Anda di halaman 1dari 11

Martha Christina Tiahahu

Lahir 4 Januari 1800


Abubu, Nusa Laut, Maluku Tengah, Hindia
Belanda

Meninggal 2 Januari 1818 (umur 17)


Laut Banda, Maluku, Indonesia

Sebab meninggal Sakit

Monumen patung di Ambon, Maluku; patung di Abubu

Kebangsaan Indonesia

Pekerjaan Gerilyawan

Tahun aktif 1817

Orang tua Paulus Tiahahu

Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia

Nama : Fahriza Dwi C.R


Kelas : XI-B RPL
Martha Christina Tiahahu (4 Januari 1800 – 2 Januari 1818) adalah
seorang gadis dari desa Abubu,Nusalaut, Maluku Tengah. Pada usia 17
tahun, ia ikut mengangkat senjata melawan tentara Belanda. Ayahnya
adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang
membantu Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura pada 1817.
M.C. Tiahahu merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Ketika ikut
dalam pertempuran melawan tentara Belanda saat Perang Pattimura
(1817), ia masih remaja. Keberaniannya terkenal di kalangan pejuang,
masyarakat luas, dan bahkan musuh-musuhnya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang
mundur. Dengan rambut panjangnya yang terurai ke belakang serta
berikat kepala sehelai kain berang (merah), ia setia mendampingi
ayahnya dalam setiap pertempuran, baik di Pulau Nusalaut maupun
di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam
pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia juga membangkitkan semangat
kaum wanita di sekitarnya agar ikut membantu kaum pria di setiap
medan pertempuran.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah
tenggara Pulau Saparua yang tampak betapa hebat srikandi ini
menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya
karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan
pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani
hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke
Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak.
Martha Christina Tiahahu berjuang untuk melepaskan ayahnya dari
hukuman mati, tetapi ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di
hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan hendak diasingkan ke Pulau Jawa.
Saat itulah ia jatuh sakit, namun ia menolak diobati oleh orang Belanda.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya
dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut
Banda tepatnya di antara Pulau Buru dan Pulau Manipa pada tanggal 2
Januari 1818. Untuk menghargai jasa dan pengorbanannya, Martha
Christina Tiahahu dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Biografi

Tiahahu lahir di desa Santiago de Abúbu di Pulau Nusalaut, dekat


Maluku, pada 4 Januari 1800. Ayahnya adalah Kapten Paulus
Tiahahu dari klan Soa Uluputi. Setelah ibunya meninggal saat dia
masih bayi, Tiahahu dibesarkan oleh ayahnya. Sebagai seorang
anak, dia keras kepala dan mengikuti ayahnya ke mana pun dia
pergi, kadang-kadang bergabung dengannya dalam merencanakan
serangan.
Mulai tahun 1817, Tiahahu bergabung dengan ayahnya dalam
perang gerilya melawan pemerintah kolonial Belanda. Mereka juga
mendukung tentara Pattimura. Dia melihat beberapa pertempuran.
Dalam pertempuran di Pulau Saparua, pasukan itu membunuh
komandan Belanda Richement dan melukai Komandan
penggantinya Meyer. Dalam pertempuran lain, dia dan pasukannya
berhasil membakar Benteng Duurstede hingga rata dengan
tanah. Selama pertempuran, dia dikatakan melempar batu ke
pasukan Belanda jika tentaranya kehabisan amunisi, sementara
catatan lain mengatakan dia menggunakan tombak. Setelah
Vermeulen Kringer mengambil alih militer Belanda di Maluku,
Tiahahu, ayahnya, dan Pattimura ditangkap pada Oktober 1817.
Dibawa dengan HNLMS Evertsen ke Nusalaut, Tiahahu adalah
satu-satunya prajurit yang ditangkap yang tidak dihukum; ini karena
usianya yang masih muda. Setelah beberapa waktu ditahan di Fort
Beverwijk, tempat ayahnya dieksekusi, pada akhir tahun 1817
Tiahahu dibebaskan. Dia terus berjuang melawan Belanda.
Dalam penyisiran pada bulan Desember 1817 Tiahahu dan
beberapa mantan pemberontak lainnya ditangkap. Gerilyawan yang
ditangkap ditempatkan di Evertsen untuk diangkut ke Jawa; mereka
dimaksudkan untuk digunakan sebagai tenaga kerja budak di
perkebunan kopi di sana. Namun, dalam perjalanan Tiahahu jatuh
sakit. Menolak obat dan makanan, dia meninggal pada 2 Januari
1818 ketika kapal sedang menyeberangi Laut Banda; dia menerima
penguburan di laut hari itu juga.
Perjuangan

Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tanggal 4


Januari 1800 merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih
berusia 17 tahun ketika mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di
Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama Kapitan Pattimura sedang
mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua. Perlawanan di
Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.
Pada waktu itu, sebagian pasukan rakyat bersama para raja dan patih
bergerak ke Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan
Pattimura sehingga tindakan Belanda yang akan mengambil alih Benteng
Beverwijk luput dari perhatian. Guru Soselissa yang memihak Belanda
melakukan kontak dengan musuh mengatas-namakan rakyat menyatakan
menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 Oktober 1817 Benteng Beverwijk
jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan. Sementara itu, di Saparua
pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena semakin
berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke
pegunungan Ulath-Ouw. Di antara pasukan itu terdapat pula Martha Christina
Tiahahu beserta para raja dan patih dari Nusalaut.
Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda di bawah pimpinan Richemont
bergerak ke Ulath, tetapi berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat.
Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke
Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah
pihak.
Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya
bertahan di tanjakan negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat
mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele. Di tengah keganasan
pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru
musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi
berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain
merah) terikat di kepala.
Dengan mendampingi sang ayah dan memberikan kobaran semangat kepada
pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, Marta Christina telah
memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut
mendampingi kaum laki-laki di medan pertempuran. Baru di medan
ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut
bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat
mengenai leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah
Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.
Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum
terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang
begitu hebat ini dengan lemparan batu, para opsir Belanda menyadari bahwa
persediaan peluru pasukan rakyat telah habis. Vermeulen Kringer memberi
komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan
dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan,
seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada
dibakar dan dirampok habis-habisan.
Martha Christina dan sang ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya
tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para
tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan
tawanan lainnya. Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman.
Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martha Christina
Tiahahu dari hukuman, tetapi sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap
dijatuhi hukuman mati. Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina
Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun
kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang ayah. Tiba-tiba
Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan
ampun bagi sang ayah yang sudah tua, tetapi semua itu sia-sia.
Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah
dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu
pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya. Martha Christina Tiahahu
mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian
Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan
tinggal bersama guru Soselissa.
Sepeninggal ayahnya, Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan
berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya
terganggu.
Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha
Christina Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan
kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di
perkebunan kopi.
Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin
memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Akhirnya pada tanggal 2
Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu
menghembuskan napas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu
disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara
resmi diakui sebagai pahlawan nasional.
LUTUNG KASARUNG

