Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KE-3

ADMINISTRASI PERTANAHAN
“Essay Pemberhentian Pembangunan Jalan Adjie Ibrahim di
Kabupaten Garut Berkonflik Dengan BKSDA”
Dosen Pengampu : Ibu Dina, M.Si,Dr.

Disusun oleh :
Nama : Nazwa Wifa Amatillah
NIM : 051715212

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
UPBJJ BANDUNG
2023
A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Infrastruktur jalan memiliki peran sentral dalam menggerakkan sektor
perekonomian dan memacu pembangunan di suatu daerah, dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan infrastruktur yang memadai,
termasuk jaringan jalan yang baik, menjadi krusial untuk menjamin akses yang
lancar terhadap perekonomian, pendidikan, pembangunan, keamanan, dan interaksi
sosial masyarakat sehari-hari.
Sebagai bagian dari tanggung jawab birokrasi, pemerintah memiliki peran
penting dalam menyelenggarakan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur
jalan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Setiap tahun, pemerintah secara
rutin menyediakan anggaran untuk pembangunan infrastruktur jalan. Namun,
seringkali upaya ini tidak mencapai hasil maksimal yang diharapkan oleh semua
pihak terkait.
Kendala utama yang muncul adalah keterbatasan biaya, baik pada tingkat
pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini menjadi tantangan serius dalam
mencukupi kebutuhan anggaran untuk memastikan kualitas pembangunan dan
pemeliharaan jalan sesuai dengan standar. Selain itu, permasalahan seperti
pelanggaran beban muatan kendaraan, sistem drainase yang kurang efektif,
lemahnya good governance, dan kurangnya koordinasi antara pemerintah dan pihak
penyelenggara lainnya menjadi faktor-faktor yang menurunkan tingkat
keberhasilan dalam manajemen infrastruktur jalan.
Tantangan semakin kompleks ketika proyek pembangunan jalan melibatkan
wilayah yang termasuk dalam yurisdiksi Badan Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA). Konflik kepentingan antara pembangunan dan pelestarian alam
menciptakan hambatan sulit diatasi. Perselisihan antara pihak pengembang jalan
dan BKSDA dapat mengakibatkan penghentian proyek, meninggalkan lahan yang
seharusnya menjadi jalan vital menjadi terbengkalai dan berisiko.
Pembangunan jalan yang seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dihadang oleh kendala serius akibat
kepemilikan tanah oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) cagar
alam. Kasus tersebut, seperti yang terjadi pada proyek Jalan Ibrahim Adjie,
mencerminkan kompleksitas dalam mencapai kesepakatan antara pihak
pengembang jalan dan BKSDA. Konflik kepentingan antara pembangunan
infrastruktur dan pelestarian alam menciptakan hambatan yang sulit diatasi,
mengakibatkan proyek vital ini terhenti. Jalan yang seharusnya mempermudah
mobilitas masyarakat malah menjadi sumber kontroversi, memunculkan
kekhawatiran terhadap risiko lingkungan dan kerugian ekosistem. Dalam konteks
ini, upaya penyelesaian konflik menjadi perlu untuk mendorong kelanjutan proyek
dan mencapai keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan alam.
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan terpadu yang
melibatkan semua pemangku kepentingan. Keterlibatan masyarakat dalam
pengambilan keputusan mengenai pembangunan jalan dan pengadaan tanah dapat
membantu mengurangi resistensi dan meningkatkan dukungan proyek. Kolaborasi
yang lebih erat antara pemerintah, lembaga pelestarian alam, dan masyarakat dapat
menciptakan lingkungan yang mendukung keberhasilan pembangunan infrastruktur
jalan yang berkualitas.
Sebagai tambahan, pembangunan infrastruktur yang melibatkan pengadaan
tanah memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk Lembaga Negara,
Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan sektor swasta.
Penggunaan tanah, baik tanah negara maupun tanah hak pihak lain, memerlukan
persetujuan yang seringkali melibatkan negosiasi. Dalam hal ini, pengadaan tanah
untuk kepentingan umum memerlukan persetujuan pemegang hak atas tanah.
Namun, dalam kenyataannya, persetujuan tidak selalu mudah diperoleh,
terutama jika besarnya ganti rugi dianggap tidak layak oleh pemegang hak atas
tanah. Perselisihan ini dapat berujung pada sengketa antara instansi yang
memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah. Oleh karena itu, pemahaman akan
sifat sengketa dan penerapan cara penyelesaian yang
Dalam hal ini, penyelesaian sengketa perlu dilakukan dengan pendekatan
yang adil dan berkeadilan. Keterlibatan mediator independen atau lembaga
penyelesaian sengketa dapat membantu mencapai solusi yang dapat diterima oleh
semua pihak. Selain itu, perlu adanya regulasi yang jelas dan transparan mengenai
prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta mekanisme penyelesaian
sengketa yang efektif.
