Anda di halaman 1dari 41

PERENCANAAN PERKERASAN JALAN

LENTUR DAN KAKU

I. JENIS PERKERASAN JALAN


Jenis perkerasan biasanya dikelompokkan berdasarkan jenis lapisan permukaannya.
Ada dua tipe perkerasan yang telah dikenal secara luas , yaitu perkerasan kaku dan
lentur. Selain perbedaan bahan pembentuknya, perbedaan utama antara keduanya
adalah pendistribusian beban yang diterima oleh lapisan bawahnya.

Pada perkerasan kaku, karena modulus elastisitasnya yang besar, beban yang
diterima terdistribusi secara luas sehingga tegangan tekan yang terjadi pada tanah
dasar menjadi kecil atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa lapisan permukaan
yang biasanya merupakan plat beton adalah bagian utama penahan beban. Dengan
demikian faktor utama yang memberikan kekuatan struktural pada perkerasan kaku
adalah beton. Oleh sebab itu sedikit perubahan pada kekuatan tanah dasar tidak
memberikan pengaruh yang berarti pada kekuatan struktural perkerasan. Walaupun
demikian, retak akan menjadi masalah utama bila tanah dasar tidak mampu
mendukung plat beton.

Perkerasan lentur adalah perkerasan dari agregat yang biasanya diikat dengan
bahan pengikat aspal. Pendistribusian beban yang diteruskan oleh perkerasan ini
tergantung pada tingkat kekakuan dari lapisan-lapisan pembentuknya. Kekuatan
perkerasan ini tergantung pada tebal dan kekuatan lapisan pembentuknya dan daya
dukung tanah dasar. Oleh karena itu sifat-sifat bahan, ketebalan dan daya dukung
tanah dasar adalah parameter perencanaan yang kritikal. Karena sifat bahan
pengikat aspal yang viskoelastis, kendala utama pada perkerasan tipe ini adalah
cepatnya terjadi kerusakan berupa retak dan atau deformasi plastis yang disebabkan
oleh pengaruh panas dan beban.

Dari kedua tipe perkerasan ini, perkerasan lentur sangat populer digunakan. Hal ini
disebabkan karena banyak tersedianya metode-metode perencanaan perkerasan
lentur seperti metode SNI 03-1732-1989), Pd-T01-2002-B, Pt-T-05-2005, AASHTO
(1993), Shell (1978), TAI (1972), NAASRA (1987). Selain itu, perkembangan
teknologi campuran beraspal sangat mendukung pemakaian tipe perkerasan ini.
Perkembangan metode perencanaan tebal perkerasan secara semi analitis atau
analitis (mekanistik) seperti metode Shell (1978), The University of Nottingham
(Brown et al. 1982), TAI (1972), sangat mendukung perkembangan perencanaan
dan jenis campuran beraspal, karena metode-metode perencanaan tersebut
mengakomodasikan kemungkinan penemuan-penemuan jenis campuran beraspal
baru . Hal ini dimungkinkan karena metode ini menggunakan sifat-sifat bahan yang
diwakili oleh besaran-besaran mekanistik seperti modulus kekakuan (Smix) dan angka
Poisson, μ (perbandingan antara regangan lateral dengan regangan aksial).
Sedangkan respon sistem perkerasan terhadap beban yang lewat diberikan dalam
satuan regangan (ε) dan tegangan (σ).

1
II. PARAMETER PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN
Lapisan perkerasan jalan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu
lintas tanpa menimbulkan kerusakan berarti pada konstruksi jalan itu sendiri. Agar
tujuan tersebut tercapai, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan
tebal perkerasan jalan antara lain adalah :
- Umur rencana
- Lalu lintas
- Kondisi lingkungan
- Sifat tanah dasar

2.1. Umur Rencana


Umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah dari tahun mulai saat jalan tersebut
dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai saat diperlukannya suatu perbaikan yang
bersifat struktural (sampai dengan diperlukannya lapis overlay pada jalan tersebut).
Selama umur rencana tersebut, pemeliharaan perkerasan jalan tetap harus
dilakukan. Umur rencana perkerasan lentur untuk jalan baru umumnya diambil tidak
lebih dari 20 tahun, hal ini disebabkan karena umur rencana yang lebih dari 20 tahun
dipandang tidak ekonomis lagi untuk perkerasan lentur. Sedangkan untuk
perkerasan kaku, umur rencananya umumnya diambil minimal 20 tahun.

2.2. Lalu Lintas


Tebal lapisan perkerasan jalan ditentukan dari jumlah dan beban lalu lintas yang
akan melewati jalan tersebut. Besarnya arus lalu lintas dapat diperoleh dari analisa
lalu lintas saat ini. Dari analisa ini diperoleh data mengenai jenis dan jumlah
kendaraan yang hendak memakai jalan, konfigurasi dan beban sumbu dari setiap
jenis kendaraan. Volume lalu lintas rencana, yaitu volume lalu lintas yang
diperkirakan akan melewati jalan tersebut selama umur rencananya, dapat dihitung
berdasarkan data-data tersebut dan dengan mempertimbangkan faktor daya rusak
kendaraan (vehicle damage factor) dan pertumbuhan lalu lintas. Bahasan lebih
lanjut mengenai lalu lintas ini dilihat dalam hand out mengenai Perencanaan Lalu
Lintas.

2.3. Kondisi Lingkungan


Kondisi lingkungan dimana lokasi jalan tersebut berada mempengaruhi kinerja
lapisan perkerasan dan tanah dasar. Kondisi lingkungan ini akan memberikan
pengaruh pada sifat teknis konstruksi perkerasan dan penuaan bahan.

Faktor utama lingkungan yang dipertimbangkan dalam perencanaan tebal


perkerasan adalah air dari hujan dan perubahan temperatur akibat perubahan cuaca.
Dalam beberapa metode perencanaan tebal perkerasan, faktor ini telah
akomodasikan pengaruhnya dalam Faktor Regional (FR). Selain itu, dalam beberapa
metode perencanaan, faktor pengaruh muka air tanah juga dipertimbangkan.

2.4. Sifat Tanah Dasar


Lapisan tanah dasar atau subgrade merupakan lapisan tanah yang paling atas
dimana struktur lapisan perkerasan jalan (subbase, base dan surface course)
2
diletakan. Sifat lapisan tanah dasar sangat mempengaruhi tebal dan mutu
perkerasan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam perencanaan perkerasan
jalan, data mengenai kondisi tanah dasar adalah penting dan mutlak untuk diketahui.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengetahi daya dukung tanah dasar,
antara lain yaitu dengan Dynamic Cone Penetrometer (DCP), California Bearing
Ratio (CBR), resilient Modulus (Mr), Plate Bearing Test (modulus reaksi tanah dasar,
k). Selain pengujian-pengujian tersebut, pengujian lainnya juga seperti sondir, hand
boring dan sumur uji (test pit) juga juga sering dilakukan untuk melengkapi data
mengenai kondisi tanah dasar ini.

III. FIELD DATA COLECTION KONDISI TANAH DASAR


Dari sekian banyak jenis atau metode pengujian yang ada untuk mengetahui kondisi
tanah dasar, pengujian berikut ini biasanya dilakukan untuk perencanaan jalan baru
perkerasan lentur.

3.1. Pengujian California Bearing Ratio


Pengujian CBR dapat dilakukan di lapangan atapun di laboratroium. Sebelum
pengujian dilakukan perlu diputuskan terlebih dahulu berapa perkiraan ketinggian
elevasi tanah dasar rencana.

Jika tanah dasar terletak di bawah tanah galian, perlu diketahui kedalaman galian
dari muka tanah asli sehingga dapat dipastikan apakah pembuatan sumur uji (test
pit) sampai kedalaman pengambilan contoh dapat dilakukan atau jika tidak nilai daya
dukung dapat diperoleh dari perkiraan empiris berdasarkan hasil pemeriksaan batas
atterberg dari contoh tanah asli yang diperoleh dari hasil hand boring.

Jika tanah timbunan akan dijadikan sebagai tanah dasar dan tinggi timbunannya
lebih dari 1 meter, maka contoh tanah untuk pemeriksaan CBR cukup dilakukan
pada contoh tanah yang akan dijadikan bahan timbunan tersebut. Tetapi jika
timbunan kurang dari 1 meter, contoh tanah harus diambil dari tanah yang akan
dijadikan bahan timbunan tersebut dan dari tanah asli atau pengujian CBR in place
pada lokasi rencana jalan.

Jika badan jalan terletak hampir sama dengan muka tanah asli, pengambilan contoh
tanah atau pengujian CBR lapangan (CBR in place) dapat dilakukan disepanjang
trase rencana. Lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan jenis tanah yang
ada di sepanjang trase jalan tersebut. Untuk jenis tanah yang sama, interval
pengambilan dapat dilakukan sejarak 1 km, tetapi pengambilan dengan yang lebih
dekat akan memperoleh hasil yang lebih teliti. Pengambilan contoh atau pengujian
CBR lapangan. Pengujian tambahan harus dilakukan pada setiap enggantian jenis
tanah atau kondisi lingkungan pada lokasi yang diragukan kondisi tanah aslinya. Bila
dianggap perlu pengujian lainnya (seperti sondir) dapat juga dilakukan, tetrutama bila
kondisi tanah pada trase jalan tersebut seringkali terendam air.

Seringkali daya dukung tanah asli berbeda-beda karena adanya perubahan


kedalaman pengambilan contoh ataupun pengujian CBR lapangan pada satu titik
pengujian. Untuk itu perlu ditentukan nilai CBR mana yang mewakili titik tersebut.
Rumus 2.1. dari Japan Road Assocation dapat digunakan untuk tujuan tersebut.
3
3
⎛ h1 3 CBR1 + ....... + hn 3 CBR n ⎞
CBRtitikpengujian =⎜ ⎟ .................................(2.1)
⎜ ht ⎟
⎝ ⎠

Dengan pengertian :
hn = Tebal lapisan ke n
ht = Tebal total lapisan yang diamati, biasanya diambil 100 cm
CBRn = Nilai CBR pada lapis ke n

Prosedur kerja atau tatacara pengujian CBR laboratorium dan lapangan harus
mengacu pada SNI 03-1738-1989. Pengukuran CBR ini langsung dilapangan pada
musim hujan atau direndam.

