Anda di halaman 1dari 129

OMPU BONAHUTA

DALAM KERABAT TOGA MANURUNG


Tim
Pengarah & Penyusun
Silsilah Ompu Bonahuta Manurung

Agus Manurung • Arnold Manurung • Betson Manurung • Biden Manurung •


Bisman Manurung • Bonar Manurung • Burhan Manurung • Edward Manurung
• Esron Manurung • Frederik Manurung • Gerhat Manurung • Hendra P.
Manurung • Hulman Manurung • Hophop Manurung • Jonner Manurung
• Levi Manurung • Mampe Manurung • Managara Manurung • Maruhum
Manurung • Maruli Manurung • Maoris Manurung • Nurdin Manurung (Sibisa)
• Nurdin Manurung (Narumambing) • Parluhutan Manurung • Robinson
Manurung • Toga Manurung • Saut Manurung
Daftar Isi

Pengantar ................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................7

BAB II OMPU BONAHUTA DALAM SILSILAH TOGA MANURUNG............... 11
Toga Manurung............................................................................ 11
Raja Hutagugur Manurung...................................................... .... 17
Ompu Bona Huta Manurung....................................................... 17
Raja Naing.................................................................................... 18
# Ompu Bane................................................................................ 18
# Ompu Lamis............................................................................... 18
Raja Huala.................................................................................... 26
# Ompu Pongki............................................................................. 26
# Raja Nionjur............................................................................... 26
# Raja Togap................................................................................. 26
Guru Pangajian alias Marrangin Bosi.......................................... 28
# Ompu Saur Uluan...................................................................... 29
# Ompu Panguhalan.................................................................... 32
# Ompu Raja Nauli....................................................................... 53

BAB III ASAL-USUL LELUHUR BATAK....................................................... 72


Asal Leluhur Batak........................................................................ 73
Batak, Lampung, dan Toraja......................................................... 77
Peradaban Batak.......................................................................... 78
Penduduk Batak.......................................................................... 70
Lingkup Tano Batak...................................................................... 80

BAB IV DALIHAN NATOLU KARAYA BUDAYA YANG MENAKJUBKAN....... 83


Sistem Dalihan Natolu.................................................................. 86
Perilaku Manurut Dalihan Natolu................................................. 86
Dalihan Natolu Bagai Trias Politika................................................ 88
Latar Belakang Timbulnya Dalihan Natolu..................................... 89

2 OMPU BONAHUTA
BAB V MARGA DALAM SUKU BATAK.............................................. 93
Timbulnya Marga Batak......................................................... 94
Makna Marga......................................................................... 96

BAB VI HUTA DAN RUMAH BATAK TOBA........................................ 97


Pengertian Huta...................................................................... 97
Syarat Mendirikan Kampung ( Huta )...................................... 97
Rumah Batak........................................................................... 100

BAB VII DIMENSI PERKAWINAN MENURUT ADAT BATAK................. 103


HakekatPerkawinanMenurutAdat Batak................................ 103
Proses Perkawinan Menurut Adat Batak................................ 105
Adat Perkawinan Menurut Adat Batak................................... 108
Kekerabatan Batak.................................................................. 109
.
BAB VIII RAGAM DAN PENGGUNAAN ULOS BATAK........................... 111
Pengertian Setiap Jenis Ulos Batak.......................................... 111
Ulos Batak Menurut Penggunaannya...................................... 113

BAB IX SEJUMLAH ISTILAH BATAK................................................... 116

OMPU BONAHUTA 3
Pengantar

S
ilsilah atau yang dalam bahasa batak disebut Tarombo adalah suatu hasil
pencatatan atau ungkapan lisan secara turun temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya mengenai susunan, posisi dan keterkaitan (hubungan
kekerabatan) seseorang dengan orang lain dalam satu garis ayah (sa ama) dan/atau
satu garis leluhur ( sa ompu).
Dalam kehidupan sosial-budaya batak, makna silsilah ini merupakan faktor
yang amat penting sebab menjadi sebuah sumber data yang mampu menjelaskan
mengenai posisi dan hubungan “namarhaha-maranggi” (bersaudara) dalam
lingkup kerabat tertentu. Persoalannya, jikalau silsilah itu disusun secara asal jadi
(sembarangan) atau tidak berdasarkan data yang akurat, maka acap kali menjadi
masalah sosial, sebab akan terjadi saling klaim siapa anak sulung. Dalam budya
batak, posisi anak sulung itu mempunyai kedudukan yang istimewa, dan dipandang
sebagai “kehormatan”.
Masalah ketidak akuratan silsilah banyak dialami oleh marga-marga
batak,sehingga terjadilah perselisihan yang serius diantara “namarhaha-maranggi”
(bersaudara). Silsilah disampaikan dengan cara lisan secara turun temurun.
Sementara kebenarannya tidak berdasarkan data tertulis, maka timbullah silsilah
menurut versi masing-masing yang tidak lepas dari kepentingan masing-masing
pula. Hal-hal semacam inilah yang juga dialami keturunan (pomparan) Ompu
Bona Huta Manurung. Dalam beberapa dekade terakhir ini posisi Ompu Bona
Huta Manurung sebagai anak sulung Raja Huta Gurgur diingkari oleh salah satu
pomparan (keturunan) anak Raja Huta Gurgur, menyebabkan hubungan sosial
“namarhaha-maranggi” (kakak-beradek) diantara anak Raja Huta Gurgur mengalami
“keretakan” secara berkepanjangan.
Dengan memperhatikan pentingnya silsilah dan masalah “namarhaha-
maranggi seperti diungkapkan di atas, maka pomparan (keturunan) Ompu Bona
Huta Manurung generasi masa kini menyadari betapa pentingnya disusun dan
diterbitkan suatu buku yang memuat silsilah (tarombo) Ompu Bona Huta Manurung
yang menyeluruh dan akuntabel. Hal itu dipandang penting dengan maksud dan
tujuan: Pertama, untuk menjadi sebuah sumber data yang benar dan terpercaya

4 OMPU BONAHUTA
mengenai posisi dan hubungan “namarhaha-maranggi” atas seluruh pomparan
Ompu Bona Huta Manurung. Kedua, dengan adanya silsilah itu , maka diharapkan
setiap pomparan Bona Huta Manurung akan dapat memahami posisinya apakah
sebagai tingkat anak, tingkat pahompu (cucu), sihahaan (sulung), Sianggian (tingkat
adek), tingkat among (bapak) dan tingkat ompung (kakek) , dan seterusnya. Dengan
adanya kejelasan itu, maka seluruh pomparan Ompu Bona Huta Manurung akan
memahami bagaimana keterkaitan hubungan dan etika “namarhaha-maranggi” dan
dengan demikian semangat persaudaraan pomparan Ompu Bona Huta Manurung
akan semakin terjalin dengan baik. Ketiga, silsilah ini disusun sebagai penegasan
sikap seluruh pomparan Bona Huta Manurung, bahwa Raja Huta Gurgur mempunyai
7 ( tujuh) putra, masing-masing bernama : (1) Ompu Bona Huta Manurung sebagai
putra sulung (2) Ompu Banua Luhung Manurung , sebagai putra kedua (3) Raja
Niangkat Manurung sebagai putra ketiga (4) Raja Niatur Manurung sebagai
putra keempat (5) Raja Sijambang Manurung , sebagai putra kelima (6) Tuan
Sogar Manurung sebagai putra keenam dan (7) Raja Humuntor alias Raja Tamba
Manurung, sebagai putra ketujuh atau anak bungsu.
Oleh karena itu, silsilah (tarombo) yang dibuat oleh pihak tertentu dan
menyatakan Raja Huta Gurgur mempunyai 4 (empat) putra yaitu : (1) Banua Luhung
di Sibisa, (2) Torpaniaji (Ompu Buna Huta) di Sibisa, (3) Sibatunangkar di Ajibata, (4)
Parpinggol Lobe-lobe di Sidamanik. Lalu Banua Luhung memperanakkan : (1) Ompu
Batu Jongjong dan (2) Raja Mangatur. Kemudian Ompu Patujong memperanakkan
Jarojang di Sibisa, dan Raja Mangatur, di Sibisa memperanakkan: (1) Ompu Raja
Nauli di Parsunian, (2) Patubamban di Parsinuan, (3) Ompu Niunggul di Sionggang,
(4) Raja Sijambang di Jangga, (5) Sompa Oloan di Narumambing, (6) Tuan Sogar
di Janjimatogu, dan (7) Raja Humuntor di Samosir seperti yang disebutkan dalam
surat pengurus Punguan Pomparan Raja Toga Manurung Boru Dohot Bere Bandung-
Nahumaliangna, Nomor: 04/X/2003 tanggal 23 Oktober 2003 adalah silsilah
(tarombo) Raja Hutagurgur yang “patut diluruskan”. Alasannya, Raja Sijambang,
Tuan Sogar dan Raja Humuntor bukanlah generasi (sundut) kedua setelah Banua
Luhung dan/atau bukanlah dalam posisi sebagai cucu Banua Luhung, melainkan
masing-masing orang itu adalah adek dari Ompu Bona Huta Manurung dan satu
generasi dan/atau sa ama (satu ayah) dengan Ompu Banua Luhung. Posisi mereka
adalah anak Raja Hutagurgur. Kekeliruan silsilah itu patut “diluruskan” berdasarkan
data yang benar dan akuntabel, seperti silsilah yang dipaparkan dalam buku ini.
Silsilah (Tarompbo) Pomparan Ompu Bona Huta ini, pertama-tama disusun
berdasarkan data yang terdapat dalam “Tarombo Induk” yang lebarnya 1 meter dan

OMPU BONAHUTA 5
panjangnya 10 meter, yang disusun oleh Pomparan Ompu Bona Huta Manurung
generasi (sundut) XI dan XII. Lalu setelah itu, diteruskan atau dilengkapi dengan
data sisilah pomparan Ompu Bona Huta Manurung generasi XIII dan seterusnya
yang disusun dan disampaikan oleh masing-masing horong (parompu-ompu) dari
Pomparan Raja Naing, Raja Huala, dan Guru Pangajian ( Marrangin Bosi).
Dalam menyusun Silsilah Ompu Bona Huta Manurung ini dilakukan oleh suatu
Tim yang terdiri dari personal tiap ompu dari keturunan Raja Naing, Raja Huala
dan Guru Pangajian alias Marrangin Bosi sehingga data tiap individu dari pomparan
Ompu Bona Huta per generasi, dikoreksi secara teliti dan bersama-sama oleh Tim.
Penyusunan Silsilah Pomparan Ompu Bona Huta Manurung dilakukan selama
2 ( dua) tahun dan telah diupayakan secara optimal dengan data yang selengkap-
lengkapnya. Namun, harus di akui disana-sini masih terdapat kekurangan,
terutama yang menyangkut data tiap orang pomparan Ompu Bona Huta Manurung
sejak generasi (sundut) XIV dan seterusnya yang belum semuanya masuk dalam
buku Silsilah Ompu Bona Huta Manurung. Kendalanya adalah begitu sulitnya
mendapat data tiap individu pomparan Ompu Bona Huta manurung generasi
XIV dan seterusnya. Namun, adanya kekurangan data itu, dipandang tidak lagi
mengurangi makna dan tujuan penerbitan Silsilah Ompu Bona Huta Manurung
sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas. Tim Penyusunan Buku Silsilah Ompu
Bona Huta Manurung menimbang dan memutuskan, bahwa kekurangan itu akan
disempurnakan pada buku edisi berikutnya.
Akhirnya dengan kerendahan hati Tim Buku Silsilah Ompu Bona Huta Manurung,
memohon maaf jika dalam penulisan buku ini masih tergolong sederhana, dan masih
terdapat kekurangan atau masih harus disempurnakan dalam edisi berikutnya.
Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih menyertai dan memberkati
semua pomparan Ompu Bona Huta Manurung dimana pun berada. Marujuk pada
umpasa Situatua : “ Napuran tanotano rangging masiranggingan, badan pomparan
Ompu Bona Huta Manurung boi padaodao, Tondi totopa masigonggoman.

Jakarta, Februari 2013.


Penulis

6 OMPU BONAHUTA
BAB I
Pendahuluan

D
alam penulisan buku ini, selain menungkap mengenai Silsilah (Tarombo)
Ompu Bona Huta Manurung, buku ini juga memaparkan hal-hal yang
berkaitan dengan Asal Leluhur Batak, Dalihan Natolu sebagai falsafah
kehidupan sosial, budaya dan adat yang sungguh mengagumkan, Huta dan Rumah
Batak yang belakangan ini semakin hilang dari peradaban batak, Dimensi Perkawinan
dan Kekerabatan Batak, Ulos Batak serta Istilah-Istilah Batak. Hal itu semuanya
dipilih untuk diungkapkan dengan maksud selain untuk dipahami lebih dalam,
diharapkan dapat melengkapi wawasan generasi penerus putra batak, terutama putra
Pomparan Ompu Bona Huta manurung. Dengan demikian, batak sebagai “bangso”
yang berperadapan tinggi, dengan adat dan budayanya yang kuat dapat terpelihara
dengan baik ke masa depan.
Terkait dengan asal leluhur batak sebagaimana disinggung dalam uraian di atas,
dalam Bab III buku ini diungkapkan, bahwa pendapat sebagian besar masyarakat batak
yang mengatakan Si Raja Batak adalah keturunan Tantan Debata yang turun dari
Banua Ginjang (Benua Atas) ke Banua Tonga (Benua Tengah) dan turun di Sianjur Mula
Pusuk Buhit, tampaknya merupakan mitos belaka atau tidak dilandasi oleh pendapat
yang rasional. Berbagai indikasi menunjukkan, bahwa perkataan “batak” itu sendiri
ternyata tidak hanya digunakan oleh etnis batak, akan tetapi juga oleh masyarakat
lain di luar batak yang ada di Tano Batak atau negeri lain. Sebutan “kampung batak”
misalnya, tidaklah hanya digunakan oleh orang batak di Tano Batak, akan tetapi juga
oleh komunitas masyarakat di Filipina dan di Pulau Pinang.
Dengan adanya fakta seperti diungkapkan di atas , timbul pertanyaan apakah
leluhur batak itu berasal dari negeri jauh? DR. SHW.Sianipar.DL dalam bukunya
Tuho Parngoluan Dalihan Natolu, Sistem Bermasyarakat Bangso Batak menyebutkan
bahwa leluhur batak itu berasal dari Asia Bagian Tengah. Pertanyaannya, benarkah
suku batak yang ada di Tano Batak berasal dari sana dan oleh karena sesuatu hal
atau tekanan yang mengancam kehidupan mereka dari bangsa lain atau kerajaan
Mangaraja Burbur, maka mereka harus meninggalkan negerinya Tanah Bongaran
?. Katanya,orang-orang yang disebut bangso batak itu, dengan terpaksa migran

OMPU BONAHUTA 7
(meninggalkan negerinya), lalu harus melakukan perjalanan panjang, berlayar
mengarungi laut bebas dan akhirnya terdampar atau sampai di pantai Sumatera
Bagian Barat hingga kapalnya bersandar di bandar Barus, dan kemudian membentuk
pemukiman yang disebut Tano Batak.
Fakta lain menunjukkan, bahwa keberadaan bangso batak tampaknya sudah
eksis dan diketahui bangsa-bangsa lain jauh sebelum menjadi bagian dari bangsa
Indonesia. Hal itu terlihat dengan kedatangan misionaris Babtis asal Ingris yaitu
Richard Burton dan Nathanael Ward ke Tano Batak (Sibolga) pada tahun 1824 untuk
melihat lebih dekat tanah dan bangso batak. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya
pada tahun 1834, kegiatan mereka diikuti oleh Hanry dan Samuel Munson dari
Dewan Komisaris Amerika Serikat. Lalu tahun 1850 Dewan Injili Belanda menugaskan
Herman Neubruner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus
Batak-Belanda. Tujuannya adalah untuk memudahkan berbicara dengan masyarakat
batak. Menyusul kemudian misioner Dr. Lodewig Inggwer Nomensen asal Jerman. Ia
datang ke tanah batak (Silindung, Tapanuli) melalui Padang, Sumatera Barat pada
tahun 1861.
Apa yang ditunjukkan oleh kedatangan para misioner tersebut di atas, bahwa
bangsa-bangsa lain yang sudah berperadaban maju, terutama bangsa Amerika dan
Eropa yang letak tanah airnya jauh dari Tano Batak, sudah mengetahui adanya suatu
“Bangso Batak” yang berperadaban tinggi dan memposisikan diri sebagai “bangso”
(bangsa) yang telah mempunyai : (1) Satu tanah air yakni Tano Batak, (2) Sejumlah
penduduk dengan adat dan budaya yang sama,(3) Satu bahasa yakni bahasa batak,
(4) Askara dan tulisan batak, dan (5) Falsafah dan sistem sosial, adat dan budaya
yakni Dalihan Natolu, (6) Lagu kebangsaan yang berjudul “O Tano Batak”.
Selain mengungkapkan mengenai asal-usul batak tersebut di atas, pada Bab IV
buku ini juga diungkapkan mengenai Dalihan Natulu. Suatu Falsafah dan sistem sosial,
budaya dan adat yang terdiri dari subsistem hulahula, subsistem dongan tubu, dan
subsistem boru, dimana antara satu aspek dengan aspek lainnya merupakan suatu
total yang saling terkait, saling berhubungan dan saling mendukung menuju suatu
masyarakat batak yang berperadaban, beradat, dan berbudaya tinggi. Dengan
adanya falsafah dan sistem Dalihan Natolu yang sangat mengagumkan itu, maka
masyarakat batak benar-benar menjadi ada dan berada (eksis) sebagai “bangso”
(bangsa) yang berperadaban tinggi. Bahkan berkat adanya sistem dalihan natolu ini,
maka bangso batak menjadi suatu bangsa yang demokratis, terbuka, harmonis dan
saling mendukung, menuju masyarakat yang damai dan sejahtera.

8 OMPU BONAHUTA
Pada Bab berikutnya, buku ini juga mengulas “marga dalam suku batak” dan
“dimensi perkawinan batak”. Makna marga dan perkawinan menurut adat batak
dipandang penting untuk dipahami oleh generasi kini dan mendatang. Sebabnya
ditengah-tengah perkembangan sosial-budaya masyarakat global atau oleh pengaruh
budaya lain, kadang marga dipandang tidak begitu penting.
Sementara perkawinan dengan cara adat dan budaya batak menurut sebagian
masyarakat batak, terutama yang berada diperkotaan menilainya sebagai suatu
kegiatan yang terlampu rumit dan tidak efektif, sehingga memilih pernikahan dengan
cara atau berdasarkan budaya lain.
Memang, jika dilihat dari sisi prosesnya yang dimulai dari mahorihori dinding,
patua hata, marhusip, marhata sinamot, dan marunjuk., maka perkawinan dengan
cara adat batak itu tampak kompleks, dan dengan prosedur yang panjang. Akan
tetapi, jika diperhatikan secara seksama, bahwa perkawinan dengan cara adat batak
itu memperlihatkan makna dan hakekat perkawinan yang amat dalam dan sakral.
Tidak saja terbatas mengikat kasih dua insan menjadi satu. melainkan juga mengikat
hubungan kekerabatan antara kerabat mempelai laki-laki dengan kerabat mempelai
perempuan, dan bahkan mencakup lingkup kerabat dalam Sistem Dalihan Natolu.
Dengan demikian, maka makna dan hakekat perkawinan menurut adat batak itu
sungguh menunjukkan hal yang sangat baik,dan dalam. Adat dan budaya batak
yang begitu luhur ini patut dipahami dan dihayati oleh seluruh genersi penerus
pomparan Ompu Bona Huta Manurung untuk mewujukan suatu keluarga yang
damai dan sejahtera.
Selain itu, salah satu masalah sosial masyarakat batak akhir-akhir ini adalah
menyangkut Ruma Batak dan Huta yang memprihatinkan. Ruma Batak dan Huta
terlihat semakin tidak terpelihara dan bahkan “dibiarkan”, sehingga dimana-mana
terlihat mengalami kehancuran”. Pada hal kedua hasil karya budaya batak ini bukan
saja sebagai kebanggaan masyarakat batak pada masa lampau dan sekarang, tetapi
juga merupakan identitas bangso batak. Rumah batak yang dahulu kala berdiri
megah menghiasi tiap huta (kampung) sebagai pertanda kejayaan masyarakat batak,
kini banyak yang tidak berpenghuni dan rusak dibiarkan. Bahkan terdapat Ruma
Batak yang dijual kepada bangsa lain. Kondisi Huta juga demikian. Dahulu menjadi
kebanggaan setiap orang batak, sehingga dijaga dan dipertahankan mati-matian, tetapi
mengapa sekarang ini kehilangan rasa kepemilikan, dibiarkan satu persatu mengalami
kehancuran? Bagaimana kelak Tano Bangso Batak akibat kedua hasil karya budaya
itu mengalami “kehancuran” dan hilang dari permukaan bumi Tano Batak ?

OMPU BONAHUTA 9
Hal lain yang diungkapkan dalam buku ini adalah mengenai Ulos Batak. Hasil karya
budaya batak ini sejak dahulu kala sampai kini dipandang amat penting sebagai
simbol dalam menyampaikan “tali kasihnya” kepada sesama, baik pada saat suka,
maupun pada saat duka. Ulos batak ditenun leluhur batak hingga generasi sekarang
dalam berbagai jenis, corak (ragi) dan makna. Sebagai hasil karya budaya batak yang
juga amat mengagumkan itu, patut terus dipahami oleh generasi muda batak dalam
rangka melestarikan ekisistensi “bangso batak” ke masa depan menuju kesejahteraan
yang lebih baik. Lahirnya sekte agama kristen tertentu dan “mengharamkan” ulos
batak tersebut atau mengajarkan sebagai hasil perbuatan dosa adalah selain ajaran
yang “sesat”, juga sekaligus akan “menghancurkan” keberadaan masyarakat batak
yang beradat dan berbudaya tinggi.
Sebagai Bab penutup, dalam buku ini diungkapkan pengertian berbagai istilah-
istilah yang timbul dalam perkembangan sosial,adat dan budaya batak. Hal ini
dipandang penting sebagai pelestarian wawasan generasi muda pomparan Bona
Huta Manurung, sehingga tidak mengalami salah pemahaman.

10 OMPU BONAHUTA
Bab II.
Ompu BonaHuta
Dalam Silsilah
Toga Manurung.

S
ilsilah adalah aspek yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat batak,
oleh karena dalam adat, sosial dan budayanya senantiasa ingin mengetahui
kedudukannya dalam satu ayah (sa ama), satu leluhur (sa ompu) dan semarga.
Sementara itu jika orang batak tidak memahami silsilahnya, maka orang itu akan
dipandang sebagai batak kesasar (jolma nalilu). Itulah sebabnya setiap orang batak
senantiasa mengetahui marganya, leluhurnya dan dongan tubunya (kerabat semarga),
hingga hahaangginya serta boru dan bere/ibeberenya (ponakannya). Hal itu dilakukan
untuk dapat mengetahui hubungan kekrabatan (partordingni partututuron) dalam
suatu klan atau marga (Budaya Batak, Wipedia, Ibid)
Begitu juga bagi pomparan Ompu Bona Huta Manurung. Berdasarkan hasil penilitian
perpustakaan dan dokumen yang dimiliki, bahwa Raja Mangarerak memperanakkan
anak tunggal yang bernama Toga Manurung, dengan satu putri kesayangan yang
cantik, bernama Similingiling. Putri tunggalnya ini mempunyai cerita tentang kisah-
kasih yang melegenda dengan Silahi Sabungan dan Raja Turi. Sebagai hasil (out put)
kisah-kasih mereka itu telah menimbulkan hubungan kekerabatan yang amat baik
antara pomparan Toga Manurung dengan Pomparan Silahi Sabungan, khususnya
turunan Raja Tambun (an) dan Raja Silalahi serta turunan Raja Turi (Simatupang
Sianturi), tidak saja pada zaman mereka (pada masa lampau), akan tetapi juga pada
masa sekarang,
Toga Manurung adalah pencetus pertama marga Manurung. Generasi sebelumnya
belum menggunakan marga, tetapi hanya menggunakan nama. Ia mempunyai dua istri,
yaitu boru Limbong dan boru Pasaribu. Dari hasil perkawinannya itu ia mempunyai
3 ( tiga) putra yaitu Raja Huta Gurgur , Raja Huta Gaol dan Raja Simanoroni, dan
(2) dua putri yakni Anian Nauli boru Manurung, yang menikah dengan Raja Turi
dan Pinta haomasan boru Manurung yang menikah dengan Raja Tambun (anak
Silahi Sabungan /Similingiling ). Lima generasi turunan Raja Tambun (an) berturut-

OMPU BONAHUTA 11
turut mengambil boru Manurung. Demikian juga turunan Raja Turi (Raja Sianturi)
mengambil boru Manurung tiga generasi berturut-turut. Itulah sebabnya Manurung
bagi keturunan Silahi Sabungan dan keturunan Raja Sianturi dalam terminologi adat
batak Manurung disebut “mataniari binsar” (matahari terbit), dan sedangkan Manurung
memandang keturunan Tambun (an) dan Sianturi sebagai bere/ibebere yang sejati
atau dalam adat batak disebut “ianangkon” (telah setara dengan anak kandung).
Raja Huta Gugur Manurung memiliki istri boru Sagala. Mempunyai 7 (tujuh)
putera, masing-masing bernama (1) Ompu Bona Huta Manurung ,(2) Ompu Banua
Luhung Manurung, (3) Raja Niangkat Manurung, (4) Raja Niatur Manurung ,(5) Raja
Si Jambang Manurung, (6) Tuan Sogar Manurung, dan (7) Raja Humuntor Manurung
alias Raja Tamba .
Putra sulungnya, Ompu Bona Huta Manurung mengambil istri boru Sagala . Ia
mempunyai 3 (tiga) putra dan 3 (tiga) putri. Putra pertama bernama , Raja Naing
Manurung. Ia tetap bermukim di Sibisa dan mengambil istri juga boru Sagala yang
menurut adat batak disebut “mangalap boru ni Tulang” (mengambil marga asal
ibu). Sedangkan putra kedua bernama Raja Huala Manurung. Putra Ompu Bona
Huta yang kedua ini mengikuti karakter orang batak yakni bangga memiliki Huta (
kampung) sendiri, maka ia pun membentuk Huta di Ajibata. Ia mengambil istri boru
Sijabat. Sedangkan putra ketiga bernama Guru Pangajian Manurung alias Marangin
Bosi, bertempat tinggal di Jangga Dolok. Putra bungsu Ompu Bona Huta ini gemar
berburu lalu sampai di Jangga Dolok. Sesuai dengan namanya, Ia adalah seorang yang
perkasa dan terkenal amat sakti, sehingga hampir seluruh Jangga di kuasainya. Ia
mengambil istri boru Sitorus dari Lumban Sibinbin.
Sedangkan putri Ompu Bona Huta Manurung , masing-masing bernama Siboru
Tupaolo boru Manurung, marhamuliaan (menikah) dengan Raja Tambun.Putri kedua
yang bernama Siboru Sangkar , menikah dengan Raja Situmorang dari Suhut ni Huta,
Urat, Samosir. Sedang putri ketiga yang bernama Siboru Bolean menikah dengan
Raja Sitohang dari Palipi, Samosir.
Pada mulanya semua anak Toga Manurung bermukim di Sibisa. Namun seiring
dengan tututan kebutuhan hidup dan pengaruh sifat atau karakter orang batak yang
bangga jika “mamungka huta” (membuka kampung baru), dan berkeinginan menjadi
raja huta, maka anak-anak-cucu Toga Manurung tidak hanya bermukim (marhuta)
di Sibisa, melainkan memperluas huta (kampung) ke Ajibata, Sionggang, Jangga,
sampai ke Narumambing, Uluan dan Janjimatugu .
Sebagai putra sulung Raja Huta Gurgur, maka Ompu Bona Huta memilih untuk
tetap tinggal di Sibisa. Dia melanggengkan kerajaan kakeknya Toga Manurung dan

