Halaman
Daftar Isi .................................................................................................................. 1
Pendahuluan ........................................................................................................... 2
Bab I Ramalan Jayabaya ........................................................................................
Bab II Bermacam-macam Ramalan/Jangka Jayabaya .......................................
Bab IIITanggapan Masyarakat Luas ...................................................................
Bab IVLangkanya Buku Tentang Ramalan Jayabaya........................................
Bab V. Cara Memahami Ramalan.........................................................................
Bab VIRamalan Jayabaya Versi Sabdo Palon......................................................
Pupuh 1: Sinom ......................................................................................................
Pupuh 11 : Sinom I..................................................................................................
Pupuh III : bandarg Gula.......................................................................................
BabVII
............Terjemahan & Tafsir Ramalan Jayabaya Pupuh I Sinom
BabVIIIPupuh 11 Sinom Zaman Garuda Pancasila
Bab IXPupuh III Dandang Gula Pengantai............................................................
Bab X. Pupuh III Dandang Gula ..........................................................................42
Bab XISultan Heru Cakra Sang Ratu Adil itu, Siapa? ......................................so
Bab XII
............Meneliti 5ejarah Lewat Sabda Palon ...............................................................
............55
Bab XIII
............Filsafat Kejawen Tentanq "Sangkan Paraning Dumad,, .......................
Bab XIV
............Munculnya Tiga Kekuatan Sospol dan ...................................................z 6
4
Bab XV......................................................................................................................-
............:.Agama Sebagai ...............................................................................................
..............................................................................................................................................
.................61)
Bab XVI.....................................................................................................................
............R.amalan Jayab3ya dan Ranggawa.rsita ................................................. ;
Bab XVII....................................................................................................................Ada
Kereta Rerjalan Tanpa Kuda ................................................................................76
Bab XVIII
............Hukum Allah Ditendang, Manugla Gila HarO .....................................so
Bab XIX
............Dekadansl Moral Akibat Salah Jalan ......................................................83
Ramalan Jayabaya versi Sabda Palon - ini pernah saya buat sebagai
artikel bersambung di muat di Harlan Berita Buana Jakarta, dimulai tgl. 30
Januari 1975 hingga rampung. Di dalam buku ini kita sempurnakan lagi sesuai
dengan cara penyusunan buku sederhana (ilmiah populer) dengan maksud,
agar para pembaca yang tidak sempat mengikuti secara tertib lewat surat kabar
tersebut, dapat menikmati isinya secara tenang dan komplit, lewat penerbitan
buku ini. Naskah ini sebenarnya telah lama dipersiapkan dan akan dkerbitkan,
tetapi karena sesuatu hal terpaksa mundur hingga setahun lebih.
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah
karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang
dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini
memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya
punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat
Demak! Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau
dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat
masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai
pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang
Baginda benama Sabda Palon dan Nayaginggong, seperti yang akan kita
uraikan dalam buku ini.
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah
1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta.
Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni
Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu
(Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton
Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud
Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab
Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan -
Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama
baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu
gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya
Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Silam
pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedatan". Giri Kedatan ini
nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa
yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan
sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya
keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai
jaman Sunan Giri ke-3.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni,
Ratu Sundarowang ialah Mataram. 3) bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro
Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak
kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari
Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan
Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu
Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirlan
dan cara yang lain. Yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja
Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang
dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya
di Daha/ Kediri.
Jangka Jayabaya versi Sabdo Palon ini kiranya dikarang Pangeran Wijil
pada tahun 1675 Jawa = 1749 M. 5) Bersama dengan gubahannya ”Kitab
Musarar”, berbentuk puisi. Dengan begitu menjadi jelasiah apa yang kita baca
sekarang ini.
Notasi-Notasi :
1). *L. van Rijckevorsel, "Kitab riwayat Kepoelauan Hindia Timoer:, J.B. Wolter-
Groningen Batavia, 1928 hal 87
2). R. Tanoyo, : Djongko DjoJobojo" Sadu Budi Sala, 1946 Hal/catatan tentang
arti "bobodo" ialah raja yang menguasai seluruh wilayah yang rakyatnya masih
bodoh-bodoh yang dipengaruhi keinginan para Ki Ageng pengikut Syech Siti
3). * Mataram pada saat Sultan Agung disebut pula "Sundarowang", yang
kekuasaannya meliputi wilayah Jajatah plus tanah Pasudan/Pajajaran. ini ada
hubungannya dengan riwayat/dangeng Ciyung Wanara.
4). * Lihatlah pula Moch. Hari Soewarno dalam Berita Buana 27-11-1979, "
pengolah Ramalan Kitab Asrar yang disimpan kumpulkan oleh Sunan Giri
Parapan Ke-3".
5). * Mengingat Pangeran Wijil sudah wafat tahun 1747 M, dua tahun
sebelumnya karangan ini dimunculkan (1675 Jawa = 1749 M), maka persamaan
tahun Masehinya = 1749 tidak masuk akal, karena itu karangan ini sangat boleh
jadi dikutip aleh Yasadipura I, penggantinya.*
Tetapi setelah kita periksa lagi kata-kata permulaan setiap point dalam
Pupuh 11 (9 point), bila kita baca dari angka satu hingga sembilan, dari atas
kebawah, akan menunjukan nama sandi sang Pujangga : "R.Ng. Burhan Inggih
(point 1 seluruhnya) Ing Surakarta." (Point 2 s/d 9)***
RAMALAN JAYABAYA
1. Besuk yen wis ono kreto mlaku tanpa turonggo, tanah Jawa kalungan
wesi, prahu mlaku ing awang-awang, kali padha ilang kedunge, pasar ilang
kemandange, iku tondo yen tekane Jaman Djoyoboyo wis cedbak.
2. Bumi saya suwe saya mengkeret, sekilan bumi dipajeki, jaran doyan
sambel, kreto roda papat setugel. Wong wadon nganggo pakaian lanang, iki
bakal yen nemoni wolak-walike jaman.
3. Akeh janji ora dketepi, akeh wong nglanggar sumpahe dewe. Manungso
podho seneng nyalah. Tan nindake hukume Allah. Barang jahat diangkat-
angkat, barang suci dibenci.
5. Ukuman Ratu ora adil. Akeh pangkat kang jahat jail. Klakuan podho
ganjil, wong sing apik podho kepencil. Makaryo apik manungso, isin, Luwih
utomo ngapusi.
6. Wegah makarya kepingin urip kaya Raja. Ngumbar nafsu angkara murka
anggedekake duroko. Wong bener tenger-tenger, wong salah bungah-bungah.
Wong apik ditampik, wong jahat munggah pangkat.
8. Akeh jago tanpo bojo, wanita podho ora setiyo, laku sedang bubrah jare
gagah. Akeh biyung adal anak, akeh wanita adal awak. Bojo ijol-ijolan jarene
jempolan.
10. Akeh adal ilmu, akeh wong ngaku-ngaku. Njabane putih, njerone dadu.
Ngakune suci, sucine palsu. Akeh bujuk akeh loyo.
12. Akeh laknat, akeh pengkhianat. Akeh anak mangan bapak. Sedulur
nglarak sederek. Guru podho disatru. Buruh dadi mungsuh, tonggo podho
curigo. Kono-kene soyo angkaro murko.
13. Sing weruh ketutuh, sing ora iyo ketutuh, mbesuk yen ono perang teko
wetan, soko kulon, lor Lan kidul, wong becik soyo sengsoro Lan mbendul.
Wong jahat podho seneng mangan berkat.
14. Wektu iki akeh dandang diunekake kuntuk. Wong salah dianggap bener.
Pengkhianat nikmat. Durjana sangsoyo sempurno. Wong lugu keblenggu.
Wong mulyo dikunjoro.
15. Sing curang garang, sin jujur ancur. Wong dagang kemlanggang. Wong
judi podho ndadi. Akeh barang kharam, akeh anak kharam. Prawan cilik podho
ngidam, wanita podho nglamar priyo, isih bayi wis podho mbayi. Sing priyo
ngasorake drajade dhewe.
16. Wong golek pangan pindho gabah dan interi. Sing kebat, kebat kliwat,
sing kasep Kepleset. Sing gawe rame tompo gawe, sing cilik kecelik, sing
anggak ketungkak. Sing wedi podho mati, nanging sing ngawur podho
Makmur. Sing ngati-ngati sesambat kepati.
17. Akeh barang klebu luwang, akeh wong kaliren Lan wudho, ora dhuwe
wirang mergo kepekso. Wong tuku nglenik sing dodol, sind dodol akal-akal.
18. Pancen wolak-walike jaman. Amenangi jaman edan, sing ora edan ora
keduman. Sing waras podho nggaqas. Wong wani ditaleni. Wong doro podho
uro-uro. Begja-begjane sing eling Lan waspodho.
19. Ratu ora netepi janji, musno kuwasane Hang perbawane. Akeh omah ing
ndhuwur jaran. Wong podho mangan uwong. Kayu gligen Lan wesi podho
kolu diroso enak koyo ruti bolu. Yen bengi ora Iso turu.
20. Dagang barang saya laris, bandane saya ludes. Akeh wong kaliren ing
sisihe panganan. Akeh wong nyekel bondho ning uripe sangsoro. Sing edan
21. Wong waras Lan adil uripe anggagas Lan kepencil. Sing ora bisa maling,
podho digething. Sing pinter duroko pudho dadi konco. Wong bener soyo
thenger-thenger, wong salah soyo bungah-bungah begjane sing eling. Akeh
bondho musno ora karuan larine. Akeh pangkat Lan drajat podho ningkat ora
karuan sebab sebabpe.
22. Rawa podho dadi bero, ebila janmo manungso. Ebila majelis manungso
soro. Wong bener thenger-thenger, wong salah bungah-bungah. Begjane sing
elingi, begjane sing lali, nanging isih begja sing waspodho.
23. Mulo dan tkenono. Manungso Jowo mengku Ratu, wis ora bapa ora ibu,
titikane nganggo ketu bengi asirah watu wesi. Pangapasane wanodyo ngiwi-
iwi. Jejuluk sarwo Agung edi.
24. Banjir bandang ono ngendi-ngedi, gununq njlebug tan njarwani, lan
ngimpeni gethinge kepati-pati marang pandhito-pandhito pati geni. Margo
wedi kewiyak wadhi. Sopo arane sejati.
25. Ratu digdoyo ora tadis tapak palune pandhe sisa gurindo. Ning apase
mungsun setan, tuyul ambregudul, bocah cilik pating pendelik ngubengi omah
sorak-sorak koyo nggusak pitik. Ratu atine dadi cilik. Ngundomono bolo
sabrang sing doyan asu.
26. Patine nunggu sabdo Bupatine Perang Bathoro Endro. Disabdo mati tan
keno mimis, tan keno panggawe olo, nanging cures ludes margo lemes. Ketekan
bayu priyanggo sinendal sinambi miring. Patine amargo kecepit Sakating
daging.
27. Ono wong tuwo ahli topo Agung. Muncul neng tengah gunung Kendang
angrasuk busono ireng, ambiyantu Ratu sing dirubung tuyul anggereng.
Pandhito iku ajejuluk Condro Sjji Jawa.
28. Adedagang carang klambi udang Lan lawe benang. Disujudi wong
lanang sapirang-pirang. Umumyo tan panjang, namong saudarao Jowo bang.
29. Tutupe udarao jolu ngolu, udarao kaping jinggo nem pindho taun
Masehi. Amargo tinutup kuali lumuten, kinepung semut ijo danten.
31. Hamongso wus udarao jilu mo udarao Jowo ngolas molu udarao iso.
Bakal ono Dewo angejowantah, apangawak manungso, apasuryan pindho
Bethoro Kresno awewatak Bolo Dewo agaman Tri Sulo Wondho.
32. Sadurunge teko ono tetenger, lintang kemukus dowo ngalu-alu tumonjo
ono kidul wetan bener. Lawas pitung bengi, parak esuk benter, ilang katut
Bathoro Suryo. Jumedul bebarungan prihatin, sing wis mungkur, yoiku poro
Dipati sing ngempet-ngempet sumur daning manungso anak turune setan
mabur prihatine kawulo kelantar-lantar, iku tandhane putro Bethoro Endro wus
katampo topo lagi teko. Ing Marcopodho ambiyantu wong Jowo.
35. Nyuwun laki rabi ora gantalan ratri mesti amujuti, mundhut sugih
katuntun garis. Nyuwun upo mesti sembodo, garis sabdo ora gantalan. Bejo
begjane sing yakin Lan tuhu setyo sabdaniro.
36. Dewane mung siji, kiblate ngalor ngulon. Yen nyembah nyungkemi
lemah silo, ngedangkreng karo andremiming. Sambate anggelak blabar lan
olah-olah salah ngematake sayur mentah. Nanging ugo bisa nyembadani ruwet
tentreming wong sapirang-pirang, sing podho nyembah reco andhaplang. Cino
eling omah-omahe. Kabeh pinaringan sabdo yo podho manthuk-manthuk.
37. Pendak suro nguntapake kumara kang katan nebus dosanira, kaadepake
ngarsane kang kuwoso. Isih timur kaceluk wong tuwo, pandereke Gatutkoco
sak yuto.
38. Idune idu geni, sabdane melati sing mbregudul mesti mati, ora tuwo ora
enom podho dane bayi wani ora andayani. Yen kerso sinujudan wong tanah
Jowo, nanging mung dipilih sopo-sopo.
40. Dunung ono sasikili Redi Lawu sisih wetan, wetane Bengawan banjir,
adedukuh pindho Raden Gatutkoco, arupo pagupon doro tundho tigo, kaya
manungso sing angleledho.
41. Yen siro nyebut namine mesti dadi rame, asmane bisa ngramekake sing
rame, sing kasinungan ebila wewe.
42. Adhepe pondhok tan karuan kiblate, mulo yo ngerti jantrane jaman.
Abondho bandhu nanging ora duwe, titihane turonggo asikil limo cacahe. Ulese
pasurya Bolo Dewo, gigire nganggo ules Getihe Punto Dewo.
43. Yen katitih playune pindho ibere Gatotkoco. Sing nitih yo titihane
Bathoro Kresno yen nitih ono wetenge turonggo.
44. Yen krungu asmane podho gething, yen wus kenal podho nyanghing,
sucihik suthik ditinggal plencing. Begja begjane sing bisa nyanghing. Biso akas
digdoyo tanpo aji keling. Pindho manungso digdoyo kaya Baru Klinting.
45. Bupati apaparap Bupatine Prang, sing wani bakal wirang. Yen nglurug
tanpo bolo, digdoyo tanpo aji opo. Lamun menang tanpo ngasorake liyo.
Pancen sugih nanging tan abondho.
47. Mulo dan, upadinen sinatriyo Iku, wus tanpo bapa Lan bitu, lola wus
apupus wido Jowo, mung ngandelake Tri Sulo, landepe tri sulo putuk, arupo
suthik gegawe, gegawa pati utowo utang nyowo. Sing tengah sirik gegawe
kapitunane liyan, sing pinggir tolak colong jupuk winarno.
48. Serik dan menehi ati melati, bisa kesiku. Senenge anggondo ajejaluk coro
nistho, mangertiyo iku coba, ojo kaino-ino, hegja-begjane sing dipundhuti.
Ateges ditompo jantraniro, kaemong siro sabroyo.
49. Ing aran Begawan, wong dudu Pandhito, sinebut Pandhito dudu Dewo,
sinebut Dewo kayo manungso, kinen anggep manungso, eming duwe doyo tan
50. Ojo gumun ojo ngungun, yo iku Bathoro Endro, kang pembayun. Turase
kuwoso mbendhung setan. Idune tirto Brojomusthi, pisuh kaya ngundhuh
yoiku kang bisa paring pituduh, marang jarwane jongko kalaningsun. Tan keno
dan apusi, margo bisa manjing jroning ati, ono manungso serik ojo gelo, iku
dudu wektuniro; ngangsuo sumur Ratu Tanpo Makutho.
51. Nanging musnae tanpo lari, ing tembe udarao Jowo Ngolas Rodas,
udarao Isa Jingo Ngalu molu sing menangi enggalo dan luri. Ojo kongas jaman
kandas mandhepo dan marikelu, begjo begjane anak putu.
52. Iki dalane sing eling Lan waspodho, Ing jaman Kala Bendu Jowo, ojo
nglarang dalan wong ngluri, wong pangawak Dewo, Dewo pangawak
manungso, sing malang-malang bakal cures ludes sak broyo diomo Kumoro.
Ojo kleru Pandhito samudano. Lurinen Pandhito asenjoto Tri Sulo Wondho. Iku
paringane Dewo.
54. Bondho dadi suwolo, pangkat dadi pikat. Sing menang podho sawenang-
wenang rumongso menang, sing salah mung ngalah rumongso kabeh salah.
Ono bupati soko wong asor imane. Pepatih Kepala Judi, sing ati suci soyo
dibenci, sing jahat pinter anjilat tur oleh hajat, sing maling tenguk-tenguk nemu
kethuk, pitik angrem sak dhuwure pikulan.
55. Begal podho andugal, rampok keplok, wong omong mitenah sing
diomong. Wong jogo nyolong sing dijogo, wong njaluk dijamin, amargo wedi
dadi karmane sing jahat, sing jahil. Wong cilik kepencil.
56. Ono janma ngaku-ngaku dadi ratu, dhuwe bolo Lan prajurit. Negarane
ambaran saprowolon umbul-umbul warno jenang gulo. Tinengeran gamane cah
angon rojo koyo, disulutri gamane pandhe pandhe wojo. Wong suci dibenci,
wong jahat diangkat drajad, timah dianggep perak, emas dianggep tembogo,
dandang diunekake kuntuk, wong dosa sentoso, wong becik dkekik, maling
lepas giring, sing maling kepethuk maling.
58. Wanita angger wani, jebule kelangan laki, laki mati tan karuwan kubure
tan karuwan dinane, akeh mati tanpo slametan, modin podho ngungsi mergo
wedi mati, sing ngurusi wong mati digawe pati.
59. Iku balesane Semut Ijo kang kelangan Nganorang sapto, linuweng ing
sumur Jolotundho kang kebak isi boyo. Iku tandane mungkure jaman, jaman
wong sugih kroso wedi, wong wedi dadi priyayi, senenge wong jahat susahe
wong becik.
61. Cino arang eling, keplantrang dibandem ganciring, melu wong Jowo sing
podho eling, sing ora eling podho muring, mlayu-mlayu koyo maling keno
tuding, mergo tinggal podbo digething. Barung ayo mulih podho manjing.
62. Akeh Wong ijir, wong cilik sing eman. Selot-selote mbesuke, wolak-
walike jaman, wong nyilih mbalekake, wong utang mbayar, utang nyowo nyaur
nyowo, utang wirang nyaur wirang.
