Anda di halaman 1dari 148

Penerjemah

DODONG DJIWAPRADJA

metodik dan didakik dari St. Petersburg, Jerman, Prancis, Italia, dan
Inggris. Sekolahnya kemudian menjadi contoh bagi sekolah-sekolah

rUmah TanGGa YanG BahaGIa


R U M A H T A N G G A YA N G B A H A G I A
Undang-Undang Republik Indonesia
Nom or 28 Tahun 20 14 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 1
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang tim bul secara otom atis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujud-
kan dalam bentuk nyata tanpa m engurangi pem batasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak m elakukan pelanggaran hak ekonom i sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
i untuk Penggunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda pal-
ing banyak Rp10 0 .0 0 0 .0 0 0 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m elakukan pelanggaran hak
ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Peng-
gunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp50 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lim a ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m ela kukan pelanggaran hak
ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggu-
naan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 4 (em pat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp1.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (satu m iliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang m em enuhi unsur sebagaim ana dim aksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pem bajakan, dipidana
dengan pidana penjara paling lam a 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp4.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (em pat
m iliar rupiah).
R U M A H T A N G G A YA N G B A H A G I A

PENERJEMAH KE BAHASA INGGRIS


MARGARET WETTLIN

PENERJEMAH KE BAHASA INDONESIA


DODONG DJIWAPRADJA
Ru m ah Tan gga yan g Bah agia
Leo Tolstoi

Ju d u l As li
Sem ey noy e Schast’y e

KPG 59 16 0 1226
Cetakan Pertam a, J uli 20 16

Sebelum nya diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka J aya


Cetakan Pertam a, 1976
Cetakan Kedua, 20 0 8
Cetakan Ketiga, 20 15

Pe n e rje m ah ke bah as a In ggris


Margaret Wettlin

Pe n e rje m ah ke bah as a In d o n e s ia
Dodong Djiwapradja

Pe ran can g Sam pu l


Teguh Tri Erdyan
Deborah Amadis Mawa
Pe n atale tak
Leopold Adi Surya

TOLSTOI, Leo
Ru m ah Tan gga yan g Bah agia
J akarta: KPG (Kepustakaan Populer Gram edia), 20 16
v + 137 hlm .; 14 x 21 cm
ISBN: 978-60 2-424-0 18-9

Dicetak oleh PT Gram edia, J akarta.


Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Daftar Isi

Daftar Isi v

Bagian Pertam a 1
Bagian Kedua 69

Tentang Penulis 136


Bagian Pertama
1

KAMI TINGGAL MENYENDIRI selam a m usim din gin di


desa. Katya, Sonya, dan aku sedang berkabung untuk ibu yang
m eninggal pada m usim gugur. Katya ialah kawan lam a dalam
keluarga kam i, pengam pu yang m erawat dan m engasuh kam i,
dan yang seingatku, aku selalu m enya yanginya. Sonya adikku.
Dem ikian m uram dan m enyedihkan m usim dingin yang
kam i lewatkan di Pokrovskoye, di rum ah kam i yang tua itu. Cuaca
dingin dan berangin, salju bertim bun-tim bun m engatasi jendela
yang m em beku ham pir seluruh waktu. Ham pir tak pernah kam i
m eninggalkan rum ah selam a m usim dingin itu, apalagi pergi
berkunjung. J arang orang m engunjungi kam i, dan m ereka yang
datang tidaklah m em buat hati kam i gem bira. Mereka sem ua
berwajah kuyu dan berbicara perlahan-lahan, seolah-olah takut
m em bangunkan seseorang, m ereka tak pernah tertawa, kerjanya
cum a m enatap saja, m alah sering-sering m enangis kalau m ereka
4 Leo Tolstoi

m elihat aku, apalagi kalau m elihat Sonya yang m asih kecil itu
m engenakan baju panjang hitam . Kem atian seakan tak m au pergi
dari rum ah kam i, kem urungan dan hantu kem atian gentayangan
di udara. Bilik ibu sepi dan suwung. Menyeram kan m elihat
pintunya yang terkunci itu bila aku m elewatinya m enuju kam ar
tidurku.
Tujuh belas tahun sudah usiaku pada waktu ibu m eninggal
dunia. Tadinya ibu m erencanakan untuk m em bawa aku pindah ke
kota besar. Kehilangan ibu sungguh m enyedihkan sekali, nam un
di balik itu aku pun m erasa bahwa aku seorang gadis rem aja, lagi
cantik kata orang, sedangkan waktu kuhabiskan selam a m usim
dingin yang kedua ini di desa dalam kesunyian. Menjelang akhir
m usim dingin, kem urungan yang terbina dalam kesu nyian ini
serta rasa jem u yang m encekam diriku m em buat aku tak bernafsu
untuk pergi ke luar dari bilikku. Piano tak pernah kubuka,
buku tak pernah kujam ah. Tatkala Katya m encoba m em bujukku
supaya m enyibukkan diri dengan apa saja, kujawab tak m au
atau cukup kukatakan saja tak bisa, padahal dalam hati aku
bertanya pada diri sendiri, Mengapa harus? Mengapa aku harus
m engerjakan sesuatu pabila kubuang-buang waktu pada saat-saat
yang paling baik dalam hidupku? Mengapa? Dan satu-satunya
jawab an hanyalah air m ata.
Orang-orang m engatakan aku tam bah kurus dan pipih, tapi
aku m alah tak m em pedulikannya. Apa bedanya? Siapa pula yang
m au m em pedulikan aku? Serasa seluruh hidupku akan kuhabiskan
di desa yang terpencil ini dalam kejem uan tanpa harapan, seperti
tak ada tenaga m aupun kem auan untuk m engusir sem ua itu
dari dalam diriku. Menjelang akhir m usim dingin Katya m ulai
khawatir akan kesehatanku, karena itu ia m em utuskan untuk
m em bawa aku ke luar negeri, apa pun jadinya. Tetapi untuk itu
kam i perlu uang, sedangkan kam i sam a sekali tak tahu apa-apa
tentang harta pusaka setelah ibu tiada. Tiap hari kam i m enunggu-
Rumah Tangga yang Bahagia 5

nunggu kedatangan pelindung kam i yang akan m enyelesaikan


urusan kam i. Ia datang pada bulan Maret.
“Syukurlah!” seru Katya pada suatu hari ketika aku sedang
gentayangan bagai bayang-bayang berjalan seke liling rum ah,
dengan pikiran yang kosong dan perasaan yang ham pa. “Sergei
Mikhailich telah kem bali. Ia berm aksud m enanyakan soal kita
dan m au datang m akan m alam . Usirlah segala kem urungan yang
m enyelim uti dirim u itu, Masha. Apa anggapannya nanti tentang
dirim u? Ia selalu sayang padam u.”
Sergei Mikhailich adalah tetan gga dekat keluarga kam i
dan sahabat ayah, m eskipun lebih m uda. Kedatan gan n ya
m enggirangkan kam i, karena dengan dem ikian akan terjadi
perubahan dalam rencana kam i serta m em ungkinkan kam i bisa
m eninggalkan desa. Di sam ping itu aku pun m enyukai dan
m enyegani orang itu. Ketika Katya m engatakan padaku supaya
aku pandai m em bawa diri, benarlah dugaannya bah wa dari
sekalian tem an yang ada, akulah yang sem estinya paling sungkan
m uncul di depan Sergei Mikhailich dengan rom an m uka yang tak
m enyedapkan.
Aku pun jadi m enyayangi dia, seperti lain-lainnya yang ada
di rum ah kam i, m ulai dari Katya dan Sonya, yang m enjadi anak
baptisnya, hingga kusir kam i yang penghabisan. Selain itu, ia
pun m endapat tem pat yang tersendiri dalam hatiku gara-gara
ucapan ibu yang pernah disam paikan kepadaku sem asih aku
di sam pingnya. Katanya, beliau akan senang hati seandainya
laki-laki sem acam dia jadi suam iku. Rasa-rasanya aku terkejut
ketika itu, m alah juga tak se nang, pahlawanku lain sam a sekali
gam barannya. Laki-laki yang kum im pikan ram ping dan lem ah
lem but, berm uka pucat dan m urung. Sebaliknya Sergei Mikhailich
sudah tak m uda lagi. Badannya tinggi dan kekar, lagi pula selalu
riang. Sungguhpun dem ikian, apa yang dikatakan ibu itu telah
m enghapus bayangan dalam angan-anganku. Enam tahun yang
6 Leo Tolstoi

lalu, ketika aku berum ur sebelas tahun, ia suka berm ain dengan
aku dan m em anggilku “si Violet kecil”. Kadang-kadang tim bul
pertan yaan dalam diriku—pertan yaan yan g ham pir-ham pir
m engerikan, apa dayaku kalau ia berniat m em peristriku.
Sergei Mikhailich tiba sebelum m akan m alam . Katya
m enam bah hidangan dengan saus bayam dan kue yang di-
dinginkan. Melalui jendela kulihat dia datang berkendaraan kecil
m enuju rum ah kam i, tetapi begitu ia m engitari sudut rum ah kam i
begitu aku lari ke ruang tengah, kupikir aku harus pura-pura tak
tahu-m enahu akan kedatangannya. Akan tetapi ketika langkahnya
yan g berat itu terde n gar di beran da m uka disertai den gan
suaranya yang lem ah lem but dan pula Katya lari m enjem putnya,
aku tak tahan lagi, lantas saja lari ke beranda m uka. Tam pak
tangannya m em egang Katya sam bil berbicara dengan suaranya
yang besar dan ram ah, tertawa-tawa. Melihat aku, ia berhenti dan
m enatapku barang sejenak tanpa m enundukkan kepala. Caranya
itu benar-benar m em buat diriku kikuk dan m ukaku jadi m erah.
“He! Bukankah itu kau?” katanya dengan lantang tanpa
tedeng aling-aling, dan ia pun m engham piri aku sam bil kedua
belah lengannya dibuka lebar-lebar. “Wah, sudah berubah! Wah,
sudah besar! Violetku sudah jadi bunga m awar!”
Tanganku yang kecil itu digenggam nya dengan ta ngannya
yang besar, lalu dengan segenap hati yang tulus dijepitnya
tan gan ku kuat-kuat hin gga terasa sakit. Kusan gka ia m au
m encium tanganku yang lagi cenderung ke arahnya, tetapi hanya
digenggam nya sekali lagi dan pada saat itulah tatapan m atanya
yang berseri-seri itu langsung bertem u dengan tatapan m ataku.
Sudah en am tahun aku tidak berjum pa den gan n ya, ia
kelihatan sudah banyak berubah, bertam bah tua dan bertam bah
gelap warna kulitnya, lagi pula ia m em elihara cam bang sehingga
m em buatku pangling. Tetapi, gayanya yang bersahaja, parasnya
yang terbuka dan terus terang, raut m ukanya yang lebar, cerdas,
Rumah Tangga yang Bahagia 7

m atan ya yan g berseri-seri, sen yum n ya yan g ram ah n yaris


kekanak-kanakan, sem ua itu tetap tak berubah.
Dalam lim a m enit saja ia sudah bukan seperti tam u lagi,
benar-benar ia sudah seperti orang yang serum ah dengan kam i,
bahkan juga dengan para pelayan. Mem ang pelayan-pelayan itulah
yang kelihatan paling gem bira bertem u de ngannya, sebagaim ana
tam pak dari usaha m ereka untuk m enyenangkannya.
Gerak-geriknya sam a sekali bukan seperti tetangga-tetangga
lain yang pernah berkunjung ke rum ah sehabis ditinggalkan ibu,
yakni tetangga-tetangga yang beranggapan bahwa berdiam diri
dan m enangis itu perlu. Ini sebaliknya m alah, gatal m ulut dan
riang, biar tak sepatah kata pun terdengar m em percakapkan hal
kem atian. Sikapnya yang acuh tak acuh itu terasa janggal m ula-
m ula, m alah seperti kurang sopan tam paknya, padahal dialah
kawan kam i yang terdekat. Tetapi kem udian aku m enyadari
bahwa sikapnya yang dem ikian itu bukanlah sikap yang tak acuh,
m elainkan sikap yang betul-betul keluar dari hati yang tulus
ikhlas, itulah sebabnya aku pun kem udian m erasa bersyukur.
Pada m alam itu kam i m inum teh di ruang tam u, dan seperti
tatkala m asih ada ibu, Katya-lah yang m enuangnya. Sonya dan
aku duduk dekat Katya. Grigory tua m em bawakan dia pipa ayah
yang sudah diketem ukan, lalu dia isap pipa itu sam bil berjalan
m ondar-m andir seperti sediakala.
“Betapa banyak perubahan yang m enyedihkan di rum ah ini,”
katanya, berhenti sejenak.
“Ya,” keluh Katya. Ia m enutup sam ovar dan m em andang
padanya dengan m ata yang berlinang-linang.
“Kupikir, engkau m asih dapat m engingat-ingat ayahm u,
bukan?” katanya kepadaku.
“Sedikit sekali,” kataku terus terang.
“Betapa sen an g ten tun ya an daikata ia sekaran g ada di
sisim u,” katanya lem ah lem but, sam bil m elirik ke atas kepalaku
m engingat-ingat.
8 Leo Tolstoi

“Kuingat banyak tentang ayahm u,” bicaranya m asih tetap


lem ah lem but dan kulihat m atanya itu seperti bersinar-sinar lebih
daripada yang sudah-sudah.
“Dan Tuhan pun telah m engam bil pula ibunya,” gum am
Katya, sam bil buru-buru m enutup poci dengan kain penutup dan
m engeluarkan saputangan untuk m enghapus air m atanya.
“Ya, perubahan yang m enyedihkan telah datang ke rum ah
ini,” ulangnya, sam bil m em alingkan kepalanya. “Mari Sonya,
coba perlihatkan barang m ainanm u,” tam bahnya beberapa lam a
kem udian, lalu ia pun pergi m enuju kam ar duduk. Kupandang
Katya, padahal m ataku sendiri basah oleh air m ata.
“Baik hati betul orang ini!” seru Katya.
Mem an g ben ar tin dak-tan dukn ya itu telah m em berikan
perasaan hangat dan rasa senang dalam diriku hingga aku m erasa
sim pati terhadap orang yang baik budi ini, orang yang bukan
sanak bukan kadang.
Sergei Mikhailich dan Sonya sedang riang gem bira berm ain
di kam ar duduk, kam i dengar ia berteriak-teriak m enghardik
Sonya dengan tertawa-tawa. Kuantar teh ke ruang itu, lantas
kudengar ia duduk pada piano dan m ulailah bunyi tang-ting pada
gam itan piano, disentuh jari-jari Sonya yang kecil.
“Marya Alexandrovna!” panggilnya, “m ari m ainkan gubahan
untuk kam i.”
Menyenangkan caranya m enyuruhku, akrab dan penuh rasa
persahabatan. Aku m engham pirinya.
“Nah, m ainkan ini,” katanya sam bil m em buka Beethoven ke-
punyaan ku pada bagian Adagio dari Sonata Quasi Una Fantasia.
“Coba perlihatkan perm ain an m u,” tam bahn ya. Kem udian ia
m engam bil gelas teh dan pergi ke sudut m enjauhi piano.
Bagaim anapun aku tak kuasa untuk m enolaknya atau untuk
m em ulai dengan perm intaan m aaf bahwa aku berm ain buruk.
Dem ikianlah aku patuh saja tanpa berkata apa-apa dan berm ain
Rumah Tangga yang Bahagia 9

sebisa-bisaku, walaupun takut akan dikecam , karena aku tahu


dia m engerti dan m enggem ari m usik. Adagio-ku sedang diliputi
suasana perasaan yang m engingatkan pem bicaraan kam i sewaktu
m inum teh, dan rasa-rasanya aku pun berm ain agak baik.
Tetapi ia tidak m em biarkan aku m em ain kan Scherzo
sam pai habis. “Tidak, kau belum sam pai ke situ,” katanya sam bil
m endatangiku. “Kita tidak m au m endengarkan itu, tetapi yang
pertam a boleh juga. Agaknya kau m engerti m usik.”
Den gan pujian sebegitu saja m alah m ukaku kem erah-
m erahan karena gem bira. Hal itu m erupakan pengalam an baru
bagiku, dan sungguh m enyenangkan kalau orang seperti dia, yang
m erupakan sahabat dan yang setaraf dengan ayahku, berkata
den gan sun gguh-sun gguh seba gaim an a biasan ya dilakukan
terhadap orang yang sudah dewasa dan bukan seperti terhadap
anak kecil. Katya pergi ke atas untuk m engantarkan Sonya tidur
dan tinggallah kam i berdua di kam ar duduk.
Tatkala berom ong-om ong denganku, dia m ulai bercerita
tentang ayahku. Katanya, ayah seorang yang sederhana dan m anis
budi, jadi berlainan sekali dengan gam baran yang ada dalam
khayalanku. Sehabis itu ia bertanya m engapa aku suka m em buang-
buang waktu, buku apa saja yang kubaca dan apa pula yang
m enjadi cita-citaku, kem udian diberinya aku nasihat. Sikapnya
tidak lagi seperti sikap seorang tem an berm ain yang periang,
yang suka m enggoda aku dan yang suka m em buatkan aku barang
m ainan, m elainkan sikap orang yang sungguh-sungguh, penuh
rasa kasih sayang dan lurus, sikap yang dengan tak sadar kuhargai
dan kusukai. Mem an g m en yen an gkan berbicara den gan n ya,
sungguhpun aku m asih saja belum bisa m enghilangkan perasaan
kikuk dan gugup. Kupilih setiap kata yang kuucapkan dengan
hati-hati, karena ingin betul aku m engam bil hati terhadapnya.
Sam pai sedem ikian dia m enyukaiku oleh karena aku anak ayahku.
10 Leo Tolstoi

Selesai m enidurkan Sonya, Katya kem bali lagi ke tem pat


kam i. Katya m en gadu kepadan ya perihal sem an gatku yan g
lem bek, padahal perkara itu tak kuberitahukan padanya tadi.
“J adi, tak sepatah kata pun dikatakan hal yang pen ting itu,”
kata Sergei Mikhailich sam bil tersenyum serta m enggeleng-
gelengkan kepala tanda m asygul.
“Apa pula yang harus kukatakan?” sahutku. “Apa pun am at
m enjem ukan dan ingin buru-buru lenyap.”
“Celaka kalau tak tahan kesepian,” katanya. “Apa betul kau
ini gadis yang biasa saja?”
“Mem ang itulah aku,” kataku tertawa.
“Gadis yang kolokan, barangkali, ialah gadis yang hanya
cekatan kalau sedang dikagum i orang, tetapi sem angatnya akan
layu dan m elem pem segera setelah tinggal sendirian. Segalanya
hanya untuk ditonton dan bukan untuk dirinya sendiri.”
“Anda punya pendapat yang bagus tentang diriku,” kataku,
sekadar untuk berkata-kata saja.
“Ya,” serunya, lalu, setelah berhenti sejenak, “Kau bukan
putri ayahm u kalau tidak ada apa-apanya—dalam dirim u ada
sesuatu.”
Lagi-lagi sinar m atanya yang ram ah dan penuh perhatian
itu m erasuki hatiku hingga pikiranku jadi tak m enentu karena
kegirangan.
Barulah sekarang kuketahui bahwa di balik keriangan yang
berm ain di seluruh wajahnya itu terdapat paras yang khas, yang
hanya ada padanya, m ula-m ula kelihatan cerah dan tulus, tetapi
berangsur-angsur sem akin sungguh-sungguh dan sedih.
“Tak ada m aaf buat yang suka jem u, usahakanlah supaya
jangan dem ikian,” katanya. “Kau m engerti m usik, ada buku-
buku dan bisa belajar. Seluruh hidupm u ada di hadapanm u, kini
saatnya kau m em persiapkan diri untuk m enghadapinya, supaya
takkan m enyesal kelak. Tahun depan sudah terlam bat.”
Rumah Tangga yang Bahagia 11

Ia berkata kepadaku seperti seorang ayah atau pam an saja


layaknya, tapi juga aku m erasa bahwa ia pun berusaha supaya
dirinya setaraf denganku. Aku m enyayangkan ucap annya yang
kurang m enghargai diriku, nam un dem ikian m enyenangkan juga
tatkala kuketahui bahwa akulah satu-satunya orang yang dem i
kebaikan diusahakan olehnya sekuat tenaga supaya jadi lain.
Malam itu, waktu selebihnya dia pergunakan untuk bercakap-
cakap dengan Katya, m em bicarakan hal harta pusaka.
“Nah, sam pai bertem u,” ujarnya, sam bil bangkit berdiri. Ia
m engham piriku dan m enggenggam ta nganku.
“Kapan lagi aku bisa berjum pa dengan Anda?” tanya Katya.
“Pada m usim sem i,” jawabnya, sam bil tetap m em egang
tanganku.
“Sekarang lebih dulu aku m au pergi ke Danilovska. Aku ingin
tahu keadaannya, m em bereskan apa-apa yang dapat kubereskan,
sehabis itu pergi ke Moskow untuk m engurus urusanku sendiri.
Tetapi kita akan banyak waktu buat bertem u pada m usim panas
yang akan datang.”
“Mengapa Anda hendak pergi lam a-lam a?” kataku, kuucapkan
itu dengan hati yang sedih sekali. Aku m engharapkan dapat
bertem u dengannya setiap hari, aku sedih dan m erasa cem as
kalau-kalau kem urunganku kem bali lagi. Ini bisa ketahuan dari
sinar m ata dan nada suaraku.
“Bersibuklah dan jangan biarkan dirim u dilam un kesedihan.”
Suaranya terasa dingin dan seperlunya. “Dalam m usim sem i aku
akan m engujim u,” tam bahnya, sam bil m elepaskan tangan dan
m elengos dariku.
Di beranda m uka, ketika kam i m engucapkan selam at jalan
kepadanya, ia bergegas saja m em akai baju m antelnya tanpa
sedikit pun m elirik ke arahku.
“Dia tak usah dem ikian bersusah payah,” pikirku. “Benarkah
sangkaannya bahwa hatiku akan m enjadi senang kalau ia banyak
12 Leo Tolstoi

m em perhatikan diriku? Mem ang dia orang baik, orang yang


teram at baik, tetapi hanya itu saja.”
Malam itu, Katya dan aku m asih belum dapat tidur berjam -
jam lam anya. Kam i terus saja m engobrol, bukan tentang dia,
tetapi tentang bagaim ana kam i akan m elewatkan m usim panas
dan m usim dingin berikutnya. Pertanyaan yang m engerikan—
”m engapa?”—tidak akan m engharubiruku lagi. J elaslah sudah
bahwa orang harus hidup sedem ikian rupa agar bahagia, dan aku
pun m engharapkan banyak m engenyam kebahagiaan pada m asa
yang akan datang. Serasa rum ah kam i yang tua di Pokrovskoye itu
tiba-tiba saja dilim pahi hayat dan cahaya.
2

MUSIM SEMI TIBA. Keresahanku yang lam a terdesak oleh


keresahan yang bersum ber pada harapan tak m enentu, yang
m engawang tinggi, beserta segala hasrat dan keinginan yang
biasa tim bul pada m usim sem i. Aku tidak lagi seperti pada
awal m usim dingin, tetapi sibuk dengan Sonya, dengan m usik
dan buku-buku. Kerap aku keluar berjalan-jalan m asuk kebun,
dan lam a tersaruk-saruk sepanjang jalan setapak, atau duduk-
duduk sendirian m erenung di atas bangku. Hanya langitlah
yang tahu apa yang m enjadi lam unan dan harapanku. Kadang-
kadang sem alam suntuk aku duduk di dekat jendela, lebih-lebih
kalau bulan sedang m em ancarkan cahayanya. Sesekali, tanpa
sepengetahuan Katya, aku suka m enyelinap keluar tak berm antel
dan m asuk kebun, berlari-lari m elintasi rerum putan yang kuyup
oleh em bun, turun m enuju kolam , sekali pergilah aku ke luar ke
tegalan, lain kali berjalanlah aku dari ujung ke ujung kebun, jauh
di m alam hari.
14 Leo Tolstoi

Sulitlah bagiku m engingat kem bali atau m em aham i m im pi-


m im pi yang m engisi angan-anganku pada hari-hari itu. Apabila
aku m engingatnya kem bali, ham pir-ham pir aku tak percaya
bahwa m im pi-m im pi itu benar-benar m im piku, dem ikian asing,
dem ikian jauh dari kenyataan.
Pada akhir bulan Mei, Sergei Mikhailich kem bali dari
perjalanannya, sesuai dengan janjinya. Ia m enem ui kam i pertam a
kalinya pada senja hari tatkala kam i tak sedikit pun m enduganya.
Saat itu kam i sedang duduk-duduk di beranda m uka, m inum
teh. Kebun telah penuh dengan dedaunan, burung bulbul telah
pindah ke sem ak belukar yang tak dipangkas, tem pat burung
itu m enetap sepanjang m usim panas. Di sana-sini warna m erah
atau putih tam pak pada batang-batang bunga lilak—warna-
warna kuncup-kuncupnya yang sedang m ekar. Daun-daun pohon
birka di sepanjang jalan dusun jelas m em bayang ditem busi
kerem angan cahaya senja. Di bawah atap beranda, udara terasa
sejuk dan segar, dan sehabis itu rerum putan jadi kuyup oleh
em bun. Dari padang rum put, di luar kebun, terdengar suara
kerja siang yang penghabisan serta lenguh lem bu yang dihalau
pulang. Nikon, yang sinting itu, berjalan tergopoh-gopoh m elalui
jalan setapak di depan rum ah sam bil m em bawa tong berisi air. Ia
sedang m enyiram tanam an dahlia, dan air dingin yang m em ancar
dari em brat m em buat lingkaran-lingkaran hitam di atas tanah
yang sudah dicangkul, m elingkari ba tang-batang tanam an dan
penyanggahnya.
Di beranda tem pat kam i duduk, m eja dialasi kain yang
seputih salju. Di atas m eja itu ditaruh sam ovar yang terupam ,
m engkilap, nyam an, dan m engepulkan asap. Di atas m eja itu pun
terdapat piring yang berisi krendelki dan biskuit, pula poci tem pat
krim . Tangan Katya yang m ontok itu sedang gesit m engum uri
cangkir. Sehabis m andi perutku terasa lapar sekali, lalu tanpa
m enunggu waktu m inum teh kum ulai saja m akan roti, dicocolkan
Rumah Tangga yang Bahagia 15

pada krim dalam -dalam . Blus yang kupakai terbuat dari kain
blacu dan berlengan landung. Ram butku yang m asih basah itu
kuikat dengan selam pai. Katya-lah yang pertam a kali m elihat dia.
“Sergei Mikhailich!” teriakn ya. “Kam i baru saja m em -
percakapkan Anda.”
Aku bangkit untuk pergi berdandan, tetapi dia m enahanku
di pintu.
“Un tuk apa berpan tas-pan tas di tem pat udik begin i?”
katanya, dan tersenyum lah ia m elihat ram butku diikat selam pai.
“Sam a si tua Grigory kau tak m alu, aku pun tak lebih dari dia.”
Akan tetapi, m em ang lirikannya terhadap diriku lain sekali
daripada Grigory, dan aku pun m erasa m alu.
“Sebentar,” kataku, kutinggalkan dia.
“Apakah blus itu tam pak buruk?” serunya dari belakang.
“Mem akai baju itu kau kelihatan seperti gadis petani.”
“Aneh sekali lirikannya,” pikirku ketika sedang berdandan
di kam ar atas. “Nah, syukurlah dia datang—tak akan m erasa
jem u lagi kini.” Setelah m engaca sebentar larilah aku ke bawah
dengan gem bira dan tanpa hendak m enyem bunyikan jalanku
yang terburu-buru, m asuklah aku ke beranda m uka dengan
terengah-engah. Dia duduk di dekat m eja, sedang m enceritakan
urus an kam i kepada Katya. Ia m elirik padaku, tersenyum , dan
m eneruskan ceritanya. Menurut dia, urusan kam i baik jalannya.
Kam i hanya akan tinggal di desa untuk sem usim panas ini saja,
sesudah itu kam i dapat pindah ke St. Petersburg dem i pendidikan
Sonya, atau ke luar negeri.
“Hanya bila Anda pun ikut ke luar negeri bersam a kam i!” kata
Katya. “Tanpa Anda, kam i seperti anak kecil di tengah hutan.”
“Kum au keliling dunia dengan kalian!” katanya setengah
bergurau setengah sungguh-sungguh.
“Marilah kita kelilin g dun ia bersam a-sam a!” kataku. Ia
tersenyum dan m enggeleng-gelengkan kepalanya.
16 Leo Tolstoi

“Dan bagaim ana tentang ibuku serta urusanku sendiri?”


tanyanya. “Tapi itu di luar acara—nah, cerita kanlah keadaanm u.
Kuharap saja tidak bersedih hati lagi, begitu?”
Sewaktu kuceritakan bahwa sem enjak keberangkat annya aku
selalu sibuk dan tidak m urung lagi, serta Katya pun m em benarkan
apa yang kukatakan itu, ia m em ujiku dan sikapnya tam bah halus,
baik dalam kata-kata m aupun dalam sorot m atanya, seolah-olah
ia m em peroleh hak istim ewa. Dan aku m erasa bahwa aku harus
berterus terang dan jujur terhadapnya, harus m engutarakan
setiap perbuatanku yang baik kepadanya dan tahu pula hal yang
bisa m em buat hatinya kurang senang, seakan-akan dia itu pastur
yang biasa m enerim a pengakuan dosa di gereja.
Oleh karen a cuaca sen ja itu bagus, tin ggallah kam i di
beranda m uka setelah segala bekas m inum teh dibersihkan.
Percakapan saat itu begitu m enarik hingga tak kuperhatikan
segala suara m anusia di dalam dan di pekarangan rum ah yang
telah beran gsur-an gsur sepi. H arum bun ga-bun gaan yan g
sem erbak, kian m enyengat hidung, dan rerum putan kian kuyup
oleh em bun. Burung bulbul di rum pun bunga lilak yang dekat
m ulai bernyanyi, lalu berhenti tatkala didengarnya suara kam i.
Langit yang bertaburan bintang seakan-akan m erendah di atas
kam i. Aku baru tahu hari telah m alam ketika seekor kelelawar
terbang tanpa m engeluarkan suara, lalu m enggelepar-gelepar di
sekitar selam pai pengikat ram butku. Aku terhenyak ke dinding
dan ham pir saja m enjerit, tetapi kelelawar itu buru-buru terbang
dan seperti pada waktu datangnya diam -diam m enghilang di
kerem angan kebun buah-buahan.
“Betapa cinta aku pada Pokrovskoye kalian!” seru Sergei
Mikhailich ketika percakapan berhenti. “Senang sekali aku duduk
di beranda kalian ini buat sesisa hidupku.”
“Silakan,” kata Katya.
Rumah Tangga yang Bahagia 17

“Mem an g n yam an ,” gum am n ya, “tetapi hidup bukan lah


duduk dan m enunggu.”
“Mengapa Anda tidak berum ah tangga saja?” tanya Katya.
“Anda akan m enjadi seorang suam i yang baik.”
“Karena aku senang duduk-duduk,” katanya sam bil tertawa.
“Tidak, Katerina Karlovna, Anda dan saya telah lam pau m asanya
un tuk berum ah tan gga. Sudah lam a oran g-oran g berhen ti
m em andangku sebagai pem inang. Nam un aku juga pernah,
pern ah m erasakan m asa yan g m en yen an gkan , ben ar-ben ar
pernah.”
Rasa-rasanya nada suaranya itu m em bersit secara tidak
wajar.
“Hal yang bagus untuk diceritakan!” seru Katya. “Ia sudah
tiga puluh enam dan hidupnya sudah lam pau!”
“Sem uanya sudah lam pau,” ia m engiyakannya. “Apa yang
kuinginkan hanyalah tinggal duduk, nam un itu lebih sia-sia
daripada kawin. Dialah orangnya yang harus Anda tanyai,”
tam bahnya sam bil m engangguk ke arahku. “Orang seperti dialah
yang harus berum ah tangga, Anda dan saya akan m erasa senang
m elihatnya.”
Aku m enem ukan nada yang sedikit sedih dan rasa yang
tertekan dalam alunan suaranya. Ia diam sejurus, Katya dan aku
berdiam diri.
“Mengapa aku—ini hanya m isal saja,” sam bil m eneruskan
ucapan n ya ia m em utar badan n ya di kursi, “tidak m en ikah
saja dengan gadis um ur tujuh belas tahun, katakanlah Masha,
m aksudku—Marya Alexandrovna. Itulah m isal yang keterlaluan.
Aku akan girang karena terwujudlah hal itu ... itulah m isal yang
paling baik.”
Aku m ulai tertawa, aku tidak m engerti m engapa ia girang,
atau apakah artinya “terwujudlah hal itu”.
18 Leo Tolstoi

“Baiklah, belah dadam u dan keluarkan isi hatim u,”


kelakarn ya, “bukan kah m erupakan kem alan gan bagim u bila
engkau m engikatkan diri pada seorang laki-laki yang sudah
lam pau m asa m udanya, yang keinginannya hanya tinggal duduk,
sedangkan dalam batok kepalam u yang kecil itu m asih tersim pan
segala m acam hal, segala m acam keinginan.”
Aku bingung, tak tahu apa yang m esti kujawab.
“Mem ang bukan m aksudku m engajukan lam aran padam u,”
katanya tertawa. “Nam un aku bukanlah orang yang kaum im pikan
untuk jadi suam im u tatkala kau berjalan-jalan keliling kebun di
waktu senja sendirian, bukan? Dan hal ... hal itu akan m erupakan
kem alangan, bukan?”
“Tidak m erupakan kem alangan….” aku m em ulainya.
“Tapi juga bukan m erupakan kebaikan,” dia m engakhirinya.
“Bukan, tetapi boleh jadi m erupakan kesala….”
“Nah, apa kataku,” ia m enyela lagi. “Sam a sekali benar
ucapannya itu, dan aku m erasa berterim a kasih kepadanya atas
keterusterangannya serta untuk pem bicaraan yang telah kita
adakan. J uga untukku, hal itu akan m erupakan kem a langan
besar,” ia m enam bahkan.
“Anda orang aneh—Anda selalu begitu dari dulu,” kata Katya,
dan pergilah ia ke dalam rum ah untuk m enyiapkan m eja buat
m akan m alam .
Kam i diam setelah Katya pergi, sekeliling sunyi dan sepi.
Burung bulbul m ulai bernyanyi—kali ini bukan nyanyian senja
yang m enyayat hati, tetapi nyanyian m alam yang hening dan
syahdu. Suaranya m em enuhi kebun, lalu dijawab oleh bulbul
yang ada di ngarai—untuk pertam a kalinya burung itu bernyanyi
di situ pada m alam hari. Burung di kebun berhenti bernyanyi,
seperti m endengarkan, kem udian m elengking dan kian bergetar.
Nyanyian m ereka bergem a dalam kesunyian yang m encengkam ,
di alam nya kala m alam hari, yang dem ikian asing bagi kam i.
Rumah Tangga yang Bahagia 19

