Anda di halaman 1dari 10

AFFIDAVIT AHLI

Saya yang bertandatangan dibawah ini,


Nama : Prof. Dr. H. Nurul Huda, SE, MM, MSi
NIK : 3175031812690008
Alamat : Jl. Kebon nanas selatan II RT 10 RW 05 no 1A,
Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur,
DKI Jakarta, 13340
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Desember 1969
Pekerjaan : Ketua Yayasan Badan Wakaf Indonesia
Agama : Islam

Berdasarkan permohonan dari Kantor Widjojanto, Darminto & Partners,


sebagaimana Surat Nomor 006/Permohonan/WDP/I/2024 untuk dapat menerangkan
hal-hal terkait dengan Ekonomi Islam/Syariah sehubungan dengan Perkara Nomor
46041/IX/ARB-BANI/2023 pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

Keterangan ahli ini, saya buat dalam kapasitas saya sebagai ahli dalam bidang Ahli
Ekonomi Islam/Syariah, serta akademisi di Universitas Yarsi, serta sebagai
pemerhati tentang perkembangan tanah wakaf di Indonesia sebagaimana jabatan
saya sekarang sebagai Ketua Yayasan Badan Wakaf Indonesia.

Dalam kapasitas sebagaimana saya sampaikan di atas, pada pokoknya saya


menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

TANAH WAKAF

Pemahaman mengenai Tanah Wakaf perlu mengacu pada Undang-Undang Nomor


41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu pada Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta
benda wakaf terdiri:

1. Benda tidak bergerak, dan

2. Benda bergerak.

Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa benda tidak bergerak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
b) Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana
dimaksud pada huruf a

c) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah

d) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

e) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut, maka ada wakaf berupa tanah atau bisa disebut tanah
wakaf.

Selanjutnya, tanah wakaf mempunyai dua kondisi umum, yaitu tanah wakaf yang
produktif dan tanah wakaf yang tidak produktif, untuk mengetahui tanah wakaf itu
merupakan wakaf yang produktif atau tidak. Perlu memahami bahwa produktif
diartikan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Hal tersebut sejalan dengan
pemahaman wakaf Produktif, Rivai (2016) Wakaf produktif adalah sebuah skema
pengelolaan Aset wakaf dari umat dengan memproduktifkan aset wakaf tersebut,
hingga mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan.

Wakaf produktif itu sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW.
Hal ini diperjelas dengan hadis. Umar ibn al-Khattab berkata kepada Nabi
Muhammad SAW,

“Sesungguhnya saya mempunyai harta berupa seratus saham tanah yang terletak di
Khaibar. Tanah tersebut sangat saya senangi dan tidak ada harta yang lebih saya
senangi daripada itu. Sesungguhnya saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi
Muhammad SAW bersabda : “Wakafkanlah tanah tersebut dan sedekahkan buah
(hasil)nya.”

Hal ini sejalan dengan penerapan wakaf produktif di zaman saat ini juga. Di masa
Rasulullah, tanah milik Umar bin Khattab tersebut diwakafkan dan keuntungannya
berupa buah-buahan pun disedekahkan untuk mereka yang membutuhkan (kaum
fakir, miskin, anak-anak yatim, hamba sahaya, dan sebagainya).

Berdasarkan uraian tersebut maka yang dimaksud dengan Tanah Wakaf Produktif
yaitu tanah wakaf yang dikelola Nazhir memberikan hasil dan manfaatnya
digunakan untuk keperluan ibadah dan kesejahteraan umum sesuai prinsip islam.
Misalnya wakaf lahan pertanian atau Perkebunan atau tanah wakaf disewakan
dengan periode tertentu pada pihak ke tiga.

Adapun, mengenai tanah wakaf yang tidak produktif. Saya berpandapangan bahwa
tanah wakaf dikategorikan tidak produktif apabila:

a) Tanah wakaf tidak dikelola atau ditelantarkan

b) Tanah wakaf tidak memberikan hasil (berupa uang) atau manfaat bagi Nazhir,
mauquf alaih ( penerima manfaat).

SKEMA MEMPRODUKTIFKAN TANAH WAKAF

Produktifitas tanah wakaf, sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa sebuah


tanah wakaf dapat dikategorikan sebagai tanah yang produktif apabila mampu
menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Adapun skema untuk melakukan
produktifitas tersebut bisa dalam berbagai macam bentuk, seperti pertanian atau
perkebunan sampai dengan tanah wakaf disewakan.

