Anda di halaman 1dari 3

Antiklimaks Perkara Pengubahan Frasa di MK

Oleh: Irwan P. Ratu Bangsawan

Mahasiswa PJJ Hukum Universitas Siber Muhammadiyah, Yogyakarta

HAKIM Konstitusi Guntur Hamzah dinyatakan terbukti melanggar etik oleh Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena mengubah frasa "dengan demikian"
menjadi "ke depan" dalam Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. Atas pelanggaran
tersebut, Guntur dikenai sanksi teguran tertulis.

MKMK menilai bahwa ada beberapa hal yang memberatkan sehingga Guntur dianggap layak
disanksi. Pertama, tindakan Guntur terjadi pada saat publik masih memperbincangkan isu
keabsahan pemberhentian Aswanto, sehingga memunculkan spekulasi bahwa tindakan
tersebut adalah upaya untuk menyelamatkan diri. Kedua, Guntur seharusnya mampu
mencegah tindakannya itu karena saat itu ia belum menjadi hakim saat perkara diputus oleh
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 17 November 2022. Ketiga, Guntur sebagai
hakim baru seharusnya bertanya tentang tahapan perubahan putusan.

Namun, MKMK juga menilai bahwa ada beberapa hal yang meringankan bagi Guntur.
Pertama, Guntur bersikap transparan kepada MKMK dan mengakui perbuatannya mencoret
serta mengubah frasa dalam putusan itu. Kedua, praktik seperti yang terjadi dalam kasus
Guntur sebenarnya biasa dilakukan selama beroleh persetujuan dari para hakim lain dan tidak
dilakukan secara diam-diam. Ketiga, belum ada prosedur baku untuk praktik seperti itu.
Keempat, MKMK dinilai lamban merespons tindakan Guntur yang sebenarnya sudah mereka
ketahui beberapa hari setelahnya. Jika MK bergerak cepat, masalah ini tidak akan berlarut-
larut dan bahkan MKMK mungkin tidak perlu dibentuk.

Sebelumnya, beberapa orang hakim telah mengetahui tindakan Guntur dan telah mengakui
pelanggarannya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun, RPH tersebut tidak
dilaksanakan karena alasan teknis psikologis. MKMK berpendapat bahwa jika MK bertindak
cepat, masalah ini tidak perlu menimbulkan kontroversi dan bahkan MKMK mungkin tidak
perlu dibentuk.

Antiklimaks

Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait pelanggaran etik oleh
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam memodifikasi putusan MK Nomor
103/PUU-XX/2022 tersebut dipandang publik menjadi antiklimaks dari harapan besar
terhadap tegaknya keadilan dan kebenaran. Alih-alih memuaskan harapan publik, putusan
tersebut mendapat kritik dari sebagian kalangan masyarakat. Salah satu kritik yang
dilontarkan adalah bahwa sanksi yang diberikan kepada Hakim Guntur dianggap terlalu
rendah.

Meskipun terbukti bersalah melanggar etik karena mengubah frasa "dengan demikian"
menjadi "ke depan", MKMK hanya memberikan sanksi teguran tertulis. Beberapa pihak
menilai bahwa sanksi teguran tertulis yang diberikan oleh MKMK tidak sebanding dengan
kesalahan yang dilakukan oleh Hakim Guntur. Mereka berpendapat bahwa Guntur
seharusnya dikenakan sanksi yang lebih berat, seperti pemberhentian dengan tidak hormat.
Sanksi tersebut dianggap lebih memadai untuk mengajarkan pelajaran kepada seluruh hakim
di Indonesia bahwa pelanggaran etik tidak akan ditoleransi.

Kritik lain yang dilontarkan adalah bahwa putusan MKMK tidak memberikan efek jera yang
cukup terhadap hakim konstitusi lainnya. Beberapa kalangan meragukan apakah putusan ini
akan menjadi efektif dalam mencegah hakim lain melakukan pelanggaran etik di masa depan.
Mereka mempertanyakan apakah sanksi yang dijatuhkan cukup memberikan efek jera
sehingga dapat mencegah hakim konstitusi lainnya melakukan kesalahan yang sama.