63. Akeh wong dicakot lemut mati. Dicakot semut sirno. Akeh suworo aneh
tanpo bolo, prewangan mahluk alus podho baris, podho rebut gawe bebener
garis, tan kasad moto, tan arupo sing mandegani putrane Bethoro Endro.
64. Agaman Tri Sulo Wondho. Momongane dadi nayakane perang. Perang
tanpo bolo, sekti mandrAgung tanpo aji, nglurug tanpo wadya bolo. Yen to
menang tan ngasorake, podho sugih tan abondho.
65. Ratu tanah Jowo mung siji nanging podho nyawiji. Agaman agodhong
pring nom, atetenger lintang belik, anyekel gaman uleg-uleg wesi lambung,
pandereke anyangklong once londo isine lombok kuning. Bumbung wulung tan
rosan gineret kreto tan turonggo.
6) ”KITAB MUSARAR” prosa, dikarang tahun 1801 Jawa = 1372 M, oleh R.Nq. ,
dihubungkan dengan serat Radyapurawaka. Sedang hasil karya pujangga
berupa Jangka Jayabaya pada abad 19 dapat dituturkan Sbb:
6.1) ”Jangka Jayabaya”, puisi, dikarang pada tahun 1733 Jawa = 1806 M, dan
diturun orang pada tahun 1743 Jawa = 1815 M. Pengarangnya tidak jelas, tetapi
mengingat tahun ini masih dalam lingkaran masa hidupnya pujangga
Yasadipura, maka boleh jadi hasil pujangga ini.
6.2) ”JANGKA JAYABAYA”, prosa, dikarang pada tahun 1739 Jawa = 1812
M, bersumber Kitab Musarar. Tanpa tahun penulisan, tapi diperkirakan pasti
ditulis oleh pujangga Yasadipura juga, karena karya ini pun tanpa nama
pengarang juga. Tapi mudah dkebak karya Pangeran Wijil.
Masih perlu kita catat lagi ”Kitab Jangka Ratu Galuh Kidung”, gubahan
Panembahan Madura. Tidak diketahui tahunnya. Juga masih disebutkan lagi
”Kitab Lambang Negara”, Kidung. Gubahan pujangga Surakarta dibuat tahun
1723 Jawa = 1796 M.9)* Meskipun tulisan ini tanpa nama pengarangnya, tapi
jelas sudah jamannya pujangga Yasadipura I. (Yasadipura II, Tumenggung
Sastranegara, putranya). Disamping itu masih perlu dicatat lagi ”KITAB
JAYABAYA KIDUNG”, gubahan tahun 1733 Jawa = 1706 M. Jadi tahun masehi
yang dituliskan dalam buku Sdr. Andjar Any tersebut masih keliru, dus bukan
1706 masehi. Coba berapa selisih tahun tersebut dengan tahun Jawa?!
Tulisan tentang ”Dunia Ditahun 2000”, dalam almanak Dewi Sri 1973 hal.
268 yang menyinggung ”Ramalan Jayabaya” menurut penulis Kamajaya
ternyata mendapat perhatian dari kalangan pembaca dan banyak diantaranya
termasuk para pembesar, pemimpin dan cendikiawan. Bahkan Presiden
Soeharto dalam pertemuan dengan seniman-seniman pewayangan pada tanggal
31 Maret 1974 menyinggung ramalan Jayabaya secara kelakar, apakah ramalan
itu dapat dimasukan dalam pedalangan?.
Dari penuturan jangka Jayabaya versi Sabda Palon ini jelas bahwa
penyerbuan kepusat Majapahit itu mempunyai latar belakang balas dandam,
dan bersifat menentang arus masyarakat Islam yang sudah membudaya di
negeri ini sejak lama.
Sebagai bukti analisa ini dituturkan Disini adanya pemakaman Muslim
di daerah Tralaya, dekat Trowulan, dipenuhi oleh batu-batu nisan yang
bertuliakan huruf Arab, biasanya dengan kutipan ayat-ayat Al-Qur’an. Perlu
diketahui bahwa daerah Trowulan diperkirakan oleh aercheolog sebagai lokasi
Ibukota kerajaan Majapahit makam-makam kuno di Tralaya ini telah diteliti
tahun-tahunnya oleh Prof.L.C. Damis.
Bahwa Islam masuk Ke pulau Jawa sudah sejak abad yang lebih lama
lagi (abad ke-7 akhir atau awal abad ke-8) dapat saya buktikan lebih lanjut
dalam karangan Ramalan Jayabaya versi lain, yakni pada jamannya ratu
Sirna/Sinnaha Bibi Sanjaya bersumber Cina dan Arab serta sumber Jawa tulisan
Sunan Giri ke-3 yang menjadi landasan penulisan Ramalan Jayabaya ini yang
dikenal dengan sebutan Kitab Asrar. Dus makin teliti kita analisa, ternyata
sumber yang sering dikecohkan oleh penulis-penulis Muslim Disini makin
mendekati Hilangnya rasa kekhawatiran tertentu, sehingga tinggallah
menghilangkan tuduhan kalangan kita sendiri yang menyatakan bahwa dengan
sumber ini hanya akan membawa kearah kemusyrikan dan kekurafatan
tertentu. Dan sekaligus kita jawab, bahwa hal itu tergantung niatnya, apakah
kita ingin menjadi musyrik atau mensyukuri nikmat Allah SWT seperti di
katakan dalam AI-Qur’an surat An Naml 39-40.
Dalam menanggapi Ratu Adil seperti kesan Bung Karno tadi, penulis
condang berpendapat demikian juga. Bukankah cita-cita negara ini jelas hendak
mencapai masyarakat yang adil dan makmur?. Hanya saja siapa tokoh Ratu
Adil yang Identik dengan simbol Herucakra itu?. Masih perlu diteliti lagi
jiwanya, namun dalam buku ini penulis tidak membahasnya secara terperinci,
sebab tidak bijaksana dan lagi bisa menimbulkan salah paham yang tidak kita
inginkan. Penulis lebih suka membagi arah pikiran pembaca sesuai dengan
kesimpulannya masing-masing, sehingga terciptalah seninya serta
keindahannya. Maka lebih baik kita persilahkan pembaca mencarinya sendiri,
dan andapun pasti dapat menemukan juga.
Bukankah beliau sudah ada dikanan kiri kita? Tetapi tidak banyak orang
yang mengerti dan tidak banyak pula yang menduganya (sampar kesandung
kang asma, bumi Mataram kang Wijil trahira nata mangkubumi, atajem
Penulis yang lain, seperti Drs. Moch. Ali Alm, dalam ”Star Weekly”
tgl.30-09-1961 dalam tulisannya berjudul ”Spengler, Toynbee, Djajabaja”, berisi
perbandingan sepintas lalu dengan ramalan-ramalan mereka yang tiqa macam
dan tiga landasan berfikir berlatar masyarakat masing-masing.
Kitab Asrar yang dibawa oleh Maolana Ali Syamsu Zein, guru sang raja
Jayabaya ini dahulunya adalah tulisan Syech Subakir yang pernah datang
pertama kali di Indonesia (Jawa) pada kira-kira akhir abad ke-7 M atau
sesudahnya, yakni pada jamannya Ratu Sirna dari kerajaan Keling (Kecamatan
Klepu/Salatiga). Hal ini didasarkan atas berita Cina bertarikh 674 M dimana saat
itu utusan Ratu Sirna mengadakan hubungan diplomatik ke Tiongkok. Hal ini
sangat dimungkinkan sekali mengingat naskah Jayabaya Syech Subakir (40
Hal ini akan kita analisa lagi dalam ramalan Jayabaya versi Syech
Subakir yang akan datang. Untuk menghayati situasi pada abad-abad itu bahwa
Islam sudah bergerak maju kearah manapun, dapat kita lihat dalam ”Atlas
Sejarah” Moch Yamin terbitan Djambatan 1956 dan keterangan-keterangan
pengarang buku terkenal Philip K. Hitti dalam bukunya ”Dunia Arab”
(terjemah) hal.94 ”Pada tahun 732 genaplah 100 tahun telah berlaku setelah
Nabi Muhammad SAW wafat. Dan kini imperlum yang terbentang dari teluk
Biskaye hingga kesungai Indus (712), dan dari danau Aral dan perbatasan
Tiongkok hingga hulu sungai Nil. Kota Damsik (Damaskus), yang menurut
cerita samar-samar dimasuki oleh Nabi semasa mudanya, karena beliau hanya
sekali saja hendak melihat Firdaus (tempat turunnya Nabi Adam?), kini menjadi
Ibukota dari Imperlurn yang sangat berkuasa itu. Pada pusat kota itu beridiri
istana yang sangat indah dari Ahala/Dinasti Ummaiyah, dari mana orang dapat
memandang ke arah dataran-dataran yang subur yang terbentang kearah
selatan hingga gunung Hermon yang bersorbankan salju sepanjang masa”.
Namun demikian data saya ini masih didhaifkan oleh seorang penulis
sarjana IKIP Bandung bernama Nia Kurnia Sholihah dalam tulisannya
dimajalah ”Panji Masyarakat” Jakarta no.309-1980/Desember.
LOKA MAHKOTA
SANG PRABU SRI AJI JOYOBOYO
Untuk itu tentu saja dibutuhkan ilmu penyangga yang luas sifatnya.
Contoh Serat Jaka Lodhang terdapat tokoh ganjil yang benama Jaka Lodhang
yang menggantungkan diri disebuah dahan medingkrang...! Untuk
menebaknya seketika sulitlah kita. Dan baru nampak jelas setelah membaca
kalimat-kalimat berikutnya yang menunjukkan tanda waktu yang masih sandi
lagi, yakni tahun yang berbunyi :
Tetapi memahami masalah tahun sandi ini pun tidak gampang. Ada
orang yang menafsirkannya dengan tahun Jawa 1860 = 1919/20 M. SenAllah
SWTnya kebuAllah SWT memang sama yaitu mengerah kepada perbuatan
kaum komunis ditanah air ini, tetapi pentafsir itu kemudian tidak bisa
mentafsirkan secara teliti data-data berikutnya secara logis. Maka tidak
benarlah akhirnya, karena ia belum tepat membuka selubung seluruhnya, baru
ngintip kira-kira saja. Sedang pemberontakan komunis sebelum kemerdekaan
itu terjadi pada tahun 1928 M.
Masih ada contoh keliru lagi tentang pemahaman orang terhadap tahun
sandi, ramalan pujangga yang dipersamakan dengan tahun Jawa Sultan
Agung. Misalnya tahun ”Wiku-Sapta-Ngesthi-Ratu”, yang terdapat dalam
Serat Jaka Lodhang (Megatruh point 2), ditafsirkan sebagai tahun Masehi 1945,
padahal sang pujangga sudah memberi kata isyarat bahwa tahun ini masih se-
jaman dengan sinyalemen-sinyalemen yang disebutkan dimuka yang juga
sudah memberikan tanda tahun sandi dua buah (nirsadhestining-urip). Tahun
Wiku-sapto-ngesthi-ratu tak bisa lain harus diterjemahkan 1870 + 78 = 1955 M.
Tahun mana menunjukkan peristiwa besar pemilihan umum pertama kali.
Apakah tujuan pemilu pertama ini? Tak lain untuk menetapkan secara
bijaksana kedudukan seorang kepala negara. Bukankah sebelumnya telah diberi
tanda-tanda kemurahan berupa kalimat penyangga tebakan yakni kalimat ”Jaka
Lodhang sabdo malih”, Jaka Lodhang mendapatkan kedudukan lagi, jadi
kepala negara hasil konsensus pemilu 1955. Tapi meski demikian masih ada hal-
hal yang mengganjal/kurang memuaakan? (nanging ana marmanipun). Sebab
cita-cita negara kesatuan belum klop dengan kerangka cita-cita tahun 1945 yang
telah tergambar dalam kalimat serat Jaka Lodhang (pembukaan). ”Wartane meh
teka” (berita gembira/kemerdekean hampir datanglah). Kedatangannya
kemerdekaan ini lalu tergambarkan dalam deretan pertama sebuah kalimat
yang berbunyi :
Nabi Isa Al Masih lalu turun hendak menolong kaum beriman, dengan
naik kendaraan malaikat bersayap. Malaikat itu kata Nabi, setiap kali
menukikkan kepalanya, maka keluarlah semacam barang menetes. Setiap orang
kafir yang membaui nafas Nabi Isa lalu mati....!
Nah, Disinipun kita dapat melihat kenyataan ganjil yang tersirat dan
tersurat maknanya. Siapakah yang disimboliakan sebagai Dajjal yang kafir yang
terbelenggu rantai besi itu? Nampaknya tebakan saya ini, dan tidak mengada-
ada, bahwa itu kiranya sama dengan peranan kaum Komunis Rusia yang
muncul sejak Revolusi Oktober 1917 yll. Bukankah Soviet itu hingga sekarang
dijuluki oleh Pers Internasional sebagai ”Negara diBalik Tirai Besi”? Siapa yang
membelenggunya? Allah SWT sendiri. Tapi nantipun akan dilepaakan juga
belenggunya untuk menguji manusia! Mana diantara mereka yang beriman
sungguh-sungguh dan mana yang pendusta?! (Ali Imran 140 jo Al Insan) Juga
Kalau Dajjalnya identik dengan USSR, siapa Nabi Isa dan Imam
Mahdinya seperti disinyalir hadist tersebut?. Anda perlu melihat ramalan Nabi
lagi : ”Belum akan terjadi kiamat sebelum timbul perang besar yang meluas
sifatnya. Perang itu antara dua kelompok pasukan besar yang bertempur di
medan laga yang dahsyat, keduanya memakai semboyan yang sama/satu
(Perdamaian,pen)”!.
Ramalan itu begitu jelas dan tidak ada kata-kata sandinya satupun. Tapi
jelas, itu adalah peperangan antara kaum Dajjal dan kaum beriman yang
disertai bantuan Nabi Isa (simbolis) yang naik sayap kedua malaikat. Bukankah
gambaran yang memperlihatkan setiap kali kepala Malaikat itu menukik itu
Merupakan gambaran sebuah kapal terbang pembom? Ciri-ciri kapal perang
pembom itu adalah benar setiap kali akan mengeluarkan bomnya (barang
menetes, hadist) harus menukik terlebih dahulu. Maka setiap orang kafir yang
membau nafas Nabi Isa tadi lalu mati !.
Sebab bau nafas nabi Isa itu adalah gambaran bom-bom beracun yang
diciptakan manusia modern jaman akhir ini.
Bukankah Soviet itu sebuah negara besar yang menganut faham kafir,
atau atheis/komunis dan mendapat sindiran pers internasional sebagai sebuah
negeri diBalik tirai besi? Siapakah lagi kalau bukan Soviet ?.
Menjadi logialah bila Uni Soviet yang kini terbelenggu rantai besi
armada-armada A.L.-nya dari Laut Hitam menuju Laut Tengah yang lewat selat
Bosporus dan Darnela (Turki anggota NATO) itu sebagai Dajjalnya akhir jaman
ini. Kalau demikian timbullah pertanyaan lagi, siapakah Imam Mahdi dan Nabi
Isanya ? Bukankah perang besar antara dua pasukan besar yang bertempur di
medan perang tadi jelas gambaran perang besar antara dua blok pasukan
NATO dan Pakta Warsawa yad ?.
Kalau Dajjalnya identik dengan Uni Soviet yang komunis, maka Nabi
Isanya tentu bangsa-bangsa Kristen yang tergabung dalam Blok Nato. Jadi
Disini kita tidak akan menyaksikan turunnya Nabi Isa atau Yesus dalam arti
Ramalan yang ditulis sdr. Andjar Any antara lain memberikan penjelasan
sebagai berikut : ”Pembuat ramalan-ramalan terselubung itu biasanya orang
yang dianggap dapat mengetahui hal-hal yang belum terjadi (Weruh sedurunge
winarah)”.
Semuanya ini ditulis sebelum tahun 1030 jauh sebelum perang Pasific itu
terjadi. Demikian juga Bung Karno dalam setiap pidato politiknya di depan
Oleh karena bertolak dari kenyataan dan kewajaran, maka hasil rumusan
yang dianggap semacam ramalan itupun terlukis secara terang-terangan. Yang
dibaca jadinya adalah yang tersurat bukan yang tersirat
Seorang peramal selain ahli dalam Ilmu Astrologi biasanya dia juga
memiliki kekuatan lain yang terpendam dalam tubuhnya, semacam kekuatan
batin. Atau sering disebut ”Clairvoyance”, pemandengan jarak jauh sebelum
Kejadian. Bahasa sekarangnya juga disebut ”proyeksi-proyeksi ilmiah” yang
dapat memberikan prospek masa datang. Bagi seorang astrolog yang ahli dalam
soal perbintangan, seolah-olah melihat posisi bintang-bintang yang punya
pengaruh terhadap kehidupan alam semesta ini seperti membaca sebuah buku
sejarah saja, yang bila dia mengamati letak bintang pada saat itu, sudah tahu
pengaruh-pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
Sebagai seorang Muslim cara berfikir kita tidak boleh seperti mendahului
Takdir Allah SWT, seolah-olah ngerti sak durunge winarah! Kata Sunan Giri
dalam babad Tanah Jawa, ucapan seperti itu ibaratnya, sebagai ”Wong
kajlomprong, ngaku yen weruh ing pasti, gurune karidu Ibila, muride saya
keranjingan!”.
Memang setan bisa menggoda kita dan bisa memberi tahu kita seperti
tepatnya. Namun demikian kita tidak boleh bersikap sok tahu, demikian (ngaku
yen weruh ing pasti) Melainkan seharusnya, mudah-mudahan Allah SWT
memberi petunjuk yang benar. Dengan sikap demikian, kita tidak menjadi
seorang yang musyrik! (menantiingi kekuasaan Allah SWT dengan kekuasaan
lain yang hakekatnya tergolong makhlukNya).
7. Sanget-sangeting sangsara,
kang tuwuh ing tanah Jawi,
sinengkalan tahunira,
”Lawon-Supte-Ngesthi-Aji”,
upaml nyabrang kali,
prapteng tengah-tengahipun,
kaline banjir bandhang,
jerone nglelebne jalmi, kathah
sirna manungsa prapteng pralaya.*
DANDANG GULA
21. Semut ireng ngendog jroning geni, ana merak memitran lan baya,
keong sak kenong matane, tikus pada ngidung,
kucing gering ingkang nunggoni, kodok nawu sagars,
oleh banteng sewu, precil-precil kang anjaga, semut ngangrang
angrangsang gunung Merapi, wit Ranti woh Delima.
1. Kepada siapa saja yang mau memperhatikan, sebuah cerita lama, yang
tertulis dalam serat Babad Negeri Majapahit. Ketika itu sang Prabu
Brawijaya sedang mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga,
disaksikan oleh penasehat Baginda bernama Sabdo Palon dan
Nayaginggong.
4. ”Berpisah dengan Paduka Tuanku itu sudah pasti! Sebab hamba sudah
berkesimpulan tak ada gunanya, lebih baik kembali ke alam sunyi (alam
limunan); hanya pesan hamba terakhir, hitunglah sejak pertemuan ini.
