Anda di halaman 1dari 53

Kemarin Paman Pulang Part 3

KEMARIN PAMAN PULANG PART 3


“Bialah den lalu jalan balakang” (saya lewat jalan
belakang) ujar Ade.
“Lai ndak a tu doh? Ka bakawanan ang ndak?”
(Beneran gapapa? Mau ditemenin ga?) tawar salah
seorang di warung tersebut.
"Ndak diam pak, mokasih. Lah den dulu yo" (gak
usah pak, makasih. Saya duluan ya) pamit Ade.
Ade mengambil jalan memutar ke belakang,
melalui sisi sawah dan nantinya akan tembus ke hutan
yang pangkalnya berada di belakang rumah Mardani,
tepatnya di lokasi ia dan Salman dulu bekerja membuka
jalan.
Waktu yang sudah hampir sore membuat jalan
pematang sawah itu begitu sepi. Hanya ada satu dua
orang yang berpapasan dengan Ade dan selalu
menanyakan ada apa dengan tangannya, namun Ade
hanya mengatakan bahwa ia ceroboh saat bekerja.
Ketika akan memasuki hutan dari sisi belakang,
Ade berpapasan dengan Kutar, tetangganya yang bekerja
menggembalakan sapi sapi milik orang. Saat itu Kutar
tengah mencari salah satu sapi gembalaannya yang
belum pulang.

2
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Manga tu bang Kutar?” (lagi ngapain nih bang


Kutar?) sapa Ade seakan tidak peduli dengan luka di
tubuhnya.
“Heh?? Dek a ang ko??” (Heh?? Kamu kenapa???)
Kutar tidak menjawab pertanyaan Ade dan malah panik
melihat lengan baju Ade yang sudah bercorak rembesan
darah.
“Kanai pato tadi balantun ndak sangajo” (Kena
kapak tadi melenting gak sengaja) ujar Ade sambil
cengengesan.
“Batele jo waang mah.. Lah ka kama ang lai ko?”
(Ceroboh kamu.. mau kemana kamu sekarang?) tanya
Kutar dengan mata yang masih belum bisa berhenti
menatap ke arah luka Ade.
“Pulang lai, lalu ka parak koa. Bang manga?”
(mau pulang, lewat hutan ini. Abang ngapain?)
“Ko a jawi sikua ilang, biasonyo kok lah sanjo nyo
kamari tu. Tapi tadi ndak adoh doh. Den tunggu siko lu,
kok alun lo nampak, gakti den dalam parak ko nyo
maandok” (Ini ada satu sapi saya hilang, biasanya kalo
udah sore dia kesini. Tapi tadi nggak ada. Saya nunggu
disini dulu, kalo masih belum muncul, kayaknya dia
ngumpet di dalam hutan) jelas Kutar.

3
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Oh yolah, wak dulu yo bang” (Oh yaudah, saya


duluan ya bang) ujar Ade berpamitan dan mulai masuk
ke hutan.
Ade berjalan menyusuri jalan setapak yang
berada di tengah hutan. Hutan ini sebenarnya tidaklah
besar namun bentuknya memanjang. Didalamnya
banyak pepohonan buah seperti durian, mangga dan
kelapa yang dimiliki warga. Beberapa sudut juga terdapat
pemakaman keluarga dan bale bale tempat warga tidur
saat musim durian berlangsung.
Hanya beberapa menit sejak Ade berpamitan,
Kutar akhirnya memutuskan masuk juga ke dalam hutan
untuk mencari sapi gembalaannya yang hilang. Khawatir
jika hari semakin gelap akan semakin sulit
menemukannya.
Beberapa meter di depan Kutar, Ade berjalan
dengan pelan dan mengendap endap, namun setelah
yakin tidak ada Salman disana, Ade berjalan dengan
biasa. Ia sengaja melewati jalan hutan dan tidak melalui
jalan setapak yang sering digunakan para petani.
Tujuannya adalah rumah Dewi. Ia akan bertahan disana
dan menunggu kondisi kondusif untuk bisa bertemu lagi
dengan Salman. Ade yakin saat ini Salman ada di rumah
Hamidah.
Sampai tiba tiba.. suara langkah yang sangat
cepat terdengar membelah semak belukar.

4
Kemarin Paman Pulang Part 3

Ade refleks menghadap ke kanan dan Salman


sudah berlari ke arahnya dengan mengacungkan kapak
tinggi tinggi!
“MATILAH ANG DE! MATI!” (MATI KAMU DE!
MATI!) teriak Salman sambil mengayunkan kapaknya.
Tebasan pertama itu gagal karena Ade berhasil
menghindar.
“BANG! BANG! BANG!!!” Ade berteriak sambil
mempercepat larinya dan mulai berbelok, tidak menuju
arah belakang rumah Dewi, namun bergerak melebar ke
arah kiri.
Salman masih dengan gelap mata mengayunkan
kapaknya ke segala arah hingga menebas beberapa
pepohonan disana.
Ade masih terus berlari, ia memanfaatkan celah
antara pohon untuk dapat menggocek Salman dan
menghindar. Dari kejauhan, Kutar yang melihat Ade
berlari mengira ada binatang buas di hutan tersebut dan
segera merunduk. Namun ia sadar yang dihindari Ade
adalah orang juga, dan orang itu adalah Salman.
Awalnya Kutar ingin bergabung dan bertanya apa
yang sudah terjadi. Tapi ia segera mengurungkan niatnya
ketika mendengar Ade berteriak teriak meminta tolong
memanggil nama Salman dan Salman mengacungkan
kapak yang terus menyambar tanpa henti mengarah ke

5
Kemarin Paman Pulang Part 3

Ade. Walaupun tidak punya keberanian untuk maju,


Kutar mengikuti keduanya sambil mengendap endap.
“BANG ALAH TU BANG!!! BAANGG!!
TOLOONGG!!” (BANG UDAH BANG! BANG!!
TOLOOONGG!!) teriak Ade yang tenaganya mulai
terkuras. Berlari di hutan tidak semudah berjalan di
permukaan datar jalan kampung. Sesekali Ade harus
meloncat dan merunduk, hal itu membutuhkan tenaga
ekstra dari sekedar berlari biasa.
Hingga satu titik, Ade berada di satu sisi hutan
yang sudah berbatasan dengan sawah. Jika maju terus, ia
akan masuk ke kubangan lumpur dan itu akan
menyulitkannya dalam bergerak. Akhirnya Ade berputar
balik dan berlari kembali ke arah hutan yang ia dulu buka
bersama Salman.
Nafas Ade mulai mencapai batasnya. Langkahnya
sudah tidak begitu kuat dan kecepatannya menurun
walaupun masih belum bisa dikejar oleh Salman.
Tubuhnya juga mulai melemah karena darah yang
mengalir dari punggungnya kembali basah oleh keringat.
Sesekali ia tersandung namun masih bisa berlari lagi
dengan cepat. Kini, tinggal beberapa meter ia akan tiba
di jalur yang dulu ia buka. Jika sudah mencapai sana ia
akan aman berlari tanpa rintangan dan bisa berlindung di
rumah.

6
Kemarin Paman Pulang Part 3

Namun malang bagi Ade..


Tepat di depan jalur itu, Ade tersandung salah
satu akar pohon dan jatuh terjerembab. Ade mencoba
berdiri kembali namun kakinya terkilir sehingga ia hanya
bisa merangkak... dan saat itu.. Salman datang…
Ade berbalik dan duduk.. ia masih berharap saat
itu juga abang kandungnya itu sadar dari pengaruh iblis
di dalam dirinya.
“BANG! KO ADE BANG! BANG!! AMPUN BANG!!!”
(BANG INI ADE BANG! BANG!! AMPUN BANG!!!)
Namun semuanya terlambat. Kapak Salman
kembali melayang ke arah kepala Ade, dan kali ini
serangan itu berhasil mengenai Ade walaupun masih
meleset dari tujuan utamanya.
Bagian dahi Ade robek beberapa sentimeter
diatas alis matanya. Sadar bahwa Salman mengincar
kepalanya, Ade menutupi kepala dan lehernya
menggunakan tangan. Persis seperti pose pertahanan
seorang petinju.
Tapi serangan Salman justru semakin mengganas.
Ia tetap mengayunkan kapaknya terus menerus ke arah
lengan Ade. Setiap hantaman kapak itu merobek kulit
dan daging lengannya hingga tulang lengan Ade terlihat.
Ade menjerit kesakitan namun tidak ada yang bisa
membantunya. Serangan brutal itu juga mengenai sedikit

7
Kemarin Paman Pulang Part 3

leher dan perut Ade. Jika saja ia tidak mengorbankan


lengannya, mungkin leher Ade sudah putus atau
perutnya sudah robek karena sabetan Salman
Darah segar terus mengalir dari bekas tebasan
kapak itu. Tidak kurang 8 kali Salman menghantamkan
kapaknya kearah lengan Ade karena ia terus menutupi
kepala dan dadanya dengan tangan. Hingga akhirnya Ade
kehilangan kekuatan tangannya dan penjagaanya
terbuka.
Tubuh Ade terlentang menghadap langit.
Suaranya melemah dan pandangannya mulai samar..
sesekali ia masih memanggil nama Salman yang kini
berdiri mengangkang diatas tubuhnya dan memintanya
berhenti. Namun kedua lengan Salman terangkat tinggi
dan..
TAK!
Suara itulah yang Kutar dengar dari kejauhan saat
hal mengerikan ini terjadi. Suara sebuah kapak yang
mengenai tulang rusuk manusia. Salman dengan dua
tangan menghantam kapak itu ke dada kanan Ade.
Kapak itu sempat menempel di dada Ade
beberapa detik sebelum dicabut Salman. Ade
mengeluarkan suara seperti sapi yang melenguh saat
disembelih.

