Anda di halaman 1dari 9

SLIDE ANATOMI

Kelopak atau palpebra merupakan bagian mata yang berfungsi sebagai proteksi mekanikal bola
mata, mencegah cahaya berlebihan memasuki mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjar yang
akan membentuk tear film di depan kornea yang berfungsi untuk menghambat terjadinya
evaporasi dan melumasi seluruh permukaan mata saat mata berkedip.

Palpebra memiliki panjang sekitar 25-30 mm dengan lebar sekitar 2 mm.


Palpebra dibagi menjadi margin anterior dan posterior oleh garis abu-abu yang dikenal sebagai
mucocutaneous junction.

Pada bagian anterior terdiri atas


- bulu mata yang menonjol dari tepi kelopak mata dan tersusun beraturan
- kelenjar zeis yang merupakan modifikasi dari kelenjar sebasea dengan ukuran kecil yang
terhubung dengan folikel di dasar bulu mata,
- kelenjar moll merupakan modifikasi dari kelenjar keringat yang berjajar di dekat pangkal
bulu mata

Pada bagian posterior berhubungan dengan bola mata dan disepanjangnya terdapat modifikasi
kelenjar sebasea yang dikenal dengan kelenjar meibom.

Pada posisi istirahat, normalnya palpebra superior berada 2 mm dibawah limbus superior,
sedangkan untuk palpebra inferior, posisinya sejajar atau tepat diatas limbus inferior.

PART 2
Palpebra terdiri dari beberapa bagian yang tersusun dari beberapa lapisan yaitu
 Lapisan kulit yang sangat tipis dan bulu mata yang tersusun teratur dalam 2-3 baris di
sepanjang tepi kelopak yang mengalami pergantian setiap 4-6 bulan. Follikel bulu mata
memiliki kelenjar keringat apokrin (Kelenjar Moll) dan kelenjar sebasea (Kelenjar
Zeis).
 Otot protraktor (musculus orbicularis oculi). Merupakan otot lurik yang terdiri dari
beberapa bagian yaitu pars orbital (menutup mata), pars preseptal (berperan dalam
pompa lakrimal), dan pars pretarsal (berkedip dan berperan dalam pompa lakrimal),
diinervasi oleh N.VII. Fungsi dari otot ini ialah untuk menutup mata dan berperan
dalam mekanisme pompa lakrimal.
 Orbital Fat. Merupakan bantalan lemak pre aponeurotik yang merupakan perpanjangan
dari lemak orbita dan terletak tepat di belakang septum orbita.
 Septum orbita dan Tarsal. Septum orbita merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak
depan. Septum akan menuju ke margin palpebra dan menebal membentuk lempeng
tarsal.
 Retraktor kelopak mata terdiri dari M. levator palpebra superior yang diinervasi oleh
nervus III dan musculus tarsalis superior (otot Muller) sebagai refraktor aksesori yang
disuplai oleh sistem simpatis. Fungsi otot ini ialah mengangkat kelopak mata atau
membuka mata.
 Konjungtiva palpebra yang memiliki epitel bentuk squamous bertingkat yang
mengandung sel goblet untuk menghasilkan musin yang merupakan salah satu
komponen pada tear film

●Selain itu terdapat pula beberapa kelenjar pada palpebra:


 Kelenjar meibom yang dikenal sebagai kelenjar tarsal terletak di dalam stroma lempeng
tarsal dan tersusun secara vertikal. Yang merupakan modifikasi dari kel sebasea dengan
saluran yang terbuka ke arah margin palpebra dan menghasilkan lapisan lipid dari tear
film
 Kelenjar zeis merupakan modifikasi dari kelenjar sebasea dengan saluran terbuka ke
arah folikel bulu mata, berukuran kecil, dan juga berfungsi menghasilkan lapisan lipid
dari tear film.
 Kelenjar moll merupakan modifikasi kelenjar keringat yang berdekatan dengan folikel
bulu mata, menghasilkan air
 Kelenjar Lakrimal aksesoris (Wolfring). Letaknya dekat dengan batas atas lempeng
tarsal. Kelenjar ini berjumlah 2-5 buah di atas tarsus superior dan berjumlah dua buah
di pinggir bawah tarsus inferior.

