Anda di halaman 1dari 32

kolom kami

PendarPena JANUARI - FEBRUARI

Penerbit PendarPena
Penanggung Jawab Dewan Redaksi
Pemimpin Umum Sulaiman Harahap

redaksional
Pemimpin Redaksi Berto Tukan
Redaksi Oscar Ferry, Hendra Kaprisma, Mufti-Ali-Sholih
Reporter Hedwi Prihatmoko, Rachman C. Muchlas
Sekretaris Redaksi Tia Septian
Editor David Laurens
10 Hendak Jadi Apa Kau Mahasiswa
Laporan Utama hasil penelitian lapangan dan kepus-
takaan tim Reporter PendarPena.

kreatif
Penata Grais & Letak Tri Haptiko Sukarso ANOM ASTIKA
Ilustrator Rizqi M. Apriliana, Yovantra Arief
6 Tulisan Utama berjudul Mahasiswa “Yang
Berlawan”Demi Perlawanan

keuangan 8 CHRISTIAN RHADITYA KUSUMABRATA


Tulisan Utama berjudul ‘Kawin-Cerai’ Mahasiswa dan
Institusi Militer.
Staf Keuangan Ana Ainiatul Farihah
14 MUCHAMAD SIDIK
Artikel berjudul ”Nongkrong: Sebuah Perjuangan dan
sirkulasi Kontemplasi”.

Staf Sirkulasi Ibnu Rizal, Yudhistiro Nugroho


16 HILARIUS TARYANTO
Omongomong: ”Ketika Mahasiswa Berhumor”.

COMI AZIZ
18 Artikel berjudul “Pop Melayu: Hegemoni Media Massa
PendarPena dalam Ranah Musik Populer di Indonesia”.

Jln. M. Kahi II, No. 20, Jagakarsa,


Jakarta Selatan, 12620.
24 SURYO SUKENDRO
Cerpen berjudul “Enam jam kabar kematian/Orang
(021) 942 9162
0856 111 2954
bodoh dan sipir penjara”

alamat elektronik: SEGMEN REGULER


memendar_pena@yahoo.com
20Bukubuku 22Warta 23Komunitas 28Sepintas
jejaring maya: 29Apa Kata Mereka 30Coratcoret 31Dinding Karya
www.PendarPena.Livejournal.com

PendarPena adalah media populer alternatif yang diterbitkan Kelompok


kontemporer dilengkapi pembahasan seputar ilsafat, sejarah, kajian
Belajar Pendar Pena. Media ini mengangkat masalah-masalah budaya

budaya, dan sastra.

PendarPena
negeri ini. Maka, sumbangan tulisan, pemikiran, ilustrasi, puisi dan foto
berusaha memajukan kehidupan budaya dan intelektual di

pembaca, terbitan ini pun tak mungkin berjalan sebagaimana mestinya.


sangat diharapkan demi keberlangsungan terbitan ini. Tanpa peran aktif

Kami menanti kritik dan saran anda.

PendarPena
lisan yang masuk, tanpa merubah esensi isinya.
Redaksi berhak merubah judul dan menyunting setiap tu-
Kulit Muka oleh:
Yovantra Arief

PendarPena 3
pembuka kalam

MEMBICARAKAN
KITA
PendarPena akhirnya bisa diterbitkan lagi. Bukan sebuah pekerjaan
yang gampang, melawan kemalasan diri itu. Kami tak pernah mau
mengklaim bahwa di sana pembaca menanti kami dengan penuh
rindu, tetapi mungkin kami hidup dalam bayang-bayang sendiri bahwa
pembaca butuh kami untuk sebuah alternatif dari begitu banyak ta-
waran di luar sana; dan kami menambah pusing kepala anda dengan
sebuah tawaran baru ini.
Edisi ini kami coba mengangkat tema Apa dan Siapa Maha-
siswa. Tema ini merupakan sisi sedikit akademis dari curhatan-curha-
tan lepas sedikit serius dari kami. Membicarakan mahasiswa adalah
membicarakan diri kami sendiri, diri anda, dan diri generasi yang akan
serta menyinggung generasi lalu.
Selain tema “releksi diri”, kali ini PendarPena pun tampil de-
gan sedikit perbedaan dari kali lalu. Kini kami menghadirkan beberapa
rubrik baru seperti laporan utama, apa kata mereka, komunitas, dan
sepintas. Selain sebagai uji coba, rubrik-rubrik baru ini terasa penting
dihadirkan karena memang derap langkah di luar sana berlari begitu
cepat dan untuk bisa melihatnya dengan lebih baik, dengan rubrik-ru-
brik yang lalu dirasa belum mencukupi.
Apa dan Siapa Mahasiswa jelas adalah sebuah upaya men-
gupas identitas diri mahasiswa. Pada laporan utama, tim reportase
berusaha meramu data pustaka serta data lapangan dan teori-teori
serta releksi mereka sebagai mahasiswa dalam tajuk Hendak Jadi
Apa Kau Mahasiswa? Rubrik tulisan utama muncul dengan dua tulisan
dari tema. Pertama, tulisan Anom Astika; Mahasiswa ‘yang Berlawan’
Demi Perlawanan. Dalam tulisan yang bergaya surat-menyurat ini,
penulis memaparkan seperti apa gerakan berlawan di kalangan ma-
hasiswa Indonesia, dan bagaimana mahasiswa Indonesia memuncul-
kan pengetahuannya untuk melawan. Christian Rhaditya Kusumabrata
mengangkat sejarah hubungan mahasiswa dengan institusi militer da-
lam ‘Kawin Cerai’ Mahasiswa dan Institusi Militer. Dalam tulisan sing-
katnya, Rhadit menunjukkan data-data sejarah tentang perjalanan
hubungan militer dan mahasiswa.
Tentu masih banyak yang diajukan PendarPena di sini untuk
pembaca. Tentu pula terlalu ambisius untuk mengutarakannya satu
persatu di sini; selain karena seperti menggurui pembaca, tetapi juga
karena kekurangan space. Bahasa klise terbitan baru dengan tanda
kurung (mahasiswa) pun rasanya patut diucapkan di sini; kami belum-
lah sempurna, kritikan dan masukan anda dibutuhkan untuk menyem-
purnakannya. Baiklah. Selamat membaca, semoga tergelitik untuk ber-
lawan. Sebuah kalimat dari François-Nöel Babeuf kami parafrasekan
dan sedikit kami reparasi di sini. “Mahasiswa harus ‘dibuat’ sedemikian
rupa sehingga nafsu manusia untuk menjadi lebih kaya, lebih bijak,
dan lebih berkuasa dari pada orang lain akan lenyap selamanya.”

Berto Tukan

4 PendarPena
kata pembaca

Yth. Redaksi PendarPena,

Beberapa tahun yang lalu, saya merasa ada kekeringan dashyat di

membekukan kreativitas rupanya. Saya sempat pesimis, merasa bahwa


ladang sastra yang biasanya makmur ini. Kemarau panjang telah

ladang sastra tempat saya menanam benih-benih di kepala yang


tumbuh menjadi tanaman berbeda rupa akan segera digantikan oleh

buah apel, durian, manggis, dan lain-lain di kampus Sastra tercinta ini.
mesin pencetak produk massal. Saya sempat merasa tidak akan ada lagi

pencetak sabun secara massal, yang harum menyengat wanginya, tapi


Saya hanya melihat ladang sastra digantikan oleh mesin-mesin raksasa

cepat larut dan menghilang bersama air lalu menyublim dan


berputar-putar bersama polusi lainnya...

Beruntunglah ada benih-benih toge bernama PendarPena yang


masih bertahan diantara mesin-mesin raksasa. Walaupun kecil, tapi
benih-benih ini sangat sehat dan terus tumbuh. Saya percaya suatu
saat toge-toge yang ditanam PendarPena akan ber-revolusi menjadi cabe,
tomat, labu, anggur, dan kemudian menjadi pohon jati yang mampu
bertahan ratusan tahun, maka sekali lagi ladang sastra akan menjadi
makmur dan penuh tanaman bermacam rupa.

PendarPena adalah alternatif dari mesin dan roda-roda yang terus


berputar satu arah. PendarPena juga memberikan wacana-wacana yang
dengan usil dan berani, bermain dengan kultur yang dominan. Tidak
menantang, tapi bermain-main: inilah kelebihan PendarPena dibandingkan
dengan media alternatif lainnya yang cenderung berteriak sampai pekak
dan berusaha mendobrak tapi akar tulangnya retak. Saya berharap
PendarPena akan terus menjadi PendarPena dan menjadi lebih baik lagi bila
gagasan tematis yang disajikan pada tiap edisinya lebih berani
“bermain-main” dengan baut-baut konstruksi.

Salam dan selamat menjadi toge dewasa,


Teraya Paramehta - Depok

PendarPena Edisi depan akan membahas topik "Masyarakat Virtual".


Utama, Artikel, dan BukuBuku (5.700-6000 karakter), sedangkan
Bagi yang hendak menyumbangkan tulisan untuk rubrik Tulisan

untuk Rubrik Cerpen (8.700-9000 karakter) berspasi satu, TNR,


12. Selain itu, PendarPena pun menerima karya-karya visual seperti
lukis, sketsa, desain grais, fotograi, Komik, karikatur, dll. Semua
karya tulis dan visual dikirimkan ke memendar_pena@yahoo.com.

PendarPena edisi “Waktu Luang”

PendarPena 5
tulisan utama

MAHASISWA
“YANG BERLAWAN”
DEMI PERLAWANAN Teks: Anom Astika
(Mahasiswa STF Driyarkara)

Ilustrasi: Yovantra Arief

Yang Terhormat Kawan-kawan Mahasiswa dipengaruhi ideologi Komunis. Pihak birokrasi pemahaman bahwa “berkembangnya
Indonesia, pun mengancam akan memberhentikan perlawanan disebabkan karena kemampuan
mereka dengan tidak hormat dari perkuliahan. mahasiswa dalam membaca realitas sosial
Dua puluh tahun silam, sekumpulan mahasiswa Orang tua mahasiswa pun turut dipanggil dan menurut perspektif Marxisme.” Dengan kata
FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, masing-masing dari mereka diberikan ceramah lain, mahasiswa bangkit melawan pada
melangsungkan demonstrasi dalam menanggapi Pancasila oleh pihak Universitas dan dibantu masa Orde Baru karena belajar teori Marxis.
pemberlakuan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) seorang perwira militer dari Badan Koordinasi Seandainya tidak mempelajarinya, maka tak
di kampus mereka. Program wajib bagi Perguruan Stabilitas Nasional-Daerah (Bakorstanasda). mungkin terdapat rangkaian aksi massa dan
Tinggi Negeri di Indonesia ini, dianggap mereka Akibatnya, kehidupan kritis akademik yang propaganda yang berarak menuju perlawanan
belum jelas arah dan tujuannya. Apabila ditujukan sudah tumbuh subur di FISIP UNAIR sejak besar pada 1998.
bagi penyelerasan hubungan antara kampus 1979 tiba-tiba seperti lenyap tanpa bekas dan
dan masyarakat, khususnya pedesaan—sebagai relasi sosial di antara mahasiswa sarat dengan Terus terang saja, jawaban seperti
praksis dari perguruan tinggi dalam menjawab kecurigaan penyusupan agen-agen komunis di ini seolah-olah menempatkan mahasiswa
problema sosial, ekonomi, politik, dan budaya kalangan mahasiswa. sebagai ‘pasukan pembasmi rayap’ yang
masyarakat—sudah berkali-kali berbagai aktivitas baru turun dari negeri antah-berantah, setelah
Kawan-kawan Mahasiswa yang terhormat, meminum ‘jamu’ ramuan Mbah Jenggot
(plesetan untuk igur Karl Marx) dan yang
formal maupun informal diselenggarakan FISIP
UNAIR. Baik diselenggarakan Senat Mahasiswa Cerita di muka hanyalah sekelumit dari banyak
FISIP melalui kegiatan Bakti Sosial selama cerita tentang derap perlawanan mahasiswa di dengan demikian mampu menyelesaikan
seminggu setiap tahunnya di berbagai desa di Surabaya masa Orde Baru. Bila dibandingkan problema di masyarakat. Menariknya,
Jawa Timur, ataupun Praktek Kuliah Lapangan dengan perlawanan mahasiswa 1998 atau ketika terjadi pergantian generasi, ketika
(PKL) yang merupakan syarat setiap perkuliahan kisah perlawanan mahasiswa di berbagai banyak dari aktivis mahasiswa masa Orde
wajib. Semuanya berupaya menjawab problem kota besar lainnya, cerita di muka tak lebih Baru tidak lagi terlibat dalam diskursus
masyarakat melalui disiplin ilmu yang dipelajari. dari onggokan sampah tak berparas. Namun Marxisme, lalu mereka memberikan penilaian
Lebih-lebih, mahasiswa kemudian dipungut biaya problem yang hendak diajukan dalam tulisan ini tentang mundurnya perkembangan aktivitas
seratusribu rupiah per kepala untuk turut dalam bukanlah sebatas banding-membandingkan, perlawanan mahasiswa pada masa kini.
program itu, di luar biaya SPP tiap semester. Akan melainkan mengajukan pertanyaan sederhana: Pada masa kini, menyusun pemikiran tentang
tetapi, argumentasi yang diajukan mahasiswa “Bagaimana Merumuskan Pemikiran tentang ‘yang berlawan’ lebih sulit karena banyak
dianggap sepi oleh birokrasi kampus. Alhasil, ‘Yang Berlawan’, dan Bagaimana Pemikiran musuh yang dihadapi. Berbeda pada masa
KKN tetap dilaksanakan dan mimbar bebas pun ‘Yang Berlawan’ itu Dapat Dikembangkan Orde Baru, yang lebih mudah karena musuh
sebagai Prasyarat untuk Membangun yang dihadapi hanya Presiden Soeharto.
Perlawanan?”
tak terelakkan digelar mahasiswa sebagai bentuk
protes dan kritik terhadap kebijakan universitas. Loh?! Lalu bagaimana dengan kemampuan
membaca realitas melalui perspektif
Reaksi pihak birokrasi kampus sungguh Problematika ini menjadi penting, Marxisme? Yang jelas Marx tidak pernah
luar biasa. Mereka memanggil para mahasiswa mengingat jawaban para aktivis mahasiswa memulai pemikirannya dengan berhitung
penggerak demonstrasi dan menuduh mereka masa Orde Baru selalu berpegang pada siapa dan berapa banyak musuh yang

