Anda di halaman 1dari 41

PERANCANGAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

TOPIK 2 DEMONSTRASI KONTEKSTUAL


KELOMPOK 1
Nama Mahasiswa :
1. Yusak Boboy
2. Lucia Desi Ina Wai
3. Agustina Kewa Kalan

Setelah kelompok kami melakukan diskusi, didapatlah rangkuman dari hasil diskusi kami
mengenai identifikasi hasil yang diinginkan berdasarkan langkah backward design
sebagai berikut:

Tahap-tahap Merancang Backward Design


Menurut Wiggins dalam Overview of UbD & the Design Template, ada tiga tahap
perancangan desain Understanding by Design yaitu mengidentifikasi hasil yang diinginkan,
tentukan bukti Penilaian, dan merencanakan pembelajaran.
1. Tahap pertama: Mengidentifikasi hasil yang diinginkan. Hal yang paling mendasar dari
tahap ini adalah fokus pada ide-ide yang besar (big ideas) yang ditargetkan. Berikut adalah
elemen-elemen yang terdapat dalam mengidentifikasi hasil yang diinginkan:
a) Tujuan utama (misalnya standar isi, tolak ukur, tujuan kurikulum), Guru menentukan
tujuan atau ide besar (utama) yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran
b) Pertanyaan Penting, Setelah guru menentukan tujuan yang ingin dicapai, guru
menentukan pertanyaan yang dapat mendorong peserta didik memahami, menyelidiki,
dan terjadi transfer belajar. Pertanyaan penting ini akan memandu peserta didik
membangun pemahamannya terhadap suatu konsep
c) Pemahaman, ditargetkan bertahan lama berdasarkan ide-ide. Guru menentukan
pemahaman spesifik yang ingin dicapai, dan peserta didik juga akan memahami apa
yang akan mereka pelajari. Apa ide-ide utama? Hal khusus yang didapatkan agar
memahami? Apa kesalahan konsep yang kira-kira akan muncul? Dari poin
pemahaman dan pertanyaan penting ditentukan:
1. Peserta didik akan tahu: Apa kunci dari pengetahuan dan kemampuan yang akan
mereka dapatkan (kesimpulan/hasil)
2. Peserta didik akan bisa/mampu: Apa yang harus bisa mereka lakukan sebagai
hasil dari pembelajaran

Elemen Fase D
Di akhir fase D peserta didik dapat mengenali, memprediksi dan
menggeneralisasi pola dalam bentuk susunan benda dan bilangan.
Mereka dapat menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk aljabar.
Mereka dapat menggunakan sifat-sifat operasi (komutatif, asosiatif,
dan distributif) untuk menghasilkan bentuk aljabar yang ekuivalen.
Peserta didik dapat memahami relasi dan fungsi (domain, kodomain,
range) dan menyajikannya dalam bentuk diagram panah, tabel,
Aljabar
himpunan pasangan berurutan, dan grafik. Mereka dapat membedakan
beberapa fungsi nonlinear dari fungsi linear secara grafik. Mereka
dapat menyelesaikan persamaan dan pertidaksamaan linear satu
variabel. Mereka dapat menyajikan, menganalisis, dan menyelesaikan
masalah dengan menggunakan relasi, fungsi dan persamaan linear.
Mereka dapat menyelesaikan sistem persaman linear dua variabel
melalui beberapa cara untuk penyelesaian masalah.
Tahap 1. Hasil yang Diinginkan

Tujuan yang Ditetapkan:


Peserta didik mampu Menjelaskan konsep Sistem persamaan linear dua variable (SPLDV)
Pemahaman: Pertanyaan Penting:
Pemahaman spesifik apa tentang Pertanyaan provokatif apa yang akan mendorong
mereka yang diinginkan? inkuiri, pemahaman, dan transfer pembelajaran?
 Pemahaman tentang konsep 1. Apakah peserta didik mampu menjelaskan
SPLDV mengapa pemodelan matematika ini dikatakan
 Dapat membuat pemodelan SPLDV?
matematika dari masalah 2. Bagaimana membuat pemodelan matematika
kontekstual yang berkaitan SPLDV dari masalah kontekstual?
dengan SPLDV
Kesalahpahaman apa yang dapat
diprediksi?
 Peserta didik keliru dalam
menentukan mana yang menjadi
variable, koefisien, konstanta
 Peserta didik keliru dalam
menjelaskan mengapa pemodelan
matematika ini disebut SPLDV
 Peserta didik keliru dalam
membuat pemodelan matematika
dari sebuah masalah kontekstual
Peserta didik akan tahu. . . Peserta didik akan dapat. . .
1. Pengetahuan dan keterampilan kunci apa yang akan diperoleh peserta didik sebagai
hasil dari unit ini?
a) Menjelaskan konsep SPLDV
b) Membuat pemodelan matematikan SPLDV dari masalah kontekstual
2. Apa yang akhirnya dapat mereka lakukan sebagai hasil dari pengetahuan dan
keterampilan tersebut?
 Peserta didik mampu menemukan dan memahami konsep SPLDV dalam lingkungan
sekitar
 Peserta didik mampu membuat pemodelan matematika SPLDV dari masalah yang
dijumpai sehari-hari
Volume 4, Nomor 1, Februari 2023

Pengembangan Modul Ajar Matematika Berdiferensiasi Berbasis


Understanding by Design (UbD)
Zuhadur Ra’is Ariyono Putra1, Chandra Ekki Pratama2, M. Shandy Prabowo Pramudito3,
Nur Fauziyah4
Pendidikan Profesi Guru, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Gresik1
E-mail:zuhad.rais@gamil.com
Pendidikan Profesi Guru, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Gresik 2
E-mail:ekki.chandra77@gmail.com
Pendidikan Profesi Guru, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Gresik3
E-mail: shandypramudito0@gmail,com
Pendidikan Profesi Guru, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Gresik4
E-mail:nurfauziyah@umg.ac.id

Abstract
There is an update in the form of learning plans of teaching modules and the adoption of different learning
concepts in the application of the latest curriculum, namely the kurikulum merdeka. This is done with the hope
of overcoming loss learning and the problems that existed in previous learning. The existence of problems in learning
indicates the possibility of disconnection between components of learning objectives, learning steps, and
evaluation. Understanding by Design (UbD) is used as an alternative design to improve the quality of learning
by linking these three components and developing differentiated learning. The purpose of this study was to develop
a UbD-based differentiated mathematics teaching module. This study uses the DDDE (Decide, Design, Develop,
and Evaluate) development model. At the decide stage, a needs analysis has been carried out related to the
manufacture of teaching modules. Furthermore, based on the results of the needs analysis, at the design stage
the teaching modules were designed and developed by researchers at the development stage. Then at the
evaluate stage, the teaching module is assessed for its validity, practicality, and effectiveness. It can be
concluded that the teaching modules developed meet the criteria of very feasible, very practical and very
effective. In addition, this study shows that Understanding by Design (UbD) can be used as an alternative in
designing differentiated mathematics teaching modules. The results of this study can be used as a reference in
developing other research in the future, especially to examine its effect on the application of a comprehensive
mathematics learning.
Keywords: teaching module, differentiation, understanding by design
Abstrak
Adanya keterbaruan bentuk rencana pembelajaran berupa modul ajar serta pengangkatan konsep pembelajaran
berdiferensiasi pada penerapan kurikulum terbaru yaitu kurikulum merdeka. Hal tersebut dilakukan dengan
harapan dapat mengatasi loss learning dan masalah-masalah yang ada pada pembelajaran sebelumnya. Adanya
masalah-masalah pada pembelajaran mengindikasikan kemungkinan adanya ketidakterkaitan antar komponen
tujuan pembelajaran, langkah pembelajaran, dan evaluasi. Understanding by Design (UbD) diterapkan sebagai
salah satu alternatif desain untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dengan mengaitkan ketiga komponen
tersebut dan mengembangkan pembelajaran berdiferensiasi. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan
modul ajar matematika berdiferensiasi berbasis UbD. Penelitian ini menggunakan model pengembangan DDDE
(Decide, Design, Develop, and Evaluate). Pada tahap decide telah dilakukan analisis kebutuhan yang
berhubungan dengan pembuatan modul ajar. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis kebutuhan, pada tahap
design modul ajar dirancang dan dikembangkan oleh peneliti pada tahap development. Kemudian pada tahap
evaluate, modul ajar dinilai aspek

128
Putra dkk, Pengembangan Modul Ajar Matematika Berdiferensiasi… 129

kevalidan, kepraktisan, dan keefektifannya. Dapat disimpulkan bahwa modul ajar yang dikembangkan
memenuhi kriteria sangat layak, sangat praktis dan sangat efektif. Selain itu, dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa Understanding by Design (UbD) dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam merancang modul
ajar matematika berdiferensiasi. Hasil studi ini dapat dijadikan referensi dalam mengembangkan penelitian lain
di waktu mendatang khususnya untuk ditelaah pengaruhnya pada penerapan suatu pembelajaran matematika
secara komprehensif.
Kata Kunci: modul ajar, diferensiasi, understanding by design

