca. Bencana banjir merupakan risiko iklim terpenting
di banyak negara, memengaruhi rumah tangga, komunitas, bisnis dan
pemerintah secara umum (Surminski dan Mehyar 2020). Data bencana alam
menunjukkan bahwa banjir merupakan bencana paling umum dan menempati
urutan teratas di seluruh dunia (Ikhuoria et al. 2012; Handayani et al. 2020)
karena paling sering dan paling luas dampaknya terhadap kehidupan ekonomi,
bisnis, infrastruktur, pelayanan, serta kesehatan masyarakat. Hal yang sama
juga terjadi di Indonesia khususnya Kota Bekasi.

2.2.2 Bahaya, Kerentanan dan Risiko Banjir


Bahaya dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang mengancam, atau
kemungkinan terjadinya fenomena yang berpotensi merusak dalam periode
waktu dan wilayah tertentu. Bahaya adalah suatu fenomena alam atau bukan
yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta
benda dan kerusakan lingkungan. Ketika peristiwa berbahaya terjadi,
kerusakan tergantung pada elemen yang berisiko. Sugiarto (2009) dalam
Azmeri et al. (2017) mengatakan bahwa bahaya banjir dapat dianalisis
berdasarkan luas genangan dan ketinggian banjir. Menurut Badan
Penanggulangan Bencana Nasional-BNPB (2012), tingkat bahaya banjir
dikelaskan berdasarkan kelas kedalaman air. Kedalaman air < 0,76 m
25

merupakan kelas bahaya rendah, kedalaman air 0,76 – 1,5 m merupakan kelas
bahaya sedang, dan kedalaman air > 1,5 m merupakan kelas bahaya tinggi.
Kerentanan adalah keadaan atau sifat perilaku manusia yang menyebabkan
ketidakmampuan menghadapi ancaman atau bahaya (Suprayogi et al. 2019).
Jadi bencana banjir terjadi karena ada bahaya banjir dan kerentanan ekosistem
(Ozcan dan Musaoglu 2010). Menurut Seniarwan, et al. (2013) kerentanan
dapat dianalisis berdasarkan tingkat keterpaparan (exposure) dan sensitivitas
masyarakat atau infrastruktur.
Selain itu penentuan tingkat kerentanan banjir juga dapat dilakukan
melalui survei terestrial maupun teknik penginderaan jauh. Untuk daerah yang
luas dan memiliki medan yang sulit pemanfaatan survei akan memerlukan
waktu yang lama dan biaya yang mahal (Somantri 2016) karena itu umumnya
faktor kerawanan banjir diindentifikasi melalui peta DEM. Morfologi
permukaan lahan seperti faktor kemiringan lahan, lereng, tutupan lahan, jarak
dengan aliran sungai atau drainase dan topografi terbukti dapat menunjukkan
tingkat kerawanan banjir. Namun menurut Degiorgis et al. (2013), faktor
perbedaan ketinggian lokasi area yang diteliti dan ketinggian titik akhir jalur
yang secara hidrologis menghubungkannya ke aliran terdekat, memiliki kinerja
terbaik untuk pengklasifikasian kerawanan banjir berdasarkan metode
threshold binary classifiers. Kerentanan merupakan salah satu indikator
terbaik untuk menunjukkan keseriusan daerah rawan banjir dan merupakan
elemen sentral dalam penilaian risiko banjir dan evaluasi kerusakan (Huang et
al. 2012).
Wilayah rentan atau rawan banjir adalah wilayah yang potensial terkena
banjir dan menimbulkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau
kehilangan harta benda, diindikasikan dengan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap banjir yaitu topografi, tingkat permeabilitas tanah, kondisi wilayah
aliran sungai, wilayah meander, curah hujan, air laut (Darwanto 2007 dalam
Suprayogi et al. 2019), drainase dan pola penggunaan lahan (Ouma dan
Tateishi 2014). Namun daerah yang memiliki potensi terdampak banjir paling
besar belum tentu daerah tersebut menjadi paling rentan, karena faktor adaptif
penduduk atau ekosistem ternyata bisa menurunkan kerentanan (Chang dan
Huang 2015). Dari perspektif sistem, hubungan sebab-akibat antara
keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif untuk menilai kerentanan
dihubungkan melalui aliran energi dan material antara sistem alam dan sosial
(Huang et al. 2011).
Risiko banjir merupakan akumulasi bahaya banjir, kerentanan banjir dan
paparan banjir (Ozcan dan Musaoglu 2010; Wisner et al. 2012; Arrighi et al.
2013). Elemen yang berisiko adalah populasi, bangunan dan struktur teknik
sipil, kegiatan ekonomi, layanan publik, dan infrastruktur (Barocca et al.
2006). Area dengan intensitas urbanisasi yang tinggi dan memiliki tingkat
kepadatan permukiman yang tinggi akan memiliki risiko terdampak banjir
paling besar (Ozcan dan Musaoglu 2010).
Risiko banjir adalah fenomena spasial (Saefulhakim 2011) yang harus
dimitigasi. Karena pola pengamanan air dan banjir (flood dan stormwater
security pattern) berhubungan dengan proses-proses hidrologis, seperti aliran
permukaan (run off), daerah resapan air (infiltration), dan daerah tangkapan air
hujan (catchment area) maka untuk rencana mitigasi banjir diperlukan data
26

aliran air permukaan, seperti sungai, waduk, situ, dan daerah genangan air pada
waktu hujan. Tujuannya adalah untuk menyusun pola lanskap pengendalian
banjir, yaitu dengan menentukan daerah-daerah yang tidak boleh dibangun
untuk fungsi konservasi dan preservasi agar proses-proses hidrologis tetap
dapat berlangsung (Joga 2010).3
Bencana adalah suatu kondisi yang tidak normal yang terjadi pada
masyarakat hingga menyebabkan kecenderungan kehilangan kehidupan, harta
benda serta sumberdaya, dan masyarakat tidak mampu untuk keluar dari
dampak yang ditimbulkannya. Bencana adalah akumulasi dari adanya bahaya
dan kerentanan yang menyebabkan risiko, ditambahkan adanya pemicu
bencana, maka timbullah bencana (Bakornas PB 2007).

2.3 Konsep Resilient City


Kota yang resilient adalah kota yang mampu menghadapi berbagai jenis
tekanan tanpa menimbulkan kekacauan atau kerusakan permanen pada saat
ditekan. Kota yang resilient dirancang dengan tujuan untuk mengantisipasi,
bertahan, dan pulih dari dampak bencana. Kota akan fleksibel terhadap berbagai
gangguan, dalam hal ini kasus adalah bencana (Godschalk 2003). Konsep kota
resilient merupakan konsep yang memiliki keterkaitan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang dibangun atas tiga
dimensi mitigasi, adaptasi, dan inovasi. Ketiga dimensi tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut: 1. Mitigasi adalah pengurangan risiko relatif terhadap kapasitas
objek, objek itu sendiri sesuai dengan kapasitasnya. 2. Adaptasi adalah
penyesuaian diri terhadap risiko, yang disesuaikan dengan bahaya dan kerentanan
yang ada pada obyek. 3. Inovasi adalah kerangka waktu untuk
mempertimbangkan pelaksanaan kegiatan baru dalam penanganan risiko aktual
yang berada di luar kapasitas yang ada pada objek, seperti menciptakan teknologi
baru untuk mengurangi risiko bencana (Renald et al. 2016)
Resilient City adalah konsep perencanaan kota dimana kota diharapkan
bisa tetap memfungsikan berbagai sistemnya ketika ada gangguan semisal
bencana. Resilience merupakan upaya untuk melindungi kegiatan-kegiatan yang
dirasakan bermanfaat bagi kesejahteraan manusia dan kelestarian ekologi tetapi
terancam oleh tekanan perubahan iklim (Pelling 2011). Resilient City sendiri
diungkapkan dalam The Recilience Alliance (2011), dapat diterjemahkan sebagai
suatu kota yang mampu bertahan dari berbagai jenis ancaman yang berkembang,
baik yang datang dari alam seperti bencana alam hingga yang berkembang akibat
tindakan manusia. Sebuah Resilient City juga mampu menjaga kestabilan kondisi
sosial, ekonomi, dan infrastruktur pasca perubahan tertentu dengan tetap
mempertahankan fungsi, struktur, sistem, dan identitas sebelumnya.
City resilience (ketangguhan kota) adalah kapasitas populasi dan sistem
perkotaan untuk menanggung berbagai bahaya dan tekanan (Romero-Lankao dan
Gnatz 2013). Sedangkan resiliensi perkotaan sebagai sistem perkotaan yang dapat
mempertahankan atau dengan cepat kembali ke fungsi yang diinginkan dalam
menghadapi bencana, beradaptasi dengan perubahan, dan dengan cepat mengubah
sistem yang membatasi kapasitas adaptif saat ini atau yang akan datang. Pada
3
https://www.wwf.or.id/?17461/Infrastruktur-Hijau-Kota
27

prinsipnya resiliensi berfokus pada kemampuan masyarakat untuk menanggapi


bencana dan untuk mencapai tata kelola adaptif (Meerow et al. 2016).
Tujuan membangun kota yang resilient adalah untuk mengurangi paparan,
kerentanan (Chuang et al. 2020) dan bahaya di masa depan (Wamsler et al. 2013)
serta membantu kota pulih dan beroperasi lebih lanjut secara normal sesegera
mungkin setelah bencana serius (Meerow et al. 2016) dengan menetapkan
mekanisme dan struktur yang berfungsi untuk tanggap bencana dan pemulihan
(Wamsler et al. 2013). Kota-kota yang resilient telah mendapat perhatian yang
cukup besar di bidang kebijakan publik dalam upaya untuk mematuhi komitmen
perubahan iklim. Bahkan, kota-kota tersebut adalah kunci untuk tata kelola iklim
penduduk perkotaan sebesar 6,3 miliar orang pada tahun 2050. Literatur
manajemen lingkungan menunjukkan bahwa resiliensi adalah kunci untuk
mengelola sistem yang kompleks dan mengurangi kerentanan akibat
ketidakpastian dan perubahan tak terduga. Namun, manajemen risiko banjir yang
berkembang sebagian besar adalah budaya pertahanan atau resistensi bukan
resiliensi (Morrison et al. 2018).
Pengukuran resiliensi adalah salah satu aspek resiliensi yang paling
penting. Tanpa pengukuran resiliensi, tidak mungkin atau sangat sulit untuk
menentukan bagaimana strategi yang memadai untuk mempersiapkan masyarakat
menghadapi peristiwa banjir. Sama sulitnya untuk menentukan intervensi mana
yang harus dilakukan dan sejauh mana intervensi tersebut akan meningkatkan
resiliensi. Hal ini secara langsung menghambat pengambilan keputusan yang tepat
dan investasi yang akuntabel dalam ukuran resiliensi. Konsensus pada pengukuran
resiliensi relatif lemah. Hal ini mungkin karena sulitnya menstandardisasi
pendekatan terhadap resiliensi yang seringkali sangat terlokalisasi dan sangat
bervariasi (Disse et al. 2020).
Kerangka resiliensi kota atau City Resilience Framework (CRF), mula-
mula dikembangkan oleh Arup dan Rockefeller Foundation, merupakan perangkat
analisis untuk memahami berbagai drivers yang dapat berkontribusi dalam
membangun resiliensi kota. Sebagai contoh Kota Jakarta, menetapkan indikator
berdasarkan dimensi 1) Kesehatan dan kesejahteraan: Kesehatan dan
kesejahteraan dari setiap orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta; 2) Ekonomi
dan kemasyarakatan: Pengorganisasian sosial dan keuangan yang memungkinkan
masyarakat perkotaan untuk hidup damai, dan bertindak secara kolektif; 3)
Infrastruktur dan lingkungan: Suatu keadaan dimana infrastruktur buatan dan
alami dapat memberikan layanan yang penting, melindungi, dan menghubungkan
para penduduk kota; 4) Kepemimpinan dan strategi: Kepemimpinan yang efektif,
pemberdayaan pemangku kepentingan, dan perencanaan terpadu.
Pada tahun 2050, diperkirakan lebih dari setengah umat manusia tinggal di
daerah perkotaan, yang diproyeksikan meningkat menjadi 68%. Urbanisasi yang
cepat di negara-negara berkembang adalah memberikan tekanan besar pada
lingkungan, termasuk persediaan air tawar, perumahan, infrastruktur, dan
pelayanan publik dasar. Demikian pula kemiskinan, kejahatan dan kekerasan,
pengucilan sosial, perkotaan, dan degradasi lingkungan diperburuk oleh urbanisasi
yang cepat, dengan dampak signifikan pada kesehatan masyarakat dan mata
pencaharian (Abubakar dan Aina 2019). SDG 11 bertujuan untuk membuat kota
dan pemukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Gagasan kota inklusif adalah bahwa di mana semua orang, terlepas dari cara
28

ekonomi mereka, jenis kelamin, ras, etnis atau agama, difungsikan dan
diberdayakan untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam peluang sosial, ekonomi,
dan politik yang ditawarkan kota-kota (UN-Habitat 2001). Prinsip untuk
menjadikan kota-kota inklusif adalah keragaman, partisipasi, dan pemerataan
(Angelidou dan Psaltoglou 2017).
Paradigma resiliensi sangat penting mengingat posisi kebanyakan kota-
kota di Indonesia yang tidak terlepas dari berbagai jenis ancaman bencana alam
dan bencana akibat perilaku manusia. Demikian pula dengan Kota Bekasi yang
secara alamiah adalah daerah berbahaya banjir. Letaknya di hilir DAS Cikeas,
DAS Cileungsi, dan DAS Sunter yang berpenduduk padat, membuat Kota Bekasi
menjadi rentan bencana. Jadi, banjir Kota Bekasi tidak bisa dihindari tapi harus
dihadapi dengan kemampuan adaptif masyarakat dan lingkungannya.

2.4 Konsep Mitigasi Banjir


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitigasi adalah tindakan
mengurangi dampak bencana. Menurut Kamus Oxford, mitigasi adalah tindakan
mengurangi keparahan, keseriusan atau penderitaan dari sesuatu. Dalam Kamus
Cambridge, mitigasi adalah tindakan mengurangi tingkatan bahaya, kurang
menyenangkan atau buruknya sesuatu. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun
2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Menurut UU
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kegiatan mitigasi dapat
dilakukan melalui: pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan
meliputi pembangunan infrastruktur dan tata bangunan serta penyelenggaraan
pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
Dalam kasus banjir, relokasi tempat tinggal telah diakui sebagai metode
mitigasi banjir yang substansial dalam banyak penelitian (Cummings et al. 2012;
Hino et al. 2017). Di beberapa negara, seperti AS dan Austria, proyek relokasi
perumahan telah dilakukan di daerah bahaya rawan banjir (Bronen dan Chapin
2013; Thaler et al. 2020). Karena secara historis, manusia menanggapi banjir
tersebut dengan menjauh dari sumber atau dengan menguranginya (Nilsson et al.
2018). Namun pendekatan ini sulit diaplikasikan di Kota Bekasi karena relokasi
membutuhkan biaya yang besar dan memicu konflik.
Dalam praktik di dunia, saat banyak aliran dan sungai mengalami banjir
besar, restorasi ekologi diterapkan karena masyarakat saat ini mulai menerapkan
strategi “hidup dengan banjir”. Ini lebih lanjut melibatkan pemetaan banjir,
prakiraan, dan sistem peringatan (Nilsson et al. 2018). Dalam hal ini, banjir perlu
dimitigasi karena mengganggu kehidupan penduduk kota sehari-hari. Korban dari
banjir perkotaan biasanya tidak besar, tetapi kerusakan struktural properti dan
kerugian ekonomi, dapat sangat tinggi. Hal ini disebabkan kondisi perkotaan yang
berkepadatan penduduk tinggi dan terdapat pusat-pusat kegiatan ekonomi. Untuk
alasan ini, banjir perkotaan selalu menjadi bencana (Mohtar et al. 2020; Salimi
dan Al-Ghamdi 2020).
29

Ada strategi berbeda untuk memitigasi risiko banjir dengan


mengendalikan komponen risiko banjir (bahaya, paparan, dan kerentanan).
Intensitas bahaya banjir itu sendiri dapat dimitigasi dengan membangun sistem
tanggul baru, dam, kolam retensi banjir, atau mengalokasikan sistem pompa di
lokasi kritis, atau bisa kombinasi semuanya. Untuk kerentanan banjir, beberapa
pendekatan pengurangan kerentanan dapat menjadi bagian dari rencana mitigasi
dalam masyarakat (misalnya legalisasi materi atau teknik tertentu untuk
konstruksi) dan lainnya dapat menjadi bagian dari strategi adaptasi untuk
peristiwa banjir berulang (misalnya, meningkatkan komponen sensitif air). Jadi,
strategi mitigasi banjir kadang-kadang dapat tumpang tindih dengan langkah-
langkah adaptasi banjir (Nofal dan Van de Lindt 2020). Adaptasi merupakan hasil
akhir sikap masyarakat yang muncul berdasarkan persepsi dan pengetahuan
mereka terhadap potensi bencana.
Berdasarkan literatur, peneliti tidak hanya harus terus meningkatkan alat
ilmu fisika untuk peramalan dan pemodelan banjir, tetapi juga memajukan alat
ilmu sosial yang membantu proses pengembangan kebijakan manajemen bencana
untuk strategi manajemen risiko terkait air. Hal ini paling baik dicapai melalui
pengembangan kerangka kerja kolaboratif (Morrison et al. 2018). Faktanya,
studi-studi mengenai strategi adaptasi dan resiliensi sosial masih jarang dilakukan
di Indonesia (Prihatin 2018), karena itu penelitian ini berupaya mengisi gap
tersebut.

2.5 Bench Marking Pengelolaan Banjir Berbagai Negara

2.5.1 Pengelolaan Banjir di Tiongkok


Tiongkok adalah salah satu negara di kawasan Asia yang kerap dilanda
bencana. Hingga saat ini bencana yang terjadi di Tiongkok adalah banjir,
gempa bumi, kemudian diikuti oleh badai salju, angin topan dan longsor akibat
pertambangan atau kerusakan lingkungan serta bencana teknologi berupa
polusi udara akibat penggunaan batu bara oleh pembangkit-pembangkit listrik
tenaga uap (Tantri et al. 2014).
Untuk Sungai Kuning, upaya penanggulangan banjir yang dilakukan oleh
Pemerintah Tiongkok sejak 1947 adalah mencanangkan program
penanggulangan banjir serta mencegah aliran sungai berubah arah.
Pengendalian banjir diwujudkan dengan pembangunan bendungan penahan
banjir dan cekungan retensi di luar DAS serta pendirian tanggul buatan yang
melapisinya. Masalahnya, sedimentasi tanah di aliran Sungai Kuning tetap
terjadi dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sedimentasi tanah menaikkan
dasar sungai sekitar 10 meter dan berdampak pada luapan air mencari aliran
baru di sekitarnya. Sementara untuk pengelolaan banjir dari sungai terbesar
Tiongkok, Sungai Yangtze, yaitu dengan cara melakukan kontrol terhadap
banjir melalui pembangunan bendungan Tiga Ngarai. Namun upaya ini juga
masih belum maksimal karena banjir kerap muncul paska di bangunnya
bendungan tersebut. Li Shu dan Brian Finlayson dalam laporan risetnya yang
bertajuk "Flood management on the lower Yellow River: hydrological and
geomorphological perspectives" (1993) menyatakan strategi pengendalian
30

Sungai Kuning yang dibuat pemerintah Cina mungkin tidak dapat berjalan
sesuai harapan untuk jangka panjang. Mereka merekomendasikan agar
pemerintah mengambil pendekatan baru untuk menghadapi bencana besar
berdasarkan pemahaman atas karakteristik Sungai Kuning yang agresif itu.
Beberapa pilihan yang bisa diambil adalah mengubah tanggul di beberapa titik
dan mengevakuasi penduduk di daerah yang punya risiko tinggi terdampak
(Firman 2018).
Pada 1980-an, konsep tindakan struktural dan non-struktural dipraktikkan
di Cina. Langkah-langkah nonstruktural termasuk sistem peringatan banjir,
sistem pendukung keputusan, dan manajemen darurat. Namun, sampai saat ini
belum banyak kemajuan yang dicapai dalam asuransi banjir dan perencanaan
penggunaan lahan. Pada tahun 1990-an, terutama setelah banjir tahun 1998,
Tiongkok telah melakukan penyesuaian strategis dalam pengendalian banjir
dan mitigasi bencana. Tujuan utamanya adalah untuk menerapkan manajemen
banjir secara ilmiah, mengikuti konsep koeksistensi yang harmonis antara
manusia dan alam. Fokus pencegahan bencana banjir telah bergeser dari
pengendalian banjir yang berhasil dan menyeluruh menjadi pengurangan
kerusakan secara efektif.4
Sistem informasi nasional untuk pengendalian banjir dan kekeringan yang
dibangun Tiongkok bertujuan untuk mendukung keputusan yang akurat dan
efektif untuk pengendalian banjir dan bantuan kekeringan. Sistem informasi
nasional terdiri dari lima subsistem: pengumpulan informasi, telekomunikasi,
jaringan komputer, dukungan pengambilan keputusan, dan subsistem radar
cuaca. Saat ini, terdapat 7584 stasiun pengukur yang menyediakan informasi
banjir di seluruh negeri. Diantaranya, terdapat 2611 stasiun hidrologi (termasuk
stasiun reservoir), 3991 stasiun pengukur curah hujan, dan 982 stasiun
ketinggian air. Secara total, ada 3171 stasiun pengukur untuk
menginformasikan kepada pemerintah pusat tentang ketinggian air, di mana
1764 stasiun hidrologi, 745 stasiun curah hujan, dan 662 stasiun ketinggian air.
Komunikasi terhubung melalui telepon, pemancar-penerima, telegraf dan
stasiun transmisi satelit. Sebagian besar dari 3000 stasiun yang melaporkan
informasi banjir ke pemerintah pusat memiliki sistem transmisi ganda,
sehingga menjamin keandalan informasi banjir.
Pada bulan Januari 2006, Dewan Negara Tiongkok mengeluarkan Rencana
Penanggulangan Banjir dan Penanggulangan Kekeringan Nasional. Rencana
tersebut menetapkan empat tanggapan tahap dan menentukan tindakan terkait
untuk setiap tahap. Selama musim banjir 2006–2007, Markas Besar
Pengendalian Banjir dan Bantuan Kekeringan Negara memulai tanggap darurat
untuk topan, banjir lembah Sungai Huai, dan lain-lain. Pengaturan dan
pengendalian banjir, dan evakuasi penduduk telah direncanakan di dalam
daerah banjir dengan cara yang lebih terorganisir dan terstruktur.
Secara umum, prioritas dalam penanganan bencana di Tiongkok
merupakan penggabungan antara pencegahan (preventive action) dan
penanggulangan (curative action) dari suatu peristiwa, artinya bahwa
Pemerintah dan masyarakat disiapkan untuk mencegah bencana dan menolong
korban yang terkena bencana. Dalam mekanisme penanganan bencana,
4
Sucheng, W. 2006. The 4th World Water Forum. (2006 Mar 21); Mexico City, Mexico. [diakses
2021 Jun 20]. http://www.iisd.ca/ymb/worldwater4/
31

Pemerintah Tiongkok menekankan pada aspek penanggulangan masalah-


masalah bencana seperti proses komunikasi dan koordinasi antara masyarakat-
pemerintah, masyarakat-masyarakat, pemerintah pusat-pemerintah daerah,
Lembaga donor, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain (Tantrie et al.
2014). Untuk masalah banjir, pada dasarnya manajemen risiko banjir
menitikberatkan pada dua hal yaitu pembangunan struktural dan non-struktural
dengan menata risiko, bahaya, dan kerentanan dari banjir. Langkah struktural
misalnya berusaha meminimalisir bahaya banjir dengan membangun proyek-
proyek fisik pencegah banjir. Sedangkan langkah non-struktural lebih pada
mengurangi bahaya banjir melalui ramalan cuaca dan peringatan banjir.
Berdasarkan kajian Tantri et al. (2014), dalam aspek kelembagaan
pemerintahan Tiongkok memiliki keuntungan karena bentuknya yang
sentralistik, yaitu kemampuan membangun (koordinasi) kekuatan nasional di
dalam lingkungan lembaga/departemen, termasuk di dalamnya koodinasi
dengan pemerintah daerah, organisasi masyarakat dan lain-lain, yang
merupakan kekuatan inti (penting) dalam hal tanggap darurat bencana banjir.
Bentuk ‘perkawinan’ antara Partai Komunias Cina (PKC) dengan kelompok
teknokrat, menyebabkan dominasi baik dalam kebijakan banjir maupun dalam
penerapan pananganan banjir. Pemerintah Tiongkok memberikan kuasa kepada
insinyur insinyur untuk membuat desain rancangan. Pemimpin politik di
tingkat Provinsi-Provinsi harus menyetujui program pembangunan bendungan
tanpa mengetahui apakah sasaran pembangunan itu tepat sasaran dan dapat
berjalan dengan baik.

2.5.2 Pengelolaan Banjir di Belanda


Berdasarkan warta Kompas5 (30/11/2020) yang mengutip Earth Magazine,
15 Oktober 2018, Belanda adalah negara yang terletak di dataran rendah delta,
yang dibentuk oleh aliran tiga sungai utama: Rhine, Meuse dan Scheldt.
Sepertiga wilayah Belanda berada di bawah permukaan laut, dan dua
pertiganya rentan terhadap banjir. Belanda banyak menggunakan bangunan
pengendali banjir untuk mengatasi banjir, diantaranya pembangunan kincir
angin untuk memompa air keluar dari rawa, membuat 3000 polder atau petak
lahan kering yang dikelilingi tanggul.
Sistem Polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan bangunan fisik,
yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul yang mengelilingi
kawasan, serta pompa dan/pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air
tak terpisahkan (Pusair 2007 dalam Wahyudi 2010). Pembangunan sistem
polder tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan perlu
direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu, disesuaikan dengan rencana tata
ruang wilayah dan tata air secara makro. Kombinasi kapasitas pompa dan
kolam retensi harus mampu mengendalikan muka air pada suatu kawasan
polder dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sistem drainase secara
makro. Kelengkapan sarana fisik untuk sistem polder antara lain: tanggul untuk
5
Rizal, JG. 2020 Nov 30. Melihat Cara Belanda Mengatasi Banjir. Kompas.com.Home/trend.
[diakses 2021 Jun 20]. https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/30/090500365/melihat-cara-
belanda-mengatasi-banjir-?page=all.
32

isolasi dengan air laut, saluran air, kolam retensi (tampungan) dan pompa
(Rosdianti 2009 dalam Wahyudi 2010).
Selain itu, Belanda membangun Delta Works sebagai sistem pengendalian
banjir raksasa yang terdiri dari sembilan bendungan dan empat penghalang
badai yang menutup muara sehingga mengurangi garis pantai 700 km. Namun
mulai tahun 2006 Belanda mulai menerapkan gagasan untuk menyingkirkan
tanggul dan penghalang banjir, sebagai gantinya saluran banjir dan dataran
banjir volumenya ditambah (memperluas dan memperdalam).
Khusus untuk kota Rotterdam (kota terbesar kedua di Belanda setelah
Amsterdam) yang memiliki elevasi jauh ada di bawah muka air laut (Sungai
Rhine). Muka air Sungai Rhine dikendalikan +2,2 SWL (Sea Water Level).
Sedangkan elevasi darat terendah mencapai -7 m SWL, sehingga selisih muka
air laut dan darat 9,2 m. Air yang ada dalam polder area tidak dapat mengalir
secara gravitasi, bahkan pada saat kondisi air laut surut. Untuk itu metode
pembuangan air digunakan pompa (Wahyudi, 2010). Pada masa lalu metode
untuk membuang air dari darat ke sungai/laut menggunakan kincir angin
(Helmer et al. 2009 dalam Wahyudi 2010).
Sesuai dengan kajian Wahyudi (2010), kelembagaan pengelolaan air di
Belanda memiliki kedudukan yang tinggi. Badan pengelola air (water board)
memiliki kedudukan yang setara dengan municipality (walikota). Badan
Pengelola Air sudah ada sejak abad 13 dan dikenal organisasi demokratis tertua
di Belanda. Pada tahun 1850 jumlah distrik badan pengelola ada 3500, tahun
1950 berkurang menjadi 2500 dan sekarang disederhanakan menjadi 27 distrik
badan pengelola. Organisasi ini tujuan utamanya adalah together fighting
against the water (berjuang bersama melawan air). Struktur tugas dari badan
pengelola air di Rotterdam adalah: operation and maintenance (operasional
dan pemeliharaan), legislation (permits) and enforcement (peraturan
perundangan & penegakan hukum), inspection (pengawasan), testing and
monitoring (menguji dan memonitor), preparation on climate change
(persiapan menghadapi perubahan iklim), harmonization of spatial planning
(memadukan perencanaan tata ruang, taxation (pembayaran/ pajak air).

2.5.3 Pengelolaan Banjir di Australia


Pada Maret 2021 lalu, negara bagian New South Wales (NSW)-Australia
mengalami banjir besar sehingga ditetapkan sebagai banjir Australia terburuk
dalam 60 tahun terakhir. Otoritas Australia mengevakuasi ribuan orang dari
pinggiran kota yang terkena banjir di Barat Sydney. Faktor penyebab banjir
adalah curah hujan ekstrim hingga membanjiri sungai di negara bagian NSW
yang merupakan wilayah terpadat di Australia. Pemerintah Sydney melalui
Biro Meteorologi mencatat hari terbasah dalam setahun dengan curah hujan
hampir 111 mm, sementara beberapa daerah di pantai utara NSW menerima
hampir 900 mm hujan dalam enam hari terakhir, lebih dari tiga kali rata-rata
bulan Maret 6. Data pemerintah menunjukkan banjir menyebabkan kerusakan
yang meluas dan memicu seruan untuk evakuasi massal. Di Australia, banjir
adalah jenis bencana alam dengan perkiraan biaya langsung yang paling mahal

6
Banjir Australia Terparah dalam 60 Tahun Terakhir, Ribuan Warga Bakal Dievakuasi (msn.com)
33

selama periode 1967-2005 rata-rata $377 juta per tahun (dihitung dalam dolar
Australia 2008).
Di negara bagian Queensland, Pemerintah setempat menyiapkan sistem
informasi berupa modul edukasi perspektif ilmiah dan teknis seputar banjir
bagi masyarakat awam dalam bahasa yang umum, jelas dan sederhana. Dalam
informasi tersebut disebutkan bahwa untuk mengurangi risiko banjir bagi
masyarakat, ekonomi dan lingkungan di masa depan, penting untuk mengambil
pelajaran dari banjir di masa lalu. Selain itu perlu mengomunikasikan dan
menerapkan kemajuan dalam pengetahuan dan teknologi secara efektif.
Pelibatan komunitas sains dan teknik adalah membantu mengurangi risiko ini,
dengan meminimalkan kemungkinan masyarakat dan infrastruktur akan
kebanjiran, dan mengurangi dampak negatif saat banjir terjadi.
Pemerintah Australia menyadari bahwa masih terdapat ketidakpastian
tentang banyak faktor yang saling berinteraksi yang mempengaruhi peristiwa
banjir meskipun menerapkan metode yang sangat canggih untuk meramalkan
dan mengelola banjir. Karena alam tidak dapat diprediksi, jadi sedetail dan
cerdiknya perhitungan dan strategi pengelolaan banjir, risiko banjir akan selalu
ada. Karena itu, ilmu sosial dan kebijakan pemerintah memainkan peran
penting dalam mengurangi dampak negatif banjir, meningkatkan tanggap
darurat, dan mengoptimalkan pemulihan masyarakat setelah banjir. Perbaikan
dalam hal ini tidak hanya bergantung pada penelitian ilmu sosial, tetapi juga
pada kepemimpinan pemerintah dan kesadaran serta keterlibatan masyarakat
(Queensland Government, 2011).
Di Australia, sistem peringatan banjir untuk sungai melibatkan Bureau of
Meteorology (BoM), yang memberikan prakiraan ketinggian air sungai di
lokasi tertentu kepada otoritas terkait, dan kepada publik melalui media
penyiaran dan situs web BoM. Pemerintah daerah atau layanan darurat negara
kemudian menginterpretasikan prakiraan BoM untuk memberikan informasi
lokal tentang area yang mungkin terkena dampak, potensi dampak, dan saran
tindakan kepada mereka yang berisiko. Pesan juga disebarluaskan ke seluruh
komunitas, terutama melalui jaringan pribadi atau informal. Media sosial
(misalnya, Facebook, Twitter) hampir pasti akan memainkan peran yang
semakin penting di masa depan. Hal ini juga akan menimbulkan tantangan
karena potensi risiko mis-informasi. Sistem peringatan banjir mengubah
prakiraan menjadi pesan yang dirancang untuk mengurangi kerugian. Sebuah
sistem peringatan terdiri dari sejumlah langkah kunci: memantau curah hujan
dan laju aliran sungai; membuat prakiraan ketinggian air sungai dan luas
banjir; menafsirkan prakiraan untuk maknanya dalam hal dampak pada mereka
yang berisiko; menyusun dan menyebarluaskan pesan peringatan; tanggapan
oleh mereka yang berisiko dan layanan darurat; dan review dan perbaikan.
Banjir bandang merupakan penyebab paling banyak kematian akibat banjir di
Australia dan saat ini merupakan tantangan terbesar karena waktu peringatan
yang terbatas.

2.6 Konsep Hard System Methodology vs Soft System Metodhology


Suatu sistem adalah suatu fenomena yang strukturnya telah diketahui atau
merupakan suatu gabungan dari beberapa elemen yang berkaitan secara teratur
34

dan bekerja untuk tujuan bersama dalam lingkungan yang kompleks (Marimin
2013). Kompleksitas dari sistem meliputi kerjasama antar elemen yang
interdependen satu sama lain (Marimin, 2018). Suatu sistem dapat terbentuk dari
sejumlah orang dan/atau sejumlah komponen fisik (Tasrif 2014). Sistem adalah
sesuatu yang terdapat di dunia nyata (real world). Sedangkan pemodelan adalah
kegiatan membawa sebuah dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan
sifat-sifat utamanya. Analisis sistem berguna untuk mendekati permasalahan yang
kompleks. Dalam mempermudah memahami sebuah sistem yang kompleks dan
dinamik maka digunakan suatu permodelan. Model merupakan suatu abstraksi
atau penyederhanaan dari realita atau objek yang dikaji sehingga dapat
menggambarkan struktur dan keterkaitan antara komponen-komponennya serta
dapat memberikan gambaran perilaku keseluruhan model sesuai dengan masukan
dan tujuan yang diinginkan (Purnomo 2012).
Kerangka pendekatan pemecahan masalah dalam penelitian ini
menggunakan soft system methodology (SSM). Ide soft system awalnya
dikembangkan dari biologi dan teknik, untuk menangani hard problem yang
tujuannya sudah terdefinisi jelas. Tapi analisis hard system tradisional telah gagal
dalam upayanya untuk menangani masalah yang soft (Freeman &amp; Reed, 1983
dalam Wang et al. 2015). Manajemen pemangku kepentingan dan identifikasi
pemangku kepentingan melibatkan banyak "faktor lunak", seperti aktivitas
manusia, konflik, emosi dan sebagainya. SSM didasarkan pada "asumsi dunia
terbuka": tidak hanya menerima situasi yang ada, tetapi memasuki dan memahami
kompleks dan mengekspresikannya secara terstruktur (rich picture, definisi akar
dan model konseptual). SSM menggambar perbedaan yang kuat antara situasi
bermasalah di dunia nyata dan dunia konseptual pemikiran sistem. Berbagai
konstruksi tertentu digunakan dalam dunia konseptual dan kemudian
dibandingkan dengan dunia nyata yang kompleks dan tidak teratur untuk
kemudian digunakan sebagai dasar mengembangkan model perubahan (Wang et
al. 2015). Menurut (Checkland dan Poulter 2006) SSM dilaksanakan melalui
tujuh tahapan yaitu: 1) pemahaman tentang masalah yang tidak terstruktur 2)
identifikasi masalah secara holistik 3) mengembangkan definisi dari masalah 4)
membuat model konseptual 5) membandingkan model konseptual dengan dunia
nyata 6) menentukan perubahan yang diinginkan 7) melakukan aksi perbaikan
atas model. Pendekatan SSM digunakan dalam penelitian karena sifat banjir
perkotaan sangat dinamis, terkait peningkatan jumlah penduduk, perubahan iklim,
perubahan tata guna lahan serta aktivitas manusia.

2.7 Tinjauan Umum Metode Penunjang Penelitian

2.7.1 Causal Loop Diagram


Diagram lingkaran sebab akibat atau causal loop diagram (CLD) juga
dikenal sebagai diagram pemikiran sistem. Umumnya digunakan untuk
menampilkan perilaku sebab dan akibat dari sudut pandang sistem. Diagram
tulang ikan dapat memunculkan kategori penyebab yang berdampak pada
masalah. Causal loop menunjukkan penyebab keterkaitan dan efeknya.
Diagram ini mampu menunjukkan penguatan positif dan negatif yang
menggambarkan sistem perilaku. Salah satu kelebihan diagram ini adalah
35

depersonalisasi. Orang dapat menunjuk panah dalam lingkaran yang


memperkuat masalah tanpa menunjuk personal. Ini menjadi model perilaku
sistem yang menciptakan hasil dari sistem. Hal ini penting untuk sebuah sistem
dalam pemerintahan agar tidak menciderai pihak-pihak.
Sebuah CLD membantu visualisasi peran variabel yang berbeda-beda
dalam suatu sistem yang saling terkait. Diagram terdiri dari sekumpulan node
dan edge. Node mewakili variabel, dan edge adalah tautan yang mewakili
koneksi atau hubungan antara dua variabel. Tautan bertanda positif
menunjukkan hubungan positif dan tautan bertanda negatif menunjukkan
hubungan negatif. Tautan kausal positif berarti dua simpul berubah ke arah
yang sama, yaitu, jika simpul di mana tautan mulai berkurang, simpul lainnya
juga berkurang. Demikian pula, jika node di mana link mulai meningkat, node
lainnya juga meningkat. Tautan kausal negatif berarti dua simpul berubah
dalam arah yang berlawanan, yaitu, jika simpul di mana tautan mulai
meningkat, simpul lainnya berkurang, dan sebaliknya.

2.7.2 Analisis spasial


Analisis spasial metrik umumnya digunakan untuk memeriksa, mengukur
bentuk (fitur) dan pola vegetasi di lanskap alam (Farina 2006; McGarigal dan
Marks 1995; O'Neill et al. 1988 dalam Herold et al. 2005), menampilkan dan
mengukur perubahan dalam struktur lanskap yang diakibatkan oleh gangguan
(Turner dan Carpenter 1998 dalam DiBari 2007). Metrik lanskap
dikembangkan pada akhir 1980-an dan memasukkan ukuran-ukuran baik dari
teori informasi maupun geometri fraktal (Shannon & Weaver, 1964 dalam
Herold et al., 2005) berdasarkan representasi lanskap berbasis tambalan
kategoris. Herold et al. (2005) menggunakan spasial metrik untuk
meningkatkan analisis dan pemodelan pertumbuhan perkotaan dan perubahan
penggunaan lahan. Penelitian ini akan menggunakan FRAGSTAT sebagai alat
bantu.
Penggunaan skala fraktal untuk mengukur karakteristik struktural dari
mosaik lanskap dan pengaruhnya terhadap proses ekologi pernah dilakukan
oleh (misalnya, Milne 1992; Nikora et al. 1999; Li 2000; Haskell et al. 2002
dalam DiBari 2007), karena itu penelitian ini mencoba mengaitkan potensi
banjir akibat perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap dengan spasial
metrik.
Cellular automata (CA) adalah sistem dinamika diskrit. Ruang dibagi ke
dalam bentuk spasial sel teratur dan waktu berproses pada setiap tahapan yang
berbeda (Wolfram 1984 dalam Sadewo dan Buchori 2018). Penggunaan teknik
pemodelan CA dilatarbelakangi oleh kelebihan teknik ini yang dapat
membangun model dengan mudah dari proses spasial yang kompleks, pada
ilmu alam dan juga ilmu geografi (O’Sullivan 2001 dalam Septawicaksono dan
Pratomoatmojo 2019). Konsep CA ini telah terbukti sebagai metode unggulan
untuk memprediksi penggunaan lahan secara spasial dengan kemampuannya
mengakomodasi pendekatan trend dan target (Pratomoatmojo 2018). Selain itu
CA merupakan metode terbaik dalam simulasi land use karena pada prinsipnya
CA yang berasal dari ilmu matematika sangat baik dalam menirukan spasial
proses yang kompleks (Wolfram 1984 dalam Sadewo dan Buchori 2018). Hasil
review mengkonfirmasi bahwa teknik pemodelan spasial-temporal, khususnya
36

pengembangan model berbasis CA telah terbukti efisien dalam simulasi


pertumbuhan daerah perkotaan (Leao et al. 2004). Oleh sebab itu model CA
adalah salah satu yang terkuat untuk mensimulasikan pola pertumbuhan
perkotaan karena strukturnya, kesederhanaannya, kemungkinan evolusinya,
fleksibilitas dan intuitifnya, serta karena kemampuan menggabungkan dimensi
spasial dan temporal (Santé et al. 2010).
Keterbatasan model CA, yaitu kelemahan pada aspek kuantitatif, dan
ketidakmampuan untuk memasukkan kekuatan pendorong pertumbuhan
perkotaan dalam proses simulasi, tetapi dapat diminimalkan dengan
mengintegrasikan dengan model kuantitatif lainnya, seperti melalui Analytic
Hierarchy Process (AHP), Markov Chain dan model rasio frekuensi. Simulasi
realistis dapat dicapai ketika faktor sosial ekonomi dan spasial dan dimensi
temporal terintegrasi dalam proses simulasi.
Model prediksi CA untuk probabilitas transisi dibangun dengan beberapa
variable yang diasumsikan mendorong perubahan penutup lahan dengan
beberapa metode seperti Weight of Evidence (WoE), Logistic Regression (LR),
Artificial Neural Network (ANN) dan Analytical Hierarchy Process (AHP)
(Park et al. 2011; Feng dan Qi 2018). Metode CA dalam penelitian ini
digunakan sebagai teknik simulasi spasial untuk memprediksi risiko luasan
banjir akibat perubahan lanskap.

2.7.3 Hydrological Analysis: HEC


Dalam beberapa tahun terakhir, HEC-RAS yang dikembangkan oleh US
Military Engineering Unit (Ogras dan Önen 2020; Pallavi dan Ravikumar
2021) dan teknologi Remote Sensing (RS) bersama dengan Geographic
Information System (GIS) telah menjadi alat kunci untuk pemantauan banjir
dalam beberapa tahun terakhir (Pallavi dan Ravikumar 2021). Program-
program ini memeriksa profil permukaan air yang disebabkan oleh struktur
hidrolik atau perubahan rute. Selain itu, program-program ini digunakan dalam
desain struktur hidrolik dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti
penentuan tingkat banjir (Ogras dan Önen 2020), delineasi zona banjir dan
persiapan peta bahaya banjir untuk daerah-daerah yang rentan (Pallavi dan
Ravikumar 2021).
Tujuan utama dari program HEC-RAS adalah untuk menghitung
ketinggian permukaan air di semua lokasi yang diminati untuk nilai aliran
tertentu. Data yang diperlukan untuk melakukan komputasi ini dibagi menjadi
data geometris dan data aliran yang stabil (Jagadeesh dan Veni 2021). Analisis
aliran stabil dilakukan menggunakan HEC-RAS untuk mendeteksi perubahan
pola banjir (Pallavi dan Ravikumar 2021). HEC-RAS menggunakan sejumlah
parameter input untuk analisis hidrolik geometri saluran aliran dan aliran air.
Pemodelan banjir menggunakan HEC-RAS adalah alat yang efektif untuk studi
hidrolik dalam penanganan bencana dan membantu dalam langkah-langkah
manajemen (Pallavi dan Ravikumar 2021). Model HEC-RAS mampu
mensimulasikan profil permukaan yang terbentuk dalam aliran sungai Tigris
yang berbeda dan berulang di Diyarbakır, serta batas-batas banjir di area publik
dapat dengan mudah diperoleh dengan menggunakan program paket HEC-RAS
(Ogras dan Önen 2020).
37

Raster GIS dan kumpulan data fitur, digunakan untuk mengotomatiskan


pra-pemrosesan data input dan HEC-GeoHMS pasca-pemrosesan hasil HEC-
RAS (Hernandez dan Zhang 2007). Alat-alat ini berhasil dikaitkan dengan
HEC-RAS untuk mempercepat produksi pemetaan floodplain dan
mendapatkan hasil hidrolik yang akurat. Integrasi model HEC-RAS dan SIG
dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk berbagai jenis pemodelan
dataran banjir dan berbagai skenario praktik pemodelan sungai (Jagadeesh dan
Veni 2021).

2.7.4 Multi criteria analysis - DEA


Multi criteria analysis (MCA) adalah perangkat pengambilan keputusan
yang dikembangkan untuk masalah-masalah kompleks. Dalam situasi
pengambilan keputusan yang melibatkan banyak kriteria, kerancuan mungkin
akan terjadi jika suatu proses pengambilan keputusan yang logis dan terstruktur
dengan baik tidak diikuti. Kesulitan lain yang dihadapi dalam pengambilan
keputusan seperti ini adalah bagaimana mencapai kesepakatan bersama dalam
suatu tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Dengan menggunakan
(MCA), para anggota atau nara sumber tidak harus sepakat mengenai tingkat
kepentingan relatif suatu kriteria atau mengenai penetapan peringkat
alternatifnya. Tiap anggota tim bebas menyampaikan pendapat pribadinya, dan
memberi sumbangan masing-masing dalam rangka tercapainya kesimpulan
yang disepakati bersama (Mendoza dan Macoun 1999).
Data Envelopment Analysis (DEA) pertama kali diperkenalkan oleh
Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun 1978. DEA merupakan suatu
pendekatan nonparametrik yang pada dasarnya merupakan pengembangan
dari Linear Programming (LP) yang menghitung relatif efisiensi multikriteria.
DEA berfungsi untuk menilai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (input)
untuk mencapai hasil (output) yang tujuannya untuk maksimalisasi efisiensi.
Dalam DEA, produktivitas suatu unit dievaluasi dengan membandingkan
jumlah output yang dihasilkan dibandingkan dengan jumlah input yang
digunakan. Area aplikasi DEA telah berkembang sejak pertama kali
diperkenalkan sebagai alat pengukuran manajerial dan kinerja di akhir 1970-an.
Stata yang dilengkapi dengan perintah DEA akan memberi pengguna alat
nonparametrik baru untuk menganalisis data produktivitas (Ji dan Li 2010).
DROP atau disaster resilience of place adalah metode yang dikembangkan
Cutter et al. (2008) untuk mengukur resiliensi sebuah kota. Model ini dimulai
dengan kondisi awal (anteseden), yang merupakan hasil proses multiskala pada
tingkat lokal spesifik, yang terjadi di dalam dan di antara ekosistem sosial,
alami, dan buatan. Kondisi asal mencakup kerentanan dan resiliensi bawaan.
Konsep ini direpresentasikan sebagai segitiga bersarang yang menggambarkan
bagaimana proses bawaan ini terjadi pada skala lokal, sehingga menghasilkan
faktor endogen tingkat komunitas, maupun pada skala yang lebih luas (segitiga
yang lebih besar) yang mewujudkan faktor eksogen. Faktor eksogen
mempengaruhi faktor endogen, meskipun dampaknya mungkin tidak dapat
diukur secara langsung.
Bertentangan dengan beberapa konseptualisasi di mana resiliensi dan
kerentanan berlawanan, model yang dikembangkan Cutter et al. (2008) ini
38

mengusulkan bahwa ada tumpang tindih dalam konsep-konsep ini sehingga


mereka tidak sepenuhnya saling lepas, juga tidak sepenuhnya saling
melibatkan. Ada banyak karakteristik yang hanya mempengaruhi kerentanan
atau resiliensi suatu komunitas. Di samping itu, ada karakteristik sosial yang
mempengaruhi keduanya kerentanan dan resiliensi (status sosial ekonomi,
pendidikan, dan asuransi, sebagai contoh). Kondisi sebelumnya berinteraksi
dengan karakteristik peristiwa bahaya untuk menghasilkan efek langsung.
Karakteristik peristiwa meliputi frekuensi, durasi, intensitas, besaran, dan
tingkat onset, yang bervariasi tergantung pada jenis bahaya dan lokasi wilayah
studi. Efek langsung dilemahkan atau diperkuat dengan ada atau tidak adanya
tindakan mitigasi dan respons masyarakat, yang dengan sendirinya merupakan
fungsi dari kondisi sebelumnya. Ini diwakili dalam model dengan plus
(diperkuat) atau minus (dilemahkan).

Gambar 2. 1 Diagram konsep Disaster Resilience of Place


Indikator yang menjadi komponen penilaian resiliensi minimal terdiri dari
kompetensi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, infrastruktur, dan
masyarakat. Dalam pengelolaan bencana, pendekatan resiliensi dipandang
lebih proaktif dan hemat biaya dalam menggunakan sumber daya dibandingkan
pendekatan reaktif yang berfokus pada tanggap bencana, pemulihan dan
rekonstruksi (Mavhura et al. 2021).

2.7.5 Interpretive Structural Modelling (ISM)


Interpretive structural modelling (ISM) adalah metode yang terkenal
untuk memecahkan masalah hubungan yang kompleks, untuk mengevaluasi
hubungan antar variabel dan untuk membangun hierarki proses dengan
memetakan dampak satu variabel di atas variabel lainnya (Mandal dan
Deshmukh 1994 dalam Singh et al. 2020). ISM didefinisikan sebagai proses
yang bertujuan membantu manusia untuk lebih memahami dan mengenali
secara jelas sesuatu yang tidak diketahui pasti. Fungsi terpentingnya adalah
mengorganisasi dan menstrukturkan variable-variable yang acak dan tidak jelas
menjadi model yang mudah dibaca dan terdefinisi dengan baik (Attri et al.
2013), membantu menciptakan keteraturan dan arah pada kompleksitas
hubungan antara elemen-elemen sistem (Warfield 1974; Sage 1977 dalam
Mathiyazhagan et al. 2013).
39

Ide dasar dari ISM adalah menggunakan pengalaman dan pengetahuan


praktis para pakar untuk menguraikan sistem yang rumit menjadi beberapa sub-
sistem (elemen) dan membangun model struktural bertingkat (Mathiyazhagan
et al. 2013). Dalam metode ISM, para ahli memutuskan apakah variabel
tersebut saling terkait atau tidak, itulah mengapa disebut interpretatif. Dengan
menggunakan ISM, dapat diketahui variabel mana yang perlu dikontrol. ISM
mengidentifikasi variabel dengan daya dorong tinggi serta variabel yang
memiliki ketergantungan tinggi. Data Pengumpulan di ISM dapat dilakukan
melalui sesi brainstorming dengan pakar, wawancara dengan pakar atau
kuesioner (Singh et al. 2020). Hal yang penting untuk diperhatikan adalah
pemilihan pakar yang tepat agar hasilnya akuntabel dan tidak bias. Pakar yang
dipilih harus berpengalaman, professional dan memiliki integritas tinggi.
Fenomena banjir dan pengelolaannya adalah sesuatu yang kompleks. Karena
itu metode ISM dibutuhkan untuk membantu peneliti untuk menstrukturkan
model yang akan dibangun berdasarkan perbandingan model konseptual
dengan rich picture yang diperoleh dari pengamatan.

2.7.6 Strategic Asumption Surfacing and Testing (SAST)


Metode Strategic Asumption Surfacing and Testing (SAST) adalah
pendekatan untuk masalah yang tidak terstruktur. SAST merupakan teknik
berpikir sistem dan dapat diterapkan sebagai pendekatan dialektis terhadap
kebijakan dan perencanaan. Metode SAST merupakan salah satu metode
pengujian/test yang menggunakan landasan sistem lunak (soft system) dengan
mengedepankan asumsi-asumsi dalam perumusan kebijakan. Metode ini sangat
membantu dalam mengungkap asumsi kritis yang melandasi kebijakan,
rencana atau strategi (Mason dan Mitroff 1981 dalam Eriyatno dan Larasati
2013). Metode ini digunakan dalam pengambilan keputusan/kebijakan untuk
menentukan asumsi strategis yang harus dipenuhi sehingga program/kebijakan
yang diterapkan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat memperbaiki
kondisi sebelumnya.
Penentuan asumsi strategis digambarkan dalam kuadran kartesius, dimana
kuadran I untuk rencana yang pasti sebagai penggerak keberhasilan model
kebijakan, rencana atau strategi. Karena asumsi-asumsi pada kuadran I
memiliki tingkat kepentingan dan tingkat kepastian paling tinggi. Kuadran II
menggambarkan asumsi-asumsi dengan tingkat kepastian tinggi namun tingkat
kepentingan rendah. Sedangkan kuadran III merupakan posisi bagi asumsi-
asumsi dengan tingkat kepastian rendah dan tingkat kepentingan yang rendah
pula. Berikutnya kuadran IV adalah posisi dimana asumsi-asumsi memiliki
tingkat kepastian rendah namun tingkat kepentingannya tinggi.
Asumsi yang berada di paling kiri kuadran tidak terlalu penting untuk
perencanaan yang efektif atau pemecahan masalah. Tetapi asumsi yang berada
di kanan atas adalah penting atau disebut wilayah rencana yang pasti.
Sebaliknya, asumsi yang berada di kuadran kanan bawah merupakan wilayah
yang paling kritis atau disebut wilayah rencana yang bermasalah. Hal ini
disebabkan karena ketidakpastian asumsi tersebut sehingga perlu mendapat
perhatian. Dari kedua kuadran (I & IV) tersebut, teridentifikasi asumsi strategis
yang diperlukan untuk mendukung suatu kesimpulan atau validasi argumen
40

sistem yang belum dipahami sebagian pemangku kepentingan (Gambar 2.2).


Dengan adanya asumsi strategis ini model yang dirancang dapat diarahkan
untuk pencapaian tujuan hubungan kerjasama yang harmonis (Riyanto et al.
2014).
Implementasi pendekatan SAST dalam pemodelan manajemen banjir di
Jakarta menghasilkan aspek fasilitas dan teknologi sebagai aspek yang
bermasalah. Sedangkan aspek koordinasi dan informasi sebagai aspek yang
paling penting serta pasti dapat dilaksanakan. Rekomendasi yang dihasilkan
adalah pembangunan pusat informasi bencana dan pembentukan tim siap siaga
bencana. Pelibatan masyarakat menjadi kunci sukses dalam mitigasi bencana
banjir. Penggunaan teknologi digital melalui sosial media dapat meningkatkan
efektivitas aliran informasi tentang banjir dan masyarakat dapat mengetahui
situasi terkini. Informasi yang dikeluarkan pemerintah sangat penting ketika
bencana banjir terjadi, untuk menghindari berita hoax dan menimbulkan
kekacauan publik (Kholil et al. 2019).