6 PendarPena
tulisan utama

dihadapi. Tetapi ia memulai dengan posisi kritik historis logika sistemik selalu digenggam kelas Kalau pun ada yang masih menyetujui deinisi
terhadap gagasan dominan yang berpengaruh berkuasa dan dijalankan dari generasi ke seperti di muka, maka pantaslah ia atau mereka
terhadap pembentukan struktur sosial, ekonomi, generasi sampai ke bentuknya paling mutakhir, masuk dalam jajaran aparat penghancur
politik dan budaya, dan yang melindas kehidupan yaitu kapitalisme. epistemologi Marxis. Mengapa demikian,
dan penghidupan masyarakat, yaitu kapitalisme. karena ketika Marx berbicara tentang kelas
Artinya, problem kapitalisme belum berhasil Problematikanya, logika sistemik itu buruh sebagai soko guru revolusi bukan
sepenuhnya ditaklukkan para aktivis mahasiswa tidak pernah tampak nyata cemerlang. Maka berarti sama dengan kaum buruh yang diajari
Orde Baru—dan di dalam beberapa kasus siasat perlu diselidiki terus-menerus. Ketika seseorang membaca selebaran mahasiswa dan kemudian
politik kapitalisme untuk berkuasa dijadikan bagian sudah mulai bertanya, mendiskusikan dengan melakukan pemogokan di pabrik. Melainkan
dari ideologi perjuangan dengan tidak membuat teman-temannya, meneliti berbagai hal yang kelas buruh yang mampu melahirkan gagasan
posisi kritik secara konsisten terhadap politik tampak seragam dan sedap dipandang mata perlawanan. Di sini kelas buruh sebagai basis
elektoral—tapi persoalan lalu dipindahkan ke di alam kapitalisme, disitulah ia sudah mulai
ranah konsultasi kejiwaan dan pelatihan isik agar
produksi pengetahuan sosialisme dibantu
melakukan perlawanan; mengambil posisi kelas terpelajar; mahasiswa. Kelas borjuis
dapat mengobati kegamangan personal di tengah kritik. Aksi massa, pembangunan organisasi, dalam kacamata pemikiran Marx bukan
perubahan situasi masa Reformasi. Tak terlalu penyebarluasan selebaran, pembuatan hanya tidak mampu mendeinisikan dirinya
jelas juga bagian mana dari pemikiran Marx yang statement, pemogokan, dan sebagainya, sebagai pengubah gagasan perlawanan
dibaca sungguh-sungguh, atau mungkin sekedar semuanya adalah konsekuensi logis dari terhadap feodalisme, tetapi juga tidak
‘denger-denger’ ucapan senior lalu disuarakan proses epistemologi perlawanan. mampu menjadi basis produksi pengetahuan.
ulang, jadilah Marxis sejati. Segala macam bentuk pengetahuan yang
Perlawanan pada dasarnya berpijak dihasilkan kapitalisme selalu berfungsi
Jawaban selanjutnya lebih serupa pada kesadaran kolektif merumuskan dan sebagai penghancur pengetahuan lain. Ilusif
konsekuensi logis dari jawaban pertama memperjuangkan gagasan yang telah dan tidak memiliki keberlanjutan maupun
sehubungan dengan topik prasyarat membangun dirumuskan sebagai posisi kritik terhadap yang kebertahanan. Persis sebagaimana hancurnya
perlawanan sebagaimana termaktub dalam dilawan. Banyak dari aktivitas aksi massa yang tradisi membaca, menulis, berbicara,
pertanyaan di muka. Bunyinya: “Apa yang berlangsung baik masa Orde Baru maupun dan mendengarkan di kalangan anak-
diperlukan bagi perlawanan terhadap kapitalisme Reformasi belum berhasil meletakkan posisi anak seiring pesatnya laju perkembangan
di dalam banyak hal adalah propaganda meluas kritik tersebut. Oleh karenanya, belum dapat komputer, perangkat komunikasi elektronik,
hingga ke basis-basis masyarakat, dan karenanya diselidiki lebih jauh apakah terdapat saling dan permainan elektronik. Puisi pun kian
dapat dianggap sebagai pencapaian kualitatif keterkaitan di antara rangkaian perlawanan lenyap dicerai-beraikan kacamata biner para
apabila aktivitas perlawanan yang dilancarkan yang dilakukan mahasiswa masa Orde Baru ‘pendusta dunia’.
mahasiswa berkemampuan menggalang partisipasi sampai dengan rangkaian perlawanan 1998
kaum buruh dan tani.” Jawaban ini sungguh dan Reformasi. Terlebih krusial lagi, apakah Berbicara tentang basis produksi
menyimpang dari epistemologi Marxis. Mengapa terdapat keberlanjutan dari semua perlawanan pengetahuan ‘yang berlawan’ adalah berbicara
karena di dalam berbagai tulisannya, Marx belum tersebut. Posisi kritik di sini lebih serupa tentang keberlanjutan perlawanan. Berbicara
sekali pun menulis tentang kemampuan individu, gagasan dasar yang melandasi praktek- dengan ibu-ibu di kampung tentang bagaimana
atau pun kelas sosial sebagai pokok-pokok dari praktek perlawanan yang kerap kurang dapat
diidentiikasi jelas. Bahwa terdapat gagasan
menjaga kebersihan dan kesehatan adalah
penyebarluasan gagasan tentang perlawanan langkah awal perlawanan. Berlatih membaca-
(cf. Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte). humanisme, marxisme, perlawanan terhadap menulis bersama anak-anak di perkampungan
Lenin sekali pun, di dalam perspektif Marxis ketidakadilan sudah pasti jelas ada. Tetapi buruh adalah contoh praktek perlawanan.
Rusia, tidak meletakkan rumus-rumus tentang bagaimana beragam gagasan itu dirumuskan Berdemonstrasi bersama warga kampung
apa yang diperlukan bagi perlawanan terhadap sebagai posisi kritik dan menuangkannya dalam demi penurunan harga bahan pangan pokok
kapitalisme, melainkan lebih pada persoalan peringkat praktik belum ketahuan rimbanya. adalah diskursus perlawanan. Karenanya,
bagaimana berpikir tentang perlawanan terhadap ‘perlawanan’ dan ‘yang berlawan’ adalah
kapitalisme (cf. What Is To Be Done, Where to Kawan-kawan mahasiswa yang terhormat, dua hal sentral demi tumbuh-kembangnya
Begin). Alat-alat propaganda seperti selebaran, Hal ‘yang berlawan’ bukanlah persoalan
pamlet, suratkabar, maupun organisasi bukanlah
kesadaran politik yang massif.
menjadi. Ia bukanlah tujuan dari perlawanan.
soal apa yang diperlukan bagi perlawanan tetapi Bukan pula gelar bagi pelaku aksi massa
itu merupakan sarana paling mungkin diciptakan dan mempelajari teori-teori Marxis. Ia bukan
juga deinisi sektoral tentang siapa dan atau
Demikianlah kawan-kawan sekalian, semoga
pada periode menuju Revolusi Rusia. Boleh esok hari tiada lagi harap akan hadirnya
jadi yang diperlukan pada saat ini adalah SMS, kelas sosial mana, yang pantas masuk surga sesuatu yang harus dilawan. Karena yang
Blackberry, Facebook, dan Email sebagai sarana sosialisme dengan syarat-syarat jihad tertentu. berlawan tak henti.
propaganda, tetapi bagaimana kemudian rumusan
tentang perlawanan?

Perlawanan di dalam banyak hal adalah


upaya menggalang kesadaran politik yang tidak
serupa dengan yel-yel ‘hidup rakyat!’. Ia adalah
“Ketika seseorang sudah mulai
hasil proses belajar mengerti apa yang dilihat,
dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan masyarakat
bertanya, mendiskusikan
demi kehidupan lebih baik, perubahan sosial
dari tingkat mikro hingga makro. Marxisme dengan teman-temannya,
adalah satu cara melihat persoalan-persoalan
yang berlangsung di tengah masyarakat dalam meneliti berbagai hal yang
kerangka hubungan atau relasi di antara berbagai
kelas sosial di dalam masyarakat. Problematika tampak seragam dan sedap
seperti kenakalan remaja, keluarga berantakan,
kecurangan Ujian Negara, kemacetan lalu lintas, dipandang mata di alam
hingga kenaikan harga bahan pangan pokok,
kenaikan tarif transportasi dan bahan bakar
minyak. Termasuk juga korupsi, penyalahgunaan
kapitalisme, disitulah ia sudah
jabatan, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya
bukanlah hasil dari ‘tragedi buah apel’ di masa awal
mulai melakukan perlawanan;
penciptaan manusia. Melainkan karena adanya
logika sistemik yang berlangsung dari masa
mengambil posisi kritik.”
ke masa dan hidup di alam pikiran masyarakat,
yang memungkinkan terciptanya mekanisme
penghasil ketidakadilan dan penindasan. Secara

PendarPena 7
tulisan utama

MAHASISWA
DAN
INSTITUSI
MILITER
Teks: Christian Rhaditya Kusumabrata
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah FIB UI 2005

dibentuklah Brigade-17. Brigade-17 adalah


Menwa, Resimen Mahasiswa. Organisasi gabungan beberapa Tentara Pelajar. Namun
kemahasiswaan yang bergerak di bidang olah setelah Konferensi Meja Bundar (KMB),
keprajuritan. Menwa dikenal dekat dengan pemerintah menghimbau agar pelajar kembali
kalangan militer Angkatan Darat, TNI. Baik ke tugas awalnya, yakni belajar. Alhasil, pada
secara struktural maupun fungsional. Secara 1 April 1951 Brigade 17/TP didemobilisasi dan
struktural, Menwa dipimpin seorang komandan pada 31 Januari 1952 dibekukan.
Asisten Teritorial Kepala Staf Komando Daerah Heiho (pembantu tentara Jepang), PETA
Militer. Secara fungsional, TNI AD mengajarkan (Pembela Tanah Air), Keibodan (pembantu Pada dekade 1950-an, kondisi
ilmu-ilmu dasar kemiliteran dan ilmu atau keamanan), Seinendan (barisan keamanan pertahanan dan keamanan nasional belum
kecakapan lain, baik bersifat lanjutan maupun desa), Gakutokai (pasukan pelajar), dsb. stabil. Dalam suasana demikian, tumbuhlah
Lalu setelah Proklamasi Kemerdekaan, organisasi militer pemuda-mahasiswa
dengan semangat ”perang kemerdekaan”.
khusus. Pendidikan dan pelatihan kemiliteran
yang diberikan TNI adalah pembekalan dasar pemerintahan sementara RI membentuk sebuah
kepada Menwa sebagai cadangan nasional badan kordinasi keamanan. Terbentuklah BKR Tak heran, wajib militer semarak di kalangan
pertahanan dan keamanan. Dampak kedekatan (Badan Keamanan Rakyat) hasil persetujuan mahasiswa. Terutama mereka yang tergabung
Menwa dan TNI dapat dilihat dari sikap dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam mobilisasi massa, seperti Tentara
perilaku anggotanya, rangka organisasi, dan (PPKI). Namun dikarenakan RI belum memiliki Pelajar dan Corps Mahasiswa, cikal bakal
pedoman organisasi yang dapat disimak pada Kementerian Keamanan Rakyat dalam Kabinet Resimen Mahasiswa. Pembentukan Resimen
Panca Dharma Satya Resimen Mahasiswa— Presidensiil yang dibentuk pada 19 Agustus Mahasiswa merupakan salah satu realisasi
kode kehormatan dalam mengabdi bangsa dan 1945, maka rakyat berinisiatif membentuk sistem pertahanan dan keamanan rakyat
negara—serupa tak sama dengan Sapta Marga ’BKR’ masing-masing. Dalam kondisi demikian, semesta di kalangan mahasiswa. Resminya,
TNI. lahirlah laskar-laskar rakyat tanpa koordinasi militer melatih keprajuritan kepada mahasiswa
dan garis komando yang jelas. pada 13 Juni 1959. Keterlibatan itu dikukuhkan
‘Perkawinan’ Mahasiswa dan Militer. Surat Keputusan (Skep) Pangdam III/Siliwangi
Kedekatan militer dengan pemuda, khususnya Menurut Amrin Imran dan Ariwiadi No. 40-25/S/1959 tentang diterapkannya wajib
mahasiswa, sudah terjalin sejak masa (ed). 1985 dalam buku Peranan Pelajar dalam latih bagi mahasiswa di Bandung. Kemudian
Pendudukan Militer Jepang. Pada kala itu, Perang Kemerdekaan dijelaskan bahwa di dibentuklah batalyon berkekuatan empat kompi,
Pemerintah Militer Jepang di Indonesia yang antara laskar-laskar rakyat terdapat pula terdiri dari kompi 1 dan 2 Institut Teknologi
tengah berseteru dengan Sekutu, demi laskar pelajar atau BKR Pelajar. Laskar Pelajar Bandung, kompi 3 Universitas Padjajaran, dan
membantu sistem pertahanannya, maka sumber diprakarsai mantan anggota Gakutokai. Selain kompi 4 Universitas Parahyangan. Pada 20 Mei
daya manusia pribumi pun dimanfaatkan, itu, terdapat pula beberapa organisasi militer 1962, Resimen Mahasiswa diresmikan menjadi
terutama pemuda. Mereka dilatih militer dan pelajar lainnya, seperti Tentara Pelajar (TP), bagian organik Kodam III/Siliwangi.
dibentuk pula kesatuan-kesatuan militer, seperti Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP),
Tentara Genie Pelajar (TGP), Corps Mahasiswa Resimen Mahasiswa pertama kali
(CM), Tentara Pelajar Siliwangi (TPS), dsb. beraktiitas di lingkungan kampus, yakni saat
Oleh karena organisasi militer pelajar ternyata Peristiwa Trikora sebagai perwira cadangan.
peranannya cukup penting dalam pengalihan
kekuasaan dan merebut senjata tentara Jepang
serta memiliki pengetahuan kemiliteran, maka

8 PendarPena
Peran perdana Menwa di kampus tulisan utama
berdasarkan Skep Menteri Keamanan
Nasional No. Mi/0307/1961, 30 Desember
1961 tentang latihan kemiliteran di perguruan
tinggi. Lalu, Pada 1963 dikeluarkanlah SKB
Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan
(PTIP) dan Wanpa Hankam No. M/A/20/1963
tentang Wajib Latih Mahasiswa (WALAWA) peninjauan kembali dan menghasilkan SKB
dan pembentukan Resimen Mahasiswa. yang diperbarui. Inti dari revisi tersebut
Dua tahun kemudian, keluar pula SKB menyangkut tiga hal, yakni Pertama, Menwa
antara Menko Hankam dan Menteri PTIP secara tegas dinyatakan sebagai rakyat
No. M/A/165/1965 dan No. 2/PTP/1965 terlatih yang tanggungjawab pembinaan
tentang Organisasi dan prosedur Resimen dan pendidikannya di pegang Menhankam.
Mahasiswa. Kedua, Pembinaan Menwa di setiap
perguruan tinggi dalam hubungan dengan
Di awal Orde Baru, WALAWA kegiatan perguruan tinggi, menjadi tanggung
ditingkatkan menjadi pendidikan perwira jawab Mendikbud. Sedangkan pembinaan
cadangan berdasarkan SKB Menteri Menwa dalam hubungan dengan UKM (Unit
Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kegiatan Mahasiswa) di perguruan tinggi
Menhankam/Pangab No. 0228/U/1973 dan menjadi tanggungjawab rektor. Dan Ketiga,
PEP/B/21/73 8 Desember 1973 tentang mengenai pembinaan teknis-administratif,
penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan dan menjadi tanggungjawab Mendagri dalam
Pendidikan Perwira Cadangan Perguruan rangka pelaksanaan perlindungan massa
Tinggi. Lalu, pada 11 November 1975, dan pelaksanaan fungsi ketertiban umum
dikeluarkanlah SKB tiga menteri tentang serta perlindungan rakyat.
pembinaan organisasi Resimen Mahasiswa
dalam rangka mengikutsertakan rakyat dalam Ternyata setelah revisi SKB
pembelaan negara yang termuat dalam SKB 1994 berlaku masih banyak pula terjadi
Menhankam, Pangab, Mendikbud, Mendagri kekerasan yang melibatkan anggota
No.Kep/39/XI/1975, 0246a/U/1975, Menwa dan hubungan yang tidak harmonis
247/A/1975,11 November 1975. antara Menwa dan mahasiswa umum.
Tuntutan pembubaran Menwa bergulir.
‘Perceraian’ Resimen Mahasiswa dan Tututan tersebut semakin marak tatkala
Militer Reformasi tiba di mana para demonstran
Sejurus waktu, karena ‘kemesraan’nya mahasiswa dalam satu tuntutannya,
dengan Militer Angkatan Darat, Menwa dinilai yakni Bubarkan Dwifungsi ABRI. Tuntutan
sebagai organisasi kemahasiswaan yang tersebut berdampak domino terhadap
militeristik dan disangkutpautkan dengan semakin maraknya pembubaran Menwa.
hal-hal berbau kekerasan. Pandangan ini Karena dinilai Menwa adalah ‘anak didik’
menimbulkan sikap tidak bersahabat dari ABRI. Maka mulai saat itulah Menwa
mahasiswa umum. Berikut adalah beberapa dikritisi kembali keberadaannya bahkan
peristiwa yang menggambarkan kekerasan semangat membubarkan Menwa terjadi
di lingkaran anggota Menwa dan bentuk bukan hanya di kalangan mahasiswa tetapi
ketidakharmonisan antara Menwa dan juga di masyarakat. Lalu, pada April 2000,
mahasiswa umum di berbagai perguruan terjadi penganiayaan terhadap seorang
tinggi, seperti pengeroyokan terhadap tiga mahasiswa Fakultas Dakwah Institut
anggota Menwa di Padang oleh sekelompok Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo,
mahasiswa (September 1992), peledakan Semarang, oleh anggota Menwa. Kejadian
bom Molotov di Markas Menwa ITB, tersebut langsung mendapat protes keras
Bandung dan Universitas Nasional, Jakarta dari ratusan mahasiswa IAIN dan menuntut
(Juni 1993), kerusuhan antara Menwa rektor IAIN membubarkan Menwa. Tuntutan
Universitas Riau dengan wartawan lokal ini juga mendapat dukungan dari anggota
(Juli 1993) dan di Universitas Pattimura, DPRD Jawa Tengah. Mahasiswa IAIN
Ambon (1991), pemukulan oleh anggota Walisongo Semarang memutuskan menolak
Menwa di depan kampus universitas Katolik keberadaan Menwa di kampusnya. Mereka
Soegipranata, Semarang, dan di Universitas kemudian meminta pemerintah segera
Diponegoro (Undip), Semarang terhadap mencabut SKB 1994.
aktivis koran kampus setempat (Agustus
1993), hingga soal pengeroyokan oleh Kemudian, pada 26 Juli 2000,
Menwa Universitas 17 Agustus, Surabaya Dirjen Sumdaman dari Departemen
dan Universitas Brawijaya, Malang terhadap Pertahanan mengeluarkan Surat Telegram
Panitia Organisasi Pengenalan Kampus. No: ST/06/2000 berisi pemberitahuan
kepada seluruh Panglima Kodam tentang
Berdasarkan serangkaian ‘tinta pembinaan dan pemberdayaan Menwa.
merah’ sejarah Menwa tersebut, maka pada Lalu, pada 11 Oktober 2000 keluarlah Surat
awal Oktober 1994, Mendikbud Wardiman Keputusan Bersama Menteri Pertahanan,
Djoyonegoro di depan rapat kerja dengan Menteri Penelidikan Nasional, dan Menteri
Komisi IX DPR mengakui bahwa banyak Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
anggota Menwa over-acting. Beberapa Republik Indonesia No: KB/14/M/X/2000,
anggota DPR kemudian ada yang meminta 6/U/KB/2000, dan 39A 2000, tentang
peninjauan kembali keberadaan Menwa. Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen
Lalu pada 28 Desember 1994 diadakan Mahasiswa. Dirjen Dikti menjelaskan
bahwa Menwa tidak bubar melainkan diatur
kembali statusnya sebagai UKM yang
pembinaannya diserahkan kepada masing-
masing perguruan tinggi***

