Anda di halaman 1dari 11

H. A.

S Hanandjoeddin: Tokoh Revolusioner dari Belitung

Haji Ahmad Sanusi Hanandjoeddin, atau lebih dikenal dengan H. A. S Hanandjoeddin, merupakan tokoh militer
Indonesia yang berperan besar dalam peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II. Lahir pada 5 Agustus 1910 di
Tanjung Tikar, Bangka Belitung, perjalanan hidupnya menjadi inspirasi bagi banyak orang karena dedikasinya
dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Namanya kini diabadikan sebagai nama Bandar Udara
Internasional di Tanjung Pandan, Bangka Belitung, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam perjuangan
tersebut.
Awal Kehidupan H.A.S. Hanandjoeddin
Pada tahun 1931, H.A.S. Hanandjoeddin menempuh pendidikan di Ambacht School (Sekolah Pertukangan) di
Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung. Setelah lulus, ia menjadi karyawan teknik di Gemeenschappelijke
Mijnbouwmaatschappij Billiton (GMB), sebuah perusahaan Belanda. Dari sini, kariernya terus berkembang, dan ia
ditugaskan di Naamloze Venootschap Indische Bauxit Exploitatie Maatschappij (NV NIBEM) di Pulau Bintan.
Namun, tak lama setelah tanda tangan kontrak kerja di NIBEM, ia dipanggil kembali ke Belitung.
Hanandjoeddin kemudian pindah ke Bandung dan bekerja di Wolter&Co. Di kota ini, ia mulai terlibat dalam dunia
politik dan bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra). Selain kariernya di dunia industri, semangat
nasionalismenya pun semakin berkobar.
Kiprah Militer dalam Perjuangan Kemerdekaan
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, H.A.S. Hanandjoeddin pindah ke Malang dan bergabung
dengan Ozawa Butai (Satuan Permukaan Darat Jepang), di mana ia menjadi Hancho atau pemimpin kelompok.
Setelah tiga tahun, ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, Ozawa Butai dibubarkan. Pada
saat itu, Indonesia sudah merdeka, dan H.A.S. Hanandjoeddin bersama Kelompok Pemuda Bagian Udara
bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Malang.
Kelompok ini kemudian berganti nama menjadi Divisi III Jawa Timur dan pada Oktober 1945, berubah lagi
menjadi BKR Udara (BKRO) Malang, yang akhirnya menjadi Tentara Keamanan Rakyat. Di BKRO Malang,
Hanandjoeddin menjabat sebagai pelaksana teknis lapangan dan bersama dengan teknisi lainnya berhasil
memperbaiki pesawat-pesawat peninggalan Jepang, seperti Cukiu 003 dan Cukiu 004.
Perannya dalam Agresi Militer Belanda I dan II
Dalam peristiwa Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, H.A.S. Hanandjoeddin dan anggota teknik lainnya
berhasil menyelamatkan 15 pesawat yang ada di Pangkalan Udara Bugis. Ia kemudian ditunjuk sebagai Komandan
Pertempuran Sektor I STC III Front Malang Timur dan Komandan Pertempuran Sektor II. Namun, Perjanjian
Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 mengakibatkan mundurnya Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dari Jawa Barat dan Jawa Timur.

Yusuf / Kelas V-A


H.R. Rasuna Said, Wanita Pejuang Kemerdekaan dari Ranah Minang

Biografi
Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga bangsawan
Minangkabau di mana ayahnya yang bernama Muhamad Said merupakan seorang
saudagar Minangkabau sekaligus juga seorang aktivis.

Pendidikan
Pendidikan awal Rasuna Said dimulai sejak Sekolah Dasar (SD) lalu berlanjut ke
pesantren Ar-Rasyidiyah di mana ia menjadi satu-satunya santri perempuan. Di sana
ia dikenal sebagai insan yang cerdas, pemberani, dan berbakat. Setelah itu,
pendidikannya berlanjut di Diniyah Putri Padang Panjang.
Rasuna Said merupakan sosok yang sangat memperhatikan pendidikan kaum
perempuan. Hal tersebut dibuktikan dengan dirinya pernah menjadi guru di Diniyah
Putri. Namun, pada tahun 1930, Rasuna Said memutuskan untuk berhenti mengajar
karena ia berkeyakinan bahwa kemajuan kaum perempuan tak hanya dapat dicapai
melalui pendidikan formal, namun juga melalui perjuangan politik.