3.2. Pengujian Dynamic Cone Penetrometer


Pemeriksaan daya dukung tanah dengan mempergunakan alat Dynamic Cone
Penetrometer (DCP) ini umum dilakukan kebutuhan perencanaan jalan raya.
Dibandingkan dengan pengujian CBR, pengujian DCP relatif lebih cepat dan murah.
Dari pengujian ini dapat diketahui daya dukung lapisan tanah sampai dengan
kedalaman 1 meter. Daya dukung lapisan tanah pada kedalaman lebih dari 1 meter
dapat juga didapatkan dengan memperpanjang atau mengganti stang penetrasi dari
alat ini. Pengujian ini sangat cocok dilakukan untuk mengetahui daya dukung tanah
apabila tanah dasar merupakan tanah galian.

Pengujian DCP dilakuan dengan mempergunakan alat yang memiliki beban seberat
20 lbs (9,07 kg). Beban ini dijatuhkan dari ketinggian 20 inch (50,8 cm) memalui
tiang berdiameter 56/8 inch (16 mm). Akibat pukulan ini, konus baja berbentuk
kerucut dengan luas 1/2 sq. inch (1,61 cm2) bersudut 30o atau 60o akan masuk atau
berpenetsai ke dalam lapisan yang diuji. Pemilihan sudut konus 30o atau 60o,
tergantung pada jenis material yang ada pada atau kekerasan lapisan yang akan
diuji. Gunakan konus yang bersudut 30o pada lapisan yang keras atau yang banyak
mengandung material berbutir.

Data pengujian DCP dalam satuan mm/pukulan dapat dikorelasikan ke nilai CBR
dengan menggunakan grafik yang tersedia dalam SNI 03-2828-1992.

3.3. Pengujian Hand Boring


Pemboran tangan adalah metode yang cepat dan murah yang dapat dilakukan pada
tanah lunak sampai agak lunak dengan kedalaman pemboran sampai 8 -10 m
dengan diameter 50 - 200 mm.
Dari hasil pengeboran di lapangan dibuatkan borlog, yaitu sketsa dari hasil/data yang
diperoleh selama pengeboran. Pada borlog dapat dilihat :
- Tebal lapisan tanah
- Kedalaman muka air tanah
- Jenis, warna setiap lapisan tanah
- Lokasi dimana dilakukan pengambilan contoh tanah
- Lokasi dimana dilakukan spt
- Hasil pemeriksaan spt
- Konsistensi dari setiap jenis tanah

4
- Gradasi tanah berbutir kasar
- Data-data lain di lapangan yang dianggap penting

3.4. Sumur Uji (Test Pit)


Sumur uji dilakukan dengan melakukan penggalian dengan tangan. Diameter sumur
uji tergantung pada kebutuhan dan biasanya berkisar antara 1-1,5 m. Dari sumur uji
ini akan diperoleh informasi mengenai :
- Jenis dan tebal lapisan tanah sampai setinggi galian
- Contoh tanah berupa potongan yang besar
- Contoh tanah dalam jumlah besar
- Penelitian visual tentang keadaan tanah setempat
- Observasi tinggi muka dan aliran air

3.5. Pengujian Sondir


Pengujian sondir tidak lazim digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan jalan.
Namun demikian pengujian ini kadangkala juga dilakukan bila trase jalan yang
direncanakan akan melewati daerah bertanah lunak, daerah genangan ataupun
daerah yang memerlukan tanah timbunan untuk membentuk tanah dasarnya.

Dengan melakukan pengujian sondir, kedalaman tanah lunak atau letak lapisan
tanah keras dapat diketahui. Dengan pengujian ini pula, tinggi timbunan tanah dapat
diperkirakan sehingga tidak terjadi penurunan yang berlebihan.

IV. SEGMENTASI DAN DAYA DUKUNG TANAH WAKIL


Pada perencanaan jalan, trase jalan yang direncanakan dapat saja melintasi jenis
tanah dan medan yang berbeda-beda. Pada suatu trase jalan, kekuatan atau daya
dukung tanah dasar dapat bervariasi mulai dari yang baik sampai jelek, karena daya
dukung tanah dasar sangat dipengaruhi oleh jenis tanah, tingkat kepadatan, kadar
air dan lain sebagainya. Perencanaan jalan dengan mempertimbangkan nilai daya
dukung yang jelek saja adalah tidak ekonomis dan bila nilai daya dukung yang baik
saja yang dipertimbangkan maka akan dihasilkan tebal perkerasan yang memiliki
kelemahan-kelemahan struktural pada daerah yang memiliki nilai daya dukung yang
rendah atau jelek. Untuk itu, trase jalan yang direncanakan sebaiknya dibagi
menjadi segmen-segmen, dimana setiap segmen memiliki daya dukung, sifat tanah
dan kondisi lingkungan yang hampir sama. Penentuan panjang masing-masing
segmen dapat dilakukan dengan menggunakan data daya dukung tanah (CBR atau
DCP). Pada Gambar 4.1 ditunjukkan contoh pembagian segmen berdasarkan
visualisasi nilai daya dukung dan berdasarkan analisa statistik dengan menggunakan
metode Cummulative Sum pada nilai daya dukungnya.

Setiap segmen yang direncanakan harus diwakili oleh satu nilai daya dukung tanah
(CBR) dan selanjutnya nilai ini akan digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan
jalan dari segmen tersebut. Nilai CBR wakil ini dapat ditentukan secara grafis
ataupun analitis dengan menggunakan Persamaan 4.1.

CBR maks − CBR min


CBR Segmen = CBR rata − rata − ..............................(4.1)
R

5
10
9
8
7
CBR (%)
. 6
5
4
3
2
= Visualisasi
1
= Analisa Statistik
0
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
STA (m)

Gambar 4.1. Contoh Segmentasi Berdasarkan Visualisasi Keseragaman dan


Analisa Statistik - Metode Cummulative Sum terhadap Nilai Daya
Dukung Tanah

Nilai R tergantung dari jumlah data CBR yang terdapat dalam satu segmen dan
besarnya nilai R dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1. Nilai R untuk Perhitungan CBR Segmen


Jumlah Titik Nilai R
Pengujian CBR
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
> 10 3,18

Contoh Perhitungan CBR wakil


Dari hasil pengujian CBR untuk satu ruas jalan didapat hasilnya sebagai berikut:
Nilai CBR (%) = 4, 5, 5, 5, 6, 6, 7,8, 5, 5, 4, 8, 8. Jumlah data n = 13, dan carilah
CBR wakil untuk tingkat kepercayaan 90%.

Hasil perhitungan diberikan secara tabelaris pada Tabel 4.2. dan diberikan dalam
bentuk grafik seperti pada Gambar 4.2. Dari gambar ini didapat hasil CBR wakil
untuk segmen tersebut 4.8%.

Apabila yang didapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 4.1, maka :

8−4
CBR Segmen = 5,8 −
3,18
CBR Segmen = 4,6%
6
Tabel 4.2. Perhitungan CBR Wakil
No. CBR (%) Jumlah ≥ %≥
1 4 13 100
2 5 11 85
3 6 6 46
4 7 4 31
5 8 3 23
Rata-rata 5,8

100

90

80

70
Persentase ≥ (%)

60

50

40

30

20 CBR Wakil 4.8%

10

0
3 4 5 6 7 8 9
CBR (%)

Gambar 4.2. Perhitungan CBR Wakil

Apabila dalam suatu segmen terdapat nilai CBR yang lebih kecil dari nilai rata-rata
segmen tersebut, maka perlu dilakukan pertimbangan ekonomis untuk memperbaiki
atau mengganti tanah tersebut dengan tanah yang lebih baik atau tetap
mempertahankan tanah tersebut dengan konsekuensi akan dihasilkan struktur
perkerasan jalan yang lebih tebal.

V. METODE PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR


5.1. Kriteria Perkerasan Lentur
Perkerasan lentur adalah konstruksi perkerasan yang terdiri dari lapisan-lapisan
perkerasan yang dihampar di atas tanah dasar yang dipadatkan. Lapisan perkerasan
tersebut dapat menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Kekuatan konstruksi

7
perkerasan ini ditentukan oleh kemampuan penyebaran tegangan dari setiap
lapisannya, yang ditentukan oleh tebal lapisan tersebut dan kekuatan tanah
dasarnya.

Sesuai dengan namanya, perkerasan lentur ini bila diberikan beban maka
perkerasan akan melendut/ melentur. Struktur perkerasan lentur ini terdiri atas
beberapa lapisan dengan material tertentu, dimana masing-masing lapisan akan
menerima beban dari lapisan diatasnya dan menyebarkan ke lapisan dibawahnya.
Pada lapisan struktur perkerasan dibawahnya akan menerima/ mendukung beban
yang lebih ringan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Distribusi Beban Pada Perkerasan Lentur

Banyak metoda-metoda perencanaan perkerasan lentur yang dapat digunakan baik


yang bersifat empiris seperti metoda SNI 03-1732-1989), Pd-T01-2002-B, Pt-T-05-
2005, AASHTO (1993) NAASRA (1987), ataupun yang bersifat semi analitis atau
analitis (mekanistik) seperti metode Shell (1978), The University of Nottingham
(Brown et al. 1982), TAI (1972),

Berikut ini diuraikan beberapa metoda perencanaan perkerasan lentur yang


mengacu ke standar nasional dan yang digunakan di Indonesia, yaitu Metoda
Analisa Komponen (Tatacara Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
dengan Analisa Metode Komponen, SNI 03-1732-1989), Pedoman Perencanaan
Tebal Perkerasan Lentur (Pd-T01-2002-B), Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Perkerasann Lentur dengan Metode Lendutan (Pt-T-05-2005).

5.2. Metoda Analisa Komponen


Perencanaan tebal perkerasan menggunakan Metoda Analisa Komponen telah
sering dipakai di Indonesia. Metoda ini telah bakukan dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI 03-1732-1989). Metoda ini telah dipakai banyak dalam perencanaan
tebal perkerasan baik yang berupa perencanaan jalan baru maupun perencanaan
tebal lapis tambah (overlay).
8
Metoda Analisa Komponen ini merupakan metoda yang didasarkan kepada
perhitungan empiris dimana untuk masing-masing lapisan dari sistem perkerasan
yang ada mempunyai kekuatan struktural tertentu yang diwakili oleh koefisien relatif.

Beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam penggunaan metoda ini antara
lain :
- Lalu lintas.
- Tanah dasar.
- Lingkungan.

5.2.1. Perumusan Lalu Lintas


Volume lalu lintas yang digunakan langsung dalam perencanaan tebal perkerasan
adalah Lintas Ekuivalen Permulaan (LEP), Lintas Ekuivalen Akhir (LEA) dan Lintas
Ekuivalen Tengah (LET). LEP dan LEA merupakan jumlah lintas ekuivalen harian
rata-rata sumbu tunggal seberat 8160 kg pada lajur rencana yang masing-masing
terjadi pada permulaan dan akhir umur rencana. LET adalah nilai rata-rata LEP dan
LEA. LEP, LEA dan LET dihitung dengan rumus:
n
LEP = Σ LHR j * C j * E j .........................................(5.1)
j =1

LEA = LEP * (1 + i)
UR
............................................ (5.2)
LEP + LEA
LET = ................................................(5.3)
2
Dengan pengertian :
j = Jenis kendaraan
Cj = Koefisien distribusi kendaraan ke j, lihat Tabel 5.1.
Ej = Angka ekivalen beban sumbu kendaraan ke j
i = Pertumbuhan lalu lintas
UR = Umur rencana jalan

Tabel 5.1. Koefisien Distribusi Kendaraan ( C ) Pada Jalur Rencana


Kendaraan ringan* Kendaraan berat**
Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 1,00 1,00 1,00 1,00
2 0,60 0,50 0,70 0,50
3 0,40 0,40 0,50 0,475
4 - 0,30 - 0,45
5 - 0,25 - 0,425
6 - 0,20 - 0,40
*) Berat Total < 5 ton, misalnya: mobil penumpang, pick up, mobil hantaran
**) Berat Total ≥ 5 ton, misalnya: bus, truk, traktor, semi trailer, trailer.

9
Jumlah lintas ekuivalen harian rata-rata sumbu tunggal seberat 8160 kg pada lajur
rencana yang terjadi selama umur rencana disebut Lintas Ekuivalen Rencana (LER),
nilai inilah yang selanjutnya digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan, yang
dihitung dengan persamaan :
UR
LER = LET * .................................................(5.4)
10
5.2.2. Daya Dukung Tanah (DDT)
Dalam metoda ini, daya dukung tanah ditentukan berdasarkan grafik korelasi antara
DDT dengan nilai CBR seperti yang ditunjukan pada Gambar 5.2. atau dengan
menggunakan persamaan:

DDT = 4.3 log (CBR) + 1.7 .......................................(5.5)


Untuk perhitungan pelapisan tambah (overlay), nilai CBR yang digunakan adalah
CBR lapangan (SNI 03-1738-1989) Pengukuran CBR ini langsung dilapangan pada
musim hujan atau direndam. Cara lain dapat digunakan dengan pengujian Dynamic
Cone Penetrometer – DCP (SNI 03-2828-1992).

Gambar 5.2. Korelasi DDT dengan CBR dan Group Indeks

10
5.2.3. Penentuan Faktor Regional (FR)
Dalam metode perencanaan ini, kondisi daerah setempat dimana jalan tersebut
dibangun juga dipertimbangkan dalam perencanaan. Keadaan kondisi daerah
setempat ini diakomodasikan dalam suatu faktor yang disebut dengan Faktor
Regional (FR). Perbedaan FR suatu daerah dengan daerah lainnya terutama
disebabkan karena kondisi curah hujan (dinyatakan dalam intensitas curah hujan
mm/tahun), kelandaian jalan, persentase kendaraan berat dan pertimbangan teknis
lainnya. Besarnya nilai FR yang dipergunakan di Indonesia seperti yang ditunjukkan
dalam Tabel 5.2. Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan,
pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari < 30 m), FR dari tabel tersebut ditambah
dengan 0,5 dan pada daerah rawa-rawa FR ditambah dengan 1,0.

Tabel 5.2. Faktor Regional (R)


Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian I
(< 6%) (6% - 10%) (> 10%)
Curah Hujan % Kend. Berat % Kend. Berat % Kend. Berat

≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% > 30%
30%
Iklim I
0.5 1.0 – 1.5 1.0 1.5 – 2.0 1.5 2.0 – 2.5
< 900 mm/th
Iklim II
1.5 2.0 – 2.5 2.0 2.5 – 3.0 2.5 3.0 – 3.5
> 900 mm/th
Sumber: SNI 03-1732-1989

5.2.4. Penentuan Indeks Permukaan (IP)


Dalam metode perencanaan Bina Marga, kondisi awal dan akhir jalan pada saat
selesai konstruksi dan pada akhir umur rencananya dinyatakan dalam Indeks
Permukaan (IP). Nilai IP adalah nilai yang semi objektif karena di satu pihak nilai IP
adalah nilai deskriptif menurut penilaian secara umum dari pemakai jalan terhadap
kenyamanan jalan yang dirasakan, tetapi di lain pihak nilai IP dapat dihitung
berdasarkan data kerusakan jalan.

Dalam perencanaan tebal perkerasan dikenal dua macam IP, yaitu Indeks
Permukaan Awal (IPo) dan Indeks Permukaan Akhir (IPt). Kondisi permukaan jalan
yang diharapkan pada saat jalan dibuka dinyatakan sebagai Indeks Permukaan Awal
(IPo). Indeks ini tergantung pada jenis perkerasan yang digunakan sebagai lapis
permukaan jalan. IPo diperoleh dari hasil pengamatan kerusakan-kerusakan yang
terdapat pada permukaan jalan tersebut, antara lain adalah lubang, alur, retak dan
lain sebagainya.

Untuk perkerasan beraspal, nilai ini dapat pula diperoleh dari hasil pengukuran
kerataan permukaan jalan (Roughness) yang dinyatakan dengan nilai IRI
(International Roughness Index). Penentuan indeks permukaan pada awal umur
rencana (IPo) perlu memperhatikan adalah jenis lapis permukaan jalan dan
kerataannya pada awal umur rencana seperti yang ditunjukan pada Tabel 5.3.

11
Indeks Permukaan Akhir (IPt) adalah kondisi akhir permukaan jalan setelah dilewati
kendaraan selama umur rencananya. Nilai IPt ditentukan berdasarkan nilai LER dan
klasifikasi jalan tersebut seperti yang diberikan dalam Tabel 5.4.

Tabel 5.3. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)


Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness (m/km)
Laston ≥4 ≤1
3.9 – 3.5 >1
Hot Rolled Asphalt (HRA) 3.9 – 3.5 ≤2
3.4 – 3.0 >2
Burtu 3.9 – 3.5 <2
Burda 3.4 – 3.0 <2
Lapen Makadam 3.4 – 3.0 ≤3
2.9 – 2.5 >3
Buras 2.9 – 2.5
Latasir 2.9 – 2.5
Jalan Tanah ≤ 2.4
Jalan Kerikil ≤ 2.4

Tabel 5.4. Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPt)

Lintas Ekivalen Rencana Klasifikasi


(LER) Lokal Kolektor
< 10 1.0 – 1.5 1.5
10 – 100 1.5 1.5 -2.0
100 – 1.000 1.5 – 2.0 2.0
> 1.000 - 2.0 -2.5
Adapun arti dari beberapa nilai IPt tersebut adalah :
IPt = 1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat.
IPt = 1,5 : adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak
terputus)
IPt = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap (baik dan
sedang)
IPt = 2,5 : adalah menyatakan permukaan yang masih cukup stabil dan baik.

5.2.5. Koefisien Kekuatan Relatif (a) dan Penentuan Tebal Perkerasan


Karakteristik material yang akan digunakan sangat mempengaruhi tebal lapisan yang
akan menggunakan material tersebut. Satu lapisan pada struktur perkerasan
biasanya dibuat dengan menggunakan satu jenis material. Banyak jenis material
yang dapat digunakan, material dengan kualitas yang lebih rendah umumnya
12
digunakan sebagai lapisan bawah. Semakin rendah mutu material semakin bawah
letaknya dari permukaan perkerasan jalan.

Jenis dan kualitas material yang digunakan untuk masing-masing lapis perkerasan
akan menentukan nilai Koefisien Kekuatan Relatif (a) dari material tersebut. Nilai ini
digunakan untuk menentukan tebal masing-masing lapisan yang menggunakan
material tersebut. Kekuatan relatif suatu material merupakan suatu nilai yang
memperhitungkan kekuatan bahan yang akan digunakan sebagai material untuk
lapis permukaan, lapis pondasi dan lapis pondasi bawah. Besarnya Koefisien
Kekuatan Relatif berbagai jenis bahan yang biasanya digunakan sebagai bahan
perkerasan pada struktur perkerasan jalan diberikan pada Tabel 5.5.

5.2.6. Indeks Tebal Perkerasan


Indeks Tebal Perkerasan (ITP) merupakan nilai kekuatan material beserta
dimensinya yang sesuai dengan tingkat beban lalu lintas (jumlah lintas ekuivalen
total) dengan koreksi daya dukung tanah, faktor regional dan Indeks Permukaan
perkerasan (IP). Sehubungan dengan hal-hal tersebut, untuk perencanaan tebal
perkerasan menggunakan Metoda Analisa Komponen, nilai ITP dapat dihitung
dengan menggunakan nomogram. Ada sembilan nomogram yang dapat digunakan,
masing-masing untuk nilai IPo dan IPt yang berbeda. Bentuk tipikal dari nomogram
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.3.

Setelah nilai ITP didapat, tebal masing-masing lapisan pada struktur perkerasan
jalan dapat ditentukan dengan kemggunakan Koefisien Kekuatan Relatif (a).
Koefisien kekuatan relatif ini menggambarkan hubungan empiris antara ITP dan
ketebalan dan mengukur kemampuan relatif dari bahan secara fungsi dari
komponen struktural dari perkerasan. Tebal masing-masing lapisan pada struktur
perkerasan dapat ditentukan dengan mengunakan persamaan:

ITP = a1 D1 + a 2 D 2 + a 3 D3 + ...... + a n D n ...........................(5.6)

Dengan pengertian :
a1, a2, a3, an = koefisien kekuatan relatif bahan perekarsan masing-masing untuk
lapis permukaan, lapis pondasi dan lapis pondasi bawah,
ditunjukan pada Tabel 5.5
D1 ,D2 , D3, Dn = tebal masing-masing lapis perkerasan (cm), masing-masing untuk
lapis permukaan, lapis pondasi dan lapis pondasi bawah.
Batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan ditunjukkan pada Tabel 5.6.