PendarPena 9
laporan utama

HENDAK
JADI
APA
KAU
MAHASISWA
Pandangan Terhadap Pemuda.
“....Masa yang akan datang kewajibanmu-lah… “

Itulah sepenggal kalimat lagu “Bangun Pemudi


Pemuda”. Di keseharian pun ungkapan “pemuda
bahwa pemuda sering dikaitkan dengan pengertian
harapan bangsa” sering dilontarkan. Lalu apa dan
yang bersifat ideologis atau kultural. Dalam kajian
budaya, kepemudaan dirumuskan berdasarkan
siapa pemuda itu? Terdapat beberapa pandangan
tanggapan masyarakat dan kesamaan pengalaman
mengenai konsep pemuda. H.A.R Tilaar mengkritik
historisnya.
soal pandangan pedagogis dan psikologis
klasik yang menyatakan pemuda identik dengan
Masyarakat sering pula memberikan
pemberontak; berani tetapi pendek akal; dinamis
alokasi peran kepada golongan pemuda yang di-
tetapi sering kali hantam kromo, penuh gairah tetapi
sertai harapan-harapan sosial masyarakat. Namun
sering berbuat ‘aneh-aneh’. Singkatnya, pemuda
tak jarang, para pemuda pun menyimpang dari
dan kepemudaan sama dengan romantik. Pemuda
alokasi peran dan harapan sosial masyarakat
semata-mata hanya dianggap ‘pemuja’ ego belaka.
yang disematkan kepada mereka. Pembedaan
Kembali, H.A.R Tilaar mengkritik pandangan
pelegitimasian peran tersebut dapat terjadi, salah
pedagogis klasik tersebut yang memandang proses
satunya, karena gejala kehilangan kepercayaan
perkembangan manusia bukan sebagai sesuatu
pemuda terhadap generasi tua. Generasi muda
yang saling berkait, tetapi bersifat fragmentaris. Hal
memang kerap berkaitan dengan perubahan
ini menyebabkan fase pemuda ditempatkan terpisah
sosial, bahkan dalam skala sangat besar. Sejarah
di dalam fase kehidupan manusia. Sedangkan fase
memperlihatkan fenomena tersebut. Sebagai contoh
paling signiikan adalah peralihan pemerintahan
orang tua diidentikkan dengan stabilitas hidup dan
kehidupan bersama manusia. Hal ini menyebabkan
Orde Lama ke Orde Baru kemudian ke Reformasi.
fase orang tua menjadi fase puncak kehidupan
Walau pun memang bukan satu-satunya yang
berperan, namun peran pemuda cukup signiikan
manusia, dan keterpisahannya dengan fase
pemuda (juga fase anak-anak) menyebabkan fase
dalam peristiwa-peristiwa itu.
tersebut hanya dianggap‘peralihan kejiwaan’ dan
tidak memiliki arti fundamental.
Mahasiswa Sebagai Kaum Pemuda ‘Yang
Diuntungkan'
Secara demograis, jumlah pemuda kian meningkat
Pemikiran tersebut memunculkan
pembatas generasi di dalam masyarakat. Dari
sana timbul konlik generasi ketika generasi tua
tiap tahunnya. Kondisi ini berbuah permasalahan,
dalam spektrum pendidikan, yakni tidak begitu
yang ‘berkedudukan’ di masyarakat kehilangan
banyak pemuda mendapatkan kesempatan
kepercayaan dari pemuda. Pemuda berpandangan,
mengalami masa pembentukan diri di institusi
tradisi yang generasi tua bangun tak mampu
pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Institusi
lagi menampung goncangan-goncangan masa
pendidikan sungguh memiliki peran dalam masa
depan yang datang cepat dan menuntut terjadinya
perubahan di dalam struktur sosial. Tauik Abdullah
peralihan kejiwaan pemuda dari lingkungan keluarga
ke lingkungan sosial teman sebaya yang lebih luas.
berpandangan, generasi muda biasanya lebih
Fase ini menumbuhkan rasa kesamaan dalam diri
sedikit memiliki kepentingan terhadap berlanjutnya
pemuda yang selingkungan sosial. Rasa kesamaan
dasar struktur sosial lama. Ia juga menyatakan
ini makin terpupuk seiring makin meningkatnya
jenjang pendidikan yang diterima pemuda. Bahkan
kemungkinan dominasi peran keluarga akan
tergeser oleh dominasi rasa kesamaan tersebut.

10 PendarPena
laporan utama

yang lebih tinggi dan lebih luas. Sedangkan


menurut Edward Shils cendekiawan adalah
orang-orang yang mencari ‘kebenaran’;
mencari prinsip-prinsip yang terkandung dalam
kejadian-kejadian serta tindakan-tindakan,
atau dalam proses penjalinan hubungan antara
Pribadi (The Self) dan Hakekat (The Essential),
baik hubungan yang bercorak pengenalan
(cognitive), penilaian (appreciative) ataupun
pengutaraan (expressive).

Kaum ilmuwan non-marxist


mengemukakan bahwa motif mereka adalah
kegairahan berbakti kepada kebenaran. Ini
berkaitan dengan asal-usul keagamaan dari
peranan cendekiawan, karena memang kaum
pendeta-lah yang dahulu memainkan peranan
cendekiawan. Kemungkinan para cendekiawan
keagamaan tersebut tidak memiliki kepentingan
duniawi. Julien Benda berpendapat bahwa
cendekiawan seharusnya adalah orang-orang
yang kegiatan hakikinya bukan mengejar
tujuan-tujuan praktis, selaiknya resi (penasihat)
bagi seorang Raja, menurut Arief Budiman.
Lebih lanjut Benda menerangkan Cendekiawan
adalah orang yang mencari kesenangan
dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan
atau teka-teki metaisika; dalam hal-hal yang
tidak menghasilkan keuntungan kebendaan,
dan dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa
Dewasa ini, bersama pesatnya kerajaannya bukanlah di dunia ini, seperti kata
“Kepekaan kemajuan Ilmu Pengetahuan (modernitas) Mannheim, cendekiawan adalah kelompok
yang berkembang di masyarakat turut terapung.
terhadap berpengaruh terhadap pemuda. Akibat dari
Bagi penganut paham Marxisme,
modernitas ini adalah terlampauinya batas
peralihan ruang dan waktu arus informasi, baik skala
regional, nasional, maupun internasional.
bagaimana mungkin kesadaran seseorang
tidak ada sangkut pautnya dengan eksistensi
suasana yang Selain itu, modernitas juga menyebabkan
terjadinya diferensiasi yang lebih kompleks
kebendaannya (basis materialnya)? Eksistensi
dan kesadaran saling menentukan; dan bukan
di dalam masyarakat, termasuk di dalam searah semata. Bagi mereka, kedudukan
dimiliki strukturnya. Kompleksitas struktur sosial sosial—dengan kata lain kelas dalam
ini berimplikasi semakin mendesaknya masyarakat—adalah suatu legitimasi atas
mahasiswa atau kebutuhan intelektual untuk mengisi peran penindasan. Oleh karena itu, perjuangan
demi keadilan/kesetaraan patut dilancarkan.
fungsional struktur tersebut. Di sinilah
kaum peran institusi pendidikan dalam memenuhi
kebutuhan tersebut.
Sikap protes dalam politik adalah cara yang
coba ditempuh mereka demi kesetaraan atau
pemuda yang Akibat dari modernitas yang terus
masyarakat tanpa kelas.

berkembang pesat pun berdampak pula Bagaimana dengan mahasiswa?


‘diuntungkan’, terhadap perluasan sistem lembaga Kepekaan terhadap peralihan suasana yang
pendidikan. Hal ini menyebabkan rasa dimiliki mahasiswa atau kaum pemuda ‘terpilih’,
dapat persamaan para pemuda juga mengalami dapat menempatkan mereka sebagai bentuk
‘sistem alarm’ masyarakat. Peran tersebut mirip
perluasan. Perhatikan saja, pengalaman-
menempatkan pengalaman penting dan fundamental
pemuda mulai bersifat internasional dan
dengan peranan resi masa Kerajaan Jawa.
Dalam pemahaman mengenai cendekiawan-
mereka mempengaruhi proses pembentukan
kepribadiannya, yakni menjadi lebih peka
mahasiswa, terdapat pertentangan pandangan
antara marxist dan non-marxist. Pertentangan
terhadap peralihan suasana. Kepekaan tersebut terjadi di dalam permasalahan
sebagai bentuk terhadap peralihan suasana inilah yang mengenai eksistensi material dari golongan
menjadi pembeda antara kaum pemuda cendekiawan. Mari kita kesampingkan dahulu
‘sistem alarm’ ‘yang diuntungkan’ dengan yang ‘tidak pertentangan tersebut, karena pada dasarnya,
baik kaum marxist maupun non-marxist,
diuntungkan’.
masyarakat.” Mahasiswa Sebagai Kaum Cendekiawan.
sepakat bahwa golongan cendekiawan
adalah mereka yang memiliki keberpihakan
Lewis Coser berpandangan cendekiawan pada kebenaran. Dengan perkembangan
adalah orang-orang yang kelihatannya tidak modernitas yang cepat, mahasiswa dengan
pernah puas menerima kenyataan. Mereka pengalaman informasi yang internasional dan
mempertanyakan kebenaran yang berlaku, rasa kesamaan yang kosmopolitan mampu
dalam hubungannya dengan kebenaran membentuk pemikirannya ke arah pemikiran
holistik dan berpihak pada kebenaran. Maka
dari itu, pantaskah mahasiswa termasuk
golongan cendekiawan?

Institusi Pendidikan Sebagai Pembentuk


Kaum Intelektual.
Modernitas menuntut penyesuaian struktur

PendarPena 11
soal terdapatnya semacam aristokrasi yang untuk
sebagian kalangan merupakan aristokrasi dari mereka
pada waktu yang sama untuk mencapai suatu sukses;
tapi untuk bagian kecil aristokrasi itu juga didukung
suatu jaringan khas antara macam-macam lembaga.
sosial masyarakat ke arah sistem lebih kompleks. Bila seseorang lulus dari suatu lembaga yang
Kondisi ini membutuhkan pemenuhan kebutuhan terkenal karena prestasinya, maka fakta ini sudah
intelektual yang tidak hanya bersifat ‘hakiki’ tetapi juga cukup untuk membuka semua pintu dan memberinya
bersifat sementara di dalam pengisian tugas-tugas suatu tingkat prioritas. Banyak alasan mahasiswa
yang berperan fungsional. Sejalan dengan pemikiran memilih memasuki perguruan tinggi tertentu karena
Dick Hartoko, di sini institusi pendidikan berperan mempertimbangkan faktor aristokrasi Edward Shils
signiikan sebagai salah satu wadah pembentukan ini. Menurut mereka, lembaga pendidikan tinggi yang
pribadi pemuda menjadi kaum intelektual. Institusi mereka masuki telah memiliki nama, gengsi yang
pendidikan menciptakan iklim kondusif bagi kaum tinggi dan ketika mereka mampu menyelesaikan studi
muda ‘terpilih’ untuk mengembangkan bakat dan minat di lembaga pendidikan tinggi tersebut, mereka akan
intelektualnya. Kalau pun di dalam diri generasi muda menganggap dirinya lebih mendapatkan prioritas
tersebut tidak terdapat minat intelektual, seyogianya dibandingkan lulusan tempat lain.
kaum pendidik dapat menumbuhkannya dengan tetap
Bagi individu yang meminati ilmu tertentu
secara spesiik berdasarkan minat dan bakatnya
mempertahankan perannya sebagai fasilitator.

Di sini kita tidak serta-merta melakukan ataupun tidak, pada perguruan tinggi tertentu akan
dikotomisasi antara kaum intelektual yang berperan diaplikasikan ke mana kegiatan intelektualnya.
fungsional dengan kaum intelektual yang berperan Sebagian besar mahasiswa mengorientasikan
cendekiawan. Ketika masih dalam fase generasi muda tujuannya lebih ke profesi-profesi yang menjalankan
dan ruang kesebayaan, dengan kata lain generasi peran-peran fungsional di dalam struktur sosial
muda belum memasukkan perannya ke dalam suatu masyarakat. Walau pun begitu, masih terdapat
bentuk struktur sosial tertentu. Mereka masih memiliki kepercayaan di kalangan mahasiswa bahwa tidak
kebebasan dalam memerankan peran intelektualnya di tertutup kemungkinan akan munculnya kaum-kaum
dalam institusi pendidikan. Ketika mereka telah keluar cendekiawan di antara mereka, meskipun hanya
dari institusi pendidikan tersebut dan terjun ke dalam segelintir individu. Kita tidak dapat membenarkan
struktur sosial masyarakat, semua kembali kepada
pilihan masing-masing. Setiap peran yang dijalankan
memiliki fungsinya masing-masing, dan masing-
masing peran dapat saja saling mendukung atau saling
menentang, atau malah saling melepaskan diri dari
struktur yang nantinya berlaku.

Lalu bagaimana kaitannya dengan


realita dewasa ini? Ke arah mana kecenderungan
intelektual generasi muda ‘terpilih’ alias mahasiswa?
Dan kecenderungan mana yang lebih diakomodasi
oleh institusi pendidikan tinggi? Dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita lirik
pandangan Edward Shils mengenai kegiatan intelektual
yang dilembagakan. Ia berpandangan bahwa kegiatan
intelektual itu dilembagakan karena banyak orang
yang tidak mempunyai minat intelektual yang kuat dan
mendalam membutuhkan hasil-hasil dari minat serupa
itu. Selain itu, seseorang dipilih menjalankan suatu
peran intelektual atau setengah intelektual setengah
eksekutif, tidak terutama karena dia mempunyai bakat
pribadi yang mendalam untuk menjalankan kegiatan
intelektual. Sementara orang yang mulai memegang
peran itu berbuat demikian terutama karena ini
menawarkan kesempatan untuk mengalami kepuasan
akibat kegiatan intelektual. Kepuasannya bukan terletak
di kegiatan intelektualnya, tetapi terletak di peran yang
membutuhkan kegiatan intelektual tersebut. Ada juga
yang didorong orang tua, para guru, dan pendapat umum
dalam lingkungan sosial dan kebudayaannya, bersama-
sama dengan harapan akan menerima imbalan inansial
dan gengsi. Fenomena minat intelektual ternyata masih
terdapat dalam diri mahasiswa dewasa ini. Berdasarkan
penelusuran lapangan yang dilakukan PendarPena
di tiga perguruan tinggi (UI, UNAS, IISIP), peminatan
ilmu karena beberapa faktor, ada yang karena minat
pribadi, ada karena dorongan dari pihak orang tua atau
keluarga, terlepas dari apakah mahasiswa tersebut
memang berminat atau tidak, dan ada juga karena
mengikuti jejak orang tua.

Kemudian Edward Shils juga berpendapat

12 PendarPena
“Berdasarkan penelusuran lapangan
yang dilakukan PendarPena di tiga
perguruan tinggi (UI, UNAS, IISIP),
peminatan ilmu karena beberapa
faktor, ada yang karena minat prib-
adi, ada karena dorongan dari pihak
orang tua atau keluarga, terlepas dari
apakah mahasiswa tersebut memang
berminat atau tidak, dan ada juga
karena mengikuti jejak orang tua.”

atau menyalahkan suatu peran yang dimainkan seseorang.

Lalu bagaimana dengan pengakomodasian yang diberikan perguruan


tinggi? Mungkin secara konseptual kita dapat meninjau dari visi, misi dan tujuan
lembaga pendidikan tinggi yang ditelusuri PendarPena (UI, UNAS, dan IISIP),
yakni memberikan perhatian besar dalam pemupukan bakat dan minat intelektual
mahasiswa serta memberikan akomodasi demi perkembangan intelektual ke arah
golongan cendekiawan yang waspada dan awas terhadap dinamika masyarakat
dan modernitas dewasa ini.

Lalu apakah dengan pengakomodasian yang diberikan perguruan tinggi, arah


dan minat yang mereka tuju, serta asal-usul mereka, kita lalu dapat memastikan
termasuk ke dalam golongan manakah seorang mahasiswa itu? Ada pernyataan
menarik yang dilontarkan Arief Budiman yaitu, “sifat khas mahasiswa yang penting
dalam hubungan sosial adalah bahwa situasi mereka selalu bercorak sementara.
Setiap penggolongan mahasiswa selaku kelompok masyarakat, mau tidak mau
harus mengikutsertakan asal-usul mereka, situasi mereka sendiri serta arah sosial si
mahasiswa. Sifat sementara dari mahasiswa serta ketidakpastian mengenai tujuan
mereka-lah yang mengakibatkan mahasiswa tidak dapat disederhanakan...”.

Begitu relatifnya kecenderungan arah golongan yang akan dimasuki seorang


mahasiswa. Kesementaraan mereka, situasi diri mereka, ketidakpastian mereka
seakan-akan mengisyaratkan kepada kita bahwa hanya ‘saya’ sendiri-lah yang tahu
ke mana arah yang mesti ‘saya’ tempuh. Dan apakah anda (mahasiswa) sudah
bertanya dalam pikir, arah mana yang akan ditempuh? (HP,OF.)

PendarPena 13
artikel

Ilustrasi: Yovantra Arief

NONGKRONG
SEBUAH PERJUANGAN & KONTEMPLASI
Teks: Muchamad Sidik
Apa itu “nongkrong”? Penulis Henri Lefebvre, dalam The Production of oleh karenanya, nongkrong bersifat arbitrarily
menemukan kata ’nongkrong’ sebagai kata Space (1991) mengemukakan bahwa ruang networked. Sebuah tempat menjelma
unik karena dalam telusur pustakanya, penulis sosial adalah produk sosial sehingga dapat menjadi tongkrongan karena kesepakatan
kesulitan menemukan deinisinya. Konsep mencerminkan keadaan sosial, ekonomi dan sosial (arbitrer) yang ditentukan jaringannya.
mentalnya jelas, akan tetapi sulit disuratkan politik masyarakatnya. Sebagai produk sosial, Terdapat dilema dalam kesepakatan sosial
ke dalam deinisi utuh. Di kampung tempat ruang kerap dijadikan sebagai alat kontrol, tersebut. Di satu sisi, tongkrongan adalah
penulis tinggal, “nongkrong” adalah duduk dominasi dan kekuasaan (Lefebvre, 1991: ruang publik yang menitikberatkan aspek legal
jongkok, yang sangat ditabukan bagi anak 26). Sedangkan di sisi lain, ruang juga dapat access to all persons. Di sisi lain, kesepakatan
perempuan karena dianggap mengumbar digunakan sebagai media penentangan, sosial yang membentuk tongkrongan adalah
aurat. Sekarang (entah sejak kapan), kata subversi dan perlawanan politik. Perjuangan common sense dari sebuah jaringan,
“nongkrong” mengalami pergeseran makna. ruang adalah perjuangan memperebutkan
teritorial; isik dan simbolik (Piliang dalam
sehingga terbentuklah jaringan-jaringan
“Nongkrong” merupakan model dari cara sosial yang tersegmentasi dan terprivatisasi,
bersosialisasi. Padanannya antara lain Ibrahim, 2004: 326). populernya disebutan komunitas. Pada
“kongkow”, “hang-out”, “ngumpul”, dan konteks ini, muncullah wacana ruang privat.
mungkin masih banyak lagi. Aktivitas masyarakat modern Amster (2004) menyatakan bahwa ruang
penuh kompetisi dan pencarian status sosial privat, “…creates a sense of ownership
Namun di sini penulis akan yang membawa kita ke dalam segmentasi which thereby creates an environment
dan dimensi ruang yang membuat kita lelah;
lelah dari dominasi wacana politis spesiik.
menggarisbawahi beberapa hal, (i) where the appearance of strangers and
“nongkrong” adalah aktivitas isik dan intruders stands out” (hlm 69). Dengan
kognitif, (ii) “nongkrong” adalah sebuah Tongkrongan tidak lain merupakan simbol kata lain, ruang privat merepresentasikan
aktivitas sosial dan (iii) membutuhkan ruang resistensi terhadap dominasi yang terjadi ‘ownership’ serta mengeliminasi ’strangers’
di ruang-ruang sosial. Di tongkrongan, “all
persons” dapat menyuarakan eksistensinya
dan waktu (luang). Dalam konteks-konteks dan ’intruders’. Meskipun demikian, tidak
tersebut, penulis tidak akan mengkaji semua tempat tongkrongan bersifat tertutup
dikotomi baik-buruk atau benar-salah dari secara adil tanpa ada wacana segmentasi dan eksklusif. Akan tetapi, masing-masing
kegiatan “nongkrong”. Tulisan ini bersifat sosial (status sosial, ras, gender, agama, dan tempat tongkrongan memiliki ciri khas yang
memaparkan (deskriptif) “nongkrong” sebagainya). Sederhananya, tongkrongan merepresentasikan komunitas-komunitas
sebagai fenomena budaya populer yang digunakan sebagai ruang membentuk yang menempatinya
membantu lahirnya industri baru, komunitas organisasi sosial baru tanpa dominasi atau .
produktif (dan konsumtif) serta transformasi otoritas tertentu. Siklus perjuangan ruang pun
sosial. Tulisan yang bersifat pemaparan kembali bergulir akibat munculnya kembali
Akan tetapi, layaknya kata
“nongkrong” yang mengalami pergeseran
ini didasari pengamatan umum terhadap dimensi privatisasi ruang yang mengeliminasi
budaya “nongkrong” dan tidak memiliki
makna, “tongkrongan” juga mengalami hal
strangers atau intruders. Komunitas-
korpus penelitian spesiik. komunitas yang terbentuk memiliki
Nongkrong Adalah Perjuangan Ruang. serupa. Nongkrong adalah aktivitas sosial, tongkrongannya masing-masing dengan

14 PendarPena
artikel

inovasi baru dan style serta ritual khas.


Bahkan, tidak sedikit komunitas harus saling
gontok-gontokkan hanya memperebutkan
lahan tongkrongan.
“Coba bayangkan, apa jadinya
“Yang lebih menarik, remaja dan ABG (Anak
apabila Isaac Newton
Baru Gede) menjadikan kafe sebagai tempat
tongkrongan baru mereka. Malah pernah
memanfaatkan waktu
terjadi sebuah kafe menjadi lahan rebutan
kelompok pengunjung yang berbeda. Ini
luangnya untuk nongkrong
terjadi pada sebuah [kafe] favorit yang terletak
bersebelahan dengan bioskop di sebuah mal.
di ujung gang sambil
Mulanya kafe itu banyak dikunjungi kaum
muda. Akhirnya mereka terpaksa pindah
memakan apel yang
tempat karena lama kelamaan kafe itu lebih
banyak didatangi orang dewasa.” (Suara
dipungutnya di jalan?
Pembaruan, 5 April 1997)
Akankah ada teori gravitasi?
Kutipan di atas memperlihatkan
gambaran terbentuknya dimensi privatisasi
Mungkin saja tidak. Hebatnya,
ruang (tongkrongan). Pertama, terdapat
common sense dalam dua jaringan berbeda, beliau memanfaatkan
yaitu komunitas anak remaja dan komunitas
orang dewasa menjadikan kafe sebagai waktu luangnya untuk
tongkrongan. Pertentangan antar komunitas
tersebut terjadi tidak lain karena perbedaan berkontemplasi, kenapa apel
value antar jaringan (remaja-dewasa) dan
tidak tercapainya common sense. Value tersebut jatuh ke bawah?”
tersebut merupakan simbol kontrol sosial di
dalam sebuah ruang layaknya yang terjadi di
rumah, kantor atau sekolah. Kedua, terdapat
setelah jenuh kuliah di kelas. Tidak ada Akankah ada teori gravitasi? Mungkin saja
ruang privat, yaitu kafe/bioskop/mal. Tanpa
yang melarang aktivitas tersebut di kantin, tidak. Hebatnya, beliau memanfaatkan
disadari, melepaskan diri dari kontrol sosial
waktu luangnya untuk berkontemplasi,
”kenapa apel tersebut jatuh ke bawah?”
yang terjadi di sekolah, kantor dan rumah— dan kalau pun ada kelompok lain yang
yang berdimensi privat—anak tongkrongan terganggu, setidaknya dapat diekspresikan
secara gamblang, karena terciptanya Pertanyaan kecil tersebut beserta waktu
kembali masuk ke dalam ruang sosial baru,
sebuah dialog adalah hal terindah dari luang yang diabdikan beliau melahirkan
yang ke-privat-annya disamarkan citra-citra
sebuah tongkrongan, meskipun itu harus pemikiran besar yang membantu kita
kenyamanan, slogan “pelanggan adalah
segalanya” dan rayuan lainnya. Ketiga, diperjuangkan! memahami gejala alam dan membebaskan
kita dari belenggu mitos.
terjadi segmentasi atau pembedaan sosial.
Kafe/bioskop/mal sudah jelas membedakan
Nongkrong adalah aktivitas
isik, kognitif dan sosial. Bersyukurlah kita
sekelompok komunitas yang dinamakan Nongkrong (Seharusnya) Adalah

sebagai manusia diberikan kekuatan isik,


konsumen. Konsumen dominan di mal adalah Berkontemplasi.
kelas menengah ke atas. Pemaknaan terhadap ruang
publik adalah suatu kegiatan yang kognitif dan sosial. Kekuatan-kekuatan
melibatkan wacana pengingatan, tersebut seharusnya kita manfaatkan
Hal lain yang layak diperhatikan
pengabaian dan pelupaan (Kusno, 2009: 3). untuk mendobrak wacana dominan yang
dalam konteks nongkrong sebagai aktivitas
isik-kognitif dan tongkrongan sebagai ruang Nongkrong berarti memaknai tongkrongan. mengikat. Tongkrongan pun lahir dari
sosial adalah komodiikasi ruang dan tubuh. Tongkrongan adalah sanctuary, tempat akumulasi kekuatan tersebut. Dalam
‘berlindung’ dari segala ketidaknyamanan konteks tulisan ini, rasanya tidak tepat
Tempat-tempat nongkrong yang penulis
di ‘luar sana’. Tongkrongan adalah tempat menyandingkan konsep tongkrongan
ketahui pada umumnya adalah tempat
melepas penat dan mengekspresikan diri populer dengan konsep public sphere
nongkrong yang mengedepankan tema
selepas dari hiruk-pikuk politisnya everyday yang digaungkan Jurgen Habermas, akan
kuliner (makan, minum = kebutuhan) dan hobi
life—nongkrong adalah perayaan dan tetapi, penulis ingin mengajak teman-
(otomotif, tato, musik, judi, dsb = keinginan),
yang hidup atas dasar komodiikasi hasrat, pembebasan. teman pembaca untuk berkontemplasi—
bahwa potensi membentuk tongkrongan
ketika kebutuhan disulap jadi keinginan dan
Di satu sisi, nongkrong dan sebagai organisasi sosial-emansipatoris
keinginan disulap jadi kebutuhan. Dalam
proses komodiikasi, interaksi sosial adalah tongkrongan adalah produksi budaya adalah sangat besar selama kita dapat
masyarakat industri (modern). Pola hidup membedakan what do we need dan
interaksi antar objek. Nilai substansial dari
masyarakat modern setiap harinya dibagi what do we want for our lives dan tidak
interaksi manusia sebagai subjek disamarkan
atas waktu; waktu kerja (identik dengan mudah terayu buaian citra kenyamanan
nilai-nilai lain yang bersifat kuantitatif,
produktif) dan waktu luang (identik dengan hidup yang sama sekali tidak nyata—
seperti harga pakaian yang digunakan,
konsumtif). Di sisi lain, nongkrong dan buaian berwatak kapitalistik yang
tempat memperolehnya, makanan khas,
dan sebagainya. ”Just as quality appears as tongkrongan merangsang lahirnya industri merayakan logika ’popularitas’, ’rayuan’,
baru; industri waktu luang. Batasan antara ’pengelabuan’, ’kesenangan’; bukan
quantity, so objects appear as subjects, and
produktif dan konsumtif pun sangat bias ’substansi’, ’pengetahuan’, ’kebenaran’ dan
subjects as objects. Things are personiied
and persons objectiied” (Edgar dan karena aktivitas mengkonsumsi adalah ’pencerdasan’ (Piliang dalam Tinarbuko,
aktivitas memproduksi kebutuhan. 2009: ix).Mari kita lanjutkan nongkrongnya
Sedgwick, 2002:72). Nilai-nilai kuantitatif
dan jangan lupa berkontemplasi. Jangan
tersebut kemudian menjelma menjadi simbol-
Terlepas dari hal tersebut, lepas dari ’kandang macan’ kemudian
simbol segmentasi sosial.
penulis berpendapat bahwa waktu kerja merayakan kebebasannya di ’kandang
dan waktu luang hampir tidak ada bedanya. buaya’***
Berkaca dari tulisan di atas,
siklus perjuangan ruang akan terus berputar Kedua-duanya adalah waktu merayakan
selama terdapat dominasi atas ruang- kehidupan dan merayakan kreativitas.
ruang sosial yang tidak mewadahi suara Coba bayangkan, apa jadinya apabila Isaac
eksistensi kultur-kultur minoritas. Lumrahlah Newton memanfaatkan waktu luangnya
apabila sekelompok mahasiswa tertawa dan untuk nongkrong di ujung gang sambil
bernyanyi sekencang-sekencangnya di kantin memakan apel yang dipungutnya di jalan?

PendarPena 15
omongomong

omongomong bersama Hilarius Taryanto

Ketika
Mahasiswa
Berhumor
Teks & Wawancara : Oscar Ferry, Hedwi Prihatmoko.

Pada 11 Oktober 2009, PendarPena mengirim anggotanya untuk


melakukan wawancara dengan Bp. Hilarius Taryanto di Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Wawancara
ini membicarakan fungsi dan peran humor di kalangan mahasiswa.
Berikut ini adalah hasil dialog antara PendarPena dengan Bp. Hi-
larius Taryanto.

PP (PendarPena): Dalam buku yang bernuansa SARA. Apakah punya fungsi sebagai alat protes, alat
Humor Asli Mahasiswa yang dihimpun humor atau anekdot yang bernuansa proyeksi sosial atau alat pelampiasan
James Danandjaja terekam bahwa demikian mampu mengurangi bahkan angan-angan terpendam. Pada abad
mahasiswa itu memiliki jenis humor menghilangkan batas-batas kedaerahan 18, di China sudah berbuat banyak
tersendiri dengan berciri cerdas, usil, dan berujung tawa belaka tanpa mengenai naskah folklor nasional.
bahkan porno. Bagaimana menurut menyisakan sensitiitas tertentu? Semua itu digunakan untuk bercermin,
bapak mengenai humor mahasiswa? HT: Ya, karena mahasiswa adalah kaum bagaimana penilaian rakyat terhadap
HT (Hilarius Taryanto): Pertama, buku intelektual, maka lebih bisa meredam pemerintah. Bahkan gaya pemerintahan
itu awalnya hanyalah himpunan tugas emosi dan bisa lebih menerima. pun dapat berubah hanya gara-gara
mahasiswa pada matakuliah folklor. Biasanya, humor jenis itu sudah folklor. Nah, di Indonesia sejak dekade
Lalu dengan dalih eisiensi, humor itu stereotipe bahkan sudah label yang 70-an sampai saat ini belum berhasil
dikumpulkan di antara teman-teman. Di menempel. Humor jenis ini memang menilai pentingnya folklor. Andaikan
sini mahasiswa berperan sebagai folk-nya, bisa muncul untuk mengeluarkan unek- sejak masa Soeharto itu sadar benar
sebagai komunitas, sebagai kelompok unek, tapi mahasiswa itu bersifat isoterik, dan mengumpulkan folklor, maka akan
orang yang memiliki, memproduksi, bukan eksoterik. Isoteriknya ada dua, sudah terkumpul banyak sekali dan
menyiarkan, dan menyebarluaskan lore- di kalangan akademik, sehingga kecil dapat jadi cermin bagi pemerintah.
nya, yakni tradisi, lelucon, atau anekdot. kemungkinannya untuk marah, dan Humor yang seperti ini bersifat kritik.
Apa yang menjadi pikiran, unek-unek isoterik kedua, biasanya lelucon atau Dan kebanyakan memang dari
hati mahasiswa itulah yang dimunculkan. anekdot yang SARA itu dibicarakan mahasiswa, tapi adapula sedikit dari luar.
Kemunculan humor tersebut dapat ketika orang yang berkenaan itu tidak Humor mahasiswa yang bersifat kritik
bernuansa politik, SARA bahkan porno. ada. Kecuali eksoterik, eksoterik terhadap Orde Baru biasanya bertopik
Sebenarnya yang dikatakan humor memang boleh siapa saja mendengar. seputar Soeharto, walau agak implisit
mahasiswa hanya karena kecenderungan Mahasiswa itu komunitas khusus, jadi pengutaraannya. Berbeda dengan masa
perhatian mereka, dan sementara kalau anda mengatakan mengurangi, kini, Reformasi, yang lebih terbuka.
persoalan-persoalan seperti itu juga ada menghilangkan sekat-sekat kedaerahan,
di luar lingkungan mahasiswa. Artinya ya...mungkin, mahasiswa menganggap PP: Dalam anekdot atau lelucon
humor di kalangan mahasiswa juga bisa ini lelucon belaka. Namun di luar sana terdapat beberapa sifat, misalnya
ada di pedagang, orang-orang terminal, dapat begitu berbeda tanggapannya. bersifat protes (politik) dan bernuansa
dsb. Jadi jikalau kita mengatakan humor SARA yang telah diutarakan di atas.
mahasiswa, bukan berarti murni berasal PP: Lalu bagaimana menurut Nah adapula jenis humor yang nyrempet
dari mahasiswa. Humor itu lore-nya, bapak mengenai lelucon soal seksualitas. Bagaimana pandangan
mahasiswa folk-nya, jadi hanya sekedar berbentuk protes dari mahasiswa? bapak terhadap jenis humor ini?
lore yang beredar di kalangan mahasiswa. HT: Si pencerita itu mewakili HT: Yang satu ini adalah humor segala
masyarakatnya. Nah, folklor yang abad, sepanjang manusia masih ada.
PP: Nah, berkaitan dengan humor berupa humor, lelucon atau anekdot itu Dalam konsep Freudian, yaitu Id. Id

16 PendarPena
omongomong

“Humor di kalangan mahasiswa akan selalu ada saja.