8
Kemarin Paman Pulang Part 3

Ade terbaring dan tidak bisa berbuat apa apa.


Tubuhnya menegang dan kejang kejang. Ia berkubang di
darahnya sendiri namun masih dalam keadaan sadar.. Ia
mengira Salman akan melanjutkan siksaannya pada
dirinya. Saat itu kepala Ade terbuka lebar dan sangat
mudah untuk ditebas.. hal itu akan mempersingkat
waktu Ade ketimbang menahan rasa sakit yang amat
sangat dari lubang lubang di tubuhnya sekarang.
“Caliak lah karajo ang kini. Kok ndak kurang aja,
ndak takah ko ang kini doh” (Lihat kerjaanmu ini. Kalau
kamu gak kurang ajar, kamu gaakan kayak begini) ujar
Salman.
Ade tidak bisa menjawab apa apa. Ia hanya
terbatuk batuk dan nafasnya terdengar sangat payah.
“Lah duo.. surang lai.. lalok lah ang siko, den cari
si Ilham..” (sudah dua.. tinggal satu lagi.. kamu tidur aja
disini, saya cari si Ilham) perintah Salman sambil
kemudian berlalu meninggalkan Ade terbaring ditengah
hutan.
Kutar butuh waktu untuk memastikan Salman
sudah pergi dan ia cukup aman untuk mendekat kearah
Ade. Saat tepat berada disamping Ade, Kutar tidak bisa
menahan air matanya. Ade yang baru saja ditemui, kini
terbaring bersimbah darah di hadapannya.. namun Ade
masih terbatuk batuk, menunjukkan ia masih sadar

9
Kemarin Paman Pulang Part 3

“A.. nan lah tajadi ko de…” (apa yang sudah


terjadi de…)
“Tolong caliakan abang den bang... jan sampai
urang lain takah den lo.. nyo kini ka mancari Uda Ilham
ka ilia.. capek tangkok nyo..” (Tolong liatin abang saya..
jangan sampai orang lain seperti saya.. dia sekarang ke
hilir nyari bang Ilham.. cepat tangkap dia..) pesan Ade
dengan suara lemah dan wajah yang pucat.
“Iyo iyo beko den sabuikan ka urang tapi kini wak
harus ka rumah sakik de!! Caliak lah badan ang ko ha!!”
(Iya iya itu bisa saya bilang ke orang orang nanti, tapi kita
sekarang harus ke rumah sakit de!! Lihat badanmu ini!!”
jerit Kutar.

“Sakik bang..” (sakit bang..)


“Ang.. ang tunggu siko, bia den imbau urang
urang. Tahan de!!” (Kamu.. kamu tunggu didisini. Biar
saya cari orang orang. Tahan de!!) ujar Kutar lalu berlari
kearah warung terdekat.
Ditempat lain, Salman sudah sampai ke rumahnya
kembali. Banyak percikan darah dan luka lecet di lengan
Salman akibat menerjang pepohonan di hutan tadi.
Hamidah yang melihat penampilan anaknya
begitu kacau itu lantas bertanya.

10
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Dari ma ang Man.. baa kok kumuah na


badan?..” (darimana kamu Man.. kenapa kotor sekali
badanmu)
“haha.. mak, caliak lah ka parak, anak amak lah
den dabiah disinan” (haha.. ibu, ibu liat ke hutan, anak
ibu udah saya sembelih disana) ucap Salman sambil
berjalan melewati Hamidah dengan senyum seringai
lebar penuh kebanggaan.
“hah?? Apo ang kicekan??” (Hah kamu bilang
apa??) Hamidah belum bisa memahami maksud ucapan
Salman. Sampai akhirnya Hamidah sadar ada aroma amis
darah yang begitu tercium dari pakaian Salman.
Hamidah tanpa pikir panjang langsung
menyisingkan dasternya dan berlari ke belakang.
Mardani yang saat itu baru pulang juga melihat Hamidah
yang berlari dengan tergesa mencoba memanggil istrinya
itu.
“Idaah, kama kau tuu?” (Idaah, mau kemana
kamu?”
“Pak! Pak! Pai ka parak lakang pak! Ade pak!
Ade!” (Pak! Pak! Pergi ke hutan belakang pak! Ade pak!
Ade!) Hamidah panik dan tidak bisa berkata kata apapun
lagi.

11
Kemarin Paman Pulang Part 3

Mardani hanya mengangguk bingung dan segera


berlari ke hutan berdua dengan istrinya itu. Sejenak ia
melupakan traumanya melalui jalan tersebut.
Kembali ke Kutar, ia berlari ke warung tempat
Ade terakhir kali singgah setelah dikejar Salman. Nafas
Kutar memburu, lengannya sudah terkena darah Ade dan
bibirnya terus bergetar. Ketika melihat ada 3 orang
sedang mengopi di warung tersebut, ia langsung
berteriak sambil berlari mendekat.
“BANG! DUO URANG TOLONG BANTU AWAK
BANG! ADE DITUSUAK DEK SALMAN DI PARAK! SURANG
LI MINTA TOLONG UNTUAK MANELPON AMBULAN! TU
PAI KA ILIA, CARI DA ILHAM, JAN SAMPAI SALMAN
BASOBOK JO INYO!!” (BANG! DUA ORANG TOLONG
BANTU SAYA BANG! ADE DITUSUK SALMAN DI HUTAN!
SATU ORANG LAGI MINTA TOLONG BUAT MENELPON
AMBULAN! HABIS ITU PERGI KE HILIR, CARI BANG ILHAM,
JANGAN SAMPAI SALMAN KETEMU SAMA BANG ILHAM!)
Seisi warung itu panik, apalagi baru beberapa saat
yang lalu Ade duduk bersama mereka disana. Dua orang
kemudian pergi bersama Ade, bergegas kembali ke hutan
untuk memindahkan Ade ke tempat terbuka. Karena
ambulans akan sangat sulit meraih lokasi tersebut yang
hanya berupa jalan setapak di tengah hutan.

12
Kemarin Paman Pulang Part 3

Sementara satu orang lagi menghubungi


ambulans dan mencari pinjaman mobil bak terbuka.
Khawatir jika ambulans rumah sakit saat itu lama untuk
menjangkau lokasi mereka. Sepanjang perjalanan, orang
ini juga mengabarkan ke semua orang untuk menjaga
jarak jika melihat Salman dan tolong beritahu jika melihat
Salman berkeliaran.
Ketiga orang tadi termasuk Kutar adalah yang
pertama datang ke lokasi terbaringnya Ade. Dua orang
dari warung tadi serentak mengucapkan istighfar melihat
keadaan Ade yang sangat parah. Namun Ade saat itu
masih sadar dan bahkan terduduk walaupun wajahnya
sudah pucat. Ia melihat dengan kosong kearah lengannya
yang sudah robek begitu dalam akibat kapak Salman.
Melihat ada 3 orang berdiri di tengah hutan,
Hamidah dan Mardani bergegas ke lokasi yang sama.
Kutar yang sadar Mardani dan Hamidah mendekat
awalnya ingin melarang kedua orang tua itu. Namun
semua terlalu sulit untuk dihindari.
Hamidah menjerit sangat kencang dan langsung
menghambur ke tubuh Ade.
“ADEEE!! DEK A ANG NAKKK.. A NAN LAH TAJADI
KO ADEEEEE!!!!!” (ADEEE!! KENAPA KAMU NAKKK… APA
YANG SUDAH TERJADI DEEEEE!!!) jerit Hamidah sambil
memeluk tubuh Ade.