5.2.7. Penentuan Tebal Lapis Tambah (Overlay)


Metode Analisa Komponen dapat juga digunakan untuk penentuan tebal overlay,
yaitu lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas konstruksi perkerasan yang
ada dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan struktur perkerasan yang ada agar
dapat melayani lalu lintas yang direncanakan selama kurun waktu yang akan datang.

13
Tabel 5.5. Koefisien Kekuatan Relatif dan Tebal Minimal Lapis Perkerasan
Koef. Kekuatan Kekuatan Bahan
Relatif Tebal Jenis Lapis Perkerasan
minimum
a1 a2 a3 MS Kt CBR (cm)
(kg) (kg/cm) (%)
0.25 - - - - - 5 Lapen (mekanis)
0.20 - - - - - Lapen (manual)
0.40 - - 744 - - 4
0.35 - - 590 - - Laston
0.32 - - 454 - -
0.30 - - 340 - -
- 0.24 - 340 - - 8
- 0.26 - 454 - - Laston Atas
- 0.28 - 590 - -
- 0.13 - - 18 - 14 Stabilisasi tanah dgn Semen
- 0.15 - - 22 -
- 0.13 - - 18 - 14 Stabilisasi tanah dgn Kapur
- 0.15 - - 22 -
- 0.14 - - - 100 14 Pondasi Macadam (basah)
- 0.12 - - - 60 15 Pondasi Macadam (kering)
- 0.14 - - - 100 13 Batu Pecah Kls A
- 0.13 - - - 80 14 Batu Pecah Kls B
- 0.12 - - - 60 15 Batu Pecah Kls C
- - 0.13 - - 70 10 Sirtu/ pitran Kls A
- - 0.12 - - 50 Sirtu/ pitran Kls B
- - 0.11 - - 30 Sirtu/ pitran Kls C

Kebutuhan overlay dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:


ITPoverlay = ITP − ITPeksisting ............................................(5.7)
ITPoverlay
Ho = ................................................ (5.8)
ao

ITP eksisting diperkirakan dengan mengetahui ketebalan (Dx) dan jenis masing-
masing lapisan (ax) pada perkerasan eksisting tersebut. Nilai hasil kali ax Dx untuk
masing-masing lapisan arus dikoreksi terhadap nilai kondisi kerusakan yang ada
pada perkerasan eksisting tersebut dengan menggunakan Tabel 5.7.

5.3. Metoda Lendutan dengan Benkelman Beam (BB)


Metoda ini hanya dapat digunakan untu perencanaan tebal tambah campuran
beraspal (overlay) di atas perkerasan lentur. Metode ini tidak dapat digunakan untuk
perencanaan tebal perkerasan baru, di atas lapis penetrasi ataupun perkerasan
beraspal lama yang retak-retak dengan intensitas yang cukup tinggi. Pada metoda
ini, tebal lapis tambah yang dibutuhkan oleh perkerasan beraspal dihitung
berdasarkan nilai lendutan balik yang didapat dari hasil pengukuran lendutan dengan
menggunakan alat Benkelman Beam (SNI 03-2416-1991). Nilai lendutan balik yang
14
digunakan harus telah dikoreksi dengan, faktor muka air tanah (faktor musim) dan
koreksi temperatur serta faktor koreksi beban uji (bila beban uji tidak tepat sebesar
8,16 ton). Berdasarkan nilai lendutan didapat dengan menggunakan alat Benkelman
Beam ini dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 5.9.
dB = 2 x (d3 – d1) x Ft x Ca x FKB-BB ............................. (5.9)

dengan pengertian :
dB = lendutan balik (mm)
d1 = lendutan pada saat beban tepat pada titik pengukuran
d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik pengukuran

Gambar 5.3. Tipikal Nomogram Penentuan Nilai ITP untuk Nilai IPt = 2,5 dan IPo > 4

15
Tabel 5.6. Batas Minimum Tebal Lapis Perkerasan
ITP Tebal (cm) Bahan

Lapis Permukaan
< 3,00 5 Lapis pelindung : Buras, Burtu, Burda
300 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston
≥ 10,00 10 Laston
Lapis Pondasi
< 3,00 15 Batu pecah, Stabilisasi semen atau kapur
300 – 7,49 20* Batu pecah, Stabilisasi semen atau kapur
10 Laston Atas
7,50 – 9,99 20 Batu pecah, Stabilisasi semen atau kapur Laston
15 Atas
10,00 - 12,14 20 Batu pecah, Stabilisasi semen atau kapur
≥ 12,14 25 Batu pecah, Stabilisasi semen atau kapur
Lapis Pondasi Bawah
Untuk setiap ITP, tebal minimum lapis pondasi bawah adalah 10 cm
Catatan : * Nilai ini dapat diturunkan menjadi 15 cm bila bahan lapis pondasi bawah adalah
material berbutir kasar.

Tabel 5.7. Nilai Kondisi Perkerasan Jalan

Kondisi pada Lapis Perkerasan % terhadap


segmen 100 m
a. Lapis Permukaan:
- Umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada jalur roda 90 – 100%
- Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda namun tetap 70 – 90%
stabil
- Retak sedang, beberapa deformasi pada jalur roda, pada dasarnya 50 – 70%
masih menunjukkan kestabilan
- Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda, 30 – 50%
menunjukan gejala tidak stabil
2. Lapis Pondasi Atas:
a. Lapis Pondasi Aspal Beton atau Penetrasi Makadam
- Umumnya tidak retak
- Terlihat retak halus, namun tetap stabil 90 – 100%
- Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukan kestabilan 70 – 90%
- Retak banyak, menunjukan gejala ketidak stabilan 50 – 70%
b. Stabilisasi tanah dengan semen atau kapur,Indeks Plastisitas ≤ 10 30 – 50%
c. Pondasi Makadam atau Baru Pecah, Indeks Plastisitas ≤ 6 70 – 100%
80 – 100%
3. Lapis Pondasi Bawah:
- Indeks Plastisitas ≤ 6 90 – 100%
- Indeks Plasitisitas > 6 70 – 90%

16
Ft = faktor penyesuaian lendutan terhadap temperatur standar 350C, sesuai
Persamaan 5.9, untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih kecil 10 cm atau
Persamaan 5.10, untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih besar atau sama
dengan 10 cm atau menggunakan Tabel 5.8 atau pada Gambar 5.4 (Kurva
A untuk HL < 10 cm dan Kurva B untuk HL > 10 cm).
Ft = 4,184 x TL- 0,4025 , untuk HL < 10 cm . ................................ (5.10)
Ft = 14,785 x TL- 0,7573 , untuk HL > 10 cm .................................. (5.11)
TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil pengukuran langsung
dilapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara, yaitu:
TL = 1/3 (Tp + Tt + Tb) ......................................................... (5.12)
Tp = temperatur permukaan lapis beraspal
Tt = temperatur tengah lapis beraspal atau dari Tabel 5.9
Tb = temperatur bawah lapis beraspal atau dari Tabel 5.9
Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)
= 1,2 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim kemarau atau muka air tanah
rendah
= 0,9 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim hujan atau muka air tanah
tinggi
FKB-BB = faktor koreksi beban uji Benkelman Beam (BB)
FKB-BB = 77,343 x (Beban Uji dalam ton)(-2,0715) ........................ (5.13)

Tabel 5.8 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft)


Faktor Koreksi (Ft) Faktor Koreksi (Ft)
TL TL
Kurva A Kurva B Kurva A Kurva B
(oC) (oC)
(HL < 10 cm) (HL ≥ 10 cm) (HL < 10 cm) (HL ≥ 10 cm)
20 1,25 1,53 46 0,90 0,81
22 1,21 1,42 48 0,88 0,79
24 1,16 1,33 50 0,87 0,76
26 1,13 1,25 52 0,85 0,74
28 1,09 1,19 54 0,84 0,72
30 1,06 1,13 56 0,83 0,70
32 1,04 1,07 58 0,82 0,68
34 1,01 1,02 60 0,81 0,67
36 0,99 0,98 62 0,79 0,65
38 0,97 0,94 64 0,78 0,63
40 0,95 0,90 66 0,77 0,62
42 0,93 0,87 68 0,77 0,61
44 0,91 0,84 70 0,76 0,59
Catatan :
− Kurva A adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL) kurang dari 10 cm.
− Kurva B adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL) minimum 10 cm

17
Cara pengukuran lendutan balik mengacu pada SNI 03-2416-1991 (Metoda
Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat Benkelman Beam) dan gambar
alat Benkelman Beam (BB) ditunjukkan pada Gambar 5.5.