(1478 M. pen), bahwa apabila sudah genap hitungan 500 tahun yang akan
datang, hamba akan membalas agama Islam akan hamba ganti
dengan agama Budha kembali, menyebar rata keseluruh Jawa / tanah
air”.
Sampai point ini dapatlah kita baca faktanya/datanya, bahwa konon 500
tahun yang akan datang dari pertemuan ini (sekitar tahun 1478 M) yang berarti
menunjuk angka tahun 1978 M sekarang, Sabda Palon ingin membalas
membudakkan kembali orang-orang Jawa yang sudah menganut agama Islam
mengikuti jejak Sang Brawijaya sejak 1478 M masuk agama Islam, akan di-
Budhakan kembali. Apakah ucapan Sabdo Palon itu benar? Dan siapa yang
dimaksudkan itu? Apakah itu berarti menunjuk kepada suatu golongan tertentu
yang ini disebut sebagai Aliran Kepercayaan Kebatinan yang sering
mengidantifikasikan dirinya sebagai Agama Budi dibawah Panji-panji
Organisasi SKK dibawah pimpinan. Mr. Wongsonegoro almarhum ?.
Apabila gejala yang disinyalir Hadist tadi memang benar sejalan dengan
sindiran Sabda Palon, maka disana pulalah benteng Islam Disini lalu dapat
dkerobosnya. Akibatnya Islam gigit jari. Untuk tidak gigit jari lagi, jalan yang
perlu dkempuh hanyalah bersikap jujur dan menyembuhkan penyakitnya
sendiri terlebih dahulu. Penyakit itu bermacam ragam. Disamping masalah
khillafiah, juga masalah cara berfikirnya yang harus modern disertai
melenyapkan cara berpikir berkotak-kotak gila pangkat dan kursi dahulu,
sehingga tidak mudah dipecah belah!.
Tahun sandi tersebut bisa kita tebak bernilai 1871 Saka + 78 = 1949 M.
Atau dapat juga sama dengan 1878 Saka + 78 = 1956 M. Tahun 1949 menuturkan
datangnya musibah berupa penyerbuan tentara Belanda setelah peristiwa
Madiun (18-09-1948). Yakni berlangsung pada tgI. 19-12-1948 dan inilah yang
Merupakan kesengsaraan kita yang luar biasa tempo hari. Sedang tebakan
tahun 1956 menunjukkan datangnya banjir bandang politik yang dicetuakan
oleh Presiden Soekarno berupa ”Konsepsi Presiden” 21-02-1957. Bukankah pada
saat ini sudah mulai terdengar sindiran bahwa banjir yang datang itu jangan
dilawan!.
8. ”Bahaya yang sedang datang itu merata keseluruh penjuru tanah air,
sudahlah menjadi kodrat Allah SWT pemberi hidup ini, tak bisa diubah
sebab kenyataan hidup ada pedoman-pedoman patokannya tertentu
menurut garis Sunatulloh”.
Bahaya yang datang melanda tanah air dan merata seluruh wilayah itu
kiranya benar yakni lanjutan dari proses sejarah dari konsepsi Presiden tersebut
yakni berupa apa yang disebut NASAKOM! Disini peranan dari kaum
brekasakan yang mengejawantah dalam bentuk orang-orang komunis bisa
menumpang kewibawaan Bung Karno Sang Konseptor Nasakom tersebut.
Bukankah akibatnya adanya umat Islam yang tidak mau ikut dalam Nasakom
itu lalu hidupnya terpojok? Tetapi setelah itu kita pun melihat akibat-akibatnya.
Yakni berupa situasi tragis.
Dari sudut politik, dapat kita lihat akibat-akibat pedihnya. Antara lain
banyak orang yang tidak tahu apa bingkongnya politik, ikut keserempet suatu
peristiwa yang bersumber sebuah fitnah dari kaum Sabda Palon jaman itu.
Gejala tersebut bisa juga berarti kata perlambang bahwa jamannya sudah
tua, sehingga banyaklah disana-sini kerusakan-kerusakan mental yang
berakibat terpojoknya para pemimpin yang berjiwa benar dan ksatria dan
munculnya keserakahan- keserakahan tertentu yang semua itu Merusakkan
peraturan dan perundang-undengan yang dibuatnya sendiri. Ketimpangan-
ketimpangan sosial mengakibatkan pula munculnya rasa tidak menentu
dikalangan rakyat jelata, yang konon hendak dibelanya, tetapi prakteknya
sebaliknya, dieksploatir dengan berbagai ”Pungli” yang bermacam-macam
dalih. Dan semua ini kan membawa kearah situasi goyah dan menimbulkan
benih-benih huru hara. Maka tidak heranlah kita jika selanjutnya terdapat
sinyalemen berikut ini :
13. ”Bahkan gelombang air sungainya bisa naik juga kedaratan? Merusakkan
tepi-tepi tebingnya dikanan-kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut ke laut,
bahkan batu-batu besar pun banyak yang lolos karena besamya arus
sungai yang banjir melanda tadi, sehingga gunung-gunungnya pun
menggereng gemuruh suaranya”.
Ini bila kita bicarakan secara simbolis, tetapi apabila kita mau melihat
yang tersurat seperti apa adanya, kita pun segera melihat kenyataan adanya
proses erosi sekarang ini, akibat gundulnya gunung-gunung dan bukit-bukit
karena tanahnya terpaksa dijadikan tanah pertanian oleh rakyat, dan ini akibat
ledakan penduduk yang luar biasa tiap tahun, terutama di Jawa dan Bali. Hutan
15. ”Gempa bumi tujuh kali sehari, membuat susahnya rakyat. Tanah-
tanahnya menjadi bengkah-bengkah (nela, Jawa), para syetan brekasakan
menyeret semua orang (yang tipis imannya), dan akhirnya banyaklah
mereka yang mati, serta tidak kurang pula yang sakit lalu menjadi tewas
sekonyong-konyong”.
16. ”Sabda Palon setelah itu mengundurkan diri dan lenyap dari pandengan
mata (saat itu, 1478 M), sebentar saja sudah tak menampakkan diri lagi,
kembali ke alam limunan! Sejak itu pula sang Brawijaya lalu terbangun
sejenak diam tak bergerak! Nampaknya seperti lagi menyeBali dirinya,
merasa salah lalu mupus diri menyerah kehendak kodrat Allah SWT
semata, sambil meraba hatinya ”Memang kodrat itu demikian itulah
adanya”.
Dalam keterangan yll telah kita uraikan persoalan ini sampai pada sikap
Sabda Palon dan Nayaginggong, yang dikatakan sebagai penasehat raja
Brawijaya tetapi ternyata pada saat-saat terakhir mereka Baling berpisah karena
membela prinsip! Sang Brawijaya tetap pada pendirlannya bahwa agama yang
paling mulia itu adalah Islam, sedang Sabda Palon - Nayaginggong tetap
bertahan kepada keyakinan lamanya yakni Budha!
Rupa-rupanya pada saat itu arus Islamisasi makin berurat berakar pada
keyakinan masyarakat terbanyak, sehingga sang raja sendiri secara bijaksana
harus mengikuti arus pendirlan rakyatnya. Apabila tidak demikian kira-kira
pendirlan sang raja, maka kewibawaannya tidak akan terjamin lagi. Maka
langkah satu-satunya hanyalah menurutkan arus dan kehendak masyarakat
banyak itu! Melawan arus pendapat umum berarti tidak bijaksana. Ia berarti
akan menjadi seorang raja yang reaksioner dan bukan revolusioner lagi, kata
orang sekarang.
Tentu saja memenghadapi peralihan jaman ini akan ada suatu Kejadian
yang tidak diinginka. Pertama kemungkinan timbul pemberontakan dari unsur-
unsur pengikut orde lama dan kedua merosotnya kewibawaan sang raja itu
sendiri apabila ia meneruskan keyakinan orde lamanya, dengan catatan toh ia
tidak mempunyai wibawa lagi dalam pemerintahan itu, sehingga tidak ada
artinya sama sekali. Untunglah pada akhirnya sang Brawijaya mendalami arti
kemauan rakyatnya. Bukankah sudah sejak lama (kira-kira 1447 M) para pejabat
negara yang mengelilingi raja sudah banyak yang mengikuti orde baru yang
Islam itu? Ini berarti sejak jamannya Sang Kertawijaya adik Ratu Suhita putra
Raja Wikramawartihana (1389 - 1427 M).
Oleh karena itu apabila pada saat ini raja telah mengambil sikap positif
yakni agama Islam sebagai pegangan morilnya, maka hal itu sudah berarti
langkah maju yang terpuji, apa lagi bila hal masuknya Agama baru itu bukan
karena paksaan melainkan karena kesadaran belaka.
Memang pada saat permulaan peralihan sikap mental itu, raja sendiri
nampak termangu-mangu, namun faktanya toh menunjukkan bahwa beliau
telah memenuhi panggilan jaman, sekalipun pada akhirnya raja sendiri menjadi
korban karena meletusnya pemberontakan dari unsur-unsur lama yang
dipimpin oleh Raja Girindrawartihana dari Kediri, sehingga raja pun terpaksa
mati terbunuh dalam keraton. Tetapi matinya sang raja itu berarti mati syahid?
17. ”Sang Brawijaya lalu mulai mawas diri lagi. Benarkah kata nasehat para
leluhur yakni manusia-manusia yang berjiwa besar yang telah tersurat
dan tersirat dalam sebuah jangka (takdir) bahwa kelak akan terjadi akibat
bahwa manusia lalu menjadi korban hilang/mati separoh, saking
hebatnya kutukan Allah SWT itu? Dikala itu hanya manusia-manusia
yang tidak tersesat atau tergelincir kearah sesat yang bisa selamat dan
sebagai syarat mutlak untuk menolak mara bahaya, itu hanyalah mereka
yang selalu bisa membaca arti semua tanda-tanda zaman”.
18. “Sudah tersurat dalam Jangka Jayabaya bahwa manusia hidup ini
layaknya bagaikan rumput di dalam hutan belantara atau dalam sawah
ladang petani artinya apabila kena bajak (luku, jawa) pastilah rumput itu
banyak yang mati. Hanya apabila anda Ingin selamat dari kridenya garu
luku itu, yakni mereka yang berada ditengah-tengah giginya garu/bajak
tadi!”.
19. “Oleh karena itu saya menasehatkan (kata Raja), agar anda sekalian
mencari jalan hidup yang sungguh-sungguh dapat menyelamatkan dunia
akherat anda (mencari sarana ingkang sejati) yakni mendalami arti
“Sahadat yang Sempurna”, dengan sarana itu sempurnalah hakekat peri-
kehidupanmu. Apabila karena pedoman itu anda merasa belum nampak
berhasil, maka buktikanlah dengan sungguh-sungguh lagi hingga datang
ajal menimpa sekalipun atau nampaklah keadaan anda dalam
menghayati arti hidup ini seperti keadaan mati di dalam suasana hidup
(mati jroning urip). Itulah jalan yang terbaik dapat terhindar dari segala
macam mara bahaya!”.
TAFSIR
Demikianlah tekad sang raja dalam menempuh arus hidup baru dan
keyakinan baru. Beliau tidak nampak sedikitpun ragu-ragu. Sekalipun ajal telah
datang, ia akan tetap pada pendirlannya yang tegas yakni berpijak kepada
kenyataan/fakta sejarah yang benar. Dalam hal ini dkekankan bahwa arti ”Mati
jroning urip” itu tidak berarti meninggalkan tata hidup dengan segala
peralatan-peralatannya yang ada ini! Ia berarti hidup sederhana, tidak
Apakah dewasa ini kita melihat gejala bahwa seolah-olah banyak orang
berpendapat bahwa ”Harta punya kuasa” itu Merupakan jalan hidup manusia
yang benar? Nampaknya demikianlah apa yang kita saksikan ini.
Jika demikian halnya, maka prihatinlah kita! Bukankah sekarang ini kita
melihat fakta betapa rakyat negara industri-industri maju itu, kini rakyatnya
nampak gelisah dan seperti tidak dapat merasakan kebahagiaan hidup
meskipun harta bendanya melimpah ruah? Ini berarti bahwa orang harus
menyadari bahwa konsep dunia barat maupun timur kini kedua-duanya tidak
dapat menjadi obat yang mujarab untuk mengikuti arus perkembangan hidup
yang sebenarnya. Nampaknya memang benar bahwa Islam Merupakan jalan
tengah yang positif.
20. “Apabila anda belum mengerti hakekat nasehat ini dengan sungguh-
sungguh, maka cobalah tanyakan kepada guru yang sebenar-benarnya
dan yang anda pandang sudah mencapai tataran hidup yang tinggi
ilmunya, terutama yang mempunyai perbedaan tata tertib hidup sehari-
hari, dengan anda nniscayalah anda akan mendapatkan petunjuk yang
benar dimana anda akan mengetahui kedudukan sesungguhnya dari
hakekat diri anda sendiri, artinya kedudukan badan wadagmu itu, dan
demikian pula bila anda kelak sudah meninggalkan wadagmu atau mati!
Dimana pula tempat kedudukanmu itu?”.
TAFSIR
Nasehat diatas jelas menunjukkan kepada kita bahwa ajaran agama yang
benar akan dapat menunjukan jalan hidup dunia dan akherat itu diisyaratkan
oleh Sang Brawijaya ialah jalan Islam! Lewat guru yang benar, anda akan dapat
Dalam point ke-6 yll, telah kita lihat sinyalemen-sinyalemen Sabda Palon
yang mulai ditandai dengan saat meletusnya gunung Merapi yang konon
dikatakan laharnya mengalir kejurusan barat daya. Kita yang hidup disekitar
tahun 1978 (500 tahun setelah 1478 yang lalu) seolah-olah membuktikan
kebenaran sinyalemen tersebut. Bahkan dalam point ke-7 ditambahkan bukti
yang lain yakni rakyat akan mengalami kesengsaraan hidup yang hebat akibat
musibah-musibah yang datang. Disini ditunjukkan pula tahun sandi
dimulainya musibah-musibah itu yakni sejak tahun 1871 Saka = 1949 M atau
1878 Saka = 1956 M (?).
Dalam point ke-8 & ke-9 juga ditunjukkan gejala bahaya yang bermacam-
macam datang yang faktanya dapat disaksikan sampai mendekat tahun 1978
kini. Semua itu masih kata-kata sinyalemen Sabda Palon dan Nayaginggong
yang mengajak kita kearah tetap beragama Budha/Budhi itu.
Kalau dilihat dari bahasa Jawanya akan kentara sekali bedanya antara
prinsip-prinsip ajaran Budha dan Islam, terutama istilah-istilahnya seperti
misanya, kata sebutan Allah SWT : ”Dewata”! dalam bahasa Indonesianya
memang nampaknya jika kita menyebut Allah SWT mesti Allah SWT Allah,
tetapi dalam bahasa Jawa itu jelas disebutkan Dewata, yang tentunya tidak akan
sama walaupun mula-mula menunjukkan nada-nada yang sama. Perbedaan
penyebutan itu pada hakekatnya akan membawa konsekwensi pula bahwa
sebenarnya akan dibawa kemana arah tujuan itu? Dari Sabda Palon dan
pengikut-pengikutnya, tentu pengertian keAllah SWTan itu akan dibawa ke
arah Allah SWT Dewata, tetapi buat sang raja tentu saja akan dibawa kearah
Allah SWT Allah! Sebagai contoh misalnya kata-kata dalam point 8 yang
menyebutkan : ”Bebaya ingkang tumeka, warata sa tanah Jawi, ginawi kang
Allah SWT dalam Islam jelas adalah Allah SWT Allah SWT sedangkan
pengertian Budha menurut kata yang lazim disebut sebagai Dewata/Jawata.
Lebih nyata dari kata-kata sahadat yang sempurna tersebut ialah ”Fafirru
IllalLah” yang artinya ”Larilah kamu sekalian ke jalan Allah semata-mata”,
jangan lari lewat jalan yang lain-lain. Anda tidak terjamin keselamatannya baik
didunia maupun akherat anda, bahkan anda bisa disebut ”Tersesat”. Ini bukan
propaganda, sekedar mendudukan persoaLan menurut proporsi yang
sebenarnya.
Disinilah anda akan kita bawa untuk ikut menilai, apakah benar-benar
gejala-gejala yang tidak kita sukai itu terjadi pada zaman ini ?.
PUPUH : II
SINOM ZAMAN GARUDA PANCASILA
2. “Dua macam warna (bangsa) menurut faktanya, yang akan dialami oleh
tanah air yang disebut Jawa (Indonesia). Mereka mulai menduduki dan
menegakkan kekuasaan Disini, satu diantaranya seorang Penguasa yang
berkulit kuning, bala tentaranya bercirikan cebol kepati, ya cebol
kepalang (pendek-pendek), sejenis rumpun bangsa yang asalnya dari
arah sebelah timur-laut. Raja Jamus (?) lalu tidur/tertidur, ditengah-
tengah bahaya besar melanda kekuasaannya (ditanah Jawa ini). Lamanya
hanya Seumur Jagung saja”.!
Benih jagung itu lepas 3,5 tahun sudah tidak bisa ditanam/dimakan lagi,
sebab sudah membusuk. Dalam waktu sekian lama itulah dominasi kekuasaan
Jepang Disini hancur lebur dari tangan sekutu dalam Perang Dunia II yll.
Sesudah itu faktanya dilukiskan dibawah ini.
3. “Garuda Ngawangga lalu berkuasa, lbu berasal dari putri Bali, ia mulai
mendirikan kekuasaan baru di Tanah Jawa,(Indonesia), bala tenteranya
(diibaratkan) dari jenis-jenis setan dan demit, Prabu Jamus lalu datang
lagi menduduki (bekas jajahan yang ditinggalkan tidur tadi), tetapi tidak
lama kemudian mundur lagilah dia, mulai datang babak lagi (Jejer lukira
Sang Nata), Heru Cakra esmu kingkin, lamanya berkuasa hanya
seperempat abad saja".
Dan apabila kemunculan Sultan Heru Cakra yang adil itu menurut
ramalan Jayabaya (inilah yang sementara kita pandang sebagai yang asli dan
berdekatan dengan sumbernya, Kitab Musarar) akan muncul diujung jaman
Kala Bendu (1801-1900 S atau 1879-1978 M), maka benarkah kiranya kesimpulan
kita bahwa Sultan Heru Cakra itu pasti tokoh yang sudah kita kenal sejak
kelahiran Republik Indonesia ini, tahun 1978 ini kiranya tahun penghabisan
zaman Kala Bendu dan dalam tahun 1979 berikutnya berarti permulaan tahun
Kala Suka. Kiranya sesudah SU.MPR 1979 yll, kita rakyat Indonesia akan
menyaksikan suatu keadaan dimana rakyat benar-benar merasakan bentuk
keadilan di segala bidang, baik keadilan sosial, politik dan ekonomi. Itu adalah
pengharapan kita yang biasanya hanya memberikan sugesti kepada siapapun
yang kira-kira bisa memenuhi harapan masyarakat ini sesuai dengan cita-cita
dalam Mukadimah UUD'45 kita.
