Anda di halaman 1dari 3

KEAMANAN BERBASIS DIGITAL BELUM OPTIMAL

YOGYAKARTA - Kebocoran data penduduk Indonesia terjadi karena informasi rahasia, sensitif, dan
dilindungi jatuh ke pihak-pihak yang tidak memiliki kewenangan untuk memilikinya. Hal ini tentu
sangat merugikan para pemilik data (penduduk).

Karena itu, perlu segera dibuka posko pengaduan kebocoran data. Dengan demikian, warga yang
dirugikan akibat kebocoran data kependudukan ini dapat segera melapor sehingga bisa segara
ditangani.

(Dr. Yudi Prayudi, M.Kom, Kepala Pusat Studi Forensika Digital FTI Universitas Islam Indonesia -
Suara Merdeka, Selasa 25 Mei 2021)

PENGELOLAAN DATA JANGAN MAIN-MAIN

Mengacu pada peraturan pemerintah, setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menerapkan
prinsip-prinsip perlindungan data pribadi. Jika gagal melindungi data pribadi, dapat dijatuhi sanksi
administrasi.

JAKARTA - Menyusul dugaan kebocoran data pengguna aplikasi e-HAC yang dikelola Kementerian
Kesehatan, pemerintah diminta lebih serius dalam melindungi data pemerintah, apalagi data pribadi
warga negara. Terlebih di tengah pandemi Covid-19, sejumlah program penanganan terintegrasi
secara digital.

(Kompas, Jumat 3 September 2021)


SETENGAH HATI MELINDUNGI DATA PRIBADI

Berulangnya kebocoran data pribadi warga negara seolah belum menyadarkan elite bahwa ada
persoalan serius perlindungan data pribadi. Padahal, pada era digital, data pribadi menjadi
komoditas yang bisa dieksploitasi demi motif ekonomi, politik, hingga serangan ideologi negara.

Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan dengan bocornya 1,3 juta data pribadi di aplikasi e-HAC
(Electronic Health Alert Card) yang dikelola Kementerian Kesehatan. Aplikasi itu digunakan untuk
memantau mobilitas warga selama pandemi Covid-19. Tak berselang lama, nomor induk
kependudukan Presiden Joko Widodo yang ada di situs Komisi Pemilihan Umum dan sertifikat
vaksinasinya juga tersebar di dunia maya. Jauh sebelum itu, kebocoran data pribadi juga pernah
terjadi di aplikasi Tokopedia, Bukalapak, BPJS Kesehatan, situs KPU, dan lain-lain.

(Kompas, Jumat 10 September 2021)

PASAL MULTITAFSIR DALAM UU ITE DIPERJELAS

Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang


Informasi dan Transaksi Elektronik akhirnya masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas
tahun 2021. Melalui revisi itu pemerintah akan memperjelas perbuatan pidana sehingga diharapkan
tak ada lagi pasal-pasal muttitafsir.

Kesepakatan revisi UU ITE masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 diambil dalam rapat kerja Badan
Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di Gedung Nusantara I,
Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/9/2021).

Kompas, 16 September 2021)


APA YANG HARUS DILAKUKAN

 Jangan mudah memberikan data pribadi, apa lagi dengan tujuan yang tidak jelas.
 Tidak memosting content yang sumbernya tidak jelas.
 Meng-update kecakapan digital, terlebih yang terkait dengan fitur keamanan.
 Mematuhi ketentuan hukum yang ada.
 Mendorong lahirnya regulasi yang melindungi data pribadi.

CONTENT NEGATIF DI SEKITAR KITA

 Informasi yang kurang akurat


 Perbedaan persepsi dan kepentingan
 Hoax yang sengaja disebarkan
 Kejahatan menggunakan media digital
 Sistem digital yang tak terjamin aman

KERUGIAN JIKA DATA PRIBADI BOCOR

Kerugian Ekonomi:

Penipuan, pemalsuan, perjudian.

Kerugian Politik:

Bulliying, hoax, fitnah, adudomba.

Kerugian Sosial/Budaya:

Konflik, salahfaham, nama baik

KESIMPULAN

 Sistem digital rawan penyalahgunaan data, termasuk data pribadi.


 Belum ada sistem perlindungan yang cukup aman secara teknis maupun hukum.
 Pengguna media digital harus pandai melindungi dirinya sendiri. Pemerintah dan negara
berkewajiban untuk melindungi data warganegara agar tidak disalahggnakan.

Anda mungkin juga menyukai