Gambar 2. 2 Grafik tingkat kepentingan dan kepastian

2.7.7 Cooperative Game Theory


Khiavi et al. (2021) menyatakan bahwa kolaborasi dan keterlibatan warga,
partisipasi dan pengetahuan bersama telah menjadi semboyan dalam proses
pendukung keputusan untuk strategi manajemen risiko terkait air sebagaimana
juga ditegaskan oleh persyaratan Arahan Banjir 2007/60/EC 7. Meningkatkan
proses partisipatif selama fase perencanaan-pra-kejadian- berarti menjadikan
semua warga negara sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan
kognitif, meningkatkan pendekatan ad-hoc sosial demokrasi, meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang dinamika di antara jaringan warga dan
identifikasi penyebab dan efek yang terkait dengan risiko. Kondisi demikian
akan meningkatkan kemungkinan untuk mengembangkan strategi manajemen
risiko banjir bottom-up selama fase darurat-pasca kejadian.
Sejauh ini sebagian besar aspek teknis pengendalian banjir telah ditangani
oleh pengelola dan perencana. Dalam pengelolaan bersama, selain pendekatan
teknis, pendekatan partisipatif juga digunakan dalam pembahasan penyusunan
7
DIRECTIVE 2007/60/EC OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL
of 23 October 2007 on the assessment and management of flood risks
41

model pengelolaan banjir dan penerapan skenario pengelolaan. Untuk


memungkinkan hasil keputusan yang lebih efektif dan dapat diterima,
diperlukan lebih banyak partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Tantangannya adalah untuk mendapatkan dan menggunakan pendapat yang
beragam dari sejumlah besar pemangku kepentingan di mana ketidakpastian
memainkan peran utama.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan cooperative game theory
untuk merumuskan tata kelola banjir yang melibatkan banyak stakeholder.
Pendekatan cooperative games digunakan untuk alokasi tanggung jawab dalam
sistem pengendalian dan mitigasi banjir. Pendekatan ini dipilih dengan
pertimbangan untuk mencapai tujuan dalam pengendalian dan mitigasi banjir
yang proporsional. Semua stakeholder perlu bekerja sama dan saling
berkoordinasi sehingga tanggung jawab dapat dialokasikan secara adil dan
transparan.
Di sisi lain, Asrol (2019) menggunakan pendekatan cooperative game
theory yang dimodelkan untuk alokasi keuntungan pada rantai pasok industri
gula tebu. Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan ciri sistem rantai
pasok yang saling bekerjasama dalam pencapaian tujuan. Penelitian Asrol
(2019) tersebut mengembangkan model Fuzzy Shapley value dengan
mempertimbangkan penyeimbangan risiko dan nilai tambah untuk alokasi
keuntungan yang adil pada stakeholder primer rantai pasok. Adapun
Taleizadeh dan Sherafati (2019) menggunakan pendekatan cooperative game
theory pada rantai pasok industri yang melibatkan tiga eselon: produsen, agen
dan pelanggan untuk menentukan harga jual yang optimal, masa garansi dan
harga garansi untuk produsen dan perawatan yang optimal biaya dan
pengeluaran pemasaran untuk agen dengan memaksimalkan keuntungan
mereka. Kepuasan pelanggan juga dimaksimalkan dengan memilih salah satu
opsi yang disarankan dari produsen dan agen, berdasarkan parameter risiko.
Berikutnya Moradi et al. (2018) menggunakan pendekatan cooperative game
theory dalam studi model penjadwalan proyek untuk menilai risiko proyek dan
dampaknya terhadap keberlanjutan proyek ketika subkontraktor berkolaborasi
di bawah ketidakpastian. Metode ini diterapkan untuk alokasi yang adil dari
NPV, dari kerjasama dan akhirnya aspek keberlanjutan (ekonomi, sosial dan
lingkungan) untuk setiap kemungkinan koalisi. Sementara pendekatan
cooperative game theory untuk mencegah risiko luapan sungai telah dilakukan
oleh Alvarez et al. (2019), namun dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa
masih dibutuhkan banyak pembuktian untuk efektivitasnya di lokasi yang lain.
Jeong et al. (2018) juga menerapkan cooperative game theory pada alokasi
biaya adaptasi perubahan iklim, dengan mempertimbangkan manfaat dan biaya
adaptasi bagi pihak-pihak yang bekerjasama dalam lingkup proyek jalur banjir
bawah tanah di Seoul. Proyek adaptasi melibatkan enam pemerintah daerah
yang berbeda. Biaya yang dialokasikan berkurang untuk pemda yang
berkontribusi lebih banyak dalam mengurangi biaya konstruksi, sementara itu
biaya meningkat untuk pemerintah daerah yang lebih diuntungkan dari
pencegahan kerusakan banjir. Dalam studi Jeong et al. (2018), aktor dalam
proyek adaptasi perubahan iklim hanya dari unsur pemerintah. Karakternya
menjadi homogen. Untuk itu perlu kajian apabila aktor yang terlibat dalam
cooperative game ini terdiri atas multi stakeholder.
42

2.7.8 Decision Support System- AHP- ANP


Analitycal Hierarchy Process (AHP) adalah metode pengukuran umum
untuk mendapatkan skala rasio dari perbandingan berpasangan diskrit dan
kontinu. Perbandingan ini dapat diambil dari pengukuran aktual atau dari skala
fundamental yang mencerminkan kekuatan relatif dari preferensi dan perasaan.
AHP memiliki perhatian khusus dengan penyimpangan dari konsistensi,
pengukurannya dan ketergantungan di dalam dan di antara kelompok elemen
strukturnya. Ia telah menemukan aplikasi terluasnya dalam pengambilan
keputusan multikriteria, perencanaan dan alokasi sumber daya dan dalam
resolusi konflik. Dalam bentuk umumnya, AHP adalah kerangka kerja
nonlinier untuk melakukan pemikiran deduktif dan induktif tanpa
menggunakan silogisme dengan mempertimbangkan beberapa faktor secara
bersamaan dan memungkinkan ketergantungan dan umpan balik, dan membuat
pertukaran numerik untuk sampai pada sintesis atau kesimpulan (Saaty 1987).
Aplikasi AHP untuk memecahkan suatu situasi yang kompleks dan tidak
terstruktur ke dalam beberapa komponen dalam susunan hirarki, dengan
memberi nilai subjektif tentang pentingnya setiap variabel secara relatif, dan
menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi guna
mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Pada prinsipnya, AHP merupakan
tools dalam sistem penunjang pengambilan keputusan untuk memilih suatu
alternatif yang terbaik.
Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input
utamanya persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah kompleks dan tidak
terstruktur dipecahkan ke dalam kelomok-kelompoknya dan diatur menjadi
suatu bentuk hirarki. Kelebihan AHP dibandingkan dengan lainnya adalah :
a) Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih,
sampai pada subkriteria yang paling dalam;
b) Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkosistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil
keputusan;
c) Memperhitungkan daya tahan atau resiliensi output analisis sensitivitas
pengambilan keputusan;
d) Selain itu, AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah
yang multi obyektif dan multi-kriteria yang berdasarkan pada
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi, model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.
Namun metode AHP memiliki ketergantungan pada input utamanya. Input
utama yang dimaksud adalah berupa persepsi atau penafsiran seorang ahli
sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model
menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang salah.
Karena itu ahli yang dipilih harus berpengalaman, professional dan
berintegritas tinggi. Selain itu, metode AHP ini hanya metode matematis.
Pada prinsipnya, Analytic Network Process (ANP) adalah teori
pengukuran multikriteria yang digunakan untuk menurunkan skala prioritas
relatif dari angka absolut penilaian individu (atau dari pengukuran actual
dinormalisasi ke bentuk relatif) yang juga termasuk dalam skala dasar
43

bilangan absolut. ANP merupakan pengembangan struktur hirarki AHP.


Perbedaannya adalah bila AHP struktur kerangka modelnya berbentuk hirarki,
sementara ANP berbentuk jaringan. Melalui supermatriksnya, ANP
mensintesis hasil ketergantungan dan umpan balik di dalam dan di antara
kelompok elemen. ANP adalah alat penting untuk mengartikulasikan
pemahaman kita tentang masalah keputusan. Kelebihan ANP dibandingkan
AHP adalah stabilitasnya karena adanya feedback dan hasilnya berupa
supermatriks skala prioritas.

III METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran


Problem perkotaan Bekasi sangat komplek. Dari sisi ekonomi, laju
pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi cenderung meningkat dalam lima tahun
terakhir sampai menyentuh 5.86%. Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) mencapai 81.5 (BPS Kota Bekasi 2020). Kegiatan perekonomiannya yang
tinggi, tentunya membutuhkan ruang dan lahan, padahal lahan sangat terbatas.
Akibatnya ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru semakin terdesak oleh
permukiman. Badan sungai menyempit karena sedimentasi dan okupasi
permukiman. Luas ruang terbuka hijau tinggal 16% luas wilayah Kota Bekasi.
Kondisi ini meningkatkan risiko banjir Kota Bekasi. Ditambah lagi dengan faktor
bahaya karena letaknya di hilir DAS Cikeas, DAS Cileungsi, DAS Sunter, DAS
Kali Bekasi, DAS Cakung pada elevasi 11-81 mdpl. Sehingga bila kondisi cuaca
ekstrem, banjir tidak dapat dihindari.
Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan banjir,
akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus merevisi APBD
untuk alokasi ekstra kegiatan tanggap darurat dan kegiatan rehabilitasi. Mitigasi
risiko banjir sangat penting untuk mengurangi paparan masyarakat rentan
terhadap peristiwa banjir dan menyediakan mekanisme bagi masyarakat untuk
membuat rencana, mengurangi kerugian di masa depan dan pemulihan secara
cepat (Nofal dan van de Lindt 2020).
Banjir adalah risiko yang harus dihadapi Kota Bekasi, tidak mungkin
hilang atau dihindari tetapi risikonya masih bisa diminimasi agar tidak menjadi
bencana. Bila terus berlanjut tanpa pengendalian, dikhawatirkan keberlanjutan
Kota Bekasi terancam. Untuk itu diperlukan alternative model mitigasi banjir agar
banjir tidak menjadi bencana, paparan banjir tidak meluas, masyarakat lebih
tanggap bencana. Sehingga diharapkan terwujud Kota Bekasi yang resilient.
Kerangka pemikiran untuk mengatasi problem banjir yang komplek disajikan
dalam Gambar 3.1.
44

Gambar 3. 1 Diagram kerangka pemikiran

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan dengan lokus di Kota Bekasi yang terletak di: 106 o48'28'' –
107o27'29'' Bujur Timur dan 6o10'6'' – 6o30'6'' Lintang Selatan. Kota Bekasi
memiliki topografi dengan kemiringan antara 0 – 2 % dan terletak pada ketinggian
antara 11 m – 81 m di atas permukaan air laut. Sedangkan pengolahan dan analisis
data dilakukan di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Bekasi.
Penelitian berlangsung di tahun 2022-2023 dengan detail tersaji dalam.

3.3 Ruang Lingkup Penelitian


Lingkup penelitian ini adalah merumuskan model mitigasi banjir untuk
mewujudkan kota yang resilient. Batas wilayah penelitian, melingkupi batas
wilayah ekologi DAS Sungai Bekasi, DAS Cileungsi, DAS Cikeas, DAS Sunter
dan DAS Cakung dengan wilayah perencanaan meliputi batas administrative Kota
Bekasi.
Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU No.
32 tahun 2009), penelitian ini berada di ranah perencanaan. Dari sisi penataan
ruang (UU No.26 tahun 2009), penelitian ini meliputi pengendalian pemanfaatan
ruang.
Sedangkan dalam konteks pengelolaan sumber daya air (UU No. 17 tahun 2019),
penelitian ini berada di ranah pengendalian daya rusak air. Adapun dalam konteks
penanggulangan bencana (UU No. 24 tahun 2007, penelitian ini berada di ranah
mitigasi
45

3.4 Rancangan Penelitian


Alur rancangan penelitian disajikan dalam diagram

Gambar 3. 3 Diagram rancangan penelitian

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Analisis Sistem Pengendalian Banjir


Dalam rangka memperoleh gambaran tentang sistem pengendalian banjir
Kota Bekasi eksisting, dilakukan analisis deskriptif berdasarkan identifikasi
permasalahan menggunakan causal loop diagram. Sumber data berasal dari
preliminary diskusi atau brainstorming dengan Bappeda, Dinas BMSDA dan
BPBD Kota Bekasi ditambah dengan data sekunder pendukung seperti data
banjir 2005-2020 (tabular dan spasial), data asset infrastruktur pengendali
banjir dan renstra tiap-tiap dinas.

3.5.2 Analisis Risiko Banjir


Prediksi perubahan lanskap perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara dinamika ekologi lanskap dengan potensi banjir. Diagnostik kinerja
46

struktur dan fungsi lanskap dilakukan melalui analisis spasial. Data yang
dibutuhkan adalah peta DEM (data SRTM 90 m dari Citra Landsat 8), peta
RBI, data tabular lokasi banjir 2014-2020, peta banjir eksisting dan peta
administrasi.
Mula-mula data tabular lokasi banjir diinput ke dalam peta DEM,
kemudian dioverlay dengan peta RBI, peta banjir eksisting dan peta
administrasi. Hasilnya berupa peta potensi banjir. Selanjutnya peta potensi
banjir dianalisa menggunakan tools analisa spasial metrik FRAGSTAT untuk
menghitung jumlah patch, kepadatan patch dan landscape shape index (LSI).
Dengan asumsi perubahan ekologi lanskap menimbulkan perubahan potensi
banjir maka hasil analisis spasial metrik dapat dibandingkan dengan luas
wilayah potensi banjir untuk mendapatkan indeks potensi banjir. Berikutnya
dilakukan prediksi perubahan ekologi lanskap dengan basis data 2014 dan 2020
menggunakan cellular automata untuk mendapatkan proyeksi di 2030.
Hasilnya dihitung kembali menggunakan analisis spasial metrik. Nilai yang
diperoleh kemudian dikalikan dengan indeks potensi banjir untuk mendapatkan
proyeksi luas potensi banjir.
Berikutnya risiko sebaran banjir dipertajam dengan visualisasi analisis
hidrologi, menggunakan program yang dapat melakukan pemetaan genangan
seperti HEC RAS (Hydrologic Engineering Center River Analysis System) atau
FESWMS (Finite Element Surface Water Modeling System).

3.5.3 Assesment Resiliensi Kota Bekasi


Konsep resiliensi yang digunakan didasari oleh model disaster resilience
of place (DROP) (Cutter et al. 2008). Pemikirannya adalah resiliensi dan
kerentanan merupakan konsep yang saling overlapping. Kerentanan diukur
melalui efisiensi produksi kerugian akibat bencana banjir dengan DEA.
Sementara untuk menentukan tingkat resiliensi digunakan metode DROP.
Pemilihan variabel dilakukan dengan 2 pertimbangan, yaitu: justifikasi
berdasarkan literatur yang ada mengenai relevansinya terhadap resiliensi, dan
tersedianya data berkualitas dari sumber data di daerah. Variabel dikelompokkan
berdasarkan 5 komponen sistem resiliensi, yaitu: resiliensi ekologi, ekonomi,
sosial, infrastruktur dan kelembagaan. Untuk penilaian resiliensi dengan DROP,
dilakukan berdasarkan desk studi dari data yang diperoleh dari BPS dan instansi
terkait. Apabila data masih kurang, maka akan dilakukan wawancara terhadap
aktor kunci (kepala RW atau Lurah setempat). Bila kondisi masih pandemi,
maka dirancang FGD atau wawancara secara teleconference.
Setelah menentukan variabel yang dipilih, variabel dinormalisasi dengan
menggunakan skema rescaling Min-Max di mana setiap variabel didekomposisi
menjadi rentang yang identik antara 0-1 (0 = resiliensi rendah dan 1 = resiliensi
tinggi). Seluruh penilaian dari tiap variabel dalam satu komponen dijumlahkan
kemudian dirata-ratakan sehingga diperoleh skor komposit 1 komponen. Setiap
komponen diberi bobot sama yaitu 1. Apabila setiap komponen telah memiliki
resiliensi yang paling tinggi maka setiap komponen akan menghasilkan skor 1.
Oleh karena itu, rentang total skor resiliensi adalah antara 0 sampai 5 (0 adalah
yang terkecil dan 5 adalah yang paling resilien).
47

3.5.4 Model Mitigasi Banjir


Tahap terakhir adalah merangkai hasil sub model 1-3 dan menuangkannya
dalam rich picture. Selanjutnya memformulasikan akar masalah dengan iterasi
CATWOE (Checkland dan Poulter 2006). Model konseptual selanjutnya disusun
dengan mempelajari literatur yang berkaitan dengan sistem pengendalian banjir.
Model tersebut kemudian distrukturkan dengan bantuan expert judgment
menggunakan ISM tools. Berikutnya model konseptual perlu dibandingkan
dengan kondisi nyata menggunakan SAST. Perubahan dilakukan pada sistem
dengan mempertimbangkan keadilan antar stakeholder serta optimasi
pengendalian dan mitigasi banjir. Untuk tujuan tersebut, akan digunakan
pendekatan cooperative game yang dituangkan dalam model operasional
menggunakan model bisnis kanvas. Setelah alternatif model tersusun, maka
penentuan prioritas tindakan diputuskan dengan teknik pengambilan keputusan
ANP.
48

IV ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN BANJIR


EKSISTING

4.1 Pendahuluan
Masalah utama di Kota Bekasi yang akan dicermati dalam penelitian ini
adalah bencana banjir. Mengapa bencana banjir menjadi perhatian, karena
dampaknya terhadap ekosistem dan sosial ekonomi luar biasa. Banjir di Kota
Bekasi semakin lama semakin luas meskipun sudah dilakukan normalisasi saluran
dan pembangunan polder. Tercatat di tahun 2012 luas banjir masih 2.12 ha, tapi di
tahun 2020 luas banjir sudah mencapai 15.37 ha. Bahaya banjir Kota Bekasi lebih
disebabkan oleh aktivitas DAS dan saluran yang tidak berfungsi normal akibat
kondisi biofisik dan cuaca ekstrim, bukan berasal dari aktivitas air pasang laut.
Risiko banjir tinggi dikarenakan perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap
serta pengendalian banjir yang tidak efektif.
Pemerintah daerah dalam hal ini belum menganggap isu mitigasi banjir
sebagai hal yang prioritas. Proses ini menyebabkan resiliensi kota rendah.
Resiliensi yang rendah juga dapat diakibatkan oleh pelibatan masyarakat yang
minim dan koordinasi antar stakeholder yang lemah. Tata kelola yang belum
mapan menjadikan hal tersebut bisa terjadi. Sampai saat ini, seberapa resilient
Kota Bekasi belum diketahui karena belum pernah dilakukan penilaian. Karena itu
perlu dianalisis lebih lanjut seperti apa sistem pengendalian banjir eksisting.
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah analisis sistem pengendalian
banjir eksisting, dengan output peta proses bisnis. Karena itu, pada bagian ini
akan dipaparkan banjir dari mula kejadian hingga pengendaliannya berdasarkan
data sekunder dan informasi stakeholder terkait.

4.2 Metode penelitian


Dalam rangka memperoleh gambaran tentang sistem pengendalian banjir
Kota Bekasi eksisting, dilakukan identifikasi permasalahan menggunakan causal
loop diagram. Analisis deskriptif sistem pengendalian banjir Kota Bekasi
diperlukan untuk melihat input apa yang bisa dikendalikan dan tidak bisa
dikendalikan serta mengetahui output apa yang dikehendaki dan output apa yang
tidak dikehendaki. Hasil analisis ini selanjutnya menjadi salah satu alas
penyusunan model mitigasi banjir di Kota Bekasi. Selain menggunakan causal
loop diagram, juga menggunakan diagram input-output (black box) sebagai alat
bantu analisis. Sumber data berasal dari preliminary diskusi atau brainstorming
dengan praktisi dari Bappeda, Dinas BMSDA dan BPBD Kota Bekasi ditambah
dengan data sekunder pendukung.

4.3 Jenis dan teknik pengumpulan data


Pengumpulan data tabular dan spasial diperlukan untuk identifikasi
wilayah risiko banjir di Kota Bekasi. Data yang dapat dikumpulkan dari OPD
Pemerintah Kota Bekasi meliputi data lokasi banjir 2017-2021, peta administrasi,
data curah hujan tahunan, data sosial budaya penduduk di daerah banjir, alokasi
49

APBD untuk pengelolaan banjir (konstruksi+pemeliharaan), dokumen RTRW,


data pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, kebijakan regional/nasional
terkait banjir/bencana. Terkait data spasial diunduh melalui
earthexplorer.usgs.gov dan http://tides.big.go.id/. Matriks dalam Tabel 5
merangkum jenis dan teknik pengumpulan data yang dibutuhkan untuk tujuan 1.

Tabel 4. 1 Jenis dan sumber data

TUJUAN DATA SUMBER METODE OUTPUT


DATA

Menganalisis a. Data lokasi a. Bappeda Analisis 1. Deskripsi


sistem banjir 2005- deskriptif situasi
b. BNPB
pengendalian 2021 masalah
banjir Kota c. BPBD banjir Kota
b. Peta banjir
Bekasi saat ini Bekasi dan
eksisting d. Dinas
BMSDA tatakelola
c. Peta
sistem
administrasi e. Dinas pengendalian
Tata Kota banjir dalam
d. Data struktur
pengendali bentuk “peta
banjir proses bisnis”

e. Renstra dinas
terkait
pengendalian
banjir/bencana

4.4 Gambaran umum kondisi eksisting wilayah studi


4.4.1 Kajian kebijakan pengendalian banjir
Secara umum beberapa perundang-undangan dan peraturan yang terkait
dengan pelaksanaan penanggulangan banjir sebagai berikut :
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah;
(2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana;
(3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
(4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
50

(5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup;
(6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman;
(7) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial;
(8) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumberdaya Air;
(9) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi
Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota;
(10) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air;
(11) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Tata Ruang;
(12) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai;
(13) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
(14) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk
Penanggulangan Bencana 2020-2044;
(15) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang
Garis Sempadan dan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah
Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai;
(16) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008
mengenai Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau
di Kawasan Perkotaan;
(17) Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana;
(18) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 239/KPTS/1987
tentang Pedoman Umum mengenai Pembagian Tugas, Wewenang dan
Tanggung Jawab Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Drainase
Kota;
(19) Peraturan Daerah Kota bekasi No.13 Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi Tahun 2011-2031;
(20) Peraturan Daerah Kota bekasi No.05 Tahun 2016 tentang Rencana
Detail Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2015-2035;
(21) Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 06 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Disamping peraturan dan kebijakan di atas, beberapa Norma Standar


Pedoman dan Kriteria (NSPK) yang menjadi acuan penatalaksanaan
pengendalian banjir daerah, antara lain :
(1) SNI 02-2406-1991, Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan;
(2) SNI 03-3424-1994, Tata Cara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan;
(3) NAP Bidang Air Limbah dan Persampahan, yang terdiri dari :
a. SNI 19-6410-2000, Tata cara Penimbunan Tanah untuk Bidang
Resapan pada Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga;
b. Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, Departemen Pekerjaan
Umum Tahun 2003;
51

(4) SNI 03-2453-2002, Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan
untuk Lahan Pekarangan;
(5) Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan Drainase Perkotaan,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal
Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003;
(6) Buku Sistem Drainase Perkotaan, Jilid I-IV, Direktorat Pengembangan
Penyehatan Lingkungan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum,
2012.

Khusus pengendalian bencana, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007


tentang Penanggulangan Bencana telah mengatur kewenangan pusat dan daerah.
Arahan undang-undang tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
bertugas:
a) Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana;
b) Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana;
c) Melaporkan penyelenggaraaan penanggulangan bencana kepada Presiden
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi
darurat bencana.

Adapun kewenangan Pemerintah Daerah melalui Badan Penanggulangan Bencana


Daerah:
a) Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras
dengan kebijakan pembangunan daerah;
b) Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana;
c) Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d) Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman
atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e) Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya
alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
f) Penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang pada wilayahnya.

Tanggung jawab melekat di Pemerintah Daerah meliputi:


a) penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana
sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b) pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c) pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana
dengan program pembangunan; dan
d) pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan
belanja daerah yang memadai.
52

Berdasarkan undang-undang di atas, manajemen bencana berdasarkan


waktu kejadian dibagi atas pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Saat pra
bencana terbagi lagi atas manajemen risiko bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan.
Adapun ketika bencana terjadi, diperlukan manajemen kedaruratan. Sedangkan
manajemen pemulihan dilakukan saat pasca bencana.
Adapun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, antara lain berisi pengaturan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa.
1. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah :
a) Menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;
b) Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai
strategis nasional;
c) Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai
strategis nasional;
d) Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai
strategis nasional;
e) Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis
nasional;
f) Mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai
strategis nasional;
g) Mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas
penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada
cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;
h) Membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air
wilayah sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah
sungai strategis nasional;
i) Memfasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan
sumber daya air;
j) Menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengelolaan sumber
daya air;
k) Menjaga efektifitas, efesiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional; dan
l) Memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.

2. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi meliputi :


a) Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya
berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan
kepentingan provinsi sekitarnya;
53

b) Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai


lintas kabupaten/ kota;
c) Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi
sekitarnya;
d) Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai lintas kabupaten/ kota;
e) Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/ kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi
sekitarnya;
f) Mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/ kota;
g) Mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas
penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan
air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/ kota;
h) Membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
provinsi dan/ atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/ kota;
i) Memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam
pengelolaan sumber daya air;
j) Membantu kabupaten/ kota pada wilayahnya dalam memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat atas air;
k) Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/
kota; dan
l) Memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada
pemerintah kabupaten/kota.

3. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi :


a) Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya
berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan
pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan
kepentingan kabupaten/ kota sekitarnya;
b) Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/ kota;
c) Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/ kota dengan memperhatikan kepentingan
kabupaten/ kota sekitarnya;
d) Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai dalam satu kabupaten/ kota;
e) Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam
satukabupaten/ kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/
kota sekitarnya;
f) Mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber
daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/ kota;
54

g) Membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
kabupaten/ kota dan/ atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/
kota;
h) Memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi
masyarakat di wilayahnya; dan
i) Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/ kota.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota, telah mengatur kewenangan
tiap level pemerintahan mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi
hingga Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Pembagian urusan pemerintahan
bidang pekerjaan umum sub bidang drainase disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 4. 2 Pembagian urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum sub bidang


drainase

Sub-sub
Pemerintahan
Bidang Pemerintahan Provinsi
Daerah Kab/Kota
Pemerintah

2.Pembinaan 1. Fasilitas 1. Bantuan teknis 1.Peningkatan


bantuan teknis pembangunan, kapasitas teknik
pembangunan, pemeliharaan dan manajemen
pemeliharaan dan penyelenggara
dan pengelolaan. drainase dan
pengelolaan pematusan
2. Peningkatan
drainase genangan di
kapasitas
wilayah kabupaten/
2. Peningkatan teknik dan
kota.
kapasitas manajemen
teknik dan penyelenggara
manajemen an drainase
penyelenggara dan pematusan
an drainase dan genangan di
pematusan wilayah
genangan provinsi.
secara
nasional.

3.Pembangunan 1. Fasilitasi 1. Fasilitasi 1. Penyelesaian


penyelesaian penyelesaian masalah dan
masalah dan masalah dan permasalahan
55

Sub-sub
Pemerintahan
Bidang Pemerintahan Provinsi
Daerah Kab/Kota
Pemerintah
permasalahan permasalahan operasionalisasi
operasionalisas operasionalisas sistem drainase
i sistem i sistem dan
drainase dan drainase dan penanggulangan
penanggulanga penanggulanga banjir di wilayah
n banjir lintas n banjir lintas kabupaten/ kota
provinsi. kabupaten/ serta koordinasi
kota. dengan daerah
2. Fasilitasi
sekitarnya
penyelenggara 2. Fasilitasi
an penyelenggara 2. Penyelenggaraan
pembangunan an pembangunan dan
dan pembangunan pemeliharaan PS
pemeliharaan dan drainase di
PS drainase pemeliharaan wilayah
dan PS drainase di kabupaten/ kota.
pengendalian wilayah
3. Penyusunan
banjir di provinsi.
rencana induk PS
kawasan
3. Penyusunan drainase skala
khusus dan
rencana induk kabupaten/ kota
strategis
PS drainase
nasional
skala regional/
3. Fasilitasi lintas daerah.
penyusunan
rencana induk
penyelenggara
an prasarana
sarana drainase
dan
pengendalian
banjir skala
nasional.

4. Pengawasan 1. Evaluasi 1. Evaluasi di 1. Evaluasi terhadap


kinerja provinsi penyelenggaraan
penyelenggara terhadap sistem drainase
an sistem penyelenggara dan pengendali
drainase dan an sistem banjir di wilayah
pengendali drainase dan kabupaten/ kota.
banjir secara pengendali
56

Sub-sub
Pemerintahan
Bidang Pemerintahan Provinsi
Daerah Kab/Kota
Pemerintah
nasional banjir di 2. Pengawasan dan
wilayah pengendalian
2. Pengawasan
provinsi penyelenggaraan
dan
drainase dan
pengendalian 2. Pengawasan
pengendalian
penyelenggara dan
banjir di
an drainase pengendalian
kabupaten/ kota.
dan penyelenggara
pengendalian an drainase 3. Pengawasan dan
banjir secara dan pengendalian atas
lintas provinsi. pengendaliaan pelaksanaan
banjir lintas NSPK.
3. Pengawasan
kabupaten/
dan
kota
pengendalian
pelaksanaan 3. Pengawasan
NSPK. dan
pengendalian
atas
pelaksanaan
NSPK

Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

4.4.2 Kondisi fisik lingkungan


4.4.2.1 Geografi dan hidrologi
Kota Bekasi merupakan bagian dari wilayah administrasi Provinsi Jawa
Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta. Letak Kota
Bekasi yang berbatasan langsung dengan Ibukota Republik Indonesia
memberikan beberapa keuntungan dalam sisi kemudahan dalam bidang
perhubungan dan komunikasi. Secara geografis Kota Bekasi berada pada
posisi 106o48’28’’ -107o27’29’’ Bujur Timur dan 6o10’6’’ s.d 6o30’6’’
Lintang Selatan. Kota Bekasi dapat ditempuh dengan menggunakan
kendaraan darat baik berupa mobil, sepeda motor serta kendaraan umum
seperti angkutan umum maupun commuter line dari DKI Jakarta. Batas
wilayah administrasi yang mengelilingi Kota Bekasi sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi
Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor
Sebelah Barat : Provinsi DKI Jakarta
Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi
57

Kota Bekasi terbagi menjadi 12 (dua belas) kecamatan yang terdiri


dari 56 (lima puluh enam) kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Bekasi Nomor 04 Tahun 2004 tentang Pembentukan Wilayah Administrasi
Kecamatan dan Kelurahan. Luas wilayah Kota Bekasi adalah sekitar
210,49 km2 dengan Kecamatan Mustika Jaya merupakan kecamatan yang
memiliki wilayah terluas yaitu sekitar 24,73 km2 dan Kecamatan Bekasi
Timur sebagai wilayah terkecil dengan luas sekitar 13,49 km2.
Secara umum Kota Bekasi merupakan daerah dataran dengan
kemiringan antara 0-2% dan ketinggian antara 10 m-100 m diatas
permukaan laut. Berdasarkan hasil survei lapangan yang dilakukan
Bappedalitbang Kota Bekasi tahun 2021, ketinggian kurang dari 10 m
berada pada Kecamatan Medan Satria, sebagian Bekasi Utara dan sebagian
kecil Bekasi Barat. Sedangkan Bekasi Selatan, Bekasi Timur Pondok
Gede, Rawa Lumbu dan Mustika Jaya semuanya berada pada ketinggian
10-50 m di atas permukaan laut. Sebagian Kecamatan Bantar Gebang,
Jatiasih dan Pondok Melati ada yang berada pada ketinggian 10-50 m di
atas permukaan laut dan ada yang berada pada ketinggian 10-100 m di atas
permukaan laut. Adapun Kecamatan Jatisampurna seluruhnya berada pada
ketinggian 50-100 m di tas permukaan laut (Gambar 10).

Gambar 4. 1 Peta elevasi Kota Bekasi


58

Wilayah dengan ketinggian dan kemiringan rendah menyebabkan pada


beberapa daerah sulit untuk membuang air limpasan hujan dengan cepat,
sehingga sering merupakan langganan genangan, yaitu di Kecamatan
Pondok Melati, Kecamatan Bekasi Selatan, Kecamatan Rawalumbu,
Kecamatan Bekasi Barat dan Kecamatan Mustika Jaya. Akhir-akhir ini, di
Kecamatan Jatiasih (Kelurahan Jatirasa, Jatimekar dan Jatikramat),
Kecamatan Bekasi Timur (Kelurahan Duren Jaya, Aren Jaya), Kecamatan
Medan Satria (Kelurahan Pejuang, Kalibaru) dan Kecamatan Bekasi Utara
(Kelurahan Kaliabang Tengah) juga sering terjadi genangan. Gambar 4.2
menunjukkan peta genangan yang dirilis Pemerintah Kota Bekasi tahun
2021.
Berdasarkan pengamatan BMKG Halim Perdana Kusuma Tahun 2010
keadaan iklim di Kota Bekasi cenderung panas dengan curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan September dan Oktober, yaitu masing-masing
tercatat 346,8 mm dan 519,1 mm dengan jumlah hari hujan masing-
masing 11 dan 13 hari. Sedangkan jumlah curah hujan terendah terjadi
pada bulan Juli sebesar 83,6 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 2.
Temperatur harian diperkirakan berkisar antara 23,6–34,2 0C. Kondisi
temperatur yang tinggi tersebut mengakibatkan kondisi lingkungan dan
ruangan sangat panas. Total db bulanan tahun 2010 rata-rata mencapai
sekitar 2.438 mm rerata kecepatan angin 8,37 km/jam (min 5,4 km/jam
dan maks 13,7 km/jam), rerata kelembaban udara sekitar 82 % (min
68,9% dan maks 91,2%).
59

Gambar 4. 2 Peta genangan banjir Kota Bekasi Tahun 2021

Berdasarkan pengamatan BMKG Halim Perdana Kusuma Tahun 2010


keadaan iklim di Kota Bekasi cenderung panas dengan curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan September dan Oktober, yaitu masing-masing
tercatat 346,8 mm dan 519,1 mm dengan jumlah hari hujan masing-
masing 11 dan 13 hari. Sedangkan jumlah curah hujan terendah terjadi
pada bulan Juli sebesar 83,6 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 2.
Temperatur harian diperkirakan berkisar antara 23,6–34,2 0C. Kondisi
temperatur yang tinggi tersebut mengakibatkan kondisi lingkungan dan
ruangan sangat panas. Total db bulanan tahun 2010 rata-rata mencapai
sekitar 2.438 mm rerata kecepatan angin 8,37 km/jam (min 5,4 km/jam
dan maks 13,7 km/jam), rerata kelembaban udara sekitar 82 % (min
68,9% dan maks 91,2%).

Kondisi hidrologi Kota Bekasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:


● Air permukaan
Air permukaan yang mencakup kondisi air hujan yang mengalir ke sungai.
Terdapat 4 (empat) sungai utama yang mengalir di Kota Bekasi, yakni
Sungai Cileungsi, Sungai Cikeas, Sungai Bekasi, dan Sungai Sunter.
Sungai Bekasi mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari
Gunung Geulis, Bukit Pelangi Kabupaten Bogor dengan ketinggian ± 1500
mdpl. Air permukaan di Kota Bekasi terdiri dari sungai/Sungai Bekasi dan
beberapa sungai/kali kecil serta saluran irigasi Tarum Barat yang selain
digunakan untuk mengairi sawah dan sumber air baku bagi kebutuhan air
minum wilayah Bekasi (kota dan kabupaten) dan wilayah DKI Jakarta.
60

Kondisi air permukaan Sungai Bekasi saat ini tercemar oleh limbah
industri yang terdapat di bagian Selatan wilayah Kota Bekasi (industri di
wilayah Kabupaten Bogor).
● Air Tanah
Potensi air tanah di Kota Bekasi cukup potensial digunakan sebagai
sumber air bersih, terutama di wilayah Selatan Kota Bekasi. Namun, bagi
wilayah yang berada di sekitar TPA Bantargebang, sebagian besar air
tanahnya sudah dalam kondisi tercemar.

Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengaman untuk dapat
mendirikan bangunan-bangunan di kiri dan kanan sungai/saluran. Maksud
ditetapkannya daerah Garis Sempadan Sungai adalah sebagai upaya
perlindungan, pengembangan pemanfaatan dan pengendalian saluran serta
penataan bangunan dipinggir saluran, perlindungan masyarakat dari daya
rusak air dan penataan lingkungan. Tujuan ditetapkannya pengaturan garis
sempadan sungai untuk menjaga supaya saluran tidak terganggu oleh
aktivitas kegiatan mendirikan bangunan–bangunan yang berkembang
disekitarnya. Manfaat penetapan ketentuan garis sempadan saluran, yaitu:
1. Daya rusak air pada sungai/ saluran dan lingkungannya dapat dibatasi
dan dikendalikan;
2. Kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sungai/
saluran dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga
kelestarian fisik dan kelangsungan fungsi saluran;
3. Pembangunan dan/ atau bangunan di pinggir sungai/ saluran wajib
memperhatikan kaidah-kaidah ketertiban, keamanan, keserasian,
kebersihan dan keindahan daerah sempadan saluran;
4. Para penghuni dan/ atau pemanfaat bangunan serta lahan di pinggir
sungai/ saluran wajib berperan aktif dalam memelihara kelestarian
sungai/saluran.

Setelah ditetapkannya Peraturan Walikota Bekasi No 51 tahun 2010


Tentang Garis Sempadan Jalan dan Garis Sempadan Sungai/Saluran,
nampak perubahan sempadan sungai mulai bersih dari bangunan liar dan
berubah menjadi jalur hijau.
Jarak Garis Sempadan Sungai ditentukan dengan ukuran sebagai berikut:
1. Pada saluran bertanggul di kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki
tanggul;
2. Pada saluran tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berdasarkan
kriteria :
a. Sungai/ saluran yang mempunyai kedalaman tidak lebih besar
dari 3 (tiga) meter, garis sempadan sungai ditetapkan sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) meter dihitung dari tepi saluran;
b. Sungai yang mempunyai kedalaman lebih besar dari 3 (tiga)
meter, garis sungai/ saluran ditetapkan sekurang-kurangnya 15
(lima belas) meter dihitung dari tepi saluran.
61

Karakteristik DAS yang ada di Kota Bekasi termasuk tipe


pararel yang memiliki karakteristik “tersusun dari percabangan dua sub-
DAS yang cukup besar pada bagian hulu, tetapi menyatu pada bagian
hilirnya. Maka jika terjadinya hujan di kedua sub-DAS tersebut secara
bersamaan, akan berpotensi terjadi banjir yang relatif besar (Salampessy et
al 2020) Kawasan hulu DAS merupakan suatu daerah topografi lebih
tinggi dengan kemiringan antara 2-5%, alur sungai rapat dan merupakan
daerah konservasi. Kemiringan yang terjal menyebabkan aliran permukaan
sangat tinggi, akan tetapi apabila vegetasi di daerah hulu kerapatannya
tinggi, sistem drainasenya tertata, serta kondisi tanah yang stabil maka
aliran permukaan tersebut akan tertahan dan sebagian besar meresap ke
dalam tanah.
Terdapat beberapa aliran sungai (Kali) yang melintasi Kota Bekasi,
antara lain: Sungai Jatiluhur/Baru, Sungai Bojongrangkong, Sungai
Buaran, Sungai Katikramat, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai
Blencong, Sungai Sasak Jarang, Sungai Siluman dan Sungai Bekasi.
Sungai Bekasi berfungsi sebagai badan air penerima, dimana anak
sungainya seperti Sungai Galaxy atau Sungai Rawalumbu berfungsi
sebagai drainase primer perkotaaan. Sebagian besar hulu sungai yang
melewati wilayah Kota Bekasi adalah berasal dari Bogor dan Purwakarta,
dan berhilir menuju wilayah Bekasi Utara serta berakhir hingga ke laut
Utara. Sistem sungai yang melewati Bekasi termasuk dalam wilayah
sistem aliran banjir CBL (Cikarang - Bekasi - Laut Floodway). Sistem
CBL tersebut telah dibangun sejak tahun 1985 melalui proyek Pelebaran
Saluran Irigasi Jatiluhur yang berfungsi untuk mengatasi banjir di Wilayah
Kota Bekasi, Cisadang dan Cikarang. Aliran ini memiliki daerah
tangkapan (cathment area) seluas 1.135 km2 dengan panjang ±29 km.
Kota Bekasi juga memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) yang cukup.
Pola aliran sungai pada DAS yang melewati Kota Bekasi bersifat
dendritik dengan bentuk DAS pararel. DAS Bekasi adalah DAS dengan
wilayah cakupan paling luas di Kota Bekasi. DAS Bekasi sendiri
merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Citarum. SWS
adalah suatu batas manajemen administrasi yang terdiri atas satu atau lebih
Daerah Aliran Sungai (DAS). SWS Citarum terdiri atas dua (2) DAS,
yaitu DAS Citarum dan DAS Bekasi. Luas DAS Citarum adalah 658.500
ha dengan potensi air sebesar 13 milyar m3/tahun, sedangkan luas DAS
Bekasi adalah 144.200 ha dengan potensi air sebesar 2,5 milyar m3/tahun
(PKSPL-IPB, 2008). Sementara, dua wilayah DAS yang lain, yaitu DAS
Cakung dan DAS Sunter hanya mencakup sebagian kecil dari wilayah
administrasi Kota Bekasi. Kondisi beberapa sungai di Kota Bekasi yang
memiliki potensi dominan untuk panjang fisik, yaitu Sungai Sungai Irigasi
Sekunder, Sungai Sasak Jarang, Sungai Sunter, Sungai Bekasi dan
Kalimalang. Sedangkan kondisi sungai yang memiliki potensi debit air
terbesar baik pada musim kemarau maupun penghujan adalah Sungai
Bekasi. Berdasarkan potensi besarnya debit air sungai pada musim hujan,
diprediksikan Sungai Bekasi memiliki kontribusi besar terhadap
kemungkinan terjadinya daerah-daerah rawan genangan dan banjir di
62

wilayah yang dilintasinya. Kondisi sungai yang terdapat di Wilayah Kota


Bekasi sebagian besar sudah mengalami kerusakan. Pendangkalan, erosi
akibat dari sampah dan penyalahgunaan fungsi sungai menjadi faktor
penyebab kerusakan tersebut. Hampir 90% lahan di Kota Bekasi
digunakan sebagai pemukiman. Wilayah Utara relatif lebih padat
dibandingkan wilayah Selatan Kota Bekasi. Padahal, wilayah Utara
merupakan hilir dari sistem DAS yang ada di Kota Bekasi. Karena itu,
wilayah Utara akan menjadi fokus perhatian mengingat risiko dampaknya
terhadap masyarakat lebih besar. Kepadatan permukiman dapat dilihat
pada Gambar 4.3 (Sumber: Penyusunan Kajian Resiko Bencana di Kota
Bekasi, 2021) .
Selain sungai, Kota Bekasi juga mempunyai sumber air permukaan
lain berupa situ-situ, yakni Situ Lumbu, Situ Gede, Situ Pulo dan Situ
Rawa Bebek. Secara geografis situ-situ di Kota Bekasi hanya tersebar di
beberapa wilayah kecamatan yakni Kecamatan Rawalumbu, Jatisampurna
dan Kecamatan Bekasi Barat. Beberapa situ sudah banyak mengalami
perubahan fungsi menjadi peruntukan lain seperti kebun di sekitar
permukiman masyarakat, kecuali Situ Harapan Baru, Situ Gede dan Situ
Pulo.

Gambar 4. 3 Kepadatan bangunan Kota Bekasi


63

4.4.2.2 Tata guna lahan


Lahan Kota Bekasi dimanfaatkan untuk mendukung berbagai
kegiatan yaitu untuk perdagangan dan jasa, industri, perumahan dan
permukiman serta pertanian maupun untuk pembangunan berbagai
fasilitas pelayanan perkotaan. Penggunaan lahan dikelompokkan atas 4
kategori yaitu lahan non pertanian, lahan kering, lahan persawahan dan
lainnya. Kota Bekasi tidak memiliki lahan hutan dan perkebunan.
Penggunaan lahan terbangun mulai mengalami peningkatan dan
dimanfaatkan sebagai lahan permukiman, pusat perdagangan dan jasa
serta industri. Penggunaan lahan untuk permukiman terbagi menjadi dua,
yakni:
● Permukiman teratur
Merupakan permukiman yang dikembangkan oleh developer.
Pengembangan permukiman teatur ini dilakukan pada wilayah Bekasi
bagian tengah dan utara dengan tingkat kepadatan yang cukup tinggi
dengan memanfaatkan adanya potensi aksesibilitas. Potensi aksesibilitas
ini berupa jalan arteri dan kolektor primer yang strategis dan mampu
menampung penduduk yang bekerja di wilayah Jakarta dan kota
disekitarnya.
● Permukiman tidak teratur
Merupakan permukiman yang dibangun secara individu. Pemanfaatan
lahan bagi kegiatan perdagangan dan jasa di Kota Bekasi mulai
berkembang pesat dan melayani skala lokal-kota-regional dan skala kota-
lokal. Permukiman yang berpola menyebar tidak merata dan berkelompok
dapat ditemui di jalan-jalan atau gang-gang sempit, hal tersebut
disebabkan oleh pengembangan dilakukan secara individu oleh masyarakat
sehingga pola permukimannya relatif tidak terstruktur.
● Perdagangan dan Jasa Skala Kota-Regional
Kegiatan perdagangan dan jasa ini berkembang di pusat kota,
terutama di di koridor Jl. Juanda, Jl. Kartini, Jl. A. Yani, Jl. Sudirman, Jl.
Pemuda, Jl. Kalimalang, koridor Jl. Cut Mutiah, Jl. Pengasinan, Jl.
Siliwangi, koridor Jl. Pekayon dan koridor Jl. Kalibaru. Pola
pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa di pusat kota dilakukan
secara linear sepanjang jalan arteri dan kolektor, sebagai bagian dari CBD
(Central Business District).
● Perdagangan dan Jasa Skala Kota dan Lokal
Perdagangan dan jasa skala kota dan lokal banyak berkembang di
koridor Jl. Jatiwaringin dan Jl. Jatikramat dengan pola pengembangan
linear sepanjang jalan kolektor
● Perdagangan dan Jasa Skala Lokal
64

Kegiatan perdagangan dan jasa skala lokal berkembang di koridor


Jl. Siliwangi–Narogong, Jl. Jatisampurna–Jl. Hankam dengan pola linear
sepanjang jalan.

Adapun jenis pemanfaatan lahan perdagangan dan jasa baik skala


kota–lokal maupun skala lokal berupa pusat perbelanjaan, jasa
perkantoran, jasa perhotelan, bangunan umum, jasa profesional dan
pertokoan. Penggunaan lahan untuk kegiatan industri banyak berkembang
di beberapa wilayah, yakni: Kelurahan Harapan Jaya, Medan Satria,
Kalibaru, Pejuang, Bantar Gebang, Cikiwul dan Cikeuting Udik. Kegiatan
industri ini paling banyak berupa industri logam, listrik dan mesin dengan
pola pemanfaatan lahan yang linear yang mengikuti jalan arteri primer
pada bagian utara dan selatan Kota Bekasi. Terdapat pula kecenderungan
pola penggunaan lahan lainnya yang mengikuti sungai mulai dari hulu
sungai Cileungsi (Kecamatan Bantar Gebang), pertemuan sungai
Cileungsi-Cikeas (Kecamatan Rawalumbu), segmen tengah Sungai Bekasi
(Bekasi Timur) hingga hilir Sungai Bekasi (Kecamatan Bekasi Utara),
serta sungai lainnya seperti sungai Kalibaru (Kecamatan Medan Satria).
Hal ini dilakukan guna mempermudah pemanfaatan air bagi proses
produksi maupun pembuangan limbah.

4.4.3 Kondisi sosial budaya


4.4.3.1 Kependudukan
Sumber utama data kependudukan Kota Bekasi adalah data hasil
sensus penduduk 2020. Di dalam sensus penduduk, pencacahan dilakukan
terhadap seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah teritorial
Indonesia termasuk warga negara asing kecuali anggota korps diplomatik
negara sahabat beserta keluarganya. Penduduk Kota Bekasi adalah semua
orang yang berdomisili di wilayah teritorial Kota Bekasi selama satu tahun
atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari satu tahun tetapi
bertujuan menetap.Jumlah penduduk menurut kecamatan pada tahun 2020
disajikan dalam Gambar 4.4
65

Gambar 4. 4 Jumlah penduduk menurut Kecamatan (ribu) Tahun

Pada tahun 2020 penduduk Kota Bekasi berdasarkan hasil Sensus


Penduduk 2020 (SP2020) diperkirakan sebanyak 2,54 juta jiwa. Terdiri
atas laki-laki 1,28 juta jiwa dan perempuan 1,26 juta jiwa. Populasi
penduduk terbesar berada di Kecamatan Bekasi Utara yang dihuni
sebanyak 337,01 ribu penduduk (13,25 persen), diikuti Kecamatan Bekasi
Barat dan Kecamatan Bekasi Timur, masing-masing 281,68 ribu penduduk
(11,07 persen) dan 257,03 ribu penduduk (10,10 persen). Sedangkan
Kecamatan dengan populasi terkecil adalah Kecamatan Bantargebang
yang memiliki jumlah penduduk 107,22 ribu penduduk (4,22 persen).
Luas Kota Bekasi secara keseluruhan mencapai 210,49 km2 .
Sebagian besar wilayah Kecamatan di Kota Bekasi memiliki kepadatan
penduduk yang tinggi. Dari 12 Kecamatan, 9 di antaranya memiliki tingkat
kepadatan penduduk lebih dari 10.000 jiwa/ km2. Kecamatan Bekasi Barat
menjadi daerah terpadat dengan tingkat kepadatan mencapai 18.867
jiwa/km2. Kepadatan penduduk per km2 menurut kecamatan tahun 2020
tersaji dalam Gambar 4.5
66

Gambar 4. 5 Kepadatan penduduk per km2 menurut kecamatan Tahun 2020

4.4.3.2 Kondisi keamanan dan ketertiban


Dalam rangka penyelenggaraan perlindungan masyarakat, dibentuk
Satuan Perlindungan Masyarakat melalui Peraturan Walikota Bekasi
Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan dan Pembinaan Satuan
Perlindungan Masyarakat di Kota Bekasi. Dapat dilihat dari statistic
kejahatan di Kota Bekasi pada tahun 2014 -2015 menunjukan kejahatan
tertinggi terdapat pada jenis kejahatan penipuan dan kejahatan terendah
terdapat pada jenis kejahatan hak cipta Gambar 4.6
67

Penculikan
KDRT
Penganiayaan ringan
Penghinaan
Keterangan Palsu
Perbuatan tidak senang
Curi biasa
Pengeroyokan
Pengrusakan
Penggelapan
Perjudian
Pemerasan
Pencurian motor
Pencurian dengan pemberatan
Pembunuhan
0 100 200 300 400 500 600 700 800

2015 2014
Gambar 4. 6 Statistik kejahatan di Kota Bekasi

4.4.3.3 Ketenagakerjaan
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur
15 tahun dan lebih. Mereka terdiri dari “Angkatan Kerja” dan “Bukan
Angkatan Kerja”. Proporsi penduduk yang tergolong “Angkatan Kerja”
adalah mereka yang aktif dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk
dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam
pasar kerja yakni yang bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah
angkatan kerja untuk setiap 100 penduduk usia kerja. Penduduk Kota
Bekasi berusia 15 tahun atau lebih pada tahun 2020 mencapai 2,33 juta
orang. Jumlah angkatan kerja sebanyak 1,51 juta orang, dimana 1,35 juta
68

orang diantaranya bekerja di berbagai sektor usaha, sedangkan sisanya


0,16 juta masih menganggur. Jumlah tersebut menjadikan angka tingkat
pengangguran terbuka menjadi 10,68 persen.
Penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 1,83 juta orang,
dan usia nonproduktif sebanyak 0,71 juta menjadikan angka dependency
ratio atau rasio ketergantungan menjadi 38,92, yang artinya dalam 100
orang usia produktif menanggung 39 orang usia nonproduktif. Nilai ini
menunjukkan di Kota Bekasi 1 orang usia nonproduktif ditanggung oleh
setidaknya 6 orang usia produktif. Pekerja di Kota Bekasi didominasi oleh
lulusan SMA, yakni mencapai 45,13 persen, dan persentase angkatan kerja
terhadap penduduk usia kerja yang tamat SMA sebesar 65,74 persen
Sedangkan untuk pekerja lulusan perguruan tinggi mencapai 19,93 persen
dan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja yang tamat
perguruan tinggi sebesar 82,90 persen. Jadi terlihat bahwa perbedaan
persentase yang bekerja dengan angkatan kerja antara yang lulus SMA dan
perguruan tinggi menjadi cukup siginifikan.

4.4.3.4 Kesejahteraan
Menurut definisi UNDP, pembangunan manusia adalah proses
memperluas pilihan-pilihan penduduk. Ada tiga pilihan yang dianggap
paling penting, yaitu panjang umur dan sehat, berpendidikan dan akses ke
sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup yang layak. Salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan manusia di
Kota Bekasi adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Angka IPM
Kota Bandung sebagai ibukota provinsi merupakan yang tertinggi di Jawa
Barat. Kota Bekasi menempati urutan kedua dengan angka IPM sebesar
81,50. Sementara IPM terendah ada di Kabupaten Cianjur sebesar 65,36.
Hal ini menandakan bahwa pembangunan manusia di Kota Bekasi cukup
baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang ada di Jawa Barat.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90

B
Su og
ka or
bu
Ci mi
an
B a ju
nd r
u
Ta G ng
sik ar
m ut
al
a
Ci ya
Ku am
ni is
ng
C a
M ire n
aj bo
al n

Laki-laki 2018
Su eng
m ka

Perempuan 2020
In eda
dr n
am g
ay
S
Pu ub u
rw n a
a g
Ka kar
ra ta
w
Ba a
nd Be ng
Laki-laki 2019

un ka
Pa g si
Perempuan 2018

ng Ba

penduduk miskin dapat dilihat melalui Gambar 4.8


a ra
K nd t
Ko ota ara
ta B n
o
Ko S uk go
ta ab r
B u
Ko an mi
ta du
n
Ko Cire g
ta bo
Laki-laki 2020

Ko B e n
ta ka
Perempuan 2019

Ko Ko De si
ta ta po
Ta Ci k
s ik m a
Ko ma hi
ta lay
Gambar 4. 7 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat

Ba a
nj
ar
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90

Gambaran kelayakan hidup Kota Bekasi dibandingkan dengan persentase


69
70

2020

2019

2018

2017

2016

2015

2014

2013

2012

2011

2010
- 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

Persentase Penduduk Miskin IPM

Gambar 4. 8 Angka IPM dan persentase penduduk miskin Kota Bekasi

4.4.4 Kondisi infrastruktur perkotaan


4.4.4.1 Jaringan jalan dan aksesibilitas
Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan
tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang
menghubungkannya. Panjang jalan Kota Bekasi yang terpelihara
sepanjang 8.02 Km, Panjang Jalan Kota Bekasi yang di Rekonstruksi /
Rehabilitasi sepanjang 9.215 Km, dan Panjang Jalan Kota Bekasi yang di
Rekonstruksi / Rehabilitasi sepanjang 34.57 Km. Kondisi fisik jalan Kota
Bekasi yang mengalami kerusakan kecil sebesar 4% dan rusak berat 2%,
selebihnya 94% kondisi fisik jalan Kota Bekasi dikatakan baik pada tahun
2020.
Berdasarkan pola ruang, Kota Bekasi dibagi menjadi 5 (lima) Bagian
Wilayah Perencanaan (BWP) yaitu BWP Pusat Kota, BWP Pondok Gede,
BWP Mustika Jaya, BWP Jatisampurna dan BWP Bekasi Utara.
Pemerintah saat ini tengah dalam proses pembangunan tiga infrastruktur
fasilitas transportasi mengarah Bekasi, yaitu pembangunan jalur tol layang
Bekasi- Cawang- Kampung Melayu( Becakayu), jalan LRT, dan Tol
Elevated Jakarta- Cikampek.
Kota Bekasi memberikan kontribusi yang tinggi dalam arus
perjalanan ke dan dari Jakarta, dengan melakukan perjalanan komuter
sebesar 57% lebih dari jumlah masyarakat Kota Bekasi pada tahun 2011.
71

Penduduk Kota Bekasi juga merupakan penyumbang kendaraan terbesar


yang masuk ke wilayah Jakarta yaitu sebesar 36,55% dibandingkan Kota
Tangerang (32,37%) dan Kota Bogor/Depok (31,08).