Dengan demikian, mengatasi hambatan dalam pembangunan jalan dan
pengadaan tanah memerlukan perhatian serius dari pemerintah, lembaga terkait,
dan masyarakat. Kolaborasi yang erat, transparansi, dan penyelesaian sengketa
yang adil akan membantu memastikan pembangunan infrastruktur yang
berkelanjutan dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dan lingkungan.
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak terhentinya pembangunan Jalan Ibrahim Adjie di
Kabupaten Garut, yang disebabkan oleh konflik kepentingan antara
Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan pembangunan
infrastruktur jalan, memengaruhi pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan
masyarakat, dan mobilitas penduduk di wilayah tersebut?
2. Dalam penyelesaian konflik dan pengadaan tanah dengan BKSDA,
bagaimana keterlibatan masyarakat dapat berkontribusi dalam mengatasi
resistensi, mempercepat proses persetujuan pemegang hak atas tanah, dan
mendukung kelanjutan proyek pembangunan infrastruktur?
B. PEMBAHASAN
Proyek pembangunan Jalan Ibrahim Adjie di Kabupaten Garut mencerminkan
kompleksitas dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Salah
satu hambatan utama proyek ini terletak pada kepemilikan lahan oleh Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Meskipun Pemerintah Kabupaten Garut
dan BKSDA telah berusaha menyelesaikan konflik pengadaan tanah melalui
Perjanjian Kerjasama (PKS), namun proses ini tetap menghadapi kesulitan,
terutama terkait lahan milik BKSDA yang belum dapat ditembus.
Proyek Jalan Ibrahim Adjie memiliki dampak strategis dalam pengembangan
ekonomi dan pariwisata, serta peningkatan aksesibilitas masyarakat. Harapannya
adalah proyek ini dapat menjadi sarana alternatif yang memperlancar perjalanan
dan mendukung pertumbuhan sektor pariwisata. Namun, realitas di lapangan
menunjukkan bahwa sebagian jalan belum tersambung, menciptakan
ketidakpastian terkait kelanjutan proyek.
Kendala terbesar muncul dari konflik kepentingan antara pembangunan
infrastruktur dan pelestarian alam yang diemban oleh BKSDA. Meskipun Bupati
Garut menyatakan optimisme dalam menyelesaikan masalah pengadaan tanah,
tantangan nyata masih harus diatasi, khususnya terkait pembebasan lahan yang
terkendala oleh kepemilikan BKSDA. Diperlukan pendekatan yang holistik dan
efektif untuk menangani konflik ini, memastikan keberlanjutan ekosistem dan
keanekaragaman hayati di wilayah tersebut.
Keironisan situasi semakin diperlihatkan dengan adanya penggunaan sebagian
jalan yang telah dibangun untuk kegiatan berbahaya seperti ajang balap liar, pasar
liar, bahkan menjadi tempat tawuran antar dua kelompok. Konflik kepentingan
yang belum terselesaikan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah dan lembaga
terkait menciptakan risiko dan ketidaknyamanan bagi masyarakat.
Masalah ketidaksesuaian dalam penetapan kawasan hutan menjadi tantangan
serius. Penyelarasan peraturan, klarifikasi batas kawasan hutan, dan peningkatan
pemahaman masyarakat akan prosedur perolehan hak atas tanah adalah langkah-
langkah kunci. Peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga sangat penting dalam
menyelesaikan sengketa pertanahan, dan penguatan kapasitas di tingkat pemerintah
daerah diperlukan.
Keseluruhan undang-undang yang ada menempatkan tanah sebagai objek yang
sama, namun hal ini justru menyebabkan benturan di lapangan. Perbedaan
penggunaan dan penafsiran undang-undang oleh pejabat pemerintah sektoral yang
berbeda dapat menimbulkan konflik penguasaan tanah yang sama. Perbedaan ini
tidak hanya memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi
juga secara substansial undang-undang tersebut tidak bersifat integratif (Supriadi,
2012). Menurut Achmad Sodiki, inti permasalahan terletak pada Hak Menguasai
Negara yang diterapkan pada undang-undang sektoral tersebut, yang tidak
menunjukkan kesamaan penafsiran tentang isi dan batas-batasnya. Hal ini
menghasilkan tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum. Sodiki
menyatakan bahwa dari sudut pandang yuridis normatif, UUPA telah menciptakan
ketidakpastian hukum baik dalam bentuk kepastian dalam hukum maupun
kepastian karena hukum (Sodiki, 2009).