13
Kemarin Paman Pulang Part 3

Kutar dan yang lain terdiam. Ade berusaha


menjawab pertanyaan itu dengan nafas yang tersedak
sedak.
“Bukan abang mak.. bukan abang.. bang Salman
ndak ka amuah manyiso adiaknyo surang.. indak bang
Salman gai tadi tu doh.. bang Salman elok..” (Bukan
abang bu.. bukan abang.. bang Salman gaakan mau
menyiksa adiknya sendiri.. yang tadi itu bukan bang
Salman.. Bang Salman itu orang baik..) ucap Ade dengan
suara lemah.
“AAAAAAAAAA.. ADEEE” Hamidah kembali
memekik.
“B.. Bao anak den ka muko, lah baimbau
ambulans??” (B.. bawa anak saya ini ke depan, udah
panggil ambulans?) Mardani terlihat begitu bergetar
namun ia mencoba tetap fokus menyelamatkan anaknya.
“Alah pak! Sadang kamari. Peklah wak angkek
Ade ko ka muko, bia kok tibo oto tu tingga naiak inyo lai!”
(Sudah pak! Sedang perjalanan kesini. Cepat kita angkat
Ade ke depan, biar kalaau nanti mobilnya datang bisa
langsung dinaikkan) perintah Kutar kepada kedua orang
lain.
Ketika orang itu mengambil posisinya, Kutar
mengangkat bagian bahu dan menahan kepala, satu
orang berada di pinggang dan satu lagi mengangkat di
kaki.

14
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Kok ado taraso sakik, agiah tau kami yo De”


(kalau ada yang terasa sakit, kasih tau kami ya De) pesan
Kutar.
“Bagarah jo bang mah.. lah takah ko bantuak den
kini gakti ndak sakik badan den doh.. ah.. “ (bercanda aja
abang.. saya udah kayak gini emang dikira ga sakit.. ah..)
entah kenapa Ade masih bisa bercanda disaat seperti itu.
Ketiganya mengangkat Ade dengan perlahan.
Saat tubuhnya diangkat, darah di tempat Ade terbaring
sudah seperti lokasi bekas pemotongan kambing qurban
idul adha. Darah kental berwarna merah kehitaman
menggenang diatas tanah kering di hutan itu.
Mereka lalu berjalan dengan terus mengajak Ade
berbicara agar tetap sadar. Sampai tiba tiba Mardani
teringat sesuatu..
“Salman dima kini?? Dirumah???” (Salman
dimana sekarang?? Dirumah???)
Hamidah tersentak.
“Iyo pak! Tadi sabalun wak kalua, Salman di
dalam rumah, di dapua” (iya pak! Tadi sebelum saya
keluar, salman ada di dalam rumah, di dapur) jawab
Hamidah.
“Nah capeklah pastian inyo disinan Tek. Kok di
rumah jo baru nyo, andokan gai dulu. Atau masuakan
nyo ka biliak tu kuncian. Wak ndak tau kok nampak nyo

15
Kemarin Paman Pulang Part 3

Ade mangamuak nyo lo baliak. Inyo bapato.. ndak ka


talawan di awak..” (Nah pastiin dulu dia disana bu. Kalau
masih di rumah, umpetin dia dulu. Atau masukin ke
dalam kamar terus dikunci. Kita gatau apakah dia bakal
ngamuk lagi kalau ngeliat Ade. Dia juga berkapak..
gaakan kelawan sama kita..) ujar Kutar.
Hamidah mengangguk dan berjalan lebih cepat
mendahului rombongan yang mengangkat Ade.
Setibanya di rumah, Hamidah mendapatk pintu rumah
dalam kondisi terbuka lebar. Hamidah mengintip ke
dalam dan memanggil Salman.
“Man…”
Namun tidak ada jawaban. Hamidah
memberanikan diri masuk dan melihat ke arah dapur.
Namun tetap tidak ada orang disana. Ia kemudian
mengecek ke semua kamar satu persatu dan bahkan
kolong ranjang tempat tidur.
Hamidah termenung. Peluh di dahinya
bermunculan. Ia segera berlari kembali ke belakang
untuk mengabarkan hal ini kepada semuanya.
“Pak.. Salman jo patonyo ndak adoh di rumah
doh…” (Pak.. Salman dan kapaknya gak ada di dalam
rumah..)

***

16
Kemarin Paman Pulang Part 3

Sore itu aku baru saja mengantar adikku mengaji


sampai seorang pria datang ke rumah dan memanggil
manggil nama ayah..
“Da Ilhaam, Daa..” (bang Ilhaam, baang)
Aku tersentak karena mengira itu adalah Pak
Salman lagi. Beruntung, yang berdiri di teras rumahku
saat itu adalah orang lain yang aku tidak tau namanya.
Aku lalu membukakan pintu dan menyambut tamu
tersebut.
“Ya pak? Nyari ayah? Ayah lagi ke luar. Mau
dititipin pesan apa?” tanyaku.
“kama painyo ayah tu diak? Surang?” (Kemana
perginya ayahmu dek? Sendirian?) tanya pria itu lagi.

“Iya sendirian pak kalo gasalah. Biasanya sih


mancing, tadi juga bawa joran saya liat pas berangkat”
jawabku.
“Ayah macik hape ndak? Cubo telpon inyo, suruah
pulang kini" (ayah megang hape gak? Coba telpon, suruh
pulang sekarang).
Aku cukup terganggu dengan tekanan seperti itu
dan merasa ini bukan hal wajar. Ayah juga tidak pernah
punya handphone dan termasuk gaptek dengan
teknologi. Hampir saja aku mencurigai orang ini adalah
penipu jika saja ibu tidak muncul dari dapur dan
mengenali pria ini.

17
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Eh.. Si Labai, masuak Bai singgah lu. Cari Da


Ilham?” (Eh Si Labai, singgah dulu ke dalam rumah Bai.
Cari bang Ilham?) sapa ibuku yang segera menghilangkan
kecurigaanku pada pria ini.
“Kama Da Ilham ni?” (kemana bang Ilham kak?)
tanyanya lagi, seakan jawabanku tadi tidak bisa
dipercaya.
“Mamapeh nyo gakti. A kaba?” (Mancing dia
kayaknya. Ada kabar apa?”
“Kaba buruak Ni..” (kabar buruk kak..)
Seketika wajah ibuku yang semula ramah
berubah cemas.
“Apo tu Bai?..” (Kabar apa Bai?..)

“Si Ade dipatonyo dek Salman.. kini nyo ka babao


ka rumah sakik..” (Si Ade dikapak sama Salman.. kini dia
lagi mau dibawa ke rumah sakit)
“Astaghfirullah.. Salman?? Baa kok bisa?.. a nyo
kanai pato??” (Astaghfirullah.. Salman?? Kok bisa?..
apanya yang kena kapak??) senyuman di wajah ibu kini
hilang.
“Banyak ni, ambo alun lo maliek baa bantuaknyo
doh. Si Kutar nan mancaliak tu maagiah tau urang urang.
Tapi ndak itu sajo nan ka ambo sampaian ni” (Banyak
kak, saya sebenarnya juga belum liat kondisi Ade. Si Kutar

18
Kemarin Paman Pulang Part 3

yang ngeliat pertama kali dan kasih tau orang orang. Tapi
bukan itu aja yang mau saya sampaikan kak” ujar Labai.
“….” Ibuku tidak menjawab dan hanya diam
menunggu Labai menyelesaikan kalimatnya.
“Kami ndak tau dima Salman kini. Tapi terakhir
kiceknyo, inyo ka mancari da Ilham.. antah masih
mamacik pato lai paja tu ntah indak. Kok pulang da Ilham
beko, agiah tau nyo yo. Kok paralu jan kalua rumah dulu
lakik Salman basobok” (Kami ga tau dimana Salman
sekarang. Tapi terakhir kata dia, dia mau cari bang Ilham..
entah apakah dia masih pegang kapak atau enggak. Kalau
bang Ilham udah pulang nanti, tolong kabari ya. Kalau
perlu gausah keluar rumah dulu sampai Salman ketemu)
jelas Labai panjang lebar yang tentunya membuat
jantungku berdegup sangat kencang.
Mata ibuku memerah, ada air mata yang
menggantung disana.
“Bai.. si Ade lai iduik jo lai kini?...” (Bai.. apa si Ade
masih hidup sekarang?..) tanya ibu bergetar.
“Kecek Kutar masih ni.. semoga lai ka salamaik
nyo..” (kata Kutar masih kak.. semoga dia selamat) jawab
Labai.
Labai kemudian pamit. Ibu bergegas ke belakang
dan mengunci pintu rapat rapat. Tidak hanya itu, ibu juga

19
Kemarin Paman Pulang Part 3

membuka semua gorden dan menutup jendela serta


menghidupkan semua lampu.
Beberapa menit kemudian, ayah pulang dengan
dibonceng pria yang lagi lagi tidak aku kenal. Wajah ayah
juga terlihat panik, tidak seperti biasanya yang selalu
sumringah ketika membawa ikan sepulang memancing.
“Da.. lah dapek kaba tantang si Ade?..” (bang
udah dapat kabar tentang Ade?..) tanya ibu.
“Alah.. tu mangkonyo den pulang..” (Sudah..
makannya sekarang saya pulang)
Hari semakin gelap dan penerangan di kampung
ini begitu seadanya. Bahkan tidak ada satupun lampu
jalan selain memanfaatkan cahaya dari lampu teras
rumah warga. Terlebih, bagian belakang rumahku adalah
kandang ayam dan kebun hutan kecil. Salman bisa
muncul kapan saja secara tiba tiba dari banyak sisi gelap
rumahku.
Kedua pamanku dari jalur ibu datang untuk
mengawal rumahku. Kabar tentang Salman yang masih
memegang kapak dan sedang berkeliaran mencari ayah
sudah tersebar merata sepenjuru kampung. Para pria
dewasa berjaga jaga di depan rumah masing masing.
Sebagian lagi sengaja duduk di dekat rumahku sambil
merokok dengan senjata tajam tersimpan dibalik baju
mereka untuk jaga jaga.

