Anda di halaman 1dari 2

MATERAI BUKAN SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebiasaan untuk berinteraksi dengan manusia
lainnya dalam suatu masyrakat. Hal ini yang membuat manusia semakin berkembang dalam
pergaulannya di dalam masyarakat. Meluasnya pergaulan manusia itu membuat manusia dalam
berinteraksi dengan sesamanya tidak dapat berperilaku sebebasnya meskipun setiap manusia
memiliki kehendak bebas masing-masing.

Dalam pergaulannya, manusia melakukan berbagai hubungan yang tentu melibatkan


orang lain, seperti hubungan perdata. Hubungan perdata bisa diwujudkan melalui perbuatan
hukum yaitu dengan adanya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), perjanjian yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat sering menggunakan meterai dalam membuat perjanjian. Mungkin kita sudah tidak
asing lagi dengan peribahasa “hitam di atas putih”, yang berartikan suatu kesepakatan yang
dituangkan menjadi tulisan di atas kertas. Perbuatan untuk menuliskan hitam (menggambarkan
tinta hitam sebuah pena) ke atas putih (menggambarkan warna sehelai kertas), dianggap sah
apabila pada bagian bawah kertas dibubuhkan tanda tangan salah satu pihak di atas materai.
Kontrak, akta, surat pernyataan, maupun surat keterangan yang tidak mencantumkan materai
sering dianggap belum memiliki kekuatan hukum. Pemahaman seperti ini menghasilkan persepsi
bahwa kehadiran materai dalam bentuk-bentuk dokumen tertulis seakan telah menjadi prasyarat
sahnya perjanjian yang berlaku di antara kedua belah pihak.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi 4
(empat) syarat, yaitu di dalamnya terkandung kesepakatan, kemampuan untuk melakukan
tindakan hukum oleh para pihaknya, adanya hal atau objek yang diperjanjikan, dan kehalalan
objek perjanjian. Keempat syarat ini berlaku baik bagi perjanjian yang dibuat dalam bentuk lisan
maupun tertulis. Kata sepakat diantara kedua belah pihak telah cukup untuk menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya. Para pihak yang telah sepakat dengan kehendaknya dapat membuat
perjanjian cukup dengan perkataan (lisan) maupun apabila dikehendaki dengan tertulis dalam
akta. Hukum mengakui kekuatan hukum perjanjian yang lahir dari perkataan sepakat kedua
belah pihak, terkecuali bagi perjanjian-perjanjian yang oleh undang-undang wajib dibuat secara
tertulis (formal) seperti perjanjian perdamaian dan perjanjian hibah. Dengan syarat pertama sah
nya perjanjian, kita telah dapat mengetahui bahwa materai bukanlah faktor determinan sah atau
tidaknya perjanjian. Karena, perjanjian yang berbentuk lisanpun diakui dan telah menimbulkan
akibat hukum selama ketiga syarat lainnya berupa kecakapan para pihak, adanya objek
perjanjian, dan kehalalan objek perjanjian telah terpenuhi.
Apabila materai bukan merupakan syarat sah perjanjian, maka apakah fungsi materai di
dalam suatu perjanjian? Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Materai menggariskan fungsi materai sebagai :

1. Pajak dokumen untuk dokumen-dokumen tertentu. Pemungutan pajak dokumen berarti


bahwa pembubuhan bea materai menjadi objek pemasukkan kas negara. Pajak yang
dipungut dari pembubuhan materai bersifat sebagai kontribusi wajib yang dibayarkan
warga negara kepada negara tanpa menutut adanya imbalan balik yang ditujukan untuk
keperluan negara. Sehingga, fungsi bea materai adalah sebagai tarif terhutang yang
menjadi sumber pendapatan negara. Perlu dipahami selanjutnya, bahwa Undang-Undang
Bea Materai dalam Pasal 2 dan Pasal 4 telah menentukan jenis-jenis dokumen yang
dikenakan bea materai dan jenis-jenis dokumen yang tidak dikenakan bea materai.
2. kekuatan legalitas dokumen yang akan dijadikan sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Bea Materai, dokumen yang akan semula
tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya, namun akan digunakan sebagai alat
pembuktian, wajib dilakukan pemateraian kemudian.

Perjanjian atau surat pernyataan yang tidak dibubuhkan materai tidak menggeser
keabsahan atau sahnya kelahiran perjanjian atau surat pernyataan tersebut. Namun, untuk
keperluan pembuktian di pengadilan, Kepmenkeu No. 476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang
Pelunasan Bea Meterai dgn Cara Pemeteraian Kemudian mengamanatkan sang pemilik
perjanjian atau surat pernyataan untuk melakukan pemateraian dengan menggunakan Materai
Tempel yang selanjutnya disahkan oleh Pejabat Pos. Pemahaman ini penting oleh karena
walaupun bagi dokumen-dokumen yang seharusnya dikenakan bea materai menurut Pasal 2
Undang-Undang Bea Materai, namun oleh pemiliknya tidak dibubuhi materai, baik dalam
bentuk akta notaris, kontrak, akta yang dibuat oleh PPAT, surat berharga, atau surat yang
memuat nominal uang lebih dari 1,000,000 juta Rupiah, tidak menyebabkan dokumen tertulis
menjadi tidak sah atau batal demi hukum. Oleh karena, selama syarat sah perjanjian telah
terpenuhi, maka perjanjian tetap absah dan memiliki akibat hukum.

Dapat disimpulkan bahwa materai jelas bukanlah syarat sah perjanjian. Fungsi materai
terbatas sebagai kontribusi wajib yang harus dilunasi warga negara untuk setiap pembuatan
dokumen tertulis menurut peraturan perundang-undangan. Sedangkan, konsekuensi hukum dari
tidak dibubuhkannya materai ialah bahwa sang pemilik dokumen tertulis tersebut memiliki
kewajiban terutang berupa bea materai yang harus dilunasi dan dokumen tersebut tidak dapat
memiliki kekuatan legalitas sebagai alat pembuktian di persidangan.

Anda mungkin juga menyukai