Kiprah dalam melawan Belanda


Rasuna Said memulai perjuangan politiknya dengan aktif di Sarekat Rakyat (SR)
sebagai sekretaris cabang. Kemudian, ia bergabung dengan Soematra Thawalib dan
bersama-sama mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) pada tahun 1930.
Tidak hanya terlibat dalam organisasi tersebut, Rasuna Said juga ikut mengajar di
sekolah-sekolah yang didirikan oleh PERMI. Bahkan, ia mengambil langkah lebih
jauh dengan mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri
serta Kursus Normal di Bukittinggi.
Selama keterlibatannya di PERMI, Rasuna Said memiliki reputasi sebagai orator
ulung yang tak segan mengecam pemerintahan Belanda. Keberaniannya ini
mencatatkan namanya sebagai wanita pertama yang dijerat hukum Speek
Delict karena berani berbicara menentang penjajahan Belanda. Pada tahun 1932,
Rasuna Said bersama teman seperjuangannya, Rasimah Ismail, ditangkap dan
dipenjara di Semarang.
Setelah bebas dari jeruji besi, pada tahun 1935 Rasuna Said menjadi pemimpin
redaksi majalah Raya di Sumatera Barat. Rasuna Said dikenal dengan tulisan-
tulisannya yang tajam sehingga majalah “Raya” pada saat itu dianggap radikal.
Polisi rahasia Belanda berhasil mempersempit ruang geraknya sehingga Rasuna
Said memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara. Tahun 1937, Rasuna mendirikan
Perguruan Putri di Medan dan juga menerbitkan majalah mingguan bernama
“Menara Poeteri.”
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda
Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia kemudian duduk di kursi Dewan
Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat. Setelah itu, ia menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), dan
Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga akhir
hayatnya.
H.R. Rasuna Said adalah contoh teladan dari seorang wanita yang tak hanya
memperjuangkan pendidikan dan kemajuan kaum perempuan, tetapi juga
memainkan peran besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karena
jasa-jasanya, ia sangat dihormati dan pada 1974 diakui sebagai Pahlawan Nasional
berdasarkan SK Presiden RI No: 084/TK/Tahun 1974. Nama besar Rasuna Said akan
selalu dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa.

Reisyah Dwi Damayanti / Kelas V-A


Jendral Soedirman

Biografi Jenderal Sudirman.


Dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia, jasa-jasanya sangat dikenang dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Jenderal Besar Soedirman menurut Ejaan Soewandi dibaca Sudirman, Ia merupakan
salah satu orang yang memperoleh pangkat bintang lima selain Soeharto dan A.H Nasution. Jenderal besar
Indonesia ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Ayahnya bernama Karsid
Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem. Namun ia lebih banyak tinggal bersama pamannya yang bernama Raden
Cokrosunaryo setelah diadopsi. Ketika Sudirman pindah ke Cilacap di tahun 1916, ia bergabung dengan organisasi
Islam Muhammadiyah dan menjadi siswa yang rajin serta aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam Islam menjadikan ia dihormati oleh
masyarakat. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah
dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal.
Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatar belakang seorang
guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.