PENDAHULUAN
Seorang guru harus mempersiapkan desain pembelajaran atau rencana pembelajaran
sebelum memasuki kelas dan memberikan materi ajar kepada peserta didik. Hal ini dilakukan
agar guru dapat menyajikan pembelajaran terbaik bagi untuk siswa berupa kesempatan
belajar yang optimal (Asari et al., 2018). Biasanya, dalam mempersiapkan pembelajaran,
guru menentukan beberapa komponen kunci yaitu tujuan pembelajaran, tahapan
pembelajaran atau prosedur dan evaluasi atau asesmen (Dávila, 2017). Dari ketiga komponen
utama itu, idealnya diasumsikan bahwa tahapan pembelajaran adalah cara guru dalam
menggunakan strategi instruksional untuk membuat siswa mencapai komtensi tertentu sesuai
dengan tujuan pembelajaran. Kemudian pencapaian kompetensi akan diukur menggunakan
instrument penilaian dan evaluasi. Hal ini dapat diartikan bahwa tahapan pembelajaran harus
didasarkan tujuan pembelajaran dan evaluasi. Namun dalam praktik nyatanya, Guru
umumnya hanya merancang tahapan pembelajaran berdasarkan pengalaman mengajar tanpa
melihat tujuan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran (Wiggins & McTighe, 2005). Begitu
juga dengan penilaian, hasil dari evaluasi harus menjadi indikator apakah yang direncanakan
dalam tujuan pembelajaran telah dicapai oleh peserta didik setelah dilakukan pembelajaran di
kelas. Namun karena evaluasi dilakukan di akhir pembelajaran (Sebelum Ujian) dan biasanya
diambil dari buku yang tidak berkaitan dengan tujuan pembelajaran, pertanyaan evaluasi
cenderung kurang sesuai dengan tujuan dan tahapan pembelajaran (Wiggins & McTighe,
2005). Maka dari itu, evaluasi harus dilakukan saat merancang pembelajaran, mulai dari
tujuan pembelajaran dan berkaitan dengan tahapan pembelajaran. Dalam mempersiapkan
pembelajaran, perlu adanya relevansi dan keterkaitan antara tujuan, evaluasi dan tahapan
pembelajaran.
Masalah yang biasanya terjadi adalah tidak adanya keterkaitan antara tujuan
pembelajaran dan tahapan pembelajaran dengan evaluasi pembelajaran. Pada umumnya guru
membuat evaluasi setelah tahap pembelajaran dilakukan, evaluasi dibuat atau diambil dari
buku tanpa dihubungkan dengan tujuan pembelajaran dan tahapan pembelajaran. Akibatnya
peserta didik mungkin tidak tahu apa yang harus mereka kuasai dan harus dicapai dalam
pembelajaran di kelas (Wiggins & McTighe, 2005). Tidak adil rasanya bagi peserta didik jika
130 Postulat: Jurnal Inovasi Pendidikan Matematika

mereka tidak mengetahui gambaran yang jelas tentang apa yang harus mereka pelajari di
kelas, dan setelah itu mereka harus dinilai tanpa memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
cukup. Kurangnya hubungan antara tujuan dan tahapan pembelajaran dengan evaluasi
pembelajaran kemungkinan akan merugikan peserta didik (Nurdin, 2013; Sanjaya, 2015).
Salah satu permasalahan yang diamati dalam penelitian ini adalah pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan pada salah satu tingkat pada sekolah menengah . Dalam
observasi tersebut, kelas 10 pada jenjang sekolah menengah seharusnya sudah menerapkan
kurikulum merdeka. Namun dari hasil observasi yang didapatkan, pelaksanaan pembelajaran
di kelas juga masih dilakukan secara konvesional dan belum adanya implementasi
pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan salah satu
karakteristik yang ada pada kurikulum merdeka. Pembelajaran Berdiferensiasi adalah
serangkaian pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan peserta didik dalam hal kesiapan
belajar, profil belajar siswa, minat dan bakat (Aprima & Sari, 2022). Oleh karena itu
pembelajaran berdiferensiasi merupakan upaya untuk menyesuaikan proses pembelajaran di
kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar tiap individu. Melalui pembelajaran berdiferensiasi,
semua kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi diakomodasi sesuai profil belajar
mereka (Herwina, 2021). Pembelajaran berdiferensiasi merupakan salah satu karakteristik
yang ada pada kurikulum merdeka. Dimana berdasarkan permendikbudristek nomor 56 dan
262 tahun 2022 bahwa kurikulum merdeka harus diimplemntasikan oleh guru dan satuan
pendidikan yang ada (Pendidikan et al., 2013).
Menurut hasil wawancara peneliti dengan salah satu guru pengampu mata pelajaran
matematika kelas 10, guru mengaku kesulitan dalam menentukan bentuk pembelajaran
berdiferensiasi seperti apa yang dapat dilaksanakan dalam pembelajaran di kelas. Guru masih
belum memiliki strategi / panduan dalam mendesain pembelajaran berdiferensiasi. Padahal
salah satu bentuk pembelajaran berdiferensiasi dapat melalui diferensiasi proses, dimana
dalam kegiatan pembelajarannya dapat mengakomodir kompetensi yang dimiliki siswa oleh
suatu aspek tertentu. Serta, terdapat suatu strategi yang dapat digunakan guru dalam
mendesain suatu pembelajaran yang dapat disebut Understanding by Design. Understanding
by Design (UbD) adalah salah satu strategi yang dapat diterapkan sebagai alternative solusi
untuk meningkatkan kualitas desain pembelajaran (Almasaeid, 2017; Yurtseven & Altun,
2016).
UbD juga biasa disebut desain mundur karena dalam proses merancang pembelajaran
dilakukan dengan urutan yang terbalik. Praktik umumnya dalam merancang pembelajaran
adalah mulai dari menentukan tujuan pembelajaran, membuat tahapan pembelajaran dan
Putra dkk, Pengembangan Modul Ajar Matematika Berdiferensiasi… 131

evaluasi, tetapi dalam UbD menentukan tujuan adalah langkah pertama, diikuti dengan
menentukan instrument evaluasi dan merancang tahapan pembelajaran sebagai langkah
terakhir. Urutan desain UbD, menurut Wiggins dan McTighe dibagi menjadi tiga tahap, tahap
pertama guru harus mengidentifikasi kompetensi yang diinginkan dnegan membuat tujuan
pembelajaran (Wiggins & McTighe, 2005). Untuk menentukan tujuan pembelajaran, guru
harus memeriksa materi mana yang harus dikuasai oleh siswa termasuk kompetensi yang
harus dimiliki berdasarkan standar kurikulum yang ada. Pada tahap 2, guru menentukan bukti
validasi capaian tujuan dengan membuat instrument evaluasi dalam bentuk tes tertulis, kuis
dan asesmen lainnya. Hal ini guru bertindak sebagai assessor sebelum membuat desain
pembelajaran. Pada tahap 3, guru merencanakan kegiatan pembelajaran dengan strategi yang
tepat. Prosedur pembelajaran yang diusulkan dan kegiatan harus mengacu pada tujuan
pembelajaran, yaitu tahap dan kegiatan mana yang mengakomodir tujuan yang telah
ditetapkan. Dengan kata lain, kegiatan yang diusulkan mengakomodir tujuan pembelajaran
dan peserta didik mampu memahami materi selama tahap evaluasi. Dengan urutan terbalik
dalam merancang pembelajaran, bisa jadi ada hubunganantara komponen utama desain
pembelajaran yaitu tujuan, evaluasi dan tahapan pembelajaran (Fox, 2012; Sgro & Freeman,
2008)
UbD dalam beberapa penelitian yang sudah ada, dapat digunakan dalam
mengembangkan suatu desain pembelajaran. Kuntari dan Pertiwi dalam penelitiannya
menggunakan UbD dalam mendesain pembelajaran fisika untuk mahasiswa (Kuntari et al.,
2019; Pertiwi et al., 2019), sedangkan almasaeid dan tshering mengimplementasikan UbD
dalam mengembangkan pembelajaran sains pada sekolah menengah (Almasaeid, 2017;
Tshering, 2022). Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa asing yang dilakukan oleh
Yurtseven dan Altun, menggunakan UbD juga terbukti memberikan dampak positif terhadap
motivasi belajar (Yurtseven & Altun, 2016). Dari penemuan yang ada, menunjukkan bahwa
UbD memiliki potensi dalam hal mendesain suatu kegiatan pembelajaran. Namun potensi
tersebut masih belum banyak diimplementasikan dalam mengembangkan suatu pembelajaran
berdiferensiasi yang didapuk sebagai kurikulum nasional. Sehingga perlu adanya studi
pembahasan mengenai bagaimana membuat desain pembelajaran menggunakan konsep UbD
khususnya pada mata pelajaran matematika. Oleh karena itu studi ini dimaksudkan untuk
mengembangkan suatu desain pembelajaran matematika berdiferensiasi dengan
menggunakan konsep UbD.
METODE PENELITIAN
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan desain Research and Development
(R&D). Research and Development (R&D) adalah proses meneliti kebutuhan dan kemudian
132 Postulat: Jurnal Inovasi Pendidikan Matematika

mengembangkan produk untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Wahidah et al., 2019).


Selanjutnya, model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari model
Ivens Barron yaitu DDDE (Ivers & Barron, 2002). Terdapat 4 tahap dalam model DDDE,
yaitu Decide, Design, Development, dan Evaluation. Tahapan pada DDDE ditunjukkan pada
gambar 1.

Gambar 1. Desain Model Penelitian DDDE


Tahap awal DDDE adalah Decide, pada tahap ini peneliti membuat keputusan
mengenai topik penelitian yang diangkat yaitu desain pembelajaran berbasis UbD. Pada tahap
ini dilakukan studi literatur untuk menemukan solusi atas beberapa permasalahan yang
ditemukan peneliti ketika melakukan observasi. Sehingga peneliti dapat menentukan tujuan
dari pengembangan desain pembelajaran yaitu untuk mengakomodasi kebutuhan guru atas
desain pembelajaran berdiferensiasi. Selanjutnya pada tahap design peneliti membuat
kerangka awal desain pembelajaran yang akan dibuat. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan
komponen komponen yang ada pada rencana pembelajaran, model & materi pembelajaran
yang akan diangkat serta konsep UbD yang dijadikan landasan dalam membuat desain
pembelajaran. Tahap development / pengembangan dilakukan untuk menghasilkan rencana
pembelajaran yang telah didesain sesuai dengan konsep yang telah disiapkan. Pada tahap ini
meliputi proses penyusunan dan produksi rencana pembelajaran.
Tahap terakhir dari model DDDE adalah Evaluation, tahap evaluasi meninjau
keseluruhan proses yang terjadi pada pengembangan desain pembelajaran dengan
menggunakan tiga aspek kualitas dari Nieveen yang disebut valid, praktis, dan efektif (Plomp
& Nieveen, 2007). Untuk mengetahui kevalidan dan kepraktisan desain pembelajaran
digunakan kriteria yang ada pada Tabel 1 sebagai acuan. Nilai N untuk validitas diberikan
oleh dua validator ahli yang merupakan seorang dosen dan seorang guru penggerak.
Sedangkan untuk nilai kepraktisan diberikan oleh seorang guru observer keterlaksanaan
pembelajaran. Nilai N didapatkan dari rata-rata skor yang diberikan oleh ahli maupun
observer. Tiap aspek
Putra dkk, Pengembangan Modul Ajar Matematika Berdiferensiasi… 133

yang dinilai pada proses evaluation akan dinilai menggunakan skala likert 1-4 dengan
penjelasan seperti yang ada pada Tabel 2. Sedangkan untuk aspek efektif diperoleh melalui
skor dari tes evaluasi siswa setelah dilakukannya proses pembelajaran. Efektifitas desain
pembelajaran diperoleh melalui hasil yang didapat siswa apakah telah memenuhi kriteria
ketuntasan belajar atau tidak. Data yang diperoleh dikonversi menjadi bentuk presentase
ketuntasan kelas dan dicocokan dengan kriteria keefektifan berdasarkan pada Tabel 3.
Tabel 1. Kriteria Kevalidan dan Kepraktisan (Putra & Wintarti, 2020)
Skor (N) Kriteria Kevalidan Kriteria Kepraktisan
3,25 < 𝑁 ≤ 4,00 Sangat Layak Sangat Praktis
2,50 < 𝑁 ≤ 3,25 Layak Praktis
1,75 < 𝑁 ≤ 2,50 Tidak Layak Tidak Praktis
1,00 ≤ 𝑁 ≤ 1,75 Sangat Tidak Layak Sangat Tidak Praktis

Tabel 3.1 Kriteria skala Likert (Sugiono, 2012).


