Anda di halaman 1dari 6

TUGAS UAS

ARTIKEL ILMIAH ACARA MK (C1)


Dosen Pengajar: Johannes Johny Koynja SH., MH.

Disusun Oleh:
Trianada Oktaditia (D1A021303)
Tutik Alawiyah (D1A021304)
Vini Mardiyani (D1A021307)

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2023

1
PERUBAHAN BUNYI AMAR PUTUSAN YANG BERSIFAT SUBSTANTIF DILUAR
RPH, YANG SEHARUSNYA TIDAK DAPAT MENGGANTIKAN OTORITAS KUALITAS
PERTIMBANGAN YANG SAMA DARI FORUM MUSYAWARAH HAKIM
KONSTITUSI

Trianada Oktaditia, Tutik Alawiyah, Vini Mardiyani


Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram-NTB, Indonesia
trianadaoktaditia@gmail.com, tutiktaetae18@gmail.com, vinimardiyani25@gmail.com

Abstrak

Berdasarkan Pasal 1 poin 9 Peraturan MK No. 2 tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang, menyatakan “Rapat Permusyawaratan Hakim yang selanjutnya
disingkat RPH adalah sidang yang dilaksanakan secara tertutup untuk membahas dan memutus
perkara PUU yang dihadiri oleh 9 (Sembilan) orang Hakim atau paling kurang 7 (tujuh) orang
Hakim”. Lalu dilanjutkan dengan Pasal 67 ayat (1) Peraturan MK No. 2 tahun 2021, menyatakan
dengan inti bahwa RPH dalam pengambilan putusan dilakukan dengan musyawarah untuk
mufakat. Oleh karena itu hal ini sangat menarik untuk dikaji terkait perubahan amar putusan yang
bersifat substantif diluar RPH, yang seharusnya tidak dapat menggantikan otoritas kualitas
pertimbangan yang sama dari Forum Musyawarah Hakim Konstitusi. Penelitian hukum ini
bertujuan untuk mengkaji pendapat hukum dan hukum positif yang ada tentang perubahan amar
putusan MK diluar RPH, sementara itu metode analisis menggunakan cara analisis pendapat
pihak pro dan pihak kontra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap pihak baik pro maupun
kontra memiliki landasan atau alasan-alasan hukum yang sama kuatnya, dimana pihak pro
mengatakan amar putusan tidak dapat diubah dari pengaruh luar RPH dikarenakan tiga alasan
yaitu kedaulatan hukum, kepastian hukum, dan kredibilitas dari MK itu sendiri. Kemudian
pendapat dari pihak kontra yaitu dapat dilakukan perubahan terhadap amar putusan diluar RPH
dengan dasar fleksibilitas dalam perubahan tersebut dapat menjadi pertimbangan hakim
konstitusi.
Kata Kunci: Perubahan Amar Putusan Diluar RPH, Otoritas, Kualitas Pertimbangan, MK,
MKMK.
I. PENDAHULUAN

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang berdasarkan


Undang-Undang Dasar, atau disebut dengan PUU. Sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan
2
Undang-Undang terbaru tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 2020.
Perkara PUU tersebut dibahas dan diputus melalui rapat Permusyawaratan Hakim atau RPH yang
merupakan sidang secara tertutup dan dilakukan oleh 9 orang Hakim atau paling sedikit 7 orang
Hakim. Kemudian dalam mekanisme nya RPH dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat
dan dilakukan oleh Hakim-Hakim yang hadir dalam RPH, hal ini sesuai dengan Pasal 67 ayat (1)
Peraturan MK No. 2 tahun 2021 tentang Cara Beracara dalam Perkara Pengujian UU. Mengingat
RPH ini dilakukan dalam sidang secara tertutup yang hanya dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan
dengan proses musyawarah untuk mufakat, namun bagaimana jika amar putusan yang sudah
disepakati dalam RPH tersebut dirubah oleh pengaruh dari luar RPH. Apakah hal tersebut bisa
dilakukan atau sudah bisa dikatakan sebagai pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi.
Permasalahan tersebut akan dianalisis dan dibahas secara mendalam dalam Hasil dan
Pembahasan artikel ilmiah berikut.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pendapat Pihak Pro