Melakukan Perang Gerilya


Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama
tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan
sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada.
Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan
penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang
secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari
bahaya kelaparan.
Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda,
34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Berikut Ini Data Lengkap Tentang Jendral Besar Soedirman


Pengalaman Pekerjaan:

· Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap


· Pengalaman Organisasi:
· Kepanduan Hizbul Wathan

Jabatan di Militer:

· Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima


· Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
· Komandan Batalyon di Kroya
Tanda Penghormatan:

· Pahlawan Pembela Kemerdekaan

Muhammad Abid Aqil / Kelas V-A

Raden Dewi Sartika Pahlawan Pendidikan Perempuan

1. Lahir dari Keluarga Pejuang Kemerdekaan


Raden Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1884 di daerah Cicalengka, Jawa Barat. Dewi Sartika kecil
menempuh pendidikan di Cicalengka, tempat para murid cerdas belajar. Kecintaannya terhadap pendidikan
membuatnya seringkali mengajak anak gadis pelayan di rumahnya untuk ikut bermain “sekolah-sekolahan”.
Spiritnya ini ternyata merupakan keturunan dari kedua orang tuanya. Raden Somanagara dan ibunya Nyi
Raden Rajapermas, merupakan tokoh perjuangan yang terang-terangan melawan Belanda. Hingga akhirnya
sang ayah, Raden Somanagara harus diasingkan dan meninggal di Ternate.
Namun meskipun begitu, sang ibu tidak berhenti untuk melakukan perjuangan. Tidak secara politis namun
pendidikan. Sifat inilah yang kemudian menular dan membangkitkan semangat Dewi Sartika kecil.

2. Ketertarikannya Terhadap Pendidikan

Setelah kepergian ayahandanya, Dewi Sartika dan ibunya berpindah dari Cicalengka dan menetap di
Bandung. Meskipun begitu, kegemarannya terhadap pendidikan masih belum pudar. Bahkan saat itu, beliau
memohon restu pada sang ibu dan beberapa orang lainnya untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak gadis.
Namun niatnya ini tidak langsung bersambut. Beberapa keluarganya meragukan keputusan Dewi mengingat
tragedi yang menimpa sang ayah.
Beruntung, Dewi Sartika mendapat sokongan dari kakeknya, R.A.A Martanegara yang pada saat itu menjabat
sebagai Bupati Bandung dan Mr. Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran. Berbekal bantuan dari kedua
orang tersebut, dibukalah sekolah bernama “Sekolah Istri” di Bandung pada 16 Januari 1904.

3. Perjuangan dengan Sekolah Isteri


Saat pertama kali berdiri, keadaan sekolah istri masih jauh dari sempurna. Lokasi belajar pun berada di satu
ruangan yang ada di kantor Kabupaten. Jumlah murid wanita yang ikut belajar hanya sekitar 20 orang. Tidak
sendirian, Dewi Sartika ditemani oleh Purmo dan Uwit sebagai guru.
Pendidikan yang diajarkan di sekolah ini bukan hanya membaca, menulis, berhitung dan pelajaran agama.
Tapi mereka juga diajarkan mengasah kemampuan lain seperti menjahit dan merenda.
Hal ini lama kelamaan menarik minat dan antusiasme dari masyarakat sekitar untuk ikut belajar. Sekolah istri
yang awalnya memiliki satu ruang kelas, berkembang hingga kekurangan kelas karena banyaknya jumlah
murid.
4. Perjuangan Sekolah Raden Dewi Sartika
Impian Dewi Sartika kecil benar-benar terwujud, diawali dengan permainan sekolah-sekolahan. Setelah 25
tahun setelah sekolah berdiri, untuk yang terakhir kali Sekolah Keutamaan Istri berubah nama menjadi
“Sekolah Raden Dewi” dan berhasil menjadi sekolah yang diakui oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, untuk mengapresiasi ini, Pemerintah Hindia Belanda memberikan sebuah gedung sekolah
baru yang lebih besar. Karena tanggung jawab yang semakin besar, untuk meningkatkan mutu pendidikan di
tambahkanlah kurikulum “perawatan orang sakit” yang diajarkan oleh Zuster van Arkel.
Besarnya Sekolah Dewi Sartika, memunculkan semangat bagi perempuan di daerah lain untuk ikut mendirikan
tempat pendidikan. Tidak hanya di Jawa Barat, seorang perempuan bernama Encik Rama Saleh juga ikut
memberanikan diri mendirikan sekolah di wilayah Bukittinggi.
Untuk menyamakan mutu pendidikan, didirikan pula Organisasi Keutamaan Isteri yang bertujuan untuk
menaungi sekolah-sekolah yang berdiri di daerah. Gunanya agar menyatukan sistem pembelajaran agar setara
dengan yang berada di pusat. Sehingga baik di daerah Tasikmalaya atau di manapun, model pembelajarannya
sama rata.
6. Wafatnya Dewi Sartika
Rentang waktu 63 tahun perjuangan bukan waktu yang sebentar, ditambah gentingnya kondisi Indonesia pada
saat itu membuat Dewi Sartika yang sudah menua tampak letih. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain
bukan sesuatu yang mudah, kesehatannya mulai menurun. Obat-obatan dan makanan sangat sulit didapatkan
ketika berada di pengungsian.
Tepat saat berada di Cinean, beliau jatuh sakit dan langsung dirawat oleh dr. Sanitioso. Namun sayang, segala
pertolongan dan usaha untuk menyelamatkan nyawanya semuanya sudah harus dicukupkan.
Pada 11 September 1947 pukul 09.00 WIB, Dewi Sartika seorang perempuan hebat yang mengabdikan
hidupnya bagi pendidikan, harus berpulang ke pangkuan sang Pencipta.