No. Keterangan Skor
Sangat Baik / Sangat Jelas/ Sangat Menariik/Sangat Tepat/Sangat
1 4
Lengkap/Sangat Mudah
2 Baik /Jelas/ Menarik/ Tepat/Lengkap/Mudah 3
Tidak Baik/Tidak Setuju/Tidak Menarik/Tidak Tepat/Tidak
4 2
Lengkap/Tidak Mudah
Kurang Baik/Kurang Jelas/Kurang Menarik/Kurang Tepat/Kurang
3 1
Lengkap/Kurang Mudah

Tabel 3. Kriteria Keefektifan (Arikunto, 2010)


Kriteria Tingkat Keefektifan
76%-100% Sangat Efektif
56%-75% Cukup Efektif
40%-55% Kurang Efektif

<40% Tidak Efektif

HASIL PENELITIAN
Decide
Pada tahap ini dilakukan beberapa kegiatan seperti analisis kurikulum, analisis
konseptual, dan penentuan tujuan instruksional/pembelajaran (Fatah et al., 2019). Dalam
kegiatan analisis kurikulum, ditentukan topik berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh
pemerintah dengan melihat capaian pembelajaran yang ingin dituju dalam proses
pembelajaran. Materi yang dipilih adalah trigonometri yang masuk pada elemen geometri
yang ada pada CP Fase E, serta dilakukan identifikasi konsep-konsep utama yang ada pada
materi pelajaran (trigonometri) yang dipilih dan menentukan konsep yang akan diangkat pada
modul
134 Postulat: Jurnal Inovasi Pendidikan Matematika

ajar yang akan dikembangkan. Setelah melakukan kegiatan analisis kurikulum kegiatan,
dilanjutkan dengan kegiatan analisis konsep yang digunakan dalam mengembangkan modul
ajar, dalam penelitian ini pengembangan desain pembelajaran akan menggunakan kerangka
kerja UbD secara khusus tahap WHERETO. Perumusan tujuan pembelajaran merupakan
langkah terakhir dari tahap decide. Tujuan pembelajaran dirumuskan berdasarkan capaian
pembelajaran dengan elemen dan kompetensi minimal yang ada di dalamnya.
Design
Pada tahap ini telah dikembangkan diagram alur dalam pembuatan kerangka modul
ajar. Modul ajar yang akan dikembangkan mengikuti konsep model dari UbD. Pada gambar 2
menunjukkan template sederhana UbD yang diadaptasi dari model yang dibuat oleh (Wiggins
& McTighe, 2005). Sedangkan untuk kerangka komponen modul ajar mengikuti
kepmendikbud nomor 16 tahun 2022 tentang standar proses dimana komponen minimum
yang harus ada dalam suatu modul ajar ialah: tujuan pembelajaran; langkah-langkah atau
kegiatan pembelajaran; asesmen; dan media pembelajaran yang digunakan.

Gambar 2. Template UbD


Development
Pada tahap ini dilakukan perakitan semua komponen yang harus ada pada suatu
modul ajar. Tujuan pembelajaran (TP) ditetapkan terlebih dahulu pada konsep model UbD.
Hal ini dikarenakan guru harus meninjau capaian pembelajaran (CP) apa saja yang ada pada
fase ketika peserta didik menempuh pembelajaran. Tujuan pembelajaran juga harus selaras
dengan komponen minimum yang ada pada CP. Selain menetapkan TP, kriteria ketercapaian;
rencana dan rubik asesmen juga perlu dijelaskan pada awal modul ajar yang dikembangkan.
Proses tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.
Langkah terakhir yang dilalui adalah merancang kegiatan pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran yang dibuat haruslah berhubungan langsung dengan apa yang tujuan
pembelajaran dan asesmen yang telah ditentukan dalam dua tahap sebelumnya. Kegiatan
pembelajaran berbasis UbD yang dibuat haruslah memenuhi panduan WHERETO,
WHERETO merupakan akronim yang dibuat untuk membantu merancang kegiatan dan
Putra dkk, Pengembangan Modul Ajar Matematika Berdiferensiasi… 135

pengalamana pembelajaran berbasis UbD yang efektif, yang berfokus pada pemahaman siswa
yang mendalam (Taiyabi, 2021). Penjelasan dari tiap akronim WHERETO dan index warna
dari tiap aspeknya ada pada Tabel 4. Sedangkan pemenuhan aspek aspek WHERETO pada
modul ajar yang telah dikembangkan terdapat pada Gambar 4.

Gambar 3. Penetapan Tujuan Pembelajaran dan Asesmen pada Modul Ajar

Tabel 4. Penjelasan tiap aspek WHERETO pada UbD (Taiyabi, 2021)


Indeks
Aspek Keterangan Warna Pada
Modul Ajar
Where, What | Kemana arah tujuan pembelajaran? Pemahaman apa yang
W TAHAP W
diharapkan dari siswa? Darimana siswa berasal (pengetahuan & minat) ?
Hook, Hold | Kegiatan pembelajaran yang dapat memikat dan
H TAHAP H
mempertahankan minat mereka.
Equip, Experience | Kegiatan pembelajaran yang dapat membekali siswa
E untuk membantu mereka mengalami ide-ide kunci dan mengeksplorasi
isu-isu yang diangkat.
Rethink, Revise | Kegiatan pembelajaran yang membuat siswa
R
memikirkan kembali dan merevisi pemahaman mereka.
Exhibit, Evaluate | Kegiatan pembelajaran yang membuat siswa dapat
E TAHAP E
memamerkan dan mengevaluasi pekerjaan yang telah dilakukan
Tailored | Kegiatan pembelajaran telah dipersonalisasi untuk kebutuhan,
T TAHAP T
minat, dan kemampuan peserta didik yang berbeda
Organized | Kegiatan pembelajaran telah diatur untuk memaksimalkan
O
keterlibatan siswa dan berkelanjutan pembelajaran yang efektif

Evaluate
Pada tahap ini modul ajar akan dinilai kevalidan, kepraktisan dan keefektifan dalam
proses pengembangan yang dilakukan. Untuk proses penilaian kevalidan, modul ajar
divalidasi oleh seorang dosen dan guru yang menurut kami mempunyai pengetahuan dan
pengalaman mengenai modul ajar berbasis UbD ini. Validator akan mengulas mengenai
prinsip-prinsip
136 Postulat: Jurnal Inovasi Pendidikan Matematika

yang ada dalam modul ajar ini mulai dari kelengkapan komponen, konten yang esensial dan
bermakna, desain pembelajaran yang berkesinambungan, konsep UbD yang diterapkan dalam
modul ajar serta bahasa yang digunakan dalam penyusunan modul ajar.

Gambar 4. Kegiatan Pembelajaran pada Modul Ajar


Penilaian Validasi modul ajar berbasis UbD menggunakan skor rerata setiap aspek
prinsip dalam modul ajar. Hasil yang diperoleh dirangkum pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Ringkasan hasil validasi
Validator Hasil Kriteria
Validator 1 4,0 Sangat Layak
Validator 2 3,62 Sangat Layak
Rata-rata 3,81 Sangat Layak

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa uji kevalidan pada modul ajar diperoleh skor
3,81 yang berada pada kriteria sangat layak. Selain dari hasil validasi diatas, terdapat juga
masukan dan saran dari validator agar modul ajar bisa dikembangkan lebih lanjut. Berikut
beberapa masukan dari validator terkait modul ajar berbasis UbD ini 1) Tampilan pada modul
ajar dan LKPD dapat di desain lebih menarik 2) Gunakan pertanyaan esensial dan perbanyak
kegiatan/permasalahan untuk mengakomodir HOTS 3) Perbaiki layout modul terutama
penyeragaman font.
Dalam proses penilaian kepraktisan, dilakukan oleh seorang observer pada
pelaksanaan pembelajaran berdasarkan desain pembelajaran yang telah ada pada modul ajar.
Dalam aspek ini, observer mengamati beberapa hal dalam implementasi modul ajar seperti:
rincian kegiatan pembelajaran, penggunaan asesmen atau lembar kerja, ketercapaian tujuan
pembelajaran dan lain sebagainya. Penilaian kepraktisan modul ajar berbasis UbD
menggunakan skor rerata pada
Putra dkk, Pengembangan Modul Ajar Matematika Berdiferensiasi… 137

tiap aspek yang diamati. Hasil yang diperoleh dirangkum pada Tabel 6 di bawah ini.
Berdasarkan hasil uji kepraktisan tersebut, maka modul ajar yang dikembangkan memperoleh
skor 3,40 yang berada pada kriteria sangat praktis.

