Anda di halaman 1dari 3

Sepatu Putih

Sepatu yang selalu ku idam-idamkan dihari dimana aku ingin bermain basket tapi sayangnya aku
tidak dibelikan oleh orangtuaku tetapi aku tidak menyerah untuk selalu mendapat nilai bagus
agar dapat dibelikan sepatu itu sepatu berwarna putih yang mengkilap dan sepatu sepesial yang
aku idam-idamkan dan tidak pernah mengira aku mendapatkannya aku sangat suka sekali sepatu
karena sepatu membuat kakiku nyaman dan enak tetapi ada satu kejanggalan jika aku
mempunyai sepatu itu aku jadi terlihat oleh semua orang tapi aku juga suka tampil keren dan
mempunyai style yang baik dan cocok dengan baju yang dipakai dan celananya agar terlihat
selaras akhirnya aku pun berusaha dan berjuang untuk mendapatkan sepatu itu agar meyakinkan
orangtua saya untuk mendapatkan sepatu itu, nilai saya harus baik yaitu nilai ips saya dan
syaratnya saya harus mendapatkan ips 3,00 tetapi jika saya dibawah 3,00 saya tidak akan
mendapatkan apa yang saya inginkan melainkan harus menunggu tahun depan agar bisa
mendapatkan sepatu putih tersebut akhirnya ujian pun bisa saya laksanakan dan yang lain-
lainnya agar terlaksana dengan baik sepatu itu memang tidak mahal tapi jika saya memakainya
pasti terlihat keren, alangkah kerennya lagi saya mempunyai ips yang baik dan bisa mendapat
sepatu putih itu menjadi sebuah kebanggaan saya dan menjadikan sepatu putih itu sebagai sepatu
favorit dan saya akan jaga dan akan saya rawat karena ini sepatu putih maka dari itu akan selalu
saya bersihkan dan jaga karena yang baik akan di rawat dan dijaga jika tidak dijaga jadi sayang
sepatu putih nya.
menjadi pesepakbola adalah cita-citanya dari dulu yang tak pernah berubah sedikitpun. Ketika
ditanya, Ia selalu menjawab secara konsisten ‘ingin menjadi pemain bola’. Ayahnya seorang
pemain tarkam yang tidak pernah dikenali oleh banyak orang. Yang membuat Ridwan Setiawan
(ayah Galang, red) tidak pernah mencicipi kompetisi level nasional adalah bukan karena skillnya
yang kurang mumpuni namun karena itulah pilihannya.

Menjadi pemain tarkam adalah pilihan. Berkali-kali dipertengahan tahun 1990-an rumahnya
didatangi pelatih, tim scouting, hingga agen pemain. Namun, berkali-kali pula Ridwan menolak
tawaran menjanjikan para pengendus bakat sepak bola itu.

Sampai Danur Mindo, Indra Thohar, dan Pieter Black memohon kepada kakeknya Galang agar
bisa membujuk anaknya untuk bergabung dengan salah satu dari tim mereka. Nyaris, talentanya
terdengar hingga seantero nusantara. Namun kekeh Ridwan terhadap pendiriannya untuk
menjadi pemain tarkam. Alasannya sederhana, lebih sederhana dari membuat mie instan. Yakni;
tidak ingin jauh dari keluarga dan takut dengan popularitas.

Alasan yang terdengar begitu klasik bagi orang-orang kampung macam keluarga Ridwan
Setiawan. Bakat-bakat sepak bola dikampungnya tak jarang jadi bidikan talent scouting dari
berbagai klub nasional. Mungkin, Galang sedikit mendobrak tradisi primitif itu dengan pergi
meninggalkan kampung dan keluarganya untuk ikut bergabung dengan salah satu klub populer di
Ibu kota. Batavia FC. Ketika usianya belum genap 17 tahun, 15 tahun 45 hari Galang
meninggalkan keluarga sekaligus mendobrak tradisi primitif lingkungannya.

24 bulan kemudian, selepas Galang dijemput oleh Karl Pieters salah satu utusan pemandu bakat
tim Batavia FC, Ia merenung dipojokan lapangan itu. Percakapan dengan pelatihnya terus
berlangsung hingga para pemain lain dalam tim itu bersantai di mess Batavia FC.

“Dibalik popularitas yang kamu resahkan itu justru ada nilai positifnya. Kamu dikenal bukan
hanya oleh masyarakat bola tapi juga oleh pelatih-pelatih nasional kelas A. Dan, bukan tidak
mungkin dengan bantuan Pers itu suatu hari kamu bisa dipanggil memperkuat tim dengan level
yang lebih baik”,Coach Rico mengakhiri percakapan dan mengajak Galang untuk segera mandi
sekaligus beristirahat di Mess.

Keesokan harinya, seluruh tim berkumpul di teras, tepat ketika jam dinding di Mess menunjukan
pukul 14.30. Tidak ada latihan sore itu, itulah waktunya seluruh awak tim Batavia FC bertarung
termasuk striker flamboyan mereka, Galang Suryadireja, bertarung habis-habisan guna menerima
tiket gratis untuk lolos ke Primer League alias kompetisi tertinggi di sepakbola negerinya.

Menuju pemberangkatan ke Stadion Tugu, tim terlebih dahulu menerima briefing dari Coach
Rico sekaligus berdoa bersama. Namun, wajah muram masih menghiasi Galang, entah karena ia
benar-benar gugup untuk menjalani laga final atau karena masih menyembunyikan keresahannya
itu.

Ruang ganti tim terasa begitu dingin sore itu, Galang, Jeki, Ummar, Salim, Ricardo, dan seluruh
pemain inti mengalami ketengangan yang sulit lagi disembunyikan. “5 menit lagi..!” salah satu
panpel memberi pengumuman singkat di ujung pintu loker room.

Coach Rico masih terlibat dalam diskusi serius dengan Assistan-nya sedangkan pemain Batavia
mulai berbaris rapih menuju lorong stadion. Galang berada di barisan pertama, menandai bahwa
dirinya adalah kapten tim pada sore itu.

Bukan saja karena tensi partai final yang membuat Galang terlihat gugup melainkan juga karena
di tribun kehormatan ada sosok penting yang menganalisa permainannya. Pelatih Timnas U-19,
Farhan Yunus.
“Dibalik popularitas yang kamu resahkan itu justru ada nilai positifnya. Kamu dikenal bukan
hanya oleh masyarakat bola tapi juga oleh pelatih-pelatih nasional kelas A. Dan, bukan tidak
mungkin dengan bantuan Pers itu suatu hari kamu bisa dipanggil memperkuat tim dengan level
yang lebih baik”,Coach Rico mengakhiri percakapan dan mengajak Galang untuk segera mandi
sekaligus beristirahat di Mess.

Anda mungkin juga menyukai