Ramalan Sabda Palon itu lebih tepat disebut demikian, jadi tidaklah
pantas mengklaim dan memakai merk nama Jangka Jayabaya. Ramalan itu
memang dibuat pada jaman Surakarta sekitar abad 19 yaitu pada
jamannya pujangga R.Ng. Ranggawarsita (1802/1873 M).
5. “Angin baru mulai merajuk menuju arah Sang Narpati (Penguasa), tak
mengira bahwa angin baru yang meniup kepadanya itu Merupakan
bahaya buat dirinya. Para Menteri tidak tahu menahu soalnya hanya
sedikit sekali yang mempunyai cita-cita murni, akhirnya tanpa daya
runtuhlah kekuasaannya, jatuhnya mirip seperti leluhurnya yakni Raja
Brawijaya dari Majapahit, jatuhnya karena sebab memperistri putri
Cempa (asing)!”.
Angin baru yang berbahaya itu bisa juga sebaliknya berarti tuduhan
fitnah dari apa disebut Dewan Revolusi sebagai antithese adanya Dewan
Jendral (These) yang katanya hendak menggulingkan kedudukan Presiden
Soekarno rencana kudete dari Dewan jenderal itu ternyata tidak pernah ada
dalam kenyataan! yang ada justru munculnya Dewan Revolusi yang dengan
cara licik telah menggerakkan laskar-laskar tentara dari luar kota untuk
mengepung Istana dengan alasan untuk mencegah/mendahului kemungkinan
timbulnya kudeta dari Dewan Jenderal!. Isu adanya Dewan jenderal itu ternyata
berasal dari sebuah dokumen Gilgreist yang palsu itu. Dokumen ini direka-reka
dan diolah dalam BPI (Badan Pusat Intelejen yang kini diubah menjadi BAKIN),
salah satu organ dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Sekarang KOTI sudah
dihapuakan pula. Peristiwa yang ditimbulkan oleh G.30.S/PKI (1965) yang
hubungannya erat dengan KOTI ini, nampaknya mirip juga dengan peristiwa
KUTI di Majapahit.
Tahun sandi tersebut jika dicoba angka tahunnya sama dengan 1899 S =
1977 M. kata-kata Wiku sama pula artinya dengan Pendeta atau Islama/Wali.
Para cendikiawan Jawa pada umumnya menilai Wiku sama dengan 7, tapi bila
angka tahun itu kita jajar, ketemunya tahun 1897 Saka + 78 = 1975 M. Rasanya
pada tahun 1975 yll tidak ada gejala kesan-kesan politik negara yang
menggambarkan muncuInya tokoh yang berwatak Wiku/Pendeta/Wali/Islama
yang keluar dari sebuah pertapaan dunia, tapi apabila kita melihat fokus
persoalan ini dari tahun 1973 yll, maka hal ini juga bisa diterima. Tapi bila Wiku
tadi kita jumbuhkan dengan nama Wali, yang di Jawa terkenal 9 jumlahnya,
maka hal itu berarti petunjuk untuk angka 9, maka jejeran angkanya akan
ketemu 1899 S = 1977 M. Tahun ini jelas menunjukkan tahun berakhirnya dan
hasilnya Pemilu bulan Mei 1977 yll sesudah pemilu lalu SU.MPR bulan Maret
1978 yang konsepsinya telah disiapkan sejak akhir tahun 1977. Apakah tahun
1978 ini Merupakan tahun terjadinya perubahan-perubahan pucuk pimpinan
nasional yang baru?.
Sebab agama Islam itu adalah agama yang sempurna, bisa dirasakan
dalam budi dan ilmu pengetahuan bahkan sumber dari budi dan kepribadlan
yang luhur bersifat univesal. Dan untuk itu perlu dihubungkan dengan sikap
batin tokoh yang telah diorbitkan oleh ramalan ini. Siapakah tokoh yang mirip
dengan garis atau ciri-ciri watak sebagai raja Erlangga yang benama Heru Cakra
ya Penguasa yang Adil itu?.
Apabila naskah itu kita bandingkan dengan Jangka Jayabaya versi Syech
Subakir, tokoh ini disebutkan pula dengan gelar Sultan, lengkapnya Sultan
Heru Cakra, ibu dari Mataram (bukan Iagi dari Bali), istananya sunyi sepi tak
Bung Karno pada saat permulaan berkuasa juga bisa nampak berbuat
adil, tapi akhirnya setelah beliau meninggalkan sikap adiInya? Didamprat oleh
kalangan muda, yang dibantu oleh Senapati alaga .... muncullah babak baru.
Apakah setelah SU.MPR 1978 yll kita sudah menemukan Ratu Adil yang
dimaksud ramalan Jayabaya dari segala macam versi tersebut? Mudah-
mudahan demikian adanya. Yang jelas bila ratu adil itu sudah muncul benar-
benar, maka tanda-tandanya ialah ”Tumpes tapis wong kang pada mukir
agama!” wong dora cara. Durjana juti enting, bebotoh pada kabutuh. Marga
adiling sang Nata ......, pada dadi santri jurit!”.
PUPUH : III
DANDANG GULA
Setelah kita fahami bahwa karya Serat Jangka Jayabaya versi ini ternyata
adalah hasil karya Pujangga Ranggaudaraito juga, maka agak mudahlah kita
memahami isi sindiran-sindiran yang terdapat dalam pupuh ketiga ini, yang
nampaknya Merupakan penjelasan terperinci mengenai sinyalemen-sinyalemen
terdahulu.
Didalam naskah ini kita pun memaklumi sikap Sabda Palon (Figur tokoh
pemimpin agama Budha) yang berusaha ingin bertahan terus dengan segala
daya upayanya, begitu juga logis bagi penguasa-penguasa orde baru yang ingin
bertahan dan ingin menancapkan orde barunya sekokoh mungkin.
Yang jelas masa Pak Harto selaku penbuasa kedua negeri ini sudah
berlangsung 3 periode (yakni periode I pada tahun 1966 sejak beliau menerima
Super Semar dari Bung Karno; periode II saat pengukuhan kedua kalinya di
tahun 1968 oleh MPRS untuk mengemban pemerintahan sampai terbentuknya
DPR/MPR hasiI pemilu 1971 dan ternyata tahun 1973 beliau diangkat lagi oleh
MPR jadi Presiden lagi sampai 1978. Dan akhirnya periode ketiga diangkat lagi
yakni dari 1978-1982 sebagai hasil pemilu 1977 yll. Apakah sesudah tahun 1982
nanti akan diangkat lagi?.
Seharusnya sejak tahun 1977 yll situasi demikian sudah harus mereda.
Ternyata kita masih dikagetkan lagi oleh Kejadian di tubuh Polri yang malah
terdapat korupsi yang menyangkut uang miliaran rupiah.
Tahun sandi itu bila kita jabarkan sama dengan 1899 + 78 = 1978 M
adalah hasil pemilu 1977 yll. Rupanya benar kata tersirat ”Anacahken sakehing
wong” (menghitung banyaknya orang) berarti hasiI sensus untuk pemilu dan
hasiInya pemilu itu sendiri.
Konon sesudah itu dikatakan : ”Iku lagi sirep jaman kala bendu, kala
suba/Saka kang gumanti, wong cilik bisa gumuyu, nora kurang sandang mukti,
sedyane kabeh kelakan”. (point 15). Apa artinya ini?.
Artinya ialah disaat itu (1977) barulah meredanya jaman penuh kutukan
Allah SWT, sesudah itu (entah tahun berapa) bergantilah dengan jaman senang,
yang ciri tandanya rakyat jelata sudah mulai bisa tersenyum, tidak kurang
sandang pangannya, semua. Cita-citanya mudah tercapai! (Serat Sabda jati point
14-15)*.
PUPUH : III
DANDANG GULA
Ayat ini kita bukakan untuk pedoman bahwa setiap tujuan baik itu, pasti
harus banyak mengalami rintangan-rintangan tertentu. Sebenarnya dalam kasus
tersebut kita melihat bahwa antara unsur-unsur daerah dengan unsur pusat
(pada saat peristiwa PRRI/Permesta belum meletus) sudah ada pendekatan
yang baik, yakni hasil musyawarah Nasional di Yogyakarta itu. Tapi rupa-
rupanya unsur-unsur pengikut Sabda Palon diabad 20 ini tidak menghendaki
terwujudnya persatuan nasional yang dikehendaki daerah dan pusat itu.
Pengikut-pengikut Sabda Palon ingin memancing ikan di air keruh, maka
dengan akal fitnah sekalipun, mereka berusaha untuk menggagalkan
Perdamaian nasional yang sudah disepakati bersama itu. Maka digempurlah
pusat gerakan daerah itu. Akibat selanjutnya pertumpahan darah. Pengikut
Sabda Palon menjadi senang dibuatnya. Mereka terus berusaha merongrong
negara ini dimana saat melihat kesempatan. Nanti akan ternyata dalam
peristiwa-peristiwa selanjutnya sampai akhirnya muncul fitnah baru lagi yakni
G.30.S/PKI tahun 1965 yll. Para kesatria-kesatria negara ini satu persatu
tumbang dan tersisihkan dari percaturan negara. Kapankah perbuatan bathil
dari kaum atheis itu akan lenyap sama sekali dari bumi pertiwi ini. Secara
formil sudah kita lihat tahun 1966 tatkala Super Semar memberikan kekuatan
untuk membubarkan PKI. Tapi apakah sesudah itu gerakan-gerakan mereka
sudah padam benar-benar? Ini yang perlu kita perhatikan. Sebab pada
hakekatnya golongan kiri itu selalu pandai mencari mantel untuk meneruskan
cita-cita perjuangannya. Untuk memberantas gerakan-gerakan mereka itu satu-
satunya jalan hanyalah mendekatkan diri kepada pedoman-pedoman yang
telah digariakan Allah SWT lewat ajaran-ajarannya yang ditulis dan dibawakan
oleh para Rasulnya; terakhir Nabi Muhammad saw yang telah kita peluk
berabad-abad ini. Jadi-kalau akhir-akhir ini ada semacam usaha-usaha untuk
menjauhkan rakyat Indonesia dari kepercayaan agamanya yang sudah
mendarah daging ini, patutlah usaha itu kita imbangi dengan konsep-konsep
yang lebih mantap lagi, terutama bagi umat Islam harus menyembuhkan diri
dari penyakit-penyakitnya sendiri, sehingga cita-cita masyarakat Sosialis
6. ”Rasanya keadaan umat telah menjadi rusak (dadya rusak pra umat
sami), tersandung sedikit saja bisa mati (kesandung ae temah pralaya),
menjadi tiga bagian (tigang wujud dadine)! Hujan angin yang besar
mengakibatkan kayu-kayu besar menjadi tumbang, berserakan disungai.
Sungai-sungainya banjir sungguh menakutkan orang! Sungguh seperti
banjimya lautan, sehingga apa yang terlanda banjir itu bisa dari dadal tak
seorangpun dapat menghalang-halanginya, dadal hilang musnah tanpa
bekas !”
Jadi jalan selamat dari segala perbuatan kaum syeitan brekasakan bala
Sabda Palon hanyalah satu, yakni jalan agama dan berlindung dibawah
Bukankah setiap hari sekarang ini kita bisa menyaksikan betapa tingkah
polahnya manusia-manusia jaman kini yang diperlihatkan dalam adegan-
adegan film yang bergaya porno, dimana adegan-adegan manusia laki-laki dan
perempuan demikian rupa yang seolah-olah mereka sudah tidak punya rasa
malu lagi dalam hal mengumbar hawa nafsu binatangnya. Padahal dalam
ajaran agama ditegaakan bahwa ”Malu itu setengah dari iman”. Maka manusia
yang tidak punya malu berarti tidak punya iman juga!. Dus berarti jaman edan.
Dan karena itu pula disebut, jaman Kala bendu, jaman penuh kutukan
Allah SWT karena kelakuan manusianya serba mengecewakan. Tanda-tanda
jaman ini banyak, antara lain banyak hujan salah musim, banyak wanita sudah
kurang rasa malunya, banyak laki-laki seperti wanita, yang wanita seperti laki-
laki.........dan seterusnya.
Tanda-tanda ini sekarang sudah banyak kita saksikan di kanan kiri kita.
Ini berarti masalah apa yang kini disebut ”Dekadensi moral”! apakah ini berarti
godaan syeitan terhadap manusia lebih kuat? Kalau begitu benar, jaman kini
peranan kaum beriman seolah-olah masih dikentuti saja oleh kaum syeitan
brekasakan yang mengjawantah dalam bentuk manusia. Maka anjuran yang
paling tepat hanyalah ”Waspada” semoga umat manusia di Indonesia dapat
mengalahkan segala polah tingkoh syeitan brekasakan.
10. ”Apabila kelak tanda-tanda itu sudah muncul, dan datang ditengah-
tengahrakyat Pulau Jawa ini, diikuti oleh anak cucu yang berwatak
syeitan brekasakan dan demit, maka disaat itulah kaum agama
menyebarkan ilmunya yakni ”Ilmu kaweruh nyata” yang bersumber
ilmu agama yang sebenar-benarnya, sehingga orang bisa Mengenai inti
makna yang terkandung dalam ajaran agama Islam yang murni, yakni
agama Wahyu Illahi”.
Inilah isi nasehat Brawijaya dan Sunan Kalijaga setelah Sabda Palon
menghilang. Umat manusia diajak benar-benar untuk mendalami ajaran Islam
dengan sungguh-sungguh, tidak hanya kulitnya saja, tetapi hakekatnya perlu
didalami sedalam-dalamnya. Orang yang mengerti kata ”Sahadat Sejati” yang
Kita tahu bahwa dewasa ini, ada segolongan manusia yang menyebarkan
ilmu ”Kaweruh Nyata” yang pada hakeketnya tidak bersumber kepada ajaran
agama Islam. Mereka menyebutnya sebagai ajaran agama yang benar, karena
dengan ilmu itu orang akan dapat mengetahui hakekat ajaran makrifat agama
Budi! Ia mengambil dalil-dalil sedikit dari salah satu ajaran agama-agama yang
besar didunia ini, lalu dicampur aduk menjadi satu pegangan moril dan
perkumpulan-perkumpulan itu dengan disana sini ditegaakan bahwa inilah
ajaran nenek moyang Jawa yang asli!.
11. ”Kepastian janjinya (janji Sabda Palon) telah tiba, yaitu apabila sudah
genap 500 tahun, tahun mana telah terhitung jaman Islam, lenyap dan
kembali kepada saya (Sabda Palon), agama Budi(a) berdiri tegak, maka
barang siapa yang menolak pasti akan menerima kutukan, dan karena itu
akan saya sajikan kepada anak cucuku : ”Berusahalah kamu memakai
tanda-tanda agar engkau dijaga keselamatannya dari godaan para demit
dan dijauhkan dari penyakit-penyakit (rohani) yang tidak sewajarnya”
(san pakakna putune wang, nedya pratanda wastane linun demit, gegila
myang lelara)”.
12. ”Datanglah bahaya ribuan demit. Dikala itu anda jangan membanggakan
(ojo siro samya anggedirna) akan melawan demit itu! Anak cucu kami
janganlah pula anda menantang perang! Lebih baik
mengandalkan/mendalami ilmu dengan berbagai macam sarana yang
memungkinkan suksesnya. Semua marabahaya itu pasti tidak akan
13. ”Menurut prospeknya pulau Jawa ini sudah mulai banyak Ilham-ilham
yang memungkinkan bisa dibuka maknanya oleh para cendikiawan,
yang itu semua telah tersurat dalam primbon Jayabaya. Konon dikala itu
manusia akan tinggal menjadi separuh saja! Adapun yang masih hidup
dinasehatkan perlunya mengetahui dan mempelajari sesuatunya agar
semua itu dapat dimanfaatkan untuk menolak segala macam
marabahaya yang mengancamnya. Begitulah seharusnya daya upaya
manusia yang hidup ini, kata para cendikiawan (Wasita nira pra kuna)
yakni agar menetapi darmanya sebagai manusia hidup”.
16. ”Apabila anda menyalahi tulisan kodratNya, hidup ini memang terasa
amat berat, sebab hidup yang benar itu mesti selalu disaring (dicoba)
oleh kebenaran ajaran-ajaran Allah SWT, artinya ialah bahwa orang
harus bisa menjauhkan diri dari segala nafsu-nafsu (kurda nyidra mring
karsa) yang dilarang Allah SWT yaitu segala liku-liku hidup yang tak
baik agar bisa membuka hakekat ajaran ”Sangkan Parane Dumadi
tersebut. Hasilnya ialah akan menjadi manusia yang bijaksana ditengah-
tengah masyarakatnya”.
17. ”Hakekat ajaran Sahadat yang sesungguhnya itu, apabila orang suka
meninggalkan keramaian-keramaian dunia fana ini, lalu memusatkan
segala persoalan hidup untuk persiapan matinya kelak (kabeh urip
myang lampus), hal ini sebagai pertanda bahwa Allah SWT memang
berkuasa mengadakan jagad tapi juga berkuasa menggulung-Nya. Maka
pulangnya segala persoalan tak lain menuju filsafat ”Siapa yang
mengadakan sesuatu yang ada didunia ini, tak lain hanya Dia yang
sebenar-benarnya sumber permulaan yang ada itu!”.
Jelasiah kiranya bahwa tujuan penulis ini tak lain untuk memberikan
sinar terang kepada mereka yang belum mendengar ajaran sangkan parane
dumadi dari sumbernya yang asli, agar dengan begitu mereka lalu menjadi
sadar dan ibarat domba yang sedang diumbar di sawah ladang dengan
demikian agar mereka segera pulang kekandangnya!”.
20. ”Ingatlah hei manusia, bila anda tidak mau mengikuti saran ini,
nniscayalah bakal berat akibatnya; sayalah yang menjadi jaminan seluruh
Nusantara, yaitu dunia sebelah timur tenggara di Asia ini! Disaat itulah
munculnya suasana baru itu. Semoga saran ini diteruskan kepada
seluruh Rakyat Nusantara lewat jamannya. Sri Buwana!”.
21. ”Semut Ireng ngendog jroning geni, ana merak memitran lan baya, keong
sakenong matane, tikuse padha ngidung, kucing gering ingkang
nunggoni, kodok nawu segara olah banteng sewu, precil-precil kang
anjaga, semut nganorang anorangsang gunung Merapi, wit Ranti woh
Delima” (Semut hitam bertelur dalam bara api, ada sementara burung
Merak bersahabat dengan binatang buaya, dan anehnya yang tahu
adalah keong yang matanya sebeser kenong; tetapi sementara itu
tikusnya nampak bersenang-senang, sebab hanya kucing kurusiah.yang
menjaganya. Aneh lagi gejalanya bahwa kodok-kodoknya yang
bertingkah menguras lautan. Apa yang diperolehnya? Banteng seribu!