Afika / Kelas Va

BIOGRAFI SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II – KISAH SANG PAHLAWAN ASAL


PALEMBANG

BIODATA LENGKAP SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II


 Nama : Sultan Mahmud Badaruddin II
 Nama kecil : Raden Hasan Pangeran Ratu
 Tanggal lahir : Palembang pada tahun 1767
 Wafat : Ternate, 26 September 1852
 Nama Orang Tua : Sultan Muhammad Bahaudin bin Ahmad Najamudin dan Ratu Agung Datuk Murni
binti Abdullah Alhadi
Raden Hasan merupakan seorang anak yang lahir di Palembang pada tahun 1767, dari
pasangan Sultan Muhammad Bahaudin serta ibunda tercintanya yang bernama Ratu Agung Datuk Murni.

PERJALANAN HIDUP SEMASA KECIL


Dalam biografi Sultan Mahmud Badaruddin II, diketahui bahwa beliau sempat dinobatkan menjadi
Pangeran Ratu atau putera Mahkota oleh sang ayahanda. Bahkan semasa kecilnya, beliau telah
mengenyam pendidikan mengenai kenegaraan dari sang ayahanda dan kakeknya secara langsung.
Sedangkan pendidikan keagamaan, didapatkan dari para ulama yang berada tinggal di lingkungan keraton yang
membuatnya begitu taat beragama beserta mengamalkan ajarannya.
Meski lingkungan hidupnya dikerubungi beberapa ulama penting, namun beliau dikenal sebagai sosok yang
senang bergaul dengan siapa saja.
Bahkan beliau tak segan bergaul dengan masyarakat biasa, yang secara tidak langsung berpengaruh pada
pembentukan kepribadiannya.
Dengan kepribadiannya dan semua ilmu dari orang terdekatnya, membuatnya tumbuh menjadi pemuda dengan
pemikiran yang luas.
Sejak usia muda, beliau termasuk salah satu anak dari Sultan Muhammad Bahaudin yang cukup populer di
kalangan masyarakat. Beliau juga dikenal sebagai seorang bangsawan yang memiliki wibawa
besar, anak raja yang cerdas, gagah berani dan bijaksana, serta miliki rasa kemanusiaan yang luhur. Sifatnya yang
begitu dikagumi, membuat beliau tampak mencolok dibandingkan dengan para saudaranya.
Dibalik segala kepribadian baiknya, Sultan Mahmud Badaruddin II selaku calon pemimpin juga memiliki reputasi
dan kemampuan yang mengagumkan.
Reputasi tersebut didapatkan ketika menunjukkan kepiawaiannya dalam membantu sang ayah membangun
benteng.
Ia juga sekaligus menyusun strategi perang dan mampu memikirkan tempat strategis bagi formasi para
pasukannya. Semua kelebihan yang dimiliki beliau, tidak heran jika rakyatnya begitu mencintainya.

