Anda di halaman 1dari 125

1

REDESIGN GEOMETRIK DAN PERKERASA JALAN RAYA SALOPA


KABUPATEN TASIKMALAYA PADA STA 6+435 -

STA 11+435

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Sarjana Strata Satu (S1) di Program


Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Siliwangi

Oleh :

FAHRI AGUNG NUGRAHA SAPARULOH

197011014

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SILIWANGI

TASIKMALAYA

2022
KATA PENGANTAR

Tak ada kata yang pantas kita panjatkan melainkan rasa syukur kita kepada

Allah SWT. karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan

Tugas Akhir ini. Beribu nikmat tak terhingga dan tak terbayang yang kita rasakan

sekarang merupakan karunia dan anugerah dari Allah swt. Shalawat dan salam

semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjunan alam yakni Nabi Muhammad

SAW.

Tugas Akhir yang berjudul “Redesign Geometrik Dan Perkerasa Jalan

Raya Salopa Kabupaten Tasikmalaya Pada STA 6+435 - STA 11+435.” ini

ditujukan untuk memenuhi persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana

Teknik Sipil Strata Satu di Universitas Siliwangi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan

do’a dari semua pihak, Tugas Akhir ini tidak dapat di selesaikan tepat pada

waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan

Tugas Akhir ini, yaitu kepada :

1. Kedua orang tua yaitu, Bapak Aip Syaripudin dan Ibu Herlina Abdullah yang

senantiasa memberikan kasih sayang, motivasi, do’a, arahan dan bimbingan,

serta dukungan moril maupun materil.

2. Bapak Prof. Dr. Eng. H. Aripin, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Teknik

Universitas Siliwangi.

3. Bapak H. Asep Kurnia Hidayat, Ir., MT., selaku Ketua Jurusan Teknik Sipil

Universitas Siliwangi.

1
2

4. Bapak Pengki Irawan, S.TP., M.Si., selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah

Penulisan Ilmiah.

5. Seluruh jajaran dosen di Jurusan Teknik Sipil Universitas Siliwangi yang

telah memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Seluruh rekan-rekan seperjuangan Teknik Sipil 2016, khususnya kelas A

yang telah banyak membantu, memberikan dukungan, pengalaman dan

kenangan yang tak ternilai kepada penulis.

7. Semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa laporan Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan Tugas Akhir ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan mempelajarinya.

Tasikmalaya, 23 Juni 2022

Penulis

Fahri Agung
Nugraha Saparuloh
NPM. 197011014
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL x
DAFTAR BAGAN xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Maksud dan Tujuan 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Ruang Lingkup Masalah 4
1.6 Sistematika Penulisan 4
BAB 2 LANDASAN TEORI 6
2.1 Perencanaan Geometrik Jalan 6
2.1.1 Klasifikasi Jalan 7
2.1.2 Parameter Perencaan Geometrik Jalan 9
2.1.3 Bagian-bagian Jalan 12
2.1.4 Alinyemen Horizontal 13
2.1.5 Alinyemen Vertikal 31
2.2 Perencaan Tebal Perkerasan 37
2.2.1 Jenis Konstruksi Perkerasan 37
2.2.2 Umur rencana 38
2.2.3 Struktu Perkerasan Lentur 38
2.2.4 Lalu Lintas 41
2.2.5 Daya Dukung Tanah Dasar 51
2.2.6 Fondasi Perkerasan 54
2.2.7 Ketebalan Lapis Perkerasan 56
2.2.8 Daya Dukung Tanah 57
2.2.9 Desain Perkerasan 58

3
4

2.2.10 Pelapisan Bahu Jalan 65


2.2.11 Kapasitas Jalan 66
2.3 Perencanaan Drainase 69
2.3.1 Analisa Hidrologi 70
2.3.2 Analisi Frekuensi 73
2.3.3 Pengujian Keselarasan Distribusi 75
2.3.4 Intensitas Hujan 76
2.3.5 Menentukan Debit Aliran 78
2.3.6 Menentukan Waktu Konsentrasi (Tc) 79
2.3.7 Menentukan Koefisien Pengaliran (C) 80
2.3.8 Dimensi Saluran Drainase 81
2.4 Rencana Anggaran Biaya 83
2.4.1 Analisa Harga Satuan 84
BAB 3 METODE PERENCANAAN 85
3.1 Deskripsi Lokasi dan Waktu Pelaksanaan 85
3.2 Teknik Pengumpulan Data 86
3.3 Analisis Data 88
3.3.1 Perencanaan Geometrik 89
3.3.2 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur 90
3.3.3 Perencanaa Drainase 92
3.3.4 Rencana Anggaran Biaya 94
DAFTAR PUSTAKA 96
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Damaja, Damija, dan Dawasja di Lingkungan Jalan Antar Kota 13

Gambar 2. 2 Lengkung Full Circle 19

Gambar 2. 3 Lengkung Spiral-Circle-Spiral 22

Gambar 2. 4 Lengkung Spiral –Spiral 23

Gambar 2. 5 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe SCS 25

Gambar 2. 6 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe FC 25

Gambar 2. 7 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe SS 26

Gambar 2. 8. Pelebaran Perkerasan pada Tikungan 28

Gambar 2. 9 Lapisan Perkerasan 39

Gambar 2. 10 Dukung Tepi Perkerasan. 58

Gambar 2. 11 Dukungan Median Perkerasan. 58

Gambar 2. 12 Polygon Thiessen 71

Gambar 2. 13 Metode Ishoyet 72

Gambar 2. 14 Potongan Melintang Model Persegi 82

Gambar 3. 1. Rusaknya Lapisan Atas Jalan Raya Salopa 85

Gambar 3. 2 Peta Jalan Raya Salopa 86

6
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan 9

Tabel 2. 2 Klasifikasi Menurut Medan Jalan 9

Tabel 2. 3 Dimensi Kendaraan Rencana 10

Tabel 2. 4 Kecepatan Rencana (VR) Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kelas Jalan 11

Tabel 2. 5 Panjang Bagian Lurus Maksimum 14

Tabel 2. 6 Panjang jari-jari minimum (dibulatkan) untuk Emaks = 10% 15

Tabel 2. 7 jari-jari yang diijinkan tanpa superelevasi 16

Tabel 2. 8 Jari-jari Tikungan yang Tidak Memerlukan Lengkungan Peralihan 20

Tabel 2. 9 Panjang Lengkung Peralihan Minimum dan Superelevasi yang di

Butuhkan (Emaks=10% Metode Bina Marga) 26

Tabel 2. 10 Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum 31

Tabel 2. 11 Jarak Pandang Mendahului 31

Tabel 2. 12 Kelandaian Maksimum yang Diijinkan 33

Tabel 2. 13 Panjang Kritis (m) 33

Tabel 2. 14 Panjang Minimum Lengkung Vertikal 35

Tabel 2. 15 Perhitungan Galian dan Timbunan 36

Tabel 2. 16 Umur Renacana Perkerasan Jalan Baru (UR) 38

Tabel 2. 17 Pemilihan Jenis Perkerasan 40

Tabel 2. 18 Golongan dan Kelomok Kendaraan 42

Tabel 2. 19 Faktor Laju Pertumbuhan Lalu Lintas (i), (%) 43

Tabel 2. 20 Faktor Distribusi Lajur (DL) 45

Tabel 2. 21 Pengumpulan Data Gandar 46

Tabel 2. 22 Nilai VDF Masing-masing Jenis Kendaraan Niaga 46

10
11

Tabel 2. 23 Nilai VDF Masing-masing Kendaraan Niaga 48

Tabel 2. 24 Desain Fondasi Jalan Minimum 54

Tabel 2. 25 Ketebalan Lapisan yang Diizinkan dan Penghamparan 56

Tabel 2. 26 Bagan Desain - 3. Desain Perkerasan Lentur Opsi Biaya Minimum

Dengan CTB1) 59

Tabel 2. 27 Bagan Desain - 3A. Desain Perkerasan Lentur dengan HRS1 60

Tabel 2. 28 Bagan Desain - 3B. Desain Perkerasan Lentur – Aspal dengan Lapis

Fondasi Berbutir (Sebagai Alternatif dari Bagan Desain- 3 dan 3A) 61

Tabel 2. 29 Bagan Desain - 3C Penyesuaian Tebal Lapis Fondasi Agregat A

Untuk Tanah Dasar CBR ≥ 7 % (Hanya Untuk Bagan Desain - 3B) 62

Tabel 2. 30 Bagan Desain – 5. Perkerasan Berbutir dengan Laburan1 63

Tabel 2. 31 Bagan Desain – 6. Perkerasan Dengan Stabilsasi Tanah Semen (Soil

Cement) 64

Tabel 2. 32 Kapasitas Dasar untuk Jalan antar Kota Dengan 2 Lajur 2 Arah (2/2

UD) 67

Tabel 2. 33 Faktor Penyesuaian Pengaruh Lebar Lajur Lalu Lintas (FCW)

Terhadap Kapasitas 67

Tabel 2. 34 Faktor Penyesuaian Kapasitas Karena Pemisahan Arah (FCSP) 68

Tabel 2. 35 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pengaruh Hambatan Samping

(FCSF) 68

Tabel 2. 36 Parameter Pemilihan Jenis Distribusi 73

Tabel 2. 37 Kemiringan Satuan Memanjang (is) Berdasarkan Jenis Material 79

Tabel 2. 38 Kemiringan Rata-rata Saluran Terhadap Kecepatan Rata-rata 80

Tabel 2. 39 Hubungan Kondisi Permukaan Tanah dan Koefisien Pengaliran (C) 81


12

Tabel 3. 1 Data Sekunder 86


DAFTAR BAGAN

Bagan 3. 1 Alur Perencanaan Keseluruhan 88

Bagan 3. 2 Alur Perencanaan Geometrik Jalan 90

Bagan 3. 3 Alur Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan 91

Bagan 3. 4 Alur Perencanaan Saluran Drainase 93

Bagan 3. 5 Alur RAB (Rencana Anggaran Biaya) 96

16
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan jalan raya merupakan salah satu hal yang selalu beriringan

dengan kemajuan teknologi dan pemikiran manusia yang menggunakannya,

karenanya jalan merupakan fasilitas penting bagi manusia supaya dapat mencapai

suatu tujuan daerah yang ingin dicapai. Keberadaan jalan raya sangat diperlukan

untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi seiring dengan meningkatnya

kebutuhan sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-saerah terpencil

yang merupakan sentral produksi barang atau jasa.

Jalan raya merupakan sarana tranportasi darat yang terbuat dari bahan –

bahan tertentu. Jalan dimulai bersamaan dengan sejarah umat manusia itu sendiri

dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup dan berkomunikasi dengan sesama.

Perlunya sarana dan prasarana dengan kapasitas yang dapat melayani kebutuhan

akan tranportasi darat maka keselamatan, keamanan, kelancaran, ketertiban, dan

kenyamanan jalan untuk tranportasi darat sangat diperlukan. Dalam perencanaan

jalan untuk transportasi darat harus tertata rapih agar bisa menjaga keselamatan

pengguna/pengendara. Demi mewujudkan keselamatan dan kenyamanan untuk

penggunaan maka perencanaan jalan terdiri dari geometrik jalan dan perkerasan

jalan.

Jalan Raya Salopa termasuk kedalam kelas jalan lokal yang mempunyai

lebar jalan 5 m. Jalan Raya Salopa ini terletak pada Kecamatan Salopa Kabupaten

Tasikmalaya. Kecamatan Salopa ini termasuk daerah yang mempunyai berbagai

tempat wisata salah satunya yaitu Curug Cimanitin, dan juga di Salopa ini

1
2

mempunyai sumber daya alam yang melimpah seperti masih banyaknya lahan

perkebunan dan lahan pertanian maka memungkinkan sebagian besar dari

penduduk Salopa ini bekerja sebagai petani. Salah satu cara untuk mendukung

perekonomian Kecamatan Salopa ini maka diperlukannya akses jalan yang

memudahkan bagi para penduduk untuk menyalurkan hasil dari sumber daya alam

ini maka dibutuhkan suatu akses jalan yang mempunyai keselamatan, keamanan,

kelancaran, ketertiban, dan kenyamanan bagi para penggunanya. Salah satu

alternatif yang diharapkan dapat memberikan solusi untuk mendukung

perkembangan tersebut adalah dengan merencanakan ulang perkerasan lentur

Jalan Raya Salopa sesuai dengan fungsi dan kelas jalannya.

Dengan melakukan perencanaan ulang perkerasan lentur pada Jalan Raya

Salopa mampu meningkatkan perekonomian penduduk Kecamatan Salopa,

meningkatkan pelayanan, dan meningkatkan aksebilitas ( kemudahan mencapai

tujuan ) bagi semua sarana yang melaluinya serta sebagai penghubung wilayah

Kecamatan Cikalong - Kecamatan Cikatomas - Kecamatan Salopa. Selain itu,

Jalan Raya Salopa dapat dijadikan akses jalan untuk menuju pusat kota.

Maka dari itu sesuai dengan konsentrasi bidang yang diambil yaitu

perencanaan ulang perkerasan lentur, dapat diambil judul Tugas Akhir yaitu:

Redesign Geometrik Dan Perkerasa Jalan Raya Salopa Kabupaten

Tasikmalaya Pada STA 6+435 - STA 11+435.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka penulis dapat merumuskan masalah

sebagai berikut:
3

a. Bagaimana merencanakan geometrik jalan yang tepat agar pengguna jalan

mendapatkan keamanan dan kenyaman dalam berkendara yang sesuai

dengan fungsi jalan dan kelasnya?

b. Bagaimana merencanakan tebal perkerasan lentur jalan yang mampu

memikul beban jalan yang melintas diatasnya?

c. Bagaimana merencanakan dimensi saluran drainase yang sesuai?

d. Bagaimana merencanakan anggaran biaya yang meliputi volume

pekerjaan, harga satuan pekerjaan, bahan dan peralatan?

1.3 Maksud dan Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis mengadakan penelitian

masalah yang pasti menpunyai tujuan yang jelas, diantaranya sebagai berikut:

a. Merencanakan ulang geometrik Jalan Raya Salopa, Kabupaten

Tasikmalaya pada sta 6+435-sta 11+435.

b. Merencanakan tebal perkerasan lentur jalan Raya Salopa.

c. Merencanakan saluran drainase Jalan Raya Salopa.

d. Rencana anggaran biaya.

1.4 Manfaat Penelitian


a. Dapat menerapkan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah di Universitas

Siliwangi.

b. Sebagai bahan referensi penelitian lain untuk dikembangkan dan

bermanfaaat bagi dunia akademis.

c. Meningkatkan pengetahuan tentang cara meredesign geometrik dan

perkerasan jalan dengan tingkat kenyamanan dan keamanan yang

diharapkan
4

d. Meningkatkan perekonomian di wilayah setempat.

e. Memajukan wilayah tersebut sehingga dapat dibangun fasilitas-fasilitas

yang belum ada disekitarnya.

f. Lancarnya arus distribusi barang dan jasa yang akan keluar masuk

didaerah Kecamatan Salopa dan sekitarnya.