Sayangnya yang menjaga hanya percil-percil (anak-anak kodok yang
kerdil). Akhirnya barisan semut merah marah lalu merangsang gunung
Merapi apa akibatnya? Pohon meranti bisa berbuah Delima?!”
Mungkinkah itu?).
Jika didalam tulisan yll sudah digambarkan bahwa puncak ramalan ini
untuk menggambarkan situasi menjelang 1978 seperti yang diramalkan oleh
Sabda Palon - Nayaginggong tersebut, maka penutup tulisan ini kiranya juga
dialamatkan kepada situasi masa transisi dewasa ini, yakni masa penghabisan
jaman Kala Bendu menuju jaman Kala Suka. Situasi nampaknya masih
menggambarkan situasi dilema! Semacam rujak sentul kata orang Jawa. Apa
artinya perlambang tersebut? Marilah kita uraikan ala kadarnya berdasarkan
data yang ada pada saat ini.
Yang dimaksud kalimat ”Para muda sigra kroda amrang sabda nuwun
adil”, itu kiranya untuk menggambarkan peranan para muda yang tergabung
Bukankah begitu fakta sejarah belasan tahun yll? Sebagai bukti bahwa
sikap pemerintahan Bung Karno saat terakhir itu banyak mengandung dosa
ialah tanda-tanda peri kehidupan rakyat dan pegawai negeri menjadi rusak.
Bila keadaan ini tidak segera di stop, maka sulitlah akan dikatakan,
bagaimana nasib negara ini kelak? Alhamdulillah, akhirnya Allah SWT
memberikan jalan keluarnya yakni rasa keberanlan sikap kaum muda untuk
mendobrak kekuasan Bung Karno yang sudah mulai reaksioner dan
meninggalkan rasa keadilan itu. Padahal beliau sebelumnya telah diorbitkan
sebagai Ratu Adil, Kepala Negara pertama yang menurut istilah ramalan
Jayabaya versi lain (Pranitiwakya) disebut ”Ratu Amisan” (Penguasa Pertama
jadi bukan Ratu/Penguasa yang punya hubungan darah sebagai dikatakan
orang Jawa ”Misanan”, bukan, pen). Disini nampak jelas, bahwa ramalan itu
mengajak/menggiring kearah mana sikap Penguata itu berbuat seadil-adilnya.
Bila ia tidak bisa berbuat adil lagi, maka pastilah datang masa kejaAllah
SWTnya. Seperti petunjuk Al-quran memperingatkan : “.......Dan masa
kebangkitan dan kehancuran itu kami pergilirkan diantara manusia, agar
mereka mendapat pelajaran dan supaya Allah membedakan buat orang-orang
yang beriman dengan orang-orang yang ingkar dan memang sebagian kamu
dijadikanNya gugur sebagai syuhada, karena Allah tidak
”Ratune Ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayakan tyas raharja,
panekare becik-becik, prandane tan dadi, kalising Kala Bendu, malah saya
ndadra, rubeda kang ngreribeti (G.30.S/PKI, pen), beda-beda hartianing wong
sanagara”. (Kepala Negara cukuplah sebagai Penguasa yang baik, juga Perdana
Mentrinya cukup pula punya syarat-syarat lebih, begitu pula para Menteri-
menterinya berhati tulus-tulus juga, apa lagi para Panglima Angkatan
Tafsir-tafsir yang berbeda mengenai masalah yang baru saja timbul itu
terlihat dari adanya sebutan ”Gestok” dan ”Gestapu”. Gestok berarti mengutuk
kepada peristiwa 1 Oktober 1965 yang menggagalkan Gerakan 30 September
1965 dan Gestapu berarti mengutuk kepada gerakan yang mengadakan onar
pada detik-detik sejarah menjelang 1 Oktober 1965. Disini sang Ratu Amisan
nampak tergelincir yang penghabisan, sebab jelas ia bukannya mengutuk
G.30.S/PKI melainkan mengutuk Gerakan 1 Oktober 1965 yang digerakkan oleh
Pak Harto selaku Kasad yang disebutnya nama singkat ”Gestok”. Disini Ratu
Adil Pertama jelas tidak bisa buat adil lagi, maka tidak heranlah kita bila para
pemuda kemudian menuntut bela memohon keadilan, dan mulai saat itulah
datangnya titik balik dan pergantian kekuasaan untuk bergilir kepada tokoh
lain yang diharapkan bisa berbuat adil lagi.
Apa kata Sabda, Palon? Setelah point 6 tadi, gejalanya ditunjukkan lagi
dalam point 7 gal berikut : ”Ingkang gumantya Narendra, jumeneng mung
anyelani, sampar kesandung kang asma, bumi Mataram kang Wijil, trahira Nata
Mangkubumi, atajem polatanipun, saguh datan wegahan, ngrampungi
sabarang Kawis, tansah winongwong ing sangulat sarira”. (yang menggantikan
kedudukan sebagai Penguasa baru, ialah penguasa yang statusnya hanya
bersifat anyelani/sementara, namanya sudah dikenal sehari-hari sebelumnya
hanya saja tidak banyak orang mengira dan menduganya, asalnya dari bumi
Tahun sandi tersebut jika dibaca angka tahunnya sama dengan 1899 Saka
+ 78 = 1977 M. Kata-kata Wiku sama pula artinya dengan Wali/Islama/Pendeta.
Para Cendikiawan Jawa umumnya menilai Wiku sama dengan angka 7, tapi bila
angka tahun itu kita jajar, ketemunya 1897 + 78 = 1975 M. Rasanya pada tahun
itu, tidak ada gejala kesan-kesan politik negara yang menggambarkan
munculnya tokoh negara yang berwatak Wiku / pendeta / wali / Islama
demikian, tapi apabila kita melihat fokus persoalan ini dari tahun 1973 yll, maka
hal ini juga dapat diterima, cuma meragukan. Tapi bila Wiku itu diberi nilai 9,
yang dasamya ialah bahwa Wali di Indonesia ini sudah terkenal 9 jumlahnya,
maka hal itu berarti menunjuk 1899 + 78 = 1977 M, tahun mana menunjukkan
pemilu dan hasilnya lalu disusul dengan sidang SU.MPR bulan maret 1978 yang
konsepsinya telah disiapkan sejak akhir 1977. Apakah tahun 1978 yll kita
melihat adanya perubahan munculnya pimpinan nasional yang baru ?
Disaat ini negara kita telah mendapatkan semacam anugerah dari Allah
SWT karena bangsa ini telah menetapi ajaran/keinginan ajaran agam budi dan
pengetahuan. Sampai disini kita harus berhati-hati mentafsirkan arti agama
budi dan pengetahuan/kaweruh itu.
Apakah hal ini berarti ajaran-ajaran yang dikehendaki oleh aliran kepercayaan
kebatinan yang tergabung dalam organisasi SKK? Rasanya kita lihat organisasi
itu tidak menamakan diri sebagai agama, jadi mustahli bila sinyalemen/sindiran
itu ditujukkan kepada aliran tersebut. Tapi fakta yang kita lihat tatkala SU.MPR
1978 yll, organisasi SKK ini berhasil ditetapkan/dikukuhkan dalam sidang itu,
segala kemauan dan tujuannya? Biarlah fakta itu kita kesampingkan dahulu.
Kalau kita yakin bahwa agama Islam itu agama yang sempurna, bisa
dirasakan dalam budi dan akal ilmu pengetahuan bahkan sumber dari
budi/kepribadlan yang luhur dan bersifat universil tadi, maka perjuangan
kearah penyempurnaan batin umat manusia ini haruslah terus menerus tanpa
kenal lelah dan kekhawatiran apapun, biar bagaimanapun orang lain akan
menjatuhkan.
Kalau tokoh ini juga memiliki idantitas lain seperti diungkapkan diatas,
maka nama Heru Cakra itu kiranya mengandung sasmita bahwa pada saat
permulaan, penguasa-penguasa dibumi ini agar bisa diharapkan untuk
Apabila naskah Sabda Palon ini kita bandingkan dengan jangka Jayabaya
versi Syech Subakir, tokoh ini disebutkan pula dengan gelar Sultan, lengkapnya
”Sultan Heru Cakra” yang cirinya, Ibu dari Mataram, bukan Bali, Istananya
sunyi sepi tak berfungsi...! kesimpulan kita ialah bahwa Ratu Adil itu benar
menunjuk kearah badan hukum negara yang disebut ”Republik Indonesia”
sedang penguasa negara itu harus selalu bisa berbuat adil paramarta. Apabila
sikap adil ini dilupakan, maka wahyu kenegaraan pasti oncat dan bergantilah
penguasa baru itu, yang diharapkan bisa berbuat seperti yang dikehendaki cita-
cita bangsa yang wujudnya tertuang dalam Mukadimah UUD'45.
Apabila bangsa Indonesia dan para pemimpin bisa berbuat Adil dan
Benar, tidak menunjukkan ciri-ciri pemimpin dijaman Kala Bendu (melanggar
UUD’45 dan membuat konsepsi-konsepsi yang dikisruh serta ganjil-ganjil).
Insya Allah, cita-cita masyarakat adil makmur menuju garis Sosialisme Religius
itu, benar-benar segera terwujud, sehingga apa yang tergambar dalam lukisan
point 9 berikut ini akan terbukti didalam waktu dekat ini. Apa kata sinyalemen
itu : ”Kartaning praja anggen-nya, liyan praja samya ering, samya nungkul
sukalila, lan aweh sok bulu bekti, mili berlian rinukmi, cedak tumelung adoh
tumiyung. Murah sandang murah pangan, tentrem ayem kawula alit, tetenguk
nemu kethuk ini kencana”. (Kemakmuran dan kebesaran bangsa dibuktikan
dengan adanya negara-negara luar merasa segan, semuanya serba, tunduk
secara suka rela tidaklah negara-negara itu memberikan upeti, namun segala
bantuan luar negeri toh banyak berdatangan. Diibaratkan mengalirnya harta
kekayaan berupa bantuan-bantuan tadi seperti pepatah ”cedak tumelung”,
adoh tumiyung” dekat memberi yang jauh demikian juga adanya, pendeknya
keadaan negara terasa sangat murah sandang dan pangan, keadaannya
tenteram dan membahagiakan rakyat jelata, bahkan dapat diibaratkan lagi
”Hanya dengan bekerja seenaknya saja sudah cukup mendapatkan hasil yang
luar biasa)”.
MENELITI SEJARAH
LEWAT SABDA PALON
Rasanya kalimat nasehat diatas tidak perlu dikomentari lagi, toh sudah
gamblang dan menunjukkan pedoman hidup menuju kesadaran umum, kearah
mana sebenarnya usia hidup ini mengadukan nasibnya secara adil benar-benar,
kecuali kepada Allah SWT semata! Sebab segala mobah mosiking manusia itu
pada hakikatnya sudah diketahui Allah SWT. Allah SWT-pun sudah
memberikan pedoman-pedomannya lewat para Nabi/Rosul tentang ajaran yang
Petunjuk ini kita kutipkan untuk pedoman batin bahwa untuk setiap
tujuan baik itu pasti harus banyak mengalami rintangan untuk diuji, apakah
manusia pandai mengamalkan karunia-karunlanya secara baik atau tidak!
Bukankah dikatakan bahwa amalan yang baik itu akan seperti pohon tadi,
akarnya menghujam kokoh, cabang-cabangnya dapat menjulang tinggi dan
membuahkan hasil yang dinikmati manusia. Tetapi sebaliknya, bila pohon itu
rapuh atau tidak banyak manfaatnya, pastilah akan berbuah yang pahit dan
menyengsarakan masyarakat banyak seperti layaknya ”Buah pohon maja yang
pahit”.
Para kesatria satu persatu gugur menjadi tumbang dan tersisihkan dari
percaturan politik negara. Kapankah perbuatan balas dandam wadya bala
Sabda Palon yang muncul di abad ke 20 ini akan dapat ditumpas sampai
keakar-akarnya?. Secara formil sudahlah dapat kita saksikan di tahun 1966
tatkala ”Super Semar” memberikan kekuatan hukum untuk membubarkan PKI.
Tapi apakah sesudah itu gerakan-gerakan mereka sudah pada dalam arti
sebenarnya? Sebab pada hakikatnya golongan itu selalu pandai saja berbuat
seperti musang dalam bentuk mencari mantel untuk meneruskan cita-cita
perjuangan kelasnya. Untuk memberantas gerakan-gerakan mereka itu tidak
lain hanyalah melalui jalan perbaikkan ekonomi dan ajaran agama disebar-
luaskan sampai ke dasar-dasamya, seperti yang sudah ditempuh pemerintah
hingga saat ini.
Dan bukankah ramalan ini juga menunjukkan bahwa yang selamat dari
ancaman anak cucu Sabda Palon 500 tahun yad dari pertemuan segi tiga pada
tahun 1978 yll, hanyalah mereka yang tahu menjabarkan kalimata ”Sahadat
Kang Sempurna”? dan hal seperti itu berarti mendalami arti ajaran agama yang
semurni-murninya, sehingga cita-cita masyarakat Sosialis yang Religius itu
benar-benar terwujud.
Tadi disebutkan bahwa pohon yang baik akan membuahkan hasil yang
baik pula, tetapi faktanya telah menyaksikan bahwa selama masa lalu, negara
ini selalu dirundung malang karena datangnya malapataka yang silih berganti,
yang kemudian berakibat kerusakan-kerusakan yang hebat pula, misalnya
kerusakan ekonomi (hyper inflasi), politik (akibat Nasakom dan perubahan
struktur mengakibatkan tumbangnya pemimpin-pemimpin politik yang
berkaliber nasional serta terpojoknya tokoh-tokoh pemimpin yang berjiwa
ksatria/jujur), sosial budaya (masuknya kebudayaan asing kesini menimbulkan
dekadensi moral dan kemerosotan akhlak), dll Lihatlah kemudian dalam
sindiran-sindiran berikutnya. Bukankah itu gambaran sebuah pohon yang
belum sempurna baiknya? Sebab kalau pohon itu baik, akarnya pun teguh dan
AKIBAT EKONOMIS
Apalagi gejala masa itu benar-benar kita lihat, betapa banyaknya orang-
orang yang melanggar undang-undang negara seperti aji mumpung
(komersialisasl jabatan), menyalahgunakan kekuasaan yang lain (kekudung
malulang macan), sikap-sikap tak terpuji seperti harta punya kuasa, dll. Itu
semua pertanda kerusakan mental bangsa yang disinyalir diatas, kapan masa
ini akan berakhir?.
Tahun sandi tersebut sama dengan Saka 1399 (bukan tahun Jawa Sultan
Agung) kalau ditambah 78 akan sama dengan tahun Masehi 1977. Konon sejak
“Iku lagi sirep kala bendu, kala suka/ kala suka kang gumanti, wong cilik
bisa gumuyu, nora kurang sandang mukti, sedyane kabeh kelakan”. (itu baru
meredanya jaman penuh kutukan Allah SWT, kemudian setelah itu bergantilah
jaman senang, ditandai dengan situasi banyak rakyat kecil bisa tersenyum, tidak
kurang sandang pangannya, semua tujuan serba mudah tercapai.)
Tetapi hingga saat ini rasanya masyarakat kecil masih serba prihatin.
Tahun tersebut jelas menggambarkan tahun pemilihan umum ketiga tempo
hari. Bukankah kata-kata anacahken sakehing wong itu sama artinya dengan
menghitung banyaknya orang, alias sensus pemilu dan hasilnya? Hasilnya apa?
Memilih Presiden baru!.
???????????????????///GAMBAR///?????????????????????????????
Gegelare sahadat sejati, kersa lamun urip iku tinggal, tunggal kabeh
myang uripe, abeh urip myang lampus, pratanda yen Agung Hyang Widhi,
kuwasa nganakna jagad, myang kuwasa ngukuk paranira kabeh sipat marang
sangkan parane dumadi, yeku sumber purwanira. (Jangka Jayabaya Versi Sabda
Palon point 17 pupuh III).
Jelasiah kiranya bahwa tujuan penulisan ini tak lain untuk memberikan
sinar terang kepada mereka yang belum mendengar dan belum mengetahuinya,
agar supaya dengan begitu mereka menjadi lebih sadar, sehingga ibarat domba
yang digembalakan di sawah ladang petani dengan keterangan ini mereka
sadar dan segera pulang ke kandangnya, karena mataharinya hampir
terbenam!.
Dalam point 14 yll sudah jelas dikatakan bahwa untuk mendalami arti
KeAllah SWTan Yang Maha Esa itu apabila kita mengerti apa arti ”Sahadat
Sejati” sebab itu akan memberitahukan kepada manusia tentang ”Dununging
Seperti Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), Sri Paku Buwana V pun
menganjurkan sholat 5 waktu itu. Dalam Falsafat Centhininya beliau berwasiat
demikian : ”mulane yayi awajib, kita punika asalat, limang wektu ing wajibe, ya
bener yen ana ngucap, asalat karsa Allah, nora salat nadyan kufur, kafir ya
karsaning Allah”. (bab 14 AsmaRadena point 68). Yang arti terjemahannya :
”Maka dari itu adinda, kita ini wajib sholat 5 waktu! Ya betul kalau ada orang
bilang sholat itu sudah kehendak Allah, tidak sholatpun walaupun dikatakan
kafir ya kehendak Allah SWT. Maka dari itu ...”Bener dadi luput yayi, sebab
durung weruh ing khas khaq ...” (69) artinya ”benar jadi salah adinda, sebab
mereka belum mengetahui kebenaran yang khas...”.
Berhubung saat itu bahasa Al Qur’an yang Arab itu belum banyak
dikenal masyarakat luas, maka segala ajaran agama Islam masih banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Oleh karena itu jika kemudian hari
banyak paham Kejawen yang disinari ajaran Islam, hal itu sudah selayaknya,
sehingga apa yang dahulu samar-samar pengertiannya dan sumbernya, sejak
kini seharusnya mulai dipahami benar-benar, sehingga tidak perlu lagi ada
ajaran KeAllah SWTan YME yang tidak menurutkan pengertian-pengertian
ajaran-ajaran agama.
Bukankah dalam point diatas dinyatakan bahwa Sahadat sejati itu akan
menunjukkan ”Dununging Pangeran” dan hal itu akan terbukti ”Ketenger jiwa
ragane”. Jiwa raganya bersatu membuktikan akan kebesaran Allah SWT yakni
dinyatakan dengan perbuatan sholat 5 waktu seperti diutarakan diatas.
Sholat yang baik dan diterima Allah SWT itu haruslah yang khusu' yang
rumusan para Wali tempo dulu dinyatakan sebagai ”Wikan manjing alus, bisa
ngajal jroning gesang” sehingga dengan berbuat demikian orang akan
mengetahui apa yang disebut ”Sangkan Paraning Dumadi” dan karena itu
”Perlu Sira Upaya” (perlu anda cari).