IKUT BERPERANG MELAWAN PARA PENJAJAH


Sebagai seorang Sultan, beliau diketahui menjadi pemimpin pertempuran dalam melawan penjajah
dari Inggris dan Belanda. Perlawanan utamanya dijuluki sebagai Peristiwa Loji Sungai Aur, dimana beliau berhasil
mengakhiri perang tersebut dari kekuasaan Belanda di Palembang. Salah satu faktor yang membuat Palembang
menjadi wilayah incaran Belanda di abad ke 18, yaitu sejak ditemukan timah di daerah Bangka.
Pada saat itu, bangsa Eropa mulai mendirikan Loji atau kantor dagang di Sungai Aur sebagai langkah utama
melakukan penjajahan. Akibatnya peperangan pun tumpah pada tanggal 14 September 1811, namun kemudian
kekuasaan diberikan pada Gubernur Jenderal Thomas Raffles yang berasal dari Inggris.
Tentu saja peristiwa tersebut mendapat pertentangan keras dari beliau sebagai raja, sehingga peperangan
kembali terjadi setelahnya.
Pertempuran pun terjadi secara sengit dan cukup panjang untuk bisa membebaskan tanah kota Palembang dari
tangan penjajahan. Meski telah berjuang, akhirnya Palembang jatuh juga ke tangan Belanda pada tanggal 25 Juni
1821.
Setelah kerajaannya tumbang, beliau beserta keluarga kemudian diasingkan ke Ternate dan hidup hingga ajal
menjemputnya pada tanggal 26 September 1852.

JASA DAN PERJUANGAN SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II


Untuk mengenang semua perjuangannya, tertulis pada biografi Sultan Mahmud Badaruddin II dimana namanya
dijadikan sebagai nama Bandara Internasional Palembang.
Selain itu, sosoknya juga diabadikan dalam sebuah gambar yang dapat ditemukan pada selembar
uang pecahan rupiah bernilai Rp. 10.000. Atas segala perjuangan dan jasa yang diberikan, bahkan Pemerintah RI
sebagai Pahlawan Nasional.
Selain gagah perkasa, sejak kecil beliau sudah dikenal sebagai sosok yang mau bergaul dengan siapa pun.
Berangkat dari sanalah reputasinya semakin memuncak serta setara dengan wawasan dan keahliannya, yang
menjadikannya sebagai raja selanjutnya. Hingga kini namanya tak lagi asing di telinga, pasalnya
namanya Sultan Mahmud Badaruddin II juga telah diabadikan sebagai ,nama salah
satu bandara di Indonesia dan sosoknya digambarkan dalam uang pecahan Rp. 10.000

Celline - 5A
Biografi R.A Kartini, Wanita Tangguh Pejuang Emansipasi!
“Habis gelap, terbitlah terang.”