Menurut pihak pro mengenai judul artikel ini, amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
tidak boleh diubah karena prinsip kepastian hukum yang dijunjung tinggi dalam sistem
hukum Indonesia. Prinsip tersebut menjelaskan bahwa setelah MK mengeluarkan putusan,
putusan tersebut sudah dianggap final dan mengikat untuk semua pihak yang terlihat dalam
perkara tersebut. Kemudian, pihak pro menjelaskan ada beberapa alasan lain mengapa amar
putusan MK tidak boleh diubah, yaitu sebagai berikut:

Kedaulatan hukum, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang memiliki


kedaulatan hukum untuk memutuskan sengketa konstitusi. Setelah MK mengeluarkan
putusan, putusan tersebut menjadi otoritatif dan berlaku sebagai interpretasi konstitusi yang
mengikat semua pihak, termasuk lembaga-lembaga negara dan masyarakat umum. Jika
putusan dapat diubah-ubah, maka kedaulatan tersebut akan terganggu.

Kredibilitas Mahkamah Konstitusi, kredibilitas Mahkamah Konstitusi sebagai


lembaga konstitusi juga bergantung pada ketegasan dan kekuatan putusan yang dihasilkan.
Jika putusan MK dapat diubah-ubah, maka hal ini dapat mengurangi kredibilitas MK sebagai
lembaga independen yang memiliki wewenang final dalam menafsirkan konstitusi.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa keputusan MK juga tidaklah mutlak dan
tidak bersifat permanen. MK memiliki mekanisme untuk menguji ulang putusan-putusannya
dalam keadaan tertentu, seperti jika terdapat perubahan dalam situasi atau fakta yang relevan

3
atau jika ada permohonan pengujian ulang yang diajukan dengan dasar yang kuat. Namun,
perubahan putusan MK bukanlah hal yang umum dan hanya dilakukan dalam keadaan-
keadaan tertentu yang ditentukan oleh hukum.

Seperti contoh pada kasus Pelanggaran Kode Etik terhadap Hakim Konstitusi M.
Guntur Hamzah. Majelis Kehormatan MK menemukan fakta bahwa benar telah terjadi
perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam pertimbangan hukum
Putusan MK Nomor 103/PUU- XX/2022 bertanggal 23 November 2022. Perubahan tersebut
menjadi sebab terjadinya perbedaan antara bunyi naskah putusan yang diucapkan atau
dibacakan dalam sidang pengucapan putusan tanggal 23 November 2022 dan yang tertera
dalam laman Mahkamah Konstitusi yang ditandatangani oleh sembilan orang hakim
konstitusi. Perubahan tersebut diakui dilakukan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah
sebagai Hakim Terduga dengan alasan sebagai usul atau saran perubahan terhadap bagian
pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. Dampak dari perubahan frasa
“Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022
menyebabkan hilangnya koherensi pertimbangan hukum dalam menegaskan kembali esensi
pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020.1

2. Pendapat Pihak Kontra

Selanjutnya menurut pihak kontra menanggapi persoalan artikel ini, yaitu perubahan amar
putusan dapat dilakukan dengan dasar bahwa hal tersebut merupakan fleksibilitas terhadap
perubahan yang kemudian dapat menjadi pertimbangan Hakim Konstitusi. Perubahan
tersebut juga dapat meningkatkan kualitas dari amar putusan yang diubah. Adapun pihak
kontra menjelaskan alasan lain dapat dilakukannya perubahan amar putusan diluar RPH
yaitu untuk mengoreksi masalah yang timbul dari putusan, termasuk prinsip kepastian
hukum dimana untuk mencegah penafsiran yang berbeda-beda, menjadi pembentukan
pertimbangan hukum, dan sebagai bentuk kehormatan terhadap keadilan.