Lutung Kasarung adalah cerita pantun yang mengisahkan


legenda masyarakat Sunda yang terinspirasi dari kisah para menak Kerajaan
Galuh dan Kerajaan Sunda tentang perjalanan Sanghyang Guruminda dari
Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi) dalam wujud
seekor lutung (sejenis monyet). Dalam perjalanannya di Bumi, sang lutung
bertemu dengan putri Purbasari Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya yang
pendengki, Purbararang. Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang buruk
rupa. Pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran dan mengawini Purbasari,
dan mereka memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala
Ayu bersama-sama.
Pada tahun 1921, cerita rakyat ini diangkat ke dalam gending karesmen, yaitu
drama yang diiringi musik, oleh R.A.A. Wiranatakusumah V, Bupati Bandung.
Lima tahun kemudian, NV Java Film Company mengangkatnya ke dalam
sebuah film bisu yang berjudul Loetoeng Kasaroeng yang disutradarai oleh L.
Heuveldorp. Film ini merupakan film pertama di Hindia Belanda. Film ini
diputar dari 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di bioskop Elite
(Majestic).
Cerita pantun Lutung Kasarung kemudian dijadikan bahan disertasi oleh F. S.
Eringa yang dibukukan pada tahun 1949.
Cerita ini ditulis dalam bahasa Indonesia oleh seniman Belanda Tilly Dalton
dalam tahun 1950. Salinan bukunya disumbangkan kepada KITLV di Leiden,
Belanda.
Saat ini cerita rakyat tersebut sering muncul dalam bentuk, antara lain, cerita
anak, komik, sinetron di televisi-televisi Indonesia.
Kisah Lutung Kasarung juga terdapat dalam tradisi lisan masyarakat
Banyumasan yang dikenal sebagai Legenda Raden Kamandaka sebagai
akibat dari masuknya pengaruh budaya Sunda ke wilayah Banyumas sejak
daerah ini merupakan bagian dari Kerajaan Sunda pada zaman dahulu.
Latar Belakang Kisah Lutung Kasarung
Pada zaman dahulu, di Tanah Pasundan, tersebutlah sebuah
kisah yang sangat terkenal hingga kini, yaitu kisah tentang
Lutung Kasarung. Kisah ini menjadi cerita yang tetap populer
karena mengandung banyak hikmah. Kisah ini bercerita
tentang pangeran tampan bernama Sanghyang Guruminda
yang dihukum dengan dibuang ke bumi karena melakukan
kesalahan di kayangan dalam wujud seekor lutung. Sebagai
seekor lutung, Sanghyang Guruminda tersesat di sebuah hutan
sehingga ia diberi nama Lutung Kasarung. Lutung Kasarung
dalam bahasa Sunda berarti lutung yang tersesat. Lutung
adalah sejenis kera dengan bulu lebat berwarna hitam legam
dengan ekor yang panjang.
Kerajaan Pasir Batang dan Penerus Takhtanya
Sementara itu, Prabu Tapa Agung, yang merupakan raja dari
Kerajaan Pasir Batang, telah tua dan sakit-sakitan. Ia hidup
bersama dengan istrinya yang sangat sabar mengurusnya
yaitu, Sang Permaisuri. Ia berencana akan menunjuk salah
seorang putrinya untuk menjadi ratu sebagai penggantinya dan
memerintah Kerajaan Pasir Batang. Sebagai raja yang
bijaksana, ia berpikir secara mendalam tentang keputusannya
ini. Ia sama sekali tidak mempunyai seorangpun putra
mahkota. Tujuh anak yang dilahirkan oleh permaisuri semua
perempuan. Lima di antaranya sudah menikah dengan para
pangeran dari kerajaan-kerajaan lainnya. Sementara dua putri
lainnya, yaitu Putri Purbararang dan Putri Purbasari belum
menikah, jadi masih tinggal di istana bersama mereka.
Setelah mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya, akhirnya
sampailah ia pada rencana untuk mengangkat Putri Purbasari
sebagai penggantinya untuk memerintah Kerajaan Pasir
Batang. Rencananya itu ia sampaikan kepada seluruh kerabat
dekat istana dan para pembesar kerajaan. Semua orang
menyetujui rencana Prabu Tapa Agung dan memuji
kebijaksanaannya, kecuali Putri Purbararang dan Raden
Indrajaya yang merupakan tunangan Putri Purbararang.