Biografi Kartini & Perjuangannya


Raden Ajeng Kartini atau R.A Kartini, adalah seorang perempuan asal Jepara yang lahir pada 21 April 1879.
Kartini merupakan keturunan bangsawan, oleh karena itu gelar Raden Adjeng disematkan kepadanya. Kartini
merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosoningrat dan M.A Ngasirah. Ayah Kartini adalah bupati Jepara
saat itu.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara. Berbeda dengan kebanyakan anak pribumi saat itu, Kartini
berkesempatan untuk sekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Ini merupakan sekolah yang diperuntukkan
bagi orang Belanda dan orang Jawa yang kaya. Di ELS, Kartini belajar bahasa Belanda. Sayangnya, Kartini
hanya bersekolah sampai usia 12 tahun, karena sudah memasuki masa pingitan. Dulu ada tradisi wanita Jawa
harus dipingit dan tinggal di rumah.
Karena belajar bahasa Belanda di ESL, R.A Kartini bisa membaca dan menulis bahasa Belanda. Selama dipingit,
ia belajar sendiri membuat dan berkirim surat dengan teman-temannya dari Belanda, salah satunya adalah Rosa
Abendanon.
Kartini juga membaca banyak buku, surat kabar, dan majalah Eropa. Seperti istilah buku adalah jendela dunia,
Kartini jadi tahu cara berpikir perempuan Eropa yang lebih maju dan bebas dibandingkan perempuan pribumi kala
itu. Dari banyaknya buku, surat kabar, dan majalah yang ia baca, membuatnya berpikir untuk memajukan
perempuan pribumi. Karena di masa itu, perempuan pribumi tertinggal jauh dan memiliki status atau stratifikasi
sosial yang rendah. Menurutnya, perempuan pribumi harus mendapatkan kesetaraan, persamaan, dan
kebebasan.
Karena sedang dipingit, tidak banyak yang bisa dilakukan Kartini. Tapi, surat-surat yang ditulisnya menjadi salah
satu bentuk perjuangan. Ia menuliskan terkait gagasan-gagasannya baru mengenai emansipasi perempuan.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan Jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntut ilmu, dan
adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.
Pada tahun 1903, Kartini menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan bupati
Rembang saat itu. Karena sudah menikah, gelar Raden Adjeng yang dimiliki Kartini berubah menjadi Raden Ayu.
Meskipun sudah menjadi seorang istri, Kartini tetap ingin melanjutkan cita-citanya memperjuangkan kesetaraan
perempuan dan menjadi guru. Suami Kartini mendukung dan memberi kebebasan terhadap cita-citanya. Salah
satu bentuk dukungannya adalah dengan mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang perkantoran
Rembang.
Setahun setelah menikah, R.A Kartini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang
lahir pada 13 September 1904. Sayangnya, 4 hari setelah melahirkan, Kartini menghembuskan napas
terakhirnya. Ia meninggal di usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kab. Rembang.
Berkat kegigihan Kartini, pada tahun 1912 berdirilah Sekolah Kartini oleh Yayasan Kartini. Sekolah ini didirikan
oleh keluaraga Van Deventer, salah satu tokoh politik etis saat itu. Awalnya, Sekolah Kartini hanya didirikan di
Semarang, tapi kemudian berdiri juga di Surabaya, Yogyakarta, Madiun, Malang, dan daerah lainnya.

Penghargaan untuk R.A Kartini


Setelah R.A Kartini wafat, Mr. JH Abendanon (Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda) saat
itu mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang dikirimkan Kartini ke teman-temannya di Belanda. Buku
tersebut diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Dari Kegelapan menuju Cahaya. Diterbitkannya buku
tersebut mulai mengubah cara berpikir masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi khususnya Jawa.
Pada 2 Mei 1964, Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No 108 tahun 1964 yang berisi ketetapan
bahwa Kartini adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soekarno juga menetapkan 21 April sebagai hari Kartini
yang kita peringati setiap tahunnya sampai sekarang.

Qipty / Kelas Va

Biografi KH Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai
berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid
Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia
sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912,
ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil,
yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak, yaitu: Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH.
Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur
yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo – organisasi yang
melahirkan banyak tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan
anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota
Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung
oleh organisasi yang bersifat permanen. Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan
sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini
bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan
pendidikan dan membangun masyarakat Islam.

Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum
wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena
menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner
kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan
nama Pramuka – dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan
genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau
pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai, antara lain: KH. Muhammad Shaleh Darat di bidang
ilmu fikih; KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa Arab); KH. Raden Dahlan di bidang ilmu falak
(astronomi); Kiai Mahfudz Tremas dan KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di
bidang ilmu al-Quran, serta Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau
kemudian dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Ahmad Dahlan maka negara
menganugerahkan beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan
tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.