12 OMPU BONAHUTA
kerajaan ayahnya Raja Huta Gurgur. Ia terus memelihara tanah leluhurnya. Semangat
yang demikian itu sampai sekarang ini terus terpelihara. Keurunan Ompu Bona Huta
Manurung tetap berada di Sibisa, huta Lumban Jabi-jabi. Huta yang menjadi fakta
sejarah itu diperkuat dengan bangunan tugu Ompu Bona Huta yang berdiri di sana.
Demikian pula adeknya, Ompu Banua Luhung juga menetap di Sibisa. Sedangkan
Raja Niangkat dan Raja Niatur memilih bermukim di Sionggang dengan kampung
(huta) masing-masing bernama Parsunian dan Sosor. Sementara itu, anak kelima Raja
Hutagugur Manurung yaitu Raja Sijambang memilih bermukim (mamungka huta)
di Jangga Toruan. Di sebelah utara yang disebut Jangga Dolok seperti yang telah di
uraikan di atas telah menjadi kampung Guru Pangajian alias Marangin Bosi Manurung.
Sedangkan Tuan Sogar Manurung mamungka huta (membuka pemukiman baru) di
Janjimatogu, Uluan dan Raja Humuntor alias Raja Tamba Manurung bermukim di
Samosir.
Putra pertama Ompu Bona Huta adalah Raja Naing. Ia mengambil istri boru
Sagala.Sijak lahir sampai akhir hayatnya, ia menetap tinggal di Sibisa. Keturnannya
merupakan tokoh-tokoh masyarakat. Di zaman perjuangan kemerdekaan, salah satu
keturunannya itu bernama Jausin Manurung adalah Ketua Dewan terpilih di Sibisa .
Putra kedua Ompu Bona Huta Manurung adalah Raja Huala. Ia mengambil istri
boru Sijabat dan bermukim (mamungka huta) di Lumban Manurung Ajibata. Tempat
ini adalah sebuah daerah yang telah menjadi bandar Danau Toba. Belakangan ini telah
menjadi pelabuhan kapal danau (kapal penyeberangan) dengan rute penyeberangan
Ajibata-Samosir, pulang-pergi (PP).
Sedangkan putra ke ketiga adalah Guru Pangajian alias Marrangin Bosi. Ia
membentuk pemukiman baru (mamungka huta) di Jangga Dolok. Anak bungsu
Ompu Bona Huta ini, sesuai dengan namanya adalah orang yang perkasa dan
sakti serta suka berburu. Dimasa mudanya dari Sibisa ia berkelana menelusuri hutan
belantara dan akhirnya sampai di Jangga, lalu ketemu jodoh dengan boru Sitorus dari
Lumban Sibimbin. Mereka memiliki keturunan cukup banyak dan menjadi orang yang
berpengaruh ditengah-tengah masyarakat luas. Salah satu keturunannya bernama
Baginda Ammad Manurung adalah Kepala Nagari di Jangga.
Keturunan Ompu Bona Huta, tidak hanya bermukim di daerah yang disebutkan
di atas. Akan tetapi terus meluas hingga ke daerah lain di Uluan. Putra sulung Guru
Pangajian yang bernama Ompu Saur Uluan meninggalkan daerah Jangga, lalu
mendirikan kampung (mamungka huta) di Lumban Julu. Ia juga adalah seorang yang

OMPU BONAHUTA 13
gemar berburu Senjata menembak dalam perburuan yang dipergunakannyanya pada
waktu itu dinamakan “ultop”. Senjata menembak milik Ompu Bona Huta Manurung
ini digunakan oleh Ompu Saur Uluan sewaktu meninggalkan Jangga Dolok, dan kini
telah menjadi benda bersejarah yang disimpan oleh keturunan Ompu Saur Uluan di
Lumban Julu. Sewaktu-waktu, jika terdapat pesta tugu atau tambak pomparan Ompu
Bona Huta, ultop (senjata menembak) ini senatiasa di pamerkan kepada keturunan
Ompu Bona Huta Manurung.
Sedangkan putra kedua Guru Pangajian yaitu Ompu Panguhalan, terus bermukim
di Jangga dengan wilayah yang luas. Sampai saat ini wilayah pemukiman itu masih tetap
terpelihara eksistensinya, antara lain seperti Lumban Binanga, Huta Narumambing,
Huta Bagasan, Sosor Sonah dan Sosor Tombak, dan Huta Golottindang.
Putra bungsu Guru Pangajian yang bernama Ompu Raja Nauli. Orang yang satu
ini terkenal gagah- perkasa. Sama dengan karakter ayahnya gemar berburu, maka
ia meninggalkan Jangga, dan sampai di Uluan, Patane, Porsea. Di daerah uluan
ini dia mendirikan Huta dan membentuk “kerajaan baru” yang disebut “Kerajaan
Narumambing”. Penggunaan nama itu diambilnya dari nama kampung halamannya
di Jangga yang juga bernama Huta Narumambing.
Menurut penuturan Hampung ( Kepala Kampung) Herman Manurung, ayahnya
bercerita, bahwa Ompu Raja Nauli adalah seorang dengan sosok yang gagah perkasa
dan seorang raja yang tangkas dan sakti. Bahkan menurut penuturan Sitorus dari
Amborgang ( Bona ni ari ni keturunan Ompu Raja Nauli), bahwa latar belakang
terjadinya hubungan cinta antara Ompu Raja Nauli dengan Siborumandailing boru
Sitorus dari Amborgang adalah karena termotivasi oleh keperkasaan, dan kesaktian
Ompu Raja Nauli. Pada zaman itu melalui Siborumandailing Raja Sitorus Amborgang
meminta Ompu Raja Nauli untuk menumpas musuh-musuhnya yang kala itu sedang
menyerang mereka. Ompu Raja Nauli bersama pasukannya berhasil menumpasnya,
lalu berlanjut pada pernikakan dengan putri Siborumandailing yang juga terkenal
sakti dan cantik itu.
Kewibawaan dan kekuasaan Ompu Raja Nauli yang amat kuat pada waktu itu tidak
hanya ditunjukkan oleh sejarah penumpasan musuh-musuh Raja Sitorus Amborgang
dan pernikahannya dengan Siborumandailing pada waktu itu, akan tetapi juga
ditunjukkan dengan adanya ketentuan bahwa setiap orang yang datang dari Samosir
atau daerah lain yang menyeberangi sungai Asahan dan berlabuh di Lumban Datu/
Porsea lalu menuju Onan Pasar Rebo di Siraituruk (dahulu Onan Pasar Rebo bukan
di Porsea, tetapi di Siraituruk, sebuah tempat di dekat kampung Lumban Tarihoran.),

14 OMPU BONAHUTA
senantiasa dikenakan retribusi yang disebut “seo”. Oleh karena itu, konon katanya
asal kata Porsea itu adalah dari kata “parseoan”.
Bahkan lebih dari itu, besarnya wibawa Ompu Raja Nauli itu, juga ditunjukkan jika
Raja Sisingamangaraja melewati Patane harus seijin Ompu Raja Nauli. Jika tidak, maka
jangan harap bisa melewati jalan Porsea-Lumban Datu- Narumontak- Narumambing
(Lumban Bagasan, Lumban Martintin)-Siraituruk dan seterusnya, melainkan harus
melewati Porsea-Sihubakhubak-Lumban Nabolon-Raut Bosi, menuju Silamosik dan
seterusnya. Jalan raya Porsea-Balasaribu-Siraituruk- Silamosik, pada zaman itu belum
ada, sebab jalan raya itu dibangun pada pemerintahan Belanda.
Kerjaaannya di Narumambing begitu luas. Sejak dahulu sampai saat ini wilayah
itu meliputi beberapa lumban dan sosor yaitu Lumban Martintin, Lumban Bagasan,
Sosor Dolok, Batu Naknak, Pangombusan dan Lumban Napittu. Begitu luas huta
Narumambing itu dapat dimengerti, sebab Ompu Raja Nauli mempunyai 8 (delapan)
putra dan 2 (dua) putri. Masing-masing putranya itu bernama : (1) Raja Pangasean,
di Lumban Bagasan (2) Guru Pangilingan di Lumban Martintin, (3) Pangaraja di
Lumban Bagasan (4) Raja Minal di Lumban Bagasan (5) Raja Margansip di Sosordolok,
dekat Janji Matogu, (6) Raja Mamontang di Batu Naknak, (7) Raja Pangombusan di
Pangombusan, dan (8) Partumpak Hoda di Lumban Napittu. Sedangkan puterinya,
satu menikah dengan marga Hutagalung dari Tarutung dan satu lagi menikah dengan
marga Nadeak dari Jangga yang kemudian menajadi hela sonduhan (menantu yang
bermukim di kampung mertau) dan bermukim di Lumban Bagasan, Narumambing.
Demikian riwayat singkat Ompu Bona Huta manurung tersebut. Untuk lengkapnya
silsilah yang diuraikan di atas, dari generasi pertama hingga kini adalah sebagaimana
berikut ini.

OMPU BONAHUTA 15
1

16
1
RAJA BATAK
RAJA BATAK

GURU 2

OMPU BONAHUTA
TATEA RAJA
BULAN ISOMBAON

3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
RJ. Tn. SARIBU LIMBONG SAGALA SILAU RAJA SIBORU. SIBORU SIBORU Tn. SORI RJ. ASIASI SANGKAR
BIAKBIAK RAJA MAULANA RAJA PAREME ANTING BIDING MANGA SOMALIN
LAUT RAJA DANG

4 4 4 4 4
SI RAJA SI RAJA SORBADI SORBADI SORBADI
LONTUNG BORBOR JULU JAE BANUA
(NAIAMBAT (NAIRASAON (NAISUANON

Dilihat dari silsilah Siraja Batak, marga Manurung ada pada generasi (sundut) keenam. 5 5
Ayahnya Raja Mangarerak, mempunyai 1 (satu) anak laki-laki yaitu Toga Manunurung, dan 1 RJ. RJ.
(satu) putri yaitu Similingiling yang menikah dengan Raja Silahi Sabungan dan melahirkan Raja MANGARER MANGATUR
Tambun. Toga Manurung mempunyai 3 anak laki-laki yaitu Huta Gurgur, Huta Gaol, Simanoroni AK
dan 2 putri yakni Pinta Haomasan menikah dengan Raja Tambun dan Anian Nauli menikah
dengan Raja Turi. Kisah itu sangat bersejarah dan membuahkan hubungan kekerabatan yang
sangat harmonis antara Manurung sebagai Tulang dan Tambun (an),serta Sianturi sebagai Bere. 6 6 6 6
Hubungan kekerabatan yang sangat bersejarah dan baik itu,tidak saja berlangsung pada waktu TOGA TOGA TOGA TOGA
itu, tetapi telah terpatri dan menjadi “poda, naso muba, naso mose”, maka secara turun-temurun MANURUNG TORUS SIRAIT BUTAR

dan sepanjang zaman hubungan namartulang, dan namarbere itu terus terpelihara dengan baik BUTAR

dan penuh kasih sayang. Suatu warisan nilai kehidupan dari leluhur yang luar biasa dan membuat
hubungan sosial, budaya dan adat antar tiga marga tersebut begitu harmonis.
Page 13 of 112
Keterangan :
Putri Omp Bonahuta 3 (tiga ) yaitu :
1.Siboru Tupaolo, menikah dengan Raja Tambun.

OMPU BONAHUTA
2.Siboru Sangkar sodalahi ulubalang so boru-boru, menikah dengan Raja Situmorang, sian Suhut Ni Huta, Urat, Samosir

17
3.Siboru Bolean, menikah dengan Raja Babiat Sitohang, Palipi Samosir.
4
4

18
RJ. NAING
RJ. NAING
Di sibisa
Di sibisa

5 5
OMP. BANE OMP LAMIS
Di Sibisa Di Pangambolon

OMPU BONAHUTA
6
OMP MANGGAPANG
Br Sijabat

7 7 7 7
OMP MANGARAJA OMP MANJUNJUNG OMP JARAOMAS OMP BINSARAN
Br Sinaga Br Sijabat Br Situmorang Br Sijabat

8 8 8 8
OMP JADATAR OMP NI ENGGANG OMP BONAHUTA II BAHAL BATU
Br Sijabat Br Sirait Br Sinaga (+)

9 9 9 8
OMP METAR OMP TUAN NAGAJA OMP JUKKAR HUNIK
(AMA MANGGUS) Br Sirait Br Gultom & Br Sirait (+)
Br Sirait

10
AMA URAS
Br Sirait

11 11 11
MAMPE MARTUA BONAR
BR Sinaga Br Lubis Br Simatupang

12 12 12
IYUAN FREDDY ERY
Page 15 of 112
9
OMP METAR
(AMA MANGGUS)
Br Sirait

10 10 10 10 10
OMP JULITA OMP ROIDA OMP ROY BERLIN JAPITER
Br Silalahi Br Siahaan Br Siallagan Br Sirait Br Sitanggang
Di P. Siantar Di Panambean Di Panambean Di Panambean Di Bahkapul

11 11 11 11 11 11 11 11
AMA JULITA AMA ROIDA AMA ROSDIANA NURDIN LERMAN WALDEMAR JAYA P HENRA
Br Silalahi Br Sagala Di Panambean Br Nababan Br Sidabutar Br Gultom Br Turnip Br Sagala
Di Jakarta Di Panambean Di Bekasi DI Tambun Di Medan Depok

12 12 12 12 12 12
RYAN HERVYAN RINTO ROY NOVENRI YAKUB YOSUA MERULI CHRISTIAN
Br Sidahuruk JAVARO
Di Jakarta

OMPU BONAHUTA
19
9
OMP TUAN NAGAJA

20
Br Sirait

10 10 10 10
OMP OMP AMA SAMUEL
GULOTTAM GUMALAK GULASA (TERSENG)

OMPU BONAHUTA
11 11 11 11 11
SIANTAR FIRMAN UAL KONSTAN PORMAN
ULUAN
Br Sinaga
Br Sinaga & Br
Sirait (Cirebon)

12 12 12 12
BAHARAJA DARTA BILPEN BREGEN
Br Sinaga Br Ambarita Br Sirait Br Siahaan
di Bandung di Sibisa di Sibisa di Hutabayu

13 13 13 13 13 13 13 13
INDRA ERVIN RANTO OLOAN MANGATU HENDRI DONI SURUNG
di Jakarta Br Tindoan R Br Hombing
Br Marbun

14 14 14 14
SAMUEL SAMUEL KELVIN NOEL
BADIARAJA
10
OMP GUMALAK

11 11 11
GULASA ASALMEN RJ USIA
Br Gultom Br Gultom Br Sinaga & Br Gultom

12 12 12
JEREMIA NIKSON ( † ) BENSON
Br Gultom Br Pasaribu Br Sihombing
Di Jakarta Di Tangerang

13 13
GIHON FERDINAN

12
BILPEN
Br Sirait di Sibisa

13 13 13
ROBIN INDO BERNAD
Br Sirait

14 14

OMPU BONAHUTA
21
7
OMP JARAOMAS

22
Br Situmorang

8
AM
RAJAOMAS

OMPU BONAHUTA
Br Sinaga

9 9
OMP. AM. BANTUN
SUSUHATON

10 10 10
AM. MORJAIN VICTOR
SUSUHATON Br Situmorang & Br Hutabarat
Br Sirait Br Sirait

11 11 11 11 11 11 11 11 11 11
DORIS KRISMAN ODJAK TOGAR SALAMAT HOTMAN SAHAT JAOMAS HARAPAN PAULUS
Br Saragih Br Nainggolan Br Situmorang Br Saragih Br Pasaribu Br Sunda Br Gultom Br Hutabarat Br Hutasoit Br Regar
& Br Jawa

12
RJ
MAROMBUN
Br Sigalingging
9
OMP TUAN NAGAJA
Br Sirait

10 10 10 10
OMP OMP AMA SAMUEL
GULOTTAM GUMALAK GULASA (TERSENG)

11 11 11 11 11
SIANTAR FIRMAN UAL KONSTAN PORMAN
ULUAN
Br Sinaga
Br Sinaga & Br
Sirait (Cirebon)

12 12 12 12
BAHARAJA DARTA BILPEN BREGEN
Br Sinaga Br Ambarita Br Sirait Br Siahaan
di Bandung di Sibisa di Sibisa di Hutabayu

13 13 13 13 13 13 13 13
INDRA ERVIN RANTO OLOAN MANGATU HENDRI DONI SURUNG
di Jakarta Br Tindoan R Br Hombing
Br Marbun

14 14 14 14
SAMUEL SAMUEL KELVIN NOEL

OMPU BONAHUTA
BADIARAJA

23
7
OMP. DORI BINTANG

24
Br Sijabat

8 8
JALIMA JABI
Br Manik Br Juntak

OMPU BONAHUTA
10 10 10 10
RERAK (AMA BINSAR) JABAIK ULAPMA MAKDEN
Br Manik Br Jabat Br Purba

11 11 11 11 11 11
BINSAR RAMLI EFFENDI PARLIN BESLY JONNER
Br Purba Br Jawa Br Sunda Br Jawa

7
OMP.
HUDOGAM
Br Saragi

8 8 8
BITTOA MUSU BUGARI
Br Sijabat Br Sihombing

9 9 9 9 9 9 9
GOMUK W. MONANG BONI LUDIN TOMOK KASMAN MANGAPUL
Br Sijabat Br Juntak (TUNGGAL) Br Nadapdap Br Juntak Br Sunda

10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
BONAR SABAN ROBIN ANTON MAURID MANGAPUL MASLAN - - -
Br Regar Br Juntak Br Sijabat Br Gultom Br Juntak

11 11 11 11 11 11
RONI YUAN BENNY CHAIDIR UCOK 1 UCOK 2

Page 21 of 112
8
OMP.
METARIA

9 9 9 9 9
AMANI AMA SERTA AMANI BERLIN JAPITER
METARIA MARITJE

10 10 10 10 10 10 10 10 10
PANGALASAN PANGIHUTAN RAJIMAN KRISMAN NURDIN LERMAN LEMAR JAYA HENDRA
Br Silalahi Br. Sihombing Br Sagala Br Sagala Br Nababan Br Sidabutar Br Sagala

11
RIAN HEPIAN
Br. Sidahuruk

8
OMP.
SUNGGUL
Di Sibisa

9 9 9 9 9 9
JABANE JAMIDIN JAPINGKIR JONGA RJ.
JULU JAUPA

OMPU BONAHUTA
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

25
PANGI PANA RUDI
SIMBUL SAMBULO SABAR HUTAN HATAN

Page 22 of 112
4
RJ. HUALA

26
4Br. Sijabat
Di HUALA
RJ.Ajibata
Br. Sirait

5 5 5
OMP. RJ. TOGAP
RJ. NIOJUR Br. Sirait
PONGKI di. Lbn. Gambini
Sipangambolon

OMPU BONAHUTA
6 6 6 6
OMP. SAMPANG OMP. RJ. OMP.
OLOAN
OMP. MAGO
MATIO MONANG

7 7 7 7 7
OMP OP.
OP. BANGGA OMP. OMP.
HUBANGGAR MANGONA
MANGAN SARMA

8 8 8
OMP. AMP.
DATU RAJA
MANGONJAR TAMBUN

9 9 9 9 9
OMP. SURGO OMP. OMP. OMP RJ. HITAM
OLOAN MANGALIBAS TABANI TONGGI

10 10 10 10 10 10 10 10
OMP. OMP. MAR OMP OMP. GETEL OMP. UJUN OMP. DERIK OMP. BUHIT OMP.
MATIDI SABANG TIMBUL BUHULUAN

11 11 11 11 11 11
OMP. OMP. BATU PALAOMAN OMP ASIMA OMP ROTUA OMP ROMA
BONGAR LAMAL

12 12
OMP. KINDI OMP.
CALLYSTA

13 13 13 13
HENDRY FERNNANDO MARSON KIMRON
Page 23 of 112
7 7
Omp.
OMP. MANGONA
MANGON

8 8 8 8 8
Omp. Omp. Omp. AMANI MANGA
PELET RABUKIT PALAON AMAT TIK

9 9 9 9 9
A. PELET Omp. A. GROSO A. PANOLA A. BOLI
GOMBUT

10 10 10 10 10 10 10 10
A. A. HAURIA
PELET GOMBUT LAMPU JAROTIM AMIR LAMINTON
A. NAOBE

11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11
A. BISMAR BIUNG ALEK JUANG ALIK GERMAN HUMALA JASON A. KASIM HANUR JANSEN ALFRED

8
MANGATTIK

9
SAING

10 10
AMAN JAMIN HERMANUS

11 11 11 11
JAMIN HOTBE KASAN BONA

OMPU BONAHUTA
27
Page 24 of 112
28
4

OMPU BONAHUTA
GURU PANGAJIAN /
MARANGINBOSI
Br. Torus dari Lbn. Sibinbin
Di Jangga

5 5 5
OMP. OMP. RAJA NAULI
SAURULUAN OMP. Br. Torus, dari Amborgang
Di Lbn. Julu PANGUHALAN Di Narumambing
Di Jangga
5 5
OMP SAUR
OMP.ULUAN
SAUR ULUAN
Di Lbn Julu

6 OMP
BONAHUTA II

7
OMP.
SAUNANGON

8
OMP. DANGOR

9 9 9 9 9
ANGGAM OMP. LISAN RJ OMP.
TOGA NABOLON OMAS PAHAL

10 10 10 10 10 10 10 10
AMANI TAMBA AMANI AMANI GIPUL AMA DOLOK AMANI AMA PAHAL AMANI
SOLIMIN MANGIUH MANANGSANG SAUNANGON

11 11 11 11 11 11 11
OMP. MAMULIN HALUAN BAN UMAR PAHAL RANTO
SONAN

12
BUNNA

OMPU BONAHUTA
29
30
10
AMANI
TAMBA

OMPU BONAHUTA
11 11 11 11
AMA AMA AMA AMA
ROBINSON LOKSA TUPAL MARLELA

12 12 12 12 12 12 12 12 12
ROBINSON BURHAN TUMPAL GUGUN BONIAR TUMBUR

10
AMANI
MANGIUH

11 11 11 11 11 11
UPA ONDAM TABI PATIA PANJANG TAMBANG
10
AMANI
SAUNANGON

11 11
SAUNANGON / KAMIDEN
JANSEN Br. Marpaung

12 12 12 12 12 12
HALOMOAN HULMAN HORAS HENDRY CHOKY Saut Rhenville
Br Marpaung Br Tompul Br Marpaung Br Panggabean Br Pardede.

13 13 13 13
SEP MAYER ALBER IMANUEL SAMUEL

Page 28 of 112

OMPU BONAHUTA
31
5

32
5OMP PANGUHALAN
OMP
Br PANGUHALAN
Torus Lbn Sangkalan
Br TorusdiLbn Sangkalan di
Jangga
J

6 6 6
OMP. RJ PANGUNTAPAS OP NI HURMA
JUARA OMAS Golottindang Lbn Bair
Lbn. Simangambit Ht.

OMPU BONAHUTA
7 7 7 7 7 7
OMP. PANALUSU OP. TUMONTANG PANGAMBIT OMP. OMP.
TUNGGUL NI HUTA SONANG BARITA BIRONG

7
OMP. TUNGGUL NI HUTA

8 8 8
OMP. SUNGKUNAN II OMP. TAHAN NABOLON OMP. PANEOLOAN

9 9 9
OMP. JUARA OMAS I RJ. PATUPORHAS OMP. ALTONG

10
10 10 10
AMA MANDERESE (RJ. PARHUASAS)
Br. Sirait & Br. Torus
PANGOLAT PARJANTAN PENGKAR

11 11 11 11 11
AMANI IPA AMA LINGGOM AMA JARAR Br Torus SIHOL Br Torus AMA LUNDU Br Torus

12
UNE

12
BLIOR / SAUT
11
AMA
11
JARAR
Butar-Butar
Br.AMA JARAR
Pea,
Lbn Br. silombu
Butar-
Butar

12 12 12
JARAR HENNERY HAMPUNG
Br Torus BR Torus KENAN
Sibatu Sibatu Br. Butar-butar

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
MAYOR POLUNG SARIMAN JUNTER JANSEN ANDER JAUMUR KARMEN WALDEMAR BUSMIN
JUARA Br Butar-butar Br Butar-butar Br. Dolok
Br Sinurat Br Torus Br Sirait Br Torus Br Torus Br Torus Saribu

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
ROBERT F. RIVAI RT. MANGAIT KELIAMSA TOMBAK SARBIDIN HARIONO HENDRI HOPHOP HERMAN KENDEDY MAYDEN MELKY
Br Silitonga Br Ambarita MARALO Br. Manalu Br Ambarita Br Sitanggang Br. Torus Br Torus Br Torus Br Sirait Br Aritonang Br Girsang
Br. Panggabean

15 15 15 15 15
SUNGKUNA FENDI FRANKI HIRAS DANIEL
N

13
13 13 JAUMUR
JANSEN Br Torus
JAUMUR
Br. Butar-Butar B T
Lbn Pea, silombu
14 14 14 14
AMAN. N HENGKY ERIKSON ANWAR
Br Hutahaean Br Simatupang Br Hutagalung
14 14 14 14
RAYA REANUS ASTON TONI
15 15 15
Br Sihombing Br Hutagalung Br Purba Br Sirait IMMANUEL MARSEL ABRAM

13
KARMEN
Br Torus

OMPU BONAHUTA
14 14 14 14 14 14
MANGISAR MANGANDAR MASLAM MASSEN RONAL KASMAN

33
Br Torus Br Torus Br. SAMOSIR Br Lbn. Gaol Br. Naibahol Br Marbun
9
9

34
OMP. ALTONG
OMP.
ALTONG
Br Butar-butar
Br Butar-butar

10 10 10
PANGOLAT PARJANTAN PENGKAR
Br. Manik & br.
Butar-Butar

OMPU BONAHUTA
11 11 11 11 11 11 11 11
AMA AMA PIRMAN PANANGGAM LONGGING GAYUS JONATHAN PIPIN JOSEP
TANGGEPONG

12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
JULIANUS DARIANUS FIRMAN MANGARA SAHAT MARINUS RUDI VIKTOR DOMPAK SLAMAT
Br Simanjuntak Br. Manik
Br Torus

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
BISMAN SIUTONG JOHANNES 13 EFENDI LIBER RUSMAN
HASOLOAN JONY MANGARA 1. BUDIMAN
Br. Torus Br. Torus Br Siregar 2. MARLIN
3. FENDI
4. SIMON
5. SAHAT

14 14 14 14 14 14
MAIKEL BENNI NATANAEL HERI HOP HOP HENDRA
Br Sirait Br Aritonang

12
12DARIANUS
11 11
DARIANUS
Br Juntak JOSEP
Br. Manjuntak JOSEP

13 13 13 13 12 12 12 12 12 12 12
MARTUA HISAR KORNELIUS DELITUA MANGARA BERLIN RAMLI BARITA JANNER PANSER PABER
Br simare-mare Br. Tungeang Br Torus Br Nababan

13
RINDU
8
OMP.
TAHAN
NABOLON

9
PANGARAJA

10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
TUNGGUL TUAN HOSA GULO JAGA PATAIS DALDAL ONGKAT AMANI SINATUK TANGGAL PONGKAR AMA
NI HUTA II TIMBANG (†) (†) BOHUAN

10
10 OMP.
TUNGGUL
OMP. NI
TUNGGUL
HUTA ( II ) NI
HUTA II

11 11 11 11 11
AMANI PANJANG JALLAS LATTAM TIKKI
TUA

12 12 12 12 12 12
BAGITU BULA GABRIEL NATA REUS JONAS
NAEL

13 13 13 13 13 13 13 13
ASAN DAVID SABAR JUSUF ASEN BENGET PAINAN

OMPU BONAHUTA
35
36
11 11
LATTAM TIKKI

12 12 12 12
TUNGGUL JOHAN DAULAT TIHAR

OMPU BONAHUTA
13 13 13 13 13 13 13 13
SABUNGAN AMANI SAMSUL HARIARA SYARIFUDIN HALOMOAN DOMPAK MUDIN
PARLIN Br Juntak

10
TUAN HOSA

11
OMP. TUNDUN

12 12 12
BONTAR TUNGKIR DAME

13 13 13 13 13
TULUS ESMAN WILIATER PETRUS

Page 33 of 112
10
GULO

11 11 11
MANORSAR RENGAT GULASA

12 12 12
SAIL / PETER BONGGALI ANDREAS

13 13
JAIRUS KASI

14 14
AMINTAS OKUS

10
JAGA

11 11
GUAS BINANGA

12 12 12 12 12
PETRUS PIPIN IMANUEL HENOH OLOAN

13 13 13 13
HUMALA HOLONG OSMAN HINSA

OMPU BONAHUTA
Page 34 of 112

37
10

38
PATAIS

11 11
ETAL TAO

12 12

OMPU BONAHUTA
FERDERIK FERDINAND

13 13 13 13
MANANGAK MONANG

.
10
DAL DAL

11 11 11
AMANI PANSUR PAKKIOM
BOTURAN

12 12 12
BUTOL JARIBUT LAUT

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
BUDI JANAEK BETUEL JAPAET TANI JANUNUT JAMIDUK JADENGGAN HIRAS KASIMA JANNES

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
HERI JEPRI TRISMAN AGUNG ALDY SAMUEL JERFAN HEBER PANTO RIFAN JESNIO MASRI ADNO BIGWAN HOTBEN GOMPAR JASA

15 15
MICHAEL TOGI
11
PAKKIOM

12 12
LATAM SIMON

13 13 13 13 13 13 13
ROBINSON ANTONIUS WILTER DUMOLI JESE DALRIHOT RENCUS

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
MARUDUT MARLIBO MAYUR WOLIN RICO RONALD RENDI RODI ALDO GILBERT

10
ONGKAT

11 11
RAJA UZIA RJ. ULIM/
RJ. ISAK

12 12 12 12
BAGINDA SURUNGAN LUTER NAHASON
AMAT Br Torus Br. Siahaan

13 13 13 13 13 13 13 13
TAHAN SAHALA MANONG MARLAN AGUST MAURITS ASHGAR TOGAR
Br. Regar Br Nias TONG JOHNTES Br. Torus Br Juntak Br. Naibaho
Br. Siahaan Br Hutahaya