Tukang kebun tengah berlalu, pulang m enuju rum ahnya


yang hijau untuk pergi tidur, suara sepatu botnya yang berat itu
terdengar m akin lam a m akin sayup-sayup di sepanjang jalan
dusun. Dua kali suara berisik terdengar dari kaki bukit, lalu
sunyi kem bali. Daun-daunan m endesah perlahan, lalu atap tenda
bergetar, seolah-olah riak udara tengah m elantunkan wangi-
wangian yang datang m enaburi kam i.
Aku m erasa rikuh, diam bun gkam sehabis dia berkata
dem ikian itu, tak tahu bagaim ana harus kum ulai. Aku m em andang
sekilas padanya—m atanya yang sayu, sedang m enatapku.
“Adalah baik untuk bisa hidup lanjut,” gum am nya.
Oleh suatu sebab aku m engeluarkan keluhan.
“Apa?” katanya.
“Ya, m em ang baik untuk bisa hidup lanjut,” aku m engulangnya.
Kem bali kam i terdiam , lagi-lagi aku m erasa kikuk. Aku
berpikir-pikir, agaknya aku telah m elukai hatinya tatkala m eng-
iyakan dia telah tua. Aku ingin m enggem birakan hatinya tetapi
tak tahu apa yang harus kukatakan.
“Nah, selam at tidur,” katanya, bangkit. “Ibuku m enunggu
aku m akan m alam . Hari ini aku ham pir tak m elihatnya.”
“Tetapi aku ingin m em ainkan sonata baru buat Anda,”
kuajukan keberatan.
“Lain kali lagi,” jawabnya tawar. “Selam at tidur.”
Yakin lah aku sekaran g bahwa aku telah m en yin ggun g
perasaannya, aku jadi m enyesal. Katya dan aku berjalan di
sekitar rum ah bersam a dia, sehabis itu kam i berdiri m engawasi
dia yang tengah m enderap kudanya m encapai jalan yang m enuju
rum ahnya, pulang. Setelah suara kaki kuda lenyap, aku kem bali
ke beranda dan duduk lagi sam bil m em andang ke luar, ke dalam
kebun—ke em bun putih yang tengah m engendap serta sarat
dengan suara-suara m alam . Di situ lam a aku duduk m elam un,
dan lam unanku seolah-olah dem ikian nyata.
20 Leo Tolstoi

Dia datang untuk kedua kalinya, kem udian untuk ketiga


kalinya, dan hilanglah segala kecanggungan yang biasanya tim bul
sewaktu kam i sedang bercakap-cakap. Selam a m usim panas ia
m enjum pai kam i dua atau tiga kali sem inggu. Aku jadi terbiasa
den gan kun jun gan n ya itu hin gga ben ar-ben ar aku m erasa
kehilangan kalau beberapa hari saja ia tidak datang. Kuanggap
kelakuannya itu tidak baik, karena aku ditinggalkannya, perlu
kum arahi dia. Aku m erasa seolah-olah telah diperlakukan sebagai
tem an kesayangannya yang m asih m uda. Diajukannya pertanyaan
kepadaku, dibuatnya aku jadi percaya padanya, diberinya aku
wejangan, diberinya aku sem angat, kadang-kadang ditegurnya
aku dan dibetulkannya perasaanku yang keliru. Biarpun dia
berusaha m em perlakukan aku sebagai sesam a, nam un aku m erasa
bahwa di balik apa yang aku tahu, m asih banyak yang belum
kuketahui tentang dirinya—suatu dunia yang dalam anggapannya
tak boleh aku m em asukinya. Inilah yang m enyebabkan aku
tertarik kepadanya dan m alu terhadapnya. Aku tahu dari Katya
dan tetan gga-tetan gga bahwa di sam pin g m erawat ibun ya
yang telah tua, yang tinggal bersam anya, dan m engurus harta
pusakanya serta m enjadi pelindung kam i, ia pun sedang dalam
perkara yang m enyebabkan dia banyak m enem ui kesulitan. Aku
m asih tetap belum bisa m enyim pulkan apa-apa tentang dirinya,
bagaim ana ia m em ikirkan sem ua itu, atau apakah yang m enjadi
keyakinannya, rencana-rencananya dan harapan-harapannya.
Baru saja akan kubelokkan pem bicaraan kam i ke bidang yang
m enjadi urusannya, m aka tam paklah m ukanya yang m asam ,
seolah-olah dengan itu ia ingin m engatakan, “Ah, apa urusanm u
dengan itu?” dan beralihlah segera pem bicaraan kam i. Mula-
m ula aku m erasa tersinggung, tetapi kem udian m enjadi dem ikian
terbiasa de ngan pem bicaraan sekitar diriku m elulu, hingga lam a-
lam a aku m erasa bahwa hal dem ikian itu adalah wajar.
Rumah Tangga yang Bahagia 21

Hal lainnya lagi yang tidak kusenangi m ula-m ula, tetapi yang
kem udian kusukai, ialah ketakacuhannya yang tak tanggung-
tanggung, yang angkuh kelihatannya. Ia tak pernah m enunjukkan
kesan, baik dengan kata-kata ataupun dengan lirikan m ata, yang
m engisyaratkan bahwa aku ini cantik—sebaliknya m alah dia
m engernyitkan hidungnya ke atas dan tertawa kalau aku disebut
cantik di hadapannya. Bahkan seakan-akan dia ingin m encari
kekurangan yang ada pada diriku, dan disindirnya aku kalau
didapatnya. Baju panjang m odel baru yang disenangi Katya bila
aku m em akainya da lam acara-acara khusus, begitu pula tata
ram butku yang dibuat Katya m enurut m odel terbaru, hanyalah
m enggelikannya saja. Ini tentunya m enyakitkan hati Katya, dan
aku pun m alu pada m ulanya. Katya yang sudah tahu pasti bahwa
dia telah tertarik padaku, jadi tak m engerti sam a sekali, m engapa
wanita yang dicintainya itu m alah tak ingin bersolek elok. Akan
hal diriku, insyalah aku akan apa yang dikehendakinya—ia
ingin yakin bahwa aku tidak genit. Saat aku m enyadari hal ini
terjadi tak lam a sebelum segala kegenitan yang m enyesak dalam
kerut-m erut pakaianku, dalam cara aku m enata ram but, cara aku
bergaya, benar-be nar terkikis habis dariku. Sebagai gantinya,
tam paklah solek yang hening dari kesederhanaan, yang sam pai
saat itu belum benar-benar m erupakan kesederhanaan yang
sesungguhnya. Aku tahu bahwa dia m encintaiku, m eskipun tak
kutanyakan sendiri apakah cintanya itu seperti terhadap anak atau
wanita, akulah sendiri yang m enilai cintanya. Aku tahu bahwa aku
dianggapnya gadis rem aja yang terbaik di m uka bum i, dan aku
sendiri tak dapat m enahan keinginan untuk m em perdayakannya.
Dem ikianlah, tanpa kusadari, kupupuk hal itu. Tetapi selagi aku
m em perdayakan dia, kubina diriku. Aku m erasa bahwa adalah
lebih baik dan lebih berharga sekiranya kuperlihatkan kepadanya
keindahan jiwaku, bukan keindahan tubuhku. Keindahan tubuh—
ram but, tangan dan wajahku, cara dan gayaku, entah baik
22 Leo Tolstoi

atau jelek, dipandang dan dinilai olehnya hanya dengan lirikan


saja, dan karena itu tak perlu kutam bal sulam lagi agar dia
m enaruh penghargaan atas diriku. Nam un terhadap jiwa, dia
tidak m engetahuinya, sebab dia m encintaiku, lagi pula jiwa ku
m asih tum buh dan berkem bang. Dengan cara dem ikianlah aku
m em perdayakan dia. Betapa m udahnya aku bergaul dengannya
sem enjak aku m enyadari sem ua ini! Sifat m aluku yang tanpa
alasan dan gerak-gerikku yang canggung, lenyap sam a sekali.
Rasanya tak perlu lagi kupedulikan cara bagaim ana dia m elihat
diriku, apakah ia melihat mukaku sepenuhnya atau hanya proil
saja, apakah ia m elihat aku sedang duduk atau berdiri, dengan
ram but terurai ke bawah atau tersanggul ke atas, m elihat ke
sekujur tubuhku, kepada yang berkenan di hatinya seperti aku
pula. Andaikan dia m elepaskan kebiasaannya, dan kem udian
tiba-tiba m enyebut diriku cantik, kurasa aku pun sam a sekali
takkan gem bira. Nam un betapa hati takkan gem bira dan m erdu
terdengarnya, apabila dia, setelah kuperhatikan barang sejenak,
m enatapku dan berkata dengan suaranya yang tulus ikhlas, yang
dicobanya dinyatakan dalam nada bersenda gurau.
“Ya, ada sesuatu dalam dirim u. Harus kuakui bahwa kau
adalah gadis yang baik!”
Apa tanggapanku setelah kuterim a pujian itu, bangga dan
gem birakah aku? Aku m erasa seperti tersentuh oleh belaian
cinta kasih Grigory tua terhadap cucunya yang perem puan, atau
terharu oleh puisi dan novel yang kubaca, atau oleh perasaan
bahwa Mozart lebih baik daripada Schulhoff.
Meski betul tak sedikit pun aku punya gagasan tentang apa
yang baik dan yang harus kucintai, tetapi perasaanku yang tajam
dalam m enilai apa yang baik dan apa yang harus kucintai, m uncul
dalam sanubariku secara m engagum kan.
Sergei Mikhailich banyak m encela selera dan kebiasaan-
kebiasaanku, dan itu pun cukuplah dinyatakan dengan hanya
Rumah Tangga yang Bahagia 23

lirikan atau gerakan alis yan g m en an dakan bahwa dia tak


m en yukai apa yan g telah kukatakan . Sudah cukup bagin ya
bila ia dapat m engira bahwa apa yang disayangkannya dan
dipandangnya aib pada diriku, diba yangkannya pula bahwa aku
pun tidaklah benar-benar m enyukai apa-apa yang selalu kusukai.
Kadang-kadang, tatkala ia m au m em beri wejangan padaku, aku
suka m enerka apa yang hendak dikatakannya. Atau sebaliknya,
sam bil asyik m enatap m ataku, ia m encoba m enjelajahi pikiranku
dan m eraih apa yang dia kehendaki dari pikiranku itu. Pada saat
itulah serasa segala pikiran, segala perasaan yang ada dalam
diriku, tiada lagi m erupakan m ilikku—sem ua adalah m iliknya
nam un yang dengan tiba-tiba jadi m ilikku. Sem ua itu m asuk
dalam jiwaku dan m eneranginya. Alhasil tanpa kuperhatikan itu
sem ua, m ulailah aku m elihat setiap hal dan benda dengan m ata
yang berlainan—m elihat Katya dan Sonya serta para pelayan,
m elihat diriku dan apa-apa yang m erupakan m ilikku. Sebelum
ini aku m em baca buku sekadar untuk m enghilangkan rasa jem u
saja—tetapi kini buku telah m erupakan kesenangan utam a bagiku
dan kubicarakan isinya bersam a dia. Dan dia m em bawa sesuatu
yang baru bagiku.
Sebelum in i, waktu yan g kubaktikan un tuk Son ya dan
pelajaran yang kuberikan kepadanya kurasakan sebagai tugas
berat yang kulakukan dengan terpaksa hanya untuk m em enuhi
kewajiban belaka. Dan pada suatu hari datan glah ia pada
waktu aku sedang m engajar, dan m ulai saat itulah aku m erasa
m enem ukan kegem biraan dalam m engikuti kem ajuan-kem ajuan
yang dicapai oleh Sonya. Sebelum ini tam paknya tak m ungkin aku
bisa berlatih seluruh bagian gubahan pada piano, tetapi sekarang?
Tahu bahwa dia suka m endengarkan, m alah boleh jadi m em ujiku,
em pat puluh kali kuulang gubahan yang itu-itu juga hingga
kasihan Katya harus m enutup lubang telinganya dengan kapas,
sedangkan bagiku tidaklah m enjem ukan. Sonata lam a terasa
24 Leo Tolstoi

seperti punya ungkapan lain pada piano—jauh lebih baik. Bahkan


Katya, orang yang kukenal dan kucintai seperti kepada diriku
sen diri, berubahlah dalam pandangan m ataku. Kini barulah
kusadari bahwa dia bekerja bukanlah sekali-kali karena terpaksa,
bukan sekali-kali karena keharusan m aka dia jadi ibu, tem an
dan pengasuh sekian lam anya di rum ah kam i. Dalam pandangan
m ataku tam paklah dia sebagai m akhluk yang tak m em entingkan
diri sendiri, m akhluk yang dari dulu penuh pengabdian dan kasih
sayang—insyalah aku betapa besar hutang budiku kepadanya,
dan karena itu m ulailah aku lebih m encintainya lagi. Dia, Sergei
Mikhailich, m engajariku cara m em andang terhadap para petani
dan bujang pengurus rum ah, terhadap para pelayan yang ada
di rum ah, yang laki-laki m aupun yang perem puan, kupandang
m ereka dengan cara yang berlainan sam a sekali daripada yang
sudah-sudah. Tam paknya m enggelikan, akan tetapi sam pai aku
berusia tujuh belas tahun, orang-orang yang hidup bersam aku
itu adalah orang-orang yang asing bagiku—bahkan lebih asing
daripada orang-orang yang kujum pai dalam buku-buku yang
kubaca. Tak habis-habisnya kupikirkan, dan nyatalah bahwa
m ereka itu adalah m akhluk-m akhluk yang punya perasaan cinta
kasih, punya hasrat dan penyesalan seperti aku juga. Gundukan
pepohon an dan tegalan yan g kuken al selam a in i, tiba-tiba
m enjadi baru dan indah tam paknya. Benarlah apa yang dikatakan
Sergei Mikhailich bahwa hanya ada satu-satunya kebahagiaan
dalam hidup—hidup untuk orang lain. Kedengarannya seperti
ucapan yang aneh pada waktu itu—aku tak dapat m em aham inya,
akan tetapi tanpa kusadari, keyakinan ini m ulai tum buh dalam
hatiku. Telah dia singkapkan seluruh dunia baru padaku, dunia
riang gem bira yang ada di sekelilingku, tanpa ada satu pun
yang diubah dalam jalan hidup kam i, tanpa ada satu pun yang
dibubuhkan pada setiap kesan selain apa yang ada. Benda-benda
ini m engelilingiku sejak m asa kanak-kanak, nam un sem uanya
Rumah Tangga yang Bahagia 25

bisu, begitu dia hadir, sem uanya m ulai bicara dan m encari restu
dalam jiwaku, lalu diisinya aku dengan kebahagiaan.
Pada m usim panas itu aku kerap pergi ke atas, ke kam arku,
untuk berbaring. Kum au agar apa yang tadinya diisi dengan
kerinduan lam a dan harapan akan m asa depan yang tim bul di
waktu m usim sem i, diisi dengan kegem biraan dan kebahagiaan
pada saat ini. Aku tak dapat tidur, m auku hanyalah bangun dan
duduk di ranjang Katya, m enceritakan padanya bahwa aku ini
benar-benar bahagia, m engatakan sesuatu (aku m enyadarinya
sekarang bila kuingat kem bali hal itu) yang sebetulnya tak usah
kuceritakan kepadanya—dalam hatinya ia pun tahu itu. Dan
biasanya Katya bercerita bahwa ia pun pernah m endapatkan
apa-apa yang diinginkannya, juga ia m erasa bahagia ketika itu,
dan aku suka dicium inya. Aku m em percayainya, kurasa hanyalah
benar dan betul belaka pabila setiap orang dapat m engenyam
kebahagiaan. Akan tetapi Katya bisa tidur juga. Kadang-kadang
tam paklah Katya seperti m au m arah dan m en gusirku dari
ranjangnya, sam pai dia dapat tidur. Setelah itu, untuk beberapa
lam anya, suka kurenungkan segala sesuatu yang m em buat diriku
bahagia. Kadang-kadang aku suka bangun dan m engucapkan
doa barang sesaat ... aku berdoa dengan kata-kataku sendiri,
kuucapkan syukur kepada Tuhan atas segenap kebahagiaan
yang telah dilim pahkan-Nya padaku. Selagi begitu tak ada suara
apa pun yang terdengar selain bunyi napas Katya yang teratur
dan bunyi tik-tak jam yang ada di dekatnya. Nam un dem ikian
tetap aku tak dapat tidur, kubolak-balikkan badanku, kubisikkan
doa, kubuat tanda salib, kukecup salib yang m enggantung di
leherku. Pintu-pintu tertutup, jendela-jendela rapat oleh tirai,
beberapa ekor lalat atau nyam uk m endengung-dengung di satu
tem pat. J ika sudah begitu, aku m erasa wegah m eninggalkan
kam ar, wegah m enghadapi datangnya pagi, wegah m eninggalkan
suasana batin yang syahdu, yang tengah m engelilingiku, yang
26 Leo Tolstoi

sam a sekali tak m au diganggu. Kukhayalkan bahwa m im pi-


m im piku, pikiran-pikiranku, dan doa-doaku, adalah m akhluk-
m akhluk hidup yang dalam kerem angan senja ini ada bersam aku,
m enggelepar-gelepar di atas ranjangku, terkatung-katung di
udara di atas badanku. Taklah kusadari bahwa yang dem ikian ini
adalah cinta. Kukira itu hanyalah perasaan yang dapat saja tim bul
dengan sendirinya sem barang waktu.
3

PADA SUATU HARI di waktu sedang m enuai, Katya dan aku


pergi ke kebun bersam a Sonya sehabis m akan siang. Kam i
duduk di atas bangku kesayangan di bawah pohon lim au yang
rindang di atas ngarai, dari situ terlihat pem andangan hutan dan
tegalan. Sergei Mikhailich sudah tiga hari tidak m enem ui kam i
dan kam i m engharapkan kedatangannya, lebih-lebih setelah
m endengar dari pem ilik kebun bahwa ia berm aksud m em eriksa
tanah kam i dengan naik kuda. Tak lam a kem udian, setelah pukul
satu, kulihat dia datang di atas kuda m elintasi ladang gandum .
Katya m enyajikan buah persik dan ceri kesukaannya, dan m elirik
padaku sam bil tersenyum , lalu m erebahkan diri di atas bangku
dan m engantuklah ia. Kupatahkan ranting lim au yang bengkang-
bengkok dan pipih berikut daun dan kulitnya yang kuyup oleh air
hingga basahlah kalau tersentuh. Kem udian kugoyang-goyangkan
ranting itu di atas Katya sam bil terus m em baca dan sebentar-
sebentar kulayangkan m ata pada jalan di ladang yang akan
28 Leo Tolstoi

dilaluinya. Sonya sedang asyik m em buat rum ah-rum ahan untuk


bonekanya di dekat kayu lim au yang sudah tua.
Hari itu udara panas dan gerah, tak ada angin. Pada pagi
harinya langit ditutupi awan badai yang hitam bergum pal-gum pal
seperti m engancam akan hujan. Aku m erasa gelisah, seperti
biasanya aku gelisah pabila m elihat awan badai. Akan tetapi lewat
tengah hari awan-awan itu m enyingkir ke tepi langit dan m elajulah
m atahari di tengah-tengah langit yang bersih. Yang terdengar
kem udian hanyalah bunyi guntur yang m enderu-deru di kejauhan
serta cahaya kilat putih yang berdenyar-denyar di tengah-tengah
awan gem ulung bercam pur debu di tepi langit. J elaslah tak
akan ada badai hari itu, paling tidak di sekitar kam i. Aku duduk
m engawasi alur jalan yang tam pak sekilas-sekilas di seberang
kebun. Gem ertak bunyi pedati tak henti-hentinya ter dengar,
pedati-pedati yang lagi m erayap pulang penuh dengan tum pukan
jeram i yang tinggi-tinggi di atasnya, dan pedati-pedati kosong
yang datang dari arah sebaliknya dengan ditum pangi orang-orang
yang duduk m engam bul-am bul di atasnya dengan kaki berjuntai-
juntai dan baju yang berkibaran. Debu yang tebal belum lagi
m engendap ataupun lenyap, debu itu terkatung-katung di udara
di luar pagar, dan di antara dedaunan di kebun buah-buahan.
Lebih jauh, dari tem pat m en im bun , datan glah suara-suara
yang sam a, derak-derik roda yang sam a, ikatan-ikatan jeram i
kuning yang sam a, m ula-m ula tam pak bergerak perlahan-lahan
sepanjang pagar, lalu tahu-tahu berm unculan gunungan jeram i
yang lonjong terpam pang di depan m ata, bagaikan rum ah-rum ah
dengan atap-atapnya yang runcing, dikerum uni para m uzhik
di sekelilingnya. Dan di tegalan yang berdebu, yang terham par
luas di hadapanku, pedati-pe dati sedang berge rak m aju, lagi-lagi
ikatan-ikatan jeram i kuning, derak-derik pedati, suara-suara
nyanyian. Di sebelahnya lagi, jauh m em anjang tunggul-tunggul
jeram i, sejalan dengan alur sem ak-sem ak beluntas yang m enjadi
Rumah Tangga yang Bahagia 29

batasnya dengan tegalan yang terham par lebih luas lagi. Agak ke
bawah, di sebelah kanan, perem puan-perem puan tani, dengan
perhiasannya yang gem erlapan, tam pak sedang m engikat berkas-
berkas jeram i yang berserakan di ladang yang habis disabit,
m ereka m em bungkuk-bungkuk sam bil tangan dan kakinya tetap
ber gerak ke m uka dan ke belakang, dan bila m ereka m elangkah
m aju m aka tinggallah ladang yang sudah bersih serta m uncullah
tum pukan jeram i yang rapi berderet-deret. Tam paknya m usim
rontok m au m enggantikan m usim panas, begitulah penglihatanku.
Udara panas serta di m ana-m ana terdapat debu, kecuali di tem pat
kesayangan kam i di dalam kebun buah-buahan. Terdengarlah
suara hiruk-pikuk dari segala penjuru, m enem busi debu dan
udara panas ini beserta suara gerak-gerik petani yang berisik,
yang sedang bekerja di bawah sinar m atahari yang panas terik.
Katya tam pak dem ikian m anis m endengkur di atas bangku
yang teduh dengan selam pai batis putih m enutupi m ukanya! Buah
ceri tam pak dem ikian ranum m engkilap kehitam -hitam an di atas
piring! Baju panjang kam i tam pak dem ikian nyam an dan bersih!
Air di dalam kendi gelas tam pak dem ikian bening dan kem ilau
tertim pa sinar yang lincah bergerak-gerak! Aku yang dem ikian
bahagia! “Apa lagi kalau sudah begini?” pikirku. “Adakah salah
jika aku dem ikian bahagia? Kepada siapakah harus kucurahkan
se m ua perasaanku yang m elonjak-lonjak dalam diriku, sem ua
kebahagiaanku?”
Matahari telah turun di balik pucuk pohon birka di sepanjang
jalan dusun, dan benda-benda yang jauh jadi m akin cerah
dan jelas tertim pa berkas-berkas sinar yang jatuh m iring di
udara. Debu sedang m engendap di tegalan, m endung telah lam a
bercerai-berai. Di tem pat penim bunan di luar kam pung, kulihat
tiga puncak tum pukan jeram i yang tinggi selesai disusun oleh para
m uzhik, kulihat jelas pedati penghabisan tengah m encongklang
pulang diiringi teriakan orang-orang yang ada di atasnya, dengan
30 Leo Tolstoi

penggaruk di pundak dan tali pengikat jeram i di pinggang, para


petani perem puan pulang sam bil bernyanyi, suaranya m engatasi
suara-suara yang ada. Nam un, Sergei Mikhailich m asih juga belum
datang, m eskipun telah kulihat tadi di atas kuda. Dan tahu-tahu
tam paklah sosoknya, datang dari arah yang tak disangka-sangka
(ia m engam bil jalan m em utar, m engitari ngarai). Dengan m uka
penuh senyum bahagia ia m em percepat langkahnya m enujuku,
dengan topi di tangannya. Ketika dilihatnya Katya tertidur, ia
m enggigit bibirnya sendiri dan dipicingkannya m atanya, lalu
berjalan berjingkat-jingkat. Suasana bahagia tam pak m em enuhi
dirinya hingga terbitlah rasa kasih sayangku padanya. Dan inilah
yang biasa kam i sebut dengan urakan, kulihat dia serupa bocah
yang sedang bolos dari sekolah, sekujur tubuhnya diliputi suasana
gem bira, n apas bahagia, sedan gkan lagak lagun ya tak jauh
bedanya dari anak kecil.
“He, Violet kecil, apa kabar? Baik-baik saja?” tanya nya
berbisik-bisik, ketika m enjabat tanganku. “Aku segar bugar,”
katanya sewaktu m enjawabku. “Aku tiga belas tahun sekarang—
siap m ain sem bunyi-sem bunyian dan panjat-panjatan.”
“Main urakan?” tanyaku sam bil m em andang m ata nya yang
berseri-seri penuh dengan sinar riang, dan insyalah aku bahwa
suasana hatinya tengah m enjalar m em asuki diriku.
“Ya,” jawabnya, sam bil m engedip padaku dan m encoba
untuk tidak tersenyum . “H anya, apakah itu di atas hidung
Katerina Karlovna?”
Tadi sewaktu aku sedang m engawasi dia, tanganku terus
saja m enggoyang-goyangkan ranting lim au, tahu-tahu ranting
itu telah m enyentuh selam pai Katya hingga terlepas, dan daun-
daunnya m enyapu Katya. Aku tertawa.
“Akan dikatakannya nanti bahwa ia tidak tidur,” bisikku,
seolah-olah aku takut m em bangunkan Katya, padahal bukan itu
alasannya—hanya senang saja berbisik-bisik kepadanya.
Rumah Tangga yang Bahagia 31

Ia m engernyitkan bibirnya seolah-olah bisikanku dem ikian


pelan hingga tak terdengar olehnya. Lalu, ketika tam pak olehnya
di atas piring ada buah ceri, ia pura-pura m encurinya untuk
seterusnya diberikan kepada Sonya yang lagi duduk bersam a
bonekanya di bawah pohon lim au. Mula-m ula Sonya gusar, tetapi
sebentar kem udian dapat diredakannya dengan jalan diajaknya
m ain buah ceri, siapa yang paling cepat m enelan habis buah itu,
dialah yang m enang.
“Nan ti kubilan gkan supaya m ereka m em bawa ba n yak-
banyak,” kataku, “atau m arilah kita am bil sendiri jika Anda suka.”
Dia m engam bil piringnya dan di atasnya ditaruh boneka,
kem udian pergilah kam i ke kebun buah-buahan bersam a Sonya
yang berlari-lari m engikuti kam i sam bil m enyeret-nyeret baju
m antelnya dalam usahanya m endapatkan kem bali bonekanya.
Diberikannya boneka itu kepadanya, lalu berpaling ke arahku
dengan rom an m uka yang bersungguh-sungguh.
“Kau ini benar-benar bunga violet,” katanya, m asih de ngan
suaranya yang pelan-pelan, m eskipun di situ tak ada orang yang
tidur. “Ketika aku m engham pirim u, sehabis kerja penuh debu
dan terbakar sinar m atahari, rasanya ada tercium wangi bunga
violetku—bukan yang telah sem erbak, yang telah m ekar, tetapi
yang m asih kuncup, yang m asih hitam , yang wanginya bercam pur
dengan salju dan rum put m usim sem i.”
“Bagaim ana kabar panen?” tanyaku, guna m enyem bunyikan
ledakan gem bira karena m endengar kata-kata yang m enyenangkan
itu.
“Bukan m ain. Bukan m ain hebatnya orang-orang itu be-
kerja, dalam segala-galanya. Sem akin kaukenal m ereka, sem akin
kausayang m ereka.”
“Ya,” kataku. “Sebelum Anda tiba, kulihat dari kebun m ereka
sedang bekerja, tiba-tiba aku m erasa m alu, m e reka bekerja
sedangkan aku….”
32 Leo Tolstoi

“J angan berpongah-pongah, Sayang,” ia m enyela, m endadak


jadi sungguh-sungguh, tapi m enatap m ataku dengan m anis.
“Itulah soal yang suci m urni. Tak boleh kausom bongkan perasaan
dem ikian itu di sem barang tem pat.”
“Tetapi aku pun baru m enceritakannya pada Anda saja.”
“Ya, aku tahu. Nah, bagaim ana tentang buah ceri?”
Pin tu ke kebun buah-buahan dikun ci, tak ada seoran g
pun tukang kebun yang terlihat di situ (m ereka telah disuruh
m em bantu m enuai). Sonya berlari-lari pergi untuk m endapatkan
kuncinya, nam un dia bukannya m enunggu sam pai Sonya datang
m elainkan terus saja m em anjat pagar tem bok, dan diangkatnya
jaring penghalangnya, lalu m eloncatlah ia ke bawah di sebelah
sana.
“Kau m au buah ceri?” panggilnya. “Berikan ke m ari piringnya.”
“Tidak, biar kupetik sendiri—aku akan pergi dulu untuk
m engam bil kuncinya. Sonya tak akan m endapatkannya.”
Akan tetapi ingin kulihat apakah yang sedang ia kerjakan
di dalam dinding tem bok—kuingin tahu apa yang dia pikirkan
dan lakukan kalau sedang sendirian. Terus terang saja m ataku
tak m au lepas dari padanya barang sesaat pun. Aku berlari
m engitari dinding tem bok lewat pepohonan yang gatal daunnya
m enuju bagian tem bok yang lebih rendah. Sam bil berdiri di
atas bak kosong bersandarlah aku pada bagian atas tem bok
yang tingginya sebatas dada, lalu m ataku m elihat ke dalam .
Pandangan kulayangkan ke bonggol cabang pohon yang telah
tua, yang di atasnya bergantungan dengan lebat buah ceri yang
hitam ranum , terhalang oleh daun-daunnya yang besar dan
lancip. Kuselulupkan kepalaku ke dalam jaring penghalang dan
dari celah-celah ran tin g-ran tin g lim au yan g rim bun kulihat
Sergei Mikhailich. Pastilah dia m enyangka aku telah pergi dan
m engira tak seorang pun yang m elihat dia. Topinya telah dibuka
dan sam bil duduk pada tunggul kayu yang sudah tua m atanya
Rumah Tangga yang Bahagia 33

dipejam kan, sem entara jari-jarinya m erem as-rem as getah ceri


hingga jadi bulat. Tiba-tiba dia m engangkat bahunya dan m atanya
pun dibuka, tersenyum dan m enggum am kan sesuatu. Ucapan
dan senyum nya itu seperti bukan berasal dari dia, hingga aku pun
m alu m em andangnya. Dia se perti m engatakan, “Masha”. Kupikir,
“Mana bisa begitu.” Diulangnya kem bali, “J uitaku, Masha!”—kian
perlahan dan kian lem but. Kali ini kudengar jelas kata-katanya
itu. J antungku m ulai berdegup, dem ikian kencang dan hebat
degupannya itu hingga ham pir saja kegirangan yang kutahan
dalam hati m eledak keluar, karena itu untuk m enjaga agar jangan
sam pai jatuh m aka kupegang dinding tem bok erat-erat dengan
kedua belah tanganku.
Ia m en den garku dan sehabis terkejut dan m em an dan g
ke sekeliling, dijatuhkannya pandangan m atanya ke bawah.
Mukanya m erah padam , tersipu-sipu bagai seorang gadis. Dia
m au m engucapkan sesuatu nam un kata-katanya tak bisa keluar,
akhirnya berdirilah ia dengan m uka kem erah-m erahan. Masih dia
tersenyum m em andang padaku. Aku pun tersenyum . Wajahnya
berseri-seri tanda bahagia. Kini dia bukan lagi seorang pelindung
yang telah berum ur, yang kusegani dan yang suka m engajariku,
m elain kan dia sesam aku—seoran g pria yan g m erasa kasih
dan takut padaku dan yang sebaliknya kukasihi dan kutakuti
pula. Kam i m asing-m asing bungkam , hanya m ata saja saling
m em andang. Tiba-tiba dia m engerutkan alisnya, senyum dan
sinar yang m em bayang dalam m atanya lenyap seketika, dan
berkatalah ia kepadaku dalam nada lam a, yang kebapak-bapakan
lagi dingin, seolah-olah ia m erasa telah m elakukan sesuatu yang
tak pantas, akan tetapi yang sekarang sudah dapat diatasinya lagi,
lalu dinasihatinya aku seperti biasa.
“Sebaikn ya turun … n an ti jatuh,” katan ya. “Bersihkan
ram butm u … aneh-aneh saja.”
34 Leo Tolstoi

“Mengapa dia berpura-pura? Mengapa dia m au m enyakiti


hatiku?” Aku berpikir, hatiku m engkal. Pada saat itulah aku
m erasa diriku diliputi hasrat yang tak tertahankan, hasrat untuk
m em buat dia sekali lagi m alu dan m encoba kekuatan diriku.
“Tidak, aku m au m em etik ceri sendiri,” kataku, lalu kusam bar
cabang yang terdekat dan m elom patlah aku ke atas dinding
tem bok. Dan sebelum dia m engulurkan lengannya padaku, aku
telah lebih dulu m elom pat ke bawah, ke dalam kebun.
“Banyak tingkah!” teriaknya, kem bali m ukanya m erah dan
m enyem bunyikan kebingungannya dengan pura-pura m arah.
“Kau bisa luka. Lagipula bagaim ana nanti keluar dari sini?”
Dia tam pak lebih rikuh dari tadi, akan tetapi kerikuhannya
itu tidak m enggirangkan hatiku, m alah m enakutkan. Sekarang
akulah yang rikuh. Merah m ukaku dan aku berusaha m enghindari
m atanya. Dalam kebingungan m aka m ulailah aku m em etik buah
ceri, tetapi tak sebutir pun yang kuam bil. Aku m enyum pahi diri
sendiri dan m enyesali apa-apa yang telah kukatakan. Aku takut,
aku telah m erendahkan diri sendiri di depan m atanya, aku akan
disindirnya selalu. Kam i m asing-m asing berdiam diri. Sonya
datang berlari-lari m em bawa kunci, kedatangannya m engubah
suasana kam i yang canggung. Lam a sekali kam i tak berkata-kata
satu sam a lain, hanya kepada Sonya kam i bicara. Kem balilah
kam i ke Katya. Katya m eyakinkan kam i bahwa ia tidak tidur
dan bahwa ia m endengar segala-galanya. Lam a-lam a hatiku jadi
tenang kem bali, Sergei Mikhailich pun m encoba m em perlihatkan
kem bali air m ukanya yang kebapak-bapakan, akan tetapi agaknya
sulit baginya—aku tak dapat dikibuli.
Percakapan yang telah kam i adakan beberapa hari yang lalu
hidup kem bali dalam ruang ingatanku. Pada waktu itu Katya
m engatakan bahwa adalah lebih m udah untuk seorang laki-laki
m enyatakan cintanya daripada seorang perem puan.
Rumah Tangga yang Bahagia 35

“Laki-laki dapat m engatakan bahwa ia cinta, tetapi wanita


tidak,” kata Katya.
“Tetapi saya pikir laki-laki juga begitu, tak dapat dan tak akan
m engatakan bahwa ia cinta,” sahutnya.
“Mengapa tidak?” kataku.
“Oleh karena jika dem ikian halnya ia berbuat dusta. Bukankah
yang dem ikian itu berarti m em bongkar isi ha tinya perihal cinta?”
Seolah-olah setelah berkata dem ikian m aka ‘klik’—dan jatuhlah
cintan ya. Seolah-olah dalam m en gata kan cin ta itu haruslah
seperti datangnya air bah atau m enggelegarnya salvo dari beribu-
ribu pucuk bedil. “Kukira,” katanya selanjutnya, “orang yang
dengan khidm at m engata kan ‘aku cinta padam u’ itu m enipu
dirinya sendiri, atau lebih buruk lagi, m enipu orang lain.”
“Tetapi bagaim ana seorang wanita bisa tahu bahwa seorang
laki-laki jatuh cinta padanya, bila tidak dikatakannya?” tanya
Katya.
“Saya tak dapat m enyebutkannya,” jawabnya. “Setiap orang
punya kata-katanya sendiri. Kalau m em ang di situ ada perasaan,
perasaan itu akan dikatakannya. Pabila kubaca buku-buku rom an,
terbayanglah selalu bagaim ana rom an m uka Letnan Strelsky, atau
Alfred, dalam ingatanku dengan penuh tanda-tanya, tatkala ia
m engatakan, ‘Aku cinta padam u, Eleonora’. Pastilah ada apa-apa
yang tak wajar terjadi pada dirinya, dan bukan sekadar—baik
pada si laki-laki ataupun pada si perem puan—terjadi pada m ata
dan hidung serta selebihnya seketika itu juga.”
Kem udian aku m erasa bahwa di balik kelakarnya itu ada
sesuatu yang sungguh-sungguh—m engenai diriku—tetapi Katya
tak sedikit pun m em biarkan pahlawan-pahlawan dalam rom an
itu m asuk dalam pem bicaraannya.
“Selalu bertolak belakang!” kata Katya. “Mengakulah—apakah
Anda tak pernah m engatakan cinta kepada seorang wanita?”
36 Leo Tolstoi

“Tak pernah, dan belum pernah aku m engatakan itu di depan


lututnya,” katanya sam bil tertawa, “dan tak akan pernah.”
“Nah, dia m enganggap tak seharusnya m engatakan dia cinta
padaku,” pikirku sewaktu teringat pem bicaraannya itu. “Dia
m encintaiku—aku tahu itu. Segala daya upayanya untuk pura-
pura tak acuh m em buat diriku punya pikiran lain.”
Sem alam itu ia sedikit saja berbicara denganku, akan tetapi
dalam setiap kata yang diucapkan kepada Katya dan Sonya,
dalam setiap gerak dan kejap m atanya kubaca cinta, tak syak
lagi, kubaca cinta. Hanya kesal dan kasihan saja aku padanya
bila diingat bahwa dia harus terus-m enerus m em endam rasa
dan bertindak seolah-olah tak punya perasa an apa-apa terhadap
diriku, padahal segalanya jelas sudah, padahal begitu m udah dan
sederhana caranya untuk m enjadi bahagia yang tak terperikan.
Akan tetapi peristiwa tatkala aku m eloncat ke dalam kebun buah-
buahan sungguh m erisaukan hatiku, rasanya seakan-akan aku ini
telah m elakukan kejahatan. Dalam pandanganku seakan dia tidak
lagi m enghargai diriku dan m arah padaku.
Sehabis m akan sore aku pergi m enuju piano, dan dia ada di
belakangku.
“Mainkanlah sebuah gubahan,” katanya, m enyusul aku di
ruang tam u. “Sudah lam a aku tidak m endengar kau m ain.”
“Saya akan ... Sergei Mikhailich!” kataku tiba-tiba sam bil
langsung m em andang m atanya. “Anda tidak m arah padaku?”
“Mengapa harus m arah?”
“Karena saya tidak m enghiraukan Anda sehabis m akan,”
kataku kem alu-m aluan.
Dia m engerti aku, dan m enggelengkan kepalanya, tersenyum .
Sorot m atanya berkata bahwa seharusnya dia m endam pratku
tetapi tak berani.
“Ya sem uanya habis sudah, kita bertem an kem bali?” kataku,
sam bil duduk pada piano.
Rumah Tangga yang Bahagia 37

“Aku juga begitu!” katanya.