Tabel 6. Ringkasan hasil observasi


Pelaksanaan Skor Kriteria
Pertemuan 1 3,36 Sangat Praktis
Pertemuan 2 3,45 Sangat Praktis
Rata-rata 3,40 Sangat Praktis

Modul ajar yang dikembangkan telah diterapkan siswa dan guru pada pembelajaran di
kelas. Selanjutnya hasil belajar siswa digunakan sebagai penentuan uji keefektifan modul
ajar. Hasil belajar siswa berdasarkan tes evaluasi yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Belajar Tes Evaluasi
No. Hasil Tes Evaluasi Banyak Siswa Presentase
1. Tuntas 33 97%
2. Tidak Tuntas 1 3%

Berdasarkan tabel terebut, diketahui bahwa uji keefektifan pada hasil belajar diperoleh
ketuntasan sebesar 97%. Sehingga pengembangan modul ajar berbasis UbD ini termasuk
dalam kategori sangat efektif.
KESIMPULAN
Proses pengembangan modul ajar matematika berdiferensiasi berbasis Understanding
by Design (UbD) telah dilakukan.proses pengembangan modul ajar ini menggunakan model
DDDE yang diawali dengan kegiatan decide, design, develop, dan diakhiri dengan
evaluation. Hasil dari tahap evaluasi menunjukkan bahwa modul ajar yang dikembangkan ini
masuk pada aspek sangat valid, sangat praktis, dan sangat efektif. Dengan demikian,
Understanding by Design (UbD) dapat dijadikan alternatif untuk merancang modul ajar
berdiferensiasi khususnya pada pembelajaran matematika trigonometri dengan menekankan
keterkaitan antara tujuan pembelajaran, langkah pembelajaran, dan evaluasi. Modul ajar yang
dikembangkan dapat diterapkan dan dijadikan referensi oleh guru dalam melakukan
pembelajaran di kelas. Penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut di waktu mendatang
dengan mengimplementasikan modul ajar pada suatu pembelajaran dengan model penelitian
eksperimen untuk ditelaah lebih lanjut mengenai adanya pengaruh penerapan modul ajar pada
pembelajaran matematika secara komperehensif.
138 Postulat: Jurnal Inovasi Pendidikan Matematika

DAFTAR PUSTAKA
Almasaeid, T. F. (2017). The Impact of Using Understanding by Design ( UbD ) Model on 8
th -Grade Student ’ s Achievement in Science. 13(4), 301–315.
https://doi.org/10.19044/esj.2017.v13n4p301
Aprima, D., & Sari, S. (2022). Cendikia : Media Jurnal Ilmiah Pendidikan Analisis Penerapan
Pembelajaran Berdiferensiasi Dalam Implementasi Kurikulum Merdeka Pada Pelajaran
Matematika SD. Cendikia : Media Jurnal Ilmiah Pendidikan, 13(1), 95–101.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta.
Asari, S., Fauziyah, N., & Uchtiawati, S. (2018). Improving Teacher Pedagogic Competences
in Remote Areas through Lesson Study Activity. International Journal of Education and
Literacy Studies, 6(2), 53. https://doi.org/10.7575/aiac.ijels.v.6n.2p.53
Dávila, A. (2017). Wiggins , G ., & McTighe , J . ( 2005 ) Understanding by design ( 2nd ed
.). Alexandria , VA : Association for Supervision and Curriculum Development ASCD.
19(1), 140–142.
Fatah, A., Chandra, D. T., & Samsudin, A. (2019). Developing CAI-PBL with DDD-E model
on magnetic fields concept. Journal of Physics: Conference Series, 1280(5).
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1280/5/052031
Fox, B. E. (2012). Design to learn , learn to design : Using backward design for information
literacy instruction. 5(2), 144–155.
Herwina, W. (2021). Optimalisasi Kebutuhan Murid Dan Hasil Belajar Dengan Pembelajaran
Berdiferensiasi. Perspektif Ilmu Pendidikan, 35(2), 175–182.
https://doi.org/10.21009/pip.352.10
Ivers, K. S., & Barron, A. E. (2002). Multimedia Projects in Education Designing,
Producing, and Assessing. Libraries Ideas Press Unlimited Teacher.
https://doi.org/https://doi.org/10.1108/00242530710736145
Kuntari, F. R., Rondonuwu, F. S., & Sudjito, D. N. (2019). Understanding by Design ( UbD )
for the Physics Learning about Parabolic Motion. Jurnal Penelitian Fisika Dan
Aplikasinya (JPFA), 09(01). https://doi.org/10.26740/jpfa.v9n1.p32-43
Nurdin, S. (2013). Aspek Aplikasi Konsep Sains Dalam Evaluasi Pembelajaran IPA di MI.
PIONIR: Jurnal Pendidikan, 4(1).
Pendidikan, M., Kebudayaan, D. A. N., & Indonesia, R. (2013). Permen 68 thn 2013 Struktur
kurikulum. 2013–2015.
Putra dkk, Pengembangan Modul Ajar Matematika Berdiferensiasi… 139

Pertiwi, S., Sudjito, D. N., Rondonuwu, F. S., Studi, P., & Sains, P. (2019). Perancangan
Pembelajaran Fisika tentang Rangkaian Seri dan Paralel untuk Resistor Menggunakan
Understanding by Design ( UbD ). 2(1), 1–7.
Plomp, T., & Nieveen, N. (2007). An Introduction to Educational Design Research.
Putra, Z. R. A., & Wintarti, A. (2020). DEVELOPMENT STUDENT’S WORKSHEETS
SOLID CURVED SURFACE BASED ON AUGMENTED REALITY. Majamath:
Jurnal Matematika Dan Pendidikan Matematika, 4(1), 23–37.
https://doi.org/https://doi.org/10.36815/majamath.v4i1.896
Sanjaya, W. (2015). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Kencana.
Sgro, S., & Freeman, S. (2008). TEACHING CRITICAL THINKING USING
UNDERSTANDING BY Teaching Critical Thinking using Understanding by Design
Curriculum Development Methods. American Society for Engineering Education.
Sugiono. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Sugiyono. Mode Penelitian Kualitatif,
5(January), 1–5.
Taiyabi, F. (2021). Understanding by Design " Curriculum Innovation Instructional
Development " ( UbD ) and. 15(4), 1142–1152.
Tshering, S. (2022). The Impact of Using Understanding by Design ( UbD ) Model on Class
10 Student ’ s Achievement in Chemistry. 6(April), 29–33.
https://doi.org/10.20885/ijcer.vol
Wahidah, N. I., Ibrahim, N., & Muslim, S. (2019). E-Module : Design A Learning Material
With Rowntree And Hannafin Model For Higher Education. International Journal of
Scientific & Technology Research, 8(12), 3373–3376.
Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by design, expanded (2nd ed.).
Alexandria VA: Association for Supervision and Curriculum Development.
Yurtseven, N., & Altun, S. (2016). Understanding by Design (UbD) in EFL Teaching : The
Investigation of Students ’ Foreign Language Learning Motivation and Views Unders
standing by Design ( UbD ) in EFL Teaching : The Investigation n of Students ’ Foreign
Language Learning. Redfame Publishing, 3(December). https://doi.org/10.11114/j
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/273634688

Penggunaan Backward Design dalam Merancang Pembelajaran Matematika


yang Bernuansa Observation-Based Learning

Conference Paper · July 2014


DOI: 10.13140/2.1.3486.4165

CITATIONS
READS
2
28,486

1 author:

Abdur Rahman Asari


Universitas Negeri Malang, Malang, Jawa Timur, Indonesia
144 PUBLICATIONS 757 CITATIONS

All content following this page was uploaded by Abdur Rahman Asari on 17 March 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGGUNAAN BACKWARD DESIGN
DALAM MERANCANG
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
YANG BERNUANSA OBSERVATION-
BASED LEARNING

ABDUR RAHMAN AS’ARI

1
Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Malang, ar.asari@yahoo.com atau
abdurrahmanasari@gmail.com
Abstract: Didasarkan pada peran penting rancangan dalam kegiatan
pembelajaran yang bermutu, perancangan pembelajaran matematika dalam
konteks Kurikulum 2013 perlu dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan
atas ilmu yang benar. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan
penawaran kepada guru tentang bagaimana merancang pembelajaran
matematika dengan ilmu perancangan yang disebut dengan Backward
Design. Penulis menguraikan proses perancangan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik yang dibalik, yaitu dengan cara menganalisis apa
yang harus dikomunikasikan siswa, apa yang harus diasosiasi, apa yang
harus dikumpulkan, apa yang harus ditanya, dan apa yang harus diamati.
Satu contoh tentang pembelajaran determinan matirk dikemukakan di
dalam tulisan ini untuk membantu guru memperoleh gambaran yang lebih
praktis.
Kata Kunci: Backward Design, Kurikulum 2013, Matematika,
Observation-Based Learning, Pembelajaran, Pendekatan Saintifik,
Perancangan.

1. Pendahuluan
Menurut Nuh [9], Observation-Based Learning atau biasa dikenal dengan
Pendekatan Saintifik, menurut As’ari [1] dan [2], merupakan model pembelajaran
yang harus diterapkan dalam setiap pembelajaran mata pelajaran apapun seiring
dengan diberlakukannya Kurikulum 2013. Model pembelajaran ini menuntut
keaktifan siswa, mulai dari mengamati, menanya atau mempertanyakan,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
Model ini menuntut guru mengubah mindset dari aktif menerangkan menjadi
fasilitator pengalaman belajar. Menurut [1] dan [2], penerapan Observation-Based
Learning menuntut guru mengikuti paradigm konstruktivism. Guru harus lebih
mengaktifkan siswa mengkonstruksi pengetahuan, keterampilan, dan sikap
mereka sendiri.
Untuk itu, guru perlu mengubah rancangan pembelajarannya. Makalah ini
dimaksudkan untuk menawarkan model perancangan pembelajaran matematika
yang sesuai tuntutan Kurikulum 2013 yang disebut dengan Backward Design.