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
NALOM LUHUT TONI (+) JUPITER JIMMY SALMON MIKAEL YOSIA AUDY TOMMY
SAMUEL Br Lahi Br Siahaan

15 15 15 15
SAMUEL SIMON SALOMO STEVANO
SATRIA
NATHANAEL

OMPU BONAHUTA
Page 36 of 112

39
40
12
SURUNGAN

13 13 13 13 13
JANUS ANTON INDRA MARET FRANKI

OMPU BONAHUTA
14
PUTRA

10
AMA TIMBANG

11
TIMBANG

12 12 12 13
RAJA ULUAN KUTEH JONATAN SAMUEL
di P. Siantar

13 13 13 13 13 13
MARKUS SAMAN MINDOR

Page 37 of 112
10
PONGKAR

11
BODIL

12 12
IMBOLO NATANAEL

13 13 13 13 13
SANAR KASMEN AMIR JULIUS JUSTIN

10
AMA
BOHUAN

11
MAOL

12 12
DARIUS MANING
GOR

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
ONGGUK TOGAR GUSTAF PANAL DURAHMAN MARNANG MARADEN MARULI TIGOR NELSON
(+) KOK Br Harianaja Br. Nainggolan

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
JOSUA HESRON DANIEL TIMOTEUS PAUL AMOS KRISTOPEL HISKIEL STEPEN BENNY WIRA FERDINAND DEPRIS EKO
AGUNG

15 15
GERRY KRISTO

OMPU BONAHUTA
Page 38 of 112

41
42
8
PANEOLOAN
Br Torus

9 9
PARAGUGUN OP BALGA

OMPU BONAHUTA
10 10
OP HAPAL GORA UMA

11 11 11 11 11 11 11
OP RJ DATAR OP TOGA RAJIN KONSTAN LANSANG PANDE ELEK

12 12
LUDIN MANASA
Br Torus Br Torus

13 13 13 13
HAPAL BAHA TULUS SAUR
Br Juntak Br Purba Br Torus & Dolok Br Nainggolan
Saribu

Page 39 of 112
12
MANASA
Br Tirus

13 13 13
GUGUN DATAR HISAR
Br Torus Br Torus Br Siagian

14 14 14 14 14 14 14
MARUSAHA ANTONIUS MIKA BARITA BUDI RAHMAT VINCENT
Br Tondatu Br Ginting

15 15 15
JONATHAN JOSUA BAGAS

11
OMP TOGA
Butar-butar

12
BARSANG
Br Torus

13 13 13 13
TOGA SINTONG MAMALA RAPIDIM
Br Regar Br Siahaan Br Sitohang

14 14 14 14 14 14 14 14 14
PANGULAHAN PANAHATAN CHRISTIAN PALMARUM BORIS ALEXANDER GUNTER HADI YEHESKIEL
Br Juntak Br Lubis

15 15 15

OMPU BONAHUTA
BALUBU BENJAMIN ERIK

43
Page 40 of 112
11
RAJIN
Br Torus

44
12 12
VICTOR BOLON
Br Tambunan Br Torus

13 13 13 13 13 13 13
DR PARLUHUTAN

OMPU BONAHUTA
ARAHON SARGON TOGAR RONALD BONAR GABARIEL
Br Sianipar Br Lahi Br Tanggang Br Tambunan Br Sitompul Br Torus

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
JOSUA JOSEPH ARDI GRANT GABE AXEL NIKANOR LEVI SEAN TIMOTHY

11
11
KONSTAN
KONSTA
Br Sirait
N
Br Sirait

12 12 12 12 12 12 12
PANE MARBEN MAROLOP OLOP TUMPAL SAOR JOHARI
Br Br Sirait Br Simamora Br Panjaitan
Br Torus Tambunan
Br Tobing

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
RAKLES NELSON JUDANT JAMES SUWARD ANJAS BELMAN BITJEN BINTARA MOMPO PERIANT ARNOLD ARIFIN PARDAM FERDI KEVIN ANDREA JANTER
O I O EAN S

14 14 14 14 14 14
ROY REPAY UCOK JOYO JUMADI JUMMY

11
PANDE

12 12 12 12
DARIUS AMIR LUPER TUMPAL

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
ARLEN HERMANTO HAPOSAN NICHOLAS ARJUNA SUSI RAEMON DOMINGGOS RISDO OBET Page PONTAS
41 of 112
11 11
ELEK
ELEK
Br Torus
Br Torus & Br &Tambun
Br Tambun

12 12 12 12
HUALA PERIS GUK GUK SAIBUN
Br Torus Br Juntak Br Torus

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
BUNGARAN NELSON MARIHOT JONY DESWANTO PANUSUNAN PANGERAN HENDRY BERNARD TAMRIN BENNY GIMSON MONASIS ARIF NIKO PELINA
Br Panjaitan Br Torus Br Torus Br Torus Br Torus Br Daulai Br Simbiring

14 14 14 14 14 14
GAMALIEL PRANATA CHRISHTOP KRISTIAN SANDI YUDI
ER

10
10
BALAGA
BALGA
Br
Br Torus
Torus

11 13
HULANDAP HURADAP
Br Butar-butar Br Torus

14
GULHAP
Br Sirait

13 13 13 13 13 13 13
BERMAN ROMULUS BURMA MINTON OSLAN RONALD ROMMEL
Br Lahi Br Sirait Br Br Torus Br Sirait Br Sirait Br Damanik
T b

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
BALGA BITER SANTRI ASMAN JOLY NOVEN SAUT DEDY DODO ANTO NATAL UCOK MITRA KOHEN RIDWAN IMANNUEL
Br Sihombing Br Pakpahan Br Sihombing
Br Sinurat Br Sinurat

OMPU BONAHUTA
15 15
ABEDEGO GILBERT

45
Page 42 of 112
46
7
PANALUSU
Br Tambunan

8 8
RJ. PATARLAN PALLUPUK
Br. Torus
Di Narumambing Di Narumambing

OMPU BONAHUTA
9 9 9 9
OMP. MEAN
OMP. PANTAS OMP. BARUTU PANGUHALAN II Br. Simatupang

9
OMP.
PANTAS

10 10
PANGHAUL PANDANGAR
Br. Sinaga Br. Nainggolan

11 11 11 11
PASI Toke UANG TAMBAH RJ. PILEMON
BR. SIRAIT BR.

12 12 12 12 12 12 12
BONDIMA H. LILONG TOHAR IMANUEL GAYUS DUMOLI PAI
Br. Torus Br. SIBUEA Br. Sibuea AMAN

13 13 13 .13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
? MOH. PATARLAN PAHALA SAUT MANAGARA SAHAT ROBINSON JOHN CHARLES TIMBUL BEN ANTON
Di Tg. Balai YASIN II Br Torus Br Torus MULER HARD

14 14
EDWARD HERMAN
Br Torus Br Aritonang

15
SAMUEL
Page 43 of 112
9
OMP. BARUTU

10
OMP. PANGANTAN

11 11 11
JEREMIAS AMANI PANIHA POLIN
Di Jawa

12 12 12 12 12
GIDION KENAN HEMOH JAPAR ASI

13 13 13
BENGET DARIUS SELAMET ? ?

9
9 PANGU
PANGUHALAN
HALAN II II

10
OMP.
BOKSA

11 11 11 11 11
TIHAM SILANDAS RJ. DAUD RJ. PAULUS SAMUEL
Br. Tambunan
Br. Nainggolan Br. Torus Br. Siregar Br. Sirait
Br. Sirait

12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
TIO MARIDIM SIHINAM BONI FERDINAN LUPUK SAHAT REIMON GUNUNG JONIA MAULI JILIN
Br. Nainggolan Br. Simatupang
Br. Torus Br. Torus

OMPU BONAHUTA
47
48
9
OMP. MEAN
Br. Simatupang

OMPU BONAHUTA
10 10 10 10 10
PANGA AMANI RAJA ENGGANG OMP. MARA MULIA
RAMBANG MEAN Br. Torus SANGGA
Br. Torus

11 11 11 11
LEUNG RJ. ULI MALAEUS PANDOAL
† Br. Torus Br. Torus Br. Sirait

12 12 12 12
NAEK WILEM GR. ELIAS JOHIM
Br. Torus Br. Torus

13 13 13 13 13 13
AMA OSMAN BISTOK GUMAN JINTAR TOGAP
RAJA

Page 45 of 112
10
10 RJ
PANGUN
TAPOS II
RJ. PANGUNTAPOS II
(DALIHA)
BrBrTorus
Torus

11 11 11
PARNAN DATU RJ
TI RAJA UMAR PANGRAM
Br Sinaga Br Sinaga PA
Br Torus /
Br
Nadapdap

12 12 12 12
JAMBAT BONA JAMBAT BONA
AN RAJA AN
NIKANOR Br Torus &
Br Butar- Br Sirait
butar

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
NORE TURMAN JESE LILING TUMBAN WALTER MARTUA ARSINIUS MARULI LILING
MARULI Br Sinurat Br Br Dayak G Br Torus Br Ht.
Br Hutapea Galung
Nainggola Br
n Hutapea
Br Butar

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
OSMAN SOLIDEN JONER LIBER MARLIN CHARLES DAPOT RICARDO GULASA JOHAN EDO WIDI VIDI
Br Torus Br Marbun Br Br Juntak Br Dolok Br Marbun Br
Sipayung Saribu Nainggola
n

15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
JOSUA PUTRA JEFRI IMMANU HENDRO MARSHA JORDAN MANGAR KEVIN JOHN MICHAE STEVEN RUBEN JEFRI
EL L ERA CHRISTI L
AN

OMPU BONAHUTA
Page 47 of 112

49
7
7 PANGA
MBIT I
PANGAMBIT I

50
8 8
OMP. PALLO
SIHAR TONG
ULUAN

OMPU BONAHUTA
9 9
OMP.
MANAM PANGA
POL MBIT II

10 10
RJ. AMANI
SOJUAO PAREND
N E

11 11 11 11
OMP. OMP AMANI RAJA
SOJUAO DOMPU TANGKI PANGET
N (SAKIL) AS A

12 12 12 12 12 12
AMANI AMANI MOMBA
PINDO IHUT (NAHAS HATION ALBINU MARKU
(LUSAK) ON) G S S
Br Torus

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
ORI MANDI BUHA IHUT SUMIHA PARULI BIDEN MUHAM ASMAT SIHOL ESAU MARAL BISTON
(SIHOL) (DARIUS R AN Br MAD O
) Br Torus Br Hutahayn
Ambarita

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
SAHAT TOGAR SIHOL AMA ROPENDY ANDY LAM GONG EARNEST REZA JOLDIN MARDUS MINTON AGUS PANTUR KOTO JANUAR PANNI
Br Purba LAWREN
Br Manik Br Siregar TIGOR Br Manik HOT GOM CE
ALPINE

15 15 15 15 15 15
HERBER ANTO JACKKY BANGUN TIGOR MICHAEL
T
Br
Sianipar
8
8 PALO
TON
PALLOTONG
G

9
PATU
PAHAL

10 10
PAHAL ALENG

11 11
AMANI RJ.
JONAR JUARA

12 12 12
JONAR TUBIA
(PAINA K NAEN
SIP) (A.TAO
N)

13 13 13 13 13 13 13
BAHA GASAN
NASIP GARTI JONAT (AMA G (AMA NELSO
HAN LOMPO HUALA KOSTA N
) M) N

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
ASENG(
KARMI ISIS POLTA NURDI MARU MONA KAREL BONGG LOMPO WILIA SAUDI HUMA MARU MARO DAYAN GUGUN BERNA RUDIA
DEN K N AHAL NG AS TER N LA HUM LOP RD NTO

15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15

DONG CHARL TAHAN KARDO LAMH ANTO DAVID DANI MANA SABAR COKLI BONAR MAR HOTDI EDU SONAR JUNJU
OK ES OT EL NGAP JAYA TIN SON MIDO NGAN

Page 49 of 112

OMPU BONAHUTA
51
10 10

52
ALENG
ALENG

11
MANGANTAR
(OP JONANG)

12 12 12 12 12 12
BARANING PANGAIT HOMBAR PAMBITGA MANASE BARIUN

OMPU BONAHUTA
M

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
MARINGAN GABA MANGARA ELIAS AMANI POLIN JONGGARA RUMIN BONGGUK AMANI SALMON BILEM BUSMIN JUNIOR OBER EDISON
LINDUNG TANG BINSAR JUMONTAN
G

14
BINSAR

6
6
OMP
OMP.NI
NI HURMA
HURMA

7 7
OMP. OMP.
SONANG BARITA BIRONG

8 8 8
AMANI PAHOTMA AMANI AMANI
PANSOHOTAN BIRONG

9 9 9
AMANI BREMBEM AMANI TUBUNA AMANI LUKING

10 10 10
BELE TUBUNA AMANI UHAL

11 11 11 11 11
BAREM DAS DAS NESSONG PANUS GINDAL

12 12 12 12 12 12 12 12
AMON NANTI TUMBA KARMIDIN JANNES JAMILIN TAHAN LAIDIM
Page 50 of 112

13 13
PANAHAN SAUDARA
5
OMP.
RJ. NAULI
Br. Torus
Di Narumambing

6 6 6 6 6 6 6 6
GURU RAJA RJ. RJ. RJ. PARTUPAK
RJ. PANGOMBUSAN
PANGILINGAN PANGARAJA MINAL MARGANSIP MAMONTANG HODA
PANGASEAN Di Lbn. Martintin Di Batunaknak di Pangombusan
Di Parbagasan Di Pabargasan Di Sosor Di Sosordolok di Napittu
Narumambing Narumambing Narumambing
Narumambing Narumambing Narumambing Narumambing

Hanya Boru 7
kawin ke : OMP.
1. Hutaga
BUNTULAN
lung Di Lbn. Martintin
2. Nadeak Narumambing

8
OMP. JONGGOR
ULUAN
Di Lbn. Martintin
Narumambing

9 9 9
9 9
OMP. OMP.
TUMONDOL BINDU PONGKI SURIGA DUMALIM
Di Sosor Di Lbn. Martintin
Br. Torus pergi ke Tj. Balai Di Lbn Martintin Di Lbn. Martintin
Di Lbn Martintin,

Page 51 of 112

OMPU BONAHUTA
53
54
9
9 OMP.
OMP.TUMONDOL
TUMONDOL
Br. Torus
Br TorusDidi
lbnLbn
partitinMartintin
,
Narumambing
Narumambing

10 10
PANGILI OMP.

OMPU BONAHUTA
NGAN II
BAGOT
Br. Torus

11 11
AMANI HAMPUNG
PANGILINGAN
RJ. GIDION
Br. Sitotrus
Br. Sirait **

12 12 12 12 12
GOMPARAN / HAMPUNG POLLUNG / 12
AMANINGGOR LONGOS HERMAN ANDAREAS JULIANUS JOSEP
Br. Sirait ** Br. Gurning Br. Torus Br Dolok Saribu
Br. Torus Br Ambarita

13 13 13 13 13
13
DOLIA SAHAT SAUT BARTHOLO
BR. SIRAIT SABAR BR. SIRAIT MEUS
Br. Torus ALBERT (†) Br. Sirait BR. MARPAUNG

Mago

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
MARISON ANTON GONGGOM RICHARD EDWIN DANIEL MARTIN
PAHALA TUMPAL Br. Toraja / Br. Tarihoran
Br. Sirait Br. Sirait Br. Panjaitan RIDHO
Br. Marpaung Torus

15 15 15

NIKSON MICHAEL THEODORE


12
POLLUNG /
ANDAREAS

13 13
SAKHEUS MARINGAN
Br. Torus Br. Sihombing

14 14 14 14 14 14
RONI RENHART RUDIANTO RUSTAM MINTON MASRIL

12
JULIANUS
Br. Ambarita

13 13
PHILIP MANDA
Br. Torus Br. Toraja/Ambarita

14 14 14 14 14 14
MARUSAHA ALBOIN REIMON RICO BETSON / MINGGUS
Br. Torus TUNGGUL
Br. Banten
Page 53 of

OMPU BONAHUTA
55
56
12

OMPU BONAHUTA
JOSEP
Br. Dolok Saribu

13 13 13
BINDU LEVI WASINTON
Br. Sinurat Br. Siallagan

14 14 14 14 14
HOTLAS DIKOLAS NOVALDI MARIO OLIVER

Page 54
6 6
PANGARAJ
PANGARAJA I
AI
Br
Br.Torus
Torus

7 7
PARSON PARHORJA
TAHAN
Br.

8
PANGGORA
Br. Marpaung

9 9
RJ. OMP.
ONGKAT BANGGAL
Br. Gurning

10 10
PANGARAJ OMP.
A II / SULAM
PINTABOLO Br. Torus

11 11 11
RJ. UPIR AMA PANGOLAM
Br. Hutagaol SULAM Br. Marpaung

12 12 12 12 12
RJ. USIA
Br. Torus KRISTIAN BANGGAL JAIRUS DINGIN

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
ISAK SAMUEL GAY US MANGASA TOMBAK BISARA HASUDUNG PARDO NGOLU MARULAK
Br. Torus Br. Torus S A U L ( †) Br. AN MOAN
Nainggolan

14 14 14 14 14 14 14 14
PATANE MARO MANANG TULUS TOMBAK JUARA MARUHUM NURDIN
Br. Jawa JAHAN GAK Br. Damanik Br Purba Br. Dolok Br. Manulang Br.
Br. Ritonga saribu Hutahuruk

15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
SAPTIADI FAJAR DAVID JANSEN RINALDI ALEXANDE JANNES NATANAEL IHLEN RIO
R YESEKIEL KRISTIAN

OMPU BONAHUTA
57
7
PARHORJA

58
Di Pabargasan
Narumambing

8
PANAULUSU

OMPU BONAHUTA
9
OMP. SOGAR

10

PANAIL

11 11
SAINGIT PHILEMON/IR
Br. Torus IAS
BR. SINAGA

12 12 12 12 12 12
PAULUS POLTAK JONATHAN FERDERIK
Br Torus ** Br. Banten Br. Betawi Br. Toru s ** LODEWIYK KRISTOF

13 13 13 13 13 3 Boru 13 13 13
MARLON ALEX LUCKY JEFRI ADITYA 1. Maria RAINAD STEVEN ADEK
Br. Sianturi Br. Betawi 2. Yenny
3. Kristin
6 6
RJ.
RJ. MINAL
MINAL

7
RJ.
LIPAN

8
RJ.
NAING

9
OMP.
SAIMI

10
OMP.
PANANG
KUKUH

11 11 11
AMA RJ
BUNTU LIPAN DAUD

12 12 12 12 12
ALONG PHILI JOHA
PUS LEMAN NES JOSEP

13 13 13 13 13 13 13 13
SUMIHAR MANGA MATO
/ TIHAR ALPE LIPAN
TAR REGUEL JANSEN NDANG RIS ABIDEN ( II )

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
PARNIN ROMU JEPER
GOTAN NOR MINAL RISTON LUS NIMROT ROBIN HENDRI MARKUS RAFLES DESMON ALBERT SAHAT SON THOMAS ROY
MAN

OMPU BONAHUTA
15 15 15 15 15
LEO WARIS

59
HOBBIN PASU CARLOS NARDO MAN
6
6
RAJA MARGANSIP
RJ. MARGANSIP
Sosor Dolok
Sosor Dolok

7 7
TUAN JOBAR OMP. TAGURGUR

8
DATU RONGGUR

9 9 9
OMP. PARIAMA OMP. PANTANG (†) OMP. TAGURGUR II

10 10 10 10
OMP. PATAR DATUAN DIRUMAH PARDOLON OMP. PARUARAR

11 11 11
RJ. MANGIRING OMP. SABA OMP. LAMBOK

12 12 12 12
OMP PARDOLON INGOT EGA JUNGING

13
YUSUF

14
OMP. BINTANG

15 15
TALEBAN PETAL

16 16
LUTHER KALFIN

17
PANTAS

18 18 18 18 18 18 18 18
MANGATUR DARMAN MARTAHAN BUDI HARJONO RONI NGIDUN CHRISTOPER
12
12 INGOT
INGOT

13 13 13
OMP DANIEL JONA
HUMBIL THAN

14 14 14 14 14
NAHOR HENOK JAPET BONI JOHANN
ES

15 15 15 15 15 15 15 15 15
HUMBIL BISMAR SAMPU KALEP TAKKAS MANG TOGU MARING KRIS
ARA IRING AN TIAN

16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16
HUMALA MANUN REKINAL R. TULUS JANUAR AGUS PARU RANTO JOSUA JHONSON PATUAN FERNAN GOKLAS ROSMAN TOGI MARISI
TUN TINUS LIAN DOS

17 17 17 17 17 17 17 17 17
ROLAND REYMOND CHARLES PIERE MAMPE SORI SUPARDI FRENG JANIARA
CANE ROLEN JECO CORNEL TUA AMAN KY
SIUS SIUS NIAH

18 18
CARLOS MARTIN
D

OMPU BONAHUTA
Page 59 of 112

61
62
12
12 EGA
EGA

OMPU BONAHUTA
13
PAND
ATIK

14 14 14
DUHE LEBA LEN
NUS TEM

15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
UDIN JAN JAU JARIA KAS SUDIN PIR PAI PABER JAMES SAL
SEN NAR NUS MEN MAN MIN MON

16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16
MANI HAKIM ALBE OJAK RAT DAR APOL AMRI JOS ES ANTON PASU JEPRI HASIH CHAR
NGGA RT LAN WIN OS BIN MAN OLAN LES
R

17 17 17 17 17 17 17 17
FERRY BENNY AGUS MELKY PUTRA
NIXON JULKI ANDR
LEO FLI EAS
NARNO
12
12
JUNGING
JUNGING

13
OSIK

14 14
JAKOBUS JOSEP

15 15 15
ALEXANDER HALOMOAN EDI

16 16 16 16
RICARDO TOMBAK MANGASI PARLIN

Page 61 of 112

OMPU BONAHUTA
63
64
11
11 OMP.
SABA
OMP. SABA

OMPU BONAHUTA
12 12 12 12
OMP. OMP OMP. HELA
PA GURG PARIA SI
HAL UR GAOL

13 13 13 13
AMANI HALI
PAHAL
TIMB RAJA YANG
UL

14 14 14 14 14 14
AMANI MAR PILIP KA
PINAN KUS US WAL HER RAL
TER MAN

15 15 15 15 15 15 15 15 15
ISAL DARI
BUNAR ANGIN
AMM WALI RIDW OBER LUMP VIKT JAIM
AT ATER AN LIN AT OR AR

16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16
APRIL ESRON MULE ABDUL
ANTO MUST ELI MAN JHON UCOK BAHR DAR RUDI BUDI R
BINA EDI JAME MAY SUND MAR KAS
AR MAN GATA NEDY UDIN WIN MAN HAR S UR UNG DJAH MA
S AN

17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17
P.
BENNY BRAM RENOL JUAN D ANDRE
HER BOY BOBY PARM ZULK PRIY SUPRI MICH SALO HER DEDY BOR PREN HEN DANI LEO MAN MAR
MAN ONAN IIFLI ANTO ADI AEL MO MAN NOK GKY RIK EL GARA ULI
GAN
6
6 RAJA
MAM
RJ. MAMONTANG
ONTA
NG

7 7
Omp. R.
BALO SAND
BO AR
DE

8 8 8
A. PANG PAN
DAI
BALO KASA SOTUL
BO

9 9 9 9
Omp. Omp. Omp. Omp.
BA URAN PANG LANG
DAR GGA GIRA IT
NG

10 10 10
PANG Omp. OP
AUL TONG PARU
GO LAM
TUA

11 11 11
JALA LI A.
TING TONG
GO
TUA

12 12 12 12 12
NGO AM SAIB GO BI
LU AN UN RA ONG

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
TOGA BAHR SINDI RUSM RONI MIDI JOHI TUMP HARI FREN ANTO HEND LEPIS PIAT BOY KRIS WAL PIN KAP BER RU PARD KA OS
P UM K AN AN RUN AK S KY NI RA TON OR NO TER TAR NER LIN DOLF AME S CAR
AN DAN

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
BAHT HOT POS JUNI MA HO ROBI LODE MARI HEN THA RAM HIS SA ROBE GAR
IAR MAN MA RISI RAS NSON WYK HOT DRI MRIN LI AR HAT RT OGA

OMPU BONAHUTA
15 15 15
WILI JIM BONA
AM MY HUTA

65
Page 63 of 112
66
7
7
RJ. SANDAR
R
SAN
DEBATA
DAR
DEB

8 8 8
R.O OP. PAR
TOG RJ OHO
ABO JUNJ L

OMPU BONAHUTA
LON UNG

9 9 9 9
OP OP. OP OP
SUN JONI BAJ PAIN
GKU OGA SAR
NAN T

10 10 10 10 10 10 10
PAN PAR OP. PAR PAR BAN OP
ALIB UAN GAN ANT HON GA ROD
UNG GAN I OAL OG WAN ANG

11 11 11 11 11
AMA AMA A.M UTI USIS
NI NI ART (A. A
SAB LIBU AIS MAN
UNG NG GA

12 12 12 12 12 12 12
SAM RJ. BAL GIDI NAN RAM PET
UEL RUSI A ON TI PA ER
A

13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
KUA TAH RAN SLA MAL PUR PARI GOD DER ASA MAN IMB LAN TAH SAU TUA SAB SAB LOM
T AN TO MAT A ASA AMA ANG ICK L AMB ANG SIUS I T AR AM O
UAL

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
BIS MUL PAT THO FERI ROY BIST SAN PAR DON JUNI ZUL JHO MAN MAR EDI MID GUN HAR PINT PIKS HIS EDI MAR REZ RIC RID DAN IRV POL CHA MAR DAU ANT SUN JON JON JON
MAN ER UAN MSO AND POL ON TO MEN AL MAR KIF NSO AHA TAH IAN TUR APA AR ON AR ULA A KY WAN IEL AN TAK RLE ULI LAT ONI GKU NER FRE RUD
N I TAK LON LY N N AN N K S NAN DDY I

15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
RIZ ILH HID KEV AND POL ASB WIL RAJ TOG RON ZOL BENI KRIS FELI TIM
KY AM AYA IN I ARIS ON LI A I I A TO TIA X OTY
T N

Page 64 of 112
OMPU BONAHUTA 67
68
12
12
LEVI
LEVI
(A.
(A.LINTONG)
LINTONG)

13
LINTONG
(KENAN)

OMPU BONAHUTA
14 14
KAUNER ALIMAN

15 15 15 15 15
HOLMES HIMLER ALBEN ASNAR ARMONI

12 12
JOSIA
JOSIA

13 13 13 13
JEMBENG MONANG GERMAN KARMEL

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
TIMBUL JONNY LASMAN PARANCIS MIDUK GOTLAS BACHTIAR BUNGARA BONAR JUTINUS ALEKSAN JOHANNE REISTON HARDI LISTON HARIS WELINGT HENRY
N DER S ON

Page 66 of 112
12
12 ST. MARTIN
ST. MARTIN (O.(O. LINDANG)
LINDANG)
Br
Br. Sirait
Sirait)

13 13 13
MIDIAN SIRUS AMANDUS

14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14 14

PARLIND WILSON TOGAP KARTOLO UNPONO TIMRET MANUEL POSMAN MASTOR ALBERT HOTLAN LUHUT TUNGGUL HOTMAN/ RUSTAM/ JHINSON/
UNGAN ERIKSON ARIFIN ESEKIEL

12
12
ST. JORAM
ST. JORAM
Br Sibuea
Br.Sibuea

13 13 13
M. LUDIN PARTANO SAIDI
Br Marpaung Br. Ambarita

14 14 14 14 14 14 14 14 14
ULISANT / TONY ROBERT
Br Jawa Br. Torus BERNANDO JHONSON NOUTEN BORNOK GUGUN GORDANL ION

OMPU BONAHUTA
Page 67 of 112

69
70
12
12
ARCHINIUS 1212
ARCHINIUS WILIAM (UKUR)
Sinurat WILIAM (UKUR)
Br
Br.Sinurat

13 13 13
HENERY TOGAR HORAS

OMPU BONAHUTA
14 14 14 14 14 14 14 14 14 14
SAUT HENRY VICTOR LUDIN RJ. HERMAN MONANG GANDA GOSEN JUBELEUM RAMSES
Br Tompul

12
12
JUNUS
JUNUS

13 13 13
BILIATER GERHAD BUSMIN

14 14 14 14 14 14 14 14
BERNARD HASIHOLAN PATAR TUNGGUL RONALD JUANG FREDDY FIRMAN

12
12
SABAM
SABAM

13 13 13 13
KASMAN SAHAT MANAOR OSDIMAN

14 14
JHONSON EDWARD

Page 68 of 112
66
PARTUPAK HODA
PARUPAK HODA
Di Lbn
Di Lbn.Napittu
Napitu

7
Omp. SOHUTURON

8
A. SOHUTURON

9
A. DUNGGAR

10
PANUHOR

11
PANGUNJUN

12
PANCUNSAL

13
Omp. HURTIK

14 14
Omp. DURAMAN Omp. GITIK

15
A. GITIK

16 16
GITIK MIDIAN

OMPU BONAHUTA 71
BAB III
Asal-Usul Batak

B
atak adalah salah satu suku (etnis) di dunia, diantara ribuan suku yang
tergolong tua dan berperadaban tinggi. Nama sukunya sama dengan nama
“negerinya yakni batak. Jauh sebelum masuknya orang luar, seperti kedatangan
orang-orang yang menyebarkan agama islam, dan agama kristen serta berlangsungnya
penjajahan Belanda dan Jepang ke “Tano Batak” suku ini sudah ada dan eksis sebagai
bangso ( bangsa) yang beradab, disebut “ Bangso Batak”. Bahkan keberadaannya pun
tampak sudah diketahui oleh bangsa-bangsa lain, seperti bangsa Inggris, Belanda,
Amerika Serikat dan Jerman.
Fakta itu terlihat, dimana pada tahun 1824 dua misionaris Babtis asal Ingris yaitu
Richard Burton dan Nathanael Ward sudah datang ke Tano Batak ( Sibolga). Tujuannya
untuk melihat lebih dekat bagaimana keadaban bangso batak ini. Dari sana kedua
misioner itu selama 3 hari lamanya berjalan kaki menuju pedalaman, hingga tiba
di daerah Silindung. Di daerah ini mereka selama 2 minggu melakukan observasi
kehidupan sosial-adat-budaya batak.
Sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1834 kegiatan Burton dan Ward diikuti
oleh kedatangan Hanry dan Samuel Munson. Mereka adalah penugasan Dewan
Komisaris Amerika Serikat untuk misi luar negeri. Lalu pada tahun 1850 Dewan Injili
Belanda menugaskan Herman Neubruner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata
bahasa dan kamus bahasa Batak-Belanda. Tujuannya adalah untuk memudahkan misi-
misi kelompok kristen Belanda dan Jerman untuk berbicara dengan masyarakat batak
Toba dan Simalungun dengan tujuan untuk melakukan pengkristenan masyarakat
batak. ( Budaya batak, Wipedia, Bahasa Indonesia, 2012).
Kemudian menyusul lagi misioner Dr. Lodewig Inggwer Nomensen asal Jerman.
Ompu jemaat Huria Kristen Batak Protestan ( HKBP) yang pertama ini datang ke tanah
Batak melalui Padang Sumater Barat dan tiba di Silindung Tapanuli pada tahun 1861.
Disana ia memulai misi penginjilan untuk masyarakat batak, hingga meninggal dan
dikebumikan di Sigumpar, Porsea. Toba.
Apa yang terungkap dari kedatangan dan aktivitas para misioner sebagaimana
di uraikan di atas. Pertama, bahwa bangsa-bangsa lain atau minimal lembaga

72 OMPU BONAHUTA
keagamaan dari negara lain yang jauh dari “tano batak” ( tano = negeri) telah
mengetahui, adanya komunitas masyarakat batak di tano batak. Kedua, sebelum
mereka melakukan tugas dan misinya ke bangso batak, tentu telah mempunyai
rencana dan program yang jelas. Mereka bukan begitu saja datang untuk melakukan
misinya, melainkan sebelumnya telah mengumpulkan data mengenai bangso batak
yang diperoleh mereka dari benua sana. Dengan kata lain, data tentang batak telah
ada dan mereka dapati di negeri mereka.
Apa yang dapat di tunjukkan hal tersebut di atas adalah suatu pertanda, bahwa
leluhur batak bukanlah “Tantan Debata yang turun di Sianjur Mula-mula, Pusuk
Buhit” sebagaimana anggapan atau pendapat sebagian orang batak selama ini. Akan
tetapi, berdasarkan petunjuk seperti diuraikan di atas, leluhur batak itu berasal dari
suatu daerah atau kawasan tertentu di benua Asia. Entah apa sebabnya mereka
meninggalkan daerah asalnya itu, lalu berlayar menyeberangi Selat Malaka, terdampar
di pantai sumatera bagian barat, dan bermukim di suatu tempat yang kemudian
mereka namakan Tano Batak.