Ruang duduk yang besar dan berlangit-langit tinggi itu
hanya diterangi dengan dua batang lilin di atas piano, ruangan
selebihnya dalam keadaan setengah gelap. Malam m usim panas
yang cerah dan hening itu m enje ngukkan cahayanya ke dalam
kam ar m elalui jendela yang terbuka. Segalanya sunyi, selain
derak-derik papan lantai di ruang tam u yang terinjak kaki Katya,
dan ringkik serta ketukan kaki kuda di bawah jendela.
Aku tidak m elihat padanya, karena duduknya di belakang-
ku, tetapi aku m erasakan kehadirannya di m ana-m ana, di dalam
kam ar yang penuh dengan ba yang-bayang—dalam m usik, dan
dalam diriku. Hatiku m enyam but setiap kejap m atanya, setiap
gerak tubuhnya, m eskipun aku tidak m elihat padanya. Aku
sedang m em ainkan Sonata-Fantasia gubahan Mozart yang dia
bawa ke rum ahku dan telah dia ajarkan kepadaku sekem balinya
dari perjalanan. Pikiranku tidak tertuju pada piano, nam un rasa-
rasanya aku berm ain baik, pula terasa bahwa dia m enyenanginya.
Aku m erasakan ke senangan yang dialam inya, dan tanpa m enoleh
padanya kurasakan m a tanya tertuju padaku. Sem entara jari-
jariku m enari-nari pada piano, dengan tak sengaja aku m enoleh
padanya. Di balik bayang-bayang cahaya bulan yang terang
benderang, tam pak jelas kepalanya. Matanya yang bersinar-sinar
itu sedang m enatap aku, sem entara dagunya ditum pangkan pada
tangannya. Aku tersenyum tatkala m elihat padanya, lalu berhenti
berm ain. Ia pun ter senyum , dengan anggukan kesal dia m em beri
isyarat supaya perm ainanku dilanjutkan.
Seusai gubahan itu kum ainkan, bulan telah naik tinggi sekali,
cahaya lilin yang tem aram m endapat bantuan cahaya lain, yang
keperak-perakan dan m ene robos jendela jatuh di atas lantai.
Katya berkata bahwa m enghentikan perm ainan pada bagian yang
bagus bukanlah kebiasaanku, dan katanya aku berm ain jelek. Dia,
Sergei Mikhailich, m engatakan sebaliknya, dikatakannya bahwa
38 Leo Tolstoi

aku tak pernah berm ain sebaik itu. Dan m ulailah dia m elangkah-
langkah sekeliling ruangan, pulang balik antara ruang tam u
yang gelap dan ruang duduk, dan berhenti m anakala m atanya
m em an dang padaku, lalu tersenyum . Aku pun tersenyum , tentu
saja aku m au tertawa, dem ikian bahagia aku karena sesuatu telah
terjadi—sesuatu yang hanya terjadi hari ini, yang baru saja terjadi
pada saat ini pula. Begitu Sergei Mikhailich keluar dari kam ar
kupelukkan lenganku ke tubuh Katya (kam i berdiri sam a-sam a di
dekat piano) dan m ulailah aku m encium i tem pat kesayanganku,
yaitu di bawah dagu Katya yang em puk, begitu Sergei Mikhailich
kem bali, aku berusaha m em perlihatkan wajahku yang sungguh-
sungguh, nam un hanya itulah yang dapat m enahan diriku untuk
tidak tertawa.
“Apa yang terjadi padanya hari ini?” tanya Katya kepada
Sergei Mikhailich. Dia tidak m enjawab, hanya tersenyum saja
padaku—dia tahu apa yang telah terjadi.
“Lihat, hebat nian m alam ini!” serunya dari kam ar tam u, ia
berhenti di depan pintu yang terbuka, di balkon, yang m enghadap
ke kebun.
Kam i pergi m engham pirinya. Betul saja, aku tak pernah
m enyaksikan m alam yang seperti ini. Bulan purnam a m eng-
am bang di atas rum ah di belakan g kam i, tak tam pak dari
kam ar, m enebarkan bayang-bayang yang m iring pada atap dan
tiang-tiang serta tenda beranda, en raccouci, pada jalan dusun
yang berpasir serta pada rum pun bunga. Yang lainnya, sem ua
berm andikan cahaya yang m elim pah-lim pah, keperak-perakan,
dengan em bun dan sinar bulan purnam a. J alan dusun yang lebar,
dengan bayang-bayang batang dahlia dan penyanggahnya yang
m elintang m iring pada sebelah sisi, m em bentang dan m engabur
ke tem pat yang jauh dan berkabut, terang lagi dingin, sedangkan
perm ukaannya yang tak rata dan berbatu kerikil itu m erem ang di
bawah cahaya bulan. Dari celah-celah pohon, tam paklah sekilas-
Rumah Tangga yang Bahagia 39

sekilas atap rum ah hijau yang m engkilap, sedangkan dari ngarai


kum pulan kabut m em bubung ke atas. Setiap cabang rum pun
bunga lilak, yang daun-daunnya sudah rontok, m andi cahaya, dan
setiap bunga yang berem bun di dalam kebun terpam pang jelas.
Cahaya dan bayang-bayang cam pur-baur di lorong-lorong hingga
pepohonan tam pak seperti rum ah-rum ah khayali, bergoyang-
goyan g dan m en erawan g. Bayan g-bayan g rum ah terlen tan g
hitam , m em anjang ke sebelah kanan, m em isahkan diri, seram .
Yang terang benderang hanyalah puncak pohon poplar yang
rim bun dan m enganjur ke atas, tersem bul keluar dari bayang-
bayang, dan yang secara ganjil terpam pang dalam cahaya yang
terang benderang tepat di atas rum ah dan bukannya m enjauh
m asuk ke dalam warna langit yang biru tua.
“Ayo, kita jalan-jalan,” kataku.
Katya setuju tetapi katanya aku harus m em akai sepatu
rangkap dulu.
“Tak perlu,” kataku, “Sergei Mikhailich akan m enggandeng
tanganku.”
Seolah-olah dengan begitu kakiku tidak akan basah! Tetapi
m ereka m engerti, tak tam pak ada hal-hal yang m engherankan
m enurut penglihatanku. Dia tak pernah m enggandeng tanganku
sebelum nya, tetapi m alam ini akulah sendiri yang m em intanya,
dan dia tidak m enganggapnya asing. Kam i bertiga turun ke
beranda m uka, dan seluruh bum i ini—langit, kebun, udara—
berlainan sekali daripada yang pernah kulihat.
Ketika aku m elihat ke m uka, ke bawah, ke lorong yang sedang
kam i lalui, pada perasaanku kam i tak m ungkin dapat m elangkah
lebih jauh lagi m enuju arah itu—bahwa dunia kem ungkinan telah
berakhir di sini, sedangkan apa yang ada di luarnya m estilah
tertutup buat selam a-lam anya dalam keindahannya. Akan tetapi
ketika kam i m elangkah m aju, dinding sakti dunia yang indah
itu terbuka m enyilakan kam i, dan di situ pun, rasa-rasanya, ada
40 Leo Tolstoi

kebun yang telah kam i kenal betul, dengan pohon-pohon dan


jalan setapak serta daun-daunan yang kering. Tak salah lagi kam i
pernah berjalan sepanjang jalan setapak, m enginjak lingkaran-
lingkaran ca haya dan bayang-bayang, tak salah lagi daun-daun
kering pernah berkerosok di bawah kaki kam i, tak salah lagi
ranting sejuk itulah yang telah m enyapu m ukaku. Pula tak salah
lagi dialah yang sedang berjalan dengan langkah lem but teratur
di sisiku, sam bil m enggandeng tanganku dengan hati-hati dan
tak salah lagi Katyalah yang sedang berjalan di sisiku, sam bil
kakinya gem ersik m enginjak pasir. Dan hanyalah bulan yang
bisa m encurahkan cahayanya di atas kam i, m enem bus cabang
pepohonan yang diam tak bergerak.
Akan tetapi setiap kam i m elangkah, bersam aan de ngan itu
dinding sakti pun kem bali tertutup di belakang dan di depan
kam i, lalu aku pun tak lagi percaya bahwa kam i bisa jalan terus,
juga tak percaya lagi kepada yang telah kam i lalui.
“Hii! Katak!” teriak Katya.
“Siapa orangnya yang berkata begitu, dan m engapa?” aku
bertanya-tanya keheranan. Tapi kem udian aku ingat, itulah
Katya, dan dialah yang takut katak itu, aku pun m elihat ke bawah.
Seekor katak m eloncat ke depanku dan diam di situ, m em buat
sebintik bayang-bayang di atas pasir jalan setapak.
“Kau takut?” kata Sergei Mikhailich.
Aku m elirik kepadanya. Di tem pat itu, lewat celah-celah
deretan pohon aku dapat m em andang jelas wajah nya. Alangkah
cakapnya, betapa bahagia tam paknya!
Dia berkata, “Kau takut?” Tetapi yan g kuden gar, “aku
cinta padam u, Sayang.” Sorot m atanya, belaiannya, kem bali
m engulang, “aku cinta padam u,” begitu pula cahaya dan bayang-
bayang dan udara, sem ua m engulangnya.
Kam i berjalan berkeliling kebun. Katya berjalan sedikit cepat
di sam ping kam i dan bernapas keras-keras. Dia letih, dan katanya
Rumah Tangga yang Bahagia 41

sudah waktunya pulang. Aku m enya yangkannya. “Mengapa Katya


tidak m erasakan apa yang kam i sedang rasakan?” aku bertanya-
tanya keheranan. “Mengapa dia tidak sem uda dan sebahagia
seperti aku dengan dia pada m alam ini?”
Kam i kem bali ke rum ah, dan m eskipun ayam sudah berkokok
dan sem ua bujang sudah tidur, pula kudanya di bawah jendela
m engais-ngais dan m eringkik-ringkik, Sergei Mikhailich belum
juga m au m eninggalkan rum ah kam i. Katya tidak m em peringatkan
kam i akan waktu, begitu pula kam i yang m em percakapkan segala
tetek-bengek tidaklah m em perhatikan bahwa waktu telah lewat
jam dua. Ayam telah berkokok untuk ketiga kalinya, dan fajar
ham pir m enyingsing tatkala dia pergi pulang. Ia m engatakan
selam at tinggal sebagaim ana biasa, tiadalah terdapat tanda-
tanda istim ewa dalam kata-katanya, akan tetapi aku tahu bahwa
m ulai saat itu dia adalah m ilikku, dan takkan kulepaskan dia.
Segera setelah m en yadari bahwa aku m en cin tain ya, segala-
galanya kukatakan kepada Katya. Katya gem bira dan terharu
oleh keyakinanku, tetapi sayang ia segera tidur m alam itu,
sedangkan aku berjalan kian ke m ari di beranda m uka, lalu
turun ke kebun m enyusuri jalan setapak yang tadi kam i lalui
bersam a, seraya m engenangkan setiap kata dan gerak-geriknya.
Aku tidak tidur sem alam -m alam an dan m elihat m atahari terbit
untuk pertam a kalinya dalam hidupku. Malam dem ikian, pagi
dem ikian, tak pernah kulihat sebelum nya. “Tetapi m engapa
ia tak lantas saja m engatakan cintanya padaku?” Aku m erasa
heran. “Mengapa dia m erasa sulit dan m erasa dirinya telah
tua, sedangkan sem ua itu begitu m udah dan indah? Mengapa
saat-saat yang segem ilang ini dikatakannya telah berlalu dan
takkan kem bali? Suruhlah dia m engatakan ‘aku cinta padam u!’
Suruhlah dia m engucapkannya dalam kata-kata. Suruhlah dia
m eraih tanganku ke dalam genggam annya, suruhlah kepalanya
m erunduk dan berkata ‘aku cinta padam u’. Suruhlah dia tersipu-
42 Leo Tolstoi

sipu dan m enundukkan kepalanya di hadapanku, dan biarlah


kukatakan sem uanya. Atau tidak, takkan kukatakan sepatah kata
pun jua—akan kulilitkan lenganku dan kudekapkan badanku
padanya dan m enangis.” Akan tetapi tiba-tiba tim bullah pikiran
dalam ingatanku, “Bagaim ana kalau aku salah paham dan dia
tidak m encintaiku?”
Pikiran dem ikian m encem askan hatiku. Mudah-m udahan
janganlah sam pai ke situ! Aku teringat padanya dan kepada
perasaan m aluku ketika aku m elom pat dari dinding tem bok kebun
buah-buahan ke bawah m enuju kepadanya, m aka jantungku kian
berdegup kencang, m ataku berlinangan air m ata, dan berdoalah
aku. Lalu pikiran yang aneh tapi benar—harapan—datang padaku.
Niatku sudah bulat untuk berpuasa, untuk m engadakan Sakram en
Roh Kudus pada hari ulang tahunku, dan yang pada hari itu juga
m enjadi tunangan dia.
Aku tidak tahu apa sebabnya begitu, tetapi sejak saat itu aku
percaya dan tahu bahwa m em ang begitulah seharusnya. Hari
telah siang, dan pelayan-pelayan telah bangun ketika aku kem bali
ke kam ar.
4

WAKTU ITU MUSIM USPENSKY, jadi tak seorang pun yang


m erasa heran akan niatku untuk berpuasa.
Sem inggu itu dia tidak datang m enjenguk kam i, tetapi aku
tidak terkejut atau cem as, pula tidak m arah padanya. Sebaliknya
m alah aku girang dia tidak datang dan hanyalah pada hari
ulang tahunku kuharapkan dia datang. Dalam sem inggu itu aku
bangun pagi-pagi betul setiap harinya, dan selagi bujang-bujang
m em asukkan kuda ke kandang, aku jalan-jalan sekeliling kebun,
sen diri saja, sam bil m engingat-ingat dosa apakah yang telah
kubuat pada hari-hari yang telah lalu, dan bertanya-tanya dalam
diri tentang bagaim ana m elewatkan hari yang baru agar aku
jangan sekali-kali berbuat dosa lagi hingga dam ai sejahteralah
aku. Pada waktu itu rasa-rasanya begitu m udah bagiku untuk
tidak m elakukan dosa apa pun. Kukira yang harus dilakukan
setiap orang ialah berusaha barang sedikit.
44 Leo Tolstoi

Biasanya bendi disuruh jalan dan aku naik ke dalam nya


bersam a Katya atau salah seorang gadis yang ada, lalu kam i
pergi m enuju gereja yang jauhnya tiga versta dari rum ah kam i.
Setiap kali kum asuki pintu gereja aku berkata pada diri sendiri.
“Rahm atilah m ereka yang m asuk dengan hati yang takut pada
Tuhan,” lalu kucoba m endaki dua buah undakan yang ditum buhi
rum put pada beranda m uka gereja dengan perasaan seperti tadi.
Pada saat itu tak lebih dari selusin wanita saleh dari kalangan
petani dan pelayan rum ah yang m elakukan ibadat di gereja,
dan aku berusaha m em balas m ereka yang m em bungkuk padaku
dengan kerendahan hati. Akulah sendiri yang pergi ke tem pat
penyim panan lilin (m erasa bahwa inilah cara yang sangat terpuji)
untuk m enerim a beberapa batang lilin dari serdadu tua yang telah
lebih dulu m engam bilnya, lalu ditaruhnya lilin itu di depan ikon-
ikon. Lewat Pintu Gerbang Suci aku dapat m elihat kain selubung
altar yang dulu disulam oleh ibu. Di situ, di tem pat ikon-ikon,
berdiri dua buah patung m alaikat dari kayu dengan bintang di
atas kepalanya, yang dulu ketika aku m asih kecil dem ikian besar
tam paknya, serta burung m erpati dengan lingkaran kuning yang
selalu m enarik hati. Di sebelah m uka choir, aku dapat m elihat
tem pat air suci yang sudah penyok, di situlah kebanyakan anak
pelayan dan bujang dibaptis, begitu pula aku. Maka datanglah
pendeta dalam jubah terbuat dari kain bekas penutup peti m ayat
ayahku. Lalu ia m em bacakan doa kebaktian dengan suara yang
sam a seperti setiap kali ia m em bacakan doa kebaktian di rum ah
kam i, sewaktu m em baptis Sonya, sewaktu rekuiem ayah dan pada
waktu upacara pem akam an ibu. Suara koster yang begitu-begitu
juga, yang gem etar, datang dari choir, wanita bungkuk yang itu-
itu juga, yang seingatku selalu ada di gereja pada setiap kebaktian,
berdiri di dekat dinding dengan m ata yang selalu digenangi air
m ata tatkala m em andang tak berkedip pada ikon, dengan tiga
jarinya yang m enjepit setangan batis pabila ia m em buat tanda
Rumah Tangga yang Bahagia 45

salib, sem entara m ulutnya yang tak bergigi itu tak henti-hentinya
berkom at-kam it.
Dan sem ua ini tidak lagi aneh bagiku, pula tak lagi kusukai,
selain atas kenang-kenangan yang dibangkitkannya, yakni se-
suatu yang di m ataku agung lagi suci serta m engandung m akna
yang dalam sekali. Telingaku kupa sang baik-baik buat setiap
kata dalam doa yang dibacakan, sam bil berusaha m enanggapinya
dengan jiwaku, kum ohon agar Tuhan m enjelaskannya pabila
aku tak m engerti, dan m engarang doaku sendiri pabila aku
tak m endengar. Sewaktu doa pengam punan sedang dibacakan,
teringatlah aku akan m asa yang lam pau, m asa yang kekanak-
kanakan lagi polos tam pak seperti siang dan m alam dibandingkan
dengan keadaanku sekarang yang cantik gem ulai, sehingga aku
m erasa ngeri dengan diriku sendiri. Dalam pada itu aku pun
m erasa pula bahwa sem ua itu akan diam puni, m alah sekiranya
kulakukan dosa yang lebih banyak, m aka pengam punannya
pun akan lebih m anis lagi. Pabila pada akhir kebaktian pendeta
berkata, “Rahm at Tuhan atas dirim u,” m aka seolah-olah ada rasa
sejahtera yang berwujud jasm ani sedang m enghubungi diriku.
Seolah-olah cahaya dan kehangatan m asuk dalam diriku. Sehabis
kebaktian, pendeta itu m endatangi aku dan m enanyakan apakah
dia perlu datang ke rum ah kam i buat m em bacakan doa kebaktian
m alam , dan jam berapa pula. Kuucapkan ba nyak terim a kasih
atas kebaikan hatinya, tetapi kukatakan bahwa aku akan datang
sendiri kepadanya.
“J adi Anda akan berlelah-lelah datang sendiri ke m ari?”
tanyanya, tapi aku tidak tahu bagaim ana harus m enjawabnya
agar tindak-tandukku terpelihara dari dosa karena keangkuhan.
Sehabis Misa biasanya aku m enyuruh agar kudaku dibawa
pulang, bila aku tak bersam a Katya, dan pulanglah aku sendirian,
sam bil dengan rendah hati m em bungkuk dalam -dalam kepada
setiap orang yang kujum pai. Dan keinginanku yang tulus ikhlas
46 Leo Tolstoi

untuk m enolong, m em beri nasihat dan berkorban bagi orang lain,


telah m endorong aku untuk m em be ri bantuan pada orang yang
lagi m engangkat beban, atau m enolong m enggendongkan bayi,
atau m elangkah ke dalam lum pur untuk m enyilakan orang lain
berlalu.
Pada suatu m alam kudengar pem ilik kebun bercerita bahwa
Sem yon, salah seorang m uzhik kam i, telah datang untuk m inta
papan kayu buat peti m ayat anaknya yang perem puan serta
uang buat biaya upacara pem akam annya, dan pem ilik kebun itu
m engatakan pula bahwa dia telah m em berinya. “Kalau begitu,
m iskin sekali orang itu, bukan?” tanyaku. “Miskin sekali, Nona—
sam pai garam pun tak terbeli olehnya,” jawabnya. Tiba-tiba saja
hatiku serasa diiris, nam un rasa-rasanya hal itu m enggirangkan
aku pula. Agar Katya tidak m en getahuin ya, kukatakan saja
padanya bahwa aku akan pergi jalan-jalan. Lalu aku pergi ke
atas untuk m engam bil sem ua uangku (tidak banyak tapi kuam bil
sem ua). Sam bil m em buat tanda salib aku m enyelinap ke luar
ke beranda m uka, lalu m enuju kam pung lewat kebun. Gubuk
Sem yon ada di ujung. Tak seorang pun m em perhatikan aku
naik ke jendela, kum asukkan uang itu ke dalam am bang jendela,
sesudah itu kuketuk pintu. Pintu bergerit tatkala seseorang keluar
dari dalam gubuk m em anggil-m anggil. Sam bil m enggigil karena
kedinginan dan ketakutan, aku lari pulang bagai seorang yang
habis m elakukan kejahatan.
Aku ditanyai Katya dari m ana dan apa yang telah terjadi,
akan tetapi aku tak m engerti m engapa dia m ena nyakan itu, dan
tak kujawab. Tiba-tiba, apa saja yang kulihat tam pak seperti
m iskin dan keji. Aku m engunci diri dan berjalan hilir m udik di
kam ar untuk beberapa lam a nya, tak berdaya sam a sekali buat
mengumpulkan kembali ingatanku atau menginsyai apakah yang
telah kualam i. Kubayangkan betapa gem biranya keluarga Sem yon
dan betapa berterim a kasihnya m ereka kepada orang yang telah
Rumah Tangga yang Bahagia 47

m em beri uang, lantas aku m enyayangkan karena tidak kuberikan


uang itu kepada m ereka langsung dengan tangan sendiri. Dan
juga aku m engagak-agak apa gerangan yang bakal dikatakan
Sergei Mikhailich andaikata dia tahu bahwa aku telah m elakukan
hal serupa itu, tapi aku m erasa senang bahwa tak seorang
pun m enge tahuinya. Kurasakan kegem biraan sedang m eliputi
diriku, dan setiap orang—term asuk diriku—tam pak seperti penuh
dengan dosa, dan kulihat diriku dan setiap orang seperti tak
berdaya, hingga pikiran tentang kem atian datang padaku laksana
m im pi tentang kebahagiaan. Aku tersenyum , berdoa, m enangis.
Betapa dam banya aku, betapa m enyala-nyala cintaku terhadap
setiap orang yang ada di dunia ini pada saat itu, dan terhadap diri
sendiri juga!
An tara kebaktian dan kebaktian kubaca ayat-ayat In jil,
dan isinya jadi lebih kupaham i. Sejarah Kehidupan Rasul jadi
dem ikian sederhana dan kian m engharukan, dan kedalam an
pikiran dan rasa cinta yang kutem ukan dalam ajarannya sem akin
m endahsyatkan dan tiada hingganya. Akan tetapi betapa bersahaja
dan sederhana apa pun yang kurasakan pabila kuletakkan Kitab
Suci di sisiku dan kem bali kuperiksa hidup di sekelilingku, dan
kurenungkan itu! Berat sekali rasanya buat hidup tidak benar,
dan be tapa sederhananya buat m encintai dan dicintai orang.
Setiap orang dem ikian baik terhadapku! Bahkan juga Sonya, yang
tetap kuberi pelajaran, m enjadi lain sam a sekali. Dia berusaha
untuk m engerti dan m engerjakan apa yang kuperintahkan, tidak
lagi m enjengkelkan. Setiap orang adalah untukku dan aku untuk
m ereka.
Berpikir tentang m usuh-m usuh yang harus kum intai m aaf
sebelum pen gakuan , aku han ya terin gat akan sese oran g di
luar rum ah kam i—seorang gadis tetangga yang kutertawakan
setahun yang lalu di depan tam u-tam u lainnya, dan karena
itu dia tak pernah datang lagi ke rum ah kam i. Kutulis surat
48 Leo Tolstoi

untuknya, kuakui kesalahanku dan m inta m aaf. Dia m em balas


suratku, dikatakannya bahwa ia m em aafkanku dan ia pun m inta
dim aafkan. Aku m enangis karena gem bira pada waktu m em baca
baris-baris kalim at yang sederhana dalam surat itu—baris-baris
yang rasa-rasanya dem ikian m engharukan pada saat itu.
Perawatku yang telah tua tak henti-hentinya m e ngucurkan
air m ata ketika aku m inta m aaf kepadanya. “Mengapa m e reka
dem ikian baik terhadapku?” kataku pada diri sendiri. “Apakah
yang telah kulakukan hingga patutlah aku m endapat cinta yang
dem ikian ini?”
Maka aku pun teringat kepada Sergei Mikhailich, dan segera
m em ikirkannya sam pai berjam -jam lam anya. Aku tak tahan untuk
tidak m em ikirkannya, dan kurasa yang dem ikian itu bukanlah
dosa. Akan tetapi aku tidak m em ikirkan dia dalam keadaan
seperti m alam itu (yang ternyata aku telah jatuh cinta padanya)—
n am un m em ikirkan dia seperti m e m ikirkan diriku sen diri,
den gan dem ikian tan pa kusadari aku telah m em persatukan
diriku den gan dirin ya pada setiap pem ikiran ten tan g m asa
depan. Perbawanya yang m em pengaruhi diriku tatkala aku ada
di hadapannya lenyap sam a sekali pada saat-saat dem ikian ini.
Aku m erasa diriku jadi setaraf dengannya, dan kurasakan itu
dari keharuan batinku yang setinggi-tingginya, aku m engerti dia
sedalam -dalam nya. Apa yang asing tadinya jadi jelas pada saat
itu, aku menginsyai akan apa yang dikatakannya, yakni bahwa
satu-satunya kebahagiaan dalam hidup ini ialah hidup untuk
orang lain, dan aku m enyetujui sepenuhnya. Aku yakin bahwa
kam i bersam a-sam a akan hidup rukun dan bahagia untuk selam a-
lam anya. Aku tidak m elam unkan pergi ke luar negeri, juga tidak
m em im pikan kem ewahan, m elainkan hidup yang sam a sekali
lain, hidup rum ah tangga yang dam ai di pedalam an, hidup yang
tak henti-hentinya berkorban dan cinta-m encintai antara satu
dan lainnya, yang bersam aan dengan itu senantiasa m enyadari
Rumah Tangga yang Bahagia 49

akan adanya rahm at Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang dalam


m enghadapi segala yang bakal tiba.
Aku m enerim a Sakram en Roh Kudus pada hari kelahiranku,
sebagaim ana kurencanakan. Hatiku penuh dengan kegem biraan
tatkala aku kem bali dari gereja pada hari yang kutakutkan
itu—takut akan kesan apa pun yan g m un gkin m en guran gi
kebahagiaanku. Baru saja aku sam pai di pintu depan, m au turun
dari kendaraan, terde ngarlah bunyi gem ertak kabriolet yang tak
asing lagi di atas jem batan, kulihat Sergei Mikhailich. Ia m au
m engucapkan selam at ulang tahun, dan kam i m asuk ke ruang
tam u bersam a-sam a. Tak pernah aku dem ikian tenang dan
percaya pada diri sendiri seperti pada waktu kehadir annya di pagi
itu. Aku m erasa di dalam diriku ada suatu dunia baru yang takkan
dim engerti olehnya, dan lebih tinggi dari yang ada padanya. Tak
sedikit pun aku m erasa m alu. Ia tentunya m enyadari sebab-
sebabnya, oleh karena biasanya ia tidak sebaik dan sem ulia
itu sikapnya terhadapku. Aku pergi m enuju piano, tetapi ia
m enguncinya dan m em asukkan kunci itu ke dalam sakunya.
“J angan kauobral perasaanm u itu,” katanya. “Musik yang ada
dalam jiwam u pada saat ini lebih indah dari apa pun yang ada di
dunia.”
Aku m erasa bersyukur, akan tetapi perasaanku terganggu
juga sedikit karena dia begitu saja dengan m udahnya m engerti
secara tepat akan apa yang ada dalam diriku, yang seharusnya
kusem bunyikan kepada siapa pun. Sewaktu m akan sore dia
m engatakan bahwa kedatangannya itu ialah untuk m engucapkan
selam at ulang tahun kepadaku dan untuk m engucapkan selam at
tinggal karena ia akan pergi ke Moskow pada hari berikutnya.
Sam bil m engatakan begitu dia m elihat kepada Katya, kem udian
m elirik kepadaku, dan aku dapat m enangkapnya bahwa dia takut
akan adanya perubahan yang tercerm in dalam wajahku. Tetapi
aku tidak terkejut dan kebingungan, bahkan tidak m enanyakan
50 Leo Tolstoi

apakah perginya itu akan lam a. Aku telah tahu apa yang dia
katakan, aku telah tahu dia tak akan pergi. Bagaim ana aku bisa
tahu? Aku tak dapat m enerangkannya sekalipun terhadap diri
sendiri, tetapi pada hari itu aku m erasa bahwa aku m engetahui
apa yang pernah dan akan terjadi. Rasa-rasanya aku se perti
hidup dalam m im pi yang ajaib, di m ana segala yang terjadi telah
terjadi lam a sebelum nya, dan aku pun telah m engetahui lam a
sebelum nya, hal serupa itu pun akan terjadi lagi, dan aku tahu
bahwa itu akan terjadi lagi.
Ia m au terus pergi setelah m akan sore, tetapi Katya lelah
sehabis Misa dan pergi berbaring. Dengan dem ikian, Sergei
Mikhailich harus m en un ggu sam pai Katya ban gun un tuk
m engucapkan selam at tinggal.
Terlalu banyak sinar m atahari m enem bus ke dalam kam ar
duduk, karena itu kam i pergi ke beranda. Begitu kam i duduk,
m ulailah aku m em bicarakan dengan tenang sekali soal yang
bakal m enentukan nasib cintaku. Aku m ulai berbicara tepat
pada saat kam i baru duduk, tidak lebih cepat dan tidak pula
lebih lam bat, dan sedikit pun tak pernah aku berbicara seperti
itu sebelum nya, baik dalam caraku berbicara m aupun m engenai
apa yang dibicarakan, alhasil tak ada rintangan apa pun yang
m enghalangi lidahku untuk berbicara. Tak tahulah aku dari m ana
aku m endapatkan pikiran yang tersusun dan dem ikian pasti,
dem ikian tepat pilihan kata-katanya. Seolah-olah bukan aku yang
berbicara pada waktu itu, m elainkan suara yang ada dalam diriku,
yang bebas dari kem auanku. Dia duduk di hadapanku sam bil
bersandar pada kisi-kisi, dicabutnya tangkai bunga lilak. Dan kini
ia sedang m encabiki daun-daunnya. Ketika aku m ulai berbicara,
dia lepaskan ranting lilak itu lalu disandarkannya kepalanya pada
sebelah tangannya. Perbawa dirinya yang kuat telah m enjadikan
dirinya seorang yang sam a sekali tenang atau siap sedia.
Rumah Tangga yang Bahagia 51