2. Perancangan Pembelajaran
Menurut Wiggins & Tighe [10], proses belajar mengajar yang diterapkan oleh
guru hendaknya didasarkan kepada hasil kajianyang serius, bukan sekedar karena
buku teksnya, metodenya, atau kenyamanan kita dalam menjalankannya. Guru
matematika harus merancang pembelajaran yang memberikan peluang terbesar
untuk tercapainya tujuan yang disepakati.
Perancangan pembelajaran memungkinkan terjaminnya pembelajaran yang
sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, dan oleh karenanya, siswa akan
menampilkan apa yang memang dikehendaki oleh pembelajaran tersebut [4].
Dikatakan lebih lanjut, bahwa dengan perancangan pembelajaran yang baik, selain
apa dan bagaimana siswa harus mempelajari sesuatu, bagaimana siswa bersikap
juga ikut dirancang. Karakter siswa juga dibentuk dari perancangan pembelajaran
yang baik itu. Karena itu, perancangan pembelajaran adalah hal penting yang
tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Menurut Mahmud [9], para pakar pendidikan telah bersepakat bahwa
perancangan pembelajaran merupakan hal yang penting dan vital bagi
profesionalisme seorang guru. Perancangan ini merupakan kunci dalam
menentukan bagaimana proses interaksi siswa dengan sumber belajar akan
berlangsung, dan seberapa hebat hasil belajar yang bakal diraih. Karena itu,
pengembangan rancangan pembelajaran tidak boleh dilakukan dengan sekenanya
saja. Sekedar meniru rancangan pembelajaran yang telah dibuat oleh orang lain
bukanlah hal yang tepat. Ada banyak alasan yang untuk tidak melakukan hal itu.
Perbedaan karakteristik siswa, ketidaksamaan sumber belajar dan lingkungan
belajar, serta tidak samanya tuntutan para pemangku kepentingan di sekolah sudah
cukup menjadi alasan untuk meyakinkan bahwa rancangan pembelajaran di
tempat lain tidak bisa ditiru begitu saja.
Perubahan kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013, yang menuntut adanya
perubahan model pembelajaran juga semakin menuntut guru untuk memiliki
kemampuan merancang pembelajaran yang labih baik. Praktik “copy & paste”
yang selama ini ditengarai banyak terjadi di lingkungan para guru, yang salah
satunya disebabkan oleh ketidakmampuan guru merumuskan rancangan
pembelajaran, harus dihentikan. Guru harus dibantu untuk menyusun rancangan
pembelajaran yang baik.

3. Backward Design
Wiggins & McTighe [10] mengemukakan adanya dua jenis fokus dalam
perancangan pembelajaran, yaitu: (a) content-focused design, dan (b) results-
focused design. Kalau guru matematika menggunakan content-focused design,
mereka merancang pembelajaran dengan memulai kajiannya dari materi yang
akan diajarkan, memilih sumber belajar yang diperlukan, memilih metode yang
akan digunakan, dan kemudian berharap agar siswanya belajar. Namun, kedua
penulis tersebut mengkritisi bahwa ketersediaan konten itu tidak serta merta
menjamin terjadinya belajar. Mereka mengatakan bahwa rancangan itu tidak
boleh didasarkan kepada “hope” saja, tetapi harus betul-betul “by design”.
Guru harus merancang tujuan dan bagaimana tujuan itu betul-betul dicapai.
Kalau siswa diminta membaca, guru harus jelas apa yang harus dibaca, bagaimana
membacanya, apa yang harus dihasilkan dari kegiatan membaca tersebut,
kemungkinan bantuan apa saja yang harus diberikan agar maksimal hasil
membacanya, bagaimana cara membagikan apa yang sudah dipahami dari bacaan
tersebut dan lain sebagainya. Karena itu, mereka lebih cenderung untuk
menggunakan results-focused design.
Backward Design yang merupakan model dari results-focused design terdiri
dari 3 kegiatan pokok, yaitu: (1) menetapkan hasil yang diinginkan, (2)
menetapkan bukti-bukti atau indikator ketercapaian hasil tersebut, dan (3)
merancang pengalaman belajarnya. Menurut Fox and Doherty [5], backward
design mampu menghasilkan perangkat pembelajaran yang mampu meningkatkan
‘communication literacy’ siswa. Pendapat ini didukung oleh Burson [3], yang
menyatakan bahwa Backward Design mampu membangun perilaku positif siswa
di dalam kelas (termasuk kedisiplinan dalam mengerjakan tugas), serta perhatian
dan partisipasi siswa. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa Backward
Design layak untuk diterapkan dalam merancang pembelajaran matematika yang
menggunakan Observation-Based Learning atau Pendekatan Saintifik.
Terkait dengan itu, menurut [1] dan [2], guru dituntut harus mampu
menganalisis KD dan menentukan indikator ketercapaian masing-masing KD. Ini
bersesuaian dengan karakteristik rumusan KD yang ada dalam Permendikbud No
67, 68, 69 tahun2013 (lihat [6], [7], dan [8]). Karakteristik KD-KD yang lebih
merepresentasikan kompetensi yang ingin dicapai, bukan materi, seharusnya
mendorong guru mengguakan ‘results-focused design’, atau ‘Backward Design’.

4. Hal Penting Dalam Backward Design


KD-KD yang ada di dalam mata pelajaran matematika, umumnya masih
bersifat general. Kompetensi tersebut perlu dinyatakan secara lebih spesifik ke
dalam indikator-indikator ketercapaian KD.
Mengingat pembelajaran dengan Observation-Based Learning menggunakan
kaidah konstruktivism (menurut [1] dan [2]), indikator ketercapaian KD ini harus
terlihat sebagai hasil konstruksi siswa. Indikator ini hendaknya tidak diperoleh
dari mendengarkan penjelasan guru, melainkan dari hasil mengasosiasi. Oleh
karena itu, hal penting pertama yang harus dilakukan guru untuk merancang
pembelajaran yang sesuai adalah menguraikan KD-KD tersebut ke dalam
beberapa indikator misalnya “Ooooh… jadi yang dimaksud dengan ini adalah
….” Atau “Ooooh … jadi hubungan antara ini dan itu adalah …. “.
Sesudah indikator ini terwujudkan secara eksplisit, guru harus mulai
mempertimbangkan langkah-langkah dalam Pendekatan Saintifif atau Observation-
Based Learning. Akan tetapi, urutannya harus dibalik. Indikator ketercapaian KD itu
harus dipandang sebagai sesuatu yang harus dikomunikasikan (langkah terakhir
dalam Pendekatan Saintifik atau Observation-Based Learning) dan diperoleh dari
hasil mengasosiasi (langkah keempat).
Karena itu, di dalam kegiatan mengasosiasi, harus tersedia sejumlah banyak
data untuk diasosiasi oleh siswa. Jadi, di dalam kegiatan mengasosiasi, guru harus
membantu siswa mengumpulkan data atau informasi yang sesuai sebanyak
mungkin. Sesuai dengan prinsip dalam standar proses bahwa siswa yang harus
mencari tahu, bukan diberitahu, maka data-data ini harus digali dan dikumpulkan
sendiri oleh siswa, terutama dalam kegiatan ketiga dari Pendekatan Saintifik atau
Observation-Based Learning, yaitu mengumpulkan informasi.
Agar siswa melakukan pengumpulan data dan mengasosiasi sehingga pada
akhirnya mereka mengomunikasikan, siswa perlu dibantu agar mau dan mampu
menanya dengan pertanyaan yang bersifat investigatif. Siswalah yang harus
dibantu untuk mengajukan pertanyaan tersebut. Kalau pertanyaan itu muncul
karena rasa ingin tahu siswa itu sendiri, maka pengumpulan informasinya akan
berjalan dengan seksama dan dilaksanakan dengan tekun. Data dan informasinya
pun akan obyektif, jujur dan tidak dibuat-buat. Mereka memang betul-betul ingin
mengetahui, bukan sekedar menjalankan tugas guru semata.
Terakhir, agar siswa mau menanya atau mengajukan pertanyaan investigative,
guru harus mampu merancang bahan untuk diamati siswa. Guru harus merancang
bahan pengamatan sedemikian rupa sehingga siswa tertarik dan tertantang untuk
ingin tahu lebih jauh dan mengajukan pertanyaan investigatif.
Jadi, kalau diperhatikan, tampak bahwa dalam rangka merancang
pembelajaran yang bernuansa Observation-Based Learning, guru harus
menetapkan secara berturut-turut hal-hal berikut: (1) merancang indikator
kompetensi yang ingin dicapai (yaitu sesuatu yang dihasilkan dari kegiatan
mengasosiasi dan akan dikomunikasikan siswa), (2) merancang bentuk kegiatan
asosiasi yang memungkinkan kesimpulan yang berupa indikator tersebut, (3)
merancang bentuk kegiatan menggali informasi yang memungkinkan
diperolehnya data dan informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan asosiasi, (4)
merancang kegiatan yang memungkinkan siswa mau dan mampu mengajukan
pertanyaan investigatif yang untuk memperoleh jawabannya siswa harus
mengumpulkan data dan informasi yang sesuai, (5) merancang bentuk dan bahan
pengamatan yang mendorong dan menantang anak untuk mau dan mampu
mengajukan pertanyaan investigatif.
Kalau semua hal di atas sudah teridentifikasi dengan baik dan lengkap, dalam
konteks perancangan pembelajaran, tugas berikutnya dari guru adalah menata
kembali rangkaian rancangan tersebut dengan urutan terbalik. Guru harus
menuliskan setiap kegiatan tersebut dari kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

5. Satu Contoh
Sebagai contoh, perhatikan hal berikut. Andaikan kita ingin siswa
mengomunikasikan bahwa “ooo determinan matriks 2 x 2 itu adalah …”.
Pernyataan “ooo determinan matriks 2 x 2 itu adalah …” harus kita tetapkan
sebagai apa yang harus diwujudkan dalam pembelajaran determinan matriks.
Inilah target utama dari pembelajaran. Setelah mengikuti pembelajaran, siswa
diharapkan mengkonstruksi pernyataan bahwa “determinan matriks ordo 2 x 2
adalah …..”.
Agar mereka mampu mengkonstruksi pernyataan di atas, siswa tentu perlu
banyak contoh dan bukan contoh dari matriks 2 x 2 berikut nilai determinan masing-
masing. Mengingat pembelajaran ini bersifat induktif, guru tidak boleh memberitahu
apa yang dimaksudkan dengan determinnan matrik. Hal penting yang harus
dilakukan guru adalah mengupayakan agar siswa mereka bisa menyimpulkan cara
menentukan determinannya dengan mengkaji contoh dan bukan contoh yang ada.
Semakin banyak contoh, semakin baik pula kualitas asosiasi yang dilakukan oleh
siswa. Oleh karena itu, pada saat siswa melakukan kegiatan asosiasi ini, guru harus
mengupayakan agar siswa bisa dan mampu mengumpulkan contoh dan bukan
contoh dari determinan matriks ordo 2 x 2.
Agar siswa mengumpulkan sebanyak mungkin contoh dan bukan contoh
determinan matriks ordo 2 x 2, guru perlu membantu siswa tertarik dan tertantang
untuk mengajukan pertanyaan “apa ya yang dimaksud dengan determinan matriks
ordo 2 x 2 tersebut?”. Guru harus mengupayakan agar siswa penasaran dengan
konsep determinan matriks ordo 2 x 2 ini. Untuk itu, guru harus memperlihatkan
beberapa contoh dan bukan contoh penentuan determinan dari matriks ordo 2 x 2.
Agar membuat mereka penasaran, guru b bisa saja mengajak mereka bermain-
main dengan determinan matriks. Minta mereka menuliskan beberapa matriks 2 x
2 di kertas masing-masing, dan guru menetapkan nilai determinan masing-masing
matriks tanpa memberitahukan caranya. Lakukan itu di dalam kelompok kecil,
maka murid akan dengan sendirinya akan saling bertanya dan mencoba
mengasosiasi.
Jadi, kalau dirangkai terbalik, rancangan pembelajarannya bisa dilakukan
sebagai berikut:
TABEL 1. Contoh Deskripsi Kegiatan Guru dalam Penerapan Observation-Based Learning