20
Kemarin Paman Pulang Part 3

Beberapa saat setelah adzan Maghrib, sebuah


ambulans berkecepatan tinggi melintas di depan
rumahku dengan sirine yang meraung raung memecah
keheningan desa. Semua orang tau untuk siapa ambulans
itu datang.
“tibo jo akhianyo ambulans.. mudah mudahan lai
tatolong jo si Ade” (datang juga akhirnya ambulans..
semoga Ade masih ketolong) ujar salah satu pamanku
yang berjaga di depan rumah.
Tak lama, ambulans itu kembali dengan diiringi
beberapa pesepeda motor. Satu diantaranya adalah
Kutar, kaos kuning yang ia kenakan kini dipenuhi corak
berwarna merah, begitu juga di lengannya.

21
Kemarin Paman Pulang Part 3

Beberapa waktu sebelumnya..


Ade digotong ke halaman rumah Hamidah
dengan keadaan yang memprihatinkan. Sebelumnya,
Mardani sudah ke rumah Dewi dan memerintahkannya
untuk tidak keluar dan menyuruh Lutfi untuk diam di
rumah. Dewi tau sesuatu yang buruk sudah terjadi, tapi
ia juga sadar bertanya hanya akan makin membuatnya
tertekan dan berbahaya bagi janinnya.
“kenapa Lutfi ga boleh keluar bu?” tanya Lutfi.
“… ada wawau di depan. Nanti Lutfi dikejar”
wawau adalah bahasa sopan untuk anjing disana.
Lutfi memang terlalu polos dan mempercayai saja
hal itu, walaupun dari balik jendela ia bisa melihat ada
banyak orang berkerumun di depan rumah neneknya.
Para warga mengerubungi Ade. Banyak diantara
mereka menangis dan pusing saat melihat kondisi tubuh
ade yang robek dan berlubang disana sini akibat benda
tajam. Namun entah kekuatan macam apa yang
membuat Ade masih bisa bertahan dan bahkan menegur
Hamidah yang terus menangis disisinya.
“Alah tu mak.. jan manangih jo. Tunggu se
ambulans tu tibo.. pai wak lai..” (Udah bu, jangan nangis
terus. Tunggu aja ambulansnya datang, terus kita pergi)
ujar Ade.

22
Kemarin Paman Pulang Part 3

Beberapa warga hanya sanggup melihat kondisi


Ade selama beberapa detik sebelum menyesali
keputusan mereka masing masing karena kondisi tubuh
ade yang terus terbayang bayang dalam benak mereka
selama beberapa waktu kedepan.
Tidak ada yang bisa membantu, bahkan saat
Hamidah mencoba menutup luka robek yang dalam di
tangan Ade dengan kedua tangannya karena tidak
berhenti mengalirkan darah, semua orang hanya bisa
menonton. Padahal saat itu Hamidah sudah memohon
mohon agar ada yang bisa membantu merapatkan
daging lengan Ade yang terbuka akibat tebasan itu agar
pendarahannya berhenti.

Beberapa waktu kemudian, sesaat setelah adzan


Maghrib, ambulans datang dan Ade segera diangkat ke
dalamnya.
Mardani duduk di samping supir sementara
Hamidah mendampingi Ade di belakang. Kondisi jalan
kampung yang belum beraspal membuat laju ambulans
terhambat. Sesekali ambulans itu berguncang hebat
akibat menerjang lubang dan batu batu yang berserakan
ditengah jalan.
“CAPEK LAH BANG! LAH SAKIK BADAN DEN!”
(CEPET BANG! UDAH SAKIT BADAN SAYA!) Ade
menendang nendang pintu ambulans dengan kesal.

23
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Ade.. Ade.. alah nak.. istirahat, jan banyak


mangarik jo lai.. “ (Ade.. Ade.. udah nak.. istirahat, jangan
banyak gerak) ujar Hamidah disisinya.
Nafas Ade kemudian berhembus dengan berat
dan pendek. Hamidah menyadari itu dan segera meminta
bantuan petugas yang juga berjaga di belakang.
“Sasak angok ang De??” (Sesak nafasnya De??)
tanya Hamidah yang dibalas anggukan pelan Ade.
Setelah lebih setengah jam bertahan untuk sadar,
saat itu Ade mulai mencapai batasnya. Pandangannya
sudah beredar kemana mana dan bicaranya mulai tidak
jelas. Namun Hamidah bisa mendengar beberapa pesan
Ade yang terdengar begitu lirih disela sela nafasnya yang
makin pendek..
“Bukan abang tu mak.. bukan abang.. ijan amak
salahan abang.. Ade tau abang takah ma.. tadi tu bukan
abang.. maafan abang mak..” (Itu bukan abang bu..
bukan abang.. ibu jangan salahkan abang.. Ade tau abang
kayak gimana.. tadi itu bukan abang.. maafkan abang
bu..)
Lalu Ade dengan mata yang sudah terpejam juga
berkata..
“Kok ndak sampai wak mancaliak hari isuak.. ijan
sampai Lutfi tau mak.. Jan kicekan Omnyo lah ndak
adoh.. ibo Lutfi.. Ijan sabuikan.. Lutfi ketek jo baru..”

24
Kemarin Paman Pulang Part 3

(Kalau umur saya gak sampai untuk melihat hari esok..


jangan sampai Lutfi tau bu.. Jangan bilang Omnya udah
gaada.. kasihan Lutfi.. Jangan bilangin dia.. Lutfi masih
terlalu kecil..) pesan Ade.
“Ade kuaik De.. Anak Amak paliang kuaik.. Jan
mangecek nan indak indak jo lai.. sabanta lai wak sampai
di rumah sakik.. sabanta lai de!” (Ade kuat De.. Anak ibu
yang paling kuat.. jangan bicara yang enggak enggak..
sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit.. sebentar lagi
de!) ujar Hamidah sambil mengelus kening anak
bungsunya itu.
Perjalanan masih memakan waktu 10 menit lagi
untuk sampai di rumah sakit. Namun tiba tiba saja tubuh
Ade meregang, dadanya naik dan nafasnya terdengar
begitu berat. Hamidah mencoba mengajak Ade untuk
berbicara lagi..
Namun Ade sudah tidak merespon panggilan
Hamidah
“PAK ADE PAK!!” jerit Hamidah.
Petugas di belakang mencoba memberikan
bantuan semaksimal mungkin disela sela kepanikan
Mardani dan Hamidah.
“Bantu doa Dah! Bantu doa!” Mardani
mengingatkan dan mencoba mengontrol kepanikannya
sendiri.

25
Kemarin Paman Pulang Part 3

Ambulans akhirnya sampai di rumah sakit daerah


dan Ade segera dibawa untuk mendapatkan
pertolongan. Ketika Ade dibawa masuk ruangan,
Mardani dan Hamidah diminta menunggu diluar terlebih
dahulu.
Hamidah benar-benar tidak bisa
menyembunyikan lagi rasa cemasnya. Ia menolak untuk
duduk dan minum sebelum bisa mengetahui keadaan
Ade sekarang. Kutar dan dua orang lainnya yang
mengikuti ambulans dari belakang juga bertahan disana,
jika nantinya ada kebutuhan kebutuhan yang bisa
mereka bantu kepada keluarga Mardani.
Sekitar setengah jam tanpa kabar, tiba tiba saja
salah satu perawat memanggil keluarga dari pasien atas
nama Ade Firmansyah. Mardani dan Hamidah bangkit
dengan jantung yang berdegup begitu cepat.
“Ibu, bapak keluarganya bapak Ade?” tanya
wanita itu.
“Iya suster.. Anak saya gimana keadaannya?”
tanya Hamidah penuh harap.
“Nanti akan disampaikan dokter ya bu, mari ikut
saya ke dalam..”
Keduanya lalu masuk sementara Kutar menunggu
di luar, masih dengan keadaan baju dipenuhi darah Ade.
Tidak berapa lama, Hamidah keluar dengan duduk di