Gambar 4. 9 Peta jaringan jalan Kota Bekasi

Tabel 4. 3 Data jalan Kota Bekasi tahun 2020

No Lokasi per Panjang Panjang Jalan Kota Panjang


Kecamatan jalan yang yang di Rekonstruksi / Jalan Kota
dipelihara Rehabilitasi 2020 yang di
2020 Rekonstruksi
(KM) / Rehabilitasi
sampai
dengan
Tahun 2020

1 Bantargebang 0.74 1.535 1.88


2 Bekasi Barat 0.18 0.044 2.26
3 Bekasi Selatan 0.32 0.729 4.03
4 Bekasi Timur 0.95 1.129 3.15
5 Bekasi Utara 1.27 0.603 5.85
6 Jatiasih 1.15 0.832 3.06
72

7 Jatisampurna 0.23 0.226 1.49


8 Medan satria 1.1 0.659 1.86
9 Mustikajaya 0.77 1.418 4.2
10 Pondok melati 0 1.143 1.85
11 Pondokgede 0 0.174 2.1
12 Rawalumbu 1.31 0.723 2.84

Gambar 4. 10 Kondisi fisik jalan


4.4.4.2 Jaringan drainase
Di Wilayah Kota Bekasi terdapat 4 sungai yang berfungsi sebagai
saluran drainase primer , yaitu Sungai Cileungsi, Sungai Cikeas, Sungai
Bekasi , dan Sungai Sunter. Disamping itu terdapat sejumlah sungai yang
bersumber di Wilayah Kota Bekasi yang berfungsi sebagai saluran
sekunder. Keempat sungai tersebut mempunyai daerah tangkapan air yang
cukup luas dan bermuara ke arah utara dan berakhir di Laut Jawa. Sistem
drainase Kota Bekasi pada saat ini mencakup wilayah seluas kurang lebih
9.035 Ha atau 43% dari luas wilayah kota. Selain itu, terdapat beberapa
DAS utama yang berfungsi sebagai sistem drainase makro. DAS tersebut
berada di sisi Timur dan Barat Sungai Bekasi (Tabel 4.3). Beberapa anak
sungai seperti Sungai Rawa Bugel/Bulak Macan/Blencong dan Sungai
Galaxy/Rawa Tembaga juga berfungsi sebagai sistem drainase primer
perkotaan. Anak sungai tersebut berfungsi sebagai penerus/sekunder dari
pusat daerah tangkapan yang berada di dalam kota, tepatnya di sisi Timur
dan sisi Barat Kalimalang/Tarum Barat ke badan air penerima dengan
73

ukuran yang bervariasi (Tabel 4.4). Detail saluran drainase Kota Bekasi
disajikan pada Gambar 4.8

Tabel 4. 4 Daerah Aliran Sungai Kota Bekasi sisi Timur dan Barat Sungai Bekasi
Timur Barat
1. Sungai Jambe/Siluman 1. Sungai Galaxi/Rawa Tembaga
2. Sungai Sasak Jarang 2. Sungai Jatiluhur/Baru/Kapuk
3. Sungai Rawalumbu 3. Sungai Cakung
4. Sungai Bojong Rangkong
5. Sungai Jatikramat
6. Sungai Buaran
7. Sungai Sunter
Sumber: Dinas Bina Marga dan SDA Kota Bekasi

Tabel 4. 5 Anak saluran di Kota Bekasi

Timur Barat
1. Sungai Cupu 1. Sungai Rawa Bugel/Bulak
Macan/Blencong
2. Sungai Mangseng
Sumber: Dinas Bina Marga dan SDA Kota Bekasi

Pengelolaan empat sungai besar yang menjadi saluran primer


tersebut menjadi wewenang dan tanggungjawab Balai Pendayagunaan
Sumber Daya Air Wilayah Sungai Ciliwung-Cisedane dan kali lainnya
yang terletak di wilayah Kota Bekasi menjadi tanggungjawab dan
wewenang Pemerintah Kota Bekasi. Untuk jelasnya tersaji dalam Gambar
4.11
74

Gambar 4. 11 Gambar peta saluran drainase Kota Bekasi


75

Gambar 4. 12 Peta kewenangan pengelolaan wilayah sungai di daerah studi


76

Gambar 4. 13 Peta wilayah sungai Ciliwung-Cisadane

Sungai Cikeas merupakan wilayah perbatasan antara Kota Bekasi


dengan Kabupaten Bogor, memiliki panjang sungai 23,27 km. Sungai
Cikeas berasal dari Gunung Geulis dan Bukit Pelangi Kabupaten Bogor.
Di Kota Bekasi, SungaiCikeas juga berfungsi sebagai saluran primer yang
menampung air buangan dari saluran drainase jalan raya/jalan
penghubung/saluran sekunder dan juga air yang berasal dari saluran tersier
yang berasal dari saluran jalan di perumahan – perumahan yang berada di
bagian timur wilayah kelurahan Jatiasih, kelurahan Jatiluhur, Kelurahan
Jatisari dan Kelurahan Jatirangga. Bagian tengah Sungai Cikeas terdapat
bendungan Koja yang berfungsi sebagai polder dan terdapat delta seluas ±
3,20 ha milik negara (PU).
77

Gambar 4. 14 Sungai Cikeas dan bendungan Koja


Sungai Bekasi adalah sungai yang membelah Kota Bekasi menjadi
2 bagian Bekasi. Aliran Sungai Bekasi berasal dari aliran Sungai Cikeas
dan Sungai Cileungsi yang memiliki hulu sungai di wilayah Kabupaten
Bogor. Sungai Bekasi berfungsi sebagai saluran primer yang menampung
air buangan berasal dari saluran drainase jalan raya/jalan
penghubung/saluran sekunder dan juga air yang berasal dari saluran tersier
yang berasal dari saluran jalan di perumahan – perumahan yang berada di
wilayah kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan dan Bekasi Timur.
Kondisi Sungai Bekasi di sebagian tanggulnya diberi pasangan turap
dengan ketinggian sekitar 3.00 – 4.00m.

Gambar 4.15 Sungai Bekasi


78

Sungai Sunter mengalir dari Selatan ke arah Utara dan Sungai


Sunter ini merupakan batas Kota Bekasi dan Provinsi DKI. Sungai ini
berfungsi sebagai Saluran Primer dari drainase jalan dan pemukiman di
beberapa kelurahan di Wilayah Kecamatan Jati Sampurna, Pondok Melati,
dan Pondok Gede Kota Bekasi yang terletak di bagian Timur K. Sunter.
DAS Sunter memiliki luas cathment area 35,904 km2, panjang 25,397 km
dan kedalaman rata-rata 2,00 m. Berdasarkan data Tahun 2010, debit air
Sungai Sunter pada musim kemarau tercatat sebesar 3.60 m3 /detik, dan
pada musim hujan debit air Sungai Sunter mencapai 14.63 m3 /detik.
Debit dalam kondisi normal di Sungai Sunter sebesar 91,609 m3 /dt.
Sungai Sunter melintasi beberapa wilayah administrasi seperti Kecamatan
Jatisampurna (sebagian Kelurahan Jatikarya, Jatisampurna, Jatiwarna),
Kecamatan Pondok gede (Kelurahan Jatirahayu, Jatimakmur,
Jatiwaringin). Hulu Sungai Sunter berada di wilayah Kecamatan
Jatisampurna (dekat Perum. Kranggan Permai), sedangkan hilirnya berada
di Kelurahan Jatiwaringin – Kecamatan Pondok Gede.

Gambar 4. 16 Sungai Sunter yang berbatasan dengan DKI Jakarta

Aliran sungai yang ada di Kota Bekasi umumnya memiliki satu


alur yang panjang dan lurus, secara prinsip masing masing anak sungai
79

dari DAS terbentuk akibat perkembangan kota yang pesat dan


terbentuknya daerah pemukiman sebagai enclave-enclave sehingga untuk
memenuhi kebutuhan saluran pembuangan membuat saluran drainase/
pembuangan yang dihubungkan dengan aliran sungai yang ada.
Kondisi inilah yang menyebabkan sistim drainase yang ada di Kota
Bekasi tidak tertata dengan baik, di tambah perkembangan pembangunan
perumahan tidak bersamaan (sesuai dengan perkembangan kota dan
investasi pengembang perumahan). Akibatnya saluran drainase yang
dibangun pada awalnya hanya untuk satu kawasan perumahan disambung
dengan perumahan berikutnya yang berada di belakangnya menyebabkan
beban saluran drainase tidak mencukupi dan terjadi limpasan/luapan
banjir. Saluran drainase yang ada di kawasan perumahan umumnya adalah
saluran drainase jalan, mengingat pembangunan saluran drainase biasanya
dibuat di kiri dan kanan jalan sesuai dengan pola site plan perumahan. Jadi
tidak heran apabila terjadinya banjir bukan hanya disebabkan alirannya
tidak lancar tetapi bisa juga akibat luapan dari limpasan dari sungai yang
mengalami debit ekstrim dan menjadi efek balik ke areal perumahan.
Kondisi topografi yang relatif datar menimbulkan problem
tersendiri, misalnya di beberapa aliran sungai ternyata alirannya bolak-
balik (reversible). Kondisi yang sangat memprihatinkan untuk penataan
saluran drainase Kota Bekasi adalah akibat adanya jaringan infrastruktur
’’Edge” yang membatasi aliran air secara alamiah dengan sistim gravitasi
tidak bisa berjalan dengan semestinya dan terjadi penumpukan di areal
sebelah selatan dari jaringan tersebut. Ada 5 (lima) jaringan infrastruktur
di wilayah Kota Bekasi mulai dari selatan ke utara, yaitu :
(1) Jalan Tol JORR (Tol Pondok Indah-Cakung-Cilincing).
(2) Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
(3) Jalan Nasional Jakarta-Bekasi
(4) Jalan Kereta Api.
(5) Saluran Irigasi Kalimalang.

Sesuai dengan kewenangan dan pengelolaannya maka kondisi daerah


aliran sungai yang berada di wilayah Kota Bekasi ada 2 katagori, yaitu:
(1) DAS yang dikelola dan ditangani oleh BBWS Ciliwung Cisadane,
terdiri dari: Sungai Sunter, Sungai Cikeas dan Sungai Bekasi.
(2) DAS yang dikelola dan di tangani Dinas Bina Marga dan Tata Air
Kota Bekasi ada 11 (sebelas) daerah aliran sungai.

Masing masing daerah aliran sungai yang ada di wilayah Kota


Bekasi memiliki kendala dan permasalahannya yang berbeda-beda, jadi
sangat spesifik untuk setiap DAS dan perlu dicermati dengan teliti.
Kondisi daerah aliran sungai di wilayah Kota Bekasi memang sangat
rumit, mengingat wilayah Kota Bekasi sejak jaman dahulu direncanakan
sebagai lumbung padi. Oleh karena itu kondisi yang ada di lapangan saat
ini masih banyak sistem jaringan irigasi yang masih berfungsi namun
pemanfaatanya sekarang menjadi bahan baku untuk supply air minum
(PDAM) di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi.
80

Analisa debit banjir DAS diperlukan untuk menentukan dimensi


saluran (lebar badan air) di bagian hilir DAS (perbatasan dengan wilayah
kabupaten/ kota diluar wilayah Kota Bekasi) yang efektif untuk
perencanaan banjir 50 tahunan.
Berikut perhitungan debit banjir maksimum :
Qsda = 112,00 0 m3/det
QBandara = 1,204m3/det
Qmax = 113,204 m3/det
Jadi, debit yang digunakan untuk menentukan dimensi Saluran
Badan Sungai adalah Qmax yaitu 113,204 m3/det. Dengan menggunakan
rumus persamaan Manning.
• Kecepatan Aliran air (V)
Hs = Hu - Hj ; Hs = Beda tinggi
Ho = Elevasi hulu Saluran Badan Sungai rencana
Hj = Elevasi hilir Saluran Badan Sungai rencana
Hu = 97.02 m H = 85.85 m
Hs = (97.02 - 85.85) m = 11.17 m

V = 20 (Hs/L)06 L = 665.33 m
V = 20 (11.17/665.33)06 = 1.722 m/det

• Luas Penampang Basah (A)


Q = V . A A = Q/V A = 113.204 / 1.722 = 65.74 m2
coba-coba, n = 7 buah

w = (0.5 - 1.0) m (Q >15 m3/det) b = 3.5 m


b total = (3.5 x 7) m = 24.5 M
h = 65.74 m2/24.5
m = htot = (2.68 + 0.5)
m = 3.15 untuk efisiensi dan keamanan, maka Htot ~ 3.5 m

Dimensi Saluran Badan Sungai b x h x n = (3.5 x 3.5) m x 7 L = 665.33 m

● Tipikal Struktur Drainase Sekunder dan Tertier

Uraian inventarisasi Kali yang berfungsi sebagai drainase di Kota


Bekasi tersaji dalam Gambar 4.17 Inventarisasi saluran drainase Kota
Bekasi. Kondisi sistem drainase yang terdapat di Kota Bekasi terdeteksi
sebagai berikut:
Permasalahan drainase yang terjadi sampai saat ini adalah sebagai berikut :
(1) Beberapa jalan penghubung antara kecamatan ada sebagian besar yang
belum mempunyai saluran samping, sehingga air hujan yang turun di
jalan tersebut mengalir secara alamiah tidak terkendali mengikuti
permukaan tanah yang menurun. Misalnya Jalan Perjuangan di Kec.
Bekasi Utara menuju ke Kecamatan Medan Satria.
81

(2) Drainase yang sudah ada kurang pemeliharaan.


(3) Masterplan yang sudah ada untuk penanganan drainase baik untuk
jangka menengah maupun jangka panjang belum terpetakan dengan
baik sehingga penanganan drainase masih belum terarah.

Kali Cikeas
Kali Sunter
Kali Rawa Rotan/Kali Rorotan
Kali Abang Tengah
Kali Boulevard/Kali Galaxy/Kali BSK
Kali Cakung
Kali Jati Keramat/Taman Sari

250.00 750.00 1,250.00 1,750.00 2,250.00


Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali
Buara Jati Bo- Caku Jatilu Boule Pekay Aban Alam Rawa Rawa Sunte Bekas Cikea
n Kera jong ng hur/ vard/ on g Galur Rotan Tem- r i s
mat/ Rangk KaliBa Kali Ten- &Kali /Kali baga
Tama ong ru/ Gal- gah Blenc Ro-
n Sari Kali axy/ ong rotan
Ka- Kali
puk BSK
NaN 625.8 1299. 1153. 2229. 1183. 438.5 249.6 494.1 489.8 293.4 413.3 1358 1796 955
Lu 6 18 95 88 42 3 7
as
CA
(ha
)
NaN 5.8 9.74 8.75 27.05 16.3 5.2 4.23 5.85 6.65 3.1 4.65 20 26.65 23.27
Pa
nja
ng
(k
m)
Slo
LuasNaNCA 0.21
(ha) 0.21 Panjang
0.21 0.19(km)
0.06 0.02
Slope0.09(%)0.07 0.05 0.1 0.11 0.21 0.06 0.03
pe
(%)
Gambar 4. 17 Inventarisasi saluran drainase Kota Bekasi
Data drainase tersier dalam kondisi baik dan pembuangan aliran air tidak
tersumbat tahun 2021 tersaji dalam tabel berikut.
Tabel 4. 6 Data drainase tersier yang berfungsi baik Tahun 2021

N KECAMATAN PANJANG
O NAMA SALURAN YANG DILALUI SALURAN
1 Saluran JL. Buntu 1 Bantargebang 2.63
2 Saluran JL. Buntu 1 Bantargebang 5.16
Saluran JL. Masjid Al-
3 Barkah Bantargebang 3.87
4 Saluran JL. Dirgahayu Bantargebang 3.34
82

N KECAMATAN PANJANG
O NAMA SALURAN YANG DILALUI SALURAN
5 Saluran JL. Gempol Bantargebang 3.93
6 Saluran JL. Pangkal VI Bantargebang 8.82
7 Saluran JL. Raya Narogong Bantargebang 16.15
8 Saluran JL. Kelinci Putih Bantargebang 8.18
9 Saluran JL. Tari Kolot Bantargebang 8.56
10 Saluran JL. TPA Bantargebang 8.8
11 Saluran JL. Lingkar Bambu Bantargebang 3.22
12 Saluran JL. Mandor besar Bantargebang 4.33
13 Saluran JL. Melati 1 Bantargebang 8.24
14 Saluran JL. Mushola Bantargebang 3.87
15 Saluran JL. Rawa Bongo Bantargebang 15.66
16 Saluran JL. Rawa Bugis Bantargebang 3.31
17 Saluran JL. Sakura Bantargebang 3.57
18 Saluran JL. Teratai Bantargebang 2.59
19 Saluran JL. TPA Bantargebang 5.16
20 saluran jalan service Bantargebang 4.25
Bantargebang,
21 Saluran JL. Siliwangi Rawlumbu 31.87
22 Saluran JL. Pemuda Bekasi Barat 2.51
Saluran JL. I Gusti
23 Ngurahrai Bekasi Barat 6.1
24 Saluran JL. Patriot Bekasi Barat 1447.05
25 saluran Jl. Raya Plaza Bekasi Barat 27.62
26 saluran Jl. Raya Bintara Bekasi Barat 12.75
27 Saluran JL. Sultan Agung Bekasi Barat 7.67
Bekasi Barat, Bekasi
28 Saluran JL. KH. Noer Ali Selatan 11.56
29 Saluran JL. Jendral Bekasi Barat, Bekasi 5.1
83

N KECAMATAN PANJANG
O NAMA SALURAN YANG DILALUI SALURAN
sudirman Selatan
30 Saluran JL. Pekayon Jaya Bekasi Selatan 8.22
31 Saluran JL. Veteran Bekasi Selatan 3.21
32 Saluran JL. Ahmad Yani Bekasi Selatan 6.59
Saluran JL. Mayor M. Bekasi Selatan ,
33 Hasibuan Bekasi Timur 3.55
34 Saluran JL. Underpass Bekasi Timur 4.82
35 Saluran JL. Ir. H. Juanda Bekasi Timur 10.26
Saluran JL. Raya Chairil
36 Anwar Bekasi Timur 5.67
37 Saluran JL. Mayor Oking Bekasi Timur 1.42
Saluran JL. HM Joyo Bekasi Timur,
38 Martono Rawalumbu 3.51
Bekasi Timur,
39 Saluran JL. RA Kartini Rawalumbu 4.55
Saluran JL. Raya Kaliabang
40 tengah Bekasi Utara 1432.18
41 Saluran JL. Kaliabang Raya Bekasi Utara 8.35
42 Saluran JL. Lingkar Utara Bekasi Utara 1321.68
Saluran JL. Sisi Barat
43 Perjuangan Bekasi Utara 14.11
44 Saluran JL. Baru Cipendawa Jatiasih, Rawalumbu 5.12
45 Saluran JL. Transyogi Jatisampurna 6.54
Saluran JL. Sisi Selatan
46 Pangeran Jayaraya Medan Satria 45.9
Saluran JL. Pondok Gede
47 Raya Pondok Gede 1.42
48 Saluran JL. Cut Mutia Rawalumbu 43.28
TOTAL 4606.250
Sumber : Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi
84

Kota Bekasi sampai saat ini memiliki 37 polder dengan total


kapasitas 3.074.498 m3 yang tersebar di 12 Kecamatan. Menurut Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 12/PRT/M/2014
tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan, sistem polder adalah
suatu cara penanganan banjir dengan kelengkapan bagunan sarana fisik,
yang meliputi saluran drainase, kolam retensi, pompa air, yang
dikendalikan sebagai satu kesatuan pengelolaan. Sementara kolam retensi
adalah kolam/waduk. Dengan sistem polder, lokasi rawan banjir akan
dibatasi dengan jelas sehingga elevasi muka air, debit, dan volume air
yang harus dikeluarkan dari sistem dapat dikendalikan. Oleh karena itu,
sistem polder disebut juga sebagai sistem drainase yang terkendali.
Pada awalnya polder dibuat untuk kepentingan pertanian. Namun,
beberapa dekade belakangan ini juga diterapkan untuk kepentingan
pengembangan industri, permukiman, fasilitas umum, dan untuk
kepentingan lainnya dengan alasan keamanan. Fungsi utama polder adalah
sebagai pengendali muka air di dalam sistem polder tersebut. Untuk
kepentingan permukiman, muka air di dalam sistem dikendalikan supaya
tidak terjadi banjir/genangan. Air di dalam sistem dikendalikan
sedemikian rupa sehingga jika terdapat kelebihan air yang dapat
menyebabkan banjir bisa dipompa keluar dari sistem polder.
Elemen-elemen Sistem polder terdiri dari jaringan drainase,
tanggul, kolam retensi, dan badan pompa. Keempat elemen ini harus
direncanakan secara integral sehingga dapat bekerja secara optimal.

a. Jaringan Drainase
Drainase adalah istilah yang digunakan untuk sistem penanganan
kelebihan air. Khusus istilah drainase perkotaan, kelebihan air yang
dimaksud adalah air yang berasal dari air hujan. Kelebihan air hujan pada
suatu daerah dapat menimbulkan masalah yaitu banjir atau genangan air.
Oleh karena itu, diperlukan adanya saluran drainase yang berfungsi
sebagai penampung air hujan dan kemudian mengalirkan air hujan tersebut
menuju kolam penampungan. Dari kolam penampungan, untuk
mengendalikan elevasi muka air, kelebihan air tersebut harus dibuang
melalui pemompaan.

b. Tanggul
Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air
atau daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi daripada
elevasi di sekitar kawasan tersebut. Pembuatan tanggul bertujuan untuk
melindungi kawasan tersebut dari limpasan air yang berasal dari luar
kawasan. Dalam bidang perairan, laut dan badan air merupakan daerah
yang memerlukan tanggul sebagai pelindung di sekitarnya. Adapun jenis-
jenis tanggul antara lain : tanggul alamiah, tanggul timbunan, tanggul
beton, dan tanggul infrastruktur.
85

Tanggul alamiah yaitu tanggul yang sudah terbentuk secara


alamiah dari bentukan tanah, misalnya bantaran di pinggiran sungai secara
memanjang. Tanggul timbunan adalah tanggul yang sengaja dibuat dengan
menimbun tanah atau material lainnya di pinggiran wilayah. Contohnya
tanggul timbunan batuan di sepanjang pinggiran laut. Tanggul beton
merupakan tanggul yang sengaja dibangun dari campuran perkerasan
beton agar berdiri dengan kokoh dan kuat. Contohnya tanggul bendung,
dinding penahan tanah ( DPT ).
Tanggul infrastruktur merupakan sebuah struktur yang didesain
dan dibangun secara kuat dalam periode waktu yang lama dengan
perbaikan dan pemeliharaan secara terus menerus sehingga seringkali
dapat difungsikan sebagai sebuah tanggul, misalnya jalan raya.

c. Kolam Retensi

Gambar 4. 18 Kolam Retensi.


Sumber : Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi
Kolam Retensi adalah kolam/waduk penampungan air hujan dalam
jangka waktu tertentu. Fungsinya untuk memotong puncak banjir yang
terjadi dalam badan air/sungai. Dengan kata lain, kolam retensi merupakan
suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung atau meresapkan air
didalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam.
Kolam retensi dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu kolam alami dan
kolam non alami.
Kolam alami yaitu kolam retensi yang berupa cekungan atau lahan
resapan yang sudah terdapat secara alami dan dapat dimanfaatkan baik
pada kondisi aslinya atau dilakukan penyesuaian. Kolam non alami yaitu
kolam retensi yang dibuat secara sengaja dan didesain dengan bentuk dan
kapasitas tertentu pada lokasi yang telah direncanakan sebelumnya dengan
lapisan bahan material yang kaku, seperti beton. Pada kolam jenis ini, air
86

yang masuk ke dalam inlet harus dapat menampung air sesuai dengan
kapasitas yang telah direncanakan sehingga dapat mengurangi debit banjir
puncak (peak flow) pada saat over flow sehingga kolam berfungsi sebagai
tempat mengurangi debit banjir dikarenakan adanya penambahan waktu
kosentrasi air untuk mengalir di permukaan.

d. Stasiun Pompa
Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang digunakan untuk
mengeluarkan air yang sudah terkumpul dalam kolam retensi
atau junction jaringan drainase ke luar cakupan area. Prinsip dasar kerja
pompa adalah menghisap air dengan menggunakan sumber tenaga, baik itu
listrik maupun diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut atau
sungai/banjir kanal yang bagian hilirnya akan bermuara di laut. Biasanya
pompa digunakan pada suatu daerah dengan dataran rendah atau keadaan
topografi (kontur) yang cukup datar sehingga saluran-saluran yang ada
tidak mampu mengalir secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas pompa yang
disediakan di dalam stasiun pompa harus disesuaikan dengan volume
layanan air yang harus dikeluarkan. Pompa yang menggunakan tenaga
listrik disebut dengan pompa jenis sentrifugal, sedangkan pompa yang
menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar solar adalah
pompa submersible.

4.4.4.3 Jaringan air bersih


Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan
makhluk hidup. Apabila kebutuhan akan air belum tercukupi, dapat
memberikan dampak yang besar bagi kesehatan dan kelangsungan hidup.
Pengadaan air bersih dalam skala yang besar hanya terpusat pada daerah-
daerah perkotaan saja dan dikelola oleh PDAM setempat. Air yang layak
untuk diminum mempunyai standar persyaratan tertentu. Persyaratan
tersebut mencakup persyaratan secara fisik (warna, rasa, dan bau), kimiawi
(pH, persentase zat terlarut, mineral yang terkandung di dalamnya), serta
bakteriologis yang merupakan satu kesatuan. Apabila salah satu dari ketiga
parameter tersebut tidak lolos uji, maka dapat dinyatakan bahwa air
tersebut tidak layak untuk digunakan sebagai air minum. Penggunaan air
minum yang tidak lulus uji berdasarkan standar yang berlaku dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, baik itu terjadi dalam jangka yang
pendek maupun dalam jangka panjang pemakaian. Sumber kebutuhan air
minum di Kota Bekasi berasal dari air sungai, air sumur atau air tanah.
Permasalahan yang seringkali dijumpai adalah kualitas dari air tanah
maupun air sungai yang digunakan oleh masyarakat tidak memenuhi
parameter air yang dapat dikonsumsi sebagai air minum. Bahkan ada
beberapa wilayah yang air nya tidak layak untuk digunakan. Permasalahan
tersebut dapat ditanggulangi dengan pengolahan air tanah atau air sumur
untuk mendapatkan air yang lebih baik kualitasnya sehingga dapat
digunakan atau dikonsumsi. Sebagian besar penduduk Kota Bekasi
87

memanfaatkan air PDAM dan air tanah, jumlah titik pengambilan air tanah
di Kota Bekasi berupa sumur sebanyak 879 titik dengan debit air sebesar
54.105,23 m3/hari.
Air Bersih Kota Bekasi di pasok oleh 2 PDAM yaitu, PDAM Tirta
Patriot dan Tirta Bhagasasi. PDAM Tirta Patriot mempunya kapasitas
pengelolaan air bersih total sebesar 700 liter/detik dengan menggunakan 3
IPA (Instalasi Pengolahan Air). Sumber air baku yang diolah PDAM Tirta
Patriot berasal dari saluran irigasi/saluran sekunder yang ada di Bendung
Bekasi, saluran irigasi ini menampung air dari Kali Malang dan Sungai
Bekasi. Debit maksimal yang diambil dari Kali Malang adalah sebesar 1
m3 /detik, sedangkan pengambilan debit dari Sungai Bekasi berkisar dari
4-5.8 m3 /detik. Pasokan air yang digunakan PDAM Bhagasasi untuk
pelayanan 12 kota hanya berasal dari Kali Malang yang mempunyai
kapasitas maksimal pengolahan air 1390 liter/detik dengan 5 unit IPA.
Sumber air baku yang digunakan PDAM Tirta Bhagasasi untuk
pemenuhan kebutuhan Kota Bekasi keseluruhan berasal dari Kali Malang,
sedangkan PDAM Tirta Patriot menggunakan dua sumber air baku yaitu
Kali Malang dan Sungai Bekasi.
Aliran Sungai Bekasi merupakan gabungan antara Sungai Cikeas
dan Sungai Cileungsi, sehingga terkadang pencemaran yang dilakukaan
pada kawasan Sungai Cileungsi akan mempengaruhi air baku yang diolah
oleh PDAM Tirta Patriot. Keadaan secara umum kedua aliran ini pada
umumnya mengalami pendangkalan dan penyempitan aliran akibat
lumpur. Upaya yang selama ini dilakukan oleh pihak PJT II dan
pemerintah Kota Bekasi adalah menormalisasi saluran Kali Malang dan
saluran sekunder agar dapat mengalirkan debit optimal ke daerah yang
membutuhkan air baku.

Gambar 4. 19 Diagram pengelolaan air baku Kota Bekasi


Sumber: Aria et al. 2020
88

Ketersedian air baku Kota Bekasi bersumber dari aliran permukaan


dan air tanah. Potensi ketersedian air baku dari aliran permukaan adalah
sebesar 213 498 720 m3 /s, sedangkan potensi ketersedian air tanah 2 938
820 400 m3 . Kebutuhan air Kota Bekasi pada tahun 2010 mencapai 189
803 000 m3 yang didominasi oleh kebutuhan domestik (53.88%), irigasi
pertanian (30.17%) dan sektor industri (10.45%), sedangkan prediksi
kebutuhan air Kota Bekasi pada tahun 2050 sebesar 335 479 000 m3 tanpa
adanya kebutuhan air untuk irigasi karena lahan pertanian yang dialih
fungsikan(Aria et al. 2020).

4.4.4.4 Jaringan air limbah


Kondisi air Sungai Bekasi yang dahulu jernih setelah adanya
kontaminasi oleh limbah industri dan domestik mengakibatkan perubahan
terhadap kualitas air Sungai Bekasi. Perubahan ini terkait seperti kondisi
air sungai yang berubah warna menjadi kehitaman dan atau coklat keruh
serta terkadang memiliki warna lain, dan berbau menyengat yang
mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di dekat sungai. Hal ini
menyebabkan air Sungai Bekasi sudah tidak dapat digunakan untuk
konsumsi maupun untuk MCK.
Sungai Bekasi saat ini telah tercemar oleh limbah cair yang berasal
dari rumah tangga dan industri. Limbah cair ini mengandung zat
berbahaya dari sejumlah industri yang berada di sepanjang daerah aliran
sungai (DAS) Sungai Bekasi (Jaya 2018). Menurut Dinas Lingkungan
Hidup Kota Bekasi hingga saat ini terdapat 18 industri yang berpotensi
mencemarkan Sungai Bekasi karena posisi industri yang berdiri diatas
garis sempadan sungai. Sebagian besar dari industri tersebut telah
memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) tetapi pengoperasian
IPAL tersebut belum sesuai dengan prosedur. Selain pengoperasiannya
yang belum sesuai prosedur, sebagian besar industri tersebut belum
memiliki Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).

4.4.4.5 Pengelolaan sampah


Sampah yang dihasilkan kegiatan perkotaan di Kota Bekasi
sebagian besar tergolong sampah domestik. Volume sampah yang masuk
ke TPA Sumur Batu sebesar 807.366 m 3 dengan rata-rata perhari sebesar
552,99 ton/hari.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 15 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Sampah di Kota Bekasi, Pemerintah Daerah
mempunyai kewenangan :
a) menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah
berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi;
b) menyelenggarakan pengelolaan sampah skala Kota sesuai dengan
norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah;
89

c) melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan


sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain;
d) menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, TPST,
dan/atau TPA sampah;
e) melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam)
bulan selama 20 (dua puluh) tahun terhadap TPA sampah dengan
sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan
f) menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat
pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.

Jaringan persampahan Kota Bekasi dibagi menjadi 5 berdasarkan BWP,


yaitu:
(1) BWP Pondok Gede
(2) BWP Jatisampurna
(3) BWP Bekasi Utara
(4) BWP Mustikajaya
(5) BWP Pusat Kota

Pada BWP Pondok Gede terdapat 10 TPS Container yang tersebar di


Keluraham Jati Cempaka, Jatibening, Jatimakmur, Jatiasih, Jatimekar
dan Jatirahayu. Adapun pada BWP Jatisampurna, terdapat disediakan 27
TPSS berupa container sampah yang tersebar di Kelurahan Jatikarya, Jati
Sampurna, Jatirangga, Jatiraden, Jatisari, Jatiranggon, Jatiluhur, Jatimurni,
dan Jatimelati. Untuk BWP Bekasi Utara, terdapat 37 TPS yang tersebar di
Kelurahan Kali Abang Tengah, Medan Satria, Pejuang, Harapan Jaya,
Kalibaru, Harapan Mulya, Marga Mulya, Harapan Baru, Perwira, dan
Teluk Pucung. Sementara itu, di BWP Mustika Jaya tersedia 7 TPS, 1
TPA dan 1 TPPAS. TPA terletak di tengah-tengah Kelurahan Ciketing
Udik dan Sumur Batu. TPPAS terletak di dalam buffer zone area TPA
yang terletak di Kelurahan Sumur Batu. TPS tersebar di Kelurahan
Ciketing Udik, Cikiwul, Bantar Gebang, Sumur Batu, Cimuning,
Pedurenan dan Mustika Sari. Berikutnya di BWP Pusat Kota, tersedia 109
TPS Container yang tersebar di Kelurahan Bojong Menteng, Pengasinan,
Bojong Rawa Lumbu, Jaka Setia, Pekayon Jaya, Sepanjang Jaya,
Jakasampurna, Margahayu, Marga Jaya, Kayuringin Jaya, Kranji, Bintara
Jaya, Bintara, Kota Baru, Aren Jaya dan Duren Jaya.
90

0.010 0.030 0.050 0.070 0.090 0.110


Pusat Kota Pon- Jati- Bekasi Musti Pusat
dok sam- Utara ka Kota
Gede purna Jaya
Mustika
JUMLAH Jaya
PEN- 498.5 NaN NaN 255.0 NaN NaN 499.1 NaN NaN 320.7 NaN NaN 970.2
DUDUK 6 4 3 4 2
Bekasi
INDEKSUtara 0.020 NaN NaN 0.105 NaN NaN 0.074 NaN NaN 0.028 NaN NaN 0.112
05776 86574 12898 06011 34565
63671 65495 44329 09933 35631
Jatisampurna 374 61 133 279 09

Pondok Gede
100 300 500 700 900 1100
Pon- Jati- Bekasi Musti Pusat
dok sam- Utara ka Kota
Gede purna Jaya
JUMLAH PEN- 498.5 NaN NaN 255.0 NaN NaN 499.1 NaN NaN 320.7 NaN NaN 970.2
DUDUK 6 4 3 4 2
INDEKS 0.020 NaN NaN 0.105 NaN NaN 0.074 NaN NaN 0.028 NaN NaN 0.112
05776 86574 12898 06011 34565
63671 65495 44329 09933 35631
374 61 133 279 09

Gambar 4. 20 Indeks kecukupan fasilitas pembuangan sampah


Sumber: Sistaru Kota Bekasi (diolah)

Jika dibandingkan antara jumlah penduduk dengan fasilitas TPA,


TPS dan TPSS yang ada di tiap BWP, maka diketahui kecukupan fasilitas
persampahan yang ada. Gambar 4.20 menunjukkan fasilitas persampahan
di BWP Mustika Jaya dan BWP Pondok Gede masih kurang, ditunjukkan
dengan indeks masing-masing 0.028 dan 0.020. Padahal, rerata sebaran
sampah di Mustika Jaya dan Pondok Gede masuk dalam urutan kedua
terbanyak sepanjang tahun 2018 dan 2019 (Gambar 4.21).
91

Bekasi Timur, Jatiasih

Bekasi Barat, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Rawalumbu, Medan Satria, Pondok Gede, Mustika Jaya

Bantar gebang, Jatisampurna, Pondok Melati

0 10002000300040005000600070008000

2019 2018

Gambar 4. 21 Rerata sebaran Sampah di Kota Bekasi


Sumber : Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi

4.4.4.6 Ruang terbuka hijau dan terbuka biru


Kota Bekasi yang memiliki luas wilayah sekitar 21049 ha harus
memiliki persentase RTH sebesar 30% dari total luas wilayah atau sekitar
6314,7 ha, dimana sekitar 20% merupakan lahan RTH yang disediakan
oleh pemerintah sementara 10% disediakan oleh swasta maupun
masyarakat. RTH Kota Bekasi didominasi jenis taman kota, TPU dan
sempadan sungai. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota Bekasi yang
diproyeksikan untuk 2011-2031, Kota Bekasi perlu menyediakan ruang
terbuka hijau seluas 6710 ha. Persentase RTH eksisting di Kota Bekasi
juga mengalami penurunan dari tahun 2013 hingga 2021 sebesar 8% atau
1,728 ha. Tingkat sebaran vegetasi di Kota Bekasi pada tahun 2021
mengalami penurunan khususnya di Bekasi bagian Barat 6,889 ha. Pada
Januari 2021, persentase dari ruang hijau yang sudah dioptimalkan sebagai
RTH sesuai dengan klasifikasi kawasan lindung dalam Peraturan Daerah
Kota Bekasi No 13 Tahun 2011-2031 baru mencapai 2.43% atau 525 ha,
dengan tipe RTH Kota dan RTH TPU. Persentase ini menunjukkan bahwa
belum terjadi peningkatan luas ruang terbuka hijau yang signifikan sejak
rancangan RTRW Kota Bekasi diterbitkan pada tahun 2011. Tentu saja
belum dapat memenuhi persyaratan syarat penyediaan RTH sebesar 30%
dari total luas wilayah Kota Bekasi. Alih fungsi lahan menjadi salah satu
pemicu berkurangnya cakupan areal RTH.
92

Tinggi

Sedang

Rendah
Sebaran vegteasi

Sangat rendah

Tidak bervegetasi

1000 3000 5000 7000 9000 11000


Tidak bervege- Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi
tasi
Luas (ha) 2013 28.22 1243.87 3682.19 5415.02 11044.68
Luas (ha) 2021 769.48 4070.72 5811.93 3880.03 6889.26

Luas (ha) 2021 Luas (ha) 2013

Gambar 4. 22 Sebaran vegetasi pada lahan peruntukan RTH Tahun 2013-2021


Sumber: Pambudi dan Tambunan 2021, diolah

Berdasarkan amatan (Pambudi dan Tambunan 2021) melalui Citra


satelit landsat 8 tahun 2013, areal dengan klasifikasi sebaran vegetasi tinggi
memiliki luas 11044 ha atau 51% dari total luas wilayah, klasifikasi sedang
dengan 5414 ha. rendah 3628 ha, sangat rendah 1243 ha dan lahan tidak
bervegetasi dengan luas 28 hektar atau 0.1%. Sementara itu, pada citra
landsat terakhir bulan Agustus 2020, terjadi penurunan luas lahan dari
klasifikasi sangat tinggi mencapai 6882 ha atau 32% dan tinggi dengan
3880 ha, pada klasifikasi sangat rendah, rendah dan tinggi mengalami
peningkatan luas lahan sebesar 10652 ha.

4.5 Sistem pengendalian banjir eksisting

4.5.1 Kejadian banjir Kota Bekasi


Setiap musim penghujan hampir disetiap provinsi yang ada di Indonesia
di landa bencana banjir yang berdampak kerugian bagi masyarakat. Salah satu
wilayah yang selalu mengalami banjir adalah Kota Bekasi yang terletak di
bagian hilir Daerah Aliran Sungai Bekasi hulu. Banjir yang terjadi di Kota
Bekasi terjadi secara rutin dari tahun ke tahun dan cenderung membesar, dapat
dilihat pada tabel 4.7.

Tabel 4. 7 Data kebencanaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota


Bekasi 2020-2022

NO KECAMATAN BANJIR ANGIN TANAH


KENCANG/PB LONGSOR
93

2020 2021 2022 2020 2021 2022 2020 2021 2022


1 Pondokgede 1 21 1 1 1
2 Jatisampurna 1 7 0 1 0
3 Pondok Melati 1 16 1 0
4 Jatiasih 4 19 2 0 1 5
5 Bantargebang 5 10 1 0
6 Mustika Jaya 1 14 0 0
7 Bekasi Timur 3 14 2 0 2 1
8 Rawalumbu 3 18 2 1 0 1
9 Bekasi Selatan 4 10 2 0 1
10 Bekasi Barat 2 14 1 0 3
11 Medan Satria 3 12 1 0 0
12 Bekasi Utara 4 17 1 1 0 1
TOTAL 32 172 12 2 3 1 1 14 1
Sumber : BPBD Kota Bekasi 2020-2022
Berdasarkan data kebencanaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kota Bekasi dalam 3 tahun terakhir 2020-2022, data pada tabel diatas
menunjukkan kejadian banjir di Kota Bekasi merupakan bencana yang paling
sering terjadi. Maka dapat diketahui bahwa BPBD Kota Bekasi membutuhkan
manajemen dan perencanaan bencana yang baik untuk dapat menyelesaikan
permasalahan yang kompleks dalam penanggulangan bencana banjir. Dalam
kegiatan manajemen bencana di dalamnya terdiri dari beberapa komponen
antara lain, kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan mobilisasi yang
dibutuhkan menangani bencana alam. Selain itu BPBD Kota Bekasi harus
memastikan tindak lanjut dalam penanganan korban banjir sesuai dengan
prinsip manajemen bencana secara adil sehingga tidak ada pihak yang merasa
dirugikan.
Berdasarkan kajian Pemerintah Kota Bekasi tahun 2021 dan
pengamatan di lapangan, diketahui penyebab awal terjadinya genangan
maupun banjir di Kota Bekasi adalah pertumbuhan penduduk dan kebutuhan
lahan permukiman. Fenomena ini memicu peningkatan kebutuhan infrastruktur
perkotaan seperti sarana permukiman, sarana transportasi, sarana perdagangan
dan jasa. Saat ini pembangunan mall, apartemen, gedung perkantoran,
peninggian badan jalan, pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek II, Becakayu
dan jalur Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) sedang dikebut
penyelesaiannya. Akibat yang tidak bisa dihindari dari aktivitas pembangunan
ini adalah banyaknya persimpangan saluran dan sungai. Semakin banyak
simpangan atau istilah umumnya crossing, meningkatkan risiko hambatan
94

saluran. Hambatan saluran menimbulkan luapan drainase yang berkorelasi


positif dengan risiko banjir.
Hambatan saluran selain diakibatkan oleh banyaknya crossing, juga
disebabkan menurunnya kualitas fungsi saluran karena kurangnya
pemeliharaan saluran oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Pemeliharaan yang kurang intensif menurunkan kapasitas saluran primer,
sekunder maupun tersier. Hal ini diperburuk dengan kenyataan pembangunan
saluran dan polder tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar konstruksi.
Pertumbuhan penduduk secara otomatis juga menimbulkan peningkatan
timbulan sampah di sungai maupun saluran. Kurangnya kesadaran masyarakat
dan kapasitas daya angkut sampah yang tidak memadai, menambah beban
sungai dan saluran. Jika pematusan sampah tidak kontinu, maka badan sungai
akan menyempit lalu menimbulkan risiko meluapnya air sungai saat curah
hujan tinggi. Apalagi jika ditambah dengan tidak berfungsinya pintu air dan
polder. Kondisi saluran dan sungai yang dipenuhi sampah terlihat di beberapa
tempat seperti di Sungai Sunter dan Saluran Fajar Indah (Gambar 4.24).

Gambar 4. 24 Sampah memenuhi sungai dan saluran


95

Di sisi lain, kebutuhan lahan permukiman yang tinggi, mendorong


okupasi dataran banjir, dan tutupan lahan menjadi dominansi ruang terbangun.
Jika deforestasi terjadi di hulu, kuantitas RTH berkurang maka kapasitas
infiltrasi menurun. Dataran banjir yang berubah fungsi juga menyebabkan
sedimentasi yang menimbulkan pengurangan kapasitas area tangkapan air.
Menurunnya kuantitas RTB akibat meningkatnya perubahan tutupan lahan juga
menurunkan kapasitas area tangkapan air. Fenomena ini jika tidak diantisipasi
degan baik, akan menimbulkan risiko luapan pada hilir DAS terutama ketika
curah hujan sedang tinggi-tingginya.
Bahaya banjir sejak awal disadari karena topografi Kota Bekasi yang
relatif datar dengan kemiringan 0 – 2% ke arah Utara dengan ketinggian 4 – 81
meter diatas permukaan laut. Kota Bekasi didominasi oleh rawa dan situ yang
saat ini telah berubah fungsi menjadi permukiman dan pusat-pusat jasa. Hal ini
telah diantisipasi dengan menerbitkan RTRW yang memperhatikan risiko
bencana. Namun karena keterbatasan informasi, data yang sulit dikonfirmasi dan
seringkali diskontinu, maka rencana yang dibuat menjadi tidak akurat. Hal inilah
yang menjadi salah satu sumber bencana.
Dalam implementasi rencana pembangunan daerah, politik pemerintahan
ikut berpengaruh. Pergantian kepala daerah dan anggota legislatif tiap 5 (lima)
tahun sekali membuat diskontinuitas rencana jangka panjang. Selain itu, masih
adanya mental korupsi di kalangan teknokratis menyebabkan tatanan yang sudah
ada menjadi berubah-ubah. Kondisi menyebabkan kualitas kerjasama
stakeholder menjadi kurang baik. Meskipun tidak langsung, kelemahan ini juga
menjadi potensi bencana. Salah satu tantangan bagi Pemerintah Kota Bekasi
dalam pengendalian banjir adalah belum adanya penanganan terpadu
pengendalian banjir dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, daerah – daerah perbatasan, dan stakeholder
lain yang terkait. Diagram banjir Kota Bekasi dapat dilihat pada Gambar 4.25.
96

Gambar 4. 25 Causal loop diagram banjir Kota Bekasi

4.5.2 Tata kelola banjir eksisting


Pemerintah Kota Bekasi mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi
Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah. Peraturan tersebut dibuat dalam rangka mengupayakan
penyelenggaraan dan pelayanan masyarakat di bidang penanggulangan bencana
daerah. BPBD Kota Bekasi mulai diisi personil pada tanggal 19 Januari 2015.
Berikutnya, dalam rangka mewujudkan jaminan hidup dan kehidupan yang
layak serta untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana baik yang
akan, sedang, dan sudah terjadi serta gangguan keamanan atau masalah sosial
lainnya, Pemerintah Kota Bekasi menerbitkan Peraturan Daerah Kota Bekasi
Nomor 06 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Adanya Perda ini diharapkan penanggulangan bencana dapat terselenggara
secara sistematis, terpadu, terencana, terstruktur serta terkoordinasi dengan
mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki oleh Kota Bekasi.
Menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pra bencana terbagi atas manajemen risiko bencana, mitigasi dan
kesiapsiagaan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan
prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi: a) dalam
situasi tidak terjadi bencana; dan b) dalam situasi terdapat potensi terjadinya
bencana. Pada tahap pra bencana, peringatan dini menjadi salah satu komponen
penting sebelum bencana itu terjadi. Dalam hal ini BPBD Kota Bekasi
melakukan pendeteksian banjir dengan melakukan piket kesiapsiagaan bencana
97

banjir 24 jam setiap harinya apabila sudah datang musim penghujan mulai dari
Oktober sampai Maret. Seluruh informasi yang diperoleh dari stasiun
pemantauan Sungai Cikeas dan Cileungsi dikumpulkan ke dalam pusat data
dan laporan melalui perangkat lunak sms-gateway, informasi tersebut
didistribusikan ke masyarakat melalui website dan juga komunitas-komunitas,
seperti Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C) (Prihartanto dan Ganesha
2019). Selain melalui website dan komunitas, penyebarluasan peringatan dini
juga melalui grup Whatsapp, membunyikan sirine peringatan, pengumuman
langsung oleh aparatur setempat.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 06 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, pasal 32, dalam rangka mitigasi
bencana untuk kawasan rawan banjir, Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya, menetapkan :
a) Penetapan batas dataran banjir;
b)Pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pengendalian
pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah;
c) Ketentuan pelarangan kegiatan untuk fasilitas umum; dan
d)Pengendalian kegiatan permukiman

BPBD Kota Bekasi dibentuk untuk meningkatkan kewaspadaan,


mengingat kondisi bencana di Kota Bekasi termasuk kategori tinggi untuk
bencana banjir. Menurut Kusumasari (2014) dalam mitigasi bencana banjir
selain mitigasi struktural yang dikembangkan, mitigasi nonstruktural juga
berperan penting dalam penanggulangan banjir. Mitigasi non struktural yang
dilakukan BPBD Kota Bekasi yaitu mengadakan kegiatan sosialisasi tanggap
bencana dengan melibatkan masyarakat secara luas hingga pelajar dan
mahasiswa melalui kegiatan peningkatan pengetahuan tentang bencana.
Sosialisasi bencana dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya resiko bencana dan dampaknya bisa meningkatkan kewaspadaan
masyarakat itu sendiri ditambah dengan pelatihan kebencanaan yang nantinya
dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi kejadian
bencana, seperti tata cara penanggulangan sederhana bagi masyarakat,
pelatihan SAR sederhana seperti cara menandu dan menangani korban
bencana, pelatihan evakuasi seperti tata cara penggunaan perahu. Kegiatan dan
aktivitas yang pernah dilaksanakan oleh BPBD Kota Bekasi dalam rangka
persiapan dan pencegahan, saat tanggap darurat dan pasca bencana meliputi :
(1) Pelatihan dasar penanggulangan bencana.
(2) Pengadaan persediaan kebutuhan logistik untuk korban bencana.
(3) Sosialisasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat pada daerah
rawan bencana serta sosialisasi pada dunia pendidikan.
(4) Bimbingan teknis penghitungan kerusakan dan kerugian pasca bencana.
(5) Meningkatan kapasitas relawan melalui pelatihan baik yang diadakan oleh
BPBD Kota Bekasi, BPBD Provinsi, BNPB dan BASARNAS.
(6) Pembuatan peta resiko bencana.
(7) Mempersiapkan sarana dan prasarana yang digunakan untuk evakuasi
korban.
98

(8) Koordinasi dengan dinas lainnya pada hal assesment saat terjadi bencana,
serta evakuasi korban bencana bekerja sama dengan dari relawan peduli
bencana.

Khusus stakeholder yang berperan dalam manajemen pengendalian banjir


secara struktur, termasuk di dalamnya desain bendungan dan saluran air, adalah
Dinas BMSDA Kota Bekasi. Salah satu indikator kinerjanya adalah persentase
berkurangnya luasan genangan banjir. Untuk mencapai target tersebut, rencana
aksi yang dirumuskan meliputi:
a) Mengusulkan kegiatan pelebaran kali dalam rangka restorative justice
(pengembalian fungsi kali atau sungai).
b) Mengusulkan pembangunan tampungan air atau polder di wilayah -
wilayah yang sering terdampak banjir
c) Melaksanakan tahapan normalisasi kali melalui pematusan secara rutin.
d) Berkoordinasi aktif dengan BBWSCC dalam upaya pengerukan
sedimentasi kali.
Secara bertahap melakukan perbaikan terhadap sistem drainase, baik
terkait kondisi salurannya, jaringan drainase, mapun hal-hal lain yang
menghambat aliran air, diantaranya peninggian terhadap jembatan yang
mengganggu aliran air. Kegiatan ini akan terus dilakukan setiap tahun
Mitigasi struktural penanggulangan banjir yang dilakukan BPBD Kota
Bekasi dengan memasang alat early warning system di lima lokasi aliran
Sungai Cikeas-Cileungsi yaitu hilir aliran sungai Pondok Gede Permai,
Jembatan Mendu Ciangsana Cikeas, Pondok Pesantren Darussalam Cileungsi
Tengah, Jembatan Wika Cileungsi, dan Cibongas Sentul. Alat early warning
system yang ada di Kota Bekasi berupa peilschall yakni berupa penggaris
untuk mengukur ketinggian air sungai dan ada juga yang berupa sensor
otomatis. Dengan adanya alat tersebut, petugas yang memantau bisa
memberikan informasi 5-6 jam sebelum air sampai di wilayah Bekasi
(Prihartanto & Ganesha, 2019).
Stakeholder yang berperan dalam pengendalian banjir secara non struktur
adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane, Dinas Tata
Ruang Kota Bekasi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi,
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota (BPBD) Bekasi, TNI-POLRI,
Palang Merah Indonesia, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) (Syahnanda 2022). Tabel 6 menunjukkan stakeholder yang berperan
dalam pengendalian banjir Kota Bekasi.

Tabel 6 Pemangku kepentingan sistem pengendalian banjir


Manajemen Pengendalian Pemangku Kepentingan
Banjir
Struktur
99

DBMSDA Kota Bekasi


● Bendungan

DBMSDA Kota Bekasi


● Perbaikan sistem jaringan
sungai
DBMSDA Kota Bekasi
● Pembangunan tanggul banjir

Non Struktur
BBWS Ciliwung Cisadane
● Manajemen DAS

Distaru dan BAPPEDA Kota


● Pengaturan tata guna lahan
Bekasi
BPBD Kota Bekasi, TNI-
● Penanganan kondisi darurat
POLRI, PMI
BPBD, BNPB
● Kajian risiko bencana banjir

Sumber : Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi

Salah satu cara penanganan banjir yang dilakukan Kota Bekasi


adalah bangunan fisik, yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, polder,
bendungan, tanggul banjir yang mengelilingi kawasan, serta pompa
dan/pintu air. Pembangunan struktur pengendali banjir ini tidak dapat
dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan perlu direncanakan dan
dilaksanakan secara terpadu, disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah
dan tata air secara makro. Kombinasi kapasitas pompa dan kolam retensi
harus mampu mengendalikan muka air pada suatu kawasan polder dan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap sistem drainase secara makro
(Rosdianti 2009 dalam Wahyudi 2010). Masalahnya, saat membangun
struktur tersebut Pemerintah Kota Bekasi belum memiliki master plan.
Akibat pembangunan struktur yang tidak terintegrasi, fungsinya tidak dapat
maksimal.
Bersumber pada hasil wawancara dengan masyarakat korban banjir
Kota Bekasi, secara umum kegiatan pra bencana meliputi mitigasi dan
peringatan dini yang dilakukan oleh BPBD Kota Bekasi sudah berjalan,
namun implementasinya belum merata dan menyeluruh. Sasaran obyek
sosialisasi secara luring, lebih banyak ke institusi seperti Polresta Bekasi,
Kodim 0507 Kota Bekasi, perusahaan-perusahaan, sekolah-sekolah, kantor-
kantor pemerintah dan relawan. Sosialisasi tanggap bencana baru diterima
oleh sebagian warga, karena itu beberapa masyarakat belum paham hal
tersebut. Padahal jika masyarakat paham, mereka akan mampu melakukan
penanganan awal kebencanaan untuk dirinya sendiri dan lingkungannya.
Sehingga dampak dari kejadian bencana bisa diminimalisir. Untuk
meningkatkan penetrasi, BPBD juga menggunakan media sosial seperti
Instagram dan Facebook untuk sosialisasi.
100

Berdasarkan keterangan BPBD Kota Bekasi, apabila dampak


bencana banjir semakin luas, maka dilakukan penetapan status bencana yang
didasarkan dari berbagai masukan yang bisa dipertanggung jawabkan dalam
forum rapat, kemudian Kepala Pelaksana BPBD memberikan usulan kepada
Sekretaris Daerah dan diteruskan kepada Walikota Bekasi. Apabila
Walikota Bekasi sudah menandatangani surat tanggap darurat, maka ada
peningkatan status bencana menjadi tanggap darurat bencana selama 7
(tujuh) hari dan bisa diperpanjang sesuai kondisi yang terjadi. Sebagai
tindak lanjut dari penetapan status tanggap darurat, maka dibentuklah Pos
Komando Penanganan Darurat Bencana berdasarkan Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 03 Tahun 2016 Tentang
Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana. Komando Operasi
Penanganan Darurat Bencana Banjir Kota Bekasi dipimpin Walikota/Wakil
Walikota dan/atau Komandan yang ditunjuk oleh Walikota. Pos Komando
Tanggap Darurat Bencana Kota Bekasi, selanjutnya disebut Pos
Komando/Posko berfungsi sebagai pusat komando operasi darurat bencana
untuk mengkoordinasikan, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi
pelaksanaan darurat bencana. Kedudukan Pos Komando Satuan Tugas
Gabungan Terpadu (Makogasgabpad) PDB berada di Lapangan Alun - Alun
Kota Bekasi. Pos Lapangan Penanganan Darurat Bencana Kota Bekasi,
selanjutnya disebut Pos Lapangan PDB, berfungsi sebagai pelaksana operasi
pendukungan penanganan darurat bencana kepada SKPD Kecamatan,
berkedudukan dan lebur dalam Komando SKPD di masing-masing Pos
Komando Kecamatan. Berikut lokasi pos lapangan di tiap kecamatan.