DEFINISI

Infeksi kelopak mata atau blefaritis adalah infeksi atau peradangan yang sering terjadi pada
palpebra baik itu letaknya tepat di kelopak ataupun pada tepi kelopak mata. Blefaritis dapat
disebabkan oleh infeksi ataupun alergi yang biasanya berjalan kronis atau menahun.

EPIDEMIOLOGI
Blefaritis merupakan penyakit mata yang paling umum terjadi. Blefaritis dilaporkan sekitar
5% dari keseluruhan penyakit mata yang ada pada rumah sakit (sekitar 2-5% penyakit blefaritis
ini dilaporkan sebagai penyakit penyerta pada penyakit mata). Blefaritis lebih sering muncul
pada usia tua tapi dapat terjadi pada semua umur. Tidak ada penelitian yang diketahui
menunjukkan dengan baik tentang perbedaan insiden dan gambaran klinis blefaritis antara jenis
kelamin dan ras yang telah ditemukan.

Jumlah total kasus di AS berdasarkan survei tahun 2009, terdapat 47% pasien yang diperiksa
oleh dokter mata memiliki tanda-tanda blefaritis.

Sebuah studi yang dilakukan selama 1 dekade dari tahun 2004 hingga 2013 di Korea Selatan,
diperoleh bahwa insiden keseluruhan menjadi 1,1 per 100 orang per tahun. Ini meningkat
seiring waktu dan lebih tinggi pada pasien wanita. Prevalensi keseluruhan untuk pasien di atas
40 tahun adalah 8,8%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Mata Provinsi Sulawesi Utara periode
Juni 2017-Juni 2019 didapatkan sekitar 78 dari 546 orang (14,29%) menderita blefaritis dan
didapatkan distribusi kasus lebih banyak terjadi pada perempuan (51.9%) dibandingkan dengan
laki-laki (48.1%). Untuk rentang umur paling tinggi adalah yang berumur diatas 60 tahun
(29.6%).

ETIOLOGI
Penyebab pasti blefaritis hingga saat ini belum diketahui pasti namun kemungkinan disebabkan
oleh kondisi multifaktorial. Blefaritis dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun inflamasi.
Faktor infeksi terdiri dari :
 Blefaritis infeksi paling sering disebabkan oleh bakteri dan bakteri yang paling sering
adalah stafilokokus sp.
 Blefaritis juga bisa disebabkan oleh virus namun jarang terjadi, contohnya infeksi
Herpes simpleks dan Varicella zoster.
 Bisa juga disebabkan oleh fungi / jamur (biasanya dijumpai pada pasien yang
imunokompromais
 Tungau atau parasit juga bisa menyebabkan blefaritis. Blefaritis anterior (Demodex
folliculorum) dan posterior (Demodex brevis).
Faktor inflamasi terdiri dari :
 penyakit seboroik utamanya di wajah dan kulit kepala.
 Disfungsi kelenjar Meibom menyebabkan terjadinya blefaritis posterior akibat
mengeluarkan zat minyak secara berlebihan sehingga kelenjar meibom membesar dan
menyumbat saluran keluar pada kelenjar meibom tersebut.
 Blefaritis alergi dapat terjadi akibat debu, asap, bahan kimia iritatif, dan bahkan bahan
kosmetik
 Faktor hormonal juga dicurigai, umumnya terkait dengan jerawat rosacea. Biasanya
terjadi pada blefaritis anterior.

KLASIFIKASI
Blefaritis anterior merupakan inflamasi pada daerah sekitar pangkal bulu mata yang terdiri dari
staphylococcal dan seboroik.

Gejala klinis yang umumnya pada blefaritis anterior, berupa superficial discomfort, fotofobia
ringan, debris pada bulu mata, hiperemia pada tepi palpebra, madarosis, dan trikiasis. Gejala
lebih berat pada pagi hari,

Gejala spesifik yang lebih terlihat pada blefaritis stafilokokus adalah terdapatnya ulkus-ulkus
kecil di sepanjang tepi kelopak dan sering ditemukan krusta di sekitar pangkal bulu mata,
kerontokan bulu mata. Gejala iritasi kronis dan terbakar cenderung memuncak di pagi hari dan
menghilang menuju siang. Biasanya juga sering disertai konjungtivitis papiler ringan,
konjungtivitis hiperemis kronik, dan dry eye syndrome.