Tabel 5.9. Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal Berdasarkan
Data Temperatur Udara (Tu) dan Temperatur Permukaan (Tp)

Tu + Tp Temperatur lapis beraspal (oC) pada kedalaman


(oC) 2,5 cm 5,0 cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm
45 26,8 25,6 22,8 21,9 20,8 20,1
46 27,4 26,2 23,3 22,4 21,3 20,6
47 28,0 26,7 23,8 22,9 21,7 21,0
48 28,6 27,3 24,3 23,4 22,2 21,5
49 29,2 27,8 24,7 23,8 22,7 21,9
50 29,8 28,4 25,2 24,3 23,1 22,4
51 30,4 28,9 25,7 24,8 23,6 22,8
52 30,9 29,5 26,2 25,3 24,0 23,3
53 31,5 30,0 26,7 25,7 24,5 23,7
54 32,1 30,6 27,1 26,2 25,0 24,2
55 32,7 31,2 27,6 26,7 25,4 24,6
56 33,3 31,7 28,1 27,2 25,9 25,1
57 33,9 32,3 28,6 27,6 26,3 25,5
58 34,5 32,8 29,1 28,1 26,8 26,0
59 35,1 33,4 29,6 28,6 27,2 26,4
60 35,7 33,9 30,0 29,1 27,7 26,9
61 36,3 34,5 30,5 29,5 28,2 27,3
62 36,9 35,1 31,0 30,0 28,6 27,8
63 37,5 35,6 31,5 30,5 29,1 28,2
64 38,1 36,2 32,0 31,0 29,5 28,7
65 38,7 36,7 32,5 31,4 30,0 29,1
66 39,3 37,3 32,9 31,9 30,5 29,6
67 39,9 37,8 33,4 32,4 30,9 30,0
68 40,5 38,4 33,9 32,9 31,4 30,5
69 41,1 39,0 34,4 33,3 31,8 30,9
70 41,7 39,5 34,9 33,8 32,3 31,4
71 42,2 40,1 35,4 34,3 32,8 31,8
72 42,8 40,6 35,8 34,8 33,2 32,3
73 43,4 41,2 36,3 35,2 33,7 32,8
74 44,0 41,7 36,8 35,7 34,1 33,2
75 44,6 42,3 37,3 36,2 34,6 33,7
76 45,2 42,9 37,8 36,7 35,0 34,1
77 45,8 43,4 38,3 37,1 35,5 34,6
78 46,4 44,0 38,7 37,6 36,0 35,0
79 47,0 44,5 39,2 38,1 36,4 35,5
80 47,6 45,1 39,7 38,6 36,9 35,9
81 48,2 45,6 40,2 39,0 37,3 36,4
82 48,8 46,2 40,7 39,5 37,8 36,8
83 49,4 46,8 41,2 40,0 38,3 37,3
84 50,0 47,3 41,6 40,5 38,7 37,7
85 50,6 47,9 42,1 40,9 39,2 38,2

18
1,80
1,70
1,60 Kurva B
Fak to r Ko r e k s i L e n du tan (Ft) 1,50 (HL > 10 cm)
1,40
1,30
1,20 Kurva A
1,10 (HL < 10 cm)
1,00
0,90
0,80
0,70
0,60
0,50
0,40
20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

Temperatur Perkerasan, TL (oC)

Gambar 5.4. Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft)

Gambar 5.5. Alat Benkelman Beam (BB)


19
5.3.1. Keseragaman Lendutan
Perhitungan tebal lapis tambah dapat dilakukan pada setiap titik pengujian atau
berdasarkan panjang segmen (seksi). Apabila berdasarkan panjang seksi maka cara
menentukan panjang seksi jalan harus dipertimbangkan terhadap keseragaman
lendutan. Keseragaman yang dipandang sangat baik mempunyai rentang faktor
keseragaman antara 0- 10, keseragaman baik antara 11 - 20 dan keseragaman
cukup baik antara 21 - 30. Untuk menentukan faktor keseragaman lendutan dapat
menggunakan Persamaan 5.14.
s
FK = x100% < FK izin ................................ (5.14)
dR
dengan pengertian :
FK = Faktor keseragaman
FKizin = Faktor keseragaman yang diijinkan
= 0 % - 10%; keseragaman sangat baik
= 11% - 20%; keseragaman baik
= 21% - 30%; keseragaman cukup baik
dR = Lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan
ns

∑d
dR = 1
........................................................... (5.15)
ns
s = deviasi standar = simpangan baku
2
⎛ ns ⎞ ⎛ ns ⎞
n s ⎜⎜ ∑ d 2 ⎟⎟ − ⎜⎜ ∑ d ⎟⎟
s= ⎝ 1 ⎠ ⎝ 1 ⎠ ......................................... (5.16)
n s (n s − 1)
d = Nilai lendutan balik (dB) atau lendutan langsung (dL) tiap titik
pemeriksaan pada suatu seksi jalan
ns = Jumlah titik pemeriksaan pada suatu seksi jalan

5.3.2. Lendutan Wakil


Untuk menentukan besarnya lendutan yang mewakili suatu sub ruas/seksi jalan,
digunakan Persamaan 5.17; 5.18 dan Persamaan 5.19 yang disesuaikan dengan
fungsi/kelas jalan, yaitu:
− Dwakil = dR + 2 s ; untuk jalan arteri / tol (tingkat kepercayaan 98%) ...... (5.17)
− Dwakil = dR + 1,64 s ; untuk jalan kolektor (tingkat kepercayaan 95%) .......... (5.18)
− Dwakil = dR + 1,28 s ; untuk jalan lokal (tingkat kepercayaan 90%) ............... (5.19)

Dengan pengertian :
Dwakil = Lendutan yang mewakili suatu seksi jalan
dR = Lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan sesuai Persamaan 5.15
s = Deviasi standar sesuai Persamaan 5.16

20
5.3.3. Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah
Tebal lapis tambah/overlay yang diperoleh adalah berdasarkan temperatur standar
35oC, maka untuk masing-masing daerah perlu dikoreksi karena memiliki temperatur
perkerasan rata-rata tahunan (TPRT) yang berbeda. Faktor koreksi tebal lapis
tambah (Fo) dapat diperoleh dengan Persamaan 5.20 atau menggunakan Gambar
5.6.

Fo = 0,5032 Exp(0,0194 x TPRT) ............................ (5.20)

Dengan pengertian :
Fo = Faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay
TPRT = Temperatur perkerasan rata-rata tahunan untuk daerah/kota tertentu

2,40

2,20

2,00
Faktor Koreksi Overlay (Fo)

1,80

1,60

1,40

1,20

1,00

0,80

0,60
20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

o
Temperatur Perkerasan Rata-rata Tahunan, TPRT ( C)

Gambar 5.6. Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah (Fo)

5.3.4. Jenis Lapis Tambah


Perencanaan tebal overlay dengan metode ini hanya berlaku untuk lapis tambah
dengan Laston, yang memiliki Modulus Resilien (MR) lebih kurang 2000 MPa dan
Stabilitas Marshall minimum 800 kg. Nilai Modulus Resilien (MR) diperoleh
berdasarkan pengujian UMATTA atau alat lain dengan temperatur pengujian 25oC.
Apabila jenis campuran beraspal untuk lapis tambah menggunakan Laston
Modifikasi dan Lataston atau campuran beraspal lainnya, tebal lapis tambah yang
didapat dengan metoda ini harus dikoreksi dengan menggunakan faktor koreksi tebal
lapis tambah penyesuaian (FKTBL). Faktor kporeksi ini dapat dihitung dengan
menggunakan Persamaan 5.21 atau Gambar 5.7. dan Tabel 5.10.

FK TBL = 12,51 x M -0,333


R .................................................... (5.21)
Dengan pengertian :
FKTBL = Faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
MR = Modulus Resilien (MPa)

21
1,70
1,60
1,50

Faktor Koreksi, FK TBL


1,40
1,30
1,20
1,10
1,00
0,90
0,80
0,70
0,60
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
Modulus Resilient, M R (MPa)

Gambar 5.7. Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah Penyesuaian (FKTBL)

Tabel 5.10. Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah Penyesuaian (FKTBL)


Modulus Stabilitas
Jenis Lapisan Resilien Marshall FKTBL
(MR, MPa) (kg)
Laston Modifikasi 3000 min. 1000 0,85
Laston 2000 min. 800 1,00
Lataston 1000 min. 800 1,23

5.3.5. Prosedur Perhitungan

Perhitungan tebal lapis tambah yang disarankan pada pedoman ini adalah
berdasarkan data lendutan yang diukur dengan alat BB. Pengukuran lendutan
disarankan dilakukan pada kedua jejak roda (jejak roda kiri dan jejak roda kanan).
Pengukuran lendutan pada perkerasan yang mengalami kerusakan berat, retak-retak
dan deformasi plastis harus dihindari.
Tahapan perhitungan tebal lapis tambah perkerasan lentur dengan metode ini adalah
sebagai berikut:
a) Hitung repetisi beban lalu-lintas rencana (CESA) dalam ESA;
b) Hitung lendutan hasil pengujian dengan alat BB dan koreksi dengan faktor muka
air tanah (faktor musim, Ca) dan faktor temperatur standar (Ft) serta faktor beban
uji (FKB-BB) untuk bila beban uji tidak tepat sebesar 8,16 ton)
c) Tentukan panjang seksi yang memiliki keseragaman (FK) yang sesuai dengan
tingkat keseragaman yang diinginkan sesuai seksi 5.3.1.
d) Hitung Lendutan wakil (Dwakil) untuk masing-masing seksi jalan yang tergantung
dari kelas jalan sesuai seksi 5.3.2
hitung lendutan rencana/ijin (Drencana) dengan menggunakan Persamaan 5.22.
atau dengan memplot data lalu-lintas rencana (CESA) pada Gambar 5.8 Kurva D

22
Drencana = 22,208 x CESA-0,2307 ................................. (5.22)
Dengan pengertian :
Drencana = Lendutan rencana, dalam satuan milimeter.
CESA = Kumulatif ekivalen beban sumbu standar, dalam satuan ESA
e) Hitung tebal lapis tambah (Ho) dengan menggunakan Persamaan 5.23 atau
dengan memplot pada Gambar 5.9.

Ho =
[Ln (1,0364 ) + Ln (D sbl ov ) − Ln (D stl ov )]
0,0597
................... (5.23)

Dengan pengertian :
Ho = Tebal lapis tambah sebelum dikoreksi temperatur rata-rata tahunan
daerah tertentu, dalam satuan centimeter.
Dsbl ov = Lendutan sebelum lapis tambah/Dwakil, dalam satuan milimeter.
Dstl ov = Lendutan setelah lapis tambah atau lendutan rencana, dalam satuan
milimeter.
f) Hitung tebal lapis tambah/overlay terkoreksi (Ht) dengan mengkalikan Ho dengan
faktor koreksi overlay (Fo), yaitu sesuai dengan Persamaan 5.24
Ht = Ho x Fo .......................................................(5.24)
Dengan pengertian :
Ht = Tebal lapis tambah/overlay Laston setelah dikoreksi dengan temperatur
rata-rata tahunan daerah tertentu, dalam satuan centimeter.
Ho = Tebal lapis tambah Laston sebelum dikoreksi temperatur rata-rata
tahunan daerah tertentu, dalam satuan centimeter.
Fo = Faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay (sesuai Persamaan 5.20 atau
Gambar 5.6)
g) Bila jenis atau sifat campuran beraspal yang akan digunakan tidak sesuai dengan
ketentuan di atas maka tebal lapis tambah harus dikoreksi dengan faktor koreksi
tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL) sesuai Persamaan 5.21 atau Gambar 5.7
atau Tabel 5.10.