Ketegangan dalam kasus ini juga dapat terkait dengan aspek identitas lokal.
Penguasaan tanah dan konflik di Garut mungkin mencerminkan dinamika serupa,
di mana masyarakat setempat merasa memiliki hak yang kuat terhadap tanah
mereka dan mencoba mempertahankannya melalui aspirasi kolektif dan identitas
lokal.
Terhentinya pembangunan Jalan Ibrahim Adjie di Kabupaten Garut, yang
disebabkan oleh konflik kepentingan antara Badan Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) dan pembangunan infrastruktur jalan, telah menciptakan dampak serius
pada berbagai aspek di wilayah tersebut. Salah satu dampak utamanya adalah
terhambatnya pertumbuhan ekonomi lokal yang diharapkan dari pengembangan
sektor ekonomi dan pariwisata melalui proyek jalan tersebut. Akibat terhentinya
pembangunan, peluang investasi dan penciptaan lapangan kerja baru pun tertunda,
merugikan prospek pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Garut.
Dampak kedua yang signifikan adalah terkait dengan kesejahteraan masyarakat
setempat. Harapan untuk peningkatan kesejahteraan melalui pengembangan sektor
pariwisata dan peluang pekerjaan baru terkendala akibat terhentinya proyek.
Ketidakpastian ekonomi muncul di antara penduduk setempat, sementara
aksesibilitas masyarakat terganggu, menghambat mobilitas penduduk dan distribusi
barang, yang pada akhirnya mempengaruhi aktivitas ekonomi sehari-hari.
Dalam menangani kendala-kendala ini, diperlukan pendekatan terpadu yang
melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, BKSDA,
dan masyarakat setempat. Partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan
keputusan dapat membantu mengurangi resistensi dan meningkatkan dukungan
terhadap proyek. Selain itu, aspek hukum terkait pengadaan tanah perlu
diperhatikan lebih lanjut untuk menciptakan dasar hukum yang kuat dan transparan.
Penyelesaian sengketa harus dilakukan dengan pendekatan yang adil dan
berkeadilan, melibatkan lembaga penegak hukum. Perlu disusun regulasi yang jelas
dan tegas, memberikan dasar hukum yang kuat untuk menyelesaikan konflik
kepemilikan tanah. Dalam konteks ini, kerja sama yang erat antara pemerintah
daerah, BKSDA, dan lembaga terkait lainnya menjadi kunci untuk mencapai solusi
jangka panjang yang menguntungkan semua pihak dan memastikan kelancaran
pembangunan infrastruktur tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Dalam mengatasi kompleksitas pengadaan tanah, perlu juga diperinci
perubahan peraturan terkait pengadaan tanah. Fleksibilitas baru yang
memungkinkan instansi dengan kebutuhan tanah di bawah 5 hektar untuk
melakukan pengadaan tanah langsung memberikan solusi, tetapi integrasi peraturan
daerah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi faktor krusial agar
peraturan daerah mencerminkan substansi yang diatur dalam pengadaan tanah dan
RTRW menjadi panduan bagi pemerintah daerah.
Keterlibatan masyarakat, sebagaimana disarankan dalam analisis terakhir, dapat
menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik dan memastikan kelanjutan proyek.
Pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat,
bersama dengan pembangunan kesadaran kolektif, dapat membantu menciptakan
iklim kerjasama yang positif antara semua pihak terkait, mengatasi resistensi, dan
mendukung kelancaran implementasi proyek infrastruktur.
Penyelesaian konflik sengketa secara non-litigasi merupakan suatu pendekatan
yang lebih bersifat kekeluargaan dan dianggap lebih mudah, cepat, serta minim
biaya dibanding melalui jalur peradilan (Wowor, 2014). Metode ini seringkali
menjadi pilihan utama karena memungkinkan para pihak yang bersengketa untuk
mencapai kesepakatan tanpa harus melibatkan proses hukum formal. Beberapa cara
yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi antara lain
melalui musyawarah atau negosiasi, konsiliasi, dan mediasi.
Musyawarah atau negosiasi melibatkan pihak-pihak yang bersengketa dengan
tujuan mencapai kata sepakat atau kesepahaman terkait permasalahan yang
dihadapi. Proses ini berfokus pada penyelesaian kompromi untuk menciptakan
solusi yang dapat diterima oleh semua pihak (Wiryawan & Artadi, 2017). Di
samping itu, konsiliasi melibatkan upaya untuk mempertemukan keinginan dari
para pihak yang berselisih dengan bantuan seorang konsiliator yang bersikap netral.