Gejala klinis pada blefaritis seboroik dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan blefaritis
stafilokokus atau MGD (Meiboman Gland Dysfunction). Peradangan yang terjadi berlokasi
pada tepi kelopak mata anterior, dengan bentuk “kerak” dan ketombe dengan konsistensi
berminyak, bulu mata yang saling menempel dan tepi kelopak mata anterior yang mengkilat.
Seperti pada infeksi stafilokokus terdapat juga hiperemis pada palpebra yang sifatnya kronis,
dapat disertai rasa terbakar, dan kadang dirasakan juga adanya sensasi benda asing pada mata.

KLASIFIKASI PART 2
Blefaritis posterior merupakan inflamasi pada bagian dalam palpebra, disebabkan oleh
disfungsi kelenjar meibom dan perubahan sekresi kelenjar meibom, bersifat kronis, bilateral,
dan dianggap sebagai kondisi inflamasi yang lebih persisten dibanding blefaritis anterior.
Blefaritis posterior biasanya ditemukan lebih sering pada usia dewasa muda dengan penyakit
rosacea dan dermatitis seboroik.
Gejala klinis pada blefaritis posterior dapat mengenai palpebra, air mata, konjungtiva, dan
kornea.
 Pada kelenjar meibom, dapat terjadi penebalan dan peradangan pada muara meibom
yang disebut dengan Meibomianitis, terjadi juga sumbatan pada muara kelenjar
meibom oleh secret yang kental menyerupai pasta gigi, dan penebalan margin palpebra
posterior, dan pelebaran kelenjar meibom pada lempeng tarsus. Gejala khusus lain yang
dapat terlihat pada blefaritis posterior adalah adanya telangiectasia pada tepi palpebra,
serta bentuk palpebral yang cenderung lebih bulat serta tergulung ke arah dalam.
 Perubahan yang terjadi pada air mata adalah bentuk air mata yang terlihat lebih berbusa
dan berlemak.
 Pada kornea bagian inferior terbentuk vaskularisasi perifer, dan kadang juga ditemukan
infiltrate marginal yang jelas.
 Pada eversi kelopak mata, tampak garis-garis vertikal kekuningan bersinar melalui
konjungtiva.

KLASIFIKASI PART 3

Disfungsi pada kelenjar meibom merupakan kondisi yang dapat ditemukan pada blefaritis
posterior. Diagnosis dari MGD (Meibomian Gland Dysfunction) didasarkan pada perubahan
anatomi yang terjadi, seperti obstruksi ductus terminal, perubahan kualitatif dan kuantitatif
pada kelenjar meibom, dan kejadian patologis yang mengarah ke MGD. International
Workshop on Meibomian Gland Dysfunction mengklasifikasikan derajat dan gejala klinis
disfungsi kelenjar meibom

KLASIFIKASI PART 4

PATOFISIOLOGI PART 1
Blefaritis anterior ditandai oleh inflamasi pada dasar bulu mata. Hal ini disebabkan karena dua
faktor utama, yaitu kolonisasi bakteri dan gangguan kelenjar Meibom. Kolonisasi bakteri
menyebabkan invasi mikroba ke dalam jaringan dan kerusakan akibat enzim dan toksin dari
bakteri tersebut.
Blefaritis anterior stafilokokus ditandai dengan adanya pembentukan krusta di bulu mata,
sedangkan blefaritis anterior seboroik ditandai dengan adanya kotoran seperti ketombe pada
garis batas kelopak mata dan kotoran-kotoran berminyak/greasy scales pada bulu mata.
Kolonisasi bakteri dapat menyebabkan blefaritis karena faktor-faktor berikut10:
o Proses infeksi pada palpebra
o Merangsang reaksi kelenjar Meibom terhadap eksotoksin bakteri
o Menyebabkan reaksi alergi terhadap antigen bakteri

PATOFISIOLOGI PART 2

Blefaritis posterior ditandai dengan adanya inflamasi pada bagian dalam palpebra di sekitar
kelenjar Meibom, sehingga sering kali disebut dengan gangguan kelenjar Meibom (meibomian
gland dysfunction/MGD). Blefaritis posterior muncul pada penyakit kulit seperti rosacea dan
dermatitis seboroik. Mekanisme utama yang terjadi pada blefaritis posterior adalah
ketidakstabilan lapisan air mata (tear film).

Pada tahap awal, terjadi hiperkeratinisasi pada epitel saluran kelenjar Meibom, sehingga
menyebabkan kelenjar Meibom menjadi tidak normal. Kelenjar Meibom yang abnormal
berakibat pada gangguan sekresi kelenjar yang menyebabkan instabilitas tear film dan
perubahan komposisi hasil sekresi. Sekresi kelenjar berubah menjadi lebih tinggi akan asam
lemak bebas/free fatty acid dan lemak tidak jenuh/unsaturated fat. Peningkatan lemak ini
menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, seperti Propionibacterium acnes,
Corynobacterium sp., dan Staphylococcus coagulase-negative. Bakteri-bakteri ini
memproduksi lipase yang memperparah ketidakseimbangan komposisi lemak pada hasil
sekresi kelenjar Meibom. Instabilitas tear film dan perubahan komposisi berkepanjangan
memberikan efek toksik pada okuler dan inflamasi kronis, sehingga menyebabkan fibrosis,
disfungsi kelenjar Meibom, dan kerusakaan permukaan okuler serta palpebral

ANAMNESIS
BACA SLIDE

PEMFIS
- Kulit. Perubahan pada kulit di kelopak mata dan sekitarnya, yaitu adanya eritema,
telangiectasia, papul, pustule, dan kelenjar sebasea yang hipertropik pada area malar
- Kelopak Mata. Abnormalitas kelopak mata seperti ektropion dan entropion, gangguan
penutupan kelopak mata, respon berkedip dan kelemahan kelopak mata
- Kerontokan dan arah tumbuh bulu mata yang abnormal
- Vaskularisasi atau terdapatnya pinggir kelopak mata yang hiperemi
- Abnormal deposit pada akar bulu mata
- Ulserasi
- Vesikel
- Hiperkeratosis atau adanya kerak pada kelopak mata
- Kalazion atau Hordeolum

SLIT LAMP
BACA SLIDE

PENUNJANG

Belum ada pemeriksaan penunjang yang spesifik dalam menegakkan diagnosis blefaritis. Pada
umumnya tanda dan gejala yang dialami pasien pun sering tumpang tindih antara blefaritis
stafilokokus, blefaritis seboroik, dan blefaritis posterior/disfungsi kelenjar meibom.

 Pemeriksaan kultur bakteri pada tepi kelopak mata diperlukan pada pasien yang
mengalami blefaritis anterior berulang dengan inflamasi yang berat, dan juga pasien
yang tidak merespon terhadap pengobatan yang diberikan.
 Teknik pemeriksaan biologi molekular seperti pemeriksaan PCR lebih akurat pada
deteksi dini pada infeksi mata. Pemeriksaan PCR mampu mendeteksi mikroba yang
susah dideteksi dengan pemeriksaan kultur dan lebih cocok dengan jumlah spesimen
dengan volume kecil. Kemungkinan karsinoma juga harus menjadi pertimbangan pada
pasien dengan blefaritis kronis yang tidak merespon terhadap terapi, terutama jika
hanya satu mata yang mengalami keluhan. Biasa pasien ini akan memiliki perubahan
struktur konjungtiva pada mata yang terkena. Biopsi pada kelopak mata juga perlu
dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan karsinoma.
 Dapat dilakukan juga pemeriksaan mikroskopik dengan apusan gram bakteri dan
pewarnaan giemsa. Namun, sensitivitas dari teknik konvensional ini masih memiliki
keterbatasan dalam beberapa faktor, yaitu rendahnya inoculum bakteri pada specimen
yang diambil, terpisahnya mikroorganisme pada permukaan intaokuler dan capsul,
riwayat penggunaan antibiotik, waktu yang panjang dalam pengembangan bakteri dan
pertumbuhan yang tidak wajar pada beberapa spesimen bakteri.
 Meibography merupakan pemeriksaan non invasif untuk melihat kerusakan anatomi
pada pasien blefaritis posterior dengan menggunakan infra red. Pemeriksaan
meibografi dapat membantu menilai kerusakan pada kelenjar meibom pada pasien
dengan blefaritis posterior, mengetahui sejauh mana kerusakan yang terjadi, dapat
menunjang pemilihan pengobatan yang lebih tepat pada masing masing pasien dengan
blefaritis posterior.