Sebenarnya bukan hanya humor mahasiswa, tapi
siapapun. Jadi humor itu sepanjang masa. Asalkan
manusia pendukungnya masih ada.”

itu ada yang berupa libido dan ada yang


berupa agresiitas. Jadi begitu manusia
dan mengolok-olok orang lain. apa, kalau suasana kemahasiswaan,
ya, kemahasiswaan yang seperti apa.
ada, ada seksualitas, termasuk humornya. PP: Berarti dalam humor ada batasan- Termasuk misalnya, mungkin tindak
Lebih-lebih di Timur yang tabu, di mana batasan tertentu, termasuk humor yang humor ’jorok’, itu marak? Mungkin
makin tabu makin banyak. Karena tabu sehat ataukah yang tidak. Bagaimana Bahkan akan lebih marak di Aceh atau
kan diredam, banyak yang tidak boleh, jadi mengindentiikasi batasan tersebut? Serambi Mekah atau di IAIN. Itu hipotesis
banyak yang keluar lewat folklor. Sama juga HT: Kalau lelucon itu berkenaan dengan saya. Jadi humor ’jorok’ itu akan marak
ketika latah. Latah itu hanya ada di orang suku bangsa, ini termasuk isoterik atau sekali apabila semakin ditekan, makin
Melayu, seperti Indonesia, Malaysia, dan eksoterik. Hati-hati, jangan sembarangan. tidak boleh, malah meledak. Karena
Singapura. Jadi tidak ada ceritanya latah Kalau yang isoterik lalu di-eksoterik- ini pelampiasan yang tidak langsung,
itu pada orang Barat, Eropa, Amerika. kan, itu yang membahayakan. Folklor padahal ini perlu, harus begitu, dan maka
Nah jadi latah di antara orang-orang itu ada karena masih berfungsi, kalau harus keluar, harus ada sublimasi. Hal
Melayu adalah latah yang jorok, meskipun tidak berfungsi pasti tidak ada. Kalau ini memang seperti gunung berapi aktif
ada yang sudah setengah baya, setelah ada orang marah, tidak menerima, itu yang mengandung magma yang selalu
menopause. Mengapa? Karena keinginan barangkali saat-saat pertama saja. Folklor berkembang tingkat kemendidihannya,
banyak yang ditabukan, banyak tidak boleh, sepertinya tidak serius, tapi berfungsi juga, bergejolak. Kalau ini tidak dibuat saluran,
lalu secara di bawah sadar, keluarlah. Nah termasuk juga adanya unsur kreativitas. akan erupsi atau letusan, maka mesti
yang keluar itu yang tidak boleh. Karena Perlu diingat kalau kita bicara folklor, disuntik, dibor di atas sungai. Lalu
dorongan di dalam harus keluar, melalui anekdot, atau humor, jangan 100% logika lavanya akan disalurkan, sedikit-sedikit
folklor tidak bisa, mau vulgar pun lebih murni, karena folklor itu punya logika terarahkan dan menjadi tidak berbahaya.
tidak bisa, lalu ketika lupa dia spontan sendiri, sifatnya pralogis. Intinya, jangan Ini harus keluar, pasti harus keluar,
mengeluarkan kata-kata terpendam, dirasionalisasi, karena dia irasional. kalau tidak keluar, ya memaksakan
seringkali kata kotor seputar kelamin. untuk keluar. Nah, ini adalah folklor, ini
PP: Baiklah, sejauh ini dapatkah bapat adalah anekdot, sungai tadi. Dibor, dan
PP: Di kalangan mahasiswa pun kadang memberi kesimpulan seputar folklor dibuatnya saluran adalah kreativitasnya,
ada humor yang menghina bagian tubuh humor di lingkungan mahasiswa? orang membuat ’bor’. Selain itu,
atau kecacatan, kadang dilebih-lebihkan, HT: Pertama, humor di kalangan mahasiswa mengenai pentingnya folklor. Rata-rata
yang akhirnya menimbulkan keminderan akan selalu ada saja. Sebenarnya bukan folklor tidak terekam pada zamannya. Ini
dalam diri seseorang. Bagaimana hanya humor mahasiswa, tapi siapapun. artinya betapa pentingnya yang namanya
menurut bapak akan fenomena ini? Jadi humor itu sepanjang masa. Asalkan pengarsipan folklor. Karena arsip itu bisa
HT: Memang ada dua, yang sehat atau positif manusia pendukungnya masih ada. bicara sejarah bangsa ini seperti apa.
adalah orang yang mengolok-olok dirinya Lalu, karakter humornya seperti apa, Kebetulan jeleknya di Indonesia studi dan
sendiri atau dirinya menjadi sasaran atau tergantung konteksnya apa. Kalau politik, pengarsipan folklor baru ada sejak dekade
objek olokan. Sedangkan yang tidak sehat suasana politik yang seperti apa, kalau 1970-an hingga kini tahun. Bagaimana
atau negatif adalah yang mempermainkan sosial, suasana sosial yang seperti masa-masa sebelumnya? Ya, tidak tahu.

PendarPena 17
artikel

POP MELAYU
HEGEMONI MEDIA MASSA
DALAM RANAH MUSIK POPULER
DI INDONESIA
Teks: Comi Aziz

Berkisar tahun 2008 lalu, mulai bermunculan grup-grup musik pop Melayu terus dilahirkan perusahaan rekaman besar di
baru dengan warna seragam, yaitu pop Melayu. Mula-mula Indonesia.
Kangen Band, yang diambil Warner Music Indonesia. Setelah
itu, menyusul ST 12, Republik, Matta, Wali, Salju, Langit, Menurut Denny Sakrie, pengamat musik Indonesia, fenom-
Pudja, Vagetoz, Merpati, dan Hijau Daun. Grup-grup musik ena kecenderungan Melayu tersebut menciptakan kesan
yang kian mengandalkan satu lagu tenar dan seragam ini seolah-olah pop Melayu adalah potret musik Indonesia, pa-
kerap tampil di beberapa stasiun televisi swasta. Sejak dahal selain pop Melayu masih banyak genre musik lainnya
2008 hingga kini, program musik yang bertebaran di layar yang juga berkembang. Ketika genre pop Melayu mendapat
kaca ternyata sukses melesatkan genre musik ini, seperti respon positif dari masyarakat, industri dan media massa
Inbox (SCTV), Dahsyat (RCTI), Klik (ANTV), KissVaganza terdorong memenuhi tuntutan pasar. Pemutaran musik pop
(Indosiar), dan Derings (TransTV). Belum lagi penampilan Melayu dari televisi dan radio yang berulang-ulang mengaki-
mereka pada acara musik siaran langsung atau konser yang batkan masyarakat menjadi pendengar pasif karena didikte
ditayangkan. industri dan media massa. Sakrie menambahkan, fenom-
ena pop Melayu disebabkan adanya mental pengekor atau
Disinyalir, sejak 2008 dan sejalan fenomena di atas, terjadilah epigonistik yang kental dalam kultur masyarakat Indonesia.
penurunan kualitas musik pop pada industri musik populer Ketika ada sesuatu yang mencapai kesuksesan, tidak lama
Indonesia. Perusahaan rekaman musik besar seperti Warner akan muncul pengekornya. Demikian halnya dengan tema
dan Sony yang dikenal selektif memilih artisnya pun akhirnya lagu. Banyaknya penggunaan tema perselingkuhan dalam
memajukan grup-grup musik seperti Kangen Band (Warner penciptaan karya musik juga merupakan indikasi bagaimana
Musik Indonesia) dan Vagetoz (Sony BMG Indonesia). Hal masyarakat kita tidak bisa lepas dari kebiasaan mengekor,
ini disebabkan adanya pembajakan lagu secara digital yang
mengakibatkan penjualan album isik menurun sehingga
sehingga hal ini membuktikan adanya bentuk kreativitas
terhambat dan tidak sehat. Sehingga keseragaman dengan
perusahaan industri rekaman tersebut mengalami kesulitan penurunan kualitas bermusik sangat kuat mencengkeram
ekonomi. Warner mengincar kontrak dengan Kangen Band musik pop sejak 2008 hingga kini.
yang populer justru melalui lapak-lapak pembajakan di Su-
matera. Para perusahaan besar industri musik pun mengam- Arus utama yang dominan, pada suatu ketika akan men-
bil jalan pintas dengan mencari grup musik yang diminati capai titik jenuh di ‘telinga’ masyarakat. Hal ini mengaki-
masyarakat lalu membawanya ke dapur rekaman kemudian batkan munculnya perlawanan yang bertolak belakang
menjadikannya model untuk memproduksi grup-grup musik dengan kecenderungan utama industri musik. Contohnya
lain secara industri massal pada 1977, saat musik pop dianggap seragam, muncullah
lagu-lagu dari Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors, yang
Tanpa memandang kualitas, selera pasar dijadikan acuan kehadirannya seolah memberi nuansa musik baru dan
agar perusahaan rekaman besar terhindar dari kebangkrutan. segar. Menurut Wendi Putranto, editor majalah musik Roll-
Konsep musik pop Melayu modern yang ringan dan mudah ing Stone Indonesia, pada masa kini perlawanan terhadap
dicerna membuatnya dinilai sebagai musik yang kurang pop Melayu berasal dari jajaran perusahaan rekaman kecil,
berkelas. Meski pun sempat dicerca sebagian publik, tidak seperti yang dilakukan grup musik Efek Rumah Kaca dan
dapat dipungkiri bahwa lagu-lagu pop Melayu tersebut disu- karya musiknya. Denny Sakrie mengatakan bahwa salah
kai masyarakat luas. Reproduksi grup musik secara massal satu bentuk perlawanan muncul dari gerakan perusahaan
yang mengusung aliran tersebut menjadi terkenal, seperti rekaman kecil, seperti Aksara Records, Fastforward Re-
Vagetoz, Kangen Band, Wali, Matta, Repvblik, Angkasa, cords, Sinjitos, dan Nubuzz serta grup-grup musik Mocca,
Pudja, dan ST 12 yang sedang mengalami masa jaya di White Shoes & The Couples Company, Sore, The S.I.G.I.T,
industri musik Indonesia. Sampai saat ini, grup-grup musik dan Zeke & The Popo, dan lain sebagainya.

Guratan ringkas di atas berbuah pertanyaan, (1) bagaimana

18 PendarPena
artikel

keseragaman grup-grup musik pop Melayu tersebut dapat


diidentiikasi sebagai fenomena produk industri budaya, (2)
bagaimana pop Melayu dikukuhkan dominasinya melalui
hegemoni media massa dalam konteks musik populer di
Indonesia, (3) bagaimana gerakan perusahaan rekaman
independen melakukan perlawanan produk dan perlawanan
hegemoni terhadap fenomena tersebut. ini membuat musik pop Melayu terus direproduksi oleh in-
dustri musik arus utama hingga tercipta hegemoni kultural,
Menurut Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlight- yaitu dominasi aliran musik yang paling mendatangkan
enment (2002), industri budaya beroperasi dengan cara keuntungan di ranah musik nasional.
yang sama seperti industri-industri pabrik lainnya. Semua
pekerjaan telah dijadikan formal dan produk diciptakan Saat ini pop Melayu merupakan aliran musik paling men-
berdasarkan prosedur organisasional yang standar. Semua datangkan keuntungan, masyarakat pun berlomba-lomba
dibangun demi uang semata. Dan dalam proses produksi menciptakan karya-karya musik yang sama demi cepat
budaya tidak ada yang spontan, tetapi operasi rutin yang di- memperoleh ketenaran dan kekayaan. Hal ini membuat
jalankan melalui penggunaan formula yang spesiik. Dalam kesan bahwa aliran musik tersebut tercipta oleh determin-
dunia musik, hal ini terjadi sesuai dengan alasan komersil isme ekonomi dan direproduksi masyarakat hanya untuk
yang sudah diperhitungkan agar lagu tersebut terkesan mendatangkan keuntungan—seni sebagai komoditas—
menempel di pikiran pendengar musik yang kemudian men- bukan untuk menciptakan kemajuan musik—seni untuk
gakibatkan pendengar ingin membeli karya tersebut. seni—yang sifatnya eksploratif, kreatif, dan beragam.
Sejalan dengan teori di atas, Pop Melayu modern dapat
diidentiikasi sebagai produk industri budaya karena aliran Acara-acara musik seperti Inbox, Dahsyat, dan Derings
musik tersebut memiliki benang merah yang kuat sehingga berperan besar dalam menciptakan dominasi musik pop
dapat disebut sebagai fenomena atau produk dalam industri Melayu di Indonesia. Acara musik Inbox rilisan SCTV
budaya. Hal ini berdasarkan karakteristik atau standardisasi merupakan faktor penting dalam melahirkan dominasi pop
aliran pop Melayu modern yang kerap bertemakan cinta Melayu karena merekalah pertama kali mengangkat aliran
dan perselingkuhan, menggunakan lirik mudah dimengerti tersebut secara massal dengan menayangkan grup-grup
dan aransemen musik sederhana, serta mengandung musik seperti Vagetoz, Wali, Angkasa, dan Kangen Band
standardisasi dalam tampilan klip video grup-grup musik yang kemudian otomatis juga tampil di program-program
tersebut. musik di stasiun televisi swasta lainnya. Inbox sendiri
merupakan pelopor dalam menciptakan perubahan melalui
Musik jenis ini terus direproduksi industri dan dikemas program musik mereka yang kemudian diikuti beberapa
sedemikian rupa hingga seolah-olah selalu tampak baru stasiun televisi swasta skala nasional lainnya sehingga
meskipun sebenarnya sama karena memiliki benang merah musisi yang dahulu sulit tampil di televisi kemudian memiliki
yang sangat kuat, sesuatu yang menurut teori dari Adorno akses lebih mudah tuk tampil di media tersebut. Banyaknya
disebut sebagai individualitas semu. Keseragaman musik program musik seperti Inbox juga membuat industri musik
pop Melayu tidak mencerminkan adanya upaya pengem- populer di Indonesia semakin produktif karena banyaknya
bangan kreativitas atau eksplorasi dalam bermusik karena musisi atau industri rekaman yang ingin menampilkan
adanya reproduksi lagu yang statis atau terformulakan yang karya-karya musiknya di televisi.
tidak dapat menolerir adanya kreativitas. Hal ini mengaki-
batkan adanya regresi kualitas musik populer di Indonesia Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap media
dilihat dari semangat epigonistik yang tinggi baik itu di indus- televisi yang menayangkan program musik baik dari televisi
tri maupun di masyarakat sehingga mencerminkan adanya nasional ataupun lokal, penulis berpendapat bahwa industri
kreativitas yang terhambat. musik nasional sekarang dapat dianggap sedang dalam
keadaan sangat produktif tidak seperti sebelum-sebel-
Musik pop Melayu modern menjadi dominan melalui media umnya. Namun, sayangnya segi kualitas justru menga-
televisi dengan program-program musiknya yang hegemonik lami kemunduran. Penurunan standar kualitas bermusik
serta perusahaan operator telepon genggam yang menjual disebabkan oleh musik pop Melayu yang dominan namun
nada sambung dari karya grup musik tertentu. Simbiosis tidak menghadirkan suatu tantangan intelektual dalam
mutualisme terjadi di sini, grup musik semakin tenar dan memproduksinya, standardisasi, dan individualitas semu
sukses dan proit tinggi menghampiri stasiun televisi dan yang ditampilkan oleh masyarakat telah diterima dan dire-
perusahaan penyalur nada dering telepon genggam. Kondisi produksi masyarakat yang bertujuan hanya untuk mencapai
popularitas atau keuntungan, bukan untuk menciptakan
kemajuan seni dalam hal kreativitas atau otentisitas.