Salah satu pendekatan non-litigasi yang juga dapat ditempuh adalah melalui
mediasi. Dalam mediasi, para pihak bersengketa sepakat untuk memanfaatkan
bantuan seorang mediator yang berperan sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator
ini tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan mutlak, namun berusaha
memfasilitasi dialog dan mencari solusi bersama yang dapat diterima (Rokhmad,
2013).
Pendekatan non-litigasi dan litigasi menjadi dua strategi penting dalam
menyelesaikan sengketa pertanahan, terutama yang melibatkan Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia (BPN RI). Dalam konteks penerbitan sertipikat hak
atas tanah oleh BPN, pendekatan non-litigasi, seperti musyawarah, negosiasi,
konsiliasi, dan mediasi, seringkali menjadi fokus utama.
Musyawarah dan negosiasi memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa
untuk mencapai kesepakatan tanpa melibatkan jalur peradilan, sedangkan konsiliasi
melibatkan pihak ketiga netral yang membantu mencapai kesepakatan. Mediasi,
melibatkan mediator sebagai pihak ketiga, bertujuan memediasi perundingan antara
pihak-pihak yang bersengketa.
Jika upaya non-litigasi tidak berhasil atau diperlukan penentuan keputusan
hukum, langkah litigasi melalui peradilan dapat diambil. Dalam situasi ini, BPN RI
seringkali menjadi pihak tergugat, terutama dalam perkara Tata Usaha Negara.
Penanganan perkara melibatkan pelaksanaan putusan lembaga peradilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap.
Apabila BPN RI mengalami kekalahan dalam putusan pengadilan, beberapa
upaya hukum dapat diambil, seperti banding, kasasi, peninjauan kembali, dan
perlawanan terhadap putusan pengadilan. Meski demikian, upaya hukum dapat
dihentikan jika BPN RI yakin bahwa tidak diperlukan tindakan hukum lebih lanjut,
kecuali jika sengketa melibatkan barang milik Negara atau daerah.

Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, pemerintah berharap dapat


mencapai penyelesaian sengketa pertanahan yang holistik dan adil. Partisipasi
semua pihak terkait, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, menjadi
kunci untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan
lingkungan dalam menyelesaikan sengketa tanah di kawasan hutan. Pendekatan ini
memastikan bahwa solusi yang ditemukan menguntungkan semua pihak dan sejalan
dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.
C. PENUTUP
a. Kesimpulan
Secara keseluruhan, proyek pembangunan Jalan Ibrahim Adjie di
Kabupaten Garut mencerminkan kompleksitas dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Kendala utama terkait kepemilikan lahan oleh Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menunjukkan konflik antara
pembangunan infrastruktur dan pelestarian alam. Terhentinya proyek telah
berdampak serius pada pertumbuhan ekonomi lokal dan kesejahteraan
masyarakat.
Penyelesaian sengketa memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan
pemerintah daerah, BKSDA, dan masyarakat setempat. Keterlibatan aktif
masyarakat, perubahan peraturan yang fleksibel, dan penyelesaian non-litigasi
seperti musyawarah, negosiasi, konsiliasi, dan mediasi menjadi kunci dalam
mencapai solusi berkelanjutan.
Dengan demikian, untuk memastikan kelancaran proyek infrastruktur tanpa
mengorbankan keberlanjutan lingkungan, perlu dilakukan koordinasi yang erat
antarlembaga, peningkatan pemahaman masyarakat tentang prosedur perolehan
hak tanah, dan perubahan dalam peraturan yang mendukung pengadaan tanah.
Dalam penanganan sengketa, pendekatan non-litigasi diharapkan dapat
menciptakan kesepakatan yang adil tanpa melibatkan proses hukum formal.
Dengan demikian, penggabungan pendekatan ini diharapkan dapat memberikan
solusi holistik dan berkelanjutan bagi semua pihak terlibat.
b. Saran
1. Pemerintah daerah Garut
Dalam pembangunan untuk kepentingan umum ditingkatkan koordinasi
antara masyarat dan instasi terkait untuk memastikan sinergi dalam
penyelesaian konflik dan kelancaran proyek pembangunan. Melibatkan
masyarakat dalam proses keputusan pembangunan dan memberikan
pemahaman tentang aspirasi local terkait pembangun. Dan menjaga
kelestarian lingkungan tanah yang akan digunakan untuk pembangunan.
Serta memberikan terus pengawasan agar tidak ada kesewanang-
wenanagan serta penyalahgunaan pembangunan.
