INFEKSIUS PADA TENAGA KESEHATAN dr. Femmy Nurul Akbar, SpPD-KGEH ▪ Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare Associated Infection (HAIs) merupakan salah satu masalah kesehatan di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. ▪ Pada Forum Asian Pasific Economic Comitte (APEC) atau Global Health Security Agenda (GHSA) penyakit infeksi terkait pelayanan Latar kesehatan yang ikut di bahas karena HAIs berdampak secara langsung sebagai beban belakang ekonomi negara. ▪ Kejadian HAIs dapat dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten melaksanakan Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) ▪ Pedoman PPI di fasilitas pelayanan kesehatan disusun agar terwujud pelayanan kesehatan yang bermutu dan menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di dalam fasilitas pelayanan kesehatan, mewujudkan patient safety dan berdampak pada efisiensi pada manajemen fasilitas pelayanan kesehatan ▪ Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan, Latar belakang isolasi, dan penerapan PPI berupa 1. Langkah yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs (bundles), 2. surveilans HAIs, 3. pendidikan dan pelatihan 4. penggunaan anti mikroba yang bijak. ▪ Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan (Health Care Associated Infections) disingkat HAIs merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang terdiri dari : PENYAKIT INFEKSI a. Ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam TERKAIT masa inkubasi, PELAYANAN b. Infeksi disebabkan karena mikrorganisme di KESEHATAN rumah sakit bisa muncul saat pasien masih dirawat atau setelah pasien pulang (dulu disebut (HEALTH-CARE sebagai Infeksi Nosokomial (Hospital Acquired ASSOCIATED Infection). INFECTIONS ) ▪ Infeksi karena pekerjaan/okupasional pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. ▪ Pajanan di tempat kerja/okupasional Pajanan ini biasa terjadi dalam fasilitas pelayanan kesehatan (fayankes) yang berasal dari darah, air mani, cairan vagina atau ASI dari seorang yang terinfeksi kemudian masuk ke aliran darah petugas kesehatan atau jika terjadi kontak darah atau cairan PAJANAN pasien mengenai luka terbuka atau membran mukosa mulut, hidung, mata dan kulit yang tidak intak dari petugas kesehatan. OKUPASIONAL NEEDLE STICK ▪ Needle Stick Injury (NSI) / Sharp Injury INJURY /SHARP Kecelakaan kerja yang dialami oleh petugas kesehatan karena
INJURY tertusuk jarum atau tertusuk benda medis tajam/pisau bedah
yang sudah terkontaminasi darah atau cairan infeksius dari pasien atau sumber lain. Petugas kesehatan beresiko tinggi mengalami NSI Potensi besar yang mengancam dan membahayakan apabila terkena paparan jarum atau benda medis tajam diantaranya ada infeksi Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV. ▪ Prevalensi penularan virus pada populasi ▪ Jenis paparan : perkutaneus atau mukokutaneus FAKTOR RISIKO ▪ Dalamnya tusukan /perlukaan YANG ▪ Jenis alat : hollow bore/ solid needle MEMPENGARUHI ▪ Viral load dari sumber pajanan TRANSMISI ▪ Status Imun orang terpajan ▪ Cepatnya penanganan setelah pajanan dan PPP • Lakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap semua petugas baik tenaga kesehatan maupun tenaga nonkesehatan. • Fasyankes harus mempunyai kebijakan untuk penatalaksanaan akibat tusukan jarum atau benda tajam bekas pakai pasien, yang berisikan 1. siapa yang harus dihubungi saat terjadi kecelakaan 2. pemeriksaan 3. konsultasi yang dibutuhkan oleh petugas yang bersangkutan. • Petugas harus selalu waspada dan hati-hati dalam bekerja untuk mencegah terjadinya trauma saat menangani jarum, scalpel dan alat PERLINDUNGAN tajam lain pada saat