Asal Leluhur Batak.


Satu misteri yang belum diketahui hingga kini menyangkut asal-usul leluhur
orang batak. Entah berasal dari mana belum diketahui. Bahkan kata “batak” pun
berasal dari bahasa apa, dan apa artinya belum juga diketahui dengan jelas. Anehnya,
pemakaian kata batak itu tidak hanya digunakan oleh suku batak, tetapi juga oleh
suku lain. Contohnya di Filipina, kampung Ferdinan Marcos, mantan presiden negara
itu, menamakan kampung mereka sebagai Kampung Batak. Di negeri Filipina ada
pula satu suku Tagalog dengan perawakan yang relatip sama dengan orang batak
dan memiliki bahasa dengan banyak suku kata yang sama artinya dengan bahasa
Batak Toba. Dipulau Pinang, Penang, juga ada sebuah kampung yang bernama
Kampung Batak ( Peta Kota Penang, 2012)
Lalu dengan melihat fakta-fakta itu, timbul pertanyaan, dari manakah asal batak
itu? Mengapa ada masyarakat di daerah/negara lain yang menggunakan nama batak?
Apakah ada pertalian kerabat atau kesamaan leluhur mereka dengan leluhur batak?
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu sulit dijawab jika tidak dengan penelitian ilmiah
dan mendalam. Akan tetapi realitasnya di negeri yang disebutkan itu terdapat
kampung batak.
Menurut SHW. Sianipar, kata batak berasal dari kata tukhot yang terbuat dari
kayu batak. Kata ini terdiri dari dua suku kata yakni tuk dan hot. Tuk artinya dapat

OMPU BONAHUTA 73
atau mampu menjangkau, dan hot artinya berdiri tegak dan tidak goyah. Jadi tukhot
adalah sebuah benda berbentuk bulat panjang (lebih kurang 1,5 m) dengan ukuran
diameter tertentu yang terbuat dari kayu keras dan dapat berfungsi sebagai alat
penopang bagi seseorang yang hendak beranjak dari tempat duduknya dan/atau
pada saat berjalan kaki.
Pada zaman dahulu kala Tukhot itu diyakini sangat sakti dan digunakan oleh raja
sebagai tongkat raja, dan pada saat perang menjadi sebuah senjata pamungkas
untuk melawan musuh. Selain itu tukhot juga merupakan alat mediasi dalam rangka
menyampaikan permohonan berbagai hal seperti meminta hujan turun, menghentikan
hujan/badai, serta alat penunjuk arah jalan dan manfaat lainnya. Oleh karena itu,
benda itu senantiasa dikermatkan oleh pemiliknya dan secara teratur dimantrai
sesuai waktu dan syarat yang sudah tentukan.
Konon tukhot itu di buat dari kayu batak, dan oleh karena kesaktiannya yang begitu
daksyat, maka benda itu dinamakan tukhot sialagundi atau tukhot sisiagogo. Sayang
sekali dalam perkembangan peradaban batak kekinian, tukhot semacam itu tidak
ada lagi. Dewasa ini tukhot telah merupakan benda biasa yang digunakan orang
berusia lanjut atau orang yang mengalami cacat fisik untuk menjadi alat menopang
dirinya pada saat bangkit dari tempat duduknya dan/atau pada saat berjalan kaki.
Oleh karena itu, dengan hilangnya tukhot sialagundi dari peradaban batak, maka
kini tukhot itu tinggal nama dan diungkapkan dalam perumpamaan batak yang
berbunyi ” Martkhothon sialagundi, napinungka ni ompu sijolo-jolo tubu, ingkon
ma ihuthonon ni naumpudi. Yang artinya, sebuah kearifan lokal dalam rangka
pelaksanaan pembangunan atau kehidupan berkelanjutan tano dan bangso batak.
Menurut cerita, bahwa awal atau latar belakang pengadaan tungkot sialagundi
itu adalah sehubungan dengan kebutuhan mendesak seorang raja yang bernama
Mangaraja Burbur. Seorang raja dalam sebuah kerajaan di Asia Bagian Tengah yang
terancam diserang oleh kerajaan lain dengan kekuatan raja dan pasukan yang amat
kuat. Ancaman itu sangat menakutkan Mangaraja Burbur, sebab dipimpin oleh
seorang raja yang perkasa dan sangat sakti. Dahulu kala, jika terjadi pertempuran
antar kerajaan, maka raja dengan raja wajib memimpin langsung pertempuran. Raja
dengan raja pada akhirnya akan saling berhadapan dan menjadi penentu siapa
yang kalah dan siapa yang menang. Mangaraja Burbur menakar kemampuannya,
jika berhadapan dengan raja yang akan menyerangnya, sang raja akan kalah. Dengan
pertimbangan itu, maka ia berpikir untuk mendatangkan seorang yang kuat, sakti,
perkasa, dan bersedia memimpin pertempuran untuk menghadapi raja atau panglima

74 OMPU BONAHUTA
perang yang akan menyerang mereka.
Dalam rangkan itu, ia pun mengumpulkan para penasehatnya untuk mendengarkan
pendapat atau apa usul mereka. Para penasehat raja pun menanggapi permintaan
Mangaraja Burbur. Namun mereka menyampaikan pemikiran lain atau solusi yang
berbeda dengan pendapat raja. Mereka mengusulkan sebaiknya tidak mencari orang
sakti, kuat dan perkasa seperti yang diminta Mangaraja Burbur. Pertimbangannya,
bahwa kehadiran orang itu dikhawatirkan bisa menjadi masalah dikemudian hari.
Kekhawatiran itu terkait dengan loyalitas, dimana setelah memimpin peperangan
dan memenangkan pertempuran, bisa-bisa orang itu akan mengambil alih kerajaan.
Atas dasar pertimbangan itu, maka penasehat raja menyampaikan usulan lebih
baik membuat senjata sakti yang terbuat dari bahan kayu batak. Senjata sakti itu
dinamakan tukhot Sialagundi atau Sisiagogo.
Tongkat itu terbuat dari kayu keras yang bernama kayu/pohon batak. Melalui
proses tertentu diyakini benda itu amat sakti dan mampu menjadi sejata pamungkas
raja untuk melumpuhkan siapa saja yang hendak menyerang Mangaraja Burbur.
Persoalannya kayu batak itu tidak ada di daerah kerajaan Mangaraja Burbur. Kayu
itu hanya ada di Tanah Bongaran. Suatu daerah yang letaknya terisolasi, dikelilingi
lembah dan hutan luas (dalam bahasa batak disebut harangan).
Ironisnya, daerah itu ternyata sebuah tempat pengucilan selir Mangaraja Burbur.
Dimasa lampau slir raja itu diusir dari kerajaan Mangaraja Burbur, sebab melanggar
hukum adat yakni hamil mendahului permaisuri raja. Peristiwa itu dianggap sebagai
perbuatan aib, memalukan raja, oleh karena terdapat seorang perempuan yang
konon slir raja mengandung dan akan melahirkan seorang anak raja, sedangkan
permaisuri raja belum mempunyai anak. Agar peristiwa yang dianggap aib itu tidak
merebak ke masyarakat luas, maka slir raja itu pun diusir atau ditempatkan di suatu
daerah yang kemudian bernama Tanah Bongaran.
Daerah itu masih merupakan hutan luas dan hunian binatang-binatang buas.
Maka dengan pengucilan slir raja ke tempat itu, diharapkan akan mati dimakan
binatang buas. Nyatanya tidak demikian. Ia tidak diganggu binatang buas yang ada
di daerah itu. Malah slir raja itu dengan aman melahirkan seorang laki-laki yang
kemudian diberi nama Mangaraja Bongaran. Keturunan Mangaraja Bongaran ini
terus berkembang dan menjadi komunitas masyarakat sendiri dan membentuk
suatu kerajaan baru yang dinamakan Kerajaan Bongaran.
Sesuai dengan perintah raja , maka utusannya pun berangkat menuju Tanah

OMPU BONAHUTA 75
Bongaran. Begitu sampai disana, mereka menyampaikan titah Mangaraja Burbur
kepada Kerjaan Bongaran agar menunjukkan dan memberikan apa yang disebut
dengan pohon/kayu batak. Mangaraja Burbur mengancam, jika kayu batak itu tidak
ditunjukkan atau diberikan dalam batas waktu yang ditentukan, maka Kerajaan
Bongaran akan dihancurkan dan mereka seluruhnya akan dibunuh.
Mendengar ancaman itu, mereka ketakutan, maka terus mencari kayu batak
itu keseluruh penjuru wilayah, hingga keluar wilayah Kerajaan Bongaran. Jika dalam
perjalanan ada orang yang menanyakan mereka hendak kemana dan untuk apa,
mereka senantiasa menjawab sedang mencari pohon batak. Dengan jawaban yang
terus seperti itu, maka akhirnya mereka dinamakan orang-orang batak.
Mangaraja Bongaran mempunyai tiga anak putra yang bernama Ompu Tuan
Doli, Mangara Sumba, dan Ompu Tuan Mangalas ( Sianipar, Ibid, hlm 7). Mereka
dan para kerabatnya paham sekali bagaimana bengisnya Mangaraja Burbur. Mereka
seluruhnya pasti akan dibunuh jika tidak menyerahkan kayu batak itu. Oleh karena
kayu batak itu tidak dapat ditemukan, maka mereka akhirnya memutuskan untuk
meninggalkan Tanah Bongaran.
Mendengar kepergian mereka itu, Mangaraja Burbur pun marah. Pasukannya
mengejar mereka. Rombongan Mangaraja Bongaran itu ketakutan dan terus pergi
hingga akhirnya menyeberang Selat Malaka. Mereka terkatung-katung di laut bebas
dan akhirnya terdampar atau sampai disuatu pulau yang bernama Pulau Sumatera.
Mereka terdampar di pantai bagian barat sumatera dan mendarat pada suatu bandar
yang dinamakan Barus. Nama darah itu terjadi, karena penghasil komoditi kapur
barus. Sampai sekarang ini komoditi itu merupakan andalan produksi dan komoditi
perdagangan dari daerah itu.
Pada masa lampau pelabuhan Barus itu adalah pintu gerbang ekonomi Tano
Batak. Merupakan persinggahan kapal-kapal luar negeri dan tempat pedagangan
bangsa Portugis. Pada penjajahan Belanda dan setelah Indonesia merdeka pelabuhan
itu menjadi pelabuhan “tertinggal” dan belakangan ini akhirnya kehilangan sejarah.
Pelabuhan dan atau kota yang dikembangkan berikutnya adalah pelabuhan atau
kota Sibolga. Walau pelabuhan ini secara tekni-nautis sulit untuk dikembangkan,
akan tetapi oleh karena kepentingan politik dan strategi penjajahan Belanda pada
Tano Batak, dan sejalan dengan pengembangan Sibolga jadi ibukota Keresidenan
Tapanuli, maka pelabuhan inilah yang dikembangkan. Pemerintah Indonesia, rupanya
meneruskan konsep pembangunan kepelabuhan yang dilakukan Belanda itu , maka
akhirnya Tano Batak sampai dengan sekarang ini dari sisi trasportasi laut menjadi

76 OMPU BONAHUTA
suatu daerah “tertutup”.
Pelabuhan Barus yang dahulu kala adalah pintu gerbang ekonomi tanah batak, kini
tinggal menjadi sebuah sejarah yang terlupakan dan tano batak hanya mengandalkan
jalan darat menuju Pelabuhan Belawan. Pelabuhan Sibolga sampai saat ini tetap saja
menjadi pelabuhan lokal dan sulit dikembangkan sebab berada pada posisi pantai
dengan keadaan laut terbuka dan ombak sangat besar.

Batak, Lampung dan Toraja.


Terdapat pendapat, bahwa suku Batak, suku Lampung, dan suku Toraja adalah
tiga suku dengan leluhur yang sama. Konon, leluhur ketiga suku ini adalah turunan
dari Mangaraja Bongaran. Mereka datang melalui perjalanan dengan pelayaran
perahu/kapal seperti yang diungkapkan di atas.
Dalam kisah pejalanan mereka, kerabat anak sulung memilih bandar persinggahan
pertama yang dinamakan kemudian Tano Batak. Daerah itu kini meliputi dengan
nama daerah Humbang, Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah hingga
sekitar Gunung Toba yang dewasa ini terdiri dari Tapanuli Utara, Toba, Samosir,
Dairi, Phakpak, Karo, dan Simalungun. Di daerah inilah terdapat pohon haminjon (
kemenyan), buah jeruk yang bernama unte Jungga dan andaliman (rempah-rempah)
yang tidak ada di nusantara ini. Tumbuhan atau komoditi itu diperkirakan merupakan
tumbuhan atau komoditi yang berasal dari Tanah Bonggaran yang di usung oleh
rombongan mereka pada waktu berangkat dari daerah asalnya Asia Bagian Tengah.
Kerabat anak nomor dua dan tiga ( bungsu) tidak ikut bermukim di Tano Batak .
Mereka meneruskan pelayaran kapalnya hingga menemukan bandar atau daratan
kosong ( belum dihuni manusia) dinamai Bandar Lampung. Nama ini berasal dari kata
lampung artinya kosong. Dalam bahasa Batak Toba kata lampung adalah lapung
yang artinya sama yaitu “ kosong”. Sampai sekarang kedua suku ini, satu dengan
yang lain senantiasa mengakui adanya hubungan kekerabatan. Suku Lampung,
dan termasuk suku Komering di Sumatera Selatan selalu memandang suku Batak
ebagai “saudara tua ”.
Sedangkan kelompok kerabat si bungsu terus melanjutkan perjalanan dan sampai
ke pantai Makasar, Pulau Sulawesi, lalu menyusuri pedalaman dan menemukan
pemukiman yang kemudian dinamai Tano Toraja. Kata “tano” artinya tanah. Sama
artinya dengan bahasa Batak Toba. Kesamaan antara suku Batak dengan suku Toraja
itu juga terlihat dari adat dan budaya serta hasil karya budayanya yang banyak
kesamaan. Dalam hal adat, misalnya ritual untuk adat kematian orang yang sudah

OMPU BONAHUTA 77
ketegori tua ( Bahasa Batak Toba disebut : Sari Matua, Saur Matua, Maulibulung)
memiliki kesamaan. Bentuk rumah juga relatip sama , dengan bentuk atau konstruksi
seperti gambar berikut ini.

Gambar Ruma (Rumah) Batak Gambar Ruma (rumah) Toraja

Bahkan mengenai silsilah (tarombo) dan marga pun demikian. Misalnya dalam
hal marga, di Batak Toba dikenal dengan marga Manurung, Tobing dan Parapat.
Masing-masing marga itu di Toraja disebut Manurun, Toding, dan Parapak. Dalam
hal bahasa juga banyak suku kata yang sama, seperti kata mandar yang dalam bahasa
batak artinya sarung. Nama itu di Toraja sebagai nama kampung/kota. Kesamaan-
kesamaan yang lain masih banyak lagi dan belum diungkapkan dalam tulisan ini.
Dengan melihat pendapat-pendapat seperti diungkapkan di atas, maka pandangan
yang mengatakan leluhur batak berasal dari negeri jauh atau dari Benua Asia dan
terdampar di pantai Sumatera Bagian Barat tampaknya mendekati kebenaran. Yang
mengatakan berasal dari Sianjur Mula-mula, Pusuk Buhit Samosir dan apalagi turun
dari Banua Ginjang ( Langit), tampak merupakan pendapat yang tida masuk akal.
Pendapat itu muncul, kemungkinan dilatar belakangi keadaan suku batak yang belum
menganut agama kristen, atau islam. Masih menganut kepercayaan dan relegi tentang
Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya
terwujud dalam Debata Na Tolu. ( Budaya Batak, Wipedia, Bahasa Indoneia, 2012).

Peradaban Batak.
Jika memperhatikan adat, budaya, hasil karya dan filosofi Dalihan Natolu,
tampak jelas, bahwa suku ini sangat berperadaban tinggi. Adanya hasil karya budaya
antara lain seperti : (i) Ruma (rumah) Batak atau yang disebut Sibaganding Tua.(ii)
Berbagai ragam dan jenis Ulos Batak (iii) Ogung Sabangunan, Uning-Uningan, dan

78 OMPU BONAHUTA
Tortor Batak. (iv) Askara dan Tulisan Batak . (v) Sisilah atau Tarombo (vi) Pengaturan
wilayah teritorial yang meliputi Huta, Lumban, Sosor, Banjar, Bius. (vii) Filosofi
dan sistem kemasyarakatan yang oleh Batak Toba dan Batak Mandailing menyebut
Dalihan Natoli dan oleh Batak Simalungun menyebut Tolu Sahundulan serta oleh
Batak Karo menyebutnya dengan Ruhut Sitelu yang masing-masing artinya: “
Hormat marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu”, membuktikan
betapa tingginya peradapan batak.
Dengan peradabannya yang tinggi itu, maka suku ini telah memposisikan diri
sebagai suatu bangsa ( bangso) dengan melengkapi syarat-syarat yang diperlukan
yaitu : (i) Satu tanah air yaitu Tano Batak; (ii) Mempunyai sejumlah penduduk yang
beradat dan berbudaya relatip sama (iii) Mempunyai bahasa batak; (iv) Mempunyai
askara dan tulisan batak; (v) Mempunyai lagu kebangsaan yakni “O ....Tano Batak.
(vi) Mempunyai falsafah kehidupan sosial, politik, yakni Dalihan Natolu sebagaimana
dijelaskan di atas. Dengan melihat semua petunjuk itu, maka bangsa ini jauh
sebelum menjadi bangsa dan negara Indonesia dalam bentuk negara kesatuan
republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, tampak sudah ” mumpuni”
dan menyiapkan diri menjadi suatu negara- bangsa yang berdaulat yang dinamakan
“Bangso Batak”, dengan tanah air “Tano Batak”.

Penduduk.
Jumlah penduduk batak saat ini adalah sejumlah sekitar 8 juta jiwa. Jumlah itu
relatip sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk suku-suku lain di Indonesia
seperti suku Jawa dan suku Sunda. Bahkan lebih sedikit dibanding dengan jumlah
penduduk China di Indonesia yang kini telah mencapai 7 persen dari 236,4 juta
penduduk Indonesia atau sekitar 16,55 juta jiwa.
Lambatnya pertumbuhan penduduk batak seperti diungkapkan di atas, tentu
saja dapat dipahami. Dalam perjalanan sejarahnya, batak mengalami peristiwa atau
musibah besar yang menghancurkan alam dan penduduknya. Peristiwa itu antara
lain dengan meletusnya Gunung Toba pada tahun 200-300 SM. Meletusnya gunung
Toba ini meluluh lantakkan hampir seluruh tanah batak dan menyebabkan banyak
sekali penduduk meninggal dunia (SHW Sianipar. DL, Tuho Parngoluan Dalihan Natolu
Sistem Bermasyarakat Bangso Batak, 1991). Barang kali dengan latar belakang
peristiwa inilah, maka orang batak senatiasa mendambakan dan mendoakan
hendaknya mempunyai anak yang banyak. Harapan itu senantiasa diungkapkan
dalam setiap pernikahan orang batak yang dalam perumpamaan batak disebutkan :
“ Naung sampuli pitu jumadi sampulu ualu, maranak sapulu pitu, marboru sampulu

OMPU BONAHUTA 79
ualu” ( mempunyai putra tujuh belas dan putri delapan belas).
Peristiwa besar lain yang dialami bangsa batak adalah terkait dengan serangan
Paderi dari Sumatera Barat pada tahun 1886-1887. Serangan yang amat kejam ini
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Dengan berkedok penyebaran
agama islam, mereka bersama pasukannya melakukan pembunuhan, memancung
atau memutilasi orang batak, membakar kampung dan rumah, menjarah harta,
memperkosa, menjual kaum perempuan untuk dijadikan budak ( Basyral Harahap,
Gereget Tuanku Rao , 2007). Pembunuhan, pembakaran kampung dan penjarahan
harta yang dilakukan itu, tidak pandang bulu, termasuk pada orang batak yang
beragama islam. Itulah sebabnya penyerangan itu disebutkan sebagai kedok atau
alasan penyebaran agama islam, tetapi sesungguhnya adalah suatu penjajahan dengan
pembantaian masyarakat batak secar tidak berperikemanusiaan.
Dalam peperangan itu banyak sekali orang batak dibunuh dan juga meninggal
akibat penyakit kolera. Suatu penyakit yang dikala itu dinamakan orang batak sebagai
“penyakit begunurnur”-, sebab pada zaman itu belum bisa diketahui mengenai
penyakit apa, dan tidak bisa diobati, sehingga begitu banyak manusia dan bangkai
binatang yang mati dan berserakan di mana-mana, maka penyakit itu terus mewabah
dan menyebabkan sangat banyak penduduk meninggal dunia.
Peperangan itu memang berlangsung relatip singkat, tidak mencapai dua tahun.
Akan tetapi akibat yang ditimbulkannya begitu mengerikan, dimana hampir setengah
penduduk batak meninggal dunia. Jika saja pasukan Paderi itu tidak cepat dilumpuhkan
oleh pasukan Belanda dan Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Padang Lawas,
serta Tuanku Imam Bonjol ditangkap tentara Belanda (Kapten Steinmis dan Letnan
Arbacht), lalu diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon, hingga meninggal di Menado
( Basyral Hamidy Harahap, Ibid hlm102), maka penyerangan Paderi tersebut akan
terus berlanjut dan pembunuhan orang batak akan lebih banyak lagi.
Kedua peristiwa batak yang disebutkan di atas begitu dakasyat dan mengerikan,
sehingga zaman itu disebut sebagai “tingki hagolapon parjolo dan tinggki hagolapan
paduahon (zaman kegelapan pertama dan kedua) dan menghambat pertumbuhan
penduduk batak.

Lingkup Tano Batak.


Pada zaman dahulu yang dimaksud dengan Tano Batak tampaknya tidak dalam
batas-batas wilayah seperti kabupaten dan kota sesuai ketentuan admintrasi negara
yang ditetapkan pemerintah Indonesia seperti saat ini. SHW Sianipar dalam bukunya

80 OMPU BONAHUTA
mengatakan Tano Batak adalah seluruh wilayah yang dihuni keturunan tiga anak
Mangaraja Bongaran yaitu Ompu Tuan Doli, Mangaraja Sumba, dan Ompu Tuan
Mangalas. Menurutnya wilayah itu jika dipetakan saat ini, meliputi daerah : Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi. ( SHW Sianipar, ibid ).
Akan tetapi kebenaran itu tentunya patut diuji dengan penelitian yang seksama
sebab faktanya di setiap daerah itu mempunyai penduduk asli yang bukan suku
batak.Manurut data ( Arisananta,Tahun 2000) , di Aceh penduduk aslinya adalah
suku Aceh, suku Gayo Lut, suku Gayo Luwes, suku Alas, suku Singkil, suku Simeuleu.
Masyarakat batak yang bermukim di daerah itu hanya sekitar 39.146 jiwa atau sebesar
2,26 persen dari total penduduk daerah itu.
Sedangkan di Sumatera Barat, penduduk aslinya adalah Minangkabau. Jumlah
masyarakat batak yang bermukim disana hanya 4,42 persen dari jumlah penduduk
daerah itu. Sementara itu, di Riau jumlah masyarakat batak yang menetap bermukim
disana hanya sebesar 7,31 persen dari jumlah penduduk daerah itu. Sedangkan di
Jambi dengan jumlah penduduk sebanyak 2.405.378 jiwa, lebih dominan dihuni
masyarakat Melayu, Kerinci, Minangkabau, dan Banjar. Dengan mengacu pada
data kependudukan tersebut, maka tampak jelas, bahwa masyarakat batak di tiap
daerah itu merupakan suku minoritas. Bahkan di Jambi, orang batak hampir tak
masuk hitungan statistik.( Aris Ananta, dkk, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama,
Dalam Era Perubahan Politik, LP 3 ES, 2003).
Dengan demikian, daerah batak seperti yang disebutkan Sianipar tersebut di atas
tampaknya tidak relevan sebagai tano batak, kecuali daerah sebagian Sumatera Utara
dimana saat ini seluas 51 persen merupakan daerah pemukiman komunitas batak.
Sementara itu terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa Tano Batak
adalah meliputi tiga daerah yaitu : (1) Wilayah Selatan dan Barat Daya Danau Toba.
Daerah itu dinamakan Toba. Belanda menyebutnya sebagai pusat tanah batak
(Centraal Batak Land). (2) Daerah di sebelah Barat Laut Danau Toba. Daerah ini adalah
dataran dan lereng-lereng gunung yang menjorok ke arah Danau Toba. Disana,
kini bermukim Batak Karo dan Batak Simalungun. (3) Daerah Angkola, dan Padang
Lawas, berbatasan dengan daerah Sumatera Barat. ( Lance Castles, The Political Life
of A Sumantran Residency : Tapanuli 1915-1940.Tahun 1972). Gambaran daerah
batak dimaksud dapat dilihat seperti tertera dalam peta berikut ini :

OMPU BONAHUTA 81
Sumber : Prof. Dr Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, 1981

Jika di amati, apa yang dikatakan Castles tersebut menunjukkan tano batak
cenderung menurut presfektif paska meletusnya Gunung Toba. Letusan Gunung
Toba itu begitu daksyat. Menurut para ahli terjadinya Danau Toba adalah akibat
meletusnya gunung Toba itu. Dengan meletus gunung Toba itu, maka Tano Batak
berubah seperti keadaan dalam peta wilayah tersebut di atas.