2. Masyarakat
Berpartisipasi aktif dalam pengembangan pembangunan untuk
mencapai solusi yang berkelanjutan. Membanguna kesadaran tentang
pentingnya keberlanjutan lingkungan dan manfaat jangka panjang dari
pembangunan infrastruktur yang terencana dengan baik. Bersedia untuk
menggunakan pendekatan non-litigasi, seperti musyawarah, negosiasi,
konsiliasi, dan mediasi, dalam menyelesaikan konflik guna mencapai
kesepakatan yang adil.
3. BKSDA
Terlibat dalam dialog terbuka dengan pemerintah dan masyarakat untuk
menemukan solusi yang mempertahankan aspek pelestarian alam
sambil mendukung pembangunan ekonomi lokal. Menyediakan
informasi yang transparan tentang kepemilikan lahan dan tujuan
pelestarian alam kepada masyarakat, menciptakan pemahaman bersama.
Terlibat secara proaktif dalam proses penyelesaian konflik, mencari
solusi yang memenuhi kebutuhan pelestarian alam sekaligus
mendukung pembangunan.

D. DAFTAR PUSTAKA
Faisal, K. S. (2021). Polemik Fungsi Sosial Tanah dan Hak Menguasai
Negara Pasca UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 50/PUU-X/2012. Jurnal Konstitusi, 18(1).
Palilingan, S. C., Paransi, E. N., & Setiabudhi, D. O. (2020). Penyelesaian
Sengketa Pertanahan dalam Rangka Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.8(2).
Aditya, M. F., & Widiatno, M. W. (2020). Penyelesaian Sengketa Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum dalam Proyek Pembangunan Mass Rapid
Transit (MRT) Lebak Bulus – Bundaran Hotel Indonesia pada Jalan RS.
Fatmawati. JCA of LAW, 1(1).
Muntaqo, F., Turatmiyah, S., Jaya, B. M., & Satria, M. (2020). Pengadaan
Tanah pada Kawasan Hutan Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di
Sektor MIGAS. Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, 9(2).
Wibowo, S. N. (2021). Kepastian Hukum Ganti Kerugian Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan Jalan Tol Cisumdawu. Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan,
4(2).
Santoso, U. (2016). Penyelesaian Sengketa dalam Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum. Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 21(3).
Wahidah, I., Ningrum, S., & Buchari, R. A. (2019). Inefisiensi Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum. 1(1).
Nayoan, F., & Prasetyo, P. K. (2020). Partisipasi Masyarakat dalam
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum di Muara
Rupit, Sumatera Selatan. Tunas Agraria, 3(2).
Tenong, S., Maroa, M. D., & Setiawan, R. (2021). Tinjauan Yuridis
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021. Jurnal
Yustisiabel, 5(2).
Situmorang, A. S., & Nugroho, M. A. (2022). Penyelesaian Sengketa Ganti
Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. 6(2).
Sigarlaki, B. M., Lasut, R., & Lembong, R. R. (2023). Analisis Terhadap
Pengaturan Kewenangan Pemerintah Dalam Pengambilalihan Hak Atas Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 11(2).
Utomo, S. (2020). Problematika Proses Pengadaan Tanah. Jurnal Ilmu
Hukum, 5(2).
Michelle, T. D. N., Sukirno, & Cahyaningtyas, I. (2020). Penyelesaian
Sengketa Batas Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan antara PT. Sidosari
Multifarm dengan Perhutani KPH Balapulang. NOTARIUS, 13(2).
Sudana, E. H., Gozali, D. S., & Yusran, A. (2022). Asas Keadilan dalam
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 1(1).
Korneawan, I. G. E., Dewi, A. A. S. L., & Suryani, L. P. (2020).
Penyelesaian Sengketa Tanah Kehutanan di Kantor Pertanahan Kabupaten
Badung. Jurnal Konstruksi Hukum, 1(2).
https://radartasik.id/pembangunan-jalan-ibrahim-adjie-garut-dilanjut/
dikases pada tanggal 26 November 2023.
https://infogarut.id/jalan-ibrahim-aji-jalan-baru-bakal-jadi-destinasi-
wisata-premium diakses pada tanggal 27 November 2023.
https://jabarprov.go.id/berita/bupati-garut-cek-pembangunan-penghubung-
jalan-ibrahim-ajie-6789 diakses pada tanggal 27 November 2023.
https://radartasik.id/jalan-baru-ibrahim-adjie-kabupaten-garut/ diakses
pada tanggal 28 November 2023.
https://infogarut.id/jalan-ibrahim-adjie-garut-mendadak-jadi-pasar-
tumpah-tiap-minggu-pagi diakses pada tanggal 29 November 2023.

Anda mungkin juga menyukai