Pemeriksaan penting lainnya pada blefaritis posterior, dimana terjadi disfungsi dari kelenjar
meibom adalah menilai adanya perubahan pada tepi kelopak mata dan ekspresi kelenjar
meibom. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan penekanan pada bagian bawah kelopak
mata dengan menggunakan jari atau cotton bud. Setelah itu dilakukan penilaian hasil ekspresi
dari kelenjar meibom. Pemeriksaan lebih detail menggunakan interferometer yang dapat
mengevaluasi ketebalan lapisan lemak pada air mata. Pasien dengan nilai interferometry yang
rendah dilaporkan lebih memiliki gejala sindrom dry eye yang lebih besar.

PERBEDAAN
BACA SLIDE

TATALAKSANA
Non medikamentosa :
●kompres hangat biasanya dilakukan pada kelopak mata selama beberapa menit untuk
melunakkan kerak atau ketombe yang lengket sekaligus menghangatkan sekresi dari kelenjar
meibom. Kompres hangat dengan menggunakan handuk yang bersih lalu dibasahi dengan air
hangat memberikan hasil yang lebih baik daripada menggunakan heat pack.
●lid hygiene : pemijatan lembut pada kelopak mata secara vertikal dengan menggunakan 0,01
hypochlorus acid yang memiliki efek antimikroba kuat yang telah banyak digunakan dalam
penanganan blefaritis anterior. Setelah itu kelopak mata dapat digosok dengan lembut dari sisi
satu ke lainnya untuk membersihkan sisa ketombe pada bulu mata dengan menggunakan
sampo bayi atau pembersih kelopak mata khusus diatas kapas lembut, cotton ball, atau jari
tangan yang bersih. Dalam sebuah studi meta analisis oleh Canadian Ophthalmology Society,
disebutkan bahwa pilihan pembersih kelopak mata yang bisa digunakan dalam kasus blefaritis
sangat bervariasi, mulai dari produk yang umum dipakai di rumah tangga, produk dengan
bahan tea tree oil, produk sampo bayi, dan produk pembersih berbahan organik. Membersihkan
kelopak mata dengan regimen tersebut memberikan hasil yang baik pada penggunaan selama
1-2 bulan, namun belum ada satu produk yang memiliki potensi yang lebih unggul dari yang
lainya.

Medikamentosa
 Antibiotika bisa topikal maupun oral. antibiotik ini terbukti mempunyai efek untuk
meringankan gejala dan efektif dalam menurunkan infeksi bakteri pada kelopak mata
pada kasus blefaritis anterior.
Pilihan antibiotika topikal : salep mata bacitracin atau eritromisin bisa juga azitromisin
topikal, atau levofloxacin topikal. dapat dioleskan pada kelopak mata 1-2 kali sehari
pada saat menjelang tidur selama beberapa minggu.
Oral : doksisiklin (50-100 mg 2 kali sehari selama 1 minggu kemudian sekali sehari
selama 6-24 minggu), tetrasiklin atau azitromisin (500 mg perhari selama 3 hari
sebanyak 3 siklus dengan interval 1 minggu). Tetrasiklin lebih efektif untuk blefaritis
posterior dan azitromisin untuk blefaritis anterior.