Jenis Kegiatan Siswa Deskripsi Kegiatan Guru


Mengamati Meminta siswa menuliskan matriks ordo 2 x 2 di kertas masing-
masing (mungkin setiap siswa menulis sebanyak 5 matriks).
Sesudah selesai menuliskan matriksnya, guru berkeliling kelas, dan
menentukan nilai determinan dari salah satu matriks (dari lima
matriks yang dibuat siswa, pilih salah satu matriks dan tentukan
nilai determinannya). Lakukan sedemikian rupa sehingga setiap
kelompok kecil akan memperoleh sedikitnya 4 matriks dan 4 nilai
determinannya.
Menanya Tanyakan kepada siswa: “Apakah kalian sudah tahu cara guru
menentukan nilai determinan matriks tersebut? Apakah kalian ingin
tahu?”
Kalau siswa menjawab ingin tahu, suruhlah mereka menuliskan di
kertas mereka masing-masing apa yang ingin diketahuinya? Dorong
agar pertanyaan itu adalah pertanyaan dari kelompok.
Kalau siswa menjawab tidak ingin tahu, tetapi penyebab utamanya
adalah kurang termotivasi, beritahu mereka bahwa akan ada
permainan misalnya “yang mampu menghasilkan 10 matriks ordo 2
x 2 dengan determinan sama dengan 2 dalam waktu yang secepat-
cepatnya, akan diberi hadiah.
Catatan: yang paling penting, upayakan agar mereka mengajukan
pertanyaan investigatif. Kalau perlu, siswa bisa dibiasakan
membuat pertanyaan investigatif dengan setiap hari harus
melakukan “sarapan menanya”, yaitu setiap hari mengajukan
pertanyaan
investigatif.
Mengumpulkan informasi Setiap siswa tadi kan sudah membuat 5 matriks, dan satu matriks
sudah ditetapkan nilai determinannya.
Agar siswa mau mengumpulkan informasi, mintalah siswa
mengemukakan matriksnya ke pada guru (mungkin ditulis di
papan), dan guru menuliskan nilai determinannya tanpa
memberitahu bagaimana cara mencarinya. Kalau ini dilakukan
untuk setiap anak satu matriks, sudah cukup banyak bahan bagi
siswa untuk mengumpulkan contoh-contoh matriks dan nilai
determinannya.
Mintalah setiap kelompok menuliskan matriks-matriks tersebut agar
mereka memiliki kumpulan informasi yang memadai sehingga
mereka termungkinkan untuk melakukan asosiasi atau penalaran.
Mengasosiasi Setelah setiap kelompok memiliki kumpulan matriks dan nilai
determinanya, mintalah mereka untuk melakukan diskusi atau kerja
kelompok guna menemukan cara untuk menentukan nilai
determinan dari matriks-matriks tersebut. Selanjutnya, mintalah
mereka menguji dugaan tentang cara menentukan nilai determinan
ini dengan menerapkannya kepada kumpulan matriks tersisa yang
masih dimilikinya dan berikan penilaian benar atau salah terhadap
hasil kerja mereka. Yang lebih penting lagi, mintalah mereka
mengemukakan justifikasi mengapa mereka menentukan hasil
seperti itu. Yakinkan mereka untuk membuat bahan presentasi
tentang apa yang telah mereka pikirkan.
Mengomunikasikan Mintalah kelompok siswa untuk berbagi dengan mengemukakan
hasil pemikiran mereka. Variasinya bisa dibuat dengan cara
meminta wakil kelompok mempresentasikan ide mereka di depan
kelas, atau kunjung karya, dan karya kunjung serta berbagai macam
cara mengomunikasikan lainnya. Yang penting, upayakan agar
siswa tidak bosan dan jenuh dengan cara pengkomunikasian yang
dilakukan.

6. Penutup
Dari uraian di atas, tampak bahwa penggunaan backward design memberikan
peluang besar untuk dilaksanakannya observation-based learning atau pendekatan
saintifik. Dengan rancangan seperti di atas, siswa akan mengembangkan
kemampuan berpikir induktif dan karenanya masih diperlukan lagi satu tahapan
penting dalam pembelajaran matematika ala Kurikulum 2013 ini.
Apa yang dicapai siswa dari belajar dengan pendekatan saintifik ini lebih
banyak sebatas menghasilkan konjektur atau dugaan yang belum terbukti secara
matematis. Tugas guru sesudahnya adalah membantu siswa melihat secara
deduktif aksiomatis. Guru bisa meminta siswa mencari buku rujukan lain, atau
belajar dari sumber lain.

Daftar Pustaka

[1] As’ari, A.R.a. Berbagai Permasalahan Pembelajaran Matematika dalam


Kurikulum 2013, dan Beberapa Upaya untuk Mengatasinya: Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional ‘Solusi Problematika Implementasi
Kurikulum 2013 untuk Mewujudkan Pembelajaran yang Berkualitas.
Jember: Himpunan Mahasiswa Matematika FKIP Universitas Jember, 16
Maret 2014
[2] As’ari, A.R. b. Mewujudkan Pendekatan Saintifik dalam Kelas Matematika.
Makalah disajikan dalam Seminar Jurusan Matematika FMIPA Universitas
Negeri Malang. 6 Maret 2014.
[3] Burson, T. The Effects of Backward-Designed Curriculum and Instruction
on Classroom Instruction. A Dissertation submitted to the Education
Faculty of Lindenwood University. 2011.
[4] Duncan, G.& Met, M. M. Startalk: From Paper to Pencil. College Park.
MD: National Foreign Language Center at the University of Maryland.
Available at www.startalk.umd.edu/lesson_planning. 2010.
[5] Fox, B. E. and Doherty, J. J. Design to Learn and Learn to Design:Using
Backward Design for Information Literacy Instruction. Communications in
Literacy. Volume 5. Issue No 2. 2012
[6] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 67 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: 2013
[7] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 68 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: 2013
[8] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 69 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: 2013
[9] Mahmud, N. Learning to Plan: An Investigation of Malaysian Student
Teacher’s Lesson Planning During Their Practicum. A Thesis to be
Submitted to University of East Anglia for the degree of Doctor of
Philosophy. University of East Anglia. 2010.
[9] Nuh, M. Menyemai Kreator Peradaban. Mizan, 2014.
[10] Wiggins, G. and McTighe, J. Understanding by Design: Extended
2nd Edition. Alexandria, VA: ASCD, 200
View publication stats
Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents. Visit for more information.

AEC659
doi.org/10.32473/edis-wc322-2019

Apa yang dimaksud dengan Memahami dengan


Desain (UbD)?1
Margaret Reaves, Rigo Chapparo, J. C. Bunch, dan Carla B. Jagger2

Pendahuluan Menciptakan seperangkat ekspektasi


Pendidik berperan sebagai perancang kurikulum dengan
menciptakan pengalaman belajar yang memenuhi
tujuan pembelajaran yang spesifik bagi peserta didik.
Efektivitas desain kurikulum ditentukan oleh apakah
peserta didik telah memenuhi tujuan pembelajaran
yang ditentukan. Meskipun standar dari apa yang
diajarkan sering kali bergantung pada apakah instruksi
tersebut melalui pendidikan formal atau non-formal,
harus ada panduan yang jelas tentang apa yang harus
dipahami dan dapat dilakukan oleh siswa sebagai
sebagai hasil dari instruksi. Daripada berfokus pada
kegiatan pembelajaran apa yang akan ditawarkan,
instruktur harus terlebih dahulu merencanakan apa
hasil pembelajaran yang akan dicapai oleh para
siswanya.
Menggunakan Understanding by Design (UbD) sebagai
pendekatan untuk merancang kurikulum memungkinkan
instruktur untuk fokus pada hasil pembelajaran yang
diinginkan dan menyediakan struktur untuk pembelajaran
siswa (Wiggins & McTighe, 2005). Dengan menggunakan
pendekatan ini, yang berlawanan dengan bentuk-bentuk
perencanaan kurikulum lainnya, membuat para instruktur
dalam pengajaran dan penyuluhan berfokus terutama
pada hasil pembelajaran daripada proses pembelajaran.

Apa yang dimaksud dengan


desain mundur?
Model Desain Terbalik berfokus pada tujuan
pembelajaran sebagai hasil dari instruksi sebelum
merencanakan kegiatan pembelajaran dan metode
pengajaran. Meskipun penting untuk memikirkan konten
apa yang akan diajarkan dan bagaimana Anda ingin
mengajarkannya, fokus pertama-tama harus pada hasil
yang diinginkan dari kurikulum. Menggunakan desain
mundur menawarkan cara konkret untuk
mengkomunikasikan ekspektasi pembelajaran.
pembelajaran yang jelas dengan menggunakan
Pemahaman berdasarkan Desain
sering kali menghasilkan pencapaian siswa yang lebih Tahap 1: Identifikasi Hasil yang Diinginkan
tinggi karena pendekatan yang terorganisir
Ketika mengidentifikasi hasil yang diinginkan, instruktur
menguraikan apa yang harus dipelajari di akhir
harus memeriksa standar isi yang akan diajarkan dan
pelajaran atau unit.
mengembangkan tujuan instruksional (untuk informasi
Wiggins dan McTighe (2005) menggambarkan
lebih lanjut mengenai cara membuat tujuan
Pemahaman dengan Desain melalui tiga tahap: a)
instruksional, lihat EDIS WC245/AEC583 Writing
mengidentifikasi hasil yang diinginkan, b) menentukan
Instructional Objectives, https://edis.ifas.ufl.edu/ wc245).
bukti yang dapat diterima, dan c) merencanakan
Selain itu, instruktur harus meninjau
pengalaman belajar dan instruksi (lihat Gambar 1).
Gambar 1. UbD: Tahapan Desain
Mundur. Kredit: Wiggins & McTighe (2005)

1. Dokumen ini adalah AEC659, salah satu seri dari Departemen Pendidikan dan Komunikasi Pertanian, Penyuluhan UF/IFAS. Tanggal publikasi
asli Januari 2019. Direvisi April 2023. Kunjungi situs web EDIS di https://edis.ifas.ufl.edu untuk versi yang saat ini didukung dari publikasi ini.