1.5 Ruang Lingkup Masalah


Redesign Jalan Raya Salopa Kabupaten Tasikmalaya pada sta 6+435-sta

11+435 ini, dimana penyusun tugas akhir berpedoman pada peraturan – peraturan

SNI yang dipakai untuk perencanaan dan perkerasan jalan.

Ruang lingkup permasalahan yang dibahas dalam penyusunan tugas akhir

ini adalah:

a. Geometrik

b. Perkerasan jalan

c. Drainase jalan

d. Rencana Anggaran Biaya

1.6 Sistematika Penulisan

Laporan Tugas Akhir ini yang berjudul Redesign Geometrik dan Perkerasa

Jalan Raya Salopa Kabupaten Taikmalaya pada sta 6+435-sta 11+435 ini meliputi

bagian pertama yang terdiri dari halaman judul, halaman pengesahan, halaman

kata pengantar. Pada bagian kedua sebagian besar dari penyusunan tugas akhir ini

yang terdiri dari lima bab. Pada bagian ketiga terdiri dari penutupan, daftar

pustaka, lampiran–lampiran, dan gambar–gambar. Adapun garis besar sistematika

penulisan yang di terapkan pada penyusunan laporan tugas akhir ini adalah

sebagiai berikut:
5

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini membahas latar belakang penelitian,

perumusan masalah, tujuan penelitian ruang lingkup

pembahasan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Pada bab ini diuraikan mengenai landasan teoritis

perencanaan dan analisis geometrik jalan raya

diantaranya konsep perencanaan jalan raya, beban

yang bekerja, perhitungan galian dan timbunan,

perencanaan tebal perkerasan, perencanaan

drainase, dan perencanaan anggara biaya dan time

scedule.

BAB III : Metode Penelitian

Pada bab ini berisi tentang metode penyusunan

tugas akhir dan tahapan perencanaan geometrik

jalan raya berikut data pendukung dan pedoman

perencanaan.

BAB IV : Pembahasan

Pada bab ini membahas tentang proses dan hasil

dari perhitungan perencanaan geometrik jalan raya

BABV : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini merupakan kesimpulan hasil perencaan

dan saran – saran mengenai perencanaan geometrik


6

jalan jaran juga disertakan daftar pustaka, lampiran

– lampiran untuk memudahkan pembaca dalam

menelan isi laopran tugas akhir.


BAB 2

LANDASAN TEORI

1.1 Perencanaan Geometrik Jalan

Banyak pengertian tentang Perencanaan Geometrik Jalan diantaranya:

1 “Perencanaan geometrik jalan adalah suatu perencanaan route dari suatu ruas

jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang

berdasarkan kelengkapan data dasar, yang didapat dari hasil survey lapangan,

kemudian di analisis berdasarkan acuan persyaratan perencanaan geometrik

yang berlaku”.(Hamirin Saodang, 2004:19).

2 “Perencanaan geometrik jalan adalah bagian dari perencanaan jalan yang

dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi

fungsi dasar jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu

lintas dan sebagai akses ke rumah-rumah”. (Silvia Sukiman, 1999:17).

3 Perencanaan geometrik adalah bagian dari perencanaan jalan yang bersangkut

paut dengan dimensi nyata dari bentuk fisik dari suatu jalan beserta bagian-

bagiannya, masing-masing disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu

lintas untuk memperoleh modal layanan tranfortasi yang mengakses hingga

ke rumah-rumah. ( Asep Saepurrahman Iskandar, 2016)

Sedangkan menurut penulis Perencanaan Geometrik Jalan adalah

perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen

yang disesuaikan dengan kelengkapan dan data dasar yang ada atau tersedia dari

hasil survei lapangan dan telah dianalisis, serta mengacu pada ketentuan yang

berlaku.

6
7

Melalui perencanaan geometrik, diusahakan dapat menciptakan hubungan

yang serasi antara faktor-faktor yang berkaitan dengan parameter pengendara,

kendaraan dan lalulintas sehingga akan di hasilkan suatu efisensi, keamanan serta

kenyamanan yang paling optimal, dalam batas-batas pertimbangan toleransi yang

masih dianggap layak.Perencanaan geometrik secara umum, menyangkut aspek-

aspek perencanaan elemen jalan seperti lebar jalan, tikungan, kelandaian jalan,

dan jarak pandang serta kombinasi dari bagian-bagian tersebut, baik untuk suatu

ruas jalan, maupun untuk perlintasan diantara dua atau lebih ruas-ruas jalan.

Perencanaan geometrik akan lebih memperhatikan beberapa parameter yang

terkait langsung dengan karakteristik lalulintas dan turunannya, berbeda dengan

perencanaan struktur jalan, yang lebih menyoroti faktor kekuatan akibat beban

dari lalu lintas tersebut.

Dalam perencanaan jalan raya, pola dan bentuk geometrik harus

direncanakan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat

memberikan pelatanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya.

Elemen dari perencanaan geometrik jalan terbagi menjadi:

a. Alinyemen Horizontal.

b. Alinyemen Vertikal.

1.1.1 Klasifikasi Jalan

Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus di

indetifikasi sebelum melakukan perencanaan jalan. Karena kriteria desain suatu

rencana jalan yang ditentukan dari standar desain ditentukan oleh klasifikasi jalan

rencana. Pada prinsipnya klasifikasi jalan dalam standar desain (baik untuk jalan

dalam kota maupun jalan luar kota) didasarkan pada klasifikasi jalan menurut
8

undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Berdasarkan tata cara

perencanaan geometrik jalan antar kota, jalan dapt diklasifikasikan menjadi

beberapa jenis:

a. Klasifikasi menurut fungsinya

Klasifikasi jalan menurut fungsi jalan pada Bina Marga dalam Tata Cara

Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No.038/T/BM/1997 terbagi

atas:

Jalan Arteri: jalan yang melayani angkutan umum dengan ciri-ciri

perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi

secara efisien.

Jalan Kolektor: jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan

ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk

dibatasi.

Jalan lokal: jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri

perjalanan jaraj dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

b. Klasifikasi menurut kelas jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk

menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terbesar (MST)

dalam satuan ton.

Klasifikasi jalan menurut kelas jalan pada Bina Marga dalam Tata Cara

Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No.038/T/BM/1997 dan

ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat

dalam tabel 2.1 (pasal 11, PP. No. 43/1993).


9

Tabel 2. 1 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan


Muatan Sumbu Terberat
Fungsi Kelas
MST (ton)

I >10

Arteri II 10

III A 8

III A
Kolektor 8
III B

Lokal III C 8

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

c. Klasifikasi menurut medan jalan

Medan jalan diklasifikasi berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan

medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Klasifikasi jalan menurut medan

jalan pada Bina Marga dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

(TPGJAK) No.038/T/BM/1997 terbagi atas:

Tabel 2. 2 Klasifikasi Menurut Medan Jalan


Kemiringan Medan
No Jenis Medan Notasi
(%)

1. Datar D <3

2. Perbukitan B 3-25

3. Pegunungan G >25

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997


10

1.1.2 Parameter Perencaan Geometrik Jalan

Dalam perencaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter perencaan,

meliputi: kendaraan rencana, kecepatan rencana, volume dan kapasitas jalan dan

tingkat pelayanan yang diberikan oleh jalan tersebut. Parameter ini-parameter ini

merupakan penentu tingkat kenyamanan dan keamanan yang dihasilkan oleh suatu

bentuk geometrik jalan.

a. Kendaraan rencana

“Kendaraan rencana adalah kendaraan ynag berdimensi dan radius putarnya

dipakai sebagai acuan dalam perencaan geometrik”. (Hamirin Saodang, 2004:19).

Untuk perencanaa geometrik jalan, ukuran lebar kendaraan rencana akan

mempengaruhi lebar lajur yang dibutuhkan. Kendaraan rencana dikelompokan

kedalam 3 kategori:

● Kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang.

● Kendaraaan sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau bus besar 2 as.

● Kendaraan besar, diwakili oleh semi trailer.

Dimensi dasar untuk masing-masing kategori kendaraan rencana ditunjukkan

dalam tabel 2.3.

Tabel 2. 3 Dimensi Kendaraan Rencana


Kategori Dimensi kendaraan Tonjolan(cm) Radius Radius
kendaraan utama (ton) putar (cm) tonjolan
utama (cm)
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min Maks

Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370


11

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

b. Kecepatan rencana

“Kecepatan adalah besaran yang menunjukan jarak yang di tempuh kendaraan

dibagi waktu tempuh. Kecepatan ini menggambarkan nilai gerak dari kendaraan.

Perencanaan yang baik tentu saja haruslah berdasarkan kecepatan yang dipilih

dari kelayakan bahwa kecepatan tersebut dengan kondisi dan fungsi jalan

yangdiharapkan”. (Hamirin Saodang, 2004:19).

“Kecepatan rencana (VR) adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan

perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak

pandang dan lain-lain. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi

menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan kenyamanan itu

sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan”. (Hamirin Saodang, 2004:19).

Hampir secara langsung seperti: tikungan horizontal, kemiringan melintang

ditikungsn jarak pandang, maupun secara tak langsung seperti: lebar lajur, lebar

bahu, kebebasan melintang dan lain-lain.

Kecepatan rencana tergantung kepada:

● Kondisi pengemudi dan kendaraan yang bersangkutan

● Sifat fisik jalan dan keadaan medan disekitarnya

● Cuaca

● Adanya gangguan dari kendaraan lain

● Batasan kecepatan yang diijinkan

Kecepatan rencana inilah yang dipergunakan untuk dasar perencanaan

geometrik (alinyemen). Kecepatan rencanan dari masing-masing kendaraan dapat

ditetapkan pada tabel 2.4.


12

Tabel 2. 4 Kecepatan Rencana (VR) Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kelas Jalan
Kecepatan Rencana, Vr, (km/jam)
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan

Arteri 70-120 60-80 40-70

Kolektor 60-90 50-60 30-50

Lokal 40-70 30-50 20-30

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

1.1.3 Bagian-bagian Jalan

Suatu jalan raya terdiri dari bagian-bagian jalan, dimana bagian-bagian

jalan tersebut, dibedakan berdasarkan:

a. Daeran Manfaat Jalan (DAMAJA)

Daeran Manfaat Jalan (DAMAJA) yaitu daerah yang meliputi seluruh badan

jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengaman, derah manfaat jalan dibatasi

antara lain oleh:

● Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan

● Tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan

● Kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan

b. Daerah milik jalan (DAMIJA)

Daerah milik jalan (DAMIJA) adalah daerah yang dibatasi oleh lebar yang

sama dengan damaja di tambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi

5 meter dan kedalaman 1,5 meter.

c. Daerah Pengwas Jalan ( DAWASJA)

Daerah Pengwas Jalan ( DAWASJA) adalah daerah sepanjang jalan diluar

damija yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, dengan ketentuan sebagai

berikut:
13

● Jarak arteri minimum 20 meter

● Jalan kolektor minimum 15 meter

● Jalan lokal 10 meter

Gambar 2. 1 Damaja, Damija, dan Dawasja di Lingkungan Jalan Antar Kota


Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997
1.1.4 Alinyemen Horizontal

“Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang

horizontal. Alinyemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau

“trase jalan”. Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus (biasa disebut

“tangen”) yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung

tersebut dapt terdiri dri busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan atau

busur-busur peralihan saja ataupun busur lingkaran saja”. (Hamirin Saodang,

2004:19).
14

Alinyemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung

(disebut juga tikungan). Perencanaan geometrik pada bagian lengkung

dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal ( efek semu yang ditimbulkan

ketika sebuah benda melakukan gerak melingkar, sentrifugal berarti menjauhi

pusat) yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan rencana VR.

a. Panjang Bagian Lurus

Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakaian jalan, ditinjau

dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yamg lurus

ditempuh dalam waktu tidak <2,50 menit (sesuai VR). Pada tabel 2.5.

Tabel 2. 5 Panjang Bagian Lurus Maksimum


Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Fungsi
Datar Bukit Gunung

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

b. Tikungan

Bentuk bagian lengkung dapat berupa:

1. Spiral-Circle-Spiral (SCS),

2. Full Circle (FC),

3. Spiral-Spiral (SS)

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi

mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui

tikungan pada kecepatan rencana VR. (Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997).


15

Bila kendaraan melintasi suatu tikungan, dengan suatu kecepatan tertentu,

kendaraan akan menerima gaya sentrifugal, yang akan mengurangi kenyamanan

pengendara. Dengan diimbangi dengan menyediakan suatu kemiringan melintang

(superelevasi), yang bertujuan untuk memperoleh komponen gaya berat yang dapt

meminimalisir gaya sentrifugal tersebut. Makin besar superelevasi makin besar

pula komponen gaya yang dapat mengimbangi gaya sentrifugaal tersebut.

1. Jari-jari minimum

Agar kendaraan stabil saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu kemiringan

melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi (e). Pada saat kendaraan

melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah melintang jalan antara ban

kendaraan dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang.

Perbandingan gaya gesekan melintang dengan gaya normal disebut koefisien

gesekan melintang (f).

Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu

dapat dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan koefisen

gesekan maksimum.

Rumus perhitungan lengkung horizontal dari buku TPGJAK:

Untuk V < 80 km/jam:

Fmaks = 0,912-(0,00065xVR) (2.1)

Untuk V > 80 km/jam:

Fmaks = 0,24-(0,001255xVR) (2.2)

V2
Rmin = (2.3)
127(e maks+f maks)

181913,53×(e maks +f maks )


Dmaks ¿ 2 (2.4)
Vr
16

Keterangan:

Fmaks = Koefisen gesekan melintang maksimum

Fmin = Jari-jari tikungan minimum, (m)

Dmaks = Derajat lengkung maksimum, (o)

Vr = Kecepatan kendaraan rencana, (km/jam)

Emaks = Superelevasi maksimum, (%)

Panjang jari-jari minimum untuk Emaks = 10%

Tabel 2. 6 Panjang jari-jari minimum (dibulatkan) untuk Emaks = 10%


10
Vr (km/jam 120 0 80 60 50 40 30 20
jari-jari Min-Rmin 73 11
(m) 600 0 210 0 80 50 30 15
Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

Untuk kecepatan rencana <80 km/jam Fmaks = -0,00065V + 0,192

Untuk kecepatan rencana 80-112 km/jam, berlaku Fmaks = -0,00125V + 0,24

2. Batas tikungan tanpa kemiringan

Kemiringan jalan adalah fungsi dari ketajaman tikungan. Untuk tikungan-

tikungan yang tumpul, karena kecilnya kemiringan yang diperlukan, dapat saja

tidak diadakan kemiringan. Dalam menentukan batas ini, perlu diperhatikan

kemiringan minimum yaitu disamakan dengan kemiringan jalan normal yang

berlaku, yaitu 2% dan besarnya koefisen gesekan akan timbul pada bagian dengan

lereng yang berlawanan, yang harus masih di bawah batas yang aman.