1. Kecamatan Bekasi Utara : Lapangan depan kecamatan


2. Kecamatan Bekasi Timur : Lapangan depan kecamatan
3. Kecamatan Bekasi Barat : Lapangan sepak bola Puri Idaman
4. Kecamatan Bekasi Selatan : Alun - alun Kota Bekasi
5. Kecamatan Jatisampurna : Lapangan Kelurahan Jatiranggon
6. Kecamatan Pondok Gede : Stadion Mini Pondok Gede
7. Kecamatan Mustikajaya : Stadion Mini Mustikajaya
8. Kecamatan Rawa Lumbu : Lapangan samping kelurahan Rawa
Lumbu
9. Kecamatan Pondok Melati : Lapangan depan kelurahan Pondok
Melati
10. Kecamatan Bantar Gerbang : Lapangan depan kecamatan
11. Kecamatan Medan Satria : Lapangan Medan Satria
12. Kecamatan Jatiasih : Lapangan Bola Telkom (Bedeng)

Saat terjadi bencana, setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD)


menjalankan tugas fungsinya terkait penanganan darurat bencana,
menggunakan dana yang ada pada instansi nya masing-masing. Setelah
ditetapkan status tanggap darurat bencana maka Pemerintah Kota Bekasi
dapat mengajukan Dana Siap Pakai ke BNPB dan mengajukan bantuan
Provinsi Jawa Barat untuk dukungan dana dan logistik. Sementara,
Pemerintah Kota Bekasi secara paralel menyiapkan mekanisme (regulasi)
untuk kemudahan akses mobilisasi sumberdaya yang diperlukan dalam
101

menunjang kelancaran operasi penanganan darurat bencana. Pemerintah


Daerah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat hadir pada saat
penetapan status darurat bencana untuk memberikan pendampingan
terbentuknya Sistem Komando PDB.
Dalam tahap ini BPBD Kota Bekasi menerjunkan tim personil ke
lokasi bencana banjir dan mengevakuasi korban bencana banjir. Saat
proses evakuasi, korban banjir dibawa ke posko pengungsian yang sudah
disediakan oleh BPBD dan elemen lainnya seperti, Dinas Sosial, Dinas
Kesehatan, TAGANA dan stakeholder lainnya. Struktur organisasi
komando operasi penanganan darurat bencana tertera di Gambar 33.
Setelah dievakuasi dari lokasi banjir, para korban banjir ini kemudian
dibawa ke posko bencana. Posko bencana sangat penting keberadaannya
dalam penanganan bencana karena berfungsi sebagai tempat tinggal
sementara untuk korban bencana dalam hal ini korban bencana banjir.
Sehingga BPBD wajib membangun posko bencana dan menyediakan
kebutuhan dasar korban bencana, seperti makanan, minuman, selimut.
Tidak hanya itu korban banjir juga rentan dengan berbagai macam
penyakit, sehingga BPBD juga berkewajiban menyediakan obat-obatan
dan pelayanan kesehatan yang siaga melayani korban bencana banjir.
Secara umum berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat korban
banjir Kota Bekasi, pelaksanaan evakuasi korban banjir belum bisa
dilakukan dengan maksimal dan menyeluruh kepada warga korban banjir
di Kota Bekasi, karena personil Satgas BPBD Kota Bekasi masih belum
cukup dan dari segi peralatan yang dimiliki BPBD masih belum memadai
karena banyaknya peralatan sarana dan prasarana yang rusak bahkan
hingga rusak berat. Hal ini terbukti dengan pernyataan warga yang merasa
evakuasi dilakukan secara mandiri tanpa bantuan dari petugas BPBD.
Pasca bencana, BPBD Kota Bekasi melakukan kegiatan rehabilitasi
psikis di posko-posko bencana banjir dengan menggandeng pihak-pihak
akademisi dan komunitas-komunitas khususnya psikolog. Selain itu,
beberapa fasilitas trauma healing juga dibangun agar kejiwaan warga yang
trauma tetap stabil. Pada tahap kegiatan rekonstruksi, tugas BPBD Kota
Bekasi menghitung kerugian bangunan-bangunan atau rumah yang rusak
lalu melaporkannya kepada Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air untuk
ditindaklanjuti. Untuk bangunan yang rusak, kategori ringan hingga
sedang, direnovasi oleh Pemerintah Kota Bekasi. Dalam melakukan
penilaian kerusakan bangunan tempat tinggal akibat bencana banjir, ada
tiga kategori yaitu rusak ringan, rusak sedang, dan rusak berat. Sedangkan
bangunan lain seperti kantor pemerintahan, fasilitas pendidikan, jembatan,
dan instalasi pelayanan masyarakat lainnya dikategorikan berbeda.
Berikutnya hasil kajian tersebut mengenai total kerusakan dan kerugian
dilaporkan kepada Sekretaris Daerah dan diteruskan kepada Walikota
Bekasi untuk tindakan lanjutnya.
102

Gambar 4. 26 Struktur organisasi komando operasi penanganan darurat bencana


Sumber: BPBD Provinsi Jawa Barat

4.6 Analisis dan pembahasan


Kota Bekasi terletak pada tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yaitu
DAS Bekasi, DAS Cileungsi, DAS Cikeas dan DAS Sunter. Salah satu DAS yang
sering mengalami banjir adalah DAS Bekasi. Sebenarnya, DAS Bekasi memiliki
hulu DAS Cileungsi dan DAS Cikeas. Hulu Sungai Cileungsi dan Cikeas tersebut
ada di Bogor dan bermuara di Bekasi sehingga melewati beberapa kecamatan di
Kota Bekasi yang apabila kedua sungai ini meluap sudah bisa dipastikan wilayah
Kota Bekasi akan tergenang banjir. Genangan banjir Kota Bekasi setiap tahun
semakin meluas, padahal regulasi yang mengarah mitigasi bencana dan tata kelola
pengendalian banjir telah dikeluarkan. Hanya saja, Kota Bekasi baru
mengeluarkan aturan tentang penanggulangan bencana baru di tahun 2019. Butuh
waktu 9 (sembilan) tahun untuk mengeluarkan petunjuk pelaksanaan. Adapun
103

rencana tata ruang wilayah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bekasi untuk
2011-2031 belum menggunakan acuan yang bisa divalidasi. Peta bencana banjir
yang dikeluarkan BNPB baru keluar tahun 2016 dan peta risiko banjir yang
dikeluarkan Pemerintah Kota Bekasi, kajiannya baru dibuat tahun 2021.
Berdasarkan kajian BNPB, diketahui Kota Bekasi memiliki tingkat bahaya
sedang hingga tinggi. Luas bahaya banjir mencapai 1086,4 ha. Pada tahun 2019
banjir yang terjadi di Kota Bekasi hanya merendam Kecamatan Jatiasih, Bekasi
Barat dan Rawalumbu. Sejumlah kelurahan di Jatiasih terendam banjir hingga
mencapai 1 meter. Banjir yang merendam Jatiasih disebabkan kiriman air dari
hulu Sungai Cikeas akibat hujan dengan intensitas lebat mengguyur dalam waktu
yang cukup lama sehingga Sungai Cikeas tidak dapat menampung debit air dan
terjadilah limpasan. Kemudian di Kecamatan Bekasi Barat, banjir merendam
dengan ketinggian 80 cm-1 meter akibat dari hujan lokal dengan intensitas lebat
berdurasi kurang lebih satu jam sehingga volume air tidak tertampung oleh
drainase. Selanjutnya Kecamatan Rawalumbu terendam banjir kurang lebih satu
meter. Banjir ini disebabkan hujan lokal dengan intensitas lebat dengan durasi
cukup lama dan drainase yang kurang baik. Pada Bulan Januari 2020 bencana
banjir telah terjadi, dimana seluruh kecamatan di Kota Bekasi terendam banjir dan
korban yang terdampak banjir mencapai 49.480 jiwa.
Di Kota Bekasi, perkembangan pembangunan perumahan mengikuti
perkembangan kota dan investasi pengembang perumahan. Hal yang menjadi
masalah, saluran drainase yang dibangun pada awalnya hanya untuk satu kawasan
perumahan dimanfaatkan juga untuk perumahan berikutnya yang berada di
belakangnya. Kondisi ini menyebabkan beban saluran drainase tidak mencukupi
dan terjadi limpasan/luapan banjir. Saluran drainase yang ada di kawasan
perumahan umumnya adalah saluran drainase jalan, mengingat pembangunan
saluran drainase biasanya dibuat di kiri dan kanan jalan sesuai dengan pola site
plan perumahan. Jadi tidak heran apabila terjadinya banjir bukan hanya
disebabkan alirannya tidak lancar tetapi bisa juga akibat luapan dari limpasan dari
sungai yang mengalami debit ekstrim dan menjadi efek balik ke areal perumahan.
Kepadatan penduduk yang yang tinggi menjadikan pemukiman yang ada
di Kota Bekasi semakin bertambah dan memiliki potensi terjadinya dampak banjir
yang besar, maka dari itu pemerintah Kota Bekasi juga menerapakan kebijakan
peningkatan kualitas lingkungan pemukiman berdasarkan buku panduan Rencana
Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan 2018
(RP2KPKP) meliputi :
1) pengaturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB),
2) pengaturan tingkat kepadatan, dan
3) kesesuaian fungsi lahan dengan RDTRK.
Di satu sisi, Dinas BMSDA telah melakukan upaya pembangunan drainase
baru, tetapi karena kajiannya belum terpetakan dengan baik, maka hasilnya tidak
optimal. Untuk menyediakan kajian yang akurat, data time series tentang debit
pasang surut harus tersedia. Namun karena alat Automatic Water Level Recorder
(AWLR) rusak, maka data tidak tersedia. Akibatnya kapasitas drainase yang
dibangun, tidak berdasarkan data potensi limpasan yang akurat. Selain itu,
pemeliharaan drainase eksisting juga tidak optimal karena keterbatasan jumlah
SDM dan anggaran. Ada baiknya masyarakat turut dilibatkan dalam
pemeliharaan, sehingga beban pemerintah daerah dapat dibagi. Selama ini, urusan
104

pengendalian bencana 100% menjadi beban pemerintah. Pemerintah pun masih


mengedepankan pendekatan struktur atau fisik sebagai metode default.
Pendekatan sosial dalam sistem pengendalian banjir hanya nampak pada proses
pra bencana, ketika melibatkan masyarakat dalam konsultasi publik penyusunan
peraturan.
BNPB melalui aplikasi INARisk, telah mengidentifikasi daerah-daerah
yang sering dilanda banjir. Di Kota Bekasi daerah-daerah ini terletak di
Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, dan Medan Satria. Daerah di Kecamatan
Bekasi Selatan yang rawan terkena banjir adalah daerah yang dilewati Sungai
Bekasi. Namun daerah banjir di Kecamatan Bekasi Utara dan Medan Satria tidak
dilewati oleh Sungai Bekasi, Sungai Cakung, ataupun Sungai Cibitung. Hal ini
mengindikasikan adanya faktor lain yang menyebabkan banjir di daerah-daerah
tersebut (Syahnanda 2022).

Gambar 4. 27 Peta bencana banjir Kota Bekasi


Sumber: Inarisk.bnpb.go.id
Pada bulan Januari 2020 lalu telah terjadi banjir besar yang salah satunya
disebabkan oleh jebolnya tanggul di Perumahan Pondok Gede Permai. Kejadian
jebolnya tanggul ini, sudah kali ke-empat. Saat jebol terakhir Rabu 1 Januari
2020, kompleks perumahan tersebut banjir dengan ketinggian air hingga lebih dari
2 meter. Masih terjadi jebolnya tanggul di perumahan warga hal ini menandakan
sistem pencegahan bencana tidak berjalan. Selama ini BPBD Kota Bekasi
melakukan pendeteksian banjir dengan melakukan piket kesiapsiagaan bencana
banjir 24 jam setiap harinya saat musim penghujan (Oktober – Maret). Seluruh
informasi yang diperoleh dari stasiun pemantauan Sungai Cikeas dan Cileungsi
dikumpulkan ke dalam pusat data dan laporan melalui perangkat lunak sms-
gateway, informasi tersebut didistribusikan ke masyarakat melalui website dan
juga komunitas-komunitas, seperti Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C)
(Prihartanto dan Ganesha 2019). Selain melalui website dan komunitas,
penyebarluasan peringatan dini juga melalui grup Whatsapp, membunyikan sirine
peringatan, pengumuman langsung oleh aparatur setempat. Sistem pencegahan
105

bencana masih dilakukan secara manual, mengandalkan sensitivitas dan tanggung


jawab manusia. BPBD Kota Bekasi seharusnya mempertimbangkan penggunaan
teknologi Disaster Warning System (DWS) untuk menggantikan peilschall dalam
hal penggunaan alat early warning system. Di Australia, sistem peringatan banjir
untuk sungai melibatkan Bureau of Meteorology (BoM), jika di Indonesia
setingkat dengan BMKG. Biro ini yang memberikan prakiraan ketinggian air
sungai di lokasi tertentu kepada otoritas terkait, dan kepada publik melalui media
penyiaran dan situs web BoM. Pemerintah daerah atau layanan darurat negara
kemudian menginterpretasikan prakiraan BoM untuk memberikan informasi lokal
tentang area yang mungkin terkena dampak, potensi dampak, dan saran tindakan
kepada mereka yang berisiko. Pesan juga disebarluaskan ke seluruh komunitas,
terutama melalui jaringan pribadi atau informal. Media sosial (misalnya,
Facebook, Twitter) hampir pasti akan memainkan peran yang semakin penting di
masa depan. Sebenarnya, pada tahun 2018 pernah dicoba pemasangan 1 unit
sensor early warning system di hilir Sungai Cileungsi arah Sungai Bekasi tepatnya
di kecamatan Bantar Gebang. Alat ini merupakan uji coba penerapan smart city
ecosystem kerjasama dengan salah satu provider telekomunikasi nasional. Namun
karena tidak ada pemeliharaan yang berkelanjutan, alat tersebut sudah tidak
berfungsi dan sensor kembali ke sistem manual peilschall. Hal ini menunjukkan
tata kelola infrastruktur pengendalian bencana belum berjalan dengan baik. Selain
itu, pendekatan fisik memang sudah dirasakan kurang efektif bila tidak
dikombinasikan dengan pendekatan non fisik. Di Australia, sistem pengendalian
banjir tidak hanya menggunakan pendekatan hard, tapi juga menggunakan
pendekatan yang soft dengan melibatkan ilmu sosial. Namun, perbaikan sistem
tidak hanya bergantung pada penambahan pendekatan ilmu sosial, tetapi juga pada
kepemimpinan pemerintah dan kesadaran serta keterlibatan masyarakat
(Queensland Government, 2011).
Ilustrasi proses bisnis sistem pengendalian banjir Kota Bekasi disajikan
dalam Gambar 4.28 Dalam bagan tersebut teridentifikasi peran setiap stakeholder
dalam kondisi pra banjir, saat kejadian banjir dan pasca banjir. Secara struktural,
Pemerintah Pusat berwenang menyiapkan Undang-undang yang akan dijadikan
pedoman bagi pelaksanaan pengendalian banjir di daerah. Sesuai ruang lingkup
penelitian, Undang-undang yang menjadi pedoman adalah UU No 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup serta UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Berdasarkan
Undang-undang tersebut di atas, Pemerintah Provinsi Jabar menjabarkan dalam
Peraturan Daerah. Selanjutnya Pemerintah Kota Bekasi mendetailkannya ke
dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi.
Sesuai Perda No 11 Tahun 2014, Pemerintah Kota Bekasi membentuk
BPBD yang tugasnya menyelenggarakan penanggulangan bencana : pra bencana,
saat tanggap darurat dan pasca bencana. Petunjuk teknis dan pelaksanaannya
diatur dalam Peraturan Daerah No 6/2019. BPBD dalam prakteknya melakukan
a. Pelatihan dasar penanggulangan bencana.
b. Pengadaan persediaan kebutuhan logistik untuk korban bencana.
c. Sosialisasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat pada daerah rawan
bencana serta sosialisasi pada dunia pendidikan.
d. Bimbingan teknis penghitungan kerusakan dan kerugian pasca bencana.
106

e. Peningkatan kapasitas relawan melalui pelatihan baik yang diadakan oleh


BPBD Kota Bekasi, BPBD Provinsi, BNPB dan BASARNAS.
f. Pembuatan peta resiko bencana.
g. Mempersiapkan sarana dan prasarana yang digunakan untuk evakuasi korban.
h. Pengkoordinasian dinas lainnya pada hal assesment saat terjadi bencana, serta
evakuasi korban bencana bekerja sama dengan dari relawan peduli bencana.
107

Gambar 4. 28 Bagan proses bisnis pengendalian banjir eksisting


108

Adapun Dinas Tata Ruang bekerja dalam ranah pengendalian pemanfaatan


ruang, perizinan, pengawasan dan penertiban. Dinas Tata Ruang membantu
BKPRD mengordinasikan penataan ruang daerah sesuai Peraturan Daerah No
13/2011. Dalam ranah mitigasi, Dinas Tata Ruang melakukan penetapan batas
dataran banjir, pemanfaatan dataran banjir bagi RTH dan pengendalian
pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah melalui penyusunan
dokumen RDTR. Selanjutnya bersama dengan Satpol PP, menyusun ketentuan
pelarangan kegiatan untuk fasilitas umum dan pengendalian kegiatan
permukiman.
Pengendalian banjir jika didekati dengan konsep ekologi, maka akan
diturunkan dalam aksi:
a. Pemanfaatan dan atau pencadangan SDA
b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas atau fungsi LH
c. Pengendalian pemantauan serta pendayagunaan serta pelestarian SDA
d. Adaptasi & mitigasi perubahan iklim

Aksi-aksi tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1
Tahun 2012 dan diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi No 11 Tahun
2018, dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sebagai pengampunya. Di level
ini, DLH bersama dengan Dinas Taru akan melakukan pertahanan fungsi RTH
dan pemulihan DAS. Aksi tersebut selain berkaitan dengan pengendalian daya
rusak air, juga berkaitan dengan upaya mitigasi banjir. Pada prinsipnya, pada
tingkat ini fokusnya adalah upaya pengendalian pemanfaatan sumber daya air
terutama sungai. Dalam pendekatan soft, bentuknya berupa izin atas penyediaan,
peruntukan, penggunaan dan pengusahaan sungai pada wilayah sungai. Dalam
pendekatan hard atau fisik, Dinas BMSDA membuat drainase dan bangunan
pengendali banjir serta kegiatan pemeliharaan sungai seperti peninggian tanggul
dan pengerukan lumpur atau sampah (pematusan).
Dalam tahap pasca bencana, kegiatan yang dilakukan meliputi rehabilitasi
infrastruktur, rehabilitasi sosial, pembangunan kembali konstruksi yang rusak dan
penggantian kerugian harta benda. Prosedur yang dilakukan BPBD Kota Bekasi
pada tahap ini sudah sesuai, hanya saja belum maksimal. Hal ini juga dinyatakan
Kusumasari (2014) dan Ferdiansyah et al. (2020). Menurut data yang bersumber
dari Rencana Strategis BPBD Kota Bekasi tahun 2018-2023 dan LKIP BPBD
2021, jumlah sumber daya manusia yang berstatus Pegawai Harian Lepas (PHL)
berjumlah 38 orang, dengan rincian laki-laki 35 orang dan perempuan 3 orang.
Pegawai Harian Lepas ini, 33 orang diantaranya adalah Satgas BPBD Kota Bekasi
yang terbagi kedalam 3 cluster, yaitu cluster rescue, cluster logistik, dan cluster
pusat data dan laporan. Sedangkan ASN berjumlah 12 orang dan Tenaga Kerja
Kontrak berjumlah 42 orang. Tentunya dengan jumlah satgas yang tersedia, dapat
dikatakan bahwa sumber daya manusia khususnya Satgas BPBD Kota Bekasi
masih belum cukup untuk menangani banjir di Kota Bekasi. Penyebab lainnya,
BPBD masih harus berkoordinasi dengan Dinas BMSDA untuk rehabilitasi fisik
dan Dinas Sosial untuk rehabilitasi sosial. Kendalanya, belum tentu tiap dinas
mengalokasikan anggaran untuk tanggap bencana.
Kegiatan yang patut diapresiasi adalah rehabilitasi psikis di posko-posko
bencana banjir dengan menggandeng pihak-pihak akademisi dan komunitas-
komunitas khususnya psikolog karena menurut Liu (2006) post traumatic stress
109

disorder (PTSD) pada korban banjir terjadi disekitar 8% sampai 9% dari korban
banjir dan risiko PTSD meningkat pada korban wanita serta orang lanjut usia.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat korban banjir
Kota Bekasi diketahui bahwa kegiatan rekonstruksi pembangunan kembali rumah
yang rusak, sejauh ini masyarakat menggunakan uang pribadi masing-masing dan
tidak mendapat dana bantuan apapun dari pemerintah. Dalam hal penggantian
kerugian, BPBD Kota Bekasi memang tidak membiayai semua kerusakan yang
terjadi hanya saja BPBD dapat memberikan dana stimulan untuk membangun
kembali rumah yang rusak akibat banjir. Hal ini tidak menyalahi aturan, karena
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 60 memang mengamanatkan agar
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam
penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat. Gagasan ini sejalan dengan
tujuan SDG 11 untuk membuat kota dan pemukiman manusia menjadi inklusif,
aman, tangguh, dan berkelanjutan. Prinsip untuk menjadikan kota-kota inklusif
adalah keragaman, partisipasi, dan pemerataan (Angelidou dan Psaltoglou 2017).
Artinya penguatan sosial dalam bentuk peningkatan pemahaman tentang banjir
dan adaptasi terhadap bencana menjadi perlu. Aspek ini layak menjadi target
peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bekasi ke depannya.
Pengendalian banjir Kota Bekasi dibandingkan dengan Kota Jakarta relatif
serupa. Koordinasi terjadi di setiap tingkat departemen/lembaga pemerintahan,
dipimpin di tingkat nasional oleh BNPB, dan oleh badan penanggulangan bencana
di tingkat provinsi dan kabupaten (Sunarharum et al. 2021). Mitigasi banjir
dilakukan dengan arahan penataan bangunan secara vertikal. Tujuannya untuk
mempertahankan luas ruang terbuka yang berfungsi sebagai serapan (Iskandar dan
Sugandi 2015). Sedangkan pendekatan fisik melalui penambahan kolam retensi,
serupa dengan Surat City-India (Waghwala dan Agnihotri 2019). Pendekatan fisik
juga dilakukan di beberapa kota besar di Jepang seperti Tokyo, Osaka dan
Nagoya (Alphen et al. 2011) serta kota besar di Belanda seperti Rotterdam,
Amsterdam dan The Hague (Ward et al. 2013).
Meskipun Jepang terkenal dengan negara maju, tetapi pengendalian
banjirnya pun belum optimal. Beberapa rencana pembangunan sarana
pengendalian banjir belum selesai dan masih jauh dari target seperti perbaikan
sungai untuk menahan hujan lebat kala ulang 100-200 tahun (Alphen et al. 2011).
Namun Jepang secara cerdik mengimbanginya dengan melakukan upaya intensif
non fisik seperti penyusunan dan pendistribusian peta rawan banjir serta
penyediaan informasi sungai pada saat banjir (Alphen et al. 2011).
Berbeda dengan Jepang, Belanda memiliki sistem tata kelola yang lebih
efektif. Banjir terjadi di Jepang setiap tahun, sedangkan di Belanda jarang terjadi.
Banjir besar terakhir terjadi di tahun 1953. Hal ini disebabkan pengendalian banjir
dilaksanakan oleh suatu badan pengelola air (waterboard) yang levelnya setara
walikota sangat efektif. Keuntungan dengan tata kelola seperti Belanda, dasar
hukum untuk standar perlindungan banjir relatif tinggi. Penilaian tiap 6 (enam)
tahun terhadap status pertahanan banjir memberikan masukan terhadap perbaikan
dan pemeliharaan yang diperlukan. Hal ini penting untuk pengambilan keputusan
politik tentang pendanaan dan prioritas. Namun sisi buruknya, standar yang tinggi
dan kurangnya pengalaman banjir menyebabkan kesadaran risiko banjir yang
rendah dari publik, politisi dan pemerintah. Dampaknya, anggaran yang
110

disediakan seringkali lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan riil (Alphen et


al. 2011; Ward et al. 2013).
Berdasarkan data-data serta fakta kejadian banjir diatas, maka dapat
diketahui bahwa BPBD Kota Bekasi membutuhkan manajemen bencana yang
baik untuk menyelesaikan kompleksitas permasalahan dalam penanggulangan
bencana banjir. Seperti halnya Kota Kuching-Sarawak, tantangan penting yang
harus dihadapi Kota Bekasi antara lain ketersediaan data yang lengkap juga
kontinu, pendidikan tentang risiko bencana, penyediaan sarana prasarana,
infrastruktur, sumber daya keuangan, dan proses perencanaan (Muzamil et al.
2022). Manajemen bencana terdiri dari semua perencanaan, pengorganisasian, dan
mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani semua fase bencana
sebagai peristiwa alam. Jika pemahaman tadi dikombinasikan dengan perspektif
administrasi publik, maka manajemen bencana bisa dimaknai sebagai langkah
penanggulangan bencana yang terlembaga berdasarkan kerangka kebijakan dan
diarahkan untuk mencegah dan meminimalkan dampak kerugian serta
meningkatkan kapasitas warga dalam menghadapi kejadian bencana. Selain itu,
BPBD Kota Bekasi juga harus bisa memastikan penanganan korban banjir sesuai
dengan prinsip-prinsip manajemen bencana secara adil dan merata dan tidak ada
pihak-pihak yang dirugikan.
111

Gambar 4. 29 Diagram Input dan Output

Permasalahan mengenai bencana banjir di Kota Bekasi selalu terjadi setiap


tahunnya apabila sudah memasuki musim penghujan dan kecamatan yang ada di
Kota Bekasi berpotensi direndam banjir. Walikota yang pernah menjabat belum
mampu menyelesaikan permasalahan banjir ini. Hal ini tentunya menjadi
pekerjaan bagi Pemerintah Kota Bekasi beserta instansi lainnya khususnya BPBD
Kota Bekasi untuk segera menemukan solusi kebijakan yang tepat untuk
fenomena tersebut. Dari sisi administrasi publik, faktor kepemimpinan merupakan
faktor yang rentan tidak hanya di Kota Bekasi tetapi hampir di seluruh bagian
Indonesia. Pergantian kepala daerah terkadang menimbulkan perubahan visi, misi
dan strategi pengelolaan kota. Hal ini yang perlu menjadi pertimbangan kebijakan
pengendalian banjir Kota Bekasi.
Berdasarkan analisis terhadap causal loop diagram, diketahui faktor-faktor
penyebab banjir dan bencana banjir. Hasil identifikasi kejadian banjir
menunjukkan bahwa sistem pengendalian banjir terdiri atas faktor-faktor input
yang dapat dikontrol dan tidak dapat dikontrol. Selanjutnya, dengan pendekatan
112

diagram input-output (Gambar 4.24) diketahui bahwa hasil pengolahan output


tidak terkontrol menghasilkan output yang dikehendaki melalui mitigasi banjir.
Melalui sistem ini pula, output yang tidak dikehendaki ditambah upaya FRM
menghasilkan input yang terkontrol.
Input tidak terkendali dalam sistem pengendalian banjir adalah curah hujan
dan keinginan bekerjasama dari setiap stakeholder (willingnes to collaboration).
Sementara output yang dikehendaki antara lain paparan banjir tidak semakin
meluas, kerugian material dan immaterial dapat diminimalkan serta yang
terpenting banjir tidak menjadi bencana. Untuk mencapai kondisi tersebut,
diperlukan upaya mitigasi berlandaskan UU Nomor 24 tahun 2007, UU Nomor 26
Tahun 2007, UU Nomor 32 Tahun 2009 dan UU Nomor 17 tahun 2019. Bentuk
mitigasi yang diperlukan antara lain sistem peringatan dini banjir yang efektif,
kampanye kesadaran publik yang tepat dan prakiraan banjir yang diperkuat.
Output mitigasi yang tidak dikehendaki selain beban pembiayaan
pemerintah yang meningkat, juga terjadinya dispute tata kelola pengendalian
banjir. Untuk mengatasi kondisi tersebut, diperlukan skema pengelolaan banjir
yang tepat dan memastikan serta memelihara kerjasama yang baik antar lembaga.
Hasil yang diharapkan dari siklus ini adalah input berupa anggaran pengendalian
banjir (APBN/APBD) dan tata kelola pengendalian banjir yang terkendali.

4.7 Kesimpulan
Genangan banjir Kota Bekasi setiap tahun semakin meluas, padahal
regulasi yang mengarah mitigasi bencana dan tata kelola pengendalian banjir telah
dikeluarkan. Hal ini disebabkan ketidaksinkronan penerbitan regulasi dengan
tersedianya kajian atau data spasial yang update. Selain itu, jeda penerbitan UU
dengan penerbitan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknisnya terlalu lama.
BPBD selaku dinas penanggung jawab pengendalian bencana tidak memiliki
kewenangan mengatur atau memerintah dinas lainnya, sehingga segala keputusan
tentang penggunaan anggaran untuk bencana akan bergantung kepada kebijakan
kepala dinas masing-masing.
Hasil penelitian menunjukkan pada tahap pra bencana tindakan mitigasi
dilakukan dengan memasang peilschall. Sistem pencegahan bencana masih
dilakukan secara manual, mengandalkan sensitivitas dan tanggung jawab manusia.
BPBD Kota Bekasi seharusnya mempertimbangkan penggunaan teknologi
Disaster Warning System (DWS) untuk menggantikan peilschall dalam hal
penggunaan alat early warning system. Dinas BMSDA juga telah berupaya
membangun drainase baru, tetapi karena rencana induknya belum terpetakan
dengan baik, maka hasilnya tidak optimal. Selain itu, pemeliharaan drainase
eksisting juga tidak optimal karena keterbatasan jumlah SDM dan anggaran. Ada
baiknya masyarakat turut dilibatkan dalam pemeliharaan, sehingga beban
pemerintah daerah dapat dibagi. Selama ini, urusan pengendalian bencana 100%
menjadi beban pemerintah. Pemerintah pun masih mengedepankan pendekatan
struktur atau fisik sebagai metode default. Pendekatan sosial dalam sistem
pengendalian banjir hanya nampak pada proses pra bencana, ketika melibatkan
masyarakat dalam konsultasi publik penyusunan peraturan. Sosialisasi tanggap
bencana sudah dilakukan tapi belum menyeluruh.
113

Selanjutnya pada saat bencana, BPBD belum bisa mengevakuasi warga


korban banjir Kota Bekasi secara maksimal. Pada tahap pasca bencana, BPBD
bersama Dinas BMSDA melakukan rehabilitasi pembersihan sampah dan lumpur
pasca banjir, serta melakukan trauma healing korban banjir bersama Dinas Sosial
dan Dinas Kesehatan. Masyarakat menggunakan uang pribadi masing-masing
untuk kegiatan rekonstruksi berupa pembangunan kembali rumah yang rusak.
Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa pelaksanaan penanggulangan banjir oleh
Pemerintah Kota Bekasi belum berjalan optimal. Langkah ke depan yang dapat
diusulkan adalah melakukan normalisasi kali atau sungai, membentuk kelurahan
tangguh bencana, mengoptimalisasi sarana prasarana serta meningkatkan tindakan
pemulihan. Direkomendasikan agar sistem drainase ditingkatkan di wilayah studi
kasus. Skema pengelolaan banjir yang tepat harus direncanakan, dan prakiraan
banjir harus diperkuat. Sistem peringatan dini banjir yang efektif harus dirancang
untuk mengaktifkan rencana tersebut, dan kampanye kesadaran publik yang tepat
harus dimulai untuk mendidik dan melatih masyarakat setempat untuk
menghadapi bencana tersebut. Disarankan juga untuk memastikan dan
memelihara kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga yang berbeda selama
bencana tersebut.

Matriks Kesimpulan
114

BAB V ANALISIS RISIKO BANJIR

5.1 Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi dalam lima tahun terakhir sangat pesat (5.86%). Demikia

Perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap ini perlu ditemukenali, diidentifikasi dan dip

Identifikasi atau analisis spasial pertumbuhan perkotaan dan perubahan penggunaan lahan men
115

Outcome penelitian ini dapat menjadi salah satu model metodologi perencanaan ruang kota da

5.2 Metode Penelitian

5.2.1 Tempat dan waktu penelitian


Penelitian akan dilakukan di Kota Bekasi yang terletak di: 106 o48'28'' –
107o27'29'' Bujur Timur dan 6o10'6'' – 6o30'6'' Lintang Selatan. Kota Bekasi
memiliki topografi dengan kemiringan antara 0 – 2 % dan terletak pada
ketinggian antara 11 m – 81 m di atas permukaan air laut.
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan yakni tahap pengumpulan data,
pengolahan data dan survei lapang yang dilakukan mulai bulan September
2022 sampai Oktober 2022 serta analisis perubahan lahan yang diikuti
pembangunan model spasial pada bulan November 2022 sampai Februari 2023.

5.2.2 Bahan dan alat


Bahan penelitian berupa peta dasar dan peta tematik. Peta dasar meliputi
peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), Digital Elevation Model (DEM) dan peta
administrasi. Peta tematik meliputi peta sebaran infrastruktur dan fasilitas
penunjang kota Bekasi, serta data spasial penutupan lahan hasil interpretasi
visual dari citra Landsat path/row: 122/ 064 perekaman 13 September 2014, 6
Juli 2018, dan 1 Juli 2022, data curah hujan harian 2011-2021 (Data Bidang
SDA DBMSDA), peta Jaringan sungai dan peta batas DAS (Bappeda).
Peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi
dengan software GIS (ArcMap atau QGIS),
Plugin SCP, Plugin ThRase, TerrSet2020/Idrisi Selva,
Ms. Excel, Ms. Office, GIS (ArcMap atau QGIS), HEC-
HMS 4.10, HEC-RAS 5.0.7.
Plugin SCP, Plugin ThRase, TerrSet2020/Idrisi Selva, HEC-RAS, M
dan kamera.

Bahan penelitian berupa peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), peta administrasi (Bappeda Kota

Peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software

5.2.3 Teknik pengumpulan data dan analisis


Data yang dikumpulkan berupa data
primer dan data sekunder, data primer
primer didapat dari interpretasi penutupan lahan dari citra satelit secara visual dan
data sekunder berupa studi literatur, data kependudukan, berupa peta rencana pola
116

ruang RTRW, peta jaringan jalan, permukiman. Peta-peta tersebut bersumber dari
Bappeda dan peta digital Rupa bumi Indonesia, Skala 1:25.000 Tahun 2019.
Tahapan metode penelitian disajikan pada Tabel 1. Tahap pertama adalah
menganalisis perubahan penutupan lahan dengan cara membandingkan penutupan
lahan tahun 2014, 2018 dan 2022. Tahap kedua adalah Menganalisis perubahan
struktur, fungsi dan dinamika lanskap. Tahap ketiga adalah menganalisis faktor
pendorong perubahan penutupan lahan dengan cara euclidian distance dan regresi
logistik biner dari data: elevasi, kemiringan lereng, kepadatan penduduk, serta
jarak dari jalan, sungai, kota kecamatan, permukiman.

Tabel 5. 1 Matriks metode penelitian

Tujuan Jenis Data Sumber Data Metode Output

Menganalisis EarthExplorer(u - Interpretasi Peta penutupan


● Citra Landsat
perubahan sgs.gov) visual lahan tahun
penutupan lahan 2014, 2018, 2014, 2018,
2022 - Overlay peta 2022
Menganalisis Output - FRAGSTAT Matriks
● Peta
perubahan sebelumnya perubahan
struktur, fungsi penutupan struktur, fungsi
dan dinamika lahan tahun dan dinamika
lanskap 2014, 2018, lanskap
2022
Menganalisis Analisis - Euclidian Faktor-faktor
● Kemiringan
faktor- faktor DEMNAS distance
lereng yang
pendorong
- Pearson’s
berpengaruh
perubahan ● Elevasi Correlation
Peta RBI terhadap
penutupan lahan
1:25.00 - Cramer’s perubahan
● Jarak dari
jalan utama penutupan lahan

● Jarak dari
sungai

● Jarak dari
fasilitas
telekomunika
si
117

● Jarak dari
fasilitas
listrik

● Jarak dari
fasilitas
pengolahan
limbah
Membangun - Cellular Peta prediksi
● Peta
model Automata - penutupan lahan
penutupan Artificial pada tahun 2030
prediksi lahan Neural Network
penutupan lahan existing (ANN)
tahun 2022
pada tahun 2030 - CA Markov
● Matriks area
transisi

● Kesesuaian
lokasi
transisi
Menganalisis DEMNAS - HEC-RAS Visualisasi
● Digital
sebaran genangan banjir
Elevation Dinas BMSDA
genangan banjir
Model BMKG

● Geometry
DAS

● Data curah
hujan
tahunan

● Debit pasang
surut

Tahap keempat adalah membangun model prediksi penutupan lahan tahun


2030 dengan Cellular Automata. Tahap kelima adalah menganalisis sebaran
genangan banjir dan memvisualisasikan nya. Diagram alir analisis sebaran
genangan banjir disajikan pada Gambar 5. 1
118

Gambar 5. 1 Diagram Ali

5.3 Analisis Spasial

5.3.1 Analisis perubahan penutupan lahan


Penutupan lahan di interpretasi secara visual dari citra Landsat tahun 2014,
2018 dan 2022. Interpretasi citra yaitu tindakan mengkaji kenampakan visual citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek
tersebut, dengan mengacu pada kunci-kunci interpretasi, yaitu (Lillesand dan
Kiefer 2000).
1. Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra, rona
pada citra komposit warna semu merupakan atribut bagi obyek yang
berinteraksi dengan seluruh spektrum dengan panjang gelombang yang
bervariasi.
2. Bentuk adalah variabel kualitatif yang menggambarkan konfigurasi atau
kerangka dari suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga
banyak obyek yang dikenali berdasarkan bentuknya saja.
3. Ukuran adalah berupa atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas,
tinggi, kemiringan lereng dan volume.
4. Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona
kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual.
5. Pola adalah susunan keruangan yang mencirikan obyek bentukan manusia
dan bagi beberapa obyek alamiah.
6. Bayangan adalah bersifat menyembunyikan detil atau obyek yang berada di
daerah gelap.
7. Situs adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya.
119

a. Asosiasi adalah keterkaitan obyek yang satu dengan yang lain, adanya
keterkaitan ini maka suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi
obyek lain.

Citra Landsat 8 OLI yang memiliki resolusi spasial 30 m jika mengacu


pada SNI 7645-1:2014 tentang Klasifikasi penutupan lahan – Bagian 1: Skala
kecil dan menengah, dalam Tabel 2, maka skala klasifikasi pemanfaatan data
inderaja dan ukuran satuan pemetaan yang digunakan adalah 1:250.000.
Tabel 5. 5 Pemanfaatan data inderaja dan ukuran satuan pemetaan
Skala Rentang/julat Sumber data Ukuran satuan Catatan
resolusi spasial bantu pemetaan
terkecil (5mm x
skala)

1 : 1 000 000 30 - 250 m Peta rupa bumi 5 x 5 km2 Survei lapangan


terbatas
Perlu tambahan
informasi

1 : 250 000 25 - < 100 m - Peta rupa bumi 1,25 x 1,25 km2 Survei lapangan
- Citra Radar terbatas
- Data DEM
- Referensi
lapangan (tidak
harus berupa
kerja lapangan,
tapi bisa data
sekunder)
1 : 50 000 5 - < 10 m - Peta rupa bumi 125 x 125 m2 Memerlukan
- Citra Radar survei lapangan
- Data DEM secara sistematis
- Kerja lapangan (stratified
sampling)

1 : 25 000 2,5 - < 5 m - Peta rupa bumi 62,5 x 62,5 m2 Memerlukan


- Citra Radar survei lapangan
- Data DEM secara sistematis
- Kerja lapangan (stratified
sampling)

Jenis penutupan lahan (1:250.000) dikelompokkan menjadi 10 kelas, yaitu


1) Danau/telaga alami, 2) Sungai, 3) Lahan terbuka diusahakan, 4) Permukaan
diperkeras bukan gedung, 5) Bangunan permukiman/campuran, 6) Bangunan
bukan-permukiman, 7) Semak dan belukar, 8) Tanaman semusim lahan kering, 9)
Tanaman semusim lahan basah (sawah), dan 10) Tanaman berasosiasi dengan
bangunan. Definisi dan spesifikasi interpretasi citra mengikuti SNI 7645-1:2014
dan disesuaikan dengan lokasi penelitian (Tabel 5.5).
120

Tabel 5. 6 Deskripsi penutupan lahan SNI 7645-1;2014

No No Penutupan Deskripsi
RBI lahan

1 1.1.1.2 Danau/telaga Area perairan/genangan permanen yang


alami terbentuk secara alami di tengah daratan
biasanya dicirikan oleh adanya batas yang
tegas antara tubuh air dan daratan, serta
genangan yang relatif dalam
2 1.1.1.5 Sungai

Tubuh air yang mengalir ada cekungan memanjang, dan terb

3 1.2.2.1 Lahan terbuka Lahan terbuka tanpa bangunan atau penutup


diusahakan vegetasi yang diusahakan dalam arti
dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi.
4 1.2.2.2 Permukaan Lahan terbuka yang permukaannya
diperkeras bukan mengalami perkerasan konsolidasi dan atau
gedung penguatan struktur dan dibangun untuk
mendukung fungsi-fungsi tertentu.
5 1.2.3.1 Bangunan Bangunan yang dibuat untuk permukiman
permukiman/cam (tempat tinggal) dan fungsi lain yang
puran berasosiasi dengan permukiman.
6 1.2.3.2 Bangunan Bangunan yang dibuat untuk kegiatan selain
bukan- tempat tinggal permanen, terutama meliputi
permukiman perdagangan dan industri.
7 2.1.1.7 Semak dan
belukar
Formasi atau struktur vegetasi berupa kumpulan semak deng
121

Catatan Semak belukar di Indonesia


biasanya kawasan bekas hutan dan biasanya
tidak menampakkan lagi bekas atau bercak
tebangan.
8 2.2.1.4 Tanaman Tanaman pertanian berumur pendek,
semusim lahan biasanya bukan berupa pohon, yang ditanam
kering di lahan pertanian tanpa irigasi
penggenangan (bukan sawah); misalnya
cabe, jagung, kedelai, ketela, kacang tanah,
dan sebagainya. Penggunaan lahan untuk
pola tanam semacam ini adalah ladang atau
tegalan.
9 2.2.1.5 Tanaman Tanaman semusim lahan basah meliputi
semusim lahan semua jenis tanaman semusim yang
basah (sawah) memerlukan pengairan dan penggenangan
dalam fase pertumbuhannya, misalnya padi
dan tebu lahan basah. Pada kategori ini,
penggunaan lahan sawah meliputi kelas-
kelas sawah dengan tanaman padi terus
menerus, padi diselingi palawija atau
bera/tanpa tanaman, atau tanaman lain yang
memerlukan penggenangan.
10 2.2.1.6 Tanaman Liputan vegetasi berupa tanaman tahunan
berasosiasi maupun semusim yang kehadirannya
dengan bangunan langsung terkait dengan keberadaan
permukiman dan/atau aktivitas kekotaan,
misalnya jalur hijau, lapangan golf dan
hutan/taman kota yang memberikan fungsi
rekreasional, ekologis maupun keindahan.
122

Validasi hasil interpretasi penutupan lahan tahun 2022 dilakukan dengan


ground check lapangan dan dengan menggunakan referensi citra resolusi tinggi
dari google earth. Sedangkan hasil interpretasi penutupan lahan tahun 2014 dan
2018 hanya menggunakan referensi citra resolusi tinggi dari google earth. Teknik
sampling yang digunakan adalah Stratified Random Sampling dari hasil
stratifikasi penutupan lahan. Jumlah titik sampel dihitung menggunakan rumus
Slovin dengan tingkat error yang diinginkan sebesar 10%. Hasil verifikasi
kemudian dihitung akurasi nya menggunakan overall accuracy dan kappa
accuracy. Overall accuracy hanya mempertimbangkan commission (diagonal)
sedangkan kappa accuracy sudah mempertimbangkan commission dan omission.
Hal ini menyebabkan nilai overall accuracy memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan dengan kappa accuracy. Pengujian hasil interpretasi diharapkan
mendapatkan nilai overall accuracy diatas 85%. Rumus kappa accuracy sesuai
dengan Jensen tahun 1996. Matriks konfusi disajikan pada Tabel 5.6
Rumus Slovin
N
n= 2
1+ N (d)
Keterangan:
n : Ukuran sampel
N : Ukuran populasi
d : Tingkat error (yang diinginkan 10%)

r r
Kappa Accuracy =N Σ i=1 X ii −Σ i=1 ¿ ¿ ¿

Keterangan:
x +i : Jumlah titik hasil interpretasi pada jenis penutupan lahan ke-i
x i+¿ ¿ : Jumlah titik hasil validasi pada jenis penutupan lahan ke-i

x ii : Jumlah jenis penutupan lahan ke-i hasil interpretasi yang bersesuaian


dengan penutupan lahan hasil validasi

❑i : Baris dan kolom
r
Σi : Jumlah tipe penutupan lahan

N : Jumlah titik penutupan lahan yang dilakukan validasi

Tabel 5. 7 Matrix konfusi uji validasi


Data Kelas Klasifikasi Jumlah Producer’s
123

Referensi accuracy

A B C D ……

A X11 X12 X13 X14 X1+ X11 / X1+

B X21 X22 X23 X24 X2+ X22 / X2+

C X31 X32 X33 X34 X3+ X33 / X3+

D X41 X43 X43 X44 X4+ X44 / X4+

……

Jumlah X+1 X+2 X+3 X+4

User
X11 / X+1 X22 / X+2 X33 / X+3 X44 / X+4
accuracy

Overall
((X11+X22+X33+X44) / (X1++X2++X3++X4+))*100%
accuracy

Untuk mengetahui informasi perubahan penutupan lahan yang terjadi,


maka peta-peta tersebut kemudian ditumpang susun (overlay). Setiap klasifikasi
penutupan lahan dihitung luas dan persentase nya disusun seperti (Tabel 5.7).
Sehingga dapat diketahui perubahan penutupan lahan dari tahun 2014 ke tahun
2018 dan dari tahun 2018 ke tahun 2022.
Tabel 5. 8 Luas penutupan lahan dan perubahannya
Luas Perubahan

2014- 2018- 2010-


Penutupan Lahan 2014 2018 2022
2018 2022 2022

ha % ha % ha % ha % ha % ha %

Danau/Telaga - - - - - - - - - - - -

Sungai - - - - - - - - - - - -

Lahan Terbuka
- - - - - - - - - - - -
diusahakan

Permukaan diperkeras
- - - - - - - - - - - -
bukan gedung

Bangunan
- - - - - - - - - - - -
permukiman/campuran

Bangunan Bukan
- - - - - - - - - - - -
Permukiman

Semak dan Belukar - - - - - - - - - - - -

Tanaman semusim lahan


- - - - - - - - - - - -
kering
124

Tanaman semusim lahan


- - - - - - - - - - - -
basah (sawah)

Tanaman berasosiasi
- - - - - - - - - - - -
dengan bangunan

Jumlah - - - - - - - - - - - -

5.3.2 Analisis perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap

5.3.3 Analisis faktor pendorong perubahan penutupan lahan

5.3.4 Model Prediksi Penutupan Lahan 2030


Model adalah bentuk sederhana dari sebuah kinerja sistem yang sangat
kompleks. Pemodelan perubahan penutupan lahan merupakan salah satu bentuk
pemodelan yang mempelajari adanya suatu hubungan sebab akibat antara
pengelolaan suatu lahan dengan perubahan penutupan lahan yang terjadi (Tasha,
2012). Beberapa sistem untuk membantu proses memodelkan perubahan lahan
adalah GIS (Geographic Information System). GIS mempunyai kemampuan
dalam menganalisis data spasial bahkan memprediksi perubahan spasialnya
(geosimulation).
Salah satu kemampuan lanjut dari teknologi SIG dapat digunakan dalam
penyusunan model cellular automata. Cellular automata (CA) merupakan salah
satu model yang diadopsi dalam geosimulation atau prediksi spasial. Tahapan
penting dalam memprediksi perkembangan lahan menggunakan CA adalah model
probabilitas transisi. Model probabilitas transisi atau transition potential
modelling adalah suatu derajat yang mengindikasikan terjadinya perubahan kelas
penggunaan lahan menjadi kelas lainnya.
Menurut (Parasdyo & Susilo, 2016) bentuk tradisional CA terdiri dari lima
komponen utama yaitu cell, state, rules, neighbor, dan time. Matriks peluang
transisi akan dihasilkan pada proses ini dan dijadikan dasar untuk melakukan
prediksi penutupan lahan ke depan. Bentuk dari matriks transisi tersebut dapat
dilihat (Tabel 5.8).

Tabel 5. 9 Ilustrasi matriks transisi probabilitas

Penutupan Lahan (t1)


Penutupan Lahan (t0)
Pit1 Pit1 Pit1 …… Pnt1
Pit0 Xii
Pit0 Xii
Pit0 Xii
…… ……
Pnt0 Xii
125

Keterangan:

Pit0 : Tipe penutupan lahan ke-i pada tahun t0


Pit1 : Tipe penutupan lahan ke-i pada tahun t1
n : Jumlah tipe penutupan lahan
Xii : Luas perubahan penutupan lahan ke-i tahun t0 dan t1

Beberapa pendekatan dalam membangun model probabilitas transisi antara


lain CA-Markov yang pernah digunakan oleh Al-Sharif & Pradhan (2013) dan
Nouri et al (2014). CA-Markov membangun model probabilitas transisi
berdasarkan pertimbangan perubahan penggunaan lahan saja (Susilo, 2011),
sehingga untuk menutupi kelemahan dari CA-Markov maka terdapat beberapa
pendekatan yaitu menambahkan faktor penarik dan pendorong sebagai
pertimbangan dalam membangun model probabilitas transisi. Adanya pendekatan
dalam pembobotan faktor penarik dan pendorong tersebut, yang terkenal adalah
menggunakan penilaian para ahli melalui AHP (Analytic Hierarchy Process)
seperti Mohammadi et al (2013). Kelemahan dari pendekatan ini adalah sifat
penilaiannya yang subyektif (Xu et al, 2019), sehingga alternatif lainnya adalah
pendekatan Logistic Regression (LR) dan Artificial Neural Network (ANN).
Keduanya pendekatan tersebut bersifat objektif dalam penentuan bobot dimana
LR menentukan bobot berdasarkan analisis regresi antara variabel dependen dan
independen, sedangkan ANN menentukan bobot selain berdasarkan analisis
regresi juga mempertimbangkan sedikit asumsi statistik sehingga mampu
memodelkan variabel yang memiliki hubungan non-linier (Mustafa et al, 2018;
Xu et al, 2019).
Kajian yang menggunakan CA untuk memprediksi perubahan penggunaan
lahan sudah banyak dilakukan. Tetapi kajian yang memfokuskan pada
perbandingan pendekatan dalam membangun model probabilitas transisi masih
cukup jarang dilakukan. Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Tajbakhsh et al
(2018), (Xu et al, 2019) dan Ridwan dkk (2017). Perbedaannya adalah lokasi
penelitian adalah Kota Pontianak dan penelitian ini berfokus pada lahan
terbangun.
Penelitian mengenai kondisi perubahan penutupan lahan pada masa
mendatang atau prediksi penutupan lahan dilakukan dengan membandingkan
kombinasi dua metode prediksi yaitu CA-ANN dan CA-Markov untuk melihat
metode yang paling sesuai dengan hasil aktual lapangan.
5.3.4.1 Cellular Automata - Markov menggunakan software Idrisi Selva
Rantai Markov (Markov Chain) dan proses Markov adalah salah satu
bidang yang paling mendasar dari studi tentang probabilitas, yang saat ini juga
126

telah mulai berkembang dalam ilmu spasial, dan saat ini banyak diterapkan di
bidang penelitian perubahan tata guna lahan (land use change) (Baja 2012).
Metode Markov Chain ini dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan
yang terjadi di masa depan memiliki pola dan peluang serupa dengan pola
perubahan yang terjadi pada periode data sebelumnya, terbatas pada bahasan
perubahan penggunaan lahan Business as usual (BAU), dalam artian tidak dikaji
faktor-faktor penghambat dan pendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Simulasi model dijalankan dengan modul Cellular Automata Markov
Chain (CA-Markov) yang merupakan perpaduan antara Markov Chain dan Multi-
Objective Land Allocation (MOLA). Simulasi model dilakukan dalam 2 tahapan.
Tahap pertama yaitu menghasilkan proyeksi penggunaan lahan tahun 2022 dengan
mensimulasikan perubahan penutupan lahan tahun 2014 dan tahun 2018 yang
digunakan untuk validasi keakuratan model. Selanjutnya tahap kedua yang
menghasilkan penggunaan lahan tahun 2030 diperoleh dengan membandingkan
perubahan yang terekam tahun 2014 dan 2022 dengan tab change analysis.
Metode proyeksi perubahan penggunaan lahan ini diasumsikan sama atau
serupa pada perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang dengan
perubahan penggunaan lahan masa yang lalu (Deng et al, 2009). Perubahan
penggunaan lahan juga didasarkan pada kelas penggunaan lahan periode
sebelumnya dan penggunaan lahan tetangganya (neighborhood). Modul Markov
Chain menghasilkan transitional/probability area matrix yakni matriks transisi
perubahan dari tahun sebelumnya ke tahun yang diprediksikan. Persamaan
Markov dibangun menggunakan distribusi penggunaan lahan pada awal dan akhir
pengamatan yang tergambarkan dalam suatu vektor (matriks satu kolom), serta
sebuah matriks transisi (transition matrix) (Trisasongko et al, 2009).
5.3.4.1.1 Uji Validasi Model CA Markov
Validasi model dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keakuratan
proyeksi yang kita lakukan. Uji validasi dilakukan dengan membandingkan
simulasi prediksi penggunaan lahan tahun 2022 dengan penggunaan lahan
tahun 2022 aktual. Menurut Jensen (1996), uji validasi diukur dengan Kappa
Index of Agrement (nilai kappa) sebagai berikut.

r r
Kappa Accuracy =N Σ i=1 xii −Σ i=1 ¿ ¿ ¿

Keterangan:
x +i : luas tipe penggunaan lahan ke-i hasil observasi
x i+¿ ¿ : luas tipe penggunaan lahan ke-i hasil simulasi

x ii : luas tipe penggunaan lahan ke-i hasil simulasi yang bersesuaian


dengan luas tipe penggunaan lahan ke-i hasil observasi
127

❑i : Baris dan kolom
r
❑❑ : Jumlah tipe penutupan lahan
N : Jumlah luas penutupan lahan yang dilakukan validasi

Tool validate dalam Idrisi Selva digunakan untuk menghitung nilai


kappa. Nilai kappa menentukan hasil simulasi bisa dikatakan sesuai baik
dalam hal luas maupun sebaran spasialnya atau tidak. Setelah dianggap
sesuai, pemodelan untuk prediksi penggunaan lahan di tahun 2036 dapat
dilakukan.
5.3.4.2 Cellular Automata - Artificial Neural Network menggunakan QGIS
Plugin MOLUSCE
ANN (Artificial Neural Network) merupakan sistem yang didasarkan pada
pengoperasian jaringan saraf biologis, yang merupakan emulsi dari sistem
saraf biologi (Suhartono, 2012). Ide mendasar dari ANN adalah mengadopsi
mekanisme berpikir sebuah sistem yang menyerupai otak manusia. Metode
ANN merupakan suatu metode, teknik atau pendekatan yang memiliki
kemampuan untuk mengukur dan memodelkan suatu perilaku dan pola yang
kompleks (Tasha, 2012). Metode ANN yang diaplikasikan pada pemodelan
perubahan penutupan lahan, bekerja dalam empat tahap, yaitu (1) menentukan
input dan arsitektur jaringan, (2) membuat jaringan dengan menggunakan
sebagian piksel dari input, (3) menguji jaringan dengan menggunakan semua
piksel dari input, dan (4) menggunakan informasi yang telah dihasilkan oleh
jaringan untuk memprediksi perubahan pengunaan lahan ke depan (Atkinson
dan Tatnall, 1997 dalam Kubangun dkk., 2016). Salah satu bentuk topologi
jaringan yang dihasilkan ANN dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan

I = Input Layer

H = Hidden
Layer

O = Output Layer

MOLUSCE (Modules for Land Use Change Simulations) merupakan


salah satu plugin pemodelan penggunaan lahan yang menggunakan data raster
multitemporal. Tahapan pemodelan dalam MOLUCE terdiri dari input,
128

evaluating correlation, area change, transition potential modelling, cellular


automata simulation, dan validation.
Dalam proses pemodelan diperlukan faktor pendorong (driving factor) yang
dapat mempengaruhi perubahan penggunaan lahan tersebut. Penelitian ini
menggunakan beberapa faktor pendorong yang diduga berpengaruh dalam
perubahan penutupan lahan di Kota Bekasi.
5.3.4.2.1 Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan Lahan
Perubahan penutupan lahan dapat terjadi karena adanya faktor
pendorong sebagai unsur yang berpengaruh terhadap perubahan suatu jenis
penutupan lahan tertentu. Faktor pendorong terjadinya konversi lahan
dapat dikelompokkan menjadi lima hal Dendoncker, Rounsevell, dan
Bogaert (2007), yaitu faktor biofisik, faktor sosial, faktor ekonomi,
kebijakan tata ruang, serta interaksi keruangan dan karakteristik penutupan
lahan sekitarnya. Hubungan antara faktor pendorong tersebut dapat
memicu perubahan penutupan lahan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Faktor pendorong perubahan penutupan lahan tersebut kemudian
dapat diturunkan dalam beberapa variabel yang mendorong terjadinya
perubahan penutupan lahan (Sadewo & Buchori, 2018). Beberapa faktor
yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penutupan lahan selanjutnya
akan analisis hubungan keterikatan masing-masing faktor tersebut dengan
menggunakan Pearson’s correlation.
Tabel 5. 10 Variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap perubahan
penutupan lahan

Elevasi Jarak dari danau/polder Jarak dari fasilitas


kesehatan
129

Jarak dari fasilitas listrik Jarak dari fasilitas Jarak dari fasilitas
olahraga pariwisata dan pendidikan
hiburan

Jarak dari fasilitas Jarak dari fasilitas Jarak dari fasilitas


pengolahan limbah peribadatan perkantoran dan
ekonomi
130

Jarak dari fasilitas Jarak dari fasilitas Jarak dari fasilitas


pertahanan dan telekomunikasi transportasi
keamanan

Jarak dari jalan Jarak dari jalan utama Jarak dari semua jalan
lingkungan
131

Jarak dari semua sungai Jarak dari sungai besar Kemiringan Lahan

Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk

Analisis korelasi adalah teknik analisis yang digunakan untuk


mengukur kuat lemahnya hubungan dua variabel. Variabel ini terdiri dari
variabel bebas dan tergantung. Besarnya hubungan berkisar antara 0-1.
Jika mendekati angka 1 berarti hubungan kedua variabel semakin kuat,
demikian juga sebaliknya jika mendekati angka 0 berarti hubungan kedua
variabel semakin lemah. Asumsi dalam korelasi Pearson, data harus
berdistribusi normal. Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) dan
negatif (-). Jika angka korelasi positif berarti hubungan bersifat searah.
132

Searah artinya jika variabel bebas besar, variabel tergantung semakin


besar. Jika menghasilkan angka negatif berarti hubungan bersifat tidak
searah. Tidak searah artinya jika nilai variabel bebas besar, variabel
tergantung semakin kecil. Kekuatan hubungan korelasi antar variabel
dapat di lihat pada Tabel 8.
Rumus korelasi Pearson:

nΣXY −(ΣX )(ΣY )


r=
√❑
Keterangan:
r : Nilai korelasi
x : Variabel x
y : Variabel y

-1 Kuat - 0 Kuat + +1

Tabel 5. 11 Kategori tingkat hubungan

Nilai Mutlak Korelasi (|r|) Tingkat Hubungan


0 Tidak Berkorelasi
0.01-0.20 Sangat Rendah
0.21-0.40 Rendah
0.41-0.60 Agak Rendah
0.61-0.80 Cukup
0.81-0.99 Tinggi
1 Sangat Tinggi

Hasil pengujian korelasi Pearson menghasilkan variabel yang


mempengaruhi dan variabel yang tidak mempengaruhi perubahan penutupan
lahan di lokasi studi. Variabel yang mempengaruhi ini kemudian akan digunakan
dalam membangun model prediksi penutupan lahan yang akan datang.
133

5.3.4.2.2 Uji Validasi Model CA ANN

Validasi pemodelan ini bertujuan untuk mengetahui keakuratan dari peta prediksi pen

(P ( A ) −P ( E ))
1. Kappa= (1)
(1−P(E))
(P ( A )−P ( E ) )
2. Kappa Loc= (2)
(Pmax −P(E))
(P −P ( E ))
3. Kappa Histo= max (3)
(1−P (E))
dimana
c
4. p0=∑ p (a=i∧ s=i) (4)
i=1

c
5. pe =∑ p ( a=i ) . p(s=i) (5)
i=1

c
6. pmax =∑ (p ( a=i ) , p ( s=i )) (6)
i=1

5.3.5 Analisis pola spasial Lanskap


Analisi pola spasial lanskap kota bekasi dianalisis menggunakan spatial
metric untuk melihat pola perubahan dan fragmentasi lanskap dari suatu
penggunaan lahan. Spatial metric biasa disebut dengan analisis Landscape
Metric (LMs) (Wulandari, 2018; Jatayu, 2020).Landscape Metric (LMs)
didefinisikan sebagai indeks kuantitatif untuk menggambarkan struktur dan
pola karakteristik dari suatu lanskap yang diamati (McGarigal & Marks,
1995). Patch adalah unit matriks yang membentuk sistem lanskap, dan
fragmentasi lanskap adalah ekspresi terkonsentrasi dari patch spasial dan
gradien spasial (Lilin Zou, Jianying Wang, Mengdi Bai, 2022) . Patch spasial
menggarisbawahi fitur komposisi spesifik dan hubungan pencocokan
distribusi spasial patch sedangkan gradien spasial mengacu pada fitur spasial
yang berubah secara teratur dan bertahap dari karakter lanskap di sepanjang
arah (Wu dan Hobbs, 2007).
134

Analisis pola spasial menggunakan spatial metric yang terbagi menjadi


dua yaitu class metric yang mana menggambarkan setiap jenis kelas tutupan
lahan pada suatu patch yang berada pada mozaik lanskap dan landscape
metric yang menggambarkan suatu mozaik lanskap secara keseluruhan. Pada
class metric index dikategorikan menjadi tiga yakni patch size, Patch shape
dan patch density. Patch size dan Patch density berfungsi untuk mengukur
suatu kompisisi patch dalam lanskap. Patch menjadi informasi dasar dari
setiap mozaik lanskap dan juga menjadi dasar informasi untuk indeks level
patch, class dan landscape. Sedangkan, Landscape metric dikategorikan
menjadi lima yakni Patch density and size metrics, Shape Metric, Diversity
metrics Nearest neighbor metrics, dan Contagion and interspersion metrics.
Adapun indeks LMs pada class metric dan ladscape metric yang digunakan
disajikan pada tabel
135

Indeks
Kategori Landscape Formula Definisi
Metric

Patch CA sama dengan jumlah luas


density and (m 2 ) dari semua patch dari
size metrics jenis patch yang sesuai, dibagi
dengan 10.000 (untuk
Class of area dikonversi ke hektar); yaitu,
(CA) total area kelas

NP sama dengan jumlah


Patch dari jenis patch atau
kelas yang sesuai dalam suatu
Number Patch bentang lanskap. NP = 1 bila
(NP) lanskap hanya berisi 1 Patch

PD sama dengan jumlah petak


dalam lanskap dibagi dengan
total luas lanskap. PD yang
lebih besar dari tipe patch
akan dianggap lebih
terfragmentasi dari pada PD
Patch Density yang lebih rendah dari tipe
(PD) patch tersebut.