“Mengapa Anda akan pergi?” kataku perlahan-lahan dan


sabar, sam bil terus m enatap lurus kepadanya.
Ia tidak segera m enjawab. Kem udian sam bil m enjatuhkan
pandangannya ke bawah, ia m enggum am , “Ada urusan.”
Aku insyaf bahwa betapa sulit baginya untuk m em bohongi
aku, terutam a kalau kuhadapkan pertanyaan yang dem ikian terus
terangnya.
“Anda tahu apa artinya hari ini bagiku,” kataku. “Ada berbagai
sebab m engapa hari ini penting sekali. Bila kutanyakan m engapa
Anda pergi, hal itu bukanlah sekadar untuk gagah-gagahan saja.
Anda tahu, m eskipun tak usah kutanyakan itu, aku pun jadi
m erasa tergantung pada Anda. Aku bertanya karena aku harus
tahu. Mengapa Anda pergi?”
“San gat berat bagiku un tuk m en gatakan alasan yan g
sebenarnya tentang kepergianku,” jawabnya. “Minggu ini aku
banyak m em ikirkan diriku dan dirim u, dan aku m em utuskan
harus pergi. Kau m engerti apa sebabnya, dan sekiranya ada
anggapan tentang diriku kuharap ja nganlah m endesak supaya aku
m em bicarakannya lagi.” Ia m enggaruk dahinya dan m em ejam kan
m atanya. “Sangat berat untukku ... tetapi kau m engerti.”
J antungku m ulai m em ukul keras.
“Aku tidak m engerti,” kataku. “Aku tidak bisa m e ngerti,
karena itu Anda harus m engatakannya... dem i aku, dem i hari ini,
hari yang banyak artinya bagiku, katakanlah, aku siap m endengar
apa saja yang bakal kudengar.”
Ia m enggeser, m em andang padaku, dan kem bali m em etik
tangkai.
“Baiklah,” katanya, sejenak dia tam pak ragu-ragu sebelum
m eneruskan kata-katanya dengan suara yang diusahakannya
supaya jelas, nam un sia-sia. “Meskipun lucu dan tak m ungkin
dinyatakan dalam kata-kata, m eskipun terasa sakit dalam diriku,
52 Leo Tolstoi

akan kucoba m en gatakan n ya.” Ia m en gern yit seakan -akan


badannya kesakitan.
“Katakanlah,” kataku.
“Marilah kita um pam akan,” katanya, “ada seorang laki-
laki—kita sebut saja si A—dan ia sudah tua dan telah m engenyam
kehidupan. Dan di situ ada seorang wanita—sebut saja si B—dan
ia m asih m uda dan riang serta tak tahu apa-apa tentang m anusia
dan kehidupan. Disebabkan oleh keadaan keluarganya si laki-laki
itu m enyayangi gadis itu seperti terhadap anaknya dan ia tidak
takut akan m encintai si gadis dengan cara lain.”
Ia berhenti. Aku m em biarkan dia m elanjutkannya.
“Tetapi si A lupa bahwa si B itu m asih dem ikian m uda—hidup
itu bagi si gadis m asih seperti berm ain.” Kini dengan tergagap-
gagap dan tanpa m elihat padaku dia m eneruskannya, “Si laki-laki
lupa bahwa lebih gam pang baginya m en cintai gadis itu dengan
cara lain, tetapi itu berarti bagi si gadis hanyalah berm ain-m ain.
Si laki-laki m em buat kekhilafan dan tiba-tiba saja dia m erasa
m em punyai perasaan yang lain, yang sam a sakitnya dengan
m enyesali dosa, dan ia m erasa takut. Ia m erasa takut kalau-kalau
hubungan persahabatan lam a jadi rusak terganggu, dan karena itu
ia m em utuskan untuk pergi saja sebelum hal dem ikian terjadi.”
Sam bil berkata begitu ia m enggosok m atanya sebentar dan
dipejam kannya lagi.
“Mengapa dia takut m encintai si gadis dengan cara lain?”
tanyaku dengan pelan-pelan sekali, sam bil m e ngendalikan rasa
hatiku dan m enahan diri supaya tetap tenang.
Sudah baran g ten tu keden garan n ya seperti m en yin dir
karena dalam m em berikan jawabannya terbayang kepedihan
hatin ya yang luka, “Kau m uda, aku tidak. Kau m au berm ain,
sedangkan aku m em butuhkan sesuatu. Teruskanlah berm ain,
tetapi jangan dengan aku, karena aku seharusnyalah bersikap
jujur terhadapm u, itu akan m enyakitkan hatiku dan m em buatku
Rumah Tangga yang Bahagia 53

jadi rikuh.... Itulah yang dikatakan si A,” tam bahnya. “Sem ua ini
hanya om ong kosong, tentunya, tetapi kau sadar m engapa aku
akan pergi. J anganlah kita bicarakan lagi soalnya. Kum ohon!”
“Tidak! Tidak! Kita akan m em perkatakannya lebih ba nyak
lagi,” teriakku, suaraku gem etar karena tangis. “Apakah si laki-
laki m encintai gadis itu atau tidak?”
Ia tidak m enyahut.
“Sekiranya si laki-laki tak m encintai dia, m engapa ber m ain-
m ain dengan gadis itu, m eskipun si gadis m asih kecil ketika itu?”
“Ya, ya, si A salah,” katanya buru-buru m enyela, “tetapi itulah
akhir ceritanya, dan m ereka berpisah ... sebagai tem an.”
“Tetapi itu m engerikan! Apakah tidak ada akhir cerita nya
yang lain?” kugum am kan itu dengan sedikit nyaring, aku ngeri
akan apa yang dikatakannya.
“Ya, ada,” katanya, seraya m em indahkan tangannya dari
m ukanya yang gelisah dan m em andang lurus padaku. “Ada dua
akhir ceritanya. Hanya kum inta kau jangan m em otong-m otong,
dengarkanlah dengan tenang. Konon,” ia m ulai sam bil berdiri dan
tersenyum pahit, “katanya si A sudah kehilangan akal, tergila-gila
pada si B, dan dem ikianlah dika takannya kepada si gadis ... dan si
gadis hanya m enyam but dengan tertawa. Bagi si gadis tam paknya
lucu, tetapi bagi si laki-laki soal hidup dan m ati.”
Aku tertegun dan kata-kataku sudah ham pir di ujung lidah
untuk m em otong pem bicaraannya, agar dia jangan m em ancing-
m ancing aku begitu, tetapi tangannya diletakkannya di atas
tanganku dan ditahannya aku.
“Tun ggu,” katan ya, suaran ya gem etar. “Cerita lain n ya
lagi m engatakan bahwa si gadis itu m erasa kasihan kepada si
laki-laki. Celakalah gadis itu—karena belum berpengalam an—
m em bayangkan dirinya m encintai laki-laki itu, dan dia m au
jadi istrinya. Tololnya lagi, si laki-laki percaya—ya, dia percaya
betul—bahwa hidupnya akan dim ulai lagi dari segala-galanya.
54 Leo Tolstoi

Tetapi tak lam a kem udian si gadis m enyadari bahwa dia m enipu
si laki-laki dan si laki-laki m enipu si gadis.... Tapi sudahlah, kita
tak m au m em bicarakan lagi hal itu,” katanya m engakhirinya, dan
m em ang dia tak bisa lagi m eneruskan ceritanya. Dan berjalanlah
dia pulang balik sam bil bungkam di hadapanku.
Tadi ia m en gatakan “tak m au m em bicarakan n ya lagi”,
tetapi dia kulihat sedang tegang sekali m enunggu aku bicara.
Ingin aku m engatakan sesuatu, tetapi kerongkonganku serasa
tersum bat. Kulem parkan pandangan padanya—dia pucat dan
bibir bawahnya gem etar. Aku m ulai m erasa kasihan kepadanya.
Dengan m em ecahkan kesunyian yang sedang m enghim pit diriku,
aku berusaha untuk m ulai bicara lem ah-lem but dengan suara
yang sungguh-sungguh, takut kalau-kalau terputus di tengah
jalan.
“Dan akhir cerita yang ketiga,” kataku, aku berhenti tetapi
dia diam saja. “Akhir cerita yang ketiga ialah si laki-laki tidak
m encintai si gadis serta m elukai hatinya dalam -dalam , sedangkan
si laki-laki pergi sam bil berpikir bahwa dia m erasa betul dan
m alah dalam beberapa hal m erasa bangga. Itu lucu buat kam u,
tetapi tidak buat aku, aku m encintaim u sejak sem ula. Ya, aku
m encintaim u,” aku m engulangnya, dan tatkala kukatakan ini,
suaraku yang tadinya rendah dan sungguh-sungguh jadi m eninggi
hingga m erupakan jeritan yang m enakutkan diriku.
Ia berdiri berhadap-hadapan denganku, m ukanya pucat
sekali, bibirnya kian gem etar, dua butir air m ata m enitik pada
pipinya.
“Sungguh m enyedihkan!” ham pir berteriak kukatakan itu,
lem as karena gem as, m enderas air m ata. “Mengapa kam u begitu?”
tanyaku, sam bil m au bangkit m eninggalkan dia.
Akan tetapi dia m enahanku. Kepalanya m erunduk di atas
lututku, bibirnya m encium tanganku yang gem etar dan basah
oleh air m atanya. “O, Tuhan! Sekiranya aku tahu!” gum am nya.
Rumah Tangga yang Bahagia 55

“Men gapa kam u begitu? Men gapa kam u begitu?” aku


terus m engulanginya nam un dalam hati aku m erasa bahagia—
kebahagiaan yang takkan kem bali untuk selam a-lam anya.
Lim a m enit kem udian Sonya lari ke atas untuk m enjum pai
Katya, sam bil berteriak-teriak ke segen ap pen juru rum ah.
Katanya, Masha akan kawin dengan Sergei Mikhailich.
5

TAK ADA ALASAN untuk m enangguhkan pernikahan kam i, tidak


bagi dia tidak pula bagi aku. Mem ang, Katya ingin sekali pergi
ke Moskow buat m em esan pakaian pengantin untukku. Begitu
pun ibu Sergei Mikhailich ingin m em belikan dia kereta baru dan
perabotan baru sebelum pernikahan, juga m endandani rum ah.
Akan tetapi kam i berdua m endesak agar sem ua itu dilakukan nanti
kalau benar-benar diperlukan. Sem entara itu, kam i berpendapat
bahwa pernikahan sebaiknya dilangsungkan dua m inggu sesudah
hari ulang tahunku, dengan diam -diam , tanpa pakaian pengantin,
tanpa putra-putri pengiring pengantin, tanpa jam uan pada m alam
hari atau sam panye atau apa saja yang berupa pernak-pernik
upacara adat perkawinan. Dia m engatakan padaku betapa ibunya
m erasa kurang puas oleh karena perkawin an dilakukan tanpa
iringan m usik, tanpa koper-koper dan peti-peti serta rum ah yang
didandani—tidak seperti perkawinan beliau dulu yang m enelan
biaya sebanyak tiga puluh ribu rubel. Dikatakannya pula bahwa
Rumah Tangga yang Bahagia 57

ibunya m au m em eriksa peti-peti dalam gudang dan berunding


dengan Maryushka secara rahasia m engenai urusan perm adani,
kain tirai dan segala piring cangkir yang dianggapnya paling
penting bagi kebahagiaan kam i.
Di rum ah kam i pun Katya dengan Kuzm inishna, pe rawat
tua itu, berbuat hal yang sam a. Tak m ungkin bersenda gurau
dengan Katya pada saat sedem ikian gawatnya. Katya yakin
betul bahwa kalau kam i yang m engurus soal m asa depan itu,
hanyalah akan terhanyut oleh perasaan yang m elam bung tinggi
dan disibuki pula dengan hal-hal yang tak ada artinya, seperti
biasanya dilakukan oleh orang yang sedang seperti kam i, m alah
Katya yakin betul bahwa kebahagiaan kam i yang sebenarnya,
tergantung pada cocok-tidaknya potongan dan jahitan kem eja
kam i, kelim an taplak dan serbet.
Pesan-pesan rahasia dikirim kan kian ke m ari, berkali-kali,
sehari sebelum persiapan dim ulai. Dari luar, hubungan antara
Katya dan Tatyana Sem yonovna, ibu Sergei Mikhailich, begitu
luwes kelihatannya, nam un sebenarnya dapat dirasakan bahwa di
situ ada sedikit persaingan yang diam -diam dan tawar-m enawar.
Tatyana Sem yonovna, yang sekarang kukenal lebih baik,
m erupakan seorang ibu rum ah tangga yang kenal betul adat
sopan-santun, berbudi pekerti—seorang wanita yang halus gerak-
geriknya sesuai dengan usianya yang telah lanjut. Sergei Mikhailich
m encintainya bukan sekadar kewajiban terhadap seorang ibu,
tetapi juga karena m enurut anggapannya wanita inilah yang
paling baik, paling berbudi, paling pintar serta paling disayangi
di m uka bum i ini. Sang ibu senantiasa baik kepada kam i, dan
terutam a kepadaku, dan m erasa girang anaknya ketem u jodoh.
Pabila aku berkunjung kepadanya, aku m erasa bahwa ia ingin
sekali aku menginsyai bahwa anaknya itu pasangan yang baik,
dan hendaknya aku m encam kannya dalam hati, m eskipun ketika
58 Leo Tolstoi

itu kam i baru saja bertunangan. Aku m em aham i dia benar-benar,


dan setuju dengannya.
Dalam dua m inggu terakhir itu, Sergei Mikhailich dan aku
saling m engunjungi setiap hari. Ia suka datang untuk m akan sore
dan tinggal sam pai jauh m alam . Tetapi m eskipun ia m engatakan
bahwa dia tidak dapat hidup tanpa aku (dan aku tahu dia bicara
benar), tidaklah pernah ia m enghabiskan waktunya sehari-harian
buat m engawani aku, m elainkan ia tetap sibuk dengan urusannya
sendiri seperti sediakala. Pada akhirnya hubungan kam i tidaklah
berubah, ia tetap m em anggil aku Marya Alexandrovna dan pula
tak pernah m encium ku, sekalipun tanganku, begitu pula tak
pernah cari kesem patan untuk tinggal berdua-dua dengan aku,
m alah yang dem ikian itu dijauhinya. Tam paknya dia m enghindari
hal-hal yang tak dikehendaki yang terbit dari gejolak hatinya yang
rindu, yang dipandangnya sebagai sesuatu yang aib. Aku tidak
tahu apakah dia atau aku yang telah berubah, tetapi sekarang
aku m erasa bahwa aku setaraf dengannya. Aku sudah tidak lagi
m enem ukan padanya apa yang kupandang sebagai kesahajaan
yang m enarik hati, sekarang aku sering ingin m elihat dia sebagai
bocah m anis yang penuh dengan kebahagiaan di hadapanku
dan bukan sebagai laki-laki yang m enim bulkan rasa horm at dan
keseganan pada diriku.
“J adi beginilah sebenarnya orang ini!” pikirku. “Ia tak ada
bedanya dengan aku—tak lagi ada bedanya.” Sekarang aku m erasa
bahwa aku m engenali dia terus-m enerus—hingga aku m engerti
padanya dengan lebih baik. Dan apa yang kulihat padanya
tidaklah lain daripada kesederhanaannya yang m enyenangkan,
yang cocok de ngan aku. Bahkan rencananya tentang bagaim ana
hidup berum ah tangga sam a saja dengan aku, hanyalah lebih jelas
cara m enerangkannya.
Ketika itu cuaca lagi buruk, dan ham pir seluruh waktu kam i
habiskan di dalam rum ah. Pem bicaraan kam i yang paling m esra,
Rumah Tangga yang Bahagia 59

ialah di ruang tam u, di sudut antara piano dan jendela. Cahaya


lilin m em antul pada kaca jendela yang kelam , dan di sana-sini,
pada kaca jendela yang bersinar itu, hujan tak henti-hentinya
m enitik untuk selanjutnya m engucur ke bawah. Suara hujan
gem ertak di atas atap dan suara air bergelucak di dalam talang,
kelem baban m erem bes m asuk ke dalam jendela—ini sem ua
hanyalah m enam bah kem eriahan, kecerahan, dan kegem biraan
suasana.
“Ada satu hal yang sejak lam a aku ingin katakan pa dam u,”
ujarnya pada suatu sore tatkala kam i sedang duduk berdua di
sudut kam ar yang kam i gem ari itu (sore itu ia m ulai datang
terlam bat). “Aku terus-m en erus berpikir m en gen ai hal itu,
sewaktu kau sedang berm ain piano.”
“J angan katakan apa-apa—aku tahu sem ua m eski kau tak
m engatakannya,” kataku.
Ia tersen yum . “Ya, ben ar juga—kita tak usah m em -
bicarakannya.”
“Tidak, katakanlah apa itu?”
“Baiklah, kalau begitu. Kau ingat kan, tentang cerita A dan B?”
“Mana bisa lupa cerita yang dem ikian m enggelikan itu?
Mem ang bagus m em bongkar apa-apa yang…”
“Ya, sedikit saja aku lebih ketika itu, hancurlah kebahagiaanku
karen a ulah sen diri. Tetapi waktu itu pun seben ar n ya aku
tidak m engatakan hal yang sebenar-benarnya, dan itulah yang
m engganggu pikiranku. Aku akan m enyelesaikan apa yang telah
kum ulai itu sekarang.”
“Oh, jangan.”
“Tak usah takut,” katanya tersenyum . “Yang kujelaskan
hanyalah perkara diri sendiri. Kalau aku bicara, kuingin ada
alasannya.”
“Mengapa harus pakai alasan?” tanyaku. “Sam a sekali tak
perlu itu.”
60 Leo Tolstoi

“Tidak, bukan begitu. Dan dulu aku m em berikan alasan yang


kurang baik. Ketika tiba di sini pada m usim panas ini, aku begitu
yakin akan diri sendiri bahwa setelah kualam i segala kekecewaan
dan kesalahan dalam hidup, m aka cinta bagiku m erupakan sesuatu
yang tak m ungkin dan yang tinggal hanyalah tanggung jawab atas
kelanjutan hidupku. Hingga sekian lam a aku tidak m am pu untuk
m em aham i sifat perasaan yang ada dalam diriku terhadapm u,
begitu pula terhadap akibatnya. Mengharap-harap sekalipun tak
ada harapan. Nam un, suatu hari kupikirkan kau akan jadi cantik
jelita, lain hari, aku percaya pada ketulusan hatim u, dan entah apa
yang harus kuperbuat. Akan tetapi sehabis m alam itu, kauingat,
ketika kita jalan-jalan di dalam kebun, aku m erasa takut akan
diriku. Lalu kebahagiaanku sekarang ini, rasa-rasanya m elebihi
apa yang kuharapkan—sa ngat jauh dari kem ungkinan yang ada.
Coba pikirkan, apakah gerangan yang bakal terjadi andaikata aku
tetap saja berharap-harap, sedangkan ternyata hasilnya sia-sia?
Tentu saja pikiran itu hanyalah m engenai diriku sem ata-m ata,
karena aku ini orang yang suka m em bikin sengsara diri sendiri.”
Ia berhenti dan duduk m em andang padaku. “Akan tetapi,
apa yang kukatakan ketika itu tidak sem uanya om ong kosong.
Ada alasannya m engapa aku takut—m em ang sem estinyalah aku
takut. Aku terlalu ba nyak m em inta darim u dan terlalu sedikit
yang kuberikan padam u. Kau m asih anak-anak, baru berupa
kuncup yang lagi m ulai m ekar. Cintam u cinta untuk pertam a
kalinya, sedangkan aku….”
“Katakan lah den gan jujur apakah….” kataku m em ulai,
tetapi kem udian aku takut akan jawabannya. “Tidak, tak usah
kaukatakan itu,” kataku, kutam bahkan.
“Maksudm u apakah aku pernah jatuh cinta sebelum ini?
Bukan begitu?” tanyanya, begitu cepat dia m enangkap isi pikiran-
ku. “Aku dapat m en gatakan n ya, tidak, tidak pern ah—tidak
pernah m engalam i apa yang kurasakan sekarang ini….” Tetapi
Rumah Tangga yang Bahagia 61

di sini tam pak seperti ada kenang-kenangan yang pahit sedang


m elintas dalam pikirannya. “Akan tetapi m eskipun dem ikian aku
harus yakin bahwa hatim u jadi m ilikku pabila aku m encintaim u,”
katanya sedih. “J adi, bukankah sudah sem estinyalah aku kaji
dulu m asak-m asak sebelum kukata kan cintaku kepadam u? Apa
yang bisa kuberikan padam u? Cinta, tak salah lagi.”
“Apakah itu sedikit?” tanyaku, sam bil m enatap m atanya.
“Sedikit sekali, sayang—terlalu sedikit untukm u,” ja wabnya.
“Kau rem aja lagi cantik. Sering kali aku tidak bisa tidur. Aku
terlalu bahagia, aku terus-m en erus m em ikirkan hidup kita
bersam a. Telah lam a kukenyam kehidupan dan rasanya aku telah
m endapatkan apa yang berm anfaat buat kebahagiaan—hidup
tenang, m em encilkan diri di sini, di pedusunan, punya peluang
buat m elakukan kebaikan terhadap orang lain—begitu m udahnya
berbuat kebaikan buat m ereka yang tak m em butuhkannya, lalu
bekerja, yang rasa-rasanya baru ada artinya kalau bisa m enikm ati
waktu senggang, alam , buku, m usik, cinta dari seseorang yang
tersayang—itulah cita-citaku tentang kebahagiaan, dan belum
dapat kugam barkan apakah ada yang lebih bagus dari itu. Dan
puncak dari segala-galanya—tem an hidup sem acam kau, sebuah
keluarga, barangkali—tak lebih dari itu yang diingini seorang
laki-laki.”
“Ya,” aku m engiyakannya.
“Terutam a laki-laki sem acam aku ini, yang sudah tidak m uda
lagi,” ia m elanjutkannya. “Tetapi bukan kau. Kau belum lagi
m engenyam kehidupan—kau m asih bisa m encari kebahagiaan
dalam sesuatu, dan bisa saja m e nem ukan sesuatu. Kau bisa saja
berpikiran bahwa yang sekarang ini adalah kebahagiaan, oleh
karena kau sedang m encintaiku.”
“Tidak, aku selalu m enyukai kehidupan keluarga yang tenang,
dan sem ua itulah yang aku m aui,” kataku. “Apa yang kaupikirkan,
itulah pula yang selalu kupikirkan.”
62 Leo Tolstoi

Ia tersenyum . “Kelihatannya saja begitu bagim u, Sayang. Itu


belum cukup untukm u. Kau m asih m uda lagi cantik,” ulangnya
sam bil m erenung.
Aku gem as m en gapa dia tidak percaya padaku dan
kelihatannya seperti m enyayangkan aku karena m asih m uda dan
cantik.
“Kalau begitu m engapa kau m encintaiku?” kataku geram .
“Apakah cintam u itu untuk kerem ajaanku atau untuk diriku?”
“Tak tahu aku, tetapi aku m encintaim u,” jawabnya sam bil
m enatap padaku dengan pandangan yang sungguh-sungguh dan
m endesak.
Aku tidak m enjawab, tetapi aku m enatap lurus-lurus ke
dalam tatapannya. Suatu perasaan yang aneh m endadak m uncul
di sekujur tubuhku—m ula-m ula aku berhenti m elihat kepada
yang terdapat di sekelilingku, lalu wajah nya lenyap dan hanya
sinar m atanya saja yang kian dekat kian dekat ke arahku, lalu
m atanya itu ada dalam m ataku, dan segalanya m enjadi gelap—
kupejam kan m ataku kuat-kuat untuk m enghindari perasaan
nikm at dan rasa takut yang diterbitkan oleh tatapannya....

CUACA J ADI CERAH sebelum hari perkawinan kam i. Malam


per tam a m usim rontok yang cerah dan dingin datang m eng-
gantikan hujan m usim panas. Segala sesuatu basah, dingin,
disinari m atahari, dan buat pertam a kalinya kebun terlihat
dalam pem andangan m usim rontok—luas, cerah, nam un serba
telanjang. Langit bersih, dingin, dan pucat. Aku pergi tidur,
bahagia m em ikirkan bahwa besok pagi, pada hari perkawinan
kam i, cuaca akan bagus.
Aku bangun bersam a terbitnya m atahari, dan sedikit terkejut
dibarengi takut m em ikirkan yang bakal tiba di hadapanku.
Rumah Tangga yang Bahagia 63

Aku keluar, m asuk kebun. Matahari baru sa ja naik dan sedang


m em an carkan sin arn ya yan g berpen dar-pen dar m en em busi
cabang-cabang pohon lim au yang kekuning-kuningan. J alan dusun
tertutup daun-daun yang gem ersik. Buah ceri yang m engkerut
pada sem ak-sem ak row an m em perlihatkan warnanya yang m erah
m enyala pada tangkai yang daunnya tinggal sedikit, telah m ati
dikerutkan oleh em bun beku, pohon dahlia m eranggas dan hitam .
Buat pertam a kalinya em bun beku tam pak m em pertontonkan
bunganya yang keperak-perakan di atas rerum putan yang hijau
pucat dan di atas rum put burdock yang terinjak orang di dekat
rum ah. Tak segum pal pun awan tam pak di langit yang bersih dan
dingin, bahkan tak ada bekas-bekasnya.
“Apa betul bisa terjadi hari ini?” aku bertanya pada diri
sendiri, tak percaya pada rasa bahagia yang ada. “Apa betul besok
pagi aku takkan lagi bangun di sini tetapi di rum ah yang asing
itu, di rum ah yang berpilar di Nikolskoye? Apakah aku takkan
lagi bercakap-cakap dengannya pada m alam hari bersam a Katya?
Apakah aku takkan lagi duduk pada piano di sini, di kam ar duduk
dengan dia di sam pingku? Atau m engantarkan dia sam pai ke
pintu serta m engkhawatirkan keselam atannya tatkala ia pulang di
m alam yang gelap?” Akan tetapi, kem arin dia m engatakan bahwa
dia m asih akan datang untuk akhir kalinya, dan bahwa Katya telah
m enyuruhku m encoba gaun pengantin dan berkata, “Sam pai
besok.” Lalu untuk beberapa lam anya aku percaya itu, akan tetapi
kem udian sangsi lagi. “Apa betul m ulai hari ini dan selanjutnya
aku akan tinggal bersam a ibunya, tanpa Nadezha, Grigory tua,
atau Katya? Apakah pada m alam hari aku takkan lagi m encium
jururawatku yang tua dan m endengar m ulutnya m engucapkan
‘Selam at tidur Nona’, seperti selalu dikatakannya pabila ia tengah
m em buat tanda salib ke atas badanku? Apakah aku takkan lagi
m engajar Sonya atau berm ain dengannya atau m engetuk-ngetuk
din ding kam arnya dan m endengar suara ketawanya yang cekikik-
64 Leo Tolstoi

an? Apa betul hari ini aku akan m enjadi seorang yang asing
bagi diriku sendiri, lalu suatu kehidupan baru akan terbuka di
hadapanku sam bil m em bawa perwujudan harapan dan m im pi-
m im piku? Apakah betul kehidupan baru ini benar-benar buat
selam a-lam anya?”
Kutunggu Sergei Mikhailich dengan sabar, sangat berat
untukku tinggal sendirian dengan pikiran-pikiranku itu. Ia datang
lebih pagi dan hanya sesudah itulah aku m ulai percaya bahwa
sejak hari itu untuk selanjutnya aku akan m enjadi istrinya, baru
sejak saat itulah pikiran-pikiranku tak lagi m enakut-nakuti aku.
Sebelum waktu m akan sore, kam i pergi ke gereja untuk
m enghadiri kebaktian buat ayahku.
“Andaikata beliau m asih hidup!” pikirku ketika aku kem bali
dari gereja, sam bil tanganku digenggam orang yang pernah
jadi tem annya yang paling akrab. Tadi selam a berdoa, sam bil
m en un dukkan kepala hin gga m en yen tuh lan tai gereja yan g
dingin, kubayangkan ayahku dem ikian hidupnya. Maka aku
percaya sungguh-sungguh bahwa rohnya m engerti jiwaku dan
ia m erestui pilihanku, bahwa sekarang bahkan rohnya sedang
m elayang-layang di atasku. Aku pun m endengar ucapan restunya.
Kenangan dan harapan, kegem biraan dan kesedihan, berpadu
m enjadi satu hingga yang tinggal hanyalah perasaan syahdu dan
m enyenangkan, selaras dengan udara tenang segar ini, dengan
keheningan, padang terbuka, dan langit pucat bercahaya terang,
tapi tak lagi panas bila m enyentuh pipi. Dalam pandangan
m ataku laki-laki yang ada di sam pingku ini m engerti dan turut
m erasakan apa yang sedang aku rasakan. Ia m elangkah pelan-
pelan, sam a sekali tak berbicara, sedangkan m ukanya yang kulirik
sebentar-sebentar tam pak seperti m em ancarkan perasaan syahdu
yang sam a dengan yang aku rasakan—sebagian gem bira, sebagian
sedih—serupa dengan yang ada dalam hatiku dan pada setiap
yang ada di sekelilingku.
Rumah Tangga yang Bahagia 65

Tiba-tiba ia berbalik kepadaku, dan kulihat nyaris m engata-


kan sesuatu. Terlintaslah dalam pikiranku, “Bisakah, apa yang
akan dikatakannya itu lain daripada yang sedang kupikirkan?”
Nam un ia m en gatakan perihal ayahku, tan pa m en yebutkan
nam anya, “Pada suatu kali pernah beliau m engatakan, ‘Nikahlah
dengan anakku si Masha!’ Beliau sedang bergurau tentunya.”
“Betapa ‘kan bahagia beliau sekarang!” jawabku, sam bil
m enekan lengannya.
“Ya, kau m asih kanak-kanak ketika itu,” dia m elangkah terus
sam bil m enatap ke dalam m ataku. “Biasanya kukecup m atam u
dulu, aku suka m atam u hanya karena m enyerupai m atanya, tak
pernah terpikir bahwa m atam u itu bagiku begitu indah dem i m ata
itu sendiri. Pada waktu itu kupanggil kau Masha.”
“Panggillah aku Masha sekarang.”
“Mem ang baru saja,” katanya, “baru saja terpikir bahwa kau
benar-benar m ilikku.” Dan tatapan yang te nang, baha gia, hinggap
padaku.
Kam i terus berjalan sepanjang jalan hutan yang jarang diinjak
orang, lewat tunggul-tunggul jeram i, dan yang terdengar hanyalah
langkah dan suara kam i. Di sebelah kam i, di seberang ngarai,
tunggul-tunggul jeram i yang keperak-perakan m em bentang jauh
sam pai ke hutan kecil yang gundul, dan sepanjang bentangan
tunggul jeram i itu, dengan diam -diam , seorang m uzhik sedang
m em buat aluran hitam yang berangsur-angsur m elebar dengan
bajak kayunya. Sekawanan kuda sedang m akan rum put di kaki
bukit yang tam pak seperti dekat. Di sebelah lainnya, kelihatan
ladang yang telah dibajak dan disem ai hingga ke dekat kebun,
dan di belakangnya tam paklah rum ah kam i. Kini, em bun beku
telah lum er sam pai tanah pun jadi hitam , tetapi di sana-sini alur
hijau tanam an gandum m usim dingin m ulai kelihat an. Matahari
dingin m em ancarkan cahayanya yang gem ilang di atas segala
yang tam pak. Dan ram at laba-laba m erentang di m ana-m ana,
66 Leo Tolstoi

m elayang-layang, di udara, di sekitar kam i, dan m elekat di


tunggul jeram i yang telah kering terbakar sinar m atahari, ram at
itu pun sam pai di m ata dan ram but kam i dan m elekat di baju
kam i. Pabila kam i bicara, suara kam i tergantung di udara yang
diam tak bergerak seakan-akan hanya kam ilah yang ada di dunia
ini—m enyendiri di bawah langit yang m elengkung biru tem pat
m atahari bersinar berpendar-pendar dan m enyala-nyala nam un
tak lagi panas sinarnya.
Aku pun ingin m em anggil dia dengan sebutan m asa kecilnya,
tetapi berat m en gatakan n ya. “Men gapa jalan cepat-cepat
Seryozha?” kataku, dan m ukaku m erah padam .
Dia m engendurkan langkahnya dan m em andang padaku,
m asih den gan tatapan n ya yan g kian m en yayan g, wajahn ya
tam pak bahagia lebih dari yang sudah-sudah.
Setiba di rum ah kam i, ibu Sergei Mikhailich dan para
undangan sedang m enunggu kam i, karena itu kam i pun tak lagi
m enyendiri sam pai saat m eninggalkan gereja untuk kem udian
naik kereta m enuju Nikolskoye.
Ruangan di dalam gereja ham pir kosong sam a sekali. Di sisi
sudut m ataku, sang ibu berdiri tegak di atas perm adani di choir.
Katya m engenakan topi berpita ungu pada pinggirannya, di
kedua belah pipinya tam pak butir-butir air m ata. Dua tiga orang
pelayan rum ah m em andang padaku dengan pandangan yang
serba ingin tahu. Aku tidak m elihat kepada Sergei Mikhailich,
nam un kurasakan kehadirannya di sisiku. Kudengarkan tiap
kata dalam doa dengan sungguh-sungguh dan kuulang kem bali,
akan tetapi dalam hatiku tak ada sam butan. Aku tak dapat
m en gucapkan n ya, lalu den gan jem u aku m em an dan g pada
ikon-ikon, pada lilin-lilin, pada sulam an salib di punggung
pendeta, pada ikonostatis, dan pada jendela, akan tetapi tak
satu pun yang aku paham i. Yang kurasakan hanyalah bahwa
ada suatu upacara yang sedang berlangsung untukku. Kem udian
Rumah Tangga yang Bahagia 67

pendeta m em balikkan badannya ke arah kam i dan m engingatkan


bahwa ia telah m engkristenkan aku, dan bahwa kini Tuhan telah
m em berkahi dia agar m engam bil aku sebagai istrinya. Katya
dan ibu Sergei Mikhailich m em berikan cium an kepada kam i,
lalu kudengar Grigory m em anggil kereta kuda. Kem udian aku
m erasa heran dan khawatir, oleh sebab kuketahui bahwa segala
sesuatunya usailah sudah, tak ada yang tak biasa, tak ada yang
m enyerupai upacara yang berlangsung dalam hatiku. Dia dan aku
bercium an, dan cium an itu dem ikian janggal, dem ikian asing bagi
cinta kam i! “Maka selesailah sudah,” pikirku.
Kam i keluar m enuju pintu beranda gereja, dan bergem alah
suara roda kereta kuda di bawah lawang portico yang m elengkung,
dan di situ berhem buslah udara segar ke m ukaku. Ia m engenakan
topinya dan m em egang ta nganku buat m em bantu aku m asuk ke
dalam kereta. Dari jendela kereta, kulihat bulan m em beku dan
berkalang. Dia duduk di sisiku dan m enutup pintu kereta. Ada
sem acam rasa tertusuk dan sakit dalam hatiku. Perasaan terjam in
oleh kehadiran n ya, kurasakan ham pir seperti m eren dahkan
derajat diriku. Ku den gar Katya berseru-seru supaya aku
m enutupi kepalaku, roda-roda kereta gem eletuk di atas batu-
batu, kem udian di atas tanah yang em puk berangkatlah kam i.
Aku m enghenyakkan diri ke sudut dan m elihat ke luar m elalui
jendela kereta, m elihat ke arah ladang yang cerah jauh dan ke
arah jalan yang m enjauh di bawah cahaya bulan yang dingin kelu.
Aku tidak m elihat padanya, tetapi aku m erasa dia ada di dekatku.
“Hanya begini saja saat yang kutunggu-tunggu itu?” pikirku, dan
aku m erasa seakan-akan diriku hina dina duduk sendirian di
dekatnya. Aku berpaling kepadanya dengan m aksud m engatakan
sesuatu, tetapi tak ada kata-kata yang keluar, aku m erasa seolah-
olah kasih sayangku kepadanya jadi m enghilang diganti perasaan
terluka dan takut.
68 Leo Tolstoi

“Sam pai saat ini pun aku belum percaya bahwa hal ini benar-
benar terjadi,” katanya lem ah lem but ketika m em balas lirikanku.
“Ya, tetapi untuk sesuatu sebab aku m erasa takut,” kataku.
“Apakah aku m en akutkan m u, Sayan g?” katan ya, sam bil
m em egang tanganku serta m enundukkan kepala nya ke arah
tanganku.
Tan gan ku seper ti ter geletak tak ber n yawa dalam
genggam annya, dan hatiku dingin.
Akan tetapi ketika aku berkata dem ikian, jantungku m em ukul
keras dan sem akin keras, tanganku gem etar dan m encengkam
pada tangannya. Aliran yang hangat m elanda sekujur tubuhku
dan m ataku m en cari m atan ya dalam cahaya yan g rem an g-
rem ang. Seketika itu juga aku m erasa tak takut lagi kepadanya—
bahwa ketakutan ini ternyata cinta—cinta baru, cinta yang lebih
m esra dan lebih kuat dari cinta sebelum nya. Aku m erasa bahwa
segenap diriku m iliknya, dan bahagialah aku karena kekuatannya
m enguasai diriku.
Bagian Kedua
6