Berdasarkan ketentuan ini, maka batas tikungan dimana tidak diperlukan

superelevasi, adalah bilamana jari-jari lebih besar atau sama dengan yang

tercantum pada tabel 2.7.


17

Tabel 2. 7 jari-jari yang diijinkan tanpa superelevasi


Kecepatan rencana VR (km/jam) R (m)
60 700
80 1250
100 2000
120 5000
Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

3. Lengkungan Peralihan (Ls)

Perubahan arah yang harus diikuti oleh suatu kendaraan yang melintasi

bagian lurus menuju suatu lengkungan berupa busur lingkaran, secara teoritis

harus dilakukan secara mendadak, yaitu dari R tidak berhingga menuju R tertentu.

Secara praktis hal ini tidak mungkin dilakukan oleh ban kendaraan, karena harus

membuat sudut belokan tertentu pengemudi memerlukan jangka waktu tertentu,

berarti perlu jarak tertentu pula. Oleh karena itu agar kendaraan tidak

menyimpang dari lajurnya, dibuatkan lengkungan dimana lengkungan tersebut

merupakan peralihan yang disebut lengkung peralihan.

Lengkungan peralihan (Ls) berfungsi untuk memberikan kesempatan kepada

pengemudi untuk mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari bentuk (R).

Dengan demikian, gaya sentrifugal yang bekerjan pada kendaraan saat melintasi

tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati

tikungan maupun meninggalkan tikungan.

Berdasarkan TPGJAK No 038/T/BM/1997, panjang lengkung peralihan (Ls)

ditentukan 3 rumus dibawah ini dan diambil nilai yang terbesar.

Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan

VR
Ls= (2.5)
3,6
18

Keterangan:

Vr = Kecepatan rencana (km/jam)

T = Waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 detik

Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal

VR V RC
Ls = 0,022x −2,727 x (2.6)
R .C C

Berdasarkan tingkat percapaian perubahan kelandaian

( em−em ) v R
Ls= 3,6 r e
(2.7)

Keterangan:

Vr = kecepatan rencana, (km/jam)

em = Superelevasi maksimum

en = Superelevasi normal

re = Tingkat percapaian perubahan kemiringan melintang jalan

(m/m/det)

c. Landai Relatif

“Kelandaian relatif adalah kelandaian akibat perbedaan elevasi tepi

perkerasan sebelah luar sepanjang lengkung pealihan. Perbedaan elevasi

didasarkan pada tinjauan perubahan bentuuk penampang melintang jalan, belum

merupakan gabungan dari perbedaan elevasi akibat kelandaian vertikal jalan”.

(Hamirin Saodang, 2004:19).

Berdasarkan TPGJAK No 038/T/BM/1997 rumus kelandaian relatif:

1/m=¿ ¿ (2.8)
19

Keterangan:

1/m = Landai relatif, (m)

e = Superelevasi, (%)

en = kemiringan melintang normal, (%)

B = Lebar lajur, (m)

d. Tikungan F-C (Full Circle)

Gambar 2.
2 Lengkung
Full Circle
Sumber: Geometrik Jalan Perkotaan RSNI T-14-2004
20

Full Circle atau lengkungan busur lingkaran adalah tikungan yang berbentuk

busur lingkaran secara penuh, tikungan ini memiliki satu titik pusat lingkaran

dengan jari-jari yang seragam.

Tapi tidak semua lengkungan dapat dibuat berbentuk busur lingkaran

sederhana, hanya lengkung radius yang besar yang diperbolehkan. Pada tikungan

yang tajam, dimana radius lengkung kecil dan superelevasi yang di butuhkan

besar, lengkung dengan bentuk busur lingkaran akan menyebabkan perubahan

kemiringan melintang besar. Lengkung busur lingkaran sederhana hanya dapat

digunakan untuk radius lengkung yang besar (disarankan > dimana superelevasi

yang dibutuhkan kurang atau sama dengan 3%).

1
Tc =Rc.Tg. .∆ (2.9)
2

1
Ec =Tc.tan. .∆ (2.10)
4

∆ .2 . π . Rc
Lc = (2.11)
360

Keterangan:

∆ =Sudut tikungan, (ᵒ)

TC = Tangen to circle

CT = Circle to tangen

Rc = jari-jari busur lingkaran, (m)

Tc = Panjang tangen (jarak dari TC ke PI atau PI ke TC), (m)

Lc = Panjang busur lingkaran, (m)


21

Ec = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran, (m)

Full circle ini jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran

saja. Tikungan F-C hanya digunakan untuk R (jari-jari) yang besar agar tidak

terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar.

Tabel 2. 8 Jari-jari Tikungan yang Tidak Memerlukan Lengkungan Peralihan


2
Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30
0

250 150 90 50 35 25 13 6
Rmin (m)
0 0 0 0 0 0 0 0

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

e. Tikungan S-C-S (Spiral Circle Spiral)

“Tikungan S-C-S (Spiral Circle Spiral) adalah lengkung peralihan spiral yang

menghubungkan bagian lurus dengan radius tak terhingga di awal spiral (sebelah

kiri TS) dan bagian berbentuk lingkaran dengan radius = Rc di akhir spiral

(sebelah kanan SC). Titik TS adalah titik peralihan bagian lurus ke bagian

berbentuk spiral dan titik SC adalah titik peralihan bagian spiral ke bagian

lingkaran”. (Hamirin Saodang, 2004:19).

Rumus yang dipergunakan:

Ls 360
θs= x ................................................................................(2.12)
2. Rc 2 π

∆ c=∆−(2 θs) ..................................................................................(2.13)

Ls2
Xc= Ls-( )
2 ...................................................................................(2.14)
40 x Rc
2
Ls
Yc= .................................................................................................(2.15)
6. Rc

P= Yc-Rc(1-cosθs ¿..............................................................................(2.16)
22

K= Xc−Rcsinθs .............................................................................(2.17)

Rc+ p
Es= −Rc
1 ..................................................................................(2.18)
cos ∆
2

∆ cx 2 πxRc
Ts= ......................................................................................(2.19)
360 0

∆ .2 . π . Rc
Lc=¿ .......................................................................................(2.20)
360

Ltot=Lc +(2 Ls) T............................................................................(2.21)

Jika P yang dihitung dengan rumus di atas, maka ketentuan tikungan yang

digunakan bentuk S-C-S.

Ls 2
P= <0,25m..................................................................................(2.22)
24 Rd

Ga
mba r 2.
3

Lengkung Spiral-Circle-Spiral
Sumber: Geometrik Jalan Perkotaan RSNI T-14-2004
Keterangan:

Xc = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik ST ke SC, (m)
23

Yc = Jarak tegak lurus ke titik SC pada lengkung, (m)

Ls = Panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST, (m)

Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS), (m)

Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST, (m)

TS = Titik dari tangen ke spiral

SC = Titik dari spiral ke lingkaran

Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran, (m)

θs = Sudut lengkung spiral, (ᵒ)

Rc = Jari-jari rencana, (m)

p = Pergeseran tangen terhadap spiral, (m)

k = Absis dari p pada garis tangen spiral, (m)

f. Tikungan S-S (Spiral Spiral)

“Lengkung horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur

lingkaran, sehingga titik SC berimpitan dengan CS. Panjang busur lingkaran Lc =

1
0 dan θs= . β . Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga relatif minimum
2

yang disayaratkan”. (Ir.Hamirin Saodang, 2004:19).


24

Gambar 2. 4 Lengkung Spiral –Spiral


Sumber: Geometrik Jalan Perkotaan RSNI T-14-2004

Rumus yang dipergunakan:

1
θs= ∆ ...............................................................................................(2.23)
2

Ltot=2 Ls ..........................................................................................(2.24)

θsxπxRd
Ls= ........................................................................................(2.25)
90 0

Yc, Xc, p, k, Ts, dan Es rumus sama dengan lengkung peralihan. Tabel 2.7

merupakan panjang lengkung peralihan minimum (emaks=10%).

g. Diagram Superelevasi

Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada daerah tikungan. Untuk

bagian jalan lurus, jalan mempunyai kemiringan melintang yang biasa disebut

lereng normal atau Normal Trawn yaitu diambil 2% baik sebelah kiri maupun

sebelah kanan as jalan. Hal ini dipergunakan untuk sistem drainase aktif. Harga

elevasi (e) yang menyebabkan kenaikan elevasi terhadap sumbu jalan diberi tanda

(+) dan yang menyebabkan penurunan terhadap jalan diberi tanda (-).

“Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada

bagian jalan yang lurus, sampai ke kemiringan maksimum (superelevasi) pada

bagian lengkung jalan. Dengan mempergunakan diagram superelevasi, dapat


25

ditentukan bentuk penampang melintang pada setiap titik di suatu lengkung

horizontal yang direncanakan”. (Hamirin Saodang, 2004:19).

Adapun ketentuan-ketentuan dalam pencapaian superelevasi untuk semua

jenis tikungan tersebut antara lain:

● Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normalpada

bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada

bagian lengkung.

● Pada tikungan S – C – S, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear,

diawali dari bentuk normal ( ) sampai awal lengkung peralihan

(TS) yang berbentuk ( ) pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan

sampai superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan (SC).

● Pada tikungan F – C, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear, diawali

dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh

sepanjang 1/3Ls.

● Pada tikungan S – S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada

bagian spiral. e. Superelevasi tidak diperlukan jika radius (R) cukup besar,

untuk itu cukup lereng luar diputar sebesar lereng normal (LP), atau bahkan

tetap lereng normal (LN).


26

Gambar 2. 5 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe SCS


Sumber: Geometrik Jalan Perkotaan RSNI T-14-2004

Gambar 2. 6 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe FC


Sumber: Geometrik Jalan Perkotaan RSNI T-14-2004
27

Gambar 2. 7 Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe SS


Sumber: Geometrik Jalan Perkotaan RSNI T-14-2004

Tabel 2. 9 Panjang Lengkung Peralihan Minimum dan Superelevasi yang di


Butuhkan (Emaks=10% Metode Bina Marga)
V = 80
D (°) R (m) V = 50 km/jam V = 60 km/jam V = 70 km/jam km/jam V = 90 km/jam

E Ls e Ls e Ls e Ls e Ls

0,250 5730 LN 0 LN 0 LN 0 LN 0 LN 0

0,500 2865 LN 0 LN 0 LP 60 LP 70 LP 75

0,750 1910 LN 0 LP 50 LP 60 0,020 70 0,025 75

1,000 1432 LP 45 LP 50 0,021 60 0,027 70 0,033 75

1,250 1146 LP 45 LP 50 0,025 60 0,033 70 0,040 75

1,500 955 LP 45 0,023 50 0,030 60 0,038 70 0,047 75

1,750 819 LP 45 0,026 50 0,035 60 0,044 70 0,054 75

2,000 716 LP 45 0,029 50 0,039 60 0,049 70 0,060 75

2,500 573 0,026 45 0,036 50 0,047 60 0,059 70 0,072 75

3,000 477 0,030 45 0,042 50 0,055 60 0,068 70 0,081 75

3,500 409 0,035 45 0,048 50 0,062 60 0,076 70 0,089 75

4,000 358 0,039 45 0,054 50 0,068 60 0,082 70 0,095 75

4,500 318 0,043 45 0,059 50 0,074 60 0,088 70 0,099 75

5,000 286 0,048 45 0,064 50 0,079 60 0,093 70 0,100 75

6,000 239 0,055 45 0,073 50 0,088 60 0,098 70 Dmaks = 5,12

7,000 205 0,062 45 0,080 50 0,094 60 Dmaks = 6,82

8,000 179 0,068 45 0,086 50 0,098 60

9,000 159 0,074 45 0,091 50 0,099 60

10,000 143 0,079 45 0,095 60 Dmaks = 9,12

11,000 130 0,083 45 0,098 60

12,000 119 0,087 45 0,100 60

13,000 110 0,091 50 Dmaks = 12,79

14,000 102 0,093 50

15,000 95 0,096 50

16,000 90 0,097 50

17,000 84 0,099 50
28

V = 80
D (°) R (m) V = 50 km/jam V = 60 km/jam V = 70 km/jam km/jam V = 90 km/jam

E Ls e Ls e Ls e Ls e Ls

18,000 80 0,099 50

19,000 75 Dmaks = 18,85

Sumber: Silvia Sukirman, 1999:113

h. Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan

Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan, dilakukan untuk

mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada

bagian lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada

tikungan cenderung untuk keluar jalur akibat posisi roda depan dan roda belakang

yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan.

Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan, seringkali tak

dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediadakan. Hal ini

disebabkan karena

● Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda depan,

sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking)

● Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpitan, karena bemper depan dan

belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan

roda depan dan roda belakang kendaraan.

● Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasannya

tetap pada jalurnya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau pada

kecepatan-kecepatan yang tinggi. Untuk menghindari hal tersebut di atas,

maka pada tikungan yang tajam perlu diadakan pelebaran perkerasan jalan.

(Hamirin Saodang, 2004:19).


29

Gambar 2. 8. Pelebaran Perkerasan pada Tikungan


Sumber: Ir.Hamirin Saodang, 2004:19

Rumus-rumus yang digunakan:

B=n ( b' + c ) + ( n−1 ) Td +Z (2.26)

'
b =B+ b (2.27)

b ' =R c2 √ ❑ (2.28)

Td=√ ❑ (2.29)

Keterangan:

B = Lebar perkerasan pada tikungan, (m)

n = Jumlah jalur lalu lintas

b = Lebar lintasan truk pada jalur lurus, (m)

b’ = Lebar lintasan truk pada tikungan, (m)

p = Jarak As roda depan dengan roda belakang truk, (m)


30

A = Tonjolan depan sampai bamper, (m)

Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan, (m)

Z = Lebar tambahan akibat kelelahan pengemudi, (m)

c = Kebebasan samping, (m)

e = Pelebaran perkerasan, (m)

Rc = Jari-jari rencana, (m)

i. Kebebasan Samping

Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (di tikungan) adalah

daerah bebas samping di tikungan dimana ada ruang untuk menjamin kebebasan

pandangan pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas

samping). Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan

pandangan di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh M

(m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang pandangan

sehingga persyaratan jarak pandang henti dipenuhi.