Perlawanan hegemoni terhadap musik pop Melayu oleh


jajaran perusahaan rekaman independen tercermin
melalui, keberadaan program-program musik independen
yang muncul sebagai alternatif dan menjadi perlawanan
terhadap hegemoni program-program musik yang marak di
masyarakat kita. Berikut ini adalah program-program musik
independen di televisi lokal, yakni Reaksi, Ziggy Wiggy,
dsb. Keberadaan media yang menayangkan program acara
alternatif musik ini merupakan sebuah bentuk perlawanan
terhadap dominasi pop Melayu yang dianggap telah menu-
runkan kualitas musik dan menodai seni karena pandangan
determinisme ekonomi yang dianut industri yang me-
nyokong mereka***

PendarPena 19
bukubuku

BERPIKIR
KRITIS
CARA
PERS
MAHASISWA
Teks: Mufti-Ali-Sholih

Kelemahan mendasar negara otoritarian dan tiranik Mengulas kondisi ini, Didik Supriyanto melalui
bukunya “Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes
Sepanjang NKK/BKK” mencoba mengulas tentang
adalah ketidakmampuannya menjelaskan perlawa-
nan yang terjadi dalam tubuhnya. Negara tiranik,
seperti telah banyak kita ketahui, terlihat “bodoh” kondisi serta keberadaan Pers Mahasiswa yang
ketika menghadapi protes dan demonstrasi wargan- menjadi bagian dari gerakan civil society. Didik
ya. Berbeda dengan negara demokratis, cenderung menyatakan bahwa, gerakan civil society yang
mampu menjelaskan sebab-sebab dari perlawanan biasanya dikomandoi, dimotori dan digalang oleh
yang terjadi dalam masyarakatnya. Hal ini dimung- gerakan mahasiswa, cenderung menyebarkan
kinkan karena adanya reason yang mampu dijelas- ide serta gagasan yang mampu mempengaruhi
kan dalam setiap pengambilan keputusan. ruang-ruang sosial. Satu di antara gerakan civil
society yang melakukan tindakan seperti ini ada-
Negara tiranik nan otoriter pun cenderung menggu- lah Pers Mahasiswa. Pers Mahasiswa, dianggap
nakan kekuatan koersif dalam menanggulangi protes sebagai pemberi landasan konseptual terhadap
serta demonstrasi. Kenyataan ini mengindikasikan gerakan mahasiswa secara keseluruhan. Hal ini
karena Pers Mahasiswa mampu memberikan
“pemikiran alternatif” sebagai tandingan terhadap
adanya sesuatu yang keliru, yang sejatinya menjadi
borok yang makin membesar ketika terus dilakukan.
Di sisi lain, ketidakmampuan Negara dalam men- isu-isu ideologis yang diberikan oleh rezim dalam
Negara tiran sebagai alat untuk “me-ninabobo-
kan” masyarakat.
jelaskan reason dari setiap tindakannya ini, mengan-
tarkan tubuh suburnya gerakan civil society dalam
proses pemantauan terhadap kinerja Negara yang
dianggap salah. Pers mahasiswa, di sisi lain juga dianggap seba-
gai pembangkit dari kesadaran subjektif setiap
Gerakan civil society yang lahir dan berkembang mahasiswa dalam memahami dan menganalisa
dalam Negara tiran, biasanya merupakan sebuah kehidupan sosial politiknya dalam Negara, seh-
lembaga kontrol dan tandingan, yang bertugas ingga Pers Mahasiswa dianggap mampu mendor-
dalam memantau aktivitas serta kebijakan yang dit- ong mahasiswa untuk melakukan protes di dalam
erapkan oleh Negara. Namun, kondisi ini dianggap kampusnya maupun di jalanan. Akan tetapi, di
tidak benar oleh rezim dalam Negara tiran, karena samping sebagai pemberi landasan konseptual
posisi kontrol yang diambil oleh gerakan civil society, dan penumbuh kesadaran subjektif mahasiswa,
cenderung menuntut untuk menuju perubahan iklim Pers Mahasiswa juga berposisi sebagai lembaga
politik. Pada titik inilah gerakan civil society dianggap pengembangan kemampuan akademis. Ini dikar-
akan menjungkirbalikan kekuasaan yang dipegang enakan, isu yang disebarluaskannya merupakan
rezim otoriter. hasil dari penelitian-penelitian yang bersandar

20 PendarPena
bukubuku

pada logika perguruan tinggi juga pada konsep


Tri Dharma perguruan tinggi.

Tidak hanya berhenti pada pembahasan Pers


Mahasiswa sebagai titik penumbuh kesadaran
dan peletak landasan konseptual, buku ini pun
mencoba mengungkap bagaimana kemudian
kondisi NKK/BKK yang diterapkan rezim Orde
Baru menggiring posisi mahasiswa pada kondisi
yang dilematis, yakni hanya menjadi manusia
yang teralienasi di kampusnya. Secara “kasar”
buku ini menyatakan bahwa olahraga, kegiatan
seni dan penelitian-penelitian yang dilakukan
mahasiswa merupakan program pemasung
kesadaran kritis yang semestinya tumbuh dalam
benak pikiran mahasiswa. Selanjutnya, yang
menarik pula adalah pemetaan sang penulis
tentang skema dalam tubuh mahasiswa, yang
pada akhirnya melahirkan fragmentasi gerakan,
yakni dengan timbulnya kelompok aksi/studi dan
kelompok LSM dalam tubuh mahasiswa. Dan
pada posisi inilah menurut Didik, Pers Mahasiswa
kemudian mampu menjadi penjembatan dari mampuan kritis mahasiswa dalam membaca masalah
fragmentasi dan friksi dalam tubuh mahasiswa serta menyajikan problematika sosial yang ada
tersebut. kepada pembacanya. Di samping itu, buku ini juga
mengulas sedikit tentang problem klasik dalam tubuh
Hal lain yang cukup menarik kemudian adalah mahasiswa, yakni masalah orientasi politik yang mau
sorotan Didik tentang isi dan orientasi dari Pers tidak mau harus dipilih oleh mahasiswa. Masalah
Mahasiswa. Didik menyatakan, Pers Mahasiswa ini kemudian berdampak posistif dengan membuat
tidaklah berbeda jauh dengan pers biasa, karena Pers Mahasiswa terhimpun dalam sebuah organisasi
selain diterbitkan oleh mahasiswa, isi yang diberi-
takan mengandung releksi jurnalistik yang cukup
bersama yakni IPMI, yang kemudian menjadi organ
tunggal dan dibubarkan setelah ada NKK/BKK karena
tinggi. Sehingga pada posisi ini, Pers Mahasiswa Pers Mahasiswa dianggap meresahkan.
kemudian mampu menjadi katalisator dari ke-
Secara keseluruhan, karya Didik Supriyanto ini seke-
dar ingin menjelaskan bahwa ternyata Pers Maha-
siswa seharusnya bukan sekedar berfungsi sebagai
tambalan bagi eksistensi mahasiswa belaka, tapi
lebih dari itu. Pers Mahasiswa seharusnya mampu
menyumbangkan pikiran-pikiran alternatif serta pen-
umbuh kesadaran kritis yang bersandar pada logika
akademis dan Tri Dharma perguruan tinggi bagi
masyarakat yang selama ini menjadi basis inspirasi
dari gerakan mahasiswa. Semoga…

Judul : Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK


Penulis : Didik Supriyanto
Penerbit : Sinar Harapan
Tahun Terbit : 1998
Halaman : 266

INFORMASI BUKU

PendarPena 21
warta

‘TERJUN KE MASYARAKAT’
Sabtu, 30 Januari 2010, Universitas Indonesia mengadakan ke masyarakat nantinya.
upacara pelepasan mahasiswa lulusan semester gasal Di lini lain, wisuda berarti menambah jumlah ”angka-
tahun ajar 2009/2010. Seharian penuh, terhitung di mulai tan” kerja baru. Dalam hal ini, secara seremonial, UI telah me-
pagi hingga menjelang sore, acara wisuda ini menjadi nyumbang sebanyak 3.541 orang di dalamnya pada Januari
ajang haru, bahagia, dan bangga bagi sahabat, kerabat 2010 lalu. Bukan rahasia lagi bahwa para wisudawan (walau
dan sanak keluarga para wisudawan. Beraneka ungkapan tidak semuanya) akan menghadapi bayang-bayang pengang-
kebahagiaan mereka tunjukkan, mulai dari arak-arakan guran, meski angka pengangguran di Indonesia mengalami
oleh teman-teman di kampus, adegan melempar topi toga penurunan pada Agustus 2009 (7,87%) dibandingkan dengan
bersama-sama, atau sekedar mengabadikan momentum ini Februari 2009 (8,14%). Dengan lain kata, bisa dikatakan
bersama keluarga ke dalam gambar. diwisudakan adalah pasport untuk mencari kerja, bukan
Secara sekilas, acara wisuda tampak sebagai untuk mengabdikan ilmu yang didapatkannya. Jangan heran,
kesempatan ekslusif bagi para pewisuda untuk merayakan banyak yang bekerja bukan di bidang ilmunya. Dalam hal ini,
kelulusan. Mungkin kalau kita hanya memfokuskan mata ke kita bisa melihat bahwa para wisudawan akan terjun ke dalam
arah Balairung, tempat acara wisuda berlangsung, realita masyarakat, mengalami problem real di tengah masyarakat.
itulah yang akan termaktub di pikiran kita. Kenyataannya Kalimat ”terjun ke masyarakat” mempunyai makna
malah tidak. Acara yang dipimpin langsung oleh rektor luas, di antaranya adalah apakah para wisudawan nantinya
Universitas Indonesia ini ternyata juga menjadi kesempatan mampu mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat, itu
besar bagi mahasiswa angkatan baru, ketika sebagian dari soal lain lagi. Tak mampu mengaktualisasikan dirinya dalam
mereka ada yang bersusah sungguh mencari dana untuk masyarakat maka dapat diartikan juga dengan istilah pen-
kegiatan jurusan, organisasi kemahasiswaan, atau acara gangguran. Ya, bayang-bayang pengangguran akibat ketidak-
kampus tertentu. Hari wisuda juga menjadi kesempatan mampuan dalam mengaktualisasikan diri dalam masyarakat
bagi para petinggi kampus untuk mempromosikan UI, entah yang dapat menyebabkan seseorang menjadi teralienasi dari
dengan tujuan membuat para wisudawan bangga terhadap lingkungannya. Mungkin hal ini mirip dengan pemikiran Karl
universitasnya atau hanya ajang ”narsis” pihak UI semata. Marx yang mengatakan bahwa kerja sebagai mediasi ses-
Namun ada sepotong kenyataan lain yang kasat eorang dengan masyarakat sebagai bentuk aktualisasi dirinya,
mata, ketika hari wisuda juga menjadi kesempatan besar sehingga di dalamnya akan tercipta suatu dialektika. Dialektika
bagi masyarakat umum. Banyak penjajah makanan/minu- itulah yang nantinya akan menghasilkan suatu karya yang
man, tukang foto keliling, penjaja bunga, hingga pemulung terungkap di dalam masyarakatnya.
berseliweran seakan-akan berlomba mengais rezeki. Lantas, akankah wisudawan akan termasuk ke da-
Merekalah yang juga sejatinya terlihat di Balairung UI pada lam golongan yang beruntung -seperti para perengkuh rezeki
sabtu itu. yang sedang mengerjakan karyanya - setelah acara wisuda
Pada akhirnya, para sarjana tersebut pun akan 30 Januari 2010 itu? Ataukah mereka malah terasing dalam
kembali ke masyarakat umum, muara perjalanan ma- masyarakat ketika telah melangkah keluar? Tugas mereka
hasiswa dengan pintu keluar adalah wisuda. Acara di (tentunya juga kita) belum selesai. Setelah acara wisuda, arti-
balairung UI itu dapat menjadi kacamata paling konkrit bagi nya kita akan bertugas di dunia yang lebih realistis, berbeda
wisudawan, karena seolah-olah mereka sedang membuka dengan sewaktu kita berkelana di dunia yang lebih ideal, yakni
pintu keluar, dan melihat proyeksi riil keadaan masyarakat dunia kampus. Semoga acara wisuda jangan sampai mem-
yang nantinya akan diselami. Adapun wisudawan (seharus- buat kita berkata, ”Wis udah, yang penting udah lulus.”(HP).
nya) menyadari bahwa segala idealismenya sebagai maha-
siswa akan diuji dan teruji, bahkan mungkin akan menemui
antitesisnya sendiri, ketika mereka benar-benar telah terjun

22 PendarPena
komunitas

SHIVANATARAJA
Shivanataraja merupakan komunitas tari yang bermukim di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Di bawah payung UKSB (Unit
Kegiatan dan Seni Budaya) FIB-UI, Shivanataraja berdiri pada pertenga-
han 2008 silam. Kata Shivanataraja diambil dari bahasa Sansekerta. Shiva
dan Raja berarti ‘Dewa’, sedangkan Nata/Natha memiliki arti ‘Tari, Penari’.
Secara etimologi Shivanataraja memiliki arti ‘Dewa Tari’.

Komunitas yang telah beberapa kali mengadakan pentas di dalam dan luar
kampus mengklasiikasikan jenis tari yang digiatkan menjadi dua, yakni
tradisional dan modern. Terkadang, terjadi pula eksperimentasi penggabun-
gan tari tradisional dan modern dalam satu pertunjukan. Soal eksperimen-
tasi ini, Shivanataraja mempunyai visi bahwa tari yang berasal dari budaya
Barat dan Timur dapat dikolaborasikan. Komunitas tari ini berharap pada
masa datang, Shivanataraja dapat melahirkan dan mengembangkan karya-
karya kontemporer yang berlandaskan kolaborasi modern dan tradisional.

Sejak berdiri hingga kini, Shivantaraja diketuai oleh Nursita Tyasutami


mahasiswa Sastra Prancis angkatan 2007 dengan anggota kurang lebih
40 orang. Jumlah tersebut terbagi lagi menjadi, 12 orang berkemampuan
tari modern dan 30 orang berkemampuan tari tradisional. Seiring per-
jalanannya, Shivanataraja telah beberapa kali mengadakan pentas, baik di
lingkungan FIB-UI maupun di luarnya. Dalam lingkungan kampus Shivana-
taraja pernah mentas pada acara-acara seperti Mabim (Masa Bimbingan)
Mahasiswa Baru FIB UI 2009, Pembukaan Olimbud (Olimpiade Budaya)
FIB UI 2009, Bedah Kampus UI 2009, Penutupan Fesbud (Festival Bu-
daya) FIB UI 2009. sedangkan di luar kampus, yakni di Gothe House dan
di Kelapa Gading Mall (OF).

Markas Sastra adalah komunitas di Fakultas Ilmu Pengeta-


huan Budaya, Universitas Indonesia yang bergiat di bidang
sastra, budaya, dan seni. Komunitas yang didirikan pada
awal April 2007 oleh beberapa mahasiswa FIB UI ini mem-
punyai visi membangun kembali budaya Indonesia melalui
kerja budaya yang berlandaskan cipta, rasa dan karsa.
Berdirinya Markas Sastra bertujuan mewadahi mahasiswa
yang gemar bergiat dalam soal budaya, sosial, bahkan
soal politik. Hal ini dibuktikan oleh para pegiatnya yang
sering hadir dalam acara/kegiatan seputar isu pluralisme,
demokrasi, dll. Hal ini dilakukan karena para pegiat Markas
Sastra berpikir bahwa mahasiswa mesti berperan dan
memperjuangkan persoalan terkini dari isu pluralisme dan
demokrasi.
Ideologi yang melatarbelakangi Markas Sastra
adalah penggalian akar budaya, yaitu budaya Indonesia
yang beraneka ragam. Dengan ideologi ini, Markas Sastra
tidak hanya berkutat seputar sastra semata, tetapi juga
mencermati masalah budaya Indonesia yang beraneka
ragam. Keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia
sangat dimungkinkan datangnya ancaman terhadap toler-
ansi antar agama, suku, budaya, dll. Maka dari itu, Mar-
kas Sastra turut berperan menekuni permasalahan yang
menyangkut keanekaragaman budaya, demi kelestarian
budaya bangsa.
Hingga saat ini, Markas Sastra telah mengada-
kan beberapa kegiatan di antaranya adalah resital puisi,
diskusi kecil, kajian dan seminar seputar sastra, budaya,
dan seni. Target masa datang, Markas Sastra berharap
tetap menjadi wadah yang utuh dan mampu memfasilitasi
mahasiswa dalam mengapresiasi sastra dan persoalan
sosial-budaya, tak terkecuali politik (OF).