Ambisi dan Kesalahan Putri Purbararang


Putri Purbararang yang merasa sebagai putri sulung jauh lebih berhak untuk
mendapatkan kehormatan sebagai pengganti Prabu Tapa Agung. Selain itu,
hidup sebagai ratu bagi Putri Purbararang bermakna harta dan kekuasaan.
Demikian juga calon suaminya, Raden Indrajaya yang merupakan putra salah
seorang menteri istana. Namun, keputusan Prabu Tapa Agung sudah bulat.
Putri Purbasari adalah calon ratu, penggantinya kelak jika ia akan mundur dari
tampuk kepemimpinan Kerajaan Pasir Batang.
Akhirnya, Putri Purbararang yang marah dan kesal dengan keputusan Prabu
Tapa Agung, pergi menemui seorang dukun sakti. Ia akan menggagalkan
semua rencana penobatan Putri Purbasari sebagai ratu. Ni Ronde nama
perempuan tua itu. Ia adalah seorang dukun jahat yang dapat melakukan
pekerjaan apapun asal diberi imbalan yang besar.
Penderitaan Putri Purbasari
Sihir yang dilakukan oleh Ni Ronde sangat mengerikan. Dalam semalam,
Putri Purbasari terkena teluh berupa penyakit kulit yang menjijikkan. Seluruh
wajah, tubuh, hingga ujung kakinya melepuh dan bernanah. Penyakit itu
menimbulkan aroma busuk. Tidak ada tabib yang dapat mengobati
penyakitnya itu. Semua menyerah.
Setelah itu, menghadaplah Putri Purbararang kepada Prabu Tapa Agung.
Bersama Raden Indrajaya, ia menghasut Prabu Tapa Agung untuk
mengasingkan Putri Purbasari ke hutan. Menurut Putri Purbararang dan
Raden Indrajaya, tidaklah mungkin Putri Purbasari menggantikan
ayahandanya itu menjadi raja. Putri Purbasari, menurut Putri Purbararang
memang tidak seharusnya menjadi ratu karena hanya seorang putri bungsu.
Justru Putri Purbararang-lah yang paling berhak dianugerasi tampuk
kekuasaan kerajaan Pasir Batang. Putri Purbararang merasa berhak menjadi
ratu karena ia adalah putri sulung. Menurut Putri Purbararang dan Raden
Indrajaya, pastilah Putri Purbasari telah terkena kutukan karena menyalahi
kebiasaan kerajaan-kerajaan dari zaman dulu: yang paling berhak dinobatkan
sebagai raja atau ratu adalah anak sulung, bukan anak bungsu.
Berkat kepandaian Putri Purbararang dan Raden Indrajaya berbicara,
akhirnya Prabu Tapa Agung dan Permaisuri berhasil dipengaruhi. Putri
Purbasari kemudian diasingkan ke hutan. Hati Prabu Tapa Agung dan
Permaisuri sangat sedih. Putri Purbasari adalah putri yang paling dikasihinya
karena sopan-santun, kecerdasan, dan sifat-sifat baiknya, kini harus pergi
diasingkan ke hutan yang penuh dengan binatang-binatang buas. Namun,
Prabu Tapa Agung harus melakukannya. Bisa saja kata-kata Putri
Purbararang benar. Jika Putri Purbasari memang terkena kutukan, maka ia
harus dijauhkan dari istana dan kerajaan. Bisa saja penyakit itu sangat
menular dan membahayakan seluruh rakyat kerajaan Pasir batang.