● Jarak Pandang Henti (Jh)<panjang tikungan

900 Jh
E=R(1−cos cos ) (2.30)
πR

● Jarak Pandang Henti (Jh)>panjang tikungan

0 0
90 Jh 1 ( 90 Jh
E=R(1−cos cos ) Jh−¿ ) sin ⁡¿ ¿ (2.31)
πR 2 πR

Keterangan:

R = Jari-jari tikungan, (m)


31

Jh = Jarak pandang, (m)

Lt = Panjang tikungan, (m)

j. Jarak Pandang Horizontal

Jarak pandang adalah jarak sepanjang tenga-tengah suatu jalur jalan dari mata

pengemudi ke suatu titik di muka pada garis yang sama yang dapat dilihat oleh

pengemudi. (RSNI T – 14 – 2004: 2).

Jarak pandang pengemudi kendaraan yang bergerak pada lajur tepi sebelah

dalam seringkali terhalang oleh gedung-gedung, hutan-hutan kayu, tebing galian

dan lainnya.

Perhitungan untuk jarak pandang kendaraan antara lain:

(2.32)

Keterangan:

VR = Kecepatan rencana, (km/jam)

f = Koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal (0,35-0,55)

Jarak Pandang Henti (Jh) dan Jarak Pandang Mendahului (Jd) dapat dibedakan

pada tabel berikut:

Tabel 2. 10 Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum


12
VR, (km/jam) 100 80 60 50 40 30 20
0

25
Jh minimum, (m) 175 120 75 55 40 27 16
0

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

Tabel 2. 11 Jarak Pandang Mendahului


VR, (km/jam) 120 10 80 60 50 40 30 20
32

67 25
Jd, (m) 800 550 350 200 15 100
0 0

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

1.1.5 Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang

perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui tepi

dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median. Seringkali disebut

juga sebagai penampang memanjang jalan.

Perencanaan alinyemen vertikal dipengaruhi oleh besarnya biaya

pembangunan yang tersedia. Alinyemen vertikal yang mengikuti muka tanah asli

akan mengurangi pekerjaan tanah, tetapi mungkin saja akan mengakibatkan jalan

itu terlalu banyak mempunyai tikungan.

“Alinyemen vertikal ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian lurus

dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai

nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau

lengkung cembung. Kemungkinan pelaksanaan pembangunan secara bertahap

harus dipertimbangkan, misalnya peningkatan perkerasan, penambahan lajur, dan

dapat dilaksanakan dengan biaya yang efisien. Sekalipun demikian, perubahan

alinyemen vertikal dimasa yang akan datang sebaiknya dihindarkan”. (RSNI T –

14 – 2004:40).

1. Kelandaian Alinyemen Vertikal


33

a. Landai Minimum

Untuk tanah timbunan yang tidak menggunakan kerb, maka lereng melintang

jalan dianggap sudah cukup untuk dapat mengalirkan air diatas badan jalan yang

selanjutnya di buang ke lereng.

Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu dibuat

kelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena

kemiringan jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan air kesamping.

Untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengan medan datar dan

menggunakan kerb, kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15%, yang dapat

membantu mengalirkan air dari atas badan jalan dan membuangnya ke saluran

tepi atau saluran pembuangan.

Sedangkan untuk jalan-jalan di daerah galian atau jalan yang memakai kerb,

kelandaian jalan minimum yang dianjurkan adalah 0,30-0,50%. Lereng melintang

jalan hanya cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh diatas badan jalan,

sedangkan landai jalan dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar saluran

samping, untuk membuang air permukaan sepanjang jalan.

b. Landai Maksimum

Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk menjaga agar kendaraan dapat

bergerak terus tanpa kehilangan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan

pada kecepatan truk yang bermuatan penuh mampu bergerak, dengan penurunan

kecepaan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan

gigi rendah.

Tabel 2. 12 Kelandaian Maksimum yang Diijinkan


Landaimaks, (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
34

8
Vr, (km/jam) 120 110 100 60 50 40 40
0

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

c. Panjang Kritis Suatu Kelandaian

Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar

kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa, sehingga

penurunan kecepatan yang terjadi tidak lebih dari separuh kecepatan rencana (V R).

(Hamirin Saodang, 2004:19).

Berikut adalah panjang kritis yang dapat digunakan berdasarkan kecepatan

pada awal tanjakan dan kelandaian:

Tabel 2. 13 Panjang Kritis (m)


Kecepatan pada awal Kelandaian, (%)
tanjakan, (km/jam) 4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

2. Lengkung Vertikal

Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami

perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan

kelandaian. Panjang lengkung vertikal dapat dihitung dengan berdasarkan kepada

beberapa pertimbangan sebagai berikut.


35

Pergantian dari suatu kelandaian ke kelandaian berikutnya, dilakukan dengan

mempergunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal direncanakan sedemikian

rupa sehingga dapat memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase.

Berdasarkan syarat keluwesan bentuk:

(2.33)

Berdasarkan syarat drainase:

(2.34)

Berdasarkan syarat kenyamanan pengemudi:

(2.35)

Berdasarkan pengurangan goncangan:

(2.36)

Keterangan :

Lv = Panjang lengkung vertikal, (m)

V = Kecepatan rencana, (km/jam)

A = Perbedaan grade/kelandaian, (%)

T = ditentukan 3 detik

Jenis lengkungan vertikal dilihat dari titik perpotongan kedua bagian yang

lurus (tangens) adalalah:

● Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara

kedua tangen berada di bawah permukaan jalan,

● Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara

kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan. (Hamirin

Saodang, 2004:19).
36

Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung,

panjangnya ditetapkan dengan rumus:

(2.37)

Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung,

panjangnya ditetapkan dengan rumus:

.........................................................................................(2.38)

Keterangan:

L = Panjang lengkung vertikal, (m)

A = Perbedaan grade, (m)

Jh = Jarak pandang henti, (m)

Tabel 2. 14 Panjang Minimum Lengkung Vertikal


Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkung
(km/jam) Memanjang (%) (m)

<40 1 20 – 30

40 – 60 0,6 40 – 80

>60 0,4 80 – 150

Sumber: TPGJAK NO.038/T/BM/1997

atau bisa ditentukan dengan rumus:

(2.39)

3. Galian Timbunan

Cara menghitung volume galian maupun timbunan dari gambar potongan

melintang. Dari gambar-gambar tersebut dapat dihitung luas galian dan timbunan,
37

sedangkan masing-masing jarak antar profil dapat dilihat dari potongan

memanjang.
38

Tabel 2. 15 Perhitungan Galian dan Timbunan

Luas Penampang Melintang (m2) Volume (m3)


Jarak
Titik Stasion Galia Rata-rata
Timbunan (m) Galian Timbunan
n Galian Timbunan
         
STA + jarak
1 AG1 AT1
awal
(AT1+AT2)/ ((AT1+AT2)/
(AG1+AG2)/2 J1 ((AG1+AG2)/2)*J1
2 2)*J1
2 STA + jarak AG2 AT2
         
Total (Ʃ) (Ʃ) Jarak (Ʃ) Galian (Ʃ) Timbunan
39

1.2 Perencaan Tebal Perkerasan

“Perkerasan jalan adalah bagian dari jalur lalu lintas, yang bila kita perhatikan

secara strukturil pada penampang melintang, merupakan penampang struktur

dalam kedudukan yang paling sentral dalam suatu badan jalan. Lalu lintas

langsung terkonsentrasi pada bagian ini, dan boleh dikatakan merupakan urat nadi

dari suatu konstruksi jalan. Perkerasan jalan dalan kondisi baik maka arus lalu

lintas akan berjalan dengan lancar, demikian sebaiknya kalau perkerasan jalan

rusak, lalu lintas akan sangat terganggu”. (Hamirin Saodang, 2005:1).

1.2.1 Jenis Konstruksi Perkerasan

Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat

dibedakan menjadi: (Berdasarkan Sukirman 2010:9),

1 Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya

bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

2 Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Pelat beton

dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa

lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat

beton.

3 Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku

yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan

lentur di atas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.
40

1.2.2 Umur rencana

Umur rencana adalah jumlah waktu dalam tahun yang dihitung sejak jalan

tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu

untuk diberi lapis permukaan yang baru. Pemilihan umur rencana dapat dilihat

pada tabel 2.15.

Tabel 2. 16 Umur Renacana Perkerasan Jalan Baru (UR)

Umur
Jenis
Elemen Perkerasan Rencana
Perkerasan
(tahun)

Lapisan aspal dan lapisan berbutir 20

Fondasi Jalan

Perkerasan Semua Perkerasan untuk daerah yang tidak


Lentur dimungkinkan pelapisan ulang (overlay),
seperti: jalan perkotaan, underpass, jembatan,
terowongan. 40

Cement Treated Based (CTB)

Perkerasan Lapis fondasi atas, lapis fondasi bawah, lapis


Kaku beton semen, dan fondasi jalan

Jalan Tanpa
Semua elemen (termasuk fondasi jalan) Minimum 10
Penutup

Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017

1.2.3 Struktu Perkerasan Lentur

Struktur perkerasan jalan lentur dibuat secara berlapis dan terdiri atas

lapisan permukaan (surface couse) yaitu lapisan aus dan lapisan antara. Lapisan

dibawahnya ialah lapisan pondasi yang terdiri dari lapisan pondasi atas (base

course) dan pondasi bawah (subbase course). Lapisan ini terletak diatas tanah

dasar yang dipadatkan (subgrade).


41

Masing-masing lapisan di atas termasuk tanah dasar secara bersama-sama

memikul beban lalu lintas. Tebal struktur perkerasan dibuat sedemikian rupa

sampai batas kemampuan tanah dasar memikul beban lalu lintas, atau dapat

dikatakan tebal struktur perkerasan sangat tergantung pada kondisi atau daya

dukung tanah dasar.

Gambar 2. 9 Lapisan Perkerasan


Sumber: Sukirman (2003)

Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi berdasarkan volume lalu lintas,

umur rencana, dan kondisi fondasi jalan. Batsan pada tabel 2.16 tidak mutlak,

perencanaan harus mempertimbangkan biaya terendah selama umur rencana.


42

Tabel 2. 17 Pemilihan Jenis Perkerasan


ESA (juta) dalam 20 tahun (pangkat 4 kecuali
Struktur Bagan ditentukan lain)
Perkerasan Desain
0 – 0,5 0,1 – 4 >4 – 10 >10 – 30 >30 – 200

Perkerasan
kaku dengan
lalu lintas
berat (di 4 - - 2 2 2
atas tanah
dengan CBR
≥2,5%
Perkerasan kaku
dengan lalu lintas
rendah (daerah 4A - 1,2 - - -
pedesaan dan
perkotaan)

AC WC
modifikasi atau
SMA modifikasi 3 - - - 2 2
dengan CTB
(ESA pangkat 5)

AC dengan CTB
3 - - - 2 2
(ESA pangkat 5)

AC tebal
≥100 mm
dengan lapis
fondasi 3B - - 1,2 2 2
berbutir
(ESA pangkat
5)
AC atau HRS
tipis diatas lapis 3A - 1,2 - - -
fondasi berbutir

Burda atau Burtu 5 3 3 - - -


dengan LPA
Kelas A atau
43

ESA (juta) dalam 20 tahun (pangkat 4 kecuali


Struktur Bagan ditentukan lain)
Perkerasan Desain
0 – 0,5 0,1 – 4 >4 – 10 >10 – 30 >30 – 200

batuan asli

Lapis Fondasi
6 1 1 - - -
Soil Cement

Perkerasan tanpa
penutup (Japat, 7 1 - - - -
jalan kerikil)

1.2.4 Lalu Lintas

Faktor lalu lintas sangat berpengaruh terhadap perencanaan perkerasan

jalan, baik tebal, atau pun pemiihan jenis perkerasan yang akan digunakan.

1 Analisis Volume Lalu Lintas

“Volume lalulintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang melewati

satu titik pengamatan selama satu satuan waktu (hari, jam, atau menit). Lalulintas

harian rata-rata adalah volume lalulintas rata-rata dalam satu hari”. (Sukirman,

2010:56)

Parameter yang penting dalam analisis struktur perkerasan adalah data lalu

lintas yang diperlukan untuk menghitung beban lalu lintas rencana yang dipikul

oleh perkerasan selama umur rencana. Beban dihitung dari volume lalu lintas pada

tahun survei yang selanjutnya diproyeksikan ke depan sepanjang umur rencana.

Volume tahun pertama adalah volume lalu lintas sepanjang tahun pertama setelah

perkerasan diperkirakan selesai dibangun atau direhabilitasi.

Elemen utama beban lalu lintas dalam desain adalah:


44

a. Beban gandar kendaraan komersial,

b. Volume lalu lintas yang dinyatakan dalam beban sumbu standar.

Analisis volume lalu lintas didasarkan pada survei yang diperoleh dari:

a. Survei lalu lintas, dengan durasi minimal 7 x 24 jam. Survei dapat dilakukan

secara manual mengacu pada Pedoman Survei Perencanaan Lalu Lintas (Pd

T-19-2004-B) atau menggunakan peralatan dengan pendekatan yang sama,

b. Hasil-hasil lalu lintas sebelumnya.

2 Data Lalu Lintas

Akurasi data lalu lintas penting untuk menghasilkan desain perkerasan

efektif. Data harus meliputi semua jenis kendaraan komersial. Apabila diketahui

atau diduga terdapat kesalahan data, harus dilakukan perhitungan lalu lintas

khusus sebelum perencanaan akhir dilakukan.

3 Jenis Kendaraan

Beban gandar kendaraan penumpang dan kendaraan ringan sampai sedang

cukup kecil sehingga tidak berpotensi menimbulkan kerusakan struktural pada

perkerasannya. Hanya kendaraan niaga dengan jumlah roda enam atau lebih yang

perlu diperhitungkan dalam analisis.

Tabel 2. 18 Golongan dan Kelomok Kendaraan


Golonga Kelompok
Jenis Kendaraan Konfigurasi Kode
n Kendaraan

Sepeda motor,
1 kendaraan roda-
3
45

Golonga Kelompok
Jenis Kendaraan Konfigurasi Kode
n Kendaraan

Sedan, jeep,
2 1.1
station wagon

Angkutan
3 penumpang 1.1
sedang

Pick-up, micro
4 truk dan mobil 1.1
hantaran

5a Bus kecil 1.1

5b Bus besar 1.2

Truk ringan 2
6a 1.1
sumbu

Truk sedang 2
6b 1.2
sumbu

7a Truk 3 sumbu 1.2.2

1.2.2-
7b Truk gandeng
2.2

1.2.2-
7c Truk semitrailer
2.2

Kendaraan tidak
8
bermotor

Sumber: Pd T-19-2004-B

4. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas

Faktor pertumbuhan berdasarkan lalu lintas berdasarkan data-data

pertumbuhan series (historical growth data) atau formulasi korelasi dengan faktor
46

pertumbuhan lain yang berlaku. Jika tidak tersedia data maka dapat berdasarkan

tabel 2.19.