PendarPena 23
cerpen

ENAM JAM
KABAR KEMATIAN
ORANG BODOH
DAN
SIPIR PENJARA
Teks: Suryo Sukendro
(Alumni Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada)

Tak lagi banyak waktu—tinggal beberapa jam tersisa—dan


tak banyak lagi yang bisa kuperbuat selain menunggu saat
itu. Saat kematian telah ditakdirkan buat menemuiku, ajal
yang menjemput dan semua berlalu sudah. Sederhana
sekali. Sepolos sebutir peluru yang siap menelusup dan
bertengger dalam tubuhku, dan aku tak bisa menolaknya.
Mungkin sebutir peluru itu akan tepat bersarang di kepala,
bisa juga mengoyak tepat di jantung atau entah di bagian
tubuh yang mana lagi; namun yang pasti aku bakalan mati.
Ya, mati!
“Mati sebagai ksatria ataukah pecundang?” Mendadak terdengar suara bentakan dari lorong
“Apa bedanya? Kukira hanya perbedaan istilah depan jeruji selku. Seorang anak manusia tengah menda-
yang diucapkan orang dan dituliskan dalam koran atau tangiku.
diberitakan dalam headline news di televisi yang selalu “Diam! Sedari tadi kamu terus nerocos ngomong
bikin kita takut keluar rumah karena berita itu sendiri..” sendiri, bikin aku tak bisa tidur, tahu!”
“Mati, wafat, meninggal dunia, tewas ataupun Anak manusia itu rupanya seorang pria bertubuh
berpulang ke rumah Tuhan, itukah maksudmu?” tegap dan kekar, yang selalu tersembunyi dalam muka
Aku mengangguk, “Ya, begitulah. Kiranya kau bengis yang nyaris lupa bagaimana caranya tertawa. Aku
lebih tahu dan mafhum akan perihal itu ketimbang aku. selalu beranggapan jika ia memang dibayar untuk itu: tak
Benar bukan?” banyak bicara dan sekali bicara semua orang berharap ia
“Lantas kata apa yang paling tepat bagimu buat lekas menghentikannya. Dialah sipir penjara—satu-satu-
situasi semacam ini?” nya teman yang aku tahu. Teman yang teramat misterius
“Kenapa kau tanyakan perihal kata yang tak bagi seorang terpidana mati sepertiku.
begitu penting itu? Pentingkah buat kau ketahui?” “Kau tahu ini jam berapa?” tanyanya.
“Bukan.. aku hanya ingin tahu saja darimu. Aku diam saja sambil terus melamun menatap
Siapa tahu..” keluar dari balik jeruji selku.
“Siapa tahu, apa? Apa sesuatu yang ingin kau “Ini sudah jam empat pagi, tahu!”
ketahui itu cukup buat membuat aku ataupun arwahku Aku terkesiap dan bangkit dari lamunanku.
kelak merasa nyaman, terhormat atau malah kebalikan- “Benarkah itu, Sipir?” tanyaku sumringah. Kenapa kau tak
nya; semakin tenggelam dalam pemerian yang memalu- bilang dari tadi?”
kan?” Sipir penjara mengkerutkan dahinya—kehe-
“Tapi aku sama sekali tak punya maksud untuk ranan—lantas mendekati bibir jeruji besi. “Kamu malah
membuat semua itu jadi semakin pelik. Bukankah kau senyum-senyum sendiri tanpa dosa! Apa kamu tak tahu
mencintai sesuatu yang sederhana?” jika hari ini adalah pagi terakhir kau bisa menatap dunia
“Sudah! Siang hari nanti katakan saja pada dan ...”
dunia jika seorang manusia telah tewas dengan tenang Aku ketawa, tak peduli lagi pada apapun,
dan berpulang ke rumah Tuhannya!” apapun yang dunia katakan pada sampah manusia sep-
ertiku. “Justru karena itulah saya merasa senang.” Lantas
*** aku tersenyum padanya. “Anda tahu, bukan, itu artinya
tinggal enam jam lagi saya akan terbebas dari penderitaan
dengan terus berlama-lama di balik jeruji besi ini.”
Ia lantas manggut-manggut dan seketika itu juga
ia beranjak menghampiriku dan menempelkan wajahnya di

24 PendarPena
cerpen

Ilustrasi: Yovantra Arief

balik jeruji besi. “Aneh sekali. Baru kali ini aku mendapatkanmu tertawa.”
mau membuka mulutmu dan berbicara padaku, tepat enam jam “Syukurlah.. Apa yang Anda lakukan barusan sudah
sebelum pasukan algojo menembakmu mati.” cukup menandakan jika Anda sama sekali tak masuk hitungan
“Dan baru kali ini pula saya bisa mendapati Anda dari orang mati rasa, seperti yang kebanyakan orang kira.”
dengan ekspresi simpatik seperti ini, dan memperlakukan Sipir itu lantas merogoh saku celananya. Rupanya
seorang terpidana mati selayaknya manusia, tepat enam jam mengambil sebungkus rokok dan sebuah korek api yang
sebelum pasukan algojo itu menembak mati saya.” kemudian disodorkannya padaku.
Sipir penjara itu terhenyak, kelihatan sekali dari “Aku sadar dan tahu jikapun kamu telah mau meneri-
ekspresi wajahnya yang memucat tiba-tiba. Ia kehilangan maku sebagai teman berbagi cerita, itu sama sekali tak akan
muka sangar dan menyeramkan yang sering diperlihatkan- merubah apapun, tak terkecuali apa yang akan terjadi hari ini.”
nya padaku, seperti yang sudah-sudah. Aku tak tahu, apakah “Hem...” hanya itu kalimat yang keluar dari bibirku.
ini sebuah pengecualian darinya buatku—hadiah kecil di hari Lalu kuambil sebatang rokok yang ia tawarkan, meraih korek
penghabisan—ataukah hanya sekedar sebagian kecil dari api dan membakar rokok itu dalam sekejapan mata. Sesaat
skenario yang tengah ia rencanakan selama ini? Lantas apa kemudian asap tebal kebiru-biruan telah memenuhi ruang
perlunya? pengap dalam jeruji besi ini.
“Bisakah kita berdua menjadi teman, setidaknya te- “Lihatlah asap rokok itu!” kata sipir penjara yang
man bicara, maksudnya?” dan sipir penjara itu makin mendeka- rupanya juga sudah mulai mengepulkan asap yang sama dari
tkan wajahnya ke jeruji selku. Tampaklah kini guratan keras di belahan bibirnya. “Ia ada dan kemudian pergi terbang entah
wajahnya yang selama ini seolah lepas dari perhatianku. ke mana, dan tak pernah sekalipun kembali lagi. Seingatku,
“Anda berpikir kita bisa menjadi teman bicara?” tak pernah ada seorang pun penikmat tembakau di dunia ini
tanyaku penuh keheranan, dan ia mengangguk. “Tapi itu untuk yang bisa menjawab ke mana perginya asap kebiru-biruan dari
apa? Apa Anda merasa bersalah dengan pekerjaan Anda ini?” rokok yang barusan ia hisap.”
Ia menggeleng lagi. “Aku sadar, barangkali saja aku Aku menyeringai. “Apakah Anda akan mengatakan
selama ini tak begitu memperhatikanmu. Tapi begitulah peker- begitulah akhir hidup manusia di dunia ini?”
jaanku, mesti pasang tampang sangar pada setiap terpidana di Sipir itu menghisap rokoknya dalam tarikan kuat,
sel tahanan ini. Dan tak terkecuali kamu!” dan asap tebal makin memenuhi ruang tahanan yang pengap
dan remang dengan penerangan seadanya. Aku yakin tak ada
Oh.. benarkah apa yang dikatakannya itu? Jika seorang manusia pun di dunia ini yang mau dan memilih ting-
memang itulah kebenarannya, itu artinya manusia di dunia ini gal di tempat lembab dan berjamur seperti ini. Udara yang ber-
memang tak lebihnya badut di atas pentas. Semakin lucu dan henti bergerak dan barisan kecoa yang makin akrab dengan
bertingkah penuh palsu, maka akan semakin terbuka kesempa- lantai dingin dan dinding berair, tak ubahnya air mata. Lengkap
tan buat mempertahankan hidupnya lebih lama. Dan seba- sudah penderitaan dan kemunaikan di dalamnya; jeruji besi
liknya, barangsiapa yang lengah dan terlupa memakai topeng yang terdiam bisu dan manusia yang berlama-lama menunggu
di wajahnya, barangkali saja akan bernasib sama sepertiku; kabar kematiannya sendiri.
menjalani hidup dalam hitungan detik yang membosankan dan “Sekalipun hidup manusia mesti berujung pada
hanya sekedar untuk menunggu sebutir peluru disarangkan ke hilang yang tanpa jejak, hidup ini takkan sia-sia bukan?”
dalam tubuhnya. Aku menggelengkan kepala. “Entahlah. Saya sendiri
“Bolehkah saya tahu, apakah Anda cukup menikmati tak bisa mencari tahu di bagian manakah dari hidup saya ini
pekerjaan Anda ini?” dan sipir penjara itu masih menyimak per- yang bisa dikatakan cukup berarti ataupun berguna bagi ke-
katanku sambil menatapku tajam. “Tengah malam hingga pagi hidupan itu sendiri.” Lantas kuselipkan senyum kecil padanya.
menjemput, selalu berteman sepi penjara dan orang pesakitan “Anda tahu bukan, saya ini cuma seorang penjahat yang mesti
semacam saya. Hem.. Pastinya Anda selalu meninggalkan istri diberangus dari muka bumi ini. Bahkan dalam hati kecil saya
kedinginan di tepi ranjangnya.” pun sering berontak kenapa manusia terkutuk seperti saya
Ia ketawa kecil. Sama sekali tak kuduga, rupanya ia ini masih juga diberi kesempatan untuk ikut menarik nafas di
masih belum lupa apa itu tertawa. dunia. Bukankah udara ini akan lebih baik jika hanya diperun-
“Aku yakin pastilah kamu menganggap orang seper- tukkan bagi orang-orang bijak yang berada di luar kurungan
tiku sudah benar-benar mati rasa. Selera humor yang rendah sana? Pastilah manusia kotor seperti saya ini tak bakalan
dan lupa cara menggerakkan bibir lebar-lebar buat sedikit masuk hitungan dari orang-orang bijak itu.”

PendarPena 25
cerpen

menghabiskan sisa hidupnya di sepetak kamar berhiaskan jeruji


*** besi ini. Sungguh, itu semua adalah kebodohan yang dilakukan
berulang-ulang oleh semua lelaki yang sama-sama bodohnya.
Dingin makin menusuk tulang dan menelusup makin Hampir tak bisa kupercaya!”
dalam mencabik aliran darahku. Darah dalam tubuhku makin Aku rengkuh jeruji besi itu. Makin dingin. Sedingin ke-
lamban berdesir, seolah membeku, seolah sadar dan tahu diri bodohan yang lagi-lagi menghinggapi kepalaku. Benar katanya,
jika sebentar lagi tugasnya telah selesai dan semua berakhir hanya lelaki bodoh yang kesampaian mampir di tempat seperti
sudah. ini. Dan salah satunya, itu adalah aku.

“Adakah yang ingin kau tanyakan saat ini?” tanya sipir


“Apakah kau punya saat-saat terindah dalam
hidupmu?”
Aku mengangguk. “Saat terakhir kalinya aku bercinta penjara lagi.
dengan perempuanku. Ia begitu cantik, secantik dosa yang Kuhisap rokokku dalam-dalam, dalam satu tarikan kuat
setiap saat kami petik berdua. Aku masih ingat menit-menit dan sebatang rokok itupun tinggal menjadi puntung tak berguna.
“Di sini tak ada jam. Aku tak tahu masih seberapa lama lagi aku
mesti menunggu.”
yang begitu purba dengan dengus nafasnya, bau keringatnya,
dan penyesalan yang menyelinap begitu saja, entah dari mana
datangnya.” Sipir itu menarik lengan bajunya lantas sebentar me-
lirik jam di tangan kirinya.
“Hampir pukul lima pagi!” katanya.
Sipir penjara kembali menghisap rokoknya dan
dengan angkuhnya dibuangnya asap kebiruan dari mulutnya itu
“Saya tidak tanya itu. Saya mau tanya masih seberapa
lama lagi saya mesti menunggu!”
persis di depan wajahku.
“Kenapa mesti kau sesali? Bukankah bagimu itu
adalah saat terindah dalam hidup yang begitu memuakkan ini?” Lantas kugebrak jeruji besi itu kuat-kuat hingga keden-
Kenapa ia tanyakan itu? Apa untungnya aku cerita- garan bunyi riuh Sunyi penjara berubah menjadi hingar dalam
kan sesuatu yang teramat sangat bodoh itu padanya. Tapi, apa sekejab. Aku telah berhasil memecahkan gelas kaca dalam
pentingnya pula untuk diam, toh sebentar lagi aku akan mati? keheningan bait doa. Ya, ini adalah bait doa dari orang-orang
Siapa tahu, kelak malaikat di pintu neraka tak akan kembali me- terkutuk yang mesti segera diberangus dari muka bumi ini.
nanyakan pertanyaan serupa itu lagi—karena ia sudah terlalu “Saya sedang berdoa! Dengarlah Dunia.. Inilah doa
dari manusia sampah yang sebentar lagi mampus dan berpulang
ke rumah Tuhannya!”
bosan untuk mendengarnya.

“Tapi tenanglah sedikit!” bentak sipir itu.


“Aku pun tak mengerti kenapa mesti kusesali. Sama
tak mengertinya, kenapa aku mesti hilang akal saat itu. Aku am-
“Saya tak bisa tenang! Saya sudah terlalu lama
menunggu hanya untuk sebuah kabar kematian!”
bil pisau dapur dan kuhujamkan ke perutnya, hanya beberapa

“Tapi hentikanlah teriakmu itu!” bentaknya lagi sambil


menit saja begitu ia bilang akan kembali lagi kepada suaminya
yang telah lama ditinggalkannya.”
Aku harap pria di depanku itu akan sedikit beriba membuang puntung rokoknya.
dengan cerita bodohku, atau setidaknya memutuskan untuk Lantas kuhentikan doaku itu serta merta, masih den-
meninggalkanku saat itu juga. Tapi tidak! Ia justru menepukkan gan tanda tanya dan seribu penasaran tak bertepi. “Hai.. dunia
ini memang aneh, bukan? Sekali aku berdoa, secepat itu pula
aku mesti mengentikannya!”
kedua tangannya seolah baru saja menonton adegan sulap di

“Tolong hormati pekerjaanku ini!”


tengah pesta ulang tahun bocah ingusan.
“Wow.. kisah yang dramatis, menyentuh, dan
sekaligus bodoh!” serunya. “Sayangnya, aku sudah dengar Aku terperangah oleh kalimat si sipir kali ini. Menghor-
seribu kisah serupa dari tak terhitung lelaki sial dan bodoh yang matinya pekerjaannya? Lantas tindakan apalagi yang mesti aku
lakukan buat hal yang satu itu? Berdoa dan bersimpuh di depan-

Ilustrasi: Yovantra Arief

26 PendarPena
cerpen

nya?
“Bukannya sedari tadi saya sudah sangat menghormati Anda? Saya
selalu memakai kata “saya”, bukannya “aku” dan saya selalu mengucapkan kata
“Anda”, bukan “Kamu”. Sekiranya itu masih kurang, saya tak tahu mesti dengan
cara yang bagaimana lagi. Toh tak seberapa lama lagi saya pasti sudah mati!”
Aku tertegun sendiri dengan apa yang barusan keluar dari mulutku.
Apa ini keluar dengan sendirinya ataukah ada kekuatan gaib yang memaksa
lidahku berucap sesuatu kalimat yang tidak semestinya aku ucapkan.
Lantas sipir itu berkata, “Kita berdua, kamu dan aku dan juga semua
manusia yang di luar sana, berada dalam lingkaran kehidupan yang terpola oleh
sistem yang begitu kuat namun tak kasat mata. Mau tak mau, suka tidak suka
kita mesti berjalan pada rel sistem yang telah diperuntukkan buat masing-mas-
ing.”
“Saya tak bisa mencerna perkataan Anda. Jika saja saya bukanlah
orang bodoh, sudah pastilah saya tak akan pernah sampai terdampar kemari.
Bicaralah yang lebih sederhana!”
“Pendek kata, Aku ini sipir penjara dan kamulah tahanannya.”
“Barangkali mirip tuan dan hewan piaraannya. Andalah tuannya, dan
saya ini anjing piaraannya!”
“Aku tak pernah sekalipun berpikir sampai serendah itu!” Ia lantas
membuang mukanya sebentar. “Sudahlah.. kenapa kita ributkan soal itu lagi. Bu-
kankah sudah kukatakan sedari tadi jika sekali ini aku ingin kita berdua sebagai
teman bicara dan..”
Aku memotong bicara. “Sekalipun buat pertama sekaligus terakhir
kalinya?”

***

Dingin dini hari mulai berjingkat pergi. Sepertinya pagi mulai menyelinap dan
suara serangga mulai sepi. Perlahan kedengaran kicau burung bersahut-sahutan
di luar sana. Tapi.. Ah, barangkali itu cuma khayalanku saja. Di tempat seperti
ini mana pernah aku dengar suara burung berkicau. Pagi, siang, sore ataupun
malam—bagiku sama saja—adalah detik yang berjalan dalam sebuah keterasin-
gan yang begitu menggila.
“Apakah kamu punya permintaan terakhir sebelum eksekusi?”
“Barangkali ada.”
“Boleh kutahu?”
“Selekasnya kematian itu datang! Itu saja.”
“Kau tak ingin mencicipi lezatnya secawan anggur ataupun sepotong
kue cokelat buat yang terakhir kali.”
“Itu malah akan membuat saya mati penasaran. Tahukah Anda jika
selama di balik jeruji besi saya hanya minum air dari keran dan makan dengan
piring yang barusan dipakai buat gayung air sehabis buang air besar?”
Sipir itu cuma terdiam. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat
ini. Rasa bersalahkah? Rasa kasihankah? Ataukah sama sekali tak kepikiran
apa-apa. Barangkali saja memang benar apa yang dikatakannya tadi; setiap
manusia berada dalam lingkaran kehidupan yang terpola oleh sistem yang begitu
kuat namun tak kasat mata. Mau tak mau, suka tidak suka kita mesti berjalan
pada rel sistem yang telah diperuntukkan buat masing-masing.

“Adakah kau punya pertanyaan terakhir?” tanya sipir penjara.


“Ya!”
“Katakan saja!”
“Masih seberapa lama lagi saya mesti menunggu kabar kematian itu?”