Tetapi bila sekarang ini mereka lalu sadar dan mulai memasuki agama
Islam kembali, maka barang siapa yang tidak mengikuti jejak dan nasehat ini,
akibatnya kelak pasti beratlah ( Yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti abot
panandange ... )Selanjutnya Lihatlah point penutup berikut ini.
”Ngelingana he pra umat sami, yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti
abot panandange, ingsun pikukuhipun, Nuswantara ing saindanging, bawana
kang sisih wetan, Asia punika, kasigegan swasana, sabda kesabdakna mring
bawana wadag iki, lumantar Sri Buwana”. (20) (Artinya : Ingatlah hei para umat
manusia semua, bila anda tidak mau mengikuti jejak saya ini, nniscayalah bakal
berat akibatnya. Sayalah yang akan menjadi penjamin seluruh bumi Nusantara
dan sekitarnya ini, yakni sebagian dunia sebelah timur (tenggara) di Asia ini.
Disaat itu akan muncul suasana baru, yakni di dekritkan terhadap seluruh
dunia. Lewat kewibawaan Sri Buwana)
”Semut ireng ngendog jroning geni, ana merak memitran lan baya, keong
sak kenong matane, tikuse padha ngidung, kucing gering ingkang nunggoni,
kodok nawu segara, oleh bantheng sewu, precil-precil kang anjaga, semut
nganorang anorangsang gunung Merapi, wit Ranti woh Delima”.
Sampai disini kita melihat situasi yang mengandung kalimat serba tanda
tanya. Apakah situasi itu akan menjurus kepada arah yang lebih positif?.
Nampaknya demikianlah dan dalam masalah ini penulis teringat bunyi dan arti
surat Ali Imran ayat 140.
???????????????????/GAMBAR///????????????????????????????????
MEMBERSIHKAN LOKA MUKSA
MENJELANG ACARA 1 SURO
BAB : XIV
Apa artinya? Akan nampak jelas lagi bila kita terjemahannya, yakni
”Rasanya keadaan Umat (Islam) telah menjadi rusak, hanya karena tersandung
permainan sedikit saja bisa tersungkur, menjadi 3 golongan wujudnya!. Hujan
angin yang besar mengakibatkan kayu-kayu besarpun menjadi tumbang,
berserakan di sungai-sungai!. Sungainya banjir menakutkan orang, sungguh
seperti lautan saja layaknya, sehingga apa saja yang terlanda banjir itu bisa
dadal tak sesorang pun dapat menghalang-halanginya, dadal musnah tak
berbekas!”.
Gejala kerusakan alam yang dilukiskan diatas bila kita lihat secara biasa
tentu saja akibat penebangan hutan-hutan secara ngawur yang sudah
berlangsung sejak jaman sebelumnya, maka terjadilah erosi. Lumpur-lumpur
gunung gundul turun ke bawah, akibatnya sungai-sungai di dataran rendah
menjadi dangkal. Apabila banjir datang, maka airnya tentu mudah meluap
merusakkan sawah ladang petani.
Tetapi bila kita telah memahami bahasa perlambang itu sebagian besar
juga mengandung sindiran (kritik halus), maka kerusakkan umat manusia yang
menjadi tiga bagian/golongan gara-gara kesandung bola permainan tadi, sebab
kelihatannya ditunjukkan yaitu ”Karena adanya hujan lebat yang besar,
sehingga kayu-kayu besar terpaksa banyak yang tumbang. Bukankah hubungan
kalimat tersebut ganjil?. Memang bahasa perlambang itu nampak selalu
miring/ganjil menurut kata cendikiawan sastra Jawa. Dan karena itu, kalimat ini
pasti juga mengandung sasmita yang perlu dicari arti tersiratnya. Rupa-rupanya
hal itu tertuju kepada peranan manusia-manusia pemimpin yang berada di
Maka untuk mawas diri umat manusia pada umumnya dan umat Islam
khususnya (karena kata-kata Jawa ”Umat” tadi umumnya untuk sebutan yang
beragama Islam) keadaan yang aneh tadi rupanya sebagai tanda peringatan
agar umat Islam menyadari wasiat Nabi Muhammad SAW yang tercantum
dalam sebuah Hadist yang artinya : ”Akan datang pada suatu ketika Umat
Islam menjadi rebutan! Apa sebab? Tanya seorang sahabat nabi, yang dijawab
Nabi : ”Karena Umat Islam yang besar itu punya penyakit!” Apa penyakitnya?
Tanyanya lagi, jawab Nabi : ”Gila harta dan pangkat, tetapi takut mati!”.
Dan karena itu mudah dikalahkan dan dipecah belah, karena disana para
pemimpin Islam (khususnya) itu sudah memandang ”Harta & Kedudukan”
yang menjadi tujuannya, dan bukan Idialisme yang dikejar, sehingga mudahlah
ditaklukkan. Padahal apa yang dicarinya itu akhirnya cuma sekian saja, tidak
mengandung arti yang menentukan. Inilah yang disindir pula oleh sementara
Islama sebagai ”"Agamane wong kalah karo arta”!
”Wasana sebel horeging bumi, ana lindu ping pitu sedina, karya ngrusak
jalmane, anela sitinipun, brekasakan sami kaeksi, nyeret sagunging jalma,
ginaruk maluku, nlisip selanira, yaiku jalma kang weruh sahadat sejati, wisiking
Hyang Suksma. (point 9).
Yang perlu kita ingat ialah bahwa dalam naskah ini, pembaca harus
mengerti arti sindiran-sindiran itu, yang sebenarnya menggambarkan
pergulatan paham/agama yang dianut oleh ketiga unsur manusia yang
mengadakan pertemuan segi 3 diakhir abad 15 tempo hari, yakni unsur Sunan
Kalijaga, sebagai pembawa aapirasi Islam, kemudian unsur Brawijaya sebagai
unsur penguasa yang berhak menetapkan segala keputusan dan
pengayomannya terhadap rakyatnya dan unsur Sabda Palon yang membawa
aapirasi lain, yang konon telah mendominir pengaruhnya dinegara itu, dan
karena itu menuntut agar posisi ini tidak berubah!.
Sebaliknya bila sang baginda berada dalam sikap agama lamanya, maka
sikap demikian kiranya dapat dianggap tidak bijaksana. Menurut istilahnya
sekarang raja dianggap reaksioner tidak revolusioner lagi.
Tahun 1478 adalah tahun kemenangan Islam pada saat itu bisa diterima
sang Penguasanya, tetapi fakta itu membuat Sabda Palon dan penguasa-
penguasa daerah yang masih kuat menganut paham lamanya berusaha
menumbangkannya. Terjadilah penyerbuan Ke pusat ibukota Majapahit yang
berakhir dengan kewafatan sang baginda. Sejak itu Girindrawartiana (dari
Kediri) menduduki tahta Majapahit sebenarnya, tapi kemudian nampaknya
digeser lagi oleh kekuatan baru. Apakah kekuatan baru itu ada unsur-unsur
Islamnya?. Masih tanda tanya. Tetapi ketika terjadi pemberontakkan Ki Ageng
Kutu dari Wengker pada tahun 1482 M, Raja Majapahit pada saat itu
memerintahkan Batara Katong untuk menumpasnya dan berhasil baik berkat
bantuan Ki Ageng Mirah (Islam).
AGAMA SEBAGAI
Janji Sabda Palon : ”Ing mbinjing sang pungkur mami, yen wus prapta
kang wanci, jangkep gangsal atus tahun, awit ing dinten punika, kula
gantos agami, agama Budha kula sebar tanah Jawa!”.
Mungkinkah hal itu? Ingatlah, dikala itu para demit akan menggoda
dengan senyuman-senyuman yang sinis!.
Apakah obat penolak bahaya itu? ”Wasitane prakuna, yaiku Sahadat
kang Sejati”! apakah itu berarti mendalami Islam yang semurni-
murninya?.
Dari data yang tetungkap dalam Babad Panaraga dan Prasasti Ngebel dapat
diketahui bahwa penguasa pusat Majapahit itu tidaklah anti Agama Islam. Oleh
sebab itu jika Solichin Salam dalam bukunya ”Sekitar Wali Sanga” hal.16
menuliskan bahwa penguasa Majapahit antara 1478-1498 M dipegang
Girindrawartiana, hal itu sangat kita ragukan. Bukankah menurut N.J. Krom
tahun 1486 terjadi penyerbuan lagi ke pusat ibukota Majapahit yang dilakukan
oleh unsur-unsur Hinduisme dari Keling (Girindrawartiana)?. Penyerbuan itu
jelas lewat Panaraga segala (lih. Babad Tanah Jawa), dan menyebabkan Batara
Katangpun tewas dalam penyerbuan itu, sehingga la berkuasa di Panaraga
hanya 4 tahun saja, yaitu dari tahun 1482-1486 M (lih.Prasasti Kematlan Batara
Katang di pesareannya di desa Setana Panaraga, 2 km ke timur dari pasar Legi
Panaraga).
Sikap sadar mapan itu berarti tahu menempatkan diri dalam posisi,
bagaimana kepercayaan agama masing-maasing itu ditempatkan sesuai dengan
aturan permainan yang baik seperti yang digariskan oleh Menag dalam SK-nya
No. 70 & 77 tahun 1978 akhir-akhir ini. Tidaklah berarti mereka sadar bila
dalam sikap bathinnya seperti yang dilukiskan point 5 diatas : ”Sinten tan
purun anganggea, yekti kula risak sami, sun sajek-ken putu kula, bagasakan
rupi-rupi, dereng lega kang ati, yen durung lebur atempur....”.
”Lamun mangke tetenger wus kaeksi ingkang prapti ing tanah Jawa,
manjing ing tengah rakyate, kinanthi anak putu, wujud brekasakan lan demit,
sun sebar kawruh nyata, agami satuhu, meruhna ing ma'ripat, agami budi
nenggih Islam kang sejati kinarya wisik Hyang Suksma”. (Apabila kelak tanda-
tanda itu sudah kelihatan, dan datang ditengah-tengah rakyat Pulau Jawa ini,
gejala demikian diikuti anak cucu pengikut Sabda Palon yang berwujud/watak
setan brekasakan dan demit, dikala itu akan disebarkan ilmu pengetahuan
agama yang sesungguhnya, agama itu mengajarkan kepada tataran ma'rifat
(sempurna) yakni agama yang mengandung ajaran budi luhur ya agama Islam
yang semurni-murninya, karena hal itu semua memang kehendak Allah SWT
YME) ( point 10).
”Papasthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, toan
kepetung Jaman Islame, musna bali maring sun, agami budi madeg sawiji, sapa
kang ngemohna, yekti nampa bendu, sang sayakna putuning wang, nedya
pratanda wastane linun demit gegila myang lelara” (Kepastian janjinya (janji
Sabda Palon), telah tiba, yaitu apabila sudah genap 500 tahun, tahun mana telah
terhitung jaman Islam, lenyap dan kembali kepada saya (pengikut-pengikut
Sabda Palon) agama Budi berdiri tegak mendireng pribadi, maka barang siapa
menolak pasti akan menerima kutukan, dan karena itu wasiatku, segerakanlah
Ini berarti bahwa kalangan umat beragama agar bersikap sabar, sambil
mawas diri, apakah umat beragama. sudah berjuang semaksirnal mungkin
untuk mempertihatkan kebagusan ajaran-ajaran agamanya itu, khususnya yang
beragama Islam?.
Disamping itu harus diingat pula bahwa bukankah situasi umat pada
saat ini dapat diibaratkan seperti buih yang besar tanpa bobot?. Kata sebuah
Hadist. Dan karena itu mudah dipecah belah/dikalahkan, sebab umat yang
besar itu nampaknya masih mempunyai banyak penyakit yang perlu
disembuhkan terlebih dahulu.
Penyakit itu ialah, Gila harta/pangkat dan takut mati. Kata Hadist itu
lebih lanjut. Ditengah-tengah situasi ini sebenarnya umat beragama Islam (yang
”Jangkane nusa wus akeh wangsit wanaca ing jalma kang waskitha, ing
Primbon Jayabayane, janma tan panggah-pungguh, wineca sirnane sepalih,
dane ingkang maluya, perlu weruh, ibarat nulak bebaya, amung netepi
darmane urip, yekti wasitane pra kuno” (Menurut gambarannya Pulau Jawa
kini, sudahlah mulai banyak rahasia-rahasia hidup ini mulai terbaca oleh
cendikiawan, khususnya apa yang tersurat dalam ramalan Jayabaya yang
mengatakan bahwa kelak manusianya akan lenyap dan tinggal separuh saja.
Adapun yang merasa sehat pikirannya (tidak ikut tersesat) perlu mengetahui
cara-cara menolaknya marabahaya (yang ditimbulkan oleh anak cucu Sabda
Palon) itu, yakni dengan jalan selalu mengamalkan apa arti hidup ini yang
sesungguhnya itu, sesuai dengan wasiat para ahli kekunoan” .... point 13).
Agar anda bisa melihat apakah hakikat yang terkandung dalam hidup ini
?. ”Nyatakna yen sira wus wiwit, kabeh wasitane gurunira, meruhma ma’ripate,
manungsa urip iku, suket aneng wana petani, yen wus tekane masa, ginaruk
Jika kita teliti kalimat demi kalimat sejak point 13 - 19 ini, penulis
semacam melihat bayangan sejarah agama Islam ditanah air ini nampak adanya
gejala penyelewengan-penyelewengan tertentu yang menyebabkan orang-orang
yang meng-kiblat garis kepemimpinan Sabda Palon menjadi bimbang/tidak
puas, dan menjadi reaksioner dan juga menjadi sebab dan alasan Sabda Palon
sendiri tidak wau mengikuti jejak Sang Brawijaya untuk memasuki agama
Islam!.
??????????????????????gambar????????????????????
PINTU GERBANG BALAM LOKASI SENDANG TIRTO KAMANDANU
DESA MENANG - PAGU - KENRI
JATIM
Jelasnya Imam Mahdi itu menurut pengamatan saya sudah muncul, tapi
jelas bukan yang muncul tempo hari melainkan suatu bangsa di timur tengah
yang berjuang karena Allah SWT semata, yang munculnya dari salah satu suku
bangsa Palestina yang hendak membebaskan bumi Palestina yang dikuasai
Dajjal Yahudi (alias Israel) sekarang ini Pejuang itu bersama kaum Muslim
lainnya pada suatu ketika bisa berhasil bahkan lalu dapat membentuk
pemerintahan sendiri selama 40 tahun, sehingga sinar dunia Islam waktu itu
memancarkan keseluruh dunia, baik dunia barat maupun dunia timur. ”Itu
akan terjadi setelah selesainya perang besar antara dua golongan pasukan
dalam medan perang yang luas sifatnya, sedangkan seruan keduanya satu
(sama nadanya)”, yakni ”Perdamaian”! (Shahih Muslim, Fachuruddin HS,
Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1978 hadist 372 hal. 240-241).
Kalau perang besar itu akan bermula tahun 1986 dan dalam perang itu
Nabi Isa (Yesus) lalu turun di Damaskus, disebelah timur Menara Putih disana,
maka turunnya Nabi Isa, itu tak lain akan mengejar Dajjal yang mulai dapat
meloloskan dirinya dari belenggu rantai besinya, selama ratusan tahun yll.
Munculnya Dajjal lewat Iran terus ke Irak dan Syiria menuju Yerusalem. Maka
gegerlah seluruh dunia. Dajjal yang dibelenggu dengan rantai besi ini kiranya
identik dengan peranan yang dibawakan oleh Uni Soviet sekarang ini.
Bukankah negara itu dikenal dunia pers sebagai ”Negeri di Balik Tirai Besi”?.
Kalau perang besar itu benar-benar muncul sekitar tahun 1986 (dan logis
menurut sifat lawan yakni AS, sejak Ronald Reagen terpilih menjadi Presiden
baru AS, politiknya sangat anti komunis dan kini konon sedang
mempersiapkan akan memperbesar produksi senjata nuklirnya), maka sejak
tahun itu kiranya saat munculnya dunia Islam mulai bersinar terang itu. Tentu
saja sesudah perang selesai. Tenggang waktunya sekitar 5 tahun yad ini kiranya
merupakan tahun konsolidasinya dunia Islam pula. Jadi sejak 1986-2026 M (40
Tahun) itu dunia benar-benar akan dibayangi oleh sinar gemilangnya dunia
Islam itu. Bukankah dalam perang besar itu Dajjal bisa dikalahkan oleh Nabi Isa
(Yesus) Siapa Nabi Isanya? inilah kiranya saat yang diramalkan pujangga
terkenal di Jawa R.Ng. Ranggawaisita kelak akan muncul situasi dimana rakyat
akan menemukan dunia sejahtera itu yang gambarannya dilukiskan sebagai
”Wong ngantuk nemu kethuk malmuh sak margi-margi jroning kethuk isi dinar
sak bokor”!. Ramalan ini kiranya sama dengan ramalan yang ada dalam Hadist
”Bakal datang masa dimana orang mengedarkan segumpal emas untuk
disedekahkan, tapi tak seorang pun yang mau menerimanya. Saat itu pula akan
terjadi dimana seorang laki-laki akan dilayani 40 wanita yang dilindunginya”
(Bukhari).
Itulah jaman transisi yang bakal datang. Dalam ramalan Jayabaya hal itu
dilukiskan sebagai akan datangnya Ratu Adil yang dapat membebaskan rakyat
Indonesia dari segala penindasan dan kesengsaraan.
Yang masih memprihatinkan kita itu kini adalah situasi perang total
nanti. Al Maududi, ahli pikir Islam yang wafat 22-09-1979 yll manggambarkan
ketakutan dunia Barat dewasa ini dan bagaimana peranan Islam dimasa
mendatang, telah mengemukakan keterangan bersumber pada pendapat Sergel
Nauman, ex-anggota Lembaga Ketentaraan Amerika Serikat tentang perang
Dunia yad, katanya : ”Bahwa perang yad ini tidak melulu antara 2 kelompok
yang berperang saja, tapi merupakan kehancuran total, wanita dan anak-anak
tidak luput dari bahayanya, hal ini disebabkan karena para sarjana kimia telah
mencabut tugas peperangan dari tentara manusia dan menyerahkan kepada
benda-benda dari bahan kimia dan alat-alat perang yang tidak mempunyai roh
dan rasa serta tidak membedakan antara pihak yang berperang dengan yang
tidak (non battant). Sekarang ini, katanya lebih lanjut, ada dua kelompok yang
berperang bukan menunjukkan sasarannya pada medan dan benteng-benteng
tentara, tetapi peperangan berada ditengah-tengah kota dan desa, karena
sesungguhnya, kekuatan musuh yang pokok menurut teori modern, bukan
Sesuai dengan judul karangan ini, maka karya ini sebenarnya bukan hasil
tulisan raja Jayabaya, melainkan tafsir sandi terhadap ramalan raja Jayabaya
dari seorang, pujangga ahli tassawuf di Jawa yang sudah banyak dikenal
ramalan-ramalannya yakni R. Ng. Ranggawarsita, pujangga inilah yang
mengubah ramalan Jayabaya yang bersumber dari kitab Asrar (Sunan Giri ke-3)
dalam berbagai versi.