Tabel 2. 19 Faktor Laju Pertumbuhan Lalu Lintas (i), (%)


Jeni
Jawa Sumatera Kalimantan
s

Arteri dan
4,80 4,83 5,14 4,75
Perkotaan

Kolektor
3,50 3,50 3,50 3,50
Rural

Jalan Desa 1,00 1,00 1,00 1,00

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017

Pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana dihitung dengan faktor

pertumbuhan kumulatif (Cumulative Growth Factor):

(2.40)

Keterangan:

R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif

i = Laju pertumbuhan lalu lintas tahunan, (%)

UR = Umur rencana, (tahun)

Apabila diperkirakan akan terjadi perbedaan laju pertumbuhan tahunan

sepanjang total umur rencana (UR), dengan i1% selama periode awal (UR 1 tahun)

dan i2% selama sisa periode berikutnya (UR – UR1), faktor pengali pertumbuhan

lalu lintas kumulatif dapat dihitung dari rumus 2.41:

(2.41)
47

Keterangan:

i1 = Laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode 1, (%)

i2 = Laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode 2, (%)

UR1 = Umur rencana periode 1, (tahun)

Rumus di atas digunakan untuk periode rasio volume

kapasitas (RVK) yang belum mencapai tingkat kejenuhan

(RVK ≤ 0,85). Apabila kapasitas lalu lintas diperkirakan

tercapai pada tahun ke (Q) dari umur rencana (UR), faktor

pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif dihitung

dengan:

(2.42)

5. Lalu Lintas Pada Lajur Rencana

Lajur rencana adalah salah satu lalu lintas dari suatu ruas jalan yang

menampung lalu lintas kendaraan niaga (truk dan bus) paling besar. Beban lalu

lintas pada lajur rencana dinyatakan dalam kumulatif beban gandar standar (ESA)

dengan memperhitungkan faktor distribusi arah (DD) dan faktor distribusi lajur

kendaraan niaga (DL).

Faktor distribusi lajur digunakan untuk menyesuaikan beban kumulatif (ESA)

pada jalan dengan dua lajur atau lebih dalam satu arah. Pada jalan yang demikian,

walaupun sebagian besar kendaraan niaga akan menggunakan lajur luar, sebagian
48

lainnya akan menggunakan lajur-lajur dalam. Faktor distribusi lajur berdasarkan

jumlah lajur setiap arah dilihat pada Tabel 2.18.

Tabel 2. 20 Faktor Distribusi Lajur (DL)


Jumlah Lajur Setiap Kendaraan Niaga pada Lajur Desain (% terhadap
Arah populasi kendaraan niaga)

1 100

2 80-100

3 60-80

4 50-75

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017

6. Faktor Ekivalen Beban (Vehicle Demage Factor)

Dalam desain perkerasan, beban lalu lintas dikonversi ke beban standar

(ESA) dengan menggunakan faktor ekivalen beban (vehicle damage factor).

Analisis struktur perkerasan dilakukan berdasarkan jumlah kumulatif ESA pada

lajur rencana sepanjang umur rencana.

Desain yang akurat memerlukan perhitungan beban lalu lintas yang akurat.

Studi atau survei beban gandar yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik

merupakan dasar perhitungan ESA yang andal. Oleh sebab itu, survey beban

gandar harus dilakukan apabila dimungkinkan. Ketentuan pengumpulan data

beban gandar terdapat pada Tabel 2.21.

Tabel 2. 21 Pengumpulan Data Gandar


Spesifikasi Penyediaan Prasarana Jalan Sumber Data Beban Gandar*

Jalan Beban Hambatan 1 atau 2

Jalan Raya 1 atau 2 atau 3

Jalan Sedang 2 atau 3


49

Spesifikasi Penyediaan Prasarana Jalan Sumber Data Beban Gandar*

Jalan Kecil 2 atau 3

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017

Data beban gandar dapat diperoleh dari:

a. Jembatan timbang, timbangan statis atau WIM (survei langsung).

b. Survei beban gandar pada jembatan timbang atau WIM yang pernah

dilakukan dan dianggap cukup representatif.

c. Data WIM regional yang dikeluarkan oleh Dirjen Bina Marga.

Jika survei beban gandar tidak mungkin dilakukan oleh perencana dan data

survei beban gandar sebelumnya tidak tersedia, maka perhitungan untuk

menghitung ESA dapat menggunakan nilai VDF pada Tabel 2.21 dan Tabel 2.22.

Tabel 2. 22 Nilai VDF Masing-masing Jenis Kendaraan Niaga


Jawa

Jenis Beban Aktual Normal


Kendaraan
VDF
VDF 4 VDF 4 VDF 5
5

5B 1,0 1,0 1,0 1,0

6A 0,55 0,5 0,55 0,5

6B 5,3 9,2 4,0 5,1

7A1 8,2 14,4 4,7 6,4

7A2 10,2 19,0 4,3 5,6

7B1 11,8 18,2 9,4 13,0

7B2 13,7 21,8 12,6 17,8

7C1 11,0 19,8 7,4 9,7

7C2A 17,7 33,0 7,6 10,2

7C2B 13,4 24,2 6,5 8,5


50

Jawa

Jenis Beban Aktual Normal


Kendaraan
VDF
VDF 4 VDF 4 VDF 5
5

7C3 18,1 34,4 6,1 7,7

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017


51

Tabel 2. 23 Nilai VDF Masing-masing Kendaraan Niaga


Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

6a.1 6.1 Truk 2 1.1 muatan 2 4,6 6,00 0,3 0,2


sumbu – umum
cargo ringan
52

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

tanah,
Truk 2
pasir,
6a.2 6.2 sumbu – 1.2 2 0,8 0,8
besi,
ringan
semen
53

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

Truk 2 - -
muatan
6b1.1 7.1 sumbu – 1.2 2 0,7 0,7
umu
cargo sedang

6b1.2 7.2 Truk 2 1.2 tanah, 2 1,6 1,7


54

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

pasir,
sumbu –
besi,
sedang
semen

6b2.1 8.1 Truk 2 1.2 muatan 2 3,8 5,50 0,9 0,8


55

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

sumbu –
umum
berat

6b2.2 8.2 Truk 2 1.2 tanah, 2 7,3 11,2


sumbu – pasir,
56

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

besi,
berat
semen

7a1 9.1 Truk 3 1.22 muatan 3 3,9 5,60 7,6 11,2


sumbu –
57

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

ringan umum

7a2 9.2 Truk 3 1.22 tanah, 3 28,1 64,4


sumbu – pasir,
sedang besi,
58

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

semen

7a3 9.3 Truk 3 1.1.2 3 0,1 0,10 28,9 62,2


sumbu –
59

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

berat

7b 10 Truk 2 1.2.2.2 4 0,5 0,70 36,9 90,4


sumbu dan
trailer
60

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

penarik 2
sumbu

7c1 11 Truk 4 1.2-22 4 0,3 0,50 13,6 24,0


sumbu –
61

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

trailer

7c2.1 12 Truk 5 1.2-22 5 0,7 1,00 19,0 33,2


sumbu –
62

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

trailer

7c2.2 13 Truk 5 1.2-222 5 30,3 69,7


sumbu –
63

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

trailer
64

Faktor Ekivalen
Jenis Kendaraan Distribusi Tipikal (%)
Beban

Konfig semua
Kel. kendaraan
Uraian urasi semua
Klasifikasi Sumbu bermotor
Alternatif Sumbu kendaraan VDF 44 VDF 55
Lama kecuali
bermotor
sepeda
motor
Muatan
Sepeda yang
1 1 1.1 2 30,4
motor Diangkut
Sedan/
Angkot/
2, 3, 4 2, 3, 4 Pick-up/ 1.1 2 51,7 74,3
Station
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0,3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

Truk 6
1.22-
7c3 14 sumbu – 6 0,3 0,50 41,6 93,7
222
trailer
65

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017


66

7. Beban Sumbu Standar Kumulatif

Beban sumbu standar kumulatif atau cumulative single axle load (CESAL)

merupakan jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas desain pada lajur desain

selama umur rencana, dengan menggunakan VDF masing-masing kendaraan

niaga yang ditentukan sebagai berikut:

(2.43)

Keterangan:

ESATH-1 = Kumulatif lintasan sumbu standar ekivalen (equivalen standard

axle) pada tahun pertama

LHRJK = Lintasan harian rata-rata tiap jenis kendaraan niaga, (satuan

kendaraan per hari)

VDFJK = Faktor ekivalen beban (vehicle damage factor)

DD = Faktor distribusi arah

DL = Faktor distribusi lajur

CESAL = Kumulatif beban sumbu standar ekivalen selama umur rencana

R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas

1.2.5 Daya Dukung Tanah Dasar

Tanah dasar dapat terdiri dari tanah dasar tanah asli, tanah dasar tanah

galian, atau tanah dasar tanah urug yang disiapkan dengan cara dipadatkan. Di

atas lapisan tanah dasar diletakkan lapisan struktur perkerasan lainnya, oleh

karena itu mutu daya dukung tanah dasar ikut mempengaruhi mutu jalan secara

keseluruhan.
67

Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah perlunya membedakan

daya dukung rendah yang bersifat lokal (setempat) dengan daya dukung tanah

dasar yang lebih umum (mewakili suatu lokasi). Tanah dasar lokal dengan daya

dukung rendah biasanya dibuang dan diganti dengan material yang lebih baik atau

ditangani secara khusus.

Dua metode perhitungan CBR karakteristik diuraikan sebagai berikut:

a. Metode Distribusi Normal Standar

Jika tersedia cukup data yang valid (minimum 10 titik data uji per segmen

yang seragam) menggunakan rumus2.4:

(2.44)

Dengan,

f = 1,645 (probabilitas 95%), untuk jalan tol atau jalan bebas hambatan

f = 1,282 (probabilitas 90%), untuk jalan kolektor dan arteri

f = 0,842 (probabilitas 80%), untuk jalan lokal dan jalan kecil

Koefisien variasi (CV) maksimum dari data CBR untuk suatu segmen tidak lebih

besar dari 25%. Koefisien variasi sampai dengan 30% masih boleh digunakan.

Apabila jumlah data per segmen kurang dari 10 maka nilai CBR terkecil dapat

mewakili sebagai CBR segmen.

b. Metode Persentil

Metode persentil menggunakan distribusi data nilai CBR pada segmen

seragam yang dianggap terdistribusi secara normal. Nilai persentil ke “x” dari

suatu kumpulan data membagi kumpulan data tersebut dalam dua bagian, yaitu
68

bagian yang mengandung “x” persen data dan bagian yang mengandung (100 – x)

persen data.

th
Nilai CBR yang dipilih adalah adalah nilai persentil ke 10 (10 percentile)

yang berarti 10% data segmen yang bersangkutan lebih kecil atau sama dengan

nilai CBR pada persentil tersebut. Atau: 90% dari data CBR pada segmen seragam

tersebut lebih besar atau sama dengan nilai CBR pada persentil tersebut.

Prosedur perhitungan untuk presentil ke – 10 adalah sebagai berikut:

i. Susun data CBR secara berurutan dari nilai terkecil hingga terbesar.

ii. Hitung jumlah total data nilai CBR (n).

iii. Hitung 10% dari (n), nilai yang diperoleh disebut sebagai indeks.

iv. Jika indeks yang diperoleh dari langkah (iii) merupakan bilangan pecahan,

lakukan pembulatan ke bilangan terdekat dan lanjutkan ke langkah v(a). Jika

indeks yang dihasilkan berupa bilangan bulat, lanjutkan ke langkah v(b).

v. (a) Dari kumpulan data yang sudah diurutkan (langkah 1), hitung mulai dari

data terkecil hingga mencapai data diurutan yang diperoleh dari langkah 3. Nilai

CBR pada urutan tersebut adalah nilai CBR persentil ke – 10.

v. (b) Dari kumpulan data yang sudah diurutkan (langkah 1), hitung mulai dari

data terkecil hingga mencapai data diurutan yang diperoleh dari langkah 3. Nilai

CBR persentil ke – 10 adalah nilai rata-rata dari dua nilai CBR yaitu CBR pada

urutan tersebut dan urutan berikutnya.

Dalam penetapan nilai karakteritsik, nilai-nilai CBR yang kecil, bersifat lokal

(terisolasi) dan terindikasi memerlukan penanganan khusus, dikeluarkan dari


69

kumpulan data dengan catatan bahwa penanganan yang tepat harus diprogramkan

pada lokasi bersangkutan.

1.2.6 Fondasi Perkerasan

Fondasi perkerasan tergantung kepada jenis tanah yang terdapat dilokasi

perencanaan jalan.

1. Tanah Dasar Normal

Tanah dasar normal adalah tanah dasar yang secara umum mempunyai

nilai

CBR in-situ lebih besar dari 2,5%, termasuk pada daerah timbunan, galian dan

permukaan tanah asli. Pemilihan tanah dasar dapat dilihat pada Tabel 2.22 berikut:

Tabel 2. 24 Desain Fondasi Jalan Minimum


Perkerasan Lentur

Beban Lalu Lintas pada


Kelas Lajur Rencana (UR = 40
CBR
Kekuatan Tahun)
Tanah Uraian Struktur Fodasi
Tanah
Dasar (%) <2 2-4 >4
Dasar
Tebal minimum perbaikan
tanah dasar

≥6 SG6 Perbaikan tanah Tidak diperlukan perbaikan


dasar dapat
5 SG5 - - 100
berupa
4 SG4 stabilisasi semen 100 150 100
atau material
3 SG3 150 200 300
timbunan pilihan
2,5 SG2.5 (sesuai 175 250 350
persyaratan
Tanah ekspansif spesifikasi umum.
(potensi pemuaian (pemadatan 400 500 600
>5%) lapisan ≤200 mm
tebal gembur)
Perkerasan SG1 Lapis penopang 1000 1100 1200
70

Perkerasan Lentur

Beban Lalu Lintas pada


Kelas Lajur Rencana (UR = 40
CBR
Kekuatan Tahun)
Tanah Uraian Struktur Fodasi
Tanah
Dasar (%) <2 2-4 >4
Dasar
Tebal minimum perbaikan
tanah dasar

di atas
Lapis penopang dan
tanah 650 750 850
geogrid
lunak

Tanah gambut dengan


HRS atau DBST
Lapis penopang berbutir 1000 1250 1500
untuk perkerasan jalan
raya minor

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017

2. Tanah Lunak

Tanah lunak didefinisikan sebagai tanah terkonsolidasi normal atau sedikit

over konsolidasi (lightly over consolidated), biasanya berupa tanah lempung atau

lempung kelanauan dengan CBR kurang dari 2,5% dan kekuatan geser (qc) lebih

kecil dari 7,5 kPa, dan umumnya IP>25.