Yogyakarta, 13 Mei 2007-1 September 2009

PendarPena 27
sepintas

IVAN ILLICH :
SANG PEMBERONTAK
PENGGUGAT PERSEKOLAHAN
Teks: Hendra Kaprisma
“Paradoxically, the belief that universal schooling
is absolutely necessary is most irmly held in those
countries where the fewest people have been-and
will be-served by schools.” (1971: 5).
Ivan Illich (4 September 1926—2 Desember 2002)
memaklumatkan bahwa penggulingan kemapanan sekolah
harus dilakukan. Namun, dia juga menyatakan bahwa
penghapusan “era persekolahan” bisa saja memunculkan
zaman “sekolah global” yang tidak bisa dibedakan dari
“rumah gila global” atau “penjara global”. Profokatif,
begitulah penggambaran Illich yang didapat ketika membaca
Deschooling Society (1971). Dia menantang pembacanya
dengan memberikan pertanyaan: Apakah pendidikan sama
dengan sekolah? Apakah sekolah sama dengan pendidikan?
Melalui hal itu, Illich membongkar mekanisme institusi
sekolah dan mempertanyakan kembali asumsi-asumsi yang
membangun sistem sekolah.

Untuk dapat memahami pernyataan Ivan Illich dalam


Deschooling Society, pembedaan istilah antara pendidikan
dengan persekolahan perlu dilakukan. Hal itu berarti kita
harus memisahkan “niat kemanusiaan” guru dari dampak
“struktur sekolah” yang kaku dan tunggal. Struktur itu
tersembunyi dan memuat kurikulum pengajaran yang berada
di luar kendali sang guru ataupun dewan sekolah. Struktur itu
mengisyaratkan bahwa individu tidak dapat menyiapkan diri
untuk hidup di masa depan tanpa melalui institusi sekolah.
lewat proses konsumsi berjenjang (kelas 1 naik ke
Apa yang tidak diajarkan di sekolah berarti kecil nilainya atau
kelas 2, setelah SD naik ke SMP, dan seterusnya).
tak bernilai sedikitpun dan apa yang dipelajari di luar sekolah
tak layak diketahui. Illich menamakan struktur tersebut
Semua sekolah berkata bahwa mereka membentuk
sebagai kurikulum tersembunyi dalam persekolahan.
manusia untuk masa depan. Sekolah menawarkan
Kurikulum tersembunyi itu memiliki karakteristik yang sama
pendidikan untuk hidup dan bukan pendidikan dalam
di manapun sekolah berada. Kurikulum itu menuntut agar
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut diperparah dengan
semua anak berumur tertentu berkumpul dalam kelompok-
banyaknya mahasiswa yang menganggap bahwa
kuliah sebagai investasi dengan tingkat “balik modal”
kelompok sekitar 30 orang, di bawah bimbingan seorang
guru berijasah, untuk belajar selama 500 hingga 1000 jam
yang tinggi, sementara negara memandang mereka
atau lebih per tahun. Para murid belajar bahwa derajat
sebagai faktor kunci pembangunan dan pemodal
keberhasilan individu—yang akan dinikmati di masyarakat—
menganggap mereka sebagai potensi tenaga kerja
bergantung pada seberapa besar ia mengonsumsi pelajaran;
masa datang. Di sekolah diajarkan bahwa belajar
bahwa belajar tentang dunia lebih bernilai ketimbang belajar
yang bernilai adalah hasil kehadiran di kelas; nilai
dari dunia.
akan meningkat jika semakin banyak masukan yang
diperoleh; akhirnya, nilai-nilai tersebut dapat diukur
Menurut Illich, sekolah menjadi pencipta dan pemelihara
dan dicatat lewat gelar dan ijasah. Keterasingan
mitos sosial karena strukturnya adalah ritual permainan bagi
manusia dari kegiatan belajar pun dimulai, ketika
promosi kenaikan tingkat. Fenomena tersebut kiranya sesuai
pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa
dengan permasalahan Ujian Nasional (UN) yang akan
sang guru dan pelajar menjadi konsumennya.
diselenggarakan pada bulan Maret di Indonesia. Berdasarkan
Oleh karena itu, revolusi melawan bentuk-bentuk
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 75 tahun
pengistimewaan dan kekuasaan—yang didasari
2009 tentang UN SMP/MTS, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan
klaim terhadap pengetahuan profesional—harus
SMK tahun pelajaran 2009/2010 pasal 5 ayat 1 menyatakan
diawali dengan perubahan kesadaran tentang hakikat
bahwa UN 2009/2010 dilaksanakan dua kali yaitu UN utama
belajar. Dengan demikian, keberanian kita dituntut
dan UN ulangan. Pada ayat 2, UN utama untuk SMA/MA,
untuk mengumandangkan: “Learning not schooling!
SMALB, dan SMK dilaksanakan pada minggu ketiga Maret
Bebaskan kebudayaan dan struktur sosial dari
2010. Sementara itu pelaksanaan UN utama untuk SMP/
persekolahan dengan suatu alternatif yang progresif.
MTS dan SMPLB dilaksanakan pada minggu keempat Maret
Kita butuh lingkungan baru di mana tumbuh dewasa
bisa tanpa kelas-kelas.”
2010 (pasal 5 ayat 3 Permendiknas nomor 84 tahun 2009).
UN menjadi standardisasi murid layak atau tidak menempuh
jenjang pendidikan lanjutan. Para murid belajar bahwa
pendidikan hanya berharga bila diperoleh lewat sekolah,

28 PendarPena
apa kata mereka

Menurut kamu apa makna


jaket almamater universitas?
Jaket almamater merupakan simbol, tanda, atau bahkan ciri khas dari sebuah perguruan tinggi. Entah itu
dilihat dari warna, badge, atau emblem-emblem yang ikut melekat di lengan kiri-kanannya. Tapi yang jelas,
setiap mahasiswa tentu mempunyai perasaan, kesan, dan pandangan yang berbeda dengan mahasiswa
dari fakultas atau perguruan tinggi lain terhadap almamaternya. Berikut pendapat mahasiswa-mahasiswa
dari beberapa perguruan tinggi di Jakarta terhadap jaket almamaternya.

1. Avid Wicaksono, Koordinator Bidang Kemahasiswaan BEM UI, jurusan Geograi FMIPA UI
Mengenai makna jaket kuning, menurut saya merupakan suatu beban “kutukan” akan nasib bangsa begitu
orang berkuliah di UI. Padanya terdapat tanggung jawab mengayomi dan mengantarkan bangsa Indonesia
kepada perubahan yang lebih baik. UI merupakan miniatur suatu peradaban. Artinya, beragam orang di
dalamnya, juga beragam motif serta ambisinya. Meski demikian, tak ada satu golongan yang dominan. Saya
yakin semuanya memiliki caranya sendiri-sendiri untuk memperlihatkan pengabdiannya kepada masyarakat.

2. Sururudin, Staf Redaksi dari Majalah SUMA


Apabila diibaratkan sebagai baju biasa, sama saja dengan baju yang saya pakai sekarang, sekedar jaket
lusuh. Setelah kita memperjuangkan jaket itu, baru ia memiliki nilai yang sangat berarti. Sebagai loncatan
kehidupan kita dari siswa biasa menjadi seorang yang harus berpikir keras untuk kemampuan intelektuali-
tasnya. Penggunaan jaket itu adalah untuk kepentingan masyarakat Indonesia seluruhnya. Tentu saja saya
sangat terbebani dengan jaket kuning yang saya kenakan. Saya tak pernah memakai jaket kuning selain
pada acara yang sangat besar efeknya. Saya tak membanggakan jaket kuning itu sendiri, tapi ada sebuah
beban. Beban yang tidak bisa dibanggakan sama sekali karena kita memegang tanggung jawab yang san-
gat berat. Jadi bukan hanya turun ke jalan, lalu memakai jaket kuning kita merasa lebih hebat. Tapi dengan
jaket kuning apakah benar yang kita lakukan itu lebih baik dari yang lain? Jadi bukan sebuah kebanggaan
melainkan sebuah beban yang membuat kita harus berpikir. Jangan dibangga-banggakan karena nantinya
akan menjadi sombong. Kesimpulan saya, Jaket kuning tidak layak dibanggakan atau disombongkan.

3. Ni Made Yuliati, Jurusan HI Universitas Nasional, 2006, dan Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru
Warna jaket almamater UNAS adalah hijau. Hijau itu identik dengan sejuk, bersih, alami, dan kalau mau
dilihat relevansinya dengan kondisi saat ini, itu dapat diartikan dengan jauh dari KKN. Selain itu jaket alma-
mater merupakan pembawa nama kampus, jadi dia atau siapa pun yang mengenakannya harus memban-
gun persepsi yang baik sebagai wakil dari almamaternya.

4. Adang (ketua Bem IISIP)-tanpa foto


Menurut saya, bukan sekedar identitas mahasiswa juga (kalau perkara memiliki, hanya tinggal bikin saja ke
tukang jahit). Tapi ada nilai-nilai akademis yang harus dijunjung tinggi oleh pemiliknya (mahasiswa). Karena
mahasiswa itu harus bicara pintar, bukan pintar bicara. Dan tentu saja ada beban moral dalam status
mahasiswa itu sendiri: bagaimana sikap mahasiswa ke masyarakat, bagaimana dia ke lingkungan atau
ke keluarga bahkan ke diri sendiri. Itulah beban yang sangat berat. Di situlah letak perbedaan mahasiswa
dengan pelajar.

5. Mega Puspita, Jurusan Arsitektur Lanskap angkatan 44, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor
Ya, Jaket almamater adalah sebuah simbol identitas kita sebagai mahasiswa. Namun bukan sekedar
formalitas tetapi mempunyai makna tersendiri, yaitu bagian dari diri kita sebagai civitas akademika. Jaket
almamater memberikan beban untuk menjaga nama baik almamater tetapi juga menjadi sebuah kebanggan
ketika saya memakainya misalnya pada event- event tertentu.

6. Abdi, Jurusan Komputer Akuntansi, Universitas Guna Darma, 2008


Menurut saya sebuah almamater itu adalah sesuatu yang membawa nama besar kampus kita, yang bisa
kita banggakan. Dan mengenakan almamater itu biasanya kalau ketika ada kegiatan-kegiatan di kampus. Itu
sebuah pertanda bahwa kita adalah mahasiswa dari almamater yang kita bawakan itu. Jadi menurut saya,
almamater itu ibaratnya bendera besar untuk sebuah universitas. Jadi merupakan wakil, yang menandakan.
Jadi menurut saya suatu kebanggaan bagi saya kalau mengenakan almamater itu di saat saya melakukan
suatu aktivitas, apalagi itu bisa dilihat oleh ruang lingkup yang luas.

7. Aji, Jurusan Teknik Industri, Universitas Pancasila, 2007


Maknanya itu diibaratkan tulang dan darah. Ya intinya sih, almamater itu menggambarkan suatu jiwanya
kampus. Jadi ketika harus membawa almamater itu sama saja membawa harga diri kita dan kampus itu
sendiri. Jaket almamater UP warnanya biru. Warna yang menurut saya sih, gagah. Pokoknya gagah intinya.

PendarPena 29
coratcoret

ANTARA DEMONSTRASI
DAN DANGDUTAN
Teks: Sulaiman Harahap

Stop perdebatan, stop pertengkaran, stop permusuhan, stop


pertikaian. Mari kita saling asih, mari kita saling asuh. Hargai
pendapat orang bila terdapat beda pandangan. Sejauh tidak ada
yang dirugikan... (Rhoma Irama. ’Stop’ )
Mari berkaca pada suasana politik nasional akhir- bersorak-sorai (hob..ah), melakukan gerakan,
akhir ini. Rasa-rasanya, lirik lagu di atas yang goyang atau joget, dan terkadang berseru
digubah Raja Dangdut, Rhoma Irama, lebih dari meminta lagu tertentu untuk dinyanyikan
duapuluh tahun lalu masih relevan kini. Memang, sang biduan. Tentunya, mereka pun berbatas
dunia politik bermuara kepentingan. Kepentingan aparat keamanan dengan sang biduan
yang kerap berhulu debat dan tengkar dengan di atas pannggung. Namun bila suasana
siapa dan cara apapun. Namun temporal, selama dangdutan semakin ’memanas’, maka pihak
kepentingannya terpenuhi. Pendeknya, pengha- panitia pun akan menyemprotkan air ke
lang tujuan adalah lawan utama. Kalau begini penonton. Sudah pasti penonton pun menjadi
rumusnya, benarlah ungkapan ‘politik adalah tambah semangat bergoyang dangdut.
kubangan lumpur’, sekali tercebur, kotor sekalian.
Dari sederet persamaan antara demonstrasi
Lalu di mana amanat rakyat yang menjelma kursi dan dangdutan di atas, persamaan paling
dewan yang mereka duduki itu? Kalau ’mereka- hakiki adalah pengatasnamaan rakyat. Jelas,
mereka itu’ hanya hibuk mengejar target dan pada tiap-tiap demonstrasi Mahasiswa,
kepentingan partai saja. Apakah berarti bahwa mereka beraksi dan bergema atas nama
suara rakyat hanya menjadi kursi semata, ya, rakyat. Mereka ’turun ke jalan’ atas nama
sebenar-benarnya kursi, yakni tempat duduk, ta- penderitaan rakyat dan mengusung amanat
takan bokong. Kata lainnya adalah Suara Rakyat rakyat yang ’dikentuti’ para pelayan rakyat di
dekat dengan ’Suara Kentut’ pengkursi dewan. penyelenggaraan negara.
Apakah ’mereka-mereka itu’ semua demikian?
mungkinkah ada yang tulus atasnama rakyat Singkatnya, ketika para demonstran berkum-
berjuang. Siapa? Di mana?. Atau mungkin di hari pul di jalan biasanya bertujuan ’melantunkan’
esok, yang orang-orangnya kini masih bertitel kritik, bahkan ’menggoyang’ panggung
setara dengan Tuhan (Maha); Mahasiswa. politik. Sedangkan di dangdutan, gerombolan
penonton datang mengusung musik rakyat,
Mahasiswa adalah anak muda, pesta-buku-cinta, yakni dangdut.
penuh cita-cita, kaum pandai, idealis, tukang
kritik, dll. Ciri tersebut terakhir, tukang kritik, ada- Dangdut dan rakyat memang identik. Secara
lah ciri yang ’menggemaskan’ kalangan pemuka geneologis, dangdut berasal dari dan tum-
politik. Ciri inilah yang mendasari Mahasiswa buh-kembang di rakyat. Ciri musiknya yang
’turun ke jalan’ alias demonstrasi apabila ada sederhana, mudah dicerna dan dinyanyikan,
yang janggal di penyelenggaraan negara. Kala serta liriknya yang akrab dengan keseharian
demonstrasi, mereka kerap membawa poster rakyat, menjadikan dangdut sebagai musik
tuntutan, spanduk kritikan, mengibarkan bendera hiburan bagi rakyat.
organisasi atau almamater, teriak-teriak jargon,
orasi tuntutan, hingga menampilkan gerakan- Para pecinta musik rakyat ini rela datang
gerakan teatrikal, dsb. Semua itu dilakukan di bergerombol, berdesakan, demi menden-
sekitar gedung yang bersangkutan dengan apa dangkan lagu dangdut dan menggoyang
yang mereka maksudkan. Tentunya, di garis de- pentas dangdut. Namun, akankah suatu saat
pan mereka berbatas aparat keamanan dengan keadaan berbalik? Di satu sisi, rakyat sadar
tokoh dalam gedung tertuju. Namun bila keadaan dan mampu berdemonstrasi mengkritik dan
ricuh, tak segan aparat menyemburkan air ke- menggoyang panggung politik. Sedangkan
pada demonstran dan biasanya demonstran pun lini lain, mahasiswa berfokus dan berkaji
semakin ’mengganas’. gerakan budaya, bisa dengan dangdutan
atau lainnya. Akankah?
Kalau dipikir-pikir, dikhayal-khayal, atau dimirip-
miripin, demonstrasi mahasiswa beranalogi den-
gan dangdutan. Coba simak situasi dangdutan,
mereka datang bergerombol, membawa poster
pula, mengibarkan bendera atau baju sendiri,

30 PendarPena
dinding karya

Gambar & Teks: Julia Sarisetiati


“Betapa hebatnya kekuatan konsumsi. Negeri boleh krisis,
tapi pola konsumsi membabi-buta masyarakat kita justru
menyelamatkan produksi dengan menerima serbuan tanpa
ampun dari merk-merk yang selalu lolos dari ancaman
gulung tikar itu.
Kita pun sering mendengar kalimat-kalimat ini, “Kalau ngopi,
ya di Starbucks. Jangan lupa antri di Breadtalk. Zara dan
Mango lagi new arrival! Louis Vuitton, Prada, Channel is a
signature style. Nokia sudah ada varian baru, nih. Harus beli
Blackberry ‘kali, ya, biar bisa Facebook-an dan YM-an terus.
Lapar tengah malam telpon saja 14045. Jarak Carrefour
tinggal 2 km lagi”.
Kini kita sedang diserang. Kebutuhan atau keinginan menja- “Jika sepasang patung
di tipis bedanya. Dan Jakarta menyambutnya. Jika sepasang
Patung Selamat Datang pertama kali menyambut tamu-tamu
selamat Datang pertama
Asian Games IV pada 1962, kini keduanya menyambut kali menyambut tamu-
pasukan terjun payung dari berbagai merk-merk yang akan
dikonsumsi dan mengkonsumsi kita.” tamu asian games iV paDa
1962, kini keDuanya
menyambut pasukan
terJun payung Dari
berbagai merk-merk yang
akan Dikonsumsi Dan
mengkonsumsi kita.”

PendarPena 31

Anda mungkin juga menyukai