82 OMPU BONAHUTA
Bab IV
Dalihan Natolu
Karya Budaya Yang Menakjubkan

M
anusia hidup menurut suatu budaya yang serasi baginya, yang pada
gilirannya menciptakan suatu kaitan antar manusia yang serasi pula
bagi mereka. Dengan budaya, manusia selaku manusia menjadi lebih
berada ( to have more) dan tumbuh lebih luhur ( to be more) ( Daoed Joesoef,
Kompas, 19 Mei 2012). Demikian pula Batak. Suku yang sejak dahulu kala telah
memposisikan diri sebagai “bangso” ini menjadi lebih berada dan tumbuh lebih
luhur berkat adanya suatu adat dan budaya yang beranjak dari filosofi Dalihan
Natolu.
Dalihan natolu adalah suatu sistem budaya yang diciptakan oleh leluhur batak
berdasarkan pengalaman historisnya, dan kemudian bertumbuh dan serasi bagi
kehidupan sosial dan adat masyarakat batak. Dengan sistem itulah sejak dahulu
sampai kini kehidupan masyarakat batak, baik antara individu , maupun antar
kelompok kerabat atau antar hula-hula, dengan boru dan dongan tubu melakukan
interaksi sosial-adat yang saling terkait, saling mengasihi, dan saling membutuhkan
menuju masyarakat yang beradab.
Dalihan Natolu adalah sebuah ideologi dan sebuah sistem. Sebagai ideologi,
ia merupakan cita-cita yang luhur bagi masyarakat batak. Sedangkan sebagai suatu
sistem, maka dalihan natolu merupakan tiga unsur ( subsistem) yang saling terkait
dan saling melengkapi. Tiga unsur itu ialah pertama, kelompok kerabat pemberi
gadis yang menurut bahasa Puak Toba disebut Hula-hula, dan puak Angkola dan
Mandailing disebut Mora, dan bahasa puak Karo disebut Kalimbubu, sedangkan
bahasa puak Simalungun disebut Todong. Unsur kedua adalah kelompok kerabat
penerima gadis yang dalam bahasa Toba, Angkola, dan Mandailing disebut Paranak,
dalam bahasa Karo disebut Anak beru dan dalam bahasa Simalungun disebut
Anak boru. Unsur ketiga adalah kelompok kerabat semarga , dalam bahasa puak
Toba disebut Dongan tubu atau dongan sabutuha, atau Kahanggi dalam bahasa
Angkola dan Mandailing, dan Senina dalam bahasa Karo, serta Sanina dalam
bahasa Simalungun ( Koentjaraningrat, Ibid, hlm 109)

OMPU BONAHUTA 83
Untuk jelasnya ketiga kelompok kerabat dalam sistem dalihan natolu
sebagaimana diuraikan di atas adalah seperti tabel berikut ini:

UNSUR-UNSUR DALIHAN NATOLU DALAM SETIAP PUAK BATAK

Puak Subsistem 1: Subsistem 2 : Subsistem 3:


Semarga Marga asal istri, Marga asal yang
ibu, nenek, dst. mengambil
adek/kakak
perempuan dari
diri sendiri,ayah,
kakek dst.
Batak Toba Dongan Tubu Hula-hula Boru
Batak Mandiling Kahanggi Mora Boru
Batak Sanina Tondong Boru
Simalungun
Batak Karo Sembuyak/Senima Kalimbubu Berru
Batak Pakpak Sabeltek Kula-kula Berru

Sumber : Doangsa PL. Situmeang, Dalihan Natolu, Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak
Sumber : Doangsa PL. Situmeang, Dalihan Natolu, Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, 2007.
Toba, 2007.

Unsur Hula-hula
Unsur ( horong
Hula-hula ni hula-hula)
( horong adalah adalah
ni hula-hula) meliputi meliputi
: Hula-hula tangkas, Hula-hula
: Hula-hula tangkas,
namarhaha maranggi, Hula-hula anak manjae. Di atas level hula-hula dinamakan Tulang,
Hula-hula namarhaha maranggi, Hula-hula anak manjae. Di atas level hula-hula
Bona tulang, Bona ni ari, dan Matani ari binsar.
dinamakan Tulang, Bona tulang, Bona ni ari, dan Matani ari binsar.
Sedangkan unsur Boru, adalah meliputi : (1) Amang Boru yaitu marga yang mengambil
Sedangkan
kakak/adek unsur ayah.
perempuan Boru, (2)
adalah meliputi
Hela yaitu : (1)laki-laki
mantu Amang( Boru
suamiyaitu
dari marga
putri ) yang
kita
mengambil kakak/adek
sendiri. (3) Boru naposo, perempuan
yaitu marga ayah.
yang (2) Hela yaitu
mengambil mantu
putri kita laki-laki
. (4) Boru( suami dari
natua-tua
yaitu )marga
putri yang mengambil
kita sendiri. (3) Borukakak/adek kakek.
naposo, yaitu Disebut
marga borumengambil
yang natua-tua sebab
putrimereka
kita .
sudah
(4) Boruberada di atas yaitu
natua-tua level namboro/amang boru.
marga yang mengambil kakak/adek kakek. Disebut boru
natua-tua
Sedangkan, sebab mereka
jika suatu margasudah berada dalam
berturut-turut di atasbeberapa
level namboro/amang boru.
generasi mengambil istri dari
marga tertentu, misalnya marga Tambun yang mengambil istri Pinta Haomasan boru
Sedangkan, jika suatu marga berturut-turut dalam beberapa generasi mengambil
Manurung ( putri Toga Manurung), lalu lima generasi berikutnya berturut-turut
istri dari marga
mengambil tertentu, dan
boru Manurung misalnya marga
hal yang Tambun
relatip sama yang
yaitu mengambil istri Pinta
Raja Turi (Simatupang
Haomasan borumengambil
Sianturi) yang Manurungistri( putri Toga
Anian Manurung),
Nauli br Manurung lalu( putri
limaToga
generasi berikutnya
Manurung) dan
tiga generasi berikutnya
berturut-turut mengambil berturut-turut
boru Manurung mengambil
dan halboru
yangManurung,
relatip sama maka kepada
yaitu Raja
keturunan mereka dikategorikan sebagai ianangkon ( menjadi seperti anak kandung)
Turi (Simatupang Sianturi) yang mengambil istri Anian Nauli br Manurung
Manurung. Dengan kejadian kekerabatan seperti ini, maka baik Tambun (an)- bahkan
( putri
Toga
semuaManurung) dan tiga
keturunan Silahi generasi
Sabungan- dan berikutnya
Sianturi akanberturut-turut
selalu memanggilmengambil boru
paman (tulang)
Manurung,
kepada margamaka kepadaSebaliknya
Manurung. keturunan mereka
marga dikategorikan
Manurung akan selalusebagai ianangkon
memanggil Amang (
Boru kepada
menjadi Silahi
seperti anakSabungan
kandung)dan Manurung.
kepada Sianturi.
DenganKeadaan seperti
kejadian ini juga adaseperti
kekerabatan pada
marga-marga lain dalam masyarakat batak.
ini, maka baik Tambun (an)- bahkan semua keturunan Silahi Sabungan- dan Sianturi
Unsur ketiga dalam Dalihan Natolu adalah Dongan tubu. Kelompok kerabat ini adalah
kerabat yang semarga. Dalam kekerabatan ini orang batak menghitung hubungan
keturunan secara patrilineal. Artinya satu kelompok kerabat dihitung atas dasar satu
84keluarga (saripe), satu ayah (saama), satu nenek moyang (saompu) (Koentjaraningrat,
OMPU BONAHUTA
Ibid, hlm 106).
akan selalu memanggil paman (tulang) kepada marga Manurung. Sebaliknya marga
Manurung akan selalu memanggil Amang Boru kepada Silahi Sabungan dan kepada
Sianturi. Keadaan seperti ini juga ada pada marga-marga lain dalam masyarakat
batak.
Unsur ketiga dalam Dalihan Natolu adalah Dongan tubu. Kelompok kerabat
ini adalah kerabat yang semarga. Dalam kekerabatan ini orang batak menghitung
hubungan keturunan secara patrilineal. Artinya satu kelompok kerabat dihitung
atas dasar satu keluarga (saripe), satu ayah (saama), satu nenek moyang (saompu)
(Koentjaraningrat, Ibid, hlm 106).
Saompu adalah kelompok kerabat yang disebut klen kecil ( minimal clan). Jika
telah berpuluh klen dalam satu marga, maka disebut dongan tubu. Dengan demikian
kelompok kerabat semarga ini dapat dibagi dua kelompok. Kelompok semarga
dalam minimal klen (semarga yang masih kerabat dekat) dikategorikan sebagai
kerabat namarhaha-maranggi. Jika sudah lebih luas dari kategori namarhaha-
maranggi, maka disebut kerabat namardongan tubu. Keseluruhan namarhaha-
maranggi dan namardongan tubu itulah tersusun dalam bentuk topologi graf
silsilah marga-marga batak sebagai berikut ini:

Gambar 2
Topologi graf silsilah marga-marga batak dengan pusat Si Radja Batak
(sumber: Situngkir, 2008).

OMPU BONAHUTA 85
Sistem Dalihan Natolu.
Sebagaiman telah disinggung dalam uraian di atas, Dalihan Natolu adalah
suatu sistem. Sebagai sitem, maka subsistem yang satu dengan subsistem yang
lain mempunyai hubungan yang saling terkait, saling menunjang , dan saling
membutuhkan untuk mencapai masyarakat yang beradat dan berbudaya. Setiap
subsistem tersebut berkedudukan sama. Layaknya seperti tungku yang berdiri
sama tinggi, dan dengan jarak yang sama. Kedudukan ketiga subsistem itu hanya
dibedakan oleh tugas dan fungsinya. Namun tujuannya adalah sama yakni untuk
mencapai kegiatan sosial dan adat tertentu untuk terselenggara dengan baik.
Salah satu keunikan dan sekaligus merupakan kelebihan nilai sistem Dalihan
Natolu adalah kedudukan tiap subsistem (unsur kelompok kekerabatan)
sebagaimana diuraikan di atas tidaklah permanen (tidak tetap), melainkan felksibel
dan bersirkulasi, sehingga seorang atau marga tertentu, dalam suatu waktu atau
dalam kegiatan adat tertentu dapat berkedudukan sebagai Hula-hula dan dapat
sebagai Boru atau Bere, atau sebaliknya Hula-hula tadi menjadi Boru dan Boru tadi
menjadi Hula-hula. Hal itu terjadi sebagai konsekwensi pernikahan yang dialami
oleh hampir semua orang, dan mengakibatkan tiap individu atau marga mengalami
sirkulasi posisi Hula-hula atau Boru, maka kedudukan itu, tergantung pada realitas
pernikahan seseorang , diri sendiri, anak, ayah dan kakek. Sehingga untuk melihat
posisi kelompok kerabat hula-hula itu adalah marga asal istri , marga asal istri anak,
marga asal ibu, dan marga asal nenek. Dalam keadaan seperti ini kelompok kerabat
diri/anak/ayah/kakek kita adalah posisi boru. Sebaliknya, jika diri/anak/ayah/kakek
dalam posisi kelompok kerabat hula-hula, maka ancuannya adalah dengan melihat
marga suami dari pada anak/adek/kakak perempuan/bibi kita. (Situngkir, Dalihan
Natolu ke Makro Sosial, 2008)

Perilaku Menurut Dalihan Natolu.


Menurut Dalihan Natolu, perilaku sosial-adat Boru terhadap Hula-hula,
Tulang, Bona tulang, Tulang robobot, Hula-hula Anak manjae, dan Hula-hula
Namarhaha-maranggi harus senantiasa hormat ( “somba marhula-hula”).
Perilaku sosial-adat batak seperti itu dilakukan, sebab terdapat pandangan
atau keyakinan batak, bahwa jika perilaku sosial-adat yang demikian dipraktikkan,
maka pihak boru akan menerima berkat (pasu-pasu) yang berlimpah dari
Tuhan. Leluhur orang batak mengamanahkan , bahwa posisi Hula-hula adalah
bak Tuhan yang kelihatan (Debata na ni ida), maka terhadap mereka senatiasa

86 OMPU BONAHUTA
harus “dihormati dan diistimewakan”. Misalnya, dalam soal tempat duduk, kepada
Hula-hula senantiasa disediakan tempat yang lebih nyaman. Tempat duduk yang
lebih nyaman itu, jika di dalam rumah dinamakan Halangulu . Sedangkan jika kalau
dalam ruang terbuka, seperti di halaman rumah atau di gedung pertemuan besar,
pemahaman nyaman itu diterjemahkan di sebelah kanan tempat duduk pihak
boru.
Posisi kedudukan hula-hula yang seperti itu, dalam perumpamaan batak
diungkapkan: ”Hula-hula, bona ni ari, tinongos ni Debata Mulajadi Nabolon.
Sisubuton doi marulak loni, sisombaon ni rim ni tahi. Nidurung ma situma, laos
dapot pora-pora. Molo mamasu-masu hula-hula, napogos hian gabe mamora.
Obuk do jambulan, na ni dadan bahen samara, pasu-pasu ni hula-hula, pitu sundut
soada mara. Artinya, : “ Hula-hula dipandang bak matahari yang memberikan energi
, dan merupakan wakil Tuhan. Mereka senantiasa dihormati, dan diharapkaan
memberkati, agar yang semula miskin menjadi kaya. Kalau hula-hula memberkati,
maka diyakini beberapa generasi boru tiada mara bahaya”.
Itulah sebabnya doa restu atau nasehat kerabat hula-hula, tulang dan
level di atasnya selalu diharapkan. Harapan doa restu kepada hula-hula itu
meliputi hagabeon (banyak keturunan), hamoraon ( kekayaan), dan hasangapon
(kehormatan).
Adanya sikap dan perilaku adat yang demikian adalah karena Hula-hula sebagai
“pemberi” istri dipandang telah nyata memberikan keturunan bagi marga boru.
Oleh karena itu, maka dalam melakukan interaksi sosial dan adat dengan Hula-hula
pantang hukumnya berkonflik, apalagi “angkat senjata” ( Doangsa PL Situmeang,
Ibid, hlm 106).
Sebaliknya perilaku sosial dan adat pihak Hula-hula kepada pihak kerabat Boru
harus mengayomi dan panjang sabar. Janganlah mentang-mentang kedudukannya
sebagai Hula-hula dan dihormati, lalu bertindak sesuka hatinya kepada pihak boru.
Dalam terminologi adat batak sikap dan tindakan yang demikian disebut “ elek
marboru”.
Harus diingat, posisi Boru dalam sitem Dalihan Natolu bukanlah sebagai
subordinasi atau berada dibawah Hula-hula. Dalam struktur dalihan natolu
sesungguhnya antara kerabat Hula-hula dengan kerabat Boru dan kerabat Dongan
tubu mempunyai posisi yang sama, hanya tugas dan fungsi yang berbeda. Kerabat
boru adalah salah satu pilar Dalihan natolu dan merupakan faktor menentukan

OMPU BONAHUTA 87
terhadap kesuksesan pelaksanaan kegiatan sosial- adat batak. Malah dalam
adat batak pihak boru ini diharapkan sebagai penyumbang materi yang disebut
“tumpak” dan atau tenaga yang disebut “gogo”. Itulah sebabnya dalam budaya
batak posisi mereka dinamakan “ raja ni boru ” dan oleh karena itu sebutan boru
sebagai “parhobas” adalah dalam rangka tugas dan fungsi dan suatu kehormatan.
Bukan dalam arti “pelayan” yang dapat disuruh-suruh begitu saja. Mengharapkan
mereka untuk melakukan tugasnya sebagai parhobas, haruslah dengan sapaan
yang hormat dan santun dengan menyebut : “raja ni parboruon nami”.
Harus di ingat, jika seorang dalam kedudukannya sebagai boru melaksanakan
tugas dan fungsinya dengan baik, maka ia akan dihormati dan di sebut sebagai “
boru paradat, jala naburju” ( boru yang baik hati dan taat adat ). Sebaliknya jika
tidak melaksanakannya dengan baik, maka akan disebut orang sombong dan tinggi
hati.
Sementara itu, perilaku sosial-adat dalam masyarakat batak yang semarga
berlaku sikap dan tindakan “manat mardongan tubu ”. Arti “manat” yakni harus
berhati-hati (arif dan bijaksana) dalam menyampaikan perkataan dan apalagi
tindakan atau perbuatan terhadap kerabat semarga. Ucapan dan tindakan dari
seseorang terhadap yang lain janganlah sampai berujung pada perselisihan
(konflik). Perbedaan pendapat tentu saja lumrah, tetapi harus senantisa diingat
jangan sampai berujung pada “keretakan hubungan sosial-adat”. Masyarakat
batak yang semarga ini sering dianalogikan bak pohon yang tumbuh berdekatan,
jika ditiup angin bisa bersentuhan atau saling bergesekan.
Dengan sikap yang “manat”(hati-hati), maka hubungan sosial akan berlangsung
dengan saling menghormati, dan tidak memposisikan diri lebih tinggi dari pada
yang lain. Hormat, dalam perkataan, dan apalagi dalam perbuatan adalah kata
kunci “manat” dimaksud. Dalam perumpamaan batak diungkapkan: “ Gala-gala si
telluk, telluk mardagul-dagul . Molo tung adong nageduk , nanget masiapul-apulan
“. Atau dalam bahasa lain diungkapkan “ It takes charakter to disagree graciously.
It takes educatiaon to figt ideas . Dibutuhkan karakter untuk menyatakan ketidak
setujuan dengan santun. Dibutuhkan pendidikan untuk melawan ide dengan
ide. Demikianlah masyarakat batak jika yang semarga (namarhaha-maranggi/
mardongan tubu) berinteraksi atau berkomunikasi.
Dalihan Natolu Bagai Trias Politika.
Telah diuraikan dalam tulisan di atas, bahwa orang batak hidup dalam sebuah
fundamen dasar yang disebut “Dalihan Natolu” dengan tiga unsur yakni Hula-

88 OMPU BONAHUTA
hula, Boru dan Dongan tubu, yang menghidupi tata mikro-sosial individu dalam
interaksinya dengan orang batak lainnya, serta mengharuskan sikap dan perbuatan
somba marhula-hula , elek marboru dan manat mardongan tubu. Tiga aturan ini
menjadi landasan tata krama, sopan santun, hingga formalitas adat istiadat suku
batak.
Mengutip pendapat Situngkir yang disampaikannya pada penulisan buku ini
mengatakan, jika dilihat dari sisi sitem politik, maka tiga unsur dalihan na tolu itu
menjadi semacam “trias politika” dalam sistem kenegaraan. Hula-hula merupakan
analogi Legislatif, Boru analogi Eksekutif dan Dongan Tubu adalah analogi Yudikatif.
Semua perilaku administarasi, sapaan dalam ucapan, dan sebagainya, mengacu
pada etika tiga aturan unsur Dalihan natolu itu. Melanggar salah satu unsur itu
akan berakibat tata laksana sosial, adat dan budaya batak menjadi timpang, dan
keseimbangan ketiga unsur dalam sistem Dalihan natolu akan terganggu. Secara
sederhana, tiga pihak dengan posisi mikro-sosial ini memiliki kemiripan dengan tiga
posisi makro Trias Politika-nya Montesqieu, seperti diuangkapkan dalam skema
berikut ini “

Fungsi-fungsi tiga posisi individu dalam Dalihan Natolu dalam alur fungsional trias politika.

Latar Belakang Timbulnya Dalihan Natolu.


Dalam uraian di atas telah diungkapkan, budaya/ kebudayaan adalah
keseluruhan kompleksistas yang diciptakan manusia dalam pengalaman historisnya.
Dalihan natolu adalah budaya/kebudayaan yang diciptakan leluhur batak dengan
latar belakang pengalaman historisnya. Latar belakang itu adalah terkait dengan
pembagian “jambar juhut” (pembagian hak atas daging seekor babi/sapi/kerbau
yang dipotong dan dihidangkan), dalam pelaksanaan pesta perpisahan Tuan Rum

OMPU BONAHUTA 89
dengan keluarga besar Sori Mangaraja ( salah seorang putra Raja Isombaon- pen.)
atas penerimaan pelatihan cara bercocok tanam padi oleh Tuan Rum . ( SHW.
Sianipar, Ibid, hlm 199.)
Makanan tradisdional yang khas dan amat digemari masyarakat batak itu,
di bagi dalam tiga bagian. Pertama, bagian dari kepala (ulu) juhut (kurban yang
dipotong) .Kedua bagian leher (rukkung) dari juhut, dan ketiga bagian ekor (ihur-
ihur) dari juhut. Tuan Rum sebagai orang yang dihormati memberi petunjuk ,
bahwa bagian kepala juhut adalah untuk dirinya, dengan pertimbangan dialah
yang dijamu dan akan berpisah dengan kerabat Sori Mangaraja. Sedangkan bagian
ekor juhut merupakan hak atau bagian keluarga Sori Mangaraja, sebab merekalah
yang punya hajatan (Suhut/Hasuhoton ). Kemudian bagian leher juhut (rungkung)
adalah untuk juru masak (parhobas) yakni kerabat saudara perempuan Sori
Mangaraja . Pembagian juhut itulah yang kemudian menjadi cikal bakal rumusan
“Dalihan natolu” .
Sementara itu, dalam pelaksanaan jamuan makan itu ,masih ada sekelompok
orang yang belum mendapat bagian (jambar) juhut. Kelompok ini sangat aktif
dan berperan untuk mensukseskan pelaksanaan jamuan makan dimaksud.
Mereka itu adalah rekan sekampung. Dalam bahasa puak Batak Toba kelompok
masyarakat ini dinamakan “Dongan sahuta”. Peran unsur Dongan sahuta ini bak
“pembantu umum” dalam suatu organisasi moderen dengan tugas dan fungsi
untuk menunjang pelakasanaan hajatan atau menjadi patner kerjasama yang
penyelenggara hajatan ( hasuhuton bolon) .
Persoalannya, dalam pembagian juhut tadi, mereka belum mendapat bagian.
Oleh sebab itu, maka Sori Mangaraja meminta petujuk pada Tuan Rum, apa yang
selayaknya yang diberikan kepada Dongan sahuta tersebut. Petunjuk Tuan Rum
pada Sori Mangaraja, bahwa dengan pertimbangan merekalah rekan sekampung
dari Suhut, maka sebaiknya merekalah yang memberikan sebagian dari jambar-
juhutnya ( sebagian dari yang diterimanya ). Sori Mangaraja pun memberikan
sebagian dari “ihur-ihur” juhut itu pada mereka. Itulah cikal bikal timbulnya
sebutan “sihal-sihal “ dalam dalihan natolu atau yang disebut dengan “ dalihan
natolu paopat sihal-sihal’’ ( tiga unsur dalihan natolu, ditambah satu unsur
sihal-sihal ). Arti sihal-sihal adalah sihol-sihol (kerinduan) yang dimaknai sebagai
tambahan diluar pembagian pokok “jambar juhut ” yang sudah dibagikan.

90 OMPU BONAHUTA
Sementara itu, dalam perkembangan kehidupan sosial dan adat batak,
terbentuk suatu forum pertemuan yang disebut “Partukoan”. Forum ini kali
pertama diadakan di Samon. Sebuah tempat/ daerah di kaki Gunung Toba yang
di huni oleh keturunan Ompu Tuan Doli, Mangaraja Sumba, dan Ompu Tuan
Mangalas. Tuan Rum setelah berpisah dari Tuan Sori Mangaraja pergi menjumpai
Guru Tatea Bulan ( salah satu anak Siraja Batak-pen-). Disana ia mensosialisasikan
adat (kebisaan yang berlaku) yang berakar dari Dalihan natolu seperti yang sudah
ditemukannya dengan Sori Mangaraja .
Dalam forum Partukoan pertama di Samon itu menghasilkan keputusan
tiga hal pokok yaitu (1). Ruhut-ruhut (tatalaksana) adat dalihan Natolu. (2) Poda
(kebijakansanaan) mengenai sanksi hukum atas pelanggaran adat (3) Tata cara
pelakasanaan suatu perjanjian ( Pangalaho ni Padan). Bersumber dari praktik tiga
hal pokok ketentuan itu, diambil kesimpulan bahwa dalam setiap pelaksanaan adat
senantisa terdapat kelompok-kelopok kerabat yang dinamakan; Suhut/Hasuhuton,
Hula-hula, Boru . Ketiga unsur itulah , kemudian dirumuskan menjadi Dalihan
natolu seperti diuraikan di atas.
Namun, ada pendapat lain. Pendapat itu mengatakan, bahwa Dalihan natolu
bersumber dari kata “ tungku dan tiga” dengan analogi “ tungku masak” atau
dalam bahasa batak puak toba dinaman dalihan atau tataring. Benda ini terdiri
dari tiga batu atau tungku yang posisinya sama jarak dan sama tinggi. Dalihan
tempat memasak inilah dipandang sebagai analogi struktur sosial ( social structur)
masyarakat batak yang meliputi tiga unsur kelompok kerabat seperti yang telah
diuraikan di atas. Tiap-tiap tungku itu, merupakan gambaran tiap kelompok kerabat
dimana satu dengan yang lain mempunyai fungsi dan peran masing-masing, tetapi
tetap setara , saling terkait, saling mendukung, berinteraksi secara demokrais dan
terbuka untuk merencanakan dan melaksanakan suatu kegiatan tertentu untuk
mewujudkan keteraturan dan ketertiban sosial, adat dan budaya secara turun
temurun.
Apa yang tampak dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sistem dalihan
natolu adalah sebuah hasil karya budaya batak yang sangat “menakjubkan”, dan
yang telah berabad-abad hidup dan terpelihara dalam kegiatan sosial-adat batak.
Dirumuskan secara cerdas, dengan visi sangat jauh kemasa depan oleh leluhurnya
dan dipraktikan dari zaman ke zaman. Suatu hasil karya budaya yang dapat

OMPU BONAHUTA 91
disebut sebagai ideologi bangso batak . Suatu ideologi dalam pengertian “satu set
nilai, cita-cita mulia yang menjadi acuan dan pegangan hidup yang diperjuangkan
secara militan secara individu dan kolektif sebagai warga bangsa”. ( Komaruddin
Hidayat, Kompas, 2 Mei 2011). Sangat diyakini dengan ideologi Dalihan Natolu
inilah masyarakat batak sejak dahulu kala , kini dan kemasa depan akan eksis
sebagai “bangso” yang berperadaban tinggi dan dapat sejajar atau bahkan
melebihi suku-suku bangsa lain. Dengan ideologi dalihan natolu ini pula “bangso
batak” berperikehidupan secara damai, saling terkait, saling membutuhkan, tolong
menolong dalam suka dan duka.

92 OMPU BONAHUTA
Bab V
Marga Dalam Suku Batak

M
arga dan silsilah adalah dua hal yang sangat penting dalam kehidupan
sosial, adat dan budaya batak sebab dalam kekerabatan batak meliputi
kelompok kerabat kecil yang disebut saripe (satu kepala keluarga) dan
saama ( satu ayah). Lebih besar dari itu disebut saompu ( satu kakek atau satu
leluhur) atau samarga (satu klan).
Suatu kebiasaan dalam kehidupan sosial batak senantiasa ingin mengetahui
posisinya dalam satu marga dengan melihat bagaimana silsilahnya. Sementara itu,
bagi yang tidak mengetahui marga dan silsilahnya, dianggap sebagai batak kesasar
( jolma nalilu). Oleh karena itu, setiap orang batak harus mengetahui marganya,
leluhurnya dan dongan tubunya (kerabat semarga). Hal itu dilakukan untuk dapat
mengetahui hubungan kekerabatan (partordingni partututuron) dalam suatu klan
atau marga ( Budaya Batak, Wipedia, Ibid)
Kekerabatan batak menyangkut hubungan antar orang dalam kehidupan
sosial, adat dan budaya. Bagi suku batak ada dua bentuk kekerabatan yakni : (i)
Kekerabatan berdasarkan garis keturunan (geologi). Hal ini mengacu pada marga.
(ii) Kekerabatan berdasarkan sosologi yaitu suatu kekerabatan yang timbul sebagai
hasil suatu perjanjian (padan) antar marga atau karena akibat perkawinan. (
Badaya Batak, Wipedia, Ibid). Sebagai contoh, marga Manurung dengan marga
Simamora Debata Raja oleh karena sesuatu hal antara Tuan Sogar Manurung ( salah
satu anak Raja Huta Gurgur Manurung) dengan lelehuhur Simamora Debata Raja,
membuat perjanjian (padan) menjadi kakak beradek, hinggga keturunan kedua
marga ini sampai sekarang tetap berkelanjutan (konsisten) mematuhi perjanjian
tak tertulis (padan) tersebut.
Marga adalah suatu nama besar seseorang yang tercantum dibelakang nama
kecilnya dan digunakan secara turun temurun hingga menjadi suatu identitas
kelompok tertentu dalam suatu komunitas masyarakat. “Batak yang sejati”

OMPU BONAHUTA 93
senantiasa mencantumkan nama marga tersebut dibelakang nama kecilnya.
Memang dalam akhir-akhir ini ada masyarakat batak yang tidak mencantumkan
marganya, tetapi hal itu hanya sebagian kecil. Orang batak yang berperilaku
seperti itu, umumnya yang bermukim di perkotaan atau di perantauan. Oleh
karena kepentingan tertentu, misalnya kepentingan politik atau agama, maka ia
“menyembunyikan” marganya. Namun, pada dasarnya jika ia adalah orang batak,
maka akan selalu mencantumkan dan bangga atas marganya.
Sumber nama marga ada dua hal. Pertama, bersumber dari nama leluhur yang
menjadi pencetus marga itu. Marga Manurung misalnya, pertama kali dicetuskan
oleh Toga Manurung dengan kerajaan yang berpusat di Sibisa, Toba, Sumatera
Utara. Dialah yang pertama sekali menggunakan marga Manurung. Setelah itu,
anaknya Raja Hutagurgur Manurung, Raja Hutagaol Manurung dan Raja Simanoroni
Manurung, berikut keturunannya terus menggunakan marga Manurung.
Sumber marga yang kedua adalah dengan menggunakan nama kampungnya.
Kampung dalam bahasa batak toba disebut Huta, Lumban, dan Banjar. Dalam
perkembangan marga-marga batak, cukup banyak masyarakat batak yang
mengunakan nama huta/lumban/banjar menjadi nama marga. Contohnya marga ;
Hutajulu, Hutagalung, Hutabarat, Hutapea, Hutahayan, Hutagaol, Lumban Tobing,
Lumban Gaol, Lumban Raja, Lumban Siantar, Banjar Nahor dan lain-lain. Namun
jika diteliti , nama-nama marga-marga itu pada awalnya tetap menggunakan
nama leluhur pencetus pertama marga mereka. Entah apa sebabnya atau apa
latar belakangnya, mereka membentuk marga baru dengan menggunakan nama
kampungnya.