Metode khusus diperlukan untuk mempersiapkan fondasi jalan yang

memadai di atas tanah terkonsolidasi normal. Metode pemadatan permukaan biasa

dan penggunaan pengujian CBR laboratorium tidak valid karena:

a. Umumnya dalam keadaan jenuh dan tidak dapat dipadatkan secara biasa,
71

b. Dalam keadaan kering, hanya lapis permukaan yang dapat dipadatkan

dengan alat pemadat biasa, sedangkan kepadatan dan kekuatan geser lapisan

di bawahnya akan tetap rendah pada kondisi jenuh.

Tanah terkonsolidasi normal yang mendapat pembebanan statik dan dinamik

akan mengalami pergerakan yang jauh lebih besar (akibat konsilidasi sekunder

atau rangkak) dibandingkan tanah dasar normal yang dipadatkan secara mekanik.

Oleh sebab itu penyebab kerusakan yang berbeda berlaku pada jalan yang

dibangun di atas tanah lunak. Ketentuan yang dijelaskan dalam bagian berikut

adalah ketentuan minimum.

3. Tanah Aluvial Kering

Tanah aluvial kering pada umumnya memiliki kekuatan sangat rendah

(misalnya CBR <2%) di bawah lapis permukaan kering yang relatif keras.

Kedalaman lapis permukaan tersebut berkisar antara 400 – 600 mm. Metode

termudah untuk mengidentifikasi kondisi tersebut adalah menggunakan uji DCP.

1.2.7 Ketebalan Lapis Perkerasan

Keterbatasan pelaksanaan pemadatan dan segregasi menentukan tebal

struktur perkerasan. Perencana harus melihat batasan-batasan tersebut, termasuk

ketebalan lapisan yang diizinkan pada tabel 2.24. Jika pada bagan desain

ditentukan bahwa suatu bahan dihamparkan lebih tebal dari yang diizinkan, maka

bahan tersebut harus dihamparkan dan dipadatkan dalam beberapa lapisan.

Tabel 2. 25 Ketebalan Lapisan yang Diizinkan dan Penghamparan


72

Diijinkan
Tebal Tebal yang
Penghamparan
Bahan Minimum, Diperlukan,
dalam Beberapa
(mm) (mm)
Lapis

HRS WC 30 30 – 50 Tidak

HRS Base 35 35 – 50 Ya

AC WC 40 40 – 50 Tidak

AC BC 60 60 – 80 Ya

AC – Base 75 80 – 120 Ya

Lapis Fondasi Agregat


Kelas A (gradasi
120 150 – 120 Ya
dengan ukuran
maksimum 37,5 mm)

Lapis Fondasi Agregat


Kelas B (gradasi
150 150 – 200 Ya
dengan ukuran
maksimum 50 mm)

Lapis Fondasi Agregat


Kelas S (gradasi
120 125 – 200 Ya
dengan ukuran
maksimum 37,5 mm)

CTB (gradasi dengan


ukuran maksimum 30 100 150 – 200 Tidak
mm) atau LMC

Stabilisasi Tanah atau


100 150 – 200 Tidak
Kerikil Alam

Kerikil Alam 100 100 – 200 Ya

Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017

1.2.8 Daya Dukung Tanah

Struktur perkerasan memerlukan daya dukung tepi yang cukup, terutama

bila terletak pada tanah lunak atau tanah gambut. Ketentuan daya dukung tepi
73

harus dinyatakan secara detil dalam gambar-gambar kontrak (drawings).

Ketentuan minimum adalah:

1. Setiap lapis perkerasan harus dipasang sampai lebar yang sama atau lebih dari

nilai minimum yang dinyatakan pada Gambar 2.10 Dukung Tepi Perkerasan.

2. Timbunan tanpa penahan tanah lunak (CBR <2.5%) atau tanah gambut harus

dipasang pada kemiringan tidak lebih curam dari 1V : 3H.

Gambar 2. 10 Dukung Tepi Perkerasan.


Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017
74

Gambar 2. 11 Dukungan Median Perkerasan.


Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017

1.2.9 Desain Perkerasan

Desain perkerasan berdasarkan beban lalu lintas rencana dan pertimbangan

biaya terendah ditunjukan pada Tabel 2.25, Tabel 2.26, Tabel 2.27, Tabel 2.28,

Tabel 2.29, dan Tabel 2.30.


75

Tabel 2. 26 Bagan Desain - 3. Desain Perkerasan Lentur Opsi Biaya Minimum Dengan CTB1)
F1 F2 F3 F4 F5

Kriteria Untuk lalu lintas dibawah 10


huta ESA5 lihat bagian desain Lihat bagan desain 4 untuk alternatif kaku
3A-3B dan 3C

Reptisi beban sumbu kumulatif 20


> 10 - 30 > 30 -35 > 54 -100 > 100 - 200 > 200 -500
tahun pada lajur (10ESA)

Jenis permukaan berpangkat AC AC

Jenis lapis fondasi Cement Treated Base (CTB)

AC WC 40 40 40 50 50

AC BC 60 60 60 60 60

AC BC ATAU AC Base 75 100 125 160 220

CTB 150 150 150 150 150 - 150

Fondasi agregat kelas A 150 150 150 150 150


76

Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017


77

Tabel 2. 27 Bagan Desain - 3A. Desain Perkerasan Lentur dengan HRS1

Kumulatif beban sumbu 20 tahun pada lajur


FF1 < 0,5 0,5 ≤ FF2 ≤ 4,0
rencana (10 CESA)

Jenis permukaan HRS atau Penetrasi makadam HRS

Struktur perkerasan Tebal lapisan (mm)

HRS WC 50 30

HRS Base - 35

LFA Kelas A 150 250

LFA Kelas A atau LFA Kelas B atau kerikil alam


150 125
atau lapis distabilisasi dengan CBR > 10%

Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017

Tabel 2. 28 Bagan Desain - 3B. Desain Perkerasan Lentur – Aspal dengan Lapis Fondasi Berbutir (Sebagai Alternatif dari Bagan Desain- 3

dan 3A)
78

STRUKTUR PERKERASAN
Kriteria
FFF1 FFF2 FFF3 FFF4 FFF5 FFF6 FFF7 FFF8 FFF9

Solusi yang dipilih Lihat catatan 2

Kumulatif beban sumbu


20 tahun pada lajur >2 >2-4 >4-7 > 7 - 10 >10 - 20 > 20 - 30 > 30 - 50 > 50 - 100 > 100 - 200
rencana (10 ESA5)

KETEBALAN LAPIS PERKERASAN (mm)    

AC WC 40 40 40 40 40 40 40 40 40

AC BC 60 60 60 60 60 60 60 60 60

AC Base 0 70 80 105 145 160 180 210 245

LFA Kelas A 400 300 300 300 300 300 300 300 300

Catatan 1 2 3
Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017

Tabel 2. 29 Bagan Desain - 3C Penyesuaian Tebal Lapis Fondasi Agregat A Untuk Tanah Dasar CBR ≥ 7
% (Hanya Untuk Bagan Desain - 3B)
79

STRUKTUR PERKERASAN
Kriteria
FFF1 FFF2 FFF3 FFF4 FFF5 FFF6 FFF7 FFF8 FFF9

Kumulatif beban
sumbu 20 tahun pada
>2 >2-4 >4-7 > 7 - 10 >10 - 20 > 20 - 30 > 30 - 50 > 50 - 100 > 100 - 200
lajur rencana (10
ESA5)

KETEBALAN LFA A (mm) PENYESUAIAN TERHADAP BAGAN DESAIN 3B

Subgrade CBR ≥
5,5 - 7 400 300 300 300 300 300 300 300 300

Subgrade CBR ≥
7 - 10 330 220 215 210 205 200 200 200 200

Subgrade CBR ≥
10 260 150 150 150 150 150 150 150 150

Subgrade CBR ≥
15 200 150 150 150 150 150 150 150 150
Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017
80

Tabel 2. 30 Bagan Desain – 5. Perkerasan Berbutir dengan Laburan1


STRUKTUR PERKERASAN

SD1 SD2 SD3 SD4 SD5

Beban sumbu 20 tahun pada lajur desain


Jenis Lapisan Perkerasan
(ESA4x10)

< 0,1 0,1 - 0,5 > 0,5 - 4 > 4 - 10 > 10 - 30

Ketebalan lapis perkerasan (mm)

Burda Ukuran agregat nominal 20 mm

Lapis Fondasi Agregat Kelas A 200 250 300 320 340

Lapis Fondasi Agregat Kelas A, atau


kelas B, atau kerikil alam, atau
100 101 102 103 104
stabilisasi dengan CBR > 10%, pada
subgrade dengan CBR ≥ 5%

Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017


81

Tabel 2. 31 Bagan Desain – 6. Perkerasan Dengan Stabilsasi Tanah Semen (Soil Cement)

STRUKTUR PERKERASAN

SC1 SC2 SC3

Beban sumbu 20 tahun pada lajur


Jenis Lapisan Perkerasan
daerah desain (ESA4 x 10)

< 0,1 < 0,1 - 0,5 > 0,5 - 4

Ketebalan lapis perkerasan (mm)

HRS, AC WC (halus), Burtu, atau bunda 50 (campuran beraspal)

Lapis Fondasi Agregat Kelas A 160 220 300

Lapis Fondasi Agregat Kelas A atau B 110 150 200

Tanah distabilisasi (CBR 6% pada tanah dengan 160 200 260


CBR ≥ 3%)

Sumber: MPJ No 04/SE/Db/2017


82

1.2.10 Pelapisan Bahu Jalan

1. Tebal Lapis Berbutir

Elevasi tanah dasar untuk bahu harus sama dengan elevasi tanah dasar

perkerasan atau setidaknya pelaksanaan tanah dasar badan jalan harus dapat

mengalirkan air dengan baik. Untuk memudahkan pelaksanaan, pada umumnya

tebal lapis berbutir bahu dibuat sama dengan tebal lapis berbutir perkerasan.

2. Bahu Tanpa Pengikat

Lapis permukaan harus berupa lapis fondasi agregat kelas S, atau kerikil alam

yang memenuhi ketentuan dengan Indeks Plastisitas (IP) antara 4% - 12%. Tebal

lapis permukaan bahu LFA kelas S sama dengan tebal lapis beraspal tapi tidak

lebih tebal dari 200 mm. Jika tebal lapis beraspal kurang dari 125mm maka tebal

minimum LFA kelas S 125mm.

3. Bahu Diperkeras

Bahu diperkeras untuk kebutuhan berikut:

a. Jika terdapat kerb (bahu harus ditutup sampai dengan garis kerb)

b. Gradien jalan lebih dari 4%

c. Sisi yang lebih tinggi dari kurva superelevasi

(superelevasi ≥ 0%). Dalam kasus ini, bahu pada sisi

superelevasi yang lebih tinggi harus sama dengan

superelevasi badan jalan.

d. Jalan dengan LHRT lebih dari 10.000 kendaraan.

e. Jalan tol dan jalan bebas hambatan.

Material bahu diperkeras dapat berupa:

a. Penetrasi makadam
83

b. Burtu / burda

c. Beton aspal (AC)

d. Beton semen

e. Kombinasi bahu beton 500mm – 600mm atau pelat beton dengan tied

shoulder, atau bahu dengan aspal.

4. Lalu Lintas untuk Desain Bahu

Beban lalu lintas desain pada bahu jalan tidak boleh kurang dari 10% lalu

lintas lajur rencana, atau sama dengan lalu lintas yang diperkirakan dengan lapis

penutup. Pada umumnya, hal ini dapat dipenuhi dengan Burda atau penetrasi

makadam yang dilaksanakan dengan baik.

1.2.11 Kapasitas Jalan

Penentuan kapasitas jalan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(2.45)

Keterangan:

C = Kapasitas

C0 = Kapasitas dasar (Tabel 2.32)

FCW = Faktor penyesuaian lajur lalu lintas (Tabel 2.33)

FCSP = Faktor penyesuaian arah lalu lintas (Tabel 2.34)

FCSF = Faktor penyesuaian gesekan samping (Tabel 2.35)


84

Tabel 2. 32 Kapasitas Dasar untuk Jalan antar Kota Dengan 2 Lajur 2 Arah (2/2
UD)

Jenis dan alinyemen


Kapasitas dasar total dua arah
jalan (empat lajur
(SMP/Jam/Lajur)
terbagi)

Datar 3100

Bukit 3000

Gunung 2900

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017

Tabel 2. 33 Faktor Penyesuaian Pengaruh Lebar Lajur Lalu Lintas (FCW)


Terhadap Kapasitas

Lebar efektif lajur


Jenis jalan lalu lintas (Wc) FCW
(m)

Per lajur
3,00 0,91
Empat lajur terbagi
3,25 0,96
Enam lajur terbagi
3,50 1,00
3,75 1,03
Per lajur
3,00 0,91
Empat lajur tak
3,25 0,96
terbagi
3,50 1,00
3,75 1,03
Dua lajur tak Total dua arah
terbagi
5,00 0,69
6,00 0,91
7,00 1,00
85

Lebar efektif lajur


Jenis jalan lalu lintas (Wc) FCW
(m)

8,00 1,08
9,00 1,15
10,00 1,21
11,00 1,27
Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017

Tabel 2. 34 Faktor Penyesuaian Kapasitas Karena Pemisahan Arah (FCSP)


Pemisahan arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

Dua lajur 2/2 1,000 0,970 0,940 0,910 0,880


FCSP
Empat lajur 4/2 1,000 0,975 0,950 0,925 0,900

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017

Tabel 2. 35 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pengaruh Hambatan Samping


(FCSF)

Faktor penyesuian akibat pengaruh


Jenis Kelas gesekan samping (FCSF)
jalan hambatan
≤ 0,5 1 1,5 ≥2
VL 0,99 1,00 1,01 1,03

L 0,96 0,97 0,99 1,01

4/2 D M 0,93 0,95 0,96 0,99

H 0,90 0,92 0,95 0,97

VH 0,88 0,90 0,95 1,01

2/2 D VL 0,97 0,99 1,00 1,02


4/2 D
L 0,93 0,95 0,97 1,00

M 0,88 0,91 0,64 0,98

H 0,84 0,87 0,91 0,95


86

VH 0,80 0,83 0,88 0,93

Sumber: MPJ Nomor 04/SE/Db/2017

1.3 Perencanaan Drainase

“Drainase adalah mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalirkan air.

Secara umum drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang

berfungsi untuk mengurangi atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan

atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal”. ( Suripin, 2004:7).

Drainase jalan mengandung pengertian membuang atau mengalirkan air (air

hujan, air limbah, atau air tanah) ke tempat pembuangan yang telah ditentukan

dengan cara gravitasi atau menggunakan sistem pemompaan.