HARI-HARI DAN MINGGU-MINGGU BERLALU, akhirnya dua


bulan sudah kehidupan dusun yang tenang itu lewat dengan tak
terasa. Berbareng dengan itu cinta, kem esraan, dan kebahagiaan
selam a dua bulan itu rasanya cukuplah untuk seum ur hidup.
Mim pinya dan m im piku, perihal bagaim ana selayaknya hidup di
pedusunan, ternyata lain sam a sekali daripada yang kam i cita-
citakan—m eskipun tidaklah jelek. Mem ang, apa yang kujum pai
kini bukanlah hidup sebagaim ana kubayangkan sewaktu aku
m asih jadi tunangannya, yakni hidup dengan kerja keras, penuh
pen gorban an , dan bekerja un tuk oran g lain . In i sebalikn ya
m alah, cinta yang ada hanyalah cinta untuk diri sendiri dan
hasrat buat dicintai—keriangan yang tak terperikan serta tak
berubah-ubah, lagi pula lupa terhadap segala yang ada di dunia
ini. Kadang-kadang dia pergi ke kam ar kerjanya bersibuk diri
dengan pekerjaan ini-itu. Kadang-kadang dia pergi ke kota
untuk m engurus usahanya atau pergi berjalan-jalan ke sekitar
72 Leo Tolstoi

tanah perkebunannya. Nam un aku m elihat bahwa agaknya berat


baginya m eninggalkan aku. Dan kem udian diakuinya pula bahwa
segala yang ada di dunia ini tam pak ham pa kalau tanpa aku,
itulah sebabn ya m en gapa ia m erasa berat m en in ggalkan ku.
Dem ikian pula aku. Aku m em baca, m enyibukkan diri dengan
m usik, dengan ibu m ertua, pula dengan sekolah. Nam un sem ua
itu hanyalah karena ada sangkut-pautnya dengan dia serta untuk
m enyenangkan hatinya. Akan tetapi, begitu aku m engerjakan
yang lain, yang tidak sejalan dengan yang ada dalam pikirannya,
hilanglah m inatku sam a sekali. Dan seperti aneh sekali tam paknya
bahwa di dunia ini m asih ada apa-apa lagi selain dia. Perasaan
dem ikian boleh saja disebut picik, egois, nam un dengan itu aku
m erasa bahagia, m erasa di atas segala-galanya di dunia ini. Bagiku
hanya dialah yang ada, dialah orang yang paling tak pernah salah
di m uka bum i ini. Aku hidup hanya untuk dia, dan m enjadi orang
yang dalam pandangan m atanya dialah yang m em ikirkan aku.
Dan dia m enganggap akulah wanita yang paling elok dan paling
baik di dunia ini, wanita yang dianugerahi segala sifat-sifat yang
baik dan diusahakannya supaya wanita ini jadi seorang istri dem i
seorang laki-laki yang tercakap dan terbaik di dunia.
Pada suatu hari dia m asuk kam ar sewaktu aku sedang
m engucapkan doa. Aku m elirik padanya sam bil terus berdoa. Dia
duduk di kursi karena tidak m au m enggangguku, dan dibukanya
buku. Akan tetapi aku m erasa bahwa dia m elihat padaku, dan
m em andang ke sekitarku. Ia tersenyum , lantas tertawa. Aku tidak
dapat m elanjutkan berdoa.
“Sudahkah kau berdoa?” tanyaku.
“Ya, tetapi aku tidak m au m engganggum u. Aku akan keluar.”
“Betulkah kau sudah berdoa?”
Ia tidak m enyahut dan hendak keluar, tetapi aku m enahannya.
“Ayolah berdoa, Sayang ... berdoalah untukku.”
Rumah Tangga yang Bahagia 73

Dia berlutut di sam pingku dan m ulailah m erangkapkan


tangannya secara kaku. Wajahnya tam pak sungguh-sungguh,
tetapi dia diam saja, tak m en gucapkan apa-apa. Seben tar-
sebentar dia m enoleh padaku, m inta dibetulkan dan dibantu.
Ketika selesai, tertawalah aku dan kulilitkan lenganku kepadanya.
Mukanya m erah padam , lalu dicium nya tanganku. “Selalu
kau! Selalu kau! Mem buat aku kem bali berum ur sepuluh tahun.”
Rum ah kam i m erupakan rum ah pedusunan yang tua, dalam
rum ah dem ikian ini beberapa keturunan pernah tinggal, bercinta
dan saling m enghorm ati. Segala sesuatu m em bangkitkan kenang-
kenangan pada setiap yang berbau keluarga, yang sejak aku tinggal
di situ aku pun term asuk di dalam nya. Tatyana Sem yonovria
m elengkapi rum ah ini dengan perabotan yang sem uanya diatur
m enurut gaya kuno. Sem ua yang ada di rum ah itu ham pir tak boleh
dibilang m olek, m elainkan tum pah ruah, m ulai dari pelayan dan
bujang sam pai perabotan dan barang m akanan, yang sem uanya
kelihatan serba kokoh, bersih dan rapi, serta m em bangunkan
perasaan takzim . Mebel di ruang duduk diatur secara sim etris,
di situ potret-potret digantungkan di dinding, dan di lantai
terham par perm adani hasil kerajinan. Di ruang tam u terdapat
piano tua, m eja-m eja kecil dari dua m odel yang berlainan, sofa-
sofa, lalu m eja-m eja yang bertatahkan warna keem asan. Mebel
yang terbaik ada di kam arku, Tatyana Sem yonovna sendirilah
yang m engaturnya dengan seteliti-telitinya. Di situ pun terdapat
barang-barang dari pelbagai m odel, term asuk cerm in jangkung
yang pada m ulanya aku m alu m elihat diriku di dalam nya nam un
kem udian jadi tem an yang kusayangi.
Tatyana Sem yonovna tak pernah bicara keras-keras, nam un
di rum ah itu segalanya berjalan seperti jarum jam sekalipun
kelebihan pelayan. Akan tetapi pelayan yang berlebihan ini
sem uan ya m em akai sepatu bot yan g tak bertum it dan tak
berbunyi (Tatyana Sem yonovna punya anggapan bahwa cekitan
74 Leo Tolstoi

sol sepatu dan ketukan tum itnya adalah suara yang paling
tidak enak di dunia), dan sem ua orang ini m erasa bangga akan
jabatannya m asing-m asing. Mereka se m ua gem etar di hadapan
nyonya tua, tetapi juga horm at dan takzim di hadapan suam iku
dan aku, dan apa pun yang m ereka kerjakan dilakukannya
dengan kesenangan yang luar biasa. Saban Sabtu lantai rum ah
digosok dan perm adani digebuki, pada hari pertam a dalam setiap
bulannya diadakan kebaktian, dan air diberkahi dengan doa. Pada
hari pem berian nam a untuk Tatyana Sem yonovna dan untuk sang
putra (kem udian aku juga, untuk pertam a kalinya pada m usim
rontok) diadakan selam atan, dan sem ua tetangga diundang.
Sem ua ini dilakukan kalau Tatyana Sem yonovna tidak lupa.
Sang putra tak m au cam pur tangan dalam urusan rum ah
tangga, dia sendiri sibuk dengan kerja di ladang bersam a para
petani, dan dalam segala hal dia bekerja keras. Dia bangun pagi-
pagi sekali, sekalipun dalam m usim dingin, hingga ketika aku
bangun dia sudah tidak ada. Biasanya dia m em erlukan pulang
dulu buat m akan siang bersam a kam i saja, dan ham pir selalu
pada waktu dem ikian, sehabis pusing dengan kerja berat di
ladang, dia m enikm ati suasana perasaan yang khusus dan m e-
nyenangkan, suasana hati yang kam i sebut “urakan”. Aku kerap
bertanya kepadanya, ingin tahu apa yang dikerjakannya pagi itu,
lalu dia ceritakan segala yang bukan-bukan hingga setengah m ati
kam i tertawa terpingkal-pingkal. Adakalanya aku m endesak agar
diberinya aku berita yang sungguh-sungguh, m aka diberinya aku
sebuah—lalu dia berusaha m enahan senyum nya. Biasanya apa
yang kulihat hanyalah m ata dan bibirnya saja bergerak-gerak—
tak sedikit pun aku m engerti akan apa yang diterangkannya.
Nam un itu pun sudah cukup bagiku, asalkan telah m elihat dia
dan m endengar suaranya.
“Apa saja yang telah kukatakan itu?” begitulah bia sanya dia
bertanya. “Ulangi.”
Rumah Tangga yang Bahagia 75

Akan tetapi tak satu pun yang dapat kuingat. Rasanya seperti
aneh kalau bukan dia sendiri atau akulah yang dibicarakan itu
m elainkan tentang sesuatu yang sam a sekali lain. Seakan-akan
apa yang terjadi itu berlalu di dunia luar. Barulah di kem udian hari
aku m ulai m engerti dan punya m inat dalam urusan pekerjaannya.
Tatyana Sem yonovna tak pernah m eninggalkan kam arnya
sebelum waktu m akan sore, dia m in um teh sen dirian dan
saban hari kam i saling bertukar ucapan selam at pagi dengan
perantaraan utusan-utusan. Dalam dunia kam i yang santai, riang
lagi gem bira, suara dari pojok yang angker dan tertib itu dem ikian
ganjil kedengarannya sam pai-sam pai sering kali aku tidak dapat
m enguasai diri. Dan tertawalah aku seketika itu juga apabila
babunya, sam bil berdiri dengan tangan bersilang, m elaporkan
dengan khidm at bahwa Tatyana Sem yonovna ingin m enanyakan
perihal tidur kam i setelah jalan-jalan. Diberitahukannya pula
bahwa dia sendiri m erasa sakit pinggang sem alam -m alam an, dan
anjing kam pung yang keparat itu m enggonggong terus sem alam -
m alam an m engganggu tidurnya.
Dia pun m enanyakan bagaim ana pendapat kam i tentang
biskuit hari ini, dan diberitahukannya pula bahwa bukan Taras
yang m em bakar kue itu m elainkan Nikolsha, untuk pertam a
kalin ya sebagai percobaan , dan sam a sekali tidaklah jelek
terutam a krendelki-nya. Tetapi sayang, roti panggangnya ham pir
hangus. Sebelum m akan sore suam iku dan aku jarang bersam a,
aku berm ain pian o atau m em baca, sedan gkan dia m en ulis
atau pergi lagi. Tetapi pada jam em pat biasanya kam i sekalian
pergi ke ruang tam u. Maka m am an bertindaklah keluar dari
kam arnya, dan para istri priyayi yang jatuh m iskin serta wanita-
wanita saleh, yang senantiasa terdapat dua atau tiga orang di
rum ah kam i, biasanya berm unculan. Setiap hari pada waktu
yang tetap suam iku m engem pit lengan ibunya buat pergi m akan
sore, dan sang ibu suka m inta agar suam iku m engem pit pula
76 Leo Tolstoi

le nganku dengan tangannya yang lain, dan begitulah setiap


kalinya kam i berjubel di pintu m em beri jalan satu sam a lainnya.
Mam an -lah yang m em im pin m eja, dan obrolan yang diadakan
sewaktu sedang m akan sangat sopan dan tertib, m alah boleh
dikatakan agak khidm at. Nam un kekhidm atan ini diringankan
oleh obrolan antara aku dengan suam iku perihal soal yang biasa.
Atau adakalanya oleh perdebatan antara sang putra dengan
sang ibu, atau oleh sindiran-sindiran jenaka antara m ereka
satu sam a lainnya. Aku senang m endengarkan m ereka berdebat
dan bergurau, oleh karena dengan cara dem ikianlah aku dapat
m erasakan kecintaan di antara m ereka yang begitu dalam dan
m esra.
Setelah m akan sore m am an asyik m enyendiri duduk di kursi
tangan di ruang duduk sam bil m elem butkan tem bakau untuk
dicium , atau m em otong halam an-halam an buku baru, sedangkan
suam iku m em baca keras-keras atau pergi ke ruang tam u buat
m ain piano. Kam i m em baca banyak pada waktu itu, tetapi
m usiklah hiburan yang paling kam i gem ari. Musik m em beri dawai
baru pada hati kam i dan m enam bah baik kem am puan dalam
m engem ukakan isi hati kam i m asing-m asing. Bila kum ainkan
gubahan yang m enjadi kesayangannya, biasanya dia duduk jauh-
jauh di sofa hingga aku ham pir tak dapat m elihatnya, dia m erasa
m alu m em biarkan aku m em ainkan m usik yang berkesan di
hatinya, dan perasaannya itu dicoba disem bunyikannya. Tetapi
selalu pabila sedang tak diduga-duga olehnya, bangkitlah aku
dari piano lalu pergi kepadanya sam bil m encoba m enangkap
curahan perasaannya yang tersingkap pada wajahnya, pada m ata-
nya yang bersinar-sinar nam un berlinangan air m ata, yang dicoba
ditahannya.
Acap kali m am an suka m engintip kam i pabila kam i sedang
di ruang tam u. Akan tetapi, barangkali, ia m erasa takut juga
kalau-kalau kam i m enjadi m alu karenanya. Dia berjalan m elewati
Rumah Tangga yang Bahagia 77

kam ar sam bil pura-pura m em perlihatkan m uka yang sungguh-


sungguh. Nam un aku tahu dia tidak ada keperluan apa-apa untuk
m asuk ke dalam kam arnya, sebab tak lam a kem udian dia pun
keluar lagi.
Pada setiap kali seluruh perawat rum ah berkum pul di ruang
duduk pada sore hari, akulah yang m enuang tehnya. Kum pulan
yang dem ikian khidm at di sekitar sam ovar yang m engkilap
ini, cangkir-cangkir dan gelas-gelas yang beredar berkeliling
ini, lam a m em buat diriku tersiksa. Taklah pantas rasanya, aku
yang dem ikian m uda dan kecil ini m endapat kehorm atan untuk
m em utar keran sam ovar yang begitu besar, m enaruh gelas-gelas
di atas nam pan Nikita dan berkata, “Untuk Pyotr Ivanovich dan
Marya Minichna,” dan kem udian bertanya, “Gulanya lagi?” Lalu
sesudah itu aku pun harus m enyam paikan bongkahan gula untuk
jururawat dan bujang-bujang yang m endapat hak istim ewa.
“Bagus, bagus!” begitulah kerap kali suam iku berkata.
“Benar-benar seperti nyonya rum ah yang sesungguhnya’’ dan
kata-kata suam iku itu sem akin m em buat pikiranku tak keruan.
Sesudah teh, m am an biasan ya m en jejer-jejerkan kartu
buat “m ancing” atau m enyuruh Marya Minichna m eram alkan
nasibnya. Kem udian ia m encium kam i berdua dan m em buat
tanda salib ke tubuh kam i, m aka kam i pun pergi m asuk kam ar.
Biasanya kam i duduk-duduk sam pai tengah m alam , dan itulah
saat-saat yang paling baik dan m enyenangkan buat seluruh
hari. Dia biasanya m enceritakan kehidupannya sem asa dulu,
atau kam i m em buat ren can a-ren can a, dan kadan g-kadan g
pembicaraan kami sampai ke soal-soal yang bersifat falsai. Kami
berusaha berbicara pelan-pelan supaya tidak kedengaran sam pai
ke atas—Tatyana Sem yonovna m inta supaya kam i tidur petang.
Kadang-kadang, dengan perut keroncongan kam i pergi ke dapur
untuk m akan m alam dengan m akanan dingin, dan di bawah
perlindungan Nikita m akanlah kam i di kam ar duduk wanita.
78 Leo Tolstoi

Hidup kam i seperti orang asing di rum ah besar ini, jiwa


m asa lam pau yang kaku, serta wibawa Tatyana Sem yonovna
kam i rasakan sebagai belen ggu. Bukan itu saja, m elain kan
pelayan -pelayan tua, perabotan -perabotan , bahkan tirai-tirai
m enim bulkan perasaan horm at dan takzim padaku—dengan
disertai kesadaran bahwa ini bukanlah tem pat yang sebenarnya
bagi kam i, dan karena itu kam i m esti hati-hati dan patuh
selagi kam i, dia dan aku, tinggal di rum ah ini. Bila kuingat lagi
sekarang, sadarlah aku bahwa m asih banyak hal m engenai rum ah
ini—aturan yang tak pernah berubah yang m em batasi gerak-
gerik setiap orang, dan di m ana-m ana terdapat barisan orang-
orang yang hanya berm alas-m alasan dan serba ingin tahu—yang
m enyesakkan dan bikin repot saja. Akan tetapi, dalam pada itu
belenggu ini juga m enam bah besar cinta kam i.
Seperti aku, ia tak pernah m em biarkan dirinya tam pak tak
senang. Malah sebaliknya, kelihatannya dia berusaha supaya
ketidaksenangannya itu tidaklah tam pak. Setiap hari sehabis
m akan sore, pelayan m am an yang gem ar m erokok, Dm itry Sidorov,
suka m asuk kam ar kerja suam iku bila kam i sedang di kam ar
tam u, dan dengan diam -diam ia m engam bil tem bakau dari dalam
laci. Sungguh lucu m elihat Sergei Mikhailich berjingkat-jingkat
m engham piriku sam bil m engedip-ngedipkan m atanya, dengan
telunjuk di bibirnya, m enahan diri supaya tidak tertawa, dan
diajaknya aku m engintip Dm itry Sidorov, yang tidak m enyangka
bahwa dia sedang diawasi. Maka—tanpa diketahuinya bahwa
kam i ada di situ—Dm itry Sidorov itu pun keluarlah dari kam ar
tersebut dengan gem bira karena yakin bahwa segala-galanya
berjalan dengan beres. Sehabis itu suam iku suka m engatakan
bahwa aku kelihatan cantik sekali, lalu dicium nya aku, seperti
setiap kali dia punya kesem patan untuk m elakukan begitu.
Kadang-kadang sikapnya yang tenang itu, yang tidak usil,
yang tak m au am bil pusing, tidaklah m engenakkan perasaanku.
Rumah Tangga yang Bahagia 79

Kuanggap itulah kelem ahannya, nam un sekali-kali tak pernah


kusadari bahwa sebenarnya aku pun dem ikian pula. “Seperti dia
tak punya kem auan sendiri saja,” kataku dalam hati.
“Mengapa, Sayang,” sahutnya pada suatu kali ketika kukata-
kan padanya bahwa aku heran akan kelem ahannya itu, “m engapa
aku harus am bil pusing akan sem ua itu pabila aku dem ikian
bahagia? Adalah lebih m udah m em biar kan kelakuan diri sendiri
daripada m em bengkokkan orang lain—sudah lam a aku yakin
akan hal ini. Tak ada keadaan yang tak m em ungkinkan m erasa
bahagia. Dan kita pun dem ikian pula, kau dan aku! Aku tak
dapat m arah, untukku, sekarang, tak ada soal yang jelek—yang
ada hanyalah kasih sayang dan kegirangan. Dan ingatlah, yang
paling penting dari sem ua itu ialah le m ieux est l’ennem i du bien.1
Ketahuilah, bahwa pabila lonceng berbunyi atau ada surat yang
tiba, diriku m erasa waswas dan cem as—dan tak ada yang bisa
lebih baik daripada keadaan kita sekarang ini.”
Aku m em percayainya, m eskipun tak m em aham inya. Aku
m erasa bahagia dan apa pun yang tam pak padaku kuanggap
m em ang begitulah sem estinya. Begitulah seharusnya bagi setiap
orang, senantiasa, sekalipun yang terdapat di situ kebahagiaan
lain—tidak lebih besar, m elainkan berlainan.
Sesudah dua bulan kam i hidup den gan cara dem ikian ,
datanglah m usim dingin yang m enggigilkan beserta salju. Dan
m eskipun suam iku tak m au jauh dariku, aku m erasa kesepian.
Aku m ulai m erasa bahwa hidup itu hanya m engulang-ulang saja—
bahwa tak ada sesuatu yang baru dalam diriku dan dalam dirinya,
dan bahwa kam i balik kem bali ke hal-hal yang lam a. Dia m ulai
sibuk dengan urusannya sendiri tanpa aku, lebih dari yang sudah-
sudah. Sedangkan aku m engkhayalkan bahwa dalam dirinya ada
rahasia yang tak boleh aku tahu. Cintaku taklah berkurang, akan

1
Keadaan lebih baik m erupakan m usuh kebaikan.
80 Leo Tolstoi

tetapi cinta itu berhenti sam pai di situ saja, tak terus tum buh,
dalam pada itu perasaan baru yang m enggelisahkan m enyelinap
dalam hati. Agaknya tidaklah cukup untuk sekadar bercinta saja
sesudah tercapai puncak cintaku terhadapnya. Aku ingin lebih
banyak gerak daripada arus hidup yang tenang se perti ini. Aku
m enginginkan bahaya dan kegem paran. Aku ingin m engorbankan
diriku sendiri dem i cinta. Tenagaku yang dem ikian m elim pah-
lim pah ini tak punya jalan keluar dalam hidup kam i yang
dem ikian tenang. Aku terjangkit penyakit m urung, yang kucoba
sem bunyikan dari padanya, juga kualam i saat-saat kerinduan
yang tak tertahankan serta kegairahan yang m enakutkan dia.
Dia m engetahui hal itu sebelum nya, dan disarankan supaya
aku pergi ke kota, akan tetapi aku m enentangnya. Aku m inta
agar dia tidak m engubah atau m enam bal sulam kehidupan, agar
dia tidak m engurangi kebahagiaan kam i yang ada. Dan m em ang
aku bahagia, akan tetapi yan g m en ggan gguku ialah bahwa
kebahagiaanku itu taklah diperoleh dengan susah payah, tak
ada pengorbanan sam a sekali, sedangkan hasrat untuk bersusah
payah dan untuk berkorban sedem ikian m enggoda diriku. Aku
m encintai dia dan kuanggap bahwa diriku hanyalah untuknya,
nam un dem ikian aku ingin agar cintaku itu terlihat oleh sem ua
orang, aku ingin agar orang-orang itu m encoba m erintangi
cintaku terhadapnya, lalu apa yang kem udian kudapatkan ialah
bahwa usaha m ereka itu sia-sia belaka. Pikiran dan juga perasaan
kasih sayangku tetap ada, nam un di situ pun terdapat perasaan
lain—pe rasaan rem aja, kebutuhan untuk m elakukan sesuatu yang
m enggem parkan karena tidak terdapat kepuasan dalam hidup
kam i yang tenang.
Mengapa dia katakan kam i dapat pergi ke kota bilam ana
saja aku m enginginkannya? Andaikata dia tak berkata begitu,
boleh jadi aku sadar bahwa perasaan yang m enggoda diriku itu
m erupakan kedunguan dan kehinaan. Kesalahanku ialah tak
Rumah Tangga yang Bahagia 81

m enyadari bahwa kesem patan untuk berkorban sebagaim ana


yang kurindukan itu letaknya bertentangan dengan perasaan yang
ini. Perasaan bahwa aku bisa m enyelam atkan diriku sen diri dari
kejem uan dengan hanya pindah ke kota saja. Perasaan dem ikian
terus-m enerus m engganggu diriku. Tetapi bersam aan dengan itu
aku pun m erasa kasihan dan m alu untuk m enjauhkan suam iku
dari segala yang ia cintai, hanya dem i kepentinganku saja.
Hari-hari m elangkah dengan terseret-seret, salju bertim bun
m akin tinggi sekeliling rum ah, m ata kam i tak pernah lepas
m em an dan g satu sam a lain n ya, kam i selalu bersam a-sam a.
Sedan gkan di kota, di tem pat-tem pat yan g hiruk-pikuk,
kerum un an oran g-oran g yan g tahu apa arti kegem paran ,
penderitaan, dan keriangan tidaklah m au tahu terhadap kam i
dan terhadap kehidupan kam i yang m engalir dengan tenangnya.
Hal yang paling jelek bagiku ialah perasaan bahwa kebiasaan-
kebiasaan itu telah m em aksa kehidupan kam i jadi suatu bingkai
kelazim an, bahwa cinta kam i bukannya bebas m alah jadi tunduk
pada waktu, waktu yang dingin dan m em encilkan diri. Pagi-pagi
kam i gem bira, sewaktu m akan sore suasana resm i, m alam hari,
m esra.
“Berkelakuanlah yang baik,” kataku kepada diri sendiri.
“Adalah bagus untuk berkelakuan baik dan jujur seperti yang selalu
dia peringatkan padaku, tetapi buat itu sem ua bukankah m asih
ada waktu? Ada hal lainnya yang m esti kulakukan kini, sedangkan
aku pun punya kekuatan untuk m elakukannya.” Berkelakuan
baik bukan lah hal yan g kuin gin kan —aku m en gin gin kan ke-
gem paran. Aku ingin agar cintalah yang m engatur hidup dan
bukan hidup yang m engatur cinta. Aku ingin pergi ke ujung
tepi jurang yang curam bersam a dia, dan berkata, “Selangkah
lagi aku m aju, binasalah aku seketika.” Maka, pucat bagaikan
m ayat, dia lantas m engangkatku dengan lengannya yang kuat
82 Leo Tolstoi

dan m endekapku sejenak di atas karang curam hingga jantungku


diam tak berdegup, sesudah itu dipayangnya aku pergi.
Pikiran-pikiran dem ikian ini m em pengaruhi kesehatanku
dan m engacaubalaukan urat sarafku. Pada suatu pagi aku m erasa
kurang sehat tidak seperti bia sanya, dan dia pun pulang dari
pekerjaannya dengan m uka yang m asam , yang jarang terjadi
padan ya. Segera wajahn ya kuperhatikan , lalu kutan yakan
sebabnya. Nam un dia tidak m engatakan apa-apa—katanya tidak
baik untuk diceritakan. Lain kali baru aku tahu bahwa pada
hari itu perwira polisi distrik, yang tidak senang pada suam iku,
telah m em anggil beberapa orang m uzhik yang bekerja pada
kam i serta m em perlakukan m ereka dengan sewenang-wenang,
dan m engancam nya pula. Suam iku tidak m au m enganggap sepi
persoalannya, dan karena itu sangat m em engkalkan hatinya
hingga dia tak m au m engatakannya kepadaku. Tetapi aku m engira
bahwa dia m enganggapku seorang anak kecil yang takkan m am pu
m engerti apa yang sedang dim asygulkannya. Aku m em balikkan
badan dan berdiam diri. Marya Minichna yang tinggal bersam a
kam i, kusuruh m enanyakan apakah dia m au m inum teh.
Sehabis m inum teh, yang kusudahi dengan segera, kubawa
Marya Minichna ke ruang tam u, dan m ulailah aku bicara keras-
keras di situ tentang segala tetek-bengek, soal-soal kecil yang
paling tidak kusenangi. Suam iku berjalan turun-naik tangga,
sam bil sebentar-sebentar m elem parkan pandangannya ke arahku.
Caranya itu m em buat diriku sem akin keras-keras berbicara, m alah
tertawa-tawa segala. Sekaliannya seperti tam pak lucu—segala
yang kukatakan dan segala yang dikatakan Marya Minichna.
Akhirnya dia pun pergi ke ruang kerjanya tanpa berkata apa-apa,
lalu m enutup pintu. Begitu dia pergi, begitu kerianganku lenyap,
dem ikian cepatnya hingga m em buat Marya Minichna gelisah dan
bertanya ada apa. Aku tidak m enyahut, duduk saja di sofa, nyaris
m enangis.
Rumah Tangga yang Bahagia 83

“Apa yang dia jengkelkan?” aku bertanya-tanya. “Om ong


koson g apa yan g dian ggapn ya pen tin g itu, tetapi apa yan g
tam pak padanya itu hanyalah segala yang tetek-bengek belaka.
Walaupun dem ikian aku m alah dianggapnya takkan m engerti—
dia m enghinaku karena harga dirinya serta kelebihannya dan
ingin hanya dialah yang selalu benar. Tetapi aku pun benar
kalau kukatakan bahwa aku jem u dan ham pa akan kehidupan
ini, karena itu aku ingin hidup, ingin bergerak terus. Aku ingin
agar setiap hari, setiap m enit, ada hal-hal yang baru, sedangkan
dia m au diam m elulu, dan diam nya itu bersam a aku pula. Dan
alangkah m udah baginya m elakukan yang dem ikian itu! Dia
takkan m au m em bawaku ke kota, dia hanya m enginginkan
agar aku tetap seperti aku ini—sederhana, tenang, tak perlu jual
tam pang. Dia m enasihatiku supaya aku sederhana, tetapi dia
sendiri tidak sederhana. Macam itulah dia!”
Benar-benar hatiku m erasa tertusuk, jengkel pula dibuatnya.
Hal itulah yang m enjadikan hatiku waswas, karena itu aku pergi
kepadanya. Dia sedang duduk di kam ar kerjanya, sedang m enulis.
Ketika didengarnya langkahku, ia pun m em andangku sejenak
dengan tenang dan tertib, kem udian m enulis lagi. Aku tak suka
pandangan m ata yang dem ikian, karena itu aku tetap saja berdiri
di situ di dekat m eja dan bukan m endekati dia. Kubuka buku, lalu
kubukai halam an-halam annya. Ia m elem parkan pandangannya
lagi ke arahku.
“Apakah tidak m erasa enak badan, Masha?” tanya dia.
Kubalas dengan dingin, “Mengapa m enanyakan? Apa m aksud
basa-basi ini?” Dia m enggeleng-gelengkan kepala nya sam bil
tersenyum tersipu-sipu dan m esra. Untuk pertam a kalinya aku
tidak m em balas senyum nya itu.
“Apa yang terjadi hari ini?” aku bertanya. “Mengapa kau tak
m au m engatakannya?”
84 Leo Tolstoi

“Tak ada yan g pen tin g. H an ya ada sedikit yan g tak


m en gen akkan ,” jawabn ya. “Walaupun dem ikian baiklah ku-
katakan sekarang. Dua-tiga orang m uzhik pergi ke kota….”
Aku tidak m em biarkan dia m en eruskan kata-kata n ya.
“Men gapa kau tidak m en ceritakan n ya tadi sewaktu sedan g
m inum teh?”
“Aku ingin m engatakannya, sayang sekali tadi aku se dang
m arah.”
“Tadi itulah aku ingin m endengarkannya, bukan sekarang!’
“Mengapa?”
“Mengapa kau m engira bahwa aku tidak bisa berbuat apa-
apa untukm u?”
“Begitukah aku?” katan ya, sam bil m en jatuhkan tan gkai
penanya. “Aku m erasa bahwa aku tidak bisa hidup tanpa kau.
Kau m em bantuku dalam segala hal, segala, m alah bukan saja
m em bantuku, tetapi kaulah yang m elakukan segalanya. Kau
lin glun g!” katan ya tertawa. “Kau adalah seluruh hidupku.
Segalanya bagus bagiku hanyalah karena kau ada di sini—karena
aku m em butuhkanm u.”
“Ya, aku tahu itu—akulah anak m anis dan tersayang yang
harus diam itu,” kukatakan itu dalam nada yang m em buat dia
m elongo m elihat padaku, seperti baru m elihatku untuk pertam a
kalinya saja. “Aku tidak m au diam . Itu sudah cukup ada pada
dirim u—lebih dari cukup,” kutam bahkan.
“Kalau begitu, baiklah,” buru-buru ia m em oton g pem -
bicaraanku, seperti takut m em biarkan aku m enga khiri kata-
kataku, “apa m aum u sekarang….”
“Sekarang aku tidak m au m endengarkan lagi soal itu,”
kataku. Aku sebenarnya ingin m endengarkan, tetapi aku juga
senang m engganggu ketenangannya. “Aku tidak m au berm ain-
m ain dalam hidup—aku m au hidup, seperti kau.”
Rumah Tangga yang Bahagia 85

Rom an yang sakit dan perhatian yang tertekan tam pak pada
wajahnya yang perasa.
“Aku in gin diperlakukan sebagai sesam a. Aku in gin ….”
Tetapi aku tak dapat m elanjutkannya—kesedihan se perti itulah,
kesedihan yang dem ikian dalam itulah, yang tam pak sedang
m eliputi dirinya. Dia diam beberapa saat.
“Tetapi dalam hal apakah aku tidak m em perlakukanm u
sebagai sesam a?” tanyanya. “Apakah karena aku dan bukan
engkaulah yang pergi berurusan dengan polisi dan m uzhik-
m uzhik yang m abuk itu?”
“Bukan hanya itu.”
“Cobalah m em aham i diriku, Sayang,” ia m elanjutkan kata-
katanya. “Aku tahu bahwa rasa cem as selalu m enyakitkan hati.
Aku sudah cukup m akan garam untuk m engetahui hal serupa itu.
Aku m encintaim u dan karena itu aku tak betah untuk turut serta
dalam kecem asanm u. Cintaku cinta untuk seum ur hidup, karena
itu janganlah m engam bil sesuatu yang kupandang berharga
dalam hidup ini.”
“Kau selalu betul,” kataku tanpa melihat kepadanya.
Aku kesal bahwa segala yang ada dalam hatinya jadi terang
kem bali dan tenang, sedangkan dalam hatiku m asih terkandung
kekesalan dan apa-apa yang serupa dengan kesebalan.
“Masha! Apakah yang m enyulitkanm u?” katanya. “Soalnya
bukanlah siapa di antara kita yang benar, m elainkan apakah
yang berlainan itu. Mengapa engkau m arah padaku? J angan
berkata dulu sebelum kaupikirkan betul-betul, sesudah itu baru
m engatakan segala sesuatunya. Kau tak puas denganku, dan
m ungkin itu betul, hanya saja terangkan dengan sejelas-jelasnya
di m ana letak kesalahanku.”
Tetapi m an a bisa aku m em bukakan seluruh isi hatiku
kepadanya? Kenyataan bahwa ia m engerti seketika itu juga
terhadap diriku, itulah pula yang m em buat diriku m erasa sebagai
86 Leo Tolstoi

anak kecil kem bali, bahwa aku tak dapat berbuat apa-apa,
sekalipun dia tidak m elihatnya dan m enduga-duganya pula,
m alah itulah yang sem akin m engacau-balaukan pikiranku.
“Aku tidak m arah padam u,” kataku, “aku hanya jem u saja
dan tidak m au jem u. Tetapi yang kaukatakan m em ang begitulah
adanya dan kaulah yang benar.”
Pada waktu m en gatakan itu aku m em an dan g padan ya.
Tercapailah yang aku kehendaki—ketenangannya hilang, wajah-
nya m em bayangkan hati yang sakit dan m engisyaratkan tanda
bahaya.
“Masha,” ia m ulai dengan suara yang rendah dan m enyerang.
“Apa yang kita lakukan ini adalah soal yang sungguh-sungguh—
apa yang kita putuskan ini adalah soal nasib kita. Aku bertanya
padam u bukan untuk dijawab, tetapi untuk didengarkan. Mengapa
engkau m au m enyiksa diriku?”
Tetapi aku m enyelanya. “Apa pun yang kaukatakan m esti
benar, aku tahu itu, dengan begitu kau tak perlu m engatakan apa
pun,” sahutku dingin, seolah-olah bukan aku tetapi setanlah yang
ada di ujung lidahku.
“Sekiranya kautahu apa yang kaukatakan itu!” serunya.
Dan m enangislah aku seketika itu juga, nam un hatiku m erasa
lega sesudahnya. Ia duduk di sisiku dan berdiam diri. Aku m erasa
kasihan padanya dan m erasa m alu pula atas kelakuan diriku serta
m enyayangkan perbuatanku itu. Mataku sedang tidak m elihat
padanya, nam un aku m erasa bahwa tentunya m atanya sedang
m en atapku tajam -tajam atau m en yala-n yala. Aku ten gadah,
pandangan yang cakap dan lem but sedang ditujukan padaku,
seolah-olah sedang m em inta m aaf. Aku pegang tangannya dan
berkata,
“Maafkan aku. Aku tak tahu apa yang telah kukatakan.”
“Tidak, akulah yang salah, dan kaulah yang benar.”
“Apa?”
Rumah Tangga yang Bahagia 87

“Kita m esti pergi ke St. Petersburg. Kita tak bisa berbuat apa-
apa di sini.”
“Terserahlah,” kataku.
Dia m em elukku dan m encium ku.
“Maafkan aku,” katan ya. “Aku telah berlaku tak adil
terhadapm u.”
Pada m alam itu lam a sekali aku berm ain piano untuknya,
sedangkan ia m elangkahkan kakinya m engitari kam ar sam bil
m em bisikkan sesuatu pada dirinya. Kebiasaannyalah berbisik-
bisik dem ikian dan kerap kali kutanyakan padanya apa yang sedang
diucapkannya itu, dan dia selalu m engatakannya kepadaku—
biasanya puisilah yang tengah diucapkan nya itu atau sekadar
m enggum am -gum am saja, tetapi dia tak pernah m em beritahukan
apa yang sedang dipikirkannya.
“Apa yan g sedan g kaubisikkan hari in i?” tan yaku. Dia
berhenti, berpikir sebentar, dan sam bil tersenyum dikutipnya
dua baris dari sajak Lerm ontov:

Nam un si gila, dia pergi m encari badai


Seolah taufan bisa m em beriny a perasaan dam ai!