Lebih dalam, mengenai perkara ini maka pembahasannya akan saya fokuskan
kepada skema sewa menyewa dalam meproduktifkan tanah wakaf. Sewa menyewa
merupakan suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri
untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama
waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak
tersebut. Orang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik yang tetap
maupun yang bergerak1. Jika yang disewakan adalah tanah maka hal tersebut
masuk kategori sewa-menyewa atas benda tetap, maka perlu dijabarkan lebih
lanjut bahwa hak sewa yang dimaksud adalah hak sewa atas tanah milik orang
lain yang dipergunakan untuk mendirikan bangunan dengan membayar kepada
pemilik tanah sejumlah uang sebagai sewa.2

Dalam islam kegiatan sewa-menyewa dikenal dengan akad ijarah yaitu kegiatan
sewa-menyewa antara dua pihak dengan biaya yang telah ditetapkan. Istilah Ijarah
berasal dari bahasa Arab “al-’Ajr” yang artinya “imbalan”, “kompensasi”, atau

1
Pasal 1548 BW
2
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
“substitusi”. Artinya secara syariah akad ini diperbolehkan. Bagaimana Ijarah
terhadap tanah wakaf, ini merupakan bagian cara Nazhir (Pengelola tanah wakaf)
untuk memproduktifkan tanah wakaf yang dikelolanya. Dengan menyewakan tanah
wakaf yang dikelola tentu nazhir akan mendapatkan uang sewa (bukti aset wakaf
produktif) dan uang sewa dapat digunakan untuk pengembangan aset wakaf
lainnya.

Terdapat beberapa bentuk penyewaan yang biasa dilakukan Nazhir untuk


meningkatkan manfaat aset wakaf yang terdapat dalam konsep fikih:

1. Sewa biasa (ijarah); dengan pertimbangan kemaslahatan harta wakaf, para


ulama mazhab yang empat sepakat membolehkan menyewakan aset wakaf.

2. Akad sewa ganda (‘Aqd al-Ijaratain); akad sewa ganda ini dilakukan untuk
mengatasi kekurangan modal bagi membangun bangunan di atas sebidang
tanah wakaf. Untuk memperoleh modal, diadakan kontrak sewa dengan seorang
penyewa untuk jangka waktu lama, dengan dua Tingkat sewa menyewa. Sewa
pertama dibayar lebih dulu sejumlah yang memungkinkan untuk membangun
bangunan yang diharapkan. Sedangkan sewa kedua merupakan sewa bulanan
dengan harga yang lebih murah yang harus dibayar selama menghuni
bangunan. Sewa kedua ini masih diperlukan untuk menghindarkan kemungkinan
ada klaim dari penyewa bahwa bangunan wakaf itu telah dibelinya.

3. Al-Hikr, adalah sebuah akad sewa menyewa tanah wakaf untuk masa waktu
yang lama, serta memberi hak kepada penyewa untuk mendiami tanah itu, untuk
membangun atau bercocok tanam di atas lahan pertanian dan memberinya hak
untuk memperpanjang masa sewa setelah kontrak pertama habis, selama ia
masih mampu membayar uang sewa sesuai dengan harga wajar (harga pasar).

4. Al-Marshad, adalah sebuah kesepakatan dengan calon penyewa yang bersedia


meminjami Nazhir sejumlah dana untuk memperbaiki bangunan wakaf sebagai
hutang yang kemudian akan dibayar dengan sewa asset wakaf itu sendiri.

5. Pengembangan hasil sewa wakaf dengan membelikannya kepada benda yang


bisa menghasilkan, misalnya dengan memberi modal pada pembangunan
gedung yang kemudian dapat disewakan lagi.
6. Dengan melakukan kerja sama dalam pengelolaan lahan pertanian wakaf, di
samping dengan menyewakannya kepada pihak yang punya modal, juga
mungkin dengan kerjasama Muzara’ah.

7. Skema al-Ijarah al-Mutanaqishah, adalah pengembangan dari akad Ijarah dan


IMBT ketika diterapkan di dalam pemberdayaan tanah wakaf. Ini karena akad
Ijarah biasa atau akad IMBT dirasa masih tradisional yang kurang memberi hasil
lebih kepada harta wakaf yang berupa tanah. Akad al-Ijarah al-Mutanaqishah ini
telah dipraktikkan oleh lembaga wakaf di beberapa Negara Muslim diantaranya
adalah kerajaan Yordania.

Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa Lembaga Wakaf menyerahkan tanah
wakaf yang dikelolanya kepada pemilik modal dengan uang sewa tertentu, lalu
pemilik modal membangun bangunan (seperti pusat bisnis atau perhotelan), setelah
bangunan itu jadi, maka pihak pemilik modal mengoperasikan gedung tersebut
selama masa akad yang disepakati. Pada masa akad itu, pihak Lembaga Wakaf
membayar angsuran ke pemilik modal dari hasil uang sewa tanah wakaf sehingga di
akhir akad bangunan menjadi milik Lembaga Wakaf. Sehingga bisa kita nyatakan
biaya sewa tanah wakaf dapat dikategorikan sebagai bentuk produktifitas tanah
wakaf.

Ilustrasi sederhananya, Nazhir memilik aset tanah wakaf 2 Ha maka 1 Ha disewakan


pada pihak ketiga dan 1 Ha lagi digunakan untuk membangun minimarket yang
pendanaannya berasal antara lain dari hasil sewa aset wakaf yang 1 Ha, sehingga
dengan adanya sewa maka tentu aset wakaf tanah menjadi produktif dan bisa
membentuk aset baru. Dalam penerapan model pembiayaan ijārah terhadap tanah
wakaf adalah nazhir memberikan izin kepada financer (penyedia dana) untuk
mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Kemudian financer menyewakan
gedung tersebut untuk jangka waktu yang sama dimana pada periode tersebut
dimiliki oleh Financer, dan digunakan untuk tujuan wakaf. Gedung tersebut bisa
berupa rumah sakit, sekolah, perkantoran, pusat bisnis, atau apartemen. Financer
menjalankan manajemen dan membayar sewa secara periodik kepada Nazhir
sesuai dengan biaya sewa yang telah ditetapkan sehingga menutup modal pokok
dan keuntungan yang dikehendaki oleh Financer. Apabila masa pembayaran sewa
telah selesai maka kepemilikan bangunan tersebut berpindah milik dari Financer
kepada nazhir wakaf tanah tersebut.

Dari sisi bisnis, skema al-Ijarah al-Mutanaqishah sangat menguntungkan pihak


Lembaga Wakaf sebagai Nazhir. Ini karena biasanya orang yang mewakafkan
tanahnya tidak menyertakan modal untuk membangun tanah tersebut dan pihak
Lembaga Wakaf sebagai Nazhir sering kali kesulitan dalam mendapatkan modal
untuk memenuhi keinginan Wakif yang tertuang dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW)
apalagi jika kita merujuk pada Undang-Undang wakaf tahun 2004 yang menyatakan
bahwa Wakif berhak menarik wakaf dan mengalihkan ke Nazhir lain jika Nazhir
dalam masa satu tahun dari ditandatanganinya AIW tidak memberdayakan tanah
wakaf yang diterima sesuai dengan syarat yang ditentukan Wakif. Sehingga akad al-
Ijarah al-Mutanaqhisah bisa dijadikan salah satu alternative untuk memberdayakan
tanah wakaf.

TANGGUNG JAWAB MEMPRODUKTIFKAN TANAH WAKAF

Tanah wakaf akan memiliki dua kondisi sebagaimana disebutkan di atas, yaitu tanah
wakaf dengan kondisi produktif dan tanah wakaf dengan kondisi tidak produktif.
Tanah wakaf sebagai suatu bentuk penyerahan sebagian harta benda milik Wakif
kepada Nazhir harus disesuaikan dengan peruntukan awal sebagaimana
diamanahkan oleh Wakif sebelumnya. Tanggung jawab dalam memproduktifkan
tanah wakaf ada pada Nazhir sesuai dengan UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf
Pasal 11 menyatakan Nazhir mempunyai tugas:
a) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,


fungsi, dan peruntukannya;

c) mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Pada poin b maknanya memproduktifkan harta benda wakaf (bisa berupa tanah) dan
jelas itu merupakan tugas Nazhir.

Selanjutnya, mengenai peruntukan tanah wakaf sesuai dengan amanah dari Wakif,
perlu untuk ditinjau dan dilihat dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW). Dalam hal ini, apabila
peruntukannya untuk kepentingan umum, maka secara normatif, berdasarkan
Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kepentingan umum dimaknai sebagai
kepentingan bangsa, negara dan masyarakat, yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selain itu
kepentingan umum bisa juga dimaknai kepentingan orang banyak yang untuk
mengaksesnya, tidak mensyaratkan beban tertentu.