Contoh 1. Perhitungan Tebal Lapis Tambah


Diketahui:
a) Lokasi Jalan : Ruas Purwakarta-Plered (Jalan Arteri)
b) Lalu lintas pada lajur rencana dengan umur rencana 5 tahun (CESA) =
30.000.000 ESA
c) Tebal lapis beraspal (AC) = 20 cm
d) Pengujian lendutan dilakukan pada arah Plered dengan alat BB
e) Pelaksanaan pengujian pada musim kemarau
f) Lendutan hasil pengujian dengan BB berturut-turut ditunjukkan pada Tabel 5.11.
Berapa tebal lapis tambah yang diperlukan untuk umur rencana 5 tahun dengan
jumlah repetisi beban lalu lintas 30.000.000 ESA menggunakan data lendutan BB ?

23
Gambar 5.8. Hubungan antara Lendutan Rencana dan Lalu-lintas

2,0
Lendutan Rencana /setelah overlay, Dstl ov (mm)

1,8
Ho = 3 cm
1,6
Ho = 5 cm
1,4
Ho = 7 cm
1,2
Ho = 9 cm
1,0
Ho = 12 cm
0,8
Ho = 16 cm
0,6

0,4

0,2

0,0
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80 2,00
Lendutan Sebelum Overlay, Dsbl ov (mm)

Gambar 5.9. Tebal Lapis Tambah (Ho)

Penyelesaian :
Perencanaan tebal lapis tambah berdasarkan pengujian lendutan dengan alat BB.
1) Untuk mengkoreksi nilai lendutan lapangan digunakan Persamaan 5.9. Hasil
lendutan yang telah dikoreksi ditunjukkan pada Tabel 5.12.
2) Keseragaman lendutan
Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 5.12, maka sebagai
gambaran tentang tingkat keseragaman lendutan yang sudah dikoreksi dapat
dilihat pada Gambar 5.10.

Untuk memastikan tingkat keseragaman lendutan dengan menggunakan


Persamaan 5.14, yaitu:
FK = (s/dR) x 100% = (0,1097/0,405) x 100%
24
= 27,1
Jadi; 20 < FK < 30 --> Keseragaman lendutan cukup baik

Tabel 5.11. Contoh Data Lendutan Hasil Pengujian dengan Alat BB


O
Beban Uji Lendutan balik/BB (mm) Temperatur ( C)
KM
(ton) d1 d2 d3 Tu Tp
82,000 8,20 0,00 0,07 0,17 29 46,1
82,100 8,20 0,00 0,09 0,18 29 44,0
82,200 8,20 0,00 0,07 0,14 29 44,1
82,300 8,20 0,00 0,05 0,15 30 42,6
82,400 8,20 0,00 0,07 0,20 31 38,3
82,500 8,20 0,00 0,07 0,14 31 43,7
82,600 8,20 0,00 0,17 0,31 31 46,9
82,700 8,20 0,00 0,07 0,13 32 46,2
82,800 8,20 0,00 0,08 0,22 32 46,6
82,900 8,20 0,00 0,07 0,14 32 36,5
83,000 8,20 0,00 0,08 0,15 32 44,7
83,100 8,20 0,00 0,09 0,15 32 42,8
83,200 8,20 0,00 0,07 0,14 32 45,5
83,300 8,20 0,00 0,20 0,30 32 44,6
83,400 8,20 0,00 0,09 0,18 32 43,3
83,500 8,20 0,00 0,07 0,18 33 43,2
83,600 8,20 0,00 0,09 0,19 33 43,5
83,700 8,20 0,00 0,09 0,20 34 44,0
83,800 8,20 0,00 0,07 0,25 33 38,4
83,900 8,20 0,00 0,10 0,16 33 40,5
84,000 8,20 0,00 0,09 0,16 34 45,4

3) Lendutan wakil (Dwakil atau Dsbl ov) dengan menggunakan Persamaan 5.17
(untuk Jalan Arteri), yaitu:
Dwakil atau Dsbl ov = dR + 2 S
= 0,405 + 2 x 0,1097
= 0,624 mm
4) Menghitung lendutan rencana/Ijin/ (Drencana atau Dstl ov) dapat menggunakan
Gambar 5.8 Kurva D atau dengan Persamaan 5.22 sebagai berikut :

Drencana atau Dstl ov = 22,208 x CESA-0,2307


= 22,208 x 30.000.000-0,2307
= 0,408 mm

5) Menghitung tebal lapis tambah (Ho) sesuai Gambar 5.9 atau dengan
Persamaan 5.23 sebagai berikut:
Ho = {Ln(1,0364) + Ln(Dsbl ov ) - Ln(Dslt ov)}/0,0597
= {LN(1,0364)+LN(0,624)-LN(0,408)}/0,0597
= 7,3 cm

25
Tabel 5.12. Contoh Nilai lendutan BB Terkoreksi (dB)
Beban Lendutan balik/BB O Koreksi Pada Koreksi Koreksi Lendutan
Temperatur ( C)
Sta Uji (mm) Temperatur Musim Beban Terkoreksi (mm), dB =
2
dB
Standar (Ft) (Ca) (FKB-BB)
(ton) d1 d2 d3 Tu Tp Tt Tb TL 2(d3-d1) x Ft x Ca x FKB-BB
82,000 8,20 0,00 0,07 0,17 29 46,1 37,3 34,6 39,4 0,9 1,2 0,990 0,370 0,137
82,100 8,20 0,00 0,09 0,18 29 44,0 36,3 33,7 38,0 0,9 1,2 0,990 0,402 0,162
82,200 8,20 0,00 0,07 0,14 29 44,1 36,4 33,7 38,1 0,9 1,2 0,990 0,312 0,098
82,300 8,20 0,00 0,05 0,15 30 42,6 36,1 33,5 37,4 1,0 1,2 0,990 0,339 0,115
82,400 8,20 0,00 0,07 0,20 31 38,3 34,5 32,0 34,9 1,0 1,2 0,990 0,476 0,227
82,500 8,20 0,00 0,07 0,14 31 43,7 37,1 34,5 38,4 0,9 1,2 0,990 0,310 0,096
82,600 8,20 0,00 0,17 0,31 31 46,9 38,7 35,9 40,5 0,9 1,2 0,990 0,660 0,435
82,700 8,20 0,00 0,07 0,13 32 46,2 38,8 36,1 40,4 0,9 1,2 0,990 0,277 0,077
82,800 8,20 0,00 0,08 0,22 32 46,6 39,0 36,2 40,6 0,9 1,2 0,990 0,467 0,218
82,900 8,20 0,00 0,07 0,14 32 36,5 34,2 31,6 34,1 1,0 1,2 0,990 0,340 0,115
83,000 8,20 0,00 0,08 0,15 32 44,7 38,1 35,4 39,4 0,9 1,2 0,990 0,326 0,106
83,100 8,20 0,00 0,09 0,15 32 42,8 37,2 34,5 38,2 0,9 1,2 0,990 0,334 0,112
83,200 8,20 0,00 0,07 0,14 32 45,5 38,5 35,7 39,9 0,9 1,2 0,990 0,301 0,091
83,300 8,20 0,00 0,20 0,30 32 44,6 38,1 35,3 39,3 0,9 1,2 0,990 0,653 0,426
83,400 8,20 0,00 0,09 0,18 32 43,3 37,4 34,7 38,5 0,9 1,2 0,990 0,398 0,159
83,500 8,20 0,00 0,07 0,18 33 43,2 37,9 35,1 38,7 0,9 1,2 0,990 0,396 0,157
83,600 8,20 0,00 0,09 0,19 33 43,5 38,0 35,3 38,9 0,9 1,2 0,990 0,417 0,174
83,700 8,20 0,00 0,09 0,20 34 44,0 38,7 36,0 39,6 0,9 1,2 0,990 0,433 0,188
83,800 8,20 0,00 0,07 0,25 33 38,4 35,6 32,9 35,6 1,0 1,2 0,990 0,586 0,344
83,900 8,20 0,00 0,10 0,16 33 40,5 36,6 33,9 37,0 1,0 1,2 0,990 0,365 0,133
84,000 8,20 0,00 0,09 0,16 34 45,4 39,4 36,6 40,5 0,9 1,2 0,990 0,341 0,116
Jumlah 8,505 3,686
Lendutan Rata-rata (dR) 0,405
Jumlah Titik (ns) 21
Deviasi Standar (s) 0,1097

26
1,000

0,900

0,800

0,700

0,600

0,500

0,400

0,300

0,200

0,100

0,000
0

0
0

0
0

0
0

0
0

0
,00

,10

,20

,30

,40

,50

,60

,70

,80

,90

,70
,00

,80
,10

,90

,00
,20

,30

,40

,50

,60
82

82

82

82

82

82

82

82

82

82

83
83

83
83

83

84
83

83

83

83

83
Km

Lendutan Rata-Rata

Gambar 5.10. Contoh Lendutan BB terkoreksi (dB)

6) Menentukan koreksi tebal lapis tambah (Fo)


Lokasi ruas jalan Purwakarta-Plered pada Tabel L-1 (Lampiran 1),
diperoleh temperatur perkerasan rata-rata tahunan (TPRT) = 35,4 oC.
Dengan menggunakan Gambar 5.6 atau menggunakan Persamaan 5.20
maka faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo) diperoleh:
Fo = 0,5032 x EXP (0,0194 x TPRT)
= 0,5032 x EXP (0,0194 x 35,4)
= 1,00
7) Menghitung tebal lapis tambah terkoreksi (Ht) dengan menggunakan
Persamaan 5.24, yaitu:
Ht = Ho x Fo
= 7,30 x 1,00
= 7,30 cm (Laston dengan Modulus Resilien 2000 MPa dengan
Stabilitas Marshall minimum sebesar 800 kg)
8) Bila jenis campuran beraspal yang akan digunakan sebagai bahan lapis
tambah adalah Laston Modifikasi dengan Modulus Resilien 3000 MPa dan
Stabilitas Marshall minimum sebesar 1000 kg maka faktor penyesuaian
tebal lapis tambah (FKTBL) dapat diperoleh dengan menggunakan
Persamaan 5.21 atau Gambar 5.7 atau Tabel 5.10. Berdasarkan
persamaan,atau gambar tabel tersebut, diperoleh FKTBL sebesar 0,87.
Jadi tebal lapis tambah yang diperlukan untuk Laston Modifikasi dengan
Modulus Resilien 3000 MPa dan Stabilitas Marshall minimum sebesar
1000 kg adalah:

27
Ht = 7,30 cm x FKTBL
= 7,30 cm x 0,87
= 6,4 cm
9) Kesimpulan
Tebal lapis tambah yang diperlukan untuk ruas jalan Purwakarta-Plered
agar dapat melayani lalu-lintas sebanyak 30.000.000 ESA selama umur
rencana 10 tahun adalah 7,3 cm Laston dengan Modulus Resilien 2000
MPa dengan Stabilitas Marshall minimum sebesar 800 kg atau setebal 6,4
cm untuk Lanston Modifikasi dengan Modulus Resilien 3000 MPa dan
Stabilitas Marshall minimum sebesar 1000 kg.