Fungsi drainase jalan dengan demikian ada 2 (dua) cakupan yaitu :

a. Memperkecil kemungkinan menurunnya daya dukung subgrade karena kadar

airnya naik melebihi kadar air optimum sebagai akibat dari merembesnya air

hujan ke dalam subgrade melalui pori-pori perkerasan jalan atau yang berasal

dari air tanah yang naik ke permukaan.

b. Memperkecil kemungkinan rusaknya perkerasan jalan sebagai akibat

terendamnya perkerasan jalan oleh genangan air hujan.

Sesuai dengan prinsip sebagai jalur pembuangan maka pada waktu hujan, air

yang mengalir di permukaan diusahakan secepatnya dibuang agar tidak

menimbulkan genangan yang dapat mengganggu aktivitas dan bahkan dapat

menimbulkan kerugian.

Dasar dari perencanaan drainase pada Jalan Raya Salopa yaitu dengan

mengumpulkan data-data curah hujan maksimum pada stasiun hujan yang terdekat
87

dengan lokasi proyek. Dalam praktek pencarian data curah hujan sering ditemui

data yang tidak lengkap, ketidak lengkapan tersebut disebabkan beberapa hal,

diantaranya karena kerusakan alat, kelalaian petugas, penggantian alat dan

pengrusakan akibat banyak hal. Oleh sebab itu untuk memperkirakan besarnya

data yang hilang, harus diperhatikan pula pola penyebaran hujan pada stasiun

yang bersangkutan maupun stasiun-stasiun sekitarnya.

1.3.1 Analisa Hidrologi

a. Metode Rata-rata Aljabar

Metode rata-rata aljabar adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah

hujan didalam dan sekitar daerah yang dianalisis.

(2.46)

Keterangan:

R = Curah hujan daerah

n = Jumlah titik atau pos pengamatan

R1, R2,…,Rn = Curah hujan di setiap titik pengamatan

Gambar 2. 12 Polygon Thiessen


88

b. Metode Polygon Thiessen

Metode Polygon Thiessen adalah Metode Metode Thiessen Adalah

Perhitungan Curah Hujan Yang Dilakukan Dengan Memperhitungkan Daerah

Pengaruh Tiap Titik Pengamatan Jika Titik-Titik Didalam Daerah Pengamatan

Tidak Tersebar Merata.

(2.47)

Keterangan:

P = Curah hujan kawasan, (mm)

P1,P2,…,Pn = Curah hujan masing-masing stasiun, (mm)

A1,A2,…,An = Luasan area polygon, (km2)

c. Metode Isohyet

Metode Isohyet adalah cara rasional yang terbaik jika garis-garis isohyet

dapat digambar dengan teliti.


89

Gambar 2. 13 Metode Ishoyet

(2.48)

atau

(2.49)

Keterangan:

= Hujan rata-rata suatu DAS

I = garis isohyet

A = Luas area dibatasi poligon, (km2)


90

1.3.2 Analisi Frekuensi

Analisis frekuensi adalah analisis tentang pengulangan suatu kejadian.

Analisis frekuensi merupakan prakiraan (forecasting), dalam arti probabilitas

untuk terjadinya suatu peristiwa hidrologi dalam bentuk hujan rancangan yang

berfungsi sebagai dasar perhitungan perencanaan hidrologi untuk antisipasi setiap

kemungkinan yang akan terjadi.

Analisis frekuensi dapat menggunakan beberapa macam distribusi.

Parameter pemilihan jenis distribusi dapat dilihat pada Tabel 2.36.

Tabel 2. 36 Parameter Pemilihan Jenis Distribusi


Jenis Sebaran Kriteria

Cs = 3 Cv + Cv2 = 0,159
Log Normal
Cv = 0,06

Cs ≠ 0
Log Pearson Tipe III
Cv = 0,3

Cs ≤ 1,1396
Gumble
Ck ≤ 5,4002
Cs = 0
Normal
Ck = 3

Sumber: Suripin, 2004

a. Distribusi Normal

(2.55)

Keterangan:

XT = CH/intensitas hujan pada periode Tr

= Nilai rata-rata hitung varian

SX = Deviasi standar nilai varian


91

KT = Variabel reduksi gauss. Nilai KT dapat dilihat pada lampiran

b. Distribusi Log Pearson Tipe III

(2.56)

(2.67)

Keterangan:

XT = CH/intensitas hujan pada Tr

K = Variabel standar bergantung Cs dan G, terdapat pada lampiran

SX = Deviasi standar nilai varian

Tr = Tahun ulangan (2 tahun, 5 tahun, dst)

c. Distribusi Gumble

(2.58)

(2.59)

YT = −ln ln
[ ]
T r−1
Tr
……………………………………………………………………………..(2.60)

Keterangan:

XT = CH/intensitas hujan pada periode Tr

YTr = Factor ln dari Tr

Yn = Reduce mean factor. Nilai Yn dapat dilihat pada lampiran

Sn = Reduce standard deviation. Nilai Sn dapat dilihat pada lampiran

Tr = Tahun ulangan (2 tahun, 5 tahun, dst)

X = Nilai rata-rata hitung varian


92

SX = Deviasi standar nilai varian

K = Faktor probabilitas, nilai K = YTr – Yn / Sn

d. Distribusi Log Normal

(2.61)

(2.62)

Keterangan:

XT = CH/intensitas hujan pada TR

K = Variabel reduksi gauss, terdapat pada lampiran

1.3.3 Pengujian Keselarasan Distribusi

a. Uji Chi-Square

Uji Chi-Square dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan sebaran

peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data

yang dianalisis didasarkan pada jumlah pengamatan yang diharapkan pada

pembagian kelas dan ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca

didalam kelas tersebut, dapat dihitung dengan rumus berikut:

(2.63)

(2.64)

(2.65)

Keterangan:

Chi2 = Parameter chi-kuadrat terhitung

Ef = Frekuensi yang diharapkan sesuai dengan pembagian kelasnya


93

Of = Frekuensi yang diamati pada kelas yang sama

n = Jumlah sub-kelompok

Dk = Derajat kebebasan

p = Banyaknya parameter, untuk uji Chi-Kuadrat adala 2

K = Jumlah kelas distribusi

Jika , maka metode distribusi dapat diterima. Harga

kritis Chi-square terdapat pada lampiran.

b. Smirnov-Kolmogorov

Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov dilakukan dengan membandingkan

probabilitas untuk setiap variabel dari distribusi empiris dan teoritis didapat

berbeda (D). perbedaan maksimum yang dihitung (Dmaks) dibandingkan dengan

perbedaan kritis (Dcr) untuk satu derajat nyata dan banyaknya varian tertentu.

(2.66)

Keterangan:

P = Probabilitas, (%)

m = Nomor urut data dari seri data yang telah disusun

n = banyaknya data

jika (Dmaks) < (Dcr) maka sebaran sesuai dan dapat diterima. Harga kritis

Smirnov-Kolmogorov terdapat pada lampiran.

1.3.4 Intensitas Hujan

Intensitas hujan adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan

atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitasnya berbeda-beda,


94

tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Dan juga sifat

umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung

makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya.

Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis terhadap data

hujan baik statistik maupun empiris. Frekuensi hujan biasanya dinyatakan dalam

lengkung Intensitas - Durasi - Frekuensi (IDF = Intensity - Duration - Frequency

Curve). Intensitas hujan dihubungkan dengan durasi jangka pendek misalnya 5

menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman untuk membentuk lenkung

IDF.

Menentukan Intensitas Hujan dengan durasi hujan untuk durasi waktu

yang pendek maka menggunakan metode Mononobe. Karena rumus ini

digunakan apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data

hujan harian, maka intesitas hujan dapat dihitung sebagai berikut:

(2.67)

Keterangan:

I = Intensitas hujan, (mm/jam)

t = Lamanya hujan, (jam)

R24 = Tinggi hujan maksimum dalam 24 jam, (mm)


78

Keterangan:.

RT = Intensitas hujan rata-rata dalam T jam, (mm/jam)

RT = Curah hujan efektif dalam satu hari, (mm)

T = Waktu mulai hujan, (jam)

t = Waktu konsentrasi hujan, (jam)

(untuk Indonesia 6 jam)

Rt = (t x RT) –((t – 1) x (RT – 1)) (2.69)

Keterangan:

Rt = Persentase hujan rata-rata (dalam t jam)

1.3.5 Menentukan Debit Aliran

Analisis hidrologi untuk menghitung debit maksimum atau debit puncak

yang akan dialirkan oleh saluran drainase untuk mencegah terjadinya genangan

atau banjir. Untuk menentukan besarnya debit aliran akibat air hujan diperoleh

dari hubungan rasional antara air hujan dengan limpasannya (metode rasional

praktis).

Metode ini dapat menggambarkan hubungan antara debit limpasan dengan

besar curah hujan secara praktis, berlaku untuk luas DAS kurang dari 300 hektar.

(2.70)

Keterangan:

Q = Debit aliran, (m3/det)

C = Koefisien pengaliran
79

I = Intensitas hujan, (mm/jam)

A = Luas daerah pengaliran, (km2)

1.3.6 Menentukan Waktu Konsentrasi (Tc)

Air hujan yang jatuh pada suatu daerah aliran, pada saat menyentuh

permukaan daerah aliran (DAS) yang paling jauh lokasinya dari muara, maka

waktu konsentrasi mulai dihitung.

tc=t 1 +t 2 (2.71)

(2.72)

(2.73)

Keterangan:

Tc = Waktu konsentrasi, (menit)

t1 = Waktu inlet, (menit)

t2 = Waktu aliran, (menit)

Lo = Jarak dari titik terjauh kefasilitas drainase, (m)

S = Kemiringan daerah pengaliran, dapat dilihat pada lampiran

L = Panjang saluran, (m)

V = Kecepatan air rata-rata diselokan, (m/dt) dapat dilihat pada lampiran

Nd = Koefisien hambatan, dapat dilihat pada lampiran

Tabel 2. 37 Kemiringan Satuan Memanjang (is) Berdasarkan Jenis Material


No Jenis Material kemiringan saluran (is %)
1 Tanah Asli 0-5

2 Kerikil 5 – 7,5

3 Pasangan 7,5
80

Tabel 2. 38 Kemiringan Rata-rata Saluran Terhadap Kecepatan Rata-rata


Kemiringan rata-rata Kecepatan rata-rata
saluran (%) (m/det)
<1 0,4

1 sampai < 2 0,6

2 sampai < 4 0,9

4 sampai < 6 1,2

6 sampai < 10 1,5

10 sampai < 15 2,4

Sumber: Hasmar, Halim 2011

1.3.7 Menentukan Koefisien Pengaliran (C)

Koefisien ini mencerminkan keadaan permukaan daerah aliran. Koefisien

pengaliran C merupakan perbandingan komponen berikut ini :

Volume air yang berhasil mencapai muara DAS


C=
Vol ¿ ¿

Dalam prakteknya terdapat berbagai tipe tata guna lahan bercampur baur

dalam sebuah daerah aliran. Oleh karena itu, untuk mendapatkan Koefisien

pengaliran gabungan Cw dapat mempergunakan rumus komposit berikut :

(2.74)

Keterangan:

A1, A2, A3 = Luas daerah pengaliran yang diperhitungkan sesuai dengan

kondisi permukaan, (km2)

C1, C2, C3 = Koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi

Permukaan
81

Tabel 2. 39 Hubungan Kondisi Permukaan Tanah dan Koefisien Pengaliran (C)


Koefisien
pengaliran Faktor Limpasan
No Kondisi Permukaan Tanah
(fk)
( C )*
1 Jalan beton dan jalan aspal 0,70 – 0,95 -
2 Jalan kerikil dan jalan tanah 0,40 – 0,70 -

3 Bahu jalan: -

-       Tanah berbutir halus 0,40 – 0,65 -


-       Tanah berbutir kasar 0,10 – 0,20 -
-       Batuan masif keras 0,70 – 0,85 -
-       Batuan masif lunak 0,60 – 0,75 -

4 Daerah perkotaan 0,70 – 0,95 2


5 Daerah pinggiran kota 0,60 – 0,70 1,5

6 Daerah industri 0,60 – 0,90 1,2


7 Pemukiman padat 0,40 – 0,60 2
8 Pemukiman tidak padat 0,40 – 0,60 1,5

9 Taman dan kebun 0,20 – 0,40 0,2


10 Persawahan 0,45 – 0,60 0,5
11 Perbukitan 0,70 – 0,80 0,4
12 Pegunungan 0,75 – 0,90 0,3

1.3.8 Dimensi Saluran Drainase

Bentuk penampang yang lazim dipilih adalah sebagai berikut:

● Trapesium

● Segi empat

Melihat dari kondisi sebenarnya di wilayah Kecamatan Salopa, penampang

kolam tampungan di pilih bentuk segi empat. Karena penentuan dimensi saluran

harus sesuai dengan kebutuhan, sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi

ekonomis. Bentuk saluran drainase yang umum digunakan adalah bentuk saluran

persegi.
82

Gambar 2. 14 Potongan Melintang Model Persegi

Adapun langkah-langkah dalam menentukan dimensi saluran bentuk persegi

adalah sebagai berikut:

a. Menentukan bahan saluran, koefisien manning (n), kecepatan (V) pada

saluran yang diijinkan, bentuk saluran, dan kemiringan saluran yang

diijinkan. Harga koefisien manning (n) dapat dilihat pada Tabel 2.47.

b. Menentukan kecepatan saluran < kecepatan saluran yang diijinkan.

(2.62)

c. Menentukan tinggi jagaan (W) dan lebar saluran (b), kemudian menghitung

jari-jari hidrolis (R), tinggi muka air (h), dan debit saluran (Qs).

A = b.y (2.75)

P = 2+2y (2.76)

(2.77)

W= √ ❑ (2.78)

Keterangan:
83

A = Luas penampang basah, (m3)

P = Keliling basah, (m)

R = Jari-jari hidrolis, (m)

V = Kecepatan aliran, (m/dt)

n = Koefisien kekasaran manning, bisa dilihat pada lampiran

I = Kemiringan saluran yang diijinkan

W = Tinggi jagaan, (m)

d. Qs < Qr, maka dimensi saluran dapat diterima, jika tidak maka perhitungan

dimensi saluran harus diulang.

1.4 Rencana Anggaran Biaya

Pada perkerjaan jalan dibutuhkan suatu analisis rencana anggaran biaya,

agar diketahui berapa besar biaya yang nantinya akan digunakan pada suatu

proyek pembangunan jalan. Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada suatu

pembangunan infrastruktur adalah perhitungan banyak nya biaya yang diperlukan

untuk bahan, alat dan upah, serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan

pelaksanaan proyek. Anggaran biaya merupakan harga dari bahan atau material,

alat dan upah yang dihitung dengan teliti dan cermat. Anggaran biaya pada proyek

yang sama akan berbeda-beda di masing- masing daerah, disebabkan karena

perbedaan harga bahan dan upah tenaga kerja.