Timbulnya Marga Batak


Timbulnya marga batak dipicu oleh faktor yaitu : (1) Sebagai akibat konflik sosial
antar kelompok atau antar kampung. Pada zaman dahulu kala, dimana peradaban
batak masih rendah, dan terutama di zaman “Parmalim”, konflik masyarakat batak
antar kampung yang satu dengan kampung lain sering terjadi. Pada masa itu
begitu marak “perdukunan” dan menimbulkan dimana-mana terjadi perang antar
kampung ( huta). Sampai saat ini, keadaan kampung yang menggambarkan selalu
berperang tersebut masih terlihat dengan jelas. Setiap kampung sekelilingnya
dibentengi tembok yang terbuat dari tanah (parik) dan ditanami pohon bambu
berduri ( bulu duri) dengan tujuan sebagai benteng pertahanan atas serangan

94 OMPU BONAHUTA
musuh. Dengan berlansungnya permusuhan masyarakat antar kampung yang
demikian, maka membentuk identitas kelompok yang dinamakan marga. (2)
Faktor penyebab kedua adalah karena terjadi perselisihan semarga, atau karena
didorong keiinginan untuk secara mandiri melaksanakan adat, lalu membentuk
marga baru dengan menggunakan nama kakek atau nama kampungny ( SHW.
Sianipar, Ibid, hlm 199).
Dahulu kala, dan bahkan sampai dewasa ini, realitas marga-marga batak
mengalami perpecahan yang disebabkan sebagaimana di sebutkan di atas. Cotoh-
contoh pengembangan atau perpecahan marga itu antara lain seperti : (i) Pane
adalah turunan dari marga Sitorus, (ii) Siburian, Sianturi, Toga Torop merupakan
turunan marga Simatupang. (iii) Nababan, Silaban, Lumban Toruan, adalah turunan
marga Sihombing. (iv) Lumban Batu dan Lumban Gaol adalah turunan marga Toga
Marbun. Tentu saja masih banyak lagi marga-marga batak yang mengembangkan
marga seperti itu.
Sebaliknya, terdapat marga yang tidak mau melakukan pengembangan dari
marga induknya. Contohnya, marga Manurung hingga kini masih tetap teguh
(konsisten), tidak membentuk marga baru atau melakukan pengembangan dari
marga Manurung. Leluhur marga Manurung (Toga Manurung), telah memiliki visi
dan kearifan yang jauh kedepan. Rupanya ia sudah memprediksi akan terjadinya
perpecahan marga-marga batak, maka semasa hidupnya telah mengamanahkan
kearifan yang luar biasa dengan mengatakan : ” Manurung sipolin-polin, sisada
anak, sisada boru, sisada jambar, sisada tortor dan sisada urdot “. Kearifan yang
sangat filosofis ini, dipahami keturunannya sebagai berikut. “Sipolin-polin” artinya
hanya satu, murni atau tulen. Sementara itu “si sada anak, dan si sada boru”,
adalah sikap dan tindakan kasih sayang yang sama terhadap semua atau setiap
anak (ianangkon ni) Manurung. Dengan kata lain, setiap ianangkon ni Manurung
hendaknya diberlakukan sebagai anak kandung sendiri. Sedangkan “si sada jambar,
sisada tortor dan sisada urdot”, bahwa keseluruhan masyarakat marga manurung,
dalam kehidupan sosial,adat dan budayanya hendaknya seiring dan sejalan, bak
sejumlah orang yang sedang menari (manortor), dimana satu dengan yang lain
satu gerak ( saurdot).
Dengan adanya sikap dan pandangan yang demikian, maka bagi marga
Manurung adalah tabu jika “martarombo” (saling bertanya atas tali persaudaraan)
menanyakan apakah berasal dari keturunan (pomparan) Raja Hutagugur, Raja

OMPU BONAHUTA 95
Hutagaol dan Raja Simanoroni. Oleh karena itu, dianjurkan , jika martarombo
hendaknya mengenalkan diri dengan menyebut keturunanan sihahaan, atau
sibitonga, ataupun siampudan. Maksud dan tujuannya agar tidak ada peluang
timbulnya marga baru .

Makna Marga
Ada sebagian kecil masyarakat batak yang “menyembunyikan” marganya.
Umumnya orang batak yang seperti ini, adalah orang-orang batak di perantauan
yang mengalami kehilangan identitas, atau karena ada maksud dan tujuan lain.
Namun orang yang menyembunyikan marga tersebut sesungguhnya bak burung
unta yang menyembunyikan kepalanya kedalam pasir.
Marga dalam masyarakat Batak, tentu mempunyai makna yang penting. Makna
itu antara lain: (i). Dengan adanya marga, seseorang dapat diketahui kedudukannya
apakah sebagai unsur Hula-hula, Dongan tubu, Boru, Tulang, Bona tulang, Bona
ni ari, Tulang bao (Robobot), Bere, dan Ibebere. Artinya dengan adanya marga, maka
hubungan kekerabatan dalam sistem Dalihan natolu pun akan diketahui dengan
jelas, dan sebaliknya jika tidak ada marga, maka sistem daliahan natolu itu pun akan
hilang. Dengan kata lain dengan adanya marga itu, maka hubungan kekerabatan
(partordingni partuturon) dapat diketahui secara jelas dalam pelaksanaan kegiatan
sosial-adat batak. (ii). Makna lain, bahwa marga merupakan suatu perhimpunan
dalam rangka kegiatan sosial dan adat bersama yang saling membantu dengan
tenaga yang disebut ”gogo” dan sumbangan material yang disebut “tumpak,
dan gugu”. (iii). Dengan adanya marga, maka akan dapat dicegah perkawinan
sedarah atau semarga, sebab menurut adat batak, haram hukumnya jika terjadi
pernikahan semarga. Hingga saat ini hukum itu masih berlaku efektif dan konsisten.
Jika dilanggar akan menerima sanksi sosial berupa pengucilan dari marga itu. Sanksi
sosial ini dapat dipahami sebab apabila ketentuan itu tidak berlaku efektif , maka
dengan sendirinya Dalihan natolu akan sirna.

96 OMPU BONAHUTA
Bab VI
Huta dan Ruma Batak

H
uta dan Ruma Batak adalah dua hasil karya budaya yang menjadi kebanggaan
dan sekaligus identitas batak. Dari dahulu kala sampai saat ini, nama
kampung di tano batak masih disebut huta, lumban dan sosor, banjar.
Lebih tinggi dari itu dinamakan bius. Namun, bius dewasa ini atau setelah adanya
pengaturan sistem administrasi di daerah, maka nama itu telah dihapus dan diganti
dengan nama desa.

Pengertian Huta
Huta adalah sebuah tempat pemukiman yang dihuni beberapa keluarga yang
berasal dari satu marga (klen). Itulah sebabnya, maka di tanah batak banyak kita
temukan nama-nama kampung dengan menggunakan nama marga, seperti Lumban
Manurung, Lumban Sirait, Lumban Sitorus, Lumban Butar-Butar dan lain-lain. Namun,
dalam perkembangan berikutnya penghuni suatu kampung tidak lagi terbatas oleh
satu marga, tetapi juga telah dihuni oleh marga lain selain marga pendiri kampung
tersebut . Perubahan itu terjadi, karena sejak dahulu orang batak sangat sayang
pada putrinya, sehingga setelah menikah, dia bersama suaminya memilih untuk
tetap tinggal di kampung halaman ayahnya, yang disebut dengan “hela sonduhan”.
Kemudian mereka secara turun temurun bermukim di kampung itu. Kebijakan itu
dilakukan oleh orang batak, sejalan dengan salah satu filosofi Dalihan natolu yang
menyebutkan hendaknya ”elek marboru”. Sementara itu, kehadiran boru pun
diharapkan untuk memberikan sumbangsihnya baik yang bersifat immaterial (tenaga/
parhobas) maupun yang material (tumpak) dalam pelaksanaan pesta adat hula-hula.

Syarat Mendirikan Kampung (Huta)


Dahulu, mendirikan kampung adalah suatu kebanggaan, dan tidak dapat dilakukan
secara sembarangan. Mendirikan suatu kampung selain sebagai suatu kebanggaan
dan sebagai identitas, juga berarti bermaksud menjadi seorang raja yang disebut
“Raja Huta”. Oleh karena itu memiliki kampung bagi orang batak adalah suatu

OMPU BONAHUTA 97
kehormatan, maka keberadaannya harus senantiasa dijaga, dipelihara sebaik-baiknya
dan dipertahankan dengan “mati-matian”. Itulah yang berlangsung dimasa lampau.
Begitu pentingnya kampung bagi batak, maka syarat dan prosedur tertentu
harus dilalui dengan sangat ketat. Walau seorang dengan keadaan ekonomi mapan
tidaklah serta merta bisa mendirikan kampung. Selain syarat bahwa orang yang akan
mendirikan kampung itu adalah sosok yang berpengaruh, dan berwibawa, maka
mendirikan kampung harus memenuhi syarat tertentu dan melakukan upacara yang
ditentukan untuk itu. Syarat yang harus dipenuhi itu pada masa lampau ( sebelum
masuk agama kristen), adalah dengan memberi sajian, berupa sehelai ulos ragi hidup,
beras secukupnya, satu buah telor, kue-kue yang dibuat dari tepung beras, serta
daun-daunan yang memiliki arti atau simbol tertentu. Upacara adat itu ditujukan
pada dewa tanah yang disebut boras pati ni tano. ( Koetjaraningrat, Ibid, hlm
98). Pada saat peresmian kampung juga harus dilakukan penanaman pohon
beringin didepan kampung dengan maksud sebagai perlambang alam semesta. (
DL.Tobing, The structure of the Toba-Batak Belief in the High God. Amsterdam, Jacop
van , Kampen, 1956).
Persyaratan lain dalam mendirikan kampung (huta), harus mendapat persetujuan
atau seijin kampung induknya. Untuk memberikan persetujuan itu, harus dengan
permufakatan sekampung. Jika ada utang orang yang hendak mendirikan kampung
, maka harus membayarnya lebih dahulu kepada kampung induk.
Jumlah penghuni setiap kampung rata-rata sekitar 15 -30 rumah (kepala-
keluarga). Setiap kampung dikelilingi tembok yang dibuat dari timbunan tanah.
Tembok tanah itu ditanami pohon bambu dengan rapat, hingga tumbuh sangat
lebat. Fungsinya adalah sebagai benteng pertahanan atas serangan “ musuh ”,
pencuri atau gangguan binatang buas. Sebabnya, dahulu kala masyarakat batak
sering bermusuhan dan berperang antar kampung. Konflik itu terjadi karena merebut
kekuasaan dan mengidap penyakit perilaku sosial hosom, late dan toal dan adanya
praktik hadatuon ( perdukunan) yang bersaing ilmu.
Hosom, late, dan toal adalah suatu perilaku sosial yang suka membenci, tak
bersedia disaingi, merasa paling hebat dan tidak senang kalau orang lain lebih maju
dari pada dirinya. Sejak dahulu kala dan sampai saat ini masalah perilaku sosial
masyarakat yang satu itu adalah faktor penghambat utama kemajuan orang
batak. Ironis sekali, dimana walau agama sejak tahun 1800-an masuk ke tanah batak
perilaku sosial itu tetap saja berkembang. Gereja dan Mesjid bertumbuh pesat,
tetapi perilaku sosial masyarakat batak yang laten itu juga semakin tumbuh subur.

98 OMPU BONAHUTA
Agama terus mengajarkan kebaikan, tetapi tidak mampu melawan perilaku sosial
masyarakat yang demikian. Anehnya, lembaga keagamaan itu pun juga terperangkap
perilaku sosial late, hosom dan toal dimmaksud . Dengan kata lain orang-orang dalam
lembaga keagamaan itu juga menjadi serupa dengan masyarakat umum. Mereka
tetap saja menghadapi masalah late, hosom dan teal/toal, serta adanya perilaku
konflik kepentingan, yang menyebabkan saling menyikut.
Kembali pada hal bagaimana pentingnya kampung bagi masyarakat batak, pada
masa lampau di setiap kampung selalu dibangun sebuah lembaga atau forum desa. Di
Karo, Simalungun dan Mandailing forum itu dinamakan Balai Kerapatan ,dan di Toba
berupa sebidang tanah daratan yang dinamakan Partungkoan. ( Koentjaraningrat, Ibid,
hlm 99) Fungsinya relatip sama yakni tempat musyawarah dan mufakat atau tempat
sidang-sidang atas kasus -kasus penting yang terjadi pada masyarakat kampung.
Kini, lembaga yang merupakan kearifan lokal itu telah hilang, disebabkan pada masa
pemerintahan orde baru atau Soeharto menyeragamkan budaya di Indonesia.
Dibawah tingkatan satuan teritorial Huta adalah Lumban yaitu suatu wilayah
yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang merupakan warga dari suatu bagian marga
tertentu. Nama lumban di tano batak hanya ada di Toba dan keberadaannya
merupakan bagian dari huta. Artinya sebuah huta adalah terdiri dari beberapa lumban.
Contohnya, Huta Narumambing di Uluan adalah meliputi Lumban Martintin, Sosor
, Lumban Bagasan, Sosor Dolok, Batu Naknak, Pangombusan dan Lumban Napittu.
Dahulu kala seluruh lumban dan sosor ini dinamakan Huta Narumambing dibawa
“harajaon’ (kerajaaan) Ompu Raja Nauli Manurung. Sampai sekarang ini seluruh Huta
dan atau Lumban itu masih di huni oleh keturunan anak Ompu Raja Nauli Manurung.
Sedangkan Sosor adalah berasal dari kata “manosor” yang artinya mengembangkan.
Jadi Sosor adalah semacam pemukiman baru yang luasnya lebih kecil dari Huta
dan didirikan karena penghuni suatu Huta telah penuh. Oleh karena itu Sosor
merupakan feeder ( penunjang) terhadap Lumban dan pada saatnya sebuah Sosor
bisa meningkat menjadi Lumban, jika syarat-syaratnya telah terpenuhi. Di Batak
Karo, sosor ini dinamakan Barung-barung.
Mangenai Bius ialah suatu wilayah yang timbul dari kesepakatan sejumlah
kampung yang berdekatan dan memiliki kepentingan sama untuk melaksanakan
berbagai upacara adat atau pemberian kurban pada dewa. Dalam bahasa Karo,
Angkola, Simalungun, dan Pakpak, dinamakan Partahian, Urung, dan Pertupukan.
(Koentjaraningrat , Ibid, hlm 98.)

OMPU BONAHUTA 99
Selain kepentingan upacara adat atau pemberian kurban, dan kumpulan masyarakat,
Bius juga acap kali mengadakan pasar bersama yang kemudian berkembang menjadi
Onan. Eksistensi Onan sampai saat ini masih efektif sebagai pasar tradisional. Nama
Onan yang terkenal dan efektif sampai saat ini antara lain Onan Runggu di Samosir,
Onan Pasar di Balige, Onan Porsea di Porsea. Di seluruh Toba dan Samosir, kegiatan
Onan berlangsung enam kali dalam satu minggu yakni pada hari Senin sampai Sabtu.
Masyarakat dan pedagang dapat memanfaatkannya sebagai pasar yang berdayaguna
untuk pertemuan penjual dan pembeli atas berbagai mata dagangan ( komoditi)
hasil pertanian dan peternakan serta bahan pokok dari desa ke desa. Bagi muda-mudi,
Onan dapat berfungsi semacam tempat pertemuan jodoh atau tempat rekreasi.

Rumah Batak.
Rumah Batak atau juga disebut Sibaganding Tua adalah salah satu hasil karya
budaya batak yang “ mengagumkan “ dan menjadi salah satu fakta betapa peradaban
batak cukup tinggi. Arsitektur dan spesifikasi teknisnya begitu kuat, khas dan unik.
Terlihat megah, dan kokoh ( anti guncangan gempa), dengan daya tahan mencapai
kurun waktu ratusan tahun. Bentuk rumah memanjang, dengan ukuran panjang
sekitar 50 meter dan lebar sekitar 30 meter.
Bagian depan dan belakang rumah berbentuk kotak dan setengah bangunan ke
atas membentuk primida (segitiga), mirip dengan rumah Toraja. Dari ujung bagian
depan sampai dengan belakang atap rumah membentuk busur melengkung kebawah
yang dinamakan “bungkulan”.Sedangkan bagian depan dan belakang rumah, setengah
bangunan berbentuk kotak dan setengah lagi ke arah atas membentuk segitiga,
sehingga rumah batak ini terlihat sangat artistik dan menarik.
Atap rumah batak itu dibuat dari ijuk, tersusun rapi dan padat, diikat dengan
tali ijuk. Namun, akhir-khir ini sesuai perkembangan zaman, telah ada rumah
batak yang menggunakan atap seng. Sedangkan dindingnya di buat dari papan
dan tersusun rapi. Dibagian dinding paling bawah sekitar 1 meter vertikal ke atas,
dan selanjutnya dinding tersebut membentuk kemiringan, sehingga dinding rumah
tampak melebar ke bagian atas. Seluruh dinding rumah, di ukir (digorga), dengan
corak dan seni batak dengan 3 (tiga) warna yaitu merah, putih dan hitam. Tiga
warana ini adalah warna kesukaan masyarakat batak.
Di depan rumah dipasang arca menyerupai wajah manusia. Sedangkan pada
sisi kiri dan kanan bagian depan rumah dipasang arca bermentuk kepala singa.

100 OMPU BONAHUTA


Entah apa latar belakang masyarakat batak mengunakan binatang singa ini sebagai
ikon rumah batak masih merupakan pertanyaan. Sebabnya, binatang yang satu itu
tidak ada di Sumatera, apalagi di tanah batak, tetapi dijadikan semacam ikon di
setiap rumah batak. Barang kali penggunaan ikon ini ada kaitannya dengan daerah
asal leluhur batak.
Rumah Batak Toba adalah rumah panggung, maka tiang-tiangnya cukup banyak
dan terbuat dari kayu keras berupa pohon yang namanya Jior. Satu jenis kayu khas
di tanah batak yang kualitasnya sangat baik. Sekarang pohon itu kini telah relatip
habis ditebang paska kehadiran PT Inti Indorayon Utama/PT. Toba Pulp Lestari (
PT.IIU/PT.TPL), pada tahun 1980-an di tanah batak , Pangombusan, Porsea. Pohon itu
dijadikan sebagai kayu gergajian dan di jual sebagai komoditi dagang oleh masyarakat
dan PT.IIU/PT.TPL.
Tiang-tiang rumah itu, dalam ukuran diameter tertentu dan disusun dengan
jarak tertentu, lalu dihubungkan (diikat) dengan kayu gepeng yang panjangnya
sekitar 3 meter dan lebar sekitar 10 Cm yang dinamakan “rancang-rancang”. Dengan
rancang-rancang inilah seluruh tiang rumah menjadi suatu kesatuan yang utuh,
saling menopang, dan membuat fundasi rumah sangat kokoh. Penyangga atap rumah
juga seluruhnya terbuat dari kayu keras pilihan, tersusun rapi dengan jarak antara
satu dengan yang lain sekitar 20 Cm. Kayu penyangga atap rumah ini dalam bahasa
batak toba dinamakan Urur. Salah satu keunikan bangunan Ruma Batak adalah
tidak menggunakan paku, tetapi keseluruhan elemen-elemen bangunannya diikat
dengan tali ijuk dan tali rotan. Sedangkan pintu masuk rumah di buat dari depan
rumah dengan tangga yang terdiri dari induk tangga dan anak tangga. Tangga itu
dalam bahasa batak disiebut Balatuk. Anak tangga selalu dalam jumlah ganjil ( antar
5-7 buah) sebagai pertanda bahwa penghuni rumah itu adalah orang yang tidak
pernah jadi budak atau diperbudak (hatoban) oleh orang lain.
Dengan demikian, Ruma Batak ini tidak sebatas perwujudan artistik, seni dan
tempat kediaman, melainkan mengandung falsafah tersendiri. Bentuk rumah yang
terlihat anggun adalah perlambang atau simbol cita-cita batak yang memiliki idealisme
sebagai sebuah bangsa (bangso) yang besar. Pintu masuk rumah yang mengharuskan
setiap orang masuk kedalam rumah dalam posisi menunduk, mengandung arti sebagai
etika dan sopan-santun, dimana setiap orang yang memasuki rumah hendaknya
dengan sopan dan santun. Sedangkan ruangan tamu terbuka dan luas adalah simbol
keterbukaan (transparasi) masyarakat batak. Keterbukaan itu dalam perumpamaan

OMPU BONAHUTA 101


batak toba disebut ” tedak songon indahan di balanga”.
Ruma Batak ini juga memberikan gambaran, bahwa penghuni kampung itu
adalah tergolong “ mapan atau kaya ” sebab dalam membangunan sebuah rumah
batak relatip dengan biaya besar dan seni yang tinggi. Ruma Batak yang demikian
dinamakan “ Sibaganding Tua” yaitu Ruma Gorga yang ditempati oleh orang yang
dihormati atau yang dituakan. Untuk menempati rumah ini harus dengan upacara
resmi yang dalam bahasa batak toba disebut “ Mangompoi “. Beda dengan rumah
biasa tidak musti dengan syukuran, tetapi cukup dengan acara biasa yang disebut
manuruk jabu ( acara memasuki rumah).
Pasangan Ruma Batak ini ada sebuah bangunan yang dinamakan Sopo Godang.
Bangunan ini berhadapan dengan Ruma Batak. Sopo Godang menghadap ke selatan
dan Rumah Batak menghadap ke utara. Fungsi Sopo Godang adalah sebagai tempat
barang-barang berharga dan lumbung padi. Dalam masyarakat batak, rumah diluar
Ruma Batak namanya disebut Jabu.
Ironisnya kini Huta dan Rumah Batak yang sangat di banggakan itu, satu persatu
telah “rusak”. Banyak Huta dan Rumah Batak kini tak terpelihara lagi, “rusak dan
bahkan roboh.” Faktor penyebabnya antara lain : (i) Orang batak setiap tahun terus
meninggalkan kampungnya dan pindah ke perkotaan atau daerah perantauan. (ii)
Masalah kemiskinan yang terus terjadi pada masyarakat batak pedesaan, dan (iii)
Semakin menipisnya rasa kepemilikan atas hasil karya budaya batak, termasuk rasa
kepemilikan atas Huta dan Rumah Batak.
Sementara itu, di kebanyakan kampung (huta) batak, kini telah berubah dengan
berdirinya bangunan model rumah dengan bangunan biasa yang dalam bahasa
batak dinamakan Rumah Emper. Kalau pun masih ada Ruma Batak kini umumnya tak
berpenghuni, dan rusak memprihatinkan. Mentalitas batak masa kini rupanya tidak
seperti mentalitas leluhurnya di masa lampau, dan juga tidak seperti orang Toraja
yang dengan bangga memelihara huta dan rumahnya sebagai hasil karya budaya
yang manggumkan dan dibuat jadi ikon pariwisata nasional dan global.

102 OMPU BONAHUTA


Bab VII
Dimensi Perkawinan
Menurut Adat Batak

P
erkawinan manusia adalah perwujudan cinta (kasih sayang) dua manusia
dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang sejati dalam rangka
mencapai kebahagiaan bersama dan memperoleh sejumlah keturunan (anak-
cucu) yang berkualitas dan menjadi manusia yang berguna bagi dirinya, keluarganya,
masyarakat dan bangsanya serta patuh pada Tuhan. Itulah sebabnya pelaksanaan
perkawinan manusia dilakukan berdasarkan adat, pemberkatan oleh lembaga
keagamaan dan pencatatan sipil oleh pemerintah. Semuanya itu dilakukan, sebagai
konsekwensi betapa perkawinan manusia adalah sakral dan berharga dihadapan
manusia, terlebih dihadapan Tuhan.
Hakekat Perkawinan Menurut Adat Batak.
Menurut adat batak perkawinan dinamakan “marhasohotan atau hot ripe”. Artinya
“berhenti” sebagai status muda/i dan membentuk keluarga baru dengan hakekat
atau makna perkawinan seperti diuraikan di atas. Bagi suku batak, perkawinan
bukan saja merupakan perwujudan cinta-kasih atas seorang laki-laki dengan seorang
perempuan, melainkan menimbulkan konsekwensi kekerabatan yang luas yaitu
pembentukan hubungan kekerabatan baru antara pihak mempelai laki-laki dengan
mempelai perempuan dalam rentang kerabat menurut “Dalihan na tolu” ( Hula-
hula, Dongan Tubu dan Boru).
Sementara itu, perkawinan menurut adat batak selain sakral, juga berdimensi
luas, serta sangat mengikat ( sulit bercerai ). Tidak seperti perkawinan menurut
administrasi negara (cacatan sipil) yang dilakukan pemerintah, dapat bercerai
dengan keputusan pengadilan. Namun perceraian bagi masyarakat batak yang
diikat dengan hukum adat tidaklah cukup dengan keputusan pengadilan itu, tetapi
harus disahkan oleh sidang adat dan menanggung akibat sosial, adat, dan ekonomi.
Itulah sebabnya bagi masyarakat batak, walau sudah bercerai menurut keputusan

OMPU BONAHUTA 103


pengadilan, jika belum diikuti keputusan menurut hukum adat, maka perceraian itu
belum syah dan belum tentu terjadi.
Menurut hukum adat batak, perceraian itu hanya boleh dilakukan, jika disebabkan
tidak punya anak, atau karena perzinahan atau pun kalau suami meninggal dunia.
Sedangkan jika peceraian karena suami meninggal dunia, si perempuan tidak bisa
kawin begitu saja, tetapi masih diharapkan kawin liviraat dengan salah satu kerabat
suami. Kalau dia tidak bersedia, diharuskan secara resmi meminta diceraikan oleh
kerabat pihak almarhum suaminya, baru bisa kawin dengan laki-laki lain diluar kerabat
almarhum suaminya. Sementara itu, kalau perceraian itu disebabkan kelalaian istri,
misalnya karena berjinah, maka pihak kerabat perempuan wajib mengembalikan
maskawin (sinamot) yang diterimanya sebanyak dua kali lipat.
Perkawinan menurut adat batak, dibagi dalam beberapa cara yaitu : (1) Kawin
menu rut adat, agama dan negara.(2). Kawin lari (mangalua), dalam arti tanpa adat
(3) Perkawinan leviraat yang dalam bahasa toba disebut “mangabia” artinya si
perempuan kawin lagi dengan adek/kakak suaminya. (4) Perkawinan sororat. Dalam
bahasa batak toba perkawinan semacam ini dikatakan “sikkat ni rere” yaitu karena
suami meninggal, maka si perempuan kawin lagi dengan anak saudara almarhum
suaminya.
Dahulu, seorang laki-laki batak senantiasa terikat dalam memilih jodoh. Ia tidak
bebas memilih perempuan lain sesuka hatinya. Perkawinan yang dianggap ideal
adalah kalau dengan orang rimpal (marpariban) yaitu dengan perempuan saudara
laki-laki ibunya. ( Koetjaraningrat, Ibid, hlm 115). Bila laki-laki tidak punya pariban
ataupun ada tetapi tidak saling mencintai, lalu ia menikah dengan perempuan lain,
maka dia bersama dengan orang tua (ayah dan ibu) laki-laki akan meminta ijin atau
memohon restu kepada Tulangnya (Kakak/Adek ibunya laki-laki ).
Minta ijin atau mohon doa restu pada Tulang ini dalam bahasa toba dinamakan
“ patiur baba ni mual”. Prosedur itu dilakukan orang batak kepada Hula-hulanya
(saudara laki-laki dari istri) agar putranya direstui menikah dengan perempuan lain
dan didoakan mempunyai banyak keturunan. Adat ini hanya diterapkan pada putra
sulung yang akan menikah dan tidak diharuskan lagi pada putra kedua dan seterusnya.
Perkembangan kemudian, sejalan dengan pesatnya ilmu pengetahuan sosial dan
budaya batak atau karena pengaruh moderenisasi, pandangan “ marboru ni tulang”
(mengambil anak perempuan dari saudara ibu laki-laki ) seperti yang diuraikan di
atas, tidak lagi sebagai suatu kewajiban. Dengan semakin berkembangnya ilmu
kesehatan, maka pandangan yang mengatakan perkawinan dengan rimpal (boru ni

104 OMPU BONAHUTA


tulang) semakin dihindari karena dinilai sebagai suatu perkawinan yang tak berkualitas.
Namun, adat atau kebiasaan memohon restu kepada Tulang ( paman) dalam
rangka“ patiur baba ni mual” sebagaimana diuraikan di atas, hingga kini masih
terus dipraktikkan. Maksud dan tujuannya agar persaudaraan “namar hulahula
- marboru “ tetap terpilahara dengan baik. Kebiasaan itu juga di dorong oleh poda
(amanah ) leluhur batak yang mengatakan, bahwa hula-hula adalah kerabat yang
wajib dihormati seperti yang telah diuraikan dalam Bab lain pada buku ini.