“Dia bukan hanya seorang laki-laki belaka—dia tahu segala-


galanya!” pikirku. “Mana bisa aku tak m encintainya?”
Aku berdiri, kupegang tangannya, dan m ulailah aku berjalan
bersam anya, sam bil berusaha m enahan langkah.
“Betul?” tanyanya, sam bil tersenyum padaku.
“Ya,” gum am ku. Dan perasaan gem bira bahagia m elanda
diri kam i berdua. Mata kam i berseri-seri dan langkah kam i
kian pan jan g kian pan jan g, sem akin berjin gkat-jin gkatlah
kam i berjalan. Begitulah cara kam i berjalan m elewati kam ar-
kam ar, agar tidak m enim bulkan kegusaran pada Grigory dan
keheranan pada m am an yang sedang “m ancing” di kam ar duduk.
88 Leo Tolstoi

Sesam painya di kam ar m akan, berhentilah kam i, lalu saling


berpandangan, kem udian m eledaklah tertawa.
Dua m inggu kem udian, tepat sebelum liburan, kam i sudah
berada di St. Petersburg.
7

DENGAN MENGINAP SEMINGGU di Moskow dalam perjalanan


kam i ke St. Petersburg, m aka jalan, kota-kota yang baru, kaum
kerabatnya dan kaum kerabatku, sem ua itu lewat bagaikan
dalam m im pi. Segala sesuatu begitu berlainan, begitu baru dan
riang, begitu hangat dan cem erlang diterangi oleh kehadiran
dan cintanya, sehingga kehidupan kam i yang tenang di desa
tam paknya seperti serba udik dan bukan apa-apa. Yang m eng-
herankan ialah sam butan m ereka. Tadinya aku m enyangka bahwa
orang-orang bangsawan angkuh-angkuh dan dingin. Ternyata
m ereka m enyam butku dengan keram ah-tam ahannya yang sejati
dan hangat, baik m ereka yang tak kukenal m aupun kaum kerabat.
Seolah-olah m ereka itu hanya m em ikirkan aku belaka—dengan
m enantikanku saja m ereka tam pak seperti bahagia. Tak disangka
suam iku banyak pula kenalannya di kalangan kaum bangsawan,
dan m enurut penglihatanku justru kenalan-kenalannya yang
tak pernah diperlihatkan kepadakulah yang terbaik. Kerap kali
90 Leo Tolstoi

rasanya aneh dan tak sedap didengar kritiknya yang pedas


terhadap beberapa orang dari kalangan ini, yang begitu baik
hati tam paknya dalam pandanganku. Aku tidak dapat m engerti
m en gapa dia m em perlakukan m ereka begitu din gin , atau
m engapa dia berusaha m enghindari sebagian besar kenalannya,
yang m enurut anggapanku pastilah m engasyikkan kalau sudah
kenal. Kurasa, sem akin banyak kenalan orang baik-baik sem akin
bagus, sedangkan m ereka itu bukankah orang-orang baik juga?
Sebelum kam i m eninggalkan dusun, dia berkata, “Setelah
keluar dari sini, nanti kita akan seperti Croeso kecil, kita akan
m erasa sengsara, sebab itu kita pun hanya akan tinggal di kota
sam pai Paskah saja, dan jangan terlalu banyak m asuk dalam
pergaulan kalau tidak m au tenggelam dalam hutang. Dan khusus
untuk kau, aku tidak m enginginkan....”
“Un tuk apa m asuk dalam pergaulan ?” jawabku. “Kita
hanyalah m au m engunjungi saudara-saudara kita dan m elihat
sandiwara serta m endengarkan m usik yang bagus, sesudah itu
kem bali ke dusun sekalipun sebelum Paskah.”
Tetapi tak lam a sesudah kam i tiba di St. Petersburg sem ua
rencana itu lupalah sudah. Aku m endadak betah di dunia baru
yang dem ikian m enarik hati ini, pula begitu banyak hal yang
m enyenangkan sekeliling diriku, begitu banyak pem andangan
baru yang m enarik hatiku, hingga lantas saja aku, m eski tak
kusadari, terlepas dari segala m asa lam pauku, terlepas pula dari
rencana-rencana yang kubuat di m asa yang lalu.
“Tak jadi apa itu—hanya sekadar perm ulaan—inilah kehidup-
an yang sebenarnya. Dan m asih banyak lagi di depanku!” begitulah
pikirku. Keengganan dan kejem uan yang m em berati ketika aku di
dusun lenyap bagaikan disulap. Cintaku kepada suam iku m akin
tenang, aku m erasa tak perlu risau andaikata cintanya jadi
berkurang kepadaku. Aku tak m enyangsikan lagi cintanya—setiap
persoalan segera kupaham i, setiap perasaanku ditanggapinya,
Rumah Tangga yang Bahagia 91

setiap keinginan terpenuhi. Dan lagi sikapnya yang tenang itu


seperti telah hilang tam paknya, atau sekurang-kurangnya tidak
lagi m engganggu perasaanku. Dan aku m erasa bahwa di sam ping
cintanya yang lam a, di sini ia punya rasa kekagum an yang baru
terhadapku. Sehabis berkunjung atau berkenalan dengan kenalan
yang baru, ataupun sewaktu sedang di apartem en kam i pada
sore hari, ketika aku bertugas selaku nyonya rum ah, dengan hati
berdebar-debar karena takut m em buat kesalahan, kerap kali dia
berkata, “Nah, begitu! Tak usah takut-takut—bagus sekali apa
yang kaulakukan itu!” Ini m em buat diriku m erasa am at bahagia.
Dan kem udian, tak lam a setelah kam i tiba, dia m enulis
surat kepada ibun ya, dan sewaktu aku dipan ggiln ya un tuk
m em bubuhkan sedikit pada surat itu, apa yang telah ditulisnya
itu coba disem bunyikannya dariku hingga karena itulah aku
m endesak supaya aku bisa juga m em bacanya.
“Ibu tak pernah m engenal siapa Masha,” tulisnya. “Saya
sendiri juga tidak. Begitu baik hati, m anis dan jelita, cerdas dan
m ulia sebagai layaknya seorang bangsawan, dan sem ua itu begitu
wajar, terpuji, dan ram ah-tam ah. Setiap orang tertarik padanya,
term asuk aku sendiri. Aku m encintainya lebih dari yang sudah-
sudah sekiranya yang dem ikian dapat terjadi.”
“J adi, sem acam itulah diriku!” pikirku, dan hal itu m em -
buat aku bahagia! Rasa-rasanya aku pun m akin m encintainya.
Keten aran ku di lin gkun gan ken alan kam i di luar dugaan .
Kudengar tentang diriku dari segenap penjuru. Di rum ah yang
ini aku terutam a disenangi pam anku, di rum ah yang lain bibilah
yang tergila-gila padaku, ada juga yang m engatakan bahwa di
St. Petersburg tak ada wanita yang m enandingiku, m alah di
antara wanita-wanita ada yang m eyakinkanku bahwa aku akan
m enjadi wanita paling jelita di dalam kalangan bangsawan bila
aku m au. Putri D., teristim ewa, saudara sepupu suam iku yang
sulung, teram at sayang kepadaku, dan m encum buiku lebih dari
92 Leo Tolstoi

orang lainnya, hingga m em usingkan. Pertam a kalinya putri ini


m engundangku agar aku hadir pada pesta dansa, dan m enanyakan
kepada suam iku apakah dia tidak keberatan. Suam iku m enoleh
kepadaku, dan dengan senyum nya yang m asih kentara walaupun
disem bunyikan dia bertanya kepadaku apakah aku ingin pergi.
Aku m engangguk dan m ukaku jadi m erah padam .
“Kau tak usah m erasa seperti telah m elakukan kejahatan
hanya karena m engatakan ingin pergi,” katanya sam bil tersenyum
wajar.
“Tetapi kaukatakan bahwa kita tak usah m asuk ke dalam
pergaulan, lagi pula kau tak m enyenanginya,” sahutku dengan
senyum pem belaan.
“Kita akan pergi sekiranya kau benar-benar m enginginkannya,”
katanya.
“Tetapi aku tidak punya pikiran harus pergi.”
“Tetapi kau ingin, ‘kan? Ingin sekali?”
Aku tidak m enjawab.
“Pergaulan tidaklah buruk, tetapi hasrat duniawi yang tak
m au puas itulah yang buruk dan jelek. Kita akan pergi … pasti,”
katanya tegas.
Kam i pergi, dan hatiku bukan m ain girangnya. Di pesta
dansa, lebih dari yang sudah-sudah, aku m erasa bahwa di tem pat
itu akulah yang m enjadi pusatnya—bahwa ruang yang dem ikian
besar itu serasa dinyalakan untukku saja, begitu pula m usik yang
dim ainkan, serta kerum unan orang-orang dalam pertem uan
itu. Setiap orang, m ulai dari penata ram but dan pelayan wanita
hingga para penari dan kakek-kakek yang berjalan hilir-m udik
di ruangan itu tam pak seperti sedang m em bicarakan aku atau
m em beritahu agar aku m engerti bahwa m ereka m encintaiku.
Um um nya pem bicaraan di pesta dansa itu, sebagaim ana yang
disam paikan oleh sepupu suam iku, bahwa m enurut anggapan
m ereka aku ini benar-benar tak seperti wanita-wanita yang ada
Rumah Tangga yang Bahagia 93

di situ—bahwa ada sesuatu yang tidak biasa pada diriku, sesuatu


yang asli dari pedalam an, sederhana, nam un m em ikat hati.
Ketenaran yang kuperoleh ini m em buat hatiku m elam bung tinggi
hingga kukatakan dengan terus terang kepada suam iku bahwa
aku senang sekali kalau dapat pergi dua atau tiga kali ke pesta
dalam tahun itu. “Dengan dem ikian puaslah hatiku,” tam bahku
dalam lagak seorang munaik.
Suam iku rela, dan m ula-m ula dia pun pergi dengan benar-
benar gem bira bersam aku, dan tam paknya lupa sam a sekali
apa yang pernah dikatakannya dulu padaku atau lupa m enarik
kem bali kata-katanya itu. Tapi lam a-kelam aan dia letih juga,
kehidupan yang m engelilingi kam i baginya m enjem ukan. Tetapi
bagiku hal itu bukan m erupakan perhatian , dan kalaupun
sewaktu-waktu kuperhatikan sin ar m atan ya yan g sun gguh-
sungguh, m erenung-renung, seperti bertanya-tanya kepadaku,
toh aku tidak menginsyai apa artinya itu. Aku demikian silau
oleh kegem aranku untuk dicintai sem ua orang yang baru ini,
oleh suasana yang serba sopan dan halus, serba m enyenangkan,
serba baru, suasana yang baru pertam a kali aku m enghirupnya di
sini, secara m endadak aku m erasa terlepas dari pengaruh batin
suam iku, aku m erasa am at senang di dalam pergaulan ini bukan
sekadar dipandang sebagai orang yang setaraf belaka m elainkan
sebagai orang yang lebih tinggi (sesuatu yang hanya m ungkin
kuberikan kepadanya secara berlim pah-lim pah dan dengan rela
karena cintaku kepadanya), sehingga aku tidak dapat m em aham i
apakah yang dilihatnya m em bahayakan diriku dalam per gaulan
hidup. Baru pertam a kali itulah aku m engalam i perasaan bangga
dan puas akan tingkah-laku sendiri, yakni pabila aku m em asuki
ruangan dansa m aka sem ua m ata ditujukan kepadaku, sedangkan
dia tam pak seperti m erasa dirinya m alu sewaktu m em perkenalkan
bahwa aku adalah m iliknya, lalu dia buru-buru m eninggalkan aku
94 Leo Tolstoi

dan m enghilang dalam kerum unan orang-orang yang serba hitam


oleh pakaian m alam .
“Tunggu saja!” begitulah pikiranku tatkala sering-sering
kupergoki dia—sendirian, tak ada yang m em perhatikan, sering
kali tam pak jem u—di ujung ruangan. “Tunggu saja sam pai kita
pulang, dan kau akan m engerti—kau akan tahu buat siapa aku
berusaha supaya cantik dan m enarik, dan kau akan tahu siapakah
yang kucintai di atas sem ua orang lain ini.” Dan m em ang benar apa
yang kurasakan sebagai sukses hingga m em buat diriku gem bira
itu adalah sem ata-m ata untuknya, hanya dengan jalan itulah
aku m erasa telah m engabdikan diri padanya. Satu-satunya hal,
pikirku, yang bakal m engaibkan diriku dalam pergaulan ini ialah
kem ungkinan m erasa tertarik kepada orang lain yang kujum pai,
yang akan m enyebabkan suam iku cem buru. Tetapi dia dem ikian
percaya padaku, lagi pula orang-orang m uda ini tam paknya
bukan apa-apa dibandingkan dengan dia, sehingga aku tidak
takut akan bahaya ini. Perhatian yang diberikan orang-orang
sedem ikian banyak ini m enyenangkan hatiku, m encum buiku, dan
m em buatku m erasakan suatu keuntungan di dalam m encintai
suam iku, sesuatu yang m em buat sikapku terhadapnya jadi biasa
dan percaya pada diri sendiri.
“Kuperhatikan kau tatkala kau sedang berbicara dengan
asyiknya dengan N.N.,” kataku pada suatu m alam dalam perjalanan
pulang dari pesta dansa, seraya kujentikkan jariku kepadanya.
Wanita yang kusebut itu am at terkenal di St. Petersburg, dan
suam iku sudah barang tentu berbicara dengannya m alam itu.
Kukatakan ini untuk m engusiknya agar m au bicara, karena dia
hanya berdiam diri saja dan kelihatan letih, lebih dari yang sudah-
sudah.
“Mengapa kaukatakan itu? Dapatkah yang dem ikian ini
kaubicarakan, Masha?” katanya, seperti sedang m enahan diri dari
perasaan nyeri pada tubuhnya. “Tak pantas buat kau dan aku.
Rumah Tangga yang Bahagia 95

Serahkan hal dem ikian itu pada orang lain. Kepalsuan sem acam
itu akan m engurangi kem esraan hubungan kita, dan aku tetap
m engharapkan agar segala sesuatunya akan kem bali seperti
biasa.”
Aku m erasa m alu dan tetap berdiam diri.
“Bukan kah segalan ya akan jadi baik kem bali, Masha?
Bagaim ana pikiranm u?” katanya.
“Sam a sekali takkan ada yang kurang, takkan pernah,”
kataku, dan m em ang begitulah pada saat itu.
Hanya sekali itulah dia m engatakan hal itu kepadaku. Waktu
yang selebihnya kubayangkan bahwa dia sebahagia aku. Dan
aku dem ikian riang dan bahagia! “Kalau dia kadang-kadang
m erasa jem u,” kuyakinkan diriku kem bali, “aku juga jem u karena
kesukaannya tinggal di pedusunan, tak apalah kalau hubungan
kita berubah sedikit, toh segalanya akan kem bali seperti biasa
segera setelah kita hidup m enyendiri kem bali bersam a Tatyana
Sem yonovna di Nikolskoye.”
Dan dem ikianlah aku ham pir tidak m em perhatikan bahwa
m usim din gin telah berlalu. Berten tan gan de n gan ren can a
sem ula, m alah kam i m elewatkan Paskah di St. Petersburg. Pada
perm ulaan m inggu St. Tim othy, yakni ketika kam i ham pir akan
berangkat, dan pada saat suam iku—sesudah m em beli barang-
barang hadiah dan buat keperluan rum ah tangga serta bunga
buat m en ye m arakkan kehidupan kam i di desa—sedan g ada
dalam suasana bahagia dan m esra, m aka tanpa disangka-sangka
datanglah saudara sepupunya dan m ulailah dengan gigih nya ia
berbicara kepada kam i agar kam i m enangguhkan keberangkatan
sam pai hari Sabtu, supaya kam i bisa hadir pada pesta dansa
di rum ah nyonya bangsawan R. Dikatakannya bahwa nyonya
bangsawan itu ingin sekali aku hadir—bahwa Pangeran M., yang
ketika itu ada di St. Petersburg, ingin sekali berkenalan denganku
setelah m elihatku akhir-akhir ini di suatu pesta dan agar aku
96 Leo Tolstoi

hadir di pesta yang sengaja untuk itu, dan dikatakannya pula


bahwa aku adalah wanita tercantik di Rusia. Sem ua orang di kota
itu akan hadir di pesta—pendeknya, aku tak boleh tidak harus
m enghadiri pesta.
Suam iku sedang bercakap-cakap dengan seseorang di ujung
kam ar duduk.
“J adi, kau akan pergi, Marie?” saudara sepupun ya itu
bertanya padaku.
“Kam i berniat lusa berangkat ke kam pung,” kataku m ulai tak
pasti, sam bil m elirik ke arah suam iku.
“Akan kubujuk dia,” kata saudara sepupu itu, “lalu kita pergi
ke pesta hari Sabtu dan m em biarkan setiap orang m engarahkan
pandangannya padam u. Begitu, kan?”
“Itu akan m engacaukan rencana kam i, dan segala-galanya
telah dipak,” jawabku, m ulai m enyerah.
“Lebih baik dia pergi dan m em bungkukkan badannya kepada
pangeran itu m alam ini,” kata suam iku dari ujung ruangan
dengan nada yang m engandung rasa tak suka, yang belum pernah
kudengar dari dia sebelum nya.
“Astaga! Dia cem buru. Tak pernah kulihat dia begitu m acam
dulu,” kata saudara sepupu tertawa. “Tapi jangan begitu ah,
ini bukan hanya untuk pangeran sem ata-m ata tapi untuk kita
sem ua, itulah sebabnya m engapa aku m em bujuk istrim u, Sergei
Mikhailich. Kau belum dengar betapa Nyonya R. m enyem bah-
nyem bah padaku supaya dia datang!”
“Terserah dialah,” kata suam iku din gin , dan dia pergi
m eninggalkan ruangan.
Tam paknya pikirannya itu lebih kacau daripada biasanya,
ini m enyiksa diriku, karena itu aku tidak m em buat janji apa-
apa dengan saudara sepupunya. Begitu sepupunya pergi, aku
datang padanya. Dia sedang berjalan naik-turun tangga, sam bil
Rumah Tangga yang Bahagia 97

m eren un g dalam -dalam , dan tak diden garn ya aku berjalan


berjingkat-jingkat m asuk ke dalam kam ar.
“Dia sedan g m em bayan g-bayan gkan rum ah kam i yan g
tercinta di Nikolskoye,” pikirku, sam bil m em andang pa danya,
“kopi pagi hari di ruang tam u yang penuh dengan para m uzhik,
dan sore hari di kam ar duduk, lalu m akan tengah m alam dengan
m engendap-endap.”
“Tidak,” kuputuskan, “aku tidak akan pergi ke pesta dansa
yang m ana pun juga dan kujauhi segala bujuk rayu pangeran
m ana pun dem i kesenangannya dan cinta kasihnya yang m esra.”
Aku ingin m engatakan padanya bahwa aku bukan saja tidak pergi,
tetapi m alah tidak m au pergi ke pesta, ketika dengan tiba-tiba dia
m elihat dan m enatapku.
Dia m engerutkan alisnya, kem udian pandangan m atanya
yan g lun ak dan m eren un g itu berubah. Dan m ata n ya itu
m em ancarkan sinar yang m enem bus, sinar bijak bestari dan
kelebihannya sebagai pelindung. Kelihatannya dia seperti tak
m au tam pak sebagai orang biasa di hadap anku, dia m au kelihatan
sebagai setengah dewa—berdiri diam di atas tangga di depanku.
“Ada apa, Sayang?” tanyanya begitu saja, tenang-tenang,
sam bil m enoleh padaku.
Aku tidak m enjawab. Aku kesal m elihat lagaknya yang
m enyem bunyikan diri dariku—yang tak diperlihatkan seperti aku
m em perlihatkan cintaku terhadapnya.
“Apakah kau m au datang ke pesta hari Sabtu nanti?” tanyanya.
“Aku ingin,” kataku, “tetapi kau tak suka... dan segala-
galanya sudah dipak.”
Tak pernah dia m elihat dem ikian dingin padaku, juga dalam
kata-katanya. “Aku dapat m enunggu sam pai hari Sabtu dan
barang-barang kita pun bisa dibongkar,” katanya. “Pergilah jika
kau suka, aku pun m inta supaya kau pergi ke pesta. Aku tidak
akan berangkat.”
98 Leo Tolstoi

Sebagaim ana biasa kalau hatinya sedang kalang-kabut, dia


m ulai berjalan hilir-m udik dengan gelisah tanpa m elihat padaku.
“Aku tidak m engerti sikapm u sam a sekali,” kataku sam -
bil berdiri di tem patku dan m ataku m engikuti gerak-geriknya.
“Kaukatakan bahwa kau selalu tenang (dia tak pernah berkata
begitu), m engapa bicaram u jadi aneh begitu pada ku? Aku m au
m engorbankan kesenangan ini buat kam u, tapi sekarang kaulah
yang m em inta supaya aku pergi juga—dan dengan cara m enyindir.
Tak biasa kau begitu denganku sebelum nya.”
“Apakah yang ingin kaulakukan untukku? Kau ... pengorbanan
(ditekankannya ucapan ini) ... dan begitu pula aku. Apa bisa
m endapatkan yang lebih baik dari itu? Macam pertunjukan untuk
m em perlihatkan siapa yang paling berm urah hati. Inilah yang
dibutuhkan dalam perkawinan yang bahagia.”
Inilah buat pertam a kali aku m endengar kata-kata yang
kasar dan dem ikian pahit dari m ulutnya. Tetapi kata-kata kasar
tidaklah m em buat aku m erasa m alu—m alah m em buat luka di
hatiku, dem ikian pula luapan em osinya tidaklah m enakutkanku,
sebaliknya m alah m enggugahku. Diakah itu? Dia yang selalu
takut akan kepalsuan dalam hubungan kam i, dia yang selalu
dem ikian bersahaja dan ikhlas—m ana m ungkin dia yang berkata-
kata dem ikian itu? Yang baru saja sem enit yang lalu kupaham i
betul dan kucintai dem ikian m endalam nya? Peranan kam i jadi
terbalik sekarang dialah yang m enghindari kata-kata sederhana
yang lurus, dan aku yang m encarinya.
“Kau telah berubah banyak sekali,” keluhku, “dalam hal apa
aku telah m enyalahkanm u? Aku tak dapat hadir di pesta itu—
tentunya hatim u m engandung apa-apa terhadapku. Mengapa
ketidakikhlasan in i? Biasan ya kau waspada akan hal yan g
dem ikian. Katakanlah terus terang bagaim ana pandanganm u
tentang aku.” Dalam hatiku, “Dialah yang seharusnya m engatakan
sesuatu padaku,” sam bil dengan puas m engingat-ingat bahwa
Rumah Tangga yang Bahagia 99

selam a m usim dingin ini dia tak m enim bulkan sesuatu penyesalan
padaku.
Aku pergi ke tengah-tengah ruangan agar dengan begitu
dia m au tak m au berjalan m endekatiku. Kulihat dia. “Tentu ia
akan m endatangiku, m em elukku, dan dengan dem ikian habislah
sudah,” pikirku, dan aku m erasa m enyesal telah m elepaskan
kesem patan buat m em perlihatkan padan ya bahwa betapa
salahnya dia itu. Tetapi dia berhenti di ujung ruangan dan
m em andang padaku.
“Apa kau m asih sukar untuk m em aham i?”
“Masih.”
“Kalau begitu, akan kuterangkan. Seum ur hidupku baru
pertam a kali inilah aku m engalam i perasaan yang disebut benci,
tetapi yang tak bisa aku m enahannya....” Ia ber henti, tam pak
nyata dari kekasaran lagu bicaranya.
“Apa yang kaum aksudkan?” aku bertanya dengan m ata
berlinangan karena berang.
“Aku benci bahwa pangeran itu beranggapan kam u cantik,
sedangkan kam u m alah bergegas lari m enem ui dia, lupa pada
suam i dan dirim u sendiri serta pada harga dirim u sebagai
wanita. Dan kam u tidak m au m engerti terhadap sesuatu yang
harus diderita oleh suam im u karena ulah dirim u itu, sekalipun
andaikata kam u sendiri sudah tak punya perasaan harga diri. Ini
sebaliknya m alah, kam u datang dan berkata pada suam im u bahwa
kam u berkorban, dengan lain perkataan, betapa senang sekiranya
aku dapat m em perlihatkan m ukaku di hadapan Sri Baginda,
tetapi akan kukorbankan kesenangan ini dem i untukm u.”
Makin ia bicara m akin ia m arah, kentara dari bunyi suaranya
itu sendiri, dan suaranya itu kasar, bengis, pedas. Aku tak pernah
m elihat dia dalam keadaan sedem ikian sebelum nya, pula tak
pernah m enyangkanya. Darahku tersirap ke m uka. Aku m erasa
takut, tetapi bersam aan dengan itu m aka suatu perasaan m alu
100 Leo Tolstoi

yang tidak pada tem patnya dan perasaan angkuh oleh sebab
terhina tim bul dalam diriku, dan aku ingin m em balasnya pula
sendiri.
“Telah lam a kutun ggu-tun ggu in i,” kataku. “Teruskan ,
teruskan!”
“Tak tahu aku apa yang kautunggu-tunggu itu,” katanya
selanjutnya. “Akulah yang seharusnya m enunggu-nunggu sesuatu
yang paling buruk, m elihat kam u setiap hari bergelim ang dalam
kecem aran, foya-foya, dan kem ewahan kalangan yang dungu
itu, dan sekaranglah waktunya. Kubiarkan segalanya sam pai
hari ini, hingga aku tak punya m uka karena m alu serta sakit
hati, yang tak pernah kualam i sebelum nya, sakit hatiku sewaktu
tem anm u itu m encelupkan tangannya yang najis ke dalam hatiku
dan m ulai berbicara tentang cem buru—hal cem buruku—dan
cem buru karena siapa? Karena seorang laki-laki yang tak dikenal
baik olehm u m aupun olehku. Dan kam u begitu saja tak m au
m engerti terhadapku serta ingin m engorbankan dirim u sendiri,
dan apa jadinya? Akulah yang m alu karena kam u—m alu karena
m elihat kam u m erendahkan harkat dirim u sendiri begitu saja.
Pengorbanan!” ulangnya.
“J adi, itulah hak seorang suam i!” pikirku. “Untuk m enghina
dan m erendahkan derajat seorang wanita yang tak bersalah apa-
apa. J adi, itulah hak seorang suam i! Tetapi aku tidak m au tunduk
pada aturan itu.”
“Tidak, aku tidak m au berkorban apa pun untuk m u,” kataku,
dan aku m erasa hidungku m engem bang serta darah tersirap ke
m ukaku. “Aku akan pergi ke pesta hari Sabtu—pasti aku akan
pergi.”
“Mudah-m udahan kau m enyenanginya, akan tetapi sem uanya
habislah sudah antara kau dan aku,” dia berteriak dengan gem as.
“Aku tidak akan m em biarkan kau terus-m enerus m enyiksa aku.
Akulah yang dungu,” dia m ulai lagi, tetapi bibirnya gem etar, dan
Rumah Tangga yang Bahagia 101

hanya dengan sekuat tenaga tentunya dia m enguasai dirinya agar


dapat m engakhiri apa yang sudah terlanjur dikatakannya itu.
Aku takut dan benci padanya di saat itu. Banyak yang m au
kukatakan kepadan ya un tuk m em balas den dam atas sem ua
penghinaannya, tetapi sekiranya aku buka m ulut m aka aku akan
m enangis m elolong-lolong dan harga diriku akan jatuh dalam
pandangan m atanya. Kutinggalkan kam ar tanpa berkata sepatah
kata pun jua. Tetapi segeralah aku m endengar langkahnya,
aku tak takut lagi akan apa yang telah kuperbuat. Ngeri aku
m em ikirkannya, bahwa tali kasih yang m enjalin kebahagiaanku
akan terputus untuk selam a-lam anya.
“Tetapi, apakah dia akan cukup tenang buat m em aham i
diriku seandainya aku pergi kepadanya dan dengan diam -diam
kuulurkan tan gan ku kepadan ya serta kupan dan g m ata n ya?
Maukah dia m engerti akan kem urahan hatiku? Bagaim ana nanti
kalau dipandangnya sebagai kesedihan yang munaik? Atau
m enerim a rasa penyesalanku sedangkan dia percaya bahwa dialah
yang benar, dan m em aafkan aku dengan keram ahtam ahannya
yan g an gkuh? Bagaim an a bisa dia—laki-laki yan g dem ikian
kucintai sepenuh hati—tega m enghinaku sedem ikian kejam nya?”
Aku tidak pergi kepadanya. Aku pergi ke kam arku, di situ aku
duduk lam a sekali dan m enangis. Mengingat-ingat dengan ngeri
kata-kata yang telah kam i ucapkan, kuganti kata-kata tersebut
dengan kata-kata lain yang baik, dan kuingat-ingat kem bali
sem ua yang telah kam i katakan itu dengan perasaan ngeri dan
hina. Ketika aku m eninggalkan kam arku buat m inum teh pada
m alam itu dan bertem u de ngan suam iku di depan kehadiran S.,
yang telah dipanggilnya, aku m erasa bahwa jurang telah terbuka
antara kam i dan akan tetap begitu untuk selam a-lam anya. S.
bertanya kapan kam i akan berangkat.
“H ari Selasa,” balas suam iku, tak m em beri kesem pat an
padaku untuk m enjawabnya. “Kam i akan pergi dulu ke pesta
102 Leo Tolstoi

Nyonya R. Kau akan pergi, ‘kan?” tanyanya, sam bil m enoleh


padaku.
Aku m erasa takut m endengar suaranya yang berlainan serta
lirikannya terhadapku. Matanya lengket m em andang padaku, dan
berang ucapannya serta kasar, dingin dan keras suaranya.
“Ya,” sahutku.
Pada sore hari, tatkala kam i m enyendiri, dia datang pada ku
dan m engulurkan tangannya.
“Lupakanlah apa yang telah kukatakan padam u,” gum am nya.
Kuam bil tangannya. Pada bibirku tersungging senyum an
yang gem etar, dan air m ataku m ulailah m em banjir, tetapi dia
m enarik kem bali tangannya dan—seperti takut akan adegan yang
sentim entil—duduklah ia di kursi tangan agak jauh dariku.
“Mungkinkah dia m asih m em andang bahwa dirinyalah yang
benar?” aku bertanya-tanya dalam hati, dan penyesalan serta
perm intaan yang sudah ada di ujung lidahku supaya tak usah saja
pergi ke pesta, tetap tinggal tak terucapkan.
“Kita harus m enulis surat pada ibu bahwa kita m enangguhkan
keberangkatan kita,” katanya, “kalau tidak begitu nanti ia akan
m asygul.”
“Dan m enurut kau kapan kita pergi?” tanyaku.
“Hari Selasa, sehabis pesta.”
“Mudah-m udahan kau tidak m elakukan itu buat diriku,”
kataku, sam bil m em andang ke dalam m atanya. Nam un m atanya
itu m em andang padaku tanpa m engucapkan apa-apa seakan-
akan tertutup tabir. Mukanya seperti m endadak jadi tua dan tak
m enyedapkan dalam pandangan m ataku.
Kam i pergi ke pesta dan aku m erasa bahwa hubungan kam i
yang akrab telah pulih kem bali, nam un hubungan itu lain sam a
sekali dari dulu.
Ketika pangeran itu datang m engham piriku, aku sedang
duduk di antara dua orang wanita, hingga karena itu aku harus
Rumah Tangga yang Bahagia 103

berdiri sewaktu bicara dengan dia. Ketika aku bangkit untuk


berdiri tanpa sengaja m ataku m encari-cari suam iku dan kulihat
dia m em andang padaku dari ujung lain ruangan, kem udian dia
m elengos. Mendadak saja aku m erasa kikuk, serta darah tersirap
di m uka dan di leherku, di bawah sorot m ata pangeran itu.
Tetapi aku harus berdiri dan m endengarkan ucapannya sewaktu
pangeran itu m engincarku dari atas. Percakapan kam i singkat
saja, tak ada tem pat di situ untuk dapat duduk di sisiku, dan
barangkali dia m erasa bahwa aku benar-benar tak m erasa enak
berbicara bebas dengannya. Kam i m em bicarakan pesta dansa yang
akhir-akhir ini, perihal di m ana aku akan tinggal selam a m usim
dingin, dan lain-lainnya. Sewaktu pangeran itu m eninggalkan
aku, dia m enyatakan keinginannya untuk berkenalan dengan
suam iku, dan kulihat m ereka berjum pa di ujung lain ruangan
dan m ulai bercakap-cakap. Pengeran itu m estinya m engatakan
sesuatu tentang diriku, karena di tengah-tengah pem bicaraan dia
m elirik padaku dan tersenyum . Mendadak saja suam iku kelihatan
seperti kejang dan m erah m ukanya, dia m em bungkuk dalam -
dalam dan pergi dari pangeran itu. Mukaku juga jadi m erah,
aku m alu atas anggapan pangeran itu tentang diriku, dan lebih-
lebih lagi, tentang suam iku. Kubayangkan bahwa setiap orang
m em perhatikan sikapku yang m alu-m alu dan canggung sewaktu
bercakap-cakap de ngan pangeran, serta tingkah-laku suam iku
yang aneh. Bagaim anakah anggapan m ereka tentang itu, atau
apakah m ereka tahu percakapanku dengan suam iku?
Saudara sepupunya m engantarkan aku pulang dan di tengah
jalan kam i m em bicarakan dia. Aku tak dapat m enahan diri
dan segalan ya kuceritakan kepadan ya, perihal percekcokan
kam i m en gen ai pesta dan sa yan g bern asib buruk itu. Dia
m en en an gkan ku, dikatakan n ya bahwa hal itu m erupakan
kesalahan paham yang harus segera dilenyapkan supaya tak
ada bekas-bekasnya. Dia m enerangkan tentang watak suam iku
104 Leo Tolstoi

sepanjang yang dia ketahui. Dia berpendapat bahwa suam iku


itu m akin jadi angkuh dan tidak ram ah-tam ah. Aku setujui
pendapatnya dan seakan-akan diriku m ulai m engerti suam iku
dengan lebih baik, lebih tidak m em akai perasaan.
Tetapi ketika aku tinggal m enyendiri bersam a suam iku,
m aka penilaianku tentang dirinya itu terkapar dalam lubuk
hatiku bagaikan kejahatan, dan aku m erasa bahwa jurang yang
m em isahkan kam i sem akin m elebar.
8

SEJ AK HARI ITU kehidupan serta hubungan kam i ber ubah


sam a sekali. Kam i tidak lagi m em peroleh kesenangan dalam diri
m asing-m asing untuk berada bersam a-sam a. Ada hal-hal yang
kam i hindari, dan adalah lebih lancar bagi kam i untuk berbicara
dalam kehadiran orang ketiga daripada kalau hanya berdua saja.
Begitu pem bicaraan m enyangkut kehidupan di kam pung, atau di
pesta, m aka m ulailah iblis-iblis kecil m engintip dari lubangnya,
dan kam i m erasa rikuh kalau berpandangan. Kam i berdua jadi
sadar akan adanya jurang yang m em isahkan kam i serta takut
untuk m endekatinya. Aku jadi percaya bahwa dia itu orang
angkuh dan cepat m arah dan karena itu harus hati-hati jangan
sam pai m enyinggung perasaannya. Dia jadi yakin bahwa aku tak
dapat hidup tanpa pergaulan di kalangan m asyarakat bangsawan,
bahwa aku tak suka kehidupan desa, dan bahwa dia m erasa harus
m enyesuaikan diri dengan seleraku yang rendah ini. Begitulah
kam i m asin g-m asin g m en ghin dari pokok pem bicaraan yan g
106 Leo Tolstoi

dem ikian, dan m asing-m asing secara keliru saling m enuduh.