Anggaran merupakan perencanaan secara detail perkiraan biaya bagian atau

keseluruhan kegiatan proyek, yang selanjutnya digunakan untuk menerapkan

fungsi pengawasan dan pengendalian biaya dan waktu pelaksanaan. Anggaran

biaya proyek dapat didefinisikan sebagai perencanaan biaya yang akan


84

dikeluarkan sehubungan adanya suatu proyek dengan rencana kerja dan syarat-

syarat RKS tertentu, yang dihitung oleh cost estimator dan disetujui oleh owner.

1.4.1 Analisa Harga Satuan

Dalam membuat Analisa harga satuan setiap satuan pengukuran

tergantung pada metoda pelaksanaan pekerjaan atau cara kerja yang digunakan

sehingga rumusan analisa harga satuan yang diperoleh mencerminkan harga

aktual di lapangan. Dalam penerapannya, perhitungan harga satuan harus

disesuaikan dengan Spesifikasi Teknis yang digunakan, peraturan-peraturan dan

ketentuanketentuan yang berlaku, serta pertimbangan teknis terhadap situasi dan

kondisi lapangan setempat.

Harga satuan setiap mata pembayaran yang merupakan luaran(output)

diperoleh melalui proses perhitungan dan masukan. Dalam hal ini, masukan yang

dimaksud antara lain berupa harga satuan dasar untuk bahan, alat, upah tenaga

kerja serta biaya umum. Analisa harga satuan diambil dari Harga Satuan Dasar

Upah dan Harga Satuam Bahan serta Biaya Operasi Peralatan Departemen

Pekerjaan Umum Kabupaten Tasikmalaya Tahun Anggaran 2019.


BAB 3
METODE PENELITIAN

1.5 Deskripsi Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Jalan Raya Salopa adalah jalan yang terletak pada 7°35’17.99” - 7°29’4.06”

LS dan 180°16’38.43” - 180°14’5.44” BT di Kecamatan Salopa Kabupaten

Tasikmalaya yang merupakan akses penghubung Kecamatan Cikalong,

Cikatomas, dan Salopa menuju pusat kota. Jalan Raya Salopa ini dibangun oleh

Kabupaten Tasikmalaya dengan lebar 5 meter ( 2 arah, 2 lajur tanpa median) dan

panjang trase ± 18 km dengan sebagian kondisi lapisan atas jalan yang rusak

seperti pada Gambar 3.1 .

Gambar 3. 1. Rusaknya Lapisan Atas Jalan Raya Salopa


Sumber: Dokumentasi Survey

Perencanaan ulang Jalan Raya Salopa yang direncanakan sebesar 5 Km ( 2

arah, 2 lajur tanpa median), dengan kelas jalan III B dan lebar jalan 2x3m dan

dengan perkerasan lentur. Perencanaan menggunakan trase jalan baru yang akan

dibahas pada bab selanjutnya, dan untuk gambar petanya ada pada Gambar 2.3.
86

Gambar 3. 2 Peta Jalan Raya Salopa


Sumber: Google Earth

Tahapan pelaksanaan penelitian berupa tahapan-tahapan dalam penyusunan

tugas akhir, untuk waktu pelaksanaan Redesign Jalan Raya Salopa Kabupaten

Tasikmalaya pada STA 6+435 sampai STA 11+435 terdapat pada Tabel 3.1.

1.6 Teknik Pengumpulan Data


Tabel 3. 1 Data Sekunder

NO Data Sumber Metode Analisis

SRTM (Shuttle Radar USGS (United States Global Mapper,


1 Topography Mission) Geological Survey) Arcmap
2 Batas Wilayah Google Earth Google Earth
LHR (Lalu lintas Departemen PU
3 Harian Rata-rata) Kabupaten Tasikmalaya  
CBR (California Departemen PU
4 Bearing Ratio) Kabupaten Tasikmalaya  
87

UPTD PSDA WS
5 Data Curah Hujan Ciwulan-Cilaki  

Teknik pengolahan data dalam Redesign Jalan Raya Cibeuti Kota

Tasikmalaya pada STA 0+000 sampai STA 4+600 menggunakan data sekunder.

Data-data sekunder yang digunakan terdapat dalam Tabel 3.1.

a. Peta Tofografi dengan skala 1 : 1000

Pembuatan peta kontur untuk dasar perencanaan Redesign Jalan Raya

Salopa menggunakan data Citra SRTM (Shuttle Radar Topography

Mission) yang diambil dari USGS (United States Geological Survey) dan

data batas wilayah dari aplikasi Google Earth.

b. LHR (Lalu Lintas Harian Rata-rata)

Lalu lintas harian rata-rata merupakan volume lalu lintas yang didefinisikan

sebagai jumlah kendaraan yang melewati satu titik pengamatan selama satu

satuan waktu.

c. Data CBR (California Bearing Ratio)

CBR (California Bearing Ratio) merupakan prinsip pengujian penetrasi

dengan menusukkan benda ke dalam benda uji dan menghasilkan nilai

kekuatan tanah dasar yang dipergunakan untuk membuat perkerasan.

d. Data Curah Hujan

Data curah hujan yang digunakan dalam perencanaan drainase adalah data

curah hujan wilayah dari stasiun Cimulu, Kawalu, dan Singaparna selama

10 tahun.
88

1.7 Analisis Data


89

Mulai

Studi Literatur
1.7.1 Perencanaan Geometrik
Perencanaan geometrik jalan adalah suatu perencanaan route dari suatu
Masalah
ruas jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang
Pengumpulan data:
berdasarkan kelengkapan data dasar, yang didapat dari hasil survey lapangan,
Data CBR Tanah
kemudian di analisis berdasarkanData LHR
acuan persyaratan perencanaan geometrik yang

berlaku. Data Curah Hujan


Data Daftar Harga
Perencanaan geometrik secara umum, menyangkut aspek-aspek
Pengolahan Data
perencanaan elemen jalan seperti lebar jalan, tikungan, kelandaian jalan, dan jarak

pandang serta kombinasi1.dari


Perhitungan Geometrik
bagian-bagian Jalan baik untuk suatu ruas jalan,
tersebut,
2. Perhitungan Perkerasan Lentur Jalan
3. Perhitungan Drainase
maupun untuk perlintasan diantara duaAnggaran
4.Perhitungan atau lebih ruas-ruas jalan.
Biaya

Dalam perencanaan jalan raya, pola dan bentuk geometrik harus


Hasil dan Pembahasan
direncanakan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat

memberikan pelatanan yang optimal Kesimpulan


kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya.

Alur perencanaan geometrik jalan terdapat pada Bagan 3.1.


Selesai
Dalam perhitungan geometrik untuk perencanaan jalan ini menggunakan
Bagan 3. SEQ Bagan_3. \* ARABIC 1 Alur
metode Bina Marga dan menggunakan 3 jenisKeseluruhan
Perencanaan tikungan, antara lain:

a. F-C (Full Circle),

b. S-C-S (Spiral-Circle-Spiral),

c. S-S (Spiral-Spiral).
90

Mulai

A
Input : Topografi(kontur), fungsi
Jalan, titik koordinat(X,Y)
Perencanaan
Alinyemen Vertikal
Perancanaan Trase

Perencanaan Muka
Perancanaan
Rencana Jalan
Alinyemen horizontal

Hitung jarak Hitung sudut Hitung Jari-jari Hitung Lengkung Vertikal :


horizontal (d) (∆) tikungan (R) Lengkung Cekung, dan
Lengkung Cembung

Pemilihan jenis tikungan


Selesai
Tikungan SCS

Lc<20m Tikungan
mm SS

Perhitungan
P<0,1 data
0m Tikungan FC
tikungan
Perhitungan
pelebaran
perkerasan
A
Perhitungan
e<min Tikungan FC daerah
kebebasan
samping
Penomora
n
Tikungan SCS (stasioning
)

Bagan 3. 2 Alur Perencanaan Geometrik Jalan


1.7.2 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Perkerasan jalan adalah bagian dari jalur lalu lintas, yang bila kita

perhatikan secara strukturil pada penampang melintang, merupakan penampang

struktur dalam kedudukan yang paling sentral dalam suatu badan jalan. Lalu lintas

langsung terkonsentrasi pada bagian ini, dan boleh dikatakan merupakan urat nadi
91

dari suatu konstruksi jalan. Perkerasan jalan dalan kondisi baik maka arus lalu

lintas akan berjalan dengan lancar, demikian sebaiknya kalau perkerasan jalan

rusak, lalu lintas akan sangat terganggu.

Perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya

bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Salopa berdasarkan

Manual Perkerasan Jalan Nomor 04/SE/Db/2017. Alur perencanaa perkerasan

lentur terdapat dalam Bagan 3.2.

Mulai

Data:
-LHR
- Pertumbuhan Lalu Lintas CBR Segmen 90%
-Umur Rencana
-CBR Lapangan

Menentukan
Nilai ESA

Diperoleh Desain Perkerasan Lentur


Berdasarkan Bagan Desain

Selesai

Bagan 3. 3 Alur Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan


Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Tentukan nilai daya dukung tanah dasar dengan menggunakan pemeriksaan

CBR (California Bearing Ratio),


92

b. Memperhatikan nilai CBR (California Bearing Ratio) yang diperoleh,

keadaan lingkungan, jenis dan kondisi tanah dasar disepanjang trase jalan,

tentukan CBR segmen,

c. Tentukan nilai ESA (Equivalent Standard Axles) dari setiap nilai CBR

(California Bearing Ratio) segmen yang diperoleh,

d. Tentukan umur rencana dari jalan yang hendak direncanakan, umumnya

jalan baru menggunakan umur rencana 20 tahun,

e. Tentukan faktor ekivalen beban VDF (Vehicle Damage Factor),

f. Tentukan LER (Lintas Ekivalen Rencana) berdasarkan LHR (Lalu Lintas

Harian Rata-rata),

g. Tentukan jenis lapisan perkerasan yang akan digunakan,

h. Tentukan koefisien kekuatan relatif berdasarkan jenis perkerasan yang

dipilih.

1.7.3 Perencanaa Drainase

Drainase adalah mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalirkan air.

Secara umum drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang

berfungsi untuk mengurangi atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan

atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal . Fungsi drainase jalan

ada 2 (dua) yaitu :

a. Memperkecil kemungkinan menurunnya daya dukung subgrade karena

kadar airnya naik melebihi kadar air optimum sebagai akibat dari

merembesnya air hujan ke dalam subgrade melalui pori-pori perkerasan

jalan atau yang berasal dari air tanah yang naik ke permukaan,
93

b. Memperkecil kemungkinan rusaknya perkerasan jalan sebagai akibat

terendamnya perkerasan jalan oleh genangan air hujan.

Mulai

Data :
-Curah Hujan
-Tutupan Lahan
-Topografi

Analisis Hidrologi Analisis Kondisi Lahan Analisis Awal Saluran

Hujan Rencana
-Luas daerah tangkapan air
-Koefisien pengaliran
-Kemiringan lahan

Debit Rencana (Qr) Kapasitas Debit


Saluran (Qs)
Qr
<Q
s
Redesign
Dimensi Saluran

Selesai

Bagan 3. 4 Alur Perencanaan Saluran Drainase


Perhitungan debit aliran untuk drainase pada Jalan Raya Salopa dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pengumpulan data hidrologi, data tofografi, dan data fisik,

b. Melengkapi data curah hujan yang hilang,

c. Menentukan debit banjir rencana,

d. Menentukan debit saluran,

e. Menentukan desain saluran drainase.


94

1.7.4 Rencana Anggaran Biaya

Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada suatu pembangunan infrastruktur

adalah perhitungan banyak nya biaya yang diperlukan untuk bahan, alat dan upah,

serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek. Anggaran

biaya merupakan harga dari bahan atau material, alat dan upah yang dihitung

dengan teliti dan cermat. Anggaran biaya pada proyek yang sama akan berbeda-

beda di masing- masing daerah, disebabkan karena perbedaan harga bahan dan

upah tenaga kerja.

Dalam perencanaan RAB (Rencana Anggaran Biaya) perlu diperhatikan

langkah-langkah dan data-data yang diperlukan, antara lain:

a. Diperlukan gambar rencana, gambar potongan serta detail gambar,

b. Menghitung volume setiap item pekerjaan sesuai dengan gambar rencana,

c. Menetapkan analisa pekerjaan yang akan digunakan,

d. Menetapkan Harga Satuan Pekerjaan (Harga Bahan, Harga Upah, dan Harga

Alat),

e. Membuat RAB (Rencana Anggaran Biaya),


95

Mulai

Data Rencana Anggaran


Gambar Rencana
Daftar Harga Satuan
Bahan, Upah Pekerja, dan
Peralatan

Perhitungan
Volume Perkerasan
Harga Satuan Pekerjaan

Rencana Anggaran Biaya

Selesai

Bagan 3. 5 Alur RAB (Rencana Anggaran Biaya)


DAFTAR PUSTAKA

Dasar-dasar Perencanaan Drainase Jalan . (2005).

(PUSBIN-KPK, D. P. (2005). Dasar-dasar Perencanaan Drainase Jalan .

Defartemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga. (1997). Tata Cara

Geometrik Jalan Antar Kota.

Defartemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga. (2017). Manual

Perkerasan Jalan (Revisi 2017).

Galih, A. M., irawati, & Rofi, b. h. (2013). perencanaan geometrik dan perkerasan

lentur. studi kasus jalur jalan lintas selatan Sta 75+200-Sta 83+510, 36.

Indonesia, S. N. (2004). Geometrik Jalan Perkotaan.

MSCE, I. H. (2004). Konstruksi Jalan Raya. Bandung: Nova.

Saodang, I. H. (2004). Kontruksi Jalan raya 1. Bandung: Nova.

Saodang, I. H. (2005). Konstruksi Jalan Raya 2. Bandung: Nova.

Standar Nasional Indonesia. (2004). Geometrik Jalan Perkotaan.

Sukirman, S. (1999). Dasa-dasar Perencanaan Geometrik Jalan. Bandung: Nova.

Sukirman, S. (2010). Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur. Bandung:

Nova.

Suripin. (2004). sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan. yogyakarta: c.v

andi.

Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Yogyakarta:

C.V ANDI.

Umum, D. P. (Pd. T-02-2006-8). Perencanaan Sistem Drainase Jalan.


97

Widiastuti, S. (2010). Perencanaan Geometrik, Tebal Perkerasan Dan Rencana

Anggaran Biaya ( Ruas Jalan Blumbang Kidul - Bulakrejo )Kabupaten

Karanganyar. Tugas Akhir, 217.

Anda mungkin juga menyukai