Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN AKHIR KAJIAN

PELAYANAN
PELAYANAN KESEHATAN
KESEHATAN PU SKESMAS

YANG ’’RAMAH” BAGI PENYANDANG DISABILITAS/D/F/45IE

Ast ridya Paramita


Weny Lestari
Tri
Tri J uni A ngkasawa
ngkasawati
ti
Aan Kurniawan
Syarifah Nuraini
Yunia Wahdati
Edy Suprianto

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA Jalan Indrapura 17, Surabaya 60176 Telp. (031) 3528748 Fax. (031)

3528749
2014

LAPORAN AKHIR KAJIAN

PELAYANAN
PELAYANAN KESEHATAN
KESEHATAN PUSKESMAS YANG ’’RAMAH” BAGI PENY
PENYANDANG
ANDANG
DISABILITAS/Ztf/v^ZJ?

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA Jalan
Jalan Indrapura 17, Surabaya 60176 Telp. (031) 3528748 Fax. (031)

3528749
2014
ii
ii i
iv
V

vi
v ii
viii

SUSUNAN TIM PENELITI

Astridya Paramita

Weny Lestari Tri

Juni Angkasawati

Aan Kurniawan

Syarifah Nuraini

Yunia Wahdati Edy

Suprianto

Pelaksana Administrasi: Dri Subianto


LEMB AR PENGESAHA
PENGESAHAN
N

Judul Pe ne li
litian
tian : PELAYANAN KESEHATAN PUSKESMAS YANG

H” B AGI PENYANDANG DISABILITAS/£>/F,


"RAMAH”
"RAMA DISABILITAS/£>/F,45LE
45LE

Lokasi
Lokasi Peneli
Penelitian
tian : Kabupaten Sukoharjo.
Sukoharjo. Provinsi Jawa Te ngah

Lama
Lama Penelitian : 4 bula
bulan,
n, Septe mber hingga De se mber tahun 2014 .

Ke tua Pelaks an
ana
a,

Menyetujui.
Mengetahui.
x

KATA PENGANTAR

Salah
Salah satu Rencana Pembang
P embangunan
unan Jangka Panjang Bidang Keseha
Kesehatan
tan T ahun 2005-

2025 adalah diharapkannya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mulai mantap

pada tahun 2015. Namun kenyataan yang ada bahwa masih ada masyarakat yang belum

dapat mengakses pelayanan kesehatan yang ideal, termasuk masyarakat difabel.

Data World Health OrganizationfWHO tahun 2011 menunjukkan jumlah difabel

adalah sekitar 15% dari seluruh penduduk dunia, dan data Riskesdas 2013 menunjukkan

bahwa prevalensi
prevalensi nasional
nasional disabil
disabilitas
itas (usia
(usia >15 tahun) adalah
adalah 11,0%.
11,0% . Jumlah ini tampaknya

belum
belum sepadan dengan
dengan perhatian
perhatian yang seharusnya diberikan
diberikan pada mereka. Di bidang

kesehatan, masih banyak fasilitas dan pelayanan kesehatan yang belum mengakomodir hak

dan kebutuhan difabel.

Kompleksitas permasalahan pelayanan kesehatan bagi penyandang difabel

seringkah hanya dijawab dengan bantuan-bantuan dalam bentuk pembiayaan kesehatan dan

pembangunan
pembangunan fasilitas
fasilitas fisi
fisik.
k. Akan
Akan tetapi jawaban tersebut belum menjadi sebuah solusi

yang bisa mengakomodir kebutuhan difabel terhadap pelayanan kesehatan yang ideal bagi

mereka. Permasalahan seperti kurangnya dukungan sarana fisik untuk difabel di fasilitas

kesehatan, kurangnya kemampuan petugas kesehatan dalam berkomunikasi dengan difabel,

serta pemahaman para tenaga kesehatan pada hak-hak dan kebutuhan difabel seringkah

menjadi sebuah kendala yang muncul.

Kajian ini bermaksud melakukan sistemati c revi ew tentang Pelayanan Kesehatan

Puskesmas "Ramah” Penyandang Disabilitas/Z)//a6/e untuk dapat memberikan

rekomendasi pelayanan kesehatan puskesmas yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan

hak-hak difabel.

Kami menyadari bahwa laporan penelitian kajian ini mempunyai banyak kekurangan
baik
baik dari isi maupun format penulisan
penulisan lap
laporan.
oran. Oleh
Oleh karena itu, kritik
kritik dan saran dari

berbagai
berbagai pihak
pihak sangat
sangat kami nantikan, sehingga
sehingga laporan
laporan ini akan lebih
lebih bermanfaat. Akhir
Akhir

kata, Tim Peneliti mengucapkan terima kasih atas peran semua pihak, baik pejabat
struktural Pusat humaniora,
humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan

xi

Pemberdayaan Masyarakat, maupun Bapak/Ibu peserta workshop


workshop,, yang tidak dapat kami

sebutkan satu per satu, sehingga kegiatan kajian dan proses penyusunan output Pedoman

Pelayanan Kesehatan Puskesmas Ramah Difabel dapat


dapat terlaksana.

Surabaya, Desember 2014

Tim Peneliti
RINGKASAN EKSEKUTIF

Judul :P
Pela
elayanan
yanan Kesehatan Puskesmas
Pus kesmas Yang ’’Ramah” Bagi

Penyandang Disabilitas/D//a6/e

Penyusun : Astridya Paramita, Weny Lestari, Tri Juni Angkasawati, Aan

Kumiawan, Syarifah Nuraini, Yunia Wahdati, Edy Suprianto. (Pusat

Humaniora,
Humaniora, Kebijakan
Kebijakan Kesehatan, dan P emberdayaan Masyarakat,
Masyarakat,

Balitbangkes
Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI).

Latar Belakang :

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005- 2025,

khususnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah 3 (RPJM 3), diharapkan akses

masyarakat terhadap pelayanan


pelayanan kesehatan mulai mantap pada tahun 2015. Namun kenyataan

yang ada bahwa masih ada masyarakat yang belum dapat mengakses pelayanan kesehatan

yang ideal, termasuk masyarakat penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas,

selanjurnya disebut difabel, adalah seseorang yang memiliki hambatan fisik, gangguan

kejiwaan, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan

berbagai
berbagai hambatan lingku
lingkungan
ngan dapat menghambat
menghambat partisipasi
partisipasi penuh dan efektif
efektif dalam
dalam

masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang lain.

Data World Health Organization!WHO


Organization!WHO tahun 2011 menunjukkan jumlah difabel

sekitar 15% dari seluruh penduduk dunia, dan data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa

prevalensi
prevalensi nasional
nasional disabili
disabilitas
tas (usia >15 tahun) adalah
adalah 11,0%. Jumlah ini tampaknya belum

sepadan dengan perhatian yang seharusnya diberikan pada mereka. Persoalan penyandang

difabel, khususnya masalah fasilitas dan pelayanan kesehatan yang kurang ’’ramah” bagi

difabel, tampaknya masih kurang menarik dibandingkan dengan masalah-masalah sosial

yang lain.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengeluarkan konvensi internasional mengenai

hak-hak penyandang cacat yang harus dipenuhi oleh pemerintah negara- negara dengan

penduduk dif
difabel,
abel, termasuk Negara
Negara Indonesi
Indonesia.
a. Konvensi ini bertujuan untuk
mempromosikan, melindungi dan menjamin kesetaraan hak asasi manusia dan kebebasan

dasar bagi semua penyandang cacat sekaligus untuk

mempromosikan penghormatan terhadap martabat mereka. Konvensi tersebut memuat

delapan prinsip pemenuhan hak terhadap penyandang cacat. Dan Berdasarkan Undang-

Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan, diatur bahwa setiap bangunan harus

menyediakan fasilitas/infrastruktur untuk penyandang disabilitas, kecuali perumahan


pribadi.
pribadi.

Kompleksitas permasalahan pelayanan kesehatan bagi difabel seringkah hanya

dijawab dengan bantuan-bantuan dalam bentuk pembiayaan kesehatan dan pembangunan

fasilitas fisik. Akan tetapi jawaban tersebut belum menjadi sebuah solusi yang bisa

mengakomodir kebutuhan difabel terhadap pelayanan kesehatan yang ideal bagi mereka.

Permasalahan seperti kurangnya dukungan sarana fisik untuk difabel di fasilitas kesehatan,

kurangnya kemampuan petugas kesehatan dalam berkomunikasi dengan mereka, serta

pemahaman para tenaga


tenaga kesehatan pada hak-hak dan kebutuhan difabel
difabel seringkah
seringkah menjadi

sebuah kendala yang muncul.

Pemenuhan kebutuhan akan pelayanan kesehatan pada tingkat pelaksanaan di

lapangan dapat dilihat dari tiga faktor yaitu fasilitas kesehatan yang sesuai dengan

kebutuhan penyandang disabiYitas/difable, organisasi atau yayasan pendamping dan

pendidikan
pendidikan inklusif,
inklusif, dan peran keluarga.
keluarga.

Kajian ini bermaksud melakukan sistemati c review tentang Pelayanan Kesehatan

Puskesmas ’’Ramah” Penyandang Disabilitas /Di f abe


abel . Yang dimaksud dengan
pelayanan
pelayanan kesehatan yang ’’ramah” bagi difabel
difabel yaitu pelayanan
pelayanan kesehatan yang memadai

atau sesuai standar pelayanan kesehatan bagi difabel, dengan mengakomodir hak-hak dan

kebutuhan mereka dalam hal sarana fisik fasilitas kesehatan, kemampuan petugas kesehatan

dalam
dalam berkomunikasi
berkomunikasi maupun pemahaman terhadap hak dan kebutuhan mereka.

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah systematic review serta round table

discussion (RTD). RTD diselenggarakan dalam bentuk kegiatan workshop dengan

melibatkan pemangku kebijakan (BAPEDA, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial), Puskesmas,

petugas
petugas kesehatan, dan yayasan pendamping para difable (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat

/ RBM) dari Kabupaten Sukoharjo, Kota Yogyakarta, dan Kota Bandung.


Bandung. Kegiatan
Kegiatan workshop

dilakukan untuk

xiv

mendapat tanggapan tentang draft pedoman pelayanan kesehatan puskesmas yang ’’ramah”

bagi difabel
difabel yang disusun hasil systematic review.
revi ew. Kegiatan kajian dilakukan selama 4 bulan

pada tahun 2014.


Tujuan :

Memberikan rekomendasi pelayanan kesehatan puskesmas yang tepat dan sesuai

dengan kebutuhan dan hak-hak difabel kepada Dirjen Bina Upaya Kesehatan Dasar (BUKD)

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan jajarannya, berupa buku pedoman tentang

pelayanan
pelayanan kesehatan puskesmas yang ’’ramah” difabel dari dimensi kebijakan,
kebijakan, sarana dan

prasarana fasilitas
fasilitas kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan peran serta

masyarakat (PSM) dalam rangka meningkatkan kemandirian akses terhadap pelayanan

kesehatan puskesmas.
Hasil:

Hasil kajian systematic reviews dan Round Table Discussion


Discussi on (RTD) tentang

pelayanan
pelayanan kesehatan puskesmas yang ’’ramah”
’’ramah” difabel
difabel yang ditinjau dari dimensi kebijakan,

sarana dan prasarana fasilitas kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan peran

serta masyarakat (PSM) menunjukkan bahwa (1) kebijakan internasional, nasional dan

daerah terkait pelayanan ramah difabel sudah ada, baik itu terkait kesehatan maupun yang

non kesehatan (infrastruktur,


(infrastruktur, kesejahteraan sosial,
sosial, hukum, dsb), hanya kesinambungan
kesinambungan antar

kebijakan pusat dan daerah, serta kebijakan antar lintas sektor yang belum teraplikasi

dengan baik, (2) sarana dan pra sarana fasilitas kesehatan, secara nyata di lapangan sarana

yang menunjang kebutuhan difabel sudah ada, hanya sebagian besar kendala adalah akses
difabel menuju ke tempat pelayanan kesehatan yang masih menemui banyak kendala,

disamping itu beberapa sarana pelayanan kesehatan masih menggunakan gedung lama

dengan bangunan yang belum mempertimbangkan akses yang ramah difabel dan lanjut usia,

(3) sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang khusus untuk melayani difabel belum ada,

namun semua tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar

pelayanan
pelayanan umum yang sudah diteta
ditetapkan,
pkan, (4) peran serta masyarakat (PSM) yang

berkecimpung
berkecimpung mendampingi
mendampingi dan meng
mengadvokasi
advokasi difab
difabel
el baik itu dari Rehabili
Rehabilitasi
tasi Berbasis
Berbasis

Masyarakat (RBM) maupun organisasi difabel juga keluarga difabel sangat aktif, hanya

belum semua

XV

sektor yang ada di masyarakat terutama yang tidak bersinggungan langsung dengan difabel

memahami bahwa difabel mempunyai hak untuk mendapat akses dan pelayanan yang sama

sesuai kebutuhan difabel. Dari kajian ini maka tersusun buku pedoman tentang pelayanan
kesehatan puskesmas yang ’’ramah” difabel yang didalamnya meliputi kebijakan, sarana

pra sarana, SDM Kesehatan dan peran serta masyarakat.

Simpulan dan Saran :

Simpulan

Pelayanan kesehatan puskesmas


puskesmas yang ’’ramah” difabel merupakan kebutuhan

difabel yang wajib ada di setiap unit pelayanan kesehatan. Hal ini perlu didukung kebijakan-

kebijakan yang menunjang terbentuknya pelayanan tersebut, sarana pra sarana yang

memadai dan dapat terakses dengan mudah oleh difabel, SDM kesehatan yang terlatih, dan

peran serta masyarakat dalam


dalam upaya difa
difabel
bel memil
memiliki
iki akses terhadap pelayanan kesehatan

puskesmas secara setara tanpa diskrimi


diskriminasi,
nasi, dan mandiri.
mandiri.
Saran

Pedoman tentang pelayanan kesehatan puskesmas yang ’’ramah” difabel yang

didalamnya meliputi panduan terkait kebijakan, sarana pra sarana, SDM Kesehatan dan

peran serta masyarakat diharapkan


diharapkan menjadi suatu perangkat
perangkat kebijakan
kebijakan dengan
dengan kekuatan

hukum yang tetap setara keputusan menteri agar daerah mempunyai acuan pasti untuk
melaksanakan dan mengembangkannya sesuai kebutuhan difabel di masing-masing daerah.

xvi

ABSTRAK

Salah satu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang


Salah Bidang Kesehatan Tahun 2005-
2025 adalah mulai mantapnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pada tahun
2015. Kenyataan, masih ada masyarakat yang belum dapat mengakses pelayanan kesehatan
yang ideal, termasuk masyarakat difabel. Persoalan difabel, khususnya masalah fasilitas dan
pelayanan
pelayanan kesehatan yang kurang
kurang ’’ramah” bagi difabel,
difabel, tampaknya masih kurang menarik
dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang lain. Kompleksitas permasalahan
pelayanan
pelayanan kesehatan bagi difabel
difabel seringkali
seringkali hanya dijawab dengan bantuan-bantuan dalamdalam
bentuk pembiayaan kesehatan dan pembangunan fasilitas
fasilitas fisik
fisik d i mana jawaban
jawa ban tersebut
belum menjadi sebuah solusi yang bisa meng mengakomodi
akomodirr kebutuhan difabel
difabel terhadap
pelayanan
pelayanan kesehatan yang ideal
ideal bagi mereka.
Kajian ini bertujuan untuk dapat memberikan rekomendasi pelayanan kesehatan
puskesmas yang tepat dan sesuai dengan
dengan kebutuhan dan hak-hak difabel
difabel kepada Dirjen
Dirjen Bina
Upaya Kesehatan Dasar (BUKD) Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan jajarannya
berupa buku pedoman daladalam
m upaya pemenuhan hak dan kebutuhan difabeldifabel terhadap
pelayanan
pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Metode yang dig
digunakan
unakan dalam kajian ini adalah systematic review serta round table
discussion (RTD). Kegiatan kajian dilakukan selama 4 bulan pada tahun 2014.
Hasil kajian secara keseluruhan menunjukkan bahwa dimensi kebijakan, sarana dan
prasarana fasilitas
fasilitas kesehatan, sumber daya manusia
manusia (SDM) kesehatan, dan peran serta
masyarakat (PSM) secara umum sudah ada dan beberapa kota/kabupaten di Indonesia sudah
berupaya membuat daerahnya
daerahnya “ramah”
“ramah” pada difabel
difabel.. Namun masi
masih
h banyak kekurangan
kekurangan dan
kendala dalam pelaksanaannya.
Kesimpulan yang didapat dari kajian ini yaitu bahwa pelayanan kesehatan
puskesmas yang ’’ramah” difabel
difabel merupakan kebutuhan difabel
difabel yang wajib ada di setiap
setiap
unit pelayanan kesehatan. Hal ini perlu didukung kebijakan-kebijakan yang menunjang
terbentuknya pelayanan tersebut, sarana pra sarana yang memadai dan bisa terakses dengan
mudah oleh difabel, SDM kesehatan yang terlatih, dan peran serta masyarakat dalam upaya
difabel memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan puskesmas secara setara tanpa
diskriminasi, dan mandiri.
Disarankan, pedoman tentang pelayanan kesehatan puskesmas yang ’’ramah”
difabel yang didalamnya meliputi kebijakan, sarana pra sarana, SDM Kesehatan dan peran

serta masyarakat menjadi suatu perangkat kebijakan dengan kekuatan hukum yang tetap
setara keputusan menteri agar daerah mempunyai acuan pasti untuk melaksanakan dan
mengembangkannya sesuai kebutuhan difabel di masing-masing daer
daerah.
ah.

Kata kunci: Difabel, Puskesmas, Akses, Pelayanan kesehatan

xvii

DAFTAR ISI

JUDUL PENELITIAN
PENELITIAN .......................................
..........................................................
........................................
..........................................
........................................
................... i

SURAT KEPUTUSAN
KEPUTUSAN PENE
PENELITIAN
LITIAN ...........................
...............................................
.........................................
.........................................
..........................
...... ii

SUSUNAN
SUSUNAN TIM PENE
PENELITI
LITI ..............
...................................
........................................
........................................
........................................
....................................
................. ix

LEMBAR PERSETUJUAN
PERSETUJUAN .................
......................................
........................................
........................................
..........................................
.................................
............ x

KATA PENGANTAR
PENGANTAR .................
......................................
........................................
........................................
..........................................
........................................
......................
... xi

RINGKASAN
RINGKASAN EKSE
EKSEKUTIF
KUTIF ...................
........................................
........................................
........................................
..........................................
..............................
......... xiii

ABSTRAK ......................................
.........................................................
........................................
..........................................
........................................
.......................................
.................... xvii

DAFTAR ISI...........................
ISI................................................
..........................................
........................................
........................................
..........................................
..........................
..... xviii

DAFTAR TABEL.............................
TABEL..................................................
.........................................
........................................
.........................................
.....................................
................ xx

DAFTAR GAMBAR .......................................


..........................................................
........................................
..........................................
........................................
......................
... xxi

DAFTAR LAMPIRAN...........................
LAMPIRAN................................................
..........................................
........................................
........................................
...............................
.......... xxii

BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN ..................
.......................................
........................................
........................................
.........................................
........................................
.........................
..... 1

1.1. La
Latar
tar Be lak
lak an
ang
g ......................................
.........................................................
........................................
..........................................
........................................
............................
......... 1

1.2. Rumusan M asalah/ Justifik asi Kajian ..................


......................................
.......................................
........................................
.................................
............ 4

BAB II TUJUAN DAN MANFAAT ...................................................


........................................................................
........................................
...................................
................ 5

2.1. Tujuan ......................................


..........................................................
.........................................
.........................................
........................................
.........................................
....................... 5

Tujuan Umum..........................
Umum...............................................
..........................................
........................................
........................................
........................................
.............................
.......... 5

Tujuan Khusus ........................................


...........................................................
.......................................
.........................................
.........................................
...................................
............... 5

2.2. Manfaat ........................................


...........................................................
........................................
..........................................
........................................
......................................
................... 5

Output ...................
........................................
........................................
........................................
..........................................
........................................
.......................................
.............................
......... 5

BAB III METODE ...............................


...................................................
.........................................
........................................
........................................
..........................................
....................... 6

3.1. Keran
Kerangk
gk a Konse p ......................................
.........................................................
........................................
.........................................
........................................
.........................
..... 6

3.2. Bahan dan Cara ..................................................


.......................................................................
........................................
........................................
....................................
............... 8

3.3. Variabel dan Definisi Operasional ...............................................


....................................................................
........................................
............................
......... 9

3.4. Manajemen dan Analisis Data.........................................


Data............................................................
........................................
.........................................
.................... 10
xviii

BAB IV HA SIL DAN PEMBAHASA N ...............................


....................................................
..........................................
........................................
......................
... 11

1. GAMBARAN UMUM DIFABEL ...................................................


........................................................................
........................................
......................
... 11

2. KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN ’’RAMAH” DIFABEL .................


....................................
................... 20

3. SARANA DAN PRASARANA PELAYANAN KESEHATAN ’’RAMAH”


DIFABEL .......................................
..........................................................
........................................
.........................................
........................................
................................
............ 30

4. SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) TERKAIT PELAY PELAYANAN ANAN KESEHATAN


’’RAMAH” DIFABEL .................
......................................
........................................
........................................
..........................................
................................
........... 35

5. PERAN SERTA MA SYARAKAT .......................


............................................
........................................
........................................
..............................
......... 37

Kebijakan..................................................
Kebijakan.......................................................................
........................................
.......................................
.........................................
..............................
......... 49

Sarana Prasarana ........................................


...........................................................
........................................
..........................................
........................................
.........................
......4 9

Sumber Daya Manus ia (SDM) .......................................


..........................................................
........................................
..........................................
..........................
..... 50

Peran Serta Mas yara


yarak
k at .......................................................
............................................................................
........................................
.......................................
....................51

BAB V ......................................
..........................................................
........................................
.........................................
........................................
........................................
..............................
......... 53

KESIMPULAN DAN REKOMENDA SI .....................................................


..........................................................................
........................................
...................53

DAFTAR PUSTAKA ......................................


.........................................................
........................................
..........................................
........................................
.........................
......55

LAMPIRAN .......................................
...........................................................
.........................................
.........................................
........................................
.......................................
...................56

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kajian
Kajian Kebijakan
Kebijakan Terkait Difabel
Difabel dan Implementasi
Implementasinya
nya ......
... ......
......
......
......
......
......
......
......
......
......
......
... 26

XX

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Konsep Pelayanan Kesehatan ’’Ramah” Difabel ............................................. 7


xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Pela


Pelayana
yanan
n Keseh
Kesehatan
atan Puskesma
Puskesmass ...........
..... ...... ...........
...... ...........
...........
..... ...........
...... ..........
..... 56
’’Ramah” Difabel
xxii

BABI

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005- 2025,

khususnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah 3 (RPJM 3), diharapkan akses

masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mulai mantap pada tahun 2015. Namun

kenyataan menunjukkan bahwa masih ada masyarakat yang belum dapat mengakses

pelayanan
pelayanan kesehatan yang idea
ideal,
l, termasuk masyarakat penyandang disabili
disabilitas
tas (difable)

sekalipun beberapa kebijakan telah memuat kewajiban pemerintah untuk memperhatikan

hak difabel dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan gedung dan lingkungan

berdasarkan azas kemudahan


kemudahan aksesibili
aksesibilitas
tas pelayanan
pelayanan publik.

Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28 H ayat

1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal

dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

kesehatan-pelayanan
kesehatan-pelayanan kesehatan. Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Pelayanan

Publik yang menyatakan 12 azas kemudahan aksesibilitas pelayanan publik bagi difabel,

yaitu 1) azas kepentingan umum, 2) azas kepastian hukum, 3) azas kesamaan hak, 4) azas

keseimbangan hak dan kewajiban, 5) azas keprofesionalan, 6) azas partisipatif, 7) azas

persamaan perlakuan atau tindak diskriminati


diskriminatif;
f; 8) azas keterbukaan, 9) azas akuntabili
akuntabilitas,
tas,

10) azas fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, 11) azas ketepatan waktu,

dan 12) azas kecepatan kemudahan dan keterjangkauan. Demikian pula pada kebijakan level
kementerian, yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang

Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan,

disebutkan bahwa dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan gedung dan

lingkungan, harus dilengkapi dengan penyediaan fasilitas dan aksesibilitas yang

mewujudkan kemandirian dan lingkungan binaan yang ramah bagi semua orang, termasuk

penyandang cacat dan lansia.


lansia.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengeluarkan konvensi internasional mengenai

hak-hak penyandang cacat yang harus dipenuhi oleh pemerintah negara- negara dengan

penduduk penyandang cacat. Konvensi ini bertujuan untuk mempromosikan,


mempromosikan, melindung
melindungii

dan menjamin kesetaraan hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua penyandang

cacat sekaligus untuk mempromosikan penghormatan terhadap martabat mereka. Konvensi

tersebut memuat 8 prinsip pemenuhan hak terhadap penyandang cacat, yaitu 1) hak untuk

mendapat pemenuhan kebutuhan dasar dan otonomi martabat individu termasuk kebebasan

untuk membuat pilihan sendiri dan kemandirian; 2) non diskriminasi; 3) hak untuk

berpartisipasi
berpartisipasi dalam kegiatan
kegiatan bermasyarakat; 4) meng
menghormati
hormati perbedaan dan penerimaan
penerimaan

penyandang cacat sebagai


sebagai bagian
bagian dari keragaman
keragaman manusia dan kemanusiaan;
kemanusiaan; 5) hak atas

persamaan kesempatan; 6) hak atas aksesibil


aksesibilitas;
itas; 7) hak atas persamaan gender; dan 8) hak

atas pengakuan terhadap kapasitas yang berkembang dari anak-anak penyandang cacat dan

penghormatan
penghormatan atas hak anak- anak penyandang cacat
cacat untuk melindungi identitas mereka.1
melindungi identitas

Menindaklanjuti kebijakan perundang-undangan dan peraturan kementerian maka

Indonesia turut mengesahkan konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang Hak

Penyandang
Peny andang Disabilitas
Disabilitas (United
(United Nation Convention on Rights of Persons with Disability) pada

Oktober 2011. Konvensi ini menjelaskan tentang definisi disabilitas yaitu individu yang

memiliki hambatan fisik, mental, intelektual atau sensorik jangka panjang sehingga

terhambat partisipasinya dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas

kesetaraan.

Ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebut kelainan atau keterbatasan

fisik pada seseorang di antaranya “cacat”, “tuna”, “luar biasa”, “ handicap


handicap”,
”,

"impairment ”, “disabled' dan “difable


“difableKonsep
Konsep ini pada
-j

kenyataannya mengalami banyak pergeseran. Di negara Barat, istilah handicap dan


3
impairment merupakan istilah yang pertama kali dimunculkan dalam rangka
1
Dikuti p dari Convention
Convention on The Ri
Rights
ghts of Pe
P ersons w
wii th Di sabili
sabilities.
ties. Konv
Konvee nsi tentang hak para cacat yang
yang
dikel uarkan oleh Bad
Badan
an PB B yang m
mulai
ulai diad
diadops
ops i pada tangg al 1
133 Dese mb
mber
er
2006.((www.un.org/disabilities/convention/conventionfull.shtml )
2006.

1
H and
andii cap
cap diartikan sebagai kerugian yang diperoleh seseorang akibat impairment atau disability yang membuat
seseorang menjadi terbatas untuk melakukan peran normalnya.
3
Impairment dia
diartikan
rtikan sebagai setiap kehilangan atau keab
keabnormalan
normalan fungsi at
atau
au struk tur ekonomi.
ekonomi.

redefinisi istilah bagi para penyandang cacat. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengurangi

stigmatisasi dari masyarakat.

Sebelum muncul
muncul istilah “disabilitas”, sejak tahun 1998, para aktivis sudah

memperkenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan penyandang cacat, yakni difable
difable,,

yang merupakan singkatan dari differently-abled. Istilah ini kemudian digunakan


digunakan secara luas

dalam bahasa Indonesia


Indonesia sebagai ”difabel
”difabel ”, yang merujuk pada kemampuan setiap orang

yang memang berbeda. Dari istilah terakhir inilah diupayakan pemberdayaan bagi para

penyandang cacat agar bisa mengesampingka


mengesampingkan
n barrier fisik melalui pengembangan potensi

yang dimilikinya.

Data World Health Organization (WHO) tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah

difabel sekitar 15% dari seluruh penduduk dunia, 2-4% di antaranya mengalami

permasalahan
permasalahan fisik
fisik yang sig
signifi
nifikan.
kan. Riskesdas
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
prevalensi

disabilitas nasional (usia >15 tahun) adalah 11,0% dengan masalah yang menonjol adalah

sulit beijalan jarak jauh (6,8%), sulit berdiri lama (5,8%), dan sulit mengerjakan kegiatan

rumah tangga (4,6%). Penelitian Ferry Firdaus dan Fajar Iswahyudi (2010) menyebutkan

bahwa jumlah
jumlah penyandang cacat di Indonesia
Indonesia mencapa
mencapaii 7,8 juta jiwa.
jiwa. Data jumlah
jumlah penduduk

difabel tersebut tampaknya belum sepadan dengan perhatian yang seharusnya diberikan.

Persoalan difabel tampaknya kurang menarik dibandingkan dengan masalah-masalah sosial

lainnya.

Di bidang kesehatan, masih banyak fasilitas dan pelayanan kesehatan yang belum

mengakomodir hak dan kebutuhan difabel. Hal ini dapat dilihat pada kurangnya dukungan

sarana umum, termasuk pelayanan kesehatan yang dapat diakses oleh difabel

(http://researchengines.educationcreativity.com/ nurkolis2.html). Kurangnya dukungan

sarana fisik untuk difabel di fasilitas kesehatan, kurangnya kemampuan petugas kesehatan

dalam berkomunikasi dengan mereka, sehingga pemahaman para pelayan kesehatan pada

hak-hak dan kebutuhan difabel seringkali


seringkali menjadi sebuah kendala (Aan Kumiawan, 2013).

Kompleksitas permasalahan akses kesehatan bagi difabel seringkali hanya dijawab

dengan bantuan-bantuan dalam bentuk pembiayaan kesehatan sehingga belum menjadi

sebuah solusi yang bisa mengakomodir kebutuhan difabel terhadap pelayanan kesehatan

yang ideal bagi difabel.

3
1.1. Rumusan Masalah/Justifikasi Kajian

Kajian ini melakukan sistemati


sistematicc review tentang Pelayanan Kesehatan Puskesmas

yang ’’Ramah” bagi Difabel untuk dapat memberikan rekomendasi pelayanan kesehatan

puskesmas yang tepat dan sesuai dengan


dengan kebutuhan dan hak- hak difabel.
difabel. Yang dimaksud
dimaksud

dengan pelayanan kesehatan yang "ramah” bagi difabel yaitu pelayanan kesehatan yang

memadai atau sesuai standar pelayanan kesehatan bagi difabel, dengan mengakomodir hak-

hak dan kebutuhan difabel dalam hal sarana fisik fasilitas kesehatan, kemampuan petugas

kesehatan dalam
dalam berkomunikasi maupun pemahaman terhadap hak dan kebutuhan mereka.

BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT

2.1 Tujuan
Tujuan Umum

Mengkaji input pela


pelayanan
yanan kesehatan puskesmas yang ’’ramah” difabel
difabel dalam
dalam upaya

memberikan rekomendasi buku pedoman tentang pelayanan kesehatan puskesmas ’’ramah”

difabel.

Tujuan Khusus

1. Mengkaji kebijakan pelayanan kesehatan puskesmas yang ’’ramah” difabel.

2. Mengkaji sarana kesehatan pelayanan kesehatan puskesmas yang ’’ramah” difabel.

3. Mengkaji SDM kesehatan sebagai pelaksana pelayanan kesehatan yang ’’ramah”

difabel.

4. Mengkaji peran serta masyarakat terkait akses difabel terhadap pelayanan kesehatan

puskesmas.

1.1. Manfaat

Memberikan rekomendasi kepada Dirjen Bina Upaya Kesehatan Dasar (BUKD)

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan jajarannya berupa buku pedoman dalam
upaya pemenuhan hak dan kebutuhan difabel terhadap pelayanan
pelayanan kesehatan di Puskesmas.

Output

Buku pedoman tentang pelayanan kesehatan puskesmas ’’ramah” difabel.

BAB III

METODE

3.1. Kerangka Konsep

Terkait RPJM 3 Bidang Kesehatan yaitu mulai mantapnya akses masyarakat

terhadap pelayanan kesehatan pada tahun 2015, maka provider pelayanan kesehatan harus

bergerak
bergerak meminimal
meminimalisi
isirr kesenjangan
kesenjangan antara ketersedi
ketersediaan
aan pelayanan
pelayanan kesehatan dengan
dengan hak

dan kebutuhan pasien, termasuk pasien difabel. Untuk meminimalisir kesenjangan tersebut

dilakukan kajian terhadap manajemen pelayanan kesehatan yang ada.

Menggunakan pendekatan sistem, kajian ini difokuskan pada bagian input

pelayanan
pelayanan kesehatan puskesmas yang meliputi aspek kebijakan, pengembangan
pengembangan sarana dan
prasarana fasilitas
fasilitas kesehatan, pengembang
pengembangan
an kapasitas
kapasitas SDM kesehatan dalam memberikan

pelayanan
pelayanan yang ramah kepada difabel,
difabel, serta peran serta masyarakat dalam upaya

meningkatkan kemandirian difabel mengakses pelayanan kesehatan. Rangkaian informasi

input pelayanan kesehatan puskesmas tersebut dikompilasi menjadi suatu buku pedoman

tentang pelayanan kesehatan yang ramah bagi difabel, khususnya pelayanan kesehatan di

puskesmas. Pedoman menjadi acuan puskesmas dalam


dalam memberikan
memberikan pelayanan
pelayanan kesehatan

yang memenuhi kebutuhan dan hak difabel atas pelayanan kesehatan.

KESEHATAN YANG ” RAMAH ” DIFABEL


PELAYANAN KESEHATAN

INPUT

MAN MARK ET MET HOD


MA TE RIA L MA CH IN E T
M
SDM KESEHATAN)
A. KEBIJAKAN PERAN SERTA
MASYARAKAT - Sarana fasilitas Standar
- Kapasit as S DM kes ehatan O Operasional I
- Keb
Kebijakan
ijakan tingk at pusat dan pelayanan
dalam memberikan daerah yang mendukung - Kemampuan difabel Prosedur (SOP)
kesehatan yang M
pelayanan secara keberadaan dan kebutuhan memenuhi kebutuhan N
mengakomodir
komprehensif kepada difabel mer ujuk pada akses pelay
pelayanan
anan kebutuhan E
difabel mul ai pada Ratifikas i UU no 19 tahun kesehatan. E
difabel.
kapasitas kemampuan 2011 tentang
tentang pen
pengesahan
gesahan - Perhatian kelompok y
pelayanan medis sampai Convention on the Rights of masyarakat (Organisasi
dengan pelayanan secara Person with Di sa
sabilities
bilities difabel, keluarga,
umum. B. PRASARANA FASKES Organisasi peduli difabel).
- Prasarana pada fasilitas
pelayanan kes ehatan yang
mengakomodir kebutuhan
difabel.

PROSES
PELAYANAN KESEHATAN YANG ” RAMAH ” DIFABEL

OUTPUT
Kepuasan Difabel terhadap Layanan Faskes

Keterangan:
Diteliti/dikaji

Tidak diteliti/tidak dikaji

Gambar 1. Ke rangka Konse p Kajian Pelayanan Ke se hatan Yang ’’Ramah” Difa


Difabel
bel
7

3.2. Bahan dan Cara

Metode kajian ini adalah systematic review data sekunder dan Round Table

Discussi on (RTD) untuk verifikasi. Systematic review yaitu melakukan sintesis terhadap

hasil-hasil penelitian sebelumnya dan materi-materi kebijakan terkait topik kajian dalam

bentuk actionable messages (policy brief


bri ef dan policy paper), untuk membuktikan fakta yang

komprehensif dan berimbang bagi penentu kebijakan (Siswanto, 2010). Round Table

Discussi on (RTD) yaitu kegiatan diskusi untuk membahas suatu topik tertentu. Kajian

dilakukan selama 4 bulan, pada bulan September hingga Desember tahun 2014.

Langkah-langkah Kegiatan Kajian

1. Tahap Persiapan

Tujuan
Tu juan : Mengkaji beberapa referensi tentang pelayanan kesehatan

bagi difabel.
difabel.

Kegiatan
Kegiatan : Pertemuan rutin TIM membahas isu dan kebijakan
kebijakan

berdasarkan referensi (PERDA dan hasil


hasil-hasil
-hasil peneliti
penelitian
an yang

sudah ada).

Metode : Systematic review beberapa referensi tentang pelayanan


pelayanan

kesehatan bagi difabel.

Output : Draft pedoman pelayanan


pelayanan kesehatan puskesmas ’’ramah”

difabel.

2. Tahap Konfirmasi Lapangan

Tujuan
Tu juan : Mendapat tanggapan tentang draft pedoman pelayanan
pelayanan

kesehatan puskesmas ’’ramah” difabel.

Kegiatan : Workshop untuk mendapat tanggapan tentang draft

pedoman pela
pelayanan
yanan kesehatan puskesmas ’’ramah” difabel
difabel hasil

systematic review
revi ew tahap persiapan.

Informan atau peserta workshop adalah pemangku kebijakan

(BAPEDA, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial), Puskesmas, petugas

kesehatan, dan yayasan pendamping difabel (Rehabilitasi Berbasis

Masyarakat / RBM).

Metode : Round Table Discussi on (RTD).

Output : Draft buku pedoman pelayanan


pelayanan kesehatan puskesmas

’’ramah” difabel.

3. Tahap Finalisasi
Finalisasi
Tujuan : Menyusun rekomendasi buku pedoman.

Kegiatan
Kegiatan : Pertemuan rutin TIM untuk penyusunan buku pedoman.

Output : Buku pedoman pelayanan kesehatan puskesmas ’’ramah”

difabel.

3.3. Variabel dan Definisi Operasional

3.3.1. Variabel Kajian

Variabel
Variabel dalam kaji
kajian
an ini meliputi Kebijakan, Sarana,
Sara na, Sumber Daya
Manusia dan Peran Serta Masyarakat. Adapun sub variabel nya:

a. Kebijakan pendukung pelayanan difabel berupa kebijakan pada tingkat daerah yang

dapat mendukung kebutuhan dan keberadaan difabel.

b. Pengembangan sarana dan prasarana pada fasilitas kesehatan yang dapat mengakomodir

kebutuhan difabel.

c. Kapasitas SDM yang dapat memberikan pelayanan secara komprehensif kepada difabel.

d. Peran serta masyarakat dengan pemberdayaan keluarga dan masyarakat serta difabel

dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk difabel.

3.3.2. Definisi Operasional

a. Kebijakan pendukung adalah kebijakan pada tingkat daerah yang dapat mendukung

kebutuhan dan keberadaan difabel yang merujuk pada Ratifikasi UU No. 19 tahun 2011

tentang pengesahan Conve


Convention
ntion on the Rights of Person with Disabili ties

b. Pengembangan sarana dan prasarana pada fasilitas kesehatan adalah pengembangan

yang mengakomodir kebutuhan difabel. Desain disesuaikan kebutuhan difabel dengan

merujuk pada peraturan perundangan yang berlaku.

c. Kapasitas SDM adalah kemampuan SDM kesehatan dalam memberikan pelayanan


secara komprehensif kepada difabel, mulai aspek preventif, promotif, kuratif hingga

rehabilitatif individu maupun pemberdayaan keluarga dan masyarakat sekitar difabel

dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk difabel.

d. Peran serta masyarakat adalah pemberdayaan keluarga, masyarakat dan difabel serta

organisasi difabel maupun yayasan pendamping difabel dalam pemanfaatan pelayanan

kesehatan untuk difabel.


difabel.

3.4. Manajemen dan Analisis Data

Kegiatan manajemen data kajian ini adalah mencari dan menata secara sistematis
seluruh catatan hasil kegiatan studi literatur dan workshop
workshop,, serta mendokumentasikannya

untuk meningkatkan pemahaman peneliti dalam rangka menyusun buku pedoman Data

dianalisis
dianalisis secara deskriptif. Outpu
Outputt berupa buku pedoman.

10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil systematic review terkait gambaran umum difabel tentang aksesibilitas di

fasilitas umum termasuk fasilitas kesehatan dan kebutuhannya, serta 4 (empat) dimensi

pelayanan
pelayanan kesehatan puskesmas ramah difabel yaitu
yaitu 1) kebijakan, 2) pengembang
pengembangan
an sarana

dan prasarana fasilitas kesehatan, 3) pengembangan kapasitas SDM kesehatan dalam

memberikan pelayanan yang ramah kepada difabel, serta 4) PSM dalam upaya

meningkatkan kemandirian difabel mengakses pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

1. GAMBARAN UMUM DIFABEL

Penelitian ’’Pelayanan Publik Bagi Difabel di Kota Yogyakarta” bertujuan untuk

menganalisis kebijakan dan pelayanan publik yang diterapkan kepada masyarakat


berkebutuhan khusus atau difabel
difabel masih mini
minim.
m. Sedangkan
Sedangkan Undang- Undang No 25 tahun

2009 menyebutkan bahwa setiap warga negara tak terkecuali difabel berhak mendapatkan

pelayanan
pelayanan publik
publik yang adil dan tanpa pandang bulu. Metode peneliti
penelitian
an kualitati
kualitatiff dengan
dengan

informan dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pendidikan, Dinas

Perhubungan, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah, dan Lembaga Swadaya


Masyarakat (LSM) pemerhati kelompok difabel yaitu SABDA Jogja. Teknik analisis data

menggunakan metode triangulasi


triangulasi antara sumber data, peneliti {peer review),
review), dan teori.

Pemerintah Kota Yogyakarta telah berupaya memberikan pelayanan publik yang

ramah difabel. Dinas Pendidikan telah meluncurkan program pendidikan inklusi untuk

memberikan kesempatan bagi difabel mendapatkan pendidikan yang setara dan tanpa
pembedaan dengan
dengan non difabel.
difabel. Keberadaan Blind Corner di Arpusda (Arsip dan

Perpustakaan Daerah) juga menunjukkan upaya pemerintah kota dalam menyetarakan

kelompok berkebutuhan khusus ini.

Ketersediaan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pembiayaan kesehatan khusus

difabel dalam praktiknya belum banyak digunakan oleh kelompok masyarakat difabel.

Namun pengalama
pengalaman
n yang dirasakan difabel
difabel,, menunjukkan jaminan
jaminan kesehatan tersebut tidak

mampu menjawab kebutuhan

11

kesehatan bagi difabel. Contohnya, terbatasnya item-item obat dan treatment yang

ditanggung, sementara penyakit dari individu tanpa mempedulikan status individu apakah

kaya, miskin, difabel atau non adifabel. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu mekanisme

aminan kesehatan yang sensitive difabel dan mampu menjawab kebutuhan rakyat akan

aminan
aminan kesehatan.

Di bidang sosial, Dinas Sosial dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah

memberikan serangkaian bantuan dan pendampingan modal per bulan bagi keluarga difabel

serta berusaha menyalurkan tenaga difabel pada lapangan keija yang membutuhkan. Dalam

aksesibilitas perhubungan dan bangunan serta prasarana fisik, difabel masih mengalami

kesulitan terutama dalam mengakses sarana dan prasarana gedung karena masih banyak

pihak yang berwenang melakukan


melakukan pembangunan
pembangunan belum
belum mempertimbangk
mempertimbangkan
an kemudahan

akses bagi difabel. Dengan demikian telah banyak program penyediaan pelayanan yang

ramah difabel namun belum optimal karena program kurang berjalan atau disalahgunakan

dengan kegiatan lain.

Penelitian Syafi’ie, 2012, tentang Potret Aksesibilitas Penyandang Disabilitas di

Yogyakarta menyoroti
menyor oti Pot
Potret
ret A
Aksesibil
ksesibilitas
itas Fisik dan Non Fisik,
Fisik,

a. Potret
Pot ret Aksesibil
Aksesibilitas
itas Fisik
Bagi difabel di Yogyakarta, kelompok difabel yang paling bersentuhan dengan

aksesibilitas fisik pelayanan publik adalah difabel daksa, difabel netra, difabel rungu, dan

difabel grahita. Difabel daksa membutuhkan ruang publik yang ada ramp dengan

kemiringan 1:12 antara tinggi dan alas, pintu dengan lebar 90 cm, toilet yang sesuai dengan

kursi roda, dan telpon umum yang rendah. Difabel netra membutuhkan adalah sistem audio

seperti talking lift, arsitektur yang memiliki braile di handle tangga, warning block di jalan

umum, braile di keyboard, titik handphone


handphone,, dan lainnya. Difabel rungu membutuhkan
visualisasi seperti bel peringatan kebakaran atau lampu berkedip, bahasa isyarat, dan

running text. Dan untuk difabel grahita, kebutuhan yang diutamakan ialah keselamatan,

sehingga dibutuhkan kondisi bangunan yang tidak memiliki sudut tajam, dan diganti dengan

sudut tumpul.

12

Menurut Harry Kumiawan, peneliti Center for Universal Design and Disabilities

(CIUDD) Universitas Gadjah Mada aksesibilitas fisik di Yogyakarta relatif berjalan

progresif
progresif tetapi tidak sig
signifi
nifikan
kan dan belu
belum
m terintegra
terintegrasi.
si. Secara keseluruhan,
keseluruhan, pemenuhan

aksesibilitas
aksesibilitas bangunan fisik di Yogyakarta masih dengan catatan.

b. Pot
Potret
ret Aksesibil
Aksesibilitas
itas Non Fisik
Fisik

Pemaknaan aksesibilitas non fisik ialah terjangkaunya difabel terhadap pelayanan


publik
publik yang bersifat
bersifat seperti bahasa pelayanan,
pelayanan, sikap dan kualitas.
kualitas. Aksesibi
Aksesibili
litas
tas non fisi
fisik
k

sangat fundamental bagi difabel karena selain fasilitas fisik yang seharusnya aksesibel,

kualitas pelayanan harus dapat dijangkau dan dipahami oleh difabel.

Dampak dari keikutsertaan Indonesia meratifikasi instrument-instrumen hak asasi

manusia (HAM) internasional, maka Negara Indonesia memiliki kewajiban dan tanggung

jawab untuk mendukung dalam


dalam pelaksanaan
pelaksanaan setiap
setiap upaya pemajuan HAM. Kewajiban dan

tanggung jawab tersebut setidaknya dapat dilihat dalam tiga bentuk:

a. Tanggung jawab menghormati (obligation


( obligation to respect).

Makna dari tanggung jawab ini ialah kewajiban Negara untuk tidak turut serta
mengatur warganegara ketika melaksanakan hak-haknya, tidak melakukan

tindakan-tindakan yang menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi.

b. Tanggung jawab melindungi (obligation


( obligation to protect).

Makna dari tanggung jawab ini ialah kewajiban negara agar bertindak aktif untuk

memberi jaminan perlindungan


perlindungan terhadap hak asasi warga negaranya.

c. Tanggung jawab memenuhi (obligation to fulfill).

Makna dari tanggung jawab ini ialah kewajiban negara untuk bertindak secara aktif

agar semua warga negaranya dapat terpenuhi hak-hak nya. Negara wajib

mengambil lang\kah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan tindakan lain

untuk merealisasikan
merealisasikan HAM secara penuh.
13

Pemerintah juga hams berupaya untuk menciptakan mekanisme keluhan bagi difabel.

Karena mekanisme keluhan adalah bagian yang tidak terpisah dari pemenuhan hak-hak

difabel.

Wirawan, 2007 dalam Aksesibilitas Penyandang Cacat di Jawa Timur urut

menyatakan kebijakan yang menyangkut aksesibilitas difabel pada pelayanan umum di kota

besar di Indonesia,
Indonesia, tampaknya sebagian
sebagian besar masih sebatas wacana. Di dalam

implementasinya, tidak banyak perencana dan pengelola pusat- pusat pelayanan umum di

kota-kota besar, baik pemerintah maupun swasta, yang menyadari betapa pentingnya

menyediakan prasarana dan sarana aksesibilitas standar bagi difabel, terlebih di kota kecil.

Di pihak lain, sebagian besar difabel, tampaknya belum atau kurang menyadari hak untuk

akses fasilitas pelayanan di tempat-tempat umum, sehingga mampu melaksanakan aktifitas

sebagaimana orang normal lainnya. Selama ini difabel fisik mental, tidak banyak menuntut,

bahkan pasrah dengan


dengan kondisi di
diri,
ri, meski sudah ada wadah organisasi
organisasi untuk menampung

aspirasi dan kepentingan difabel.

Referensi ini menyebutkan bahwa dengan mengacu pada persyaratan teknis

aksesibilitas bangunan umum dan lingkungan yang dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan

Umum RI 1998 maka seharusnya semua prasarana pelayanan umum yang ada di berbagai

wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur, termasuk bangunan pelayanan kesehatan (rumah

sakit atau klinik) sudah menyediakan aksesibilitas (kemudahan) bagi difabel guna

mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupannya.

Kebijakan tentang penanganan difabel di Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Timur, nampak

hampir sama polanya di berbagai daerah, yaitu belum adanya kejelasan tentang arah, tujuan

maupun sasaran akhir yang harus dicapai. Ini dapat dibuktikan dari salah satu indikator

penanganan
penanganan difabel,
difabel, yakni sistem pendataan dan peng
penggol
golonga
ongan
n difabel
difabel di setiap
setiap daerah

nampak sama. Hampir semua Dinas atau Kantor Sosial memusatkan perhatian, kegiatan,

sumber daya dan sumber dana pada masalah Kesejahteraan Sosial, mengkategorikan difabel

kedalam kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Belum ada satu

daerah pun di Jawa Timur yang telah memiliki Perda tentang aksesibilitas difabel. Oleh

sebab itu, perlu

14

segera dilakukan advokasi dan sosialisasi di kalangan pejabat perencana, pelaksana dan
pengawas
pengawas di daerah, pengusaha
pengusaha dan pengelol
pengelolaa bangu
bangunan
nan dan fasili
fasilitas
tas umum, agar
agar

konsekuen dengan persyaratan teknis yang ditentukan bagi aksesibilitas bangunan umum

dan li
lingkungannya
ngkungannya

Aan Kumiawan dkk, 2013 dalam Penelitian ’’Akses Pelayanan Kesehatan yang

Ramah Bagi Penyandang Difabel (Difable - Friendly) di Kabupaten Sukohaijo, Jawa

Tengah” mendeskripsikan gambaran mengenai akses pelayanan kesehatan yang ideal bagi

difabel. Merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yang dilakukan dengan cara
mengangkat studi kasus yang selanjutnya dipakai untuk memperoleh pemahaman secara

mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti. Data yang diperoleh tetap

dipertahankan keutuhannya (wholeness


( wholeness)) dengan cara mengabstraksikan data seperti apa

adanya.

Secara eksplisit Peraturan Daerah No. 7 tahun 2009 mengenai penyandang cacat

telah mengakomodir hal-hal tersebut di bawah ini:

a. Kebutuhan difabel terhadap pelayanan kesehatan.

Difabel memiliki persepsi dan pengalaman beragam terhadap pelayanan kesehatan

yang dialami, mulai pelayanan kesehatan sebagai institusi yang “sudah baik” sampai

dengan hal yang dianggap “traumatis”. Faktor umur menjadi pengaruh karena adanya faktor
dengan
kemampuan komunikasi, sosial, dan kemandirian. Usaha pengobatan tidak hanya dilakukan

di fasilitas kesehatan medis formal seperti puskesmas, rumah sakit umum, balai

pengobatan,
pengobatan, dokter praktek swasta, bidan praktek swasta, posyandu, tapi balai
balai pengobatan
pengobatan

medis non-formal seperti klinik di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) dan

pengobatan
pengobatan tradi
t radisiona
sionall seperti jamu dan panti pijat.

Kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh difabel tidak berarti rendahnya

angka kesakitan namun karena faktor-faktor lain, baik bersifat material maupun psikologis

difabel dan lingkungan pendukungnya. Beberapa hambatan yang dialami difabel dalam

pemanfaatan pelayanan
pelayanan kesehatan antara lain
lain adalah masalah akses jalan raya, transportasi

umum, faktor keluarga


keluarga,, dan dukungan
dukungan masyarakat.

15

b. Ketersediaan fasilitas kesehatan yang dapat menunjang kebutuhan dan hak difabel.

Salah satu upaya penanganan persoalan difabel di Kabupaten Sukoharjo adalah

mencanangkan beberapa fasilitas kesehatan menjadi fasilitas kesehatan yang ramah bagi

difabel. Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo telah mencanangkan 3 (tiga) puskesmas di

wilayahnya sebagai Puskesmas Ramah Difabel. Ketiga puskesmas tersebut adalah

Puskesmas Nguter, Tawangsari dan Weru. Ketiga Puskesmas tersebut ditransformasikan

menjadi Puskesmas Ramah Difabel karena telah dipandang siap setelah sebelumnya
dicanangkan sebagai Puskesmas Ramah Lansia.

Dipandang dari segi fasilitas kesehatan ataupun standar pelayanan, Puskesmas

Nguterr jauh dari layak


Ngute layak disebut sebagai Puskesmas Ramah Difabel
Difabel.. Banyak perbaikan
perbaikan yang

harus dilakukan, baik dari bangunan fisik, penyediaan Sumber Daya Manusia, sampai

dengan standar pelayanan yang akan diberlakukan. Sedangkan di Puskesmas Tawangsari

telah memiliki fasilitas yang sedikit lebih baik daripada Puskesmas Nguter. Puskesmas yang

terletak kurang lebih 10 km dari Ibukota Kabupaten Sukoharjo ini kurang lebih telah

menerapkan kaidah-kaidah penyediaan fasilitas pelayanan yang aksesibel bagi difabel

maupun lansia, antara lain vamp (tangga landai) dan handrails (pegangan rambat).

Temuan menarik adalah perihal kesiapan sumber daya manusia. Seluruh puskesmas

di Kabupaten Sukoharjo telah memiliki minimal seorang tenaga fisioterapis, meskipun

tenaga fisioterapis tersebut masih mengerjakan semua pelayanan fisioterapi mulai

orthopedi, obstetri sampai dengan terapi fisik. Upaya pengentasan persoalan difabel
merupakan sebuah langkah besar, karena apabila dibandingkan dengan kabupaten/kota

lainnya, keberadaan fisioterapis biasanya hanya ditemukan pada fasilitas pelayanan

kesehatan di rumah sakit.

c. Dukungan dari yayasan pendamping

Masalah data riil difabel di Kabupaten Sukoharjo adalah suatu pokok perhatian

tersendiri, sehingga atas inisiatif paguyuban difabel pada tahun 2010, Paguyupan Sehati

melakukan pendataan difabel. Selain melakukan pendataan,

16

Paguyuban Sehati juga menjalankan sebuah advokasi untuk difabel di Sukoharjo yang

bersifat
bersifat inklusif,
inklusif, yaitu
yaitu menjari
menjaring
ng difabel bergabung ke dalam paguyuban.
paguyuban.
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) merupakan salah satu upaya advokasi

kelompok difabel di Kabupaten Sukohaijo kepada pemerintah pada tingkat daerah dan

pusat. RBM sebenarnya program


program yang dica
dicanang
nangkan
kan oleh Kementerian
Kementerian Sosial
Sosial sebagai
sebagai

bentuk upaya menjaring partisipasi


partisipasi masyarakat dalam
dalam penanganan
penanganan persoalan
persoalan sosial, dalam
dalam

hal ini persoalan terkait difabel. Keberadaan RBM Kabupaten Sukohaijo yang baru

dikukuhkan oleh Bupati Sukohaijo pada tanggal 31 Juli 2013 tidak dapat lepas dari peran

Paguyuban Sehati. Paguyuban ini bisa disebut sebagai inisiator dari keberadaan RBM

Sukohaijo. Bermula dari berhasilnya advokasi yang mereka ajukan pada tingkat

pemerintahan
pemerintahan lokal dengan
dengan diterbitkannya
diterbitkannya P erda Kabupaten Sukohaijo no. 7 Tahun 2009

mengenai penyandang cacat, gerakan paguyuban ini untuk membela keberadaan difabel
semakin
semakin terasa.

d. Dukungan keluarga
Legalitas difabel dalam keluarga dibuktikan dengan kepemilikan Akta Kelahiran dan

terdaftar pada Kartu Keluarga. Bukti legalitas keluarga ini merupakan salah satu

persyaratan mutlak
mutlak untuk pengurusan
pengurusan legali
legalitas
tas warga nega
negara,
ra, yaitu Kartu Tanda Penduduk

atau Nomor Induk Kependudukan. Jika tidak memiliki bukti legalitas tersebut maka difabel

tidak dapat mengakses hak dan kewajiban seperti tercantum dalam Pasal 27-34 Undang-

Undang Dasar 1945. Kepemilikan kartu identitas sangat diperlukan untuk mengakses

fasilitas dan bantuan yang disediakan oleh pemerintah. Pada bidang kesehatan, Pemerintah

Daerah Kabupaten Sukohaijo menyediakan fasilitas Jaminan Kesehatan Daerah

(Jamkesda), bagi warga tidak mampu dan seluruh difabel yang terdata menjadi warga

Kabupaten Sukoharjo. Selain itu, terdapat bantuan Dinas Sosial dan Jaminan Kesehatan

Masyarakat dari Dinas Kesehatan untuk difabel yang memenuhi syarat. Kesempatan dalam

bidang
bidang kesehatan ini hanya satu dari sejuml
sejumlah
ah kesempatan dalam
dalam aspek hidup lai
lain
n yang

terbuka untuk para difabel dengan syarat bahwa difabel yang bersangkutan memiliki tanda

identitas dan secara periodik terdata sebagai warga negara.

17

e. Kebijakan yang mendukung pelayanan difabel.

Pada tingkat kebijakan upaya pemerintah Kabupaten Sukohaijo untuk memperbaiki

persoalan
persoalan difabel
difabel telah dimulai
dimulai sejak tahun 2009 dengan
dengan diterbitkannya
diterbitkannya Perda No. 7 tahun

2009 tentang pemberdayaan penyandang cacat. Perda ini merupakan sebuah starting point

dari perkembangan perhatian terhadap difabel di Kabupaten Sukoharjo. Dari segi

kebijakan, Perda tersebut merupakan titik awal dari terbitnya kebijakan lain yang

mendukung keberadaan difabel di wilayah ini.

Dalam buku Advokasi Toolkits Untuk Organisasi Difabel (Disability Right Funds

- TIDES Foundation - PPUA Penca) telah disusun hak-hak difabel di beberapa sektor, salah

satunya adalah pada sektor kesehatan. Layanan kesehatan harus memenuhi ketersediaan

fasilitas, aksesibilitas, penerimaan dan kualitas. Pemenuhan hak kesehatan bagi difabel

meliputi layanan kesehatan yang tepat, memungkinkan difabel memfungsikan bagian tubuh

lain untuk mampu menolong dirinya sendiri dalam menjalankan kehidupan sehari-hari;

layanan kesehatan yang murah, yang memungkinkan difabel mendapatkan layanan

kesehatan melalui perolehan bantuan/asura


bant uan/asuransi
nsi kesehatan. Permasalahan
P ermasalahan selama ini yaitu:

Petugas medis dan paramedis masih memahami difabel identik dengan orang sakit,

belum memahami
memahami secara tepat dan benar siapa penyandang disabili
disabilitas
tas dan bagaimana
bagaimana

memperlakukan
memperlakukan mereka.

Lembaga kesehatan (puskesmas, klinik, rumah sakit, rumah bersalin) belum

menyediakan sarana/layanan kesehatan yang memudahkan difabel. Ditemukan


bangunan
bangunan kesehatan yang suli
sulitt dijang
dijangkau,
kau, ruang pendaftaran dengan
dengan ruang

pemeriksaan
pemeriksaan berbeda lantai,
lantai, ranjang pemeriksaan
pemeriksaan yang tinggi
tinggi..

Difabel yang diakibatkan penyakit atau faktor tertentu lainnya membutuhkan

layanan kesehatan yang tetap dan terus-menerus seperti obat dan terapi. Di samping

melakukan perawatan obat dan terapi, petugas medis dengan mitra kerja terkait perlu

melakukan tindakan untuk mempersiapkan pasien menghadapi dan menerima

disabilitasnya serta mengembalikan pasien untuk mampu melaksanakan peran dan fungsi

sosial di lingkungannya.

18

Untuk membantu menerapkan sistem pelayanan kesehatan yang tepat, murah dan

mudah, perlu diperhatikan dan dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam

bidang
bidang kesehatan sebagai
sebagai berikut:

- Petugas medis dan lembaga kesehatan mengembangkan sistem rujukan dan menjalin

mitra kerja dengan organisasi/lembaga


organisasi/lembaga difabel, sekolah
seko lah khusus dan lainnya.
lainnya.
- Mengembangkan peran dan fungsi unit rehabilitasi medik sebagai pusat layanan

disabilitas di dalam lembaga kesehatan seperti konseling sesama, konseling untuk

orangtua/keluarga yang memiliki anak/anggota keluarga difabel, layanan terapi,

penyediaa alat
penyedi alat bantu seperti kruk, kursi roda, tongkat putih, al
alat
at bantu dengar.
dengar.

Merancang atau merenovasi bangunan kesehatan yang memenuhi persyaratan

aksesibilitas bangunan bagi difabel dengan dilengkapi sarana dan layanan yang

memudahkan untuk mendapatkan layanan kesehatan seperti saat pendaftaran, saat

pembayaran, saat pengambilan


pengambilan obat, saat konsultasi dan pemeriksaan
pemeriksaan dokter.

Menerapkan sistem quota (jatah) terhadap kartu

gakin/askin/Jamkesmas/Jamkesda/lainnya.
Memberikan pelatihan kepekaan berinteraksi dengan difabel kepada seluruh

komponen lembaga kesehatan.

Memberikan pelatihan kepada pekeija sosial masyarakat (posyandu, PKK, Karang

Taruna) sebagai upaya gerakan pemberdayaan masyarakat untuk ikut melakukan

deteksi dan intervensi dini serta sistem rujukan terhadap penyandang disabilitas bagi

li
lingkungan
ngkungan masyarakat
masyaraka t terkecil (keluarga,
(keluarga, RT
RT,, RW, desa/kelurahan).
desa/kelurahan) .
19

2. KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN ’’RAMAH” DIFABEL

Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab VII Bagian Ketiga

pasal 138-140 tentang Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat, menguraika
menguraikan
n

peraturan terhadap kesehatan difa


difabel
bel meliputi
meliputi indi
individu
vidu lanjut usia dan penyandang cacat

bahwa upaya pemelihar


pemeliharaan
aan kesehatan bagi
bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga
menjaga ag
agar
ar

tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat

kemanusiaan. Pemerintah juga berkewajiban menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan

kesehatan dan memfasilitasi difabel agar tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial

dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan bagi difabel dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah, dan atau masyarakat.

Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the

Rights of person with Disabi liti es (Konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas)

menyatakan bahwa Negara Indonesia turut mengesahkan hasil konvensi hak-hak difabel

yang telah diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengakui

martabat dan nilai yang melekat serta hak-hak yang setara dan tidak terpisahkan bagi

seluruh anggota keluarga manusia sebagai dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian

di dunia. Konvensi yang dihadiri oleh Negara-negara anggota PBB tersebut mengakui,

memproklamasikan, dan menyetujui bahwa setiap orang berhak atas seluruh hak dan

kebebasan sebagaimana yang telah diatur di dalamnya, tanpa perbedaan dalam bentuk apa

pun.

Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan

Lingkungan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30 Tahun 2006

merupakan acuan dalam penyediaan fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan

lingkungan, dan bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan menciptakan lingkungan

binaan
binaan yang ramah bagi semua orang, termasuk difabel dan usia lanjut. Lingkup
Lingkup Pedoman

Teknis ini meliputi asas, penerapan persyaratan, dan persyaratan teknis fasilitas dan

aksesibilitas
aksesibilitas bangunan gedung dan lingkungan.
lingkungan.

20
Persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan

meliputi a) Ukuran dasar ruang; b) Jalur pedestrian; c) Jalur pemandu; d) Area parkir; e)

Pintu; f) Ramp\ g) Tangga; h) Lif; i) Lif tangga (stairway lift); j) Toilet; k) Pancuran; 1)

Wastafel; m) Telepon; n) Perlengkapan dan Peralatan Kontrol; o) Perabot; p) Rambu dan

Marka.

Dalam peraturan ini juga dijelaskan bahwa jika daerah belum mempunyai peraturan

daerah (Perda) yang mengatur penyediaan fasilitas dan aksesibilitas maka penyediaan

fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan berpedoman pada
peraturan ini.
ini. Demikian
Demikian untuk daerah yang sudah mempunyai Perda terkait
terkait penyediaan
penyediaan

fasilitas dan aksesibilitas maka Perda menyesuaikan peraturan ini. Bahkan, jika penyedia

asa konstruksi yang terlibat dalam penyelenggaraan bangunan gedung melakukan

pelangg
pelanggaran
aran persyaratan akan dikenakan
dikenakan sanksi dan atau ketentuan pidana sesuai ketentuan

peraturan perundang-
perundang- undangan
undangan yang berlaku.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2012 memuat Standar Operasional Prosedur Pusat

Informasi dan Konsultasi Bagi Perempuan Penyandang Disabilitas. Merujuk dan

menimbang peraturan diatasnya yaitu pasal 23 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997

tentang Penyandang Cacat, Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap


upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas, yaitu kegiatan untuk

mengarahkan agar peningkatan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas dapat

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah.

Pembinaan tersebut dilakukan dengan penetapan kebijakan, koordinasi,

penyuluhan,
penyuluhan, bimbinga
bimbingan,
n, bantuan, perijinan,
perijinan, dan pengawasan yang mencakup segala
segala aspek

kehidupan dan penghidupan, termasuk didalamnya layanan informasi, fasilitasi dan

konsultasi di bidang kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan layanan lainnya.

Kewajiban pemerintah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat juga

dimaksudkan untuk menghilangkan stigma negatif, prasangka buruk, stereotype yang

merugikan difabel.

21

Untuk layanan di bidang kesehatan, antara lain:

a. penyedi
penyediaan
aan layanan deteksi dini;
dini;

b. penyedi
penyediaan
aan layanan kesehatan umum;

c. penyedi
penyediaan
aan layanan kesehatan kejiwaan;
d. penyedi
penyediaan
aan layanan kesehatan psikologi
psikologis;
s;

e. penyediaan
penyediaan layanan jaminan kesehatan masyarakat, jaminan
jaminan kesehatan daerah;

f. penyediaan
penyediaan layanan rehabilitasi
rehabilitasi medis;

g. penyediaan
penyediaan layanan tentang alat kesehatan bagi perempuan penyandang
penyandang disabi
disabili
litas
tas

pada umumnya maupun penyandang disabil


disabilitas
itas lai
lainnya;
nnya;

h. penyediaan
penyediaan layanan kesehatan reproduksi perempuan penyandang di
disabil
sabilitas
itas pada

umumnya maupun penyandang disabilitas


disabilitas lai
lainnya;
nnya;

i. penyediaan
penyediaan layanan tentang gizi
gizi perempuan penyandang disabili
disabilitas
tas pada

umumnya maupun penyandang disabilitas


disabilitas lai
lainnya;
nnya;

j. penyediaan
penyediaan layanan tentang lembaga yang menyediakan
menyediakan alat
alat bantu (hearing, kursi

roda, tongkat putih, kaki palsu, tangan palsu);

k. penyediaan layanan tentang lembaga yang memberikan layanan gratis berupa

tindakan operasi mata, bibir sumbing untuk mencegah disabilitas;

1. penyediaan layanan
layanan donor mata;

m. penyediaan layanan
layanan konseli
kons eling
ng bagi
b agi perempuan penyandang
penyanda ng disabilitas
disabilitas pada

umumnya maupun penyandang baru disabili


disabilitas
tas lai
lainnya;
nnya; dan

n. penyediaan layanan tentang bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah, swasta
maupun masyarakat.

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 Tentang

Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Oleh Lembaga Di Bidang

Kesejahteraan Sosial. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga

untuk melaksanakan rehabilitasi sosial difabel yang dilakukan, baik oleh Pemerintah,

pemerintah
pemerintah daerah, maupun masyarakat; baik yang berbadan hukum ataupun tidak.

Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas

dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan

22

seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar. Rehabilitasi
Rehabilitasi Sosial tersebut
tersebu t di
dilaksanakan
laksanakan d
dalam
alam bentuk:

Bimbingan motivasi dan diagnosis psikososial;

a. Perawatan dan pengasuhan;


pengasuhan;

b. Bimbingan sosial dan konseling psikososial;

c. Bimbingan
Bimbingan mental dan spiritual;
spiritual;

d. Bimbingan fisik;

e. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;

f. Pelayanan aksesibilitas;

g. Bimbingan resosialisasi;
h. Bimbingan lanjut; dan/atau j.
i. Rujukan.

Sedangkan dalam pasal 8 menjelaskan tentang tahapan pelaksanaan Rehabilitasi

Sosial Penyandang
P enyandang Disabilitas
Disabilitas oleh Lembaga, meliputi:

a. Pendekatan awal;

b. Penerimaan;

c. Pengungkapan dan pemahaman masalah;

d. Penyusunan rencana pemecahan masalah;


masalah;

e. Pemecahan masal
masalah;
ah;

f. Bimbingan sosial, mental, fisik, vokasional, dan kewirausahaan;

g. Resosialisasi;

h. Terminasi; dan

i. Bimbingan lanjut

Rehabilitasi Sosial bagi Penyandang Disabilitas oleh Lembaga, dilakukan oleh para

pelaksana
pelaksana yang terdiri
terdiri atas a) Pekerja Sosial
Sosial Profesional;
Profesional; b) Tenaga Kesejahteraan Sosial;
Sosial;

c) Relawan Sosial. Pelaksana harus memenuhi persyaratan untuk menjadi pelaksana

rehabilitasi sosial, dan dengan memperhatikan rasio perbandingan kebutuhan setiap jenis

sasaran penyandang disabilitas.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 378 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelayanan

Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit, dibuat mengingat Rumah sakit sebagai sarana kesehatan

mempunyai fungsi rujukan harus menyediakan pelayanan yang bermutu, tidak terkecuali

pada mereka yang memili


memiliki
ki gangguan
gangguan

23

fungsional dengan menyediakan pelayanan rehabilitasi medik yang berkualitas. Pedoman

ini digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit pemerintah dan swasta dalam

penyeleng
penyelenggar
garaan
aan pelaya
pelayanan
nan kesehatan bagi difabel.
difabel. P ela
elayanan
yanan yang diberika
diberikan
n pun diberika
diberikan
n

secara komprehensif meliputi upaya


up aya promotif, preventif, kuratif, dan rehabil
rehabilitatif.
itatif.

Upaya promotif meliputi kegiatan penyuluhan, informasi, dan edukasi tentang hidup sehat

dan aktivitas yang tepat untuk mencegah kondisi sakit.

Upaya preventif meliputi edukasi dan penanganan yang tepat pada kondisi sakit/penyakit

untuk mencegah dan atau meminimalkan gangg


gangguan
uan fungsi atau risiko kecacatan.

Upaya kuratif meliputi upaya penanganan melalui paduan intervensi medik, keterapian

fisik, dan upaya rehabilitatif untuk mengatasi penyakit/kondisi sakit untuk mengembalikan

dan mempertahankan kemampuan fungsi.


fungsi.

Upaya rehabilitatif meliputi upaya penanganan melalui paduan intervensi medik, keterapian

fisik, keteknisian medik dan upaya rehabilitatif lainnya melalui pendekatan psiko sosial

edukasi okupasi vokasional untuk mengatasi penyakit/kondisi sakit yang bertujuan

mengembalikan dan mempertahankan kemampuan fungsi, meningkatkan aktivitas dan

peran serta/partisipasi
serta/partisipasi di masyarakat.

Untuk memberikan pelayanan rehabilitasi medik secara merata, peraturan ini

memberikan acuan pelayanan rehabilitasi medik beijenjang di rumah sakit, puskesmas, serta
di masyarakat berupa strategi Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) sesuai

kebijakan, standar, pedoman, SOP yang tersedia. Pada pelayanan rehabilitasi medik di

rumah sakit dikembangkan kearah peningkatan mutu pelayanan spesialis/subspesialis.

Pelayanan rehabilitasi medik berjenjang di puskesmas ditujukan untuk memberikan

pelayanan
pelayanan rehabili
rehabilitasi
tasi medik dasar, serta pemberian pembinaan kepada masyarakat melalui
melalui

program
program RBM (termasuk individu
individu difabel)
difabel) serta pelaksanaan
pelaksanaan rujukan sesuai ketentuan
ketentuan yang

berlaku.
berlaku. Sedangkan strategi
strategi di masyarakat,
masyarakat, yang dimaksud
dimaksud dengan
dengan RBM yaitu suatu strategi
strategi

dalam pembangunan masyarakat agar lebih berperan aktif dalam upaya mengatasi masalah

kecacatan melalui rehabilitasi. Strategi RBM ini merupakan upaya terobosan dalam

menyelesaikan masalah kecacatan yang belum terjangkau

24

oleh pelayanan rumah sakit ataupun yang sudah dilayani tetapi masih memerlukan

kelanjutan yang bisa ditangani oleh keluarga atau masyarakat.

Secara operasional RBM adalah upaya rehabilitasi sederhana dan pencegahan

kecacatan yang dilaksanakan didalam keluarga dan masyarakat melalui perubahan perilaku

individu difabel, keluarga dan masyarakat agar lebih berperan aktif secara optimal dalam

memandirikan individu difabel dengan menggunakan sumber daya dan sumber dana yang

ada di masyarakat. Pembinaan program RBM dilakukan oleh puskesmas atau rumah sakit

sesuai aturan yang berlaku.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang

Pusat Kesehatan Masyarakat menjelaskan bahwa lokasi dan bangunan puskesmas yang

telah berdiri sebelum peraturan ditetapkan, dianggap telah memenuhi persyaratan.

Puskesmas yang telah ada harus menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lambat

3 (tiga) tahun sejak diundangkan. Terkait keadaan difabel, peraturan ini menghimbau dan

mewajibkan setiap bangunan puskesmas harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas

untuk menjamin terwujudnya asas kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi


bagi difa
difabel.
bel.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 T ahun 2011

Tentang
Ten tang Perlindungan
Perlindungan Penyandang
Pen yandang disabilitas.
disabilitas. Dalam pasal 16 - 19 memuat tentan
tentangg

persamaan dalam
dalam pelayanan
pelayanan bidang
bidang kesehatan yaitu
yaitu 1) Penyandang
P enyandang disabil
disabilitas
itas mempunyai

kesempatan yang sama dalam


dalam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
diselenggarakan Pemerintah
Peme rintah

Daerah dan Masyarakat.

2) Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan

memfasilitasi penyandang disabilitas agar tetap hidup mandiri dan produktif secara

sosial dan ekonomis.

3) Pemerintah Daerah menyediakan pelayanan dan program jaminan kesehatan daerah

bagii penyandang disabi


bag disabili
litas
tas dengan
dengan kualitas
kualitas dan standar layanan
layanan yang sama dengan
dengan
wargaa masyarakat pada umumnya.
warg

4) Gubernur dapat bekeijasama dengan badan hukum atau badan usaha dalam

menyelenggarakan
menyelenggarakan program jaminan
jaminan kesehatan
kesehat an penyandang disabil
disabilitas.
itas.

25

5) Program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan

dalam perjanjian keijasama dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undang
perundang-undangan.
an.

Sedangkan pasal 58 - 60 memuat tentang Rehabilitasi Medik bagi penyandang

disabilitas yang bertujuan agar penyandang disabilitas dapat mencapai kemampuan

fungsional secara maksimal, melalui pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui
tindakan medik. Tindakan medik berupa pelayanan dokter, psikolog, fisioterapi, okulpasi

terapi, terapi wicara, pemberian alat bantu atau alat pengganti, sosial medik, dan pelayanan

medik lainnya.

Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Republik Indonesia Tentang

Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dibuat sebagai landasan hukum

dalam upaya mewujudkan kesamaan kedudukan, kesempatan, hak, kewajiban dan peran

difabel sebagai upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi difabel

disegalaa aspek kehidupan dan penghidupan.


disegal penghidupan.

Prinsip-prinsip dari konvensi penyandang disabilitas menjadi bagian yang menjiwai

undang-undang ini. Prinsip-prinsip


Prinsip-prinsip dimaksud mencakup:
mencakup :
a. Penghormatan atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan

untuk menentukan pilihan, dan kemandirian orang-orang;

b. Non diskrimina
diskriminasi;
si;

c. Partisipasi dan keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat;

d. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai

bagian
bagian dari keragaman
keragaman manusia dan rasa kemanusiaan;

e. Kesetaraan kesempatan;

f. Aksesibilitas;

g. Kesetaraan antara laki-laki


laki-laki dan perempuan;

h. Penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari anak-anak penyandang


disabilitas dan penghormatan atas hak anak-anak penyandang disabilitas untuk

melindungi identitas mereka.

Pada pasal 25 RUU tersebut menegaskan hak difabel atas kesehatan yaitu kewajiban

pemerintah
pemerintah memenuhi hak difabel
difabel atas pela
pelayanan
yanan kesehatan yang setinggi
setinggi mungkin
mungkin dapat

dicapai tanpa diskriminasi, serta kewajiban menjamin


26

akses difabel atas pelayanan kesehatan yang sensitif gender, termasuk rehabilitasi yang

berkaitan
berkaitan kesehatan. Pada pasal 30 menekankan kewajiban pemerintah menyelenggar
menyelenggarakan
akan

upaya rehabilitasi dan habilitasi difabel. Terkait dengan anggaran, Bab IX draft RUU

mengatur kewajiban pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menjamin

ketersediaan anggaran bagi difabel dalam rangka penghormatan, perlindungan dan

pemenuhan hak difabel.


difabel.

Matrik berikut merupakan peraturan terkait kebijakan difabel yang belum

terimplementasi dengan baik.

27

Tabel 1 Kajian Kebijakan Terkait Difabel dan Implementasinya


.
Faktor Penyebab
Realita Implementasi
Peraturan Pelaksana Peraturan belum Rekomendasi
Hukum Nasional Peraturan yang dialami para
yang telah ada terimplementasi
Penyandang disabilitas
dengan baik

1. UUD 45 Pasal 34 1. Peraturan Menteri 1. Perspektif tentang 1. Agar Kementerian


1. Penolakan dan pengurangan
ayat (2) dan (3) Kesehatan RI penyandang disabi
disabili
litas
tas Kesehatan dan Dinas
pelayanan
pelayanan kesehatan
No.741 /Menkes/Per/V
/Menkes/Per/VIII/
III/ yang masih dianggap Kesehatan membuat
terhadap Penyandang
2. UU No. 36 Tahun kebijakan yang
2008 Tentang Standar disabilitas. sebagai masyarakat
2009 tentang memberi kemudahan
Pelayanan Minimal Bidang kelas 2.
Kesehatan 2. Rumah Sakit dan tempat bagi Penyandang
Kesehatan di Kab/Kota.
pelayanan yang tidak akses 2. Tidak diikutinya
pelayanan disabilitas untuk
3. UU No.4 Tahun 2. Keputusan Menteri
secara fisik maupun non fisik ketentuan dalam hal mendapatkan layanan
1997 tentang Kesehatan
sehingga menyulitkan pembangunan
pembangunan gedung kesehatan.
Penyandang Cacat
Pasal 16 dan Pasal No. 104/MENKES/PER/II/ Penyandang disabilitas sesuai 2. Agar Kementerian
1999 Tentang Rehabilitasi dengan standarisasi
memperoleh layanan
18 ayat 1 dan 21. Kesehatan dan Dinas
Medik kesehatan. aksesibilitas.
Kesehatan
4. UU No. 23 Tahun 3. Keputusan Menteri
3. Penyandang disabilitas masih 3. Kurangnya menerapkan peraturan
2002 tentang Kesehatan tentang
dianggap/disamakan dengan pemahaman tentang aksesibilitas
Perlindungan anak JAMKESMAS :
orang sakit. masyarakat tentang gedung yakni UU No. 28
Kecacatan Pasal 46 -SKNo. 125/Menkes/SK/II/ penyandang disabil
disabilitas
itas Tahun 2002.
2008 Tentang Program 4. Tidak adanya jaminan asuransi dikarenakan
5. UU No. 28 Tahun 3. Agar DPR, DPRD
Jamkesmas-SKNo. 124/Me bagi Penyandang disabi
disabili
litas
tas kurangnya informasi
2002 tentang mendorong
nkes/SK/II/2008 Tentang apabila terjadi kecelakaan. tentang kecacatan.
Bangunan Gedung pengalokasi
pengalokasian
an dana dari
Pembentukan Tim
5. Kurang pedulinya petugas 4. Adanya malpraktek APBN, APBD sebagai
Pengelola Program Jaminan
kesehatan. jaminan
jaminan sosial
Kesehatan Masyarakat.
kesehatan bagi

28

6. UU No. 39 Tahun 6. Regulasi kesehatan kurang penyebab kecacatan.


kecacatan. Penyandang disabilitas

1999 tentang Hak mengatur kebutuhan berat (berobat


(berobat g
gratis).
ratis).
5. Rendahnya
Asasi Manusia. layanan kesehatan 4. Memasukkan deteksi
pengawasan
pengawasan dan
Penyandang disabilitas dan intervensi dini
penegakan
penegakan hukum. kecacatan pada
program
program pelay
pelayanan
anan
kesehatan tingkat
masyarakat (posyandu).

5. Kementerian Kesehatan
dan Dinas Kesehatan
menerbitkan surat edaran
bahwa Cacat tidak
identik dengan sakit.

6. Agar Menteri
Pendayagunaan Aparatur
Negara
Negara menerbi
menerbitkan
tkan
surat edaran/kebijakan
bahwa “ Cacat tidak
identik dengan sakit “.

29
PRASARANA PELAYANAN KESEHATAN ’’RAMAH”
3. SARANA DAN PRASARANA

DIFABEL

Penelitian Kumiawan, A, dkk, tahun 2013 menghasilkan draft Akses Pelayanan

Kesehatan yang Ramah Difabel. Penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Sukoharjo

tersebut berisi 1) landasan hukum terkait penyandang disabilitas, 2) situasi penyandang

disabilitas, 3) kebijakan daerah Sukohaijo dalam mendukung pelayanan difabel, 4)

kebutuhan para penyandang difabel terhadap pelayanan kesehatan, serta 5) berfokus pada

rancangan aksesibilitas
aksesibilitas fisik ramah difabel.
difabel.

Organisasi Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) membuat buku panduan untuk


mendesain aksesibilitas fisik bagi semua orang. Buku ini dibuat bagi penanggungjawab

pembangunan
pembangunan fasilitas
fasilitas umum untuk dapat menciptakan
menciptakan lingk
lingkungan
ungan yang mudah diakses dan

dapat digunakan oleh semua orang sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa

terdeskriminasi dan menjadi belas kasihan orang lain. Difabel dengan kebutuhan khususnya

memerlukan pembangunan fisik yang mudah diakses. Yang dimaksud kemudahan

aksesibilitas berhubungan dengan pembanguan fisik, yaitu pembangunan ramp bagi

pengguna
pengguna kursi roda, pemasangan
pemasangan jalur
jalur pemandu bagi difabel
difabel netra, pembuatan jalur pejalan
pejalan

kaki, serta toilet yang mudah diakses semua orang.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang

Pusat Kesehatan Masyarakat memuat persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas di


puskesmas agar
agar dapat dijangkau
dijangkau dan memberikan
memberikan rasa nyaman bagi difabel.
difabel. Persyaratan

teknis fasilitas meliputi kamar mandi (KM) dan WC, tempat parkir, telepon umum, jalur

pemandu, rambu dan marka, tangga


tangga pintu, dan ramp. Untuk fasilitas tangga, diuraikan

dimensi pijakan, kemiringan, lebar tangga, dan ketersediaan pegangan tangan {handrails).

Pada fasilitas ramp


ramp,, diuraikan kemiringan, panjang dan lebar ramp
ramp,, dan jenis permukaan

ramp yang harus datar (bordes). Kamar Mandi dan WC pasien maupun petugas harus dapat

digunakan oleh difabel dengan cara menyediakan minimal 1 kamar mandi/WC khusus, yang

dilengkapi dengan tampilan rambu/simbol difabel pada bagian luar dan dilengkapi

pegangan
pegangan rambat (handrail
(handrail ) yang memiliki
memiliki posisi dan ketinggian
ketinggian disesuaikan

30

pengguna
pengguna kursi roda dan difabel
difabel lainnya.
lainnya. Pegangan
Pegangan disa
disarankan
rankan memiliki
memiliki bentuk siku-siku

mengarah ke atas untuk membantu pergerakan pengguna kursi roda.

US Department of Justice and US Department of Health and Human Services

menerbitkan artikel Access to Medical Care For Inividuals


Inivi duals with Mobility
Mobili ty Disabili ties yang

menguraikan tentang sarana prasarana di fasilitas kesehatan untuk difabel yang

menggunakan kursi roda. Ruangan pemeriksaan harus cukup leluasa untuk difabel bergerak

di dalamnya dengan menggunakan kursi roda. Meja pemeriksaan harus menyesuaikan


dengan keadaan disabilitas dengan kursi rodanya. Ruangan Pemeriksaan yang ideal sebagai

berikut:
berikut:

1. Terdapat ruang kosong minimal (0,76 x 1,22) m , berdekatan dengan meja pemeriksaan

dan akses untuk melakukan pemindahan pasien. Ruang kosong lebih baik berada di

kedua sisi meja pemeriksaan mengingat ada pasien yang hanya bisa dipindahkan dari

satu sisi saja.

2. Pintu masuk dengan minimum 0,81 m dengan pembukaan sampai 90 derajat.

3. Meja pemeriksaan dapat disesuaikan ketinggiannya untuk memudahkan pemindahan

pasien.
pasien.

4. Adanya jarak antara meja pemeriksaan dengan dinding agar staf dapat lebih

memudahkan memindahkan pasien.

5. Diberikan jarak juga di ujung meja pemeriksaan.

6. Terdapat ruang kosong sebesar (1,52 X 1,52) m 2 agar pasien dapat melakukan putaran

kursi roda hingga 180 derajat.

31

eatures of
o f an Accessible Examinat
Examination
ion A clear floor space,
space, 3 0' X 48'
minimum, adjacent
adjacent t o the
exam table and adjoining
accessible route

make It possible to do a
side transfer.

Maneuvering
clearances are
needed at the
door to the
room.
Adjustable
height
accessible exam
table lowers for
transfers.

Providing space between


table and wall allows staff to
assist with patient transfers
Accessible and positioning. When
entry door has additional space is provided,
32' minimum transfers may be made from
clear opening both sides.
width with Amount of floor space
space nee ded
90 decrees. beside and at end of exam
table will vary depending on
Accessible route method of patient transfer
connects to lift equipm ent size.
other accessible
common use spaces. Note:
Additional dear floor space can
be provided by moving or

Gambar 2. Desain Aksesibilitas


Aksesibilitas Ruang Pem
Pemeriksaan
eriksaan untuk Difabel dengan Kursi Roda

Dikutip dari:
dari: Acce ss to Me dical Car
Caree For Inividua
Inividuals abilities ( US Dep
ls with Mobility Dis abilities Departm
artme
ent of
Jus
J ustice
tice and US Dep
Depa
artm
rtme
ent o
off Hea
Health
lth a
and
nd H uma
uman Service
Services,
s, 2010
2010))

32

7. Meja atau kursi pemeriksaan setidaknya:

a. Dapat direndahkan sesuai dengan keting


ket inggan
gan kursi roda, 0,
0,43
43 - 0,48 m dari lantai.

b. Adanya elemen tambahan untuk menstabilkan dan memudahkan pada saat

dilakukan pemindahan dan pada saat pemeriksaan pasien. Seperti rail untuk

memudahkan pemindahan seperti gambar di bawah ini:

An adj
adjustable
ustable height exam table s hown
hown in
lowered and raised positions
Gambar 3. Desain meja pemeriksaan

Dikutip dari: Acces s to Medical


Medical Care For Iniv
Inividua
iduals
ls with Mobili
Mobili ty Disabilities ( US D epa
partment
rtment of
Jus
J ustice
tice and US Dep
Depa
artm
rtme
ent of H ealth
lth a
and
nd H uma
uman
n Se
Service
rvices,
s, 201
2010)
0)

Yang perlu ditekankan untuk pengguna kursi roda:

1. Pemeriksaan kesehatan tetap tidak boleh dilakukan di atas kursi roda. Persamaan

dalam fasilitas tersebut juga harus mengakomodir kebutuhan disabilitas seperti ini.

Solusi membuat kursi atau tempat tidur pemeriksaan yang dapat terjangkau oleh

mereka.

2. Tenaga kesehatan tidak bisa menolak atau menyatakan tidak dapat memeriksa

mereka karena mereka berada di kursi roda. Termasuk tidak

33

boleh
boleh menolak
menolak deng
dengan
an alasan
alasan pemeriksaan
pemeriksaan akan memakan waktu lebih
lebih lama dan

tidak dijamin oleh asuransi.

3. Tenaga kesehatan tidak perlu menanyakan apakah pasien ini membawa

pendamping
pendamping atau tidak. Pertanyaan seperti ini akan bertentangan
bertentangan dengan
dengan prinsip
prinsip

kemandirian dari penyandang disabilitas. Pasien memiliki hak yang sama untuk
pergii memeriksakan
perg memeriksakan kesehatan mereka sendiri
sendiri tanpa bantuan orang lain. Kalaupun

membawa orang lain itu merupakan hak mereka juga.

4. Meja pemeriksaan harus menyesuaikan dengan keadaan disabilitas dengan kursi

roda tersebut. Ruangan juga harus cukup leluasa untuk mereka bergerak di

dalamnya dengan menggunakan kursi roda tersebut.

5. Para tenaga kesehatan yang ada harus diberikan training untuk melayani

penyandang disabili
disabilitas
tas seperti ini.
ini. Training
Training antara lai
lain
n mencakup: cara penggunaan
penggunaan

alat-alat berupa mesin atau untuk pemeriksaan khusus yang digunakan untuk

difabel; cara melayani difabel dan training untu


untukk ti
tidak
dak mendiskriminasi difabel.
34

4. SUM BER DAYA MANUSIA (SDM) TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN


KESEHATAN

’’RAMAH” DIFABEL

Buku Disabi lity Etiquette:


Eti quette: Tips on Interact
Interacting
ing wit
with
h Pe
Peoo
oopl
plee wit
with
h Disab
Disabilit
ilities
iesdibuat oleh

organisasi United Spinal Association. Organisasi ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup

semua individu yang mengalami cidera tulang belakang, penyakit sistem saraf yang

mempengaruhi otak dan tulang belakang, sindroma paska polio, Spina Bifida,
Bifida, Amyotropic
Lateral Sclerosis (ALS) yang mengakibatkan difabel.

Buku pedoman ini menyajikan beberapa kiat bagi bukan penyandang difabel

kepada difabel untuk meningkatkan perannya terhadap difabel dalam lingkungan sosialnya.

Sebagai dasar penghargaan hak dan martabat difabel seorang difabel disarankan untuk

langsung bertanya apa yang dapat dilakukan, atau perlakuan yang diharapkannya.

Disamping masalah sikap, aksesibilitas fisik dan komunikasi sangat membantu interaksi

antara difabel dengan bukan difabel dan bukan bertanya kepada pendamping atau

peneijemah
peneijemah bahasa isyaratnya. Hindari pengambi
pengambilan
lan keputusan berdasarkan asumsi sendir
sendiri.
i.

Selain itu, seorang bukan penyandang difabel sebaiknya tidak memegang alat bantu difabel

yang bersifat personal, wilayah pribadinya.


SDM Kesehatan puskesmas perlu memahami buku pedoman ini agar interaksi

menjadi harmonis dalam pelayanan administrasi, terlebih pelayanan medis.

Buku GUIDELINES ON Caring For Peoplewith a Learning Disability in General

Hospital Settings memberikan panduan untuk pelayanan di rumah sakit bagi difabel,

terutama mengatur perilaku staf di Rumah sakit. Staf di rumah sakit harus bersikap sopan,

memastikan komunikasi sesuai dengan kebutuhan dan preferensi difabel, person center
center care

dan menghargai pasien. Indikator perilaku antara lain:

1. Memperlakukan difabel setara dengan orang lain. Setara bukan berarti dengan cara yang

sama, melainkan penyediaan metode tambahan atau alternatif untuk difabel itu sendiri

maupun keluarga atau pengasuh difabel untuk hasil yang positif.

35
2. Semua staf rumah sakit harus menghormati keinginan
keinginan dan pilihan
pilihan pasien difabel.
difabel.

3. Keluarga berperan penting yang berkontribusi dalam perencanaan perawatan dan

pengobatan
pengobatan pasien
pasien difa
difabel.
bel. Pentingnya
Pentingnya mendengarkan
mendengarkan keluarga
keluarga karena mereka satu-

satunya orang yang memiliki hubungan terus menerus dalam kehidupan sehari-hari

pasien.
pasien.

4. Adanya advokasi yaitu dimana difabel harus difasilitasi untuk di dengar pendapatnya.

Pasien
Pas ien memiliki
memiliki pilihan
pilihan terhadap orang yang mereka ingi
inginkan
nkan dan dianggap
dianggap nyaman.

5. Staf harus berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien difabel.
6. Semua staf pelayanan rumah sakit umum harus menerima pelatihan yang

meningkatkan kesadaran mereka tentang difabel. Isu-isu yang perlu dipelajari antara

lain: aspek hukum, hak asasi manusia, diskriminasi dan pentingnya komunikasi yang

baik, sikap
sikap dan nilai-ni
nilai-nilai
lai untuk menghada
menghadapi
pi disabili
disabilitas.
tas.

36

5. PERAN SERTA MASYARAKAT

Direktur Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat

(PPRBM) Solo, Sunarman Sukamto, pada Juli 2013 mendorong Partisipasi Difabel dalam
Proses Politik
Politik dan P embuatan Kebijakan dan P enentuan Keputusan. Mendorong partisipasi
partisipasi

difabel dengan strategi:

1. Sektor Pemerintah sebagai Pembuat Kebijakan membentuk Tim Advokasi Difabel

dan Forum Peduli Difabel dari berbagai sektor pemerintahan meliputi Dinas

Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tenaga Keija dan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi daerah setempat yang fokus
kepada difabel. Setelah pembentukan, tim tersebut diberikan training, antara lain:

Pelatihan CRPD, HAM Difabel, UU No. 19 / 2011, RBM, dan Pembangunan

Inklusi.

2. Strategi Grassroot (Kebijakan Bottom Up)

Diawali dengan pengorganisasian difabel, yaitu dengan pembentukan kelompok

difabel inklusif atau disebut Difable People Organization


Organizati on (DPO). Selanjutnya,

kelompok difabel tersebut diberikan pelatihan soft skill maupun life skill.

Fungsi DPO:

1. Mewakili kepentingan difabel dalam proses perencanaan pembangunan dan

pembuatan kebijakan
kebijakan dan penentuan keputusan.
2. Melakukan advokasi dan lobi untuk hak-hak difabel.

3. Melakukan monitoring apakah pemerintah dan penyedia layanan publik sudah

responsif (peka/peduli) terhadap hak-hak difabel.

4. Melakukan kampanye penyadaran masyarakat tentang eksistensi dan potensi

difabel.

5. Membina mental, semangat, motivasi, dan etos kerja para anggotanya (difabel).

Terkait dengan bidang kesehatan maka Pemerintah dengan diwakili oleh Tim

Advokasi Difabel atau Forum Peduli Difabel, dan kelompok difabel yang diwakili dengan

organisasi (DP O) bekeija sama memberikan advokasi dan

37

pelayanan. Beberapa hal penting


pelayanan. penting dala
dalam
m bida
bidang
ng kesehatan yang menjadi perhatian
perhatian antara
lain:

1. Difabel dilibatkan dalam pembuatan peraturan dan kebijakan bidang kesehatan

sehingga mulai berpihak pada perlindungan dan jaminan kesehatan bagi difabel.

2. Difabel mendapatkan kartu jaminan kesehatan dari sistem jaminan kesehatan

masyarakat (nasional
(nasional dan daerah).

3. Difabel mendapatkan akses alat bantu gratis dan protesa (tangan dan kaki palsu) gratis.

4. Pusat-pusat kesehatan dan rumah sakit lebih banyak yang sudah aksesibel bagi difabel.

Selain peran serta dari organisasi difabel dan organisasi peduli difabel, masyarakat

termasuk kader kesehatan juga harus memahami etika berinteraksi dengan difabel agar tidak
terjadi diskriminasi. Etika tersebut dapat dipelajari dari buku pedoman yang berjudul
berjudul ”Etiket
Berinteraksi dengan Penyandang Cacat ”, disusun oleh European Commision
Commisi on Human Aid

(ECHO), Arbeiter-Samari
Arbeiter-Samariter-
ter- Bund (ASB), and Handicap International , dan diterjemahkan

oleh Indro Suprobo, ASB Indonesia. Untuk proses sosialisasinya perlu didukung oleh media

komunikasi, baik media elektronik maupun non elektronik.

Dari review beberapa pustaka diatas disimpulkan tidak cukup banyak referensi

yang menginformasikan tentang pelayanan kesehatan bagi difabel di fasilitas kesehatan,

pengalama
pengalaman/permasal
n/permasalahan
ahan difabel
difabel terkait pelayanan kesehatan, dan kebijakan baik di pusat

maupun daerah yang secara khusus mengatur manajemen fasilitas kesehatan dalam hal

pelayanan
pelayanan kesehatan/medis atau penunjang.
Pelayanan kesehatan di puskesmas seharusnya tidak diskriminasi dalam

memberikan pelayanan kepada semua orang. Pelayanan yang diberikan harus sesuai

standart. Masih adanya pelayanan kesehatan yang belum sesuai kebutuhan difabel maka

disusun suatu draft kebijakan untuk pelayanan di puskesmas terkait kebutuhan difabel.

Tujuan draft kebijakan ini, baik dari sisi manajemen maupun

38

pelayanan
pelayanan di puskesmas, yaitu aga
agarr dapat mengidenti
mengidentifikasi
fikasi SDM, sarana prasarana yang

sesuai standart pelayanan terhadap difabel.

Draft Kebijakan Pedoman Pelayanan Kesehatan Puskesmas


Puske smas ’’Ramah” Difabel

meliputi 4 dimensi penyelenggaraan pelayanan kesehatan puskesmas ’’ramah” difabel yaitu

kebijakan, sarana prasarana, SDM kesehatan, dan peran serta masyarakat dalam upaya

memandirikan difabel mengakses pelayanan kesehatan. Penyusunan draft dilatarbelakangi

hasil systematic review kondisi difabel saat ini, dan kebutuhan difabel dalam pelayanan

kesehatan, kebijakan pusat hingga daerah terkait kesetaraan difabel, aksesibilitas difabel

terhadap fasilitas
fasilitas umum, serta pelayanan terhadap difabel.
difabel.

Kajian ini mengakomodir permasalahan pelayanan kesehatan bagi difabel dan

melakukan kompilasi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah ada di pusat maupun daerah

untuk menjawab permasalahan pelayanan kesehatan yang dihadapi difabel. Hasil kompilasi

yaitu berupa sebuah draft pedoman pelayanan


pelayanan kesehatan yang ’’ramah” bagi difabel
difabel di

puskesmas sebagai
sebagai ujung tombak untuk pemerataan pembangunan kesehatan. Selanjutnya,
Selanjutnya,

dilakukan kegiatan konfirmasi lapangan guna mendapatkan masukan dari stake holder dan

difabel dalam upaya penyempurnaan draft pedoman supaya aplikatif bagi puskesmas untuk

menyelenggarakan
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai kebutuhan difabel.
difabel.
Bentuk kegiatan konfirmasi lapangan yaitu berupa workshop dengan topik

Pelayanan Kesehatan Puskesmas Ramali Difabel selama 2 hari. Materi yang dipaparkan

antara lai
lain:
n:

1. Hasil penelitian
penelitian tahun 2013 terkait pelayanan kesehatan
kesehat an ramah difabel di

Kabupaten Sukoharjo.

2. Draft buku Pedoman pelayanan kesehatan puskesmas ’’ramah” difabel


difabel..

3. Kondisi pelayanan ramah


rama h difabel di masing-masing daerah (Kab. Sukoharjo,
Sukoharjo ,

DI.Yogyakarta,
DI.Yogyakarta, dan Kota Bandung.

4. Diskusi terkait draft buku panduan pelayanan kesehatan puskesmas ramah difabel.

Peraturan-peraturan kebijakan terkait pelayanan ramah difabel sudah banyak,

namun perlu dilakukan kompilasi kebijakan mana yang bisa diaplikasikan pada pelayanan

kesehatan tingkat puskesmas. Melalui workshop diperoleh

39

masukan terhadap draft pedoman, baik dari sisi kesehatan maupun non kesehatan.

Diperlukan penggalian lebih mendalam dari masing-masing daerah kabupaten/kota, tentang

pengalama
pengalaman
n masing-masi
masing-masing
ng dalam
dalam hal pelayanan
pelayanan kesehatan ramah difabel
difabel terkait
terkait kebijakan,
kebijakan,

sarana dan pra sarana, sumber daya manusia dan peran serta masyarakat.
Di Kabupaten Sukohaijo,
Sukohaijo, terdapat 3 P uskesmas percontohan “ramah” difab
difabel
el yaitu

Puskesmas Tawangsari, Weru, dan Nguter (sedang renovasi bangunan). Pada tahun

mendatang akan dikembangkan ke 12 puskesmas lain secara bertahap. Pada Puskesmas lain,

ada dana pemeliharaan bangunan puskesmas, sehingga harus memperhatikan sarana

prasarana yang ramah difabel.


difabel. Berdasarkan luas wilayah,
wilayah, Kabupaten Sukoharjo adal
adalah
ah

kabupaten terkecil ke-2 setelah Kabupaten Kudus di Provinsi Jawa Tengah. Memiliki

fasilitas rumah sakit sebanyak 9 unit, sedangkan puskesmas jumlahnya menurun karena

dimerger.

Dasar hukum pelayanan difabel di Kabupaten Sukoharjo sesuai dengan :

1. UU kes 36/2009 psl 131, 133,139 tentang pelayanan


pelayanan yang komprehensi
komprehensif.
f.
2. Konvensi hak anak yaitu, UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

- UU no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang (PTPPO).

3. Perda Kabupaten Sukoharjo no. 7 tahun 2009 tentang pemberdayaan penyandang

cacat, Peraturan bupati no 21 tahun 2010: materi bidang pelayanan kesehatan.

4. Peraturan bupati No 5 tahun 2012 tentang perubahan Perbup sebelumnya no

21/2010.

5. Peraturan bupati Sukoharjo No 1 /2013 tentang jaminan pelayanan kesehatan bagi

masyarakat miskin.

6. KepBub No 461.05/459/2013 tentang pembentukan tim Rehabilitasi


Bersumberdaya Masyarakat
Masyarakat (RBM).

Pengembangan puskesmas menjadi puskesmas ramah difabel karena dorongan

program
program RBM. Sejarahnya mengacu
mengacu pada konsep desa siaga.
siaga. Desa siaga
siaga merupakan RBM

tingkat desa, dan membentuk forum kader posyandu sebagai sarana sosialisasi. Ketua RBM

adalah ibu bupati Kab. Sukoharjo, sebagai ketua pembina PKK sehingga gedung RBM

berada di gedung
gedung P KK.

40

Keinginan pihak swasta dan masyarakat untuk memfasilitasi difabel sudah ada,

sehingga perlu tindak lanjut. Disini RBM dapat berperan sebagai wadah atau fasilitator. Ada

5 kelompok kerja RBM yaitu 1) pendidikan, 2) kesehatan, 3) live hoods, 4) pemberdayaan

dan 5) sosial.

Data difabel di Kabupaten Sukoharjo, yang ada adalah data anak-anak difabel (Data

Susenas 2003), sehingga kurang memberikan informasi untuk penelitian karena lama. Pola

pembinaan
pembinaan kesehatan anak difabel
difabel dil
dilakukan
akukan oleh insti
institusi
tusi Dinas
Dinas Kesehatan dan luar

institusi. Data difabel seharusnya diperoleh dari institusi-institusi gate keeper, dan

seharusnya terjaring di semua pelayanan Puskesmas yang komprehensif dari upaya promotif

sampai rehabilitatif.

Diperlukan multidisiplin dan multisektoral dalam penanganan difabel, sedangkan

dalam Permenkes No. 75/2014 tentang Puskesmas tidak mencantumkan tenaga psikolog

sebagai SDM yang dibutuhkan di Puskesmas. Oleh sebab itu, mungkin dapat diupayakan

melalui Dinas Sosial yang memasukkan tenaga psikolog dalam pelayanan terhadap difabel.

Di Kabupaten Sukoharjo terdapat Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) untuk

kegiatan deteksi dini Penyakit Tidak Menular (PTM) pada usia lanjut. Di Provinsi Jawa

Tengah ada balai kesehatan indera di Kota Semarang dimana kegiatan rutin setiap tahun

untuk penjaringan dan penanganan gangguan refraksi anak SD/MI, penjaringan katarak

yaitu seleksi dan pelaksanaan operasi katarak.

Terkait masalah kesehatan jiwa, P rovinsi Jawa


Jawa T engah
engah sudah mencanangkan
mencanangkan bebas

pasung.. Adapun
pasung Adapun yang dilakukan
dilakukan Kabupaten Sukoharjo dalam
dalam penanganan
penanganan pasien
pasien dengan
dengan

gangguan mental yang dipasung yaitu merujuk pasien dari Puskesmas ke rumah sakit jiwa

(RSJ) dan ke Pondok Pesantren, agar setelah kembali dari rujukan tidak dipasung kembali.

Kegiatan lain dalam memfasilitasi difabel yaitu pelayanan alat bantu mobilitas dari

United Cerebral Palsy (UCP) DIY dimana lebih dari 200 kursi roda terdistribusi. Kegiatan

tersebut bertujuan agar semua disabilitas yang membutuhkan kursi roda bisa tercakup dalam

program
program tersebut.
t ersebut.
41

Demikian gambaran sepintas upaya pelayanan kesehatan Kabupaten Sukoharjo

yang komprehensif, keijasama dengan lintas sektor, dinas sosial, Paguyuban Sehati dan

sebagainya.

Berbeda dengan kondisi difabel di Kab. Sukoharjo, kondisi difabel di Kota

Yogyakarta sangat beragam. Jumlah difabel Provinsi DIY sebanyak 35.264 orang (Dinsos

2011), sedangkan di Kota Yogyakarta 3.353 (9,5%). Secara khusus, belum ada program

untuk difabel namun terintegrasi pada program lain yaitu Puskesmas Santun Lanjut Usia.
Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta minim struktur. Pelayanan

kesehatan difabel terdapat di Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar, Bidang Pelayanan

Kesehatan Masyarakat. Semua kegiatan pelayanan kesehatan di Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta belum mencantumkan layanan khusus difabel karena semua kegiatan

diperuntukkan semua kelompok masyarakat, termasuk kelompok difabel.

Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan dengan jumlah Puskesmas sebanyak 18

dimana 3 Puskesmas memberikan layanan persalinan/PONED. Semua Puskesmas

merupakan PPK BLUD, dan 6 Puskesmas berstandar ISO. Upaya kesehatan wajib

Puskesmas telah dilaksanakan secara komprehensif berpedoman pada Permenkes No. 168

Tahun 2004, walaupun upaya rehabilitatif termasuk kurang. Upaya Kesehatan


pengembang
pengembangan
an terkait
terkait difabel
difabel antara lain
lain prog
program
ram Pengobatan Tradisional
Tradisional (Battra) atau

Pelayanan Kesehatan Tradisonal Komplementer (Yankestradkom), puskesmas ramah dan

santun Lansia dimana fisik bangunan memberikan kemudahan akses bagi Lansia.

Program lain yang dilakukan yaitu layanan konsultasi berhenti merokok, Pelayanan

Kesehatan Psikologi Remaja (PKPR) yaitu pelayanan psikologi sejak tahun 2010

bekerjasama dengan
dengan Fakul
Fakultas
tas Psikologi
Psikologi UGM. Program PKPR
PKP R dil
dilaksanakan
aksanakan ke berbagai
berbagai

unsur dan tingkatan baik di sekolah, lansia, dan SLB (ada 3 SLB negeri yg dilayani). Ada

pelayanan
pelayanan bagi
bagi Anak
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK
(ABK)) di SLB, Anak
Anak Berhadapan dengan
dengan

Hukum (ABH) di Lembaga Pemasyarakatan, dan pelayanan kesehatan indera yang dapat

melakukan skrining pada masyarakat terkait gangguan penglihatan dan pendengaran.


Sedangkan untuk kesehatan jiwa, Kota Yogyakarta sudah bebas pasung. Hari kerja 18

puskesmas di

42
Kota Yogyakarta sebagaimana pada umumnya, dengan jadwal khusus pada hari minggu dan

cuti bersama buka selama 24 jam.

Program inovasi yang dikembangkan di Kota Yogyakarta yakni terkait trending

topik Rumah Sehat Lansia (Rusela). Pada awalnya berdiri satu puskesmas pembantu yang

kurang produktif, sehingga terpikir untuk ditutup. Namun pada perkembangannnya,

dibangunlah Rusela pada kegiatan promotif dan preventif yakni kunjungan dokter 2 kali

dalam seminggu, dan layanan konseling dengan perawat pada hari lainnya, dan kegiatan

senam lansia. Di tahun 2014, Rusela merupakan salah satu dari 15 lembaga pelayanan publik

terbaik dalam inovasi menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan


Reformasi Birokrasi. Dahulu dimaksudkan ada layanan fisioterapis, namun saat seleksi

tenaga kontrak tidak ada pelamar yang memenuhi syarat akreditasi B Perguruan Tinggi,

hanya akreditasi C.

Program lainnya yaitu 1) Rumah Pemulihan Gizi dengan kegiatan skrining balita

gizi buruk dan penanganan berupa formula hasil kerjasama dengan dokter RS dr. Sarjito, 2)

Program YES 118 yaitu suatu sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT),

bersama PMI, 10 RS umum dan khusus untuk menjadi jejaring.


jejaring. Segala
Segala kejadian
kejadian

kegawatdaruratan di wilayah kota bisa menghubungi 1 nomer yang tersambung pada markas

YES 118 di PMI, dan kemudian akan disambung ke RS-RS terdekat lokasi panggilan.

Selanjutnya petugas akan segera datang ke lokasi. Standar layanan Pemerintah Kota
(Pemkot) Yogyakarta tampaknya kurang di penguatan media massa. Rencana ke depan

Markas YES akan dialihkan dari kantor PMI ke lingkungan Pemkot Yogyakarta, yaitu di

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Bangunan fisik ramah difabel dibangun setelah gempa tahun 2006, dibawah

pengawasan
pengawasan Satuan Keija
Keija Pemerintah daerah (SKPD) yang bertugas
bertugas mengawasi
mengawasi

pembangunan
pembangunan gedung.
gedung. Perencanaan ditetapkan
ditetapkan oleh SKPD tersebut. Hasil
Hasil kajian ini

diharapkan bisa memberikan saran kepada pihak perencanaan SKPD untuk puskesmas

ramah difabel.

Program yang terkait difabel (upaya promotif dan preventif) adalah pemberian

vitamin A untuk ibu nifas, kesehatan jiwa, kesehatan indra. Pelatihan dokter tanggap
bencana, deteksi tata laksana
laksana penyakit kusta, upaya deteksi

43

diharapkan tidak teijadi kecacatan, walaupun teijadi tetapi dengan kecacatan minimal.

Deteksi dan intervensi dini disabilitas dan tumbuh kembang anak seperti tes dengar, dan

lain-lain.

Pembiayaan

Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkessos) belum menjawab semua permasalahan

kebutuhan difabel. Perlu dikembangkan sebuah jaminan kesehatan yang sensitif difabel.

Terkait kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS)
yang baru, Kota Yogyakarta menunggu kebijakan dari Pemerintah Pusat. Sementara,

kebijakan yang beijalan di Yogyakarta yaitu jaminan kesehatan dan sosial yang berbasis

KTP kota, artinya semua warga yang memiliki KTP Kota Yogyakarta dapat mengakses

seluruh layanan kesehatan di seluruh wilayah Kota Yogyakarta.

Kebijakan Daerah

Kebijakan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terkait layanan kesehatan dan difabel yaitu:

1. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Layanan Publik.

2. Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4 Tahun


T ahun 2012 tentang P erlindung
erlindungan
an dan

Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

3. Peraturan Gubernur DIY No. 51 Tahun 2013 tentang Sistem Penyelenggaraan

Jaminan Kesehatan Khusus Bagi Penyandang Disabili


Disabilitas
tas .

4. Peraturan Walikota
Walikota Yogya
Yogyakarta
karta no. 8 Tahun 2014 tentang Komite

Perli
Per lindungan
ndungan dan Pem
Pemenuhan
enuhan Hak-Hak P
Penyandang
enyandang Disabilitas.
Disabilitas.

Aturan diatas sudah cukup lama, tapi implementasi kurang karena kurangnya

sosialisasi. Rencananya, gedung Pelayanan Kesehatan Dinkes akan dipindah dari lantai 1

ke lantai 2 dengan bidang miring untuk akses difabel, namun kemiringan tidak memenuhi

syarat, hanya 45 derajat.

Setiap daerah memberikan gambaran difabel yang beragam. Kota Bandung

merupakan penyangga segala macam masalah di Provinsi Jawa Barat, termasuk masalah

kesehatan. Visi Kota Bandung adalah mewujudkan Bandung Kota Sehat yang Mandiri dan

Berkeadilan. Sedangkan misi utama Dinkes adalah

44

meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang paripurna, bermutu, merata, dan

teijangkau. Kota Bandung terdiri dari 30 kecamatan dengan 151 kelurahan dan 30
Puskesmas. Di Dinkes tersedia 9 unit kendaraan untuk pelayanan mobile, tetapi

kondisinya macet. Sedangkan jumlah ambulans Puskesmas ada 29. Kebi jak
jakan
an Daerah

Pelayanan kesehatan difabel di Kota Bandung mengacu pada kebijakan Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Perda No. 8 Tahun 2008, Perda No. 10

Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak, Perda Kesetaraan, Perda No. 24 Tahun 2012

tentang Penyelenggaraan dan Penanganan Kesejahteraan Sosial, dan Permenkes no. 75

Tahun 2014 tentang Puskesmas. Dalam Permenkes No. 75 tahun 2014, upaya pelayanan

kesehatan Puskesmas tampak lebih berfokus pada upaya kuratif dan rehabilitatif. Jika

Puskesmas berfokus pada upaya kuratif maka Puskesmas tidak akan dapat mewujudkan

tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Puskesmas yang seharusnya lebih memaksimalkan upaya
preventiff dan promotif sebagai
preventi sebagai ujung tombak pembang
pembangunan
unan kesehatan. Hal ini karena

Puskesmas mempunyai 2 tugas inti yaitu pelayanan dan program. Akibatnya, kegiatan
pelayanan
pelayanan baik, namun kegiatan
kegiatan program
program menurun. Di Puskesmas ada continuum of care

yaitu pelayanan dari PUS/WUS sampai dengan lansia.

Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) di Kota Bandung berfungsi sebagai ketua

kemitraan dan pengembangan. Di RBM banyak bantuan kursi roda yang didistribusikan

kepada difabel yang membutuhkan di tiap kecamatan.

Terkait upaya kesetaraan difabel dan berdasarkan P


Perda
erda no 24 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan dan Penanganan Kesejahteraan Sosial, Kota Bandung membuka 300

peluang
peluang CPNS difa
difabel
bel dan perusahaan-perusahaa
perusahaan-perusahaan
n diwa
diwajibkan
jibkan mempekerjakan minimal
minimal
seorang difabel di satu perusahaan.

Kegiatan

Kota Bandung relatif beruntung karena mampu membangun masyarakat yang

cukup peduli difabel,


difabel, hanya bagaimana
bagaimana mengkoordinasi dan mengintregasikan.
mengintregasikan.

45

Kegiatan yang ada di kota Bandung saat ini:

1. Bandung mempunyai taman lansia, kota santun lansia, dan kota ramah anak, yang

terdapat di 12 kecamatan dengan kegiatan save the children dimana didalamnya

termasuk masalah difabel pada lansia dan anak.

2. Dinkes bekeijasama dengan Polrestabes mencegah kecacatan akibat beredarnya

obat-obat aborsi, ruda paksa, serta kecelakaan melalui sosialisasi safety

riding/driving. Selain itu Dinkes bekeijasama dengan Satpol PP melakukan

penyuluhan
penyuluhan ke sekolah-sekola
sekolah-sekolah.
h.

3. Kegi
Kegiatan
atan CSR (Corporate Social Responsibility) dar
darii peru
perusaha
sahaan-
an- peru
perusaha
sahaan
an sw
swast
astaa

di Kota Bandung beijalan lancar sehingga anggaran cukup untuk digunakan sebagai

program
program penanganan difabel
difabel..

4. Saat ini tiap RW sudah dilengkapi smart komputer karena konsep awal Kota

Bandung adalah Smart City,


City, namun belum maksimal penggunaanya. Konsep ini

sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan data base/baseline untuk

sistem informasi difabel.

Pel ayanan Kesehata


Kesehatan
n

Untuk program pelayanan kesehatan, Pemerintah Kota Bandung mengembangkan

taman terapi di Taman Maluku. Dinas Kesehatan Kota mengajukan usulan taman kota

tematik, healing garden,


garden, kepada Walikota.
Walikota.

Belum banyak difabel yang menggunakan fasilitas kesehatan. Mengenai sarana

prasarana di Puskesmas, 5 Puskesmas sudah mempunyai ramp karena Puskesmas tersebut


bangunan
bangunan lama, dan lahannya
lahannya sempit. Di Kota Bandung belum
belum ada Puskesmas
P uskesmas yang khusus

memberi pelayanan ramah difabel, tetapi telah ada 5 puskesmas santun lansia. Lansia dan

difabel memiliki kebutuhan hampir sama. Permenkes No.75 tahun 2014 menyebutkan

standar sarana fisik


fisik puskesmas untuk pasien berkebutuhan khusus.

Puskesmas pelayanan ramah difabel di Kota Bandung belum berkembang.

Beberapa potensi yang dapat dikelola oleh Pemkot dan Dinkes Kota Bandung dalam upaya

pengembang
pengembangan
an Puskesmas “ramah” difabel:
difabel:

1. RBM Kota Bandung mempunyai kemampuan upaya pelatihan kepada masyarakat,

ole
oleh
h sebab itu seharusnya ada kerjasama antara pihak puskesmas dan RBM.

46

2. Tenaga kesehatan di Kota Bandung diantaranya adalah dokter puskesmas dan

petugass puskesmas, dokter spesi


petuga spesiali
alis,
s, ahli Rehabi
Rehabili
litasi
tasi Medik, kader kesehatan,

trainer Stimulasi Deteksi Indentifikasi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK), dan

psikolog.
psikolog.

3. Kepedulian Bapak walikota akan kesehatan, sehingga bisa diarahkan untuk


mendukung adanya puskesmas yang ramah difabel. Bapak walikota menyatakan

lebih baik membangun puskesmas baru dengan fasilitas penuh daripada merenovasi

gedung yang ada. Dengan Puskesmas baru maka Puskesmas dapat diakses oleh

difabel.

4. Infrastruktur sudah ada, namun koordinasi dan integrasi yang belum optimal.

Adapun kendala yang dihadapi untuk koordinasi atau mengintegrasikan beberapa hal dalam

upaya peduli difabel, yaitu:

1. Budaya, dalam arti budaya untuk bekerjasama, lintas sektor, berkoordinasi masih

susah.

2. Baseline data difabel yang masih cukup lemah.


3. Ketika difabel berharap banyak pada RBM, dan menganggap RBM sebagai

sinterklas.

4. Sukarelawan RBM tidak bisa bekeija maksimal akibat peraturan pemerintah

tentang tata kelola keuangan, dan tidak bisa terus menerus rutin memberikan dana.

5. Lahan puskesmas banyak yang sempit sehingga puskesmas masih dengan bangunan

lama dan kesulitan untuk mengaksesnya

6. Ruang periksa dan toilet belum ramah difabel karena keterbatasan lahan.

Untuk pelayanan kesehatan khusus, Kota Bandung berfokus pada Anak

Berkebutuhan Khusus. Sedangkan untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), Dinkes Kota
Bandung menghadapi masalah sulitnya mencari posisi ODGJ karena kasus terbanyak ODGJ

yaitu schizofrenia dimana tidak ada dukungan dari keluarga dan masyarakat. Prevalensi

ODGJ di Kota Bandung cukup tinggi (1%), kemungkinan karena tingginya stressor di kota
besar.

47

Sarana pelayanan yang dapat diakses oleh difabel dan yang membutuhkan

pelayanan
pelayanan khusus lainnya
lainnya yaitu posyandu, PAUD, SLB sebanyak 46, Puskesmas, kli
klinik
nik

tumbuh kembang, RS, RBM, panti yang berjumlah 45, dan RS1A berjumlah 16 unit.

Peran Serta Masyarakat


Masyarakat

Mengenai peran serta masyarakat, RBM tertua di Indonesia berada di Kota

Bandung. RBM Kota Bandung memiliki kelembagaan kuat, sampai tingkat RT/RW,

walaupun belum ada hasil kegiatan. RBM Kota Bandung cenderung ’’menunggu bola”,

kurang aktif, kurang koordinasi dan integrasi. Otonomi pemerintahan daerah tidak sampai

di tingkat kelurahan sehingga perlu dirubah. Pembiayaan

Saat ini dana operasional Puskesmas diperoleh dari berbagai sumber seperti BOK,

program,
program, dan BPJS. Dana BPJS untuk 1 puskesmas di Kota Bandung dapat mencapai 1,3

milyar rupiah. Khusus di Kota Bandung, pendanaan tidak menjadi kendala bila

didistribusikan dengan benar, termasuk dana dari organisasi sosial keagamaan, hanya tepat

atau tidak pelaksanaannya.

Saat ini difabel miskin sudah mendapat jaminan. Yang menjadi masalah adalah

difabel mampu yang belum mendapat jaminan kesehatan sehingga timbul keraguan untuk

memberikan pengobatan.

Permasalahan lain terkait pembiayaan kesehatan difabel yaitu belum masuknya

tindakan rehabil
bilitasi
itasi medis difabel pada paket INA CBG’s JKN.

Dalam penyempurnaan draf pedoman, perlu pemahaman kebutuhan difabel.

Masing-masing difabel memerlukan kebutuhan yang berbeda dalam mengakses pelayanan

kesehatan. Dalam hal ini, bahwa secara keseluruhan pelayanan kesehatan dapat diakses oleh

difabel, bukan pembedaan ruang atau pelayanan yang akan menimbulkan diskriminasi,

pengisti
pengistimewaan,
mewaan, atau rasa “belas
“belas kasihan”.
kasihan”.

Menurut peserta workshop, pada penulisan


penulisan kata ”difable
difable”” sebaiknya tidak perlu

diberi kata penyandang. Istilah penyandang disabilitas identik sebagai beban (cenderung

negatif), sedangkan istilah ’’difabel” memiliki arti kemampuan berbeda (cenderung positif).

Hasil workshop digunakan untuk perencanaan

48

Anda mungkin juga menyukai