ED sama dengan jumlah


panjang (m) dari semua
segmen batas lanskap yang
melibatkan jenis patch yang
sesuai dan hanya mewakili
tepi yang benar, dibagi
Edge Density dengan luas lanskap total (m 2
(ED) ).

MPS sama dengan total luas


lanskap (m2), dibagi jumlah
Mean Patch patch, dibagi 10.000 (untuk
Size (MPS) dikonversi ke hektar).
n
Largest Patch LPI sama dengan luas (m 2 )
Index (LPI) pi=∑ a ij ¿ ¿ ¿ patch terbesar di lanskap
j=i
dibagi dengan total luas
lanskap (m2 ), dikalikan
dengan 100 (untuk dikonversi
ke persentase); dengan kata
lain, LPI sama dengan
136

Indeks
Kategori Landscape Formula Definisi
Metric

persentase lanskap yang


terdiri dari patch terbesar

LSI = 1 jika lanskap terdiri


dari patch tunggal berbentuk
lingkaran (vektor) atau
persegi (raster); LSI
meningkat tanpa batas karena
bentuk lanskap menjadi lebih
tidak beraturan atau seiring
Largest Shape bertambahnya panjang tepi
Index (LSI) dalam lanskap, atau keduanya

AWMSI = 1 ketika semua


tambalan dalam lanskap
berbentuk lingkaran (vektor)
Area-weighted atau persegi (raster); AWMSI
mean shape meningkat tanpa batas karena
Shape index bentuk tambalan menjadi
Metric (AWMSI) lebih tidak teratur

AWMPFD lebih besar dari 1


untuk mosaik lanskap
menunjukkan penyimpangan
dari geometri euclidean
(peningkatan kompleksitas
bentuk Patch). AWMPFD
mendekati 1 untuk bentuk
dengan keliling yang sangat
sederhana, seperti lingkaran
Area-weighted atau bujur sangkar, dan
mean patch mendekati 2 untuk bentuk
fractal dengan keliling yang sangat
dimension berbelit-belit dan memenuhi
(AWMPFD) bidang

Diversity Shannon’s SHDI = 0 bila lanskap hanya


metrics diversity index berisi 1 tambalan (tidak ada
(SHDI) keragaman). SHDI meningkat
karena jumlah tipe patch yang
berbeda meningkat atau
distribusi proporsional area di
137

Indeks
Kategori Landscape Formula Definisi
Metric

antara tipe patch menjadi


lebih merata

IJI mendekati 0 ketika


distribusi adjacencies di
antara tipe patch unik menjadi
semakin tidak merata. IJI =
100 ketika semua jenis
tambalan sama-sama
berdekatan dengan semua
jenis tambalan lainnya (yaitu,
interspersi dan penjajaran
maksimum) IJI merupakan
Interspersion fitur distribusi ekosistem di
and bawah batasan beberapa
Juxtaposition kondisi alam (yaitu, curah
index (IJI) hujan bentuk lahan)

MNN sama dengan jumlah


jarak (m) ke patch terdekat
dari tipe yang sama,
berdasarkan jarak edge-to-
Mean nearest edge terdekat, untuk setiap
neighbor patch dalam landscape dengan
distance tetangga, dibagi dengan
(MNN) jumlah patch dengan tetangga

MPI indeks kedekatan rata-


Nearest rata untuk tambalan dalam
neighbor lanskap sama dengan jumlah
metrics area patch (m2 ) dibagi
dengan kuadrat jarak tepi-ke-
tepi terdekat (m) antara patch
dan patch yang sesuai, Saat
buffer pencarian melampaui
batas lanskap untuk tambalan
fokus di dekat batas, hanya
tambalan yang terdapat di
Mean dalam lanskap yang
proximity dipertimbangkan dalam
index (MPI) perhitungan
138

Indeks
Kategori Landscape Formula Definisi
Metric

Contiguity Index memiliki


nilai berkisar antara 0-1
dimana nilai 0 menunjukkan
bahwa masing-masing kelas
penggunaan lahan terdiri dari
Contagion patch-patch yang tidak
index berdekatan atau tersebar
Contagion (CONTAG) dalam satu landscape
and
interspersio Nilai COHESION mendekati
n metrics 0 = dalam satu kelas terdapat
banyak patch yang tidak
terkoneksi atau terpisah-pisah.
Semakin tinggi nilai
COHESION = patch-patch
dalam satu kelas tersebut
saling terhubung satu sama
Cohession lain

5.3.6 Sebaran genangan banjir

5.2.3.1 Perhitungan hujan wilayah/kawasan


5.2.3.1.1 Analisis Data Hujan
Ketersediaan serta kualitas data menjadi persyaratan pokok untuk
melanjutkan analisis, data hujan terdiri dari deret angka pencatatan dan
rawan terjadi kesalahan terutama pada sampel data dari keseluruhan
populasi data. Pengujian data curah hujan diperlukan untuk memperoleh
kesimpulan data curah hujan memenuhi persyaratan melalui analisis statistik
dengan derajat kepercayaan tertentu.
139

Jenis pengujian data curah hujan meliputi uji konsistensi data hujan,
uji tersebut memastikan data hujan layak digunakan pada simulasi peluang.
Data hujan stasiun tertentu dimungkinkan sifatnya tidak konsisten
inconsistent). Data semacam ini tidak dapat langsung dianalisis sehingga
dilakukan pengujian terhadap konsistensi data dengan menggunakan metode
sebagai berikut:
Metode statistik Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS) memiliki
persamaan sebagai berikut:

Dimana:
Sk∗¿ = Nilai Kumulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata
Ri = Nilai data R - Ke i
R̅ = Nilai R rata-rata
Sk* = Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS)
*
Dy = Deviasi standar seri data Y

Tabel 5. 2 Niali Kritis Q dan R


Q kritis R kritis
n
90% 95% 99% 90% 95% 99%

10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38


20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60
30 1,12 1,24 1,48 1,40 1,50 1,70
40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74
50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,55 1,50 1,62 1,86

∞ 1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2,00

Sumber: Harto,1993

Nilai perhitungan nilai Q hitung dan R hitung dibandingkan dengan nilai


uji sesuai tabel diatas, apabila diperoleh lebih kecil untuk tingkat kepercayaan
tertentu maka data dalam batasan konsisten.
140

5.2.3.1.2 Penentuan Hujan Kawasan


Perhitungan hidrologi selanjutnya yaitu perhitungan hujan rata-rata,
dilakukan dengan metode rerata aritmatik (aljabar). Metode aljabar
menghitung hujan rerata di suatu daerah. Pengukuran di beberapa stasiun
dalam waktu bersamaan untuk dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan
jumlah stasiun pencatatan. Penentuan stasiun hujan untuk perhitungan
adalah stasiun hujan di lokasi lingkup studi, tetapi stasiun di luar dan
berdekatan dengan wilayah studi dapat dimasukkan dalam perhitungan.
Metode rerata aljabar memberikan hasil baik apabila stasiun hujan tersebar
secara merata di lokasi studi dan distribusi hujan relatif merata pada seluruh
lokasi studi.
Hujan rerata dihitung denga rumus:

Dimana:
R = Hujan rerata kawasan
R1 R 2 R3 … Rn = Hujan di stasiun 1, 2, 3 … n

n = Jumlah stasiun

5.2.3.1.3 Analisis Distribusi Frekuensi


Perhitungan distribusi frekuensi diperlukan untuk memprediksi suatu
besaran curah hujan harian maksimum yang terjadi melalui distribusi
peluang. Analisis frekuensi adalah suatu analisis data hidrologi dengan
menggunakan statistik yang bertujuan untuk memprediksi suatu besaran
hujan dengan periode ulangan tertentu (Verrina, Anugrah, dan Sarino 2013).
Analisis frekuensi data hidrologi berguna untuk menentukan nilai peluang
dari besaran peristiwa curah hujan ekstrim melalui distribusi peluang.
Terdapat dua jenis distribusi peluang terhadap variabel datanya, yaitu
aplikasi distribusi peluang diskrit dan peluang kontinyu. Dalam penelitian
ini menggunakan aplikasi distribusi peluang kontinyu, dengan model
matematika dari persamaan empiris distribusi Normal, Gumbel, Log-
Normal, dan Log-Pearson tipe III.
Distribusi Normal merupakan fungsi densitas peluang normal
dikenal dengan distribusi Gauss. Persamaan untuk distribusi Normal adalah:

Dimana:
141

RTr = Nilai hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun (mm)


Rt = Nilai curah hujan rata-rata (mm)
KTr = Faktor frekuensi untuk periode ulang tertentu
SR = Standar deviasi

Distribusi Gumbel tipe I merupakan metode perhitungan nilai


ekstrim yang umum digunakan untuk analisis data maksimum (Soewarno
1995). Persamaan untuk distribusi Gumbel adalah:

Dimana:
RTr = Nilai hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun (mm)
Rt = Nilai curah hujan rata-rata (mm)
KTr = Faktor frekuensi untuk periode ulang tertentu
SR = Standar deviasi
YTr = Nilai Reduce Variate
Yn = Nilai Reduce Mean
Sn = Nilai Reduced Standard Deviation
Tr = Rencana periode ulang tahun tertentu

Distribusi Log-Normal merupakan transformasi distribusi Normal dengan


mengubah nilai variat menjadi nilai logaritma. persamaan distribusi adalah:

Dimana:
RTr = Nilai hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun (mm)
log RTr = Nilai logaritma hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun
(mm)
log Rt = Nilai logaritma curah hujan rata-rata (mm)
KTr = Faktor frekuensi untuk periode ulang tertentu
S Log R = Standar deviasi
142

Distribusi Log-Pearson tipe III merupakan hasil transformasi dari


distribusi Pearson tipe III dengan mengubah nilai variat menjadi logaritma.
Persamaan distribusi Log-Pearson tipe III adalah:

Dimana:
RTr = Nilai hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun (mm)
log RTr = Nilai logaritma hujan rencana dengan periode ulang Tr tahun
(mm)
log Rt = Nilai logaritma curah hujan rata-rata (mm)
KTr = Faktor frekuensi untuk periode ulang tertentu
S Log R = Standar deviasi

Faktor frekuensi distribusi Log-Pearson tipe III akan mengikuti nilai faktor
distribusi normal jika nilai kemencengan (𝐶𝑆) sama dengan nol, sedangkan untuk
nilai kemencengan (𝐶𝑆) tidak sama dengan nol, maka nilai perkiraan faktor
frekuensi distribusi Log-Pearson tipe III dapat ditaksir melalui persamaan:

Dimana:
Cs = Koefisien kemiringan (Skewness)
log Rt = Nilai logaritma curah hujan rata-rata (mm)
S Log = Standar deviasi
R
R = Nilai rata-rata

5.2.3.1.4 Uji kesesuaian Distribusi


Pengujian distribusi digunakan untuk menentukan kesesuaian (the
goodness of fit test) distribusi frekuensi dari sampel data terhadap fungsi
distribusi peluang yang diperkirakan dapat mewakili distribusi frekuensi
tersebut (Soewarno 1995). Kesesuaian terhadap pemilihan fungsi distribusi
143

menggunakan metode pengujian dan tingkat interval kepercayaan (confidence


interval).
Uji Chi-Square merupakan pengujian terhadap penyimpangan distribusi
data pengamatan dengan mengukur kedekatan antara data pengamatan dan
seluruh bagian garis persamaan distribusi teoritisnya (Soewarno 1995).
Pengambilan keputusan uji Chi-Square menggunakan parameter X 2h(x² hitung)
yang merupakan variabel acak. Parameter X 2h diperoleh melalui persamaan:

Dimana:
x² = Parameter chi-kuadrat terhitung
Oi = Data hasil pengukuran
Ei = Data hasil perhitungan dari lengkung kekerapan teoritik
(grafik)

Jika nilai x²

= 0 maka tingkat kecocokannya baik. Semakin besar nilai x², semakin kecil tingkat

kritis dapat dicari bergantung dengan derajat kepercayaan (α).


Nilai derajat kepercayaan diperoleh melalui persamaan:

Dimana:
D = Derajat kebebasan
k
p = Banyaknya parameter, untuk uji chi-kuadrat adalah 2 (Kamiana, 2011)
K = Jumlah kelas distribusi = 1 + (3,322 * Log n)

Uji Smirnov-Kolmogorov sering juga disebut uji keselarasan non-


parametrik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Uji
Smirnov-Kolmogorov menghitung besarnya jarak maksimum secara vertikal
antara nilai pengamatan dan teoritisnya dari distribusi sampel (BSNI 2016).
Perbedaan jarak maksimum untuk uji Smirnov-Kolmogorov diperoleh melaui
persamaan:
144

Dimana:
D maks = Nilai selisih data probabilitas pengamatan dan teoritis
P = Nilai peluang pengamatan
P' = Nilai peluang teoritis

Nilai D kritis merupakan batas dimana sebaran data masih dianggap cocok, nilai D kritis di d

Dimana
P = Probabilitas (%)
m = Nomor urut data dari seri yang telah diurutkan
n = Banyaknya data

5.2.3.1.5 Intensitas Curah Hujan


Intensitas curah hujan adalah tinggi curah hujan dalam satuan waktu
tertentu. Intensitas curah hujan menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka
pendek yang memberikan gambaran deras hujan per-jam. Sifat umum hujan
adalah semakin singkat hujan berlangsung intensitas nya cenderung semakin
tinggi dan semakin besar periode ulangan nya semakin tinggi pula intensitas nya
(Suripin, 2004).
Dalam pengolahan data curah hujan menjadi intensitas curah hujan
digunakan cara statistik dari data pengamatan durasi hujan yang terjadi. Apabila
dalam pengolahan tidak dijumpai data untuk setiap durasi hujan, maka diperlukan
pendekatan secara empiris dengan berpedoman kepada durasi 60 menit dan pada
curah hujan harian maksimum yang terjadi setiap tahun. Penelitian yang
dilakukan menggunakan perhitungan dari metode Mononobe untuk menghitung
curah hujan harian maksimum dalam kurun waktu 24 jam. Metode Mononobe
145

adalah metode yang diperuntukkan untuk jenis data curah hujan yang diukur
dalam satuan hari (Kamiana, 2011). Persamaan untuk metode Mononobe adalah:

Dimana:
I = Intensitas Hujan Rencana Rata-rata dalam T jam (mm/jam)
R24 = Tinggi Hujan harian maksimum atau hujan rencana (mm)

T = Durasi hujan atau waktu konsentrasi (jam)

5.2.3.1.6 Distribusi Hujan Jam-jaman


Pola distribusi hujan jam-jaman merupakan suatu proses dimana
pencatatan hujan dilakukan dengan suatu interval waktu tertentu. Interval waktu
berbeda-beda sesuai jangka waktu yang ditinjau, yakni dilakukan dalam satuan
waktu tahunan, bulanan, harian, jam-jaman atau menit. Agar distribusi hujan
selama terjadinya hujan dapat dilakukan pencatatan lebih baik, sebaiknya interval
waktu yang digunakan adalah interval waktu yang singkat. Sebaran hujan jam-
jaman dapat dihitung dengan persamaan:

Dimana:
Rt = Sebaran Hujan jam-jaman (mm)
t = Jam ke - … (jam)
I = Intensitas Hujan Rencana Rata-rata dalam T Jam (mm/jam)

5.2.3.1.7 Curah Hujan Efektif


Curah hujan efektif merupakan curah hujan yang berubah menjadi aliran
permukaan, yaitu curah hujan rancangan dikurangi dengan kehilangan air (losses).
Dihitung dengan persamaan:

Dimana:
ℜ = Curah hujan efektif (mm)
Rt = Curah hujan rencana
146

C = Koefisien pengaliran

Koefisien pengaliran
Koefisien pengaliran adalah nilai yang menunjukkan karakteristik suatu
daerah tangkapan. Nilai dari koefisien pengaliran sangat beragam dari 0,05 untuk
daerah landai berpasir dan 0,95 untuk daerah yang kedap air seperti daerah
perkotaan. Nilai koefisien pengaliran juga sangat beragam terhadap curah hujan
yang terjadi pada daerah tangkapan dengan karakteristik sama (Shaw 1994). Nilai
koefisien pengaliran untuk beberapa jenis kondisi permukaan tanah disajikan pada
Tabel 5.3.
Tabel 5. 3 Niali koefisien pengaliran

Kondisi Permukaan Tanah Koefisien Pengaliran (C)


Bahan
1. Jalan beton dan jalan aspal 0.70-0.95
2. Jalan kerikil dan jalan tanah 0.40-0.70
3. Bahu jalan:
- Tanah berbutir halus 0.40-0.65
- Tanah berbutir kasar 0.10-0.20
- Batuan masif keras 0.70-0.85
- Batuan masif lunak 0.60-0.75
Tata Guna Lahan
4. Daerah Perkotaan 0.70-0.95
5. Daerah pinggir kota 0.60-0.70
6. Daerah Industri 0.60-0.90
7. Permukiman padat 0.60-0.80
8. Permukiman tidak padat 0.40-0.60
9. Taman dan kebun 0.20-0.40
10. Persawahan 0.45-0.60
11. Perbukitan 0.70-0.80
12. Pegunungan 0.75-0.90
Sumber: SNI 103-3424-1994 “Tata Cara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan”
147

5.2.3.2 Pemodelan hidrologi menggunakan HEC-HMS


Debit banjir rancangan adalah debit banjir terbesar tahunan dengan suatu
kemungkinan terjadi yang tertentu, atau debit dengan suatu kemungkinan periode
ulang tertentu. Debit banjir rencana adalah debit maksimum yang mungkin terjadi
pada suatu daerah dengan peluang kejadian tertentu. Untuk menaksir banjir
rencana digunakan cara hidrograf satuan yang didasarkan oleh parameter dan
karakteristik daerah pengalirannya. Metode analisa debit banjir rancangan
pemilihannya sangat bergantung pada kesesuaian parameter statistik dari data
yang bersangkutan, atau dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis
lainnya.
Pemodelan hidrologi ini digunakan untuk menganalisis hidrograft satuan
sintesis dengan menggunakan aplikasi Hydrologic Modeling System (HEC-HMS)
dimana model ini berguna untuk menganalisis debit banjir dari beberapa sub-Das
atau anak sungai sehingga nantinya di dapatkan beberapa hidrograft satuan
sintesis, yang masing-masing sub-DAS memberikan perilaku hidrologi
(hidrograft) yang berbeda. Adapun tahapan-tahapan metode pengolahan data
dijabarkan sebagai berikut:
Deliniasi Batas DAS dan jaringan sungai
Deliniasi batas DAS dan jaringan sungai dilakukan dengan menggunakan
data sekunder berformat shapefile yang di dapatkan dari Bappeda Kota Bekasi.
Data tersebut nantinya akan digunakan sebagai input parameter dalam model
basin di HEC-HMS.
Model Basin
Model basin tersusun atas gambaran fisik DAS yang terdiri dari elemen
hidrologi yang terhubung dengan jaringan yang mensimulasi proses aliran yang
terjadi pada sebuah sistem DAS. Elemen yang digunakan untuk mensimulasi debit
aliran yaitu: sub-DAS, reach, junction, source dan sink (Tabel 5.4).
Tabel 5. 4 Elemen hidrologi penyusun model basin

Elemen
No Deskripsi
Hidrologi
1 Sub DAS Elemen yang digunakan untuk mewakili kondisi fisik suatu
DAS. Elemen ini hanya memiliki satu outflow yang dihitung
berdasarkan curah hujan yang diterima dikurangi dengan
besarnya precipitation losses, surface runoff dan baseflow.
2 Reach Elemen yang digunakan untuk menyampaikan streamflow di
dalam subbasin. Inflow yang mengalir pada reach dapat
berasal dari beberapa aliran hulu (upstream).
3 Junction Elemen yang digunakan untuk menggabungkan streamflow
148

yang mengalir dari upstream. Inflow yang mengalir pada


junction dapat berasal dari beberapa upstream. Outflow
dihitung dengan menjumlahkan semua inflow.

4 Source merupakan elemen yang digunakan untuk menjelaskan aliran


ke dalam model basin. Source tidak memiliki inflow.

5 Sink merupakan elemen yang digunakan untuk mewakili outlet


sebuah DAS. Inflow pada sink biasanya berasal dari
beberapa elemen pada daerah hulu. Dan tidak ada outflow
yang keluar dari sink.
Sumber: USACE-HEC, 2000
Model basin disusun menggunakan tiga komponen yaitu komponen loss,
transform, baseflow dan routing. Komponen loss method bertujuan untuk
menghitung kehilangan air yang terjadi karena proses infiltrasi dan pengurangan
volume tampung saluran. Komponen loss pada penelitian dihitung dengan
menggunakan metode SCS Curve Number. Konsep dasar dari metode ini yaitu
menghitung rata-rata kehilangan air hujan yang terjadi selama hujan berlangsung
melalui proses infiltrasi/permeabilitas dan tutupan lahan sehingga berpengaruh
pada debit yang mengalir pada sungai.
Metode perhitungan volume limpasan dengan menggunakan berdasarkan
metode Soil Conservation Service Curve Number (SCS CN). Metode ini
beranggapan bahwa hujan yang menghasilkan limpasan merupakan fungsi dari
hujan kumulatif, penggunaan lahan, jenis tanah, serta kelembaban yang besarnya
ditentukan pada tiap poligon yang mengacu pada United States Department of
Agriculture (USDA-SCS, 1986). Perhitungan volume limpasan dengan
menggunakan persamaan berikut ini (USACE-HEC, 2000):
2
(P−I a )
Pe =
( P−I a ) + Smax
Dimana
Pe = Hujan efektif kumulatif pada waktu t
P = Kedalaman hujan kumulatif pada waktu t
Ia = Kehilangan awal (initial loss)
Smax = Potensi penyimpanan maksimum (potential maximum retention)

Initial abstraction merepresentasikan seluruh kehilangan air sebelum


terjadinya runoff dan mencakup depresi permukaan, intersepsi permukaan,
149

penguapan dan infiltrasi. Nilai initial abstraction (Ia) dipengaruhi oleh besarnya
dan potential retention (S). Hubungan antara Ia dan S dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
I a=0.2 S max

25400−254 CN
Smax =
CN
I a adalah initial abstraction (mm), S adalah potential retention dan CN
adalah bilangan kurva aliran permukaan. Nilai dari CN bervariasi dari 100 (untuk
permukaan yang digenangi air) hingga sekitar 30 (untuk permukaan tak kedap air
dengan nilai infiltrasi tinggi). Volume limpasan dipengaruhi pula oleh luas daerah
kedap air (impervious) yang diperoleh dari luas lahan terbangun di daerah
penelitian.
Komponen transform menggambarkan metode hidrograf satuan yang
digunakan dalam melakukan simulasi debit aliran. parameter utama yang
digunakan dalam komponen ini adalah waktu tenggang (time lag). Metode yang
digunakan untuk menghitung komponen transform adalah metode Snyder Unit
Hydrograph. Lag time dihitung dengan persamaan (Technical Reference Manual
HEC HMS, page 54-55) sebagai berikut:
0.3
t l=C 1 C t ( L Lc )

Dimana:
L = Panjang sungai utama (km)
Lc = Panjang sungai dari titik berat basin ke outlet (km)

C 1 = Konstanta (nilainya 0.75 untuk SI unit; 1.0 untuk English unit

C t = Koefisien-koefisien yang tergantung dari karakteristik daerah


pengaliran nya (nilai berkisar antara 1.8 - 2.2, semakin curam maka
C t semakin kecil)

tl = Waktu dari titik berat curah hujan efektif ke puncak banjir (jam)

Peaking Coeficient (Cp) adalah koefisient puncak dari hidrograft. Nilai ini
berada di antara 0.4-0.8 (Technical Reference Manual HEC HMS, page 54-55.

Model Meteorologi
Model meteorologi adalah model yang terkait dengan metode presipitasi
yang digunakan pada simulasi model. Data curah hujan yang digunakan adalah
150

data curah per jam. Metode yang digunakan yaitu Specified Hyetograph dengan
menggunakan data curah hujan rencana hasil perhitungan sebelumnya.
Control specification
Control specification bertujuan untuk mengeksekusi masing-masing
parameter sesuai dengan waktu kejadian hujan yang akan disimulasi. pada tahap
ini dilakukan pengaturan jangka waktu simulasi (time period) dan pengaturan
terhadap interval waktu yang digunakan pada saat simulasi model.
Menjalankan Model HEC-HMS
Simulasi model diawali dengan memastikan data parameter yang
dimasukkan ke dalam model telah sesuai dengan kondisi lapang. Pengaturan
jangka waktu pelaksanaan running model (tanggal dan interval waktu) yang
dilakukan pada control specification sesuai dengan kejadian hujan yang dipilih.
Data hujan hasil perhitungan periode ulang diinput pada time-series data. Running
model dijalankan pada HEC-HMS versi 4.10 dengan menggunakan data input
model berupa: model basin, model meteorologi, control specification dan data
time-series. Simulasi model dilakukan untuk memperoleh debit maksimum
sebagai debit banjir masing-masing sub-DAS di Kota Bekasi pada masing-masing
periode ulang. Output dari model berupa hidrograf aliran permukaan, debit aliran
puncak, volume aliran dan nilai time to peak.

5.2.3.3 Pemodelan hidrolika menggunakan HEC-RAS 2D


Pemodelan hidrolika pada penelitian ini digunakan untuk memetakan
kawasan banjir dengan menggunakan aplikasi HEC-RAS dilakukan setelah
mengetahui debit banjir di DAS Bekasi. Debit banjir yang diperoleh setelah
melakukan pengolahan data curah hujan harian maksimum menjadi hidrograf
aliran. Setelah debit banjir diketahui langkah selanjutnya adalah pemetaan
kawasan banjir.
Pemetaan kawasan banjir dengan menggunakan HEC-RAS dilakukan
dengan beberapa langkah, yaitu input data, analisis terhadap parameter penelitian,
dan pemetaan kawasan banjir dua dimensi. Data yang diperlukan untuk tahapan
ini yaitu:
1. Data Batas DAS dan DEMNAS (Digital Elevation Model Nasional)
Data batas DAS dan DEMNAS digunakan sebagai sumber data pembentuk
geometri sungai
2. Data penutupan lahan 2022 dan 2030 (Nilai Manning)
Data penutupan lahan digunakan sebagai input kekasaran dasar (koefisien
Manning).
3. Data geometri sungai
151

Data geometri sungai yang digunakan yakni 2D Flow Area untuk mengetahui
area yang terdampak genangan banjir berupa mesh dengan ukuran (20 x 20),
kemudian Break Lines dengan mesh yang lebih kecil (5 x 5) pada sungai.
4. Data hidrograf aliran (Unsteady Flow Data)
Data hidrograf aliran yang berupa debit banjir rencana digunakan sebagai
data masukan di dalam Boundary Condition area hulu ditambah kemiringan
sungai di area hulu.
5. Kondisi batas hilir (Normal Depth)
Kondisi batas hilir digunakan untuk mengetahui kondisi muka air di bagian
hulu, yakni menggunakan kemiringan sungai di hilir (Normal Depth).

5.3.6.1 Perhitungan Hujan Wilayah/Kawasan


Perhitungan curah hujan rancangan pada penelitian ini menggunakan data
curah hujan harian Kota Bekasi pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2021. Data
yang digunakan merupakan data curah hujan harian maksimum yang diperoleh
dari data curah hujan harian Sungai Kupang stasiun Kranji, stasiun Rawa Dukuh,
stasius Cikeas dan stasiun Bendung Bekasi.
Tabel 4 Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahun 2010 – 2021
Stasiun Hujan
TAHUN Rawa Bendung
Kranji Cikeas
Dukuh Bekasi

2011 80,0 120,0 75,0 65,0


2012 65,0 120,0 135,5 114,0
2013 113,6 105,0 133,0 120,0
2014 134,0 100,0 128,0 190,0
2015 188,0 105,0 140,0 112,0
2016 105,0 110,0 91,5 70,0
2017 125,0 132,9 186,5 135,0
2018 120,0 102,0 152,5 78,0
2019 76,0 85,0 117,0 101,0
2020 150,0 175,0 221,0 155,0
2021 120,0 74,0 135,0 108,0

Sumber: Data Bidang SDA DBMSDA 2021


Wilayah studi merupakan area administrasi Kota Bekasi, dimana lokasi
meliputi beberapa daerah aliran sungai (DAS), yakni DAS Ciliwung yang terdiri
dari subdas Sunter, subdas Buaran, subdas Jatikramat, subdas Cakung, subdas
Bojong Rangkong, subdas Jatiluhur Baru, dan subdas Blencong, DAS Bekasi
152

Hilir terdiri dari subdas Bekasi, subdas Galaxy dan subdas Rawalumbu yang
dipengaruhi DAS Bekasi Hulu meliputi subdas Cikeas dan subdas Cileungsi, serta
bagian timur kota Bekasi yakni Cikarang Bekasi Laut CBL terdiri dari subdas
Siluman dan Sasak Jarang.

Gambar 2 Daerah Aliran Sungai sekitar Kota Bekasi


153

5.3.6.1.1 Analisis Data Hujan


Perhitungan curah hujan rancangan digunakan untuk menghitung data
intensitas hujan. Terdapat beberapa langkah dalam menghitung data intensitas
hujan yaitu pengukuran statistik, pemilihan jenis distribusi, serta pengujian
kecocokan distribusi.
Pengukuran statistik dihitung setelah mendapatkan hasil dari curah hujan
area, pengukuran menghitung antara sebaran masing-masing jenis distribusi
No Tahun Rmax Ri Log Ri
1 2011 85.00 175.25 2.243658
2 2012 108.63 144.85 2.160906
3 2013 117.91 138.00 2.139892
4 2014 138.00 136.25 2.134337
5 2015 136.25 117.91 2.071536
6 2016 94.13 113.13 2.053559
7 2017 144.85 109.25 2.038421
8 2018 113.13 108.63 2.03593
9 2019 94.75 94.75 1.976579
10 2020 175.25 94.13 1.973705
11 2021 109.25 85.00 1.929419
Jumlah 1317.13 22.7579
Rata-rata 119.74 2.0689
(Rt)
Jumlah 11 11
Data
Rata-rata 119.7391 119.7392
86
Standar 26.61958 0.093609
Deviasi 39
(SR)
Koefisien 0.779609 0.34601
Skewness 5
(Cs)
154

Koefisien 4.144970 3.465685


Kurtosis 52
(Ck)
Koefisien 0.222313 0.000782
Varian 05
(Cv)
3Cv 0.6669391 0.002345
6

Selanjutnya menentukan jenis distribusi dengan cara mencocokkan


parameter statistik berdasarkan syarat pada setiap jenis distribusi. Berikut hasil
dari mencocokkan parameter statistik dengan syarat setiap jenis distribusi.
Tabel 5 Syarat dan kecocokan jenis distribusi
Nama
No Persyaratan Hasil Keterangan
Metode

1 Gumbel Cs = 1,14 1.14 Cs 0.77961 Tidak Memenuhi

Ck = 5,4 5.4 Ck 4.14497 Tidak Memenuhi

2 Normal Cs = 0 0 Cs 0.77961 Tidak Memenuhi

Ck = 3 3 Ck 4.14497 Tidak Memenuhi

3 Log Cs ≠ 0 Cs 0.34601 Memenuhi


Pearson
III

4 Log Cs = Cv^3 + 3Cv 2 Cs 0.00235 Tidak Memenuhi


Normal
Ck = Cv^8 + 6Cv^6 + 4 Ck 3.00001 Tidak Memenuhi
15Cv^4 + 16Cv^2 + 3

Berdasarkan hasil kecocokan parameter statistik, jenis distribusi yang


memenuhi syarat yaitu Log Pearson III. Tetapi, untuk pemilihan jenis distribusi
ini diharuskan untuk menguji kembali dengan Uji Chi-Kuadrat dan Uji Smirnov-
Kolmogorov.
5.3.6.1.2 Penentuan Hujan Kawasan
Rerata Aritmatik
No Tahun Rmax Ri Log Ri
1 2011 85.00 175.25 2.243658
2 2012 108.63 144.85 2.160906
155

3 2013 117.91 138.00 2.139892


4 2014 138.00 136.25 2.134337
5 2015 136.25 117.91 2.071536
6 2016 94.13 113.13 2.053559
7 2017 144.85 109.25 2.038421
8 2018 113.13 108.63 2.03593
9 2019 94.75 94.75 1.976579
10 2020 175.25 94.13 1.973705
11 2021 109.25 85.00 1.929419
Jumlah 1317.13 22.7579
Rata-rata (Rt) 119.74 2.0689
Jumlah Data 11 11

5.3.6.1.3 Analisis Distribusi Frekuensi


Jenis distribusi yang dihitung adalah distribusi normal, log normal,
Gumbel dan Log Pearson II. Tujuannya untuk menghitung curah hujan rancangan
berdasarkan kala ulang tertentu. Terdapat 9 (sembilan) kala ulang yang dihitung
yaitu 2 tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan, 10 tahunan, 200
tahunan serta 1000 tahunan. Hasil dari perhitungan curah hujan rancangan
berdasarkan 4 distribusi tersebut disajikan pada Tabel 7.
Tabel 6 Hasil analisis distribusi frekuensi

Probabilita Periode
Gumbe Log Log
s Ulang Normal
l Normal Pearson III
(P) (Tahun)
0.5 2 119.74 116.08 117.19 115.75
0.2 5 142.15 147.26 140.51 139.86
0.1 10 153.87 167.90 154.49 155.52
0.05 20 163.53 187.71 167.07 168.32
0.04 25 165.62 193.99 169.93 175.11
0.02 50 173.54 213.34 181.17 189.68
156

0.01 100 181.66 232.55 193.48 204.22


0.005 200 188.31 251.69 204.19 218.90
0.001 1000 218.74 296.02 261.24 254.17

5.3.6.1.4 Uji Kesesuaian Distribusi


Pengujian kesesuaian distribusi menggunakan dua metode yaitu pengujian
Chi-Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel
Tabel 7 Uji Kesesuaian Distribusi

Uji Chi-Kuadrat
Normal Gumbel Log Normal Log Pearson III
X2 Hitung 0.3636 3.0909 0.3636 4.0000
X2 Kritis 5.9900 5.9900 5.9900 5.9900
Kesimpulan Mewakili Mewakili Mewakili Mewakili
Uji Smirnov-Kolmogorof
Normal Gumbel Log Normal Log Pearson III
D Hitung 0.1306 0.1306 0.1255 0.1255
D Kritis 0.3960 0.3960 0.3960 0.3960
Kesimpulan Mewakili Mewakili Mewakili Mewakili

Hasil perhitungan uji Chi-Kuadrat menunjukkan hasil yang sama dengan


uji Smirnov-Kolmogorov, dimana nilai parameter Chi hitung lebih kecil dari Chi
teori untuk derajat kebebasan sebesar 5% terhadap keempat distribusi peluang.
Hasil perhitungan uji Chi Kuadrat menunjukkan distribusi Log Normal dan Log
Pearson III memiliki nilai terkecil.
Hasil perhitungan uji Smirnov-Kolmogorov untuk derajat kebebasan
sebesar 5% menunjukan nilai D hitung lebih kecil dari D kritik terhadap keempat
distribusi peluang. Hal tersebut menunjukkan data curah hujan harian maksimum
mengikuti keempat distribusi peluang untuk selang kepercayaan sebesar 95%.
Hasil perhitungan juga menunjukkan distribusi Normal dan Log Normal memiliki
nilai D hitung terkecil diantara keempat distribusi peluang. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa distribusi peluang curah hujan harian maksimum untuk
lokasi penelitian cenderung mengikuti fungsi distribusi Normal dan Log Normal.
Berdasarkan hasil kedua perhitungan uji yang dilakukan menunjukkan
fungsi peluang distribusi Log Normal memiliki sifat paling mewakili data curah
hujan harian maksimum lokasi penelitian. Nilai frekuensi curah hujan harian
157

maksimum distribusi Log Normal untuk kala ulang dua tahun sebesar 117.19
mm/hari, lima tahun sebesar 140.51 mm/hari, sepuluh tahun sebesar 154.49
mm/hari, dua puluh tahun sebesar 167.07 mm/hari, dua puluh lima tahun sebesar
169.93 mm/hari, lima puluh tahun sebesar 181.17 mm/hari, seratus tahun sebesar
193.48 mm/hari, dua ratus tahun sebesar 204.19 mm/hari, dan seribu tahun
sebesar 261.24 mm/hari. Nilai dari distribusi Log Normal selanjutnya digunakan
dalam perhitungan intensitas curah hujan.
Frekuensi hujan DAS Bekasi bagian hulu yang meliputi sub DAS Cikeas
dan sub DAS Cileungsi menggunakan data dari penelitian sebelumnya. Curah
hujan rancangan di Sub DAS Cikeas (Dharma dkk, 2021) untuk periode ulang 2
tahun sebesar 123.102 mm, 5 tahun sebesar 148.067 mm, 10 tahun sebesar
161.663, 50 tahun sebesar 189.186 mm, dan 100 tahun sebesar 200.258,
sedangkan curah hujan rancangan di Sub DAS Cileungsi (Marko & Zulkarnain,
2018) untuk periode ulang 5 tahun sebesar 143 mm, 10 tahun sebesar 167 mm, 25
tahun sebesar 197 mm, dan 50 tahun sebesar 220 mm. Frekuensi curah hujan
rancangan hulu DAS Bekasi disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Frekuensi curah hujan rancangan Hulu DAS Bekasi

Periode Ulang Curah hujan rancangan (mm)


(Tahun) Sub DAS Cikeas Sub DAS Cileungsi
Q2 126.102 -
Q5 148.067 143
Q10 161.663 167
Q25 - 197
Q50 189.186 220
Q100 200.258 -

5.3.6.1.5 Intensitas Curah Hujan


Data curah hujan harian maksimum yang diperoleh dalam satuan hari
hujan perlu diketahui intensitas curah hujannya untuk tiap satuan waktu berupa
jam. Data curah hujan yang digunakan merupakan hasil perhitungan distribusi
peluang yang sesuai dengan sebaran data curah hujan harian maksimum dengan
periode ulangan dua, lima, sepuluh, dan dua puluh tahun. Intensitas curah hujan
harian maksimum dihitung besarnya menggunakan metode Mononobe dalam
kurun waktu 24 jam. Kurva intensitas durasi dan frekuensi curah hujan hari
maksimum periode ulangan dua, lima, sepuluh, dan dua puluh tahun disajikan
pada Gambar 2.
158

Kurva Intensitas Curah Hujan


TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25
TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000
500
450
Intensitas Curah Hujan (mm/jam)

400
350
300
250
200
150
100
50
0
5 10 20 40 60 90 120 150 180 210 240 270 300 360 390 420 450 480 510 540 570 600 630 660 690 720
Menit

Gambar 3 Kurva IDF Curah Hujan Harian Maksimum

5.3.6.1.6 Distribusi Hujan Jam-jaman


Hasil perhitungan distribusi hujan jam-jaman dengan periode ulang
tertentu dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Distribusi hujan jam-jaman
Periode Ulang (Tahun) (m3/s)
Jam ke-
2 5 10 20 25 50 100 200 1000

1 40.629 48.71 53.560 57.919 58.910 62.808 67.07 70.790 90.566


4 6

2 25.595 30.68 33.741 36.487 37.111 39.567 42.25 44.595 57.053


8 5

3 19.532 23.41 25.749 27.844 28.321 30.195 32.24 34.032 43.539


9 7

4 16.124 19.33 21.255 22.985 23.379 24.925 26.61 28.093 35.941


2 9

5 13.895 16.66 18.317 19.808 20.147 21.480 22.94 24.210 30.973


0 0

6 11.665 13.98 15.378 16.629 16.914 18.033 19.25 20.325 26.003


7 9

5.3.6.1.7 Curah Hujan Efektif


Hasil perhitungan curah hujan efektif merupakan curah hujan yang
berubah menjadi aliran permukaan, yaitu curah hujan rancangan dikurangi dengan
159

kehilangan air (losses) disajikan pada Tabel 10. Curah hujan efektif ini lah yang
akan digunakan sebagai input data time series pada pemodelan di HEC-HMS.
Tabel 10 Curah hujan efektif
Periode Ulang (Tahun) (m3/s)
Jam ke-
2 5 10 20 25 50 100 200 1000

1 28.440 34.10 37.492 40.543 41.237 43.966 46.95 49.553 63.396


0 3

2 17.916 21.48 23.618 25.541 25.978 27.697 29.57 31.216 39.937


1 9

3 13.673 16.39 18.024 19.491 19.825 21.137 22.57 23.822 30.478


3 3

4 11.286 13.53 14.879 16.090 16.365 17.448 18.63 19.665 25.159


2 3

5 9.726 11.66 12.822 13.866 14.103 15.036 16.05 16.947 21.681


2 8

6 8.166 9.791 10.765 11.641 11.840 12.623 13.48 14.227 18.202


1

5.3.6.2 Pemodelan Hidrologi menggunakan HEC-HMS


Tahapan input data pada HEC-HMS dilakukan dengan beberapa
komponen yaitu basin model, meteorology model, control specification, dan time
series data.
1. Basin Model
Input data pada basin model adalah dengan menggunakan peta delineasi batas
DAS dan jaringan sungai (Tabel 11) sebagai background pada software HEC-
HMS. Dengan adanya peta sub DAS Kupang sebagai background maka akan
memudahkan dalam menentukan letak elemen basin model seperti subbasin,
junction, dan reach. Subbasin merupakan simbol dan fungsi dari sub DAS. Pada
subbasin inilah akan diinput luas dari masing-masing sub DAS yang telah
diperoleh dari software Arcgis dalam tabel subbasin area. Junction merupakan
simbol dan fungsi dari titik kontrol, dan reach adalah simbol dan fungsi dari
sungai yang berperan sebagai penghubung antar junction. Gambar untuk basin
model DAS Bekasi Hilir dan Bekasi Hulu diperlihatkan pada Gambar 3 dan 4.
Tabel 11 Luas subDAS dan panjang sungai utama

Panjang Sungai
Sub Catchment Luas (Km2)
(Km2)
Sub-DAS Bekasi 38.63 21.67
Sub-DAS Blencong 14.42 8.82
160

Sub-DAS Bojong 5.80


26.93
Rangkong
Sub-DAS Buaran 7.83 3.53
Sub-DAS Cakung 44.19 28.52
Sub-DAS Galaxy 9.69 6.17
Sub-DAS Jatikramat 14.68 10.56
Sub-DAS Jatiluhur Baru 16.81 18.69
Sub-DAS Rawalumbu 10.15 7.00
Sub-DAS Sasak Jarang 15.36 10.07
Sub-DAS Siluman 73.72 14.61
Sub-DAS Sunter 69.60 27.21
Sub-DAS Cikeas 104.70 58.85
Sub-DAS Cileungsi 101.44 49.18

.
Gambar 4 Basin Model Bekasi Hilir
161

Gambar 5 Basin Model Bekasi Hulu


Pada basin model ini terdapat beberapa parameter model yang di inputkan
sesuai metode yang di pakai pada masing-masing parameternya.

Gambar 6 Parameter Model


162

Parameter Loss Model


Parameter loss model dengan metode SCS Curve Number yang terdiri dari Initial
abstraction (MM), curve number (CN), dan impervious (%). Nilai CN diperoleh
dengan cara melakukan identifikasi terhadap penggunaan lahan di masing-masing
area sub DAS. Input parameter loss model masing-masing subDAS dapat dilihat
pada tabel 12.
Tabel 12 Parameter loss model

CN S=Potential Initial Improvious


Sub Catchment maximum Abstraction Composite
Composite retention (mm) (%)

Sub-DAS Bekasi 59.3 174.3 34.9 30.23

Sub-DAS Blencong 64.8 138.1 27.6 33.25

Sub-DAS Bojong
67.1 124.5 24.9 32.26
Rangkong

Sub-DAS Buaran 67.7 120.9 24.2 30.32

Sub-DAS Cakung 55.5 203.7 40.7 27.56

Sub-DAS Galaxy 66.7 126.5 25.3 34.29

Sub-DAS Jatikramat 64.1 142.0 28.4 29.56

Sub-DAS Jatiluhur Baru 64.1 142.4 28.5 35.13

Sub-DAS Rawalumbu 65.4 134.5 26.9 33.94

Sub-DAS Sasak Jarang 67.5 122.2 24.4 31.65

Sub-DAS Siluman 54.3 213.5 42.7 25.46

Sub-DAS Sunter 58.1 183.5 36.7 27.57

Sub-DAS Cikeas 80.5 61.4 12.3 17.62

Sub-DAS Cileungsi 79.4 65.9 13.2 54.00

Parameter Transform Model


Parameter transform model dengan metode Snyder Unit Hidrograph
menggunakan nilai lag time dan Peaking coefient. Nilai lag time yang diperoleh
dari perhitungan dengan data panjang sungai utama, panjang sungai dari titik berat
basin ke outlet, konstanta (C1), koefisien karakteristik daerah pengaliran (Ct)
(Technical Reference Manual HEC HMS, page 54-55). Nilai peaking coefficient
berkisar antara 0.4 – 0.8, untuk lokasi studi yang kondisi bentuk lahan yang relatif
datar digunakan nilai 0.5. Input parameter transform model masing-masing sub
DAS dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13 Parameter Transform Model
163

C1 Time Lag Peaking


Sub Catchment Ct
(SI unit) (jam) Coeficient

Sub-DAS Bekasi 0.75 2.2 7.51 0.5


Sub-DAS Blencong 0.75 2.2 4.38 0.5
Sub-DAS Bojong Rangkong 0.75 2.2 3.41 0.5
Sub-DAS Buaran 0.75 2.2 2.53 0.5
Sub-DAS Cakung 0.75 2.2 8.86 0.5
Sub-DAS Galaxy 0.75 2.2 3.54 0.5
Sub-DAS Jatikramat 0.75 2.2 4.88 0.5
Sub-DAS Jatiluhur Baru 0.75 2.2 6.87 0.5
Sub-DAS Rawalumbu 0.75 2.2 3.81 0.5
Sub-DAS Sasak Jarang 0.75 2.2 4.75 0.5
Sub-DAS Siluman 0.75 2.2 5.93 0.5
Sub-DAS Sunter 0.75 2.2 8.61 0.5
Sub-DAS Cikeas 0.75 2.2 13.68 0.5
Sub-DAS Cileungsi 0.75 2.2 12.29 0.5

2. Time Series data


Metode yang digunakan yaitu Specified Hyetograph dengan menggunakan
data curah hujan rencana hasil perhitungan sebelumnya yakni data curah hujan
efektif yang sudah terdistribusi jam-jaman yang disajikan pada Tabel 10.
3. Control Specification
Input data pada control specification adalah waktu berlangsungnya simulasi
dalam software HEC-HMS. Waktu ini ditentukan berdasarkan tanggal
terjadinya banjir tertinggi di DAS lokasi studi dengan jangka waktu 24 jam
dan interval 1 jam. Input data pada control specification diperlihatkan pada
Tabel 14.
Tabel 14 Input data pada Control specification

Start date 01 Jan 2000


Start time 00:00
End date 02 Jan 2000
End time 00:00
Time interval 1 Hour
164

Hidroraf Aliran
Hidrograf aliran diperoleh dengan melakukan simulasi run pada
HECHMS. Data yang digunakan untuk memperoleh hidrograf aliran adalah data
curah hujan jam-jaman untuk periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun,
25 tahun, 50 tahun, 100 tahun, 200 tahun dan 1000 tahun. Hasil simulasi masing-
masing subDAS disekitar kota Bekasi diperlihatkan pada Lampiran 11 sampai
Lampiran 25. Berikut hidrograf aliran masing-masing subDAS untuk setiap
periode ulang yang diperlihatkan pada Gambar 7 sampai Gambar 21.