26
Kemarin Paman Pulang Part 3

kursi roda, tubuhnya terlihat lemah dan matanya


sembab dengan air mata yang terus mengalir.
Dibelakangnya, Mardani mendorong kursi roda itu
sambil mulutnya tidak berhenti mengucapkan istighfar.
Kutar ingin bertanya namun sepertinya wajah
Hamidah dan Mardani sudah memberitaunya apa yang
terjadi di dalam.
“Kutar… mokasih banyak lah bantu kami… Kini
lah ndak adoh anak bungsu den Tar… lah indak adoh li
nyo doh… Ade lah pai Tar..” (Kutar.. makasih banyak
sudah bantu kami.. sekarang anak bungsu saya sudah
gaada lagi Tar.. udah gaada lagi dia.. Ade udah pergi Tar..)
Hamidah meracau dengan pandangan kosong.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.. nan saba bu..


malang ndak dapek ditulak, untuang ndak dapek
diraiah.. nan namonyo kamalangan tu ndak tau wak bilo
ka tibo jo baa caronyo..” (Innalillahi wa Inna ilaihi rojiun..
yang sabar bu.. malang gak bisa ditolak dan untuk ga bisa
dicapai, kemalangan bisa terjadi kapan aja dan dengan
cara gimana aja tanpa kita tau..) ujar Kutar coba
menenangkan.
“Iyo Tar.. tapi kini Ade lah ndak sakik lai kan Tar?..
aden ibo lo caliak nyo nahan sakik Tar.. kini lah cegak nyo
tu ndak?..” (Iya Tar.. tapi sekarang Ade udah ga sakit lagi
kan ya Tar? Saya kasihan liat dia nahan sakit tadi Tar..

27
Kemarin Paman Pulang Part 3

Sekarang dia udah sembuh kan ya?..) Trauma besar


sepertinya membuat Hamidah meracau.
Mardani menggeleng di belakang, kode untuk
Kutar tidak perlu menjawab racauan Hamidah tadi.
"Kami disiko dulu mauruih surek surek, tu jenazah
si Ade ka bajaik bakeh bakeh pato tadi.. bisa ang bantu
di rumah samo maagiah tau si Dewi?” (Kami akan disini
dulu untuk mengurus surat surat, rencananya jenazah
Ade juga mau dijahit luka lukanya. Kamu bisa bantu di
rumah dan kasih tau Dewi?) tanya Mardani.
“Bisa pak..” jawab Kutar.
“Agiah tau Dewi pakai bahaso nan paliang ringan
yo.. tu manjauah dari Lutfi katiko manyampaiannyo..
wak harus mangarajoan pasan tarakhir anak bungsu den
ko..” (Kasih tau Dewi pakai bahasa yang paling mudah
ya.. dan menjauh dari Lutfi kalau mau
menyampaikannya.. kita harus melakukan pesan terakhir
yang diminta anak bungsu saya) ujar Mardani.

***

28
Kemarin Paman Pulang Part 3

Waktu semakin larut dan hujan gerimis


membasahi kampung malam itu. Pemuda yang tadi
berjaga di jembatan terpaksa pergi dan berteduh di
warung yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku.
Hari sudah menujukkan hampir jam 8 malam, dan
ayah masih bertahan di dalam rumah dengan bibir pucat
dan ketakutan. Ayah sudah seperti itu sejak pulang tadi
dan mendengar detail kejadian dari kabar memilukan
yang tersebar tentang Ade.
Ketakutan warga kampung belum usai. Salman
yang saat itu diduga masih berkeliaran dengan kapak di
tangannya, masih belum ditemukan warga. Selain itu
banyak kepala yang terus memikirkan nasib Ade setelah
dibawa ke rumah sakit, apakah ia masih akan bertahan
sebagaimana tadi sore, atau justru memburuk.
Ditengah gerimis itu, melintas sebuah motor yang
dikendarai Kutar. Ia berbelok ke arah rumahku yang
sepertinya bertujuan untuk mencari ayah. Kutar turun
dari motornya dengan keadaan yang sangat kacau.
Bercak darah kering yang kembali basah oleh air hujan
memenuhi bagian depan baju yang ia kenakan.
Kedua orang yang berjaga di depan rumah
bangkit berdiri dan bertanya kepada Kutar yang mereka
tau adalah saksi utama kejadian ini.
“Baa nyo Tar?” (Gimana keadaan dia Tar?) tanya
salah satu orang itu.

29
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Ma Da Ilham nyo?..” (Mana bang Ilham?..) Kutar


tidak menjawab pertanyaan itu dan justru bertanya balik.
Ayah tiba tiba saja muncul dari kamar dengan
wajah cemas.
“….” Ayah tidak bertanya apapun, ia hanya
mengangkat alisnya dan menggerakkan sedikit
kepalanya dengan wajah cemas seperti bertanya
“bagaimana?” tanpa bersuara.
Kutar menggeleng “Si Ade lah maningga Da…” (Si
Ade udah meninggal bang..)
Ayah meringis sambil memegangi dadanya yang
ngilu. Ibu refleks pergi ke dapur dan mengambilkan ayah
minum. Ayah benar benar shock dengan kenyataan itu
meskipun aku tau ayah sudah memperkirakan
kemungkinan terburuk yang terjadi pada Ade.
Ketika masa mudanya, ayah dan Ade sebagai
sepupu terbilang cukup dekat. Ayah yang sudah berumur
belasan tahun saat Ade lahir, menganggap Ade adalah
adiknya sendiri. Ayah sering membelikan Ade beragam
makanan warung, mengantarkannya dengan sepeda ke
sekolah sebelum ayah lanjut bekerja di sawah, sampai
melindungi Ade dari gangguan teman temannya.
Mengetahui Ade masih mengingat ayah saat keadannya
sudah kritis, hingga menyuruh orang untuk mencari dan
mencegah Salman bertemu dengan ayah, benar benar

30
Kemarin Paman Pulang Part 3

membuat ayah semakin tidak sanggup menahan


tangisnya.
Hari itu, untuk pertama kalinya aku mendengar
ayah menangis seperti anak kecil… ayah terisak dengan
suara nafas yang tersengal sengal. Ibu juga tidak mampu
menahan air matanya.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.. salamaik jalan
De… mokasi lah malinduangi abang..” (Innalillahi wa inna
ilaihi rojiun.. selamat jalan De.. terima kasih sudah
melindungi abang..) bisik ayah dengan suara bergetar..
Malam itu pengumuman tentang meninggalnya
Ade pun tersebar dari mulut ke mulut dan pengumuman
surau.

--

Pukul sembilan malam, titik terang mengenai


keberadaan Salman mulai terbuka. Salah satu warga
kampung sebelah mengabari mereka bertemu Salman
tengah berjalan di tepian sungai. Yang pertama kali
melihatnya adalah warga yang sedang menjala ikan di
sungai itu dan menyapa Salman. Beruntung, satu
diantaranya tau bahwa Salman sedang dicari oleh orang
orang dan segera menghubungi para pemuda via pesan
singkat.

31
Kemarin Paman Pulang Part 3

Mendapati kabar itu, para warga mengatur siasat


penangkapan Salman. Tentunya hal ini sangat beresiko
jika mengingat ada kemungkinan Salman masih
membawa senjata tajam di tubuhnya. Seorang kenalan
warga yang berprofesi sebagai polisi dimintai tolong
untuk menyiapkan prosedur penangkapan, warga akan
bahu membahu mengamankan Salman dan
membawanya ke kantor polisi malam itu juga. Selama
rencana itu dibuat, kedua orang pencari ikan tadi
bertugas mengulur waktu dan memastikan Salman tidak
pergi dari lokasi tersebut.
Saat diajak berkomunikasi, Salman berbicara
tanpa arah dan tidak nyambung. Namun emosinya sudah
tidak lagi meluap luap. Kedua orang pencari ikan tadi
tetap menjaga jarak dari Salman yang masih
mengenakan baju bernoda darah Ade.
Sebuah rencana akhirnya dilaksanakan. Warga
akan menggiring Salman untuk naik ke sebuah mobil pick
up yang akan mengantarkannya ke kantor polisi tanpa ia
sadari. Namun butuh 2 orang yang cukup berani untuk
mengapit Salman ditengah selama perjalanan ke kantor
tersebut.
Awalnya orang orang mundur karena khawatir
Salman akan mengamuk di dalam mobil dan kapak tadi
masih berada di balik bajunya. Sampai akhirnya dua
orang preman yang juga rekan Ade, Miftah dan Yopi,
maju dan memberanikan diri menjalankan rencana ini.