KESEHATAN 1. setelah melakukan tindakan atau prosedur
2. saat membersihkan instrument PETUGAS 3. saat membuang jarum. Jangan melakukan penutupan kembali (recap) jarum yang telah dipakai, menekuk, mematahkan atau melepas jarum dari spuit. Buang jarum, spuit, pisau,scalpel, dan peralatan tajam habis pakai lainnya kedalam wadah khusus yang tahan tusukan/ tidak tembus sebelum dimasukkan ke insenerator. Bila wadah khusus terisi ¾ harus diganti dengan yang baru untuk menghindari tercecer ▪ Kurang lebih satu dari 300 kasus akan menghasilkan infeksi HIV pada petugas kesehatan, bila tidak dilakukan tindakan pencegahan. ▪ Risiko lebih tinggi jika: Risiko Penularan Akibat Pajanan HIV 1. tusukan dalam; di Tempat Kerja 2. darah dapat terlihat pada alat yang menyebabkan luka; 3.jarum atau alat sebelumnya ditempatkan pada pembuluh darah pasien 4. sumber pajanan mempunyai viral load yang tinggi. ▪ PPP dapat mengurangi risiko terinfeksi hingga 79% Mengurangi waktu kontak dengan darah, cairan tubuh, atau jaringan sumber pajanan dan untuk membersihkan dan melakukan dekontaminasi tempat pajanan dengan : Langkah 1 ▪ Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan sabun/cairan antiseptik sampai bersih. ▪ Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa luka atau tusukan, cuci dengan sabun dan air mengalir. TATALAKSANA ▪ Desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan betadine PAJANAN selama lima menit atau alkohol selama tiga menit. ▪ Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan kumur kumur dengan air beberapa kali. ▪ Bila terpecik pada mata, cucilah mata dengan air mengalir (irigasi), dengan posisi kepala miring kearah mata yang terpercik. ▪ Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar dan ▪ Setiap pajanan dicatat dan dilaporkan kepada yang berwenang yaitu atasan bersihkan dengan air. langsung dan Komite PPI atau K3 , kurang ▪ Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan dihisap dari 4 jam dan tidak lebih dari 72 jam, dengan mulut 1. Jenis Pajanan /paparan Pajanan yang memiliki risiko penularan infeksi adalah: ▪ Perlukaan kulit /percutaneous injury ▪ Pajanan selaput mukosa Langkah 2: Telaah pajanan ▪ Pajanan kulit yang luka/tidak intak
TATALAKSANA 2. Bahan Pajanan PAJANAN BAHAN Bahan yang memberikan risiko penularan infeksi INFEKSIUS DI adalah:
TEMPAT KERJA − Darah
− Cairan bercampur darah yang kasat mata − Cairan yang potensial terinfeksi: cairan mani, cairan vagina, ASI, cairan serebrospinal, cairan sinovial, cairan pleura, cairan peritoneal, cairan perikardial, cairan amnion, cairan asites, cairan serebrospinal. 3. Status Infeksi ▪ Tentukan status infeksi sumber pajanan (bila belum diketahui) ▪ Lakukan pemeriksaan : Langkah 2: Telaah pajanan a. Hbs Ag untuk Hepatitis B b. Anti HCV untuk Hepatitis C TATALAKSANA c. Anti HIV untuk HIV dalam waktu kurang dari 24 jam PAJANAN BAHAN Untuk sumber yang tidak diketahui, pertimbangkan adanya INFEKSIUS DI faktor risiko yang tinggi atas ketiga infeksi di atas 4. Kerentanan TEMPAT KERJA Tentukan kerentanan orang yang terpajan ▪ Riwayat vaksinasi Hepatitis B. ▪ Status serologi terhadap HBV (titer Anti HBs ) bila pernah vaksin. ▪ Pemeriksaan