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Sunter
140.0
120.0
100.0
Debit Banjir (m3/detik)

80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 7 HSS SubDAS Sunter


165

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Buaran
40.0
35.0
30.0
Debit Banjir (m3/detik)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 8 HSS SubDAS Buaran

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Jatikramat
50.0
45.0
40.0
35.0
Debit Banjir (m3/detik)

30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 9 HSS SubDAS Jatikramat


166

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Bojong Rangkong
120.0

100.0

80.0
Debit Banjir (m3/detik)

60.0

40.0

20.0

0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 10 HSS SubDAS Bojong Rangkong

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Cakung
80.0
70.0
60.0
Debit Banjir (m3/detik)

50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 11 HSS SubDAS Cakung


167

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Jatiluhur Baru
45.0
40.0
35.0
30.0
Debit Banjir (m3/detik)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 12 HSS SubDAS Jatiluhur Baru

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Blencong
50.0
45.0
40.0
35.0
Debit Banjir (m3/detik)

30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 13 HSS SubDAS Blencong


168

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Siluman
160.0
140.0
120.0
Debit Banjir (m3/detik)

100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 14 HSS SubDAS Siluman

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Sasak Jarang
60.0

50.0

40.0
Debit Banjir (m3/detik)

30.0

20.0

10.0

0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 15 HSS SubDAS Sasak Jarang


169

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Galaxy
40.0
35.0
30.0
Debit Banjir (m3/detik)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 16 HSS SubDAS Galaxy

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Rawalumbu
40.0
35.0
30.0
Debit Banjir (m3/detik)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 17 HSS SubDAS Rawalumbu


170

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Bekasi
80.0
70.0
60.0
Debit Banjir (m3/detik)

50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 18 HSS SubDAS Bekasi (tanpa debit dulu)

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Cikeas
45
40
35
30
Debit Banjir (m3/detik)

25
20
15
10
5
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 19 HSS SubDAS Cikeas


171

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Cileungsi
70
60
50
Debit Banjir (m3/detik)

40
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 20 HSS SubDAS Cileungsi

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Bekasi
160
140
120
Debit Banjir (m3/detik)

100
80
60
40
20
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 21 HSS SubDAS Bekasi (ditambah debit hulu)


172

5.3.6.3 Pemodelan Hidrolika menggunakan HEC-RAS 2D


Pemodelan HEC-RAS untuk kondisi eksisting terdiri dari tahap input data
untuk pemodelan dan tahap output pemodelan HEC-RAS.Input data pemodelan
HEC-RAS 2D. Data geometri yang di input ke dalam HEC-RAS yaitu data digital
elevation model, Penutupan lahan (manning value), 2D flow area (perimeter dan
break lines), kondisi batas (boundary condition) dan rencana simulasi.
1. Data Geometri
a. Terrain
Data terrain bersumber dari data DEMNAS (Digital elevation Model
Nasional) dengan resolusi spasial 0.27-arcsecond atau 8.1 meter, yang
menjadi acuan dasar dari data geometri untuk simulasi.

Gambar 5. 3 Data Terrain (DEMNAS DAS Bekasi)

b. Penutupan lahan 2022 dan 2030 nilai manning


Penutupan lahan digunakan untuk menganalisis kapasitas saluran
sungai dengan persamaan Manning, persamaan Manning digunakan
untuk menyatakan tingkat kekerasan permukaan (Indarto, 2010). Nilai
manning yang digunakan berdasarkan HEC-RAS User's Manual -
173

Hydrologic Engineering Center. Sama seperti terrain, manning value


juga menjadi acuan dasar dari data geometri untuk simulasi. Nilai
manning dapat dilihat pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5

Gambar 5. 4 Manning value penutupan lahan 2022

Gambar 5. 5 Manning value penutupan lahan 2030

c. 2D Flow area (Perimeter)


Perimeter merupakan area yang diduga akan terjadi limpasan
permukaan dan menyebabkan genangan banjir. Perimeter berupa mesh
dengan ukuran tertentu, semakin kecil ukuran nya maka semakin
banyak mesh yang terbentuk dan tingkat keteletian hasil yang di
peroleh semakin tinggi, tetapi semakin banyak mesh makan waktu
yang dibutuhkan semakin lama dan pekerjaan hardware semakin berat.
Pada penelitian ini mesh yang digunakan untuk perimeter berukuran
20 x 20.
174

Gambar 5. 6 ukuran mesh yang digunakan

Gambar 5. 7 Perimeter area


d. 2D Flow area (break lines)
Break lines merupakan penggambaran skema alur sungai yang
disesuaikan dengan kondisi lapang. Ukuran mesh yang digunakan pada
break lines hendaknya lebih kecil dibandingkan perimeter untuk
membedakan dengan area sekitarnya, untuk break line sungai minimal
terwakili oleh tiga (3) mesh. Jika ukuran perimeter 20x20 per mesh,
maka untuk sungai minimal ukuran 6x6. Pada penelitan ini ukuran
mesh yang digunakan adalah 5x5 untuk near spacing, 8x8 untuk near
repeats dan 20x20 untuk far spacing.
175

Gambar 5. 8 Break lines aliran sungai


e. Boundary condition
Pada pemodelan banjir, bagian hulu dan hilir harus dipastikan
memiliki Boundary condition lines (BC Lines) dimana pada bagian
hulu boundary condition dapat diartikan sebagai kondisi awal mulai
mengalirnya air dan pada bagian hilir diartikan sebagai area
bermuaranya aliran. Pada model ini penempatan BC Lines bagian hulu
berada di dalam (internal) perimeter, pada beberapa sub DAS yang
memiliki banyak hulu anak sungai diletakkan juga BS Lines yang
disesuaikan dengan kejadian genangan banjir tahun sebelumnya.
Sedangkan pada bagian hilir diletakkan tepat di luar (external)
perimeter.
176

Gambar 5. 9 Boundary condition lines


2. Unsteady flow data
Tahap ini dilakukan dengan membuka unsteady flow data, pada bagian ini
akan muncul kolom BC Lines yang telah dibuat sebelumnya, pada BC
Lines (Gambar 5.10) hulu diisi dengan data debit hujan atau flow
hydrograph hasil dari simulasi di HEC-HMS sebelumnya, sedangkan pada
BC Lines hilir (Gambar 5.11) diisi dengan normal depth.
177

Gambar 5. 10 Input data boundary condition lines hulu dengan flow hydrograph

Gambar 5. 11 Input data boundary condition lines hilir dengan normal depth
3. Unsteady flow analysis
Langkah terakhir dalam pemodelan genangan banjir yaitu membuat
unsteady flow analysis (Gambar 5.12), pada tahap ini menentukan tanggal
kejadian hujan dan berapa lama waktu komputasi yang akan dilakukan.
178

Komputasi akan berjalan baik jika tidak terdapat kesalahan terutama


berkaitan dengan geometri sungai. Lama waktu yang dibutuhkan
tergantung dari Computation interval yang digunakan, semakin kecil maka
waktu yang dibutuhkan akan semakin lama dan tingkat ketelitian semakin
baik, begitu pula sebaliknya.

Gambar 5. 12 Unsteady flow analysis

Output pemodelan HEC-RAS 2D


Hasil pemodelan genangan banjir menggunakan debit kejadian diperoleh
genangan banjir (Gambar 4.15) yang menggenangi badan sungai dengan
ketinggian maksimum 3 meter. Berdasarkan hasil pemodelan banjir yang
ditemukan terdapat di area hulu dan hilir sungai. Setelah dilakukan klasifikasi
kedalaman genangan ditemukan pada bagian hilir genangan dengan kedalaman
rata – rata sebesar 1 m.
1. Sebaran genangan banjir dengan manning 2022
a. Debit periode ulang 5 tahun
179

Gambar 5. 13 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 5 tahun


Tabel 5. 12 Area terdampak genangan Banjir Q05 Penutupan Lahan 2022
Q5 2022 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.5 6.0 3.7 7.2 516.8 22.6 4.6 41.2 14.5 71.0 120.3 809.2

1-2m 0.8 5.7 1.9 3.5 213.3 12.0 2.1 22.9 9.4 36.5 47.8 355.8

2-3m 0.9 6.5 1.8 1.8 110.9 8.5 1.6 15.8 8.4 29.6 30.1 216.0

3-4m 1.1 5.0 1.4 1.3 51.9 5.9 1.4 11.8 7.5 21.2 20.2 128.7

>4m 1.7 39.5 1.7 2.9 45.5 11.1 2.7 14.9 8.4 38.5 39.9 206.7

Total 5.9 62.6 10.4 16.7 938.4 60.1 12.4 106.5 48.3 196.7 258.3 1716.4
180

Gambar 5. 14 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 13 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2030
Q5 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.5 4.1 1.6 7.1 543.7 29.4 3.3 31.4 5.4 62.3 120.3 809.2

1-2m 0.4 2.6 0.7 3.5 225.1 16.7 1.5 18.0 4.3 35.3 47.8 355.8

2-3m 0.5 2.8 0.5 2.3 120.1 12.2 0.9 12.6 3.9 30.0 30.1 216.0

3-4m 0.6 2.6 0.4 2.1 58.1 8.8 0.9 9.1 3.4 22.4 20.2 128.7

>4m 0.7 30.3 1.2 4.1 52.3 15.2 2.2 10.9 3.3 46.7 39.9 206.7

Total 2.7 42.4 4.5 19.1 999.2 82.3 8.7 82.1 20.4 196.7 258.3 1716.4
181

Gambar 5. 15 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2030

b. Debit periode ulang 10 tahun

Gambar 5. 16 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 10 tahun


Tabel 5. 14 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2022
Q10 2022 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.5 4.1 4.8 8.2 565.9 26.3 4.9 43.1 21.0 77.0 146.2 903.1

1-2m 0.8 5.0 2.2 4.4 242.6 13.9 2.2 25.0 12.7 40.0 61.8 410.5

2-3m 0.9 7.2 1.9 2.6 131.3 9.4 1.6 17.6 9.8 32.6 37.9 252.8
182

3-4m 1.1 6.3 1.5 1.6 63.3 6.4 1.5 12.4 7.9 24.6 23.7 150.2

>4m 1.8 44.5 2.0 3.5 55.4 12.3 2.9 18.0 9.5 45.9 49.6 245.4

Total 6.1 67.0 12.4 20.4 1058.5 68.2 13.1 116.2 60.9 220.1 319.1 1962.0

Gambar 5. 17 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2022
Tabel 5. 15 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2030
Q10 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.5 2.6 2.3 7.6 596.0 34.1 4.0 33.4 9.6 66.8 146.2 903.1

1-2m 0.4 2.8 0.8 4.2 256.6 19.3 1.7 19.3 6.6 37.1 61.8 410.5

2-3m 0.5 3.4 0.5 2.8 142.2 13.5 1.0 13.8 4.8 32.5 37.9 252.8

3-4m 0.6 3.0 0.4 2.2 70.3 9.7 0.8 9.6 3.7 26.2 23.7 150.2

>4m 0.7 33.0 1.3 5.0 63.7 17.0 2.3 13.0 3.6 56.3 49.6 245.4

Total 2.8 44.7 5.4 21.8 1128.8 93.5 9.8 88.9 28.3 218.9 319.1 1962.0
183

Gambar 5. 18 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2030

c. Debit periode ulang 50 tahun

Gambar 5. 19 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 50 tahun

Tabel 5. 16 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
Q50 2022 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.7 1.6 6.0 11.2 692.2 31.6 5.9 49.5 19.3 90.1 254.5 1163.6

1-2m 1.1 1.9 3.0 6.1 308.3 16.7 2.9 28.4 14.9 49.3 103.8 536.4

2-3m 1.3 3.0 2.6 3.7 168.5 11.3 1.6 21.3 12.1 39.1 60.7 325.2

3-4m 1.2 3.8 2.0 2.4 82.7 7.5 1.6 14.7 9.7 29.0 39.1 193.6

>4m 1.9 61.1 2.8 4.9 84.4 14.2 3.2 22.8 11.5 68.0 80.6 355.5

Total 7.1 71.5 16.4 28.3 1336.1 81.4 15.2 136.8 67.4 275.5 538.6 2574.3
184

Gambar 5. 20 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 17 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
Q50 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.8 1.2 2.8 10.0 728.1 40.8 4.3 37.7 7.3 76.2 254.5 1163.6

1-2m 0.4 1.4 1.5 5.6 325.4 22.6 2.5 21.4 7.5 44.3 103.8 536.4

2-3m 0.5 2.3 1.0 3.8 180.3 16.1 1.3 16.4 6.6 36.2 60.7 325.2

3-4m 0.6 2.7 0.7 3.0 90.7 11.3 1.0 11.6 4.7 28.4 39.1 193.6

>4m 0.8 40.6 1.8 6.3 96.7 19.9 2.5 16.9 4.3 84.9 80.6 355.5

Total 3.1 48.2 7.7 28.7 1421.2 110.7 11.7 104.0 30.4 269.9 538.6 2574.3
185

Gambar 5. 21 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2030

2. Sebaran genangan banjir dengan manning 2030


a. Debit periode ulang 5 tahun

Gambar 5. 22 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 5 tahun

Tabel 5. 18 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2022
Q5 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.5 5.9 3.5 7.1 515.4 22.7 4.6 40.8 14.8 70.5 119.9 806.7

1-2m 0.8 6.1 2.0 3.5 213.7 12.2 2.1 22.8 9.6 36.5 47.0 356.2
186

2-3m 0.9 6.0 1.7 1.9 110.6 8.4 1.6 15.5 8.4 29.4 29.8 214.2

3-4m 1.0 4.7 1.4 1.3 51.8 5.7 1.3 11.5 7.5 21.0 19.8 127.1

>4m 1.7 39.4 1.6 2.9 45.9 11.4 2.8 15.1 8.4 38.4 40.2 207.9

Total 6.0 62.2 10.2 16.7 937.3 60.5 12.4 105.7 48.7 195.7 256.6 1712.1

Gambar 5. 23 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 19 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan Lahan 2030
Q5 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.5 4.0 1.6 7.2 542.0 29.6 3.4 31.3 5.4 61.8 119.9 806.7

1-2m 0.4 2.8 0.7 3.5 225.4 16.9 1.6 18.1 4.3 35.5 47.0 356.2

2-3m 0.5 2.6 0.5 2.4 119.2 12.1 0.9 12.4 3.9 29.9 29.8 214.2

3-4m 0.6 2.5 0.4 2.1 57.7 8.7 0.9 9.0 3.5 22.0 19.8 127.1

>4m 0.7 30.3 1.2 4.1 52.6 15.5 2.2 11.1 3.3 46.6 40.2 207.9

Total 2.7 42.3 4.4 19.2 996.9 82.8 9.0 82.0 20.4 195.8 256.6 1712.1
187

Gambar 5. 24 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2030

b. Debit periode ulang 10 tahun

Tabel 5. 20 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2022
Q10 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.5 5.1 4.2 8.4 568.9 26.1 4.9 43.0 17.2 77.2 145.6 902.2

1-2m 0.9 4.9 2.1 4.5 242.6 13.7 2.4 24.7 11.1 40.1 61.6 408.6

2-3m 0.9 6.7 1.9 2.4 130.7 9.4 1.6 17.8 9.1 32.6 37.8 251.0
188

3-4m 1.1 5.8 1.5 1.6 63.0 6.3 1.4 12.5 7.8 24.7 23.8 149.4

>4m 1.8 44.1 1.9 3.5 55.7 12.8 3.0 18.0 9.4 45.9 49.5 245.8

Total 6.2 66.6 11.6 20.4 1061.0 68.4 13.3 115.9 54.8 220.5 318.2 1956.9

Gambar 5. 26 Gambar 45 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2030


pada Penutupan Lahan 2022
Tabel 5. 21 Tabel 24 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan
Lahan 2030
Q10 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.5 3.6 1.6 7.8 598.9 34.0 3.5 32.9 7.1 66.8 145.6 902.2

1-2m 0.4 2.6 0.8 4.2 256.2 19.1 1.8 19.1 5.3 37.4 61.6 408.6

2-3m 0.5 2.9 0.6 2.6 141.3 13.5 1.1 13.8 4.4 32.5 37.8 251.0

3-4m 0.6 2.6 0.4 2.3 69.9 9.6 0.9 9.6 3.6 26.2 23.8 149.4

>4m 0.7 32.7 1.3 5.0 63.8 17.6 2.4 13.0 3.6 56.4 49.5 245.8

Total 2.8 44.3 4.7 21.9 1130.1 93.7 9.6 88.4 23.9 219.4 318.2 1956.9
189

Gambar 5. 27 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2030

c. Debit periode ulang 50 tahun

Gambar 5. 28 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 50 tahun

Tabel 5. 22 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
Q50 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.7 2.0 6.1 10.6 681.7 31.5 6.0 50.1 19.6 90.0 237.7 1137.0

1-2m 1.3 2.2 3.0 5.9 303.5 16.5 3.0 28.0 15.2 48.5 96.5 523.5
190

2-3m 1.2 3.3 2.7 3.4 167.6 11.4 1.6 21.3 12.0 38.8 57.3 320.7

3-4m 1.2 3.5 1.9 2.2 82.3 7.4 1.6 15.1 9.8 29.1 37.1 191.1

>4m 1.9 60.2 2.3 4.9 83.8 14.9 3.4 23.0 11.6 68.0 78.2 352.1

Total 7.2 71.2 16.0 27.0 1318.8 81.7 15.7 137.4 68.2 274.3 506.8 2524.3

Gambar 5. 29 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 23 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
Q50 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.8 1.3 2.9 9.6 717.8 40.8 4.5 38.2 7.3 75.9 237.7 1137.0

1-2m 0.4 1.5 1.4 5.4 320.3 22.4 2.7 21.4 7.6 43.9 96.5 523.5

2-3m 0.5 2.2 1.0 3.5 179.8 16.2 1.4 16.5 6.5 35.9 57.3 320.7

3-4m 0.6 2.6 0.6 2.7 90.5 11.3 1.1 11.8 4.6 28.2 37.1 191.1

>4m 0.8 40.4 1.4 6.3 95.7 20.6 2.7 17.0 4.3 84.8 78.2 352.1

Total 3.1 48.0 7.3 27.5 1404.0 111.3 12.3 104.9 30.3 268.8 506.8 2524.3
191

Gambar 5. 30 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2030
192

5.4 Analisis dan pembahasan

5.4.1 Perubahan Penutupan Lahan di Kota Bekasi


Analisis perubahan penutupan lahan dilakukan dengan melakukan
interpretasi citra secara visual, melalui pendekatan unsur-unsur kunci interpretasi.
Citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat tahun 2014, 2018 dan citra
Sentinel tahun 2022, klasifikasi jenis penutupan lahan terdiri dari 10 kelas, yaitu
danau/telaga alami, sungai, lahan terbuka diusahakan, permukaan diperkeras
bukan gedung, bangunan permukiman/campuran, bangunan bukan-permukiman,
semak dan belukar, tanaman semusim lahan kering, tanaman semusim lahan basah
(sawah), dan tanaman berasosiasi dengan bangunan. Validasi hasil analisis citra
tahun 2014 dengan 100 titik sampel lapangan menunjukan nilai kappa hat
classification 0.89 dan overall accuracy 92.76%, validasi hasil analisis citra tahun
2018 dengan 100 titik sampel lapangan menunjukan nilai kappa hat classification
0.97 dan overall accuracy 98.44%, sedangkan validasi hasil analisis citra tahun
2018 dengan 100 titik sampel lapangan menunjukan nilai kappa hat classification
0.98 dan overall accuracy 99.06%. Nilai tersebut sudah memenuhi standar validasi
hasil interpretasi sehingga hasil interpretasi dapat digunakan untuk penelitian
lebih lanjut. Matriks konfusi validasi hasil interpretasi disajikan pada Lampiran 1,
2 dan 3.
193

Perubahan Luas Penutupan Lahan Kota Bekasi


2,750
1,750
750
-250
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
-1,250
201 - - - - 2227.1 445.12 - 39.690 - -
4- 22.837 33.638 602.26 28.912 101195 501889 627.15 670440 527.56 869.54
Luas (Ha)

201 885769 068202 767329 988387 4734 2565 309364 6044 641146 968812
8 3956 2133 0062 8555 5679 3073 223
201 1.4840 - - 12.167 185.40 36.993 19.954 79.874 - -
8- 619912 0.2039 167.31 283181 749100 762629 996109 394883 166.59 1.7637
202 6265 488206 706053 5523 5048 3552 5779 6466 727450 059411
2 26735 0111 8603 0222

201 - - - - 2412.5 482.11 - 119.56 - -


4- 21.353 33.842 769.58 16.745 176105 878152 607.19 506532 694.16 871.31
202 823778 017022 473382 705206 5239 1921 809753 4251 368597 339406
2 133 84 2014-2018
0173 30322018-2022 2014-2022
6101 1676 3332
Keterangan : (Dn) Danau/telaga alami, (Sg) Sungai, (Lt) Lahan terbuka diusahakan,

(Pk) Permukaan diperkeras bukan gedung, (Pc) Bangunan permukiman/campuran, (Bp) Bangunan
bukan-permukiman, (Sb) Semak dan belukar, (Tk) Tanaman semusim lahan kering, (Tb) Tanaman
semusim lahan basah (sawah), (Ta) Tanaman berasosiasi dengan bangunan

Gambar 5. 31 Gambar 2 Grafik perubahan penutupan lahan


Tabel 5. 24 Tabel 10 Luas penutupan lahan
2014 2018 2022
No Kode Kelas Penutupan Lahan
% Ha % Ha % Ha

1 Dn Danau/telaga alami 0,37% 78,37 0,26% 55,53 0,27% 57,02

2 Sg Sungai 0,56% 119,41 0,40% 85,77 0,40% 85,57

3 Lt Lahan terbuka diusahakan 4,79% 1.020,26 1,96% 417,99 1,18% 250,67

Permukaan diperkeras bukan


4 Pk 1,58% 337,75 1,45% 308,84 1,51% 321,01
gedung

14.208,7
5 Pc Bangunan permukiman/campuran 56,22% 11.981,63 66,67% 67,54% 14.394,15
4

6 Bp Bangunan bukan-permukiman 3,12% 664,14 5,20% 1.109,27 5,38% 1.146,26

7 Sb Semak dan belukar 3,64% 775,39 0,70% 148,23 0,79% 168,19

8 Tk Tanaman semusim lahan kering 6,23% 1.328,15 6,42% 1.367,84 6,79% 1.447,72

Tanaman semusim lahan basah


9 Tb 4,50% 958,22 2,02% 430,66 1,24% 264,06
(sawah)
194

Tanaman berasosiasi dengan


10 Ta 19,00% 4.048,99 14,92% 3.179,44 14,91% 3.177,68
bangunan

21.312,3
Total 100,00% 21.312,32 100,00% 100,0% 21.312,32
2
195

Tabel 5. 25 Perubahan luas penutupan lahan


2014-2018 2018-2022 2014-2022
No Kode Kelas Penutupan Lahan
% Ha % Ha % Ha

1 Dn Danau/telaga alami -0,11% -22,84 0,01% 1,48 -0,10% -21,35

2 Sg Sungai -0,16% -33,64 0,00% -0,20 -0,16% -33,84

3 Lt Lahan terbuka diusahakan -2,83% -602,27 -0,79% -167,32 -3,61% -769,58

Permukaan diperkeras
4 Pk -0,14% -28,91 0,06% 12,17 -0,08% -16,75
bukan gedung

Bangunan
5 Pc 10,45% 2.227,11 0,87% 185,41 11,32% 2.412,52
permukiman/campuran

Bangunan bukan-
6 Bp 2,09% 445,13 0,17% 36,99 2,26% 482,12
permukiman

7 Sb Semak dan belukar -2,94% -627,15 0,09% 19,95 -2,85% -607,20

Tanaman semusim lahan


8 Tk 0,19% 39,69 0,37% 79,87 0,56% 119,57
kering

Tanaman semusim lahan


9 Tb -2,48% -527,57 -0,78% -166,60 -3,26% -694,16
basah (sawah)

Tanaman berasosiasi
10 Ta -4,08% -869,55 -0,01% -1,76 -4,09% -871,31
dengan bangunan
196
197
198
199

Gambar 5. SEQ Gambar_5. \* ARABIC 32 Peta Penutupan Lahan Kota Bekasi tahun 2014
200

G
G
201

5.4.2 Model Prediksi Penutupan Lahan Pada Tahun


2030

5.4.2.1 Cellular Automata - Artificial Neural Network menggunakan QGIS Plugin


MOLUSCE
VI.2.1.1 CA-ANN (7f ite1-3)
a. Input model
Peta yang dijadikan sebagai masukan adalah peta penggunaan lahan tahun
2014 sebagai initial dan peta penggunaan lahan tahun 2018 sebagai final.
b. Evaluating Correlation
Semua driving factor dilakukan uji korelasi pearson¸hasil pengujian
ditampilkan pada Lampiran 4, kemudian dipilih 7 faktor pendorong yang
memiliki nilai korelasi dibawah 0,8.
Tabel 5. 26 Tabel 12 Faktor pendorong perubahan tutupan lahan

Spatial variable terpilih (7 faktor)


1 2 3 4 5 6 7
1 -- 0,326 0,805 0,058 0,046 0,368 0,048
2 -- 0,076 0,479 0,137 0,390 -0,016
3 -- -0,200 -0,131 0,021 -0,032
4 -- 0,517 0,690 0,006
5 -- 0,691 -0,022
6 -- 0,042
7 --
Keterangan:

1) Jarak dari fasilitas telekomunikasi

2) Jarak dari fasilitas pengolahan limbah

3) Elevasi

4) Jarak dari fasilitas listrik

5) Jarak dari sungai besar

6) Jarak dari jalan utama

7) Kemiringan lahan

c. Area Changes
Pada tahap ini, perubahan penutupan lahan hasil pengolahan dapat dilihat
pada Lampiran 5. Pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa penutupan lahan
Bangunan Permukiman Campuran mengalami penambahan terbesar
sebesar 2.227,16 ha dan Bangunan Bukan Permukiman mengalami
202

penambahan sebesar 445,12 ha. Penutupan lahan yang mengalami


penurunan paling signifikan yaitu penutupan lahan Tanaman berasosiasi
dengan bangunan sebesar 869,29 ha.
Matriks transisi menghasilkan penutupan lahan Bangunan Permukiman
Campuran memiliki peluang paling besar untuk tetap atau tidak
mengalami perubahan penutupan lahan, yaitu sebesar 0,897. Sedangkan
penutupan lahan Semak dan Belukar (0,033) berpeluang besar berubah
menjadi penutupan lahan yang lain seperti Bangunan Permukiman
Campuran (0,318), Tanaman Lahan Kering (0,3030), dan Tanaman
berasosiasi dengan bangunan (0,228).
d. Transition Potential Modelling
Hasil pemodelan menggunakan ANN dapat dilihat Lampiran 6 dan hasil
akurasi pemodelan dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 5. 27 Tabel 13 Hasil Akurasi Pemodelan

Neighbourhood 3px
Learning rate 0.100
Maximum iterations 100
Hidden Layers 10
Momentum 0.050
Overall Accuracy -0.51236
Min Validation Overall Error 0.71274
Current Validation Kappa 0.27861

e. Cellular Automata Simulations


Iterasi 1 2014 – 2018 proyeksi 2022
Iterasi 3 2014 – 2018 proyeksi 2030
f. Validations
Hasil validasi dengan metode kappa disajikan pada Gambar X. Nilai
Kappa dihitung berdasarkan persamaan 1 – 6. Nilai Kappa adalah
kesesuaian antara jumlah kolom dan baris maksimal adalah bernilai 1,00.
203

Gambar 6 Nilai Kappa

g. Hasil
Tabel 5. 28 Tabel 14 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030
CA ANN 2030 Penutupan Lahan 2022 Selisih
No Kode Kelas Penutupan Lahan
% Ha % Ha % Ha
-
1 Dn Danau/telaga alami 0,25% 53,30 0,27% 57,02 -3,72
0,02%
-
2 Sg Sungai 0,37% 79,28 0,40% 85,57 -6,28
0,03%
3 Lt Lahan terbuka diusahakan 1,74% 371,45 1,18% 250,67 0,57% 120,78
-
4 Pk Permukaan diperkeras bukan gedung 1,39% 296,54 1,51% 321,01 -24,47
0,11%
-
5 Pc Bangunan permukiman/campuran 67,42% 14.368,99 67,54% 14.394,15 -25,16
0,12%
-
6 Bp Bangunan bukan-permukiman 4,96% 1.057,79 5,38% 1.146,26 -88,47
0,42%
-
7 Sb Semak dan belukar 0,62% 131,50 0,79% 168,19 -36,68
0,17%
-
8 Tk Tanaman semusim lahan kering 6,72% 1.431,81 6,79% 1.447,72 -15,91
0,07%
9 Tb Tanaman semusim lahan basah (sawah) 1,90% 405,81 1,24% 264,06 0,67% 141,75
-
10 Ta Tanaman berasosiasi dengan bangunan 14,62% 3.115,84 14,91% 3.177,68 -61,84
0,29%
Total 100% 21.312,32 100,00% 21.312,32 0,00% 0,00
*CA ANN, 7 spatial variable, iterasi 3

Prediksi Luas Penutupan Lahan 2030 - CA ANN

15,000
13,000
11,000
9,000
7,000
5,000
3,000
Luas (Ha)

1,000
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Penu- 57.015 85.5675 250.6725 321.0075 14394.15 1146.262 168.1875 1447.717 264.06 3177.675
tupan 5 5
La-
han
2022
CA 53.29936 79.28477 371.4517 296.5354 14368.98 1057.790 131.5032 1431.809 405.8137 3115.839
ANN 4591587 5127579 6100668 1711306 6283558 8538464 9075406 6311452 5102221 8718342
2030 6 2 7 9 5 9 7

Penutupan Lahan 2022 CA ANN 2030


Gambar 5. 35 Grafik prediksi luas penutupan lahan 2022 - 2030
204

Perubahan Luas Penutupan Lahan 2022 - 2030

175

125

75
Luas (Ha)

25

Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
-25
Seli - - 120.77 - - - - - 141.75 -
sih 3.7156 6.2827 926100 24.472 25.163 88.471 36.684 15.907 375102 61.835
-75 354084 248724 6687 082886 716441 646153 209245 868854 2219 128165
1244 2077 9397 1095 6032 9351 7988 7274

Selisih
Gambar 5. 36 Gambar 8 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030

VI.2.1.2 CA-ANN (7f ite4-12)


a. Input model
Peta yang dijadikan sebagai masukan adalah peta penggunaan lahan tahun
2014 sebagai initial dan peta penggunaan lahan tahun 2018 sebagai final.
b. Evaluating Correlation
Semua driving factor dilakukan uji korelasi pearson¸hasil pengujian
ditampilkan pada Lampiran 4, kemudian dipilih 7 faktor pendorong yang
memiliki nilai korelasi dibawah 0,8.

Tabel 5. 29 Tabel 15 Faktor pendorong perubahan tutupan lahan

Spatial variable terpilih (7 faktor)


1 2 3 4 5 6 7
1 -- 0,326 0,805 0,058 0,046 0,368 0,048
2 -- 0,076 0,479 0,137 0,390 -0,016
3 -- -0,200 -0,131 0,021 -0,032
4 -- 0,517 0,690 0,006
5 -- 0,691 -0,022
205

6 -- 0,042
7 --
Keterangan:

1) Jarak dari fasilitas telekomunikasi

2) Jarak dari fasilitas pengolahan limbah

3) Elevasi

4) Jarak dari fasilitas listrik

5) Jarak dari sungai besar

6) Jarak dari jalan utama

7) Kemiringan lahan

c. Area Changes
Pada tahap ini, perubahan penutupan lahan hasil pengolahan dapat dilihat
pada Lampiran 7. Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa penutupan lahan
Bangunan Permukiman Campuran mengalami penambahan terbesar
sebesar 2.227,16 ha dan Bangunan Bukan Permukiman mengalami
penambahan sebesar 445,12 ha. Penutupan lahan yang mengalami
penurunan paling signifikan yaitu penutupan lahan Tanaman berasosiasi
dengan bangunan sebesar 869,29 ha.
Matriks transisi menghasilkan penutupan lahan Bangunan Permukiman
Campuran memiliki peluang paling besar untuk tetap atau tidak
mengalami perubahan penutupan lahan, yaitu sebesar 0,897. Sedangkan
penutupan lahan Semak dan Belukar (0,033) berpeluang besar berubah
menjadi penutupan lahan yang lain seperti Bangunan Permukiman
Campuran (0,318), Tanaman Lahan Kering (0,3030), dan Tanaman
berasosiasi dengan bangunan (0,228).

d. Transition Potential Modelling


Hasil pemodelan menggunakan ANN dapat dilihat Lampiran 8 dan hasil
akurasi pemodelan dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 5. 30 Hasil akurasi pemodelan

Neighbourhood 3px
Learning rate 0.100
Maximum iterations 100
Hidden Layers 10
Momentum 0.050
Overall Accuracy -0.05095
206

Min Validation Overall Error 0.69591


Current Validation Kappa 0.40476

e. Cellular Automata Simulations


Iterasi 4 2014 – 2018 prediksi 2022
Iterasi 12 2014 – 2018 prediksi 2030

f. Validations
Hasil validasi dengan metode kappa disajikan pada Gambar X. Nilai
Kappa dihitung berdasarkan persamaan 1 – 6. Nilai Kappa adalah
kesesuaian antara jumlah kolom dan baris maksimal adalah bernilai 1,00.

Gambar 5. 37 Nilai Kappa


g. Hasil
Tabel 5. 31 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030

N CA ANN 2030 Penutupan Lahan 2022 Selisih


Kode Kelas Penutupan Lahan
o % Ha % Ha % Ha
1 Dn Danau/telaga alami 0,37% 78,36 0,27% 57,02 0,10% 21,34
-
2 Sg Sungai 0,38% 81,49 0,40% 85,57 -4,08
0,02%
3 Lt Lahan terbuka diusahakan 2,29% 487,36 1,18% 250,67 1,11% 236,69
-
4 Pk Permukaan diperkeras bukan gedung 1,42% 302,65 1,51% 321,01 -18,35
0,09%
-
5 Pc Bangunan permukiman/campuran 65,15% 13.884,06 67,54% 14.394,15 -510,09
2,39%
-
6 Bp Bangunan bukan-permukiman 5,12% 1.091,07 5,38% 1.146,26 -55,19
0,26%
-
7 Sb Semak dan belukar 0,62% 131,82 0,79% 168,19 -36,37
0,17%
-
8 Tk Tanaman semusim lahan kering 6,02% 1.282,87 6,79% 1.447,72 -164,84
0,77%
9 Tb Tanaman semusim lahan basah (sawah) 2,11% 449,53 1,24% 264,06 0,87% 185,47
10 Ta Tanaman berasosiasi dengan bangunan 16,53% 3.523,09 14,91% 3.177,68 1,62% 345,42
100,00
Total 21.312,32 100,00% 21.312,32 0,00% 0,00
%
*CA ANN, 7 spatial variable, iterasi 12
207

Prediksi Luas Penutupan Lahan 2030 - CA ANN

15,000
13,000
11,000
9,000
7,000
5,000
3,000
Luas (Ha)

1,000
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Penu- 57.015 85.5675 250.6725 321.0075 14394.15 1146.262 168.1875 1447.717 264.06 3177.675
tupan 5 5
La-
han
2022
CA 78.35997 81.48987 487.3630 302.6541 13884.05 1091.072 131.8158 1282.874 449.5340 3523.091
ANN 6925246 2555307 2889943 5225639 9394303 6097450 9221850 4153339 7452173 5832407
2030 7 8 6 7 4 3 1 8

Penutupan Lahan 2022 CA ANN 2030


Gambar 5. 38 Grafik prediksi luas penutupan lahan 2022 - 2030

Perubahan Luas Penutupan Lahan 2022 - 2030


350
250
150
50
-50 Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Luas (Ha)

Seli 21.344
-150 - 236.69 - - - - - 185.47 345.41
sih 976925 4.0776 052889 18.353 510.09 55.189 36.371 164.84 407452 658324
-250 2467 274446 9437 347743 060569 890254 607781 308466 1731 078
9301 6098 6438 9333 4956 6067
-350
-450
-550

Selisih
Gambar 5. 39 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030

VI.2.1.1 CA-ANN (10f ite1-3)


a. Input model
Peta yang dijadikan sebagai masukan adalah peta penggunaan lahan tahun
2014 sebagai initial dan peta penggunaan lahan tahun 2018 sebagai final.
208

b. Evaluating Correlation
Semua driving factor dilakukan uji korelasi pearson¸hasil pengujian
ditampilkan pada Lampiran 4, kemudian dipilih 10 faktor pendorong yang
memiliki nilai korelasi dibawah 0,8.

Tabel 5. 32 Tabel 18 Faktor pendorong perubahan penutupan lahan

Spatial variable terpilih (10 faktor)


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0,80 -
1 -- 0,326 0,576 0,046 0,368 0,330 0,048 -0,668
5 0,592
0,07 -
2 -- 0,479 0,137 0,390 0,430 -0,016 -0,075
6 0,065
- -
3 -- -0,200 -0,131 0,021 -0,003 -0,757
0,654 0,033
4 -- 0,155 0,517 0,690 0,716 0,006 0,047
-
5 -- -0,010 -0,128 -0,077 0,782
0,003
6 -- 0,691 0,691 -0,022 -0,100
7 -- 0,982 0,042 -0,208
8 -- 0,042 -0,085
9 -- -0,025
1
--
0

Keterangan:

1) Jarak dari fasilitas telekomunikasi

2) Jarak dari fasilitas pengolahan limbah

3) Elevasi

4) Jarak dari fasilitas listrik

5) Jumlah Penduduk

6) Jarak dari sungai besar

7) Jarak dari jalan utama

8) Permukiman

9) Kemiringan lahan

10) Kepadatan penduduk

c. Area Changes
Pada tahap ini, perubahan penutupan lahan hasil pengolahan dapat dilihat
pada Lampiran 9. Pada Lampiran 9 dapat dilihat bahwa penutupan lahan
Bangunan Permukiman Campuran mengalami penambahan terbesar
sebesar 2.227,16 ha dan Bangunan Bukan Permukiman mengalami
penambahan sebesar 445,12 ha. Penutupan lahan yang mengalami
209

penurunan paling signifikan yaitu penutupan lahan Tanaman berasosiasi


dengan bangunan sebesar 869,29 ha.
Matriks transisi menghasilkan penutupan lahan Bangunan Permukiman
Campuran memiliki peluang paling besar untuk tetap atau tidak
mengalami perubahan penutupan lahan, yaitu sebesar 0,897. Sedangkan
penutupan lahan Semak dan Belukar (0,033) berpeluang besar berubah
menjadi penutupan lahan yang lain seperti Bangunan Permukiman
Campuran (0,318), Tanaman Lahan Kering (0,3030), dan Tanaman
berasosiasi dengan bangunan (0,228).

d. Transition Potential Modelling


Hasil pemodelan menggunakan ANN dapat dilihat Lampiran 10 dan hasil
akurasi pemodelan dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 5. 33 Tabel 19 Hasil akurasi pemodelan

Neighbourhood 3px
Learning rate 0.100
Maximum iterations 100
Hidden Layers 10
Momentum 0.050
Overall Accuracy -0.40559
Min Validation Overall Error 0.16413
Current Validation Kappa 0.08084

e. Cellular Automata Simulations


Iterasi 1 2014 – 2018 prediksi 2022
Iterasi 3 2014 – 2018 prediksi 2030

f. Validations
Hasil validasi dengan metode kappa disajikan pada Gambar X. Nilai
Kappa dihitung berdasarkan persamaan 1 – 6. Nilai Kappa adalah
kesesuaian antara jumlah kolom dan baris maksimal adalah bernilai 1,00.
210

Gambar 5. 40 Nilai Kappa

g. Hasil

Tabel 5. 34 Tabel 20 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030


CA ANN 2030 Penutupan Lahan 2022 Selisih
No Kode Kelas Penutupan Lahan
% Ha % Ha % Ha
-
1 Dn Danau/telaga alami 0,25% 53,30 0,27% 57,02 -3,72
0,02%
-
2 Sg Sungai 0,37% 79,28 0,40% 85,57 -6,28
0,03%
3 Lt Lahan terbuka diusahakan 1,74% 371,45 1,18% 250,67 0,57% 120,78
-
4 Pk Permukaan diperkeras bukan gedung 1,39% 296,54 1,51% 321,01 -24,47
0,11%
14.368,9 -
5 Pc Bangunan permukiman/campuran 67,42% 67,54% 14.394,15 -25,16
9 0,12%
-
6 Bp Bangunan bukan-permukiman 4,96% 1.057,79 5,38% 1.146,26 -88,47
0,42%
-
7 Sb Semak dan belukar 0,62% 131,50 0,79% 168,19 -36,68
0,17%
-
8 Tk Tanaman semusim lahan kering 6,72% 1.431,81 6,79% 1.447,72 -15,91
0,07%
Tanaman semusim lahan basah
9 Tb 1,90% 405,81 1,24% 264,06 0,67% 141,75
(sawah)
-
10 Ta Tanaman berasosiasi dengan bangunan 14,62% 3.115,84 14,91% 3.177,68 -61,84
0,29%
21.312,3
Total 100,00% 100,00% 21.312,32 0,00% 0,00
2
*CA ANN, 10 spatial variable, iterasi 3
211

Prediksi Luas Penutupan Lahan 2030 - CA ANN

15,000
13,000
11,000
9,000
7,000
5,000
3,000
Luas (Ha)

1,000
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Penu- 57.015 85.5675 250.6725 321.0075 14394.15 1146.262 168.1875 1447.717 264.06 3177.675
tupan 5 5
La-
han
2022
CA 53.29936 79.28477 371.4517 296.5354 14368.98 1057.790 131.5032 1431.809 405.8137 3115.839
ANN 4591587 5127579 6100668 1711306 6283558 8538464 9075406 6311452 5102221 8718342
2030 6 2 7 9 5 9 7

Penutupan Lahan 2022 CA ANN 2030


Gambar 5. 41 Gambar 13 Grafik prediksi luas penutupan lahan 2022 - 2030

Perubahan Luas Penutupan Lahan 2022 - 2030

175

125

75
Luas (Ha)

25

Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
-25
Seli - - 120.77 - - - - - 141.75 -
sih 3.7156 6.2827 926100 24.472 25.163 88.471 36.684 15.907 375102 61.835
-75 354084 248724 6687 082886 716441 646153 209245 868854 2219 128165
1244 2077 9397 1095 6032 9351 7988 7274

Selisih
Gambar 5. 42 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030

VI.2.1.1 CA-ANN (7af ite1-3)


a. Input model
Peta yang dijadikan sebagai masukan adalah peta penggunaan lahan tahun
2014 sebagai initial dan peta penggunaan lahan tahun 2018 sebagai final.
212

b. Evaluating Correlation
Semua driving factor dilakukan uji korelasi pearson¸hasil pengujian
ditampilkan pada Lampiran 4, kemudian dipilih 7 faktor pendorong yang
memiliki nilai korelasi dibawah 0,8.

Spatial variable terpilih (7a faktor)


1 2 3 4 5 6 7
0,05
1 -- -0,592 0,326 0,046 -0,668 0,048
8
0,15
2 -- -0,065 -0,004 0,782 -0,077
5
0,47
3 -- 0,137 -0,075 -0,016
9
4 -- 0,567 0,047 0,006
5 -- -0,100 -0,022
6 -- -0,025
7 --

Keterangan:

1) Jarak dari fasilitas telekomunikasi

2) Jumlah penduduk

3) Jarak dari fasilitas pengolahan limbah

4) Jarak dari fasilitas listrik

5) Jarak dari sungai besar

6) Kepadatan penduduk

7) Kemiringan lahan

c. Area Changes
Pada tahap ini, perubahan penutupan lahan hasil pengolahan dapat dilihat
pada Lampiran 11. Pada Lampiran 11 dapat dilihat bahwa penutupan lahan
Bangunan Permukiman Campuran mengalami penambahan terbesar
sebesar 2.227,16 ha dan Bangunan Bukan Permukiman mengalami
penambahan sebesar 445,12 ha. Penutupan lahan yang mengalami
penurunan paling signifikan yaitu penutupan lahan Tanaman berasosiasi
dengan bangunan sebesar 869,29 ha.
Matriks transisi menghasilkan penutupan lahan Bangunan Permukiman
Campuran memiliki peluang paling besar untuk tetap atau tidak
mengalami perubahan penutupan lahan, yaitu sebesar 0,897. Sedangkan
penutupan lahan Semak dan Belukar (0,033) berpeluang besar berubah
menjadi penutupan lahan yang lain seperti Bangunan Permukiman
213

Campuran (0,318), Tanaman Lahan Kering (0,3030), dan Tanaman


berasosiasi dengan bangunan (0,228).
d. Transition Potential Modelling
Hasil pemodelan menggunakan ANN dapat dilihat Lampiran 12 dan hasil
akurasi pemodelan dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 5. 35 Hasil akurasi pemodelan

Neighbourhood 3px
Learning rate 0.100
Maximum iterations 100
Hidden Layers 10
Momentum 0.050
Overall Accuracy -0.12238
Min Validation Overall Error 0.11651
Current Validation Kappa 0.14294

e. Cellular Automata Simulations


Iterasi 1 2014 – 2018 prediksi 2022
Iterasi 3 2014 – 2018 prediksi 2030

f. Validations
Hasil validasi dengan metode kappa disajikan pada Gambar X. Nilai
Kappa dihitung berdasarkan persamaan 1 – 6. Nilai Kappa adalah
kesesuaian antara jumlah kolom dan baris maksimal adalah bernilai 1,00.

Gambar 5. 43 Nilai Kappa


g. Hasil
Tabel 5. 36 Perubahan tutupan lahan tahun 2022-2030

N CA ANN 2030 Penutupan Lahan 2022 Selisih


Kode Kelas Penutupan Lahan
o % Ha % Ha % Ha
-
1 Dn Danau/telaga alami 0,23% 48,22 0,27% 57,02 -8,80
0,04%
2 Sg Sungai 0,40% 84,31 0,40% 85,57 - -1,26
214

0,01%
3 Lt Lahan terbuka diusahakan 2,00% 426,01 1,18% 250,67 0,82% 175,34
-
4 Pk Permukaan diperkeras bukan gedung 1,31% 280,08 1,51% 321,01 -40,93
0,19%
5 Pc Bangunan permukiman/campuran 68,38% 14.574,20 67,54% 14.394,15 0,84% 180,04
-
6 Bp Bangunan bukan-permukiman 4,43% 944,84 5,38% 1.146,26 -201,42
0,95%
-
7 Sb Semak dan belukar 0,71% 151,20 0,79% 168,19 -16,99
0,08%
-
8 Tk Tanaman semusim lahan kering 6,10% 1.299,24 6,79% 1.447,72 -148,48
0,70%
9 Tb Tanaman semusim lahan basah (sawah) 1,88% 400,48 1,24% 264,06 0,64% 136,42
-
10 Ta Tanaman berasosiasi dengan bangunan 14,56% 3.103,74 14,91% 3.177,68 -73,94
0,35%
100,00
Total 21.312,32 100,00% 21.312,32 0,00% 0,00
%
*CA ANN, 7 spatial variable (beda variable) iterasi 3

Prediksi Luas Penutupan Lahan 2030 - CA ANN

15,000
13,000
11,000
9,000
7,000
5,000
3,000
Luas (Ha)

1,000
Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Penu- 57.015 85.5675 250.6725 321.0075 14394.15 1146.262 168.1875 1447.717 264.06 3177.675
tupan 5 5
La-
han
2022
CA 48.21749 84.30749 426.015 280.0799 14574.19 944.8425 151.2 1299.24 400.4774 3103.739
ANN 9999999 9999999 9999999 5 9999999 9999999
2030 9 8 8 8 8

Penutupan Lahan 2022 CA ANN 2030

Gambar 5. 44 Grafik prediksi luas penutupan lahan 2022 - 2030


215

Perubahan Luas Penutupan Lahan 2022 - 2030

225
175
125
75
25
Luas (Ha)

-25 Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
Seli
-75 - - 175.34 - 180.04 -201.42 - - 136.41 -
sih 8.7975 1.2600 249999 40.927 499999 16.987 148.47 749999 73.935
-125 000000 000000 9999 500000 9996 500000 75 9998 000000
0006 0016 0015 0001 02
-175
-225

Selisih
Gambar 5. 45 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030

5.4.2.2 Cellular Automata - Markov menggunakan software Idrisi Selva


Sebelum melakukan prediksi penutupan lahan pada tahun 2030, dilakukan
analisis proyeksi penggunaan lahan tahun 2014 hingga tahun 2018 untuk
memprediksi penutupan lahan tahun 2022. Proyeksi ini bertujuan untuk
memetakan prediksi tahun 2022 agar dapat dapat divalidasi dengan peta
penggunaan lahan tahun 2022 aktual yang telah dibuat sebelumnya. Hasil validasi
akan memunculkan nilai kappa yang bisa diperoleh melalui tools Validate pada
idrisi selva.
Nilai validasi yang tergambar dalam nilai kappa memiliki tingkat
kesesuaian antara jumlah baris dan kolom maksimal 1,00. Nilai Kappa > 0,75
menunjukkan adanya kesepakatan/kesesuaian yang sangat baik, nilai Kappa =
0,04–0,75 kesepakatan/kesesuaian baik dan apabila nilai Kappa < 0,40 maka
kesepakatan/kesesuaian dinyatakan lemah (Bhisma, 1997). Hasil validasi antara
penggunaan lahan tahun 2022 aktual dengan penggunaan lahan hasil prediksi
dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5. 37 Hasil Tool Validate

Kstandard : 0.9071
Kno : 0.9351
Klocation : 0.9532
KlocationStrat : 0.9532
216

Hasil validasi antara penutupan lahan hasil prediksi tahun 2022 terhadap
pentupan lahan hasil interpretasi tahun 2022 menunjukkan nilai kappa
(Kstandard) 0,9. Hal ini berarti antara hasil skenario dengan penutupan lahan
sebenarnya memiliki kesesuaian yang sangat baik dalam hal penyebaran luasan
maupun spasialnya hingga 90%. Dengan demikian, penggunaan lahan pada tahun
2014 dan tahun 2022 dapat digunakan untuk memproyeksikan penggunaan lahan
tahun 2030.
Proyeksi dari tahun 2016 ke tahun 2036 didasarkan pada keadaan
penutupan/penggunaan lahan tahun 2016 dalam trasition probabilities yang
dihasilkan dari proses markov antara tahun 1996 dan tahun 2016. Nilai transition
probabilities dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 5. 38 Matriks transitional/probability area tahun 2030
Penutupan Penutupan Lahan 2022
Lahan
2014 Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta

0.143 0.187 0.003 0.025


Dn 0.3241 0.0011 0.0066 0.0129 0.1031 0.1909
8 8 7 8

0.000 0.071 0.000 0.000


Sg 0.0049 0.7042 0.0028 0.0015 0.0170 0.1969
6 8 0 4

0.102 0.498 0.040 0.005


Lt 0.0014 0.0004 0.0165 0.0757 0.1360 0.1231
4 4 9 3

0.000 0.220 0.000 0.000


Pk 0.0000 0.0000 0.6835 0.0829 0.0034 0.0093
7 2 0 0

0.001 0.898 0.000 0.000


Pc 0.0000 0.0000 0.0023 0.0347 0.0055 0.0570
3 5 4 2

0.002 0.242 0.001 0.000


Bp 0.0007 0.0002 0.0046 0.7046 0.0121 0.0315
2 4 2 5

0.028 0.338 0.033 0.005


Sb 0.0044 0.0001 0.0068 0.0447 0.3139 0.2241
4 9 0 7

0.031 0.364 0.024 0.020


Tk 0.0045 0.0000 0.0055 0.0237 0.2939 0.2305
8 7 4 9

0.020 0.189 0.047 0.223


Tb 0.0182 0.0000 0.0155 0.0199 0.2697 0.1957
2 7 7 5

0.008 0.477 0.004 0.001


Ta 0.0005 0.0002 0.0035 0.0176 0.0818 0.4047
4 3 1 9

Nilai transition probabilities atau probabilitas transisi hasil dari Markov


Chain digunakan sebagai dasar untuk menentukan lokasi yang diproyeksikan akan
mengalami perubahan oleh CA (Cellular Automata). Hasil Prediksi penutupan
217

lahan tahun 2030 dengan input data peta penutupan lahan tahun 2014 dan tahun
2022 dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.
Hasil dari prediksi penggunaan lahan pada tahun 2030 kemudian di
tumpang susunkan (overlay) dengan penggunaan lahan pada tahun 2022 untuk
melihat seberapa besar tingkat perubahan yang terjadi sebagaimana diperlihatkan
pada Tabel berikut.
Tabel 5. 39 Perbandingan Luas Penutupan Lahan tahun 2022 dan 2030
Penutupan Lahan
CA Markov 2030 Selisih
2022
No Kode Kelas Penutupan Lahan
% Ha % Ha % Ha

1 Dn Danau/telaga alami 0,16% 33,79 0,27% 57,02 -0,11% -23,22

2 Sg Sungai 0,29% 61,39 0,40% 85,57 -0,11% -24,17

3 Lt Lahan terbuka diusahakan 0,65% 138,74 1,18% 250,67 -0,53% -111,93

Permukaan diperkeras
4 Pk 1,35% 287,27 1,51% 321,01 -0,16% -33,74
bukan gedung

Bangunan
5 Pc 73,08% 15.574,06 67,54% 14.394,15 5,54% 1.179,91
permukiman/campuran

Bangunan bukan-
6 Bp 6,84% 1.458,52 5,38% 1.146,26 1,47% 312,26
permukiman

7 Sb Semak dan belukar 0,40% 84,84 0,79% 168,19 -0,39% -83,35

Tanaman semusim lahan


8 Tk 4,44% 945,22 6,79% 1.447,72 -2,36% -502,50
kering

Tanaman semusim lahan


9 Tb 0,48% 101,64 1,24% 264,06 -0,76% -162,42
basah (sawah)

Tanaman berasosiasi
10 Ta 12,33% 2.626,85 14,91% 3.177,68 -2,58% -550,83
dengan bangunan

*CA Markov tanpa spatial variable

Pada Tabel 6 dapat dilihat hasil prediksi penggunaan lahan pada tahun
2030 menunjukkan perubahan yang cukup pesat dibandingkan dengan
penggunaan lahan 2022. Prediksi penutupan lahan yang mengalami penurunan
luasan yang cukup signifikan ialah tanaman berasosiasi dengan bangunan,
sedangkan penggunaan lahan yang mengalami peningkatan yang ialah Bangunan
permukiman/campuran dan Bangunan bukan-permukiman. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa dari proyeksi ke depan akan tanaman berasosiasi dengan
bangunan yang dialihfungsikan menjadi tanaman berasosiasi dengan bangunan.
Perlu dilakukan manajemen lahan dengan baik untuk mengatur jenis penggunaan
lahan tertentu agar dapat menekan terjadinya penurunan kualitas lahan.
218

Perubahan Luas Penutupan Lahan 2022 - 2030

1,250

750
Luas (Ha)

250

Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta
-250
Seli - - - - 1179.9 312.25 - - - -
sih 23.224 24.172 111.93 33.740 052325 638335 83.350 502.49 162.41 550.82
138177 518699 199077 180021 7471 1103 389526 575601 744759 919511
-750 8261 925 407 7453 353 955 4819 1524

Selisih

Gambar 5. 46 Gambar 18 Grafik perubahan luas penutupan lahan 2022 - 2030


Keterangan : (Dn) Danau/telaga alami, (Sg) Sungai, (Lt) Lahan terbuka diusahakan,

(Pk) Permukaan diperkeras bukan gedung, (Pc) Bangunan permukiman/campuran, (Bp)


Bangunan bukan-permukiman, (Sb) Semak dan belukar, (Tk) Tanaman semusim lahan kering,
(Tb) Tanaman semusim lahan basah (sawah), (Ta) Tanaman berasosiasi dengan bangunan

Pemanfaatan lahan tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan


mengakibatkan lahan kritis yang rentan mengalami erosi dan banjir di musim
penghujan dan mengalami kekeringan di musim kemarau. Apalagi ketika lahan
hijau yang menjadi penyangga akan terus menerus berkurang demi kebutuhan
ekonomi.
219

G Model hasil simulasi CA-Markov, software Idrisi Selva


5.4.3 Analisis pola spasial Lanskap
220

Analisis pola spasial lanskap menggunakan Patch Metric index yang


difokus ke dalam 2 bagian yaitu analisis pola lanskap dan kelas di wilayah kota
bekasi. Indeks kelas di gunakan untuk merepresentasikan distribusi dan pola
spasial di dalam lanskap dari tipe patch tunggal. Indeks lanskap mewakili pola
spasial seluruh mosaic lanskap dengan mempertimbangkan semua tipe patch
secara bersamaan. Pola spasial dibagi menjadi tiga hasil metrik (2014,2018 dan
2022).

5.4.3.1 Analisis Pola Spasial Patch Metric


Pada tingkat kelas, statistik presentase lanskap (LPI) menunjukan bahwa
kelas bangunan permukiman campuran merupakan kelas yang dominan dengan
presentase peningkatan 56.22%, 66.67%, 67.54% untuk tahun 2014,2018 dan
2022. Sebaliknya kelas lahan tanaman berasosiai dengan bangunan mengalami
penurunan bertahun – tahun dengan laju penurunan 18.998%, 14.918% dan
14.910%. untuk tahun 2014,2018 dan 2022. Diikuti kelas Tanaman semusim
lahan basa (sawah) dengan laju penurunan 4.496%, 2.021% dan 1.239% untuk
tiap tahunnya. Tidak ada perubahan yang terlalu signifikan untuk jenis kelas
lainnya, kecuali kelas lahan terbangun diusahakan pada tahun 2014 dengan
presentase 4.787% dan mengalami penurunan drastis menjadi 1.961% pada tahun
2018, karena tingginya kebutuhan konversi lahan untuk lahan terbangun.