Berikutnya apa saja yang masuk dalam kategori kepentingan umum maka dapat
dijelaskan dalam Pasal 10 UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

1) pertahanan dan keamanan nasional;

2) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,
danfasilitas operasi kereta api;

3) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluranpembuangan air


dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

4) pelabuhan, bandar udara, dan terminal;

5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;


8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah;

9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;

10) fasilitas keselamatan umum;

11) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;

12) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;

13) cagar alam dan cagar budaya;

14) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta


perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah denganstatus sewa;

16) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;

17) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan

18) pasar umum dan lapangan parkir umum.

Selain itu, 6 Tambahan Jenis Kepentingan Umum Menurut Pasal 2 Peraturan


Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

1) Kawasan industri hulu dan hilir minyak dan gas yang diprakarsai dan/atau
dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BadanUsaha Milik Negara,
atau Badan Usaha Milik Daerah;

2) Kawasan ekonomi khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah


Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atauBadan Usaha Milik
Daerah;

3) Kawasan industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh PemerintahPusat,


Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau BadanUsaha Milik Daerah;

4) Kawasan pariwisata yang diprakarsai dan/atau dikuasai olehPemerintah Pusat,


Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atauBadan Usaha Milik Daerah;
5) Kawasan ketahanan pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atauBadan
Usaha Milik Daerah; dan

6) Kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/ataudikuasai oleh


Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha MilikNegara, atau Badan
Usaha Milik Daerah.

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf , harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukkan sesuai dengan peruntukkannya sesuai dengan ketentuan Pasal 22
UU No 41 tahun 2004, yaitu ditujuan bagi :

a) sarana dan kegiatan ibadah;

b) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c) bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

d) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

e) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah


dan peraturan perundang-undangan

Pada intinya, jadi jelas lima hal di atas masuk kategori kepentingan umum dan
tentunya selama tanah wakaf diperuntukkan untuk hal-hal sebagaimana tersebut di
atas tidak menjadi masalah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hal-hal yang saya sampaikan di atas, maka saya berpendapat dan
menyimpulkan bahwa tanah wakaf merupakan benda tidak bergerak yang
diserahkan oleh Wakif kepada Nazhir dengan syarat peruntukan yang ditentukan
Wakif sesuai dengan apa yang tertuang dalam AIW. Tanggung jawab dalam
memproduktifkan tanah wakaf tersebut terdapat pada Nazhir, dan dalam hal ini
Nazhir mempunyai kebebasan untuk dapat memproduktifkan tanah wakaf tersebut
selama tidak bertentangan dengan peruntukannya sesuai AIW.

Dalam hal Nazhir memilih melakukan sewa menyewa untuk memproduktifkan tanah
wakaf, terdapat beberapa skema yang dikenal dalam konsep fikih, misalnya Sewa
biasa (ijarah), Akad sewa ganda (‘Aqd al-Ijaratain), Al-Hikr, Al-Marshad, al-Ijarah al-
Mutanaqishah, dan lain sebagainya. Apabila, Nazhir sudah menerima uang sewa
dari penyewa melalui kesepakatan sewa, maka uang sewa bisa digunakan nazhir
untuk memproduktifkan aset wakaf lain yang dimiliki. Uang sewa yang diterima
nazhir merupakan cerminan wakaf tanah yang dikelola nazhir tersebut produktif.

Dari sisi bisnis, skema al-Ijarah al-Mutanaqishah sangat menguntungkan pihak


Lembaga Wakaf sebagai Nazhir. Ini karena biasanya orang yang mewakafkan
tanahnya tidak menyertakan modal untuk membangun tanah tersebut. Selanjutnya,
apabila dilakukan Pembangunan di atas tanah wakaf, hal tersebut tentu
diperbolehkan selama gedung tersebut merupakan Gedung Pendidikan, Gedung
Kesehatan (rumah sakit), atau Gedung perkantoran untuk peningkatan ekonomi
umat dan lain sebagainya.

Hormat saya,
22 Januari 2024

Materai
10000

Prof. Dr. H. Nurul Huda, SE, MM, MSi

Anda mungkin juga menyukai