32
Kemarin Paman Pulang Part 3

Rencana pun dimulai, kedua orang itu tiba di


tepian sungai dan berbasa basi seakan akan tertarik
dengan kegiatan memancing dan menjala ikan. Beberapa
waktu kemudian Miftah mengajak Salman untuk makan
makan, “bia aden nan traktir” (biar saya yang traktir)
ujarnya.
Beruntung, Salman menyanggupi ajakan itu dan
mau naik ke atas mobil diapit oleh Miftah dan Yopi di kiri
dan kanannya. Sepanjang perjalanan Salman terus
mengoceh tentang betapa kurang ajarnya Ade hingga ia
akhirnya dihabisi oleh Salman. Miftah dan Yopi ingin
sekali rasanya mengeroyok Salman saat itu juga untuk
membalas apa yang sudah Salman lakukan pada Ade,
namun keduanya menahan hasrat itu karena tugas
mereka adalah mengantarkan Salman ke kantor polisi.
Beberapa meter di belakang mobil pick up yang
ditumpangi Salman, ada iring iringan sepeda motor
warga yang memantau perjalanan mobil itu sambil
memastikan keadaan Miftah dan Yopi aman didalam
sana.
“Wak kelok sabanta yo bang, sasak sungai ha”
(Kita belok dulu bentar ya bang, kebelet pipis) ujar Miftah
saat sudah berada dekat dengan kantor polisi.
“Kasungai tapi labuah tu ha” (pipis di pinggir jalan
aja tuh) perintah Salman.

33
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Malu bang lah gaek ehehe” (malu bang udah


tua) jawab Miftah sambil tertawa yang dipaksakan.
Miftah membelokkan mobilnya kearah kantor
polisi. Ketika tepat berada di tengah parkiran, Miftah dan
Yopi serentak izin ke toilet. Salman mengiyakan dan
tadinya hendak turun juga namun dicegah oleh Yopi
karena diminta menjaga mobil sampai mereka berdua
kembali.
Setelah bisa keluar, Miftah dan Yopi lantas berlari
menjauh. Diwaktu bersamaan, selusin petugas polisi
yang bersembunyi keluar dengan pistol mengarah ke
Salman.
Salman terlihat panik dan mengangkat
tangannya. Ia keluar dari mobil dengan tangan
dibelakang kepala. Wajahnya terlihat ketakutan dan
bingung disaat yang bersamaan.
Salah seorang polisi lalu menendangnya hingga
tersungkur lalu memborgol tangan Salman ke belakang.
Ia juga segera melakukan pemeriksaan kemungkinan
benda tajam yang dibawa Salman namun hasilnya nihil.
Salman mengaduh dan memohon ampun seperti anak
kecil.
Kutar, yang saat itu juga turut serta di rombongan
motor yang mengawal pick up tadi menyadari satu hal..
wajah Salman sekarang tidak seperti yang ia lihat terakhir
kali saat menghabisi Ade. Salman yang kini meringis

34
Kemarin Paman Pulang Part 3

diringkuk polisi ini adalah wajah Salman yang selama ini


ia kenali..
Kabar tertangkapnya Salman memberikan rasa
lega warga kampung malam itu. Orang yang menjaga
rumah kami akhirnya pulang ke rumah masing masing.
Lampu rumah yang semula dinyalakan seluruhnya, kini
dimatikan dan hanya menyisakan seperlunya saja. Warga
kembali beraktivitas normal dan tidur tanpa rasa
waswas.
Keesokan paginya, jasad Ade dipulangkan ke
rumah duka, rumah yang dahulu penuh kehangatan
makan malam sebuah keluarga Mardani. Kedatangan
jasad Ade sudah ditunggu oleh banyak orang yang
simpati maupun yang sekedar penasaran dengan kondisi
jenazah Ade yang konon begitu miris itu.
Hamidah datang dengan mobil jenazah. Ia duduk
di bangku depan dan melihat bagaimana rumahnya kini
dipenuhi banyak tetangga. Ia turun dengan wajah yang
lesu dan kantung mata yang membengkak akibat
semalaman menangis di rumah sakit.
“Nde.. kama kalian wakatu Ade minta tolong
patang.. kini lah maningga nyo baru kalian bakumpua
disiko…” (Aduh.. kemana aja kalian waktu kemarin Ade
minta tolong.. sekarang setelah dia meninggal baru
kalian berkumpul disini..) sesal Hamidah yang tidak
mampu dijawab warga yang hadir.

35
Kemarin Paman Pulang Part 3

Jenazah Ade diturunkan dari ambulans dalam


keadaan ditutupi kain panjang bermotif batik. Namun
saat jenazah diangkat, kasur tempat pembaringan Ade di
dalam mobil jenazah nampak basah oleh genangan
darah. Saat itu juga orang orang menyadari bahwa jasad
Ade masih mengeluarkan darah dari bekas tebasan kapak
Salman.
Rembesan darah ini kemudian membuat warga
semakin bertanya tanya separah dan sedalam apa
tebasan kapak Salman sampai sampai darah segar masih
terus mengalir dari tubuh Ade.. dan kenapa luka luka itu
tidak dijahit sebelum Ade dimakamkan.
Jenazah Ade lalu dibaringkan di ruang tengah.
Tempat yang biasa Ade dan Salman gunakan untuk
mengobrol sambil menyeruput kopi setiap pagi. Kini
ruang tengah yang biasanya berisi meja dan kursi itu,
justru berisi sebuah ranjang dengan dipan besi dan kasur
kapuk.. dan diatasnya terbaring jenazah Ade yang sudah
terbujur kaku.
“pulanglah kalian lai.. manga bacaliak jo anak
den… apo nan kalian cari…” (Pulanglah kalian.. ngapain
liatin anak saya.. apa yang kalian cari…) keluh Hamidah
yang terganggu dengan banyaknya tetangga yang ingin
melihat jenazah Ade. Saat itu yang begitu penasaran
dengan keadaan jenazah Ade tidak hanya orang dewasa,
namun juga remaja dan anak anak. Salah satu anak anak
itu adalah aku.

36
Kemarin Paman Pulang Part 3

Rasa penasaranku belum hilang jika aku belum


melihat secara keseluruhan kondisi jenazah Ade (atau
seharusnya aku memanggilnya Om Ade), karena
informasi yang tersebar begitu simpang siur kala itu. Ada
yang bilang kepala Ade robek hingga otaknya terlihat,
ada yang bilang tangannya terputus, dan ada juga yang
bilang jumlah luka menganga lebih dari 12.
Namun aku harus bersabar karena jenazah Ade
masih dibalut dengan kain panjang coklat dengan motif
batik. Kesempatan untuk melihatnya adalah saat jenazah
dimandikan nanti atau jika ada pelayat yang ingin
mencium jenazah untuk perpisahan.
Satu demi satu kerabat dekat keluarga Mardani
hadir untuk berbela sungkawa. Beberapa hanya berani
mendoakan karena tidak berani mendekat. Karena saat
itu aroma amis darah begitu menyeruak di rumah kecil
Mardani walaupun berbagai kamper dan pengharum
ruangan sudah disemprotkan secara berkala.
Kami anak anak dan remaja yang berkumpul di
sekitar jendela berkali kali diusir oleh orang dewasa
disana, namun kami selalu bisa kembali seperti tidak ada
larangan apa apa. Selain itu, karena aku masih memiliki
hubungan kerabat dengan Ade, sepertinya aku juga
dibiarkan oleh orang orang itu.
Setiap ada tamu yang datang, aku selalu bersiap
di depan jendela. Berharap tamu itu membuka wajah

37
Kemarin Paman Pulang Part 3

atau bahkan setengah badan Ade untuk aku bisa melihat


keadaan tubuhnya. Namun semua hanya membuka
sedikit bagian kening dan menciumnya. Hingga akhirnya
seorang Datuk yang dihormati datang berkunjung dan
mengucapkan belasungkawa.
Datuk itu mendekat dan meminta izin ke Mardani
dan Hamidah..
“Buliah ambo liek kaponakan wak pak? Buk?”
(boleh saya lihat keponakan saya pak? Buk?) tanya
Datuk.
“silahkan tuak.. doaan lo sakali bia anak wak
tanang..” (Silahkan tuak.. minta tolong juga didoakan
agar anak kami tenang..) pinta Hamidah.

Datuk lalu mengangkat kain penutup jenazah itu


hanya disisi ia berdiri, dan saat itu aku bisa melihat
bagaimana tega dan kuatnya Salman menyerang adik
kandungnya sendiri. Datuk melihat jenazah itu selama
beberapa detik lalu menutupnya kembali. Kemudian ia
menghadap Mardani dan Hamidah kembali
“Ado batu es pak? Gakti ambo paralu batu es bia
darahnyo baku tu baranti mailia. Ko mangganang di
kasua..” (ada es batu pak? Menurut saya kita butuh es
batu biar darahnya beku dan berhenti mengalir. Ini
darahnya menggenang di kasur) ujar Datuk sambil
menekan sedikit kasur dan darahpun menetes dibagian
bawahnya.