PLAND ( Presantage of Landscpe)


75
65
55
45
35
25
15
5
(%)

Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi
hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 0.3677 0.5603 4.7872 1.5848 56.2193 3.1162 3.6382 6.2319 4.4961 18.9984
2018 0.2606 0.4025 1.9613 1.4491 66.6692 5.2048 0.6955 6.4181 2.0207 14.9183
2022 0.2675 0.4015 1.1762 1.5062 67.5391 5.3784 0.7892 6.7929 1.239 14.91

Statistik kepadatan patch (PD) dan jumlah patch (NP) menunjukan kelas
dalam lanskap menjadi lebih terfragmentasi, terutama pada kelas tanaman
berasosiasi dengan bangunan dengan nilai kepadatan 22.98, 29.66, 29.76 dan
jumlah patch 4898, 6322, 6342 untuk tahun 2014,2018 dan 2022. Kelas
terfragmentasi kedua adalah bangunan bukan permukiman campuran dengan nilai
221

kepadatan 9.35, 11.00 dan 11.20. nilai NP dan PD cenderung bertambah ketika
terjadi fragmentasi namun, ada beberapa kelas tertentu memilik nilai NP yang
bertambah akan tetapi kepadatannya (PD) menurun tidak dikategorikan sebagai
kelas terfragmentasi dikarenakan NP adalah jumlah patch dari jenis patch yang
sesuai untuk suatu bentukan sedangkan PD adalah jumlah patch terhadap patch
yang sesuai dibagi dengan luas lanskap total.

NP ( Number of Patch)
6500
5500
4500
3500
2500
1500
Total Patch Area

500
Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi
hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 146 460 3684 555 2316 1993 2064 2369 1331 4898
2018 66 109 656 379 1302 2344 322 2314 85 6322
2022 64 105 628 398 1311 2386 206 2246 74 6342

PD( Patch Density)


33
28
23
18
13
8
Nilai Patch Density

3
Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi
hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 0.6851 2.1584 17.2861 2.6042 10.8671 9.3516 9.6847 11.1158 6.2453 22.9824
2018 0.3097 0.5115 3.0781 1.7783 6.1092 10.9985 1.5109 10.8578 0.3988 29.6641
2022 0.3003 0.4927 2.9467 1.8675 6.1514 11.1954 0.9666 10.5385 0.3472 29.7574

Largest patch index (LPI) presentase dengan nilai tertinggi diamati pada
kelas bangunan permukiman campuran dan nilai terendah terdapat pada kelas
222

Danau atau telaga alami. Untuk bangunan permukiman / campuran memiliki nilai
presentase index 17.57%, 22.31%, 22.57% untuk tahun 2014,2018 dan 2022.
Artinya nilai indeks terbesar terdapat pada tahun 2022 yang mana LPI mendekati
0 ketika patch utama dari tipe patch suatu kelas menjadi semakin kecil. LPI
mendekati 100 ketika seluruh lanskap terdiri dari satu patch dari tipe path suatu
kelas.

LPI (Largest Patch Index)


23

18

13

8
Nilai LPI (%)

3
Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi
hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 0.0311 0.1727 0.525 0.8048 17.5662 0.0799 0.0701 0.2143 0.3946 1.3053
2018 0.0332 0.0984 0.3263 0.8945 22.3102 0.1426 0.0797 0.2286 0.2853 0.9834
2022 0.0331 0.0984 0.218 0.8953 22.5658 0.1426 0.113 0.2522 0.2088 0.7957

LSI (Landscape Shape Index)


130
110
90
70
50
30
10
Danau/ Sungai Lahan Per- Bangu- Bangu- Semak Tana- Tana- Tana-
telaga terbuka mukaan nan nan dan man man man be-
Nilai LSI

alami diusa- diperk- per- bukan- belukar semusim semusim rasosiasi


hakan eras muki- per- lahan lahan dengan
bukan man/ muki- kering basah bangu-
gedung campu- man (sawah) nan
ran
2014 14.4622 32.8219 63.9718 35.0407 79.05 47.7122 54.0591 66.6255 39.6804 109.5383

2018 10.7 24.5645 26.9853 33.0511 73.1855 55.0876 21.3558 61.2935 13.9097 124.3085

2022 10.6634 24.4597 26.1934 33.8703 73.4775 55.7832 18.8497 61.1358 12.1336 124.9388

Berdasarkan nilai LSI patch yang paling tidak beraturan terdapat pada
kelas lanskap tanaman berasosiasi dengan bangunan dengan nilai 109.54, 124.31,
124.94. Kelas lanskap kedua adalah bangunan permukiman / campuran dengan
223

nilai 79.05, 73.19, 73.48 untuk tahun 2014,2018 dan 2022. Sedangkan untuk
bentuk paling beraturan terdapat pada kelas danau dengan nilai 14.46, 10.70,
10.66 untuk tiap titik tahunnya. Dapat disimpulakan rasio garis keliling tertinggi
suatu patch terhadap lanskap cenderung sama pada tiap titik tahunnya. Ketika LSI
mendekati 1 maka bentukan lanskap pada suatu kelas akan cenderung berbentuk
reguler lingkaran ataupun persegi. Sedangkan LSI naik tanpa batas karena bentuk
lanskap menjadi lebih tidak rata dan cenderung lebih berfragmen dan berbentuk
kompleks.
Berkaitan dengan indeks bangunan permukiman / campuran tren NP, PD ,
LSI dan LPI menunjukan perkembangan yang semakin regular. Artinya, pola
spasial kelas bangunan permukiman / campuran mengalami kecenderungan
membentuk pola yang compact dan berbentuk lebih reguler di setiap titik
tahunnya. Itu disebabkan pengembangan pola kelas terbangun mengikuti
perkembangan kawasan area terbangun disektiranya.

5.4.3.2 Analisis Pola Spasial Landscape Metric


Analisis pola spasial lanskap menggunakan landscape metric index
menggambarkan karakteristik perubahan metrik pada pola lanskap di Bekasi dari
tahun 2014-2030, semua metrik pola lanskap dilengkapi dengan karakteristik yang
jelas yang terbagi menjadi lima metrik yakni Patch density and size metrics,
Shape Metric, Diversity metrics, Nearest neighbor metrics dan Contagion and
interspersion metrics yang menunjukkan tren perubahan. Selama periode ini,
metrik pola lanskap cendurung memilik tren menurun, menyiratkan bahwa
gangguan interferensi dari aktivitas manusia pada sistem lanskap cukup kuat yang
menyebabkan kompleksitas patch penggunaan lahan menurun, konektivitas
lanskap memburuk, dan tingkat fragmentasi patch menurun.
Pada Patch density and size metrics memiliki tren MPS yang meningkat
menunjukan bahwa telah terjadi pengclusteran dalam suatu pola lanskap, ini
didukung oleh Nilai LPI dan NP yang menggambarkan persentase lanskap yang
terdiri dari patch terbesarnya dan jumlah patch yang dimana tren nilai LPI dan NP
mengalami penurun yang menyiratkan semakin tidak heterogennya suatu lanskap
dikarenakan dominasi lanskap yang menurun yang menyebakan terpisahnya suatu
pola dan patch tertentu pada lanskap.
Sedangkan nilai ED pada periode tahun 2014 - 2030 menunjukan tren
yang terus mengalami penurunan yang menunjukan semakin mengcluster atau
compactnya pola lanskap. hal itu diperkuat oleh tren PD yang mengikuti
penurunan selama periode 2014-2030 yang menyiratkan bahwa tingkat lanskap
secara keselurahan semakin berpusat dan tidak menyebar secara merata
Pada Shape Metric nilai AWMS dan AWMPFD menujukan tren yang
menurun dimana pada periode 2014-2018 mengalami penurunan tren. sedangkan
pada periode 2018-2022 mengalama peningkatan kembali lalu turun kembali pada
periode 2022-2030. ini menggambarkan terjadi peningkatan pola bentukan patch
224

yang semakin compact dan sederhana akan tetapi pada periode 2018-2022
berbeda karena nilai indeks meningkat yang menggambarkan bahwa pola
bentukan patch cenderung semakin tidak beraturan dan berbelit belit.
Pada Nearest neighbor metrics menjelaskan nilai MNN pada 2014-2030 terus
meningkat, di mana kedekatan patch dalam jenis yang sama lebih lemah dan
cenderung semakain menjauh. Dan distribusinya lebih tersebar. Kecenderungan
variasi indikator jarak antara MPI dan MNN membuat perbedaan yang lebih
besar. MPI pada 2014-2030 terus menurun, menunjukkan bahwa kedekatan antar
patch pada tipe yang sama bertambah dan konektivitas yang lebih baik secara
spasial. hasil MPI lebih dapat diandalkan, jarak antar patch memberikan dampak
yang signifikan pada interferensi. Lebih mudah untuk menghasilkan interferensi
timbal balik dalam jarak dekat, begitu pula sebaliknya
Penurunan tren pada Patch density and size metrics dan Shape Metric
diperkuat oleh Diversity metrics yang menunjukan nilai SHDI mengalami
penurunan menjadi 1.2074 dari 1.4546 menunjukan bahwa penurunan tiap tipe
patch semakin homogennya atau tidak beragamnya suatu pola penggunaan lahan.
Pemerataan bentang alam menunjukkan kontribusi jenis tambalan yang langka
terhadap penguatan informasi yang tidak pasti. ini diperkuat bersamaan dengan
nilai IJI yang mengalami penurunan menjadi 49.8201 dari 65.4053, menunjukan
bahwa distribusi keslurahan pola lansakap cenderung semakin compat.
Contagion and interspersion metrics menjelaskan tingkat pengelompokan
berbagai jenis tambalan atau CONTAG memliki tren dalam lanskap yang
mengalami penurunan selama periode 2014 - 2030, menunjukan bahwa kompetitif
setiap kelas tutupan lahan dalam suatu lanskap menurun, ini juga menunjukkan
bahwa lanskap merupakan pola padat dari beberapa elemen dan tingkat
fragmentasi lanskap menurun. Ada begitu banyak tambalan kecil di lanskap dan
nilai CONTAG lebih rendah dari 100, mencerminkan kemungkinan konektivitas
yang lebih tinggi dan kompetitif yang lebih rendah.Demikian pula, nilai
COHESION mengungkapkan tren meningkat yang serupa, menunjukkan bahwa
patch dalam sistem lanskap menguatkan agregasi dan klaster dalam distribusi
spasial. Kontinuitas nyata lanskap mengalami peningkatan

AWMSI AWMPFD PD
NP MPS LPI
14.00 1.25 60.00
12.40 5 1.23 30.00
25000 4.6174
1.21 1.21 49.24
12.00 4.5 50.00 25.78 25.78 25.78 25.77
19818 1.20 25.00
2000010.00 4
8.97 9.21
3.5 1.08 40.00
20.00 34.54 34.20
1.15 2.8952 2.9244
8.00 13901 13762
15000 3
30.00
6.00 1.39 2.5 15.00
1.10 2.0308 21.66
10000 8716 2 20.00
4.00 10.00
1.5
1.05
50002.00 1 10.00
5.00
0.5
0.00 1.00 0.00
0 2014 2018 2022 2030 0 2014 2018 2022 2030 0.00 2014 2018 2022 2030
2014 2018 2022 2030 2014 2018 2022 2030 2014 2018 2022 2030
AWMSI AWMPFD PD
NP MPS LPI
225

ED IJI
SHDI
140.00 70.00 65.41
127.37 1.60
1.45
120.00 110.65 110.73 60.00
1.40 1.31 1.29 51.01 49.78 49.82
1.21
100.00 1.20 50.00

80.00 73.17 1.00 40.00

60.00 0.80 30.00

0.60
40.00 20.00
0.40
20.00 10.00
0.20
0.00 0.00
2014 2018 2022 2030 0.00 2014 2018 2022 2030
2014 2018 2022 2030
ED IJI
SHDI

COHESION CONTAG MNN


99.60 72.00 88.00 87.02
99.47 70.04
99.50 70.00 86.00
99.39 99.40
99.40 84.00
68.00
66.52 82.00
99.30 66.05
66.00 80.00
99.20
64.00 78.00
99.10 75.80 76.21
61.62 75.44
99.00 62.00 76.00
99.00
74.00
60.00
98.90 72.00
98.80 58.00 70.00
98.70 56.00 68.00
2014 2018 2022 2030 2014 2018 2022 2030 2014 2018 2022 2030

COHESION CONTAG MNN

MPI
1800.00

1600.00 1527.02

1400.00

1200.00

1000.00 891.58 889.99


845.72
800.00

600.00

400.00

200.00

0.00
2014 2018 2022 2030

Series1

5.4.4 Perhitungan Hujan Wilayah/Kawasan


Perhitungan curah hujan rancangan pada penelitian ini menggunakan data
curah hujan harian Kota Bekasi pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2021. Data
yang digunakan merupakan data curah hujan harian maksimum yang diperoleh
dari data curah hujan harian Sungai Kupang stasiun Kranji, stasiun Rawa Dukuh,
stasius Cikeas dan stasiun Bendung Bekasi.
Tabel 5. 40 Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahun 2010 – 2021
TAHUN Stasiun Hujan
226

Rawa Bendung
Kranji Cikeas
Dukuh Bekasi

2011 80,0 120,0 75,0 65,0


2012 65,0 120,0 135,5 114,0
2013 113,6 105,0 133,0 120,0
2014 134,0 100,0 128,0 190,0
2015 188,0 105,0 140,0 112,0
2016 105,0 110,0 91,5 70,0
2017 125,0 132,9 186,5 135,0
2018 120,0 102,0 152,5 78,0
2019 76,0 85,0 117,0 101,0
2020 150,0 175,0 221,0 155,0
2021 120,0 74,0 135,0 108,0

Sumber: Data Bidang SDA DBMSDA 2021


Wilayah studi merupakan area administrasi Kota Bekasi, dimana lokasi
meliputi beberapa daerah aliran sungai (DAS), yakni DAS Ciliwung yang terdiri
dari subdas Sunter, subdas Buaran, subdas Jatikramat, subdas Cakung, subdas
Bojong Rangkong, subdas Jatiluhur Baru, dan subdas Blencong, DAS Bekasi
Hilir terdiri dari subdas Bekasi, subdas Galaxy dan subdas Rawalumbu yang
dipengaruhi DAS Bekasi Hulu meliputi subdas Cikeas dan subdas Cileungsi, serta
bagian timur kota Bekasi yakni Cikarang Bekasi Laut CBL terdiri dari subdas
Siluman dan Sasak Jarang.
227

Gambar 5. 48 Daerah Aliran Sungai sekitar Kota Bekasi


228

5.4.4.1 Analisis Data Hujan


Perhitungan curah hujan rancangan digunakan untuk menghitung data
intensitas hujan. Terdapat beberapa langkah dalam menghitung data intensitas
hujan yaitu pengukuran statistik, pemilihan jenis distribusi, serta pengujian
kecocokan distribusi.
Pengukuran statistik dihitung setelah mendapatkan hasil dari curah hujan
area, pengukuran menghitung antara sebaran masing-masing jenis distribusi
No Tahun Rmax Ri Log Ri
1 2011 85.00 175.25 2.243658
2 2012 108.63 144.85 2.160906
3 2013 117.91 138.00 2.139892
4 2014 138.00 136.25 2.134337
5 2015 136.25 117.91 2.071536
6 2016 94.13 113.13 2.053559
7 2017 144.85 109.25 2.038421
8 2018 113.13 108.63 2.03593
9 2019 94.75 94.75 1.976579
10 2020 175.25 94.13 1.973705
11 2021 109.25 85.00 1.929419
Jumlah 1317.13 22.7579
Rata-rata 119.74 2.0689
(Rt)
Jumlah 11 11
Data
Rata-rata 119.7391 119.7392
86
Standar 26.61958 0.093609
Deviasi 39
(SR)
Koefisien 0.779609 0.34601
Skewness 5
(Cs)
Koefisien 4.144970 3.465685
229

Kurtosis 52
(Ck)
Koefisien 0.222313 0.000782
Varian 05
(Cv)
3Cv 0.6669391 0.002345
6

Selanjutnya menentukan jenis distribusi dengan cara mencocokkan


parameter statistik berdasarkan syarat pada setiap jenis distribusi. Berikut hasil
dari mencocokkan parameter statistik dengan syarat setiap jenis distribusi.
Tabel 5. 41 Syarat dan kecocokan jenis distribusi
Nama
No Persyaratan Hasil Keterangan
Metode

1 Gumbel Cs = 1,14 1.14 Cs 0.77961 Tidak Memenuhi

Ck = 5,4 5.4 Ck 4.14497 Tidak Memenuhi

2 Normal Cs = 0 0 Cs 0.77961 Tidak Memenuhi

Ck = 3 3 Ck 4.14497 Tidak Memenuhi

3 Log Cs ≠ 0 Cs 0.34601 Memenuhi


Pearson
III

4 Log Cs = Cv^3 + 3Cv 2 Cs 0.00235 Tidak Memenuhi


Normal
Ck = Cv^8 + 6Cv^6 + 4 Ck 3.00001 Tidak Memenuhi
15Cv^4 + 16Cv^2 + 3

Berdasarkan hasil kecocokan parameter statistik, jenis distribusi yang


memenuhi syarat yaitu Log Pearson III. Tetapi, untuk pemilihan jenis distribusi
ini diharuskan untuk menguji kembali dengan Uji Chi-Kuadrat dan Uji Smirnov-
Kolmogorov.

5.4.4.2 Penentuan Hujan Kawasan


Tabel 5. 42 Rerata Aritmatik
No Tahun Rmax Ri Log Ri
1 2011 85.00 175.25 2.243658
2 2012 108.63 144.85 2.160906
230

3 2013 117.91 138.00 2.139892


4 2014 138.00 136.25 2.134337
5 2015 136.25 117.91 2.071536
6 2016 94.13 113.13 2.053559
7 2017 144.85 109.25 2.038421
8 2018 113.13 108.63 2.03593
9 2019 94.75 94.75 1.976579
10 2020 175.25 94.13 1.973705
11 2021 109.25 85.00 1.929419
Jumlah 1317.13 22.7579
Rata-rata (Rt) 119.74 2.0689
Jumlah Data 11 11

5.4.4.3 Analisis Distribusi Frekuensi


Jenis distribusi yang dihitung adalah distribusi normal, log normal,
Gumbel dan Log Pearson II. Tujuannya untuk menghitung curah hujan rancangan
berdasarkan kala ulang tertentu. Terdapat 9 (sembilan) kala ulang yang dihitung
yaitu 2 tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan, 10 tahunan, 200
tahunan serta 1000 tahunan. Hasil dari perhitungan curah hujan rancangan
berdasarkan 4 distribusi tersebut disajikan pada Tabel 7.
Tabel 5. 43 Hasil analisis distribusi frekuensi

Probabilita Periode
Gumbe Log Log
s Ulang Normal
l Normal Pearson III
(P) (Tahun)
0.5 2 119.74 116.08 117.19 115.75
0.2 5 142.15 147.26 140.51 139.86
0.1 10 153.87 167.90 154.49 155.52
0.05 20 163.53 187.71 167.07 168.32
0.04 25 165.62 193.99 169.93 175.11
0.02 50 173.54 213.34 181.17 189.68
0.01 100 181.66 232.55 193.48 204.22
231

0.005 200 188.31 251.69 204.19 218.90


0.001 1000 218.74 296.02 261.24 254.17

5.4.4.4 Uji Kesesuaian Distribusi


Pengujian kesesuaian distribusi menggunakan dua metode yaitu pengujian
Chi-Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel
Tabel 5. 44 Uji Kesesuaian Distribusi

Uji Chi-Kuadrat
Normal Gumbel Log Normal Log Pearson III
X2 Hitung 0.3636 3.0909 0.3636 4.0000
X2 Kritis 5.9900 5.9900 5.9900 5.9900
Kesimpulan Mewakili Mewakili Mewakili Mewakili
Uji Smirnov-Kolmogorof
Normal Gumbel Log Normal Log Pearson III
D Hitung 0.1306 0.1306 0.1255 0.1255
D Kritis 0.3960 0.3960 0.3960 0.3960
Kesimpulan Mewakili Mewakili Mewakili Mewakili

Hasil perhitungan uji Chi-Kuadrat menunjukkan hasil yang sama dengan


uji Smirnov-Kolmogorov, dimana nilai parameter Chi hitung lebih kecil dari Chi
teori untuk derajat kebebasan sebesar 5% terhadap keempat distribusi peluang.
Hasil perhitungan uji Chi Kuadrat menunjukkan distribusi Log Normal dan Log
Pearson III memiliki nilai terkecil.
Hasil perhitungan uji Smirnov-Kolmogorov untuk derajat kebebasan
sebesar 5% menunjukan nilai D hitung lebih kecil dari D kritik terhadap keempat
distribusi peluang. Hal tersebut menunjukkan data curah hujan harian maksimum
mengikuti keempat distribusi peluang untuk selang kepercayaan sebesar 95%.
Hasil perhitungan juga menunjukkan distribusi Normal dan Log Normal memiliki
nilai D hitung terkecil diantara keempat distribusi peluang. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa distribusi peluang curah hujan harian maksimum untuk
lokasi penelitian cenderung mengikuti fungsi distribusi Normal dan Log Normal.
Berdasarkan hasil kedua perhitungan uji yang dilakukan menunjukkan
fungsi peluang distribusi Log Normal memiliki sifat paling mewakili data curah
232

hujan harian maksimum lokasi penelitian. Nilai frekuensi curah hujan harian
maksimum distribusi Log Normal untuk kala ulang dua tahun sebesar 117.19
mm/hari, lima tahun sebesar 140.51 mm/hari, sepuluh tahun sebesar 154.49
mm/hari, dua puluh tahun sebesar 167.07 mm/hari, dua puluh lima tahun sebesar
169.93 mm/hari, lima puluh tahun sebesar 181.17 mm/hari, seratus tahun sebesar
193.48 mm/hari, dua ratus tahun sebesar 204.19 mm/hari, dan seribu tahun
sebesar 261.24 mm/hari. Nilai dari distribusi Log Normal selanjutnya digunakan
dalam perhitungan intensitas curah hujan.
Frekuensi hujan DAS Bekasi bagian hulu yang meliputi sub DAS Cikeas
dan sub DAS Cileungsi menggunakan data dari penelitian sebelumnya. Curah
hujan rancangan di Sub DAS Cikeas (Dharma dkk, 2021) untuk periode ulang 2
tahun sebesar 123.102 mm, 5 tahun sebesar 148.067 mm, 10 tahun sebesar
161.663, 50 tahun sebesar 189.186 mm, dan 100 tahun sebesar 200.258,
sedangkan curah hujan rancangan di Sub DAS Cileungsi (Marko & Zulkarnain,
2018) untuk periode ulang 5 tahun sebesar 143 mm, 10 tahun sebesar 167 mm, 25
tahun sebesar 197 mm, dan 50 tahun sebesar 220 mm. Frekuensi curah hujan
rancangan hulu DAS Bekasi disajikan pada Tabel 5.45.
Tabel 5. 45 Frekuensi curah hujan rancangan Hulu DAS Bekasi

Periode Ulang Curah hujan rancangan (mm)


(Tahun) Sub DAS Cikeas Sub DAS Cileungsi
Q2 126.102 -
Q5 148.067 143
Q10 161.663 167
Q25 - 197
Q50 189.186 220
Q100 200.258 -

5.4.4.5 Intensitas Curah Hujan


Data curah hujan harian maksimum yang diperoleh dalam satuan hari
hujan perlu diketahui intensitas curah hujannya untuk tiap satuan waktu berupa
jam. Data curah hujan yang digunakan merupakan hasil perhitungan distribusi
peluang yang sesuai dengan sebaran data curah hujan harian maksimum dengan
periode ulangan dua, lima, sepuluh, dan dua puluh tahun. Intensitas curah hujan
harian maksimum dihitung besarnya menggunakan metode Mononobe dalam
kurun waktu 24 jam. Kurva intensitas durasi dan frekuensi curah hujan hari
maksimum periode ulangan dua, lima, sepuluh, dan dua puluh tahun disajikan
pada Gambar 2.
233

Kurva Intensitas Curah Hujan


TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25
TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000
500
450
Intensitas Curah Hujan (mm/jam)

400
350
300
250
200
150
100
50
0
5 10 20 40 60 90 120 150 180 210 240 270 300 360 390 420 450 480 510 540 570 600 630 660 690 720
Menit

Gambar 5. 49 Kurva IDF Curah Hujan Harian Maksimum

5.4.4.6 Distribusi Hujan Jam-jaman


Hasil perhitungan distribusi hujan jam-jaman dengan periode ulang
tertentu dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 5. 46 Distribusi hujan jam-jaman
Periode Ulang (Tahun) (m3/s)
Jam ke-
2 5 10 20 25 50 100 200 1000

1 40.629 48.71 53.560 57.919 58.910 62.808 67.07 70.790 90.566


4 6

2 25.595 30.68 33.741 36.487 37.111 39.567 42.25 44.595 57.053


8 5

3 19.532 23.41 25.749 27.844 28.321 30.195 32.24 34.032 43.539


9 7

4 16.124 19.33 21.255 22.985 23.379 24.925 26.61 28.093 35.941


2 9

5 13.895 16.66 18.317 19.808 20.147 21.480 22.94 24.210 30.973


0 0

6 11.665 13.98 15.378 16.629 16.914 18.033 19.25 20.325 26.003


7 9
234

5.4.4.7 Curah Hujan Efektif


Hasil perhitungan curah hujan efektif merupakan curah hujan yang
berubah menjadi aliran permukaan, yaitu curah hujan rancangan dikurangi dengan
kehilangan air (losses) disajikan pada Tabel 10. Curah hujan efektif ini lah yang
akan digunakan sebagai input data time series pada pemodelan di HEC-HMS.
Tabel 5. 47 Curah hujan efektif
Periode Ulang (Tahun) (m3/s)
Jam ke-
2 5 10 20 25 50 100 200 1000

1 28.440 34.10 37.492 40.543 41.237 43.966 46.95 49.553 63.396


0 3

2 17.916 21.48 23.618 25.541 25.978 27.697 29.57 31.216 39.937


1 9

3 13.673 16.39 18.024 19.491 19.825 21.137 22.57 23.822 30.478


3 3

4 11.286 13.53 14.879 16.090 16.365 17.448 18.63 19.665 25.159


2 3

5 9.726 11.66 12.822 13.866 14.103 15.036 16.05 16.947 21.681


2 8

6 8.166 9.791 10.765 11.641 11.840 12.623 13.48 14.227 18.202


1

5.4.2 Pemodelan Hidrologi menggunakan HEC-HMS


Tahapan input data pada HEC-HMS dilakukan dengan beberapa
komponen yaitu basin model, meteorology model, control specification, dan time
series data.
1. Basin Model
Input data pada basin model adalah dengan menggunakan peta delineasi batas
DAS dan jaringan sungai (Tabel 11) sebagai background pada software HEC-
HMS. Dengan adanya peta sub DAS Kupang sebagai background maka akan
memudahkan dalam menentukan letak elemen basin model seperti subbasin,
junction, dan reach. Subbasin merupakan simbol dan fungsi dari sub DAS. Pada
subbasin inilah akan diinput luas dari masing-masing sub DAS yang telah
diperoleh dari software Arcgis dalam tabel subbasin area. Junction merupakan
simbol dan fungsi dari titik kontrol, dan reach adalah simbol dan fungsi dari
sungai yang berperan sebagai penghubung antar junction. Gambar untuk basin
model DAS Bekasi Hilir dan Bekasi Hulu diperlihatkan pada Gambar 3 dan 4.
Tabel 5. 48 Luas subDAS dan panjang sungai utama

Sub Catchment Luas (Km2) Panjang Sungai


235

(Km2)
Sub-DAS Bekasi 38.63 21.67
Sub-DAS Blencong 14.42 8.82
Sub-DAS Bojong 5.80
26.93
Rangkong
Sub-DAS Buaran 7.83 3.53
Sub-DAS Cakung 44.19 28.52
Sub-DAS Galaxy 9.69 6.17
Sub-DAS Jatikramat 14.68 10.56
Sub-DAS Jatiluhur Baru 16.81 18.69
Sub-DAS Rawalumbu 10.15 7.00
Sub-DAS Sasak Jarang 15.36 10.07
Sub-DAS Siluman 73.72 14.61
Sub-DAS Sunter 69.60 27.21
Sub-DAS Cikeas 104.70 58.85
Sub-DAS Cileungsi 101.44 49.18
236

.
Gambar 5. 50 Basin Model Bekasi Hilir

Gambar 5. 51 Basin Model Bekasi Hulu

Pada basin model ini terdapat beberapa parameter model yang di inputkan
sesuai metode yang di pakai pada masing-masing parameternya.
237

Gambar 5. 52 Parameter Model


Parameter Loss Model
Parameter loss model dengan metode SCS Curve Number yang terdiri dari Initial
abstraction (MM), curve number (CN), dan impervious (%). Nilai CN diperoleh
dengan cara melakukan identifikasi terhadap penggunaan lahan di masing-masing
area sub DAS. Input parameter loss model masing-masing subDAS dapat dilihat
pada tabel 12.
Tabel 5. 49 Parameter loss model

CN S=Potential Initial Improvious


Sub Catchment maximum Abstraction Composite
Composite retention (mm) (%)

Sub-DAS Bekasi 59.3 174.3 34.9 30.23

Sub-DAS Blencong 64.8 138.1 27.6 33.25

Sub-DAS Bojong
67.1 124.5 24.9 32.26
Rangkong

Sub-DAS Buaran 67.7 120.9 24.2 30.32

Sub-DAS Cakung 55.5 203.7 40.7 27.56

Sub-DAS Galaxy 66.7 126.5 25.3 34.29

Sub-DAS Jatikramat 64.1 142.0 28.4 29.56


238

Sub-DAS Jatiluhur Baru 64.1 142.4 28.5 35.13

Sub-DAS Rawalumbu 65.4 134.5 26.9 33.94

Sub-DAS Sasak Jarang 67.5 122.2 24.4 31.65

Sub-DAS Siluman 54.3 213.5 42.7 25.46

Sub-DAS Sunter 58.1 183.5 36.7 27.57

Sub-DAS Cikeas 80.5 61.4 12.3 17.62

Sub-DAS Cileungsi 79.4 65.9 13.2 54.00

Parameter Transform Model


Parameter transform model dengan metode Snyder Unit Hidrograph
menggunakan nilai lag time dan Peaking coefient. Nilai lag time yang diperoleh
dari perhitungan dengan data panjang sungai utama, panjang sungai dari titik berat
basin ke outlet, konstanta (C1), koefisien karakteristik daerah pengaliran (Ct)
(Technical Reference Manual HEC HMS, page 54-55). Nilai peaking coefficient
berkisar antara 0.4 – 0.8, untuk lokasi studi yang kondisi bentuk lahan yang relatif
datar digunakan nilai 0.5. Input parameter transform model masing-masing sub
DAS dapat dilihat pada tabel 5.50
Tabel 5. 50 Parameter Transform Model
C1 Time Lag Peaking
Sub Catchment Ct
(SI unit) (jam) Coeficient

Sub-DAS Bekasi 0.75 2.2 7.51 0.5


Sub-DAS Blencong 0.75 2.2 4.38 0.5
Sub-DAS Bojong Rangkong 0.75 2.2 3.41 0.5
Sub-DAS Buaran 0.75 2.2 2.53 0.5
Sub-DAS Cakung 0.75 2.2 8.86 0.5
Sub-DAS Galaxy 0.75 2.2 3.54 0.5
Sub-DAS Jatikramat 0.75 2.2 4.88 0.5
Sub-DAS Jatiluhur Baru 0.75 2.2 6.87 0.5
Sub-DAS Rawalumbu 0.75 2.2 3.81 0.5
Sub-DAS Sasak Jarang 0.75 2.2 4.75 0.5
Sub-DAS Siluman 0.75 2.2 5.93 0.5
Sub-DAS Sunter 0.75 2.2 8.61 0.5
239

Sub-DAS Cikeas 0.75 2.2 13.68 0.5


Sub-DAS Cileungsi 0.75 2.2 12.29 0.5

2. Time Series data


Metode yang digunakan yaitu Specified Hyetograph dengan menggunakan
data curah hujan rencana hasil perhitungan sebelumnya yakni data curah hujan
efektif yang sudah terdistribusi jam-jaman yang disajikan pada Tabel 10.
3. Control Specification
Input data pada control specification adalah waktu berlangsungnya simulasi
dalam software HEC-HMS. Waktu ini ditentukan berdasarkan tanggal
terjadinya banjir tertinggi di DAS lokasi studi dengan jangka waktu 24 jam
dan interval 1 jam. Input data pada control specification diperlihatkan pada
Tabel 14.
Tabel 14 Input data pada Control specification

Start date 01 Jan 2000


Start time 00:00
End date 02 Jan 2000
End time 00:00
Time interval 1 Hour

Hidroraf Aliran
Hidrograf aliran diperoleh dengan melakukan simulasi run pada
HECHMS. Data yang digunakan untuk memperoleh hidrograf aliran adalah data
curah hujan jam-jaman untuk periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun,
25 tahun, 50 tahun, 100 tahun, 200 tahun dan 1000 tahun. Hasil simulasi masing-
masing subDAS disekitar kota Bekasi diperlihatkan pada Lampiran 11 sampai
Lampiran 25. Berikut hidrograf aliran masing-masing subDAS untuk setiap
periode ulang yang diperlihatkan pada Gambar 5.53 sampai Gambar 21.
240

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Sunter
140.0
120.0
100.0
Debit Banjir (m3/detik)

80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 53 HSS SubDAS Sunter

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Buaran
40.0
35.0
30.0
Debit Banjir (m3/detik)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 54 Gambar 8 HSS SubDAS Buaran


241

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Jatikramat
50.0
45.0
40.0
Debit Banjir (m3/detik)

35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 55 HSS SubDAS Jatikramat

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Bojong Rangkong
120.0

100.0

80.0
Debit Banjir (m3/detik)

60.0

40.0

20.0

0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 56 HSS SubDAS Bojong Rangkong


242

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Cakung
80.0
70.0
60.0
Debit Banjir (m3/detik)

50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 57 Gambar 11 HSS SubDAS Cakung

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Jatiluhur Baru
45.0
40.0
35.0
30.0
Debit Banjir (m3/detik)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 58 HSS SubDAS Jatiluhur Baru


243

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Blencong
50.0
45.0
40.0
35.0
Debit Banjir (m3/detik)

30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 59 Gambar 13 HSS SubDAS Blencong

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Kali Siluman
160.0
140.0
120.0
Debit Banjir (m3/detik)

100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 60 HSS SubDAS Siluman


244

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Sasak Jarang
60.0

50.0

40.0
Debit Banjir (m3/detik)

30.0

20.0

10.0

0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 61 HSS SubDAS Sasak Jarang

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Galaxy
40.0
35.0
30.0
Debit Banjir (m3/detik)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 62 HSS SubDAS Galaxy


245

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Rawalumbu
40.0
35.0
30.0
Debit Banjir (m3/detik)

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 63 HSS SubDAS Rawalumbu

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Bekasi
80.0
70.0
60.0
Debit Banjir (m3/detik)

50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 64 HSS SubDAS Bekasi (tanpa debit dulu)


246

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Cikeas
45
40
Debit Banjir (m3/detik)

35
30
25
20
15
10
5
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 65 Gambar 19 HSS SubDAS Cikeas

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Cileungsi
70
60
50
Debit Banjir (m3/detik)

40
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 66 Gambar 20 HSS SubDAS Cileungsi


247

Hidrograf Satuan Sintetis HEC-HMS


Sub-DAS Bekasi
160
140
Debit Banjir (m3/detik)

120
100
80
60
40
20
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam Ke-)

TR-02 TR-05 TR-10 TR-20 TR-25


TR-50 TR-100 TR-200 TR-1000

Gambar 5. 67 HSS SubDAS Bekasi (ditambah debit hulu)

5.4.3 Pemodelan Hidrolika menggunakan HEC-RAS 2D


Pemodelan HEC-RAS untuk kondisi eksisting terdiri dari tahap input data
untuk pemodelan dan tahap output pemodelan HEC-RAS.
Input data pemodelan HEC-RAS 2D
Data geometri yang di input ke dalam HEC-RAS yaitu data digital elevation
model, Penutupan lahan (manning value), 2D flow area (perimeter dan break
lines), kondisi batas (boundary condition) dan rencana simulasi.
1. Data Geometri
a. Terrain
Data terrain bersumber dari data DEMNAS (Digital elevation Model
Nasional) dengan resolusi spasial 0.27-arcsecond atau 8.1 meter, yang
menjadi acuan dasar dari data geometri untuk simulasi.
248

Gambar 5. 68 Data Terrain (DEMNAS DAS Bekasi)

b. Penutupan lahan 2022 dan 2030 nilai manning


Penutupan lahan digunakan untuk menganalisis kapasitas saluran
sungai dengan persamaan Manning, persamaan Manning digunakan
untuk menyatakan tingkat kekerasan permukaan (Indarto, 2010). Nilai
manning yang digunakan berdasarkan HEC-RAS User's Manual -
Hydrologic Engineering Center. Sama seperti terrain, manning value
juga menjadi acuan dasar dari data geometri untuk simulasi. Nilai
manning dapat dilihat pada Gambar 23 dan Gambar 24.
249

Gambar 5. 69 Manning value penutupan lahan 2022

Gambar 5. 70 Manning value penutupan lahan 2030

c. 2D Flow area (Perimeter)


Perimeter merupakan area yang diduga akan terjadi limpasan
permukaan dan menyebabkan genangan banjir. Perimeter berupa mesh
dengan ukuran tertentu, semakin kecil ukuran nya maka semakin
banyak mesh yang terbentuk dan tingkat keteletian hasil yang di
peroleh semakin tinggi, tetapi semakin banyak mesh makan waktu
yang dibutuhkan semakin lama dan pekerjaan hardware semakin berat.
Pada penelitian ini mesh yang digunakan untuk perimeter berukuran
20 x 20.
250

Gambar 5. 71 ukuran mesh yang digunakan

Gambar 5. 72 Perimeter area

d. 2D Flow area (break lines)


Break lines merupakan penggambaran skema alur sungai yang
disesuaikan dengan kondisi lapang. Ukuran mesh yang digunakan pada
break lines hendaknya lebih kecil dibandingkan perimeter untuk
membedakan dengan area sekitarnya, untuk break line sungai minimal
terwakili oleh tiga (3) mesh. Jika ukuran perimeter 20x20 per mesh,
maka untuk sungai minimal ukuran 6x6. Pada penelitan ini ukuran
mesh yang digunakan adalah 5x5 untuk near spacing, 8x8 untuk near
repeats dan 20x20 untuk far spacing.
251

Gambar 5. 73 Break lines aliran sungai

e. Boundary condition
Pada pemodelan banjir, bagian hulu dan hilir harus dipastikan
memiliki Boundary condition lines (BC Lines) dimana pada bagian
hulu boundary condition dapat diartikan sebagai kondisi awal mulai
mengalirnya air dan pada bagian hilir diartikan sebagai area
bermuaranya aliran. Pada model ini penempatan BC Lines bagian hulu
berada di dalam (internal) perimeter, pada beberapa sub DAS yang
memiliki banyak hulu anak sungai diletakkan juga BS Lines yang
disesuaikan dengan kejadian genangan banjir tahun sebelumnya.
Sedangkan pada bagian hilir diletakkan tepat di luar (external)
perimeter.
252

Gambar 5. 74 Boundary condition lines

2. Unsteady flow data


Tahap ini dilakukan dengan membuka unsteady flow data, pada bagian ini
akan muncul kolom BC Lines yang telah dibuat sebelumnya, pada BC
Lines (Gambar 29) hulu diisi dengan data debit hujan atau flow
hydrograph hasil dari simulasi di HEC-HMS sebelumnya, sedangkan pada
BC Lines hilir (Gambar 30) diisi dengan normal depth.
253

Gambar 5. 75 Input data boundary condition lines hulu dengan flow hydrograph

Gambar 5. 76 Input data boundary condition lines hilir dengan normal depth
254

3. Unsteady flow analysis


Langkah terakhir dalam pemodelan genangan banjir yaitu membuat
unsteady flow analysis (Gambar 31), pada tahap ini menentukan tanggal
kejadian hujan dan berapa lama waktu komputasi yang akan dilakukan.
Komputasi akan berjalan baik jika tidak terdapat kesalahan terutama
berkaitan dengan geometri sungai. Lama waktu yang dibutuhkan
tergantung dari Computation interval yang digunakan, semakin kecil maka
waktu yang dibutuhkan akan semakin lama dan tingkat ketelitian semakin
baik, begitu pula sebaliknya.

Gambar 5. 77 Unsteady flow analysis

Output pemodelan HEC-RAS 2D


Hasil pemodelan genangan banjir menggunakan debit kejadian diperoleh
genangan banjir (Gambar 4.15) yang menggenangi badan sungai dengan
ketinggian maksimum 3 meter. Berdasarkan hasil pemodelan banjir yang
ditemukan terdapat di area hulu dan hilir sungai. Setelah dilakukan klasifikasi
kedalaman genangan ditemukan pada bagian hilir genangan dengan kedalaman
rata – rata sebesar 1 m.
1. Sebaran genangan banjir dengan manning 2022
a. Debit periode ulang 5 tahun
255

Gambar 5. 78 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 5 tahun

Tabel 5. 51 Area terdampak genangan Banjir Q05 Penutupan Lahan 2022


Q5 2022 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.5 6.0 3.7 7.2 516.8 22.6 4.6 41.2 14.5 71.0 120.3 809.2

1-2m 0.8 5.7 1.9 3.5 213.3 12.0 2.1 22.9 9.4 36.5 47.8 355.8

2-3m 0.9 6.5 1.8 1.8 110.9 8.5 1.6 15.8 8.4 29.6 30.1 216.0

3-4m 1.1 5.0 1.4 1.3 51.9 5.9 1.4 11.8 7.5 21.2 20.2 128.7

>4m 1.7 39.5 1.7 2.9 45.5 11.1 2.7 14.9 8.4 38.5 39.9 206.7

Total 5.9 62.6 10.4 16.7 938.4 60.1 12.4 106.5 48.3 196.7 258.3 1716.4
256

Gambar 5. 79 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 52 Tabel 16 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan


Lahan 2030
Q5 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.5 4.1 1.6 7.1 543.7 29.4 3.3 31.4 5.4 62.3 120.3 809.2

1-2m 0.4 2.6 0.7 3.5 225.1 16.7 1.5 18.0 4.3 35.3 47.8 355.8

2-3m 0.5 2.8 0.5 2.3 120.1 12.2 0.9 12.6 3.9 30.0 30.1 216.0

3-4m 0.6 2.6 0.4 2.1 58.1 8.8 0.9 9.1 3.4 22.4 20.2 128.7

>4m 0.7 30.3 1.2 4.1 52.3 15.2 2.2 10.9 3.3 46.7 39.9 206.7

Total 2.7 42.4 4.5 19.1 999.2 82.3 8.7 82.1 20.4 196.7 258.3 1716.4
257

Gambar 5. 80 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2030
b. Debit periode ulang 10 tahun

Gambar 5. 81 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 10 tahun


Tabel 5. 53 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2022
Q10 2022 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.5 4.1 4.8 8.2 565.9 26.3 4.9 43.1 21.0 77.0 146.2 903.1

1-2m 0.8 5.0 2.2 4.4 242.6 13.9 2.2 25.0 12.7 40.0 61.8 410.5

2-3m 0.9 7.2 1.9 2.6 131.3 9.4 1.6 17.6 9.8 32.6 37.9 252.8

3-4m 1.1 6.3 1.5 1.6 63.3 6.4 1.5 12.4 7.9 24.6 23.7 150.2

>4m 1.8 44.5 2.0 3.5 55.4 12.3 2.9 18.0 9.5 45.9 49.6 245.4

Total 6.1 67.0 12.4 20.4 1058.5 68.2 13.1 116.2 60.9 220.1 319.1 1962.0
258

Gambar 5. 82 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 54 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan Lahan 2030
Q10 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.5 2.6 2.3 7.6 596.0 34.1 4.0 33.4 9.6 66.8 146.2 903.1

1-2m 0.4 2.8 0.8 4.2 256.6 19.3 1.7 19.3 6.6 37.1 61.8 410.5

2-3m 0.5 3.4 0.5 2.8 142.2 13.5 1.0 13.8 4.8 32.5 37.9 252.8

3-4m 0.6 3.0 0.4 2.2 70.3 9.7 0.8 9.6 3.7 26.2 23.7 150.2

>4m 0.7 33.0 1.3 5.0 63.7 17.0 2.3 13.0 3.6 56.3 49.6 245.4

Total 2.8 44.7 5.4 21.8 1128.8 93.5 9.8 88.9 28.3 218.9 319.1 1962.0
259

Gambar 5. 83 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2030

c. Debit periode ulang 50 tahun

Gambar 5. 84 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 50 tahun

Tabel 19 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
Q50 2022 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.7 1.6 6.0 11.2 692.2 31.6 5.9 49.5 19.3 90.1 254.5 1163.6

1-2m 1.1 1.9 3.0 6.1 308.3 16.7 2.9 28.4 14.9 49.3 103.8 536.4

2-3m 1.3 3.0 2.6 3.7 168.5 11.3 1.6 21.3 12.1 39.1 60.7 325.2
260

3-4m 1.2 3.8 2.0 2.4 82.7 7.5 1.6 14.7 9.7 29.0 39.1 193.6

>4m 1.9 61.1 2.8 4.9 84.4 14.2 3.2 22.8 11.5 68.0 80.6 355.5

Total 7.1 71.5 16.4 28.3 1336.1 81.4 15.2 136.8 67.4 275.5 538.6 2574.3

Gambar 5. 85 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2022
Tabel 5. 55 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
Q50 2022 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2022 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.8 1.2 2.8 10.0 728.1 40.8 4.3 37.7 7.3 76.2 254.5 1163.6

1-2m 0.4 1.4 1.5 5.6 325.4 22.6 2.5 21.4 7.5 44.3 103.8 536.4

2-3m 0.5 2.3 1.0 3.8 180.3 16.1 1.3 16.4 6.6 36.2 60.7 325.2

3-4m 0.6 2.7 0.7 3.0 90.7 11.3 1.0 11.6 4.7 28.4 39.1 193.6

>4m 0.8 40.6 1.8 6.3 96.7 19.9 2.5 16.9 4.3 84.9 80.6 355.5

Total 3.1 48.2 7.7 28.7 1421.2 110.7 11.7 104.0 30.4 269.9 538.6 2574.3
261

Gambar 5. 86 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2022 pada


Penutupan Lahan 2030

2. Sebaran genangan banjir dengan manning 2030


a. Debit periode ulang 5 tahun

Gambar 5. 87 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 5 tahun

Tabel 5. 56 Tabel 21 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan


Lahan 2022
Q5 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.5 5.9 3.5 7.1 515.4 22.7 4.6 40.8 14.8 70.5 119.9 806.7

1-2m 0.8 6.1 2.0 3.5 213.7 12.2 2.1 22.8 9.6 36.5 47.0 356.2

2-3m 0.9 6.0 1.7 1.9 110.6 8.4 1.6 15.5 8.4 29.4 29.8 214.2
262

3-4m 1.0 4.7 1.4 1.3 51.8 5.7 1.3 11.5 7.5 21.0 19.8 127.1

>4m 1.7 39.4 1.6 2.9 45.9 11.4 2.8 15.1 8.4 38.4 40.2 207.9

Total 6.0 62.2 10.2 16.7 937.3 60.5 12.4 105.7 48.7 195.7 256.6 1712.1

Gambar 5. 88 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 57 Tabel 22 Area terdampak genangan Banjir Q05 pada Penutupan


Lahan 2030
Q5 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q05 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.5 4.0 1.6 7.2 542.0 29.6 3.4 31.3 5.4 61.8 119.9 806.7

1-2m 0.4 2.8 0.7 3.5 225.4 16.9 1.6 18.1 4.3 35.5 47.0 356.2

2-3m 0.5 2.6 0.5 2.4 119.2 12.1 0.9 12.4 3.9 29.9 29.8 214.2

3-4m 0.6 2.5 0.4 2.1 57.7 8.7 0.9 9.0 3.5 22.0 19.8 127.1

>4m 0.7 30.3 1.2 4.1 52.6 15.5 2.2 11.1 3.3 46.6 40.2 207.9

Total 2.7 42.3 4.4 19.2 996.9 82.8 9.0 82.0 20.4 195.8 256.6 1712.1
263

Gambar 5. 89 Area terdampak genangan Banjir Q05 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2030

b. Debit periode ulang 10 tahun

Gambar 5. 90 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 10 tahun

Tabel 5. 58 Tabel 23 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan


Lahan 2022
Q10 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.5 5.1 4.2 8.4 568.9 26.1 4.9 43.0 17.2 77.2 145.6 902.2

1-2m 0.9 4.9 2.1 4.5 242.6 13.7 2.4 24.7 11.1 40.1 61.6 408.6
264

2-3m 0.9 6.7 1.9 2.4 130.7 9.4 1.6 17.8 9.1 32.6 37.8 251.0

3-4m 1.1 5.8 1.5 1.6 63.0 6.3 1.4 12.5 7.8 24.7 23.8 149.4

>4m 1.8 44.1 1.9 3.5 55.7 12.8 3.0 18.0 9.4 45.9 49.5 245.8

Total 6.2 66.6 11.6 20.4 1061.0 68.4 13.3 115.9 54.8 220.5 318.2 1956.9

Gambar 5. 91 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 59 Tabel 24 Area terdampak genangan Banjir Q10 pada Penutupan


Lahan 2030
Q10 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q10 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.5 3.6 1.6 7.8 598.9 34.0 3.5 32.9 7.1 66.8 145.6 902.2

1-2m 0.4 2.6 0.8 4.2 256.2 19.1 1.8 19.1 5.3 37.4 61.6 408.6

2-3m 0.5 2.9 0.6 2.6 141.3 13.5 1.1 13.8 4.4 32.5 37.8 251.0

3-4m 0.6 2.6 0.4 2.3 69.9 9.6 0.9 9.6 3.6 26.2 23.8 149.4

>4m 0.7 32.7 1.3 5.0 63.8 17.6 2.4 13.0 3.6 56.4 49.5 245.8

Total 2.8 44.3 4.7 21.9 1130.1 93.7 9.6 88.4 23.9 219.4 318.2 1956.9
265

Gambar 5. 92 Area terdampak genangan Banjir Q10 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2030

c. Debit periode ulang 50 tahun

Gambar 5. 93 Hasil simulasi genangan banjir periode ulang 50 tahun

Tabel 5. 60 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2022
Q50 2030 Penutupan Lahan 2022 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 1.7 2.0 6.1 10.6 681.7 31.5 6.0 50.1 19.6 90.0 237.7 1137.0

1-2m 1.3 2.2 3.0 5.9 303.5 16.5 3.0 28.0 15.2 48.5 96.5 523.5

2-3m 1.2 3.3 2.7 3.4 167.6 11.4 1.6 21.3 12.0 38.8 57.3 320.7
266

3-4m 1.2 3.5 1.9 2.2 82.3 7.4 1.6 15.1 9.8 29.1 37.1 191.1

>4m 1.9 60.2 2.3 4.9 83.8 14.9 3.4 23.0 11.6 68.0 78.2 352.1

Total 7.2 71.2 16.0 27.0 1318.8 81.7 15.7 137.4 68.2 274.3 506.8 2524.3

Gambar 5. 94 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2022

Tabel 5. 61 Area terdampak genangan Banjir Q50 pada Penutupan Lahan 2030
Q50 2030 Penutupan Lahan 2030 yang tergenang Banjir Q50 Manning 2030 (Ha)

Kedalaman Dn Sg Lt Pk Pc Bp Sb Tk Tb Ta No Data Total

0-1m 0.8 1.3 2.9 9.6 717.8 40.8 4.5 38.2 7.3 75.9 237.7 1137.0

1-2m 0.4 1.5 1.4 5.4 320.3 22.4 2.7 21.4 7.6 43.9 96.5 523.5

2-3m 0.5 2.2 1.0 3.5 179.8 16.2 1.4 16.5 6.5 35.9 57.3 320.7

3-4m 0.6 2.6 0.6 2.7 90.5 11.3 1.1 11.8 4.6 28.2 37.1 191.1

>4m 0.8 40.4 1.4 6.3 95.7 20.6 2.7 17.0 4.3 84.8 78.2 352.1

Total 3.1 48.0 7.3 27.5 1404.0 111.3 12.3 104.9 30.3 268.8 506.8 2524.3
267

Gambar 5. 95 Area terdampak genangan Banjir Q50 Manning 2030 pada


Penutupan Lahan 2030

5.4.4 Analisis dengan hasil data HEC-RAS


1 Kaitkan Gambar 12 dengan hasil pemetaan HECRAS

Gambar 4.3 Kepadatan bangunan Kota Bekasi


268

Pada peta densitas bangunan Kota Bekasi, kelas densitas bangunan


dikategorikan menjadi 5 bagian diantaranya; Tidak Padat, Kurang Padat, Cukup
Padat, Padat, dan Sangat Padat. Dari hasil HEC RAS yang sudah dilakukan bahwa
penutupan lahan (Pc) Bangunan permukiman/campuran mempunyai nilai total
kedalaman banjir yang paling besar diantara penutupan lain disetiap ulangan
tahun, penggunaan lahan dan debit air.
Didapatkan hasil pada LU 2022 QU 2022 pada ulangan tahun ke 5 nilai
yang didapatkan sebesar 938.4m, pada ulangan tahun ke 10 nilai yang didapatkan
sebesar 1058.5m, pada ulangan tahun ke 50 nilai yang didapatkan sebesar
1336.1m. Selanjutnya pada LU 2022 QU 2030 pada ulangan tahun ke 5 nilai yang
didapatkan sebesar 937.3m, pada ulangan tahun ke 10 nilai yang didapatkan
sebesar 1061m, pada ulangan tahun ke 50 nilai yang didapatkan sebesar 1318.8m.
Lalu pada LU 20230 QU 2022 pada ulangan tahun 5 nilai yang didapatkan
sebesar 999.2m, pada ulangan tahun 10 nilai yang didapatkan sebesar 1128.8m,
pada ulangan tahun 50 nilai yang didapatkan sebesar 1421.2m. Sedangkan pada
pada LU 2030 QU 2022 pada ulangan tahun 5 nilai yang didapatkan sebesar
996.9m, pada ulangan tahun ke 10 nilai yang didapatkan sebesar 1130.1m, pada
ulangan tahun ke 50 nilai yang didapatkan sebesar 1404m.

2. Kaitkan Gambar 13 dengan hasil pemetaan HECRAS

Gambar 4.4 Jumlah penduduk menurut Kecamatan (ribu) Tahun


2020

Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu faktor pemicu


peningkatan kejadian bencana. Hal ini terjadi karena laju pertumbuhan penduduk
yang tinggi di lahan perkotaan yang memiliki wilayah yang terbatas mendorong
penduduk menetap pada kawasan yang terindikasi rawan bencana dan terlebih lagi
terjadinya alih fungsi lah fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Pada gambar 13 Jumlah penduduk menurut kecamatan ribu pada tahun 2022
diperlihatkan persentase jumlah penduduk pada setiap kecamatan di mulai pada
269

kecamatan Bantargebang hingga kecamatan Bekasi Utara yang memiliki jumlah


penduduk dengan persentse tertinggi dibandingkan dengan kecamatan yang lain.
Berkurangnya kawasan penyerap air ini mempengaruhi limpasan dan debit air
yang masuk ke wilayah Kota Bekasi, terutama saat musim penghujan telah
datang.
Pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya telah diakui secara luas
meningkatkan kerentanan terhadap bencana (Rogelio dan Sanahuj, 2012).
Konsentrasi penduduk dan asset, juga kerentanan sosial ekonomi dan spasial yang
juga melekat pada penduduk memiliki peran besar dalam risiko terjadinya
bencana (Gencer, 2013). Lebih jauh, Gencer menyebutkan bahwa urbanisasi dan
pertumbuhan penduduk yang tinggi di kota menyebabkan konsentrasi penduduk
pada kawasan rawan bencana ataupun pada kawasan yang memiliki risiko
bencana di perkotaan, baik di kota besar maupun kecil. Kota-kota lebih
digambarkan sebagai hotspot risiko bencana (Pelling, 2007). Pelling juga
menyebutkan bahwa risiko bencana berasal dari meningkatnya kemiskinan,
ketidaksetaraan, dan kegagalan dalam tata kelola, kepadatan penduduk yang
tinggi, kondisi kehidupan yang padat, dan penentuan area permukiman yang dekat
dengan industri berbahaya atau di tempat-tempat yang terkena bahaya alam.
Wilayah perkotaan lebih sering terpapar bencana alam, khususnya banjir (Gencer,
2013). Kota Bekasi merupakan wilayah yang sering terpapar dengan bencana
banjir, jika dilihat dari peresentase jumlah penduduk tahun 2020, Kecamatan
Bekasi Utara mempunyai persentasi yang tinggi dibandingkan dengan Kecamatan
Kota Bekasi yang lainya dengan nilai 337 ribu penduduk.