Putri Purbasari dan Persahabatannya dengan Binatang Hutan


Kepada patih kepercayaannya yang bernama Uwak Batara Lengser,
Prabu Tapa Agung menyerahkan Putri Purbasari untuk diasingkan ke
hutan yang berada di luar wilayah kerajaan Pasir Batang. Ia meminta
Uwak Batara Lengser untuk membuatkan pondok yang kokoh, meskipun
sederhana untuk Putri Purbasari. Maka demikianlah, Putri Purbasari
ditinggalkan di sebuah hutan yang lebat, jauh dari istana.
Di mana seorang yang baik hatinya, dan bagaimanapun rupanya, akan
mudah diterima oleh lingkungannya berada. Demikian juga dengan Putri
Purbasari. Berada di hutan justru membuatnya dekat dan akrab dengan
binatang-binatang. Tidak ada hewan buas yang jahat kepadanya. Justru
mereka selalu melindungi Putri Purbasari. Ia tak pernah kelaparan,
karena beraneka ragam buah-buahan dan umbi-umbian disediakan oleh
binatang-binatang sahabatnya.
Salah satu binatang yang paling sering membawakan makanan untuk
Putri Purbasari adalah seekor lutung, yang tidak lain adalah Lutung
Kasarung, yaitu jelmaan Sanghyang Guruminda. Lutung yang dapat
berbicara itu sangat baik kepadanya. Tidak hanya mengantarkan
makanan, lutung yang gerak-geriknya selalu menarik perhatian Putri
Purbasari itu setia menemaninya ke mana-mana. Bersama lutung itu
Putri Purbasari tak pernah merasa kesepian.
Pada suatu hari, Putri Purbasari demikian rindu kepada ayahandanya
Prabu Tapa Agung, hingga ia menangis dan meratapi penyakit kulitnya
yang membuatnya dianggap terkena kutukan itu. Lutung Kasarung yang
mendengar ratapan Putri Purbasari segera mengerti siapa sebenarnya
gadis itu. Ia segera menyelinap pergi. Ia berdoa kepada Yang Maha
Kuasa untuk memberikan obat kesembuhan untuk Sang Putri Purbasari.
Dengan doa yang dipanjatkan oleh Sanghyang Guruminda atau Lutung
Kasarung ini, maka terciptalah sebuah telaga kecil. Segeralah Lutung
Kasarung menemui Putri Purbasari yang terlihat masih menangis
meratapi kerinduannya kepada ayahnya.
Keajaiban Telaga dan Pemulihan Kulit Putri Purbasari
Lutung itu kemudian berbicara dan meminta Putri Purbasari untuk mandi
dan berendam ke telaga tadi. Putri Purbasari tentu saja terkejut setelah
mengetahui bahwa Lutung Kasarung bisa berbicara seperti manusia.
Keajaiban itu tentu saja membuat Lutung Kasarung lebih mudah
meyakinkan Putri Purbasari agar mau berendam dan mandi di telaga
kecil. Putri Purbasari percaya, bahwa lutung-kera hitam legam berekor
panjang itu bukanlah binatang sembarangan. Ia pasti telah dikirimkan
oleh Yang Maha Kuasa untuk menolongnya.
Benar saja, setelah mandi dan berendam di air telaga kecil itu,
penyakit kulit yang menjijikkan dan beraroma busuk yang
diderita Putri Purbasari sembuh. Tidak ada bekas sama sekali
di wajah dan tubuhnya bahwa ia pernah terkena penyakit.
Bahkan, kulitnya menjadi lebih segar, cerah, dan halus dari
sebelumnya. Wajahnya yang memang cantik, dan kulitnya
yang semula memang mulus, menjadi lebih cantik dan mulus
lagi. Putri Purbasari gembira sekali. Ia sangat berterima kasih
kepada Lutung dan Yang Maha Kuasa.

Pemulangan Putri Yang Hilang dan Persaingan Hak Tahta

Di istana Kerajaan Pasir Batang, Prabu Tapa Agung dan


Permaisuri yang sangat merindukan Putri Purbasari akhirnya
memerintahkan para dayang dayang untuk menjenguk
keadaan Putri Purbasari. Setelah sampai di hutan tempat di
mana Putri Purbasari diasingkan, terkejutlah para dayang
dayang melihat keadaan Putri Pusrbasari yang telah sembuh
sama sekali dari penyakit kulit yang menjijikkan itu. ia
kemudian meyakinkan Putri Purbasari dan mengajaknya untuk
kembali ke istana. Awalnya Putri Purbasari menolaknya, tetapi
karena mendengar betapa ayahandanya Prabu Tapa Agung
sangat merindukannya, akhirnya ia menerimanya. Putri
Purbasari dengan ditemani oleh Lutung Kasarung kembali ke
istana Kerajaan Pasir Batang bersama para dayang dayang.
Kepulangan Putri Purbasari ke istana disambut dengan sangat
gembira oleh Prabu Tapa Agung, tetapi tentu sebaliknya
dengan Putri Purbararang dan Raden Indrajaya. Mereka
berdua merasa terancam posisinya. Benar saja, Prabu Tapa
Agung akan membuat pengumuman bahwa tahta kerajaan
akan segera diserahkan kepada Putri Purbasari.

Anda mungkin juga menyukai