Juga disebut lagi adanya ”Prau mlaku ing duwur awang-awang” alias
kapal udara, (lihat gambar kapal terbang Bikinan sekitar tahun 1933 dll)
Jelaslah sudah bahwa Karangan yang dimaksud dalam artikel ini bukan
karya raja Jayabaya, melainkan tafsir sandi R.Ng. Ranggawarsita dan bukan
pujangga yang lain, yang tidak dikenal dalam kesusasteraan Jawa. Untuk itu
marilah segera kita mulai, dari permulaan sindiran dimaksud :
1. ”Besuk yen wis ana kreta mlaku tanpa jaran, tanah Jawa kalungan wesi,
prahu mlaku ing duwur awang-awang, kali Pang kedunge, pasar ilang
kumandange, iku tanda yen tekane jaman Jayabaya wis cedak”. (kelak
bila sudah ada kereta berjalan tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi,
perahu berjalan diatas udara, sungai hilang kedungnya, pasar hilang
kumandangnya, itu pertanda bahwa sudah dekat dengan jaman yang
diramalkan raja Jayabaya).
APA MAKSUDNYA ?
Kereta berjalan tanpa kuda itu jelas ialah mobil, truk, bus dll yang
munculnya diakhir abad ke 19 dan sampai penyempurnaan bentuknya hingga
kini, bahkan kini makin banyak saja adanya, pertama di Jepang kini sudah
mencapai apa yang disebut dalam istilah ekonomi ”Over produksi”. Anehnya
rakyat Indonesia kini masih belum banyak memilikinya, meskipun di Jepang
sendiri setiap orang petani sudah memiliki mobil dan semua peralatan modern
yang kita kenal sekarang. Ini bukti bahwa Indonesia masih melarat.
Sungai hilang kedungnya. Ini tentu saja akibat erosi, yakni karena
penebangan hutan-hutan yang menyebabkan, lumpur-lumpur gunung banyak
yang longsor ke bawah lalu dibawa arus air sungai. Akibatnya sungai-sungai
mengalami pendangkalan dan lenyaplah pusaran-pusaran sungai yang
berkedung yang dalam-dalam itu. Karena sungai mengalami pendangkalan,
maka jika terdapat hujan sedikit saja, mudah meluapkan air banjir yang
menggenangi kota-kota di dataran rendah, seperti Jakarta, Surabaya, dll.
Perlambang lain bahwa tanah Jawa kalungan besi, yang dimaksud tak
lain ialah rel kereta api yang memanjang sejak ujung pulau Jawa disebelah utara
dan selatan hingga Banyuwangi-Jakarta.
Jelasnya, sejak di Jawa tengah kerets api dari Maos sampai Cilacap lalu
bersambung dari Kroya hingga Cirebon telah dibuatkan relnya, maka sejak itu
praktis tanah Jawa mulai dapat disebut kalungan wesi, yang dimaksudkan jelas
pembuatan rel kereta api tersebut. Mengenai sejarah perkembangan KA ini juga
2. ”Bumi saya suwe saya mengkeret, sekilan bumi dipajeki, jaran doyan
sambel, wong wadon nganggo pakaian lanang, iku tandane bakal nemoni
wolak walike jaman”. (Bumi makin lama makin menciut saja layaknya,
sejengkal bumi/tanah saja dipajeki, kuda makan sambel, kaum wanita
suka memakai pakaian lelaki. Itu pertanda kebalikan jaman sudah dekat).
Bumi makin lama makin menciut itu kiranya akibat kemajuan teknik dan
perkembangan penduduk dewasa ini. Di tahun 1901 tiap km bumi Jawa ini
kurang lebih 300 orang saja. Tapi kini kira-kira sudah mencapai antara 3000-
4000 orang. Bahkan Prof. Dr. Mahar Mardjono rektor UI menurut kompas, 09-
10-1980 telah meramalkan perkembangan, penduduk ditanah air ini akan
mencapai 202% di tahun 2000-an (226 jt), dan bahkan beliau sampai meramal
kiamat akan terjadi pada tanggal 13-11-2026 M. Ah, kok bisa-bisanya menyebut
tgl. dan tahunnya segala, sedangkan Tuhan sendiri sudah jelas mengatakan
dalam firman-firmanNya bahwa mengenai kapan terjadinya kiamat itu tak
seorang pun diberitahu, sampai Nabi Muhammad SAW sekalipun, kecuali
tanda-tandanya belaka.
Saya pun lalu menanggapi dalam artikel lain (mungkin dimuat sebelum
ini) bahwa antara tahun 1986 hingga 2026 itu justru kebalikkannya. Bukan
pesimistis melainkan optimis. Kemiskinan di negeri ini penyebabnya bukanlah
akibat ledakan penduduk seperti banyak pertimbangan kaum cendikiawan
mengatakan, melainkan akibat kebodohan sendiri, bahkan berdasarkan wasiat
Nabi masa sesudah perang besar yang akan terjadi nanti dunia masih akan
menyaksikan masa gilang gemilangnya cahaya Islam diseluruh dunia, sampai
3. ”Akeh janji ora ditetepi, akeh wong wani nglanggar sumpahe dewe”.
(Banyak orang, melanggar janji, banyak orang berani melanggar
sumpahnya sendiri pula).
Janji itu memang kuncinya sukses, makanya kita pun harus bisa
menetapinya, sebab kalau tak bisa pasti akan membuat kacau balaunya
hubungan muamalah antara sesama, sehingga tak heran kita bila Nabi
Muhammad SAW berwasiat; ”Ada dua perbuatan yang paling ringan dan yang
paling berat”, kata Nabi kepada para sahabat, lalu tanya seorang sahabat :
”Perbuatan apa yang paling ringan dan berat itu, ya Nabi ?” dijawabnya : ”Yang
paling ringan adalah mengucapkan kalimat sahadat! Sedang yang paling berat
adalah mengucapkan janji atau amanat”.
”Akeh bapak lali anak, akeh anak wani nglawan ibu nantang bapak,
sedulur pada cidra, keluarga pada curiga mencurigai, kanca dadi mungsuh,
akeh manungsa lali asale”. (banyak seorang bapak lupa kepada anaknya,
banyak anak berani melawan ibunya serta menantang ayahnya. Sanak saudara,
pada saling fitnah memfitnah sehingga timbul keluarga saling curiga
mencurigai malahan banyak terjadi kawan menjadi lawan dan akhirnya banyak
pula orang yang lupa asal usulnya/sejarah permulaannya).
MENGAPA?
Sindiran dimuka bila kita ambilkan dari dalil-dalil ajaran Islam akan
sangat kelihatan sekali sebab musababnya, yang tak lain dan tak bukan sebagai
refleksi pimpinan atau perbuatan orang tua mereka. Ini akan kelihatan sekali
jika kita bandingkan kelakuan anak-anak desa yang jarang kita melihat
kenakalan mereka, sampai mereka berani melawan ibu dan bapaknya.
Itu semua jika kita pulangkan sebabnya pasti akibat pengaruh ”Uang”
yang ciri kebudayaan kota memang sangat dipengaruhi kebudayaan barat yang
materialistis itu. Kenakalan-kenakatan remaja kota yang banyak diulas koran-
koran dewasa ini obatnya hanyalah kembali kepada nasehat Allah SWT dan
Nabi akhir jaman, yang bila anda mau mempelajari (tak usah yang berbahasa
Arabnya, melainkan yang terjemahannya saja), pasti anda akan bisa melihat
komplitnya pedoman-pedoman hidup praktis tanpa mencari-cari teori sendiri
yang belum tentu berhasil manakala tanpa landasan idiil kepada Illahi.
Dibawah ini dalil-dalil mawas diri mencari sebab dan penanggulangannya
tentang gejala kenakalan remaja dewasa ini yang kelihatannya sudah terjangkau
dalam sindiran jaman Jayabaya ini.
Satu hal yang sekarang ini sangat menonjol sifat negatifnya karena
remaja yakni kurang memiliki rasa sopan santun terhadap orang tuanya
maupun sesama, misalnya berjalan ngegleng didepan orang tua yang manapun
acuh tak acuh, membantah nasehat orang tua sambil mengejak ”Ah itu kuno”,
katanya. Gayanya sini, dangkal dan sok pintar.
Belum lagi kita melihat gejala ”Akeh wong lali asale”, banyak orang lupa
sejarah asal muasalnya ia bisa ini dan itu. Siapa yang mengorbitkan anda
dahulu menjadi berpangkat ini? Kenapa sekarang anda kelihatannya memusuhi
orang yang berjasa kepada anda dahulu? Setidaknya menunjukkan rasa hormat
anda? Ini adalah contoh saja yang sifatnya umum!. Maka tak heran sampai
terjadi situasi ”Kanca dadi mungsuh”, kawan menjadi lawan! Tanpa menyadari
bahwa sikap yang berubah itu sebenarnya akibat tergelincir kepada pengaruh
”Dajjal” (pembohong ulung) yang mengembara didunia yang pekerjaannya
tukang menyesatkan manusia ke jalan kebathilan itu.
Contoh terdekat sudah kita maklumi ketika tahun 1966 yakni peristiwa
jatuhnya orde lama, munculnya orde baru! Apakah sesudah itu dunia lalu
mandeg greg? Tidak! Dunia masih akan berputar untuk mencari mana diantara
manusia yang sungguh beriman, dan mana yang berdusta. Sampai hari kiamat
datang! Cakra Manggilingan itu akan berjalan terus untuk menuju situasi yang
adil dan makmur yang lurus sesuai dengan pedoman-pedoman agamanya
masing-masing dan bagi bangsa Indonesia tentunya dengan landasan UUD'45
Sindiran ini sudah jelas, tidak perlu dikomentari, anda sudah pasti
mengerti dengan jelas. Dan Impact-nya memang luas sekali, sehingga kalau
dibeberkan khawatir akan menimbulkan salah faham. Saya sekedar
penyambung lidah suara pujangga abad ke 19 yll. Gejala selanjutnya terdapat
dalam point 8 yang nampaknya memberi contoh proses sejarah akibat
munculnya situasi ketidak-adilan tersebut. Apa, kata sindiran ke 8 ini?
Meskipun hal ini tidak beri komentar, anda sudah banyak mendengar
kejadian semacam itu. Ini bisa kita cek bila kita berwawancara dengan para
pembesar yang merasa tersinggung kebijaksanaannya. Juga
orang-orang/pemimpin rakyat yang sebenarnya berpengaruh malah disudutkan
dalam permainan politik negara. Gejalanya sifat umum menyebar dibanyak
negara.
Apa artinya ini? Artinya banyak orang yang berkerudung atas nama
pemerintah, tetapi perbuatannya ini untuk kepentingan sempit
pribadinya/pribadi golongannya sendiri. Akibatnya tentu mengecewakan
rakyat! Tapi rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin kalau kita berbicara
masalah ketatanegaraan, gejala demikian berlakunya sistem ”Negara
Kekuasaan” (Machtstaats) dan bukannya sistem ”Negara Hukum” (Rechtstaats)
yang menjadi tujuan negara kita secara murni. Mudah-mudahan orang-orang
Gejala ini sudah banyak terjadi, anda kami persilahkan melihat kanan
kiri, tetangga sendiri. Bagaimana cara menanggulanginya? Kembali kepada
kesadaran beragama saja, tak ada jalan lain kecuali itu! Konsepsi manusia yang
ilmiah sekalipun tak akan berjalan bila tidak didasari rasa agama yang tulus
seperti telah dlanjurkan para pemimpin di jaman permulaan orba timbul
dahulu. Ini tidak berarti kita berdakwah lho, cuma mengingatkan cita-cita kita
sendiri sebagai negara ”Sosialis yang bersifat Religius”.
Kalau cita-cita ini sudah terwujud, maka gejala berikut ini (sindiran ke 13
& 14) pasti bisa hilang lenyap. Gejala apa itu?.
”Prawan saiga lima” berarti saiga (saga). Saga itu jenis barang/buah
warnanya merah. Saiga beratnya kira-kira 0,25 (seperempat) gram. Di jaman
penjajahan, emas seperempat gram itu harganya Rp. 0,50 (lima puluh sen).
Nilai yang disebutkan diatas tentunya lain jika kita kurs dengan nilai
sekarang, sehingga kesimpulannya tak lain, semua itu hanya ibarat. Kejadian itu
tentu ada sebab-sebabnya. Dan tidak akan disorot dalam artikel ini selanjutnya
anda masih perlu melihat gejala lain lagi yang sifatnya serius, seolah-olah masih
menunjukkan gejala puncak yang bersifat abnormal. Lihatlah sindiran ke 15
berikut ini.
”Akeh wong ngedol ilmu, akeh wong ngaku-aku, njabane pituh jerone
dadu. Ngakune suci nanging palsu. Akeh bujuk akeh loyo!” (Banyak orang
menjual ilmu/konsepsi, banyak orang mengaku-aku, luarnya putih tapi
dalamnya ternyata berisi dadu. Mengaku suci/bersih tapi palsu. Banyak terjadi
bujuk rayu, akibatnya banyak orang lemas akibat tertipu).
Sindiran Ke 16 berbunyi :
”Akeh udan salah mangsa, akeh prawan tuwa, akeh randa nglairake
anak, akeh jabang bayi lahir nggoleki bapake” (Banyak hujan salah musim
(sudah kita buktikan). Banyak perawan tua (belum kawin) banyak janda
melahirkan anak, akibatnya banyak pula anak setelah besar lalu mencari
ayahnya).
Yang perlu kita jelaskan ialah ”Banyak hujan salah musim”. Menurut
hukum alam (Ilmu Bumi & Alam), perhitungan musim kemarau itu seharusnya
terjadi antara bulan April - Oktober, sedangkan musim penghujan terjadi antara
bulan Oktober-April. Tapi musim-musim sekarang ini tidaklah persis seperti
perhitungan ilmu bumi & alam tadi. Terkadang bulan Oktober yang seharusnya
sudah mulai banyak hujan, ternyata sampai bulan Nopember hanya terjadi 1-2
kali saja. Akibatnya musim hujan itu melongok ke bulan yang seharusnya
”Akeh wong nentang agama, pri kemanungsan saya ilang, omah suci
dibenci-benci, omah ala dipuja, wong wadon lacur ing ngendi-ngendi”. (Banyak
orang menentang agama, peri kemanusiaan makin hilang, rumah-rumah ibadah
dibenci, rumah-rumah jelek (mandi uap, apa) malah dipuja-puja, sebab sudah
banyak terjadi wanita yang telah melacurkan dirinya).
”Besuk yen wis ana peperangan teka, saka wetan, kulon, kidul lan elor.
Akeh wong becik saya sengsara, wong jahat saya seneng” (20) ”Wektu iku akeh
dandang diunekake kuntul, wong salah dianggap bener, pengkhianat saya
nikmat, durjana saya sampurna, wong jahat munggah pangkat wong lugu
keblenggu” (21). Apa ini puncak dari kedhaliman? Apa artinya semua ini?
Peperangan yang dimaksud kiranya apa yang dilukiskan Hadist Shahih Muslim
bakal terjadinya perang antara dua pasukan yang bersemboyan sama,
”Perdamaian” yakni antara Blok Nato & Blok Pakta Warsawa.
Situasi jaman keemasan itu tidak hanya terdapat dalam dunia Arab,
melainkan seluruh dunia, bahkan Nusantara akan merasakan jaman emas itu,
yang oleh Pujangga Ranggawarsita dilukiskan sebagai ”Wong ngantuk nemu
kethuk, malenuk sak margi-margi, jroning kethuk isi dinar sak bokor”.
Gambaran ini menurut Hadist dilukiskan sebagai : ”Bakal datang suatu masa,
dimana orang mengedarkan sedekah berupa segumpal emas tapi seorangpun
tak ada yang mau menerimanya, lain hainya kalau kemarin-kemarin” katanya.
Gambaran situasi jaman berikut ini masih menunjukkan jaman gila yang
penuh dekadensi moral, yang refleksinya berupa situasi kesewenang-wenangan
yang rupanya hanya bersifat menggiring kepada situasi puncak belaka menuju
situasi klimaks yaitu terjadinya kebalikkannya jaman tersebut. Kalau kita
mengerti bahwa akibat jaman kebalikkan nanti orang-orang yang berbuat
kurang senonoh akan dibalas oleh keadaan sesuai dengan perbuatannya, maka
seharusnyalah orang berusaha menghindarkan watak-watak negatif itu.
Apakah situasi itu perlu diturut? Kilau kita ingin hidup selamat dan
bahagia, maka watak-watak sesat tadi perlu dijauhkan. Titik, tak ada komentar.
”Akeh barang kharam, akeh anak kharam, wong wadon nglamar wong
lanang, wong lanang ngasorake drajad”. (23) Artinya : ”Banyak barang haram,
banyak anak haram, orang perempuan malah melamar kaum pria, sebaliknya
kaum lelaki yang malah merendahkan derajat kelakiannya”.
Apakah ini akibat gejala yang sudah disebut dimuka dimana banyak
terjadi ”Wong wadon nunggang jaran, wong lanang linggih dingklik” (Kaum
perempuan mudah mendapatkan pekerjaan, sedang sebaliknya kaum lelaki).
Mungkinkah ini akibat banyaknya kesempatan-kesempatan kerja buat kaum
hawa? Kesempatan mana wujudnya tak lain berupa kesempatan-kesempatan
kerja jenis hiburan yang bermodal kecantikan akhirnya bisa mendapatkan
imbalan jasa yang tinggi. Akibatnya memang enak dilihat dari sudut luar, tetapi
dari sudut dalam, terpaksa mereka harus mengorbankan kehormatannya jelas
sudah banyak kita lihat dewasa ini, maka tak heran kita, jika pernah terjadi huru
hara di Jakarta, dimana massa banyak menunjukkan kemarahannya dengan
jalan merusak rumah-rumah pelesiran, seperti night club, dll. Wanita yang
”Akeh barang mlebu luang, akeh wong kaliren lan wuda” (24) artinya :
”Banyak barang masuk pegadaian, banyak menderita kelaparan (hongerudim)
serta banyak pula orang telanjang bulat”. Gejala telanjang bulat ini bukan
karena miskinnya, tapi karena lacurnya. Ini semua pengaruh kebudayaan kaum
hippies yang berdatangan kesini dengan dalih wisatawan.
”Wong tuku nglenik sing dodol, sing dodol akal akal” (25). Artinya :
”Pembeli menawar barang kelewat jlimet sedang penjual pun berusaha dengan
alasan apapun barangnya laku dengan keuntungan minimal yang diharapkan.