Mozard / Kelas Va
Kisah Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Pendidikan yang Bikin Marah Penjajah

Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta, ia lahir
dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Sebagai keturunanningrat, Soewardi kecil berkesempatan
menempuh pendidikan bersama anak-anak bangsa Eropa di Hindia Belanda
Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Pendidikan Sekolah dan Mencari Ilmu
Ki Hajar Dewantara kecil sekolah di sekolah dasar untuk orang Eropa, Eurepeesche Lagere School (ELS). Ia lalu
melanjutkan pendidikan ke STOVIA, sekolah dokter bumiputera pada 1905. Karena kerap sakit, ia tidak
menamatkan sekolah tingginya. Sejumlah sumber lain mendapati pemerintah Belanda-lah yang memutus
beasiswa pendidikannya pada 1910. Kendati demikian, ia gemar mencari ilmu di berbagai tempat, seperti dikutip
dari Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap oleh Mirnawati.
Ia juga aktif di organisasi Budi Utomo untuk menggugah kesadaran masyarakat agar bersatu mewujudkan
kemerdekaan Indonesia. Pada 25 Desember 1912, ia juga membentuk Indische Partij, partai politik nasionalisme
pertama bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo untuk mewujudkan kemerdekaan.
Membuat Marah Belanda
Peresmian Indische Partij ditolak pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg karena
dianggap dapat membangkitkan nasionalisme dan penentangan atas penjajahan. Ki Hajar Dewantara dan tokoh
Indische Partij lalu membuat Komite Bumiputra pada 1913.
Komite ini bertujuan untuk mengkritik pemerintah Belanda yang menggunakan uang dan sumber daya wilayah
jajahannya untuk mengadakan perayaan-perayaan. Salah satunya yaitu saat pemerintah Belanda hendak
merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis.
Kritik tersebut dituangkan Ki Hajar Dewantara detik.com/tag/ki-hajar-dewantara dalam surat kabar De Express
milik Douwes Dekker, seperti dikutip dari Ensiklopedia Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa oleh Tim Grasindo.
Kutipan tulisan Ki Hajar Dewantara berjudul Als Ik Eens Nederlader Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) itu
yakni sebagai berikut:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita
sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak
pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu."
Kritik tersebut membuat marah pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar Dewantara diasingkan ke Pulau Bangka.
Tulisan Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo yang diniatkan untuk membantunya juga dianggap Belanda
sebagai tulisan menghasut rakyat, sehingga keduanya juga diasingkan. Douwes Dekker dibuang ke Kupang,
sementara dr. Cipto Mangunkusumo ke Pulau Banda.
Suatu hari, mereka mengajukan usul pada Belanda agar bisa dibuang ke negeri Belanda agar dapat belajar banyak
hal, alih-alih di tempat terpencil tersebut. Akhirnya pada Agustus 1913, permintaan mereka dikabulkan.
Mendirikan Taman Siswa
Kesempatan diasingkan ke Belanda dimanfaatkan Ki Hajar Dewantara sebaik-baiknya untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran di sana, sampai memperoleh Europeeshe Akte, ijazah pendidikan bergengsi di
Belanda. Ia kembali ke tanah air pada 1918 dan fokus membangun pendidikan sebagai bagian alat perjuangan
meraih kemerdekaan.
Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan bercorak nasional bersama teman-temannya yang
bernama Perguruan Nasional Tamansiswa (Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa). Perguruan ini
menekankan pendidikan dengan rasa kebangsaan pada siswa. Para siswa ditanamkan rasa mencintai bangsa dan
tanah air untuk berjuang memperoleh kemerdekaan.
Ia juga tetap aktif menulis dengan teman pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya yang
mencapai ratusan buah tersebut menjadi dasar-dasar pendidikan nasional bangsa Indonesia.
Setelah kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara sempat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
yang pertama. Ia juga meraih gelar doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 1957. Dua tahun
kemudian, sang pahlawan pendidikan Indonesia wafat pada 28 April 1959 di Yogyakarta, dan dimakamkan di
sana.

Zahwan Aldian / 5A
Sisingamangaraja XII

Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62
tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda,
kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November
1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke
Soposurung, Balige pada tahun 1953.[1]
Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia
juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya
Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.
Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door
policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda,
dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan
Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi
lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini
mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Asal-usul
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa
ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam sepucuk
surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya
mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah
arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. [3] Sampai awal abad ke-20,
Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan
Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.