3. Kaitkan Gambar 14 dengan hasil pemetaan HECRASrisiko

Gambar 4.5 Kepadatan penduduk per km menurut kecamatan Tahun 2020


2

Dari data yang disajikan bahwa Bekasi Barat merupakan wilayah


kecamatan yang dengan jumlah kepadatan penduduk tertinggi yang berjumlah
18.867 jiwa km2 dibandingkan dengan wilayah kecamatan yang lain. Kepadatan
yang tinggi sangat erat hubungannya dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap
sebuah bencana. Kerentanan terhadap bencana juga sangat erat kaitannya dengan
270

keadaan ekonomi yang sulit (kemiskinan) pada daerah kota. Kerentanan tertinggi
terhadap sebuah bencana dialami pada permukiman padat dengan penduduk yang
sebagian besarnya merupakan penduduk golongan miskin, misalnya saja
permukiman padat di pinggiran sungai atau daerah pesisir (UN-Habitat, 2003).

4. Kaitkan Gambar 18 dengan hasil pemetaan HECRAS

Gambar 4.9 Peta jaringan jalan Kota Bekasi


Jaringan jalan memiliki fungsi untuk melihat kondisi dan fenomena pergerakan
lalulintas dengan skala yang besar. Jaringan jalan yang ada di wilayah Kota
Bekasi menjadi salah satu wilayah yang memberikan kontribusi yang tinggi
dalam arus perjalanan ke dan dari Jakarta, selain itu juga jaringan jalan menjadi
faktor pendukung dalam melakukan aktivitas, mobilitas, evakuasi bencana
manusia, namun jika jaringan jalan ini rusak dapat menghambat proses
mobilitas dan kegiatan aktivitas yang ada. Salah satu fungsi jaringan jalan
sebagai proses mitigasi bencana. Ketika bencana melanda, semua orang yang
berada terdampak akan melakukan pergerakan serempak dalam kepanikan yang
tinggi, sehingga jaringan jalan seringkali tidak mampu untuk memberikan
pelayanan yang maksimal, pada kondisi inilah yang biasanya menimbulkan
adanya korban jiwa. Dari hasil pemetaan HEC RAS yang telah didapatkan
bahwa banyak penutupan lahan yang dilanda banjir dengan kedalaman yang
bervariasi, sehingga disimpulkan bahwa akses jaringan jalan juga tertutup
dikarenakan bencana banjir yang melanda, dampak yang diberikan bencana
banjir ini menyebabkan kualitas jaringan jalan menurun karena terjadinya
271

kerusakan pada jaringan jalan Kota Bekasi. Jaringan jalan sangat dibtuhkan
untuk mengoptimalkan peran rute evakuasi dalam melayani pengungsi jika
terjadinya bencana alam.

5. Kaitkan Gambar 20 dengan hasil pemetaan HRCRAS


272

Gambar 4.11 Peta saluran drainase Kota Bekasi


Genangan banjir yang terjadi pada umumnya dikarenakan oleh faktor
penutupan lahan, intensitas hujan, fisografi dan sistem jaringan drainase yang
buruk. Kelebihan air pada suatu permukaan jika tidak dapat dialirkan dengan baik
akan menyebabkan genangan. Dalam kegiatan perencanaan saluran drainase harus
dapat memperhatikan tata guna lahan daerah tangkapan air untuk saluran air
drainase yang bertujuan untukmenjaga ruas air sehingga air pada permukaan dapat
terkontrol dengan baik. Hasil pada pemetaan HEC RAS didapatkan bahwa
disetiap penutupan lahan yang ada pada wilayah Kota Bekasi mempunyai
kedalaman yang beragam antara 0 - >4m diatas permukaan tanah, hal ini dapat
menyebakan fungsi dari saluran drainase berfungsi tidak optimal. Permasalahan
drainase dan beberapa gangguan sistem drainase antaralain; dikarenakan
terjadinya peningkatan debit air, hal ini dapat terjadi karena perubahan dari tata
guna lahan yang selalu terjadi khususnya di wilayah perkotaan, dinamika
perkotaan yang selalu berkembang menyebabkan peningkatan aliran permukaan
dan debit banjir. Hal ini diketahui karena besar kecilnya aliran permukaan itu
sangat ditentukan dengan penggunaan lahan, dapat dilihat pada penutupan lahan
yang ada di wilayah Kota Bekasi banyak sekali penggunaan lahan yang berbeda-
beda dan terjadinya peningkatan aliran ini dikarenakan berkurangnya daerah
resapan air, dan hal ini mengakibatkan prasarana drainase yang ada menjadi tidak
mampu untuk menampung debit yang meningkat tersebut. Selanjutnya adanya
peningkatan jumlah penduduk di wilayah perkotaan mengakibatkan berkurangnya
lahan untuk saluran drainase, banyaknya pemukiman yang didirikan diatas saluran
drainase membuat saluran drainase menjadi tersumbat dan sampah penduduk yang
tidak sadar dengan kebersihan lingkungan menjadikan fungsi dari saluran drainase
tidak bekerja secara optimal, sehingga terjadinya bencana banjir.
6. Kaitkan pembangunan infrastruktur yang meningkat dengan fragmentasi
dan konsekuensi ekologis
Bencana alam dapat terjadi kapan saja, salah satunya bencana banjir yang
dapat terjadi, faktor terjadinya bencana banjir pada wilayah Kota Bekasi, salah
satunya akibat pembangunan infrastruktur yang menyepelekan aspek lingkungan.
Intensitas hujan yang tinggi dalam periode 1 hingga 2 jam dapat menimbulkan
genangan. Genangan ini terjadi pada beberapa jalan raya Kota Bekasi. Bahkan,
pada beberapa titik banjir, para pengendara tidak bisa melewati jalan karenan
genangan banjir yang cukup tinggi, sehingga banyak pengendara roda 2 harus
berhati-hati ketika melewatinya. Sejumlah titik banjir yang ada di Kota Bekasi
terjadi di beberapa penutupan lahan seperti (Dn) Danau/telaga alami, (Sg) Sungai,
(Lt) Lahan terbuka diusahakan, (Pk) Permukaan diperkeras bukan gedung, (Pc)
Bangunan permukiman/campuran, (Bp) Bangunan bukan-permukiman, (Sb)
Semak dan belukar, (Tk) Tanaman semusim lahan kering, (Tb) Tanaman semusim
lahan basah (sawah), (Ta) Tanaman berasosiasi dengan bangunan. Pada wilayah
Kota Bekasi sendiri kedalaman banjir terjadi bekisar 0 - >4 m. Dengan adanya
pembangunan dan dinamika perkotaan menyebabkan adanya perubahan dari
273

kondisi lingkungan. Menurut Rosidie (2013) menyatakan bahwa kondisi


lingkungan dapat mengalami perubahan secara cepat atau lambat dengan
dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab dan banyaknya dampak yang akan
ditimbulkan. Perubahan juga terjadi pada segi kualitas lingkungan, perubahan ini
dapat terjadi karena adanya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa
bumi dll (Manik, 2018)

5.5 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Lillesand, T.M., dan kiefer, R.W., 1997, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
SNI 7645-1:2014 tentang Klasifikasi penutupan lahan – Bagian 1: Skala kecil dan
menengah
Tasha, K. (2012). Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Dengan Pendekatan
Artificial Neural Network (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau).
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Parasdyo, M.M., Susilo, B., 2016. Komparasi Akurasi Model Cellular Automata
Untuk Simulasi Perkembangan Lahan Terbangun Dari Berbagai Variasi
Matriks Probabilitas Transisi Kasus: Bagian Timur Kota Yogyakarta.
Al-sharif, A.A.A., & Pradhan, B., 2013. Monitoring and predicting land use
change in Tripoli Metropolitan City using an integrated Markov chain and
cellular automata models in GIS. Arabian Journal of Geosciences. DOI:
10.1007/s12517-0131119-7
Nouri, J., Gharagozlou, A., Arjmandi, Reza. Faryadi, Shahrzad. Adl, Mahsa.
2014. Predicting Urban Land Use Changes Using a CA–Markov Model. Arab J
Sci Eng. DOI 10.1007/s13369-014-1119-2
274

Susilo, B., 2011. Pemodelan Spasial Probabilistik Integrasi Markov Chain Dan
Cellular Automata Untuk Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Skala Regional
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Mohammadi et al (2013).
Xu, T., Gao, J., Coco, G., 2019. Simulation of urban expansion via integrating
artificial neural network with Markov chain – cellular automata. International
Journal of Geographical Information Science. DOI:
10.1080/13658816.2019.1600701
Mustafa, A., Vam Rompaey, A., Cools, M., Saadi, I., & Teller, J. 2018.
Addressing the determinants of built-up expansion and densification processes
at the regional scale. Urban studies, 55(15), 3279-3298.
DOI:10.1177/0042098017749176.
Tajbakhsh, S.M. Memarian, H. Moradim K. Afshar, A.H. Aghakhani. 2018.
Performance comparison of land change modeling technique for land use
projection of arid watersheds. Global J. Environ. Sci. Manage.,4(3): 263-280,
Summer 2018. DOI: 10.22034/gjesm.2018.03.002
Ridwan, F. Ardiansyah, M., Gandasasmita, K., 2017. Pemodelan Perubahan
Penutup/Penggunaan Lahan Dengan Pendekatan Artificial Neural Network dan
Losgitic Regression (Studi Kasus: DAS Citarum, Jawa Barat).
Baja, S., 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah:
Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Andi Yogyakarta, Yogyakarta.
Deng, J.S., K. Wang, Y. Hong, and J.G. Qi., 2009. Spatio temporal dynamics and
evolution of land use change and landscape pattern in response to rapid
urbanization. Landscape and Urban Planning. 92, 187-198.
Trisasongko et al, 2009 Trisasongko, B.H., D.R. Panuju, L.S. Iman, Harimurti,
A.F. Ramly, V. Anjani, dan H. Subroto., 2009. Analisis Dinamika Konversi
Lahan di Sekitar Jalur Tol Cikampek. Publikasi Teknis DATIN. Kementrian
Negara Lingkungan Hidup, Jakarta
Jensen, J. R., 1996. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing
Prespective. 2nd Edition. New Jersey (US): Prenctice Hall.
Suhartono, D. (2012). Konsep Neural Network. Jakarta: Universitas Bina
Nusantara.
Kubangun, S.H., Oteng, H., dan Komarsa, G., 2016. Model Perubahan
Penutupan/Penggunaan Lahan Untuk Identifikasi Lahan Kritis di Kabupaten
Bogor, Kabupaten Cianjur, Dan Kabupaten Sukabumi. Majalah Ilmiah Globë,
18 (1), 21-32.
Dendoncker, N., Rounsevell, M., & Bogaert, P. (2007). Spatial Analysis and
Modelling of Land Use Distributions in Belgium. Computers, Environment
and Urban Systems, 31(2), 188-205. DOI:
10.1016/j.compenvurbsys.2006.06.004
275

Sadewo, M. N., & Buchori, I. (2018). Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan


Akibat Pembangunan Kawasan Industri Berbasis Celluler Automata. Majalah
Geografi Indonesia, 32(2), 142-154.
NextGIS, 2013 November 4. MOLUSCE – quick and convenient analysis of land
cover changes. NextGIS, https://nextgis.com/blog/molusce/
Bhisma M. 1997. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi. UGM Press,
Yogyakarta.
Lilin Zou, Jianying Wang, Mengdi Bai (2022) Assessing spatial–temporal
heterogeneity of China’s landscape fragmentation in 1980–2020.
Ecological Indicators,Volume136,
https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2022.108654.
Wu, J., & Hobbs, R. (2007). Landscape ecology: The state-of-the-science. In J.
Wu & R. Hobbs (Eds.), Key Topics in Landscape Ecology (Cambridge Studies in
Landscape Ecology, pp. 271-287). Cambridge: Cambridge University Press.
doi:10.1017/CBO9780511618581.016

[BSNI] Badan Standarisasi Nasional Indonesia. (2016). Tata Cara Perhitungan


Debit Banjir Rencana. Jakarta (ID): BSNI.
Kamiana, I. made. (2011). Teknik perhitungan debit rencana bangunan air
(Pertama). Graha Ilmu.
Sarino, Gina Putri Verrina., & Dinar Dwi Anugrah. 2013. Analisa Run off Sub
DAS Lematang Hulu, Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan. Vol. 1 No.1. Hal
22-31. ISSN: 2355-374X.
Shaw, E. M. (1994). Hydrology in Practice. London (UK): Taylor & Francis.
Soewarno. (1995). Hidrologi: Aplikasi Metode Statistik untuk Analisis Data (Vol.
I). Bandung (ID): NOVA.
Soewarno. (1995). Hidrologi: Aplikasi Metode Statistik untuk Analisis Data (Vol.
II). Bandung (ID): NOVA.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Yogyakarta (ID):
ANDI.
USACE-HEC. (2000). Hydrologic Modeling System HEC-HMS: Technical
Release Manual. Davis, California: US Army Corps of Engineers
USDA-SCS. (1986). Urban Hydrology for Small Watersheds. Technical Release-
55.
276
277

LAMPIRAN

Lampiran 1 Akurasi Penutupan Lahan 2014

Lampiran 2 Akurasi Penutupan Lahan 2018


278
279

Lampiran 3 Akurasi Penutupan Lahan 2022

Lampiran 4 Uji korelasi faktor pendorong perubahan penutupan lahan dengan Pearson’s
Correlation
280

Lampiran 5 Area change dan Transition Matrix (CA-ANN 7f ite1-3)


281

Lampiran 6 Transition Potential Modelling (CA-ANN 7f ite1-3)


282

Lampiran 7 Area change dan Transition Matrix (CA-ANN 7f ite4-12)


283

Lampiran 8 Transition Potential Modelling (CA-ANN 7f ite1-3)


284

Lampiran 9 Transition Potential Modelling (CA-ANN 10f ite1-3)


285

Lampiran 10 Transition Potential Modelling (CA-ANN 10f ite1-3)

Lampiran 11 Area change dan Transition Matrix (CA-ANN 7af ite1-3)


286

Lampiran 12 Transition Potential Modelling (CA-ANN 7af ite1-3)


287

LAMPIRAN

Lampiran 1 Perhitungan Data Curah Hujan dengan Distribusi Normal

Rmax Ri
No Tahun Ri - Rt (Ri - Rt)2
(mm) (mm)
1 2011 85,00 175,25 55,51 3081,45
2 2012 108,63 144,85 25,11 630,35
3 2013 117,91 138,00 18,26 333,61
4 2014 138,00 136,25 16,51 272,61
5 2015 136,25 117,91 -1,83 3,36
6 2016 94,13 113,13 -6,61 43,75
7 2017 144,85 109,25 -10,49 110,02
8 2018 113,13 108,63 -11,11 123,53
9 2019 94,75 94,75 -24,99 624,46
10 2020 175,25 94,13 -25,61 656,09
11 2021 109,25 85,00 -34,74 1206,81
Jumlah ∑ 1317,13 0,00 7086,02
Banyak Data n 11
Rata-rata Rt 119,74
Standar Deviasi SR 26,61958

Periode Curah
Probabilita
Ulang KTr Hujan
s
(Tahun) (mm/hari)
0,00
50 2 119,74
0
0,84
20 5 142,15
2
1,28
10 10 153,87
2
1,64
6 20 163,53
5
1,72
4 25 165,62
4
2,02
2 50 173,54
1
2,32
1 100 181,66
6
2,57
0,5 200 188,31
6
3,71
0,1 1000 218,74
9
288

Lampiran 2 Perhitungan Data Curah Hujan dengan Distribusi Gumbel

Rmax Ri
No Tahun Ri - Rt (Ri - Rt)2
(mm) (mm)
1 2011 85,00 175,25 55,51 3081,45
108,6
2 2012 144,85 25,11 630,35
3
117,9
3 2013 138,00 18,26 333,61
1
138,0
4 2014 136,25 16,51 272,61
0
136,2
5 2015 117,91 -1,83 3,36
5
6 2016 94,13 113,13 -6,61 43,75
144,8
7 2017 109,25 -10,49 110,02
5
113,1
8 2018 108,63 -11,11 123,53
3
9 2019 94,75 94,75 -24,99 624,46
175,2
10 2020 94,13 -25,61 656,09
5
109,2
11 2021 85,00 -34,74 1206,81
5
Jumlah ∑ 1317,13 0,00 7086,02
Banyak Data n 11
Rata-rata Rt 119,74
Standar Deviasi SR 26,61958

Periode Curah
Probabilita
Ulang YTr KTr Hujan
s
(Tahun) (mm/hari)
0,36 -
50 2 116,08
7 0,138
1,50
20 5 1,034 147,26
0
2,25
10 10 1,809 167,90
0
2,97
6 20 2,553 187,71
0
3,19
4 25 2,789 193,99
9
3,90
2 50 3,516 213,34
2
4,60
1 100 4,238 232,55
0
0,5 200 5,29 4,957 251,69
289

6
6,90
0,1 1000 6,622 296,02
7
290

Lampiran 3 Perhitungan Data Curah Hujan dengan Distribusi Log-Normal


Log (Ri -
No Tahun Rmax Ri Log Ri
Rt)
(mm) (mm)
1 2011 85,00 175,25
2,24 0,17 Log (Ri -
0,03
Rt)2
2 2012 108,63 144,85
2,16 0,09 0,01
3 2013 117,91 138,00
2,14 0,07 0,01
4 2014 138,00 136,25
2,13 0,07 0,00
5 2015 136,25 117,91
2,07 0,00 0,00
6 2016 94,13 113,13
2,05 -0,02 0,00
7 2017 144,85 109,25
2,04 -0,03 0,00
8 2018 113,13 108,63
2,04 -0,03 0,00
9 2019 94,75 94,75
1,98 -0,09 0,01
10 2020 175,25 94,13
1,97 -0,10 0,01
11 2021 109,25 85,00
1,93 -0,14 0,02
Jumlah ∑ 1317,13 22,76
0,00 0,09
Banyak
n 11
Data
Rata-
Rt 119,74 2,07
rata
Standar Deviasi SR 0,093609 S Log R 0,09360863

Periode Curah
Probabilita Log
Ulang KTr Hujan
s RTr
(Tahun) (mm/hari)
0,00
50 2 2,069 117,19
0
0,84
20 5 2,148 140,51
2
1,28
10 10 2,189 154,49
2
1,64
6 20 2,223 167,07
5
1,72
4 25 2,230 169,93
4
2,02
2 50 2,258 181,17
1
2,32
1 100 2,287 193,48
6
2,57
0,5 200 2,310 204,19
6
3,71
0,1 1000 2,417 261,24
9
291

Lampiran 4 Perhitungan Data Curah Hujan dengan Distribusi Log-Pearson tipe III
Rmax Ri Log Log Log
No Tahun Log Ri
(mm) (mm) (Ri - Rt) (Ri - Rt)2 (Ri - Rt)3
1 2011 85,00 175,25 2,24 0,1748 0,0305 0,0053
2 2012 108,63 144,85 2,16 0,0920 0,0085 0,0008
3 2013 117,91 138,00 2,14 0,0710 0,0050 0,0004
4 2014 138,00 136,25 2,13 0,0654 0,0043 0,0003
5 2015 136,25 117,91 2,07 0,0026 0,0000 0,0000
6 2016 94,13 113,13 2,05 -0,0153 0,0002 0,0000
7 2017 144,85 109,25 2,04 -0,0305 0,0009 0,0000
8 2018 113,13 108,63 2,04 -0,0330 0,0011 0,0000
9 2019 94,75 94,75 1,98 -0,0923 0,0085 -0,0008
10 2020 175,25 94,13 1,97 -0,0952 0,0091 -0,0009
11 2021 109,25 85,00 1,93 -0,1395 0,0195 -0,0027
Jumlah ∑ 1317,13 22,76 0,0000 0,0876 0,0023
Banyak Data n 11
Rata-rata Rt 119,74 2,07
Standar 0,0936086
SR 0,093609 S Log R
Deviasi 3
Koef. Asimetri Cs 0,34601

Periode
Curah Hujan
Probabilitas Ulang KTr Log RTr
(mm/hari)
(Tahun)
50 2 -0,057 2,064 115,75
20 5 0,820 2,146 139,86
10 10 1,313 2,192 155,52
6 20 1,680 2,226 168,32
4 25 1,863 2,243 175,11
2 50 2,234 2,278 189,68
292

1 100 2,577 2,310 204,22


0,5 200 2,899 2,340 218,90
0,1 1000 3,592 2,405 254,17
293

Lampiran 5 Uji Chi-Square Distribusi Normal


Kelas P Tr KTr RTR Nilai Batas Tiap Kelas Ei Oi ((Ei-Oi)2)/Ei

1 0,2 5,00 0,842 142,153 > 142,153 2, 2 0,02


2

2 0,4 2,50 0,253 126,474 126,474 - 142,153 2, 2 0,02


2

3 0,6 1,67 -0,253 113,004 113,004 - 126,474 2, 2 0,02


2

4 0,8 1,25 -0,842 97,325 97,325 - 113,004 2, 2 0,02


2

5 1 1,00 0 < 97,325 2, 3 0,29


2

Jumlah 11 11 0,36

Chi Hitung 0,36

Chi Kritis 5,99

Mewakili

Lampiran 7 Uji Chi-Square Distribusi Gumbel


Kelas P Tr YTR KTR RTR Nilai Batas Tiap Kelas Ei Oi ((Ei-Oi)2)/Ei

159,66
1 0,2 5,00 1,49994 1,033836 > 159,667 2,2 1 0,65
7

0,67172 137,62
2 0,4 2,50 0,177891 137,620 - 159,667 2,2 2 0,02
7 0

0,08742 122,06
3 0,6 1,67 -0,42598 122,066 - 137,620 2,2 1 0,65
2 6

107,07
4 0,8 1,25 -0,47588 -1,00815 107,071 - 122,066 2,2 4 1,47
1

5 1 1,00 0 < 107,071 2,2 3 0,29

Jumlah 11 11 3,09

Chi Hitung 3,09

Chi Kritis 5,99

Mewakili
294

Lampiran 7 Uji Chi-Square Distribusi Log-Normal


Kela P Tr KTr RTR Nilai Batas Tiap Kelas Ei Oi ((Ei-Oi)2)/Ei
s

1 0,2 5,00 0,842 140,51 > 140,515 2,2 2 0,02


5

2 0,4 2,50 0,253 123,76 123,762 - 140,515 2,2 2 0,02


2

3 0,6 1,67 -0,253 110,97 110,974 - 123,762 2,2 2 0,02


4

4 0,8 1,25 -0,842 97,743 97,743 - 110,974 2,2 2 0,02

5 1 1,00 0 < 97,743 2,2 3 0,29

Jumlah 11 11 0,36

Chi Hitung 0,36

Chi Kritis 5,99

Mewakili

Lampiran 9 Uji Chi-Square Distribusi Log-Pearson tipe III


Kela
P Tr KTr RTR Nilai Batas Tiap Kelas Ei Oi ((Ei-Oi)2)/Ei
s

140,15
1 0,2 5,00 0,830 > 140,150 2,2 2 0,02
0

119,46
2 0,4 2,50 0,089 119,460 - 140,150 2,2 2 0,02
0

107,10
3 0,6 1,67 -0,417 107,109 - 119,460 2,2 4 1,47
9

4 0,8 1,25 -0,865 97,258 97,258 - 107,109 2,2 0 2,20

5 1 1,00 0 < 97,258 2,2 3 0,29

Jumlah 11 11 4,00

Chi Hitung 4,00

Chi Kritis 5,99

Mewakili
295

Lampiran 9 Uji Smirnov-Kolmogorov Distribusi Normal dan Gumbel


No Tahun Rmax Ri P f (t) P' ΔP
1 2011 85,00 175,25 0,0833 2,0853 0,0164 0,0669
108,6
2 2012 144,85 0,1667 0,9432 0,1607 0,0060
3
117,9
3 2013 138,00 0,2500 0,6861 0,2309 0,0191
1
138,0
4 2014 136,25 0,3333 0,6203 0,2515 0,0819
0
136,2
5 2015 117,91 0,4167 -0,0689 0,5472 0,1306
5
6 2016 94,13 113,13 0,5000 -0,2485 0,6177 0,1177
144,8
7 2017 109,25 0,5833 -0,3940 0,6734 0,0901
5
113,1
8 2018 108,63 0,6667 -0,4175 0,6798 0,0131
3
9 2019 94,75 94,75 0,7500 -0,9388 0,8383 0,0883
175,2
10 2020 94,13 0,8333 -0,9622 0,8440 0,0106
5
109,2
11 2021 85,00 0,9167 -1,3050 0,9123 0,0044
5
Jumlah 1317,131
Rata-rata 119,7392 D hitung 0,13
Standar Deviasi 26,61958 D kritis 0,396
Jumlah Data 11 Mewakili

Lampiran 10 Uji Smirnov-Kolmogorov Distribusi Log-Normal dan Log-Pearson tipe III


No Tahun Rmax Ri Log Ri P f (t) P' ΔP
1 2011 85,00 175,25 2,24 0,0833 1,8669 0,0235 0,0598
108,6
2 2012 144,85 2,16 0,1667 0,9828 0,1511 0,0156
3
3 2013 117,9 138,00 2,14 0,2500 0,7583 0,2097 0,0403
296

1
138,0
4 2014 136,25 2,13 0,3333 0,6990 0,2269 0,1064
0
136,2
5 2015 117,91 2,07 0,4167 0,0281 0,4689 0,0523
5
6 2016 94,13 113,13 2,05 0,5000 -0,1639 0,5846 0,0846
144,8
7 2017 109,25 2,04 0,5833 -0,3256 0,7088 0,1255
5
113,1
8 2018 108,63 2,04 0,6667 -0,3523 0,6566 0,0101
3
9 2019 94,75 94,75 1,98 0,7500 -0,9863 0,8498 0,0998
175,2
10 2020 94,13 1,97 0,8333 -1,0170 0,8568 0,0235
5
109,2
11 2021 85,00 1,93 0,9167 -1,4901 0,9381 0,0215
5
Jumlah 1317,131
Rata-rata 119,7392 2,07 D hitung 0,13
S Log
Standar Deviasi 26,61958 0,093609 D kritis 0,396
R
Jumlah Data 11 Mewakili
297

Lampiran 11 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Sunter


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.6 0.8
3 1.4 1.7 1.9 2.1 2.1 2.3 2.5 2.7 3.8
4 3.4 4.2 4.8 5.3 5.4 5.9 6.5 7.0 10.1
5 6.4 8.2 9.3 10.4 10.6 11.6 12.8 13.9 20.0
6 10.6 13.5 15.5 17.3 17.7 19.5 21.5 23.2 33.6
7 15.6 20.1 23.1 25.9 26.5 29.2 32.1 34.8 50.3
8 20.9 27.2 31.3 35.1 36.0 39.7 43.8 47.4 68.4
9 26.0 34.0 39.2 44.1 45.2 49.8 54.9 59.5 85.8
10 30.3 39.8 45.9 51.6 53.0 58.4 64.4 69.9 100.6
11 33.2 43.7 50.5 56.9 58.4 64.4 71.1 77.1 110.8
12 34.5 45.6 52.7 59.4 61.0 67.2 74.2 80.5 115.6
13 34.5 45.6 52.8 59.5 61.1 67.3 74.3 80.5 115.5
14 33.4 44.2 51.1 57.6 59.2 65.2 72.0 78.0 111.8
15 31.5 41.7 48.3 54.4 55.8 61.5 67.9 73.6 105.4
16 29.2 38.7 44.8 50.4 51.7 57.0 62.9 68.2 97.6
17 26.9 35.6 41.1 46.4 47.6 52.4 57.9 62.7 89.8
18 24.7 32.7 37.8 42.6 43.7 48.2 53.2 57.6 82.5
19 22.7 30.0 34.7 39.1 40.2 44.3 48.8 52.9 75.8
20 20.8 27.6 31.9 36.0 36.9 40.7 44.9 48.6 69.6
21 19.1 25.3 29.3 33.0 33.9 37.4 41.2 44.7 64.0
22 17.6 23.3 26.9 30.4 31.2 34.3 37.9 41.1 58.8
23 16.2 21.4 24.8 27.9 28.6 31.5 34.8 37.7 54.0
24 14.9 19.7 22.8 25.6 26.3 29.0 32.0 34.7 49.6
25 13.6 18.1 20.9 23.6 24.2 26.6 29.4 31.9 45.6
298

Lampiran 12 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Buaran


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.8 1.0 1.2 1.3 1.3 1.5 1.6 1.7 2.5
3 3.4 4.4 5.0 5.5 5.7 6.2 6.8 7.4 10.6
4 6.6 8.6 9.9 11.1 11.3 12.5 13.7 14.8 21.2
5 9.1 11.9 13.7 15.4 15.7 17.3 19.0 20.6 29.2
6 10.7 14.0 16.1 18.0 18.5 20.2 22.2 24.0 33.8
7 11.5 15.1 17.3 19.4 19.8 21.7 23.8 25.7 35.8
8 11.4 14.8 17.0 19.0 19.4 21.2 23.2 25.0 34.6
9 9.8 12.7 14.5 16.2 16.6 18.1 19.8 21.3 29.5
10 7.5 9.8 11.2 12.5 12.8 14.0 15.3 16.5 22.7
11 5.7 7.4 8.4 9.4 9.6 10.5 11.5 12.4 17.1
12 4.3 5.5 6.3 7.1 7.2 7.9 8.6 9.3 12.8
13 3.2 4.2 4.8 5.3 5.4 5.9 6.5 7.0 9.6
14 2.4 3.1 3.6 4.0 4.1 4.5 4.9 5.3 7.3
15 1.8 2.4 2.7 3.0 3.1 3.4 3.7 3.9 5.5
16 1.4 1.8 2.0 2.3 2.3 2.5 2.8 3.0 4.1
17 1.0 1.3 1.5 1.7 1.7 1.9 2.1 2.2 3.1
18 0.8 1.0 1.1 1.3 1.3 1.4 1.6 1.7 2.3
19 0.6 0.8 0.9 1.0 1.0 1.1 1.2 1.3 1.7
20 0.4 0.6 0.6 0.7 0.7 0.8 0.9 0.9 1.3
21 0.3 0.4 0.5 0.5 0.6 0.6 0.7 0.7 1.0
22 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.7
23 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.4
24 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3
25 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
299

Lampiran 13 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Jatikramat


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.6 0.8
3 1.3 1.6 1.8 2.0 2.0 2.2 2.4 2.6 3.7
4 3.1 3.9 4.5 5.0 5.1 5.6 6.2 6.7 9.6
5 5.6 7.3 8.3 9.3 9.6 10.5 11.6 12.5 17.9
6 8.5 11.0 12.6 14.2 14.5 16.0 17.6 19.0 27.2
7 11.0 14.4 16.6 18.6 19.1 21.0 23.1 25.0 35.5
8 12.8 16.8 19.3 21.7 22.3 24.4 26.9 29.1 41.2
9 13.6 17.9 20.6 23.1 23.7 26.0 28.6 30.9 43.5
10 13.5 17.7 20.3 22.8 23.4 25.6 28.2 30.4 42.7
11 12.5 16.4 18.8 21.1 21.6 23.7 26.0 28.1 39.4
12 11.0 14.5 16.6 18.6 19.1 20.9 23.0 24.8 34.7
13 9.5 12.5 14.3 16.0 16.4 18.0 19.8 21.3 29.9
14 8.2 10.7 12.3 13.8 14.1 15.5 17.0 18.3 25.7
15 7.0 9.2 10.6 11.8 12.1 13.3 14.6 15.8 22.1
16 6.0 7.9 9.1 10.2 10.4 11.4 12.5 13.5 19.0
17 5.2 6.8 7.8 8.7 9.0 9.8 10.8 11.6 16.3
18 4.4 5.8 6.7 7.5 7.7 8.4 9.3 10.0 14.0
19 3.8 5.0 5.8 6.5 6.6 7.2 8.0 8.6 12.0
20 3.3 4.3 4.9 5.5 5.7 6.2 6.8 7.4 10.3
21 2.8 3.7 4.3 4.8 4.9 5.4 5.9 6.3 8.9
22 2.4 3.2 3.7 4.1 4.2 4.6 5.0 5.4 7.6
23 2.1 2.7 3.1 3.5 3.6 3.9 4.3 4.7 6.6
24 1.8 2.3 2.7 3.0 3.1 3.4 3.7 4.0 5.6
25 1.5 2.0 2.3 2.6 2.7 2.9 3.2 3.5 4.8
300

Lampiran 14 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Bojong Rangkong


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 1.4 1.7 1.9 2.1 2.2 2.4 2.6 2.8 3.9
3 6.1 7.7 8.7 9.7 10.0 10.9 11.9 12.9 18.3
4 14.0 17.9 20.4 22.8 23.3 25.6 28.1 30.3 43.1
5 22.3 28.9 33.0 37.0 37.9 41.5 45.6 49.3 69.9
6 28.8 37.5 43.0 48.2 49.3 54.1 59.4 64.1 90.3
7 33.2 43.3 49.6 55.5 56.8 62.2 68.3 73.6 102.9
8 35.1 45.7 52.3 58.4 59.8 65.4 71.7 77.2 107.3
9 33.7 43.8 50.1 55.9 57.2 62.5 68.4 73.6 101.9
10 29.4 38.2 43.7 48.7 49.8 54.4 59.5 64.0 88.5
11 24.1 31.3 35.8 39.9 40.9 44.6 48.8 52.5 72.5
12 19.4 25.2 28.8 32.1 32.9 35.9 39.3 42.2 58.4
13 15.6 20.3 23.2 25.9 26.5 28.9 31.6 34.0 47.0
14 12.6 16.3 18.7 20.8 21.3 23.3 25.5 27.4 37.8
15 10.1 13.2 15.0 16.8 17.2 18.7 20.5 22.0 30.5
16 8.2 10.6 12.1 13.5 13.8 15.1 16.5 17.7 24.5
17 6.6 8.5 9.7 10.9 11.1 12.2 13.3 14.3 19.7
18 5.3 6.9 7.8 8.8 9.0 9.8 10.7 11.5 15.9
19 4.3 5.5 6.3 7.0 7.2 7.9 8.6 9.3 12.8
20 3.4 4.4 5.1 5.7 5.8 6.3 6.9 7.5 10.3
21 2.8 3.6 4.1 4.6 4.7 5.1 5.6 6.0 8.3
22 2.2 2.9 3.3 3.7 3.8 4.1 4.5 4.8 6.7
23 1.8 2.3 2.7 3.0 3.0 3.3 3.6 3.9 5.4
24 1.4 1.9 2.1 2.4 2.4 2.7 2.9 3.1 4.3
25 1.2 1.5 1.7 1.9 2.0 2.1 2.3 2.5 3.5
301

Lampiran 15 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Cakung


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5
3 0.8 1.0 1.1 1.2 1.2 1.3 1.5 1.6 2.2
4 2.0 2.5 2.8 3.1 3.1 3.4 3.7 4.0 5.7
5 3.8 4.7 5.4 6.0 6.1 6.7 7.3 7.9 11.3
6 6.1 7.8 8.9 9.9 10.1 11.1 12.2 13.2 19.1
7 9.0 11.5 13.2 14.8 15.1 16.6 18.3 19.9 28.7
8 12.1 15.6 17.9 20.1 20.6 22.7 25.0 27.1 39.2
9 15.0 19.5 22.5 25.3 25.9 28.5 31.5 34.2 49.4
10 17.6 22.9 26.5 29.8 30.5 33.6 37.1 40.3 58.2
11 19.3 25.4 29.3 33.0 33.9 37.3 41.2 44.7 64.6
12 20.2 26.6 30.8 34.7 35.6 39.3 43.4 47.1 68.0
13 20.3 26.8 31.0 35.0 35.9 39.6 43.7 47.5 68.5
14 19.7 26.1 30.2 34.1 35.0 38.6 42.6 46.3 66.7
15 18.7 24.8 28.7 32.4 33.2 36.7 40.5 43.9 63.3
16 17.5 23.1 26.7 30.2 31.0 34.1 37.7 40.9 58.9
17 16.1 21.3 24.7 27.8 28.6 31.5 34.8 37.8 54.4
18 14.8 19.6 22.7 25.6 26.3 29.0 32.1 34.8 50.1
19 13.7 18.1 20.9 23.6 24.2 26.7 29.5 32.0 46.1
20 12.6 16.7 19.3 21.8 22.3 24.6 27.2 29.5 42.5
21 11.6 15.3 17.8 20.0 20.6 22.7 25.1 27.2 39.1
22 10.7 14.1 16.4 18.5 18.9 20.9 23.1 25.0 36.1
23 9.8 13.0 15.1 17.0 17.4 19.2 21.3 23.1 33.2
24 9.1 12.0 13.9 15.7 16.1 17.7 19.6 21.2 30.6
25 8.3 11.0 12.8 14.4 14.8 16.3 18.0 19.6 28.2
302

Lampiran 16 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Jatiluhur Baru


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.4
3 0.8 0.9 1.0 1.2 1.2 1.3 1.4 1.5 2.1
4 1.9 2.3 2.6 2.9 3.0 3.3 3.6 3.9 5.4
5 3.5 4.5 5.1 5.6 5.8 6.3 6.9 7.4 10.5
6 5.6 7.2 8.2 9.1 9.3 10.2 11.2 12.1 17.0
7 8.0 10.2 11.7 13.0 13.3 14.6 16.0 17.2 24.2
8 10.2 13.2 15.0 16.8 17.2 18.8 20.6 22.2 31.1
9 12.0 15.4 17.6 19.7 20.1 22.0 24.1 26.0 36.3
10 12.9 16.7 19.1 21.3 21.8 23.9 26.1 28.1 39.2
11 13.2 17.0 19.5 21.7 22.2 24.3 26.6 28.6 39.9
12 12.8 16.6 18.9 21.1 21.6 23.6 25.9 27.8 38.7
13 12.0 15.5 17.7 19.8 20.3 22.1 24.2 26.1 36.2
14 11.0 14.2 16.2 18.1 18.5 20.2 22.1 23.8 33.0
15 9.9 12.8 14.6 16.3 16.7 18.2 19.9 21.4 29.8
16 8.9 11.5 13.1 14.6 15.0 16.4 17.9 19.3 26.8
17 8.0 10.3 11.8 13.2 13.5 14.7 16.1 17.3 24.1
18 7.2 9.3 10.6 11.8 12.1 13.3 14.5 15.6 21.7
19 6.5 8.4 9.6 10.7 10.9 11.9 13.0 14.0 19.5
20 5.8 7.5 8.6 9.6 9.8 10.7 11.7 12.6 17.5
21 5.2 6.8 7.7 8.6 8.8 9.6 10.6 11.4 15.8
22 4.7 6.1 7.0 7.8 7.9 8.7 9.5 10.2 14.2
23 4.2 5.5 6.3 7.0 7.1 7.8 8.5 9.2 12.8
24 3.8 4.9 5.6 6.3 6.4 7.0 7.7 8.3 11.5
25 3.4 4.4 5.1 5.6 5.8 6.3 6.9 7.4 10.3
303

Lampiran 17 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Blencong


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.4 0.5 0.5 0.6 0.6 0.7 0.7 0.8 1.1
3 1.8 2.2 2.5 2.8 2.8 3.1 3.4 3.6 5.1
4 4.3 5.4 6.1 6.8 7.0 7.6 8.4 9.0 12.8
5 7.5 9.6 11.0 12.3 12.6 13.8 15.1 16.3 23.1
6 10.8 13.9 15.9 17.8 18.2 20.0 21.9 23.7 33.4
7 13.4 17.4 19.9 22.3 22.8 25.0 27.4 29.6 41.7
8 15.0 19.6 22.4 25.1 25.7 28.1 30.8 33.2 46.5
9 15.5 20.2 23.1 25.8 26.4 28.9 31.7 34.2 47.6
10 14.8 19.3 22.1 24.6 25.2 27.6 30.2 32.5 45.2
11 13.3 17.2 19.7 22.0 22.5 24.6 27.0 29.0 40.3
12 11.4 14.8 16.9 18.9 19.3 21.1 23.1 24.9 34.6
13 9.6 12.5 14.3 15.9 16.3 17.9 19.5 21.0 29.2
14 8.1 10.6 12.1 13.5 13.8 15.1 16.5 17.8 24.7
15 6.9 8.9 10.2 11.4 11.7 12.8 14.0 15.0 20.9
16 5.8 7.5 8.6 9.6 9.9 10.8 11.8 12.7 17.7
17 4.9 6.4 7.3 8.1 8.3 9.1 10.0 10.7 14.9
18 4.1 5.4 6.2 6.9 7.1 7.7 8.4 9.1 12.6
19 3.5 4.6 5.2 5.8 6.0 6.5 7.1 7.7 10.7
20 3.0 3.9 4.4 4.9 5.0 5.5 6.0 6.5 9.0
21 2.5 3.3 3.7 4.2 4.3 4.7 5.1 5.5 7.6
22 2.1 2.8 3.2 3.5 3.6 3.9 4.3 4.6 6.4
23 1.8 2.3 2.7 3.0 3.0 3.3 3.6 3.9 5.4
24 1.5 2.0 2.3 2.5 2.6 2.8 3.1 3.3 4.6
25 1.3 1.7 1.9 2.1 2.2 2.4 2.6 2.8 3.9
304

Lampiran 18 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Siluman


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.8 0.9 1.0 1.1 1.1 1.2 1.3 1.3 1.8
3 3.3 4.0 4.5 4.9 5.0 5.4 5.8 6.2 8.8
4 7.9 9.8 11.0 12.2 12.5 13.6 14.8 16.0 22.9
5 14.5 18.3 20.7 23.1 23.6 25.9 28.4 30.8 44.6
6 22.4 28.6 32.7 36.7 37.6 41.3 45.6 49.4 72.0
7 30.5 39.6 45.5 51.2 52.5 57.9 64.0 69.6 101.6
8 37.4 49.0 56.7 64.0 65.7 72.5 80.3 87.4 127.7
9 41.7 55.2 64.1 72.5 74.4 82.3 91.2 99.3 145.0
10 43.5 57.8 67.2 76.1 78.2 86.5 95.9 104.3 152.2
11 42.8 57.1 66.4 75.2 77.2 85.4 94.7 103.0 149.9
12 40.1 53.5 62.3 70.5 72.5 80.2 88.8 96.6 140.4
13 36.2 48.4 56.3 63.7 65.5 72.4 80.3 87.3 126.8
14 32.1 42.9 49.9 56.5 58.0 64.2 71.1 77.3 112.3
15 28.3 37.8 44.0 49.9 51.2 56.7 62.8 68.3 99.2
16 25.0 33.4 38.9 44.0 45.2 50.0 55.4 60.3 87.6
17 22.1 29.5 34.3 38.9 39.9 44.2 48.9 53.2 77.3
18 19.5 26.0 30.3 34.3 35.2 39.0 43.2 47.0 68.3
19 17.2 23.0 26.8 30.3 31.1 34.4 38.2 41.5 60.3
20 15.2 20.3 23.6 26.7 27.5 30.4 33.7 36.6 53.2
21 13.4 17.9 20.9 23.6 24.3 26.8 29.7 32.3 47.0
22 11.8 15.8 18.4 20.9 21.4 23.7 26.3 28.5 41.5
23 10.5 14.0 16.3 18.4 18.9 20.9 23.2 25.2 36.6
24 9.2 12.3 14.4 16.3 16.7 18.5 20.5 22.3 32.3
25 8.1 10.9 12.7 14.4 14.7 16.3 18.1 19.6 28.5
305

Lampiran 19 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Sasak Jarang


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.3 0.4 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.7 1.0
3 1.6 2.0 2.2 2.5 2.5 2.8 3.1 3.3 4.7
4 3.9 4.9 5.6 6.3 6.4 7.1 7.7 8.4 11.9
5 7.0 9.0 10.3 11.5 11.8 13.0 14.3 15.4 21.9
6 10.4 13.5 15.4 17.3 17.7 19.4 21.3 23.0 32.5
7 13.3 17.3 19.8 22.2 22.7 24.9 27.3 29.5 41.5
8 15.2 19.9 22.8 25.5 26.1 28.5 31.3 33.7 47.2
9 16.0 20.9 23.9 26.7 27.4 29.9 32.8 35.3 49.1
10 15.7 20.4 23.3 26.0 26.6 29.1 31.9 34.3 47.6
11 14.3 18.6 21.3 23.8 24.4 26.6 29.1 31.3 43.4
12 12.6 16.3 18.7 20.8 21.3 23.3 25.5 27.4 38.0
13 10.8 14.0 16.0 17.9 18.3 20.0 21.9 23.5 32.6
14 9.3 12.0 13.8 15.4 15.7 17.2 18.8 20.2 28.0
15 8.0 10.3 11.8 13.2 13.5 14.8 16.2 17.4 24.1
16 6.8 8.9 10.2 11.3 11.6 12.7 13.9 14.9 20.7
17 5.9 7.6 8.7 9.7 10.0 10.9 11.9 12.8 17.8
18 5.0 6.6 7.5 8.4 8.6 9.4 10.2 11.0 15.3
19 4.3 5.6 6.4 7.2 7.4 8.0 8.8 9.5 13.1
20 3.7 4.8 5.5 6.2 6.3 6.9 7.6 8.1 11.3
21 3.2 4.2 4.8 5.3 5.4 5.9 6.5 7.0 9.7
22 2.8 3.6 4.1 4.6 4.7 5.1 5.6 6.0 8.3
23 2.4 3.1 3.5 3.9 4.0 4.4 4.8 5.2 7.1
24 2.0 2.6 3.0 3.4 3.4 3.8 4.1 4.4 6.1
25 1.7 2.3 2.6 2.9 3.0 3.2 3.5 3.8 5.3
306

Lampiran 20 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Galaxy


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.5 0.6 0.7 0.7 0.8 0.8 0.9 1.0 1.4
3 2.2 2.7 3.1 3.4 3.5 3.8 4.1 4.5 6.3
4 4.9 6.3 7.1 7.9 8.1 8.9 9.7 10.5 14.8
5 7.9 10.1 11.6 12.9 13.2 14.5 15.9 17.2 24.2
6 10.2 13.2 15.1 16.9 17.3 19.0 20.8 22.4 31.5
7 11.8 15.3 17.5 19.5 20.0 21.9 24.0 25.8 36.0
8 12.5 16.2 18.5 20.7 21.2 23.1 25.3 27.2 37.8
9 12.1 15.7 17.9 19.9 20.4 22.3 24.4 26.2 36.2
10 10.7 13.8 15.8 17.6 18.0 19.6 21.5 23.1 31.8
11 8.9 11.5 13.1 14.6 14.9 16.3 17.8 19.1 26.4
12 7.2 9.4 10.7 11.9 12.2 13.3 14.5 15.6 21.5
13 5.9 7.6 8.7 9.7 9.9 10.8 11.8 12.7 17.5
14 4.8 6.2 7.1 7.9 8.1 8.8 9.7 10.4 14.3
15 3.9 5.1 5.8 6.4 6.6 7.2 7.9 8.5 11.7
16 3.2 4.1 4.7 5.3 5.4 5.9 6.4 6.9 9.5
17 2.6 3.4 3.8 4.3 4.4 4.8 5.2 5.6 7.7
18 2.1 2.7 3.1 3.5 3.6 3.9 4.3 4.6 6.3
19 1.7 2.2 2.6 2.8 2.9 3.2 3.5 3.7 5.1
20 1.4 1.8 2.1 2.3 2.4 2.6 2.8 3.0 4.2
21 1.1 1.5 1.7 1.9 1.9 2.1 2.3 2.5 3.4
22 0.9 1.2 1.4 1.5 1.6 1.7 1.9 2.0 2.8
23 0.8 1.0 1.1 1.3 1.3 1.4 1.5 1.6 2.3
24 0.6 0.8 0.9 1.0 1.0 1.1 1.2 1.3 1.9
25 0.5 0.7 0.7 0.8 0.9 0.9 1.0 1.1 1.5
307

Lampiran 21 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Rawalumbu


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.4 0.5 0.6 0.6 0.6 0.7 0.8 0.8 1.1
3 1.8 2.3 2.6 2.9 2.9 3.2 3.5 3.8 5.3
4 4.3 5.4 6.2 6.9 7.0 7.7 8.4 9.1 12.8
5 7.2 9.2 10.5 11.7 11.9 13.1 14.3 15.5 21.9
6 9.6 12.4 14.2 15.8 16.2 17.8 19.5 21.0 29.6
7 11.3 14.6 16.8 18.8 19.2 21.0 23.1 24.9 34.8
8 12.2 15.8 18.1 20.2 20.7 22.7 24.8 26.7 37.3
9 12.1 15.6 17.9 20.0 20.4 22.3 24.5 26.3 36.5
10 10.9 14.2 16.2 18.1 18.5 20.2 22.2 23.8 33.0
11 9.3 12.1 13.8 15.4 15.7 17.2 18.8 20.2 28.0
12 7.7 9.9 11.4 12.7 13.0 14.2 15.5 16.7 23.1
13 6.3 8.2 9.4 10.5 10.7 11.7 12.8 13.7 19.0
14 5.2 6.8 7.7 8.6 8.8 9.6 10.5 11.3 15.7
15 4.3 5.6 6.4 7.1 7.3 7.9 8.7 9.3 12.9
16 3.5 4.6 5.3 5.9 6.0 6.6 7.2 7.7 10.7
17 2.9 3.8 4.3 4.8 4.9 5.4 5.9 6.4 8.8
18 2.4 3.1 3.6 4.0 4.1 4.5 4.9 5.2 7.3
19 2.0 2.6 2.9 3.3 3.4 3.7 4.0 4.3 6.0
20 1.6 2.1 2.4 2.7 2.8 3.0 3.3 3.6 4.9
21 1.3 1.8 2.0 2.2 2.3 2.5 2.7 2.9 4.1
22 1.1 1.4 1.6 1.8 1.9 2.1 2.3 2.4 3.4
23 0.9 1.2 1.4 1.5 1.6 1.7 1.9 2.0 2.8
24 0.8 1.0 1.1 1.3 1.3 1.4 1.5 1.6 2.3
25 0.6 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.9
308

Lampiran 22 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Cikeas (DAS Bekasi Hulu)


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0
2 0.2 0.2 0.3
3 0.7 0.9 1.1
4 1.7 2.0 2.7
5 3.2 3.7 4.8
6 5.0 5.8 7.5
7 7.2 8.3 10.8
8 9.7 11.3 14.6
9 12.5 14.4 18.6
10 15.2 17.6 22.7
11 17.9 20.7 26.6
12 20.3 23.5 30.1
13 22.4 25.9 33.2
14 24.2 27.9 35.7
15 25.4 29.3 37.5
16 26.0 29.9 38.3
17 26.0 29.9 38.2
18 25.5 29.3 37.5
19 24.7 28.4 36.3
20 23.7 27.2 34.8
21 22.5 25.9 33.1
22 21.4 24.6 31.4
23 20.3 23.3 29.8
24 19.2 22.1 28.2
25 18.2 21.0 26.8
309

Lampiran 23 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Cileungsi (DAS Bekasi Hulu)


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0
2 0.4 0.5 0.7
3 1.8 2.1 3.0
4 4.0 4.8 6.7
5 7.0 8.4 11.8
6 10.6 12.8 18.0
7 14.9 18.0 25.1
8 19.7 23.8 32.9
9 24.5 29.7 40.7
10 29.1 35.2 47.9
11 33.2 40.1 54.2
12 36.6 44.3 59.4
13 39.2 47.4 63.2
14 40.8 49.3 65.1
15 41.0 49.5 65.0
16 40.1 48.5 63.2
17 38.8 46.9 60.6
18 37.1 44.9 57.6
19 35.2 42.6 54.4
20 33.3 40.2 51.3
21 31.3 37.9 48.3
22 29.5 35.7 45.5
23 27.8 33.6 42.9
24 26.2 31.7 40.4
25 24.7 29.9 38.1
310

Lampiran 24 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Bekasi (Hilir)


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.7
3 1.2 1.4 1.6 1.7 1.8 1.9 2.1 2.3 3.2
4 2.8 3.6 4.0 4.4 4.5 5.0 5.4 5.8 8.3
5 5.4 6.8 7.7 8.6 8.8 9.6 10.6 11.4 16.3
6 8.7 11.1 12.7 14.1 14.5 15.9 17.4 18.9 27.0
7 12.5 16.1 18.5 20.7 21.2 23.2 25.6 27.6 39.5
8 16.4 21.3 24.4 27.4 28.0 30.8 33.9 36.7 52.3
9 19.8 25.8 29.7 33.3 34.1 37.5 41.2 44.6 63.6
10 22.2 29.0 33.4 37.4 38.4 42.2 46.4 50.2 71.6
11 23.3 30.5 35.2 39.5 40.5 44.5 49.0 53.0 75.4
12 23.3 30.6 35.3 39.6 40.6 44.6 49.1 53.1 75.5
13 22.5 29.5 34.0 38.2 39.2 43.0 47.4 51.2 72.7
14 21.0 27.6 31.8 35.7 36.6 40.3 44.3 47.9 67.9
15 19.3 25.3 29.1 32.7 33.6 36.9 40.6 43.9 62.2
16 17.5 23.0 26.5 29.7 30.5 33.5 36.8 39.8 56.4
17 15.9 20.8 24.0 27.0 27.6 30.4 33.4 36.1 51.2
18 14.4 18.9 21.8 24.5 25.1 27.6 30.3 32.8 46.5
19 13.1 17.2 19.8 22.2 22.8 25.0 27.5 29.7 42.2
20 11.9 15.6 17.9 20.1 20.7 22.7 25.0 27.0 38.3
21 10.8 14.1 16.3 18.3 18.7 20.6 22.7 24.5 34.7
22 9.8 12.8 14.8 16.6 17.0 18.7 20.6 22.2 31.5
23 8.9 11.6 13.4 15.1 15.4 17.0 18.7 20.2 28.6
24 8.0 10.6 12.2 13.7 14.0 15.4 16.9 18.3 26.0
25 7.3 9.6 11.0 12.4 12.7 14.0 15.4 16.6 23.6
1

Lampiran 25 Hidrograf Satuan Sintetis Sub-Das Bekasi (Hulu+Hilir)


Total Flow (m3/detik)
Jam TR- TR- TR- TR- TR TR- TR- TR- TR-
Ke- 02 05 10 20 -25 50 100 200 1000
1 0.0 0.0 0.0
2 0.9 1.0 1.4
3 3.9 4.6 6.0
4 9.3 10.9 14.4
5 16.9 19.8 26.2
6 26.7 31.3 41.4
7 38.2 44.9 59.1
8 50.7 59.4 78.2
9 62.8 73.8 96.8
10 73.4 86.2 112.8
11 81.6 96.0 125.3
12 87.5 103.0 134.1
13 91.2 107.3 139.4
14 92.5 108.9 141.2
15 91.6 107.9 139.4
16 89.1 105.0 135.0
17 85.6 100.8 129.3
18 81.5 96.0 122.7
19 77.1 90.8 115.7
20 72.5 85.4 108.7
21 68.0 80.1 102.0
22 63.7 75.1 95.6
23 59.7 70.4 89.7
24 56.0 66.0 84.0
25 52.5 61.8 78.8

1
2

Anda mungkin juga menyukai