Proses Perkawinan Sesuai Adat Batak


Proses perkawinan sesuai adat batak, memerlukan proses yang panjang dan
melalui prosedur yang ketat. Tatacara perkawinan itu dimulai dengan tahapan
: (1) Marhorihori dinding, (2) Patua hata,(3) Marhusip, (4) Marhata sinamot, (5)
Marunjuk, dan (6) Paulak une.
Apabila orang tua menerima khabar dari putranya, bahwa ia sudah punya kekasih
yang menjadi calon isterinya, maka tindak lanjut berikutnya, ayahnya mengutus
delegasi untuk menemui perwakilan orang tua perempuan ke rumahnya atau ketemu
disuatu tempat yang disepakati bersama. Tujuannya untuk memberitahukan bahwa
pemuda Mr “X” sudah menjalin hubungan cinta dengan putri Mrs “Y” dan berencana
untuk melangsungkan perkawinan. Pertemuan delegasi dari kedua belah pihak inilah
yang disebut marhorihori dinding yang artinya suatu perundingan sangat terbatas
dan bersifat rahasia tentang hubungan cinta dan rencana perkawinan Mr X dan Mrs Y.
Pada masa lampau delegasi marhorihoridinding dilaksanakan oleh boru dari
pihak calon mempelai laki-laki dan pihak calon mempelai perempuan. Mengapa
harus melalui boru tersebut, tentu tujuannya untuk menghindari hal-hal yang tidak
diharapkan, misalnya jika terjadinya “perundingan buntu”, dan atau terjadi kegagalan
di kemudian hari, maka hal itu tidak langsung dialami oleh orang tua laki-laki dan
orang tua perempuan, tetapi masih dalam tahap delegasi. Dengan kata lain hubungan
putra dan putri mereka belum tersebar luas dan jika mengalami keggalan tidak
menimbulkan hal-hal yang dapat memalukan pada siapa pun.
Akan tetapi di masa sekarang, terutama bagi masyarakat batak di perkotaan,
marhorihori dinding sudah langsung dilaksanakan orang tua laki-laki dengan orang
tua perempuan. Bahkan peserta marhorihoridinding pun sudah melibatkan kerabat
dekat, dengan jumlah sebanyak lima kepala keluarga atau lebih, dan dengan acara
makan bersama. Dengan kata lain acara marhorihori dinding dewasa ini telah bersifat
langsung dan seperti disebut dalam perumpamaan batak “ pajumpang mata ni

OMPU BONAHUTA 105


dengke tu mata ni doton” yang artinya kedua belah pihak bertemu langsung atau
tidak melalui perantara lagi.
Berlangsungnya perundingan langsung seperti diungkapkan di atas, maka peranan
atau fungsi “domu-domu” (perantara) dalam perkawinan batak di masa lampau
telah hilang. Adanya perubahan itu, memang dimungkinkan sebab hubungan anak
dengan orang tua dewasa ini sudah lebih terbuka,dan demokratis. Orang tua tidak
lagi ngotot untuk memaksakan keinginannya, melainkan sudah lebih terbuka dan
lebih leluasa memberikan kebebasan memilih kepada putera/putrinya.
Setelah selesai tahap marhorihori dinding, maka proses berikutnya adalah
meningkatkan pembicaraan dari kedua calon mempelai menjadi pembicaraan
orang tua kedua belah pihak. Peningkatan pembicaraan ini dinamakan Patua Hata
(meminang). Dahulu patua hata ini dilakukan dengan acara tersendiri dan terbatas
dilakukan oleh beberapa orang saja dari pihak kerbat laki-laki, dan tidak mengikut
sertakan kaum perempuan atau istri (Doangsa PL Situmeang, Dalihan Natolu Sitem
Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, 2007). Namun, belakangan ini acara patua hata
ini telah dilaksanakan bersamaan dengan acara marhusip. Dalam pelaksanaannya,
proses awal dimulai dengan acara patua hata yang dipimpin oleh Raja Parhata
masing-masing pihak. Setelah pinangan diterima pihak/kerabat pihak calon mempelai
perempuan, maka acara patua hata di tutup, dan kemudian dilanjutkan dengan
acara marhusip.
Marhusip merupakan peningkatan marherikori dinding dan merupakan perundingan
terbatas antara pihak kerabat calon mempelai laki-laki dengan pihak kerabat calon
mempelai perempuan. Pelaksanaan marhusip ini boleh dilakukan di tempat mana
saja dan sifatnya bersifat informal. Pelaksanaan yang demikian ini adalah marhusip
dimasa lampau.
Namun, kebiasaan marhusip masa lampau itu, kini telah berubah. Jumlah orang
-orang yang mengikuti acara marhusip sudah diperluas atau dihadiri kerabat dongan
tubu, dan boru, dari kedua pihak (paranak dan parboru). Hanya kerabat Hula-hula
dan Tulang yang tidak ikut menghadirinya. Bahkan jika keadaan ekonomi orang
tua laki-laki dan orang tua perempuan tergolong mapan, bisa melaksanakan acara
marhusip dengan meriah.
Dengan demikian kini marhusip tidak lagi bersifat terbatas dan rahasia, melainkan
telah terbuka, tetapi kategori acaranya tetap saja disebutkan marhusip. Apa yang
akan dirundingkan atau disepakati meliputi: (1) Besarnya mas kawin (sinamot) yang

106 OMPU BONAHUTA


akan di berikan oleh pihak orang tua calon mempelai laki-laki kepada orang tua calon
mempelai perempuan, (2) Kesepakatan pesta pernikahan apakah di kampung pihak
laki-laki (ditarohon jual) atau di kampung pihak peremuan (dialap jual). (3) Bentuk
pesta, apakah dalam kategori sehari (ulaon sadari) atau beberapa hari (4) Jenis
ternak (panjuhuti) yang akan disembeli pada pesta adat perkawinan. (5) Jumlah kepala
keluarga yang akan diundang, dari masing-masing pihak. (6). Jumlah ulos herbang
yang akan deberikan oleh pihak kerabat mempelai perempuan kepada pihak kerabat
mempelai laki-laki. (7) Pemberian uang dari orang tua calon mempelai laki-laki dan
orang tua calon mempelai perempuan kepada Hula-hula kedua pihak yang disebut
upa tulang dan todoan. Semua hal itu sudah jelas dan final disepakati pada saat
marhusip, sehingga dalam acara marhata sinamot boleh dikatakan tinggal finalisasi
saja dan disaksikan oleh pihak kerabat Hula-hula dan Tulang.
Dengan demikian bedanya dengan acara marhata sinamot hanya terletak pada
keikut sertaan kerabat hulahula dan tulang, serta tatacaran perundingan kedua belah
pihak melalui Raja Parhata yang diawali dengan pinggan panungkunan, berupa piring
yang berisi uang, sirih dan beras secukupnya
Setelah tahap Patua Hata, Marhusip, Marhata Sinamot dilalui, maka pesta adat
perkawinan dapat diselenggarakan. Jika pesta adat tersebut diselenggarakan
dikampung (di alaman) mempelai laki-laki, maka disebut marunjuk. Sedangkan jika
pesta adat itu dilakukan di kampung (di alaman) mempelai perempuan, disebut
manggalang juhut.
Sementara itu, jika mempelai perempuan dan atau laki-laki atau pemberkatan di
lakukan di gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), maka diharuskan Martompol.
Acara ini bukanlah bagian dari hukum adat perkawinan batak, melainkan suatu
ketentuan agama, khususnya yang berlaku di HKBP. Maksud dan tujuannya adalah
untuk acara ikat janji kedua calon mempelai dan sebagai pewartaan atas rencana
pernikahan mereka yang akan dilakukan dikemudian hari. Pewartaan itu disaksikan oleh
orang tua/kerabat dan panitua gereja dari masing-masing pihak calon mempelai dan
sejumlah kerabat dari masing-masing pihak. Dalam acara martumpol inilah ditanyakan
oleh majelis gereja pada kedua calon mempelai apakah masih mempunyai kekasih
lain atau tidak. Jika masih ada, maka kepada mereka diberikan kesempatan untuk
menyelesaikannya terlebih dahulu secara tuntas. Dengan demikian pemeberkatan
mereka pada hari yang telah ditentukan sudah bebas dari ikatan kekasih dengan
pihak lain. Proses martumpul semacam ini hanya berlaku bila calon mempelai
merupakan jemaat dan diberkati di HKBP. Sementara jika memalaui agama atau

OMPU BONAHUTA 107


gerja lain, proses itu dikesampingkan.
Sebelum dilakukan pemberkatan nikah dan/atau pesta adat, ada suatu acara
yang diselenggarakan di pagi hari. Acara itu dinamakan marsibuha-buhai. Asal
kata marsibuha-buhai ini adalah buha yang artinya permulaan. Jadi yang dimaksud
marsibuha-buha i adalah awal dimulainya persaudaraan para kerabat kedua calon
mempelai. Kegiatan ini berlangsung singkat, sekitar 1 (satu) jam.
Acara marsibuhabuhai diawali dengan sambutan kerabat calon mempelai laki-
laki untuk menyampaikan maksud dan tujuannya acara tersebut. Setelah kerabat
calon mempelai perempuan memahami maksud dan tujuan itu, maka dilanjutkan
dengan makan bersama. Sebelum makan bersama, pihak kerabat calon mempelai
laki-laki menyuguhkan makanan (daging) berupa tudu-tudu sipanganon yang siap saji.
Sebaliknya, pihak kerabat calon mempelai perempuan juga menyuguhkan 3 ekor ikan
mas yang sudah siap saji. Ikan mas itu dinamakan “ dengke simudur-udur, dengke
sitio-tio, dengke sahat, dengke gabe yang artinya agar pihak kerabat mempelai laki-
laki memperoleh keturunan banyak, hidup sejahtera dan bahagia (sehat, gabe jala
horas). Setelah acara itu selesai, maka dilanjutkan dengan doa dan makan bersama.
Setelah selesai makan, kedua kerabat dan calon mempelai berangkat menuju
gereja unutuk melangsungkan pemberkatan nikah dan pelaksanaan cacatan sipil
oleh Dinas Kependudukan dari Pemerintah Daerah setempat.

Adat Perkawinan Batak


Adapun urutan singkat prosesi pesta adat perkawinan adalah : (1) Pembukaan
protokol pihak kerabat mempelai (2) Jawaban bahwa pihak kerabat mempelai laki-laki
telah siap melaksanakan pesta adat perkawinan (3) Hula-hula dan Tulang dari pihak
mempelai laki-laki dan atau dari pihak mempelai perempuan memasuki ruangan
tempat pesta adat. Mereka memasuki rungan secara sendiri-sendiri dan disambut
oleh masing-masing kerabat mempelai laki-laki atau kerabat mempelai perempuan.
(4) Mempelai memasuki ruangan tempat pesta adat dan menuju tempat duduk yang
telah disediakan (5). Menyampaikan tudu-tudu ni sipanganon dari pihak kerabat
mempelai laki-laki kepada kerabat mempelai perempuan, lalu berlanjut dengan
jawaban suguhan dengke simudur-udur dari pihak kerabat mempelai perempuan
pada kerabat mempelai laki-laki, (6) Doa dan makan bersama.(7) Membagikan sulang-
sulang (suguhan juhut) kepada hula-hula. Bersamaan dengan itu, membagikan dengke
simudur-udur kepada dongan tubu dan boru oleh kerabat mempelai laki-laki. (8).
Pembagian jambar juhut sesuai adat yang disepakati kedua belah pihak pada waktu

108 OMPU BONAHUTA


marhusip/marhata sinamot. Pembagian jambar juhut ini biasanya menganut prinsip
sidapot solup do naro yang artinya sesuai adat yang berlaku di daerah penyelenggara
pesta adat. (9) Para undangan pihak kerebat mempelai laki-laki (dongan tubu, boru,
bere/ibebere, dongan sahuta, teman sejawat ) menyampaikan tumpak (sumbangan
berupa uang ) kepada orang tua mempelai laki-laki. (10) Pengantin perempuan, secara
simbolis mengambil uang sumbangan dari tempat sumbangan dengan jari tangan
dan sekali mengambil. Maksudnya adalah sebagai penghormatan kepada mempelai,
sebab yang berhak atas sumbangan itu adalah orang tua selaku penyelenggara pesta,
sehingga cara mengambilnya pun di batasi seperti itu (11) Marhata sinamot dan
hata segabe-gabe .(12) Menyampaikan panadaion berupa uang dalam amplop dari
pihak kerabat perempuan kepada kerabat laki-laki sesuai yang disepakati pada saat
marhusip. (13) Menyampaikan ulos pasamot dari orang tua mempelai perempuan
kepada orang tua mempelai laki-laki. (14) Menyampaikan ulos hela dari orang tua
mempelai perempuan kepada kedua mempelai .(15) Menyampaikan ulos pamarai
kepada pamarai oleh orang tua mempelai perempuan. (16) Menyampaikan ulos
sihunti ampang kepada orang sihunti ampang oleh salah satu keluarga kerabat
mempelai perempuan.(17) Menyampaikan titi marangkup berupa uang dari orang
tua mempelai perempuan kepada hula-hula mempelai laki-laki (18) Menyampaikan
sejumlah ulos holong sesuai yang disepakati pada waktu marhusip kepada kerabat
dekat pihak kerabat mempelai laki-laki oleh keluarga kerabat perempuan. (19)
Memberikan sejumlah ulos tinonun sadari dalam bentuk uang kepada semua
kerabat laki-laki oleh suhut mempelai perempuan. (20) Diberi kesempatan kepada
kerabat dekat semarga pihak mempelai perempuan, Hula-hula, Tulang, Bona Tulang,
Tulang Robobot, Hula-hula Namarhaha- maranggi, Hula-hula anak manjae untuk
menyampaikan ulos herbang kepada mempelai.
Bila pelaksanaan pesta perkawinan berada di kampung (halaman) pihak mempelai
perempuan, maka akan dilakukan acara “paulak une” oleh pihak mempelai laki-laki.
Dahulu kegiatan adat ini dilaksanakan beberapa hari paska pesta perkawinan. Tetapi
dewasa ini untuk efektifitas waktu, maka telah dilaksanakan pada hari H pesta adat,
sehingga acara Paulak Une ini, merupakan akhir acara pelaksanaan pesta adat.

Kekerabatan Batak
Dengan dimensi perkawinan orang batak seperti diungkapkan di atas, maka
kekerabatan batak meliputi : (1) Bona ni Ari yaitu tulang (paman) dari kakek dan
seterusnya. (2) Bona Tulang, (3) Tulang. Catatan, dari nomor 1-3 semuanya disebut

OMPU BONAHUTA 109


Tulang. (4) Hula-hula tanggakas atau hula-hula pangalapan boru yakni, sadudara laki-
laki dari istri, dan (5) Hula-hula namarhaha maranggi yaitu semua hula-hula kakak/
adek laki-laki yang sekandung. (6) Hula-hula anak manjae atau sering disebut Hula-
hula naposo, yaitu hula-hula putra kita yang sudah menikah menurut hukum adat
batak. (7) Dongan Tubu atau dongan sabutuha yaitu saudara kita yang semarga.
(8) Iboto yaitu kakak/adek perempuan dan jika sudah menikah, maka suaminya di
sebut Lae ( kakak/adek ipar) dan putri kita disebut Boru dan suaminya dinamakan
Hela (9) Kakak/adek perempuan dari ayah disebut namboru dan suaminya dipanggil
amang boru.(10) Di atas generasi namboru (putri kakek) dinamakan Boru natua-
tua. Catatan: Kepada mereka ini tetap dipanggil Namboru & Amang boru. (11).
Sedangkan putra dan putri adek/kakak perempuan (iboto) dinamakan Bere dan
Ibebere. (12) Pariban adalah adek/kakak perempuan yang sudah menikah. Hubungan
persaudaran ini dinamakan “marpariban”. Dalam kehidupan sosial atau kekerabatan
batak hubungan “marpariban” ini kadang lebih akrab (dekat) dibandingkan dengan
hubungan “namarhaha-maranggi”. Hal ini terjadi sebab faktor istri dalam keluarga
kadang lebih condong pada pihak keluarga ibunya, maka komunikasi sosial mereka
sering lebih efektif. Dengan demikian “namarpariban” ada faktor positifnya, tetapi
juga ada negatifnya dalam kehidupan sosial-adat batak.
Apa yang terungkap dari pada dimensi perkawinan menurut adat batak seperti
duraikan di atas, bahwa perkwinan manusia itu amat sakral dan harus dapat dipelihara
dengan sebaik-baiknya. Perkawinan manusia tidaklah terbatas sebagai perwujudan
cinta seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Menurut adat batak, juga merupakan
wujud perkawinan kekerabatan antara orang tua kedua mempelai dan bahkan lebih
luas dari pada itu yakni meliputi rentang kerabat Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru
sebagaimana dimaksud oleh Dalihan Natolu. Itulah sebabnya, proses dan tatacara
perkawinan menurut adat batak begitu panjang dan ketat, sehingga pada akhirnya
sangat kuat keterikatan dan tanggung jawabnya. Dengan kata lain, sangat sulit untuk
bercerai, selain diceraikan oleh kematian.

110 OMPU BONAHUTA


Bab VIII
Ragam dan Penggunaan
Ulos Batak

U
los batak adalah salah satu hasil harya budaya batak yang amat membanggakan
dan merupakan salah satu bukti nyata betapa tingginya peradapan batak pada
masa lampau. Ulos batak dibuat (ditenun) terdiri dari benang berwarna
putih, hitam dan merah hingga membentuk corak (ragi) menurut ragamnya yang
terdiri dari 8 jenis yaitu: (1) Pamunsai atau Pinunsaan, (2) Ragi Idup atau Sirara, (3)
Sibolang. (4) Ragi Sitolu Tuho, (5) Ragi Bolean, (6) Ragi Hotang, (7) Ragi Mangiring,
(8) Ulos Parompa. Ulos batak diluar jenis ini adalah ulos biasa yang dinamakan
“salendang”.
Setiap ulos memiliki ciri. Hal itu dapat dilihat dari raginya (coraknya). Ulos jika
dibentangkan akan terlihat beberapa bagian pokok yaitu meliputi : (i) Rambu ulos.
berada pada kedua ujungnya. (ii) Pangolat ( pembatas), berada pada sisi ujung ulos
,(iii) Ragi (corak) bentangan pada ulos yang terdiri dari bilangan tiga, lima dan tujuh.
Selain itu, dalam ulos batak, terdapat garis parngoluon ( tanda-tanda kehidupan), garis
somangot ( garis kharisma/semangat), ragi hagabeon ( corak yang menggambarkan
harapan keturunan banyak), ragi penghasilan dan ragi harapan keadaan rumah
tangga, serta ragi kesehatan ( corak kesehatan) .

Pengertian Tiap Jenis Ulos


Dalam uraian di atas telah disebutkan ada 8 (delapan) jenis ulos batak dengan
penggunaan yang berbeda-beda, sebagaimana dijelaskan berikut ini.
Pamunsai atau Pinunsaan, adalah ulos yang dibuat dengan jenis tertentu,
bercorak tujuh garis putih searah menuju kedua ujung ulos yang berwarna putih
dan terus bersambung pada rambu ulos. Dahulu ulos semacam ini hanya dimiliki dan
digunakan oleh seorang raja pada saat martonggo (berdoa khusus) pada Mulajadi
Nabolon ( Tuhan Pencipta Semesta). Namun, saat ini ulos sejenis ini sudah dimiliki
banyak orang. Ulos Pinunsaan ini menurut kebiasaan (adat) batak dewasa ini selalu

OMPU BONAHUTA 111


menjadi ulos pasamot yang disampaikan oleh orang tua mempelai perempuan
kepada orang tua mempelai laki-laki pada saat pelaksanaan pesta adat perkwinan
anak mereka.
Ulos Ragi Idup atau sering disebut Sirara adalah ulos yang khusus dibuat
dan dipakai seorang laki-laki yang sudah mempunyai anak dan cucu. Dahulu jika
seseorang telah memiliki dan menggunakan ulos ini berarti orang itu sudah “gabe”
(mempunyai anak, cucu), dan pertanda bahwa orang itu berwawasan luas tentang
adat dan budaya batak . Dewasa ini, ulos sejenis ini sudah digunakan sebagai ulos
hela ( ulos yang diberikan orang tua mempelai perempuan kepada menantunya pada
saat pesta adat perkawinan) dan banyak digunakan orang pada saat pesta adat batak.
Ulos Ragi Sibolang. Asal katanya adalah Sibulang. Corak ulos jenis ini di buat secara
khusus dan tidak sama. Maksudnya adalah untuk mengangkat sahala ( kharisma)
orang yang memilikinya. Ulos ini ditenun secara khusus bagi seorang anak yang
dalam kategori sibulangbulangon yaitu anak yang patut dijaga dan dimohon secara
khusus kepada Tuhan agar dalam perjalanan hidupnya tidak mengalami gangguan
atau musibah apa pun sebab ia kelak diharapkan menjadi raja, atau pemimpin.
Namun, sekarang ini ulos sejenis ini sudah diberikan pada orang yang mengalami
duka cita karena istri/suaminya meninggal dunia dan ulos ini dimaknai sebagai ulos
tujung atau ulos sampe tua.
Ulos Ragi Sitolo Tuho. Ulos ini dibuat husus untuk perempuan. Disebut sitolu tuho
sebab memiliki tiga tanda “tuho” yang terdapat pada kedua ujung ulos. Pengertian
tiga tanda tuho itu yakni hormat marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek
marboru sebagaimana dimaksud dengan falsafah Dalihan Natolu. Ulos ini diberikan
kepada seorang ibu dengan maksud agar dia mengajar dan membimbing anaknya
untuk melakasanakan etika (ruhut-ruhut ni partuturon) menurut Dalihan Natolu.
Sekarang, ulos ini telah jarang digunakan dan akibatnya telah sulit ditemukan dan
akhirnya tidak ditenun lagi.
Ulos Ragi Bolean. Jenis ulos ini diberikan kepada orang yang mengalami musibah,
misalnya anaknya terus meninggal dunia atau mengalami musibah yang membahayakan.
Oleh karena musibah itu, maka kerabat hula-hula datang kepada orang/keluarga
tersebut untuk melaksanakan adat yang disebut mangupaupa. Yang dimaksud dengan
mangupaupa adalah suatu adat (kebiasaan) masyarakat batak untuk melakukan doa
keselamatan kepada orang/keluarga tertentu agar terhindar dari musibah. Dalam
acara mangupaupa ini, kerabat Hula-hula membawa dengke simudur-udur ( 3
ekor ikan batak atau ikan mas yang siap saji dan ditaruh berjejer di dalam piring)

112 OMPU BONAHUTA


untuk diberikan kepada kerabat Boru sebagai media dalam menyamaikan doa
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa). Setelah selesai menyampaikan ikan tersebut, lalu
dilanjutkan dengan memberikan ulos ragi bolean yang maknanya juga sebagai media
permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar keluarga yang di doakan senantiasa
dilindungi, sehat dan hidup sejahtera. Sekarang ini acara seperti dimaksud tidak
lagi memberikan ulos Ragi Bolean, tetapi dengan ulos Ragi Idup.
Ulos Ragi Mangiring. Ulos ini bukan ulos untuk “diuloshon” ( diberikan dengan cara
membentangkan ke atas bahu atau ke pundak seseorang yang diulosi), melainkan oleh
orang tuanya mengikatkan kepinggang putranya yang sedang menuju usia dewasa (
atara 15-17 tahun) . Maksudnya diharapkan agar anak yang sudah melewati masa
remaja dan menjadi pemuda yang akan dewasa tersebut mampu“ marharangan”
yaitu mampu hidup secara mandiri dan mulai berusaha mencari nafkah. Dalam
bentangan ulos sejenis ini terdapat gambar bintang yang berbaris. Gambar bintang
itu disebut “bintang maratur” ( bintang teratur). Dalam perkembangannya, ulos
sejenis ini telah digunakan untuk mangulosi anak dengan maksud dan harapan agar
anak itu senantiasa sehat-sehat .
Ulos Bintang Maratur. Ulos jenis ini adalah ulos yang berfungsi sebagai salendang.
Corak ulos ini tidak menggambarkan namanya yakni bintang maratur, sebab di
dalam bentangan ulos ini tidak ada gambar bintang yang tersusun teratur. Justru
Ulos Ragi Mangiring sebagai dijelaskan di atas yang ada gambar bintang teratur (
bintang maratur).
Ulos Ragi Parompa. Sesungguhnya maksud dan tujuan ulos ini bukanlah ulos
untuk parompa (ulos untuk alat menggendong anak), melainkan diberikan dalam
rangka memohon pada Tuhan Yang Maha Kuasa agar anak itu senantiasa sehat, dan
cepat besar dan menjadi anak yang berguna. Dalam umpasa (perumpamaan) batak
dikatakan “ Sitongka panahiton, simbur magodang, penggeng matua ( jangan sakit,
cepat besar dan lambat tua). Corak ulos ini relatip sama dengan ulos ragi hotang
terdiri dari dua warna yaitu merah dan putih. Bedanya tidak mempunyai “kepala
ulos,” namun tetap memiliki rambu di kedua ujungnya yang dimaknai sebagai
harapan banyak keturunan. Ulos ini diberikan pamannya kepada ponakannya( dari
Tulang ke Bere/Ibebere)

Ulos Batak Menurut Penggunaannya.


Ulos yang dijelaskan pada uraian di atas adalah ragam ulos menurut jenisnya.
Dalam penggunaannya, juga dikenal berbagai ungkapan nama, sebagai berikut ini.

OMPU BONAHUTA 113


Ulos Holong. Dahulu kala masyarakat batak tidak mengenal apa yang disebut
ulos holong. Namun pada zaman belakangan ini sebutan ulos holong tersebut telah
berkembang pesat. Holong artinya kasih sayang. Rupanya ungkapan kasih sayang
ini dikaitkan dengan penggunaan ulos sebagai simbol kasih sayang tersebut. Ulos
holong ini pada umumnya diberikan oleh kerabat Hula-hula kepada Borunya, dan
atau kerabat Bona Tulang, Tulang Robobot, dan Tulang kepada Bere/Ibeberenya
(ponakannya). Dengan berkembangnya kebiasaan pemberian ulos holong ini, maka
masalah yang timbul adalah terjadinya inflasi ulos dan semakin rendahnya nilai guna
ulos. Masalah itu pun semakin “keruh” dengan berkembangnya kebiasaan baru,
dimana bagi orang diulosi, tetapi berhalangan datang dalam pesta adat perkawinan,
dapat diberikan melalui titipan. Pada hal pemberian ulos adalah bersifat sakral dan
merupakan alat atau media berdoa dari yang mangulosi kepada orang yang diulosi.
Ulos Parompa adalah ulos yang diberikan Tulang kepada Bere/Ibebere yang baru
lahir dengan maksud agar sehat-sehat selalu, bertumbuh dan senatiasa dilindungi
oleh Tuhan.
Ulos Sappe Tua adalah ulos yang diberikan oleh Hula-Hula dengan cara meletakkan
ke bahu seseorang Boru, karena istri/suaminya meninggal dunia dalam kategori “ Sari
Matua dan Saur Matua”. Pengertian Sari Matua adalah mempunyai anak dan cucu,
tetapi masih ada anaknya yang belum menikah. Bagi orang yang sudah menerima
ulos Sappe Tua, maka konsekwensinya tidak boleh kawin lagi. Sementara pengertian
Saur Matua adalah bahwa semua anak-anak sudah menikah dan mempunyai anak,
dan cucu bahkan sudah mempunyai cicit. Di atas kategori Saur Matua adalah Mauli
Bulung. Pengeritan Mauli Bulung adalah bahwa orang tersebut meninggal dalam usia
yang panjang, mempunyai anak laki-laki dan perempuan, semuanya masih hidup dan
semua mempunyai anak dan cucu.
Ulos Tujung adalah sehelai ulos yang diberikam oleh Hula-hula dengan cara
meletakkannya di atas kepala Boru yang mengalami kematian suami/istri yang belum
dalam status Sari Matua. Pemberian ulos ini mengandung arti duka yang mendalam.
Pemahaman ulos tujung ini, bahwa orang yang menerima ulos tersebut harus siap
menerima segala beban atas meninggalnya suami/istri yang dicintainya.
Kategori orang yang meninggal seperti di ungkapkan di atas mempunyai konsekwensi
pada acara adat penguburannya. Pada orang yang meninggal dengan kategori belum
Sari Matua ini, maka masih dalam duka yang dalam, dikebumikan secepatnya dan
tidak ada upacara adat kematian yang mencerminkan “pesta adat”.