Gejala ini jika kita lihat dari sudut ”Hukum Permintaan dan Penawaran”
menunjukkan situasi pendapatan masyarakat yang kecil, tidak sepadan dengan
jerih payahnya. Kalau gejala ini terjadi di jaman pembangunan ini, rasanya
menunjukkan gejala ”Ketimpangan” yang perlu diatasi pemerintah.
”Bupati dadi rakyat, wong cilik dadi priyayi, sing mendele dadi gede
sing jujur kojur” yang artinya : ”Sang Bupati (kalau sudah habis masa
jabatannya) kembali menjadi rakyat lagi. Sebaliknya yang mula-mula kecil saja
kedudukannya bisa menjadi pegawai priyayi besar. Sebaliknya yang besar tetap
bertahan jadi orang besar saja. Akibatnya yang jujur malah kojur. Tak perlu
dikomentari, banyak yang sudah di dimaklumi sekalian rakyat banyak yang
berfikir”.
”Akeh omah ing nduwur jaran, wong mangan wong, anak lali bapak,
wong tuwa lali tuwane” (29) artinya : ”Banyak rumah diatas kuda, orang
makan orang, anak lupa ayahnya, yang tua lupa tuanya”.
”Pedagang adol barange saya laris, bandane saya ludes, akeh wong mati
kaliren, ing sisihe pangan. Akeh wong nyekel bandaning urip sengsara” (30)
artinya : ”Penjual menjual barangnya habis-habis saja, tapi lama kelamaan
dalam perhitungan modalnya kok habis/ludes?. Banyak orang mati kelaparan,
tapi disampingnya banyak pangan, banyak pula orang yang
memegang/mempunyai harta benda berlimpah, malah sengsara (batinnya)”.
”Sing edan bisa dandan, sing bengkong bisa nggalang gedong, wong
waras adil uripe nggrintih lan kepencil” (31) artinya : ”Yang gila bisa
berdandan, yang bengkok justru bisa membuat gedung magrong-magrong,
yang wajar pikirannya dan bertindak adil hidupnya malah merana dan
terpencil”.
Mengapa orang yang berbuat baik dan adil malah terpencil? Ini tentu ada
sebab-sebabnya yang belum mau beres saja. Kapan beresnya? ”Yen wus ana
Wiku-Memuji-Ngesthi-Sawiji, sabuk lebu lir majenun, galibed tudang tuding
anacahken sakehing wong (Serat Sabda Jati). Kalau sudah ada para Wiku/Ulama
mendoa menuju cita-cita yang satu, maka segala pengikut bathil akhirnya akan
lenyap, mereka lalu seperti orang gila, galibed wira-wiri kesana kemari sambil
menghitung banyaknya orang”. Apakah itu pertanda pemilihan umum?
Anacahken sakehing wong identik dengan menghitung banyaknya orang alias
sensus dan hasilnya Pemilu. Mungkinkah setelah pemilu nanti situasinya akan
berubah? Mudah-mudahan. Saya tidak perlu menunjukkan tahun sandi diatas,
anda sudah mengerti, dan cobalah tambah 78 tahun akan menunjukkan Masehi
berapa?.
”Ana peperangan ing njero timbul, amargo para pangkat akeh sing pada
salah paham. Durjana saya ngambra-ambra, penjahat saya tambah, wong apik
saya sengsara”. (32). Artinya : ”Ada pemberontakan dalam negeri, karena para
pembesar banyak yang salah paham. Penjahat makin merajalela dan bertambah-
tambah, sementara itu orang-orang baik/ kesatria makin terpojok”.
Ini jelas gejala ketidak-adilan telah merajalela, maka akibatnya tak ada
lain ”pemberontakan” tadi. Maka marilah kita meningkatkan kewaspadaan
nasional kita. Karena penjahat itu bagaimanapun akan berusaha menumpangi
keadaan yang timbul tadi. Bukankah contoh aktual banyak kita lihat baru-baru
ini? Hanya karena soal sedikit saja mudahlah menyalakan api kerusuhan itu.
Sekali lagi marilah kita semua sadar dan bertindak adil & benar.
”Akeh barang kharam, akeh bocah kharam. Begjane sing lali, begjane
sing eling lan waspada”. (34). Artinya : ”Banyak barang-barang haram, serta
anak haram/jadah. Maka mujurlah bagi yang sesat, tapi juga mujurlah bagi yang
selalu ingat kepada Allah SWT.
Kesimpulannya adalah jangan turuti hawa nafsu, sekali-kali hal itu akan
membawa kemujuran harta benda yang haram tadi. Sebaliknya tingkatkan ingat
dan waspada terhadap keadaan abnormal tadi supaya selamat dunia dan
akhirat.
”Angkara murka saya ndadi, kana kene saya bingung, akeh wong sing
kebiluk melu curang, pedagang akeh alangane. Akeh buruh nantang juragan,
juragan dadi umpan”. (35). Artinya : ”Angkara murka makin merajalela, disana
sini makin bingung, banyak orang yang terjerumus ikut curang. Pengusaha
banyak halangannya. Banyak kaum buruh menentang majikan, sehingga
akibatnya pengusaha menjadi sasaran dan umpan gejolak massa”.
Hanya saja hingga sekarang ini belum tersusun rapi. Saya lalu teringat
Dr. H. Rusian Abdulgani ketika memberikan ceramah di UII Yogyakarta yang
mengatakan : ”Idiologi Islam dalam praktek pelaksanaan belum merupakan
suatu kesatuan monopolitis. Melainkan lebih Merupakan mozaik, dimana
nasionalisme dan kebudayaan bangsa masing-masing memberikan coraknya
tertentu kepada ideologi Islam.
“Maling wani nantang sing duwe omah. Begal pada ndugal, rampok
keplok-keplok. Wong omong mitenah sing diomong, wong jaga nyolong sing
dijaga, wong njamin jaluk dijamin” (40). Artinya : Pencuri berani nantang yang
punya rumah. Begal makin merajalela rampok bertepuk tangan, pemfitnah
memfitnah yang dilindunginya. (pejabat/atasan memfitnah bawahan yang
melindungi kejahatannya). Penjaga malam mencuri barang orang yang dijaga.
Orang seharusnya menjamin malah minta dijamin”. Tidak perlu dikomentari
semua jelas, anda bisa melihat di kanan kiri anda sendiri. Bukankah kita itu
semua gambaran masyarakat yang curang? Tidak bisa memelihara amanat?.
Selanjutnya :
Biasanya setiap ramalan tidak ada yang persis benar, tetapi hanyalah
sesuatu gambaran dengan simbol-simbol tertentu, yang orang tidak dapat
menebak dengan apa yang tersurat, melainkan haruslah dicari dari yang
tersirat belaka. Begitulah kita dapat memberi contoh misalnya ramalan Jayabaya
dalam berbagai versinya dan juga ramalan-ramalan R. Ng. Ranggawarsita, dll.
Tetapi ada juga ramalan-ramalan yang sifatnya lebih to the point, artinya
tidak perlu mencari kata tersiratnya, melainkan apa yang tersurat itu. Ramalan-
ramalan tersurat itu umumnya masih terselubung dengan bahasa sindiran, kita
harus dapat membacanya dengan ilmu-ilmu penyangga lainnya, misalnya ilmu
sejarah, ilmu tata negara, ilmu politk, dll sehingga akhirnya kita dapat mengerti
hakikatnya.
”Akeh wong mendem donga, kana kene rebutan unggul, angkara murka
ngambra-ambra. Agama ditentang, akeh wong angkara murka ngedekake
duraka”. (42) . Artinya : ”Banyak orang mendem doa, disana sini pada rebutan
unggul angkara murka merajalela. Agama ditentang, banyak orang berwatak
angkara murka itu hanya untuk memperbesar kedustaan belaka”.
”Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit, negarane ambane
saprowolon. Tukang mangan suap saya ndadra, wong jahat di tampa, wong
suci dibenci. Timah dianggep perak, emas dianggep tembaga. Dandang
dikandakake kuntul, wong dosa sentosa. Wong becik dicekik. Maling dilepas,
sing kelangan disalahake” (44). Artinya : ”Lalu ada seorang kepala negara yang
punya pengaruh dan tentara yang luas negaranya seperdelapan, tukang makan
suap makin merajalela, penjahat diterima, sebaliknya orang yang baik-baik
malah dibenci. Timah dianggap perak, emas dianggap tembega. Dandang
dibilang kuntul, manusia pendusta makin kuat, santosa kedudukannya. Orang
baik disingkirkan, maling dilepas orang (tertentu) tetapi yang kehilangan (Pihak
LP) malah disalahkan”. Ini banyak terjadi akhir-akhir ini. Berita maling dilepas
dari penjara terdengar disurat-surat kabar, tetapi berita siapa yang melepaskan
tidak terdengar?!.
”Wong sugih krasa wedi, wong wedi dadi priyayi, senenge wong jahat,
susahe wong becik” (46). Artinya : ”Orang-orang kaya merasa takut, penakut
malah jadi pegawai negeri (priyayi), senanglah kaum penjahat dan susahlah
orang-orang yang baik-baik”.
Inilah sulitnya menegakkan negara hukum yang beradab dan adil itu,
kalau penegak-penegak hukumnya tidak berbuat seadil-adilnya. Akibatnya
akan mengecewakan dan mencemaskan saja.
”Ratu karo Ratu rembugad negara endi sing dipilih lan disenengi” (48).
Artinya : ”Kepala Negara dengan Kepala Negara lainnya saling bertemu dan
berunding untuk menentukan sikap, memilih blok mana yang paling baik?”.
Gejala ini timbul berhubung sudah munculnya dua blok raksasa yang
telah membentuk persekutuan masing-masing. Misalnya, Blok Nato yang
dipimpin oleh AS dan Blok Pakta Warsawa dipimpin oleh Soviet. Dalam hal ini
Pamerintah Indonesia telah tegas mengeblok negara-negara yang netral, yang
dalam berita-berita surat kabar terkenal dengan sebutan ”Gerakan Non Blok”
artinya tidak mengikut kedua blok yang saling berhadap-hadapan bersiap-siap
perang itu. Akhirnya kita harus waspada lagi terhadap gejala yang disebutkan
berikut ini :
“Hore! Hore! Wong Jawa kari separo, Landa, Cina sajado” (49). Artinya :
“Hore!, Hore!, Manusia Jawa (Indonesia) tinggal separo? Belanda, Cina tinggal
sejodoh”.
”Akeh wong ijir, akeh wong cetil, eman ora keduman, sing keduman ora
eman” (50). Artinya : ”Banyak orang ijir dan cetil, sama tidak kebagian, tetapi
sebaliknya bagi yang mendapat bagian, mereka dengan suka hati memberikan
sebagian kepadanya yang tidak punya!”
Ini gejala sosial yang tidak sosial. Ini karena akibat watak materialistis
akibat pengaruh kebudayaan barat! Watak demikian bertentangan dengan
Pancasila kita, yang wajib kita berantas juga. Caranya? Lewat agama.
Selanjutnya perhatikan lagi :
”Selot-selote jaman yen besuk wolak waliking jaman teka bala sirolah
rawuhe datan kanyana-nyana, tumpes tapis wong kang pada mukir agama”
(51). Artnya : ”Lambat laun datanglah saat kelak bila kebalikan jaman telah tiba,
maka bala tentara Allah SWT datangnya sekonyong-konyong, tumpas binasalah
orang-orang yang mengingkari ajaran agama”.
Disaat itu akan terjadi pengadilan yang seadil-adilnya. Apakah ini berarti
saat datangnya Ratu Adil, yang sebenarnya itu? Wallahu a’lam. Allah SWT
sajalah yang Maha mengetahuinya. Selanjutnya perhatian akibat timbulnya
kebalikan jaman itu.
”Utang jiwa nyaur jiwa, utang wirang nyaur wirang. Sing suci bakal dadi
wiji. Sing ora suci bakal dadi siti” (53) Artinya : ” Hutan jiwa pasti membayar
jiwa, hutang malu mengembalikan rasa malu. Yang suci bersih bakal menjadi
bibit/benih kebaikan, sedang yang jahat masuk liang lahat”.
Inilah yang dikatakan. orang ”Pilihan Umur” itu, bukan pilihan umum!
Selanjutnya sebagai penutup karya ini dikatakan :
Itu sudah pasti, maka nasehat kita, kembalilah ke jalan benar, baik yang
rakyat biasa, maupun rakyat yang luar biasa, supaya cita-cita negara ini bisa
segera tercapai, selalu mendapatkan ridhlo Allah SWT serta lindunganNya.
?????????????????/gambar??????????????????
LOKSA MUKSA
SANG PRABU SRI AJI JOYOBOYO
Garis keturunan raja-raja di tanah Jawa secara jelas baru dapat diketahui
dengan pasti menurut catatan sejarah sejak tampilnya Jayabaya menjadi raja
Kediri. Sehingga dikatakan sebagai cikal bakalnya, atau yang menurunkan raja-
raja di tanah Jawa.
Dari berbagai sumber data yang ada dapat diurutkan sebagai berikut :
KERAJAAN KEDIRI/MAMENANG
Sang Prabu Aji Jayabaya kawin dengan Dewi Sera, berputera empat
orang yang terdiri atas tiga, wanita dan seorang laki-laki benama Prabu
Jayaamijaya yang kemudian menjadi Raja Mamenang menggantikan ayahnya.
1. Prabu Jayaamijaya kawin dengan Dewi Satami berputera dua orang seorang
diantaranya benama Prabu Jayaamisena menggantikan sebagai raja.
2. Prabu Jayaamisena kawin dengan Dewi Citraswara berputera dua orang.
Putera pertama bernama Prabu Kusumacitra menjadi raja dan
memindahkan kerajaan Ke Pengging.
3. Prabu Kusumacitra beristri dua, berputera lima orang. Dengan Dewi Soma
lahir Prabu Citrasoma yang kemudian menggantikan ayahnya di Pengging.
4. Prabu Citrasoma beristri dua, berputra empat. Dengan Dewi Sriati
berputera tiga orang, nomor dua benama Prabu Pancadriya menjadi raja di
Pengging.
5. Prabu Pancadriya beristri dua dan berputera empat. Dengan Dewi
Gandawati antara lain berputra Prabu Anglingdriya yang kemudian
menjadi Raja Pengging.
6. Prabu Anglingdriya beristri dua dan berputera tiga. Dengan Dewi Sinta
berputera Prabu Suwelacala yang menjadi dan memindahkan kerajaan ke
Medang Kamulan dan Prabu Pandayanata menggantikan sebagai Raja
Pengging.
7. Prabu Suwelacala beristri lima dan berputera lima. Dengan Dewi
Darmastuti berputera Prabu Sri Mapunggung II (no. 5) menjadi raja di
Purwacarita.
KERAJAAN PURWACARITA
8. Prabu Sri Mapunggung beristri lima dan berputera tujuh. Dengan Dewi
Sulastri lahir Prabu Jayalengkara (no. 7), menjadi raja menggantikan
ayahnya.
9. Prabu Jayalengkara beristri dua dan berputera lima. Dengan Dewi
Candralata lahir Resi Getayu (no. 5), yang kemudian menjadi raja dan
pindah ke Jenggala.
KERAJAAN JENGGALA
10. Resi Gatayu beristri lima dan berputera enam. Dengan Dewi Citraswara
berputera : a. Dewi Kilisuci yang kemudian menjadi penguasa makhluk
halus di Laut Selatan dengan sebutan Gusti Kanjeng Ratu Kidul. b. Prabu
Lembu Amiluhur menjadi Raja Jenggala.
11. Prabu Lembu Amiluhur beristri enam, selir 40, berputra 100. Dengan Dewi
Tejaswara lahir Raden Panji Asmarabangun (no. 97) yang ketika diangkat
menjadi raja Jenggala bergelar Prabu Inu Kertapati.
12. Prabu Inu Kertapati beristri delapan, berputera delapan. Dengan Dewi
Candra Kirana berputera seorang nama Raden Labang yang ketika menjadi
raja Jenggala bergelar Prabu Surya Amiluhur, setelah itu memindahkan
kerajaannya ke Jawa Barat (Pajajaran) dan bergelar Prabu Panji
Maesatwidreman.
13. Prabu Panji Maesatandreman beristeri empat, berputera lima. Dengan Dewi
Candrasari terlahir Raden Jaka Suparta yang kemudian ketika menjadi raja
Pajajaran bergelar Prabu Banjarsari. Pada saat itu pula keratonnya
dipindahkan ke Segaluh.
14. Prabu Banjarsari beristri 26, berputera 78 dengan Ratu Agung berputera
Prabu Mudingsari (no. 15) menjadi raja di Pajajaran/Segaluh.
15. Prabu Mudingsari beristri tiga, berputera enam. Dengan Dewi Warsiki lahir
Prabu Mundingwangi yang kemudian menjadi raja di Pajajaran.
16. Prabu Mundingwangi beristri satu, selir dua, berputera lima. Dengan
Endang Setaman lahir Prabu Sunda Anyakrawati, disebut pula Prabu
Pamekas menjadi Raja Pajajaran.
17. Prabu Sunda Anyakrawati berputera dua belas. Dengan Dewi Ambarsari
berputera Raden Susuruh yang kemudian menjadi raja Majapahit bergelar
Prabu Bratana dan dengan seorang selir berputera Raden Ciyung Wanara
yang menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Sri Mahasekti.
KERAJAAN MAJAPAHIT
18. Prabu Bratana beristri dua, berputera lima. Dengan Dewi Madani lahir
Prabu Brakumura menjadi Raja Majapahit.
19. Prabu Brakumura kawin dengan Dewi Dinding berputera Arya Adiwijaya
menjadi raja Majapahit III bergelar Prabu Brawijaya I.
20. Prabu Brawijaya I beristri dua, berputera empat. Dengan putri dari
Pengging lahir Raden Hayam Wuruk menjadi raja Majapahit IV bergelar
Prabu Brawijaya II.
21. Prabu Brawijaya II kawin dengan Dewi Panurun lahir Arya Lembu Amisani
bergelar Brawijaya III.
22. Prabu Brawijaya III kawin dengan Retna Panjawi lahir Prabu Bratanjung
dan bergelar Prabu Brawijaya IV.
23. Prabu Brawijaya IV beristri dua, selir satu, berputera lima. Dengan Dewi
Tampen lahir Arya Angkawijaya yang kemudian menjadi raja Majapahit
bergelar Prabu Brawijaya V.
24. Prabu Brawijaya V beristeri dan selir banyak, berputera 117. a. Dengan
Puteri Cina berputera Raden Patah (no.13), menjadi Adipati Bintara Demak
dan ketika dinobatkan menjadi Raja Demak bergelar Sultan Sah Alam
Akbar Sirrollah Kaliffatulrasul Amirilmukmin Tajudin Abdulkamidulhak,
atau Sultan Adil Surya Alam yang kemudian menurunkan sekali lagi
sebagai raja Demak. b. Dengan Puteri Wandhan berputera Raden Bondan