2. Margaret Reaves, asisten pascasarjana; Rigo Chapparo, asisten pascasarjana; JC Bunch, asisten profesor; dan Carla B. Jagger; Departemen
Pendidikan dan Komunikasi Pertanian; UF/IFAS Extension, Gainesville, FL 32611.

Institute of Food and Agricultural Sciences (IFAS) adalah Lembaga Kesempatan yang Setara yang berwenang untuk menyediakan penelitian, informasi pendidikan, dan
layanan lainnya hanya untuk individu dan lembaga yang berfungsi tanpa diskriminasi sehubungan dengan ras, kepercayaan, warna kulit, agama, usia, disabilitas, jenis
kelamin, orientasi seksual, status perkawinan, asal kebangsaan, pendapat politik, atau afiliasi. Untuk informasi lebih lanjut tentang cara mendapatkan publikasi
Penyuluhan UF/IFAS lainnya, hubungi kantor Penyuluhan UF/IFAS di wilayah Anda.
Departemen Pertanian A.S., Layanan Penyuluhan UF/IFAS, Universitas Florida, IFAS, Program Penyuluhan Koperasi Universitas A & M Florida, dan Dewan Komisaris Daerah
yang bekerja sama. Andra Johnson, dekan Penyuluhan UF/IFAS.
cakupan dan urutan dari apa yang akan diajarkan. Tahap 2 (Wiggins & McTighe, 2005). Instruktur harus
Sebagai hasil dari peninjauan ruang lingkup dan urutan, mempertimbangkan pengetahuan dan keterampilan yang
instruktur mungkin menemukan banyak sekali materi dimiliki oleh peserta didik ketika membuat tujuan
yang ingin mereka ajarkan. Namun, penting untuk pembelajaran untuk menantang peserta didik sambil
memprioritaskan dan memadatkan konten agar lebih memberikan kesempatan untuk melakukan scaffolding.
jelas dalam urutan yang mengalir secara logis. Terakhir, Elemen WHEREETO, yang dijelaskan di bawah ini,
penting untuk membuat identifikasi sespesifik mungkin berfungsi sebagai kerangka kerja untuk praktik terbaik
ketika ketika menciptakan pengalaman belajar
hasil yang diinginkan (Wiggins & McTighe, 2005). Ketika
menentukan hasil yang diinginkan, beberapa pertanyaan
penting yang perlu dipertimbangkan adalah

• Apa yang harus dapat dilakukan, diketahui,


dan dikuasai oleh peserta didik di akhir
pengajaran?
• Konten apa yang harus saya ajarkan?
• Dalam urutan apa saya harus mengajarkan konten?
• Pemahaman jangka panjang apa yang diinginkan di
akhir instruksi?

Tahap 2: Tentukan Bukti yang Dapat


Diterima
Instruktur harus mulai memikirkan bagaimana ia akan
mengumpulkan bukti-bukti pembelajaran selama Tahap
2. Tahap ini sering kali melibatkan instruktur untuk lebih
memikirkan bagaimana mereka akan memberikan bukti
pembelajaran dan kemahiran siswa sebelum memutuskan
bagaimana mereka akan mengajarkan pengetahuan dan
keterampilan yang akan diajarkan. Biasanya, bukti
pembelajaran siswa
dikumpulkan dalam bentuk penilaian (misalnya, kuis, tes,
proyek, dll.). Penilaian yang dibuat harus selaras dengan
hasil pembelajaran yang diinginkan yang telah
ditetapkan. Enam Aspek Pemahaman, yang dijelaskan di
bawah ini, memberikan kerangka kerja tentang
bagaimana mengukur tujuan pembelajaran secara kritis
(Wiggins & McTighe, 2005). Beberapa pertanyaan penting
yang perlu dipertimbangkan adalah:

• Bagaimana saya bisa tahu jika peserta didik


telah mencapai hasil yang diinginkan?
• Apa bukti yang dapat diterima untuk prestasi siswa?

Tahap 3: Rencanakan Pengalaman Belajar


& Instruksi
Setelah hasil yang diinginkan dan bukti untuk
pemahaman telah ditetapkan, maka sudah selayaknya
untuk mulai merencanakan kegiatan instruksional.
Kegiatan instruksional harus terarah dalam
membantu menetapkan tujuan instruksional yang
jelas dan mengarah pada penilaian yang dibuat dalam

Apa yang dimaksud dengan 2


Understanding by Design (UbD)?
dan instruksi. Gambar 1 menunjukkan bahwa Tahap 3 Interpretasi adalah kemampuan untuk memaknai
merupakan langkah terakhir karena harus informasi melalui narasi, data, pengalaman, dan
mempertimbangkan hasil yang diinginkan dan penilaian terjemahan.
yang akan dikumpulkan dari peserta didik. Beberapa Interpretasi dapat ditunjukkan melalui berbagai strategi
pertanyaan yang perlu dipertimbangkan antara lain: penilaian, seperti menafsirkan makna melalui peristiwa,
data, pengalaman, penceritaan, atau persepsi tentang fakta-
• Pengetahuan dan keterampilan apa yang fakta tertentu. Interpretasi membantu peserta didik untuk
dibutuhkan peserta didik agar dapat bekerja secara memahami mengapa konsep tertentu penting atau
efektif dan mencapai hasil yang diinginkan? bagaimana konsep tertentu
• Bagaimana kegiatan pembelajaran yang telah saya
pilih dapat membantu para peserta didik saya
memperoleh pengetahuan dan keterampilan?
• Bagaimana seharusnya keterampilan
dan pengetahuan yang sedang dinilai
dilatih?
• Materi dan sumber daya apa yang
diperlukan untuk memenuhi tujuan
instruksional saya?

Enam Aspek Pemahaman


Enam Aspek Pemahaman menawarkan pendekatan
yang komprehensif dalam menentukan bukti yang
dapat diterima dari ide-ide, konsep, dan
pengetahuan utama. Istilah "memahami" adalah
terlalu luas untuk digunakan dalam mengukur
pembelajaran siswa. Oleh karena itu, Enam Aspek
Pemahaman menawarkan pendekatan khusus tentang
bagaimana instruktur menilai pembelajaran siswa
(Wiggins & McTighe, 2005).

Penjelasan
Penjelasan adalah kemampuan untuk menggambarkan
ilustrasi, teori, peristiwa, ide, atau tindakan. Dalam
aspek pemahaman ini, siswa harus membuat
penjelasan tentang bagaimana sesuatu bekerja, mengapa
sesuatu itu bekerja, mengapa peristiwa tertentu terjadi,
dan apa yang tersirat di dalamnya. Segi pemahaman ini
pertama kali dicetuskan oleh Dewey (1933), yang
menggambarkan segi ini melalui penjelasan tentang
berbagai hal dengan mencatat bagaimana sesuatu
bekerja atau beroperasi, bagaimana hal-hal tertentu
berhubungan satu sama lain, apa akibat dari hal-hal
tersebut, dan mengapa hal-hal tertentu terjadi seperti
itu.

Contoh dari hal ini di kelas Ilmu Peternakan dapat


mencakup meminta peserta didik menjelaskan sistem
estrus sapi melalui beberapa jawaban singkat. Instruktur
dapat menanyakan fungsi hormon tertentu, lamanya
setiap fase, atau meminta peserta didik menjelaskan fase
estrus (panas berdiri).

Interpretasi
Apa yang dimaksud dengan 3
Understanding by Design (UbD)?
tujuan pembelajaran yang berhubungan dengan masyarakat melalui fasilitas tersebut. Para peserta kemudian
hal tersebut (Wiggins & McTighe, 2005). menggunakan refleksi dari pengalaman mereka untuk
membuat rencana pemasaran mereka sendiri untuk
Contoh dari hal ini di kelas hortikultura adalah melalui fasilitas kebun komunitas dari lahan pertanian ke meja
praktikum pemupukan. Di laboratorium, instruktur makan.
dapat meminta peserta didik untuk membaca bagian
dari laporan laboratorium untuk menentukan
kebutuhan pupuk tanaman tertentu. Di akhir praktikum,
instruktur dapat meminta peserta didik untuk
menginterpretasikan beberapa data yang dihasilkan
oleh kelas. Dalam laporan praktikum, instruktur dapat
menanyakan kepada peserta didik apa yang telah
mereka simpulkan dan meminta peserta didik
merefleksikan bagaimana pengamatan dan data yang
mereka dapatkan menghasilkan kesimpulan.

Aplikasi
Aplikasi melibatkan penggunaan pengetahuan dalam
situasi yang beragam atau baru dalam konteks yang nyata.
Peserta didik sering kali menunjukkan kemahiran dalam
penerapan dengan menggunakan pengetahuan dan
mengadaptasinya dalam situasi yang mengharuskan
mereka untuk
membuat sintesis tentang tugas tersebut. Penerapan
adalah pendekatan berbasis keterampilan. Kolb (1984)
adalah salah satu orang pertama yang menggambarkan
aspek pemahaman ini melalui siklus pembelajaran
berbasis pengalaman, yang digambarkan sebagai empat
bagian siklus: a) pengalaman konkret, b) pengamatan
reflektif, c) konseptualisasi abstrak, dan d)
eksperimentasi aktif.

1.Pengalaman Konkret: pelajar menemukan


pengalaman baru, atau sesuatu yang mirip
dengan apa yang telah mereka alami sebelumnya.

2.Pengamatan Reflektif: peserta didik merefleksikan


pengalaman dan pemahaman konsep-konsep
penting.