38
Kemarin Paman Pulang Part 3

Mardani segera meminta bantuan orang untuk


membawakan bongkahan bongkahan es di dalam sebuah
ember besar. Es itu diletakan dibawah kasur jenazah Ade
dan di beberapa bagian tubuhnya. Namun sepertinya itu
tidak membantu banyak. Darah terus menetes dan
mengalir dari tubuhnya. Bahkan ember dibawah
kasurnya kini terkena tetesan tetesan darah yang
merembes di kasur.
Ade dibaringkan seperti itu selama kurang lebih 2
jam. Hal itu dilakukan untuk menunggu kesiapan liang
lahat, pihak kepolisian yang membutuhkan data terakhir
dan kedatangan keluarga besar Mardani yang hendak
datang hari itu.

Sebenarnya ada satu orang lagi yang ditunggu


saat itu, yaitu kedatangan Da Ilham, ayahku, yang dikenal
dekat dengan Ade. Namun ayah tidak kunjung muncul
sampai akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk Pak
Ade segera dimandikan.
Tubuh Ade sekali lagi diangkat dari kasur kapuk di
ruang tengah menuju dapur. Saat diangkat itu genangan
darah merah kecoklatan menggenang sangat banyak di
kasur tersebut. 3 orang yang ditugaskan mengangkat
jenazah Pak Ade sampai beristighfar dan menahan nafas.
Setelah mereka meletakkan jasad Pak Ade ke meja mandi
jenazah, ketiganya bergegas keluar ruangan dan muntah
muntah.

39
Kemarin Paman Pulang Part 3

Aku yang masih penasaran masuk ke bilik tempat


memandaikan jenazah Ade. Disana aku bisa melihat jelas
kondisi jenazah Ade. Membayangkan bagaimana Ade
bisa bertahan dan bahkan berbicara selama hampir satu
jam setelah dibantai oleh Salman benar benar diluar
nalar..
Sebagai gambarannya kira kira begini kondisi
jenazah pak Ade yang aku lihat saat proses
memandikannya

40
Kemarin Paman Pulang Part 3

Luka yang paling dalam berada di dada dan


tangan kanan. Untuk bagian dada sepertinya sudah
diusahakan untuk dijahit, namun darah masih mengalir
keluar darisana. Pada bagian tangan terdapat 6-7 luka
robek yang sangat besar hingga celah yang
memisahkannya dapat dimasukkan 2 jari orang dewasa.
Proses pemandian jenazah berlangsung cukup
lama. Awalnya petugas pemandi jenazah hendak
membersihkan punggung Ade dari kerak darah. Namun
setiap kali air mengenai luka luka tersebut, darah segar
kembali mengalir keluar.
Merasa proses pemandian lebih lama dari
biasanya, datuk yang hadir sebagai imam shalat jenazah
lalu menyuruh para petugas untuk melakukan sebatas
kewajibannya saja. Masalah masih ada darah yang
merembes keluar, maka itu dimaafkan.
Akhirnya proses pemandian jenazah selesai dan
jenazah Ade dibungkus dengan kain kafan lalu
disholatkan. Sayang, jumlah orang yang menyolatkan
Ade tidak sebanyak orang yang penasaran ingin melihat
jenazahnya. Hingga prosesi inipun, rembesan darah
masih keluar dari tubuh Ade.
Sepanjang pengurusan jenazah ini, aku tidak
melihat keberadaan Dewi dan anaknya, Lutfi. Belakangan
aku diberitau bahwa keduanya diungsikan ke rumah
kerabat karena kondisi kehamilan Dewi yang sudah

41
Kemarin Paman Pulang Part 3

mendekati tanggal kelahiran dan kondisi Lutfi yang


belum siap untuk tau bahwa paman kesayangannya
sudah tiada.
Prosesi pemakaman selesai sekitar jam 1 siang.
Butuh waktu lama untuk menenangkan Hamidah yang
terus histeris dan memanggil manggil nama Ade saat
tanah mulai menutupi jasad anaknya itu. Mardani
disisinya hanya bisa menggenggam tangan istrinya itu
sambil memintanya untuk ikhlas.
Seusai pemakaman, aku kembali ke rumah
dengan sepedaku. Di teras rumah, ayah sedang merokok
dengan hisapan yang sangat dalam dan pandangan yang
kosong.

“assalamualaikum” sapaku.
“waalaikumsalam” jawab ayah. “Darimana?”
lanjutnya.
“ke rumah nenek Hamidah, liat jenazah Pak Ade”
Ayah menghisap rokoknya dalam dalam. Aku tau
ini bukan cara ayah untuk menikmati rokok. Ayah akan
seperti itu saat ia menggunakan rokok sebagai pelepas
stress.
“terus? Keliatan jenazahnya?”
“keliatan yah. Tadi saya ngeliat waktu
dimandiin”jawabku ringan.

42
Kemarin Paman Pulang Part 3

“gimana muka om mu?”


“kayak nahan sakit.. dan darahnya juga ga
berhenti keluar..” jelasku.
“mana aja yang luka”
“disini, disini, disini, dan ada satu yang kayaknya
di hantam kenceng banget di dada” kataku sambil
menunjuk spot spot luka sobekan di jenazah om Ade tadi.
“ayah ga sanggup liatnya.. buat datang aja ga kuat
ayah. Takut jantung ayah lemah” jelas ayah.
“..” aku terdiam.
“kalau ayah kesana, pasti yang ayah ingat muka
om mu waktu masih kecil dulu. Itu dia jajan ayah yang
beliin, sekolah ayang yang anterin. Dia lebih dekat sama
ayah daripada abangnya sendiri, si Salman..” kenang
ayah.
“iya ikhlasin yah..”
Ayah hanya mengangguk sambil kembali
menghisap rokoknya dalam dalam. Aku akan
membiarkan ayah seperti itu karena pasti ayah cukup
tertekan kehilangan salah satu orang yang dekat
dengannya dengan cara yang mengerikan.
“jangan lupa mandi wajib habis ini..”pesan ayah
yang segera kulakukan saat itu juga.

43
Kemarin Paman Pulang Part 3

Kematian Ade yang begitu tragis tersebar di


banyak surat kabar lokal yang tagline judulnya kurang
lebih tertulis “Seorang Kakak Bunuh Adik Kandung
dengan Kapak”. Lokasi tempat Ade terbaring di tengah
hutan juga menjadi lokasi warga melihat lihat.
“yobana takah tampek siap mandabiah jawi
ndak?..” (benar benar kayak lokasi bekas pemotongan
sapi ya?..) komentar salah satu warga yang melihat
kubangan darah Ade ditengah hutan itu.
Warga yang berkerumun baik di TKP maupun di
rumah Mardani sama banyaknya. Diantara mereka
bahkan juga menerka nerka kira kira bagaimana
kronologi kejadian tragis itu terjadi dari bekas bekas
tebasan kapak yang tersebar di banyak batang pohon
Sementara itu di ruang tahanan, Salman
meringkuk dalam kebingungan. Ia hanya mondar mandir
dan menanyakan apa yang sudah ia perbuat sehingga
dijebloskan ke penjara. BAP kemudian dilakukan, namun
Salman bersikukuh dia tidak melakukan apapun.
Tapi bantahan itu jelas tidak bisa dipegang karena
terdapat banyak saksi mata yang melihat pertarungan
keduanya di halaman rumah hingga penuturan saksi
kunci utama, Kutar, yang melihat langsung saat Salman
menghabisi Ade dengan kapaknya.
Untuk berjaga jaga dan menunggu proses
pengujian kejiwaan Salman, ia ditempatkan di sel

44
Kemarin Paman Pulang Part 3

tahanan. Setelah beberapa hari sejak Ade dimakamkan,


Hamidah, Mardani dan Dewi membesuk Salman di
rumah tahanan. Mereka berempat duduk di meja dalam
diam. Pandangan Hamidah kosong ke arah Salman.
Sampai Salman tiba tiba bertanya..
“Ade kemana? Kok gak ikut? Nganter Lutfi
sekolah?..”
Dada Dewi seketika sesak dan air mata ketiganya
tidak bisa lagi dibendung.
“bang.. abang ga ingat apapun?..” tanya Dewi.
Wajah Salman terlihat kebingungan. “Ingat
apa?..” tanyanya balik.
“Ade lah ndak adoh li Man..” (Ade udah gaada
Man) ucap Mardani.
Mata Salman terbelalak tidak percaya. Ia
memandangi satu persatu anggota keluarganya itu.
Berharap bahwa apa yang ia dengar barusan adalah
salah.
“Ndak adoh baa ko pak? Kama Ade pak???..”
(Nggak ada gimana pak?? Ade kemana pak???..) nada
bicara Salman meninggi.
“Ade lah maningga Man.. sajak bara hari lalu..”
(Ade sudah meninggal Man.. sejak beberapa hari lalu..)
ujar Mardani.