114 OMPU BONAHUTA


Sebaliknya bagi orang yang meninggal dunia dengan status Sari Matua, maka
bisa dilakukan dengan upacara adat yang mencerminkan “pesta adat”, memberi
jamuan makan orang yang melayat dan berlangsung adat menurut unsur Dalihan
Natolu. Sementara bagi orang yang meninggal dunia dalam ketegori Saur Matua, dan
apalagi Mauli Bulung, dapat dikebumikan dengan upacara adat berskala besar. Orang
yang meninggal dunia dengan kategori semacam ini dapat dimaknai sebagai “ suka
cita” bagi keturunannya. Oleh karena itu musik tradisi batak ( gondang sabangunan)
dan tarian (tortor) batak patut dilakukan oleh keturunannya dalam acara upacara
adat kematian yang bersangkutan.
Perayaan pesta adat bagi orang yang Maulibulung bisa mencapai waktu 7 hari dan
kurban yang disembelih selain sejumlah ekor babi, juga menyembelih kerbau sebesar
ukuran berat Gajah. Berbeda dengan acara adat kematian Saur Matua. Acara ini pada
umumnya berlansung selama 3 hari dan kurban yang disembelih adalah seekor Sapi.
Namun, terdapat keanehan yang dipraktikkan dewasa ini. Oleh karena ketokohan
atau kedudukan seseorang yang meninggal begitu besar, maka kategori meninggalnya
sering “dirakayasa” dengan meningkatkan statusnya dari Sari Matua menjadi Saur
Matua. Pada hal rakayasa tersebut mempunyai konsekwensi terhadap aturan adat
dan harapan doa hadirin yang melayat.
Ulos Saput adalah sehelai ulos yang diberikan oleh kerabat Tulang (Paman)
kepada orang (ponakan /bere) yang meninggal dunia dalam kategori Sari Matua,
Saur Matua dan Mauli Bulung.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa penggunaan ulos batak
dewasa ini telah mengalami pergeseran dibandingkan dengan penggunaan ulos
batak pada zaman dahulu kala. Kebisaaan-kebiasaan yang dipraktikan dengan tidak
terlebih dahulu memahami filosofi tiap jenis dan penggunaan ulos batak merupakan
faktor penyebab pergeseran itu terjadi.

OMPU BONAHUTA 115


Bab IX
Sejumlah Istilah Batak

B
anyak istilah dalam bahasa batak seringkali diungkapkan tetapi kadang tidak
dipahami apa arti yang sebenarnya, sehingga acap kali salah menafsirkan
dan menggunakan. Guna meminimalisasi kesalahan itu, terutama bagi
masyarakat batak di masa depan, berikut ini disajikan sejumlah istilah
Suhut, adalah orang yang melaksanakan dan/atau bertanggung jawab atas
pelaksanaan suatu hajatan tertentu. Sedangkan Hasuhuton adalah kerabat dekat
dalam satu marga yang berperan membantu Suhut atau secara bersama-sama
dengan suhut untuk bertanggung jawab mensukseskan suatu pesta adat (hajatan).
Simanggokkon, adalah seseorang yang ditunjuk oleh Suhut untuk menyampaikan
undangan (gokkon) kepada para undangan yang telah ditentukan supaya datang
menghadiri pesta adat perkawinan sesuai dengan jumlah dan siapa yang diundang.
Orang Simanggokkon itu adalah pilihan Suhut dari antara anak kandung, atau
dari kakak/adek ( Haha-anggi) ataupun dari semarga (dongan tubu) yang masih
merupakan kerabat dekat.
Pamarai adalah orang yang ditunjuk untuk ikut malaksanakan dan bertanggung
jawab terhadap seluruh atau sebagian kegiatan pesta adat perkawinan dengan
maksad agar Suhut tidak terlampu berat melaksanakannya atau karena hal
tertentu ia tidak bisa melaksanakan/mengikuti acara pesta adat perkawinan .
Pamarai ini boleh dari kakak atau adek sendiri, tetapi kalau tidak bersedia atau
karena berhalangan, maka bisa menunjuk orang lain dari semarga (Dongan Tubu)
yang masih kerabat dekat. Kata pamarai ini berasal dari “abara” ( pundak), maka
pamarai adalah orang yang memikul tanggung jawab pelaksanaan pesta adat
perkawinan. Oleh karena itu untuk menjadi pamarai harus orang yang benar-
benar mampu dan dengan sukarela memberikan pikiran dan tenaganya untuk
mensukseskan pesta adat. Dengan demikian, tidaklah seperti kebiasaan sekarang
ini dimana kakak atau adek sendiri secara otomatis menjadi pamarai, dan secara
otomatis pula mendapat hak ulos pamarai, walau tidak melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya dengan baik. Jika ulos pamarai itu tidak diberikan kepadanya,

116 OMPU BONAHUTA


maka bisa berujung pada “sakit hati”. Guna menghindari hal itu , maka pamarai itu
senatiasa diberikan kepada kakak/adek sendiri.
Sijalo todoan, ialah Tulang, Pamarai, Simandokkon, dan Pariban, dimana mereka
berfungsi dan berperan penting dalam mensukseskan ulaon pesta adat perkawinan
(marunjuk). Karena pentingnya fungsi dan peranan mereka, maka mereka pun
mendapat hak “jambar sinamot” ( sejumlah uang yang berasal dari mas kawin).
Jika sudah demikian, maka ulaon marunjuk dinamakanlah parjambar na gok.

Parsinabung.
Parsinabung adalah orang yang menguasai seluk beluk dan tatacara adat. Ia
berfungsi dan berperan penting dalam mensukseskan pesta adat, sebab dialah
yang memimpin acara adat itu dari awal samapai selesai. Syarat Parsinabung
selain menguasai seluk beluk dan tatacara adat, ia harus memiliki kepemimpinan
dan karisma yang kuat, arif bijaksana serta memiliki kelembutan dalam hati dan
perkataan. Dahulu Parsinabung di hunjuk dalam ria (pertemuan) dongan tubu,
tetapi akhir-akhir ini telah ada sejumlah sosok dalam setiap marga yang menjadi
pilihan Suhut. Tinggal Suhut saja mengharapkan kepada siapa Parsinabung
dipercayakan.

Gokkon dohot Jou-jou.


Dalam undangan versi masyarakat batak tertulis “gokkon & joujou. Tidak cukup
dengan Gokkon (Undangan) saja. Maksud gokkon & jou-jou itu mengandung arti
”gokkon sipaimaon, jou-jou sialusan. Artinya undangan ditunggu dengan jawaban
kehadiran seseorang. Tidaklah sekedar datang, tetapi mempunyai kewajiban
tertentu. Oleh karena itu gokkon dimaksudkan sebagai harapan kehadiran
seseorang/keluarga untuk datang menghadiri pesta adat perkawinan. Sedangkan
jou-jou harus dijawab dengan memberikan kewajiban menurut adat yang berlaku.

Mangadati
Ulaon mangadati dilakukan sebagai akibat terjadinya perkawinan mangalua
( kawin lari). Sedangkan kawin lari terjadi adalah karena beberapa penyebab
antara lain, tidak direstui oleh orang tua laki-laki atau perempuan dan/atau
karena kesulitan biaya untuk melakukan perkawinan menurut hukum adat. Supaya
perkawinan itu syah menurut hukum adat batak, maka dilakukan upacara (pesta)
mangadati.

OMPU BONAHUTA 117


Manuruk-nuruk.
Apabila perkawinan seseorang dilakukan dengan cara mangalua, maka untuk
mendapatkan pengakuan kerabat, terlebih orang tua perempuan, maka orang tua
dan atau kerabat dekat laki-laki yang disebut “paranak” menyampaikan permintaan
maaf dengan cara yang disebut “manuruk-nuruk” kepada orang tua dan/atau
kerabat pengantin perempuan (parboro). Dalam pelaksanaan acara itu, mereka
membawa makanan dan seokor babi ( jika beragama islam dengan kambing) yang
sudah siap saji. Makanan ini dinamakan “ tudu-tudu sipanganon”.

Pasahat Sulang-sulang ni Pahompu.


Adat ini sebenarnya relatip sama dengan mangadati seperti dijelaskan di atas.
Bedanya, adat ini dilakukan setelah keluarga tertentu mempunyai anak. Acara
adat inilah yang disebut pesta pasahat sulang-sulang ni pahompu. Maksud dan
tujuannya juga sama yakni untuk memenuhi segala sesuatu berkaitan dengan
kewajiban adat kepada orang tua dan kerabat perempuan menurut adat dalihan
natolu. Dengan dilakukannya adat ini, maka perkawinan mereka telah syah
menurut adat batak dan oleh karena itu pula, maka mereka telah dapat mengikuti
adat batak sesuai norma adat yang berlaku.

Jenis Ulaon ( Hajatan ) :


Ulaon di jabu adalah hajatan yang dilakukan dalam jumlah undangan yang
terbatas di dalam rumah, tetapi lengkap dihadiri kerabat dalihan natolu. Sedangkan
ulaon saripe adalah hajatan dalam rumah dan dalam batas kerabat yang sangat
dekat dan tidak dihadiri kerabat Hula-Hula.
Ulaon di alaman atau sering disebut ulaon hatopan adalah pesta adat yang
dihadiri oleh undangan dalam jumlah yang relatip banyak dan lengkap dengan
seluruh unsur dalihan na tolu. Dahulu, ulaon di Alaman memang benar-benar
di halaman rumah. Akan tetapi sekarang ini, terlebih bagi masyarakat batak di
perkotaan, halaman rumah sudah diganti dengan sebuah gedung pertemuan
tertentu dengan kapasitas undangan yang relatip banyak ( sekitar 500-1.000 kepala-
keluarga). Tujuannya adalah agar pelaksanaan pesta lebih nyaman.
Marunjuk adalah pesta adat perkawinan menurut adat batak. Marunjuk, asal
katanya unjuk, yang artinya pesta. Tetapi penggunanan istilah ini hanya untuk pesta
perkawinan saja.

118 OMPU BONAHUTA


Mebat artinya orang orang tua bersama dengan putra dan menantunya
mengunjungi orang tua perempuan ( parboru ) ke rumahnya dengan membawa
makanan “tudutudu ni sipanganon” yang siap saji. Maksud dan tujuannya untuk
memberitahukan, bahwa mereka sehat-sehat, serta agar dikemudian hari mereka
bebas mengunjungi orang tua perempuan tanpa beban moral apa pun lagi.
Pinggan Panungkunan adalah sebuah piring khusus yang terbuat dari kramik
(dalam bahasa batak dinamakan Pinggan Pasu). Di dalamnya di isi beras secukupnya,
daun sirih 3 helai, dan sejumlah uang yang terdiri dari beberapa helai pecahan mata
uang tertentu. Dahulu isi pinggan panungkunan ini bukan uang, tetapi diisi dengan
daging yang sudah di masak dalam jumlah secukupnya. Pinggan panungkunan yang
di isi dengan benda dan uang kertas itu adalah berfungsi sebagai alas perundingan
mas kawin ( sinamot) , berikut tatacara penyelenggaraan adat perkawinan yang
akan dilaksanakan. Pinggaan panungkunan itu digunakan oleh Parsinabung (
orang pembicara ) pihak mempelai laki-laki (paranak) dengan Parsinabung pihak
mempelai perempuan (parboru). Sekarang ini piring yang dinamakan Pinggan Pasu
tersebut sudah sulit ditemukan kerena dijual oleh para pemiliknya, maka sebagai
pring penganti adalah berupa piring yang terbuat dari kramik biasa.
Sejumlah beras yang terdapat dalam Pinggan Panungkunan tersebut dimaknai
sebagai “Sipir ni Tondi” yaitu sebagai media permohonan pada Tuhan agar dikuatkan
roh dan jiwa mereka yang melangusungkan pesta adat perkawinan. Sedangkan daun
sirih dimaknai sebagai“ semangat persaudaraan”. Itulah sebabnya pada zaman
dahulu kala jika pinggan panungkunan telah diterima oleh “parsinabung” pihak
mempelai perempuan, maka daun sirih itu digigitnya atau dimakannya, sebagai
tanda telah diterimanya persaudaraan dan persetujuan dimulainya pembicaraan
atas hal-hal yang berkaitan dengan pesta adat perkawinan. Sekarang ini, daun
sirih itu cukup dipegang dan uangnya diambil sebesar 2/3 dari jumlah uang yang
terdapat dalam Pinggan Panungkunan oleh parsinabung pihak Parboru dan sisanya
sebesar 1/3 lagi bersama dengan pinggan panungkunan tersebut dikembalikan
kepada Parsinabung pihak mempelai laki-laki. Setelah itu, pembicaran dapat
dimulai oleh kedua pihak. Semua hadirin dalam pesta perkawinan itu wajib tertib
dan mendengar, serta mengikuti pembicaraan kedua Parsinabung tersebut sampai
selesai.
Sinamot adalah mas kawin berupa mas, perak, kerbau/sapi, tanah/sawah
( sekarang telah diganti dengan sejumlah uang) yang diberikan oleh orang tua

OMPU BONAHUTA 119


mempelai laki-laki kepada orang tua mempelai perempuan, sebanyak yang telah
disepakati pada waktu Marhusip dan Marhata Sinamot.
Ampang atau dalam bahasa batak Toba juga dinamakan Jual adalah sebuah
bakul yang dianyam dari rotan. Satu Ampang berisi 10 tumba ( sama dengan 2
liter) yang di buat dari bambu. Dari asal kata ampang inilah timbul sebutan Sihunti
Ampang yaitu orang dari pihak mempelai laki-laki ( adek/kakak/bibi) yang memikul
bakul tersebut. Di dalam ampang ini di isi “tudutudu nisipanganon” yang siap saji,
untuk disampaikan kepada kerabat mempelai perempuan pada saat pelaksanaan
marsibuhabuhai di pagi hari ( sekitar pukul 07.00 ) pelaksanaan pesta perkawinan
Marhata ialah suatu perundingan tentang tatacara pelaksanaan kegiatan adat
tertentu. Berbeda dengan kata manghatai. Perkataan ini artinya berbincang-
bincang saja tentang sesuatu atau tentang apa saja.
Parsituak na tonggi adalah pemberian uang dalam jumlah tertentu dari
Suhut ( yang mempunyai hajatan) kepada Hulahula setelah selesai memberikan/
menyampaikan ulos dalam pesta adat.
Ingotingot adalah sejumlah uang pecahan dalam nilai nominal tertentu yang
dibagi-bagi kepada semua yang menghadiri acara marhusip, dengan maksud
agar segala sesuatu yang sudah diperjanjikan kedua kerabat mempelai, terlebih
hubungan cinta kasih kedua calon mempelai, agar senentiasa diingat oleh semua
orang yang ikut mengadiri acara marhusip. Dengan adanya ingot-ingot tersebut,
maka kedua calon mempelai tidak bebas lagi mencari jodoh dan sudah terikat untuk
menjadi calon suami istri yang akan dilangsungkan pada pesta adat pernikahannya
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Olopolop adalah ucapan terimaksih kepada semua hadirin atas sukses dan
selesainya pesta adat perkawinan melalui cara pemberian sejumlah uang pecahan
dari kedua orang tua mempelai. Uang pecahan/recehan itu dimasukkan dalam
“pinggan pasu/piring kramik” dan kemudian semua orang yang masih tinggal
dalam acara adat pernikahan tersebut mengambil uang pecahan/recehan tersebut
secara satu persatu.
Pauseang adalah sejumlah barang atau sawah yang dibawa mempelai
perempuan yang diberikan oleh orang tuanya pada saat pesta perkawinan untuk
menjadi “harta pusaka” mereka, dengan syarat barang atau sawah itu tidak
bebas dijual dikemudian hari. Dengan latar belakang inilah, maka jika seorang
ibu meninggal dunia, dan setelah dimakamkan, maka akan dilakuka acara yang

120 OMPU BONAHUTA


dinamakan “Ungkap Hombung” yaitu suatu acara khusus untuk membuka peti
tempat harta peninggalan ibu yang meninggal tersebut, lalu sejumlah uang
diberikan kepada pihak Hula-hula .

Sulang-Sulang Hariapan.
Sulang-sulang hariapan ialah suatu cara untuk membayar “hutang adat”
seseorang kepada orang lain ( Dongan Tubu dan Dongan Sahuta), oleh kerena
dia akan pensiun dari ulaon adat (purna adat). Pelaksananya bukan orang yang
bersangkutan, melainkan anaknya ( putra dan putrinya). Sulang-sulang Hariapan ini,
pada umumnya dilakukan pada waktu yang bersangkuatan masih sehat dan masih
bisa makan dengan bebas agar yang bersangkutan dapat menikmatinya. Dahulu
semua orang batak melaksanakan sulang-sulang hariapan, tetapi sekarang ini tidak
lagi demikian, terutama bagi masyarakat batak di perantauan dan perkotaan.

Dongan Sahuta.
Pelaksanaan pesta adat batak, tidak bisa hanya dilaksanakan oleh Suhut
dan Hasuhuton (kerabat yang punya hajatan). Jika sampai hal yang demikian
terjadi, maka akan berlaku hukum sosial yang mengatakan “ Suhut do na suhut,
dihasuhuthonma ma ulaonna ” Artinya, biarlah yang punya hajatan melaksanakan
hajatannya sendiri, tak perlu di bantu. Itulah sebabnya dalam Sistem Dalihan
Natolu yang meliputi Subsistem Hula-hula, Subsistem Dongan Tubu dan Subsistem
Boru, terdapat lagi satu tambahan Subsistem yang dinamakan Sihal-sihal yaitu
Dongan sahuta”. Dongan sahuta adalah rekan sekampung yang berperan penting
dalam mensukseskan pesta adat dan menjadi patner ( rekan kerjasama ) Suhut
dan Hasuhuton dalam melaksanakan kegiatan adat. Jika Subsistem Boru tidak
optimal melaksankan tugasnya sebagai “parhobas”, maka Dongan Sahuta akan
membantunya atau bahkan mengambil alih tugas itu. Itulah sebabnya, dongan
sahuta juga disebut “raja ni dongan sahuta” dan mendapat hak jambar hata dan
jambar juhut.

Parhobas.
Pada setiap kegiatan apa pun pada masyarakat adat Batak, agar sukses harus ada
panitia pelaksana. Panitia pelaksana itu sudah baku atau secara otomatis diambil
dari unsur Boru ,termasuk Bere dan Ibebere ditambah Dongan Sahuta. Merekalah
yang disebut parhobas. Unsur parhobas ini dalam ulaon di jabu dan ulaon di alaman
sangat berperan penting untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan pesta adat

OMPU BONAHUTA 121


Batak. Oleh karena pentingnya peranan itu, maka mereka pun mempunyai hak
“jambar juhut”.

Parumaen.
Parumaen berasal dari kat Par-uma-an. Kata ini timbul sebagai konsekwensi,
bahwa boru yang “marhamulian” adalah dalam arti pulang (muli) ke laki-laki yang
menjadi suaminya. Biasanya pada waktu itulah membawa hauma (sebedang tanah
sawah) kepada suaminya yang dalam bahasa batak disebut” pauseang”. Itulah latar
belakang nama Parumaen (mantu perempuan).

Paniaran.
Dewasa ini seringkali salah kaparah menempatkan penggunaan sebutan
“Paniaran”. Misalnya, dalam pesta adat, marga tertentu mengundang para
istrinya untuk ikut bergabung dalam suatu acara dan memanggilnya dengan
sebutan Paniaran. Pada hal kata paniaran timbul dengan latar belakang seorang
perempuan janda menjadi istri kedua kerabat suaminya. Prosesnya diawali dengan
menjemur pakaian di jemuran pakaian janda tersebut sebagai cara pemberitahuan
pada janda yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya bahwa janda tersebut
akan dikawini olehnya menjadi isterinya yang kedua. Dari peristiwa inilah asal kata
paniaran ( SHW Sianipar, Ibid, halm.105).

Nanialap.
Nanialap artinya istri. Latar belakang timbulnya nama Nanialap ini adalah
karean istri dijemput dari rumah orang tuanya.

Parsinonduk.
Parsinoduk adalah panggilan laki-laki kepada istrinya dengan bahasa batak yang
lebih halus. Nama ini timbul dengan latarbelakang peranan istri yang senantiasa
menyiapkan makanan suaminya atau keluarga pada waktu makan. Konsekwen
panggilan ini , maka tidak baik bila ada orang lain yang menyediakan makanan bagi
suami di rumahnya, sebab suami itu adalah miliknya. Sebaliknya Sinonduk yaitu
panggilan untuk seorang laki-laki yang menjadi suami seorang perempuan.

Ripe.
Ripe artinya adalah milik. Bedanya dengan Nanialap dan Parsinonduk, adalah
menyangkut makna kata, dimana kata ripe lebih bersifat pribadi dan menggunakan

122 OMPU BONAHUTA


bahasa “ sehari-hari”. Jika kata ripe berulang menjadi “ripe-ripe”, maka
penegrtinanya jadi beda yakni milik bersama.

Tunggani Boru.
Tunggani Boru artinya juga istri. Menurut SHW Sianipar, kata tunggani berasal
dari asal kata tugane ( tugani) yang artinya seseorang yang di haruskan bertanggung
jawab melakukan pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh seorang perempuan.
SHW Sianipar, Ibid, hlm104). Perempuan dimaksud disebut Tunggani Boru.

Parsinuan.
Parsinuan artinya anak yang meneruskan keturunan selanjutnya dalam suatu
keluarga tertentu. Penggunaan kata parsinuan di tujukan pada anak laki-laki.

Ihan Batak dan Ihan Mas.


Ihan ( ikan) Batak dan Ikan Mas adalah dua jenis ikan yang menjadi ikon
kesehatan, banyak keturunan dan hidup sejatera. Ihan batak adalah ikan khusus di
Tanah Batak, yang bentuknya seperti ikan aruana. Ikan ini hidup di air yang bersih
dengan suhu udara dibawah 20 derajat selsius. Dahulu jenis ikan ini banyak di
Danau Toba dan Sungai Asahan serta sungai-sungai lain yang keadaan lingkungannya
bersih dengan tingkat suhu tertentu. Sekarang, karena lingkungan hidup Tano
Batak sudah rusak , maka jenis ikan ini telah amat langka. Bahkan kini , jenis ikan
ini hampir sudah punah. Danau Toba tampaknya tidak layak lagi sebagai tempat
hidupnya , sebab telah tercemar limbah, dan masuknya ikan-ikan jenis lain yang
memangsa anak-anaknya. Misalnya, masuknya ikan jenis mujahir dan ikan-ikan lain
yang tidak ramah lingkungan menyebabkan Ihan Batak relatip punah. Sedangkan
Ikan Mas memang masih banyak, tetapi bukan lagi hidup di Danau Toba dan Sungai
Asahan, melainkan telah diternakkan di kolam tertentu atau sawah.
Ikan ini diberikan oleh Hula-hula kepada Boru pada saat melaksanakan kegiatan
adat dengan nama “ dengke simudur-udur,dengke sitio, dengke sahat” dalam
maksud agar seperti ikan itu, berbaris, hidup bersih dan sehat serta mempunyai
keturunan yang banyak. Jadi desebut dengke sitio, oleh karena ikan batak dan
ikan mas itu hidup atau diambil dari air yang bersih. Sementara dengke sahat,
maksudnya adalah agar segala doa hula-hula kepada borunya didengar Tuhan.
Itulah sebabnya pemberian ikan ini akan di ikuti pemberian ulos batak jenis Ulus

OMPU BONAHUTA 123


Ragi Hotang yang maknanya adalah sama yakni agar banyak keturunan, kaya dan
menjadi orang yang terhormat.

Piso-piso.
Piso-piso adalah pemberian paling tinggi dari Boru kepada Hulahula. Dahulu
kala latar belang timbulnya piso-piso adalah karena seseorang (Hulahula) akan
memangku jabatan atau menjadi raja. Dalam rangka itu, maka raja merayakannya
dengan pesta adat. Untuk kepentingan tersebut, pihak Boru memberikan sebilah
pisau yang disebut Piso Halasan kepada sang raja pada waktu berlangsungnya
pesta. Namun, sekarang ini piso-piso telah diganti dengan uang dan diberikan oleh
Suhut kepada Hulahula pada saat pesta adat.

Jambar dan Parjambaran.


Yang dimaksud dengan jambar adalah hak dalam pembagian daging babi/
kambing/ sapi/ kerbau yang disembeli pada saat pelaksanaan adat tertentu.
Bagian dari juhut (daging) itu meliputi ; Ulu (kepala), Rungkung (leher) dan Ihur-
ihur ( bagian belakang). Sedangkan yang disebut parjambaran adalah sujumlah
daging yang ditambahkan pada jambar tadi untuk dibagikan kepada para undangan
yang berhak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan adat. Dahulu parjambaran
ini adalah daging yang dipotong-potong dalam ukuran yang kecil ( dalam bahasa
batak disebut tanggo-tanggo). Sekarang, panjambaran terdiri dari (1) Panamboli,
(2) Rusuk atau yang sering disebut Somba-somba, dan (3) Soit. Pembagian jambar
tidaklah sama di setiap daerah. Misalnya menurut adat di Samosir dengan di Toba
Uluan dan di Humbang pembagian jambar juhut berbeda dari pembagian jambar
juhut yang disebutkan di atas. Oleh karena masalah perbedaan itu, maka solusinya
dilakukan dengan kearifan lokal yaitu : “ sidapot solup do naro” yang artinya
pembagian jambar juhut dan atau pemberlakuan adat berlaku menurut norma
adat yang dipraktikkan di daerah yang menyelenggarakan pesta hajatan.

Titi Marangkup
Sering kali kita mendengar pengucapan kata ini salah dengan mengatakan
“tintin marangkup”. Pada hal yang benar adalah “Titi Marangkup” yang artinya
semacam jembatan persaudaraan berupa sejumlah uang atau barang yang
diberikan oleh orang tua mempelai perempuan kepada Hula-Hula mempelai
Laki-laki. Motivasi pemberian uang ini adalah siapa pun yang menjadi istri Bere

124 OMPU BONAHUTA


(Ponakan) dari pada Hula-hula mempelai laki-laki adalah menjadi putrinya. Oleh
karena orang tua mempelai perempuan itu telah mengawinkan putrinya dan
menerima sinamot (uang atau barang berharga) dari orang tua mempelai laki-
laki, maka wajib memberikan secukupnya uang/barang berharga tersebut kepada
Hula-hula mempelai laki-laki. Uang atau barang berharga yang diberikan tersebut
dinamakan “Titi Marangkup”. Dengan diberikan/diterimanya uang atau benda
berharga itu, maka mereka telah bersaudara, menerima mempelai perempuan
itu sebagai putrinya dan ikut bertanggung jawab atas perjalanan rumah tangga
mempelai tersebut kemasa depan.

OMPU BONAHUTA 125


Kepustakaan

S.H.W. Sianipar. DL. Tuho Parngoluon Dalihan Natolu Sistem Bermasyarakat Bangso
Batak, 1991.

Basyral Harahap. Gereget Tuanku Rao, 2007.

Budaya Batak , Wipadia, Bahasa Indonesia, 2012.

Aris Ananta, dkk, Penduduk Indonesia. Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik
LP3ES, 2003.

Lance Castles, The Political Life of A Sumantran, Residency Tapanuli 1915 – 1940,
Tahun 1972.

Prof. DR. Koetjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan Indonesia, 1981.

Doangsa PL. Situmeang, Dalihan Natolu, Sistem Sosial, Kemasyarakatan Batak Toba,
2001.

DL. Tobing. The Structure of the Toba Batak Belief in the Hight God, Amsterdam,
Jacop van, Kampen, 1956.

Stungkir, Dalihan Natolu, Ke Makro Soial, 2008.

Komaruddin Hidayat, Kompas, 2 Mei 2011.

Silsilah ( Tarombo ) Besar Bona Huta Manurung Yang Disusun Generasi XII.

126 OMPU BONAHUTA

Anda mungkin juga menyukai