Anti HCV dan Anti HIV Profilaksis pasca pajanan (PPP) adalah penggunaan ARV secepatnya setelah terjadi peristiwa yang berisiko penularan HIV, untuk mencegah infeksi HIV. 1. Menetapkan syarat PPP HIV 2. Evaluasi memenuhi syarat PPP HIV Jenis dan risiko pajanan TATALAKSANA KLINIS PROFILAKSIS PASCA Keadaan yang dianggap cukup berat untuk diberikan PPP termasuk: PAJANAN (PPP) HIV PADA KASUS KECELAKAAN • Pajanan pada membran mukosa ( percikan mata, hidung, rongga mulut) KERJA • Lama pajanan • Pajanan kulit tidak utuh , tusukan perkutaneus, abrasi kulit terhadap cairan tubuh potensial infeksius dari sumber yang diketahui terinfeksi HIV maupun tidak. • darah dapat terlihat pada jarum yang menusuk, darah bersentuh pada luka yang terbuka. • viral load yang tinggi, ▪ Pemberian anti retroviral ( ARV) yaitu 2 obat NRTI + 1 obat PI (LPV/r) ▪ PPP harus dilangsungkan selama 28 hari ( empat minggu) ▪ PPP boleh dihentikan jika 1. Ada efek samping yang berat. 2. Pasien sumber pajanan ternyata HIV negatif, Panduan obat 3.Tidak ada kemungkinan masih dalam masa jendela ( window pilihan period) ▪ Tes HIV diulang pada bulan ke-3 dan ke-6 setelah pemberian PPP HIV PPP. ▪ Efek samping Paling sering dilaporkan adalah mual dan lelah. Sering salah tafsir dengan gejala serokonversi HIV. Penanganan efek samping dapat berupa obat (misalnya anti mual) atau diberikan bersamaan dengan minum obat bersama makanan Prinsip Kerja Obat Anti Retroviral PMK no 27 tahun 2017 ▪ Dosis awal PPP harus diberikan secepat mungkin setelah pajanan tanpa menunggu konseling dan tes HIV atau hasil tes dari sumber pajanan, dapat disediakan di unit gawat darurat. Paket ini biasanya berisi obat yang cukup untuk beberapa hari pertama pemberian obat untuk PPP (1 – 7 hari)
Strategi pemberian ▪ Langkah selanjutnya adalah supplai obat PPP selama 28
hari PPP ▪ Dalam 1-3 hari menjalani penilaian risiko dan konseling dan tes HIV. ▪ Manfaat lain adanya kunjungan follow-up dapat mendiskusikan mengenai kepatuhan pengobatan. ▪ Perlu diperhatikan risiko timbulnya resistensi terhadap terapi ARV terutama pada orang yang tidak mengetahui terinfeksi HIV karena hanya diberikan kombinasi 2 obat. ▪ Resistensi sedikit kemungkinan terjadi dengan paket awal ▪ Tes antibodi HIV untuk orang terpajan harus dilakukan, ▪ PPP tidak diberikan pada orang yang telah terinfeksi. ▪ Orang terinfeksi harus mendapatkan pengobatan ▪ Tes HIV tidak wajib dilakukan dan pemberian PPP HIV tidak wajib diberikan jika orang terpajan tidak mau diberikan obat untuk profilaksis. Evaluasi Laboratorium PPP ▪ Pemeriksaan tes rapid antibodi HIV memberikan hasil dalam 1 jam merupakan pilihan utama baik untuk orang terpajan maupun sumber pajanan. ▪ Pemeriksaan laboratorium lain harus ditawarkan sesuai dengan pedoman nasional dan kapasitas layanan. ▪ Pemeriksaan haemoglobin (Hb) perlu dilakukan, terutama jika memberikan zidovudine dalam PPP HIV. ▪ Pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui darah (bloodborne) Hepatitis B dan C penting dilakukan, tergantung kepada jenis risiko dan prevalensi setempat serta kapasitas di layanan. . Pemeriksaan HIV ▪ Orang terpajan yang mendapat PPP harus dilakukan follow-up dan pemantauan klinis, terhadap kepatuhan pengobatan dan efek samping obat ▪ Follow-up tes HIV berikutnya bagi orang terpajan dilakukan 4 – 6 minggu setelah pajanan, tetapi pada umumnya belum cukup waktu untuk mendiagnosis sero konversi.