Perang melawan Belanda


Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial
Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil
sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan
seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig
Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda
terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah
memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16
Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel
Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si
Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun
Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara
para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan
berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun
sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang,
Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.
Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama
pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada
Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884.[4]

Warisan sejarah
Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian
Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang
kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik
Indonesia.

Razendra – Kelas Va
Mohammad Hatta Pahlawan Kemerdekaan

Biografi Mohammad Hatta


Nama: Drs. H. Mohammad Hatta atau Bung Hatta
Nama asli: Muhammad Athar
Lahir: Bukittinggi 12 Agustus 1902
Meninggal: Jakarta 14 Maret 1980, usia 77 tahun
Jabatan: Wakil Presiden Indonesia pertama, Perdana Menteri Indonesia, Menteri Pertahanan Indonesia, Menteri Luar
Negeri Indonesia, Ketua Umum Palang Merah Indonesia pertama.
Pasangan: Rahmi Rachim
Anak-anak: Meutia Hatta, Gemala Hatta, dan Halida Hatta
Pendidikan Mohammad Hatta
Mohammad Hatta lahir dari keluarga ulama di Minangkabau, Sumatra Barat.
Beliau menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan kemudian pada tahun 1913-1916, lalu melanjutkan
studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang.
Dilansir dari Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia, saat usia 13 tahun, sebenarnya beliau telah lulus ujian
masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu,
mengingat usianya yang masih muda.
Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang, baru kemudian pada tahun
1919 beliau pergi ke Batavia untuk studi di HBS.
Saat masih di sekolah menengah di Padang, Mohammad Hatta telah aktif di organisasi, seperti Jong Sumatranen
Bond cabang Padang, dengan posisi sebagai bendahara.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah dengan hasil sangat baik.
Setelah kelulusannya tersebut, beliau berangkat ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik
School.
Perjalanan Politik Mohammad Hatta
1. Awal Pergerakan Politik
Mohammad Hatta memulai pergerakan politiknya ketika beliau mulai bersekolah di Belanda pada tahun 1921 hingga 1932.
Pada saat itu, beliau masuk organisasi Indische Vereeniging yang awalnya adalah organisasi biasa. namun berubah menjadi
organisasi politik setelah adanya pengaruh dari Tiga Serangkai yaitu Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan
Douwes Dekker.
2. Pengasingan
Sekembalinya Hatta dari Belanda, ia ditawari untuk masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij).
Sebenarnya beliau menolak masuk, dengan alasan ia harus berada dan berjuang hanya untuk Indonesia.
Namun, pemberitaan media di Indonesia waktu itu mengatakan bahwa Hatta bersedia menerima kedudukan tersebut,
sehingga Soekarno menuduhnya kurang konsisten.
Kemudian, pada tahun 1934, beliau diasingkan ke Boven Digul selama satu tahun. Setelah menjalani masa pengasingan di
Boven Digul, beliau dipindahkan ke Banda Neira.
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menghancurkan Pearl Harbor dan Ini memicu Perang Pasifik.
Tentu saja serangan ini juga berdampak pada Indonesia.
Dalam keadaan seperti itu Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan yang ada di
Digul, termasuk Hatta dan Sutan Syahrir untuk dipindahkan ke Sukabumi pada Februari 1942.
Saat lepas dari masa pengasingan, Moh Hatta bertemu Mayor Jenderal Harada yang menawarkannya untuk kerjasama.
Jika beliau mau, ia akan diberi jabatan penting. Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang
menguntungkan, akan tetapi Hatta memanfaatkan hal ini untuk membela kepentingan rakyat Indonesia.
Dalam usaha untuk memerdekakan Indonesia, Mohammad Hatta, serta pahlawan lainnya harus melewati ragam hambatan
yang menghampiri.
Meskipun begitu, usaha mereka semua tidak sia-sia, sebab pada 17 Agustus 1945, Indonesia dapat dinyatakan
merdeka, melalui Proklamasi yang disahkan oleh Soerkarno dan Mohammad Hatta.

Anda mungkin juga menyukai