45
Kemarin Paman Pulang Part 3

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun… Ade.. sakik a


Ade pak?.. Lah lamo sakiknyo?..” (Innalillahi wa inna ilaihi
rojiuun.. Ade.. sakit apa Ade pak?.. udah lama sakitnya?..)
tanya Salman lagi dengan mata yang sudah memerah
menahan tangis.
Pertanyaan demi pertanyaan Salman semakin
membuat Mardani dan Hamidah bergetar. Ingin sekali
rasanya keduanya berkata “kamulah pelakunya Man.
Ade meninggal ditanganmu!” namun Salman memang
tidak mengingat apapun.
“nanti kita cerita kalau abang udah boleh keluar
ya bang..” ujar Dewi.
“kapan Dewi?.. kapan abang bisa keluar?.. kenapa
abang dikurung?.. Dewi.. kalau Ade emang udah gaada,
abang mau ziarah ke makamnya..” ujar Salman lagi.
Hamidah kehabisan kata kata. Ia tertunduk dan
menangis sejadi jadinya, begitu juga Dewi yang tidak
menyangka Salman kembali normal di waktu yang salah
dan terlambat.
Dewi melirik ke salah satu petugas disana. Dewi
bangun dengan susah payah karena kandungannya yang
sudah besar lalu berbisik ke petugas tersebut.
“Pak.. kayaknya abang saya sudah sembuh.. apa
sudah diperkenankan pulang?..” bagaimanapun Dewi

46
Kemarin Paman Pulang Part 3

tidak sampai hati melihat Salman dikurung dan diborgol


bagai binatang.
“Dia normal begitu kalau keadaan tertentu saja
kak.. tadi malam dia ketawa ketawa dan bilang ucapan
ucapan yang gak pantas tentang adiknya…” jelas petugas
itu.
“… abang bilang apa pak?..”
“… mati anjiang adiak den dibawah tanah! Tu
parangai kok kagadang gadangan jadi urang!” (…mati
hina adik saya di bawah tanah! Itu akibat jadi orang sok
sokan!..) kurang lebih begitu kak..
Dewi memandangi Salman dengan cemas. Dalam
hati kecilnya, ia sangat ingin membawa abangnya pulang,
tapi tanpa adanya Ade siapa lagi yang bisa mengimbangi
Salman jika suatu saat dia kambuh lagi?
Akhirnya ketiganya pulang dan meninggalkan
Salman yang akan melalui observasi. Karena kasus ini
adalah pembunuhan internal dan ada dugaan kelainan
jiwa, Hamidah dan Mardani selaku orang tua korban
sekaligus orang tua tersangka bisa memutuskan apakah
pelaku dipidana atau tidak, dengan naluri keduanya
sebagai orang tua, mereka meminta Salman dibebaskan.
Namun kabar pelepasan Salman diketahui oleh
masyarakat sekitar yang segera memprotes hal tersebut.
Mereka khawatir Salman bisa mengulangi lagi

47
Kemarin Paman Pulang Part 3

kegilaannya dan menimbulkan lebih banyak lagi korban


jiwa. Selain itu keluarga Mardani juga tidak bisa
menjamin Salman selalu ada dalam pantauan mereka.

48
Kemarin Paman Pulang Part 3

Sementara itu di rumah Dewi, setiap harinya Lutfi


mencari keberadaan Om Ade yang tiba tiba saja
menghilang dan tidak mengantar jemputnya ke sekolah.
Padahal motor rxking om Ade terparkir di dapur rumah
nenek Hamidah.
“Bu.. Om Ade kemana ya?” tanya Lutfi.
“Om Ade lagi kerja, jauh, masih lama pulangnya”
ujar Dewi. Baginya, Lutfi belum saatnya mengetahui
konsep sebuah kematian. Terlebih yang meninggal
adalah salah satu orang terdekatnya melebihi
kedekatannya dengan ayah kandungnya sendiri. Dewi
menutupi kematian itu dengan alasan yang setidaknya
dapat diterima oleh Lutfi untuk saat ini.

“kapan Om Ade pulang bu? Itu motornya ada di


dapur”
“Iya soalnya kerjanya jauh, jadi ga bisa pake
motor. Lama deh” kembali Dewi harus berbohong demi
kebaikan mental Lutfi.
Namun pada akhirnya hal ini akan sangat disesali
oleh Dewi.. seharusnya dari awal dia mengajarkan apa itu
kematian dan bagaimana konsep seseorang yang sudah
mati tidak dapat lagi terlihat di lingkungan sekitar..
Semua masih Dewi anggap sebagai halusinasi
seorang bocah SD yang rindu pada om tercintanya. Lutfi
sering berkata bahwa ia melihat om Ade pulang ke rumah

49
Kemarin Paman Pulang Part 3

nenek Hamidah tapi tidak singgah ke rumah Dewi


padahal bersebelahan. Sampai akhirnya satu minggu
pasca meninggalnya Ade, warga dihebohkan dengan
kesaksian beberapa orang yang melihat penampakan
sosok pucat yang berjalan dalam kegelapan disamping
rumah Mardani menuju hutan di belakang.
Tidak hanya itu, beberapa orang lagi bersaksi
bahwa wujud makhluk itu sangat persis dengan Ade. Hal
ini seperti sejalan dengan apa yang Lutfi katakan.
Kemunculan sosok itu lama kelamaan dirasa
mengganggu warga. Masyarakat mencoba mencari
jawaban kenapa Ade yang seharusnya sudah meninggal
dunia, tapi sosoknya masih berkeliaran di sekitar
lokasinya dibantai Salman hingga terbunuh..
Sampai akhirnya seorang warga yang dikenal
sebagai praktisi pengobatan yang berhubungan dengan
hal ghaib mencoba menerawang apa yang sudah terjadi..
Dan jawabannya cukup mengejutkan..
Beberapa orang dengan sengaja memeras jeruk
nipis ke kubangan darah Ade sebelum kubangan darah
itu ditimbun tanah.. Dan seorang dukun mengirim jin
peliharaannya untuk menjilati darah itu sebagai bentuk
persembahan tumbal darah manusia.. wujudnya berupa
wanita yang berjalan merangkak secara terbalik, ia
menjilati darah itu dengan leher yang panjang saat orang
orang tidak menyadarinya

50
Kemarin Paman Pulang Part 3

***
Sore itu, seperti biasa, Lutfi memandangi langit
senja dari balik jendela ruang tengah. Tiba tiba saja Lutfi
berjingkrakan dengan sangat riang.
“Oyyy Oooomm Adeee!! Kemana ajaaa?? Sini
turuuun! Lutfi sekarang punya adek bayi!!” panggil Lutfi
pada sebuah ruang hampa diatas pohon rambutan di
depan rumahnya dari balik jendela.
“HUSH!” ujar Dewi sambil membekap mulut Lutfi.
“ih Bu.. itu Om Ade udah pulang hahaha dadah
ooom dadaaah” Lutfi melambai lambaikan tangannya ke
lokasi kosong itu lagi.
Perasaan Dewi berkecamuk.. Disatu sisi ia
menolak percaya dengan apa yang dikatakan Lutfi..
Namun disisi lainnya, banyaknya laporan masyarakat
tentang kemunculan sosok Ade memaksanya untuk
mengakuinya.
"Sekarang om Ade lagi ngapain?.."
Lutfi menengok keluar jendela.
"Nah ini akhirnya Om Ade mau mampir buu" ujar Lutfi
sambil berjalan hendak membukakan pintu.
Lutfi lalu membuka pintu dan tertawa. Matanya berbinar
kearah sesuatu yang ia lihat di depan pintu, padahal Dewi
bersaksi tidak ada apapun disana.

51
Kemarin Paman Pulang Part 3

“masuak lah oom” ujar Lutfi kepada sesuatu itu.


…. Hening.. tidak ada suara apapun.. lalu tiba tiba saja
Lutfi berkata.
“waalaikum salam Om Adee..”

KEMARIN PAMAN PULANG PART 3 SELESAI


Bersambung ke Part 4
SOON!

52
Kemarin Paman Pulang Part 3

Hallo mwvers!

Terima kasih sudah mensupport mystic wave dengan mendownload cerita ini.
Apresiasi dari kalian sangat berharga demi terus berlangsungnya akun
membagikan kisah horror, tragedi dan informasi

Nantikan cerita cerita berikutnya dari seluruh narasumber di Indonesia!

Temukan mystic wave di platform lainnya :

Instagram : @mwv.mystic

Twitter : @mwv_mystic

Youtube : Mwv Mystic Channel

TikTok : @mwv.mystic

Saweria : saweria.co/mwvmystic

Jika ingin mengangkat cerita ini ke platform lain, harap hubungi


admin untuk syarat dan ketentuannya di mwv.story@gmail.com

DILARANG MEMPERJUALBELIKAN ATAU MENCETAK ULANG CERITA


INI UNTUK TUJUAN KOMERSIL. HARGAI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL PENULIS

53

Anda mungkin juga menyukai