Cahaya matahari masuk ke ruang tengah tempat aku tidur, lewat jendela yang
terbuka lebar. Rumah dalam kondisi kosong, seperti biasa ibu, bapak, kakak, dan
adik-adik sedang ke sawah. Badanku masih capek, sudah berapa malam ini tidak
tidur, melakukan patroli siang dan malam sebab terdengar kabar bahwa Tentara
Belanda dari Cirebon akan bergerak menuju Tegal.
Barulah semalam reguku diizinkan untuk istirahat, diganti oleh regu lain.
Reguku kembali ke markas di Dukuh Babakan. Aku memutuskan untuk pulang ke
rumah, sudah hampir 1 tahun tidak pulang, terakhir ketika Idul Fitri. Sebenarnya
aku tidak tega meninggalkan reguku setelah Farid wakilku meyakinkan bahwa
tidak akan terjadi apa-apa, barulah aku memberanikan diri untuk pulang.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, dalam masa perjuangan
sekarang hanya ada dua kemungkinan, hidup atau mati. Maka sebelum
menghadapi desingan peluru, pulanglah dulu ke rumah, supaya orang tuamu tidak
khawatir," ujarnya.
Mataku terus waspada, sesekali melirik ke belakang dan samping, sebab aku
takut ada garong atau bencoleng. Mereka sungguh bikin keadaan makin susah, di
mana-mana orang ketakutan. Para bencoleng ini terkenal kejam dan tanpa ampun,
aku dengar beberapa hari yang lalu satu keluarga di Slawi tewas. Aku juga
mendengar kalau para garong itu bersenjata api, entah dari mana mereka
mendapatkannya, jangan-jangan mereka mata-mata Belanda yang ditugaskan untuk
membuat keadaan semakin kacau.