Sudah lam a kam i berhen ti un tuk salin g m em perlihatkan
kesem purnaan diri. Kam i m em banding-bandingkan diri de ngan
orang lain dan saling m enilai secara rahasia.
Aku jatuh sakit sebelum berangkat, dan m alahan m enyewa
rum ah kecil di luar kota daripada pergi ke Nikolskoye, dari situlah
Sergei Mikhailich pergi m enuju ibunya tanpa aku. Sewaktu dia
berangkat, sebetulnya aku cukup m erasa sehat untuk m elakukan
perjalanan bersam anya, tetapi dia m em bujukku supaya aku tak
ikut pergi karena dia m engkhawatirkan kesehatanku. Kurasa
bukan kesehatan kulah yan g dia khawatirkan tetapi hal-hal
yang akan m em buat kam i tidak enak di pedusunan, aku tidak
m endesak, m elainkan diam dan m enurut.
Tanpa dia aku m erasa kesepian, dan hidupku serasa ham pa,
tetapi aku m erasa heran sewaktu dia kem bali, kehadirannya
taklah m engubah kehidupanku kem bali seperti dulu. Hari-hari
percintaan lam a sudah tiada, hari-hari tatkala aku sering m erasa
tertekan oleh setiap pikiran dan kesan jika ternyata bahwa dia tak
turut am bil bagian di dalam nya, hari-hari tatkala setiap tindak-
an dan perkataannya seakan-akan m erupakan contoh dari hal
kesem purnaan diri, hari-hari tatkala dengan hanya berpandang-
pandangan saja sudah cukup dapat m encerahkan ketawa di bibir
m asing-m asing—hari-hari yang dem ikian telah pergi. Hubungan
kam i sedikit dem i sedikit jadi berubah hingga tak kam i perhatikan
bagaim ana cinta kam i yang lam a itu m enghilang. Ma sing-m asing
punya kesukaan dan ketidaksukaannya sendiri-sendiri, dan kam i
tidak berusaha untuk saling m erasakannya. Bahkan antara kam i
berhentilah sikap saling m engharubiru dan m asing-m asing kian
m enjadi terbiasa dengan yang dem ikian, lalu kurang-lebih dalam
setahun kam i sudah tak bisa lagi saling m em andang kalau m erasa
tak puas. Perasaan riang gem bira yang m eliputi dirinya bilam ana
dekat denganku lenyap sam a sekali, dem ikian juga sifat kekanak-
Rumah Tangga yang Bahagia 107

kanakannya, sikap siap sedia untuk m em aafkan apa saja, juga


ketakacuhannya yang tak kepalang tanggung itu. Tak pernah lagi
m atanya m elihat padaku dengan pandangan yang m eneliti, yang
biasanya m em buat aku m alu tersipu-sipu nam un m enggirangkan
pula, tak pernah lagi kam i m engucapkan doa bersam a-sam a
atau m enghanyutkan diri dalam perm ainan urakan, jarang kam i
m elihat satu sam a lainnya, seolah-olah dia tak putus-putusnya
sibuk dengan urusannya dan tidak m erasa sayang atau khawatir
m eninggalkan aku sen dirian. Aku tetap pergi ke tem pat pergaulan
bila tidak m em erlukan dia.
Kam i tak lagi m erasa gelisah karena m elakukan kesalahan
atau dari sebab tingkah-laku yang tak sesuai. Aku m encoba
m em biarkan segala kesenangannya dan dia m eluluskan segala
yang kuingini, tam paknya seperti kam i ini saling cinta-m encintai
saja.
Apabila kam i sedang berduaan, yang tak sering terjadi,
tak pernah aku m erasa gem bira, m erasa tergerak hati atau
kebingungan, rasanya seperti sendirian saja. Aku m enyadari
benar-benar bahwa dia suam iku—bukan orang asing, m elainkan
laki-laki yang baik, suam iku, yang kukenal se perti terhadap diriku
sendiri. Aku percaya bahwa aku tahu terhadap apa pun yang
akan dilakukannya, atau dikatakannya, tahu pula bagaim ana
pan dan gan n ya m en gen ai diriku. Bilam an a dia m elakukan
sesuatu atau m em andang padaku lain daripada yang kuharapkan,
kukhayalkan bahwa dia m em buat kesalahan. Pendek kata, dia itu
suam iku, tak lebih dari itu. Kupandang bahwa m em ang begitulah
sem estinya, bahwa suam i istri itu seharusnya begitu, dan kam i
pun selalu begitu.
Bila dia pergi, terutam a pada perm ulaannya, aku m erasa
kesepian dan m erasa kecil hati tanpa dia, aku suka m erasa benar-
benar m em butuhkan bantuannya. Bila dia kem bali m aka suka
kulilitkan lenganku padanya dengan gem bira, tetapi dua jam
108 Leo Tolstoi

kem udian segeralah kegem biraan ini kulupakan dan tak m am pu


m enem ukan apa-apa untuk dibicarakan dengan dia. Hanya di
saat-saat yang tenang, kem esraan yang tertekan itu sering terasa
m engganggu, jantungku akan berdegup keras, dan seakan kubaca
hal yang sam a dalam m atanya. Aku sadar akan batas-batas
kem esraan, di luar itu baik dia ataupun aku tak dapat lanjut.
Kadang-kadang yang dem ikian itu m em buat hatiku sengsara,
nam un aku terlalu sibuk untuk m em usingkannya, aku m encoba
m elupakan kesedihan yang terbit dari perasaan sadar yang
sam ar-sam ar terhadap perubahan dalam hiburan yang senantiasa
m enanti-nantiku.
Kehidupan kalangan bangsawan, yang pada m ulanya tidak
lebih dari m enakjubkan dengan kegem erlapan dan rayuannya,
serta-m erta m em andangku hingga m enjadi kebiasaan. Ke hidupan
ini telah m em belenggu diriku dan m engam bil tem pat dalam hati
yang m endam bakan cinta. Aku m e lupakan apa yang disebut
kesepian serta tak punya keberanian buat m em ikirkan kehidupan
diriku. Seluruh waktuku diisi kesibukan, dari pagi m ula sam pai
lewat tengah m alam . Tak pernah aku tinggal sendirian, sekalipun
tak pergi dari rum ah. Sem ua ini tidak m enggirangkan atau
m enjem ukan lagi, aku m engira bahwa aku harus terus-m enerus
hidup dengan cara begini buat selam a-lam anya.
Tiga tahun berlalu, dan hubungan kam i tetap begitu juga,
seakan-akan jadi m engental tertuang dalam satu acuan, tak
dapat tum buh lebih baik atau lebih buruk. Selam a tiga tahun
itu terjadilah peristiwa-peristiwa penting dalam keluarga kam i.
Nam un tak satu pun yang m engubah hidupku, ialah kelahiran
anak kam i yang pertam a, dan kem atian Tatyana Sem yonovna.
Pada m ulanya kasih ibu begitu kuat m enguasai diriku, dan
m enjadikan sebab tim bulnya tali kasih yang tak disangka-sangka
hingga tim bul pikiran bahwa kehidupan baru telah m ulai bagiku.
Nam un dalam dua bulan saja, ketika aku m ulai lagi m enam pakkan
Rumah Tangga yang Bahagia 109

diri di dalam pergaulan, perasaan ini susut lagi hingga jadi


sesuatu yang biasa dan m erupakan tugas resm i untuk m em enuhi
kewajiban belaka. Sebaliknya, dengan kelahiran anakku yang
laki-laki suam iku jadi lebih pendiam serta puas tinggal di rum ah
lebih dari yang sudah-sudah, dan kem esraan serta kegirangannya
yang dulu-dulu dialihkannya kepada bayi. Kerapkali pabila aku
m asuk ke kam ar bayi dalam pakaian pesta, untuk m em buat
tanda salib di atas si anak, suam iku sering kujum pai di situ dan
kulihat seakan-akan pandangannya yang kesal sedang m eneliti
dan m engawasi diriku, dan aku pun sering m alu. Tiba-tiba saja
aku m erasa seakan-akan hati nuraniku tersentak oleh sikapku
yang m asa bodoh terhadap anak, dan aku suka bertanya pada
diri sendiri apakah aku ini benar-benar wanita yang lebih buruk
dari yang lain. “Tetapi apa dayaku?” aku bertanya-tanya dalam
hati. “Aku m encintai anakku, tetapi aku tak dapat terus-m enerus
duduk di sam pingnya sehari suntuk—itu akan m enjem ukan. Dan
aku tidak m au berpura-pura, sekali-kali tidak.”
Kem atian ibunya sangat m enyedihkan Sergei Mikhailich.
Katanya berat baginya untuk tinggal di Nikolskoye sekarang
setelah ibunya tiada. Tentang diriku, aku m erasa senang dan dam ai
tinggal di dusun tanpa ibunya, m eskipun aku m erasa bersedih
hati atas kem atiannya serta bersim pati terhadap suam iku. Waktu
selam a tiga tahun itu sebagian besar kam i pergunakan buat
tinggal di kota. Aku pergi ke udik sekali dalam dua bulan, dan
pada tahun ketiga berangkatlah kam i ke luar negeri.
Kam i habiskan waktu m usim panas di tem pat sum ber air.
Ketika itu dua puluh satu tahun um urku. Pada pikir anku, segala
urusan kam i berkem bang dengan baik, aku tidak m inta lebih
daripada yang diberikan oleh kehidupan keluarga kam i. Kutahu
setiap orang agaknya m encintaiku, tubuhku segar bugar, gaunku
yang terbagus di tem pat pem andian, aku tahu aku cantik, cuaca
bagus, aku dikelilingi oleh suasana yang serba bagus dan m enarik
110 Leo Tolstoi

hati, diriku bersukaria. Kerian gan ku taklah seperti sewaktu


di Nikolskoye, ketika aku m erasa bahagia sendiri, ketika aku
m erasa layak untuk berbahagia, dan bahwa betapa pun besarnya
kebahagiaanku itu, m asih ingin lebih besar lagi, tatkala aku
haus akan kebahagiaan yang ingin lebih banyak lagi. Itulah
kebahagiaan yang berlainan, tetapi pada m usim panas ini juga,
aku m erasa senang. Tak ada yang kuinginkan, tak ada yang
kuharapkan, tak ada yang kukhawatirkan, kehidupanku seperti
penuh, dan kesadaranku seperti sedang istirahat.
Dari sem ua orang m uda pada m usim itu, kurasa tak seorang
pun yang m enarik. Pangeran K. tidak m enarik, pun Duta Besar
kam i tidak m enarik, padahal ia m em uja-m uja aku. Yang satu
tam pak m uda, lainnya tam pak tua, si Inggris beram but pirang,
dan si Perancis berjanggut kecil, sem ua sam a saja bagiku, dan
m ereka pun sem ua berguna. Hanya seorang dari m ereka, yaitu
bangsawan D., seorang Italia, m enarik hatiku lebih dari yang lain
karena keberaniannya m enyatakan kekagum annya terhadapku.
Dia tak pernah m elepaskan kesem patan untuk bersam a denganku,
berdansa atau berpacu denganku, berada di tem pat judi denganku,
dan m enyatakan pula betapa cantiknya aku.
Berkali-kali kulihat dia dari jendela sedang berdiri di depan
rum ah kam i, dan sering kali tatapannya yang tak m enyenangkan
dari m atanya yang nakal itu m em buat m erah m ukaku dan
m elengos. Dia m asih m uda, tam pan, dan gagah, tetapi yang
terbagus dari segalanya ialah senyum nya dan dahinya yang
m en gin gatkan pada suam iku. Keserupaan in i m en akjubkan ,
terutam a karena pada paras m uka Sergei Mikhailich yang tam pan
terlukis kebaikan hati dan ketenangan batinnya, sedangkan pada
dia terlukis sesuatu yang kasar dan kurang ajar—pada bibir, sorot
m ata, dan dagunya yang panjang. Aku yakin kem udian bahwa dia
m encintaiku dengan penuh nafsu dan kadang-kadang aku pun
m erasa iba padanya. Aku suka m eredakan dia dan m em bujuknya
Rumah Tangga yang Bahagia 111

agar berlaku sebagai seorang tem an yang dapat dipercaya dan


waspada, tetapi dia m enolak dengan keras tawaranku itu serta
m elanjutkan bujuk rayunya terhadapku dengan cinta asm aranya
yang setiap saat siap m engham bur dari bibirnya. Aku takut
oran g in i, m eskipun kutolak perasaan dem ikian itu, dan
sering kali aku m em ikirkan dia di luar kehendakku. Suam iku
diperkenalkan kepadanya, dan kian lebih dingin dan angkuh
suam iku terhadapnya dan terhadap kenalan kam i yang lain, yakni
orang-orang yang m enganggap dia itu hanyalah sekadar seorang
suam i bagi istrinya.
Menjelang akhir m usim aku jatuh sakit dan tak dapat ke
luar rum ah untuk dua m inggu lam anya. Ketika suatu m alam
aku pergi ke luar dari rum ah untuk m endengarkan m usik (buat
pertam a kalinya aku m enam pakkan diri sejak aku sem buh)
kudengar perihal kedatangan Nyonya S., wanita yang terkenal
karena kecantikannya, yang di sini telah lam a ditunggu-tunggu
orang. Ketika itu aku disam but dengan gem bira dan segera jadi
pusat tem pat kenalan-kenalanku berkerum un, tetapi sebagian
besar dari kum pulan itu berkerum un sekeliling si cantik jelita
yang baru. Tak ada lain yang dibicarakan orang selain tentang
dialah. Mereka m enunjukkannya padaku, kulihat m em ang dia
cantik dan m enarik, tetapi aku tidak enak m elihat sorot m atanya
yang bangga serta banyak cakap. Pada hari itu segala sesuatu yang
biasanya m enggirangkan tam paknya m enjem ukan.
Pada keesokan harinya Nyonya S. m erencanakan pergi ke
istana benteng, tetapi aku m erasa enggan pergi. Kenyataannya
tak seorang pun yang tinggal bersam aku dan segala sesuatunya
berubah sam a sekali di m ataku. Setiap orang dan setiap benda
tam paknya dungu dan m enjem ukan. Aku ingin m enangis, yang
kuinginkan hanyalah cepat sem buh dan pulang ke Rusia. Hatiku
berat, tetapi aku tak m erelakannya sekalipun buat diriku. Aku
m erasa lem ah dan tak pernah m enam pakkan diri di kalangan
112 Leo Tolstoi

itu lagi, hanya pada pagi hari kadang-kadang aku pergi keluar
m inum air, atau naik kendaraan ke pedusunan yang ada di sekitar
bersam a L.M., seorang wanita Rusia kenalanku. Suam iku sedang
di Heidelberg pada waktu itu, m enunggu aku selesai tetirah
untuk kem udian kem bali ke Rusia. Sewaktu-waktu dia datang
m enjenguk aku.
Pada suatu hari Nyonya S. m em bawa serta sem ua orang pergi
berburu, sedangkan L.M. dan aku sehabis m akan sore berpacu
m enuju istana benteng. Kam i m ulai bercakap-cakap dengan
sungguh-sungguh, dengan cara yang tak pernah kam i lakukan
sebelum nya tatkala naik kuda yang dijalankan dengan perlahan-
lahan. J alan besar penuh dikelilingi dengan pohon-pohon kenari
yang telah tua, dan m elalui celah-celah pohon yang rindang itu
kam i dapat m elihat kilasan-kilasan alam pedusunan yang indah
dan terawat rapi sekitar Baden, tertim pa cahaya m atahari yang
akan terbenam . Meskipun telah lam a kukenal L.M., aku tak
pernah menginsyai bahwa wanita ini ternyata seorang wanita
yang baik hati dan cerdas, wanita yang bisa dipercaya dan
m enyenangkan untuk dijadikan seorang sahabat.
Kam i bercakap-cakap tentang keluarga, tentang anak-anak,
dan tentang waktu yang terbuang dengan percum a di pesta-
pesta. Kam i m enginginkan kem bali ke Rusia, ke negeri kam i, dan
perasaan rindu kam pung ha lam an yang m eresahkan hati nam un
nyam an m enyerang kam i dan m engam bil tem pat dalam diri kam i
tatkala kam i m em asuki istana benteng.
Sejuk dan teduh di dalam benteng, dan dari atas, dari tem pat
di m ana sinar m atahari berm ain di atas puing-puing, datanglah
bunyi telapak kaki dan suara-suara lain. Pem andangan alam
Baden m em bingkai di pintu gerbang—indah, m em pesonakan
bagi orang Rusia. Kam i duduk istirahat dan m em andang dengan
diam -diam ke arah m atahari yang lagi terbenam .
Rumah Tangga yang Bahagia 113

Suara-suara orang jadi lebih jelas terdengar dan kudengar


ada yang sedang m em percakapkan aku. Suara tersebut tak asing
lagi, itulah suara bangsawan D. dan suara seseorang yang juga
kukenal, orang Perancis. Me reka sedang m em percakapkan aku dan
Nyonya S. Orang Perancis itu sedang m em banding-bandingkan
antara keduanya dan m enguraikan bentuk-bentuk keindahan
kam i. Dia tidak m engucapkan perkataan yang m enyinggung
perasaan, tetapi darah di m ukaku tersirap, ketika kudengar apa
yang sedang diperkatakannya. Dia m enjelaskan bagian-bagian
kam i yang bagus secara terperinci, aku dikatakannya sudah punya
anak, sedangkan Nyonya S. baru sem bilan belas tahun, ram butku
lebih tebal, sedangkan raut m uka Nyonya S. lebih m enarik,
Nyonya S. bukan sem barang orang, “sedangkan sahabatm u itu
hanya seorang wanita dari sekian banyak putri bangsawan kecil
Rusia yang m ulai sering datang ke m ari”. Dia m enyim pulkan
disertai peringatan agar aku secara bijaksana tidak m encoba
m em banding-bandingkan diri dengan Nyonya S. dan bahwa aku
kini telah m ati dan terkubur di alam Baden ini.
“Aku m erasa iba padanya,” katanya, diiringi suara ketawa
yang m enusuk hati serta kejam . “Kalau saja dia tidak berketetapan
untuk m encari hiburan bersam am u.”
“J ika dia pergi, aku akan m em buntutinya,” terdengar suara
yang serak dengan logat Italianya.
“Makhluk berbahagia! Laki-laki in i m asih dapat m en -
cintainya!” kata orang Perancis itu tertawa.
“Cinta!” suaranya bergem a, dan kem udian, sesudah berhenti
sebentar, “Aku tak tahan tanpa cinta. Untuk itulah aku hidup—
satu-satunya yang paling penting ialah m engubah hidup ke dalam
hidup bercinta-cintaan. Dan petualangan cintaku takkan berhenti
di tengah jalan. Aku ingin sam pai di ujungnya.”
114 Leo Tolstoi

“Bonne chance, m on am i,”2 kata orang Perancis itu.


Mereka tak kedengaran lagi karena m ereka berjalan m engitari
sudut, dan suara langkah kakinya kem udian terdengar di sebelah
lainnya. Mereka turun tangga dan beberapa m enit kem udian
m ereka tam pak di pintu sam ping, dan terkejut ketika m elihat kam i.
Merah m ukaku ketika bangsawan D. datang m engham piriku,
dan tegaklah bulu rom aku tatkala dia m engulurkan tangannya
sewaktu kam i keluar dari benteng. Tetapi aku tak dapat m enolak
dan pergilah m enuju kereta, berjalan di belakang L.M. dan
tem annya. Aku m erasa rendah diri teringat pada apa yang
dikatakan orang Perancis itu, m eskipun dalam lubuk hatiku kuakui
bahwa apa yang dikatakannya itu aku pun telah m enduganya.
Cara bangsawan itu berkata-kata m em ang kasar sekali hingga
m engagetkan dan m engejutkan aku. Ada apa-apa yang tertekan
dalam perasaannya yang tak kenal m alu itu selagi hadir di
depanku, m eskipun sem estinyalah dia tahu bahwa kam i telah
m endengarkan m ereka. Aku m erasa m uak berdekatan dengannya.
Tanpa m elihat padanya, tanpa m enyahut, kupegang tangannya
dem ikian rupa hingga takkan dirasakan olehnya bahwa aku lagi
m engejar L.M. dan orang Perancis itu. Bangsawan itu sedang
m engatakan sesuatu tentang keindahan pem andangan, tentang
kegem biraannya yang tak disangka-sangka bertem u dengan aku.
Aku sedang m em ikirkan suam iku dan anakku, dan Rusia. Aku
m erasa m alu, aku m enyayangkan sesuatu, aku m enginginkan
sesuatu, dan ingin cepat-cepat kem bali ke kam arku di Hotel
de Bade agar aku dapat sendirian, tak ada yang m engganggu
dalam m em ikirkan itu sem ua. Tetapi L.M. berjalan pelan-pelan
dan m asih jauh dari kendaraan, dan pengawalku ini tam paknya
berm aksud m em perlam bat lan gkahn ya seolah-olah dia m au
m enahanku. “Mana bisa begitu!” pikirku, dan aku berusaha

2
Sem oga berhasil, Tem anku.
Rumah Tangga yang Bahagia 115

untuk berjalan lebih cepat. Tetapi ternyata dia m em egangku dan


m enahan, bahkan dia m enjepit tanganku. L.M. berbelok dan kam i
tinggal berdua. Aku m erasa takut.
“Maafkan saya,” kataku dingin, dan m encoba m elepaskan
tanganku, tetapi ujung lengan bajuku tersangkut di kancing
jasnya. Dia m em iringkan badannya, napasnya dekat padaku, dan
m ulailah ia m elepaskan ujung lengan ku, dan tangannya yang tak
bersarung itu m enyentuh tanganku. Suatu perasaan baru—entah
ngeri, entah nikm at—m enyebabkan badanku gem etar sam pai
saraf di punggungku seperti turun-naik. Aku m elirik kepadanya,
berusaha untuk m enahan rasa m uak terhadapnya dan bukannya
m em perlihatkan sinar m ata ketakutan dan gentar. Matanya yang
m em basah dan berapi-api itu dekat sekali ke m ukaku, penuh-
penuh m em andangku, leher dan napasku, kedua belah tangannya
m em belai-belai lenganku, bibirnya yang terbuka m enggum am kan
sesuatu—m engatakan bahwa dia m encintaiku, dan bahwa diriku
m erupakan segala-galanya baginya. Bibirnya m akin dekat, m akin
dekat, dan tangannya yang hangat sem akin m endekap badanku
kuat-kuat. Sesuatu yang m enyala m engalir di pem buluh darahku,
dan segala-galanya jadi gelap, aku m enggigil, dan kata yang
ingin kuucapkan supaya dia m enghentikannya tersum bat di
kerongkongan.
Tiba-tiba bibirnya terasa di atas pipiku, dan, dingin cam pur
gem etar kuhentikan, lalu m elihat padanya. Tak berdaya untuk
bicara atau bergerak—ngeri—m enunggu sesuatu, m enginginkan
sesuatu. Ini berlangsung hanya sejenak, tetapi itulah saat yang
m endebarkan jantung. Kulihat dia jelas sekali, kubaca wajahnya
dem ikian nyata—dahinya yang rendah yang begitu m irip dengan
dahi suam iku—tam pak dari pinggir topi jeram inya, hidungnya
yang lurus dan m anis dengan lubangnya yang m engem bang,
kum isnya yang panjang dan tebal beserta janggutnya, pipinya
yang dicukur licin serta lehernya yang hitam terbakar sinar
116 Leo Tolstoi

m atahari. Aku benci ter hadapnya, aku takut padanya, dia asing
bagiku, tetapi dalam pada itu betapa m erasuk dan m enggoda
keasingan ini, seorang yang kubenci m uncul di dalam diriku!
Betapa tak terta han kan hasratku un tuk m em biarkan diriku
dikecupi oleh m ulut yang kasap dan tam pan itu, untuk dipeluk
oleh tangan-tangan yang halus belaiannya serta bercincin pada
jarinya. Alangkah ingin aku m enjatuhkan diriku dengan kepala
tersuruk ke dalam rawa kenikm atan terlarang yang dengan tiba-
tiba terbuka di hadapanku dan sedang m enyeret aku!
“Aku dem ikian sengsara!” pikirku. “Apa jadinya andaikata
lebih banyak lagi kesialan yang m engerum uni diriku?”
Tangannya yang sebelah lagi dililitkannya ke tubuhku serta
dia m em bungkuk kepadaku. “Apa jadinya andaikata lebih banyak
lagi noda dan dosa tercurah ke atas kepalaku!”
“Je vous aim e,”3 dia berbisik dengan suara yang seperti
suam iku. Kuingat suam iku beserta bayiku sebagai m akhluk yang
pada suatu ketika begitu kukasihi, tetapi yang sekarang tiba-tiba
m usnah. Tiba-tiba aku m endengar L.M. m em anggilku dari sekitar
belokan. Aku lari kepadanya.
Aku m asuk ke dalam kendaraan, dan hanya setelah itu aku
m encuri pandang ke arahnya. Dia telah m em buka topinya dan
sedang tersenyum serta m engatakan sesuatu. Dia takkan tahu
bahwa dalam diriku ada kebencian terhadap dirinya yang tak
terperikan pada saat itu. Rupa-rupanya dem ikian tak bahagia
hidupku, dem ikian tak ada harapan hari depanku, dem ikian hitam
m asa lam pauku! L.M. sedang berbicara kepadaku, tetapi apa yang
dikatakannya itu tak kupaham i. Rasanya seperti dia sem ata-m ata
berbicara hanya karena m erasa kasihan saja padaku, dan buat
m enyem bunyikan pandangan yang m enistaiku, yang ada dalam
hatinya. Kurasakan kenistaan dan rasa belas yang m enghina ini

3
Aku m encintaim u.
Rumah Tangga yang Bahagia 117

dalam setiap kata dan kejapan m atanya. Pipiku serasa terbakar


karena m alu oleh karena laki-laki itu telah m encium ku, dan
ingatan kepada suam i dan anakku sudah tak tertahankan lagi.
Sendirian dalam kam ar, aku m erasa ingin m em ikirkan peri
keadaanku, tetapi aku takut sendirian. Tanpa kuhabiskan teh
yang tersedia untukku, aku m ulai m engepak—serta-m erta tanpa
berhen ti un tuk m em ikirkan m en gapa—beran gkatlah m en uju
Heidelberg, m enuju suam iku, dengan kereta api m alam .
Begitu aku m asuk bersam a babuku ke dalam gerbong kosong,
m aka berangkatlah kereta api dan udara segar m enghem bus
ke arahku dari jen dela. Aku m ulai sium an dan m em asan g
pen glihatan seteran g-teran gn ya ke m asa lam pau dan m asa
depanku. Kulihat seluruh kehidupan perkawinanku sejak kam i
pindah ke St. Petersburg dengan cara m em andang yang baru,
dan hati nuraniku jadi m eronta. Kehidupan kam i di pedusunan
sewaktu baru saja m enikah serta rencana-rencana yang kam i
buat ketika itu, buat pertam a kalinya kem bali hidup dalam
ingatanku, dan untuk pertam a kalinya aku bertanya pada diri
sendiri tentang kesenangan apakah yang telah diperoleh suam iku
selam a ini, lalu aku m erasa bersalah. “Tetapi m engapakah ia
tidak m elarang aku?” aku bertanya pada diri sendiri. “Mengapa
kemunaikan ini? Mengapa dia menjauhkan diri dari penjelasan?
Mengapa m enghina aku? Mengapa dia tidak m em pergunakan
pengaruh kekuatan cintanya terhadapku? Ataukah dia tidak
m encintaiku?” Tetapi betapapun besar kesalahannya, cium an
laki-laki itu telah m enem pel di pipiku, dan kurasakan itu di pipiku.
Sem akin dekat aku ke Heidelberg sem akin jelas tam pak suam iku
dalam bayanganku, pula sem akin ngerilah aku m em ba yangkan
bagaim ana nanti aku berjum pa dengannya. “Akan kukatakan
segala-galanya,” pikirku. “Kan kucucurkan air m ata penyesalan
dan dia pun akan m engam puniku,” tetapi aku sendiri tidak tahu
118 Leo Tolstoi

apa yang disebut “segala-gala nya” itu, begitu pula aku tak tahu
apakah dia juga m au m engam puniku.
Tetapi sesudah aku m em asuki kam ar dan m elihat m ukanya
yang tenang namun keheran-heranan, insyalah aku bahwa tak
perlu kukatakan apa-apa padanya, tak perlu m em buat pengakuan,
tak perlu m inta m aaf. Ke sedihan dan penyesalanku yang tak
terperikan ini harus tetap terkunci di dalam hatiku.
“Mengapa ke m ari?” katanya. “Aku pikir, akulah yang besok
pergi kepadam u.” Kem udian, sam bil m em andang dekat-dekat ke
m ukaku, dia kelihatan jadi gelisah. “Ada apa gerangan?” tanyanya.
“Tak ada apa-apa.” sahutku, ham pir tak dapat m em bendung
air m ata. “Kedatanganku ini untuk seterusnya. Aku siap kem bali
ke Rusia, besok pun boleh jika kau m enghendakinya.”
Untuk beberapa lam a dia diam saja, m engawasi aku dengan
teliti.
“Tetapi katakanlah apa yang terjadi,” ulangnya.
Merah m ukaku dan kujatuhkan pandangan m ataku ke bawah.
Ungkapan rasa terperkosa dan terhina terbayang di wajahnya.
Takut oleh pikiran yang tentunya bakal terlintas dalam benaknya,
kukatakan saja dengan gaya bersandiwara yang aku sendiri tak
tahu apakah aku m am pu m elakukannya.
“Tak terjadi apa-apa, aku hanya jem u saja dan m erasa tertekan
serta m ulai berpikir tentang hidup kita dan tentang dirim u.
Aku telah m em perlakukan kau tak sepantasnya dem ikian lam a!
Mengapa aku kaubawa ke suatu tem pat, sedangkan kau sendiri
tak m au pergi ke sana? Aku telah bersalah dem ikian lam anya,”
aku m engulangnya, dan kem bali lagi air m ata berlinang-linang
m em enuhi m ataku. “Mari kita pulang ke desa untuk selam a-
lam anya.”
“Ah, nanti dulu, Sayang! J angan tergesa,” katanya dingin.
“Mem ang aku pun girang bahwa kau ingin kem bali pulang ke
kam pung halam an, karena kita tak banyak uang, tetapi buat
Rumah Tangga yang Bahagia 119

tinggal di sana, itulah hanya m im pi belaka. Aku tahu bahwa kau


takkan pernah bisa tahan hidup di sana. Sekarang m inum lah teh,
itulah yang paling baik,” dan dia berdiri m em anggil pelayan.
Tatkala kulihat sorot m atanya yang ragu-ragu dan rikuh,
yang sedang ditujukan padaku, serta kubayangkan gerangan
apakah yang sedang dia pikirkan perihal aku, m aka aku pun
m erasa tersiksa oleh anggapan bahwa dialah sebenarnya yang jadi
sebab-m usababnya. Tidak! Tidak m ungkin dia m em aham i diriku
dan m em pedulikan aku. Aku berkata bahwa aku m au m elihat
anakku dulu, dan kutinggalkan dia. Aku ingin sendirian, lalu
m enangis, m enangis, m enangis....
9

RUMAH DI NIKOLSKOYE yang kosong dan sudah lam a tak kenal


api itu, kini hidup kem bali—tetapi apa yang dulu pernah hidup
di dalam nya telah m ati. Mam an sudah lam a tiada, dan kam i
m enyendiri pula sekalipun sekarang tak butuh lagi kesepian—
karena hanya akan m em berati kam i saja. Musim dingin berjalan
terseret-seret, aku sakit dan baru sem buh setelah kelahiran
an ak ku laki-laki yan g kedua. H ubun gan ku den gan suam iku
berlanjut sedingin seperti di kota, tetapi di sini di pedusunan,
setiap bilah papan di lantai, setiap serpih dinding, setiap potong
perabotan, m engingatkan aku padanya pada waktu kuperoleh
apa-apa yang telah hilang. Dan seolah-olah antara kam i berdua
m en gan ga luka yan g tak dapat pulih kem bali—seakan -akan
dia sedang m enghukum aku karena sesuatu sebab yang dia
pura-pura tak tahu. Tak ada yang perlu kum intakan m aaf,
tak ada alasan buat bertobat, satu-satun ya hukum an yan g
dijatuhkannya padaku ialah ketidaksudiannya untuk m em berikan
Rumah Tangga yang Bahagia 121

seluruh dirinya, seluruh jiwanya, seperti dulu. Tetapi dia juga tak
m em berikannya kepada siapa pun dan untuk apa pun—sem ua itu
seakan-akan sudah lenyap dari dirinya. Kadang-kadang tim bul
pikiran dalam benakku, apakah sebetulnya dia itu hanya pura-
pura saja dan m aksudnya hanya sekadar m enyiksa diriku, dan
bahwa sebenarnya perasaannya yang lam a itu m asih hidup dalam
dirinya dan sedang diusahakan supaya bangkit kem bali? Tetapi,
ia m enjauhi segala yang hendak dia percayai—seakan-akan dia itu
m encurigai sesuatu yang disangkanya kulakukan dengan dibuat-
buat, dan takut kalau-kalau segala perasaan yang tam pak terlihat
itu akan terasa sebagai sesuatu yang m enggelikan saja. Sorot m ata
dan suaranya berkata, “Aku tahu segalanya, tahu benar-benar—
m alahan tahu apa yang bakal kaukatakan. Aku tahu bahwa kau
akan m engatakan ini-itu.” Mula-m ula aku m erasa tersinggung
oleh ketakutannya untuk m em percayaiku lagi, tetapi perasaan
ini kem udian jadi biasa, karena aku tahu bahwa yang dem ikian
bukanlah takut, m elainkan kese gananlah yang m enyebabkan
dia m enjauhkan diri dari sikap percaya padaku. Aku sendiri tak
dapat begitu saja m engatakan bahwa aku cinta padanya, atau
m em inta dia agar m engucapkan doa bersam a-sam a denganku,
atau m em anggil dia untuk m endengarkan aku berm ain piano.
Suatu aturan sopan-santun tertentu m enguasai tingkah-laku
kam i m asing-m asing, seorang terhadap lainnya. Ia punya urusan,
dan aku tak perlu cam pur tangan, dan aku pun sekarang tak
ada hasrat untuk m elakukannya. Aku m erasa enggan untuk
m engharubiru perasaan hatinya lagi. Anak-anak m asih terlalu
kecil untuk m em pertem ukan kam i.
Tetapi tibalah m usim sem i, dan Katya bersam a Son ya
datang ke dusun buat m elewatkan m usim panas. Rum ah kam i
di Nikolskoye sedang dibangun kem bali, karena itu kam i pindah
ke Pokrovskoye. Rum ah kam i m asih seperti rum ah lam a dengan
beranda depan, m eja-tarik dan piano di ruang duduk yang
122 Leo Tolstoi

cerah, kam arku yang dulu dengan tirai jendela yang putih serta
m im piku dari m asa gadis seakan-akan m asih ada di baliknya dan
dilupakan. Di kam arku itu ada dua buah ranjang kecil—yang satu
ranjangku yang dulu, kini tem pat aku pada m alam hari m em buat
tanda salib pada tubuh Kokosha, yang tergolek di situ dengan
tangannya yang m ontok direntangkan, lainnya ranjang kecil
sekali, di situlah wajah Vanya yang m ungil m enyem bul dari kain-
kain selim ut badannya. Setelah m em buat tanda salib pada tubuh
m ereka, aku berdiri di tengah-tengah kam ar yang sunyi itu. Dan
tiba-tiba m uncullah pem andangan dulu yang telah kulupakan,
pem andangan sewaktu aku m asih gadis, datang m em anjat dari
sudut, dari dinding, dari tirai. Kudengar nyanyian sewaktu aku
m asih rem aja. Apakah yang terjadi dengan m im pi-m im piku itu?
Dengan nyanyian yang indah m erdu itu? Ham pir-ham pir tak
perlu aku m engharapkannya karena m em ang telah datang benar-
benar. Mim pi-m im piku yang kalang-kabut dan sam ar-sam ar
telah jadi kenyataan, dan kenyataan jadi kehidupan yang tak kenal
belas kasihan, banyak liku-likunya, pula tak m enggem birakan.
Dan di sini segalanya tetap tinggal sam a—kulihat kebun yang itu
juga m elalui jendela, halam an rum put yang itu juga, jalan setapak
yang itu juga, bangku yang itu juga di dekat ngarai, burung bulbul
yang itu juga yang sedang bernyanyi di dekat kolam , bunga lilak
yang itu juga yang sedang m ekar penuh, dan bulan yang itu juga
yang tengah m engam bang di atas rum ah. Dan pada waktu yang
sam a segalanya telah berubah begitu m engerikan, begitu sukar
untuk dipercaya! Segala yang tadinya dem ikian akrab dan indah
jadi dem ikian dingin dan asing, jadi sam ar-sam ar.
Seperti dulu, aku pun sekarang duduk bersam a Katya di
ruang tam u, sam bil berbicara pelan-pelan tentang dia. Tetapi
Katya yang ini adalah Katya yang sudah keriput dan tam pak sakit-
sakitan, m atanya tak lagi bercahaya seperti dulu—bukan m ata
yang penuh kegem biraan dan harapan—tetapi m ata yang penuh
Rumah Tangga yang Bahagia 123

dengan ucapan turut m erasakan kesedihan dan penyesalan.