Selain itu, publik juga mempertanyakan mengapa MKMK tidak memberikan sanksi yang
lebih tegas kepada Hakim Guntur, mengingat adanya beberapa faktor yang memberatkan.
Beberapa pihak menilai bahwa tindakan Guntur telah menimbulkan spekulasi dan keraguan
publik terhadap independensi MKMK. Mereka berpendapat bahwa sanksi yang lebih berat
dapat membantu mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.

Kritik juga dilontarkan terhadap MKMK yang dinilai terlalu lamban dalam menangani kasus
ini. Beberapa pihak meragukan efektivitas lembaga tersebut dalam menyelesaikan kasus-
kasus yang terjadi di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa MKMK harus lebih aktif dan
responsif dalam menangani kasus-kasus seperti ini sehingga dapat memberikan rasa keadilan
bagi seluruh masyarakat.

Nilai Etik Putusan MKMK

Putusan MKMK yang memberikan sanksi teguran tertulis kepada Hakim Guntur Hamzah
atas pelanggaran etik dalam putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 memiliki muatan etik
yang penting untuk ditekankan. MKMK menekankan pentingnya integritas dan moralitas
hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum yang adil dan berkeadilan.
Pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim dapat mengancam kepercayaan publik terhadap
lembaga peradilan.

MKMK juga menunjukkan bahwa hakim harus bertanggung jawab atas tindakan dan
keputusan yang diambilnya, terutama dalam hal penggunaan bahasa dan terminologi yang
tepat dalam putusan. Ketepatan bahasa dan terminologi sangat penting untuk memastikan
kejelasan dan kepastian hukum dalam sebuah putusan. Oleh karena itu, hakim harus
mempertimbangkan dengan cermat setiap kata yang digunakan dalam putusan.

Selain itu, MKMK menyoroti pentingnya transparansi dan kejujuran dalam menjalankan
tugas sebagai hakim. Hakim Guntur Hamzah dianggap berani dan jujur karena mengakui
kesalahannya dan berusaha memperbaikinya dengan mencoret dan mengubah frasa dalam
putusannya. Ini menunjukkan bahwa hakim harus memiliki integritas yang tinggi dan berani
mengakui kesalahannya ketika melakukan pelanggaran etik.

MKMK juga menekankan bahwa pelanggaran etik oleh seorang hakim dapat mempengaruhi
integritas dan reputasi MK secara keseluruhan. Oleh karena itu, sanksi yang dijatuhkan
terhadap Hakim Guntur Hamzah diharapkan dapat memberikan efek jera dan memperbaiki
citra MK di mata publik. Sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, MKMK harus
selalu menjaga reputasi dan integritasnya agar tetap dipercaya oleh masyarakat.

Selanjutnya, MKMK menyoroti pentingnya pengawasan internal dan prosedur baku dalam
menjaga etika dan moralitas hakim. Meskipun belum ada prosedur baku terkait perubahan
putusan seperti yang dilakukan oleh Hakim Guntur Hamzah, MKMK menilai bahwa tindakan
tersebut seharusnya mendapat persetujuan dari hakim lain dan dilakukan secara terbuka. Hal
ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kecurangan atau manipulasi dalam putusan.

Terakhir, MKMK juga mengajak MK untuk bergerak cepat dalam menangani pelanggaran
etik oleh hakim. Dengan demikian, putusan MKMK dapat dijadikan sebagai acuan bagi
hakim dan lembaga peradilan lainnya dalam menjaga integritas dan moralitas dalam
menjalankan tugasnya. MKMK juga berharap bahwa putusan ini dapat membantu
meningkatkan kualitas dan integritas lembaga peradilan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai