Rumah Tangga Yang Bahagia (Leo Tolstoi)
Rumah Tangga Yang Bahagia (Leo Tolstoi)
DODONG DJIWAPRADJA
metodik dan didakik dari St. Petersburg, Jerman, Prancis, Italia, dan
Inggris. Sekolahnya kemudian menjadi contoh bagi sekolah-sekolah
Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak m elakukan pelanggaran hak ekonom i sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
i untuk Penggunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda pal-
ing banyak Rp10 0 .0 0 0 .0 0 0 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m elakukan pelanggaran hak
ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Peng-
gunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp50 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lim a ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m ela kukan pelanggaran hak
ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggu-
naan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 4 (em pat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp1.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (satu m iliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang m em enuhi unsur sebagaim ana dim aksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pem bajakan, dipidana
dengan pidana penjara paling lam a 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp4.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (em pat
m iliar rupiah).
R U M A H T A N G G A YA N G B A H A G I A
Ju d u l As li
Sem ey noy e Schast’y e
KPG 59 16 0 1226
Cetakan Pertam a, J uli 20 16
Pe n e rje m ah ke bah as a In d o n e s ia
Dodong Djiwapradja
TOLSTOI, Leo
Ru m ah Tan gga yan g Bah agia
J akarta: KPG (Kepustakaan Populer Gram edia), 20 16
v + 137 hlm .; 14 x 21 cm
ISBN: 978-60 2-424-0 18-9
Daftar Isi v
Bagian Pertam a 1
Bagian Kedua 69
m elihat aku, apalagi kalau m elihat Sonya yang m asih kecil itu
m engenakan baju panjang hitam . Kem atian seakan tak m au pergi
dari rum ah kam i, kem urungan dan hantu kem atian gentayangan
di udara. Bilik ibu sepi dan suwung. Menyeram kan m elihat
pintunya yang terkunci itu bila aku m elewatinya m enuju kam ar
tidurku.
Tujuh belas tahun sudah usiaku pada waktu ibu m eninggal
dunia. Tadinya ibu m erencanakan untuk m em bawa aku pindah ke
kota besar. Kehilangan ibu sungguh m enyedihkan sekali, nam un
di balik itu aku pun m erasa bahwa aku seorang gadis rem aja, lagi
cantik kata orang, sedangkan waktu kuhabiskan selam a m usim
dingin yang kedua ini di desa dalam kesunyian. Menjelang akhir
m usim dingin, kem urungan yang terbina dalam kesu nyian ini
serta rasa jem u yang m encekam diriku m em buat aku tak bernafsu
untuk pergi ke luar dari bilikku. Piano tak pernah kubuka,
buku tak pernah kujam ah. Tatkala Katya m encoba m em bujukku
supaya m enyibukkan diri dengan apa saja, kujawab tak m au
atau cukup kukatakan saja tak bisa, padahal dalam hati aku
bertanya pada diri sendiri, Mengapa harus? Mengapa aku harus
m engerjakan sesuatu pabila kubuang-buang waktu pada saat-saat
yang paling baik dalam hidupku? Mengapa? Dan satu-satunya
jawab an hanyalah air m ata.
Orang-orang m engatakan aku tam bah kurus dan pipih, tapi
aku m alah tak m em pedulikannya. Apa bedanya? Siapa pula yang
m au m em pedulikan aku? Serasa seluruh hidupku akan kuhabiskan
di desa yang terpencil ini dalam kejem uan tanpa harapan, seperti
tak ada tenaga m aupun kem auan untuk m engusir sem ua itu
dari dalam diriku. Menjelang akhir m usim dingin Katya m ulai
khawatir akan kesehatanku, karena itu ia m em utuskan untuk
m em bawa aku ke luar negeri, apa pun jadinya. Tetapi untuk itu
kam i perlu uang, sedangkan kam i sam a sekali tak tahu apa-apa
tentang harta pusaka setelah ibu tiada. Tiap hari kam i m enunggu-
Rumah Tangga yang Bahagia 5
lalu, ketika aku berum ur sebelas tahun, ia suka berm ain dengan
aku dan m em anggilku “si Violet kecil”. Kadang-kadang tim bul
pertan yaan dalam diriku—pertan yaan yan g ham pir-ham pir
m engerikan, apa dayaku kalau ia berniat m em peristriku.
Sergei Mikhailich tiba sebelum m akan m alam . Katya
m enam bah hidangan dengan saus bayam dan kue yang di-
dinginkan. Melalui jendela kulihat dia datang berkendaraan kecil
m enuju rum ah kam i, tetapi begitu ia m engitari sudut rum ah kam i
begitu aku lari ke ruang tengah, kupikir aku harus pura-pura tak
tahu-m enahu akan kedatangannya. Akan tetapi ketika langkahnya
yan g berat itu terde n gar di beran da m uka disertai den gan
suaranya yang lem ah lem but dan pula Katya lari m enjem putnya,
aku tak tahan lagi, lantas saja lari ke beranda m uka. Tam pak
tangannya m em egang Katya sam bil berbicara dengan suaranya
yang besar dan ram ah, tertawa-tawa. Melihat aku, ia berhenti dan
m enatapku barang sejenak tanpa m enundukkan kepala. Caranya
itu benar-benar m em buat diriku kikuk dan m ukaku jadi m erah.
“He! Bukankah itu kau?” katanya dengan lantang tanpa
tedeng aling-aling, dan ia pun m engham piri aku sam bil kedua
belah lengannya dibuka lebar-lebar. “Wah, sudah berubah! Wah,
sudah besar! Violetku sudah jadi bunga m awar!”
Tanganku yang kecil itu digenggam nya dengan ta ngannya
yang besar, lalu dengan segenap hati yang tulus dijepitnya
tan gan ku kuat-kuat hin gga terasa sakit. Kusan gka ia m au
m encium tanganku yang lagi cenderung ke arahnya, tetapi hanya
digenggam nya sekali lagi dan pada saat itulah tatapan m atanya
yang berseri-seri itu langsung bertem u dengan tatapan m ataku.
Sudah en am tahun aku tidak berjum pa den gan n ya, ia
kelihatan sudah banyak berubah, bertam bah tua dan bertam bah
gelap warna kulitnya, lagi pula ia m em elihara cam bang sehingga
m em buatku pangling. Tetapi, gayanya yang bersahaja, parasnya
yang terbuka dan terus terang, raut m ukanya yang lebar, cerdas,
Rumah Tangga yang Bahagia 7
pada krim dalam -dalam . Blus yang kupakai terbuat dari kain
blacu dan berlengan landung. Ram butku yang m asih basah itu
kuikat dengan selam pai. Katya-lah yang pertam a kali m elihat dia.
“Sergei Mikhailich!” teriakn ya. “Kam i baru saja m em -
percakapkan Anda.”
Aku bangkit untuk pergi berdandan, tetapi dia m enahanku
di pintu.
“Un tuk apa berpan tas-pan tas di tem pat udik begin i?”
katanya, dan tersenyum lah ia m elihat ram butku diikat selam pai.
“Sam a si tua Grigory kau tak m alu, aku pun tak lebih dari dia.”
Akan tetapi, m em ang lirikannya terhadap diriku lain sekali
daripada Grigory, dan aku pun m erasa m alu.
“Sebentar,” kataku, kutinggalkan dia.
“Apakah blus itu tam pak buruk?” serunya dari belakang.
“Mem akai baju itu kau kelihatan seperti gadis petani.”
“Aneh sekali lirikannya,” pikirku ketika sedang berdandan
di kam ar atas. “Nah, syukurlah dia datang—tak akan m erasa
jem u lagi kini.” Setelah m engaca sebentar larilah aku ke bawah
dengan gem bira dan tanpa hendak m enyem bunyikan jalanku
yang terburu-buru, m asuklah aku ke beranda m uka dengan
terengah-engah. Dia duduk di dekat m eja, sedang m enceritakan
urus an kam i kepada Katya. Ia m elirik padaku, tersenyum , dan
m eneruskan ceritanya. Menurut dia, urusan kam i baik jalannya.
Kam i hanya akan tinggal di desa untuk sem usim panas ini saja,
sesudah itu kam i dapat pindah ke St. Petersburg dem i pendidikan
Sonya, atau ke luar negeri.
“Hanya bila Anda pun ikut ke luar negeri bersam a kam i!” kata
Katya. “Tanpa Anda, kam i seperti anak kecil di tengah hutan.”
“Kum au keliling dunia dengan kalian!” katanya setengah
bergurau setengah sungguh-sungguh.
“Marilah kita kelilin g dun ia bersam a-sam a!” kataku. Ia
tersenyum dan m enggeleng-gelengkan kepalanya.
16 Leo Tolstoi
Hal lainnya lagi yang tidak kusenangi m ula-m ula, tetapi yang
kem udian kusukai, ialah ketakacuhannya yang tak tanggung-
tanggung, yang angkuh kelihatannya. Ia tak pernah m enunjukkan
kesan, baik dengan kata-kata ataupun dengan lirikan m ata, yang
m engisyaratkan bahwa aku ini cantik—sebaliknya m alah dia
m engernyitkan hidungnya ke atas dan tertawa kalau aku disebut
cantik di hadapannya. Bahkan seakan-akan dia ingin m encari
kekurangan yang ada pada diriku, dan disindirnya aku kalau
didapatnya. Baju panjang m odel baru yang disenangi Katya bila
aku m em akainya da lam acara-acara khusus, begitu pula tata
ram butku yang dibuat Katya m enurut m odel terbaru, hanyalah
m enggelikannya saja. Ini tentunya m enyakitkan hati Katya, dan
aku pun m alu pada m ulanya. Katya yang sudah tahu pasti bahwa
dia telah tertarik padaku, jadi tak m engerti sam a sekali, m engapa
wanita yang dicintainya itu m alah tak ingin bersolek elok. Akan
hal diriku, insyalah aku akan apa yang dikehendakinya—ia
ingin yakin bahwa aku tidak genit. Saat aku m enyadari hal ini
terjadi tak lam a sebelum segala kegenitan yang m enyesak dalam
kerut-m erut pakaianku, dalam cara aku m enata ram but, cara aku
bergaya, benar-be nar terkikis habis dariku. Sebagai gantinya,
tam paklah solek yang hening dari kesederhanaan, yang sam pai
saat itu belum benar-benar m erupakan kesederhanaan yang
sesungguhnya. Aku tahu bahwa dia m encintaiku, m eskipun tak
kutanyakan sendiri apakah cintanya itu seperti terhadap anak atau
wanita, akulah sendiri yang m enilai cintanya. Aku tahu bahwa aku
dianggapnya gadis rem aja yang terbaik di m uka bum i, dan aku
sendiri tak dapat m enahan keinginan untuk m em perdayakannya.
Dem ikianlah, tanpa kusadari, kupupuk hal itu. Tetapi selagi aku
m em perdayakan dia, kubina diriku. Aku m erasa bahwa adalah
lebih baik dan lebih berharga sekiranya kuperlihatkan kepadanya
keindahan jiwaku, bukan keindahan tubuhku. Keindahan tubuh—
ram but, tangan dan wajahku, cara dan gayaku, entah baik
22 Leo Tolstoi
bisu, begitu dia hadir, sem uanya m ulai bicara dan m encari restu
dalam jiwaku, lalu diisinya aku dengan kebahagiaan.
Pada m usim panas itu aku kerap pergi ke atas, ke kam arku,
untuk berbaring. Kum au agar apa yang tadinya diisi dengan
kerinduan lam a dan harapan akan m asa depan yang tim bul di
waktu m usim sem i, diisi dengan kegem biraan dan kebahagiaan
pada saat ini. Aku tak dapat tidur, m auku hanyalah bangun dan
duduk di ranjang Katya, m enceritakan padanya bahwa aku ini
benar-benar bahagia, m engatakan sesuatu (aku m enyadarinya
sekarang bila kuingat kem bali hal itu) yang sebetulnya tak usah
kuceritakan kepadanya—dalam hatinya ia pun tahu itu. Dan
biasanya Katya bercerita bahwa ia pun pernah m endapatkan
apa-apa yang diinginkannya, juga ia m erasa bahagia ketika itu,
dan aku suka dicium inya. Aku m em percayainya, kurasa hanyalah
benar dan betul belaka pabila setiap orang dapat m engenyam
kebahagiaan. Akan tetapi Katya bisa tidur juga. Kadang-kadang
tam paklah Katya seperti m au m arah dan m en gusirku dari
ranjangnya, sam pai dia dapat tidur. Setelah itu, untuk beberapa
lam anya, suka kurenungkan segala sesuatu yang m em buat diriku
bahagia. Kadang-kadang aku suka bangun dan m engucapkan
doa barang sesaat ... aku berdoa dengan kata-kataku sendiri,
kuucapkan syukur kepada Tuhan atas segenap kebahagiaan
yang telah dilim pahkan-Nya padaku. Selagi begitu tak ada suara
apa pun yang terdengar selain bunyi napas Katya yang teratur
dan bunyi tik-tak jam yang ada di dekatnya. Nam un dem ikian
tetap aku tak dapat tidur, kubolak-balikkan badanku, kubisikkan
doa, kubuat tanda salib, kukecup salib yang m enggantung di
leherku. Pintu-pintu tertutup, jendela-jendela rapat oleh tirai,
beberapa ekor lalat atau nyam uk m endengung-dengung di satu
tem pat. J ika sudah begitu, aku m erasa wegah m eninggalkan
kam ar, wegah m enghadapi datangnya pagi, wegah m eninggalkan
suasana batin yang syahdu, yang tengah m engelilingiku, yang
26 Leo Tolstoi
batasnya dengan tegalan yang terham par lebih luas lagi. Agak ke
bawah, di sebelah kanan, perem puan-perem puan tani, dengan
perhiasannya yang gem erlapan, tam pak sedang m engikat berkas-
berkas jeram i yang berserakan di ladang yang habis disabit,
m ereka m em bungkuk-bungkuk sam bil tangan dan kakinya tetap
ber gerak ke m uka dan ke belakang, dan bila m ereka m elangkah
m aju m aka tinggallah ladang yang sudah bersih serta m uncullah
tum pukan jeram i yang rapi berderet-deret. Tam paknya m usim
rontok m au m enggantikan m usim panas, begitulah penglihatanku.
Udara panas serta di m ana-m ana terdapat debu, kecuali di tem pat
kesayangan kam i di dalam kebun buah-buahan. Terdengarlah
suara hiruk-pikuk dari segala penjuru, m enem busi debu dan
udara panas ini beserta suara gerak-gerik petani yang berisik,
yang sedang bekerja di bawah sinar m atahari yang panas terik.
Katya tam pak dem ikian m anis m endengkur di atas bangku
yang teduh dengan selam pai batis putih m enutupi m ukanya! Buah
ceri tam pak dem ikian ranum m engkilap kehitam -hitam an di atas
piring! Baju panjang kam i tam pak dem ikian nyam an dan bersih!
Air di dalam kendi gelas tam pak dem ikian bening dan kem ilau
tertim pa sinar yang lincah bergerak-gerak! Aku yang dem ikian
bahagia! “Apa lagi kalau sudah begini?” pikirku. “Adakah salah
jika aku dem ikian bahagia? Kepada siapakah harus kucurahkan
se m ua perasaanku yang m elonjak-lonjak dalam diriku, sem ua
kebahagiaanku?”
Matahari telah turun di balik pucuk pohon birka di sepanjang
jalan dusun, dan benda-benda yang jauh jadi m akin cerah
dan jelas tertim pa berkas-berkas sinar yang jatuh m iring di
udara. Debu sedang m engendap di tegalan, m endung telah lam a
bercerai-berai. Di tem pat penim bunan di luar kam pung, kulihat
tiga puncak tum pukan jeram i yang tinggi selesai disusun oleh para
m uzhik, kulihat jelas pedati penghabisan tengah m encongklang
pulang diiringi teriakan orang-orang yang ada di atasnya, dengan
30 Leo Tolstoi
aku tak pernah berm ain sebaik itu. Dan m ulailah dia m elangkah-
langkah sekeliling ruangan, pulang balik antara ruang tam u
yang gelap dan ruang duduk, dan berhenti m anakala m atanya
m em an dang padaku, lalu tersenyum . Aku pun tersenyum , tentu
saja aku m au tertawa, dem ikian bahagia aku karena sesuatu telah
terjadi—sesuatu yang hanya terjadi hari ini, yang baru saja terjadi
pada saat ini pula. Begitu Sergei Mikhailich keluar dari kam ar
kupelukkan lenganku ke tubuh Katya (kam i berdiri sam a-sam a di
dekat piano) dan m ulailah aku m encium i tem pat kesayanganku,
yaitu di bawah dagu Katya yang em puk, begitu Sergei Mikhailich
kem bali, aku berusaha m em perlihatkan wajahku yang sungguh-
sungguh, nam un hanya itulah yang dapat m enahan diriku untuk
tidak tertawa.
“Apa yang terjadi padanya hari ini?” tanya Katya kepada
Sergei Mikhailich. Dia tidak m enjawab, hanya tersenyum saja
padaku—dia tahu apa yang telah terjadi.
“Lihat, hebat nian m alam ini!” serunya dari kam ar tam u, ia
berhenti di depan pintu yang terbuka, di balkon, yang m enghadap
ke kebun.
Kam i pergi m engham pirinya. Betul saja, aku tak pernah
m enyaksikan m alam yang seperti ini. Bulan purnam a m eng-
am bang di atas rum ah di belakan g kam i, tak tam pak dari
kam ar, m enebarkan bayang-bayang yang m iring pada atap dan
tiang-tiang serta tenda beranda, en raccouci, pada jalan dusun
yang berpasir serta pada rum pun bunga. Yang lainnya, sem ua
berm andikan cahaya yang m elim pah-lim pah, keperak-perakan,
dengan em bun dan sinar bulan purnam a. J alan dusun yang lebar,
dengan bayang-bayang batang dahlia dan penyanggahnya yang
m elintang m iring pada sebelah sisi, m em bentang dan m engabur
ke tem pat yang jauh dan berkabut, terang lagi dingin, sedangkan
perm ukaannya yang tak rata dan berbatu kerikil itu m erem ang di
bawah cahaya bulan. Dari celah-celah pohon, tam paklah sekilas-
Rumah Tangga yang Bahagia 39
salib, sem entara m ulutnya yang tak bergigi itu tak henti-hentinya
berkom at-kam it.
Dan sem ua ini tidak lagi aneh bagiku, pula tak lagi kusukai,
selain atas kenang-kenangan yang dibangkitkannya, yakni se-
suatu yang di m ataku agung lagi suci serta m engandung m akna
yang dalam sekali. Telingaku kupa sang baik-baik buat setiap
kata dalam doa yang dibacakan, sam bil berusaha m enanggapinya
dengan jiwaku, kum ohon agar Tuhan m enjelaskannya pabila
aku tak m engerti, dan m engarang doaku sendiri pabila aku
tak m endengar. Sewaktu doa pengam punan sedang dibacakan,
teringatlah aku akan m asa yang lam pau, m asa yang kekanak-
kanakan lagi polos tam pak seperti siang dan m alam dibandingkan
dengan keadaanku sekarang yang cantik gem ulai, sehingga aku
m erasa ngeri dengan diriku sendiri. Dalam pada itu aku pun
m erasa pula bahwa sem ua itu akan diam puni, m alah sekiranya
kulakukan dosa yang lebih banyak, m aka pengam punannya
pun akan lebih m anis lagi. Pabila pada akhir kebaktian pendeta
berkata, “Rahm at Tuhan atas dirim u,” m aka seolah-olah ada rasa
sejahtera yang berwujud jasm ani sedang m enghubungi diriku.
Seolah-olah cahaya dan kehangatan m asuk dalam diriku. Sehabis
kebaktian, pendeta itu m endatangi aku dan m enanyakan apakah
dia perlu datang ke rum ah kam i buat m em bacakan doa kebaktian
m alam , dan jam berapa pula. Kuucapkan ba nyak terim a kasih
atas kebaikan hatinya, tetapi kukatakan bahwa aku akan datang
sendiri kepadanya.
“J adi Anda akan berlelah-lelah datang sendiri ke m ari?”
tanyanya, tapi aku tidak tahu bagaim ana harus m enjawabnya
agar tindak-tandukku terpelihara dari dosa karena keangkuhan.
Sehabis Misa biasanya aku m enyuruh agar kudaku dibawa
pulang, bila aku tak bersam a Katya, dan pulanglah aku sendirian,
sam bil dengan rendah hati m em bungkuk dalam -dalam kepada
setiap orang yang kujum pai. Dan keinginanku yang tulus ikhlas
46 Leo Tolstoi
apakah perginya itu akan lam a. Aku telah tahu apa yang dia
katakan, aku telah tahu dia tak akan pergi. Bagaim ana aku bisa
tahu? Aku tak dapat m enerangkannya sekalipun terhadap diri
sendiri, tetapi pada hari itu aku m erasa bahwa aku m engetahui
apa yang pernah dan akan terjadi. Rasa-rasanya aku se perti
hidup dalam m im pi yang ajaib, di m ana segala yang terjadi telah
terjadi lam a sebelum nya, dan aku pun telah m engetahui lam a
sebelum nya, hal serupa itu pun akan terjadi lagi, dan aku tahu
bahwa itu akan terjadi lagi.
Ia m au terus pergi setelah m akan sore, tetapi Katya lelah
sehabis Misa dan pergi berbaring. Dengan dem ikian, Sergei
Mikhailich harus m en un ggu sam pai Katya ban gun un tuk
m engucapkan selam at tinggal.
Terlalu banyak sinar m atahari m enem bus ke dalam kam ar
duduk, karena itu kam i pergi ke beranda. Begitu kam i duduk,
m ulailah aku m em bicarakan dengan tenang sekali soal yang
bakal m enentukan nasib cintaku. Aku m ulai berbicara tepat
pada saat kam i baru duduk, tidak lebih cepat dan tidak pula
lebih lam bat, dan sedikit pun tak pernah aku berbicara seperti
itu sebelum nya, baik dalam caraku berbicara m aupun m engenai
apa yang dibicarakan, alhasil tak ada rintangan apa pun yang
m enghalangi lidahku untuk berbicara. Tak tahulah aku dari m ana
aku m endapatkan pikiran yang tersusun dan dem ikian pasti,
dem ikian tepat pilihan kata-katanya. Seolah-olah bukan aku yang
berbicara pada waktu itu, m elainkan suara yang ada dalam diriku,
yang bebas dari kem auanku. Dia duduk di hadapanku sam bil
bersandar pada kisi-kisi, dicabutnya tangkai bunga lilak. Dan kini
ia sedang m encabiki daun-daunnya. Ketika aku m ulai berbicara,
dia lepaskan ranting lilak itu lalu disandarkannya kepalanya pada
sebelah tangannya. Perbawa dirinya yang kuat telah m enjadikan
dirinya seorang yang sam a sekali tenang atau siap sedia.
Rumah Tangga yang Bahagia 51
jadi rikuh.... Itulah yang dikatakan si A,” tam bahnya. “Sem ua ini
hanya om ong kosong, tentunya, tetapi kau sadar m engapa aku
akan pergi. J anganlah kita bicarakan lagi soalnya. Kum ohon!”
“Tidak! Tidak! Kita akan m em perkatakannya lebih ba nyak
lagi,” teriakku, suaraku gem etar karena tangis. “Apakah si laki-
laki m encintai gadis itu atau tidak?”
Ia tidak m enyahut.
“Sekiranya si laki-laki tak m encintai dia, m engapa ber m ain-
m ain dengan gadis itu, m eskipun si gadis m asih kecil ketika itu?”
“Ya, ya, si A salah,” katanya buru-buru m enyela, “tetapi itulah
akhir ceritanya, dan m ereka berpisah ... sebagai tem an.”
“Tetapi itu m engerikan! Apakah tidak ada akhir cerita nya
yang lain?” kugum am kan itu dengan sedikit nyaring, aku ngeri
akan apa yang dikatakannya.
“Ya, ada,” katanya, seraya m em indahkan tangannya dari
m ukanya yang gelisah dan m em andang lurus padaku. “Ada dua
akhir ceritanya. Hanya kum inta kau jangan m em otong-m otong,
dengarkanlah dengan tenang. Konon,” ia m ulai sam bil berdiri dan
tersenyum pahit, “katanya si A sudah kehilangan akal, tergila-gila
pada si B, dan dem ikianlah dika takannya kepada si gadis ... dan si
gadis hanya m enyam but dengan tertawa. Bagi si gadis tam paknya
lucu, tetapi bagi si laki-laki soal hidup dan m ati.”
Aku tertegun dan kata-kataku sudah ham pir di ujung lidah
untuk m em otong pem bicaraannya, agar dia jangan m em ancing-
m ancing aku begitu, tetapi tangannya diletakkannya di atas
tanganku dan ditahannya aku.
“Tun ggu,” katan ya, suaran ya gem etar. “Cerita lain n ya
lagi m engatakan bahwa si gadis itu m erasa kasihan kepada si
laki-laki. Celakalah gadis itu—karena belum berpengalam an—
m em bayangkan dirinya m encintai laki-laki itu, dan dia m au
jadi istrinya. Tololnya lagi, si laki-laki percaya—ya, dia percaya
betul—bahwa hidupnya akan dim ulai lagi dari segala-galanya.
54 Leo Tolstoi
Tetapi tak lam a kem udian si gadis m enyadari bahwa dia m enipu
si laki-laki dan si laki-laki m enipu si gadis.... Tapi sudahlah, kita
tak m au m em bicarakan lagi hal itu,” katanya m engakhirinya, dan
m em ang dia tak bisa lagi m eneruskan ceritanya. Dan berjalanlah
dia pulang balik sam bil bungkam di hadapanku.
Tadi ia m en gatakan “tak m au m em bicarakan n ya lagi”,
tetapi dia kulihat sedang tegang sekali m enunggu aku bicara.
Ingin aku m engatakan sesuatu, tetapi kerongkonganku serasa
tersum bat. Kulem parkan pandangan padanya—dia pucat dan
bibir bawahnya gem etar. Aku m ulai m erasa kasihan kepadanya.
Dengan m em ecahkan kesunyian yang sedang m enghim pit diriku,
aku berusaha untuk m ulai bicara lem ah-lem but dengan suara
yang sungguh-sungguh, takut kalau-kalau terputus di tengah
jalan.
“Dan akhir cerita yang ketiga,” kataku, aku berhenti tetapi
dia diam saja. “Akhir cerita yang ketiga ialah si laki-laki tidak
m encintai si gadis serta m elukai hatinya dalam -dalam , sedangkan
si laki-laki pergi sam bil berpikir bahwa dia m erasa betul dan
m alah dalam beberapa hal m erasa bangga. Itu lucu buat kam u,
tetapi tidak buat aku, aku m encintaim u sejak sem ula. Ya, aku
m encintaim u,” aku m engulangnya, dan tatkala kukatakan ini,
suaraku yang tadinya rendah dan sungguh-sungguh jadi m eninggi
hingga m erupakan jeritan yang m enakutkan diriku.
Ia berdiri berhadap-hadapan denganku, m ukanya pucat
sekali, bibirnya kian gem etar, dua butir air m ata m enitik pada
pipinya.
“Sungguh m enyedihkan!” ham pir berteriak kukatakan itu,
lem as karena gem as, m enderas air m ata. “Mengapa kam u begitu?”
tanyaku, sam bil m au bangkit m eninggalkan dia.
Akan tetapi dia m enahanku. Kepalanya m erunduk di atas
lututku, bibirnya m encium tanganku yang gem etar dan basah
oleh air m atanya. “O, Tuhan! Sekiranya aku tahu!” gum am nya.
Rumah Tangga yang Bahagia 55
an? Apa betul hari ini aku akan m enjadi seorang yang asing
bagi diriku sendiri, lalu suatu kehidupan baru akan terbuka di
hadapanku sam bil m em bawa perwujudan harapan dan m im pi-
m im piku? Apakah betul kehidupan baru ini benar-benar buat
selam a-lam anya?”
Kutunggu Sergei Mikhailich dengan sabar, sangat berat
untukku tinggal sendirian dengan pikiran-pikiranku itu. Ia datang
lebih pagi dan hanya sesudah itulah aku m ulai percaya bahwa
sejak hari itu untuk selanjutnya aku akan m enjadi istrinya, baru
sejak saat itulah pikiran-pikiranku tak lagi m enakut-nakuti aku.
Sebelum waktu m akan sore, kam i pergi ke gereja untuk
m enghadiri kebaktian buat ayahku.
“Andaikata beliau m asih hidup!” pikirku ketika aku kem bali
dari gereja, sam bil tanganku digenggam orang yang pernah
jadi tem annya yang paling akrab. Tadi selam a berdoa, sam bil
m en un dukkan kepala hin gga m en yen tuh lan tai gereja yan g
dingin, kubayangkan ayahku dem ikian hidupnya. Maka aku
percaya sungguh-sungguh bahwa rohnya m engerti jiwaku dan
ia m erestui pilihanku, bahwa sekarang bahkan rohnya sedang
m elayang-layang di atasku. Aku pun m endengar ucapan restunya.
Kenangan dan harapan, kegem biraan dan kesedihan, berpadu
m enjadi satu hingga yang tinggal hanyalah perasaan syahdu dan
m enyenangkan, selaras dengan udara tenang segar ini, dengan
keheningan, padang terbuka, dan langit pucat bercahaya terang,
tapi tak lagi panas bila m enyentuh pipi. Dalam pandangan
m ataku laki-laki yang ada di sam pingku ini m engerti dan turut
m erasakan apa yang sedang aku rasakan. Ia m elangkah pelan-
pelan, sam a sekali tak berbicara, sedangkan m ukanya yang kulirik
sebentar-sebentar tam pak seperti m em ancarkan perasaan syahdu
yang sam a dengan yang aku rasakan—sebagian gem bira, sebagian
sedih—serupa dengan yang ada dalam hatiku dan pada setiap
yang ada di sekelilingku.
Rumah Tangga yang Bahagia 65
“Sam pai saat ini pun aku belum percaya bahwa hal ini benar-
benar terjadi,” katanya lem ah lem but ketika m em balas lirikanku.
“Ya, tetapi untuk sesuatu sebab aku m erasa takut,” kataku.
“Apakah aku m en akutkan m u, Sayan g?” katan ya, sam bil
m em egang tanganku serta m enundukkan kepala nya ke arah
tanganku.
Tan gan ku seper ti ter geletak tak ber n yawa dalam
genggam annya, dan hatiku dingin.
Akan tetapi ketika aku berkata dem ikian, jantungku m em ukul
keras dan sem akin keras, tanganku gem etar dan m encengkam
pada tangannya. Aliran yang hangat m elanda sekujur tubuhku
dan m ataku m en cari m atan ya dalam cahaya yan g rem an g-
rem ang. Seketika itu juga aku m erasa tak takut lagi kepadanya—
bahwa ketakutan ini ternyata cinta—cinta baru, cinta yang lebih
m esra dan lebih kuat dari cinta sebelum nya. Aku m erasa bahwa
segenap diriku m iliknya, dan bahagialah aku karena kekuatannya
m enguasai diriku.
Bagian Kedua
6
sol sepatu dan ketukan tum itnya adalah suara yang paling
tidak enak di dunia), dan sem ua orang ini m erasa bangga akan
jabatannya m asing-m asing. Mereka se m ua gem etar di hadapan
nyonya tua, tetapi juga horm at dan takzim di hadapan suam iku
dan aku, dan apa pun yang m ereka kerjakan dilakukannya
dengan kesenangan yang luar biasa. Saban Sabtu lantai rum ah
digosok dan perm adani digebuki, pada hari pertam a dalam setiap
bulannya diadakan kebaktian, dan air diberkahi dengan doa. Pada
hari pem berian nam a untuk Tatyana Sem yonovna dan untuk sang
putra (kem udian aku juga, untuk pertam a kalinya pada m usim
rontok) diadakan selam atan, dan sem ua tetangga diundang.
Sem ua ini dilakukan kalau Tatyana Sem yonovna tidak lupa.
Sang putra tak m au cam pur tangan dalam urusan rum ah
tangga, dia sendiri sibuk dengan kerja di ladang bersam a para
petani, dan dalam segala hal dia bekerja keras. Dia bangun pagi-
pagi sekali, sekalipun dalam m usim dingin, hingga ketika aku
bangun dia sudah tidak ada. Biasanya dia m em erlukan pulang
dulu buat m akan siang bersam a kam i saja, dan ham pir selalu
pada waktu dem ikian, sehabis pusing dengan kerja berat di
ladang, dia m enikm ati suasana perasaan yang khusus dan m e-
nyenangkan, suasana hati yang kam i sebut “urakan”. Aku kerap
bertanya kepadanya, ingin tahu apa yang dikerjakannya pagi itu,
lalu dia ceritakan segala yang bukan-bukan hingga setengah m ati
kam i tertawa terpingkal-pingkal. Adakalanya aku m endesak agar
diberinya aku berita yang sungguh-sungguh, m aka diberinya aku
sebuah—lalu dia berusaha m enahan senyum nya. Biasanya apa
yang kulihat hanyalah m ata dan bibirnya saja bergerak-gerak—
tak sedikit pun aku m engerti akan apa yang diterangkannya.
Nam un itu pun sudah cukup bagiku, asalkan telah m elihat dia
dan m endengar suaranya.
“Apa saja yang telah kukatakan itu?” begitulah bia sanya dia
bertanya. “Ulangi.”
Rumah Tangga yang Bahagia 75
Akan tetapi tak satu pun yang dapat kuingat. Rasanya seperti
aneh kalau bukan dia sendiri atau akulah yang dibicarakan itu
m elainkan tentang sesuatu yang sam a sekali lain. Seakan-akan
apa yang terjadi itu berlalu di dunia luar. Barulah di kem udian hari
aku m ulai m engerti dan punya m inat dalam urusan pekerjaannya.
Tatyana Sem yonovna tak pernah m eninggalkan kam arnya
sebelum waktu m akan sore, dia m in um teh sen dirian dan
saban hari kam i saling bertukar ucapan selam at pagi dengan
perantaraan utusan-utusan. Dalam dunia kam i yang santai, riang
lagi gem bira, suara dari pojok yang angker dan tertib itu dem ikian
ganjil kedengarannya sam pai-sam pai sering kali aku tidak dapat
m enguasai diri. Dan tertawalah aku seketika itu juga apabila
babunya, sam bil berdiri dengan tangan bersilang, m elaporkan
dengan khidm at bahwa Tatyana Sem yonovna ingin m enanyakan
perihal tidur kam i setelah jalan-jalan. Diberitahukannya pula
bahwa dia sendiri m erasa sakit pinggang sem alam -m alam an, dan
anjing kam pung yang keparat itu m enggonggong terus sem alam -
m alam an m engganggu tidurnya.
Dia pun m enanyakan bagaim ana pendapat kam i tentang
biskuit hari ini, dan diberitahukannya pula bahwa bukan Taras
yang m em bakar kue itu m elainkan Nikolsha, untuk pertam a
kalin ya sebagai percobaan , dan sam a sekali tidaklah jelek
terutam a krendelki-nya. Tetapi sayang, roti panggangnya ham pir
hangus. Sebelum m akan sore suam iku dan aku jarang bersam a,
aku berm ain pian o atau m em baca, sedan gkan dia m en ulis
atau pergi lagi. Tetapi pada jam em pat biasanya kam i sekalian
pergi ke ruang tam u. Maka m am an bertindaklah keluar dari
kam arnya, dan para istri priyayi yang jatuh m iskin serta wanita-
wanita saleh, yang senantiasa terdapat dua atau tiga orang di
rum ah kam i, biasanya berm unculan. Setiap hari pada waktu
yang tetap suam iku m engem pit lengan ibunya buat pergi m akan
sore, dan sang ibu suka m inta agar suam iku m engem pit pula
76 Leo Tolstoi
1
Keadaan lebih baik m erupakan m usuh kebaikan.
80 Leo Tolstoi
tetapi cinta itu berhenti sam pai di situ saja, tak terus tum buh,
dalam pada itu perasaan baru yang m enggelisahkan m enyelinap
dalam hati. Agaknya tidaklah cukup untuk sekadar bercinta saja
sesudah tercapai puncak cintaku terhadapnya. Aku ingin lebih
banyak gerak daripada arus hidup yang tenang se perti ini. Aku
m enginginkan bahaya dan kegem paran. Aku ingin m engorbankan
diriku sendiri dem i cinta. Tenagaku yang dem ikian m elim pah-
lim pah ini tak punya jalan keluar dalam hidup kam i yang
dem ikian tenang. Aku terjangkit penyakit m urung, yang kucoba
sem bunyikan dari padanya, juga kualam i saat-saat kerinduan
yang tak tertahankan serta kegairahan yang m enakutkan dia.
Dia m engetahui hal itu sebelum nya, dan disarankan supaya
aku pergi ke kota, akan tetapi aku m enentangnya. Aku m inta
agar dia tidak m engubah atau m enam bal sulam kehidupan, agar
dia tidak m engurangi kebahagiaan kam i yang ada. Dan m em ang
aku bahagia, akan tetapi yan g m en ggan gguku ialah bahwa
kebahagiaanku itu taklah diperoleh dengan susah payah, tak
ada pengorbanan sam a sekali, sedangkan hasrat untuk bersusah
payah dan untuk berkorban sedem ikian m enggoda diriku. Aku
m encintai dia dan kuanggap bahwa diriku hanyalah untuknya,
nam un dem ikian aku ingin agar cintaku itu terlihat oleh sem ua
orang, aku ingin agar orang-orang itu m encoba m erintangi
cintaku terhadapnya, lalu apa yang kem udian kudapatkan ialah
bahwa usaha m ereka itu sia-sia belaka. Pikiran dan juga perasaan
kasih sayangku tetap ada, nam un di situ pun terdapat perasaan
lain—pe rasaan rem aja, kebutuhan untuk m elakukan sesuatu yang
m enggem parkan karena tidak terdapat kepuasan dalam hidup
kam i yang tenang.
Mengapa dia katakan kam i dapat pergi ke kota bilam ana
saja aku m enginginkannya? Andaikata dia tak berkata begitu,
boleh jadi aku sadar bahwa perasaan yang m enggoda diriku itu
m erupakan kedunguan dan kehinaan. Kesalahanku ialah tak
Rumah Tangga yang Bahagia 81
Rom an yang sakit dan perhatian yang tertekan tam pak pada
wajahnya yang perasa.
“Aku in gin diperlakukan sebagai sesam a. Aku in gin ….”
Tetapi aku tak dapat m elanjutkannya—kesedihan se perti itulah,
kesedihan yang dem ikian dalam itulah, yang tam pak sedang
m eliputi dirinya. Dia diam beberapa saat.
“Tetapi dalam hal apakah aku tidak m em perlakukanm u
sebagai sesam a?” tanyanya. “Apakah karena aku dan bukan
engkaulah yang pergi berurusan dengan polisi dan m uzhik-
m uzhik yang m abuk itu?”
“Bukan hanya itu.”
“Cobalah m em aham i diriku, Sayang,” ia m elanjutkan kata-
katanya. “Aku tahu bahwa rasa cem as selalu m enyakitkan hati.
Aku sudah cukup m akan garam untuk m engetahui hal serupa itu.
Aku m encintaim u dan karena itu aku tak betah untuk turut serta
dalam kecem asanm u. Cintaku cinta untuk seum ur hidup, karena
itu janganlah m engam bil sesuatu yang kupandang berharga
dalam hidup ini.”
“Kau selalu betul,” kataku tanpa melihat kepadanya.
Aku kesal bahwa segala yang ada dalam hatinya jadi terang
kem bali dan tenang, sedangkan dalam hatiku m asih terkandung
kekesalan dan apa-apa yang serupa dengan kesebalan.
“Masha! Apakah yang m enyulitkanm u?” katanya. “Soalnya
bukanlah siapa di antara kita yang benar, m elainkan apakah
yang berlainan itu. Mengapa engkau m arah padaku? J angan
berkata dulu sebelum kaupikirkan betul-betul, sesudah itu baru
m engatakan segala sesuatunya. Kau tak puas denganku, dan
m ungkin itu betul, hanya saja terangkan dengan sejelas-jelasnya
di m ana letak kesalahanku.”
Tetapi m an a bisa aku m em bukakan seluruh isi hatiku
kepadanya? Kenyataan bahwa ia m engerti seketika itu juga
terhadap diriku, itulah pula yang m em buat diriku m erasa sebagai
86 Leo Tolstoi
anak kecil kem bali, bahwa aku tak dapat berbuat apa-apa,
sekalipun dia tidak m elihatnya dan m enduga-duganya pula,
m alah itulah yang sem akin m engacau-balaukan pikiranku.
“Aku tidak m arah padam u,” kataku, “aku hanya jem u saja
dan tidak m au jem u. Tetapi yang kaukatakan m em ang begitulah
adanya dan kaulah yang benar.”
Pada waktu m en gatakan itu aku m em an dan g padan ya.
Tercapailah yang aku kehendaki—ketenangannya hilang, wajah-
nya m em bayangkan hati yang sakit dan m engisyaratkan tanda
bahaya.
“Masha,” ia m ulai dengan suara yang rendah dan m enyerang.
“Apa yang kita lakukan ini adalah soal yang sungguh-sungguh—
apa yang kita putuskan ini adalah soal nasib kita. Aku bertanya
padam u bukan untuk dijawab, tetapi untuk didengarkan. Mengapa
engkau m au m enyiksa diriku?”
Tetapi aku m enyelanya. “Apa pun yang kaukatakan m esti
benar, aku tahu itu, dengan begitu kau tak perlu m engatakan apa
pun,” sahutku dingin, seolah-olah bukan aku tetapi setanlah yang
ada di ujung lidahku.
“Sekiranya kautahu apa yang kaukatakan itu!” serunya.
Dan m enangislah aku seketika itu juga, nam un hatiku m erasa
lega sesudahnya. Ia duduk di sisiku dan berdiam diri. Aku m erasa
kasihan padanya dan m erasa m alu pula atas kelakuan diriku serta
m enyayangkan perbuatanku itu. Mataku sedang tidak m elihat
padanya, nam un aku m erasa bahwa tentunya m atanya sedang
m en atapku tajam -tajam atau m en yala-n yala. Aku ten gadah,
pandangan yang cakap dan lem but sedang ditujukan padaku,
seolah-olah sedang m em inta m aaf. Aku pegang tangannya dan
berkata,
“Maafkan aku. Aku tak tahu apa yang telah kukatakan.”
“Tidak, akulah yang salah, dan kaulah yang benar.”
“Apa?”
Rumah Tangga yang Bahagia 87
“Kita m esti pergi ke St. Petersburg. Kita tak bisa berbuat apa-
apa di sini.”
“Terserahlah,” kataku.
Dia m em elukku dan m encium ku.
“Maafkan aku,” katan ya. “Aku telah berlaku tak adil
terhadapm u.”
Pada m alam itu lam a sekali aku berm ain piano untuknya,
sedangkan ia m elangkahkan kakinya m engitari kam ar sam bil
m em bisikkan sesuatu pada dirinya. Kebiasaannyalah berbisik-
bisik dem ikian dan kerap kali kutanyakan padanya apa yang sedang
diucapkannya itu, dan dia selalu m engatakannya kepadaku—
biasanya puisilah yang tengah diucapkan nya itu atau sekadar
m enggum am -gum am saja, tetapi dia tak pernah m em beritahukan
apa yang sedang dipikirkannya.
“Apa yan g sedan g kaubisikkan hari in i?” tan yaku. Dia
berhenti, berpikir sebentar, dan sam bil tersenyum dikutipnya
dua baris dari sajak Lerm ontov:
Serahkan hal dem ikian itu pada orang lain. Kepalsuan sem acam
itu akan m engurangi kem esraan hubungan kita, dan aku tetap
m engharapkan agar segala sesuatunya akan kem bali seperti
biasa.”
Aku m erasa m alu dan tetap berdiam diri.
“Bukan kah segalan ya akan jadi baik kem bali, Masha?
Bagaim ana pikiranm u?” katanya.
“Sam a sekali takkan ada yang kurang, takkan pernah,”
kataku, dan m em ang begitulah pada saat itu.
Hanya sekali itulah dia m engatakan hal itu kepadaku. Waktu
yang selebihnya kubayangkan bahwa dia sebahagia aku. Dan
aku dem ikian riang dan bahagia! “Kalau dia kadang-kadang
m erasa jem u,” kuyakinkan diriku kem bali, “aku juga jem u karena
kesukaannya tinggal di pedusunan, tak apalah kalau hubungan
kita berubah sedikit, toh segalanya akan kem bali seperti biasa
segera setelah kita hidup m enyendiri kem bali bersam a Tatyana
Sem yonovna di Nikolskoye.”
Dan dem ikianlah aku ham pir tidak m em perhatikan bahwa
m usim din gin telah berlalu. Berten tan gan de n gan ren can a
sem ula, m alah kam i m elewatkan Paskah di St. Petersburg. Pada
perm ulaan m inggu St. Tim othy, yakni ketika kam i ham pir akan
berangkat, dan pada saat suam iku—sesudah m em beli barang-
barang hadiah dan buat keperluan rum ah tangga serta bunga
buat m en ye m arakkan kehidupan kam i di desa—sedan g ada
dalam suasana bahagia dan m esra, m aka tanpa disangka-sangka
datanglah saudara sepupunya dan m ulailah dengan gigih nya ia
berbicara kepada kam i agar kam i m enangguhkan keberangkatan
sam pai hari Sabtu, supaya kam i bisa hadir pada pesta dansa
di rum ah nyonya bangsawan R. Dikatakannya bahwa nyonya
bangsawan itu ingin sekali aku hadir—bahwa Pangeran M., yang
ketika itu ada di St. Petersburg, ingin sekali berkenalan denganku
setelah m elihatku akhir-akhir ini di suatu pesta dan agar aku
96 Leo Tolstoi
selam a m usim dingin ini dia tak m enim bulkan sesuatu penyesalan
padaku.
Aku pergi ke tengah-tengah ruangan agar dengan begitu
dia m au tak m au berjalan m endekatiku. Kulihat dia. “Tentu ia
akan m endatangiku, m em elukku, dan dengan dem ikian habislah
sudah,” pikirku, dan aku m erasa m enyesal telah m elepaskan
kesem patan buat m em perlihatkan padan ya bahwa betapa
salahnya dia itu. Tetapi dia berhenti di ujung ruangan dan
m em andang padaku.
“Apa kau m asih sukar untuk m em aham i?”
“Masih.”
“Kalau begitu, akan kuterangkan. Seum ur hidupku baru
pertam a kali inilah aku m engalam i perasaan yang disebut benci,
tetapi yang tak bisa aku m enahannya....” Ia ber henti, tam pak
nyata dari kekasaran lagu bicaranya.
“Apa yang kaum aksudkan?” aku bertanya dengan m ata
berlinangan karena berang.
“Aku benci bahwa pangeran itu beranggapan kam u cantik,
sedangkan kam u m alah bergegas lari m enem ui dia, lupa pada
suam i dan dirim u sendiri serta pada harga dirim u sebagai
wanita. Dan kam u tidak m au m engerti terhadap sesuatu yang
harus diderita oleh suam im u karena ulah dirim u itu, sekalipun
andaikata kam u sendiri sudah tak punya perasaan harga diri. Ini
sebaliknya m alah, kam u datang dan berkata pada suam im u bahwa
kam u berkorban, dengan lain perkataan, betapa senang sekiranya
aku dapat m em perlihatkan m ukaku di hadapan Sri Baginda,
tetapi akan kukorbankan kesenangan ini dem i untukm u.”
Makin ia bicara m akin ia m arah, kentara dari bunyi suaranya
itu sendiri, dan suaranya itu kasar, bengis, pedas. Aku tak pernah
m elihat dia dalam keadaan sedem ikian sebelum nya, pula tak
pernah m enyangkanya. Darahku tersirap ke m uka. Aku m erasa
takut, tetapi bersam aan dengan itu m aka suatu perasaan m alu
100 Leo Tolstoi
yang tidak pada tem patnya dan perasaan angkuh oleh sebab
terhina tim bul dalam diriku, dan aku ingin m em balasnya pula
sendiri.
“Telah lam a kutun ggu-tun ggu in i,” kataku. “Teruskan ,
teruskan!”
“Tak tahu aku apa yang kautunggu-tunggu itu,” katanya
selanjutnya. “Akulah yang seharusnya m enunggu-nunggu sesuatu
yang paling buruk, m elihat kam u setiap hari bergelim ang dalam
kecem aran, foya-foya, dan kem ewahan kalangan yang dungu
itu, dan sekaranglah waktunya. Kubiarkan segalanya sam pai
hari ini, hingga aku tak punya m uka karena m alu serta sakit
hati, yang tak pernah kualam i sebelum nya, sakit hatiku sewaktu
tem anm u itu m encelupkan tangannya yang najis ke dalam hatiku
dan m ulai berbicara tentang cem buru—hal cem buruku—dan
cem buru karena siapa? Karena seorang laki-laki yang tak dikenal
baik olehm u m aupun olehku. Dan kam u begitu saja tak m au
m engerti terhadapku serta ingin m engorbankan dirim u sendiri,
dan apa jadinya? Akulah yang m alu karena kam u—m alu karena
m elihat kam u m erendahkan harkat dirim u sendiri begitu saja.
Pengorbanan!” ulangnya.
“J adi, itulah hak seorang suam i!” pikirku. “Untuk m enghina
dan m erendahkan derajat seorang wanita yang tak bersalah apa-
apa. J adi, itulah hak seorang suam i! Tetapi aku tidak m au tunduk
pada aturan itu.”
“Tidak, aku tidak m au berkorban apa pun untuk m u,” kataku,
dan aku m erasa hidungku m engem bang serta darah tersirap ke
m ukaku. “Aku akan pergi ke pesta hari Sabtu—pasti aku akan
pergi.”
“Mudah-m udahan kau m enyenanginya, akan tetapi sem uanya
habislah sudah antara kau dan aku,” dia berteriak dengan gem as.
“Aku tidak akan m em biarkan kau terus-m enerus m enyiksa aku.
Akulah yang dungu,” dia m ulai lagi, tetapi bibirnya gem etar, dan
Rumah Tangga yang Bahagia 101
itu lagi, hanya pada pagi hari kadang-kadang aku pergi keluar
m inum air, atau naik kendaraan ke pedusunan yang ada di sekitar
bersam a L.M., seorang wanita Rusia kenalanku. Suam iku sedang
di Heidelberg pada waktu itu, m enunggu aku selesai tetirah
untuk kem udian kem bali ke Rusia. Sewaktu-waktu dia datang
m enjenguk aku.
Pada suatu hari Nyonya S. m em bawa serta sem ua orang pergi
berburu, sedangkan L.M. dan aku sehabis m akan sore berpacu
m enuju istana benteng. Kam i m ulai bercakap-cakap dengan
sungguh-sungguh, dengan cara yang tak pernah kam i lakukan
sebelum nya tatkala naik kuda yang dijalankan dengan perlahan-
lahan. J alan besar penuh dikelilingi dengan pohon-pohon kenari
yang telah tua, dan m elalui celah-celah pohon yang rindang itu
kam i dapat m elihat kilasan-kilasan alam pedusunan yang indah
dan terawat rapi sekitar Baden, tertim pa cahaya m atahari yang
akan terbenam . Meskipun telah lam a kukenal L.M., aku tak
pernah menginsyai bahwa wanita ini ternyata seorang wanita
yang baik hati dan cerdas, wanita yang bisa dipercaya dan
m enyenangkan untuk dijadikan seorang sahabat.
Kam i bercakap-cakap tentang keluarga, tentang anak-anak,
dan tentang waktu yang terbuang dengan percum a di pesta-
pesta. Kam i m enginginkan kem bali ke Rusia, ke negeri kam i, dan
perasaan rindu kam pung ha lam an yang m eresahkan hati nam un
nyam an m enyerang kam i dan m engam bil tem pat dalam diri kam i
tatkala kam i m em asuki istana benteng.
Sejuk dan teduh di dalam benteng, dan dari atas, dari tem pat
di m ana sinar m atahari berm ain di atas puing-puing, datanglah
bunyi telapak kaki dan suara-suara lain. Pem andangan alam
Baden m em bingkai di pintu gerbang—indah, m em pesonakan
bagi orang Rusia. Kam i duduk istirahat dan m em andang dengan
diam -diam ke arah m atahari yang lagi terbenam .
Rumah Tangga yang Bahagia 113
2
Sem oga berhasil, Tem anku.
Rumah Tangga yang Bahagia 115
m atahari. Aku benci ter hadapnya, aku takut padanya, dia asing
bagiku, tetapi dalam pada itu betapa m erasuk dan m enggoda
keasingan ini, seorang yang kubenci m uncul di dalam diriku!
Betapa tak terta han kan hasratku un tuk m em biarkan diriku
dikecupi oleh m ulut yang kasap dan tam pan itu, untuk dipeluk
oleh tangan-tangan yang halus belaiannya serta bercincin pada
jarinya. Alangkah ingin aku m enjatuhkan diriku dengan kepala
tersuruk ke dalam rawa kenikm atan terlarang yang dengan tiba-
tiba terbuka di hadapanku dan sedang m enyeret aku!
“Aku dem ikian sengsara!” pikirku. “Apa jadinya andaikata
lebih banyak lagi kesialan yang m engerum uni diriku?”
Tangannya yang sebelah lagi dililitkannya ke tubuhku serta
dia m em bungkuk kepadaku. “Apa jadinya andaikata lebih banyak
lagi noda dan dosa tercurah ke atas kepalaku!”
“Je vous aim e,”3 dia berbisik dengan suara yang seperti
suam iku. Kuingat suam iku beserta bayiku sebagai m akhluk yang
pada suatu ketika begitu kukasihi, tetapi yang sekarang tiba-tiba
m usnah. Tiba-tiba aku m endengar L.M. m em anggilku dari sekitar
belokan. Aku lari kepadanya.
Aku m asuk ke dalam kendaraan, dan hanya setelah itu aku
m encuri pandang ke arahnya. Dia telah m em buka topinya dan
sedang tersenyum serta m engatakan sesuatu. Dia takkan tahu
bahwa dalam diriku ada kebencian terhadap dirinya yang tak
terperikan pada saat itu. Rupa-rupanya dem ikian tak bahagia
hidupku, dem ikian tak ada harapan hari depanku, dem ikian hitam
m asa lam pauku! L.M. sedang berbicara kepadaku, tetapi apa yang
dikatakannya itu tak kupaham i. Rasanya seperti dia sem ata-m ata
berbicara hanya karena m erasa kasihan saja padaku, dan buat
m enyem bunyikan pandangan yang m enistaiku, yang ada dalam
hatinya. Kurasakan kenistaan dan rasa belas yang m enghina ini
3
Aku m encintaim u.
Rumah Tangga yang Bahagia 117
apa yang disebut “segala-gala nya” itu, begitu pula aku tak tahu
apakah dia juga m au m engam puniku.
Tetapi sesudah aku m em asuki kam ar dan m elihat m ukanya
yang tenang namun keheran-heranan, insyalah aku bahwa tak
perlu kukatakan apa-apa padanya, tak perlu m em buat pengakuan,
tak perlu m inta m aaf. Ke sedihan dan penyesalanku yang tak
terperikan ini harus tetap terkunci di dalam hatiku.
“Mengapa ke m ari?” katanya. “Aku pikir, akulah yang besok
pergi kepadam u.” Kem udian, sam bil m em andang dekat-dekat ke
m ukaku, dia kelihatan jadi gelisah. “Ada apa gerangan?” tanyanya.
“Tak ada apa-apa.” sahutku, ham pir tak dapat m em bendung
air m ata. “Kedatanganku ini untuk seterusnya. Aku siap kem bali
ke Rusia, besok pun boleh jika kau m enghendakinya.”
Untuk beberapa lam a dia diam saja, m engawasi aku dengan
teliti.
“Tetapi katakanlah apa yang terjadi,” ulangnya.
Merah m ukaku dan kujatuhkan pandangan m ataku ke bawah.
Ungkapan rasa terperkosa dan terhina terbayang di wajahnya.
Takut oleh pikiran yang tentunya bakal terlintas dalam benaknya,
kukatakan saja dengan gaya bersandiwara yang aku sendiri tak
tahu apakah aku m am pu m elakukannya.
“Tak terjadi apa-apa, aku hanya jem u saja dan m erasa tertekan
serta m ulai berpikir tentang hidup kita dan tentang dirim u.
Aku telah m em perlakukan kau tak sepantasnya dem ikian lam a!
Mengapa aku kaubawa ke suatu tem pat, sedangkan kau sendiri
tak m au pergi ke sana? Aku telah bersalah dem ikian lam anya,”
aku m engulangnya, dan kem bali lagi air m ata berlinang-linang
m em enuhi m ataku. “Mari kita pulang ke desa untuk selam a-
lam anya.”
“Ah, nanti dulu, Sayang! J angan tergesa,” katanya dingin.
“Mem ang aku pun girang bahwa kau ingin kem bali pulang ke
kam pung halam an, karena kita tak banyak uang, tetapi buat
Rumah Tangga yang Bahagia 119
seluruh dirinya, seluruh jiwanya, seperti dulu. Tetapi dia juga tak
m em berikannya kepada siapa pun dan untuk apa pun—sem ua itu
seakan-akan sudah lenyap dari dirinya. Kadang-kadang tim bul
pikiran dalam benakku, apakah sebetulnya dia itu hanya pura-
pura saja dan m aksudnya hanya sekadar m enyiksa diriku, dan
bahwa sebenarnya perasaannya yang lam a itu m asih hidup dalam
dirinya dan sedang diusahakan supaya bangkit kem bali? Tetapi,
ia m enjauhi segala yang hendak dia percayai—seakan-akan dia itu
m encurigai sesuatu yang disangkanya kulakukan dengan dibuat-
buat, dan takut kalau-kalau segala perasaan yang tam pak terlihat
itu akan terasa sebagai sesuatu yang m enggelikan saja. Sorot m ata
dan suaranya berkata, “Aku tahu segalanya, tahu benar-benar—
m alahan tahu apa yang bakal kaukatakan. Aku tahu bahwa kau
akan m engatakan ini-itu.” Mula-m ula aku m erasa tersinggung
oleh ketakutannya untuk m em percayaiku lagi, tetapi perasaan
ini kem udian jadi biasa, karena aku tahu bahwa yang dem ikian
bukanlah takut, m elainkan kese gananlah yang m enyebabkan
dia m enjauhkan diri dari sikap percaya padaku. Aku sendiri tak
dapat begitu saja m engatakan bahwa aku cinta padanya, atau
m em inta dia agar m engucapkan doa bersam a-sam a denganku,
atau m em anggil dia untuk m endengarkan aku berm ain piano.
Suatu aturan sopan-santun tertentu m enguasai tingkah-laku
kam i m asing-m asing, seorang terhadap lainnya. Ia punya urusan,
dan aku tak perlu cam pur tangan, dan aku pun sekarang tak
ada hasrat untuk m elakukannya. Aku m erasa enggan untuk
m engharubiru perasaan hatinya lagi. Anak-anak m asih terlalu
kecil untuk m em pertem ukan kam i.
Tetapi tibalah m usim sem i, dan Katya bersam a Son ya
datang ke dusun buat m elewatkan m usim panas. Rum ah kam i
di Nikolskoye sedang dibangun kem bali, karena itu kam i pindah
ke Pokrovskoye. Rum ah kam i m asih seperti rum ah lam a dengan
beranda depan, m eja-tarik dan piano di ruang duduk yang
122 Leo Tolstoi
cerah, kam arku yang dulu dengan tirai jendela yang putih serta
m im piku dari m asa gadis seakan-akan m asih ada di baliknya dan
dilupakan. Di kam arku itu ada dua buah ranjang kecil—yang satu
ranjangku yang dulu, kini tem pat aku pada m alam hari m em buat
tanda salib pada tubuh Kokosha, yang tergolek di situ dengan
tangannya yang m ontok direntangkan, lainnya ranjang kecil
sekali, di situlah wajah Vanya yang m ungil m enyem bul dari kain-
kain selim ut badannya. Setelah m em buat tanda salib pada tubuh
m ereka, aku berdiri di tengah-tengah kam ar yang sunyi itu. Dan
tiba-tiba m uncullah pem andangan dulu yang telah kulupakan,
pem andangan sewaktu aku m asih gadis, datang m em anjat dari
sudut, dari dinding, dari tirai. Kudengar nyanyian sewaktu aku
m asih rem aja. Apakah yang terjadi dengan m im pi-m im piku itu?
Dengan nyanyian yang indah m erdu itu? Ham pir-ham pir tak
perlu aku m engharapkannya karena m em ang telah datang benar-
benar. Mim pi-m im piku yang kalang-kabut dan sam ar-sam ar
telah jadi kenyataan, dan kenyataan jadi kehidupan yang tak kenal
belas kasihan, banyak liku-likunya, pula tak m enggem birakan.
Dan di sini segalanya tetap tinggal sam a—kulihat kebun yang itu
juga m elalui jendela, halam an rum put yang itu juga, jalan setapak
yang itu juga, bangku yang itu juga di dekat ngarai, burung bulbul
yang itu juga yang sedang bernyanyi di dekat kolam , bunga lilak
yang itu juga yang sedang m ekar penuh, dan bulan yang itu juga
yang tengah m engam bang di atas rum ah. Dan pada waktu yang
sam a segalanya telah berubah begitu m engerikan, begitu sukar
untuk dipercaya! Segala yang tadinya dem ikian akrab dan indah
jadi dem ikian dingin dan asing, jadi sam ar-sam ar.
Seperti dulu, aku pun sekarang duduk bersam a Katya di
ruang tam u, sam bil berbicara pelan-pelan tentang dia. Tetapi
Katya yang ini adalah Katya yang sudah keriput dan tam pak sakit-
sakitan, m atanya tak lagi bercahaya seperti dulu—bukan m ata
yang penuh kegem biraan dan harapan—tetapi m ata yang penuh
Rumah Tangga yang Bahagia 123
suara yang ada dalam diriku. Apa yang telah kukatakan itu
m enyinggung hatinya. Suaranya tenang dan dingin.
“Aku tak tahu apa yang kausesalkan pada diriku,” katanya
m ula-m ula. “Andaikata aku tidak m encintaim u sebagaim ana
biasanya.”
“Sebagaim ana biasanya!” gum am ku ke dalam sapu tanganku,
dan air m ata kegetiran m akin m enderas.
“…kem udian sudah waktunya bahwa yang dem ikian itu
salah, juga kita sendiri. Setiap waktu punya bentuk cintanya
sendiri-sendiri.” Dia berhenti. “Apakah aku harus m enyatakan
seluruh kenyataan? Sekiranya kau tetap berpegang teguh pada
ketulusan hatim u.... Seperti pada tahun ketika aku pertam a
kalinya m engenalm u, aku tidak dapat tidur sem alam -m alam an
karena m em ikirkan kam u dan karena cinta yang tum buh dalam
hati yang kian m em besar. Dem ikian pula di St. Petersburg dan
di luar n egeri terdapat m alam -m alam yan g m en dahsyatkan
bilam ana aku tak dapat tidur, karena cinta yang berkobar dalam
hati kupupus habis. Cinta itu sendiri tak kubinasakan, yang
kupupus hanyalah apa-apa yang m enyiksa diriku, aku m enem ukan
kedam aian, dan tetap m encintaim u, tetapi caranya sudah lain.”
“Kaunam akan itu cinta, bukan… itulah siksaan,” gum am ku.
“Mengapa kaubiarkan aku hidup di dalam kalangan pergaulan
itu sekiranya kau berpendapat bahwa cara hidup yang dem ikian
adalah nista, hingga kau berhenti m encintaiku dem i cinta itu
sendiri?”
“Bukan pergaulannya, Sayang.”
“Mengapa kau tidak m em pergunakan kekuatanm u untuk
m enguasai diriku?” aku m eneruskannya. “Mengapa kau tidak
m em egan g aku erat-erat, m em bun uhku? Itulah lebih baik
daripada m enghilangkan segala yang m em buat diriku bahagia.
Aku akan puas dan tidak m alu.”
132 Leo Tolstoi
[•]
Leo Tolstoi
SASTRA
KPG: 59 16 01226