3.Konseptualisasi Abstrak: pelajar menggunakan


refleksi untuk mengkonseptualisasikan ide-ide baru.

4.Eksperimen Aktif: pelajar menerapkan ide baru ke


dunia di sekitar mereka untuk melihat hasilnya.

Penerapan sering kali diukur melalui pembelajaran


berbasis kinerja (Kolb, 1984; Wiggins & McTighe, 2005).

Contoh dari hal ini dalam mata kuliah Ilmu Pangan dapat
dilakukan melalui kunjungan lapangan kelas ke fasilitas
kebun komunitas lokal yang langsung ke meja makan.
Banyak peserta didik yang belum pernah mengunjungi
fasilitas seperti ini sebelumnya. Di akhir kunjungan
lapangan, instruktur meminta peserta didik untuk
merefleksikan beberapa manfaat yang diberikan kepada
Apa yang dimaksud dengan 4
Understanding by Design (UbD)?
Perspektif Pengetahuan Diri
Perspektif adalah kemampuan untuk berpikir secara Pengetahuan diri adalah kemampuan untuk memahami
kritis melalui konteks dengan menggunakan berbagai keterbatasan pengetahuan seseorang dalam memahami
sudut pandang untuk membantu menjawab pertanyaan suatu ide atau konsep. Untuk mencapai pengetahuan
atau masalah yang kompleks. Menggunakan perspektif diri, peserta didik harus terbiasa dengan keterbatasan
sering kali membantu membangun keterampilan berpikir mereka dalam memahami, serta memahami apa arti dari
kritis pada siswa dengan memeriksa kesimpulan, setiap informasi bagi mereka. Meskipun tidak mungkin
implikasi, tradisi, atau asumsi yang dibuat. untuk menghilangkan bias, penting untuk membatasi
jumlah bias yang diberikan dalam instruksi. Hal ini
Contoh dari hal ini dalam mata kuliah Dasar-dasar melibatkan tidak terlalu menggeneralisasi asumsi yang
Pertanian dapat berupa mengadakan debat di kelas dibuat dalam pembelajaran (Wiggins & McTighe,
mengenai pandangan mengenai produk makanan hasil 2005). Contoh dari hal ini adalah dalam mata kuliah
rekayasa genetika. Instruktur dapat meminta peserta Mekanika Pertanian. Instruktur mungkin memiliki
didik untuk memikirkan sudut pandang mereka yang
paling mereka setujui - pro-RG atau non-RG. Setelah
instruktur mengumpulkan sudut pandang peserta
didik, instruktur akan membagi peserta didik ke dalam
beberapa kelompok berdasarkan sudut pandang.
Peserta didik harus menggunakan keterampilan
berpikir kritis untuk membuat presentasi yang
menyampaikan sudut pandang mereka dengan sopan,
bagaimana sudut pandang mereka berbeda dari pihak
lawan, dan menyarankan cara untuk menentukan
sudut pandang mana yang lebih baik untuk didukung
oleh berbagai masyarakat.

Empati
Empati melibatkan siswa untuk masuk ke dalam
perasaan atau pandangan dunia orang lain. Kemampuan
untuk merasakan perasaan orang lain memberikan
perspektif emosional bagi siswa. Empati berbeda dengan
perspektif karena empati tidak memungkinkan kita
untuk melepaskan diri dari siswa secara objektif. Empati
memungkinkan siswa untuk melampaui pendapatnya
sendiri untuk membuat makna emosional (Wiggins &
McTighe, 2005).

Dalam mata kuliah Landasan Pertanian, empati


dapat digunakan saat membahas tantangan umum
yang dihadapi para ahli pertanian saat ini. Dengan
rasa hormat, dengan
Dengan menyadarkan para peserta akan beberapa
perjuangan umum para petani dan peternak, yang
beberapa di antaranya mungkin terjadi di komunitas
mereka sendiri, instruktur dapat menetapkan
konteks emosional bagi para peserta. Instruktur
dapat mendiskusikan beberapa alternatif yang
dipertimbangkan dalam keputusan untuk menutup
sebuah peternakan, dan meminta para peserta untuk
membuat rencana aksi bagi komunitas mereka untuk
menyelesaikan beberapa masalah lokal.

Apa yang dimaksud dengan 5


Understanding by Design (UbD)?
Peserta didik memecahkan masalah pada empat mesin T-Be TAILORED untuk mencerminkan bakat, minat, gaya,
kecil yang berbeda untuk memecahkan masalah umum. dan kebutuhan individu. Aspek ini membutuhkan
Dengan melakukan kegiatan ini, para peserta didik menjadi pengetahuan tentang apa yang lebih disukai oleh peserta
sadar akan pengetahuan diri mereka saat ini. didik Anda. Jika sebagian besar peserta didik Anda lebih
menyukai tugas-tugas kreatif daripada tugas menulis,
Unsur-unsur yang mana instruktur harus mencoba memfokuskan kegiatan
instruksional pada hal-hal yang menarik minat mereka.
WHERETO adalah akronim yang digunakan untuk
Menyesuaikan pembelajaran siswa dapat terjadi dalam
menyoroti pertimbangan-pertimbangan utama dalam
desain instruksional. Elemen-elemen WHERETO dapat
berfungsi sebagai resep yang menilai pengalaman belajar
yang direncanakan dan instruksi di Tahap 3. Lampu sorot
WHERETO meliputi (Wiggins & McTighe, 2005):

W-Pastikan bahwa peserta didik memahami KEMANA


dan unit ini menuju dan MENGAPA. Hal ini dapat
dilakukan dengan menuliskan pertanyaan-pertanyaan
penting di papan tulis, memulai unit pelajaran dengan
tujuan pembelajaran, atau mengakhiri pelajaran dengan
sesuatu yang dapat dipikirkan untuk pelajaran
berikutnya atau pelajaran yang akan datang.

H-Anda dapat memikat peserta didik di awal dan


MENAHAN perhatian mereka selama proses pembelajaran.
Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang menarik
melalui pertanyaan mengenai ide-ide kunci dari pelajaran
sebelumnya, meminta siswa untuk menonton klip pendek
yang berhubungan dengan pelajaran, atau menampilkan
sesuatu yang tidak biasa atau berbeda di depan kelas. Ada
banyak kegiatan lain yang dapat menarik perhatian siswa
ke dalam pelajaran.

E-EQUIP peserta didik dengan pengalaman, alat,


pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk
memenuhi tujuan kinerja.
Peserta didik harus merasa mampu melakukan tugas-
tugas spesifik yang terkait dengan tujuan pembelajaran.
Hal ini dapat dilakukan melalui perancah dari pelajaran
sebelumnya ke pelajaran saat ini.

R-Memberi peserta didik banyak kesempatan untuk


MEMIKIRKAN kembali ide-ide besar, MEREFLEKSIKAN
kemajuan, dan MEREVISI pekerjaan mereka. Instruktur
mungkin dapat melakukannya dengan mengizinkan
peserta didik untuk merefleksikan penilaian untuk
mendapatkan kredit parsial, mengizinkan kritik pada
makalah dari umpan balik instruktur, atau memberikan
waktu untuk tinjauan sejawat pada suatu proyek.

E-Build memberikan kesempatan kepada para


pembelajar untuk MENGEVALUASI kemajuan dan
menilai diri sendiri. Peserta didik harus diizinkan untuk
mengevaluasi pekerjaan yang telah mereka berikan
kepada instruktur melalui penilaian mandiri yang
diberikan melalui rubrik.
Apa yang dimaksud dengan 6
Understanding by Design (UbD)?
cara lain, seperti memberikan pilihan kepada peserta
didik untuk memilih tugas yang mereka sukai.

O-Be DIATUR untuk mengoptimalkan pemahaman


yang mendalam dan bukan cakupan yang dangkal.
Instruktur harus memikirkan ide atau konsep
utama sebagai bagian utama dari
instruksi dalam alur yang logis. Sering kali, perlu ada
bagian rangkuman untuk pelajaran yang secara singkat
mengidentifikasi apa yang Anda inginkan dari pelajaran
hari itu.

Template UbD
Garis besar desain mundur sering kali mencakup
masing-masing dari ketiga tahap tersebut, serta elemen
WHENETO. Di bawah ini adalah templat UbD yang
umum digunakan untuk instruktur yang mencakup
pertanyaan-pertanyaan desain utama (Wiggins &
McTighe, 2005).
Gambar 2. Templat UbD dengan Pertanyaan Desain
untuk Instruktur. Kredit: Wiggins & McTighe (2005), hal. 22

Apa yang dimaksud dengan 7


Understanding by Design (UbD)?
Gambar 3. Contoh UbD untuk Pendidikan Gambar 4. Contoh UbD untuk Pendidikan Non-
Formal. Kredit: Wiggins & McTighe (2005) Formal. Kredit: Wiggins & McTighe (2005)
Kesimpulan Ucapan Terima Kasih
Desain mundur adalah cara yang terarah untuk Tyler L. D'Angelo, Andrew C. Thoron
mendesain instruksi, karena menguraikan hasil yang
spesifik sebelum merencanakan instruksi.
Tidak seperti bentuk perencanaan pembelajaran Referensi
lainnya, perencanaan ini berfungsi sebagai panduan Dewey, J. (1933). Bagaimana kita berpikir: Pernyataan
untuk mengidentifikasi hasil yang diinginkan, ulang tentang hubungan pemikiran reflektif dengan proses
bagaimana pembelajaran akan dilakukan pendidikan. Henry Holt.
dinilai, dan kemudian menambahkan strategi instruksional
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini Kolb, D. (1984). Pembelajaran berdasarkan
menciptakan sistem yang terorganisir untuk merancang pengalaman: Pengalaman sebagai sumber
instruksi dan memberikan ekspektasi yang jelas tentang pembelajaran dan pengembangan. Prentice Hall.
pembelajaran siswa. Struktur ini mendorong pelajaran
yang dipikirkan dengan matang oleh instruktur, sehingga Wiggins, G. P., & McTighe, J. (2005). Memahami
mendorong pencapaian dan penguasaan pemahaman dengan desain. Asosiasi untuk Supervisi dan
siswa. Pengembangan Kurikulum.

Apa yang dimaksud dengan 8


Understanding by Design (UbD)?

Anda mungkin juga menyukai