Anda di halaman 1dari 4

UNtUK kesekian kalinya aku harus merelakan tiketku hangus karena harus lembur.

Aku dan
teman-teman kuliahku berencana nonton bareng malam ini. sampai setengah jam yang lalu
mereka masih menanyakan apakah aku jadi menyusul. saat ini grup WhatsApp kami sudah
sepi karena filmnya sudah mulai dan aku masih tertahan di kantor. Bersama tigran.

telepon di sudut mejaku kembali berbunyi. siapa lagi yang menelepon kalau bukan tigran?
Pasti dia mau memerintah lagi.

”Ke ruangan saya sekarang.” tuh... Benar, kan?

Dengan malas aku membawa agenda dan bolpoin, kemudian berjalan ke ruangan tigran.
Kalau laporan ini, yang berisi grafik sebesar telapak tangan dan narasi bagaikan sinopsis film
di situs bioskop, masih harus direvisi, aku akan melempar surat resign ke meja tigran.

”sebentar,” kata tigran ketika aku masuk ke ruangannya dengan ekspresi datar.

http://facebook.com/indonesiapustaka

Dia mengetik selama beberapa saat di ponsel. Aku mendengus supaya tigran paham ini sudah
terlalu larut untuk bekerja melaku- kan revisi yang ketiga belas.

”Well, tolong datanya ditambah satu tahun lagi—dari 2009 sampai 2016,” perintah tigran.

Aku mendengus lagi. Dan... berhasil karena kali ini tigran terlihat jengkel.

”Research analyst yang support proyek ini sudah pulang, Pak,” kataku bermaksud untuk
tidak menolak secara terang-terangan. sudah seminggu ini aku tidak pernah tiba di rumah
sebelum tengah malam. Wajar dong kalau hari ini aku ingin absen pulang sebelum hari
berganti?

”Kamu manage sendirilah, di perusahaan sebelumnya juga kamu research analyst, kan?”

Kali ini aku yang sekakmat. tigran jelas tidak ingin dibantah. ”Pak, tapi data dari 2010 sudah
representatif.”
”Representatif atau nggak itu kata siapa?” tigran melempar

bundel laporan ke arahku.


Aku mendengus kesal. Rasanya aku ingin menangis sekencang-

kencangnya. tigran bukan sekadar bos yang menyebalkan, tapi iblis keji yang menyedot aura
positif siapa saja. tanpa mengambil bundel laporan, aku berbalik dan menarik pintu kaca.

”Ra.”
”Apa?!” semoga tidak ada tanduk yang keluar dari kepalaku. tigran bersandar di
singgasananya. Aku berdiri di ambang

pintu. Kalau sampai dari mulutnya keluar kalimat yang aneh-aneh, aku tidak akan segan-
segan melempar penjepit rambutku ke wajah- nya!
”Nggak usah deh, cukup grafik itu. sama diskusi yang dua ha- laman kamu buat sebelumnya
itu juga dimasukin. Kita submit besok pagi,” kata tigran.

30

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Apa?” Aku memastikan telingaku tidak salah dengar.

”Revisinya selesai, besok submit,” ujar tigran lagi sambil me- ngetik sesuatu di laptop.

saat itu rasanya ada bunga-bunga yang rontok dari plafon. Angin berembus sedikit dari
lubang kunci pintu surga. Indah. Menyenangkan.

Aku langsung pamit dan melesat keluar dari ruangan tigran. tergesa-gesa aku memasukkan
semua kertas di meja. Kemudian dengan setengah berlari aku mencapai lorong lift yang
sebagian lampunya sudah dimatikan. Lift terbuka dan aku bergegas masuk. Masih ada waktu
untuk menutup akhir minggu selayaknya manusia lain di Jakarta! Yes!

Pintu lift nyaris tertutup ketika sebuah tangan menghalangi. Pintu lift terbuka lagi dan
masuklah tigran.

”Pulang juga?” tanyaku.


”Kalau nggak mau basa-basi, lebih baik diam saja.”
tuh! sakit mental! Pasti tigran sakit mental! Perjalanan dari

lantai 30 menuju lobi rasanya seperti seabad. Aku pura-pura mengecek ponsel sampai tigran
menegur.

”Kamu mau pulang?” ”Mungkin,” jawabku santai. ”Nyetir?”


”Nggak, taksi.”

”Jam segini naik taksi?” tigran terdengar kaget.

”Biasanya juga naik taksi. hari Rabu malah jam dua pagi pesan taksinya,” kataku sengaja
menyindir, siapa tahu si bos lupa ingat- an.

tigran hanya menatapku dengan ekspresi datar seperti biasa. Kalau kata Mbak Karen, tigran
akan tuli mendadak ketika dikritik. Kami kembali terdiam di posisi masing-masing sampai
pintu lift

31

http://facebook.com/indonesiapustaka

terbuka di lantai dasar. Aku langsung jalan lebih dulu kemudian mengarah ke lobi luar.

”Ngapain pesan taksi? saya antar,” kata tigran yang ternyata menyusulku.

Aku melambai-lambaikan tangan dengan cepat untuk menolak. ”Nggak usah, Pak.”
”Nggak aman buat perempuan naik taksi nyaris tengah malam begini.”

”Ini Jakarta, orang mabuk pulang pagi pun bisa sampai rumah dengan selamat naik taksi.”

”Itu karena orang-orang di sekitarnya nggak bertanggung jawab. saya nggak mau berdebat,
kamu pulang sama saya.” Rahang Pak Bos terlihat mengeras. Kok jadi dia yang marah?

”Nggak perlu, Pak. serius. saya bisa sendiri. Lagi pula saya sudah pesan taksi,” kataku sambil
menunjukkan aplikasi taksi konvensional di ponselku.

Wajah tigran mendekat ke layar ponsel, lalu dia mengambil ponselku. tak sampai dua menit
dia mengembalikan ponsel yang dia rampas dan berkata, ”Done. sekarang kamu ikut saya.”

Aku memelotot, campuran kaget dan kesal.


”Bapak hapus aplikasi saya?!”
saudara-saudara sekalian... Kalau banyak orang bilang tigran

itu visioner, selalu selangkah lebih maju—semua itu sudah terbukti. Alih-alih menghapus
pesanan taksiku, dia justru memilih untuk menghapus aplikasinya sekalian!

Dia berbalik masuk ke lobi dalam lalu berjalan mengarah kembali ke lift untuk menuju
basemen. tak mau menambah masalah dan membuang waktu, aku mengikutinya sambil
meng- gerutu.

sesampainya di mobil, aku duduk dan memasang sabuk pengaman dengan canggung.

32

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Pak, nanti saya turun di grand Indonesia saja,” kataku kaku. ”Lho, kok nggak ke rumah?”
tanya tigran curiga.
”Ada urusan.”
”Ke Altitude? Kamu mau ke bar?” tanya tigran ketus, seolah

itu adalah urusannya, sambil menyalakan mobil.


”Nggak. Lagi pula Altitude di Plaza Indonesia, bukan?” Aku

berharap tigran berhenti menginterogasi karena aku enggan berkata yang sebenarnya.

”Lalu?”
Mobil bergerak keluar gedung parkir dan aku masih diam. ”Ngapain ke grand Indonesia?”
ulang tigran, kali ini lebih

tegas dan menuntut.


”Nonton midnight,” kataku menciut.
”sama siapa?” tigran menatapku dengan wajah bingung. ”sendiri.”
”Kok sendiri? Bukannya temanmu banyak?” Nadanya terdengar
khawatir. hmm... tapi apa aku salah dengar?
”Nonton barengnya sudah bubar—jam sembilan! Dengan jam

kerja kayak sekarang, mana bisa saya punya kehidupan sosial,” keluhku pada akhirnya.

”Akhir pekan bisa.” Cih, pembelaan.

”Weekend saya pingsan di kasur.” Dan tigran malah tertawa mendengarnya.

Pak Bos membelokkan mobil ke grand Indonesia. Ketika hampir tiba di lobi, aku pamit
sambil dengan cekatan membuka seatbelt sehingga timbul suara dan lampu peringatan.

”Seatbelt-nya jangan dilepas dulu dong, Ra. Kamu pernah tinggal di luar negeri kok nggak
paham,” hardik tigran, yang entah mengapa tiba-tiba sewot.

”Lho, saya sudah mau turun, kan?” Mendadak aku amnesia.

Anda mungkin juga menyukai