Apa yang kam i bicarakan tak lagi sam pai m engasyikkan seperti
kalau kam i sedang m em percakapkan dia dulu, sekarang kam i
duduk-duduk seraya m enilai-nilai dia. Kam i tak lagi bertanya-
tanya m engapa kam i bahagia, pula tak ada keinginan untuk
m em bicarakan seluruh dunia yang sedang kam i pikirkan. Kam i
duduk sam bil berbisik-bisik, satu sam a lain, bagaikan orang yang
sedang berkom plot. Beratus-ratus kali kam i saling m enanyakan
m engapa segala sesuatunya jadi berubah m enyedihkan? Dan
Sergei Mikhailich tetap begitu juga, seperti dulu, hanya garis
an tara alisn ya kian m en gerut lebih dalam , dan ram but di
pelipisnya m em utih, serta sorot m atanya yang seperti m enyelidik
itu selalu saja m enghindar dari aku. Dan aku pun begitu juga,
nam un dalam diriku tak lagi ada cinta, juga tak ada keinginan
untuk m encintai. Aku m erasa tak perlu bekerja, dan tak ada
kepuasan dalam diriku. Betapa jauhnya, betapa tak m ungkinnya
aku kem bali bisa khidm at beribadat seperti dulu, dan dengan
cintaku yang lam a terhadapnya, pula peri kehidupanku dulu yang
penuh. Aku tak lagi m em aham i apa yang dulu tam pak terang
benderang dan benar, kebahagiaan hidup untuk orang lain.
Mengapa untuk orang lain, sedangkan untuk diri sendiri saja aku
sudah tak ada hasrat buat hidup?
Musik telah sam a sekali kutinggalkan sejak aku pergi ke St.
Petersburg, tetapi sekarang piano tua dan m usik lam a kem bali
m enarik hatiku.
Pada suatu hari aku m erasa tidak enak badan dan tinggal
sendirian di rum ah sewaktu Katya dan Sonya pergi bersam a dia
ke Nikolskoye untuk m elihat sam pai di m ana rum ah itu selesai
dikerjakan. Meja telah disiapkan untuk m inum teh, aku turun ke
bawah dan duduk pada piano dan m enunggu m ereka. Kubuka
Beethoven pada Sonata Quasi Una Fantasia dan m ulailah aku
berm ain. Tak ada seorang pun yang m elihat atau m endengarkan,
124 Leo Tolstoi

jendela yang m enghadap ke kebun terbuka, dan suara yang syahdu


m enyedihkan serta akrab m em enuhi ruangan. Aku telah selesai
dengan bagian pertam a, dan sungguh tanpa kusadari—hanyalah
karena dorongan kebiasaan belaka—aku m elirik ke sudut tem pat
dia biasanya m endengarkan. Ia tidak ada di sana, kursinya ada
di sudut, telah lam a tak ada yang m engganggu. Lewat jendela
kulihat jelas rum pun lilak terpam pang ditim pa sinar m atahari
yang sedang terbenam , dan udara sore hari yang sejuk m asuk
ke dalam m elalui jendela. Kuletakkan siku di atas piano, la lu
m ukaku kutum pangkan di atas tangan, m erenungkan dengan pilu
m asa lam pau yang telah pergi takkan kem bali, dan dengan m alu-
m alu kupikirkan pula m asa depan. Tetapi aku tidak m elihat apa-
apa pada m asa depanku. Rasa-rasanya aku m enginginkan yang
tiada dan m engharapkan yang tiada. “Dapatkah aku m enem puh
hidup ini?” Aku bertanya-tanya, sam bil m engangkat kepala,
lalu berm ain kem bali untuk m elupakannya dan bukan untuk
m engingatnya, dan lagi-lagi itulah Andante yang sam a. “Tuhanku
Yan g Pen gasih,” kuhirup n apas dalam -dalam , “am pun ilah
sekiranya aku bersalah, dan kem balikanlah padaku sem ua yang
pernah dem ikian indah, atau ajarilah aku bagaim ana seharusnya,
bagaim ana aku m enem puh hidup ini.”
Kudengar suara roda kereta di atas rum put, dan bunyi
langkah kaki yang hati-hati dan tak asing lagi terdengar di pintu
m uka dan di beranda, lalu sunyi. Nam un bunyi kaki yang tak
asing itu tak lagi m em bangkitkan perasaanku yang dulu. Ketika
perm ainanku habis, suara langkah kaki itu ada di belakangku,
dan sebuah tangan diletakkan di atas bahuku.
“Betapa m erdu sonata itu,” katanya.
Aku tidak m enjawab.
Aku m enggelengkan kepala, tak m elihat padanya, hingga
dengan begitu dia takkan tahu jejak-jejak perasa anku yang ada
di wajahku.
Rumah Tangga yang Bahagia 125

“Beberapa m enit lagi m ereka akan tiba di sini—kudanya


riang, karena itu m ereka pergi keluar dan sedang m enuju ke m ari
dengan cepat,” ujarnya.
“Kita tunggu saja di sini sebentar,” kataku sam bil m au ke-
luar dari beranda dengan harapan dia akan m engikutiku, tetapi
yang dia tanyakan hanyalah anak-anak, lalu ia pergi m enem ui
m ereka. Lagi-lagi kehadirannya dan suaranya yang ram ah-tam ah
tapi tak lagi m esra itu m em beri kesan bahwa akulah yang salah
duga, bahwa akulah yang telah kehilangan sesuatu. Apa lagi yang
kuinginkan? Dia seorang suam i yang baik, ram ah, dan cakap,
seorang bapak yang baik—dapatkah aku m inta lebih dari itu?
Aku pergi ke luar beranda dan duduk di bawah tenda di bangku
yang itu juga, bangku yang kududuki dulu tatkala dia m enyatakan
cintanya padaku. Matahari telah terbenam dan sinar senja m ulai
tam pak, awan hitam tergantung di atas rum ah dan di atas kebun,
dan hanya di atas pepohonan terlihat garis-garis langit yang
cerah berhiaskan cahaya lem bayung dari m atahari yang lagi
terbenam dengan bintang yang baru saja m uncul. Bayang-bayang
awan m enjalari setiap yang ada, dan yang ada sedang m enunggu
curahan ringan hujan m usim sem i. Angin m ati, tak selem bar pun
daun dan rum put bergoyang, harum sem erbak bunga lilak dan ceri
burung begitu m enyengat hidung hingga seluruh udara seakan-
akan sedang pesta bunga. Harum bunga itu m em enuhi kebun
dan beranda, datang bergelom bang dem i gelom bang, terkadang
lem ah, terkadang kuat m enyengat. Manusia ingin m em ejam kan
m atanya, tak ingin berkata-kata, tak ingin m endengarkan apa-
apa, yang ada hanyalah m enghirup-hirup dalam keharum an
yang nyam an ini. Bunga dahlia dan m awar m asih belum m ekar,
kelihatannya seperti m erayap perlahan-lahan pada pagar. Katak
berkerak-kerok nyaring dan bergetar di ngarai, m eski bunyinya
itu buat terakhir kalinya sebelum hujan m enghanyutkan m ereka
ke dalam air. Suara yang m elengking tinggi terdengar m engatasi
126 Leo Tolstoi

segala keram aian ini. Burung bulbul sedang bersahut-sahutan,


m erisaukan hati, ketika m ereka m elayang-layang terbang dari
satu tem pat ke lain tem pat. J uga pada m usim sem i ini kukira
burung itu sedang m em buat sarangnya dalam sem ak-sem ak
di bawah jendela, tetapi tatkala aku keluar kudengar suaranya
datang dari lorong, bersiul dan kem udian sunyi senyap, serta
m enunggu-nunggu.
Sia-sia aku m encoba m enenangkan diriku, aku pun sedang
m en un ggu-n un ggu sesuatu dan sedan g pen uh diliputi rasa
penyesalan.
Ia datang ke bawah dan duduk di sisiku.
“Aku khawatir Sonya dan Katya akan basah kuyup,” katanya.
“Ya,” gum am ku, dan kem bali lagi kam i berdiam diri, lam a
sekali.
Tak ada angin, dan awan m engendap kian rendah kian
rendah, segalanya jadi sem akin sepi dan sem akin harum . Tiba-
tiba titik-titik hujan jatuh di atas atap tenda seperti m engam bul.
Yang lainnya jatuh di atas batu kerikil jalan setapak. Titik-titik
hujan yang agak besar jatuh di atas daun-daun burdock yang
lebar, sesudah itu m aka tercurahlah hujan yang segar, deras dan
lebat. Seketika sunyilah burung bulbul dan katak, hanya ada
satu suara yang gem etar m em bubung di udara, m eski akhirnya
m enghilang ditelan hujan, dan beberapa ekor burung, yang
agaknya bersem bunyi di bawah daun-daunan yang kering di
dekat beranda, dengan teratur m engeluarkan dua nada suaranya
yang m enjem ukan. Dia bangkit dan m au pergi.
“Mau ke m ana?” tanyaku, aku m enahannya. “Begitu m e-
nyenangkan di sini.”
“Aku harus pergi m em bawa payung dan sepatu rangkap buat
m ereka.”
“Mereka tak m em erlukannya—sebentar lagi hujan pun akan
reda.”
Rumah Tangga yang Bahagia 127

Ia m engiyakan aku, dan kam i tinggal di situ bersam a-sam a


di dekat kisi-kisi beranda. Kusandarkan lenganku di atas kisi-kisi
beranda yang basah dan licin lalu kutarik kepalaku dari bawah
tenda. Hujan yang sejuk m em ercik kuat pada ram but dan leherku.
Gum palan awan kecil di atas berangsur-angsur m enipis dan terang
seperti sedang m engosongkan dirinya di atas kam i, kem udian
suara hujan yang m enderap beralih m enjadi hujan m enitik jatuh
dari langit dan daun-daunan. Kem bali katak di bawah m ulai lagi
berkerak-kerok, kem bali lagi burung bulbul m em ilukan hati dan
bersahut-sahutan. Sekitar kam i cuaca berangsur terang.
“Bukankah itu m enakjubkan?” katanya, sam bil duduk di atas
palang kisi-kisi dan m engusap-usap ram butku yang basah.
Elusan yang sederhana ini seperti suatu penyesalan yang
ditujukan kepadaku dan aku m ulai m enangis.
“Apa lagi yang dibutuhkan oleh seorang laki-laki?” tanyanya.
“Aku begitu puas kini—tak m au apa-apa lagi, aku benar-benar
bahagia!”
“Bukan kebiasaanm u untuk m engatakan bahagia,” kataku
dalam hati. “Kau tak biasa m engatakan begitu betapapun besarnya
kebahagiaan yang kaurasakan, kau m asih m enginginkan sesuatu.
Dan sekarang kau tenang bahagia, sedangkan hatiku penuh
dengan penyesalan yang tak terperikan serta air m ata yang tak
pernah m engalir keluar.”
Akan tetapi kukatakan den gan n yarin g, “Aku m erasa
puas juga, tetapi kepuasan dem ikian ini m em buatku sedih.
Segalanya begitu kacau-balau dalam diriku, begitu tak lengkap,
aku senantiasa m enginginkan sesuatu, m eskipun segala-galanya
di sini begitu indah dan penuh dengan istirah. Tak pernahkah
alam terbangun dalam dirim u laksana kesenangan yang m urung,
seakan-akan kau m enginginkan apa-apa yang tak m ungkin, dan
m enyayangkannya karena ada sesuatu yang telah pergi?”
Dia m engangkat tangannya dari kepalaku dan sunyi sebentar.
128 Leo Tolstoi

“Biasanya begitu, terutam a kalau m usim sem i,” katanya,


seperti sedang m engingat-ingat sesuatu. “Aku juga, tak dapat
tidur pada m alam hari, m enanti dan m engharapkan se suatu—
m alam -m alam yang indah itu! Tetapi kem udian se gala-galanya
ada di depanku, dan sekarang segala-galanya ada di belakang,
kini cukuplah aku dengan yang ada, aku cukup puas.” Dia
m engakhirinya dengan penuh hati-hati serta m eyakinkan hingga,
m eskipun terasa sakit di hatiku sewaktu m endengarkannya,
nam un aku percaya bahwa dia berbicara benar.
“Dan karena itu tak ada yang kauinginkan?” ta nyaku.
“Tak satu pun yang tak m ungkin,” jawabnya, m enduga-duga
apa yang sedang kurasakan. “Kepalam u basah,” tam bahnya,
dan tangannya kem bali m engusap-usap ram butku, m em belaiku
seperti aku ini seorang anak. “Kau iri hati pada daun-daunan
dan rum put-rum putan karena m ereka dibasahi hujan—kau ingin
seperti daun dan rum put dan hujan. Tetapi aku sudah cukup puas
dengan hanya m elihat m ereka itu, seperti pula terhadap setiap
yang m asih m uda dan cantik dan bahagia.”
“Dan tak ada sesuatu yang kausesalkan di m asa yang lam pau?”
Aku m eneruskan bertanya, m erasa sem akin berat sem akin berat
di dalam hati.
Dia m en im ban g-n im ban g seben tar. Aku dapat m elihat
ketakutannya untuk berterus terang.
“Tidak,” katanya singkat.
“Itu tidak betul! Tidak betul!” teriakku, sam bil m em balik
dan m elihat ke dalam m atanya. “Tidakkah kau m enyesali apa-apa
yang telah hilang dari kita?”
“Tidak,” ulan gn ya. “Aku berterim a kasih kepada m asa
lam pau, bukan m enyesal.”
“Tetapi apakah kau tak ingin agar itu kem bali?” aku m endesak.
Dia berpaling dan m em andang ke dalam kebun.
Rumah Tangga yang Bahagia 129

“Aku tak m enginginkannya lagi, karena kalau begitu aku


m en gin gin kan sesuatu yan g m ustahil,” katan ya. “Itu tidak
m ungkin.”
“Dan apakah kau tidak pernah m enem ukan apa-apa yang
salah pada m asa lam pau? Tak pernah ada kejengkelan, baik
terhadap dirim u ataupun terhadap diriku?”
“Tak pernah. Segala-galanya punya itikad baik.”
“Coba dengarkan,” kataku, sam bil m enyentuh tangannya
agar dia m elihat padaku. “Mengapa kau tak pernah m engata kan
padaku bahwa kau ingin agar aku dapat hidup sesuai dengan apa
yang kaupandang? Mengapa kauberi aku kebebasan yang aku
sendiri tak tahu bagaim ana harus m em pergunakannya? Mengapa
kau berhenti m engajariku? Sekiranya kau m enginginkannya,
sekiranya kau m em bim bing aku, takkan pernah ada yang terjadi,
tak ada.” Dan suaraku naik jadi suara kejengkelan dan kekesalan
yang dingin, tanpa cinta seperti dulu.
“Apakah ada sesuatu yan g takkan pern ah terjadi itu?”
tanyanya keheranan, m em balik kepadaku. “Tak ada yang takkan
pernah terjadi. Segala-galanya adalah baik, sangat baik,” dia
m enam bahkan sam bil tersenyum .
“Apakah boleh jadi,” aku bertan ya-tan ya dalam hati,
“bahwa dia itu tak m em aham i aku, atau lebih jelek lagi tak m au
m em aham iku?” dan air m ataku m erem bes keluar.
“Takkan pern ah terjadi, hin gga aku sen an tiasa m erasa
dihukum oleh ketidakacuhan, m alah kesom bongan, m eski kau
tak m enim pakan itu kepadaku,” aku m elolong. “Takkan pernah
terjadi, sehingga kau m eram pas dari aku apa yang kupuja-puja
walau aku polos sekalipun.”
“Mengapa, apa yang kaukatakan itu, Sayang?” kata nya seperti
tak m em aham i diriku.
“J angan m em otong pem bicaraan, biar kukatakan sem uanya.
Kau telah m engam bil segala-galanya dariku, kepercayaanm u,
130 Leo Tolstoi

cintam u, penghargaanm u, dan apa-apa yang pernah ada padaku,


aku tak lagi percaya bahwa kau m encintaiku. Tunggu, harus
kukatakan segala yan g telah m en yiksa diriku begitu lam a,”
kataku ketika m encoba lagi berbicara. “Apakah aku salah bila
aku tak tahu hidup, dan kau m em biarkan aku belajar sendiri?
Apakah aku salah, tatkala kupaham i apa-apa yang kuinginkan,
tatkala ham pir satu tahun aku berdaya upaya dengan segala cara
agar aku kem bali kepadam u, sedangkan kam u m alah m enam pik
aku, seakan-akan kam u tak tahu apa yang kuinginkan? Dan kau
berlaku sedem ikian rupa sam pai tak ada penyesalan, dan sam bil
begitu m em buat diriku supaya m erasakan sebagai satu-satunya
orang yang bersalah dan tak bahagia. Ya, kau ingin m elem parkan
aku kem bali ke dalam kehidupan yang bisa m em buat m alapetaka
baik terhadapm u m aupun terhadapku.”
“Apa yang m enyebabkan kau punya pikiran begitu?” tanyanya,
benar-benar heran dan m erasa diberitahu akan adanya bahaya.
“Bukankah kau yang m engatakan kem arin bahwa aku takkan
pernah dapat tinggal di sini? Dan bukankah kau yang tak henti-
hentinya berkata bahwa pada m usim dingin kita akan kem bali
ke St. Petersburg yang aku benci? Daripada kau m enolong aku,
m alah aku dibiarkan, tak pernah ada kata-kata halus dan m esra
yang kaukatakan. Dan pabila kem udian aku jatuh sam a sekali kau
akan m enistaiku dan bergem bira bahwa aku telah jatuh.”
“Tunggu,” katanya keras dan dingin. “Apa yang kaukata kan
itu tidak benar. Itu hanya m enandakan bahwa kau punya pikiran
jelek terhadapku, dan bahwa kam u tidak....”
“Tidak m encintaim u? Katakan itu! Katakan itu!” kataku
m engakhirinya, dan m enangis m elolong-lolong. Aku duduk di
bangku dan m enutup m uka dengan sapu tangan.
“Dan itulah dia, bagaim ana caranya dia m em aham iku!”
pikirku, sam bil m encoba m enahan isak tangis yang m enyesak
pada diriku. “Cinta kam i telah pergi, pergi,” begitulah selalu
Rumah Tangga yang Bahagia 131

suara yang ada dalam diriku. Apa yang telah kukatakan itu
m enyinggung hatinya. Suaranya tenang dan dingin.
“Aku tak tahu apa yang kausesalkan pada diriku,” katanya
m ula-m ula. “Andaikata aku tidak m encintaim u sebagaim ana
biasanya.”
“Sebagaim ana biasanya!” gum am ku ke dalam sapu tanganku,
dan air m ata kegetiran m akin m enderas.
“…kem udian sudah waktunya bahwa yang dem ikian itu
salah, juga kita sendiri. Setiap waktu punya bentuk cintanya
sendiri-sendiri.” Dia berhenti. “Apakah aku harus m enyatakan
seluruh kenyataan? Sekiranya kau tetap berpegang teguh pada
ketulusan hatim u.... Seperti pada tahun ketika aku pertam a
kalinya m engenalm u, aku tidak dapat tidur sem alam -m alam an
karena m em ikirkan kam u dan karena cinta yang tum buh dalam
hati yang kian m em besar. Dem ikian pula di St. Petersburg dan
di luar n egeri terdapat m alam -m alam yan g m en dahsyatkan
bilam ana aku tak dapat tidur, karena cinta yang berkobar dalam
hati kupupus habis. Cinta itu sendiri tak kubinasakan, yang
kupupus hanyalah apa-apa yang m enyiksa diriku, aku m enem ukan
kedam aian, dan tetap m encintaim u, tetapi caranya sudah lain.”
“Kaunam akan itu cinta, bukan… itulah siksaan,” gum am ku.
“Mengapa kaubiarkan aku hidup di dalam kalangan pergaulan
itu sekiranya kau berpendapat bahwa cara hidup yang dem ikian
adalah nista, hingga kau berhenti m encintaiku dem i cinta itu
sendiri?”
“Bukan pergaulannya, Sayang.”
“Mengapa kau tidak m em pergunakan kekuatanm u untuk
m enguasai diriku?” aku m eneruskannya. “Mengapa kau tidak
m em egan g aku erat-erat, m em bun uhku? Itulah lebih baik
daripada m enghilangkan segala yang m em buat diriku bahagia.
Aku akan puas dan tidak m alu.”
132 Leo Tolstoi

Kem bali aku m en an gis tersedu-sedu sam bil m en utup


m ukaku.
Pada saat itu Katya dan Sonya, basah dan riang, m em asuki
beranda, tertawa-tawa dan berbicara keras-keras, tetapi begitu
dilihatnya kam i ada lantas saja m ereka m engundurkan diri tanpa
berkata apa-apa.
Lam a sekali kam i duduk dalam kesunyian setelah m ereka
pergi. Aku m enjerit dalam hati, lalu aku m erasa lega. Kulirik
dia. Dia sedang duduk dengan kepala di atas tangannya, dan
tam paknya seperti ingin m engatakan sesuatu untuk m enjawab
lirikanku, nam un hanya m enge luh keras dan kem balilah ia
m em benam kan kepalanya ke dalam tangannya.
Kudekati dia dan kutarik tan gan n ya. Dia m em balikkan
badannya, m em andang sam bil m erenung padaku.
“Ya,” katanya, seakan-akan dia m elanjutkan lagi pikirannya.
“Kita ini, sem ua, tetapi terutam a kau sebagai wanita, harus
hidup m elalui kedangkalan kehidupan sedem ikian agar dapat
m enem ukan kehidupan yang sebenarnya. Tak seorang pun dari
kita dapat m em etik m anfaat dari pengalam an orang lain. Kam u
sedang jauh dari hidup yang dangkal dan m anis ini, dan aku
m em perkenankan kau pergi untuk m engalam inya sendiri, karena
aku m erasa bahwa aku tidak punya hak untuk m em batasi dirim u,
m eskipun aku sendiri telah lam pau m asanya untuk berbuat
begitu.”
“Men gapa kau tin ggal bersam a aku dan hidup m elalui
pengalam an itu bersam a aku bila kau m encintaiku?” tanyaku.
“Karen a m eskipun aku m en gin gin kan n ya agar tidak
m engalam i hidup serupa itu, toh kam u tidak akan m engindahkan
aku dengan hanya berkata-kata saja. Kau sendiri harus m elihatnya,
dan kau telah m elakukannya.”
“Kau terlalu ban yak pertim ban gan dan terlalu sedikit
m encinta,” kataku.
Rumah Tangga yang Bahagia 133

Kem bali kam i berdiam diri.


“Apa yang baru kaukatakan m em ang kejam , tetapi itu benar,”
katanya sam bil serentak bangkit, kem udian m elangkah kian
ke m ari di beranda. “Ya, itulah benar. Dulu aku salah,” dia
m enam bahkan, seraya berhenti di depanku. “Seharusnya salah
satu kupilih, yakni tidak m em biarkan diriku m encintaim u, atau
aku m encintaim u dengan cara yang lebih sederhana.”
“Marilah kita lupakan segalanya,” kataku m alu-m alu.
“Tidak, apa yang telah terjadi tak dapat dihapuskan, takkan
pernah, takkan pernah dapat dihapuskan,” dan suaranya sem akin
lem but ketika dia m engatakan itu.
“Apa pun dapat dihapuskan,” kataku sam bil m eletakkan
tanganku di atas pundaknya.
Dia m eraih tanganku dan m enekannya.
“Taklah benar pabila tadi kukatakan bahwa aku tidak punya
rasa penyesalan. Aku m enyesali m asa lam pau. Aku m eratapi cinta
yang telah m ati, cinta yang takkan hidup kem bali itu. Siapakah
yang bersalah dalam hal ini? Tak tahu aku. Cinta tetap, tetapi
bukan seperti yang pernah terjadi. Tem pat untuk cinta telah
ditinggalkan, tetapi cinta itu sendiri telah m engalam i penderitaan,
tak ada lagi daya kekuatan atau tenaga yang tinggal. Kita hanya
dapat m engenangkannya dan m erasa bersyukur, tetapi....”
“J angan katakan itu,” aku m enyela. “Segalanya akan sebiasa
lagi bagiku. Bisa ‘kan, begitu?” aku bertanya sam bil m em andang
ke dalam niatannya. Tetapi m atanya itu bening dan hening, pula
tak m elihat m ataku dalam -dalam .
Dan tatkala aku berkata, aku m enyadari bahwa apa yang
kukem ukakan sebagai pem belaan itu tidaklah m ungkin. Dia
tersenyum —senyum tenang dan ram ah, senyum orang yang
tam paknya telah tua.
“Kau benar-benar m asih m uda, sedangkan aku sudah tua!”
katanya. “Apa yang ada dalam diriku tak lagi seperti yang kam u
134 Leo Tolstoi

cari—m engapa m au m enipu diri sendiri?” tam bahnya, sam bil


terus tersenyum .
Aku berdiri diam di sam pingnya dan hatiku m erasa lebih
ringan.
“Tak m au kita m encoba m engem balikan apa yang telah
pergi,” katanya m enyim pulkan. “Tak m au kita m em bohongi diri
sendiri. Dan jika tak ada lagi kecem asan dan kegirangan lam a,
m arilah kita m engucap syukur untuk itu! Tak ada yang kita cari,
tak ada yang m engharubiru kita. Tak sedikit kebahagiaan yang
telah kita punyai. Sekarang sudah waktunya kita m enyisih buat
m em beri jalan padanya,” katanya sam bil m enunjuk kepada Vanya
yang ada dalam pangkuan perawat yang sedang berhenti di pintu.
“Nah, begitulah, Sayang,” dia m engakhirinya sam bil m erunduk,
m encium aku pada kepala. Dan cium annya itu bukan cium an
seorang pencinta, m elainkan seperti cium an kawan lam a.
Dan dari kebun, datanglah keharum an m alam —lebih keras
dan lebih nyam an. Lalu kian syahdu bunyi dan kesunyian, kian
berkelap-kelip bintang-bintang bersinar. Aku m elihat padanya,
tiba-tiba saja hatiku m erasa lebih ringan, seolah-olah syarafku
yang sakit telah dipindahkan. Dengan jelas dan tenang aku
m enyadari bahwa cinta m asa itu telah pergi untuk selam a-
lam anya, dan bahwa bukan saja tak m ungkin untuk m enghidupkan
kem bali, tetapi m alah akan sakit dan m erana buat m elakukannya.
Dan apa yang telah terjadi benar-benar m enakjubkan, karena
bukankah m asa itu seakan-akan telah m em bahagiakan? Ah,
alangkah jauhnya m asa dulu, alangkah jauhnya m asa dulu itu
terjadi!
“Kita telah lupa m inum teh,” katanya, dan kam i m asuk
ke kam ar tam u bersam a-sam a. Di pin tu m asuk, kem bali
kam i bertem u dengan perawat yang m em bawa Vanya dalam
pelukannya. Kuam bil bayi itu, kuselim uti kakinya yang putih
kem erah-m erahan, kudekap dan kucium dia, dengan lahapnya
bibirku m encium i dia. Bayi itu m erekahkan jari-jarinya, seakan-
akan terkantuk-kantuk, kem udian m atanya yang tersilau-silau
itu dibukanya, seperti m encari sesuatu atau m engingat-ingat
sesuatu. Tiba-tiba begitu saja m atanya m enatap padaku, dan
cahaya berkilat dalam m atanya, kerenyut bibirnya yang penuh,
lalu m em bukakan sebuah sen yum an . “Milikku, seluruhn ya
m ilikku!” pikirku. Dengan segala denyut kebahagiaan yang ada
dalam sekalian anggota badanku kudekap dia ke dada, hingga
nyaris m enyakiti tubuhnya. Lalu m ulailah aku m engecupi kakinya
yang kecil dan kedinginan itu, kem udian perut dan tangannya,
kepalanya yang m ungil itu kuselim uti dengan kain wol. Suam iku
m engham piri aku. Cepat-cepat kuselim uti m uka sang bayi, tapi
terbuka lagi.
“Ivan Sergeich!” kata suam iku, sam bil m enggam it ke bawah
dagunya dengan tangannya. Tetapi selim ut Ivan Sergeich buru-
buru ditutupnya kem bali. Hanya akulah yang telah m em andang
lam a-lam a kepadanya. Aku m elirik kepada suam iku, dan m atanya
tersenyum m elihat padaku. Dalam beberapa saat lam anya, untuk
pertam a kalinya aku m erasa gem bira dan terasa ringan di dalam
hati tatkala aku m enatap ke dalam dirinya.
Hari itu berakhirlah petualangan cintaku dengan suam iku.
Cintaku yang lam a tetap m erupakan kenang-kenangan yang indah
dan takkan kem bali. Tetapi sesuatu perasaan baru, perasaan cinta
terhadap anak-anakku dan bapaknya, m eratakan jalan awal
kehidupan lain yang bahagia, sesuatu yang lain sam a sekali, dan
kehidupan ini tak pernah berakhir sam pai hari ini.

[•]
Leo Tolstoi

PENGARANG RUSIA yang terkenal ini dilahirkan pada tanggal


28 Agustus 1828. Ia lebih suka belajar sendiri daripada bersekolah,
tapi sem pat belajar bahasa-bahasa asing dan ilm u hukum di
Universitas Kazan. Karangan-karangan J ean J aques Rousseau
berpengaruh besar pada alam pikiran, cita-cita dan hidupnya.
Setelah hidup senang sam pai tahun 1851, ia m endaftarkan diri
m enjadi anggota resim en artileri di Kaukasus, daerah antara
Laut Hitam dan Laut Kaspia. Ia turut serta dalam Perang Krim ea
dan sesudah m em pertahan kan Sebastopol ditulisn ya Kisah-
kisah Sebastopol yang m em buat nam anya m ulai dikenal sebagai
pengarang. Bukunya Masa Kanak-kanak m endapat sam butan
baik di m ana-m ana, dem ikian pula buku berikutnya Masa Muda
dan Masa Rem aja.
Tahun 1859 ia m endirikan sekolah untuk anak-anak petani.
Untuk keperluan itu ia m em pelajari m etodik dan didaktik di St.
Petersburg, J erm an, Prancis, Italia, dan Inggris. Sekolahnya itu
kem udian m enjadi contoh bagi sekolah-sekolah di negeri Rusia.
Rumah Tangga yang Bahagia 137

Tahun 1862 ia m enikah dengan Sofya Bers, gadis yang


lebih m uda 16 tahun daripadanya, dan dari perkawinannya itu
m em peroleh 13 orang anak. Rom an besarnya Perang dan Dam ai
m en ggem parkan pem bacan ya, disusul den gan rom an An n a
Karenina, sehingga ia diakui sebagai pengarang terbesar di Rusia.
Tapi bukunya yang berjudul Sebuah Pengakuan m enandakan
adanya perubahan dalam hidup dan karyanya, ia m enjadi seorang
nasionalis dan m oralis yang ekstrem . Ia m enulis artikel-artikel
tentang agam a, m em buang gelar Count-nya, berpakaian seperti
petani, dan m enerbitkan buku-buku tipis yang berharga m urah
agar orang-orang m iskin dapat m enikm ati kesusastraan. Karena
cita-cita dan hidupnya yang ekstrem itu, ia bukan hanya tidak
disukai oleh gereja dan pem erintah, tapi juga oleh istrinya
sehingga lam a-lam a rum ah tangganya terasa olehnya sebagai
neraka. Akhirnya Tolstoi m eninggal dunia tanggal 7 Novem ber
1910 , tak lam a setelah ia m elarikan diri dari rum ahnya.
LeO TOLSTOI
rUmah TanGGa YanG BahaGIa

R umah Tangga yang Bahagia merupakan kisah cinta yang


sederhana antara Marya Alexandrovna dan Sergei Mikhailich.
Dengan gambaran detail suasana pedesaan dan gejolak perasaan
Marya, Tolstoi menyajikan cerita ini dengan sangat memikat dan
gempita.

Leo Tolstoi dilahirkan pada 28 Agustus 1828. Tahun 1859 ia


mendirikan sekolah untuk anak-anak petani dengan bekal ilmu
metodik dan didakik dari St. Petersburg, Jerman, Prancis, Italia, dan
Inggris. Sekolahnya kemudian menjadi contoh bagi sekolah-sekolah
di negeri Rusia. Roman besarnya Perang dan Damai menggemparkan
pembaca, disusul dengan roman Anna Karenina, sehingga ia diakui
sebagai pengarang terbesar di Rusia. Bukunya yang berjudul Sebuah
Pengakuan menandakan perubahan dalam hidup dan karyanya yang
menjadikannya seorang nasionalis dan moralis ekstrem.

SASTRA

KPG: 59 16 01226

KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA)


Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3, Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3359; Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com
KepustakaanPopulerGramedia; @penerbitkpg; penerbitkpg

Anda mungkin juga menyukai