5.4. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Secara Mekanistik - Empiris


5.4.1. Pendahuluan
Selain beberapa metoda perencanaan yang telah dikenal, pada tahun 2002 telah
disusun Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur (Pt-01-2002-B) yang
merupakan adopsi dan adaptasi dari metoda perencanaan AASHTO tahun 1993.
Perencanaan menggunakan Pt T-01-2002-B ini dibandingkan dengan Metoda
Analisa Komponen yang telah dikenal sebelumnya mulai menggunakan
beberapa parameter mekanistik seperti Modulus Elastisitas. Penggunaan
Modulus Elastisitas ini nantinya akan dikonversi menjadi besaran koefisien
kekuatan relatif (a) untuk masing-masing bahan pembentuk lapisan perkerasan.
Karena pada metode ini telah menggunakan parameter mekanistik dengan tidak
meninggalkan parameter empiris, maka metode ini disebut dengan metode
Mekanistik – Empiris.

Selain itu juga pada pedoman ini telah dikenalkan pengaruh dari sistem drainase
dalam perencanaan tebal perkerasan jalan. Pengaruh faktor lingkungan lebih
banyak difokuskan kepada besaran temperatur yang nantinya juga akan
mempengaruhi dari nilai Modulus Elastisitas terutama untuk lapisan beraspal.

Perbedaan penting dari Pedoman Pt T-01-2002-B dibandingkan dengan metoda


sebelumnya adalah pada penggunaan alat Falling Weight Deflectometer (FWD)
yang akan digunakan dalam perencanaan tebal lapis tambah. Juga pada
pedoman ini diperkenalkan konsep-konsep tentang Reliabilitas, Standard Normal
Deviate, dan Standard Error.

Karena rumus-rumus dan formula yang digunakan merupakan adopsi dari


AASHTO tahun 1993, maka pada pedoman ini masih menggunakan satuan
Imperial Unit.

5.4.2. Sistem Perkerasan Lentur


Secara garis besarnya sistem perkerasan lentur terdiri atas Tanah Dasar, Lapis
Pondasi Bawah, Lapis Pondasi, dan Lapis Permukaan. Secara grafis sistem ini
diberikan pada Gambar 5.11 berikut ini.

28
Lap. Beraspal

Lapis Pondasi

Lap Pondasi Bawah

Tanah Dasar

Gambar 5.11. Sistem Perkerasan Lentur

Kadang-kadang untuk perkerasan lentur yang dibuat dari bahan stabilisasi, lapis
pondasi dan lapis pondasi bawah bisa terbuat dari campuran semen tanah atau
campuran bahan penstabilisasi lainnya. Saat ini juga sudah diperkenalkan
bahan-bahan lain seperti Cement Treated Recycling Base (CTRB) ataupun
Cement Treated Recycling Sub Base (CTRSB).

5.4.2.1 Tanah Dasar


Dalam perencanaan menggunakan Pt T-01-2002-B, kekuatan tanah dasar
diberikan dalam parameter Modulus Resilien. Ada beberapa cara menentukan
nilai Modulus Reslien tanah dasar ini antara lain dengan mengkorelasikannya
dengan nilai CBR (California Bearing Ratio) sebagai berikut :

M (psi) = 1500 x CBR(%) ..................................................(5.25)


R
Dengan pengertian :
MR = Modulus Resilien Tanah Dasar (psi).
CBR= nilai CBR tanah dasar (%).

4.2.2 Lapis Pondasi Bawah


Lapis Pondasi Bawah adalah lapisan struktur perkerasan jalan yang terletak
antara tanah dasar dan Lapis Pondasi. Lapis Pondasi Bawah ini bisa terdiri dari
lapisan granular dengan spesifikasi tertentu, dan campuran bersemen dengan
spesifikasi tertentu.

4.2.3 Lapis Pondasi


Sama seperti Lapis Pondasi Bawah, Lapis Pondasi juga bisa terdiri dari lapisan
granular, campuran bersemen, maupun dampuran beraspal dengan spesifikasi
tertentu.

5.4.3. Koefisien Kekuatan Relatif


Pedoman ini mendapatkan nilai koefisien kekuatan relatif dengan
mengkorelasikannya dengan parameter mekanistik, yaitu modulus.

29
Berdasarkan jenis dan fulngsi material lapis perkerasan, estimasi kekuatan relatif
dikelompokkan kedalam 5 kategori yaitu beton aspal (asphalt concrete), lapis
pondasi granular (granular base), lapis pondasi bawah granular (granular sub
base), cement treated base, dan asphalt treated base.

Untuk lapis permukaan aspal beton, perkiraan koefisien kekuatan relatifnya


didasarkan atas besaran modulus elastisitasnya seperti diberikan pada
Gambar 5.12. Satu hal yang perlu diingat dalam hal ini adalah apabila Modulus
Elastisitas nya lebih besar dari 440,000 psi agar berhati-hati karena untuk
modulus elastisitas yang sangat tinggi lapisan beraspal akan bertambah kaku
tetapi akan sangat rentan terhadap terjadiinya retak lelah (fatigue cracks).

0.5

0.4
Koefisien Kekuatan Relatif (a1)
untuk lapis permukaan AC

0.3

0.2

0.1

0.0
0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000

Modulus Elastisitas, EAC (psi) dari


AC (pada 68 oF)

Gambar 5.12 Hubungan Koefisien Kekuatan Relatif Dengan Modulus Elastisitas

Untuk lapis pondasi granular, koefisien kekuatan relatif a2 dapat diperkirakan


dengan menggunakan Persamaan 5.26 atau menggunakan Gambar 5.13 yang
menghubungkan antara koefisien kekuatan relatif dan berbagai parameter
pengujian.

a2 = 0.249 (log10 EBS) – 0.977 .......................................(5.26)


Dengan pengertian :
a2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular.
EBS = Modulus Elastisitas lapis pondasi granular.

Terlihat dari Gambar 5.13 bahwa untuk mendapatkan nilai koefisien kekuatan
relatif dari lapis pondasi granular dapat menggunakan hubungan dengan
besarnya Modulus Elastisitas ataupun dengan menggunakan hubungan antara
koefisien kekuatan relatif dengan besarnya nilai CBR dari lapis pondasi tersebut.

30
Sedangkan untuk mendapatkan nilai koefisien relatif dari lapis pondasi bawah
granular diberikan dengan menggunakan Persamaan 5.27 atau menggunakan
grafik pada Gambar 5.14 yang menghubungkan antara koefisien kekuatan relatif
dengan berbagai parameter pengujian.

a3 = 0.249 (log10 EBS) – 0.839 .......................................(5.27)

Sedangkan untuk koefisien relatif lapis pondasi bersemen dan lapis pondasi
beraspal ditunjukkan pada Gambar 5.15 dan Gambar 5.16 yang memberikan
hubungan antara koefisien relatif dan parameter-parameter pengujian.

Gambar 5.13 Hubungan antara Koefisien Kekuatan Relatif Lapis Pondasi


Granular Dengan Parameter Pengujian

31
Gambar 5.14 Hubungan antara Koefisien Kekuatan Relatif Lapis Pondasi
Bawah Granular Dengan Parameter Pengujian

5.4. Lalu Lintas


5.4.1. Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan
Untuk mencari angka ekivalen beban gandar sumbu kendaraan dilakukan
dengan menggunakan tabel yang ada di Lampiran 1.

5.4.4.2. Reliabilitas
Reliabilitas dimaksudkan untuk mengakomodasi beberapa ketidakpastian
didalam melakukan perencanaan pada perkerasan lentur. Tingkat reliabilitas

32
yang tinggi merujuk pada lalu lintas yang padat dan begitu juga sebaliknya.
Dengan kata lain reliabilitas yang tinggi digunakan untuk merencanakan jalan
dengan klasifikasi yang tinggi dan tingkat reliabilitas yang rendah digunakan
untuk merencanakan jalan dengan klasifikasi yang rendah juga. Tabel 5.13
memberikan rekomendasi tingkat reliabilitas yang digunakan untuk berbagai
klasifikasi jalan.

Gambar 5.15. Hubungan antara Koefisien Kekuatan Relatif Lapis Pondasi


Bersemen dengan Parameter Pengujian

33
Gambar 5.16. Hubungan antara Koefisien Kekuatan Relatif Lapis Pondasi
Beraspal dengan Parameter Pengujian

Tabel 5.13 Reliabilitas untuk Berbagai Klasifikasi Jalan


Rekomendasi tingkat reliabilitas (%)
Klasifikasi Jalan
Perkotaan Antar kota
Bebas hambatan 85 – 99.9 80 – 99.9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 - 80

Tingkat reliabilitas seperti yang diterangkan diatas akan berhubungan dengan


nilai stndard normal deviate seperti yang diberikan pada Tabel 5.14 berikut ini.

34
Tabel 5.14. Standard Normal Deviate
Standard
Reliabilitas, Normal
R(%) Deviate, Zr
50 0.000
60 -0.253
70 -0.524
75 -0.674
80 -0.842
85 -1.036
90 -1.282
91 -1.341
92 -1.405
93 -1.476
94 -1.555
95 -1.645
96 -1.751
97 -1.881
98 -2.054
99 -2.326
99.9 -3.090
99.99 -3.750

5.4.4.3. Lalu Lintas Pada Lajur Rencana


Lalu lintas pada lajur rencana (W18) diberikan dalam nilai kumulatif beban gandar
standar seperti pada rumus berikut ini :

W18 = D0 x DL x W18 ......................................................(5.28)

Dengan Pengertian :
DD = faktor distribusi arah
DL = faktor distrbusi lajur
W18 = beban gandar standar

Sedangkan untuk faktor distribusi lajur diberikan pada Tabel 5.15 berikut ini.

Tabel 5.15. Faktor Distribusi Lajur (DD)


Jumlah % beban gandar
lajur per standar dalam lajur
arah rencana
1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4 50 -75

35
Sedangkan untuk kumulatif beban gandar standar selama umur rencana
diberikan pada persamaan berikut ini:

W t = W18 x
(1+ g) n
-1
..........................................................(5.29)
g
Dengan Pengertian :
Wt = kumulatif beban gandar standar
W18 = beban gandar standar
n = umur pelayanan
g = perkembangan lalu lintas

5.4.5. Koefisien Drainase


Pada metoda ini juga diberikan koefisien pengaruh dari drainase seperti
diberikan pada Tabel 5.16 dimana kualitas drainase diberikan pada Tabel 5.17.

Tabel 5.16. Definisi Kualitas Drainase


Kualitas Air hilang dalam
Drainase
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali Air tidak mengalir

Tabel 5.17. Koefisien Drainase (m)


Persen waktu Struktur Perkerasan dipengaruhi oleh Kadar Air
Kualitas yang mendekati Jenuh
Drainase
<1% 1% - 5% 5% - 25% > 25%
Baik sekali 1.40 – 1.30 1.35 – 1.30 1.30 – 1.20 1.20
Baik 1.35 – 1.25 1.25 – 1.15 1.15 – 1.00 1.00
Sedang 1.25 – 1.15 1.15 – 1.05 1.00 – 0.80 0.80
Jelek 1.15 – 1.05 1.05 – 0.80 0.80 -0.60 0.60
Jelek sekali 1.05 – 0.95 0.80 – 0.75 0.60 – 0.40 0.40

5.4.6. Indeks Permukaan


Kondisi permukaan jalan yang diharapkan pada saat jalan dibuka dinyatakan
sebagai Indeks Permukaan Awal (IPo). Indeks ini tergantung pada jenis
perkerasan yang digunakan sebagai lapis permukaan jalan. Dalam menentukan
Indeks Permukaan pada Awal umur rencana (IP0) perlu diperhatikan jenis lapis
permukaan perkerasan dan kondisinya seperti diberikan pada Tabel 5.18.

36
Indeks permukaan ini menyatakan nilai kenyamanan dan kekuatan perkerasan
yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Ada
Indeks permukaan, yaitu Indeks Permukaan Akhir (IPt) dan Indeks Permukaan Awal
(IPo). Indeks Permukaan Akhir (IPt) adalah kondisi akhir permukaan jalan setelah
dilewati kendaraan selama umur rencananya Adapun arti dari beberapa nilai IPt
tersebut adalah sama seperti yang telah diuraikan dalam seksi 5.2.4 terdahulu.
Dalam menentukan indeks permukaan akhir (IPt) perlu dipertimbangkan faktor-
faktor klasifikasi fungsional jalan sebagaimana diberikan pada Tabel 5.19.

Tabel 5.18. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0)


untuk Tiga Jenis Campuran
Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness (m/km)
Laston ≥4 ≤1
3.9 – 3.5 >1
Lasbutag 3.9 – 3.5 ≤2
3.4 – 3.0 >2
Lapen Makadam 3.4 – 3.0 ≤3
2.9 – 2.5 >3

Tabel 5.19. Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPt)


untuk Beberapa Klasifikasi Jalan
Klasifikasi Jalan
Bebas
Lokal Kolektor Arteri
Hambatan
1.0 – 1.5 1.5 - 2.0 2.0 – 2.5 2.5

5.4.7. Pelapisan Tambah


Untuk pelapisan tambah bisa menggunakan metoda empirik biasa atau
menggunakan perhitungan dengan alat FWD. Untuk metoda empirik biasa,
koefisien kekuatan relatif dari perkerasan existing bisa dilihat pada Tabel 5.20
berikut ini.

5.4.8. Analisa Komponen Perkerasan


Perhitungan perencanaan tebal perkerasan didasarkan pada kekuatan relatif
masing-masing lapisan perkerasan, yaitu dengan menggunakan Persamaan 5.6
terdahulu. Tetapi ITP dalam Persamaan 5.6 ini dihitungan dengan menggunakan
Persamaan 5.30 atau grafik yang diberikan pada Gambar 5.17.

⎛ ΔIP ⎞
log⎜ ⎟
logW18 = ZR × S0 + 9.36log(ITP + 1) − 0.20 + ⎝ 4.2 − 1.5 ⎠ + 2.32log(M ) − 8.07
1094 R …(5.30)
0.40 +
(ITP + 1)5.19

37
Dengan Pengertian :
W18 = Perkiraan jumlah beban sumbu standar ekivalen 18 kip (CESA).
Zr = Deviasi Normal Standar
S0 = Standar error
ΔIP = Perbedaan IP0 dan IPt.
MR = Modulus Resilien
ITP = Indeks Tebal Perkerasan

Tabel 5.20. Koefisien Kekuatan Relatif Untuk Pelapisan Tambah


Koefisien
Bahan Kondisi Permukaan Kekuatan
relatif (a)

Lapis Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya
Permukaan dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan 0.35 – 0.40
Beton Aspal rendah
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau
0.25 – 0.35
< 5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
0.20 – 0.30
5% - 10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan
tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau 0.14 – 0.20
> 10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
0.08 – 0.15
> 10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi dan tinggi
Lapis pondasi Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya
0.20 – 0.35
yang dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan
distabilisasi rendah
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 – 0.25
< 5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 – 0.20
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
5% - 10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan
tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 0.10 – 0.20
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
> 10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau 0.08 – 0.15
> 10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi dan tinggi
Lapis pondasi Tidak terdapat pumping, degradasi dan kontaminasi 0.10 – 0.14
atau lapis
pondasi bawah Terdapat pumping, degradasi dan kontaminasi 0.00 – 0.10
granular

38
Grambar 5.17. Grafik Penentuan ITP dengan Metode Mekanistik – Empiris

39
5.4.9. Pelapisan Tambah Menggunakan Data Lendutan FWD
Perencanaan tebal lapis tambah menggunakan data lendutan diperkenalkan
pada metoda ini. Tahap perencanaan adalah sebagai berikut:

1). Modulus Resilien Tanah Dasar


Modulus resilien tanah dasar diberikan pada persamaan berikut ini:

0.24 P
MR = ………………………………(5.31)
dr r

Dengan Pengertian :
MR = Modulus Resilien Tanah dasar, psi
P = Beban yang digunakan, lbs.
dr = Lendutan pada jarak r dari pusat pembebanan.
r = Jarak dari pusat pembebanan, inci.

Jarak minimum r adalah :


r ≥ 0.7 ac ....................................(5.32)

Dimana :
⎡ ⎛ Ep ⎞
2

a c = ⎢a 2 + ⎜ D 3 ⎟ ⎥
.............................................(5.33)
⎢ ⎜ MR ⎟⎠ ⎥
⎣ ⎝ ⎦

Dengan Pengertian :
ac = jari-jari gelembung tegangan di interface perkerasan-tanah dasar.
a = jari-jari pelat pembebanan, inci
D = tebal total lapisan perkerasan diatas tanah dasar, inci.
MR = modulus resilien tanah dasar, psi
Ep = modulus efektif perkerasan, psi.

2). Temperatur Perkerasan


Temperatur perkerasan saat pengujian FWD harus diambil, karena nilai ini akan
berhubungan dengan koreksi temperatur terhadap lendutan.

3). Modulus Efektif Perkerasan (Ep).


Modulus efektif perkerasan didapat dengan menggunakan Prsamaan 5.34. :

Dengan Pengertian :
d0 = lendutan yang diukur dan terkoreksi temperatur.
a = jari-jari pelat pembebanan, inci.
D = tebal lapis perkerasan diatas tanah dasar, inci.
Ep = modulus efektif perkerasan.

40
⎧ ⎡ ⎤⎫
⎪ ⎢ ⎥⎪
⎪ ⎢ 1 ⎥⎪
⎪ ⎢1 − 2 ⎥⎪
⎪ ⎢ ⎛D⎞ ⎥⎪
⎪ ⎢ 1+ ⎜ ⎟ ⎥ ⎪
⎪ 1 ⎣ ⎝ a ⎠ ⎦⎪
d 0 = 1.5 pa ⎨ + ⎬ ………………………(5.34)
⎪ ⎛ D Ep ⎞
2
Ep ⎪
⎪ MR 1+ ⎜ 3 ⎟ ⎪
⎪ ⎜a M ⎟ ⎪
⎝ R ⎠
⎪ ⎪
⎪ ⎪
⎪ ⎪
⎩ ⎭

4). Modulus resilien tanah dasar untuk perencanaan.


Modulus resilien tanah dasar untuk perencanaan dihitung sebagai berikur :

MRdesain = 0,33 MR ...……………………..(5.35)

5). Indeks Tebal Perkerasan masa datang (ITPf)


Indeks tebal perkerasan yang harus diakomodasi selama umur perencanaan
dihitung menggunakan grafik atau rumus (4.6) dengan mengambil MRdesain.

6). Indeks tebal Perkerasan Effektif (ITPeff)


Nilai ini merupakan besaran ITP existing. Nilai ini didapat dengan menggunakan
hubungan berikut ini.

ITPeff = 0.0045 D 3 Ep ……………………………..(5.36)

7). Perhitungan Tebal Lapis Tambah


Tebal lapis tambah dihitung dengan persamaan berikut.

ITPo l ITPf − ITPeff


Hol = = ……………………………(5.37)
a ol a ol

Dengan Pengertian :
hol = tebal lapis tambah.
ITPol = ITP yang dibutuhkan
ITPf = ITP yang dibutuhkan dalam umur rencana.
ITPeff = ITP existing.

41

Anda mungkin juga menyukai