Follow-up dan ▪ Sehingga dianjurkan untuk melakukan tes HIV 3 – 6 bulan
setelah pajanan. Dukungan PPP ▪ Timbulnya sero konversi setelah PPP tidak berarti bahwa tindakan PPP ini gagal, karena sero konversi dapat berasal dari pajanan yang sedang berlangsung. ▪ Follow-up konseling berupa dukungan piskososial yang tepat dan/atau bantuan pengobatan selanjutnya harus ditawarkan ke orang terpajan yang menerima PPP. ▪ Menyarankan orang terpajan sejak terjadinya pajanan sampai 6 bulan kedepan, tidak melakukan perilaku berisiko (penggunaan kondom saat berhubungan seks, tidak berbagi alat suntik), dan tidak mendonorkan darah, plasma,organ, jaringan atau air mani. ▪ Sebelum memberi obat PPP untuk hepatitis B, perlu dikaji keadaan berikut: ▪ Pernahkah mendapat vaksinasi hepatitis B ▪ Lakukan pemeriksaan HBsAg ▪ Lakukan pemeriksaan anti HBs jika pernah mendapat Profilaksis Pasca vaksin Pajanan (PPP) ▪ Follow-up PPP untuk Hepatitis B Hepatitis B ▪ Lakukan pemeriksaan anti HBs 1-2 bulan setelah dosis vaksin yang terakhir; ▪ anti HBs tidak dapat dipastikan jika HBIG diberikan dalam waktu 6-8 minggu. ▪ Menyarankan orang terpajan sejak terjadinya pajanan sampai 6 bulan kedepan, tidak melakukan perilaku berisiko (penggunaan kondom saat berhubungan seks, tidak berbagi alat suntik), dan tidak mendonorkan darah, plasma,organ, jaringan atau air mani. Profilaksis Pasca Pajanan Hepatitis B
PMK no27 tahun2017
▪ Risiko Transmisi hepatitis C tidak setinggi hepatitis B ▪ Pada metaanalisis risiko penularan lebih tinggi bila sumber pajanan memiliki HCV RNA positif
▪ Prinsip PPP hepatitis C adalah identifikasi awal adanya
Profilaksis Pasca hepatitis C akut Pajanan (PPP) ▪ Data awal sumber pajanan dan orang terpajan harus Hepatitis C dilakukan pemeriksaan anti HCV dan SPGT ▪ Bila diperlukan saat 4-6 minggu dapat dilakukan pemeriksaan anti HCV ulang, HCV RNA ( viral load) dan SGPT
▪ Selanjutnya orang terpajan dilakukan pemeriksaan anti
HCV setelah 6 bulan dan 12 bulan, terutama bila sumber pajanan memiliki koinfeksi Hepatitis C dan HIV KESIMPULAN KESIMPULAN ▪ Profilaksis pasca pajanan (PPP) adalah penggunaan ARV secepatnya setelah terjadi peristiwa yang berisiko penularan HIV, untuk mencegah infeksi HIV. PPP dapat mengurangi risiko terinfeksi hingga 79%. ▪ PPP hanya dipakai setelah penyelidikan menunjukkan ada risiko pada orang yang terpajan. ▪ Karena ARV dapat menyebabkan efek samping yang cukup berat, sebaiknya PPP hanya dipakai jika KESIMPULAN benar-benar dibutuhkan. ▪ PPP terdiri dari tiga obat yang dipakai dua kali sehari selama empat minggu. ▪ PPP tidak 100% efektif; berarti PPP tidak menjamin pajanan pada HIV tidak akan menghasilkan infeksi. ▪ Cara terbaik untuk mencegah terjadinya penularan pada sarana medis adalah melaksanakan kewaspadaan standar pada semua pasien.