 Topikal kortikosteroid digunakan pada pasien blefatitis dengan gejala inflamasi yang
berat. Kotikosteroid topical dapat berupa salep yang dioleskan pada kelopak mata atau
tetes mata, digunakan sebanyak beberapa kali dalam sehari. Setelah keadaan inflamasi
berkurang penggunaan kortikosteroid topikal dapat dihentikan dan digunakan kembali
secara intermiten sesuai dengan gejala yang timbul. Pemilihan kortikosteroid yang baik
adalah dengan dosis minimal yang efektif dalam jangka waktu sependek mungkin.
Karena kortikosteroid memiliki efek samping yaitu peningkatan TIO dan katarak. Efek
samping ini dapat ditekan dengan penggunakan site selective corticosteroid seperti
loteprednol etabonate dan topical kortikosteroid dengan penetrasi rendah pada mata
seperti fluorometholone
Kombinasi antibiotik/kortikosteroid topikal sangat efektif dalam pengobatan
blepharitis karena infeksi bakteri pada kelopak mata dan permukaan mata serta
peradangan biasanya terjadi bersamaan. Meskipun demikian, kita juga perlu
memperhatikan efek samping yang dapat ditimbulkan dalam penggunaan jangka
panjangnya.

 Blefaritis biasanya disertai dengan dry eye, sehingga untuk mencegah atau mengatasi
masalah ini, dapat ditambahkan dengan artificial tear
 Pengobatan lainnya : siklosporin atau calcineurin inhibitor juga dapat digunakan dalam
pengobatan blefaritis. Siklosporin dinilai mampu menurunkan gejala eritema pada tepi
kelopak mata, inklusi kelenjar meibom, dan telangiektasia pada pasien dengan
blefaritis. Namun belum terdapat penelitian lebih lanjut mengenai efikasi dan keamanan
siklosporin dibandingkan dengan regimen pengobatan blefaritis lainnya.
 Intensed Pulse Light merupakan salah satu terapi intervensi untuk mengatasi disfungsi
kelenjar meibom pada blefaritis posterior. Terapi ini dilakukan dengan memancarkan
cahaya dengan panjang gelombang antara 515 hingga 1200 nm tergantung tujuan dari
terapi IPL yang dilakukan. Sesi terapi ini dilakukan selama 3-5 menit dengan intensitas
secara bertahap dari 2 minggu sampai 2-4 bulan. Pada kasus blefaritis posterior
diharapkan terapi ini dapat mengurangi gejala telangiektasis pada kelopak mata.

KOMPLIKASI

Konjungtivitis dapat terjadi sebagai komplikasi blefaritis dan memerlukan perawatan


tambahan selain terapi tepi kelopak mata. Solusio antibiotik dan kortikosteroid dapat sangat
mengurangi peradangan dan gejala konjungtivitis.

Blefaritis juga dapat menyebabkan keratitis. Keratitis dapat diobati dengan tetes solusio
antibiotik-kortikosteroid. Apabila hingga terdapat ulkus maka untuk ulkus marginal yang kecil
dapat diobati secara empiris, tetapi ulkus yang lebih besar, paracentral, atau atipikal harus
dikerok dan spesimen dikirim untuk slide diagnostik dan untuk uji kultur dan sensitivitas.
Komplikasi steroid topikal seperti katarak, glaukoma, dan reaktivasi virus harus tetap dipantau.

Inflamasi dan jaringan parut yang berulang dari blepharitis dapat menyebabkan penyakit
berkaitan dengan posisi kelopak mata. Trichiasis dan bentukan kelopak mata lainnya kemudian
dapat menyebabkan keratitis dan komplikasi yang lebih parah. Kondisi ini seringkali sangat
sulit untuk dilakukan langkah-langkah manajemen sederhana. Trichiasis diobati dengan
pencukuran bulu, penghancuran folikel melalui arus listrik, laser, atau cryotherapy, atau dengan
eksisi bedah. Entropion atau ektropion dapat berkembang dan memperumit situasi klinis.
PROGNOSIS
Secara keseluruhan, prognosis penyakit Blefaritis adalah baik. Meskipun eksaserbasi penyakit
ini membuat pasien merasa tidak nyaman, pasien mampu memiliki hidup yang normal dan
sehat tanpa ketakutan kehilangan penglihatan yang permanen. Sedangkan pada kasus blefaritis
kronis dapat terjadi berulang dan dapat menjadi resisten terhadap pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai