Anda di halaman 1dari 6

Pemegang Hak Milik Tanah dan Perjanjian Nominee

dalam Konteks Hukum Indonesia


Oleh : Ajeng Ferennata (82122345)
Universitas Pendidikan Nasional

A. Pendahuluan
Kepemilikan tanah dan perjanjian nominee dalam konteks hukum Indonesia
telah menjadi perbincangan yang menarik dalam beberapa tahun terakhir.
Terdapat dua pertanyaan penting yang akan kita bahas dalam essay ini.
Pertama, apakah desa pakraman di Bali dapat menjadi pemegang hak milik
atas tanah? Kedua, apakah perjanjian nominee antara warga negara asing
(WNA) dan warga negara Indonesia dapat dianggap sah berdasarkan ius
constitutum Indonesia?
Dalam konteks Bali, desa pakraman memiliki sistem kepemilikan tanah
yang unik. Desa pakraman adalah sebuah entitas tradisional yang
memegang kendali penuh atas wilayah dan sumber daya alam di dalamnya,
termasuk tanah. Namun, apakah status desa pakraman memberikan mereka
hak milik yang jelas atas tanah yang mereka huni? Ini menjadi pertanyaan
yang menarik untuk dieksplorasi dalam konteks hukum Indonesia.
Selain itu, perjanjian nominee juga menjadi sorotan dalam diskusi
kepemilikan tanah di Indonesia. Perjanjian ini melibatkan WNA yang
bermitra dengan warga negara Indonesia, menggunakan nama pihak
Indonesia sebagai pemilik tanah dalam rangka memperoleh hak milik atas
tanah tersebut. Namun, apakah perjanjian nominee seperti ini sesuai dengan
ius constitutum Indonesia ataukah melanggar ketentuan hukum yang
berlaku?
Dalam essay ini, kita akan menggali lebih dalam tentang status desa
pakraman di Bali sebagai pemegang hak milik tanah dan mencari
pemahaman tentang regulasi hukum yang mengatur kepemilikan tanah
dalam konteks tersebut. Selanjutnya, kita akan menganalisis validitas
perjanjian nominee dalam kerangka hukum Indonesia, dengan merujuk
pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan putusan-putusan pengadilan
yang relevan. Dengan demikian, kita dapat memperoleh pemahaman yang
lebih mendalam mengenai peran desa pakraman dan perjanjian nominee
dalam sistem kepemilikan tanah di Indonesia.

B. Pembahasan
I. Pemegang Hak Milik Tanah di Desa Pakraman di Bali
Desa pakraman merupakan entitas tradisional di Bali yang memiliki
kekhasan budaya dan sistem pemerintahan sendiri. Desa pakraman diatur
oleh adat dan memiliki sistem kepemilikan tanah yang berbeda dengan
sistem yang berlaku di wilayah lain di Indonesia. Sumber daya alam,
termasuk tanah, di dalam desa pakraman dianggap sebagai milik bersama
masyarakat desa dan diatur berdasarkan prinsip kebersamaan dan
keseimbangan.
Pemegang hak milik tanah di desa pakraman memiliki hak-hak tertentu
terkait penggunaan, pengelolaan, dan pemindahan tanah. Mereka memiliki
hak untuk menggunakan dan menguasai tanah yang mereka miliki sesuai
dengan adat dan tradisi setempat. Meskipun hak kepemilikan secara
kolektif, pemegang hak milik tanah juga dapat mengalihkan hak tersebut
kepada anggota komunitas desa atau pihak luar melalui mekanisme yang
diatur oleh adat.
Status desa pakraman dan hak kepemilikan tanah di Bali diatur oleh
berbagai peraturan dan regulasi. Di tingkat nasional, Undang-Undang
Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) mengakui hak-hak masyarakat adat,
termasuk desa pakraman, atas tanah adat mereka. Di tingkat provinsi,
terdapat Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2009 yang mengatur
tentang perlindungan dan pengelolaan desa pakraman di Bali. Selain itu,
terdapat juga peraturan desa yang mengatur tata cara pemanfaatan dan
pengalihan tanah di dalam desa pakraman.

II. Perjanjian Nominee dalam Konteks Hukum Indonesia


Perjanjian nominee merupakan perjanjian di mana seorang WNA bekerja
sama dengan seorang warga negara Indonesia untuk memperoleh hak
kepemilikan tanah di Indonesia. Dalam skema ini, pemegang hak tanah
sebenarnya adalah warga negara Indonesia (nominee), tetapi tanah tersebut
sebenarnya dimiliki dan dikendalikan oleh WNA yang terlibat dalam
perjanjian tersebut.
Perjanjian nominee sering digunakan oleh WNA untuk mengatasi batasan
kepemilikan tanah oleh WNA di Indonesia. Hal ini terutama berlaku dalam
sektor properti, di mana WNA sering kali ingin memiliki properti di
Indonesia namun terkendala oleh pembatasan kepemilikan tanah oleh WNA
yang diatur dalam peraturan hukum.
Kepemilikan tanah oleh WNA di Indonesia diatur oleh berbagai hukum
dan peraturan. Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun
1960) menyatakan bahwa WNA dapat memperoleh hak kepemilikan atas
tanah di Indonesia dalam beberapa kasus tertentu, seperti melalui warisan,
perkawinan dengan WNI, atau melalui perjanjian internasional.
Selain itu, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga
mengatur kepemilikan tanah oleh WNA dalam konteks penanaman modal
asing. Undang-Undang ini memberikan batasan dan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh WNA yang ingin memiliki tanah untuk kegiatan investasi di
Indonesia.
Validitas perjanjian nominee dalam konteks ius constitutum Indonesia
masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Beberapa ahli hukum
berpendapat bahwa perjanjian nominee melanggar prinsip-prinsip hukum
agraria dan semangat Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur
kepemilikan tanah oleh WNA.
Pengadilan di Indonesia juga telah mengeluarkan putusan yang beragam
terkait validitas perjanjian nominee. Beberapa putusan menganggap
perjanjian nominee sah jika memenuhi persyaratan hukum yang berlaku,
sementara putusan lainnya menyatakan bahwa perjanjian nominee
bertentangan dengan hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang sah.
Oleh karena itu, validitas perjanjian nominee dalam konteks ius
constitutum Indonesia masih menjadi perdebatan dan bergantung pada
interpretasi hukum yang dilakukan oleh pengadilan dalam setiap kasus yang
diajukan.

III. Perspektif Hukum Terkait Pemegang Hak Tanah dan Perjanjian


Nominee
a. Pemahaman tentang asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia terkait
kepemilikan tanah.
Dalam konteks kepemilikan tanah di Indonesia, terdapat beberapa asas
hukum yang berlaku. Pertama, asas kebendaan mengakui bahwa tanah
adalah benda yang dapat dimiliki dan dikuasai oleh individu atau badan
hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua,
asas agraria mengatur hubungan antara manusia dengan tanah, termasuk
pemanfaatan, penggunaan, dan penguasaan tanah secara berkelanjutan.
Asas ini mencakup prinsip keadilan agraria dan kepentingan nasional.
Selanjutnya, asas keadilan menjadi faktor penting dalam kepemilikan tanah,
termasuk keadilan distribusi tanah, perlindungan hak-hak masyarakat adat,
dan perlindungan hak-hak rakyat kecil. Terakhir, asas kepastian hukum
menekankan pentingnya kejelasan, kepastian, dan kestabilan hukum dalam
konteks kepemilikan tanah, sehingga pemilik tanah memiliki kepastian
mengenai hak-hak mereka.

b. Penjelasan mengenai putusan-putusan pengadilan yang relevan dalam


kasus-kasus pemegang hak milik tanah dan perjanjian nominee.
Terdapat beberapa putusan pengadilan yang relevan dalam kasus pemegang
hak milik tanah dan perjanjian nominee di Indonesia. Sebagai contoh,
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. 604 K/Pdt/2013
menyatakan bahwa perjanjian nominee yang bertujuan untuk menghindari
pembatasan kepemilikan tanah oleh WNA adalah tidak sah dan
bertentangan dengan hukum. Putusan lain, seperti Putusan No. 604
K/Pdt/2018, menegaskan bahwa perjanjian nominee dalam kepemilikan
tanah untuk tujuan spekulasi adalah melanggar hukum dan tidak sah.
Namun, terdapat juga putusan yang mengakui keabsahan perjanjian
nominee jika memenuhi syarat-syarat hukum yang berlaku, seperti Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar No. 183/Pdt.G/2016/PN.DPS. Sementara itu,
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
250/Pdt.G/2017/PN.JKT.SEL menyatakan bahwa perjanjian nominee yang
bertujuan untuk mengelabui hukum dan merugikan kepentingan negara
adalah tidak sah.

c. Evaluasi terhadap peran dan dampak perjanjian nominee terhadap sistem


kepemilikan tanah dan keadilan hukum di Indonesia.
Perjanjian nominee memiliki dampak yang signifikan terhadap sistem
kepemilikan tanah dan keadilan hukum di Indonesia. Penggunaan perjanjian
nominee dapat memungkinkan WNA untuk memiliki tanah di Indonesia
dengan menggunakan nominee, yang dapat melanggar pembatasan
kepemilikan tanah oleh WNA dan mempengaruhi keadilan distribusi tanah.
Selain itu, penggunaan perjanjian nominee juga dapat menciptakan
ketidakpastian hukum dan merugikan kepastian hukum dalam sistem
kepemilikan tanah. Hal ini terjadi ketika pemilik tanah sebenarnya (WNA)
mengendalikan dan memperoleh keuntungan dari tanah yang seharusnya
tidak dapat mereka miliki. Dengan demikian, perjanjian nominee dapat
merugikan kepentingan negara dan masyarakat secara keseluruhan.
C. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa desa pakraman di Bali memiliki status sebagai
pemegang hak milik tanah yang diakui dalam hukum Indonesia. Namun,
validitas perjanjian nominee dalam konteks hukum Indonesia masih
menjadi perdebatan. Beberapa putusan pengadilan menyatakan bahwa
perjanjian nominee yang bertujuan untuk menghindari pembatasan
kepemilikan tanah oleh WNA adalah tidak sah dan bertentangan dengan
hukum. Namun, terdapat juga putusan yang mengakui keabsahan perjanjian
nominee jika memenuhi syarat-syarat hukum yang berlaku. Dalam konteks
pemegang hak milik tanah dan perjanjian nominee, terdapat asas-asas
hukum yang perlu dipertimbangkan, seperti asas kebendaan, asas agraria,
asas keadilan, dan asas kepastian hukum. Penting untuk memahami bahwa
interpretasi dan penerapan hukum dapat bervariasi, dan konsultasi dengan
ahli hukum yang berkompeten serta merujuk pada sumber-sumber hukum
yang sahih sangat disarankan.

D. Daftar Pustaka
Sumber :
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Desa Pakraman di Provinsi Bali.
Yuliastuti, N. (2020). Land Ownership in Bali Traditional Village (Desa
Pakraman) Based on the Concept of Customary Law. The
Indonesian Journal of International Law, 17(3), 325-342.
Kusumadewi, I. A. G. (2016). The Concept of Land Ownership in
Traditional Village (Desa Pakraman) in Bali. Procedia
Environmental Sciences, 28, 371-380.
Tjitrosudibio, R. (2016). Legal Aspects of Land Ownership by Foreigners
in Indonesia. Journal of Indonesian Legal Studies, 1(1), 1-17.

Anda mungkin juga menyukai