Mengenai kasus Guntur Hamzah, menurut pihak kontra Guntur Hamzah berhak
untuk merubah frasa dalam putusan tersebut, dengan tujuan sebagai usulan perubahan dan
perbaikan putusan dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman. Perubahan bunyi amar
putusan dapat dilakukan bilamana tidak untuk tujuan menguntungkan diri sendiri sehingga,
perubahan yang dilakukan oleh Guntur Hamzah itu diperbolehkan. Sebab tidak ada motif
pribadi dari perubahan bunyi amar putusan tersebut. Dan satu hal lagi terhadap putusan MK

1
(2023). Terbukti Melanggar Etik, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Harus Mundur! Jakarta Selatan: Indonesia
Corruption Watch.
4
pada sifatnya berlaku ke depan artinya perubahan yang dilakukan Guntur Hamzah tidak
berpengaruh kepada dirinya.

Kemudian pada Pasal 47 UU No. 24 tahun 2003 tentang MK yang berbunyi “Putusan
MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum”. Merujuk pada pasal tersebut, maka Hakim Konstitusi dapat melakukan
perubahan amar putusan selama putusan tersebut belum dibacakan. Sehingga perubahan
bunyi amar putusan yang dilakukan oleh Guntur Hamzah tidak dapat dikatakan salah.
Karena Guntur Hamzah melakukan perubahan bunyi amar putusan pada saat sebelum
putusan Nomor 103/PUU- XX/2022 diucapkan untuk umum.

III. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang sudah diuraikan diatas, kami sebagai pihak konklusi menyimpulkan
bahwa kedua pihak memiliki landasan hukum yang sama kuatnya, tidak ada yang lebih benar
atau lebih salah dalam membahas mengenai kasus ini. Dari pihak pro memberikan penjelasan
alasan-alasan mengapa tidak bisa dilakukan perubahan bunyi amar putusan diluar RPH dan
pihak kontra sebaliknya, dari alasan kedua pihak tersebut kami menyimpulkan terdapat satu
alasan yang sama dari kedua pihak. Alasan tersebut adalah prinsip kepastian hukum, namun
kedua pihak memberikan uraian dengan perspektif yang berbeda mengenai prinsip kepastian
hukum tersebut.

Dari pihak pro mengatakan prinsip kepastian hukum untuk alasan tidak dapat
dilakukannya perubahan terhadap bunyi amar putusan diluar RPH adalah putusan yang
dikeluarkan oleh MK sudah dianggap final dan mengikat dimana hal itu termasuk ke dalam
prinsip kepastian hukum, apabila putusan yang sudah dianggap final dan mengikat tadi
dilakukan perubahan diluar RPH maka akan mengganggu prinsip keadilan hukum.

Kemudian dari pihak kontra menjelaskan mengenai prinsip kepastian hukum menurut
mereka adalah dapat dilakukannya perubahan bunyi amar putusan bertujuan untuk untuk
mencegah penafsiran yang berbeda-beda. Sehingga apabila dilakukan perubahan itupula
bertujuan untuk mengoreksi masalah yang timbul dari putusan sehingga memberikan putusan
yang valid dan lebih menyesuaikan.

Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa yang lebih diutamakan
adalah proses RPH yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi, dengan mekanisme RPH dilakukan
dengan musyawarah untuk mufakat, dan apabila mufakat belum tercapai rapat dapat ditunda

5
sampai RPH selanjutnya, kemudian jika benar-benar tidak tercapai mufakat maka dilakukan
pengambilan suara terbanyak. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 67 ayat (4) dan (5) Peraturan
MK Nomor 2 tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Pengujian Undang-Undang.2

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang No. 2 tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Pengujian Undang-Undang.
Syukri Asy'ari, M. R. (2013). Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang. Jurnal Konstitusi, 3-4.
(2023). Terbukti Melanggar Etik, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Harus Mundur! Jakarta
Selatan: Indonesia Corruption Watch.

2
Syukri Asy'ari, M. R. (2013). Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian
Undang-Undang. Jurnal Konstitusi, 3-4.

Anda mungkin juga menyukai